Minggu, 16 Juni 2013

"Randu dan Rimba"



Tembok China.          
          Dua remaja sedang berdiri di tangga pertama Tembok China, sebelum melangkahkan kaki menuju tangga berikutnya mereka berhenti karena rasa kagum yang luar biasa, ratusan orang yang mungkin sedang melakukan pendakian tak begitu menarik perhatian kedua gadis itu.
          “Coba kamu perhatikan.” Ujar gadis yang berambut panjang dan lurus. “Tempat yang kita injak ini, konon katanya dibangun pada masa dinasti Ming, melewati sembilan provinsi dan panjangnya sekitar 7.300 kilometer.” Ujarnya dengan masih rasa kekaguman tinggi.
           “Wow, berarti butuh waktu setahun jalan kaki untuk mencapai ujungnya? Yang benar saja, habis ini kan kita mau jalan-jalan ke tempat lain.” Sahut gadis yang berambut sebahu. Mereka bertatapan sejenak seolah tidak akan mungkin menghabiskan masa liburan mereka di tempat itu. Akhirnya gadis yang berambut panjang menggeleng dengan pasti.
          “Tentu saja tidak.”
           “Ya.” Jawab sahabatnya. ‘karena habis ini kita akan mengunjungi kota Florence’ sambung gadis berambut sebahu itu di dalam hati karena bagaimanapun juga ia ingin mewujudkan impian kedua orang tuanya yang sudah tiada.
          “Oke, kita jalan lagi.” Kata gadis feminin itu dengan badan dibalut jaket tebal sedang gadis yang disebelahnya hanya mengenakan jaket seadanya, scarf terpasang dengan kuat di lehernya yang jenjang dan sepatu kulit teplek. Kedua gadis itu kembali menaiki tangga Tembok China yang menjadi salah satu keajaiban dunia. “Kamu tahu berapa tinggi Tembok ini? katanya sih tidak kurang dari sepuluh meter dan luas jalan yang kita lewati ini lebarnya diperkirankan sekitar lima meter.” Tutur gadis feminin itu saat mereka menaiki tangga satu demi satu dan tak lupa menyaksikan pemandangan Tembok China yang berliku-liku memanjang dan menyusuri puncak pegunungan, kedua gadis itu tak henti-hentinya menganggumi kehebatan orang-orang dulu. Di zaman ini kita boleh bangga dengan temuan teknologi yang semakin maju tapi orang dulu membuat bangunan sangat kuat dan tidak akan runtuh dalam ribuan tahun, luar biasa!
           “Kamu itu kayak pemandu wisata saja, semua ukuran bangunan dan sejarahnya kamu hafal, memangnya waktu di Paris apa yang kamu pelajari?” goda sahabatnya meski begitu ia bangga punya sahabat yang serba tahu.
           “Belajar semua hal, termasuk memahami kekerasan kepala kamu.” Ia melirik sahabatnya sejenak. Yang dilirik langsung protes.
           “Kayak sendirinya tidak keras kepala saja. Kalau saja waktu di Malaysia kamu sedikit mengalah aku rasa tidak akan separah itu.”
          “Sudahlah, mungkin sudah jalannya seperti itu dan kurasa kalau waktu di Malaysia aku tidak menghilang kita tidak akan sampai di tempat ini, kan?”
           “Yah, kapan sih kamu itu mau kalah omongan? Dari kelas satu SMU saja bawaannya ngejawab terus.” Gadis yang berambut sebahu itu seperti ngedumel membuat sahabatnya tertawa kecil dan ia masih ingat dengan sangat jelas saat pertama kali bertemu dengan sahabat kesayangannya itu.

