Tembok China.
Dua remaja sedang berdiri di tangga
pertama Tembok China, sebelum melangkahkan kaki menuju tangga berikutnya mereka
berhenti karena rasa kagum yang luar biasa, ratusan orang yang mungkin sedang
melakukan pendakian tak begitu menarik perhatian kedua gadis itu.
“Coba kamu perhatikan.” Ujar gadis
yang berambut panjang dan lurus. “Tempat yang kita injak ini, konon katanya
dibangun pada masa dinasti Ming, melewati sembilan provinsi dan panjangnya
sekitar 7.300 kilometer.” Ujarnya dengan masih rasa kekaguman tinggi.
“Wow, berarti butuh waktu setahun
jalan kaki untuk mencapai ujungnya? Yang benar saja, habis ini kan kita mau
jalan-jalan ke tempat lain.” Sahut gadis yang berambut sebahu. Mereka
bertatapan sejenak seolah tidak akan mungkin menghabiskan masa liburan mereka
di tempat itu. Akhirnya gadis yang berambut panjang menggeleng dengan pasti.
“Tentu saja tidak.”
“Ya.” Jawab sahabatnya. ‘karena
habis ini kita akan mengunjungi kota Florence’ sambung gadis berambut sebahu
itu di dalam hati karena bagaimanapun juga ia ingin mewujudkan impian kedua
orang tuanya yang sudah tiada.
“Oke, kita jalan lagi.” Kata gadis
feminin itu dengan badan dibalut jaket tebal sedang gadis yang disebelahnya
hanya mengenakan jaket seadanya, scarf terpasang dengan kuat di lehernya yang
jenjang dan sepatu kulit teplek. Kedua gadis itu kembali menaiki tangga Tembok
China yang menjadi salah satu keajaiban dunia. “Kamu tahu berapa tinggi Tembok
ini? katanya sih tidak kurang dari sepuluh meter dan luas jalan yang kita
lewati ini lebarnya diperkirankan sekitar lima meter.” Tutur gadis feminin itu
saat mereka menaiki tangga satu demi satu dan tak lupa menyaksikan pemandangan
Tembok China yang berliku-liku memanjang dan menyusuri puncak pegunungan, kedua
gadis itu tak henti-hentinya menganggumi kehebatan orang-orang dulu. Di zaman
ini kita boleh bangga dengan temuan teknologi yang semakin maju tapi orang dulu
membuat bangunan sangat kuat dan tidak akan runtuh dalam ribuan tahun, luar
biasa!
“Kamu itu kayak pemandu wisata saja,
semua ukuran bangunan dan sejarahnya kamu hafal, memangnya waktu di Paris apa
yang kamu pelajari?” goda sahabatnya meski begitu ia bangga punya sahabat yang
serba tahu.
“Belajar semua hal, termasuk
memahami kekerasan kepala kamu.” Ia melirik sahabatnya sejenak. Yang dilirik
langsung protes.
“Kayak sendirinya tidak keras kepala
saja. Kalau saja waktu di Malaysia kamu sedikit mengalah aku rasa tidak akan
separah itu.”
“Sudahlah, mungkin sudah jalannya
seperti itu dan kurasa kalau waktu di Malaysia aku tidak menghilang kita tidak
akan sampai di tempat ini, kan?”
“Yah, kapan sih kamu itu mau kalah
omongan? Dari kelas satu SMU saja bawaannya ngejawab
terus.” Gadis yang berambut sebahu itu seperti ngedumel membuat sahabatnya
tertawa kecil dan ia masih ingat dengan sangat jelas saat pertama kali bertemu
dengan sahabat kesayangannya itu.
*
Wahsington
D.C dan California.
Pertama kali yang mereka kunjungi
adalah Washington DC. Sebuah kota yang terencana hasil
desain arsitek, insinyur dan penataan kota kelahiran Prancis Pierre Charles L’Enfant
tahun 1791. Secara formal bernama Distrik Columbia dan umumnya disebut
Washington ‘the Distrik’ atau D.C. saja, sebagai ibukota Amerika Serikat.
“Hmmm.. lihat Randu, inilah kota
yang tidak pernah tidur di dunia ini.” Ujar Rimba saat mereka berdiri tak jauh
dari Gedung Putih.
“Tidak usah banyak komentar, mau aku
foto nggak?” sahut Randu.
“Aku ingin foto bersama kamu.” Jawab
Rimba dengan cepat. “Tidak usah minta orang yang memotret, biar aku saja bisa
kok.” Rimba memang sengaja tidak ingin menyuruh orang lain mengambil gambar
mereka biar nanti gambarnya tidak terkesan ada orang di depannya, hanya mereka
berdua, tersenyum dengan penuh tawa bahagia meski latarbelakangnya penting atau
tidak. Mereka pun berfoto hanya beberapa kali jepretan saja melalui kamera BB
Randu. Setelah itu mereka memutuskan untuk jalan menyusuri kawasan itu sampai
lelah.
Setelah lelah mereka memutuskan
untuk mencari tempat makan, tidak ada tempat makan yang istimewa seperti kaki
lima di Indonesia bisa pesan nasi goreng atau es cendol.
“Mau makan apa?” kata Rimba setelah
mereka tiba di depan sebuah resto kecil yang menawan. Randu melirik sekilas
tapi tidak membuatnya tertarik lalu matanya melihat sebuah kursi agak panjang
di sebelah resto dan kosong.
“Di sana saja, kita pesan roti bakar
dengan kopi hangat.”
“Kopi? Sejak kapan kamu suka kopi?”
Rimba melirik ke Randu setengah menggoda hobi barunya.
“Sudahlah, tidak ada salahnya
mencoba… bukankah sekarang sudah ada Miss kopi di negara kita?”
“Ya, aku pernah
mendengarnya.” Mereka berjalan ke sana untuk menikmati santapan siang. Beberapa
saat saja kedua gadis itu sedang duduk santai sembari menikmati pemandangan
sekitar dengan gelas kopi hangat di tangan. “Di sini ada 176 kedutaan besar
asing serta kantor Bank Dunia, Dana Moneter Internasional alias IMF. 80 persen penduduk yang menetap di sini tidak
tergantung pada mobil, Wahsington adalah kota ramah jalan kaki terbaik ke tujuh
di Amerika Serikat. Tapi mengingat nama IMF
jadi kepikiran hutang negara kita yang konon katanya setiap kepala penduduknya
termasuk kita memiliki hutang sebesar lima belas juta rupiah, waw…. Fantastik
ya.”
Randu menatap Rimba sejenak. “Tadinya
aku pikir kamu itu hanya tahu masalah sejarah dunia tapi masalah hutang negara
kita saja kamu pusingin.. kamu itu sebenarnya mau jadi apa sih? Kamu tahu apa
yang telah terjadi dengan negara kita?” Randu diam sesaat dalam hati ia merasa
sangat prihatin dengan kondisi politik yang sedang berlangsung dan sudah
terjadi di Indonesia. Para pejabat banyak yang menyalahgunakan jabatannya.
Tidak perlu berlama-lama berada di
D.C. sebab Randu lebih tertarik mengunjungi kota California. Washington ke
Texas hanya berjarak sekitar 1370 mil saja untuk menuju ke California tinggal
540 mil lagi. California terkesan lebih nyaman, negara pesisir barat Amerika
Serikat ini julukan resminya The Golden State. Tapi itu tidak terlalu
dipikirkan oleh Randu sebab ia ingin menemani Rimba mengunjungi Rodeo Drive
bukan untuk belanja hanya melihat-lihat sebab Randu tidak suka belanja-belanja
lebih tepatnya tidak suka membawa tentengan.
Hari berikutnya Randu dan Rimba sedang
berdiri di depan sebuah patung ‘Torso’. Randu menatap patung wanita tanpa
lengan dan kepala itu yang disebut sebagai simbol Rodeo Drive of Style. telah
menjadi titik fokus dari jalan terkenal. Berdiri 14-kaki tinggi di
persimpangan Rodeo Drive dan Dayton Way.
“Apa maksud patung ini? Untuk
menghormati legenda gaya atas kontibusi mereka terhadap dunia fahsion dan hiburan? Dibuat oleh Robert
Graham, kan”
“Ya.” Sahut Rimba tanpa menoleh
kepada Randu meski ia kagum dengan pengetahuan Randu mengenai hal itu. “Rodeo
Drive Walk of Style ini diperkenalkan pada tahun 2003. “Oke, sekarang kita akan
menyusuri toko-toko yang menjual produk-produk ternama di jagat ini.”
“Apa kamu akan memborong tas-tas
bermerk atau dompet yang harganya puluhan juta dolar seperti artis-artis atau
para sosialita yang ada di negeri kita? Kalau begitu aku tidak akan menemani
kamu.” Kata Randu setengah bercanda.
“Apa kamu pikir aku gila belanja
seperti itu?” Rimba cemberut.
“Yea… siapa tahu kamu seperti mereka
yang suka memanfaatkan uang para pejabat koruptor untuk membeli barang mewah..
hehehe.”
“Hih! Omongan kamu nyebelin deh.
Udah ah, mendingan terusin jalan masuk toko puasin mata dan kalau ada yang
cocok ya beli.” Ujar Rimba tetap sebagai wanita yang punya naluri belanja meski
tidak sampai gila belanja. “Tapi pakai duit sendiri.” Tambahnya.
“Ya ya, nggak kebayang juga sudah
sampai Amerika tapi masih kampungan.” Randu masih menggoda Rimba.
“Apa itu maksudnya?” Rimba sampai
menghentikan langkahnya diikuti Randu yang tersenyum melihat Rimba cemberut.
