Rabu, 12 Agustus 2015

DIOBA n’ ZEE
*
    Mobil Fortuner sudah siap di depan rumah super megah dan seorang wanita sekitar usia 25-an duduk di belakang stir menunggu orang yang akan di bawa. Tak berapa lama kemudian yang di tunggupun keluar dengan tampilan wanita karir usianya tidak lebih dari duapuluhdua tahun. Ia masuk ke dalam mobil tanpa harus di bantu untuk membuka pintu.
    “Selamat pagi Zee..” sapa sopir saat wanita itu duduk di sebelahnya nadanya dingin dan tidak akan bicara kalau tidak di tanya ia memang selalu menyapa dulu setelahnya diam dan diam.
    “Pagi juga Dioba.” Sambut wanita itu dengan nada semangat serta senyum indah seperti pagi-pagi sebelumnya. Mobil mulai beranjak dari depan rumah menuju jalan raya lalu meluncur deras seakan sudah biasa seperti itu. Sopir yang bernama Dioba Uku selalu fokus dengan pekerjaannya tanpa menoleh kepada wanita di sebelahnya yang sudah sibuk dengan dunianya sendiri, dunia kerjanya yang tidak pernah lepas dengan Gadget-nya. Sang ahli nyetir membawa mobil merasa tidak pernah terganggu dengan kegiatan wanita tersebut dan memang seperti itu adanya karena yang sibuk juga merasa santai berada di dalam mobil meski ia memilih duduk di sebelah sopirnya. Wanita itu tidak pernah dandan di dalam mobil tidak juga banyak bicara tapi dia punya wibawa yang kuat meski kesan manja pada dirinya terkadang tak bisa ia sembunyikan.
    “Hari ini ada meeting yang lumayan panjang dan aku rasa kamu bisa pulang atau jalan-jalan ke mana dulu karena sepertinya akan keluar dari kantor sekitar pukul tujuh malam.” Jelas wanita itu dan dijawab sopir dengan singkat dan jelas.
    “Ya.” Namun saat menjawab ia menoleh sekilas pertanda ia menghargai teman bicaranya dan yang diajak bicara sudah hafal betul sifat sopirnya. Nyaris setengah jam di jalan mobil baru bisa berhenti di depan gedung perkantoran dengan tulisan ‘KEME JANG’ sebuah perusahaan yang bergerak di bidang Periklanan.
    “Oke, sampai jumpa lagi nanti.” Kata wanita manis berambut panjang itu sembari membuka pintu mobil.
    “Ya.” Sahut Dioba sebelum wanita itu meluncur pergi menuju kantornya. Sesaat sebelum menstarter mobil ia menghela napas panjang. Hari senin yang lumayan panjang untuk dilewati. Dioba membawa mobil hitam mengkilap itu ke sebuah tempat yang sebelumnya pernah ia datangi. Sampai di lokasi yang tidak begitu ramai ia mengambil tiket lalu meluncur ke dalam dengan menenteng tas ranselnya.
    Seorang pria paruh baya menyapanya. “Hai Dioba Uku.... kamu ini tahu sekali kalau kolam di waktu senin dalam kondisi bersih dan tidak terlalu ramai. Bagaimana kabar Zee Neba?”
    “Kabar Zee Neba baik-baik saja. Ya pasti karena semalam baru saja di kuras.” Sahut Dioba dengan nada santai sembari melirik hamparan air kolam yang bersih dan tenang. Meski ada satu dua orang yang sudah berenang di sana. “Bapak juga tahu aku ini kan pengangguran jadi hari apa saja bisa datang ke sini.” Tambah Dioba.
    Pria itu tersenyum. “Baiklah, setengah jam lagi aku akan membawakan minuman kesukaanmu.”
    “Terima kasih, Pak.” Dioba memberi salam hormat pada pria yang sudah puluhan tahun bekerja di tempat itu dan ia bisa melakukan apa saja, dari melayani tamu, membersihkan kolam sampai Taman.  Dioba ke ruang ganti pakaian, di ranselnya selalu ada pakaian renang yang kapan saja siap digunakan, bukan itu saja karena selain pakaian renang ada juga sepatu kets dan beberapa kaus olahraga volinya disamping itu ada satu barang yang tidak pernah ia tinggalkan yaitu NoteBook-nya.
    Setelah keluar dari ruang ganti Dioba melihat ada rombongan wanita sekitar kepala empat di luar, mereka yang tidak lebih dari tujuh orang sepertinya satu geng yang siap berenang. Kalau sudah ada wanita berkumpul pasti ramai karena mereka selalu punya bahan cerita yang tidak pernah ada habis-habisnya seolah merekalah yang membuat kisah di dalam dunia ini. Di antara mereka tidak ada yang membawa anak, Dioba melirik ke arah mereka sejenak namun ada salah satu dari mereka menyimak sosok Dioba yang di matanya terlihat memiliki bentuk tubuh yang ideal dengan rambut sebahunya.
    “Wanita itu terlihat sendiri, apa kalian yakin dia ke sini sendiri? Zaman sekarang banyak orang aneh, zaman prostitusi juga zaman serba palsu.” Celotehnya dan Dioba yang sudah mendekati kolam tentu saja tidak mendengar kata-kata itu.
    “Ya, tidak sedikit orang yang menempuh jalan instan untuk cepat kaya.” Yang lain menambahkan.
    “Ngapain sih ngomongin orang mendingan kita segera ganti baju renang... nanti keburu siang panas mukaku akan gosong dan ngeluarin duit lagi buat perawatan.” Sindir yang sepertinya lebih mementingkan kesehatan dirinya daripada usil dengan jalan hidup orang lain.
    “Itu baru benar.” Wanita yang berwajah ceria menimpali dan akhirnya mereka masuk ke ruang ganti sementara Dioba sudah menceburkan dirinya ke dalam kolam. Meski tidak begitu paham tehnik berenang namun ia bisa berenang dengan gaya kupu-kupu dan gaya dada. Tidak ada pemanasan yang ia lakukan sebelumnya hanya saja ia berenang dengan santai dulu lalu ia menggunakan gaya kupu-kupu tanpa harus melompat dari atas seperti yang sering dilakukan para perenang sesungguhnya. Ia melakukan gaya itu dengan beberapa kali lintasan sampai ia merasakan gerakan jantungnya semakin cepat dan kaki terasa mulai berat sehingga mengharuskannya untuk berhenti sebentar lalu mengulangnya lagi. Sepuluh menit berikutnya Dioba menyandarkan punggungnya di sisi kolam sehingga ia bisa melihat semua orang yang ada di dalam kolam tak terkecuali geng yang tadi. Hanya satu dua yang benar-benar berenang sedangkan yang lain tak ubahnya berada di tempat arisan. Suara mereka juga ada yang keras dan mereka terlihat tertawa bahagia seakan tidak ada masalah yang mereka alami di dalam hidup ini. Sekilas Dioba bisa membayangkan apa yang mereka pikirkan semua hal itu ia simpan di dalam memori otaknya kemudian ia kembali berenang untuk beberapa putaran lagi sampai ia benar-benar merasa badannya cukup enteng dan segar meski lelah.
    Dioba merasa sudah saatnya ia naik dan mandi setelah selesai ia baru ke meja yang selama ini sering ia tempati dengan kursi yang ada sedikit busanya. Ia duduk di kursi pojok ruangan dan mengeluarkan NoteBook-nya. Tidak sampai lima menit pria paruh baya itu mendatanginya dengan segelas kopi panas dan roti bakar, ia meletakkan di atas meja Dioba.
    “Ini, kamu pasti sudah kedinginan dan  menu kesukaan kamu ini akan kembali menghangatkanmu.”
    “Terima kasih, Pak.” Ujar Dioba dengan santun pada pria itu dan dibalas dengan anggukan serta senyum tulus seorang bapak.
    “Selamat menulis ya.” Tambahnya setelah melihat NoteBook wanita itu sudah terbuka. Dioba hanya membalasnya dengan senyum termanisnya. Sebelum menulis ia menikmati kopi dan rotinya sedikit untuk menghangatkan tubuhnya seperti yang dikatakan pria tadi. Cafe pagi-pagi belum ramai hanya ada beberapa orang yang terlihat sedang sarapan sebelum berenang dan sebaliknya. Dioba memang bisa fokus menulis di mana saja meski orang-orang lewat tak jauh darinya, ia juga menggunakan headset menikmati lagu-lagu klasik serta alunan gesekan biola dari Vanessa Mae. Saat lelah menulis ia menggunakan waktu membuka internet untuk sekedar tahu apa yang terjadi di dunia luar. Kebiasaan menulis Dioba telah diketahui oleh Zee karena ia sering melihat Dioba menulis di dalam mobil sesaat setelah ia masuk ke dalam mobil dan itu bukan sekali dua kali namun Zee tidak pernah bertanya apa yang ditulis Dioba sebaliknya Dioba pun tidak pernah menjelaskan apa yang ia tulis. Dioba selalu menulis apa yang dia alami dan lihat seakan ia sedang menulis di buku Diary saja namun satu hal yang tidak pernah ketinggalan di dalam tulisannya yaitu tentang Zee Neba.
*
    Dioba mengamati teman-temannya yang sedang berlatih  bola voli di dalam gedung olahraga itu tidak ada satupun yang benar-benar akrab dengannya karena dia tidak gampang akrab dengan siapapun. Setiap minggu ada saja yang coba mengajaknya bicara bahkan dari hati ke hati Dioba menanggapinya sekedar saja bahkan tidak jarang ia pun mejadi tempat mereka berbagi kisah. Kisah keluarga, perselingkuhan bahkan kisah yang paling rahasia pun. Namun jika ada yang mau tahu tentang dirinya Dioba selalu memberi sekat dengan mereka. Ia merasa tidak ada yang berhak tahu mengenai hidupnya. Ia selalu melenggang pergi dengan santai seolah tidak ingin mengganggu siapapun. Tidak sedikit yang mempertanyakan siapa Dioba sebenarnya, keluarganya, kekasihnya atau apakah dia sudah menikah apa belum. Setiap kali mata orang asing memandang selalu memancing ingin mengetahui tentang dia namun Dioba tetap santai.
    Dioba lebih senang mengamati prilaku teman-temannya di banding ikut campur urusan mereka. Semisal si A, penampilannya bak Artis dan memang ia menarik dengan bentuk tubuh yang nyaris sempurna, permainannya juga lumayan bagus namun dia termasuk pendatang baru di tempat Dioba. Dia pastilah orang yang punya keuangan di atas rata-rata, pikir Dioba. Ternyata tidak demikian adanya, dia hanyalah  orang biasa yang punya sedikit keahlian di bidangnya dan pasangan hidupnya juga tidak punya apa-apa.
    Si B, nyablak, ramah dan suka humor tadinya Dioba pikir dia hanya suka bercanda dengan masalah pria ternyata dia serius dan benar-benar punya kebiasaan dalam hal main hati. Dan ada lagi yang dulunya sempat Dioba kagumi melihat penampilannya yang pendiam, baik dan nganyomi ternyata dia tidak sesempurna yang dibayangkan karena dia sering membuat status di BB dengan kata-kata memaki tidak jelas dan kata-katanya kasar.

**
Halo Zee

    “Zee..... sejak aku berada di kota ini banyak sekali hal baru yang aku temukan, kamu mungkin sudah menjumpai ribuan orang dalam perjalanan hidupmu tapi apakah kamu juga bertemu dengan orang-orang seperti yang pernah aku lihat? Tak sedikit dari mereka yang memandangku sebelah mata, bahkan dari mulut orang-orang aku dengar mereka menganggap aku aneh. Apakah kamu juga berpendapat sama dengan mereka Zee?
    Tidak apa-apa kalau benar, aku tidak mau ambil pusing.... aku tidak mau mengganggu pekerjaan kamu seperti halnya kamu juga tidak pernah mau ikut campur urusanku. Tapi tahukah kamu Zee.....? tidak tahu mengapa aku susah sekali mempercayai orang di lingkunganku.
    Si Anu.... dia sudah menikah dan aku tak habis pikir mengapa dia pacaran lagi? Apakah sekedar untuk bersenang-senang? Kalau demikian berarti dia tidak bahagia dengan suaminya, jika demikian mengapa dia masih mempertahankan rumah tangganya? Aku yakin kamu juga tidak bisa menjawab pertanyaanku karena kamu juga belum pernah menikah.
    Dia yang aku kenal beberapa bulan ini sudah banyak cerita tentang kehidupan rumah tangganya padaku dan aku mengira dia hanya cerita kepadaku eh betapa naifnya aku berpkikir demikian. Mana ada orang yang gampang cerita hanya cerita pada satu orang, aku benarkan Zee?
    Orang ini lain lagi Zee.... dia sudah berjilbab tapi punya kekasih di lingkungan kami latihan dan anehnya dia sudah tidak sungkan-sungkan lagi memperlihatkan keakrabannya dengan pria itu di depan kami dan yang lebih aneh lagi tidak ada satupun di antara kami yang menegurnya. Aku jadi senyum-senyum sendiri kalau ingat masalah ini.
    Nah! Kalau wanita yang satu itu dia termasuk orang yang mapan karena setiap latihan dia punya seragam baru dan seragam olahraganya selalu sama dari ujung kaki sampai rambut. Aku rasa dia punya semua warna sepatu di dunia ini. Pernah aku dengar dari salah satu anggota latihan kalau di antara mereka tidak hanya punya niat untuk berolahraga sebab tidak sedikit yang datang untuk sekedar tebar pesona lantaran di gedung samping ada juga para pria yang latihan voli.
    Ada seorang wanita yang juga masih single Zee.... tubuhnya tidak jauh beda dariku untuk ukuran kurus, tapi dia lebih cuek dalam hal kepribadian bahkan tidak segan-segan memperlihatkan sifat aslinya di muka umum yang mungkin untuk ukuran anak gadis tidak etis dilakukan dalam pandangan orang awam. Tapi semua itu adalah hak dia karena kebebasan itu muklak milik indivudi masing-masing manusia. Benarkan Zee...?
    Dan yang satu ini membuat aku benar-benar salut, dia wanita karir dan punya hobi olahraga salah satunya bermain bola voli. Di samping untuk refreshing dia memang suka bergaul dan seringkali memberikan pelajaran yang baik bagi yang dekat dengannya, suka menjadi penengah. Bukan tipe penghasut bukan juga sombong dan dia sudah sering tugas dinas di luar negeri dari foto yang ada di BB-nya namun tidak sekalipun dia menyebutkan di mana lokasi foto itu meski semua kami tahu di mana keberadaannya. Benar-benar wanita yang rendah hati, apabila di antara anggota ada yang ribut-ribut sedikit dia selalu menyarankan untuk tidak diperbesar dan segera diselesaikan. Kalaupun ada masalah di dalam grup voli dia tidak menginginkan dibawa keluar gedung. Dia adalah ketua tim kami di grup voli Zee. Kami tidak salah memilih dia kan? Di antara kami memang punya hobi yang sama Zee tapi tidak semua kami hanya menjalankan hobi itu dengan sungguh-sungguh seperti yang aku katakan tadi karena ada beberapa orang yang punya modus di dalamnya meski hanya secuil namun yang paling banyak adalah memang benar-benar hobi disamping itu untuk menghilangkan kepenatan di luar semisal di rumah, di kantor atau apapun profesinya karena umumnya yang hobi voli bisa tertawa lepas di lapangan sembari berolahraga. Bugar lahir batin. Tapi kamu Zee..... apakah kamu tidak penat seharian di kantor? Aku tahu.... kamu memang punya kebiasaan lain selain di kantor yaitu belanja dan berduaan dengan kekasihmu tapi aku sungguh tidak mau nanti setelah menikah kamu tidak bahagia, tidak mau kamu selingkuh dan tidak mau kamu mengumbar kisah-kisahmu dengan wanita-wanita yang tidak bisa memegang omongannya. Aku juga tidak mau melihat kamu menangis hanya karena disakiti pasangan, karena kamu tidak akan pernah tahu apa yang akan aku lakukan jika itu terjadi.”