*
           Wahsington D.C dan California.
           Pertama kali yang mereka kunjungi adalah Washington DC. Sebuah kota yang terencana hasil desain arsitek, insinyur dan penataan kota  kelahiran Prancis Pierre Charles L’Enfant tahun 1791. Secara formal bernama Distrik Columbia dan umumnya disebut Washington ‘the Distrik’ atau D.C. saja, sebagai ibukota Amerika Serikat.
           “Hmmm.. lihat Randu, inilah kota yang tidak pernah tidur di dunia ini.” Ujar Rimba saat mereka berdiri tak jauh dari Gedung Putih.
           “Tidak usah banyak komentar, mau aku foto nggak?” sahut Randu.
           “Aku ingin foto bersama kamu.” Jawab Rimba dengan cepat. “Tidak usah minta orang yang memotret, biar aku saja bisa kok.” Rimba memang sengaja tidak ingin menyuruh orang lain mengambil gambar mereka biar nanti gambarnya tidak terkesan ada orang di depannya, hanya mereka berdua, tersenyum dengan penuh tawa bahagia meski latarbelakangnya penting atau tidak. Mereka pun berfoto hanya beberapa kali jepretan saja melalui kamera BB Randu. Setelah itu mereka memutuskan untuk jalan menyusuri kawasan itu sampai lelah.
           Setelah lelah mereka memutuskan untuk mencari tempat makan, tidak ada tempat makan yang istimewa seperti kaki lima di Indonesia bisa pesan nasi goreng atau es cendol.
           “Mau makan apa?” kata Rimba setelah mereka tiba di depan sebuah resto kecil yang menawan. Randu melirik sekilas tapi tidak membuatnya tertarik lalu matanya melihat sebuah kursi agak panjang di sebelah resto dan kosong.
           “Di sana saja, kita pesan roti bakar dengan kopi hangat.”
           “Kopi? Sejak kapan kamu suka kopi?” Rimba melirik ke Randu setengah menggoda hobi barunya.
           “Sudahlah, tidak ada salahnya mencoba… bukankah sekarang sudah ada Miss kopi di negara kita?”
           “Ya, aku pernah mendengarnya.” Mereka berjalan ke sana untuk menikmati santapan siang. Beberapa saat saja kedua gadis itu sedang duduk santai sembari menikmati pemandangan sekitar dengan gelas kopi hangat di tangan. “Di sini ada 176 kedutaan besar asing serta kantor Bank Dunia, Dana Moneter Internasional alias IMF.   80 persen penduduk yang menetap di sini tidak tergantung pada mobil, Wahsington adalah kota ramah jalan kaki terbaik ke tujuh di Amerika Serikat. Tapi mengingat nama  IMF jadi kepikiran hutang negara kita yang konon katanya setiap kepala penduduknya termasuk kita memiliki hutang sebesar lima belas juta rupiah, waw…. Fantastik ya.”
           Randu menatap Rimba sejenak. “Tadinya aku pikir kamu itu hanya tahu masalah sejarah dunia tapi masalah hutang negara kita saja kamu pusingin.. kamu itu sebenarnya mau jadi apa sih? Kamu tahu apa yang telah terjadi dengan negara kita?” Randu diam sesaat dalam hati ia merasa sangat prihatin dengan kondisi politik yang sedang berlangsung dan sudah terjadi di Indonesia. Para pejabat banyak yang menyalahgunakan jabatannya.
           Tidak perlu berlama-lama berada di D.C. sebab Randu lebih tertarik mengunjungi kota California. Washington ke Texas hanya berjarak sekitar 1370 mil saja untuk menuju ke California tinggal 540 mil lagi. California terkesan lebih nyaman, negara pesisir barat Amerika Serikat ini julukan resminya The Golden State. Tapi itu tidak terlalu dipikirkan oleh Randu sebab ia ingin menemani Rimba mengunjungi Rodeo Drive bukan untuk belanja hanya melihat-lihat sebab Randu tidak suka belanja-belanja lebih tepatnya tidak suka membawa tentengan.
           Hari berikutnya Randu dan Rimba sedang berdiri di depan sebuah patung ‘Torso’. Randu menatap patung wanita tanpa lengan dan kepala itu yang disebut sebagai simbol Rodeo Drive of Style. telah menjadi titik fokus dari jalan terkenal. Berdiri 14-kaki tinggi di persimpangan Rodeo Drive dan Dayton Way.
           “Apa maksud patung ini? Untuk menghormati legenda gaya atas kontibusi mereka terhadap dunia fahsion dan hiburan? Dibuat oleh Robert Graham, kan”
           “Ya.” Sahut Rimba tanpa menoleh kepada Randu meski ia kagum dengan pengetahuan Randu mengenai hal itu. “Rodeo Drive Walk of Style ini diperkenalkan pada tahun 2003. “Oke, sekarang kita akan menyusuri toko-toko yang menjual produk-produk ternama di jagat ini.”
          “Apa kamu akan memborong tas-tas bermerk atau dompet yang harganya puluhan juta dolar seperti artis-artis atau para sosialita yang ada di negeri kita? Kalau begitu aku tidak akan menemani kamu.” Kata Randu setengah bercanda.
           “Apa kamu pikir aku gila belanja seperti itu?” Rimba cemberut.
           “Yea… siapa tahu kamu seperti mereka yang suka memanfaatkan uang para pejabat koruptor untuk membeli barang mewah.. hehehe.”
           “Hih! Omongan kamu nyebelin deh. Udah ah, mendingan terusin jalan masuk toko puasin mata dan kalau ada yang cocok ya beli.” Ujar Rimba tetap sebagai wanita yang punya naluri belanja meski tidak sampai gila belanja. “Tapi pakai duit sendiri.” Tambahnya.
          “Ya ya, nggak kebayang juga sudah sampai Amerika tapi masih kampungan.” Randu masih menggoda Rimba.
           “Apa itu maksudnya?” Rimba sampai menghentikan langkahnya diikuti Randu yang tersenyum melihat Rimba cemberut.
          Randu menoleh kiri kanan, beberapa orang terlihat lewat di dekat mereka, ada yang berpasangan, sama keluarga dan seorang pria jangkung kebetulan lewat sempat melirik mereka meski sekilas. Ia berjalan dengan kedua tangan dimasukan ke dalam kantong celana.
           “Kok berhenti? Katanya mau muasin mata di dalam.” Randu mendekatkan mulutnya ke arah terlinga Rimba. “Barusan ada cowok jalan sendirian, siapa tahu dia jomblo kan lumayan buat cuci mata.” Kali ini guyonan Randu benar-benar membuat Rimba tersenyum meski masih mangkel.
           Meski mengunjungi hampir setiap toko dan membuat kedua gadis itu kehabisan tenaga, mereka hanya membelikan sebuah dompet saja untuk kenang-kenangan.
*
          Paris, Prancis.
           Paris, Prancis adalah tempat romatis kedua di dunia setelah Athena, wah, ada artis top Indonesia tinggal di sana, Anggun C Sasmi. Paris memiliki dua puluh tiga jembatan yang terbentang indah di atas sungai Prancis. Rimba paling suka mendengar orang Prancis berbicara, Bahasa mereka seksi dan cara mengungkapan kata serta aksennya menarik. Ada cerita yang memilukan tentang Paris, yaitu Putri Diana meninggal di sana pada bulan agustus tahun 1997. Di terowongan cinta berakhir. Itulah kisah cinta Romeo dan Juliet yang sesungguhnya.
           Kota Montreux adalah salah satu kota paling keren di Zurich-Switzerland, penduduknya menggunakan Bahasa Prancis dan Jerman. Cuacanya berkisar 7 derajat celcius. Di kota Montreux ini terdapat patung Preddie Mercuri vokalis Queen yang lahir pada tahun1946 dan meninggal tahun 1991. penduduk sana membangun patung beliau untuk mengenang kecintaan sang vokalis pada kota itu dan beliau pernah merekam lagu di sana. Pas di depan patung tersebut terbentang sungai/danau Geneva yang membatasi Montreux dengan kota Zurich.
           “Kita akan mengunjungi menara Eiffel, kan?” kata Rimba tak kala mereka menginjakkan kaki di negeri dengan ikon Menara Eiffel-nya.
          “Memang harus ya? Kalau mengunjungi Paris harus mendatangi menara itu?” sergah Randu. “Tapi aku lebih tertarik mengunjungi Musee Du Louvre.” Ujar Randu diluar dugaan Rimba.
           “Mau ngapain? Melihat lukisan Monalisa? Atau mau melihat buku The da vinci Code? Itu kan sudah difilm-kan.”
           “Ya, kalau sudah sampai di sana terserah lagian aku belum pernah menonton film-nya kok.”
           “Oke, kita akan ke sana.”
           “Ups, tidak jadi.” Randu tiba-tiba tidak tertarik lagi untuk mengunjungi Musee Du Louvre. Terlihat ia berpikir sejenak. “Kalau mengunjungi Menara Eiffel jadi kesannya ABG sekali.” Ia beralasan.
           “Ya terserah kamu sih, tapi apa nggak nyesel? Kalau aku sih sudah pernah naik ke atas Eiffel yang tingginya 275 meter itu untuk menyaksikan kota Paris. Denger-denger Tom Cruise melamar Katie Holmes di sana, lho.”
           “Yea, tapi ujung-ujungnya pisah juga, kan?” bantah Randu. “Kita mengunjungi Place de la Concorde saja, oke?”
           “Sip, aku juga suka alun-alun terluas itu dan air mancurnya mengagumkan. Kalau harus mengunjungi Musee Du Louvre kita datangnya mesti pagi-pagi karena antriannya panjang. Mengenai artis yang pisah karena dilamar di Eiffel nggak ngaruh kali hehehe.”
           Berbeda dengan remaja pada umumnya, Randu memilih Place de la Concorde untuk berlibur di Paris, bukan mengunjungi Champ Elysee tempat dijualnya parfum ternama dan café-café mahal. Randu yang pada dasarnya tidak begitu suka jalan-jalan setelah mengitari tempat itu bersama Rimba ia memilih untuk duduk-duduk menikmati pemandangan dan hilir mudik pejalan kaki yang mungkin juga sedang menikmati liburan mereka. Dengan syal terpasang di lehernya Randu merasa nyaman sekali berada di tempat itu bersama Rimba yang sudah ikut duduk di sebelahnya. Bagi Randu sosok Rimba adalah sebagai pengganti Waru yang saat ini sedang menemaninya berlibur, menikmati hal indah dan tidak perlu memikirkan balapan atau hal-hal lain yang mungkin tidak penting untuk dipikirkan saat sekarang. Ia menyandarkan kepalanya di bahu Rimba, entah mengapa ia merasa kalau Rimba adalah satu-satunya keluarganya saat ini. Dari dalam hati Randu yang paling dalam akan mengajak Rimba mengunjungi sebuah tempat yang menjadi sejarah kedua orang tuanya. Semoga Rimba mau mengabulkan keinginannya itu.
           Siang mulai beranjak, Randu dan Rimba pun meninggalkan Place de la Concorde mengunjungi tempat makan sekaligus membeli sesuatu, dan lagi-lagi hanya satu sebagai tanda kalau Randu pernah mengunjungi tempat itu.
           Selanjutnya Rimba mengajak Randu mengunjungi Cannes, Prancis. Sebelum Randu mengajaknya ke Chamonix.
           “Kenapa harus ke Cannes?” protes Randu.
           “Ini musim dingin, Chamonix akan membeku karena ada di daerah pegunungan memangnya ingin main ski? Aktor Pierce Brosnan pernah di sana waktu pembuatan film James Bond, The World Is Not Enough.
           Motto kota Cannes ‘Hidup adalah festival’ “Keren ya.” Hela Rimba. “Entah sudah berapa artis Indonesia berjalan di Red Carpet di kota ini, perfilman Indonesia semakin berjaya saja sepertinya. Tertarik mengunjungi pantai?”
           “Boleh, kita pilih pantai umum yang bebas lebih nyantai.”
           Selamat tinggal Paris, Prancis.
*
           Taj Mahal, India.
           India, Negara Asia bagian Selatan yang memiliki Taj Mahal dan merupakan penduduk terbanyak ke dua di dunia setelah China. Dari Negara itu sering kali melahirkan Miss Universe. Siapa ya Miss Universe Indonesia pertama…? Dan tahun 2013 ini akan diadakan di Bali, Indonesia.
           “Taj Mahal, katanya tanda cinta seorang pria pada istrinya. Hampir semua tanda cinta di seluruh plosok dunia berasal dari pria, apa memang tidak ada tanda cinta dari seorang wanita untuk prianya?” celoteh Randu saat dia dan Rimba sampai di Agra. “Apa benar bangunan itu dibuat dalam waktu 22 tahun?”
           “Katanya sih memang begitu, dari tahun 1630 sampai 1653, 22 tahun lebih sedikit mungkin. Tapi itu kan untuk istri  ketiganya.”
           “Oh, istri ketiga?” ulang Randu seperti baru mengetahui. “Kamu suka bangunan itu?”
           “Kalau ditanya aku mungkin lebih suka dengan Mahatma Ghandy. Tapi tidak ada salahnya mengambil foto untuk gambar yang termasuk salah satu keajaiban dunia itu.” Sahut Rimba tetap kagum dengan bentuk bangunan.
           Perjalanan tiga jam dari Delhi ke Agra dengan menggunakan bus tidak begitu terasa oleh Randu dan Rimba setelah melihat bangunan indah itu.
           “Kota Delhi tidak jauh berbeda dari Jakarta, pemandangan, lalu lintas juga pola kehidupannya. Tapi di sini kita akan masuk ke Taj Mahal ya, biar lebih berasa sejuknya.” Ajak Rimba dan Randu mengikutinya.
           Untuk masuk ke Taj Mahal Randu dan Rimba harus melewati pemeriksaan keamanan yang super ketat.
           “Kita harus menggunakan kendaraan yang sudah disediakan pihak Taj Mahal.”
           “Yea, ribet amat sih.” Gerutu Randu yang merasa sudah penat. “Tidak usah masuk saja, sudah melihat dari jauh juga sudah cukup. Mendengar ocehan Randu membuat Rimba tersenyum.
           “Beneran tidak mau masuk? Memang sih dari sini kita nanti akan jalan kaki lagi sekitar tiga puluh menit, tapi nggak nyesel sudah sampai sini tidak mau menginjak lantai marmernya Taj Mahal?”
           Mata Randu menoleh ke arah bangunan yang luar biasa itu tapi entah apalagi sebabnya sehingga ia merasa tidak tertarik untuk masuk ke dalam sama. Tempat yang ada di kepalanya saat ini adalah tempat yang pernah dikunjungi oleh kedua orang tuanya. Tidak ada yang menyangkal kalau bangunan mirip masjid itu memang indah tapi Taj Mahal bukanlah masjid karena bukan untuk tempat ibadah, merupakan sebuah monumen yang dibuat untuk mengenang kehidupan masa lampau. Keberadaannya yang bebas dari polusi dan suasana tenang karena jauh dari pemukiman penduduk.
           “Di bagian belakang Taj Mahal ada sungai Yamuna lho, Ran. Katanya sih sungainya indah, tenang dan enak untuk tempat istirahat sambil menikmati pemandangannya.” Kata Rimba saat menunggu Randu masih bimbang, masuk atau tidak.
           Harus Randu akui kalau India masih sangat mempertahankan seni dan budaya mereka yang asli. Dan akhirnya ia pun memutuskan untuk masuk. Sebelum Randu dan Rimba masuk mereka diminta melepaskan alas kaki dan bukan itu saja, mereka pun disuruh mencuci kaki terlebih dahulu seperti orang masuk masjid saja dan saat itu Randu bisa merasakan betapa halus dan lembut serta nyamannya lantai Taj Mahal.
           Berbanding terbalik dengan kota Dehli yang notabene sebagai ibukota India di mana banyak sekali anak-anak jalanan dan pengemis yang mungkin lebih parah dari Indonesia. Anak-anak jalanan itu tidur di pinggir jalan kala malam tiba dengan tubuh yang kurus dan pakaian yang tidak bisa di sebut sangat sederhana.