Randu menoleh kiri kanan, beberapa
orang terlihat lewat di dekat mereka, ada yang berpasangan, sama keluarga dan
seorang pria jangkung kebetulan lewat sempat melirik mereka meski sekilas. Ia
berjalan dengan kedua tangan dimasukan ke dalam kantong celana.
“Kok berhenti? Katanya mau muasin
mata di dalam.” Randu mendekatkan mulutnya ke arah terlinga Rimba. “Barusan ada
cowok jalan sendirian, siapa tahu dia jomblo kan lumayan buat cuci mata.” Kali
ini guyonan Randu benar-benar membuat Rimba tersenyum meski masih mangkel.
Meski mengunjungi hampir setiap toko
dan membuat kedua gadis itu kehabisan tenaga, mereka hanya membelikan sebuah
dompet saja untuk kenang-kenangan.
*
Paris,
Prancis.
Paris, Prancis adalah tempat romatis
kedua di dunia setelah Athena, wah, ada artis top Indonesia tinggal di sana,
Anggun C Sasmi. Paris memiliki dua puluh tiga jembatan yang terbentang indah di
atas sungai Prancis. Rimba paling suka mendengar orang Prancis berbicara,
Bahasa mereka seksi dan cara mengungkapan kata serta aksennya menarik. Ada
cerita yang memilukan tentang Paris, yaitu Putri Diana meninggal di sana pada
bulan agustus tahun 1997. Di terowongan cinta
berakhir. Itulah kisah cinta Romeo dan Juliet yang sesungguhnya.
Kota Montreux adalah salah satu kota
paling keren di Zurich-Switzerland, penduduknya menggunakan Bahasa Prancis dan
Jerman. Cuacanya berkisar 7 derajat celcius. Di kota Montreux ini terdapat
patung Preddie Mercuri vokalis Queen yang lahir pada tahun1946 dan meninggal
tahun 1991. penduduk sana membangun patung beliau untuk mengenang kecintaan
sang vokalis pada kota itu dan beliau pernah merekam lagu di sana. Pas di depan
patung tersebut terbentang sungai/danau Geneva yang membatasi Montreux dengan
kota Zurich.
“Kita akan mengunjungi menara
Eiffel, kan?” kata Rimba tak kala mereka menginjakkan kaki di negeri dengan
ikon Menara Eiffel-nya.
“Memang harus ya? Kalau mengunjungi
Paris harus mendatangi menara itu?” sergah Randu. “Tapi aku lebih tertarik
mengunjungi Musee Du Louvre.” Ujar Randu diluar dugaan Rimba.
“Mau ngapain? Melihat lukisan
Monalisa? Atau mau melihat buku The da vinci Code? Itu kan sudah difilm-kan.”
“Ya, kalau sudah sampai di sana
terserah lagian aku belum pernah menonton film-nya kok.”
“Oke, kita akan ke sana.”
“Ups, tidak jadi.” Randu tiba-tiba
tidak tertarik lagi untuk mengunjungi Musee Du Louvre. Terlihat ia berpikir
sejenak. “Kalau mengunjungi Menara Eiffel jadi kesannya ABG sekali.” Ia
beralasan.
“Ya terserah kamu sih, tapi apa
nggak nyesel? Kalau aku sih sudah pernah naik ke atas Eiffel yang tingginya 275
meter itu untuk menyaksikan kota Paris. Denger-denger Tom Cruise melamar Katie
Holmes di sana, lho.”
“Yea, tapi ujung-ujungnya pisah
juga, kan?” bantah Randu. “Kita mengunjungi Place de la Concorde saja, oke?”
“Sip, aku juga suka alun-alun
terluas itu dan air mancurnya mengagumkan. Kalau harus mengunjungi Musee Du
Louvre kita datangnya mesti pagi-pagi karena antriannya panjang. Mengenai artis
yang pisah karena dilamar di Eiffel nggak ngaruh kali hehehe.”
Berbeda dengan remaja pada umumnya,
Randu memilih Place de la Concorde untuk berlibur di Paris, bukan mengunjungi
Champ Elysee tempat dijualnya parfum ternama dan café-café mahal. Randu yang
pada dasarnya tidak begitu suka jalan-jalan setelah mengitari tempat itu
bersama Rimba ia memilih untuk duduk-duduk menikmati pemandangan dan hilir
mudik pejalan kaki yang mungkin juga sedang menikmati liburan mereka. Dengan
syal terpasang di lehernya Randu merasa nyaman sekali berada di tempat itu
bersama Rimba yang sudah ikut duduk di sebelahnya. Bagi Randu sosok Rimba
adalah sebagai pengganti Waru yang saat ini sedang menemaninya berlibur,
menikmati hal indah dan tidak perlu memikirkan balapan atau hal-hal lain yang
mungkin tidak penting untuk dipikirkan saat sekarang. Ia menyandarkan kepalanya
di bahu Rimba, entah mengapa ia merasa kalau Rimba adalah satu-satunya
keluarganya saat ini. Dari dalam hati Randu yang paling dalam akan mengajak
Rimba mengunjungi sebuah tempat yang menjadi sejarah kedua orang tuanya. Semoga
Rimba mau mengabulkan keinginannya itu.
Siang mulai beranjak, Randu dan
Rimba pun meninggalkan Place de la Concorde mengunjungi tempat makan sekaligus
membeli sesuatu, dan lagi-lagi hanya satu sebagai tanda kalau Randu pernah
mengunjungi tempat itu.
Selanjutnya Rimba mengajak Randu
mengunjungi Cannes, Prancis. Sebelum Randu mengajaknya ke Chamonix.
“Kenapa harus ke Cannes?” protes
Randu.
“Ini musim dingin, Chamonix akan
membeku karena ada di daerah pegunungan memangnya ingin main ski? Aktor Pierce
Brosnan pernah di sana waktu pembuatan film James Bond, The World Is Not
Enough.
Motto kota Cannes ‘Hidup adalah
festival’ “Keren ya.” Hela Rimba. “Entah sudah berapa artis Indonesia berjalan
di Red Carpet di kota ini, perfilman Indonesia semakin berjaya saja sepertinya.
Tertarik mengunjungi pantai?”
“Boleh, kita pilih pantai umum yang
bebas lebih nyantai.”
Selamat tinggal Paris, Prancis.
*
Taj Mahal, India.
India, Negara Asia bagian Selatan
yang memiliki Taj Mahal dan merupakan penduduk terbanyak ke dua di dunia
setelah China. Dari Negara itu sering kali melahirkan Miss Universe. Siapa ya
Miss Universe Indonesia pertama…? Dan tahun 2013 ini akan diadakan di Bali,
Indonesia.
“Taj Mahal, katanya tanda cinta
seorang pria pada istrinya. Hampir semua tanda cinta di seluruh plosok dunia
berasal dari pria, apa memang tidak ada tanda cinta dari seorang wanita untuk
prianya?” celoteh Randu saat dia dan Rimba sampai di Agra. “Apa benar bangunan
itu dibuat dalam waktu 22 tahun?”
“Katanya sih memang begitu, dari
tahun 1630 sampai 1653, 22 tahun lebih sedikit mungkin. Tapi itu kan untuk
istri ketiganya.”
“Oh, istri ketiga?” ulang Randu
seperti baru mengetahui. “Kamu suka bangunan itu?”
“Kalau ditanya aku mungkin lebih suka dengan
Mahatma Ghandy. Tapi tidak ada salahnya mengambil foto untuk gambar yang
termasuk salah satu keajaiban dunia itu.” Sahut Rimba tetap kagum dengan bentuk
bangunan.
Perjalanan tiga jam dari Delhi ke
Agra dengan menggunakan bus tidak begitu terasa oleh Randu dan Rimba setelah
melihat bangunan indah itu.
“Kota Delhi tidak jauh berbeda dari
Jakarta, pemandangan, lalu lintas juga pola kehidupannya. Tapi di sini kita
akan masuk ke Taj Mahal ya, biar lebih berasa sejuknya.” Ajak Rimba dan Randu
mengikutinya.
Untuk masuk ke Taj Mahal Randu dan
Rimba harus melewati pemeriksaan keamanan yang super ketat.
“Kita harus menggunakan kendaraan
yang sudah disediakan pihak Taj Mahal.”
“Yea, ribet amat sih.” Gerutu Randu
yang merasa sudah penat. “Tidak usah masuk saja, sudah melihat dari jauh juga
sudah cukup. Mendengar ocehan Randu membuat Rimba tersenyum.
“Beneran tidak mau masuk? Memang sih
dari sini kita nanti akan jalan kaki lagi sekitar tiga puluh menit, tapi nggak
nyesel sudah sampai sini tidak mau menginjak lantai marmernya Taj Mahal?”
Mata Randu menoleh ke arah bangunan
yang luar biasa itu tapi entah apalagi sebabnya sehingga ia merasa tidak tertarik
untuk masuk ke dalam sama. Tempat yang ada di kepalanya saat ini adalah tempat
yang pernah dikunjungi oleh kedua orang tuanya. Tidak ada yang menyangkal kalau
bangunan mirip masjid itu memang indah tapi Taj Mahal bukanlah masjid karena
bukan untuk tempat ibadah, merupakan sebuah monumen yang dibuat untuk mengenang
kehidupan masa lampau. Keberadaannya yang bebas dari polusi dan suasana tenang
karena jauh dari pemukiman penduduk.
“Di bagian belakang Taj Mahal ada
sungai Yamuna lho, Ran. Katanya sih sungainya indah, tenang dan enak untuk
tempat istirahat sambil menikmati pemandangannya.” Kata Rimba saat menunggu
Randu masih bimbang, masuk atau tidak.
