CERPEN
‘KOTAK KOSONG’
‘
*****
Entah apa yang telah terjadi dengan diriku, sungguh
semuanya terasa sangat aneh bahkan aku merasa ini diluar kuasa dan kendali
diriku. Ada sesuatu yang seperti menyentak-nyentak kalbu bahkan secara terus
menerus mengusik jiwa dan menguras pikiran serta waktu istiraratku. Apa ini?
Bisakah aku menjawabnya? Ah, jangankan menjawab memahaminya saja aku bahkan
tidak mampu.
Yang menjadi pertanyaanku apakah selama
ini aku mengharapkan hal ini menimpaku? Sungguh, ini tidak sama sekali!
Andaipun ada hal yang aku pikirkan selama ini bukan tentang itu. Tapi apa ini?
Adakah orang lain khususnya wanita lain mengalaminya juga?
Sungguh luar biasa pesona itu sangat luar
biasa, rasanya ingin sekali aku memaki dan menjerit sekuatnya tentang rasa yang
ada saat itu dan anehnya aku mengira ia punya rasa yang sama, ah mana mungkin.
Namun diluar dugaanku saat aku dan dia kala itu duduk di ruang tamu sedang
menonton acara televisi tiba-tiba ia menegurku
dengan sebuah permintaan.
“Boleh aku minta nomor teleponmu?”
“Untuk apa?” sahutku dengan segera padahal
dalam hati aku sudah mengira ia akan melakukan itu.
“Ya, biar nanti aku bisa memantau
kesehatan Mbah Kakung kalau aku sedang diluar kota.” Jawabnya dan menurutku
cukup masuk akal namun tetap saja aku merasa itu sebagai alasannya namun begitu
aku tetap memberikannya. Sungguh aneh.
*
Aku bekerja di sebuah rumah mengurus
seorang pria lansia, ia sakit struck ringan yang mengharuskannya duduk di
sebuah kursi roda. Meski ia masih memiliki seorang istri yang kebetulan juga
sudah tua yang tidak memungkinkan untuk mengajak si Mbah Kakung jalan-jalan
setiap pagi sebagai terapi. Setelah beberapa hari bekerja ada seorang pria
bersama putri kecilnya datang dari luar kota yang lumayan jauh, anaknya sudah
duduk di bangku kelas 3 SD ternyata.
Dari Mbah, aku jadi tahu kalau pria itu
ternyata sudah ditinggal istrinya dari anak mereka kecil sekali dan yang
mengurus putri kecil itu adalah ayahnya tanpa bantuan siapa pun dari hal terkecilpun.
Sungguh luar biasa apalagi dia punya usaha sebuah rumah makan di kota tempat
tinggalnya itu, pria itulah yang mengerjakan urusan masak-memasak sedang yang
membantu hanya untuk urusan melayani pembeli saja. Aku jadi bisa membayangkan
betapa pekerja kerasnya pria itu, pagi-pagi sudah bangun untuk menyiapkan
segala urusan untuk isi rumah makannya belum lagi harus mengantar anaknya
sekolah. Sebagai seorang wanita siapa yang tidak terkagum-kagum dengan pria
seperti itu, belum lagi penampilannya keren, pekerja keras, penyayang dan
simpati. Aku jadi melihat sosok seperti itulah yang menjadi impianku saat ini.
Entah terdorong oleh kondisi finasialku
yang pas-pasan atau mungkin karena ada hal lain yang masih aku cari alasannya.
Aku punya satu putra yang masih TK kecil sedang suamiku bekerja serabutan. Dari
masih singel aku memang pekerja meski tidak bisa dibilang kerja kantoran tapi
intinya aku sudah terbiasa membantu keluarga dan otomatis selalu punya uang
sendiri dan seandainya saat ini aku punya pasangan yang mungkin bisa memenuhi
kebutuhan seorang wanita dalam arti yang tidak terlalu aneh mungkin tidak
membuat rasa ini menjadi sedikit bimbang atau bisa dibilang sangat bimbang.