*
           China
           China, kedua gadis itu Rimba dan Randu mengunjungi negara yang dijuluki The Great Wall. Mereka sudah tiba di menara pertama meski lelah namun saat melihat pemandangan alam yang begitu indah seakan melenyapkan seluruh rasa capek apalagi saat melihat liku-liku anak tembok yang terlihat sangat unik. Sejenak mereka menghelan napas panjang.
           “Dulu menara ini dijadikan tempat istirahat bagi para prajurit sekaligus kubu pertahanan untuk menangkis serangan musuh. Gila ya, untuk mencapai satu menara saja capeknya bukan main.” Hela Rimba dan Randu terlihat menikmati suasana pemandangan.
           “Apa kita akan sampai ke Loteng Wisata itu?” ujar Randu tiba-tiba setelah melihat Loteng Wisata yang termasuk bagian penting di dalam tembok China, lintasan strategi antara celah gunung dan perbatasan gunung. “Sepertinya aku tidak sabar sampai di sana, bangunan gerbang itu terlihat sangat megah dan cemerlang.”
           Rimba menunjuk ke arah Loteng yang Randu maksud.”Itu diujung timur namanya loteng gerbang Shanhaiguan, dijuluki sebagai Loteng gerbang nomor satu China. Sementara Loteng Gerbang Juyongguan Sektor Badaling terletak di sekitar Beijing. Ditempat itu kita dapat menikmati udara segar dengan pegunungan yang indah sambil mencicipi jajanan China di cafe yang telah disediakan.”
          “Dan katanya kita bisa menyewa busana kaisar untuk berfotoria.”
           “Ya, dan uang sewanya sekitar 10 yuan, sekitar sebelas ribu rupiah sekali sewa.” Tambah Rimba. “Mmm tertarik membeli oleh-oleh dari sini?” Rimba melirik Randu yang masih takjub dengan suasana Tembok China.
           “Sebaiknya kita jalan lagi dan nanti kalau ada miniatur golok naga baru kita beli.” Canda Randu membuat Rimba tersenyum.
           “Yailah, yang ada juga miniatur Tembok China kaliiii.”
           Sebelum melanjutkan menaiki tangga Randu dan Rimba tak henti-hentinya mengagumi keindahan termbok tersebut karena terkesan sangat megah, kuat dan letaknya di atas gunung menambah rasa kagum karena setiap lekukan tembok terlihat bagaikan naga besar yang menggeliat menyusuri puncak gunung. Satu kata, wow!
           Bagaimana tidak ‘wow’ membayangkannya saja tidak mungkin membangun tembok sepanjang itu apalagi zaman dulu belum ada alat berat atau alat canggih.
           Randu dan Rimba terus menaiki tangga satu demi satu bersama para wisatawan yang lain, tak peduli beberapa pasangan kekasih melintasi mereka atau turis dari Eropa namun kedua gadis itu tetap terlihat santai. Kalau lelah cukup berhenti sejenak sembari menyimak pemandangan sekeliling. Rimba tidak pernah membayangkan sebelumnya kalau akan jalan-jalan bersama Randu berdua sebab dulu Randu adalah manusia paling cuek dan menyebalkan menurutnya. Tapi sekarang gadis itu menjadi mahluk penyayang dan mengagumkan dan tak segan-segan menarik tangan Rimba kalau Rimba kelelahan di jalan.
           “Randu…” Rimba meraih tangan Randu untuk menggapainya karena tadi ia sudah melepaskan tangan itu untuk melihat pinggiran tembok. “Kalau kita sudah melewati beberapa benteng dan menara maka kita akan mendapatkan sertifikat atau hero card sebagai bukti kalau kita telah berhasil menapaki Tembok China ini walau harus membayar sekitar 15 Yuan tapi kalau hero
card lebih mahal sekitar 40 Yuan.”
           “Oh,” hela Randu lalu melirik ke Rimba sejenak. “Jadi kamu pikir aku menaiki tangga ini untuk mendapatkan itu?” Randu menggelengkan kepalanya dengan pasti. “Tidak. Karena bagiku ini adalah pengalaman yang menarik dan mengasyikan.”
           “Oh, ya? Bagus juga. Karena Tembok China ini sudah menjadi simbol kebanggaan bangsa China dan pada tahun 1987 telah dicantumkan dalam daftar warisan dunia oleh PBB.” Celoteh Rimba yang tak kalah membuat Randu kagum karena gadis itu nyaris tahu semua sejarah setiap tempat yang mereka kunjungi.          
*


           Hong Kong
           Hong Kong, Randu dan Rimba mengunjungi sirkuit Balap Macau. Kesampaian juga keinginan Randu untuk melihat sirkuit besar dan terkenal itu. Terlihat seorang pria berdiri di dekat pintu masuk sirkuit.
           “Ada pria ganteng tuh.” Seru Randu.
           “Ya sih, ganteng tapi tidak mirip Jacky Chan.”
           Randu tertawa halus. “Payah kamu, yang diingat Jacky Chan, sudah ketuaan kali. Dia mendekat ke arah kita tuh.” Kata Randu dan pura-pura tidak memperhatikan pria itu yang semakin dekat menghampiri mereka dan menyapa dalam bahasa Kanton.
          “Fuying hai Macau.” Sapanya dan langsung dijawab oleh Randu yang kebetulan sedikit mengerti bahasa Kanton..
           “Toce.” Balas Randu membuat Rimba terperangah. Pria itu melanjutkan berbicara dengan Randu.
           “Cung em cungi Macau?”
           Mata Randu menoleh sekeliling tempat itu sejenak. “Hai, Macau canhai houleng.” Sahutnya, Randu masih takjub dengan sirkuit dengan panjang lintasan 1.203 meter itu dengan dinding beton dan paga besi.
           Pria itu sepertinya senang dengan kedua turis yang menarik dan mengerti bahasanya. “Joipin dai, lei rancin hai yannei? Ngo keitak lei ko meng, hamai Randu mengseng?”
           “Lei ngam liti bangyau, goi meng hai Rimba Honique.”
           “Oh, hou cungi kinto lei Rimba Honique, heimong leitei cungi hai Macau ngotei hou cungi Macau, Macau hou sailei.”
           “Canhai houleng, liti hai yatko sirkuit coi ho, coi ceng ngo kin.”
           Pria itu mengangguk-ngangguk tanda setuju dan membiarkan Randu dan Rimba melihat-lihat dengan puas. Rimba menyikut lengan Randu karena masih heran dengan kecanggihan bahasa Randu.
           “Gak nyangka ternyata kamu tidak hanya keren dalam hal nyetir.” Sindir Rimba.
           “Memangnya kamu saja yang jago bahasa Prancis dan empat bahasa lainnya.” Balas Randu tak mau kalah. Sedang pria tadi masih sempat mengamati kedua turis cantik asal Indonesia itu. Sepertinya ia menyesal tidak sempat melakukan foto bersama Randu yang ia kenal bernama Randu Bintang seorang pembalap wanita yang namanya sudah dikenal luas. Terpikir olehnya untuk memanggil wartawan tapi tidak jadi karena takut mengganggu acara liburan gadis itu. Tapi ia berjanji dalam hati sebelum kedua gadis itu keluar ia akan menyempatkan untuk foto bersama.
*

------------------------------------------------------------------------------------------------------------
(2)     By: Sahabat saya, Vita Nur Mujianti at Hong Kong