Harus Randu akui kalau India masih
sangat mempertahankan seni dan budaya mereka yang asli. Dan akhirnya ia pun
memutuskan untuk masuk. Sebelum Randu dan Rimba masuk mereka diminta melepaskan
alas kaki dan bukan itu saja, mereka pun disuruh mencuci kaki terlebih dahulu
seperti orang masuk masjid saja dan saat itu Randu bisa merasakan betapa halus
dan lembut serta nyamannya lantai Taj Mahal.
Berbanding terbalik dengan kota
Dehli yang notabene sebagai ibukota India di mana banyak sekali anak-anak
jalanan dan pengemis yang mungkin lebih parah dari Indonesia. Anak-anak jalanan
itu tidur di pinggir jalan kala malam tiba dengan tubuh yang kurus dan pakaian
yang tidak bisa di sebut sangat sederhana.
*
China
China, kedua gadis itu Rimba dan Randu
mengunjungi negara yang dijuluki The Great Wall. Mereka sudah tiba di menara
pertama meski lelah namun saat melihat pemandangan alam yang begitu indah
seakan melenyapkan seluruh rasa capek apalagi saat melihat liku-liku anak
tembok yang terlihat sangat unik. Sejenak mereka menghelan napas panjang.
“Dulu menara ini dijadikan tempat
istirahat bagi para prajurit sekaligus kubu pertahanan untuk menangkis serangan
musuh. Gila ya, untuk mencapai satu menara saja capeknya bukan main.” Hela
Rimba dan Randu terlihat menikmati suasana pemandangan.
“Apa kita akan sampai ke Loteng
Wisata itu?” ujar Randu tiba-tiba setelah melihat Loteng Wisata yang termasuk
bagian penting di dalam tembok China, lintasan strategi antara celah gunung dan
perbatasan gunung. “Sepertinya aku tidak sabar sampai di sana, bangunan gerbang
itu terlihat sangat megah dan cemerlang.”
Rimba menunjuk ke arah Loteng yang
Randu maksud.”Itu diujung timur namanya loteng gerbang Shanhaiguan, dijuluki
sebagai Loteng gerbang nomor satu China. Sementara Loteng Gerbang Juyongguan
Sektor Badaling terletak di sekitar Beijing. Ditempat itu kita dapat menikmati
udara segar dengan pegunungan yang indah sambil mencicipi jajanan China di cafe
yang telah disediakan.”
“Dan katanya kita bisa menyewa busana
kaisar untuk berfotoria.”
“Ya, dan uang sewanya sekitar 10
yuan, sekitar sebelas ribu rupiah sekali sewa.” Tambah Rimba. “Mmm tertarik
membeli oleh-oleh dari sini?” Rimba melirik Randu yang masih takjub dengan
suasana Tembok China.
“Sebaiknya kita jalan lagi dan nanti
kalau ada miniatur golok naga baru kita beli.” Canda Randu membuat Rimba
tersenyum.
“Yailah, yang ada juga miniatur
Tembok China kaliiii.”
Sebelum melanjutkan menaiki tangga
Randu dan Rimba tak henti-hentinya mengagumi keindahan termbok tersebut karena
terkesan sangat megah, kuat dan letaknya di atas gunung menambah rasa kagum
karena setiap lekukan tembok terlihat bagaikan naga besar yang menggeliat
menyusuri puncak gunung. Satu kata, wow!
Bagaimana tidak ‘wow’
membayangkannya saja tidak mungkin membangun tembok sepanjang itu apalagi zaman
dulu belum ada alat berat atau alat canggih.
Randu dan Rimba terus menaiki tangga
satu demi satu bersama para wisatawan yang lain, tak peduli beberapa pasangan
kekasih melintasi mereka atau turis dari Eropa namun kedua gadis itu tetap
terlihat santai. Kalau lelah cukup berhenti sejenak sembari menyimak
pemandangan sekeliling. Rimba tidak pernah membayangkan sebelumnya kalau akan
jalan-jalan bersama Randu berdua sebab dulu Randu adalah manusia paling cuek
dan menyebalkan menurutnya. Tapi sekarang gadis itu menjadi mahluk penyayang
dan mengagumkan dan tak segan-segan menarik tangan Rimba kalau Rimba kelelahan
di jalan.
“Randu…” Rimba meraih tangan Randu
untuk menggapainya karena tadi ia sudah melepaskan tangan itu untuk melihat
pinggiran tembok. “Kalau kita sudah melewati beberapa benteng dan menara maka
kita akan mendapatkan sertifikat atau hero card sebagai bukti kalau kita telah
berhasil menapaki Tembok China ini walau harus membayar sekitar 15 Yuan tapi
kalau hero
card lebih mahal
sekitar 40 Yuan.”
“Oh,” hela Randu lalu melirik ke
Rimba sejenak. “Jadi kamu pikir aku menaiki tangga ini untuk mendapatkan itu?”
Randu menggelengkan kepalanya dengan pasti. “Tidak. Karena bagiku ini adalah
pengalaman yang menarik dan mengasyikan.”
“Oh, ya? Bagus juga. Karena Tembok
China ini sudah menjadi simbol kebanggaan bangsa China dan pada tahun 1987
telah dicantumkan dalam daftar warisan dunia oleh PBB.” Celoteh Rimba yang tak
kalah membuat Randu kagum karena gadis itu nyaris tahu semua sejarah setiap
tempat yang mereka kunjungi.
*
Hong Kong
Hong Kong, Randu dan Rimba mengunjungi sirkuit Balap Macau. Kesampaian
juga keinginan Randu untuk melihat sirkuit besar dan terkenal itu. Terlihat
seorang pria berdiri di dekat pintu masuk sirkuit.
“Ada pria ganteng tuh.” Seru Randu.
“Ya sih, ganteng tapi tidak mirip
Jacky Chan.”
Randu tertawa halus. “Payah kamu,
yang diingat Jacky Chan, sudah ketuaan kali. Dia mendekat ke arah kita tuh.” Kata
Randu dan pura-pura tidak memperhatikan pria itu yang semakin dekat menghampiri
mereka dan menyapa dalam bahasa Kanton.
“Fuying hai Macau.” Sapanya dan
langsung dijawab oleh Randu yang kebetulan sedikit mengerti bahasa Kanton..
“Toce.” Balas Randu membuat Rimba
terperangah. Pria itu melanjutkan berbicara dengan Randu.
“Cung em cungi Macau?”
Mata Randu menoleh sekeliling tempat
itu sejenak. “Hai, Macau canhai houleng.” Sahutnya, Randu masih takjub dengan
sirkuit dengan panjang lintasan 1.203 meter itu dengan dinding beton dan paga
besi.
Pria itu sepertinya senang dengan
kedua turis yang menarik dan mengerti bahasanya. “Joipin dai, lei rancin hai
yannei? Ngo keitak lei ko meng, hamai Randu mengseng?”
“Lei ngam liti bangyau, goi meng hai
Rimba Honique.”
“Oh, hou cungi kinto lei Rimba
Honique, heimong leitei cungi hai Macau ngotei hou cungi Macau, Macau hou
sailei.”
“Canhai houleng, liti hai yatko
sirkuit coi ho, coi ceng ngo kin.”
Pria itu mengangguk-ngangguk tanda
setuju dan membiarkan Randu dan Rimba melihat-lihat dengan puas. Rimba menyikut
lengan Randu karena masih heran dengan kecanggihan bahasa Randu.
“Gak nyangka ternyata kamu tidak
hanya keren dalam hal nyetir.” Sindir Rimba.
“Memangnya kamu saja yang jago
bahasa Prancis dan empat bahasa lainnya.” Balas Randu tak mau kalah. Sedang
pria tadi masih sempat mengamati kedua turis cantik asal Indonesia itu.
Sepertinya ia menyesal tidak sempat melakukan foto bersama Randu yang ia kenal bernama
Randu Bintang seorang pembalap wanita yang namanya sudah dikenal luas. Terpikir
olehnya untuk memanggil wartawan tapi tidak jadi karena takut mengganggu acara
liburan gadis itu. Tapi ia berjanji dalam hati sebelum kedua gadis itu keluar
ia akan menyempatkan untuk foto bersama.
*
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
(2)
By: Sahabat saya,
Vita Nur Mujianti at Hong Kong
Funying hai
macau,
Toce.
Cung em cungi Macau?
Hai, Macau canhai houleng.
Joipin dai, lei rancin hai yannei? ngo keitak lei ko meng, hamai Randu mengseng? lei ngam , liti ngo bangyau, goi meng Hai Rimba Honique.
Oh, ngo hou cungi kinto lei Rimba Honique. heimong leitei cungi hai macau.ngotei hou cungi macau,macau hou sailei, Canhai houleng, liti hai yatko sirkuit coi ho, coi ceng ngo kin.
Toce.
Cung em cungi Macau?
Hai, Macau canhai houleng.
Joipin dai, lei rancin hai yannei? ngo keitak lei ko meng, hamai Randu mengseng? lei ngam , liti ngo bangyau, goi meng Hai Rimba Honique.
Oh, ngo hou cungi kinto lei Rimba Honique. heimong leitei cungi hai macau.ngotei hou cungi macau,macau hou sailei, Canhai houleng, liti hai yatko sirkuit coi ho, coi ceng ngo kin.
--
selamat datang di
Macau,
Terima kasih.
Anda suka tempat ini?
Ya, tempat yang luar biasa.
Silahkah melihat-lihat, anda pembalap dari indonesia, kan? saya ingat nama anda, Randu Bintang. benar?