Hmmm… untuk makan sehari-hari kami mungkin bisa tapi untuk yang lain tidak,
sehingga untuk membeli kebutuhan khsusus seorang wanita saja aku harus berusaha
sendiri, tidak pernah aku berpikir untuk membeli hal yang berlebihan semisal
alat make-up, ponsel mahal atau baju bagus. Karena bagiku kebutuhan anak lebih
penting sehingga mengabaikan underwear-ku sendiri. Tapi kenapa sejak bertemu
dengan pria itu, semua kebutuhan itu seakan menjadi lebih nyata bahkan sangat
nyata.
Selama ini aku merasa yakin kalau
perasaanku utuh untuk pasanganku tapi setelah bertemu dia ‘Pria itu’ dan
mendengar semua kisah dan perjuangannya ada perasaan yang kagum luar biasa,
apakah hanya sebatas kagum? Entahlah. Dan setelah mendengar sendiri ia
mengutarakan perasaanya yang mengatakan saat itu.
“Dek, aku kok merasa nyaman dan tenang
ngobrol dengan kamu. Coba kalau kita ditemukan saat kamu belum punya suami.”
Ujarnya dengan nada seolah menyesali pertemuan itu padahal aku bisa merasakan
ada bias kebahagian saat kami bisa berbincang di sela-sela kesibukanku mengurus
Mbah Kakung dan anaknya si gadis cilik itu terlihat begitu manis, mandiri dan
bisa aku rasakan anak itu juga menyukaiku. Bukan tanpa alasan karena gadis
kecil itu pernah mengatakan kalau ia mengidamkan seorang ibu seperti diriku.
Merasa tersanjung juga saat itu.
“Tidak Mas Biyan, jangan bicara seperti
itu. Aku ini sudah punya suami dan bekerja di sini untuk keluargaku. Untuk
urusan itu aku doakan Mas Biyan bisa menemukan seorang yang lebih pas untuk
menjadi ibu dari putri Mas.” Sahutku mencoba menjadi seorang yang tidak boleh dianggap
spesial padahal saat itu hatiku sedang berbunga begitu merekahnya seakan semua
lagu-lagu indah dan melankolis sedang berkumandang di telingaku yang mampu
menutupi kenyataan diriku yang sesungguhnya telah memiliki seorang putra kecil
semata wayang dan seorang suami yang begitu setia dalam segala kekurangannya
selama ini. Pun mertua yang begitu baik bukan saja pada diriku bahkan pada
seluruh keluargaku yang selalu ringan tangan membantu apapun yang berbentuk
tenaga yang bisa mereka lakukan.
Semakin hari aku merasa ketidakberesan
perasaanku sudah mulai mengganggu ketenangan hingga akhirnya memutuskan untuk
keluar dari rumah itu walau susah sekali mencari alasan karena Mbah Kakung
merasa sudah cocok dirawat olehku begitupun istrinya merasakan Mbah Kakung
tidak akan pernah menolak atau cerewet kalau aku yang memintanya untuk selalu
latihan jalan setiap pagi. Namun dengan alasan yang pas karena saat itu ada
tawaran untukku bekerja di sebuah restoran dekat rumah, karena sebelumnya aku
pernah lama bekerja di restoran atau rumah makan di pinggir jalan menjadi juru
masak yang sangat diandalkan membuatku kembali tertarik dengan bidang itu.
Setelah keluar dari rumah Mbah Kakung
dilema baru aku hadapi, entah mengapa aku merasa ada yang hilang dari diriku,
apa itu? Karena sebelumnya Biyan pernah mengatakan ia ingin sekali melihat aku
bahagia di depan matanya, ia ingin membahagiakan aku dalam hal apapun hingga
aku berpikiran apakah di matanya aku begitu menderitanya? Entahlah. Aku tidak
pernah cerita tentang hidupku padanya selama ini selain mendengar ceritanya dan
aku merasa ceritaku dengannya itu selalu saja bisa nyambung dalam hal pandangan
hidup yang selama ini tidak aku dapatkan dari suamiku yang nota benenya
adem-adem saja, tidak pernah cerita tentang tantangan hidup, pandangannya
sangat luas ke depan dan itu bukan seperti mimpi-mimpi indah hanya saja aku
merasa ia punya wawasan yang begitu luas hingga bisa menyamai diriku, yang
membuat aku merasa tertantang yang sekaligus aku merasa bahwa kami sangat
sepaham dalam hal apapun. Entah mengapa akhir-akhir ini aku jadi sering
membanding-bandingkan suamiku dengannya, itu bodoh sekali!