    Dioba menutup NoteBook-nya setelah menulis kata hatinya dengan panjang lebar di lembaran Word, saatnya ia mandi karena tidak ada istilah telat baginya untuk menjemput Zee. Zee sudah menggajinya mahal yang mampu membuatnya membeli sesuatu, sehingga ia bisa meneruskan hobi olahraganya dan memberinya ruang untuk menjalankan hobinya tersebut. Tidak ada alasan baginya untuk mengecewakan Zee, selain baik dan royal Zee perhatian padanya tapi setelah mengetahui siapa Zee sebenarnya semua berubah drastis.
    Fortuner itu sudah ada di depan kantor Zee beberapa menit yang lalu, Dioba mengamati Zee melangkah dari pintu utama dan di sebelah kanannya ada seorang pria yang sudah tidak asing di mata Dioba. Usia pria itu tidak kurang dari 27 tahun. Dari gerak tubuh mereka bisa Dioba lihat kalau pria itu sedang meminta sesuatu kepada Zee dan tidak bisa dikabulkan. Kalau Zee sudah mengatakan tidak maka seperti apapun usaha pria itu tidak akan bisa berhasil. Ada kesamaan sifat yang itu antara Zee dengan Dioba.
    Sebelum Zee masuk ke dalam mobilnya pria itu memegang tangan Zee sehingga memaksa Zee berhenti sejenak untuk mendengarkan apa yang akan dikatakan kekasihnya.
    “Aku ingin kamu ganti supir.” Sergahnya membuat kedua alis Zee terangkat tidak menyangka kalau pria itu akan mengatakan hal itu. “Aku serius.” Tambahnya.
    “Masalah serius tidak bisa dibicarakan di jalan, sekarang aku ingin pulang dan kita bisa bicarakan ini lagi besok. Apapun alasanmu akan aku dengar besok, oke..”
   “Zee..... ini semua demi kebaikanmu.” Tambah pria itu seakan tidak rela kekasihnya disupiri oleh Dioba.
    “Bimo... aku lelah sekali, sekali lagi aku katakan kalau kita akan bicarakan ini besok.” Pinta Zee dan kali ini pria yang bernama Bimo itu harus melepaskan kekasihnya untuk pulang bersama Dioba meski ada kekhawatiran di wajahnya.
    “Halo Zee.... selamat malam.” Sapa Dioba saat Zee membuka pintu mobil.
    “Malam juga Dioba....” balas Zee seperti biasa tanpa ada sedikitpun hal yang berubah. Bimo mendekati mobil yang sudah dinyalakan mesinnya.
    “Dioba.... aku harap kamu bisa menjaga Zee dan hati-hati kalau membawa mobil.” Tegasnya. Namun yang menjawab kata-katanya malah Zee.
    “Bim... kamu ini apa-apaan sih.” Zee tidak suka Bimo bicara seperti itu kepada supirnya.
    “Tidak apa-apa Zee.... tidak masalah.” Sahut Dioba dengan santai tanpa tersinggung ataupun menyiratkan kata kesal kepada Bimo. Detik berikutnya ia meninggalkan pria itu yang mungkin juga akan segera pulang ke rumahnya. Setelah mobil meluncur indah di jalan raya Zee melirik ke arah Dioba sejenak dan sempat mengamati wajah wanita itu dan tidak ada yang berubah semua sama di matanya Dioba sama saja saat pertama kali dia rekrut jadi supirnya. Dioba menyadari kalau Zee sedang mengamatinya dan ia juga tadi sempat mendengar samar-samar apa yang dikatakan Bimo kepada Zee di tempat parkir meski sejujurnya ia tidak suka dengan cara Bimo memandangnya apalagi ikut campur dengan urusannya. Namun Zee pribadi tidak punya rasa takut sedikitpun kepada Dioba dan sebentar saja matanya sudah mengantuk.
    “Mataku ini tidak bisa diajak kompromi.” Ujar Zee dan kalau sudah bicara seperti itu biasanya dalam hitungan detik saja matanya sudah terpejam dan saat Dioba menoleh Zee sudah bersandar di joknya dengan mata terpejam. Dioba hanya menghela napas dalam-dalam karena sejak ia tahu siapa Zee sebenarnya ia merasa tidak bisa melakukan apa-apa karena rasa sakit hati, benci dan juga rasa sayangnya kepada Zee melebur jadi satu sehingga sukar sekali ia pisahkan. Terkadang terpikir olehnya untuk menyetir sekencang mungkin lalu saat berada di depan jurang ia melemparkan mobil ke dalam jurang sampai mereka berdua mati terbakar di dalam mobil hingga jadi abu.
    Zee sudah tertidur pulas saat mobil sudah masuk ke dalam pekarangan rumahnya. Rumah bagus itu sudah menyala terang dengan lampu taman serta lampu rumah yang menyala di setiap sudutnya. Kini Dioba sudah menutup kembali pintu pagar dengan remote yang ada di dalam mobil. Dioba menoleh ke wajah Zee yang diterangi dengan lampu teras rumah yang menyala terang. Wanita itu masih terlelap membuat Dioba tidak tega membangunkannya sedangkan jarum jam di tangannya sudah menunjukkan pukul delapan malam. Beberapa menit kemudian pengurus rumah yang kata Zee sudah puluhan tahun bekerja dengan Zee muncul setelah tadi mendengar suara mobil majikannya masuk. Dioba keluar dari mobil dan menyapa wanita paruh baya yang menyambut mereka.
    “Selamat malam Mbok...”
    “Malam Dio....” sahutnya dengan panggilan Dio karena Dioba lebih senang wanita itu memanggilnya demikian. Pertama kenal wanita itu ia memanggil Dioba dengan sebutan Non. “Non Zee mana? Tidur...?” katanya seperti itu karena tidak melihat majikannya ikut keluar dan beliau sudah tahu kebiasaan majikan manisnya itu senang sekali tidur di dalam mobil.
    “Ya begitu deh, bangunkan saja.”
    “Ya, ya tapi kamu jangan pulang dulu akan Mbok buatkan kopi untukmu dan Non Zee.” Katanya tidak menginginkan Dioba langsung pulang. Dan kali ini Dioba mengikuti apa kata wanita baik hati tersebut. “Non..... Nona Zee... bangun, sudah sampai...” wanita itu menggoyang-goyangkan bahu majikannya dengan perlahan sampai Zee membuka matanya dan menemukan dirinya masih di dalam mobil.
    “O ya ya....” ia melirik ke jok sebelah yang sudah kosong.
    “Non Dio sudah di dalam baru saja masuk, Mbok mintanya jangan pulang dulu.”
    “Oh..” Zee keluar dari dalam mobil dibantu sama Mbok. “Buatkan kopi untuk Dioba dan aku juga ya Mbok.”
    “Tentu saja Non.” Sahutnya sambil ikut masuk mengikuti majikannya dari belakang. Di ruang samping Dioba terlihat santai menyimak isi BB-nya karena ada beberapa grup yang ia ikuti seperti tim volinya dan grup sekolahnya dulu. Zee masuk tidak lewat ruang samping karena dia langsung masuk lewat pintu depan, masuk ke kamarnya dan mandi, panggilan dari Bimo tidak ia gubris dan baru di angkat setelah ia selesai mandi.
    “Ya halo...., ini baru saja selesai mandi. Aku tidak apa-apa.” Setelah mempersingkat obrolan Zee meletakkan ponselnya dan ia ke ruang samping menemui Dioba. Dioba duduk di sofa empuk dan ruangan itu lengkap dengan semua keindahan untuk memanjakan mata, dari hiasan sampai televisi dengan ukuran besar. Tidak ada foto keluarga di dalam ruangan itu semua hiasan dipenuhi dengan lukisan abstrak. Dioba tidak mengerti mengapa ruangan itu semua serba abstrak, kecuali satu ukiran dengan kerajinan tangan terbuat bahan dasar kulit sapi yaitu gambar harimau Sumatra yang dibingkai indah dan kokoh di dinding bagian kanan. Dioba merasakan ada hal yang ingin diperjelas di ruangan itu meski lukisannya serba abstrak. Dioba hanya beberapa kali saja duduk di dalam ruangan itu.
    Zee yang sudah mandi mendekati tempat duduk Dioba dan ikut duduk di sebelahnya. “Besok ke sini seperti biasa tapi kita tidak ke kantor.” Kata Zee dilirik sekilas oleh Dioba. “Kita tidak belanja atau jalan-jalan tapi ada shooting iklan di daerah Puncak.”
    “Ya.”
    “Dioba.... kamu boleh bawa kekasihmu kalau mau karena setelah syuting selesai kita tidak langsung pulang tapi kalau kekasihmu sedang kerja jangan dipaksain nanti malah kalian ribut.” Kata Zee yang tidak biasanya menyinggung masalah pacar kepada Dioba.
    Terdengar tawa halus dari mulut Dioba. “Aku tidak punya pacar.”
    “Benarkah?” pertanyaan itu terdengar antara kaget dan senang namun Dioba tidak menanggapi pertanyaan Zee dengan kembali menikmati kopi bikinan Mbok. “Rasanya tidak masuk akal kalau wanita mandiri dan cantik seperti kamu tidak punya pacar.” Ia menoleh kepada Dioba.
    “Memangnya harus punya pacar?” hela Dioba dengan menekan kata harus dalam kalimatnya. “Sepertinya aku harus segera pulang karena kamu mau istirahat.” Ia coba menghindari pertanyaan Zee selanjutnya tapi Zee coba menahannya.
    “Bagaimana kalau malam ini kamu menginap saja di sini, sejak Ayahku sering tugas di luar dalam dua tahun belakangan rumah ini menjadi sepi. Mbok dan pak Hasan tidak cukup membuat rumah menjadi ramai.” Tutur Zee lalu meneguk kopinya. “Ya.. aku ingat kontrak kerja kita.” Lanjut Zee karena Dioba masih diam. “Em... aku boleh tanya satu hal?”
    “Ya.”
    “Siapa orang yang paling kamu benci di dunia ini?”
    “Apa?” pertanyaan tidak di duga itu menyentak Dioba.
    “Apa tadi kamu berpikir aku akan menanyakan siapa orang yang paling kamu cintai di dunia ini?”
    “Tidak juga... aku pulang sekarang, sampaikan salam sama Mbok dan pak Hasan.”
    “Kamu tidak mau menginap meski aku memohon?”
    “Maafkan aku.” Dioba beranjak. “Selamat malam Zee.”
    “Selamat malam Dio....” kali ini Zee memanggilnya Dio memaksa gadis itu menoleh sejenak namun tak membuat Zee berdiri. Tidak biasanya Zee seperti itu karena setiap melepaskan Dioba dia selalu berdiri bahkan mengantarnya sampai pintu depan terkadang sampai Dioba naik motor kesayangannya. Motor itu selalu ia titip di rumah Zee, Dioba dari rumah kontrakannya mengendarai motor begitupun pulangnya karena Zee tidak mengizinkan dia pergi ke mana-mana mengendarai motor meski Dioba sebenarnya lebih nyaman naik motor. Saat Dioba melangkah pergi Zee hanya menatap punggungnya hingga mengilang tidak terlihat lagi. Kata-kata Bima masih terngiang di telinganya tentang Dioba. Haruskah ia mengkhawatirkan Dioba? Apakah dia di mata orang-orang terlihat menakutkan? Sepertinya tidak! Dioba orangnya baik, bertanggung jawab dengan pekerjaannya dan tidak egois.

**
 Nama Gadis Itu Dioba Uku
   
    “Zee.... Ayah mau kamu cari supir seorang wanita selama Ayah dinas di luar.” Pria limapuluhan itu tidak ingin anak gadis kesayangannya ke mana-mana di kawal supir pria karena supir pribadi mereka sudah pensiun.
    “Tidak gampang mencari supir wanita, Yah. Apalagi yang mengenali lingkungan Jakarta dengan baik. Ayah ini ada-ada saja.” Protes Zee memaksa ayahnya menatap anaknya dengan sungguh-sungguh.
    “Kalau begitu kamu ikut Ayah saja, biar staff-mu yang mengurus perusahaan itu untuk sementara.”
    “Bagaimana sementara Ayah ada di luar bisa dua bahkan sampai lima tahun masa Zee membiarkan usaha yang sudah dirintis selama ini ditinggalkan begitu saja. Ya sudah... akan Zee usahan mencari supir seorang wanita.”
    “Benar ya sayang.... nanti Ayah akan bantu kamu mencarinya.” Ujar pria itu penuh perhatian bukan lantaran istrinya sudah tidak ada tapi sejak anak gadisnya lahir ke dunia ini apapun bisa ia lakukan demi kebahagiaan anaknya. Dia tidak akan pergi ke luar negeri kalau anaknya masih usia sekolah, sejak dulu ia selalu menunda kepergiaannya untuk urusan bisnis. Tidak tahu mengapa gadis yang sudah menginjak usia 22 tahun itu masih ia anggap anak kecil yang mesti diawasi setiap langkahnya meskipun ia selalu mengajarkan Zee untuk hidup mandiri.
    Beberapa hari sebelum ayahnya berangkat masuk surat lamaran ke kantor Zee untuk ditempatkan di bagian apa saja. Saat Zee menerima surat itu dari tangan personalianya ia agak kaget karena pelamar mau ditempatkan di mana saja, seakan mengisyatakan kalau dia bisa melakukan apa saja atau bisa saja sebaliknya karena tidak memiliki keahlian apapun ia rela jadi cleaning service. Zee makin penasaran lalu ia mengamati CV sang pelamar.
    Namanya Dioba Uku, berasal dari luar kota, usia tidak lebih dari 25 tahun pendidikan S1 Sastra Indonesia. Biodata umum gadis bernama Dioba Uku tersebut mungkin lebih cocok jadi seorang bintang atau pengacara yang berwajah dingin namun punya karakter yang kuat. Zee melihat nomor telepon yang bisa dihubungi. Tidak perlu menunggu besok karena Zee meminta gadis itu datang ke kantornya hari itu juga.
    Gadis yang bernama Dioba Uku mendatangi kantor Zee dengan mengendarai sepeda motornya. Motor besar yang pada umumnya dipakai oleh kaum pria. Zee melihat kemunculan gadis itu di depan kantornya, tidak bisa ia pungkiri kalau Dioba punya style yang tidak biasa. Ia menunggu di dalam ruangannya dan memilih untuk duduk di sofa bukan di kursi kerjanya. Seperti yang sudah ia duga sebelumnya. Dioba muncul dengan pakaian yang tidak biasa bagi seorang wanita yang melamar kerja di kantor resmi. Barangkali ia berpikir kalau kantor Zee bergerak dalam urusan periklanan sehingga tidak harus formal-formal sekali. Bagi Zee memang tidak masalah tapi apa yang ada di dalam pikiran Dioba tidak bisa ia pastikan.