Anda benar, dan ini teman saya, namanya Rimba Honique.
Oh, senang bertemu dengan kamu Rimba Honigue, sekali lagi semoga kalian menyukai tempat ini.
Tentu saja, tempat ini luar biasa, ini salah satu sirkuit terbaik dan terkeren yang pernah saya kunjungi.
--
Terima kasih.
Anda suka tempat ini?
Ya, tempat yang luar biasa.
Silahkah melihat-lihat, anda pembalap dari indonesia, kan? saya ingat nama anda, Randu Bintang. benar?
Anda benar, dan ini teman saya, namanya Rimba Honique.
Oh, senang bertemu dengan kamu Rimba Honigue, sekali lagi semoga kalian menyukai tempat ini.
Tentu saja, tempat ini luar biasa, ini salah satu sirkuit terbaik dan terkeren yang pernah saya kunjungi.
--
*
Korea Selatan,
Randu dan Rimba mendarat di Bandara Incheon Korea Selatan,
dan sebelum keluar dari bandara kedua gadis itu harus menyerahkan sidik jari
telunjuk dan foto sebab negara Korea telah menetapkan akan mendaftar sidik jari
seluruh wisatawan dewasa sejak tahun 2012 guna untuk memperketat pemeriksaan
imigrasi dan mencegah kriminal masuk. Keren! Tapi yang tinggal lebih dari tiga
bulan harus menyediakan sidik jari penuh.
Di depan mereka disambut oleh salah
satu warga Korea yang ramah. “Hankuke osin gosel hwanyonghamnida.” Katanya
dengan sangat ramah. “Yogi bangmun sarang baramnida. Nanen dangsinel wihe
muosel halsu issemnika?”
Dijawab Randu dengan ramah juga.
“Kamsahamnida, wimang. “Uri hankukeso kajangaremdaun jangsurel pyosi hal su
issemnika?”
“Daegu Tower.” Jawab pria itu dengan
cepat membuat Randu terperangah hingga langsung menoleh pada Rimba yang berdiri
di sampingnya. “Aneh ini orang, kita sudah ada di sini tapi dia malah
merekomdasikan ke Daegu Tower.” Ucap Randu
sedang Rimba hanya mengangkat bahu tanda tidak paham karena yang ia tahu
Daegu Tower itu adanya di kota Daegu yang lumayan jauh dari tempat mereka saat
ini seharurnya pria itu mengatakan Seoul Tower pikir Randu namun demikian ia
tidak ingin terlihat aneh di mata orang itu dengan menjawab.
“Oke, urinen Daegu Tower, kalsu
issemnika.” Jawab Randu kemudian dan sepertinya pria itu terlihat baru
menyadari jawabanya yang ia beri pada Randu tapi ia tidak meralatnya lagi.
Pria itu malah bicara lagi. “I sane
wichihagoeru Daegu Tower aremdawo.” Katanya dengan nada pasti membuat Randu
hanya menganggukkan kepalanya dengan pelan. “Nanen Indonesia yosongel
sarangheyo.”
“Dangsinen alguisso, siriol hankuk
Indonesia gyochigel gyongu.?” Kata Randu dan pria itu hanya melongo seakan
tidak percaya lalu ia tersenyum seolah
bangga meski masih terlihat tidak percaya. (4)
*
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
(4)Dialag Korea by : Bagus Saputa.
1 selamat datang di korea.
2 semoga kalian senang berkunjung ke sini.
3 apa yang bisa saya bantu?
2 semoga kalian senang berkunjung ke sini.
3 apa yang bisa saya bantu?
4 terima kasih, semoga saja. bisa
tunjukan pada kami tempat yang paling indah di korea?
5
Daegu Tower
6 Oke, kami akan ke
Daegu Tower... terima kasih atas rekomendasinya
7
DAEGU TOWER terlihat indah karna terletak di pegunungan.
8
saya suka wanita indonesia.
9
tahukah anda kalau serial korea sempat
merajai indonesia?
==
1 hankuke osin gosel hwanyonghamnida.
2 yogi bangmun sarang baramnida.
3 nanen dangsinel wihe muosel halsu issemnika ?
3 nanen dangsinel wihe muosel halsu issemnika ?
4 kamsahamnida, wimang. Uri hankukeso kajang aremdaun jangsurel pyosi hal su issemnika ?
5 DAEGU TOWER
6 oke, urinen DAEGU
TOWER ,kalsu issemnika…cucon jusyoso, kamsahamnida.
7 i sane wichihagoeru DAEGU TOWER aremdawo.
8 nanen indonesia yosongel sarangheyo
9 dangsinen alguisso, siriol hankuk indonesia gyochigel
gyongu?
*
Setelah pamit dari pria ramah dan
sudah memberi info yang menurut Randu agak mengada-ada itu Randu pun mengajak
Rimba pergi meninggalkan kawasan itu untuk menuju salah satu tempat yang ia
ingin kunjungi selama ini.
“Gila kamu ya, ternyata jago juga
bahasa Korea-nya. Belajar dari mana?” goda Rimba.
“Yea, memangnya kamu saja yang jago
empat bahasa.. sekali-kali bicara bahasa Korea kan tidak ada salahnya.” Sahut
Randu merasa tidak begitu istimewa, sebab jujur ia suka sekali dengan
serial-serial Korea yang sering ditayangkan lewat televisi swasta sehingga
tertarik untuk mempelajari bahasanya dan kali ini ia akan mengajak Rimba
mengunjungi tempat-tempat yang pernah dipakai untuk syuting serial favoritnya.
“Apa kamu tertarik menjadi salah satu Chaebol
di negeri ini?” kata Randu menggoda Rimba lagi.
“Chaebol? Itu sebutan untuk bos
konglomerat di sini, kan?” tebak Rimba sepertinya pernah mendengar kata itu.
“Tepat sekali.”
“Mm.. daripada jadi Chaebol
mendingan jadi pendampingnya Rain kali meranin serial terbarunya hehehe.”
Celetuk Rimba jadi ngaco.
Randu langsung menoleh pada Rimba
yang berjalan di sebelahnya dan seketika menyenggol gadis itu disertai guyonan.
“Beeeee tampang kayak kamu mana laku di sini, di tempat ini tidak menerima
gadis yang memiliki hidung mancung hahaha.” Akhirnya terdengar tawa renyah di
antara ke dua gadis itu.
Randu mengajak Rimba ke tempat
wisata Full House, sebuah rumah yang
menjadi ikon serial dengan nama judul yang sama.
“Kita ke pantai Incheon, ada rumah
unik di sana yang sekarang sudah dijadikan salah satu tempat wisata.” Ujar
Randu dan Rimba tidak membantah meski sebenarnya ia ingin mengunjungi Seoul
Tower tapi ia akan menemani Randu dulu ke sana setelah itu baru ke Seoul Tower.
“Aku penasaran dengan rumah itu karena hampir enam puluh persen serialnya
diambil di dalam rumah itu.” Tambah Randu.
“Wah, jadi ikut-ikutan penasaran nih
aku.” Kata Rimba meski sedikitpun ia tidak pernah menyimak serial yang membuat
Randu jadi bisa berbicara bahasa Korea.
Beberapa saat kemudian merekapun
sampai di tempat yang dimaksud, di mana terlihat sebuha rumah dengan gaya
minimalis modern. Saat melihat bangunan indah itu seketika Randu ingat dengan
tampangnya Rain yang benar-benar membuatnya kesal, sebab sosok Rain alias Yeong
Jae nama perannya telah berhasil menjadi pria jutek, galak dan mengesalkan
sehingga membuat Ji Eun yang diperankan oleh Son Hye-Kyo berang bahkan
terkadang ingin menelannya bulat-bulat. Randu jadi tersenyum sendiri.
“Masuk yuk.” Kata Randu akhirnya
pada Rimba seakan ingin merasakan atmosfir lebih dalam lagi di rumah itu.
“Rumah itu tempat syuting serial keren, sederhana dan ceritanya menarik.”
“Oke.” Sahut Rimba yang juga sempat
terpana melihat bangunan indah itu. Satu dua orang bahkan beberapa pasangan
terlihat asyik berbincang-bincang dan pastinya membicarakan serial tersebut
karena mereka tidak lepas menyimak setiap detil bangunan. Tapi sebelum
melanjutkan melangkah Randu bicara seolah memahami apa yang Rimba pikirkan.
“Habis dari sini kita ke sungai
Cheonggyecheon setelah itu baru kita ke Seoul Tower kemudian ke kota Daegu ya,
ada sirkuit Hermann Tilke di Yeongnam.” Kata Randu dengan nada tidak memaksa sedikitpun
dan Rimba malah menggandeng kencang tangan Randu, meski ia menempatkan Randu
sebagai adiknya tapi kalau sedang berjalan ia merasa Randu adalah pelindungnya.
“Tidak masalah, negara ini adalah
tempat lahirnya olahraga Taekwondo, kan? Aku jadi ingat kata Bi Ijah bahwa kamu
pernah menjuarai Taekwondo se-DKI tingkat SMP.” Ujar Rimba dengan nada kagum.
“Masa sih? Memang Bi Ijah pernah
bilang seperti itu?” suara Randu penuh canda karena tidak ingin membahas hal
seperti itu dan sama sekali tidak mau dibanggakan oleh Rimba. Mereka sudah tiba
di dalam rumah ‘Full House’ Randu menghela napas panjang seakan telah masuk ke
dalam serial itu. Di ruang tengah terlihat luas dan sebuah tangga menuju lantai
atas, terlintas
dibenak Randu di mana
si Yeong Jae sengaja membiarkan rumah itu berantakan lalu marah-marah tidak
keruan kepada Ji Eun dengan alasan mengatakan Ji Eun jorok. Lagi-lagi Randu
tersenyum tipis sedang Rimba hanya bisa mengagumi suasana rumah itu tanpa tahu
apa yang pernah terjadi di dalamnya.