Aku tidak tahan lagi hingga akhirnya hal
ini aku ceritakan pada adik perempuanku yang masih single. Tahu apa tanggapan yang aku dapat? Aku diomeli
habis-habisan, yang tadinya berharap respons bagus darinya atau setidaknya
berkhayal ia mengatakan ‘Boleh tuh Mbak, orangnya keren, baik, punya usaha
tidak malu-maluin diajak ke undangan dan bla bla bla….’ atau segala macam yang
ia punya sempat terlintas dibenakku ternyata tidak satupun aku dapat. Huh! Apa
ini? Mungkin seharusnya aku bersyukur karena tidak mendapatkan apa yang
seharusnya ingin aku dengar dengan begitu adikku punya sifat yang semua orang
mungkin membanggakannya atau mengacungkan jempol untuknya. Karena saat itu ia
mengatakan.
“Jangan Mbak, kasian Mas suaminya Mbak.
Dan keluarga suami Mbak itu bukan saja baik sama Mbak tapi juga baik sama
kita-kita.”
“Jangan, dia bukan pria baik-baik. Andai
ia pria baik-baik maka ia tidak akan mendekati kamu yang ia tahu sudah punya
suami. Siapapun dia kalau ia pria sejati ia tidak akan mencoba masuk ke dalam
hubungan kamu yang masih sah jadi istri orang.” Kata salah satu temanku yang
berada jauh di luar kota saat aku ceritakan semua permasalahan yang sedang aku
alami melalui telepon.
“Tidak, ia tahu kok… aku sudah punya
suami. Bahkan ia pun sangat menyesali perasaannya padaku, tapi kami memang
saling menyukai.” Aku sampai menangis karena merasa ada yang sesak di dadaku.
Perasaan itu begitu kuat, ada debaran yang aku rasakan setiap saat apalagi
setelah Biyan dan putrinya kembali ke kota tempat ia buka usaha. Terlintas pikiran tidak warasku
untuk mengikuti mereka dan mengurus mereka sampai Biyan menemukan pengganti
istrinya apalagi aku merasa sangat pas di sana karena aku hobi masak. Hanya
satu kata, GILA!
Sepertinya aku memang sudah gila dengan
perasaan ini, karena tidak lagi memikirkan keluarga kecilku sehingga dengan
naifnya berpikir akan mengurus mereka sedang aku sendiri punya sesuatu yang
wajib aku urus. Memang secara profesional aku akan digaji karena menjadi
karyawannya nanti dan pulang membawa uang dan bisa membeli apa yang aku
inginkan. Huh! apakah di sini aku yang hilang akal atau dia?! Apakah ini
cobaan? Rasanya sangat sulit untuk menghindar dan melawan perasaan itu.
Sebelumnya temanku pernah bilang.
“Sudah jangan menangis lagi, nikmati saja
perasaan itu dan biarkan ia mengalir hingga habis tak tersisa karena
bagaimanapun kamu tidak akan sanggup melawannya. Yang namanya perasaan sesaat
itu memang menggebu-gebu dan setelah kamu sadari bahwa semuanya hanya kotak kosong yang tak bermakna. Kita masih punya perasaan dan itu
manusiawi tidak perlu dilawan. Menangislah dan dengan begitu bukan saja
perasaan itu yang besar karena sebagai wanita kita tidak akan bisa
menghilangkan rasa dan tanggung jawab kita sebagai istri dan ibu, menangis
karena kita masih sangat kuat mencintai keluarga kita yang sesungguhnya.”
Air mataku semakin deras mengalir meski
telepon genggam masih menempel di telingaku, aku masih saja memberontak dengan
apa yang aku alami. Aku membenci perasaanku yang sangat besar pada Biyan karena
setiap saat ia mengirimkan aku pesan dan meneleponku di waktu luangnya dan
sekali-kali memuji kerja kerasku untuk membantu keluarga.