    “Selamat siang.....” sapa Dioba dengan santai kala masuk ke ruangan Zee.
    “Selamat siang, silahkan duduk.” Zee mengisyaratkan kalau gadis itu harus duduk di sofa yang ada di sampingnya.
    “Terima kasih.” Dioba duduk tanpa merasa canggung seakan ia datang bertamu saja.
    “Kita langsung ke pokok persoalan saja ya.” Kata Zee serius memperlihatkan kalau dia adalah seorang pimpinan di tempat itu. “Masih bekerja di tempat lain?” suaranya tenang.
    “Sudah tidak lagi sejak minggu lalu.” Jawab Dioba dengan sangat jelas.
    “Apakah Anda merasa tidak salah tempat melamar pekerjaan?”
    “Tidak. Saya tidak harus melamar jadi seorang editor di sebuah perusahaan penerbit atau melamar menjadi seorang jurnalis,’kan?”
    Jawaban yang keluar dari mulut Dioba memaksa Zee tersenyum namun ia tidak ingin memperlihatkan wibawanya jatuh di depan Dioba. “Oke, saya mengerti dan sesuai dengan permintaan Anda di riwayat CV saya ingin menempatkan Anda sebagai orang penting di perusahaan ini khususnya untuk saya pribadi. Tapi sebelumnya saya ingin tanya satu hal, apakah Anda bisa menyetir mobil?” Zee mengamati mata Dioba sesaat gadis itu menoleh padanya dan sedang menatap matanya juga.
    “Anda ingin menempatkan saya sebagai supir kantor?”
    “Anda keberatan?”
    “Tidak.” Sahut Dioba disertai senyum tipis.
    “Oke.... kita akan membuat surat perjanjian kerja.” Kata Zee dengan semangat karena gadis itu bisa membawa mobil. “Di CV Anda mengatakan berasal dari luar pulau Jawa, sudah berapa tahun Anda berada di kota ini?” itu masih pertanyaan interviu.
    “Tiga tahun.”
    “Baiklah, tunggu sebentar.” Zee mendekati meja kerjanya dan mengambil sesuatu di sana. Ia sudah mempersiapkan semuanya, yaitu surat perjanjian kerja dengan Dioba. Lalu ia menyerahkannya kepada Dioba. “Silahkan dibaca dulu... saya akan keluar sebentar.” Zee meninggalkan ruangannya untuk menuju ruang sebelah di mana ia bisa menyendiri. Zee menghubungi ayahnya.
    “Ayah, aku sudah menemukannya.”
    “Menemukan siapa?” tanya ayahnya belum mengerti.
    “Supir wanita.”
    “Di mana?”
    “Dia datang ke kantor, memang sih dia tidak melamar sebagai supir tapi dia bisa nyetir dan aku percaya dia bisa aku andalkan. Aku akan kirim fotonya kepada Ayah.” Zee mengirim foto Dioba yang sudah ia foto dari lembaran CV Dioba. Beberapa saat berikutnya pria itu mengiyakan usul anaknya. Ia tidak mengerti mengapa bisa satu pilihan dengan anaknya.
    “Ya sayang... Ayah setuju tapi tidak bisa bertemu dengannya karena Ayah sudah harus pergi. Kamu berikan ponselmu sama dia biar Ayah bicara langsung sama dia.”
    “Baik Ayah.” Zee kembali ke ruangan di mana Dioba telah selesai membaca surat MOU itu. “Ayahku ingin bicara sama kamu, dia ada di telepon ini.” Zee menyerahkan telepon genggamnya kepada Dioba meski ia tidak tahu apakah Dioba menyetujui surat perjanjian kerja itu atau tidak. Dioba menerima telepon dari tangan Zee tanpa tahu apa yang akan dibicarakan ayah gadis yang ada di hadapannya itu.
    “Halo....”
    “Ya Halo... saya Ayahnya Zee Neba, saya tidak tahu siapa nama kamu dari mana asal kamu tapi anak gadis saya sudah memilih kamu untuk menjadi supirnya jadi saya titipkan anak gadis saya sama kamu selama saya tidak bisa memantaunya. Dia bilang bisa mengandalkanmu dan percaya sama kamu maka saya juga akan mengandalkanmu. Sekali lagi saya akan titipkan anak gadis saya sama kamu, terima kasih.” Pembicaraanpun selesai. Dioba tidak sempat bicara apa-apa selain pertama dan terakhir, selebihnya hanya pria itu yang bicara dan berulang-ulang mengatakan anak gadisnya seolah hanya dia seorang di dunia ini yang memiliki anak perempuan. Dioba mengembalikan telepon kepada pemiliknya.
    “Bagaimana? Apa kita sudah bisa menandatangani surat MOU itu?”
    Dioba diam sejenak, tadinya ia pikir akan menjadi supir kantor namun ia akan menandatangani surat kontrak sebagai supir pribadi pemilik perusahaan. Gaji yang ditawarkan memang jauh di atas standar UMR DKI. Apakah ia harus menolaknya dan kembali bekerja di perusahaan yang selama ini telah memberikannya upah maksimal tapi ia merasa tidak nyaman.
    “Apa saya bisa sedikit mengubah dan menambahkan isi MOU itu?”
    “Em...” Zee berpikir sejenak. “Baiklah, kita akan buat kesepakatan bersama.” Kata Zee tanpa mendengar apa yang dibicarakan Ayahnya dengan wanita dihadapannya. Ia memberikan sebuah pulpen kepada Dioba. Dioba meraih pulpen dengan cepat dan ia sudah tidak sabar untuk memberi usul bahkan meminta pendapatnya agar sesuai dengan keinginan kedua belah pihak. Zee mengamati wanita yang sedang menulis dengan sangat cermat, cepat dan tanpa ada pertanyaan sehingga dalam hitungan beberapa detik saja ia sudah menyelesaikan tulisannya dan menyerahkan lembaran itu kembali kepada Zee. Zee mempelajari apa yang sudah dituliskan Dioba di lembaran tersebut.
    “Apa ada yang membuat Anda keberatan dengan usulan saya?”
    “Sejauh ini tidak, kita akan menandatangani surat kontrak kerja selama tiga tahun ke depan dengan catatan, surat kontrak tidak berlaku jika Anda memutuskan untuk menikah. Anda menikah berarti hubungan kerja juga putus.” Itu tambahan dari Zee sedangkan Dioba menuliskan tambahan, satu pihak pertama tidak perlu ikut campur urusan pribadi pihak ke dua begitupun sebaliknya. Meski di dalam surat perjanjian kerja itu agak berlebihan yang Zee berikan kepada Dioba dengan harapan Dioba tidak menolak seolah dia memang sedang mencari orang yang susah di dapat.
    “Sebelum menandatangani surat kontrak ini apakah Anda tidak ingin mengetes saya dulu?” ujar Dioba untuk memastikan kalau Zee tidak salah pilih.
    “Anda punya SIM A, kan?”
    “Punya.”
    “Itu sudah cukup buat saya.”
    Dioba tersenyum seakan menganggap Zee selain sebagai gadis brilian juga terlalu gampang percaya sama orang lain. Apakah dia tidak tahu kalau zaman sekarang banyak orang yang membuat SIM melalui calo dan tidak pandai menyetir tapi punya SIM. Pikir Dioba.
    “Oke.....”
    Surat perjanjian pun ditandatangani dengan tanpa ada paksaan dari salah satu pihakpun dan akhirnya Zee bicara lagi.
    “Dioba Uku..... Anda sudah bisa mulai bekerja hari ini... dan seperti di dalam perjanjian yang sudah kita tandatangani... tidak ada kewajiban untuk menggunakan seragam.”
    “Terima kasih.” Dioba mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan.
*
    Bimo yang mengetahui kekasihnya punya supir baru kurang respect karena seorang wanita dan menurutnya kurang bisa diandalkan. Apalagi setelah melihat sendiri Dioba Uku yang bersikap tidak seperti supir pada umumnya kepada majikan. Tidak memanggil Zee dengan sebutan ‘Non’ atau ‘Tuan Putri’
    “Dari mana kamu mendapatkan gadis yang bernama Dioba itu, sayang?” ia membahasnya saat mereka makan siang di sebuah kafe.
    “Dia melamar ke kantor.”
    “Tapi dia kan tidak melamar sebagai supir pribadi dan dia bisa masuk ke bagian lain.”
    “Tapi yang sedang dibutuhkan adalah supir pribadi. Dia oke kok, tahu jalan  meski dia berasal dari luar kota dan membawa mobil juga keren. Tidak cerewet, disiplin juga bertanggung jawab.”
    “Yah, tentu saja dia tahu jalan meski dia ambil D3-nya di daerah asalnya tapi ia menyelesaikan S1 di kota ini.”
    “Kok kamu tahu?” Zee mengamati Bimo dengan seksama.
    “Kemarin aku tanya-tanya sedikit padanya, kamu itu kekasihku dan aku tidak mau terjadi apa-apa dengan kamu nanti. Kalau boleh aku sarankan.... kamu cari supir lain atau nanti biar aku yang mencarinya.”
    “Aku mengontrak Dioba tiga tahun dan satu hal yang harus kamu tahu.... dalam perjanjian kami tidak diizinkan ikut campur urusan pribadi.” Jawab Zee dengan datar.
    “Apa? Masa ada perjanjian semacam itu? Kamu kok tidak tanya aku dulu sebelum memutuskan sesuatu?” Bimo merasa diabaikan dengan keputusan sepihak dari Zee tapi bagi Zee pribadi yang penting dia sudah memberitahukan masalah itu kepada Ayahnya.
    “Jangan terlalu membesarkan masalah ini dan aku ingin fokus dengan pekerjaanku dan kamu juga seperti itu aku rasa.” Zee coba menenangkan pikiran Bimo yang mulai khawatir berlebihan. Zee tahu apa yang dia lakukan dan kalaupun Dioba melakukan hal yang mencurigakan dia akan segera mengambil sikap dan bisa menghentikan wanita itu secara sepihak. Tapi sejauh ini ia merasa nyaman-nyaman saja bahkan melihat sikap Dioba membuatnya tidak memandang gadis itu sebagai supir, tepatnya sebagai rekan kerja.
*
    Penyelidikan Bimo tidak hanya sampai di situ, ia mengikuti Dioba sampai ke tempat kontrakannya dan memastikan kalau wanita itu benar-benar bekerja dan tidak ada maksud lain di dalamnya. Sekali dua kali tidak ia temukan kejanggalan sampai ia pun sempat bertanya ke orang-orang yang ada di sekeliling tempat tinggal Dioba, hasilnya baik-baik saja untuk sejauh ini. Satu hal yang Bimo tidak tahu... siapa Dioba sebenarnya?
    Bimo tidak ingin kehilangan Zee apalagi ada pihak lain yang coba-coba mengacaukan hubungannya dengan Zee. Tidak seorang pria ataupun wanita yang boleh memisahkan dia dengan Zee. Dan setelah melihat Dioba akhir-akhir ini Bimo mulai tidak tenang meski ia belum menemukan ada kejanggalan yang signifikan karena bukan tidak mungkin ada modus yang tersembunyi tersimpan di benak Dioba dengan menjadi supir pribadi Zee.
    Zee memang wanita baik yang tidak pernah punya pikiran jelek kepada orang lain namun apakah semua orang bisa seperti dia? Karena tidak semua niat baik orang akan di terima dengan baik tanpa adanya keinginan untuk memanfaatkan kebaikan orang. Zee yang dibesarkan oleh Ayahnya yang sudah menanamkan untuk selalu berpikiran positif kepada semua orang dan itu susah diubah meski banyak orang mengatakan dia harus lebih waspada dengan budaya orang Indonesia yang serba palsu, meski sudah seringkali mengalami hal yang tidak diinginkan Zee tetap menjadi dirinya yang baik hati.
**

Zee Neba

    Pagi itu mobil yang di bawa Dioba meluncur ke arah Puncak Bogor, kali ini Zee membawa sekretarisnya ikut serta dan mereka duduk di belakang. Seperti biasa Dioba tidak banyak bicara. Sekretaris Zee mengamati sosok supir bosnya yang di matanya wanita itu terlihat tidak biasa tapi dia tidak tahu apa yang menarik dari sosok itu dan ia tidak tahu dari mana bosnya mendapatkan supir seperti itu.
    Setelah mobil berjalan sekitar setengah jam telepon Zee berdering panggilan masuk dari Bimo. Menyadarkan Zee kalau dia punya janji untuk mengatakan masalah Dioba dengan Bimo hari itu.
    “Halo.....?”
    “Sayang..... kamu sudah berangkat ke kantor?”
    “Hari ini aku ke Puncak, maaf aku lupa kasi tahu kalau hari ini ada jadwal ke Puncak.”
    “Aduh..!!” keluh Bimo khawatir. “Sama Dia?” tegas Bimo lagi.
    “Aku mohon jangan sekarang....” pinta Zee tidak ingin membahas masalah yang saat ini dianggapnya tidak penting karena pikirannya terfokus dengan pekerjaan yang akan dilaksanakan di area Puncak. Ia meminta pembicaraan dihentikan saja apalagi akhir-akhir ini Bimo rada banyak menuntut dan cerewet.
    Sekretaris menoleh ke arah bosnya dan sudah bisa ia pastikan kalau yang barusan telepon adalah Bimo. Ia menyadari kalau belakangan ini bosnya tidak terlalu perhatian dengan Bimo karena beberapa kali pria itu tidak bisa menghubungi Zee mengalihkan telepon ke dia dan bertanya hal-hal yang tidak penting meski separuh wanita menganggapnya sebagai perhatiaan namun bagi Zee yang dididik ayahnya menjadikan dia wanita mandiri, tegas dan kuat tidak memerlukan hal seperti itu yang ke mana-mana minta dijelaskan, minta di antar, minta makan bersama, minta pulang bersama bahkan tidak sedikit hal yang membuat waktu terbuang percuma.
    Saat itu Bimo pernah mengatakan. “Sayang... kamu kok tidak pernah bertanya padaku semisal ‘sudah makan belum? Jangan tidur malam-malam, kerja jangan sampai lupa waktu’ kenapa? Kamu nggak sayang ya sama aku....? padahal aku selalu menyediakan waktu untuk bertanya seperti itu padamu.”
    “Dengan bertanya seperti itu apakah sudah jaminan kalau kamu sayang banget sama aku?” Zee malah balik bertanya dengan ringan namun cukup membuat Bimo terdiam.
    Sesaat sampai di lokasi klien Zee menelepon dan mengatakan kalau artis yang membintangi iklan mereka diganti dengan seorang pria dan pria itu sudah ada di lokasi. Pemberitahuan yang mendadak itu membuat mood Zee juga mendadak jelek.
    “Ada apa?” sekretarisnya bertanya.
    “Aku paling tidak suka hal-hal yang seperti itu...” sahut Zee dan itu belum membuat sekretarisnya mengerti dan yang ia tahu pasti ada hal yang sudah membuat bosnya sangat kecewa. “Dio.... bisa agak cepat....?” ia meminta Dioba menyetir lebih cepat karena tidak sabar ingin tahu  seperti apa tampang orang yang menggantikan pemeran utama di dalam iklan yang sudah ia beserta staff-nya buatkan naskahnya.