“Apa yang terjadi dengan rumah ini?”
akhirnya Rimba pun bertanya.
“Rumah ini milik kedua orang tua Ji
Eun lalu tanpa sepengetahunnya rumah ini dijual oleh sahabatnya sendiri kepada
seorang aktor dan model kenamaan bernama Yeong Jae, tapi Ji Eun tidak rela
rumahnya dijual sehingga ia rela menjadi pembantu di rumahnya sendiri dan
tinggal bersama aktor itu, dari situlah konplik muncul. Si Ji Eun bekerja
sebagai penulis novel di mana harus hidup tenang untuk membuat tulisan sedang
si Yeong Jae punya karakter cerewet setengah mati.” Jelas Randu sekilas.
Yang namanya cerita tidak akan sama
persis dengan melihat langsung kisahnya tapi bagi Rimba tidak masalah karena
Randu bisa menjadi pemandu yang cukup lumayan.
Untuk tempat yang mereka kunjungi
selanjutnya adalah sebuah sungai yang ada di tengah kota. Anda mungkin berpikir
kalau sungai itu seperti sungai Ciliwung di Jakarta. Tidak, sungai
Chenggyecheon yang ada di tengah kepadatan kota ini jauh sekali dari yang
namanya kotor. Dulu memang tidak bisa dibilang bersih tapi sekarang sudah
menjadi salah satu tempat wisatawan yang menakjubkan. Tempat bersantai dan
melepaskan rasa penat. Di sepanjang pinggiran sungai disemen sehingga menjadi
tempat yang tenang untuk berjalan kaki melihat-lihat keindahan sungai sedang
salah satu pinggiran lainnya terlihat tanaman yang memenuhi sepanjang sisi sungai.
Di malam hari bisa melihat candlelight
yang menarik sekali. Tapi Randu dan Rimba tidak perlu menghabiskan waktunya
hingga malam hari karena dari sana mereka akan ke Seoul Tower.
Seoul Tower atau Menara Seoul yang
ada di Gunung Namsan, hemm hemm saatnya Rimba menjelajahi bangunan yang dibuat
tahun 1969 dan dibuka untuk umum pada tahun 1980 itu.
Randu dan Rimba naik subway line 4
lalu turun di Myeong-dong station exit 3. Lalu mereka berjalan sampai hotel
Pasific terus naik cable car.
“Coba kalau kita naik subway line 3,
turun di Dongguk University exit 6, terus kita naik bus deh.” Kata Rimba.
“Inilah ikon kota Seoul.. tapi kalau
kita menaikinya waktu malam hari pemandangannya pasti lebih menarik.” Ujar
Rimba setelah mereka sampai di Seoul Tower. Kali ini ia yang menjelaskan
situasi tempat yang mereka kunjungi. “Aku tidak sabar melihat ribuan gembok
cinta yang terbentuk seperti pohon cemara.” Lanjut Rimba.
“Ngapain juga sih, itu kan khsusus
untuk orang-orang yang datang berpasangan.” Celetuk Randu semacam protes.
“Biarin saja kan lucu.”
“Aduh… kalau buat aku hal semacam
itu sudah tidak lucu lagi. Yah kalau untuk sekedar melihat karena penasaran sih
boleh-boleh saja.” Randu coba memaklumi tapi kembali ia berdalih. “Kalau kamu
ke sini sama Arif boleh tuh ke tempat gembok, menulis nama kalian di sana lalu
pasang gemboknya,
sebagai perlambang bahwa kalian tidak akan lagi dipisahkan.. hehehe romantis
juga tuh kayaknya.” Suara Randu terdengar menggoda Rimba dan langsung membuat
Rimba jadi teringat dengan pria yang ia cintai selama ini. Perkara ada kesan
romantis atau tidaknya tapi bagi Rimba sendiri menaiki Seoul Tower merupakan
hal yang menyenangkan bisa melihat indahnya kota Korea dari atas itu seperti
melihat kota Jakarta dari atas Tugu Monas meski berbeda jauh dalam hal penataan
kota. Dan paling berbeda adalah adanya ratusan bahkan ribuan gembok cinta yang
diikat sehingga membentuk pohon cemara menimbulkan kesan romantis, itulah seni.
Setelah merasa puas, akhirnya mereka
memesan tiket ke kota Daegu dengan harga satu tiket sekitar Rp. 2.576.134
lebih. Randu merasa tertarik mengunjungi kota Daegu karena pada tahun 2010 di
sirkuit Hermann Tilke pernah diadakan balapan mobil F1 di Yeongnam untuk
pertama kalinya.
Di dalam pesawat Rimba melirik Randu
yang sedang memegang sebuah majalah tentang sirkut Hermann Tilke. “Boleh
lihat?” kata Rimba. Randu melirik Rimba lalu.
“Ini.” Katanya tanpa merasa
keberatan sama sekali. Rimba mengambil majalah itu dari tangan Randu yang sudah
menjulur ke arahnya.
“Kapan kamu beli majalah ini?”
lanjutnya karena tidak melihat kapan Randu membeli majalah berbahasa Inggris
itu.
“Majalah itu sudah ada di dalam
ranselku, aku bawa dari Jakarta.” Sahut Randu kala Rimba menyimak majalah yang
tergolong tipis itu.
“Hmm menarik juga, meski aneh karena
rancangannya berlawanan dengan arah jarum jam.”
“Kamu kok mengamati arah
lintasannya? Memangnya ngerti?” kata Randu asal tebak.
“Tidak juga sih, memangnya pengaruh
ya kalau mengendarai mobil dengan trek seperti ini?”
“Tidak juga.” Jawab Randu sambil
ikut mengamati majalah yang sudah ia baca itu. “Mungkin sensasinya saja yang
berbeda memberi tantangan lebih.”
“Oh, begitu. Keren juga sirkuit ini,
panjangnya saja mencapai 5.45 km dan menggabungkan 18 sudut dalam semua.
Dimulai dengan lurus 1.2km.” Rimba membaca majalah itu sembari mengganggukkan
kepalanya dengan pelan seolah ia memahami maksud dari tulisan itu. Sedang Randu
sudah menyandarkan kepalanya di jok karena beberapa detik lagi mereka akan tiba
di kota Daegu. Dan tidak perlu mengunjungi Daegu Tower lagi.
Bagi seorang pembalap seperti Randu
mengunjungi tempat balapan atau sirkuit merupakan sensasi yang tidak bisa ia
jelaskan dengan kata-kata. Yang ada ia hanya takjub menatap ke semua yang bisa
tertangkap dengan matanya dan pikirannya mulai berkelana seolah sedang
menaklukkan arena itu dengan mobil kesayangannya. Itulah Randu.
*
Jepang,
“Tokyo, Randu…. Di sinilah Kaisar Jepang tinggal, kota ini
juga merupakan pusat bisnis dan finansial utama untuk Asia Timur. Tapi anehnya
di sini sedikit sekali gedung pencakar langit jika dibandingkan dengan
kota-kota lain, sebab Tokyo rawan sekali dengan gempa bumi, coba kamu lihat
sekeliling kita, kebanyakan hanya apartemen yang tingginya sekitar sebelas
lantai dan rumah-rumah juga tidak ada yang besar tapi di sini sistem
transportasi massalnya merupakan paling kompleks di dunia.” Urai Rimba saat
mereka turun dari bus yang membawa mereka setelah mendarat di Tokyo.
“Aku tidak butuh semua penjelasan
itu, sekarang aku ingin menikmati sushi.” Sahut Randu yang sudah kelaparan
sejak dari tempat penginapan.
“Baiklah, kamu bisa menikmati sushi
sepuasmu di sini tapi jangan bawa aku menikmati ikan mentah ya.” Kata Rimba
sebab ia pernah melihat temannya menikmati ikan segar yang disiram dengan cuka
lalu dikasih kecap Jepang. Menurut teman Jepangnya itu rasanya sangat nikmat
setelah itu dua hari Rimba tidak mampu menelan nasi.
Rimba mengajak Randu ke restoran sushi yang
pengunjungnya lumanyan ramai dan cara memesan makanan pun harus melalui layar
sentuh yang disediakan pihak restoran. Di dekat bar kecil tersedia beberapa
layar sejenis LCD dengan gambar menu sushi dan makanan lainnya, untuk pemesanan
tinggal pencet menu yang tertera dilayar dan setelah itu dalam hitungan detik
saja pesanan pun akan muncul.
Randu dan Rimba telah duduk di
tempat mereka, Randu menatap sushi di atas mejanya sebungkus suhsi yang
terbungkus dengan daun bambu yang berbentuk segi empat dan setelah dibuka
terlihatlah nasi dengan bentuk segi empat juga lalu diatasnya ada irisan ikan
segar dengan pemanis dua lembar sayuran kecil di salah satu ujungnya. Saat
menatap makanan itu dalam hati ia bertanya sendiri. ‘Mengapa makanan ini begitu
terkenal hingga ke dunia Eropa sana?’
“Hei… ada apa denganmu? Mengapa kamu
mengamati sushi seolah itu makanan paling aneh di dunia? Itu namanya Sasazushi
salah satu tipe Oshizushi(5), tidak semua sushi dibungkus daun bambu, banyak juga memakai
daun pisang apakah masih terlihat aneh?”