“Aku tidak menyukai perasaan ini tapi aku
tidak mau kehilangan dia.” Sahutku di antara derai air mataku saat aku
menelepon sahabatku di luar kota itu waktu istirahat siang di pojok ruangan
dapur restoran.
“Ya aku mengerti.. mengerti sekali apa
yang kamu rasakan saat ini tapi kamu harus percaya kalau yang kamu rasakan
sekarang ini hanya sesaat… dan akan hilang dengan sendirinya.”
“Sesaat? Tapi sampai kapan? Aku rasanya
tidak akan kuat.”
“Yaaaa… sebulan dua bulan atau mungkin
setahun, tidak akan melampau dua tahun.”
“Setahun…. Ya ampun, itu bukan sesaat..
dalam beberapa hari ini saja aku rasanya ingin mati saja.” Tangisku belum bisa
berhenti. “Sekali lagi aku katakan, aku lelah dengan perasaan ini… benci meski
ini rasanya indah namun aku tetap ingin mendapatkan perhatiaanya, aku tidak
ingin kehilangan dia. Tadinya aku pikir ini hanya kekaguman atau perasaan
sesaat tapi mengingat sosok pekerja kerasnya membuat aku benar-benar kagum
dalam arti yang sesungguhnya.” Helaku yang masih ngotot menganggap kalau tidak
ada yang salah pada diriku.
“Oke, aku tahu…. dan aku pernah berada
dalam posisi kamu dan kamu pastinya masih ingat apa yang terjadi padaku, kan?
Sekarang tidak ada yang istimewa semuanya hilang tak berbekas hingga ke hal
terkecilpun. Aku akan menunggu kabar darimu selanjutnya.”
Sahabatku mengakhiri pembicaraan itu dan
aku tahu pasti ia pernah mengalami hal ini sebelumnya dan ia mengatakan bahwa
itu kegilaan yang saat itu tidak bisa ia tepis karena perasaannya begitu kuat
dan setelah mereka bertemu, tidak ada yang istimewa dan ia benar-benar bisa
melupakan perasaannya dan merasakan itu sama sekali tidak penting. Apakah
sesimpel itu?
Berkali-kali aku menghela napas panjang
dan hari-hari berikutnya aku tidak pernah lagi membalas pesan masuk dari Biyan
meski hanya sapaan menanyakan apakah aku baik-baik saja. Meski hati kecilku
ingin sekali membalas pesan itu. Aku tidak ingin ia tahu bagaimana
jungkirbaliknya aku coba menjadi diriku yang dulu sebelum kenal dengannya.
Bukan aku ingin melupakannya, hanya saja aku ingin meringankan beban hatiku
yang masih terasa terhempas ke pelabuhan asmara yang bukan dermagaku. Dan jujur
aku tetap ingin tahu kondisinya di sana dan hingga detik ini terasa terus
menggelitik keinginanku untuk tahu apakah Biyan dan putri kecilnya baik-baik
saja? Tuhan lindungi mereka, beri mereka kesehatan.
*
Entah selama ini ada yang kosong di hatiku
hingga bisa masuk perasaan lain dan berhasil mengguncang ketenangan tidurku?
Aku tidak ingin adik laki-lakiku tahu tentang semua ini apalagi sampai suamiku
tahu walau aku tahu betapa posesive-nya
dia. Taklama berselang si Mbah Kakung meninggal setelah seminggu dirawat di
rumah sakit dan aku beberapa kali berkunjung untuk melihatnya di rumah sakit
dan saat itu adalah pertemuan terakhirku dengan Mbah Kakung, aku besuk sebelum
berangkat bekerja dan sempat pamit dan Mbah Kakung hanya menjawab meski tidak
membuka matanya.
Si Biyan yang ada di luar kota di Timur
Indonesia sempat pulang dan aku tidak ingin bertemu denganya karena aku sedang
menata hatiku, karena aku tidak yakin apakah aku sanggup bertemu dengannya?
Masa bodohlah dengan kata-kata usang yang mengatakan ‘cinta tidak harus
memiliki’ atau mungkin ‘puber kedua’ karena hanya aku yang bisa merasakan apa
yang hatiku inginkan!
===== bersambung>>>>
HTX