Funying hai macau,
Toce.
Cung em cungi Macau?
Hai, Macau canhai houleng.
Joipin dai, lei rancin hai yannei? ngo keitak lei ko meng, hamai Randu mengseng? lei ngam , liti ngo bangyau, goi meng Hai Rimba Honique.
Oh, ngo hou cungi kinto lei Rimba Honique. heimong leitei cungi hai macau.ngotei hou cungi macau,macau hou sailei, Canhai houleng, liti hai yatko sirkuit coi ho, coi ceng ngo kin.
--
selamat datang di Macau,
Terima kasih.
Anda suka tempat ini?
Ya, tempat yang luar biasa.
Silahkah melihat-lihat, anda pembalap dari indonesia, kan? saya ingat nama anda, Randu Bintang. benar?
Anda benar, dan ini teman saya, namanya Rimba Honique.
Oh, senang bertemu dengan kamu Rimba Honigue, sekali lagi semoga kalian menyukai tempat ini.
Tentu saja, tempat ini luar biasa, ini salah satu sirkuit terbaik dan terkeren yang pernah saya kunjungi.
--
*        
                                                                      
           Korea Selatan,
          Randu dan Rimba mendarat di Bandara Incheon Korea Selatan, dan sebelum keluar dari bandara kedua gadis itu harus menyerahkan sidik jari telunjuk dan foto sebab negara Korea telah menetapkan akan mendaftar sidik jari seluruh wisatawan dewasa sejak tahun 2012 guna untuk memperketat pemeriksaan imigrasi dan mencegah kriminal masuk. Keren! Tapi yang tinggal lebih dari tiga bulan harus menyediakan sidik jari penuh.
           Di depan mereka disambut oleh salah satu warga Korea yang ramah. “Hankuke osin gosel hwanyonghamnida.” Katanya dengan sangat ramah. “Yogi bangmun sarang baramnida. Nanen dangsinel wihe muosel halsu issemnika?”
           Dijawab Randu dengan ramah juga. “Kamsahamnida, wimang. “Uri hankukeso kajangaremdaun jangsurel pyosi hal su issemnika?”
           “Daegu Tower.” Jawab pria itu dengan cepat membuat Randu terperangah hingga langsung menoleh pada Rimba yang berdiri di sampingnya. “Aneh ini orang, kita sudah ada di sini tapi dia malah merekomdasikan ke Daegu Tower.” Ucap Randu  sedang Rimba hanya mengangkat bahu tanda tidak paham karena yang ia tahu Daegu Tower itu adanya di kota Daegu yang lumayan jauh dari tempat mereka saat ini seharurnya pria itu mengatakan Seoul Tower pikir Randu namun demikian ia tidak ingin terlihat aneh di mata orang itu dengan menjawab.
           “Oke, urinen Daegu Tower, kalsu issemnika.” Jawab Randu kemudian dan sepertinya pria itu terlihat baru menyadari jawabanya yang ia beri pada Randu tapi ia tidak meralatnya lagi.
           Pria itu malah bicara lagi. “I sane wichihagoeru Daegu Tower aremdawo.” Katanya dengan nada pasti membuat Randu hanya menganggukkan kepalanya dengan pelan. “Nanen Indonesia yosongel sarangheyo.”
           “Dangsinen alguisso, siriol hankuk Indonesia gyochigel gyongu.?” Kata Randu dan pria itu hanya melongo seakan tidak percaya lalu ia tersenyum seolah  bangga meski masih terlihat tidak percaya. (4)
                                     
*
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
(4)Dialag Korea by : Bagus Saputa.
1  selamat datang di korea.
2  semoga kalian senang berkunjung ke sini.
3 apa yang bisa saya bantu?
4  terima kasih, semoga saja. bisa tunjukan pada kami tempat yang paling indah di korea?
5  Daegu Tower       
6 Oke, kami akan ke Daegu Tower... terima kasih atas rekomendasinya
7  DAEGU TOWER terlihat indah karna terletak di pegunungan.
8   saya suka wanita indonesia.
tahukah anda kalau serial korea sempat merajai indonesia?
==
1  hankuke osin gosel hwanyonghamnida.
2  yogi bangmun sarang baramnida.
3  nanen dangsinel wihe muosel halsu issemnika ?

4  kamsahamnida, wimang. Uri hankukeso kajang aremdaun jangsurel pyosi hal su issemnika ?