Randu mengangkat wajahnya untuk
menatap Rimba. “Kamu memang benar, di negara kita ada rendang yang mendunia
tapi ini.” Kembali ia melirik piring sushi-nya sejenak. “Kenapa makanan seperti
ini bisa sangat mendunia padahal isinya hanya nasi dan daging ikan mentah..
apakah itu tidak aneh?” kata Randu tidak bermaksud sedikitpun mengklaim kalau
sushi itu makanan sepele.
Rimba tersenyum tipis lalu matanya
menoleh ke sekitar pengunjung yang kebanyakan orang China dan tidak sedikit
turis asing lalu ke piring makanan miliknya. Untung dia tidak memesan sushi
Chirashizushi dengan bahan mentah
semua seperti ikan ditambah udang dan hanya sedikit nasi, ia sudah kapok memesan
makanan itu yang pernah ia lakukan di restoran Jepang yang ada di Amerika. Kali
ini ia memesan jenis makanan yang tidak ada hubungannya dengan sushi.
Sebelum mencicipi hidangan Randu
mengamati pekerja-pekerja di restoran itu kebanyakan para pria. Ia lalu menoleh
pada Rimba. “Kenapa pekerja di barnya nyaris semua pria?”
“Di Jepang, ahli sushi wanita umumnya
tidak disukai pengunjung restoran sushi. Selain itu, pertimbangan higienis yang
tidak jelas asal-usulnya menjadikan ahli sushi tetap merupakan didominasi pria.
Walaupun demikian, wanita ahli sushi mulai banyak dipekerjakan. Mereka dilarang
keras menggunakan kosmetik yang mengandung parfum atau mengecat kuku.”(6)
“Oh, masuk akal karena
untuk membuat sushi lebih banyak menggunakan tangan untuk mengepal nasi sampai
padat.” Tutur Randu setelah melihat bentuk sushi yang ada di hadapannya.
“Oke, tunggu apalagi?
Dari tadi kamu hanya mengomentari makanan ini, saatnya menikmati.” Ujar Rimba.
Randu mulai coba
mencicipi dari nasi terlebih dahulu dan beberapa saat kemudian ia berkomtar
lagi. “Nasinya berasa asam namun beras Jepang ini rasanya sangat lembut di lidah,
ada sedikit rasa manis sekaligus asin sedikit.”
“Terasa asam karena
berasnya dicampur dengan cuka beras, garam dan sedikit gula.” Beritahu Rimba.
Ia mengamati Randu menikmati makanan yang baru pertama kali ia makan itu. “Kamu
suka?” tanyanya kemudian.
“Mmm.. masih terasa aneh
di lidahku… dan…” sejujurnya Randu tidak begitu suka makanan itu atau karena
belum merasa familiar saja.
“Segala yang pertama memang agak aneh rasanya.” Ujar Rimba seraya
tersenyum.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
(5)Oshizushi
adalah : Nasi disusun bersama neta yang dipres untuk sementara waktu
dengan maksud memadatkan nasi agar sushi yang dihasilkan berbentuk persegi
panjang yang lalu dipotong-potong agar mudah dinikmati. Oshizushi ada juga yang
dibungkus daun bambu lalu dipres untuk sementara waktu, antara beberapa jam
sampai satu malam.
(6) sumber : Wikipedia.
*
Randu dan Rimba sudah
keluar dari restoran yang lumayan ramai itu namun sepertinya Randu masih saja
penasaran dengan makanan khas Jepang yang telah ia nikmati, sambil jalan ia
masih membicarakannya.
“Kenapa tadi aku tidak
pesan neta alias lauk-nya daging atau
ikan yang sudah dimasak saja ya?” masih terbayang di benaknya dengan nasi
dipres dan irisan tipis ikan mentah di atasnya.
“Masih ada banyak waktu
untuk kembali menikmatinya.” Hela Rimba. “Sushi, seperti nama orang kalau di
negara kita ya tapi di sini sebenarnya nama itu berasal dari kata sifat untuk
rasa masam tapi secara harfiah sushi itu berarti berasa atau masam.”
“Sudahlah, kita akhiri
saja mengenai sushi sekarang kita melanjutkan jalan-jalan.” Kata Randu setelah
mereka melewati trotoar yang bersih dan indah lalu mereka disapa oleh pria
Jepang yang usianya sekitar lima puluhan.
“Mmm.. Tokyo ga suki desu
ka?” sapa pria itu seolah ia bicara kepada keluarga yang datang dari jauh.
Rimba melirik ke Randu
sejenak dan tanpa menunggu Randu mengeluarkan suara ia sudah menjawab
pertanyaan pria ramah itu. “Hai, suki desu.” Sahut Rimba dengan sopan seakan
mengimbangi pria separuh baya yang sedang berjalan dengan gadis kecil yang mungkin
cucunya dan sengaja berhenti untuk menyapa Randu dan Rimba. Sedang gadis kecil
sekitar usia empat tahun itu sedang asyik memainkan tangan pria itu dalam
genggamannya dan tidak peduli dengan satu dua orang yang lalu lalang di
sekitarnya termasuk kepada Rimba dan Randu.
Penduduk Tokyo memang
didominan oleh usia pekerja sekitar tujuh puluh persen sedang anak-anak dan
usia lanjut adalah sisanya.
“Tokyo wa hajimete desu
ka?” tanya pria itu lagi.
“Hai, hajimete desu.”
Lagi-lagi Rimba menjawab dengan tenang dan ada rasa senang menjumpai pria itu.
Entah mengapa ia seolah pernah berjumpa dengan pria itu sebelumnya sedang Randu
masih terpaku dengan pembicaraan mereka.
“Suki na tabemono wa nan
desu ka?”
“Sushi desu.” Sahut Rimba
singkat sebab baru saja mereka menikmati makanan khas Jepang itu dan sejenak
Rimba menoleh ke arah restoran yang telah mereka masuki bersama Randu.
Sekilas pria itu
tersenyum. “Oh, Kanko wa doko ni ikitai desu ka?”
“Atode kanggaemasu.” Kali ini jawaban Rimba
masih mengambang.
“Ja....yukkuri tanoshin de
kudasai.....watashi mo itsu ka Indonesia ni ikitai desu....itsu ka anato mo.”
Pria itu mengusap kepala gadis kecil itu sejenak yang dari tadi berpandangan
dengan Randu yang sempat mengukir senyum untuknya.
Rimba tersenyum dan mengangguk kecil
seolah mendoakan pria itu dengan gadis kecil tersebut. “Indonesia ni yukemasu
yo.” Katanya kemudian dan pria itu mengangguk-anggukan kepalanya sembari tersenyum
bijaksana kemudian mengajak gadis kecil yang sudah mulai bosan dengan ombrolan
mereka. Rimba dan Randu pun meneruskan perjalanan lalu terdengar helaan napas
panjang dari Rimba.
“Kenapa? Memangnya apa saja yang
kalian bicarakan? sebenarnya aku bosan mungkin sama dengan gadis kecil tadi.”
Protes Randu. “Tapi enak juga melihat kamu cas cis cus dengan pria paruh baya
itu.” Tambahnya.
“Tidak begitu penting, dia hanya
menanyakan apakah ini kunjungan pertama kita di sini dan makanan apa saja yang
kalian sukai.” Rimba hanya menjelaskan intinya saja.
“Kamu pasti mengatakan kamu tidak
suka sushi, begitu? Kalau kamu bilang menyukai sushi ada beberapa saksi yang di
restoran itu melihat kamu tidak memesan sushi.” Randu tertawa diikuti suara
tawa Rimba yang agak keras dan mengandung kepuasan tersendiri membuat Randu
menyikut pelan sikunya. Cuaca Tokyo di musim semi membuat Randu dan Rimba
merasa sangat menikmati liburan mereka meski scarf tetap terpasang dengan baik
di leher Rimba serta jaket tebal menutup tubuh Randu.(7)
*
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
(7) by : Linda Amatiu Harada
(7) by : Linda Amatiu Harada
Tokyo ga suki desu ka?
Hai, suki desu.
Tokyo wa hajimete desu ka?
Hai, hajimete desu
Suki na tabemono wa nan desu ka?
Sushi desu
Oh, Kanko wa doko ni ikitai desu ka?
Atode kanggaemasu...
Ja....yukkuri tanoshin de kudasai.....watashi mo itsu ka Indonesia ni ikitai desu....itsu ka anato mo indonesia ni yukemasu yo.
Hai, suki desu.
Tokyo wa hajimete desu ka?
Hai, hajimete desu
Suki na tabemono wa nan desu ka?
Sushi desu
Oh, Kanko wa doko ni ikitai desu ka?
Atode kanggaemasu...
Ja....yukkuri tanoshin de kudasai.....watashi mo itsu ka Indonesia ni ikitai desu....itsu ka anato mo indonesia ni yukemasu yo.
-----
apa kalian menyukai tokyo? .........
ya, kami suka tokyo.
apakah ini pertama kalinya kalian ke tokyo?
hmmmm betul, ini pertama kalinya kami mengunjungi tokyo.
makanan apa saja yang kalian sukai?
sushi.
Oh, kalian sekarang mau jalan-jalan kemana lagi?
yeaaa... kita lihat saja nanti.
oke kalau begitu, selamat menikmati tokyo... dan saya juga tertarik ingin datang ke indonesia.
semoga lekas terlaksana. terima kasih.
-----
ya, kami suka tokyo.
apakah ini pertama kalinya kalian ke tokyo?
hmmmm betul, ini pertama kalinya kami mengunjungi tokyo.
makanan apa saja yang kalian sukai?
sushi.