    “Ya, bisa.” Jawab Dioba dengan tenang dan mobilpun mulai melaju lebih cepat dari sebelumnya bahkan ada kesempatan menyalip sedikit saja tidak ia sia-siakan membuat sekretaris Zee agak menahan napas.
    “Mm... hati-hati Dioba....” ujarnya dengan nada cemas.
    “Ya.” Dioba menyahut kata-kata sekretaris Zee dan tetap fokus dengan pekerjaannya, jalur Puncak pada hari kerja tidak terlalu macet sehingga mereka lebih cepat sampai tujuan.
    Beberapa kru sudah ada di lokasi, melihat Zee datang klien dari pemilik produk menghampirinya.
    “Zee.... sorry nih, ini di luar skenario kita. Artis kita mengalami kecelakaan kecil dan cidera makanya posisinya kita ganti.” Pria itu adalah wakil dari pihak produk.
    “Tapikan kita bisa menunda syuting, apalagi hanya cidera kecil.” Zee mulai memperlihatkan gayanya.
    “Tidak bisa, bos maunya syuting harus jalan.”
    “Kenapa tidak mengambil pemerannya tetap seorang wanita? Memangnya bintang iklan wanita di negeri ini terbatas?” suara Zee masih dalam posisi sebagai klien produk yang tidak bisa dianggap enteng.
    “Mm.... gimana ya? Aku rasa tidak masalah kalau produk kami diperankan oleh seorang pria. Bos juga tidak masalah sepertinya.” Pria muda itu masih coba membela diri. Zee duduk di kursi yang ada di teras villa sedangkan kru yang lain terlihat masih santai seolah menunggu aba-aba dari para pemilik acara.
    “Sejujurnya saya tidak suka jika sebuah produk diiklankan oleh artis yang sendirinya tidak menggunakan produk tersebut semisal begini... hindari pria mengiklankan sabun colek, sabun cair pencuci piring bahkan alat pembersih kompor karena itu bukan pekerjaan seorang pria sehingga akan terasa aneh kalau seorang wanita bila membintangi iklan mobil Truk baru, iklan atau iklan memasang genteng... saya pikir kalian sudah mengerti jalan pikiran saya selama ini.” Tutur Zee.
    “Jadi gimana kelanjutannya?” pria itu minta pertimbangan Zee.
    Zee paling tidak suka bekerja dengan orang yang suka ambil keputusan mendadak dengan alasan yang sukar diterima apalagi menyangkut dengan profesinalitas. “Beri waktu saya bicara dengan bos Anda.” Kata Zee sambil meraih ponselnya untuk menghubungi kliennya.
    Zee tidak akan takut kehilangan klien jika suka semena-mena, ia bukan tipikal penjilat dan masih menganut aliran idealisnya. Bukannya wanita yang gila pujian, suka mencoba banyak hal, menghargai orang yang pantas dihargai. Kerja demi prestasi, menyenangkan orang jujur karena dia tidak bisa disogok.
**

 Dunia Dioba

    “Dio.... besok pagi tanggal merah, kamu latihan voli kan? Aku tidak ada jadwal ke mana-mana tapi aku ingin ikut kamu latihan. Mohon jemput aku besok ya....”
    “Apa?” Dioba tidak pernah menyangka Zee ingin masuk ke dalam dunianya, membayangkannya saja tidak pernah. Gadis yang selama ini ia perhatikan selalu menggunakan pakaian kantor dan kasual, selalu menggunakan laptop, Iphone, berhak tinggi meski sering juga mengenakan sepatu santai. “Untuk apa?” tambah Dioba dengan cepat.
    “Yah.... ingin tahu saja seperti apa itu bermain voli karena aku penasaran mengapa kamu begitu menyukai permainan itu siapa tahu aku juga menyukainya dan ikut bergabung. Selama ini aku selalu sibuk dengan urusan pekerjaanku tanpa pernah berpikir untuk olahraga.”
    “Kenapa tidak ambil Yoga saja? Aku rasa itu lebih pas.”
    “Tapi besok aku ingin ikut denganmu.” Zee masih bersikeras untuk tetap ikut sedangkan Dioba merasa enggan untuk mengajak gadis itu sehingga terpikir olehnya untuk membatalkan latihan besok tapi rasanya tidak mungkin karena dia sangat menyukai olahraga tersebut. “Boleh ya....? aku mohon... kita naik motor kamu.” Ucapan Zee kali ini membuat Dioba lebih kaget lagi. Bukan ia tidak pernah melihat Zee kena panas atau dibasahi oleh air hujan sebab kadangkala ia mengawasi syuting iklan di teriknya panas matahari juga dinginnya air hujan jika syuting harus selesai dalam keadaan seperti itu tapi naik motor ditengah macetnya lalu lintas Jakarta dan panas serta debunya jalanan tak bisa Dioba bayangkan kalau Zee akan melalui itu.
    “Aku tidak punya helmet dua.” Dioba berusaha menghindar dari keinginan Zee untuk ikut dengannya.
    “Di rumah ada helm Ayah. Aku bisa menggunakannya.” Sahut Zee membuat Dioba seolah mati kutu dan keinginan Zee yang kuat itu kembali memaksa kebencian Dioba kepada gadis itu muncul lagi.
    “Pukul 07.30 aku sudah berangkat.”
    “Tidak masalah.” Zee tambah semagat.
    Dioba tidak bicara lagi selain memacu kecepatan mobil dengan seksama namun bayangan besok seakan sudah terjadi di depan matanya. Dioba mulai menerka apa yang ada di benak Zee menyangkut dunianya. Selama ini Zee mungkin tidak pernah mendengar dunia lapangan seperti apa teman-temannya memaki orang kalau sedang bermain jelek. Yang tidak kuat akan terhempas yang kuat akan bertahan itupun karena dua hal pertama karena mereka benar-benar menyukai olahraga itu dan yang terakhir memang ada yang bermuka tembok. Tidak peduli orang bicara apa yang penting dia datang, main dan senang-senang lalu pulang. Meski tidak jarang ada yang hanya sekedar menghindari pekerjaan rumah dalam arti bukan menghindar tapi mencari suasana baru karena dari pagi hingga malam berkutat dengan pekerjaan rumah ataupun urusan kantor. Tapi Dioba yakin kalau kedatangan Zee besok adalah sekedar untuk melihat-lihat saja tidak lebih dari itu. Kini suasana hati Dioba mulai berubah yang tadinya tidak suka Zee datang ke tempat latihannya kini malah ini segera pagi dan dengan cepat mengatakan kepada Zee ‘inilah duniaku’ selama ini Dioba tidak menyukai orang-orang mengetahui apa yang dia lakukan dan apa pekerjaannya karena dia senang menjadi dirinya sendiri tidak ada yang mengusik. Dia nyaman seperti itu tanpa ada yang ikut campur.
    Setelah mengantar Zee pulang dari kantor Dioba langsung kembali ke kontrakannya setelah sebelumnya Zee mengingatkannya untuk tidak lupa menjemputnya esok pagi dan tentu saja Dioa merasa ada yang aneh karena selama ini dia selalu pergi sendirian ke gedung olahraga dan besok akan datang bersama Zee yang punya dunia lain dengannya dan bukan itu saja mereka juga selain punya dunia berbeda juga profesi yang ibarat langit dan bumi.
    Pukul 21.00 WIB Dioba membuka laptopnya dan kembali menulis apa yang ada dipikirannya mengenai hidup, yang ia alami, lihat dan dengar bahkan apa yang ia inginkan di dunia ini. Tidak peduli apa yang orang lain inginkan darinya namun Dioba berusaha menjadi orang yang berguna, tidak menyakiti orang lain dan tidak ingin merugikan orang lain serta berharap bisa membahagiakan orang namun semua keinginan itu menghilang seperti awan yang dihempaskan oleh angin kencang yang terkadang seperti menampar wajahnya hingga terasa sakit dan perih.
    Tiga jam sudah ia lewati malam itu dengan hasil beberapa halaman word terisi penuh tanpa ia baca ulang apa yang tertera di sana. Kelelahan dan rasa kantuk memaksa Dioba lekas tidur hingga pajar menjelang. Saat bangun dan seperti biasa ia melakukan rutinitas pagi setelah itu baru ia membuat secangkir kopi. Di lemari pendingin yang tingginya tidak lebih dari satu meter Dioba mengambil biskuit bergizi dan mulai menikmatinya bersama kopi pagi. BB-nya terus berbunyi pang ping dari obrolan grup volinya. Dioba tidak banyak ambil bagian dalam obrolan itu meski terkadang ada yang berpendapat kalau anggota grup itu tidak suka menulis dan lebih suka membaca saja. Isi obrolan terkadang membuat Dioba tersenyum, ada yang lucu, ada yang kesal bahkan ada banyak selisih paham di dalamnya. Dioba hanya mengomentari hal-hal yang penting-penting saja. Setelah tahu kaus voli warna apa yang harus dipakai Dioba menghabiskan kopinya lalu mandi.
    Di samping kamar mandi ada beberapa stel pakaian kotor di dalam ember yang belum sempat di cuci. Dioba meliriknya sekilas dan  berniat mencucinya sore.
    Dioba sudah siap dengan seragam voli karena ia tidak ingin sampai di GOR lalu sibuk menggantikan kostum seperti kebanyakan temannya yang sampai lokasi menghabiskan sekitar lima belas menit untuk sekedar menggunakan perlengkapan olahraga dari baju, celana juga deker karena ia lebih suka melakukan pemanasan sebelum bermain. Dioba juga memasukkan handuk kecil, kaus ganti dan beberapa keperluan lainnya seperti alat mandi.    
    Sebelum berangkat ia mengecek motornya terutama bahan bakar karena ia tidak mau berhenti di tempat pengisian bensin kalau sedang membawa Zee kecuali kalau ia sedang menyetir mobil Zee. Sampai di rumah Zee tepat sepuluh menit sebelum pukul setengah delapan dan diluar dugaan Dioba. Gadis itu ternyata sudah siap di teras rumahnya dengan menggunakan T-Shirt warna merah, celana panjang olahraga warna hitam dan sepatu kets yang selama ini mungkin ia suka pakai untuk jogging. Ia tersenyum menyambut Dioba yang kini juga terlihat lain di matanya karena ia jarang melihat Dioba mengenakan pakaian semacam itu meski selama ini ia tahu kalau Dioba sering menggunakan pakaian kasual dan tidak ia sangka kalau Dioba lebih elegan mengenakan seragam itu dengan sepatunya.
    “Pagi Zee....” sapa Dioba.
    “Pagi juga Dio..... Sepuluh menit lagi kamu tidak datang maka aku akan meneleponmu.” Perkataan mengandung banyak makna. Memaksa Dioba tersenyum karena ia tadi berpikir akan menemukan Zee masih mandi atau setidaknya masih sibuk mencari baju apa yang harus ia pakai. “Berangkat....?!” tambahnya sambil meraih helm yang sudah tergeletak di bangku panjang di sebelahnya. Namun Dioba masih belum bergeming seakan mencari apa yang kurang pada diri Zee.
    Ups! Ya, jaket. “Naik motor harus mengenakan jaket.”
    Zee mengamati dirinya sejenak lalu menatap Dioba. “Harus?” katanya. “Baiklah. Tunggu sebentar.” Gadis itu meluncur ke dalam tanpa berteriak memanggil Mbok yang siap kapan saja ia butuh. Zee memang jarang bersikap seperti anak majikan pada umumnya yang seratus persen mengandalkan tenaga pengurus rumah. Lagi-lagi itu hasil didikan ayahnya yang membiasakannya agar mandiri.
    Beberapa detik berikutnya Zee sudah ada di belakang punggung Dioba dan itu hal baru baginya meski jago membawa mobil Zee tidak bisa mengendarai motor. Ada suasana lain yang tadinya ia takuti dan kini menjadi keasikan tersendiri duduk di atas motor.
    “Dio.....?” panggil Zee dari belakang mengajak Dioba berbincang. Karena Dioba tidak mendengar panggilan itu memaksa Zee agak mengeraskan suaranya.
    Dioba agak memiringkan kepalanya sedikit agar suaranya bisa terdengar oleh Zee. “Kita di atas motor tidak baik banyak ngobrol, maksudku suara kita akan di bawa angin juga agak terperangkap di dalam helm jadi tidak akan kedengaran.” Jelas Dioba dengan suara pelan, lebih keras dari bicara jika di dalam mobil meski ia sudah menurunkan kecepatan motornya. Mendengar penjelasan itu sangat dimengerti oleh Zee sehingga ia tidak bicara lagi selain menyimak semua yang bisa ia lihat dari atas motor. Selama ini ia selalu berada di atas mobil dan kini ia bisa merasakan bagaimana posisinya selama ini yang seringkali melihat motor menyalip bahkan dengan lincahnya meliuk-liuk di jalan raya di antara ramainya ribuan mobil. Kendaraan roda dua itu ternyata memiliki kerawanan untuk terbalik sebab kena senggol sedikit saja oleh kendaraan lain dia akan roboh. Zee jadi salut juga dengan pengendara roda dua yang bisa mempertahankan keseimbangan dua roda itu meski tak dipungkiri sudah banyak sekali kasus kecelakaan motor.
    Zee tiba-tiba membayangkan dirinya jadi Dioba yang bisa melakukan apa saja seperti saat ini. Namun tidak mengurangi kenyamanannya berada di belakang Dioba meski ada kecemasan saat motor melaju kencang hingga membuatnya memeluk Dioba. Hal itu cukup mengagetkan Dioba seolah baru menyadari ada orang yang diboncengannya. Dioba kini merasa ada orang lain di dunia ini selain dirinya karena sudah puluhan tahun ia merasa hidup sendiri. Itu sentakan yang luar biasa menakjubkan sekaligus ada rasa yang mengiris-iris hatinya sampai membuat Dioba sedikit susah bernafas. Duapuluh menit berikutnya motor Dioba sudah berhenti di halaman parkir gedung olahraga.
    Zee berdecak kagum saat melihat kendaraan memenuhi halaman parkir dari kendaraan roda dua hingga roda empat.
    “Dio... apakah separuh orang Jakarta melakukan olahraga di sini?” Zee bertanya saat menurunkan kakinya dari atas motor Dioba. Dioba mengamati sekilas suasana parkiran yamg memang sudah penuh. Bukan mereka terlambat tapi kondisinya memang seperti itu sebab dari pukul enam pagi orang sudah pada berdatangan dari berbagai jenis olahraga. Jadwal masing-masing memang berbeda. Ada anak sekolah yang memang sedang mengambil nilai meski tidak pada waktu sekolah. Para ibu-ibu muda bahkan lanjut mengadakan senam kebugaran di lapangan yang berlokasi di tengah dan jumlah mereka sampai ratusan. Segala jenis olahraga memang ada di tempat itu, anak-anak usia SD hingga mahasiswa ada. Dari yang memang rutin menjadi anggota bahkan yang datang dikala ada waktu saja. Seperti Dioba misalnya yang datang kala libur kerja saja.
    “Pastinya tidak karena kalau hari libur setiap tempat memang penuh seperti di mol, tempat hiburan, tempat makan bahkan gedung bioskop.” Sahut Dioba menjawab sesuai dengan kenyataan yang selama ini pernah ia saksikan sendiri. Ia mengajak Zee menuju gedung olahraga yang beberapa bulan ini ia  datangi. Tempatnya ada di gedung urutan tiga karena gedung paling depan untuk para pesenam, yang ke dua untuk olahraga badminton, dan bangunan ke tiga untuk basket, bola voli dan bersebelahan dengan olahraga Yudo.