5  DAEGU TOWER
6  oke, urinen DAEGU TOWER ,kalsu issemnika…cucon jusyoso, kamsahamnida.
7   i sane wichihagoeru DAEGU TOWER aremdawo.
8  nanen indonesia yosongel sarangheyo
9  dangsinen alguisso, siriol hankuk indonesia gyochigel gyongu?
*
           Setelah pamit dari pria ramah dan sudah memberi info yang menurut Randu agak mengada-ada itu Randu pun mengajak Rimba pergi meninggalkan kawasan itu untuk menuju salah satu tempat yang ia ingin kunjungi selama ini.
           “Gila kamu ya, ternyata jago juga bahasa Korea-nya. Belajar dari mana?” goda Rimba.
           “Yea, memangnya kamu saja yang jago empat bahasa.. sekali-kali bicara bahasa Korea kan tidak ada salahnya.” Sahut Randu merasa tidak begitu istimewa, sebab jujur ia suka sekali dengan serial-serial Korea yang sering ditayangkan lewat televisi swasta sehingga tertarik untuk mempelajari bahasanya dan kali ini ia akan mengajak Rimba mengunjungi tempat-tempat yang pernah dipakai untuk syuting serial favoritnya. “Apa kamu tertarik menjadi salah satu Chaebol di negeri ini?” kata Randu menggoda Rimba lagi.
           “Chaebol? Itu sebutan untuk bos konglomerat di sini, kan?” tebak Rimba sepertinya pernah mendengar kata itu.
           “Tepat sekali.”
           “Mm.. daripada jadi Chaebol mendingan jadi pendampingnya Rain kali meranin serial terbarunya hehehe.” Celetuk Rimba jadi ngaco.
           Randu langsung menoleh pada Rimba yang berjalan di sebelahnya dan seketika menyenggol gadis itu disertai guyonan. “Beeeee tampang kayak kamu mana laku di sini, di tempat ini tidak menerima gadis yang memiliki hidung mancung hahaha.” Akhirnya terdengar tawa renyah di antara ke dua gadis itu.
           Randu mengajak Rimba ke tempat wisata Full House, sebuah rumah yang menjadi ikon serial dengan nama judul yang sama.
           “Kita ke pantai Incheon, ada rumah unik di sana yang sekarang sudah dijadikan salah satu tempat wisata.” Ujar Randu dan Rimba tidak membantah meski sebenarnya ia ingin mengunjungi Seoul Tower tapi ia akan menemani Randu dulu ke sana setelah itu baru ke Seoul Tower. “Aku penasaran dengan rumah itu karena hampir enam puluh persen serialnya diambil di dalam rumah itu.” Tambah Randu.
           “Wah, jadi ikut-ikutan penasaran nih aku.” Kata Rimba meski sedikitpun ia tidak pernah menyimak serial yang membuat Randu jadi bisa berbicara bahasa Korea.
           Beberapa saat kemudian merekapun sampai di tempat yang dimaksud, di mana terlihat sebuha rumah dengan gaya minimalis modern. Saat melihat bangunan indah itu seketika Randu ingat dengan tampangnya Rain yang benar-benar membuatnya kesal, sebab sosok Rain alias Yeong Jae nama perannya telah berhasil menjadi pria jutek, galak dan mengesalkan sehingga membuat Ji Eun yang diperankan oleh Son Hye-Kyo berang bahkan terkadang ingin menelannya bulat-bulat. Randu jadi tersenyum sendiri.
           “Masuk yuk.” Kata Randu akhirnya pada Rimba seakan ingin merasakan atmosfir lebih dalam lagi di rumah itu. “Rumah itu tempat syuting serial keren, sederhana dan ceritanya menarik.”
           “Oke.” Sahut Rimba yang juga sempat terpana melihat bangunan indah itu. Satu dua orang bahkan beberapa pasangan terlihat asyik berbincang-bincang dan pastinya membicarakan serial tersebut karena mereka tidak lepas menyimak setiap detil bangunan. Tapi sebelum melanjutkan melangkah Randu bicara seolah memahami apa yang Rimba pikirkan.
           “Habis dari sini kita ke sungai Cheonggyecheon setelah itu baru kita ke Seoul Tower kemudian ke kota Daegu ya, ada sirkuit Hermann Tilke di Yeongnam.” Kata Randu dengan nada tidak memaksa sedikitpun dan Rimba malah menggandeng kencang tangan Randu, meski ia menempatkan Randu sebagai adiknya tapi kalau sedang berjalan ia merasa Randu adalah pelindungnya.
           “Tidak masalah, negara ini adalah tempat lahirnya olahraga Taekwondo, kan? Aku jadi ingat kata Bi Ijah bahwa kamu pernah menjuarai Taekwondo se-DKI tingkat SMP.” Ujar Rimba dengan nada kagum.
           “Masa sih? Memang Bi Ijah pernah bilang seperti itu?” suara Randu penuh canda karena tidak ingin membahas hal seperti itu dan sama sekali tidak mau dibanggakan oleh Rimba. Mereka sudah tiba di dalam rumah ‘Full House’ Randu menghela napas panjang seakan telah masuk ke dalam serial itu. Di ruang tengah terlihat luas dan sebuah tangga menuju lantai atas, terlintas
dibenak Randu di mana si Yeong Jae sengaja membiarkan rumah itu berantakan lalu marah-marah tidak keruan kepada Ji Eun dengan alasan mengatakan Ji Eun jorok. Lagi-lagi Randu tersenyum tipis sedang Rimba hanya bisa mengagumi suasana rumah itu tanpa tahu apa yang pernah terjadi di dalamnya.
           “Apa yang terjadi dengan rumah ini?” akhirnya Rimba pun bertanya.
           “Rumah ini milik kedua orang tua Ji Eun lalu tanpa sepengetahunnya rumah ini dijual oleh sahabatnya sendiri kepada seorang aktor dan model kenamaan bernama Yeong Jae, tapi Ji Eun tidak rela rumahnya dijual sehingga ia rela menjadi pembantu di rumahnya sendiri dan tinggal bersama aktor itu, dari situlah konplik muncul. Si Ji Eun bekerja sebagai penulis novel di mana harus hidup tenang untuk membuat tulisan sedang si Yeong Jae punya karakter cerewet setengah mati.” Jelas Randu sekilas.
           Yang namanya cerita tidak akan sama persis dengan melihat langsung kisahnya tapi bagi Rimba tidak masalah karena Randu bisa menjadi pemandu yang cukup lumayan.
           Untuk tempat yang mereka kunjungi selanjutnya adalah sebuah sungai yang ada di tengah kota. Anda mungkin berpikir kalau sungai itu seperti sungai Ciliwung di Jakarta. Tidak, sungai Chenggyecheon yang ada di tengah kepadatan kota ini jauh sekali dari yang namanya kotor. Dulu memang tidak bisa dibilang bersih tapi sekarang sudah menjadi salah satu tempat wisatawan yang menakjubkan. Tempat bersantai dan melepaskan rasa penat. Di sepanjang pinggiran sungai disemen sehingga menjadi tempat yang tenang untuk berjalan kaki melihat-lihat keindahan sungai sedang salah satu pinggiran lainnya terlihat tanaman yang memenuhi sepanjang sisi sungai. Di malam hari bisa melihat candlelight yang menarik sekali. Tapi Randu dan Rimba tidak perlu menghabiskan waktunya hingga malam hari karena dari sana mereka akan ke Seoul Tower.
           Seoul Tower atau Menara Seoul yang ada di Gunung Namsan, hemm hemm saatnya Rimba menjelajahi bangunan yang dibuat tahun 1969 dan dibuka untuk umum pada tahun 1980 itu.
           Randu dan Rimba naik subway line 4 lalu turun di Myeong-dong station exit 3. Lalu mereka berjalan sampai hotel Pasific terus naik cable car.
          “Coba kalau kita naik subway line 3, turun di Dongguk University exit 6, terus kita naik bus deh.” Kata Rimba.
           “Inilah ikon kota Seoul.. tapi kalau kita menaikinya waktu malam hari pemandangannya pasti lebih menarik.” Ujar Rimba setelah mereka sampai di Seoul Tower. Kali ini ia yang menjelaskan situasi tempat yang mereka kunjungi. “Aku tidak sabar melihat ribuan gembok cinta yang terbentuk seperti pohon cemara.” Lanjut Rimba.
           “Ngapain juga sih, itu kan khsusus untuk orang-orang yang datang berpasangan.” Celetuk Randu semacam protes.
           “Biarin saja kan lucu.”
           “Aduh… kalau buat aku hal semacam itu sudah tidak lucu lagi. Yah kalau untuk sekedar melihat karena penasaran sih boleh-boleh saja.” Randu coba memaklumi tapi kembali ia berdalih. “Kalau kamu ke sini sama Arif boleh tuh ke tempat gembok, menulis nama kalian di sana lalu
pasang gemboknya, sebagai perlambang bahwa kalian tidak akan lagi dipisahkan.. hehehe romantis juga tuh kayaknya.” Suara Randu terdengar menggoda Rimba dan langsung membuat Rimba jadi teringat dengan pria yang ia cintai selama ini. Perkara ada kesan romantis atau tidaknya tapi bagi Rimba sendiri menaiki Seoul Tower merupakan hal yang menyenangkan bisa melihat indahnya kota Korea dari atas itu seperti melihat kota Jakarta dari atas Tugu Monas meski berbeda jauh dalam hal penataan kota. Dan paling berbeda adalah adanya ratusan bahkan ribuan gembok cinta yang diikat sehingga membentuk pohon cemara menimbulkan kesan romantis, itulah seni.
          Setelah merasa puas, akhirnya mereka memesan tiket ke kota Daegu dengan harga satu tiket sekitar Rp. 2.576.134 lebih. Randu merasa tertarik mengunjungi kota Daegu karena pada tahun 2010 di sirkuit Hermann Tilke pernah diadakan balapan mobil F1 di Yeongnam untuk pertama kalinya.
           Di dalam pesawat Rimba melirik Randu yang sedang memegang sebuah majalah tentang sirkut Hermann Tilke. “Boleh lihat?” kata Rimba. Randu melirik Rimba lalu.
           “Ini.” Katanya tanpa merasa keberatan sama sekali. Rimba mengambil majalah itu dari tangan Randu yang sudah menjulur ke arahnya.
           “Kapan kamu beli majalah ini?” lanjutnya karena tidak melihat kapan Randu membeli majalah berbahasa Inggris itu.
           “Majalah itu sudah ada di dalam ranselku, aku bawa dari Jakarta.” Sahut Randu kala Rimba menyimak majalah yang tergolong tipis itu.
           “Hmm menarik juga, meski aneh karena rancangannya berlawanan dengan arah jarum jam.”
           “Kamu kok mengamati arah lintasannya? Memangnya ngerti?” kata Randu asal tebak.
           “Tidak juga sih, memangnya pengaruh ya kalau mengendarai mobil dengan trek seperti ini?”
           “Tidak juga.” Jawab Randu sambil ikut mengamati majalah yang sudah ia baca itu. “Mungkin sensasinya saja yang berbeda memberi tantangan lebih.”
           “Oh, begitu. Keren juga sirkuit ini, panjangnya saja mencapai 5.45 km dan menggabungkan 18 sudut dalam semua. Dimulai dengan lurus 1.2km.” Rimba membaca majalah itu sembari mengganggukkan kepalanya dengan pelan seolah ia memahami maksud dari tulisan itu. Sedang Randu sudah menyandarkan kepalanya di jok karena beberapa detik lagi mereka akan tiba di kota Daegu. Dan tidak perlu mengunjungi Daegu Tower lagi.
           Bagi seorang pembalap seperti Randu mengunjungi tempat balapan atau sirkuit merupakan sensasi yang tidak bisa ia jelaskan dengan kata-kata. Yang ada ia hanya takjub menatap ke semua yang bisa tertangkap dengan matanya dan pikirannya mulai berkelana seolah sedang menaklukkan arena itu dengan mobil kesayangannya. Itulah Randu.
*