Oh, kalian sekarang mau jalan-jalan kemana lagi?
yeaaa... kita lihat saja nanti.
oke kalau begitu, selamat menikmati tokyo... dan saya juga tertarik ingin datang ke indonesia.
semoga lekas terlaksana. terima kasih.
-----
*
Di Jepang Randu dan Rimba menjadi
berdebat karena Randu ingin mengajak Rimba ke Athena… dan sama sekali Rimba
tidak mengerti mengapa gadis itu ingin membawanya ke sana.
“Kamu ini aneh Randu, sungguh aneh.”
Kata Rimba mulai emosi. “Jika kamu bermaksud mengunjungi Itali kenapa tidak
dari awal sebelum kita datang ke Asia. Tadinya aku pikir kita akan kembali ke
Indonesia, setelah itu aku kembali ke Amerika.” Rimba coba menahan emosinya
sedang Randu hanya menghela napas panjang dan menatap Rimba karena ia susah
menjelaskannya.
“Kamu sudah lelah ya?” suara Randu
lembut seakan tidak bisa memaksa Rimba untuk ikut bersamanya ke Itali.
“Bukan itu permasalahannya, kalau
kita ke sana maka kamunya jadi mondar-mandir dan akan kembali pulang sendiri.”
“Meski ini permintaan terpentingku
dalam rangka jalan-jalan ini?”
“Apa sih maksud kamu? Jalan-jalan
yang telah kita lalui sudah tidak aku anggap sebagai permintaan kamu sebelum
menikah tapi aku memang menikmatinya dan senang menemani kamu, tapi ini permasalahannya
kenapa kamu tidak bicara dari awal dengan begitu kita bisa ke Itali dulu baru
ke India hingga ke Jepang ini.” Jelas Rimba.
“Yah, anggap saja aku keliru dalam
hal yang satu itu.. dan sekali lagi aku memohon agar kamu mau ikut aku ke
sana.” Sahut Randu dengan nada pelan sehingga Rimba merasa lagi-lagi tidak bisa
menolaknya meski ia rasa agak ribet bolak-balik, dari Eropa ke Asia lalu balik
lagi ke Eropa.
“Baiklah, apapun alasan kamu dan aku
harap ada hal yang teramat penting di sana, aku tidak ingin mengecewakanmu.”
Kata Rimba akhirnya. Ia tidak akan membuat Randu kecewa karena tidak berhasil
mengunjungi satu tempat setelah menemaninya keberbagai tempat lain, siapa tahu
Itali-lah tempat yang menjadi puncak perjalanan mereka.
“Benar, mau?” tanya Randu lagi
seolah tidak percaya. Rimba mengangguk disertai senyum tipis.
“Kamu senang?” hela Rimba dan dengan
pelan namun pasti Randu pun mengangguk. Dan akhirnya kedua sahabat itu
berpelukan tanda kalau mereka telah sama-sama setuju.
*
Itali
Dan kini, mereka ada di negara paling
romantis di dunia, yaitu Athena, Roma-Itali. Negara legenda yang banyak
memiliki Mitos dan Menara miringnya yang menakjubkan. Zaman Pangeran Paris ada
putri Helen yang begitu cantik, kuat dan sangat menarik serta menjadi perebutan
pria pada abad itu sehingga menimbulkan perang Troya. Negara itu dinobatkan
sebagai negara paling romantis karena mereka selalu menjaga bangunan kuno dalam
bentuk aslinya. Negara ini dikenal pula dengan pahlawan perang dengan ilmu pedangnya
serta para Gladiatornya serta tak ketinggalan serial laga televisi fenomenalnya
yaitu kisah seorang prajurit wanita yang ingin menebus kesalahannya yaitu Xena
Warrior Princess.
“Apakah kita akan mengunjungin
Craco? Kota mati yang ada di daerah Basilictaa?” ujar Rimba.
“Ngapain jauh-jauh datang hanya
untuk mengunjungi kota mati.” Protes Randu. Sebelum siang Randu mengajak Rimba
datang ke komplek Menara Pisa. Sepanjang perjalanan mendekati Menara Pisa
melewati kios-kios yang banyak menjual tanda mata tak satupun yang mereka ambil
untuk oleh-oleh. Kala bangunan miring itu terlihat seaakan mengatakan inilah
kota Pisa yang merupakan salah satu keajaiban dunia vesri Unesco. Menara Pisa
adalah trademartnya Italia.
“Mana yang lebih indah? Menara
Eiffel? Tembok China? Borobudur atau Tugu Monas? Atau patung Liberty?” ujar
Rimba saat mata mereka menatap Menara Miring.
“Sejatinya sesuatu yang terlihak
klasik itu akan lebih mengagumkan seperti Tembok China, candi Borobudur juga
Menara ini.” Sahut Randu. Merekapun mengambil gambar seperlunya.
“Mau naik ke atas?” kata Rimba dan
sebelum Randu menjawab Rimba meneruskan. “Kamu
Tahu tidak berapa
tahun atau mungkin berapa abad pembangunan Menara itu? Menara ini dibangun
dalam waktu yang sangat lama tapi setelah mengetahui terjadinya kemiringan maka
pembangunanpun dihentikan. Aneh ya, mengapa bisa miring? Apa karena tanahnya
atau ada hal lain semisal arsikteknya yang lupa.. hehehe, tapi Menara ini tetap
dipertahankan sehingga diteruskan oleh generasi berikutnya. Sehingga kalau
dihitung-hitung Menara ini dimulai dari tahun 1173 selesai 1399 lebih dari dua
abad, keren. Kalau mau naik kita akan beli tiket. Menaranya berjumlah 8 lantai,
aku pernah sekali naik ke atas sana. Ada lonceng tiap lantai yang membentuk
tangga nada.” Kata Rimba seperti seorang guide profesional saja. Ia mengunjungi
tempat itu juga waktu itu bersama para model yang lain dan tidak sempat ke
mana-mana karena jadwal mereka yang padat.
“Kamu pernah ke sini tapi kok tidak
pernah cerita sama aku, biasanya apapun yang kamu lakukan selalu kamu cerita
melalu surat, kapok ya karena aku tidak pernah membalas surat atau pesan
singkatmu? Aku tidak tertarik naik ke atas sana.” Bukan itu sebenarnya yang
ingin dikunjungi oleh Randu tapi kota Florence.
Kota Florence yang berjarak sejam
perjalanan dari kota Pisa memang kota seni sejati, indah dan seolah sepanjang
jalannya seperti melihat isi museum saja karena di mana-mana terlihat
ukiran-ukiran yang menakjubkan.
“Kita akan ke Piazzale.” Guman Randu
dengan suara pelan seakan teringat dengan kedua orang tuanya yang telah tiada. Rimba
yang kebetulan belum mengunjungi tempat itu jadi ikut antusias.
Tiba di sebuah tempat makan yang
sangat nyaman di Piazzale, Randu yang sudah mempelajari beberapa hal tentang
kota Florence yang membuat kedua orang tuanya mengunjungi tempat itu tidak
ingin menyia-nyiakan kesempatan. Di kafe yang tidak terlalu ramai karena sangat
mahal serta pas sekali untuk menikmati sungai Arno yang mengalir di tengah kota
Florence, semua itu bisa terlihat dengan sangat jelas dari Piazzale Michelangelo.
Florence memang panoramik sekali beberapa bangunannya menjadi landmark kota
Florence meski tidak ada bangunan yang menjadi pencakar langit.
Terlihat sebuah Gereja Santa Maria
del Fiore alias Duomo alias Katedral Florence, Gereja terbesat ketiga di dunia
setelah Gereja Vatikan dan Gereja di London. Duomo adalah kebanggaan orang
Florence.
Randu dan Rimba menginap di hotel
Novote Firenze Nord karena letaknya tidak terlalu jauh dari Airport.
“Aku ingin menikmati pizza panas.” Ujar
Randu sebelum mereka menikmati suasana kota Florence dari ketinggian Piazzale
Michelangelo.
“Kamu bisa makan pizza sepuas hati
kamu.” Sahut Rimba setelah mereka mengambil tempat duduk yang tidak begitu jauh
dari balkon café.
“Juga keju Parmigiano.” Lanjut Randu
kemudian.
Rimba mengangguk. “Tidak tertarik ke
Milano? Itu adalah ibukota busana sejati dunia, bahkan mengungguli ibukota
lainnya di dunia seperti New York, Paris, London dan Tokyo. Merek-
merek busana utama
Itali seperti Gucci, Prada, Versace, Valentino, Armani, Dolce dan Gabbana,
Missoni, Fendi, Moschino, Max Mara dan Ferragamo, dianggap sebagai sebagai
rumah busana terasli di dunia. Juga majalah busana Vogue Italia dipandang
sebagai majalah busana terpenting dan paling bergengsi di dunia. Hmmm Negara
ini juga terkemuka di bidang desain.” Urai Rimba dengan senyum merekah seolah
mengagumi para para desainer hebat itu.
“Kamu sepertinya salah mengambil
tempat sekolah, kenapa mengambil kota Paris kalau Itali lebih hebat?” goda
Randu kemudian dan Rimba hanya tersenyum seolah tidak pernah menyesali apapun.
Rimba malah mengalihkan pembicaraan.
“Seharusnya kita mengambil tempat di Park Hotel Ripaverde. Hotel itu dekat
sekali dengan sirkuit Mugello.”
“Kunjungan kita ke sini tidak ada
sangkut-pautnya sama sekali dengan balapan.” Randu melirik pizza panas yang
baru saja dihidangkan di atas meja mereka yang dipesan beberapa menit yang lalu.