    Saat jalan di sisi gedung Dioba dan Zee berpapasan dengan dua orang teman Dioba yang sudah saling kenal dan bermain di gedung yang sama.
    “Hai Dio...... apa kabar?” mereka berjabat tangan lalu cium pipi kiri dan kanan lalu keduanya menoleh kepada Zee. “Hmm... baru bergabung ya?” tanya mereka melihat tampilan Zee layaknya pemain baru. Setelah mereka berjabat tangan Dioba sekilas menjelaskan kalau Zee datang hanya ingin melihat-lihat saja. Meski mereka melihat hubungan Zee dengan Dioba tidak biasa namun mereka tetap diam meski ada pransangka yang mulai muncul. Mereka sama-sama masuk ke dalam yang ternyata sudah ada beberapa orang di dalam. Di samping pintu di bagian dalam ada seorang wanita duduk di depan meja kecil dan sepertinya tempat absen bagi yang datang latihan. Setelah memberi salam, menulis di kertas yang sudah tersedia dan memberi paraf di sana.
    Dioba meletakkan tasnya di sisi lapangan bergabung dengan tas temannya yang lain, setiap mereka bertemu satu sama lain selalu memberi salam dan berjabat tangan meski tidak semua melakukan cium pipi kiri dan kanan dan tentunya tak ketinggalan menanyakan siapa teman Dioba karena tidak biasanya ia membawa teman dan juga tak perlu menanyakan apakah Zee akan ikut bergabung untuk latihan atau sekedar menemani Dioba.
    Dioba mengambil ikat rambutnya karena ia tidak suka rambutnya tergerai kalau lagi main voli dan kalau sudah diikat menjadi lebih enteng dan tidak mengganggu aktivitasnya. Ia lalu menatap kepada Zee yang saat ini bukan sebagai bosnya tapi sebagai orang lain yang tidak bisa disebutkan sebagai apa. Bukan teman, bukan suadara bukan juga sebagai apapun karena Dioba sendiri tidak bisa menyebutkan gadis itu sebagai apanya di tempat itu.
    “Mau ikut pasing-pasingan?” tawar Dioba.
    Zee menggeleng. “Aku duduk di sini saja.” Sambil melirik bangku yang bersebelahan dengan tas para anggota pemain.
    “Ya sudah tidak apa-apa... tapi kamu tadi pagi sudah sarapan kan?” kembali Dioba bertanya dan itu sungguh berbeda sekali kalau dia jadi supir Zee. Zee merasa ada perhatian lain yang tidak ia terima dari Dioba hari itu. Zee ibarat seorang anak kecil yang ia bawa ke tempat refreshing dan takut anak itu dalam keadaan perut kosong. Mengingat itu membuat Zee tersenyum tipis dan berharap mendengar perhatian seperti itu tiap hari dari Dioba.
    Zee mengamati setiap orang yang ada di dalam ruangan itu dan ternyata di dalam gedung itu ada dua lapangan bola voli dan yang di sebelah sana untuk para pria dan dari tadi mereka sudah sibuk bermain karena sepertinya sudah komplit. Sama seperti yang wanita sebab usia para pemain rata-rata empatpuluhan meski tidak dipungkiri satu dua masih muda, kalaupun mereka sudah menikah paling-paling anak mereka baru satu orang. Tidak di mana-mana zaman sekarang ini setiap orang yang memiliki ponsel dan punya kesempatan selalu melakukan selfie. Seperti yang dilakukan sebagian teman Dioba di lapangan, dan spontan salah satu teman Dioba menarik Dioba untuk foto bersama. Setelah itu ia memanggil Zee agar foto juga, melihat Zee ikut bangun memaksa Dioba mengambil ponselnya agar gambarnya dengan Zee hanya ada di ponselnya saja.
    “Pake yang ini saja, tolong ya.” Ia minta temannya untuk mengambil gambar. Dioba melingkarkan tangannya ke bahu Zee dan dengan spontan Zee pun melingkarkan tangan kirinya di pinggang Dioba. Akhirnnya ada gambar Zee berdua dengan Dioba meski dengan background lapangan bola voli yang ada di dalam gedung olahraga. Tidak apa-apa Zee suka itu meski apapun namanya ia tidak menyangka dan tidak pernah terpikir akan punya foto berdua dengan supirnya.
    Dan dari anggota wanita masih pada yang berdatangan, ada yang membawa anak dan ada juga di antara anak mereka menggunakan seragam bola voli dan sepertinya usia mereka tidak lebih dari usia SD. Wanita-wanita itu membiarkan anak mereka menunggu di sisi lapangan dekat dinding gedung dengan segala macam makanan yang sudah disiapkan dari rumah. Wanita-wanita itu tidak melewati Zee untuk sekedar bertegur sapa dan berjabat tangan. Zee hanya mengangguk dan menciptakan sebuah senyuman untuk mereka yang menyapanya dan menyambut tangannya. Bisa ia rasakan betapa mereka saling kompak bahkan terasa ada jalinan kekeluargaan di antara mereka. Kini Zee mengamati Dioba yang sudah masuk lapangan untuk pemanasan. Ia melakukan lari beberapa kali putaran meski tidak semua melakukan hal itu. Ada yang pasing dengan yang lain, ada yang sedang melakukan lompat-lompat ringan, dan semua hal pemanasan sebelum bermain di lakukan masing-masing dengan gaya sendiri-sendiri. Namun masih ada saja yang sibuk foto-foto bersama. Dan setelah berkumpul sekitar limabelas orang mereka membuat lingkaran kecil karena ada yang memberi aba-aba untuk berdoa. Satu dua dari mereka ada yang menggunakan hijab dan yang mengarahkan untuk berdoa bukan dari salah satu yang berhijab. Sepertinya siapapun yang bersedia memimpin doa tidak masalah bagi mereka.
    “Assalam’mualaikum teman-teman...” dijawab serentak dari lingkaran kecil itu dan setiap bahu mereka saling bersentuhan. “Alhamdulillah hari ini kita bisa lathian lagi dan sebelum latihan seperti biasa kita akan berdoa dulu menurut kepercayaan kita masing-masing. Semoga hari ini kita diberi kebahagiaan, keberkahan dan kesehatan... berdoa mulai.....” kata yang memimpin doa dan beberapa detik selanjutnya. “Berdoa selesai....” setelah berdoa selesai semua wanita itu mengumpulkan tangan di tengah lalu meneriakan yell yell bersamaan.
    BLJ...!!!
    Semua yang wanita-wanita itu lakukan tidak lepas dari pengamatan Zee yang duduk tenang di bangku kayu panjang yang memang sudah tersedia di sisi dinding gedung. Seorang pria yang juga tidak kurang dari usia empatpuluhan masuk ke lapangan dan bergabung di antara wanita-wanita itu.
    “Oke.... pada sudah selesai melakukan pemanasan, kan? Sekarang kita latihan nyemes sebentar lalu kalian boleh main..... tujuh orang pertama silahkan maju dan yang lainnya menunggu dan boleh pasing-pasingan dulu dengan yang lain.” Ujar pria yang berambut lurus itu memberi aba-aba. Di sampingnya sudah ada bola yang tidak lebih dari sepuluh biji, Dioba dengan temannya yang lain sudah berdiri berjejer dihadapan pria itu dan menunggu bola untuk di smass. Dioba masuk rombongan yang pertama dan sebelum mendapatkan giliran ia menoleh ke arah Zee khawatir kalau-kalau gadis itu bosan di tempatnya namun sepertinya tidak karena Zee asik dengan suasana lapangan dan menyimak apa saja yang di lakukan orang-orang yang ada di depannya.
    Grup pertama di beri kesempatan tiga kali nyemes dan diganti dengan grup yang kedua. Zee melihat semesan Dioba lumayan keras meski tidak jatuh pas di depan posisi tengah lapangan. Pemanasan itu berlangsung tidak lebih dari sepuluh menit. Setelah itu mereka bersiap untuk main dan membagikan teman dengan cara swit, yang menang di sebelah kiri dan sebaliknya. Agar permainan tidak timpang teman swit mereka pastilah yang permainannya hampir sama. Dan tosser tidak melakukan hal itu karena mereka bebas menentukan tempatnya sendiri.
    Pria yang tadi bertindak sebagai pelatih menjadi wasit saat wanita-wanita itu bermain. Meski permainan sudah dimulai tapi tetap saja masih ada yang datang. Yang datang belakangan melakukan pemanasan sendiri dengan cara melenturkan otot lalu pasing dengan teman yang belum kebagian main di set pertama.
    Ada wanita dengan rambut panjang diikat dengan hanya membawa tas kecil, ia sudah siap dengan semua hal yang berhubungan dengan main voli. Ia berjalan ke arah tempat tas-tas dan secara otomatis akan melewati Zee. Zee menganggukkan kepalanya sedikit saat wanita itu lewat di dekatnya.
    “Hai....” wanita itu menyapa sekaligus mengulurkan tangannya disambut Zee dengan erat. Tidak ada pertanyaan yang berarti namun dengan pasti wanita itu menyadari baru pertama melihat Zee. Wanita itu meletakkan tasnya lalu ia bergabung ke lapangan dan Zee masih saja terus mengamati wanita murah senyum dan terkesan punya karakter itu. Lalu ada salah satu wanita berhijab sedang berbincang akrab dengan pria, mereka sama-sama berdiri di sisi lapangan. Apakah pria itu suaminya atau hanya sekedar kenalan? Zee tidak tahu namun yang jelas pria itu salah satu anggota voli bagian pria yang ada di lapangan sebelah.
    Zee lalu menyimak permaian Dioba dan saat salah satu dari mereka berhasil memasukan bola sedangkan pihak lawan tidak bisa mengembalikan semesan maka mereka akan melakukan tos bersama dan tertawa bahkan tidak segan-segan menggoda teman mereka yang gagal dengan kata-kata yang mungkin bagi orang biasa terdengar kasar dan tidak pantas. Seperti ‘ah bego lo, bola kayak gitu aja ga bisa ambil. Payah! Bola gitu aja mati. Huuuuuuu emang ga pintar-pintar sih lo.’ Bahkan yang bolanya bagus saja masih dimaki. ‘Wew... cemesannya gila! Bab....! hahaha’ ya seperti itu. Namun inti dari semua itu Zee bisa melihat betapa bahagianya para wanita itu seakan mereka sedang merayakan kemenangan atau sedang jalan-jalan di tempat yang mereka impikan selama ini. Tak terkecuali dengan Dioba yang bisa dilihat oleh Zee kalau wanita itu terlihat berbeda sekali saat ia sedang membawa mobil. Di lapangan dia bisa tertawa lepas, tos sama teman-temannya yang mungkin lebih dewasa darinya dan mereka terlihat sama rata dan tidak membeda-bedakan satu sama yang lain, tidak ada perbedaan sama sekali di antara mereka tidak peduli dari suku atau dari mana berasal. Betapa bahagianya mereka itu. Itukah dunia Dioba? Yang tak pernah terlintas di benak Zee selama ini?
    Set pertama dimenangkan oleh tim Dioba dan mereka akan pindah ke tempat lawan untuk melanjutkan set ke dua. Sebelum melanjutkan set kedua Dioba menghampiri Zee untuk mengambil minuman yang ada di dalam tasnya. Bisa Zee lihat kalau wajah Dioba sudah dipenuhi oleh keringat sepertinya permaian itu cukup menguras tenaganya atau memang dia bermain maksimal? Tapi Zee melihatnya bermain tadi agak santai tapi kok bisa berkeringat seperti itu.
    “Semoga kamu tidak bosan duduk di sini.” Ujar Dioba kepada Zee yang masih menunggunya.
    “Bagi minum Di......” kata salah satu teman Dioba yang mendekat dan tanpa berpikir lagi Dioba langsung menyerahkan botol minumannya kepada wanita yang meminta dan langsung diteguk. Adegan itu tidak lepas dari pengamatan Zee yang menurutnya agak aneh kalau ada dua orang menikmati mimuan dengan satu botol namun bagi Dioba sendiri terlihat itu sudah biasa di antara mereka yang ada di lapangan.
    “Kamu tidak haus? Semoga kamu bisa menunggu nanti kita akan beli minuman di depan.” Dioba seolah memahami apa yang ada dipikiran Zee yang tidak akan ikut minum bekas teman Dioba meski Dioba sendiri masih menikmati minuman itu. “Aku akan main sekali lagi....” tambah Dioba dan Zee hanya tersenyum saja pertanda ia akan tetap menunggu.
    Tanpa lama-lama menunggu lagi set keduapun dimulai bahkan ada di antara teman Dioba tidak berhenti untuk minum. Kembali Zee mengamati satu persatu para pemain itu. Yang satu sosoknya tidak bisa dibilang kurus bahkan tambun, ia mengenakan hijab tapi pukulannya mematikan. Serven-nya juga keren, warna kaus, sepatu serta jilbabnya senada. Dan yang membuat Zee lebih kagun adalah sosok salah satu tosser itu yang tidak bisa disebut muda tapi lincah sekali ia memberi umpan. Ada lagi yang aneh, wanita itu tidak terlalu tua tidak juga bisa dibilang muda dan anaknya seorang wanita kelas 6 SD. Dia tadi yang minta minum dengan Dioba Dia suka meminta temannya fokus memperhatikan bola dan selalu berusaha mengambil bola sesulit apapun, ia bahkan sering mengambil bola yang di depan temannya tapi pas bola jatuh di tempatnya ia tidak sedang ada di posisi. Bola mati dan saat itu ia diomeli tossernya ‘lo tuh yeeee ribut minta orang selalu siap, gilirannya sendiri aja ga tau ada di mana.’ Dan dengan enteng dan merasa bersalah ia menyahut. ‘ye gw goblok lupa mundur lagi.’ Itulah dia, suka memaki orang dan bisa juga memaki dirinya sendiri sehingga orang yang kadang suka ia katain tidak pernah tersinggung dengannya. Dan akhirnya selalu diwarnai dengan tawa. Itulah dunia lapangan tapi tidak menutup kemungkinan ada juga yang tersinggung dan biasanya terjadi pada pemain baru dalam arti bukan baru menjadi bergabung tapi baru dalam dunia lapangan.
    Set kedua agak alot dan berakhir dengan skor 25-27 tim Dioba kalah. Itu tidak masalah karena seperti itulah permainan. Permainan selanjutnya diganti sama orang yang belum main tapi itu masih tidak cukup sehingga yang main pertama kembali ikut bermain. Memang suka seperti itu dan kali ini Dioba tidak akan mengambilnya karena ada Zee yang menunggu meski tak jarang ia bermain sampai empat set.
    Ia menghampiri Zee yang sepertinya sudah melihat semua sosok yang ada di dalam ruangan itu. Ia mengajak Zee naik ke atas karena posisi tempat latihannya ada di lantai bawah. Meski pintu masuk lewat samping ada namun Dioba memilih pintu yang di atas, di mana ada toilet, tempat ganti baju dan musolah kecil lalu di pintu luar kiri dan kanannya ada tukang jualan makanan dan minuman. Biasanya selesai main teman-teman Dioba duduk dulu di sana untuk sekedar bercengkrama sambil minum kopi, istirahat dan mengeringkan keringat.