Jepang,
           “Tokyo, Randu…. Di sinilah Kaisar Jepang tinggal, kota ini juga merupakan pusat bisnis dan finansial utama untuk Asia Timur. Tapi anehnya di sini sedikit sekali gedung pencakar langit jika dibandingkan dengan kota-kota lain, sebab Tokyo rawan sekali dengan gempa bumi, coba kamu lihat sekeliling kita, kebanyakan hanya apartemen yang tingginya sekitar sebelas lantai dan rumah-rumah juga tidak ada yang besar tapi di sini sistem transportasi massalnya merupakan paling kompleks di dunia.” Urai Rimba saat mereka turun dari bus yang membawa mereka setelah mendarat di Tokyo.
           “Aku tidak butuh semua penjelasan itu, sekarang aku ingin menikmati sushi.” Sahut Randu yang sudah kelaparan sejak dari tempat penginapan.
           “Baiklah, kamu bisa menikmati sushi sepuasmu di sini tapi jangan bawa aku menikmati ikan mentah ya.” Kata Rimba sebab ia pernah melihat temannya menikmati ikan segar yang disiram dengan cuka lalu dikasih kecap Jepang. Menurut teman Jepangnya itu rasanya sangat nikmat setelah itu dua hari Rimba tidak mampu menelan nasi.
           Rimba mengajak Randu ke restoran sushi yang pengunjungnya lumanyan ramai dan cara memesan makanan pun harus melalui layar sentuh yang disediakan pihak restoran. Di dekat bar kecil tersedia beberapa layar sejenis LCD dengan gambar menu sushi dan makanan lainnya, untuk pemesanan tinggal pencet menu yang tertera dilayar dan setelah itu dalam hitungan detik saja pesanan pun akan muncul.
           Randu dan Rimba telah duduk di tempat mereka, Randu menatap sushi di atas mejanya sebungkus suhsi yang terbungkus dengan daun bambu yang berbentuk segi empat dan setelah dibuka terlihatlah nasi dengan bentuk segi empat juga lalu diatasnya ada irisan ikan segar dengan pemanis dua lembar sayuran kecil di salah satu ujungnya. Saat menatap makanan itu dalam hati ia bertanya sendiri. ‘Mengapa makanan ini begitu terkenal hingga ke dunia Eropa sana?’
           “Hei… ada apa denganmu? Mengapa kamu mengamati sushi seolah itu makanan paling aneh di dunia? Itu namanya Sasazushi salah satu tipe Oshizushi(5), tidak semua sushi dibungkus daun bambu, banyak juga memakai daun pisang apakah masih terlihat aneh?”
           Randu mengangkat wajahnya untuk menatap Rimba. “Kamu memang benar, di negara kita ada rendang yang mendunia tapi ini.” Kembali ia melirik piring sushi-nya sejenak. “Kenapa makanan seperti ini bisa sangat mendunia padahal isinya hanya nasi dan daging ikan mentah.. apakah itu tidak aneh?” kata Randu tidak bermaksud sedikitpun mengklaim kalau sushi itu makanan sepele.
           Rimba tersenyum tipis lalu matanya menoleh ke sekitar pengunjung yang kebanyakan orang China dan tidak sedikit turis asing lalu ke piring makanan miliknya. Untung dia tidak memesan sushi Chirashizushi dengan bahan mentah semua seperti ikan ditambah udang dan hanya sedikit nasi, ia sudah kapok memesan makanan itu yang pernah ia lakukan di restoran Jepang yang ada di Amerika. Kali ini ia memesan jenis makanan yang tidak ada hubungannya dengan sushi.
           Sebelum mencicipi hidangan Randu mengamati pekerja-pekerja di restoran itu kebanyakan para pria. Ia lalu menoleh pada Rimba. “Kenapa pekerja di barnya nyaris semua pria?”
          “Di Jepang, ahli sushi wanita umumnya tidak disukai pengunjung restoran sushi. Selain itu, pertimbangan higienis yang tidak jelas asal-usulnya menjadikan ahli sushi tetap merupakan didominasi pria. Walaupun demikian, wanita ahli sushi mulai banyak dipekerjakan. Mereka dilarang keras menggunakan kosmetik yang mengandung parfum atau mengecat kuku.”(6)
          “Oh, masuk akal karena untuk membuat sushi lebih banyak menggunakan tangan untuk mengepal nasi sampai padat.” Tutur Randu setelah melihat bentuk sushi yang ada di hadapannya.
           “Oke, tunggu apalagi? Dari tadi kamu hanya mengomentari makanan ini, saatnya menikmati.” Ujar Rimba.
           Randu mulai coba mencicipi dari nasi terlebih dahulu dan beberapa saat kemudian ia berkomtar lagi. “Nasinya berasa asam namun beras Jepang ini rasanya sangat lembut di lidah, ada sedikit rasa manis sekaligus asin sedikit.”
            “Terasa asam karena berasnya dicampur dengan cuka beras, garam dan sedikit gula.” Beritahu Rimba. Ia mengamati Randu menikmati makanan yang baru pertama kali ia makan itu. “Kamu suka?” tanyanya kemudian.
           “Mmm.. masih terasa aneh di lidahku… dan…” sejujurnya Randu tidak begitu suka makanan itu atau karena belum merasa familiar saja.
           “Segala yang pertama memang agak aneh rasanya.” Ujar Rimba seraya tersenyum. 
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
(5)Oshizushi adalah : Nasi disusun bersama neta yang dipres untuk sementara waktu dengan maksud memadatkan nasi agar sushi yang dihasilkan berbentuk persegi panjang yang lalu dipotong-potong agar mudah dinikmati. Oshizushi ada juga yang dibungkus daun bambu lalu dipres untuk sementara waktu, antara beberapa jam sampai satu malam.

(6) sumber : Wikipedia.

*
           Randu dan Rimba sudah keluar dari restoran yang lumayan ramai itu namun sepertinya Randu masih saja penasaran dengan makanan khas Jepang yang telah ia nikmati, sambil jalan ia masih membicarakannya.
           “Kenapa tadi aku tidak pesan neta alias lauk-nya daging atau ikan yang sudah dimasak saja ya?” masih terbayang di benaknya dengan nasi dipres dan irisan tipis ikan mentah di atasnya.
           “Masih ada banyak waktu untuk kembali menikmatinya.” Hela Rimba. “Sushi, seperti nama orang kalau di negara kita ya tapi di sini sebenarnya nama itu berasal dari kata sifat untuk rasa masam tapi secara harfiah sushi itu berarti berasa atau masam.”
           “Sudahlah, kita akhiri saja mengenai sushi sekarang kita melanjutkan jalan-jalan.” Kata Randu setelah mereka melewati trotoar yang bersih dan indah lalu mereka disapa oleh pria Jepang yang usianya sekitar lima puluhan.
           “Mmm.. Tokyo ga suki desu ka?” sapa pria itu seolah ia bicara kepada keluarga yang datang dari jauh.
           Rimba melirik ke Randu sejenak dan tanpa menunggu Randu mengeluarkan suara ia sudah menjawab pertanyaan pria ramah itu. “Hai, suki desu.” Sahut Rimba dengan sopan seakan mengimbangi pria separuh baya yang sedang berjalan dengan gadis kecil yang mungkin cucunya dan sengaja berhenti untuk menyapa Randu dan Rimba. Sedang gadis kecil sekitar usia empat tahun itu sedang asyik memainkan tangan pria itu dalam genggamannya dan tidak peduli dengan satu dua orang yang lalu lalang di sekitarnya termasuk kepada Rimba dan Randu.
           Penduduk Tokyo memang didominan oleh usia pekerja sekitar tujuh puluh persen sedang anak-anak dan usia lanjut adalah sisanya.
           “Tokyo wa hajimete desu ka?” tanya pria itu lagi.
           “Hai, hajimete desu.” Lagi-lagi Rimba menjawab dengan tenang dan ada rasa senang menjumpai pria itu. Entah mengapa ia seolah pernah berjumpa dengan pria itu sebelumnya sedang Randu masih terpaku dengan pembicaraan mereka.
           “Suki na tabemono wa nan desu ka?”
           “Sushi desu.” Sahut Rimba singkat sebab baru saja mereka menikmati makanan khas Jepang itu dan sejenak Rimba menoleh ke arah restoran yang telah mereka masuki bersama Randu.
           Sekilas pria itu tersenyum. “Oh, Kanko wa doko ni ikitai desu ka?”
           “Atode kanggaemasu.” Kali ini jawaban Rimba masih mengambang.
           “Ja....yukkuri tanoshin de kudasai.....watashi mo itsu ka Indonesia ni ikitai desu....itsu ka anato mo.” Pria itu mengusap kepala gadis kecil itu sejenak yang dari tadi berpandangan dengan Randu yang sempat mengukir senyum untuknya.
          Rimba tersenyum dan mengangguk kecil seolah mendoakan pria itu dengan gadis kecil tersebut. “Indonesia ni yukemasu yo.” Katanya kemudian dan pria itu mengangguk-anggukan kepalanya sembari tersenyum bijaksana kemudian mengajak gadis kecil yang sudah mulai bosan dengan ombrolan mereka. Rimba dan Randu pun meneruskan perjalanan lalu terdengar helaan napas panjang dari Rimba.
           “Kenapa? Memangnya apa saja yang kalian bicarakan? sebenarnya aku bosan mungkin sama dengan gadis kecil tadi.” Protes Randu. “Tapi enak juga melihat kamu cas cis cus dengan pria paruh baya itu.” Tambahnya.
           “Tidak begitu penting, dia hanya menanyakan apakah ini kunjungan pertama kita di sini dan makanan apa saja yang kalian sukai.” Rimba hanya menjelaskan intinya saja.
           “Kamu pasti mengatakan kamu tidak suka sushi, begitu? Kalau kamu bilang menyukai sushi ada beberapa saksi yang di restoran itu melihat kamu tidak memesan sushi.” Randu tertawa diikuti suara tawa Rimba yang agak keras dan mengandung kepuasan tersendiri membuat Randu menyikut pelan sikunya. Cuaca Tokyo di musim semi membuat Randu dan Rimba merasa sangat menikmati liburan mereka meski scarf tetap terpasang dengan baik di leher Rimba serta jaket tebal menutup tubuh Randu.(7)
*
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
(7) by : Linda Amatiu Harada
Tokyo ga suki desu ka?
Hai, suki desu.

Tokyo wa hajimete desu ka?
Hai, hajimete desu

Suki na tabemono wa nan desu ka?
Sushi desu

Oh, Kanko wa doko ni ikitai desu ka?
Atode kanggaemasu...

Ja....yukkuri tanoshin de kudasai.....watashi mo itsu ka Indonesia ni ikitai desu....itsu ka anato mo indonesia ni yukemasu yo.
-----
apa kalian menyukai tokyo? .........
ya, kami suka tokyo.

apakah ini pertama kalinya kalian ke tokyo?
hmmmm betul, ini pertama kalinya kami mengunjungi tokyo.

makanan apa saja yang kalian sukai?
sushi.