“Ayolah, aku sudah tidak sabar ingin makan pizza ini.”
Menikmati makanan di tempat aslinya
memang berbeda, seperti menikmati pempek di Palembang akan berbeda rasanya
kalau makan di Jakarta meski ada embel kata-kata asli buatan Palembang.
“Nama Florence diambil dari nama
seorang gadis yang berprofesi sebagai perawat, pemberani juga benar-benar
melayani tanpa pamrih meski ia berasal dari keluarga kaya pemilik tuan tanah
tapi ia rela meninggalkan semua itu demi panggilan tugasnya yang berkaitan
dengan kemanusian., meski sempat ditentang keluarga namun gadis bernama
Florence Nightingale tetap menjalankan tugasnya. Ia lahir di Firenze, Italia
pada tanggal 12 mei 1820.” Kata Rimba disela-sela makan mereka.
“Kamu itu sebaiknya menjadi seorang
guru sejarah saja, sepertinya lebih pas.” Gerutu Randu yang sebenarnya agak iri
mendengar setiap pengetahuan Rimba yang segudang. Ditanggapi Rimba dengan
senyuman.
Hari sudah mulai senja dan Randu dan
Rimba masih asyik di atas balkon café dan kali ini mereka berdiri di bagian
luar untuk menikmati kota Florence lebih leluasa. Kota yang tenang dengan warna
agak kecoklatan sehingga terkesan kota klasik. Semua bangunan nyaris sama
bentuknya, tidak ada yang terlihat rumah kaca atau yang bersifat menyilaukan
mata serta sungai Arno terlihat mengalir dengan sangat tenang.
Randu menatap Rimba. “Rim…. saat
mengunjungi makam Papa tiba-tiba aku merasa merindukan suasana lain, seakan
berada di tempat bersalju bersama kak Waru, Mama dan Papa.” Randu tertawa kecil.
”Setelah melihat berbagai negara aku merasa tidak ingin tinggal di satu tempatpun
di antaranya. Sekarang aku baru bisa merasa tenang.” Ia masih menatap Rimba.
”Sebelum kecelakaan, Papa pernah mengatakan satu keinginan, sebuah impian. Dia
mengatakannya saat memeluk aku.” Rimba juga menatap Randu. ”Dia bilang, pasti
akan mengajak kita ke tempat ini. Itu impian terakhirnya.” Ujar Randu dengan
nada sedih.
Rimba memegang tangan Randu. “Untuk
mewujudkan impian Papa, kamu meminta aku bersumpah menemanimu sampai ke sini?
Terus-terang Randu, Aku merasa malu pada diri sendiri.”
Randu beralih menatap ke hamparan
indah yang ada di hadapan mereka. “Terima kasih karena telah mewujudkan impian
Papa.” Tambahnya dengan mata mengamati pemandangan indah yang mulai diselimuti
senja dengan langit warna kuning emas. Ia menarik napas panjang dan merasa lega
karena seakan melihat senyum keluarganya di atas sana bersama awan yang ikut
menguning oleh bias cahaya matahari senja. Rimba merasa suasana menjadi sendu
karena melihat wajah Randu yang berbeda jauh pada saat mengunjunig
tempat-tempat sebelumnya.
“Kamu yang mewujudkannya. Aku tahu,
buat kamu Papa adalah segala-galanya, makanya kamu bisa melakukan apa saja
untuknya. Termasuk ke tempat ini.” Hela Rimba.
“Seharusnya aku sadar dari awal
sinyal dari Papa.” Kembali ia menatap Rimba. Dulu saat Papa dan Mama bersama
mereka sangat bahagia. Mereka jalan-jalan ke sini setelah menikah, foto-foto
mereka adalah saksi dari kebahagiaan itu. Mereka mungkin berencana kembali ke
sini bersama anak-anak mereka..” Suara Randu tertahan.
“Maafkan aku Randu, aku memang orang
yang tak tahu diri, saat bertemu Papamu, mengubah segalanya. Saat memeluknya
setelah dia minta aku memanggil Papa, dalam hati aku berkata… beginikah rasanya dipeluk oleh seorang
Ayah?”
Randu diam. Lalu…“Aku tahu.” Kata
Randu kemudian. ”Semuanya sudah berlalu… mungkin ini hikmah dari semuanya.
Begini… kamu tahu profesiku, kan? Aku ingin menikah tapi aku juga ingin berlaga
di dunia internasional. Sementara aku sendiri merasa tidak yakin bisa
mewujudkan dua-duanya. Jadi aku ingin mendengar pendapatmu.” Keduanya saling
tatap sesaat. Rimba diam, suasana menjadi lengang. ”Kamu adalah satu-satunya
keluarga terdekatku saat ini, yang bisa memberi saran terbaik buat aku.”
Rimba menghela napas berat. Belum
pernah ia mendengar ada orang meminta pendapat seserius itu kepadanya.
“Randu, ini menyangkut masa depanmu,
bagaimana aku bisa berkomentar? Aku tidak berani berkata apapun.”
“Setidaknya kamu bisa kasih
pandangan. Kalau aku terjun ke dunia Internasional otomatis jarang di rumah
karena latihan yang lebih keras, baik di negeri kita atau pun di luar. Waktu
aku tanya Dio, katanya semua keputusan ada di tangan aku. Sementara aku sendiri
tidak memiliki keputusan yang pasti.”
“Kamu pasti memilikinya, aku percaya
itu.” Tegas Rimba.
“Entahlah….?” Randu menatap bintang
yang mulai muncul di langit. ”Kamu pasti sudah pernah melihat bulan purnama
kan, Rim…? Semua orang mendambakannya dan mengaguminya, karena cahayanya yang
begitu indah, tapi apakah kamu pernah tahu, kalau bintang juga pernah mengalami
purnama…??” Rimba ikut memandang bintang. ”Dengan jumlahnya yang milyaran itu,
bisa kamu bayangkan seandainya semuanya sedang purnama…”
“Pasti sangat menakjubkan…” Kata
Rimba. ”Itulah dirimu saat ini. Aku bangga pernah mengenalimu dan yakin kalau
kau bisa lebih dari saat ini, terkadang kita lebih bahagia menjadi juara dua…”
Randu coba memahami ucapan Rimba.
Kembali ia memandang bintang yang sedang berkelip indah namun hati Randu
sedikit gundah. Rimba memegang bahunya.
“Apapun keputusanmu, pasti itulah
yang terbaik buat semua. Aku hanya bisa mendukung apapun yang terjadi dan tetap
sayang sama kamu”
Randu menatap Rimba lalu tersenyum. “Kenapa
tidak delapan tahun lalu kamu berkata seperti itu? Apa aku tidak pernah
memberimu kesempatan?”
Rimba memeluk pundak Randu. “Aku
tidak ingin lagi kau mengingat kejadian yang lalu, bagaimana pun juga kamu
sudah menjadi pembalap Internasional. Aku bangga sekali, dan terima kasih
karena telah memberi aku kesempatan untuk berjuang 50% itu.”
“Iya, dengan membiarkan dan
melepaskan aku sendiri berjalan tanpa tujuan, kau hanya berdoa dari jauh tanpa
sedikit pun menoleh ke arahku. Membiarkan aku menderita dengan alasan konyolmu
itu. Tapi pada dasarnya kamu sedang menyakinkan dirimu sendiri bahwa kamu
mampu. Sekarang aku baru tahu maksud dari kata-katamu itu. ’Kadang-kadang aku
ingin menyerah, tapi tidak setelah ingat kamu’ aku tidak tahu dari mana kamu
dapat ide seperti itu.”
Rimba menatap Randu. ”Mulai detik
ini aku bersumpah untuk selalu mendukung kamu.”
“Itu harus, karena aku tidak akan
bisa bertahan tanpa dukungan seorang sahabat seperti kamu.” Ujar Randu dengan
nada pasti.
Kita akan mendapat dukungan dari
keluarga tercinta dan bila kita juga mendapat dukungan tulus dari seorang
sahabat maka itu bonus, karena sahabat sejati akan merubah segalanya lebih
baik.
Ponsel Randu berdering. Om Bob
menghubunginya.
“Sayang… kamu di mana? Galid dan
Gesiaa mencari kamu. Mereka bilang tahun depan akan mengikut sertakan kamu di sirkuit
Valencia Spanyol.. juga ke sirkuit Mugello Italia.”
“Iya Om, tolong katakan saja kalau
aku sudah mengetahuinya, dan aku…. Akan memberi jawabannya dalam beberapa hari
ini.” Randu mematikan ponselnya. Ia menatap Rimba yang tidak berkomentar
apa-apa. Sebelum ia bicara, ponsel Rimba keburu menyala juga. Ternyata hanya
SMS yang masuk. ”Ada apa?” Tanya Randu.
Rimba membaca pesan di ponselnya
sejenak lalu…. “Seseorang memberitahukan kalau audisi aku di perusahaan film
ternama itu diterima. Bulan lalu aku ikut Audisi dan ternyata lulus.”
“Apaa…?!?”
Rimba hanya bisa mengangguk. Lalu
keduanya tersenyum dan tertawa bahagia…. Sepertinya impian kedua sahabat itu
akan tercapai, tinggal selangkah lagi. Senyum mereka begitu indah… seindah bintang-bintang
Purnama, tapi bagaimana dengan keinginan Randu dan Rimba untuk tinggal bersama
…….?
Apakah Randu akan menikah atau
melanjutkan karir di dunia balapnya?
Rimba, apakah akan menerima peran
itu atau kembali ke Indonesia….??
***
Bersambungggggggg kawan....>>>
HTX