    Dioba memesan kopi pada wanita paruh baya yang sudah lama berjualan di tempat itu dan biasa dipanggil dengan sebutan ‘emak’ “Kamu mau kopi hitam atau cappuccino?” ia melirik Zee.
    “Samain saja sama pesananmu.” Sahut Zee. Lalu ia melirik penjual yang di sebelah kiri sepertinya ada pecel di sana.
    “Itu pecel sayuran, ada lontongnya juga. Mau?”
   “Boleh.”
    Dioba memesan dua cangkir cappuccino lalu ia memesan pecel sayuran, ditambah satu bungkus lontong serta kerupuk tidak lupa sambelnya yang banyak. Meski ada banyak macam gorengan untuk campuran pecel namun Dioba tidak menambahkan satupun gorengan ke dalam pecel Zee meski ia tahu Zee menyukai tahu isi.
    Dioba meletakkan piring pecel yang sudah terisi kehadapan Zee yang duduk di teras GOR. Teras yang lumayan besar meski mereka duduk di bawah seperti lesehan namun teras itu juga memiliki dua tingkat walau tidak terlalu tinggi. Satu dua oramg yang tadi main di bawah sudah ikut naik namun anggota pria sepertinya sudah terlebih dahulu ada di tempat itu. Mereka duduk di teras paling depan dan berkumpul di sana sembari ngobrol meski masih ada yang mengenakan seragam voli. Mereka tidak peduli pada orang baru dan sekali-kali melemparkan candaan kepada wanita yang sudah mereka kenal. Zee melihat ada tanda peringatan dilarang merokok tapi kok ada di antara mereka yang merokok.
    Emak membawakan kopi untuk Zee dan Dioba. “Terima kasih ya, Mak.” Kata Dioba.       
    Melihat piring pecel hanya satu Zee bertanya pada Dioba. “Kamu tidak makan pecel?”
    “Aku belum lapar.”
    Salah satu teman Dioba menghampiri Dioba. “Di, sabtu depan kita mau jalan-jalan ke Bandung untuk sparing sama anak sana. Lo ikut ya?” wanita usia 35-an itu mengajak Dioba ke Bandung bersama yang lain. “Tim BLJ sudah ada 5 orang... kalau bisa sih 12 orang biar kita jalan dua tim.”
   “Gw nggak bisa....” ujar Dioba dengan santai.
    “Kok nggak bisa?” pertanyaan itu keluar dari mulut Zee yang sedang memegang piring pecelnya. Wanita yang tadi bertanya menoleh kepada Zee.
    “Hai.... temannya Dio... ya?”
    Kedua wanita itu saling berjabat tangan. “Ya.” Jawab Zee. “Makan.....?” ia menawarkan pecel kepada wanita itu.
    “Tidak, terima kasih. Nanti aku akan pesan sendiri.” Tambahnya. “Nggak tahu nih Dio.... susah banget kalau diajak main keluar... padahal tidak ada yang harus diurus. Yang lain saja sudah punya anak pada mau ikut.” Omelnya setengah bercanda.
    “Ih! Kok malah curhat? Sudah.... pokoknya gw nggak bisa kalau main keluar. Main di sini sudah cukup buat gw.” Dioba membela diri meski merasa tidak perlu menjelaskan alasannya dan itu membuat Zee penasaran dan ia tidak tahu kalau mereka-mereka itu sering bermain voli ke luar kota.
    “Yo wes.... mm.... mbak Zee ini mau ikut bergabung di BLJ? Sudah daftar?”
    Zee menggeleng dan tak bisa dipungkiri kalau penampilannya terlihat dari kelas atas dan entah mengapa dia mau duduk di ubin teras GOR, makan dan menikmati kopi di tempat itu. Sungguh itu pengalaman pertama untuk Zee. Dan sekali lagi ia berkata dalam hati ‘seperti inikah dunia Dioba?’
    Sepertinya Zee tidak perlu heran karena ada beberapa wanita yang terlihat berkelas di tempat itu. Bahkan ada di antara mereka yang sudah keliling Eropa dan bekerja di perusahaan besar yang ada di Jakarta dan wanita itu dengan santainya duduk berselonjor di ubin karena setelah main mereka terlihat begitu santai seolah sedang piknik. Ada yang membuka sepatu, melepaskan kaus kaki sembari menunggu kopi atau minuman dingin. Sungguh pemandangan yang tidak biasa di mata Zee melihat betapa mereka tidak pernah memandang orang dengan sebelah mata. ‘sedang berada di dunia apa aku ini?’ jauh dari dunia selebriti, jauh dari dunia glamour, dunia sikut sana sikut sini. Tidak ada ketegangan urat syaraf di antara mereka, obrolan penuh canda bahkan saling ledek satu sama yang lain. Zee bahkan melihat tukang jualan di sana pun ikut menikmati candaan dari orang-orang yang punya hobi olahraga itu.
    Dioba melirik jam dari ponselnya sudah menunjukkan pukul sepuluh berarti waktu bermain untuk tim BLJ sudah selesai dan lapangan akan dipakai oleh anak-anak yang usia SD dan SMP yang akan selesai pukul 12 siang. Ada banyak yang latihan di sana dan kebanyakan wanita yang bermain voli di gedung itu memang mengantar anak mereka yang rutin latihan. Keseluruhan yang latihan mungkin mencapai 60-an anak laki-laki dan perempuan. Mereka memang sengaja dididik untuk menjadi pemain bagus bahkan ada yang memang dipersiapkan untuk menjadi pemain nasional.
    Seorang wanita mungil yang tadi ikut bermain dan menjadi lawan Dioba membuka tasnya dan mengeluarkan beberapa atribut permainan bola voli. Sepertinya ada yang memesan sepatu olahraga darinya dan celana. Saat ia menyebutkan harga sepasang sepatu Zee bisa pastikan kalau lima pasang sepatu sejenis seharga sepasang sepatu miliknya. Zee meilirk sepatu yang ia pakai dan timbul keinginannya untuk membelikan sepatu yang sama untuk Dioba kalau nanti dia pergi ke toko sepatu.
    Ponsel Dioba berdering dan yang muncul nomor tidak ia kenal. Lama ia mengamati nomor itu namun tidak ia angkat tapi nomor itu muncul lagi.
    “Siapa?” tanya Zee tak seperti biasa mau ikut campur urusan telepon masuk ke ponsel Dioba. Dioba menggeleng.
    “Tidak tahu....”
    Zee mendekati mukanya ke ponsel Dioba untuk melihat nomor yang muncul dan ia ingat kalau angka terakhir dari nomor itu adalah milik Bimo.
    “Itu nomor Bimo, dia pasti telepon ke ponselku yang ketinggalan di rumah. Mungkin dia mendapatkan nomormu dari Amel.
    Dari sekretaris Zee? Dioba memang tidak memberikan nomor ponselnya kepada Bimo karena ia tidak suka dengan pria itu.
    “Kalau dia telepon lagi biar aku yang angkat.” Detik setelah Zee mengatakan hal itu ponsel berbunyi lagi dan Dioba langsung menyerahkannya kepada Zee.
    “Halo.....?”
    “Sayang.... ini kamu? Kok kamu yang angkat telepon Dioba? Memangnya ponsel kamu di mana? Sudah puluhan kali aku hubungi. Sekarang aku ada di depan rumah kamu....”
    “Ponselku ketinggalan di rumah, sekarang aku bersama Dio... hari ini aku ikut dia latihan voli.” Zee menjelaskan apa adanya.
    Bimo melihat mobil Zee masih ada di Garasi. “Apa....? kamu pergi naik motor dengan Dioba?” kecemasan pria itu makin menjadi.
    “Tidak perlu bicara seperti itu, nanti malam aku ingin kita bertemu, oke? Sekarang aku tutup dulu teleponnya ya.” Kata Zee pelan agar ucapannya tidak terdengar ke mana-mana. Setelah mendengar persetujuan Bimo meski terdengar agak kesal Zee menutup telepon dan menyerahkannya kembali kepada Dioba. Gadis itu meletakkan ponselnya kembali ke dalam tas.
    “Tunggu sebentar ya, aku mau ganti baju dulu.” Ia pamit dengan Zee dan membawa pakaian gantinya bersama.
    Setelah kepergian Dioba ada yang mengajak Zee berbincang meski gadis itu belum menyelesaikan makanannya.
    “Kamu temannya Dio.....? baru kali ini gadis itu membawa teman ke sini, apa kamu juga ingin ikut main voli?” wanita yang bertanya itu memang ramah meski tidak terlihat cerdas. Wajahnya putih, rambutnya sebahu agak ikal.
    “Ya, tapi aku tidak bisa main voli... membayangkan kena bola saja tanganku sudah sakit duluan. Sudah lama ikut di sini?”
    “Lama sedikit dari Dio. Kamu adiknya? Atau.....?” pertanyaan itu sengaja digantung sepertinya. “Atau teman kerja?” wanita itu melanjutkan pertanyaannya.
    “Teman kerja.”
    “Satu kantor?”
    “Ya.....” tegas Zee.
    “Oh.” Terlihat sekali di mata Zee kalau wanita itu tidak terlalu cerdas dan ia bertanya hanya sebatas ingin tahu saja, tidak lebih.
    “Woi.... ada yang kepoh....” terdengar suara menggoda wanita yang bertanya tadi. Menyadari hal itu wanita itu jadi tertawa.
    “Biarin! Namanya juga kenalan.” Ia membela diri.
    “Hati-hati Mbak, dia itu ratu kepo di sini.” Masih dengan nada bercanda dan ditanggapi Zee dengan senyuman saja. “Mm... kalau tidak salah saya pernah melihat Mbak deh sebelum di sini tapi di mana ya? Pernah ke Cafe Embong?” wanita itu bertanya tanpa harus mendekati Zee karena jarak mereka tidak lebih dari dua meter. Zee mengingat kembali kapan dia berada di cafe yang barusan di sebut itu. Ups! Dia ingat, ia ada di cafe itu saat syuting iklan sebuah minuman ringan.
    “Ya saya pernah ke sana beberapa minggu yang lalu.”
    “Ya, berarti saya tidak salah. Waktu itu sedang ada acara semacam syuting begitu dan saya melihat Mbak juga ada di sana.” Jelas wanita yang memiliki pribadi terbuka, suka bicara apa adanya. Dialah yang tadi minum satu botol dengan Dioba. Bisa Zee bayangkan kalau wanita itu sudah dekat sekali dengan Dioba.
    “Ngapain lo di Cafe?” goda yang tadi menjadi tosser.
    “Biasa Mak.... gw kan kalau malam nyenyong nyari duit hahaha.” Mendengar ucapan wanita itu memaksa Zee tertawa halus. “Mm waktu itu Mbak ikut syuting ya?” ia bertanya lagi.
    “Tidak, saya hanya melihat-lihat saja.” Zee berusaha bicara apa adanya dan memang benar ia tidak ikut syuting tapi sebagai pelaksana acara dan tak perlu ia jelaskan secara detil.
    Dioba sudah kembali dari ganti baju, kini ia sudah mengenakan kaus oblong dan celana panjang jeans warna coklat, wajahnya juga sudah segar tidak lagi penuh keringat. Ia kembali duduk untuk menikmati kopinya sedangkan Zee sudah menyelesaikan makan pecelnya meski tidak habis total. Kedua gadis itu memang duduk di pinggir dan menyandar pada dinding gedung. Di teras juga masih ada yang berfoto. Saat yang lain sibuk bercerita bahkan ada yang suaranya keras membuat Zee bertanya kepada Dio siapa-siapa saja nama-nama teman Dioba.
    Dioba menjelaskan secara garis besar saja, di antara mereka ada anggota lama ada juga yang masuk belakangan dari Dioba. Dan yang paling pojok teras ada seorang wanita yang usianya mungkin tidak jauh berbeda dengan Dioba. Ia terlihat sedang asik menikmati benda berasap itu. Zee tidak terlalu menghiraukannya namun yang ia sayangkan sudah ada tanda peringatan kawasan bebas rokok tapi.....?! dia tidak sendiri karena ada dua orang lagi yang menemanimya di sana. Itu adalah salah satu potret orang negeri ini karena sudah mencapai 66 juta jumlah perokok aktif di Indonesia. Apa yang terjadi?di sisi lain benda itu memberi keuntungan bagi devisa negara, memberi lapangan pekerjaan namun juga membunuh banyak warga.
    “Kita pulang sebentar lagi.” Kata Dioba yang masih menikmati sisa kopinya. Zee mengiyakan. Dan bagi wanita yang hanya latihan dan tidak menemani anaknya satu persatu pulang setelah pamit pada semua temannya yang di sana. Lagi-lagi Zee melihat sopan santun di antara para pemain.
    Saat ada di parkiran Dioba menjelaskan kepada Zee. “Nanti di jalan pulang kita akan makan dulu ya. Aku biasa melakukan hal itu.”
    “Boleh.” Kata Zee yang penasaran di mana Dioba biasa makan siang.
    Motor melaju dan mengambil posisi di kiri jalan. Belum sampai sepuluh menit Dioba sudah menepikan motornya dan membelokkannya pada halaman yang tidak terlalu luas. Zee melihat sekeliling, ternyata Dioba memilih tempat makan lesehan.
    “Apakah sudah buka?” tanya Zee karena suasana tempat itu masih sepi meski bagian dalamnya cukup luas.
    “Sudah, tempat ini sudah buka sekitar setengah jam yang lalu.” Ucapan Dioba memang ada benarnya sebab sudah ada satu dua orang tamu di dalam. “Ayo....” Dioba mengajak gadis itu masuk, saat muncul mereka langsung disambut hangat oleh pemilik tempat itu.
    “Siang Dio.....” sapa wanita tigapuluhan yang terlihat sudah akrab dengan Dioba.
   “Siang Mbak...”
    “Seperti biasa?” ujarnya.
    Dioba menoleh ke Zee sembari menjawab pertanyaan pemilik warung. “Kalau saya sih seperti biasa... tapi untuk Zee... biar dia lihat dulu menu yang ada di atas meja.” Usul Dioba.
    “Baiklah.” Wanita itu setuju  lalu melirik rekannya untuk segera membuat pesanan Dioba. “Silahkan duduk.” Tambahnya untuk mempersilahkan Dioba dan Zee mengambil tempat. Dioba membawa Zee ke meja yang biasa ia tempati dan lagi-lagi di pojok.
    “Kamu pesen apa?” Dioba memberikan daftar menu kepada Zee dan disambut gadis itu setelah ia duduk santai di lantai beralaskan anyaman rotan yang sudah mengkilap saking seringnya diduduki orang. Sejenak Zee mengamati daftar menu  dari bebek bakar, ayam bakar, pecel Lele dan banyak lagi. Zee bingung lalu ia bertanya kepada Dioba.
    “Memangnya kamu tadi pesan apa?”
    “Pecak ikan mas, sambel pedas, dan cah kankung.”
    “Kalau begitu aku pesan seperti itu juga deh.”
    “Minumnya?”
    “Teh anget saja.”
    Dioba tersenyum simpul karena baru kali ini pesanan mereka sama  dalam urusan minuman karena tanpa sepengetahuan Zee setiap Dioba makan di tempat itu memang selalu minum teh hangat.