Oh, kalian sekarang mau jalan-jalan kemana lagi?
yeaaa... kita lihat saja nanti.

oke kalau begitu, selamat menikmati tokyo... dan saya juga tertarik ingin datang ke indonesia.
semoga lekas terlaksana. terima kasih.
-----

*
           Di Jepang Randu dan Rimba menjadi berdebat karena Randu ingin mengajak Rimba ke Athena… dan sama sekali Rimba tidak mengerti mengapa gadis itu ingin membawanya ke sana.
           “Kamu ini aneh Randu, sungguh aneh.” Kata Rimba mulai emosi. “Jika kamu bermaksud mengunjungi Itali kenapa tidak dari awal sebelum kita datang ke Asia. Tadinya aku pikir kita akan kembali ke Indonesia, setelah itu aku kembali ke Amerika.” Rimba coba menahan emosinya sedang Randu hanya menghela napas panjang dan menatap Rimba karena ia susah menjelaskannya.
           “Kamu sudah lelah ya?” suara Randu lembut seakan tidak bisa memaksa Rimba untuk ikut bersamanya ke Itali.
           “Bukan itu permasalahannya, kalau kita ke sana maka kamunya jadi mondar-mandir dan akan kembali pulang sendiri.”
           “Meski ini permintaan terpentingku dalam rangka jalan-jalan ini?”
           “Apa sih maksud kamu? Jalan-jalan yang telah kita lalui sudah tidak aku anggap sebagai permintaan kamu sebelum menikah tapi aku memang menikmatinya dan senang menemani kamu, tapi ini permasalahannya kenapa kamu tidak bicara dari awal dengan begitu kita bisa ke Itali dulu baru ke India hingga ke Jepang ini.” Jelas Rimba.
           “Yah, anggap saja aku keliru dalam hal yang satu itu.. dan sekali lagi aku memohon agar kamu mau ikut aku ke sana.” Sahut Randu dengan nada pelan sehingga Rimba merasa lagi-lagi tidak bisa menolaknya meski ia rasa agak ribet bolak-balik, dari Eropa ke Asia lalu balik lagi ke Eropa.
           “Baiklah, apapun alasan kamu dan aku harap ada hal yang teramat penting di sana, aku tidak ingin mengecewakanmu.” Kata Rimba akhirnya. Ia tidak akan membuat Randu kecewa karena tidak berhasil mengunjungi satu tempat setelah menemaninya keberbagai tempat lain, siapa tahu Itali-lah tempat yang menjadi puncak perjalanan mereka.
           “Benar, mau?” tanya Randu lagi seolah tidak percaya. Rimba mengangguk disertai senyum tipis.
           “Kamu senang?” hela Rimba dan dengan pelan namun pasti Randu pun mengangguk. Dan akhirnya kedua sahabat itu berpelukan tanda kalau mereka telah sama-sama setuju.
*
Itali
           Dan kini, mereka ada di negara paling romantis di dunia, yaitu Athena, Roma-Itali. Negara legenda yang banyak memiliki Mitos dan Menara miringnya yang menakjubkan. Zaman Pangeran Paris ada putri Helen yang begitu cantik, kuat dan sangat menarik serta menjadi perebutan pria pada abad itu sehingga menimbulkan perang Troya. Negara itu dinobatkan sebagai negara paling romantis karena mereka selalu menjaga bangunan kuno dalam bentuk aslinya. Negara ini dikenal pula dengan pahlawan perang dengan ilmu pedangnya serta para Gladiatornya serta tak ketinggalan serial laga televisi fenomenalnya yaitu kisah seorang prajurit wanita yang ingin menebus kesalahannya yaitu Xena Warrior Princess.
           “Apakah kita akan mengunjungin Craco? Kota mati yang ada di daerah Basilictaa?” ujar Rimba.
           “Ngapain jauh-jauh datang hanya untuk mengunjungi kota mati.” Protes Randu. Sebelum siang Randu mengajak Rimba datang ke komplek Menara Pisa. Sepanjang perjalanan mendekati Menara Pisa melewati kios-kios yang banyak menjual tanda mata tak satupun yang mereka ambil untuk oleh-oleh. Kala bangunan miring itu terlihat seaakan mengatakan inilah kota Pisa yang merupakan salah satu keajaiban dunia vesri Unesco. Menara Pisa adalah trademartnya Italia.
           “Mana yang lebih indah? Menara Eiffel? Tembok China? Borobudur atau Tugu Monas? Atau patung Liberty?” ujar Rimba saat mata mereka menatap Menara Miring.
           “Sejatinya sesuatu yang terlihak klasik itu akan lebih mengagumkan seperti Tembok China, candi Borobudur juga Menara ini.” Sahut Randu. Merekapun mengambil gambar seperlunya.
          “Mau naik ke atas?” kata Rimba dan sebelum Randu menjawab Rimba meneruskan. “Kamu
Tahu tidak berapa tahun atau mungkin berapa abad pembangunan Menara itu? Menara ini dibangun dalam waktu yang sangat lama tapi setelah mengetahui terjadinya kemiringan maka pembangunanpun dihentikan. Aneh ya, mengapa bisa miring? Apa karena tanahnya atau ada hal lain semisal arsikteknya yang lupa.. hehehe, tapi Menara ini tetap dipertahankan sehingga diteruskan oleh generasi berikutnya. Sehingga kalau dihitung-hitung Menara ini dimulai dari tahun 1173 selesai 1399 lebih dari dua abad, keren. Kalau mau naik kita akan beli tiket. Menaranya berjumlah 8 lantai, aku pernah sekali naik ke atas sana. Ada lonceng tiap lantai yang membentuk tangga nada.” Kata Rimba seperti seorang guide profesional saja. Ia mengunjungi tempat itu juga waktu itu bersama para model yang lain dan tidak sempat ke mana-mana karena jadwal mereka yang padat.
           “Kamu pernah ke sini tapi kok tidak pernah cerita sama aku, biasanya apapun yang kamu lakukan selalu kamu cerita melalu surat, kapok ya karena aku tidak pernah membalas surat atau pesan singkatmu? Aku tidak tertarik naik ke atas sana.” Bukan itu sebenarnya yang ingin dikunjungi oleh Randu tapi kota Florence.
           Kota Florence yang berjarak sejam perjalanan dari kota Pisa memang kota seni sejati, indah dan seolah sepanjang jalannya seperti melihat isi museum saja karena di mana-mana terlihat ukiran-ukiran yang menakjubkan.
           “Kita akan ke Piazzale.” Guman Randu dengan suara pelan seakan teringat dengan kedua orang tuanya yang telah tiada. Rimba yang kebetulan belum mengunjungi tempat itu jadi ikut antusias.
           Tiba di sebuah tempat makan yang sangat nyaman di Piazzale, Randu yang sudah mempelajari beberapa hal tentang kota Florence yang membuat kedua orang tuanya mengunjungi tempat itu tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Di kafe yang tidak terlalu ramai karena sangat mahal serta pas sekali untuk menikmati sungai Arno yang mengalir di tengah kota Florence, semua itu bisa terlihat dengan sangat jelas dari Piazzale Michelangelo. Florence memang panoramik sekali beberapa bangunannya menjadi landmark kota Florence meski tidak ada bangunan yang menjadi pencakar langit.
           Terlihat sebuah Gereja Santa Maria del Fiore alias Duomo alias Katedral Florence, Gereja terbesat ketiga di dunia setelah Gereja Vatikan dan Gereja di London. Duomo adalah kebanggaan orang Florence.
           Randu dan Rimba menginap di hotel Novote Firenze Nord karena letaknya tidak terlalu jauh dari Airport.
           “Aku ingin menikmati pizza panas.” Ujar Randu sebelum mereka menikmati suasana kota Florence dari ketinggian Piazzale Michelangelo.
           “Kamu bisa makan pizza sepuas hati kamu.” Sahut Rimba setelah mereka mengambil tempat duduk yang tidak begitu jauh dari balkon café.          
           “Juga keju Parmigiano.” Lanjut Randu kemudian.
           Rimba mengangguk. “Tidak tertarik ke Milano? Itu adalah ibukota busana sejati dunia, bahkan mengungguli ibukota lainnya di dunia seperti New York, Paris, London dan Tokyo. Merek-
merek busana utama Itali seperti Gucci, Prada, Versace, Valentino, Armani, Dolce dan Gabbana, Missoni, Fendi, Moschino, Max Mara dan Ferragamo, dianggap sebagai sebagai rumah busana terasli di dunia. Juga majalah busana Vogue Italia dipandang sebagai majalah busana terpenting dan paling bergengsi di dunia. Hmmm Negara ini juga terkemuka di bidang desain.” Urai Rimba dengan senyum merekah seolah mengagumi para para desainer hebat itu.
           “Kamu sepertinya salah mengambil tempat sekolah, kenapa mengambil kota Paris kalau Itali lebih hebat?” goda Randu kemudian dan Rimba hanya tersenyum seolah tidak pernah menyesali apapun.
           Rimba malah mengalihkan pembicaraan. “Seharusnya kita mengambil tempat di Park Hotel Ripaverde. Hotel itu dekat sekali dengan sirkuit Mugello.”
           “Kunjungan kita ke sini tidak ada sangkut-pautnya sama sekali dengan balapan.” Randu melirik pizza panas yang baru saja dihidangkan di atas meja mereka yang dipesan beberapa menit yang lalu. “Ayolah, aku sudah tidak sabar ingin makan pizza ini.”