    Sembari menunggu pesanan datang Zee menggunakan waktu untuk bertanya banyak hal kepada Dioba dan sepertinya ia lupa dengan surat perjanjian kontrak.
    “Dio.... BLJ itu apa?”
    “BLJ....? oh itu, itu nama tim voli singkatan dari Belahan Jiwa. Aku juga nggak tahu siapa yang menamai tim itu BLJ, mungkin pelatihnya.”
    “Pelatih... aku nggak nyangka lho kalau kalian main ada pelatihnya segala. Tadinya aku pikir siapa saja yang mau main tinggal main dan aku lihat semuanya sudah pada jago main. Dan, kamu... apa dulu kamu memang pemain voli?”
    “Bukan, aku hanya pemain otodidak. Dulu waktu sekolah menengah memang suka main di sekolah dan aku memang suka meski tidak jago. Dan mengenai pelatih memang ada tapi yang namanya pemain di sana rata-rata ibu-ibu jadi jarang sekali ada latihan fisik, mereka datang pemanasan sebentar dan maunya langsung main. Meski kadang pelatih maunya kita-kita harus latihan fisik dulu. Yah begitulah namanya mak-mak kalau dipanggil suruh latihan fisik malah galakan mereka dari pelatihnya. Di sana kita memang datang terima beres, tidak tahu menahu urusan lapangan, bola atau net karena semua sudah menjadi urusan pelatih dan yang tadi di meja itu yang terima absen adalah istrinya pelatih. Dia tempat kita membayar iuran bulanan serta yang datang selalu absen.”
    “Berapa iuran sebulannya?”
    “Duapuluhlima ribu rupiah, seminggu sekali main dari pukul 07.00-10.00 WIB.”
    “Lama juga.”
    “Tapi seringnya sih main dari pukul 08.00 WIB seperti tadi. Karena mulai pada ngumpulnya ya jam segitu.”
    “Begitu ya? Tapi..... aku hari ini melihat kamu sangat bahagia... aku belum pernah melihat kamu sebahagia hari ini. Apakah setiap minggu kamu selalu tertawa dengan teman-teman volimu seperti tadi?” kali ini pertanyaan itu terdengar di telinga Dioba menjurus ke pribadi. Dioba menoleh ke wajah Zee yang duduk di sebelah kirinya. Zee juga sedang menatapnya namun sebelum Dioba menjawab pesanan mereka sudah datang.
    “Silahkan.....” dua pelayan meletakkan nasi panas dan ikan mas yang sudah disiram bumbu pedas sehingga menggungah selera Dioba siang itu.
    “Terima kasih ya, Mbak, Mas....” kata Dioba saat semua sudah tersedia di depan mata mereka. Zee sebenarnya masih sangat kenyang tapi saat melihat hidangan itu ia jadi berselera lagi apalagi makan bersama Dioba yang untuk pertama kalinya. Menikmati kopi bersama sudah sangat sering tapi makan, baru kali itu.
    “Kau belum jawab pertanyaanku.” Tagih Zee sebelum Dioba mulai menikmati santap siangnya.
    “Pertanyaanmu sudah melanggar perjanjian kerja.”
    “Tapi aku kan sedang libur, kita berdua sama-sama dalam kondisi bebas jam kerja.”
    “Memangnya kamu mau aku jawab apa?”
    “Kok malah balik nanya?”
    “Karena aku tidak suka pertanyaanmu dan kurasa aku tidak perlu menjawabnya.” Dioba mencuci tangannya pada air dalam mangkuk yang sudah disediakan. “Selamat makan siang.” Ujarnya untuk Zee. Zee tidak merespon ucapan Dioba selain fokus menatap gadis itu yang mulai menikmati makanannya.
    Dioba memang selalu bahagia dan bisa tertawa lepas setiap kali ia ada di lapangan bahkan di antara teman-teman volinya. Meski mereka kadang bicara blak-blakan, bahkan ada di antara temannya yang menurut Dioba terlalu berani yaitu mengatakan perasaan pada pria yang ia sukai meski mereka sama-sama sudah punya pasangan hidup. Dioba sempat dibuat geleng-geleng kepala mendengar pengakuan mereka. Ada juga yang merasa sudah biasa dengan perselingkuhan namun banyak juga yang menjunjung tinggi kesetiaan bahkan tidak akan cerita sedikitpun urusan pribadi dan rumah tangganya kepada orang lain. Teman-teman voli Dioba memang berasal dari banyak kalangan dan berbagai profesi seperti perawat, sekretaris, guru, anggota TNI, ibu rumah tangga, pegawai biasa yang masih kuliah sampai yang cleaning servis di sebuah perusahaan. Tidak sedikit dari mereka yang sudah cerita banyak hal dalam urusan dapur dan pasangan kepada Dioba dan Dioba selalu menempatkan mereka sebagai teman, tidak mau ikut campur namun terkadang ia sedikit memberikan pandangan jika ada yang memiliki pengetahuan di bawah dia. Tapi rasanya aneh bagi Dioba kalau ada wanita yang sudah menikah lalu menceritakan kehidupan rumah tangganya pada Dioba yang belum masuk area itu meski ia sering dengar dan melihat di sekelilingnya.
    “Nikmati pecak ikannya selagi hangat.” Kasih tahu Dioba karena melihat Zee belum menyentuh piringnya dan sepertinya gadis itu masih ingin bertanya lagi kepada Dioba yang dari tadi seolah tidak peduli dengannya.
    “Baiklah kalau kau pikir pertanyaanku yang tadi masuk kategori pribadi tapi aku ingin tanya lagi satu hal sama kamu. Apakah kamu suka aku pacaran dengan Bimo?”
    “Maksudnya?” Dioba melirik Zee sejenak.
    “Maksudku, menurut kamu apakah aku dan Bimo pasangan yang serasi?” Zee tidak tahu mengapa ia merasa deg-degan menunggu jawaban yang keluar dari mulut Dioba.
    Dioba meneguk teh hangatnya lalu menoleh ke Zee. “Sejujurnya aku tidak tahu apakah kamu dengan Bimo itu serasi atau tidak dan yang aku tahu..... aku tidak suka dengan Bimo. Hanya itu.”
    Mendengar itu Zee malah tersenyum simpul membuat Dioba merasa aneh apakah gadis itu senang atau sedang memancing Dioba untuk mengeluarkan pendapatnya mengenai Bimo. Zee lalu mulai menikmati makanannya membuat Dioba bengong.
    “Mm.. boleh aku tahu teman-temanmu di GOR itu?” Zee kembali bertanya setelah beberapa saat menikmati makan siangnya.
    “Tahu seperti apa?”
    “Sebelumnya aku tidak tahu kalau tim voli kalian suka pergi-pergi keluar kota, sepertinya asik juga ya...?”
    “Ya, tapi aku tidak pernah ikut... turnamen-turnamen antar tim juga jarang sekali ikut kecuali kalau turnamen di dalam GOR sendiri aku pasti mau.”
    “Oh, ya?”
    “Ya.” Bersamaan dengan itu sebuah piring yang berisikan macam-macam gorengan muncul dihadapan mereka. Dioba yang tidak suka makan gorengan memaklumi kalau pemilik warung menyodorkan piring itu lantaran Dioba mengajak teman. Saat Zee ingin mengambil tahu isi Dioba langsung menyela. “Terigu yang membalut tahu dan gorengan yang lain adalah sumber dari lemak.”
    “Tapi aku suka.” Guman Zee mendengar kata-kata yang mengandung larangan tersebut namun Dioba tidak membahasnya lagi. “Dio..... kapan-kapan kalau kamu pulang kampung aku ikut ya?”
    “Tidak!” Dioba langsung menghentikan kegiatan makannya mendengar ucapan Zee. Ia menatap mata gadis itu dan detik itu Zee bisa merasakan kalau Dioba amat sangat tidak suka ucapan  barusan.
    “Kenapa? Aku kan tidak punya kampung halaman dan ingin sekali rasanya merasakan suasana kampung halaman. Setiap datangnya hari besar ribuan orang Jakarta melakukan mudik dan dengan bangga mereka katakan, lebaran dan liburan sekolah di kampung halaman itu tidak ada duanya. Kenapa aku tidak boleh ikut denganmu? Sehari dua hari juga tidak apa-apa kok.” Zee masih minta Dioba pertimbangkan keinginannya.
    Dioba mulai merasakan kalau selama ini Zee selalu mendapatkan apa yang ia inginkan, kebencian itu muncul lagi di benaknya dan susah sekali ia kendalikan.
    “Cepat habiskan makananmu karena habis ini aku ada urusan.” Kata-kata itu seolah terdengar dari mulut seorang senior atau atasan di sebuah perusahaan. Zee merasa kalau hari itu Dioba telah menjelma dari seorang supir menjadi menjadi...? Zee tidak bisa menyebutkannya sebagai apa namun yang pasti ia merasa Dioba berubah. Apakah itu juga bagian dari dunianya? Zee menarik napas dalam-dalam. Pecak ikan mas yang pedas sempat ia nikmati karena ia suka dengan rasa pedas namun nada bicara Dioba yang terdengar tidak biasa membuatnya sedih. Menyadari telah berkata kasar Dioba meminta maaf. “Maaf, saya tak bermkasud seperti itu.., jangan diambil hati, sekali lagi maaf.” Bukan nada suara Dioba saja yang rendah dan serius meminta maaf tapi wajah itu membuat Zee tidak tega. Ia tidak tahu mengapa Dioba hari itu seolah cepat marah meski tadi pagi dia terlihat begitu bahagianya.
*
    Zee sedang makan malam dengan Bimo karena pas Bimo mengajak nonton di bioskop ia menolak dengan alasan sedang tidak mood untuk menonton film.
    “Kita makan saja malam ini.” Ujar Zee setelah jus yang mereka pesan datang. Bimo tidak mempermasalahkan hal itu yang penting saat ini ia bisa berdua dengan Zee.
    “Susah sekali untuk minta waktu bersama kamu akhir-akhir ini tapi dengan mudahnya kamu seharian menghabiskan waktu bersama Dioba. Sudah berkali-kali aku mengatakan kalau Dioba itu tidak pantas menjadi supir kamu.”
    Zee tidak langsung menanggapi kata-kata Bimo, ia menikmati jus apelnya lalu mengitari situasi keliling dengan ekor matanya dan tempat itu cukup ramai karena Zee memang memilih tempat yang ramai untuk makan bersama Bimo. Lalu ia kembali menatap Bimo.
    “Sebenarnya bagaimana penilaian kamu mengenai Dioba?”
    “Dia itu wanita mistrius, aku khawatir dia punya modus menjadi supir kamu.”
    “Dia tidak melamar jadi supir, mengenai praduga kamu itu aku rasa sangat berlebihan. Dioba hanya wanita yang berasal dari kampung dan coba mencari peruntungannya di Jakarta ini. Aku rasa hanya itu.”
    “Zee... kamu jangan terlalu naif. Kamu ini anak orang kaya dan juga punya perusahaan sendiri meski belum bisa di sebut cukup besar tapi kamu adalah pewaris tunggal dari ayah kamu.” Jelas Bimo.
    Mendengar penuturan Bimo memaksa Zee tersenyum karena ia sama sekali tidak melihat Dioba punya modus untuk mendapatkan hartanya. Dioba bukan wanita ambisius, hidupnya selalu santai dan tenang. Dia bahkan sering terlihat asik dengan dunianya.    
    “Aku ingin kamu cari supir lain secepatnya.”
    “Tidak, Bim. Aku merasa nyaman dengan Dioba tapi tidak menghilangkan kemungkinan akan memberhentikannya kalau aku merasa tidak nyaman lagi. Aku janji.”
    “Zee... bagaimana kalau kamu tidak punya kesempatan untuk menyelamatkan diri dari wanita itu? Satu hal lagi... apakah dia punya kekasih?”
    “Memangnya kenapa?”
    Bimo menghela napas panjang karena ia memang sering mengkhawatirkan wanita yang baik itu. Terkadang kebaikannya sering merugikan dirinya sendiri. “Sayang..... bagaimana kalau kita melangsungkan pertunangan dulu?”
    “Tunangan? Untuk apa?” Zee jadi heran dan kaget dengan niat Bimo yang mengajaknya untuk bertunangan karena sama sekali ia belum pernah memikirkan hubungannya ke arah sana.
    “Menikah?” permintaan Bimo semakin ektrim saja karena ia tidak akan rela gadis itu berpaling ke pria lain. Ketakutan Bimo lebih besar lagi kalau Zee mulai tidak mempedulikannya. Zee memang gila kerja dan ia baru saja menyelesaikan S2-nya tahun lalu.    “Aku ini belum 33 Tahun Bim...”
    “Kamu mau karir atau aku.....? menunggu kamu 33 tahun itu sama saja aku menunggu sepuluh tahun lagi.” pertanyaan Bimo mulai melantur.
    “Kamu meminta aku menentukan pilihan? Dan kamu minta aku memilih apa?” pembicaraan itu mulai serius yang tadinya hanya ingin membahas tentang Dioba.
    “Aku berharap kamu tahu apa yang aku inginkan...”
    “Yang kamu inginkan bukan yang bisa aku berikan. Kita break.” Kata Zee.
    “Apa...?! Zee, kita sudah hampir dua tahun bersama masa dengan gampangnya kamu memutuskan untuk break?”
    Keputusan break yang dilontarkan Zee membuat Bimo panik dan tidak bisa menerima begitu saja sehingga ia menyangka kalau salah satu penyebabnya adalah Dioba.
**
Bimo

    Pria itu mengikuti Dioba yang baru saja pulang mengantar Zee. Dia mengajak Dioba duduk di bangku pinggir jalan setelah Dioba menepikan motornya. Dioba tidak menyukai gaya bicara Bimo yang seakan seperti diktator.
    “Kau menyukai Zee?” pertanyaan di luar dugaan Dioba.
    “Tolong diperjelas maksud dari pertanyaan Anda.” Dioba menganggap Bimo adalah orang lain dan ia tidak bisa akrab dengan Bimo. Meski tahu maksud dari pertanyaan itu namun Dioba ingin pria itu memperjelas karena ia tidak ingin ada kesalahpahaman di antara mereka.
    “Apa kamu menyukai saya? Dan satu hal lagi... kamu adalah orang yang tidak jelek dan juga masuk kategori wanita idaman saya.”
    Dioba tidak ingin tertawa meski pertanyaan dan pernyataan itu agak menggelikan terdengar di telinganya. “Tidak ada satupun manusia yang saya sukai di hidup saya.” Perkataan itu seolah menegaskan kalau Dioba tidak suka dengan Bimo.
    “Itu tidak mungkin karena saya melihat ada kecemburuan pada dirimu melihat saya dekat dengan Zee. Tapi masalahnya aku belum tahu apa kamu suka Zee atau saya.”
    “Maaf Bung, saya harus pulang karena lelah.” Dioba beranjak dari bangku yang tidak jauh dari taman kota itu.
    “Di..... saya belum selesai.”
    “Tidak ada yang perlu diselesaikan, jika Anda punya masalah saya pastikan tidak ada hubungannya dengan saya.” Dioba tahu sekali kalau Bimo tidak menyukainya seperti tidak sukanya ia kepada Bimo. Meski ia belum tahu kalau Zee meminta break dengan Bimo. Untuk saat ini Dioba baru bisa mengambil kesimpulan kalau Bimo menganggapnya mencintai Zee meski ia merasakan ada ambisi yang tersimpan pada diri Bimo yang belum bisa dianalisa secara jelas oleh Dioba karena ia baru beberapa kali saja bicara berdua dengan Bimo.