           Menikmati makanan di tempat aslinya memang berbeda, seperti menikmati pempek di Palembang akan berbeda rasanya kalau makan di Jakarta meski ada embel kata-kata asli buatan Palembang.
           “Nama Florence diambil dari nama seorang gadis yang berprofesi sebagai perawat, pemberani juga benar-benar melayani tanpa pamrih meski ia berasal dari keluarga kaya pemilik tuan tanah tapi ia rela meninggalkan semua itu demi panggilan tugasnya yang berkaitan dengan kemanusian., meski sempat ditentang keluarga namun gadis bernama Florence Nightingale tetap menjalankan tugasnya. Ia lahir di Firenze, Italia pada tanggal 12 mei 1820.” Kata Rimba disela-sela makan mereka.
           “Kamu itu sebaiknya menjadi seorang guru sejarah saja, sepertinya lebih pas.” Gerutu Randu yang sebenarnya agak iri mendengar setiap pengetahuan Rimba yang segudang. Ditanggapi Rimba dengan senyuman.
           Hari sudah mulai senja dan Randu dan Rimba masih asyik di atas balkon café dan kali ini mereka berdiri di bagian luar untuk menikmati kota Florence lebih leluasa. Kota yang tenang dengan warna agak kecoklatan sehingga terkesan kota klasik. Semua bangunan nyaris sama bentuknya, tidak ada yang terlihat rumah kaca atau yang bersifat menyilaukan mata serta sungai Arno terlihat mengalir dengan sangat tenang.
           Randu menatap Rimba. “Rim…. saat mengunjungi makam Papa tiba-tiba aku merasa merindukan suasana lain, seakan berada di tempat bersalju bersama kak Waru, Mama dan Papa.” Randu tertawa kecil. ”Setelah melihat berbagai negara aku merasa tidak ingin tinggal di satu tempatpun di antaranya. Sekarang aku baru bisa merasa tenang.” Ia masih menatap Rimba. ”Sebelum kecelakaan, Papa pernah mengatakan satu keinginan, sebuah impian. Dia mengatakannya saat memeluk aku.” Rimba juga menatap Randu. ”Dia bilang, pasti akan mengajak kita ke tempat ini. Itu impian terakhirnya.” Ujar Randu dengan nada sedih.
           Rimba memegang tangan Randu. “Untuk mewujudkan impian Papa, kamu meminta aku bersumpah menemanimu sampai ke sini? Terus-terang Randu, Aku merasa malu pada diri sendiri.”
           Randu beralih menatap ke hamparan indah yang ada di hadapan mereka. “Terima kasih karena telah mewujudkan impian Papa.” Tambahnya dengan mata mengamati pemandangan indah yang mulai diselimuti senja dengan langit warna kuning emas. Ia menarik napas panjang dan merasa lega karena seakan melihat senyum keluarganya di atas sana bersama awan yang ikut menguning oleh bias cahaya matahari senja. Rimba merasa suasana menjadi sendu karena melihat wajah Randu yang berbeda jauh pada saat mengunjunig tempat-tempat sebelumnya.
           “Kamu yang mewujudkannya. Aku tahu, buat kamu Papa adalah segala-galanya, makanya kamu bisa melakukan apa saja untuknya. Termasuk ke tempat ini.” Hela Rimba.
           “Seharusnya aku sadar dari awal sinyal dari Papa.” Kembali ia menatap Rimba. Dulu saat Papa dan Mama bersama mereka sangat bahagia. Mereka jalan-jalan ke sini setelah menikah, foto-foto mereka adalah saksi dari kebahagiaan itu. Mereka mungkin berencana kembali ke sini bersama anak-anak mereka..” Suara Randu tertahan.
           “Maafkan aku Randu, aku memang orang yang tak tahu diri, saat bertemu Papamu, mengubah segalanya. Saat memeluknya setelah dia minta aku memanggil Papa, dalam hati aku berkata…   beginikah rasanya dipeluk oleh seorang Ayah?”
           Randu diam. Lalu…“Aku tahu.” Kata Randu kemudian. ”Semuanya sudah berlalu… mungkin ini hikmah dari semuanya. Begini… kamu tahu profesiku, kan? Aku ingin menikah tapi aku juga ingin berlaga di dunia internasional. Sementara aku sendiri merasa tidak yakin bisa mewujudkan dua-duanya. Jadi aku ingin mendengar pendapatmu.” Keduanya saling tatap sesaat. Rimba diam, suasana menjadi lengang. ”Kamu adalah satu-satunya keluarga terdekatku saat ini, yang bisa memberi saran terbaik buat aku.”
           Rimba menghela napas berat. Belum pernah ia mendengar ada orang meminta pendapat seserius itu kepadanya.
           “Randu, ini menyangkut masa depanmu, bagaimana aku bisa berkomentar? Aku tidak berani berkata apapun.”
           “Setidaknya kamu bisa kasih pandangan. Kalau aku terjun ke dunia Internasional otomatis jarang di rumah karena latihan yang lebih keras, baik di negeri kita atau pun di luar. Waktu aku tanya Dio, katanya semua keputusan ada di tangan aku. Sementara aku sendiri tidak memiliki keputusan yang pasti.”
           “Kamu pasti memilikinya, aku percaya itu.” Tegas Rimba.
           “Entahlah….?” Randu menatap bintang yang mulai muncul di langit. ”Kamu pasti sudah pernah melihat bulan purnama kan, Rim…? Semua orang mendambakannya dan mengaguminya, karena cahayanya yang begitu indah, tapi apakah kamu pernah tahu, kalau bintang juga pernah mengalami purnama…??” Rimba ikut memandang bintang. ”Dengan jumlahnya yang milyaran itu, bisa kamu bayangkan seandainya semuanya sedang purnama…”
           “Pasti sangat menakjubkan…” Kata Rimba. ”Itulah dirimu saat ini. Aku bangga pernah mengenalimu dan yakin kalau kau bisa lebih dari saat ini, terkadang kita lebih bahagia menjadi juara dua…”
           Randu coba memahami ucapan Rimba. Kembali ia memandang bintang yang sedang berkelip indah namun hati Randu sedikit gundah. Rimba memegang bahunya.
           “Apapun keputusanmu, pasti itulah yang terbaik buat semua. Aku hanya bisa mendukung apapun yang terjadi dan tetap sayang sama kamu”
           Randu menatap Rimba lalu tersenyum. “Kenapa tidak delapan tahun lalu kamu berkata seperti itu? Apa aku tidak pernah memberimu kesempatan?”
           Rimba memeluk pundak Randu. “Aku tidak ingin lagi kau mengingat kejadian yang lalu, bagaimana pun juga kamu sudah menjadi pembalap Internasional. Aku bangga sekali, dan terima kasih karena telah memberi aku kesempatan untuk berjuang 50% itu.”
           “Iya, dengan membiarkan dan melepaskan aku sendiri berjalan tanpa tujuan, kau hanya berdoa dari jauh tanpa sedikit pun menoleh ke arahku. Membiarkan aku menderita dengan alasan konyolmu itu. Tapi pada dasarnya kamu sedang menyakinkan dirimu sendiri bahwa kamu mampu. Sekarang aku baru tahu maksud dari kata-katamu itu. ’Kadang-kadang aku ingin menyerah, tapi tidak setelah ingat kamu’ aku tidak tahu dari mana kamu dapat ide seperti itu.”
           Rimba menatap Randu. ”Mulai detik ini aku bersumpah untuk selalu mendukung kamu.”
           “Itu harus, karena aku tidak akan bisa bertahan tanpa dukungan seorang sahabat seperti kamu.” Ujar Randu dengan nada pasti.
           Kita akan mendapat dukungan dari keluarga tercinta dan bila kita juga mendapat dukungan tulus dari seorang sahabat maka itu bonus, karena sahabat sejati akan merubah segalanya lebih baik.
           Ponsel Randu berdering. Om Bob menghubunginya.
           “Sayang… kamu di mana? Galid dan Gesiaa mencari kamu. Mereka bilang tahun depan akan mengikut sertakan kamu di sirkuit Valencia Spanyol.. juga ke sirkuit Mugello Italia.”
           “Iya Om, tolong katakan saja kalau aku sudah mengetahuinya, dan aku…. Akan memberi jawabannya dalam beberapa hari ini.” Randu mematikan ponselnya. Ia menatap Rimba yang tidak berkomentar apa-apa. Sebelum ia bicara, ponsel Rimba keburu menyala juga. Ternyata hanya SMS yang masuk. ”Ada apa?” Tanya Randu.
           Rimba membaca pesan di ponselnya sejenak lalu…. “Seseorang memberitahukan kalau audisi aku di perusahaan film ternama itu diterima. Bulan lalu aku ikut Audisi dan ternyata lulus.”
           “Apaa…?!?”
           Rimba hanya bisa mengangguk. Lalu keduanya tersenyum dan tertawa bahagia…. Sepertinya impian kedua sahabat itu akan tercapai, tinggal selangkah lagi. Senyum mereka begitu indah… seindah bintang-bintang Purnama, tapi bagaimana dengan keinginan Randu dan Rimba untuk tinggal bersama …….?
           Apakah Randu akan menikah atau melanjutkan karir di dunia balapnya?
           Rimba, apakah akan menerima peran itu atau kembali ke Indonesia….??
***


Bersambungggggggg kawan....>>>

HTX