    Bimo tidak bisa mencegah kepergian Dioba di malam itu namun kekesalannya belum juga pergi bahkan semakin memuncak. Apakah harus mendekati ayah Zee demi mendapatkan anaknya? Tapi pria itu sedang berada di luar negeri sedangkan di sini Zee susah sekali dikendalikan. Tapi masih ada Amel, orang yang mungkin bisa diajak kerja sama. Maka tanpa menunggu waktu lama Bimo langsung tancap gas ke rumah Amel.  
    Amel menerima Bimo meski tidak begitu suka karena pria itu tidak menelepon terlebih dahulu. Bimo hanya minta Amel menemaninya duduk di teras dan ia langsung ke pokok masalah yang sedang ia hadapi.
    “Begini Mel, Zee minta kami break tanpa alasan dan tidak biasanya ia seperti itu, gampang marah dan tidak suka berterus terang. Akhir-akhir ini dia banyak berubah dan itu aku lihat setelah Dioba menjadi supirnya. Kamu tahu? Kemarin minggu dia ikut Dioba ke GOR menonton wanita itu main voli. Itukan aneh banget! Tidak biasa-biasanya Zee ingin melakukan hal yang bukan bidangnya apalagi olahraga seperti itu. Aku curiga sama Dioba. Kamu sebagai sekretarisnya apakah tidak melihat adanya keanehan di antara mereka?”
    Amel mencerna apa yang Bimo uraikan dan mengenai Zee yang tidak begitu suka dengan sikap Bimo sebenarnya sudah lama jauh sebelum mereka kenal dengan Dioba karena sejatinya Zee adalah orang yang tidak bisa dikekang. Kalau pria itu bilang mereka break sepertinya itu bukan hal yang mengejutkan. Tapi kalau pria itu menyinggung masalah mereka ada hubungannya dengan Dioba mungkin masih bisa diselidiki.
    “Maaf Bim.... saya dekat dengan Zee hanya masalah pekerjaan tidak yang lainnya.” Kata Amel dengan nada pelan agar pria itu tidak tersinggung. Bukan ia menutup mata tapi ia tahu sekali kalau Zee tidak begitu suka urusan pribadinya diketahui orang lain.
    “Mm Mel.... bagaimana kalau setiap kegiatan Zee kamu infokan ke saya.”
    “Apa??” wanita itu lagi-lagi terkejut dengan usul gila Bimo.
    “Maksud saya begini, saya akan bayar setiap kali kamu kasi info ... misalnya di mana dan sama siapa Zee hari ini dan begitu seterusnya. Kamu mau,’kan?”
    “Tidak Bim... saya tidak mungkin melakukan itu. Ini loyalitas saya sebagai seorang sekretaris dan sebagai karyawan  di sebuah perusahaan.”
    “Saya ngerti. Kamu kerja juga demi uang kan? saya akan bayar lebih...”
    “Tidak. Maaf, saya tidak bisa melakukannya.” Tegas Amel dengan nada pasti. Loyalitasnya kepada Zee tidak bisa dibandingkan dengan uang meski di matanya Bimo bisa melakukan apa saja demi sebuah cinta yang menurutnya cinta mati padahal Amel tahu seperti apa Bimo itu sesungguhnya.
    “Jadi kamu tidak bisa bantu saya?”
    “Untuk yang satu ini, saya minta maaf...” Amel memberikan kepastiannya. Mereka sudah putus dan kalaupun juga belum Amel tidak akan tega melakukan itu karena selama ini Zee sudah terlalu baik. Ia tidak bisa bayangkan kalau bekerja di perusahaan lain dan menemukan bos yang baru mungkin tidak akan ada yang sebaik Zee dan kalaupun ada, di mana?
    Bimo sudah merasa kehilangan harapan untuk masuk ke dalam hidup Zee. Pria tampan itu merasa direndahkan dengan sikap Zee yang mengambil keputusan sepihak. Sepertinnya harus ambil jalan lain.
    Bimo mulai memasang jurus mendekati wanita lain untuk memancing kecemburuan Zee. Sebagai pria ia merasa lepas satu dapat sepuluh hmm.... dan ia tahu di mana Zee suka menghabiskan waktu luangnya saat-saat lepas dari kesibukan. Waktu makan siang ia membawa wanita yang baru ia dekati makan di tempat di mana ia suka makan dengan Zee. Namun sayangnya hari itu Zee tidak makan di sana sehingga membuat Bimo makin keki dan kesal sendiri. Tapi ia merasa puas setelah lewat mau pulang Zee sempat melihat ia menggandeng wanita itu dan betapa bangganya dia meski sejujurnya ia merasakan ada yang sakit tak tertahankan. Namun sebaliknya Zee merasa biasa-biasa saja dan menganggap Bimo murahan. Meski menggandeng wanita lain adalah haknya dia namun Zee melihat Bimo tidak lebih dari pria gampangan. Dioba pun menyaksikan hal itu dan ia tidak akan komentar apa pun karena itu adalah zona pribadi bosnya namun baginya Bimo memang tidak penting dan tidak ada ruginya Zee lepas dari pria itu malahan ia merasa bersyukur.
    “Saya baru saja minta break sama Bimo tiga hari yang lalu tapi dia sudah memperlihatkan warna aslinya.” Ujar Zee kepada Dioba yang membawanya pulang. Dioba hanya menambahkan beberapa kalimat saja.
    “Cinta tidak seperti itu.” Ujarnya. Zee melirik ke wajah Dioba yang tidak terlihat jelas karena gelapnya sang malam. Lampu jalan dan lampu yang memancar dari mobil dari depan tidaklah seterang yang diinginkan sebab lampu-lampu itu hanya menerangi jalan saja namun dengan pasti Zee bisa mengamati kalau wanita itu memiliki penampilan amat sangat berbeda waktu dia ke lapangan voli. Sejujurnya Zee menyukai penampilan Dioba saat di lapangan, seolah itulah sosok aslinya namun saat ini ia hanya memperlihatkan kalau dia adalah seorang karyawan yang selalu patuh dan tidak bicara kalau tidak diminta. Dioba seakan membangun jarak dengan mereka yang sangat jauh bahkan seolah ada tembok besar dan tinggi di antara mereka. Tapi kalau Dioba menggunakan penampilan lapangannya saat jadi supir maka akan terlihat aneh. Selain sosoknya di lapangan berbeda dengan sekarang Zee juga suka cara Dioba berkomunikasi dengannya saat seperti itu Dioba seolah menjadi seorang teman, bukan karyawan bahkan Dioba bisa menjadi orang yang lebih dewasa darinya dan Zee memang menyadari kalau usia Dioba di atasnya. Dan di momen itu Dioba bisa menempatkan diri kalau sebenarnya dia di atas Zee dalam urusan makan asam garam kehidupan.
    Zee tidak menanggapi ucapan Dioba dengan pendapatnya tentang cinta. “Apa minggu depan aku boleh ke GOR lagi?” katanya semacam permintaan.
    “Kita lihat saja nanti.”
    Zee tak menjawab lagi, kalau tidak capek ia memang akan kembali ikut dengan Dioba. Mengurus usaha di bidang advertising memang cukup menyita waktu. Selain dibutuhkan banyak ahli di bidang teknologi juga dalam hal kreativitas.
    Dekat dengan Bimo selama ini tidak banyak membantu Zee dalam urusan bisnis, pria itu tidak bisa memberi motivasi yang baik juga kurang bisa diajak konsultasi dalam urusan pekerjaan. Bimo cendrung pasif dalam hal itu. Ia lebih sering membicarakan urusan perasaannya dibanding masa depan pekerjaan. Bimo mungkin mendambakan istri yang bukan pekerja kantor meski ia tidak pernah mengatakan hal itu kepada Zee.
    Hidup memang pilihan perkara suka atau tidak merupakan hasil dari pilihan itu sendiri. Bimo tidak perlu mengatakan alasannya mengapa dia melakukan gonta-ganti pasangan setelah break dengan Zee. Meski demikian ia selalu mengamati perkembangan Zee karena ia masih menginginkan sesuatu dari Zee.
    Bimo bukanlah seorang pria yang gampang menyerah begitu saja dengan kondisinya apalagi dia punya ambisi yang masih terus menggerogoti pikirannya. Banyak jalan menuju roma, Dioba bukanlah penghalang yang berarti bagi Bimo apalagi wanita itu berasal dari daerah yang dengan mudah ia perdaya seerat apapun Zee mempertahankannya.
    ‘Dioba..... saya tahu sebenarnya kamu punya modus bekerja dengan Zee, hanya saja saya belum tahu pasti dan akan segera tahu.’ Itu pesan masuk ke dalam ponsel Dioba. Itu semacam ancaman untuk Dioba namun Dioba merasa tidak perlu menggantikan nomor ponselnya hanya gara-gara ancaman orang gila seperti Bimo dan Zee tidak perlu tahu masalah itu. Dioba pun tak ingin menanggapi pesan itu karena akan membuang-buang waktu saja.
    Dioba sedang menatap Zee yang dari tadi menarik napas panjang berkali-kali. Wanita itu jarang sekali mengeluh kalaupun itu terjadi berarti ia sudah tidak tahu lagi harus bagaimana.
    “Saya tidak mengerti apa maunya orang-orang yang ada di negeri ini. Dalam semua departemen maunya hanya untung dan untung tanpa memikirkan hal yang logis. Apalagi di dalam dunia periklanan, banyak artis yang mengiklankan produks padahal dia sendiri tidak menggunakannya. Jadi tidak habis pikir....”
    “Orang baik sedikit pendukungnya, hal yang idealis juga seringkali ditertawai orang.  Budaya asli sering dilupakan, budaya asing dibangga-banggakan, jago membuat yang palsu seolah prestasi yang mengagumkan dan kebaikan serta logika akan dianggap aneh.” Tutur Dioba memaksa Zee terperangah, meski ia sering mendengar  dan tahu yang dikatakan wanita itu benar namun ia seakan baru mendengarnya untuk pertama kali. Sebelum Zee berkomentar lebih banyak lagi Dioba sudah menambah laju kecepatan mobil.
    “Kalau kamu cuti nanti aku ingin ikut berlibur di kampung halamanmu.”  Pernyataan Zee nyaris saja membuat Dioba mengerem mendadak. Itu pernyataan kedua wanita itu. Apakah itu sudah seharusnya atau merupakan sebuah kesempatan untuk Dioba!?

**
Perjalanan

    Dioba menyetujui keikutsertaan Zee asalkan wanita itu setuju melalui jalan darat, Dioba ingin naik angkutan umum yaitu bus malam tapi Zee ngotot agar mereka membawa Fortuner kesayangan Zee. Dengan kesepakatan bahwa Zee juga harus bergantian menyetir akhirnya usul Zee dikabulkan oleh Dioba.
    “Jangan khawatir, aku siap jadi supir pengganti asalkan kita bawa mobil dari Jakarta.”
    “Bukan itu masalahnya, jarak Jakarta dari kampung halamanku lebih dari 700 mil dan bisa kamu bayangkan berapa jam kita di jalan.”
    “Tidak masalah.” Tegas Zee namun Dioba jadi berpikir sejenak sehingga Zee masih penasaran apakah wanita itu masih ragu untuk mengajaknya. “Ada apa lagi...?”
    “Ayahmu belum juga kembali dari luar negeri.... padahal sudah lama sekali.”
    “Ya sih, tapi beliau kan sudah kasi info kalau pekerjaannya di sana masih membutuhkan banyak waktu dan aku pikir juga karena ia tahu aku di sini baik-baik saja dan beliau sangat percaya sama kamu makanya beliau tidak khawatir untuk berlama-lama di sana. Lagian aku ini kan bukan anak SMA  kelas 1 lagi.”  
    “Ya. Tapi bagi ayahmu kamu tetaplah anak gadis kecilnya. Aku mau kamu minta izin sama beliau..”
    “Kamu ini aneh, aku mau jalan-jalan keliling Eropa puluhan hari juga tidak masalah bagi ayahku.”
    “Kampungku bukan Eropa.” Tegas Dioba seakan memaksa Zee untuk memberitahukan kepergiannya. Wanita itu pun tidak menyia-nyiakan kesempatan dan menghubungi ayahnya saat ia memberitahukan akan pergi ke kampungnya Dioba, pria itu agak keberatan meski akhirnya menyetujui juga karena Zee tidak memberitahukan nama kampung Dioba. Sejujurnya pria itu lebih suka anaknya berlibur ke tempatnya yang di Eropa tapi alasannya ia sudah beberapa kali ke sana. Setelah itu Dioba menelepon seseorang untuk memberitahukan kalau ia akan pulang dan berlibur di kampungnya.
    Dioba meminta Zee yang membawa mobil terlebih dahulu. Perjalanan dari Jakarta menuju ke Merak sepertinya akan mudah dilewati oleh Zee yang terbiasa menyetir di kota besar. Fortuner itu sudah dipenuhi oleh barang bawaan Zee sedangkan Dioba hanya membawa beberapa pakaian saja. Sebelum keberangkatannya Zee memberitahukan kepada Amel kalau dia akan keluar kota dengan Dioba dan meminta Amel menangani urusan kantor dalam dua minggu ke depan.
    Dioba tidak pernah membayangkan akan mengajak Zee berkunjung ke kampungnya, sama tidak percayanya saat Zee ikut dengannya ke GOR bermimpi saja tidak pernah. Anak kota itu akan masuk ke dalam perkampungan yang teramat sangat jauh  dari ibukota meski sudah menjadi Kabupaten.
    “Zee.... kamu ini aneh tahu nggak! Kamu itu kenal dengan Dioba baru setahun belakangan ini tapi kamu sudah berani ikut dia keluar kota. Ya aku tahu kalau dia itu baik dan sopan tapi kan kampung halamannya itu jauh sekali, bukan di Bandung atau daerah Sukabumi...” Saat memberitahukan ingin pergi dengan Dioba sepertinya Amel protes keras namun Amel berusaha memastikan kalau dia akan baik-baik saja.
    “Aku tidak akan apa-apa, dengan kepergianku bersama Dioba akan mempererat hubungan kami untuk urusan kantor. Seperti kamu dan aku selama ini, kamu percaya sama aku deh Mel... ini semua aku lakukan demi keakraban semata.”
    “Tapi Zee...... kita belum tahu siapa Dioba sebenarnya.” Amel masih saja mengkhawatirkan bosnya. Tapi Zee hanya tersenyum seolah menganggap Amel mulai menyamai Bimo meski berbeda cara perhatiannya. Zee memperlihatkan keyakinannya kepada Amel untuk percaya kalau dia akan baik-baik saja. Kalau Dioba ingin berbuat jahat kepadanya maka selama ini sudah ia lakukan karena dalam setahun ini Dioba sudah mengendalikan hidup Zee di atas mobil.
    “Selama aku pergi, aku percayakan urusan kantor padamu.” Tambah Zee memaksa Amel tidak bisa bicara apa-apalagi. Itulah permbicaraan Zee dengan sekretarisnya dua hari yang lalu.
    Fortuner itu sudah melewati Tol Grogol diiringi sebuah lagu ‘Broken Angel’ Arash feat. Helena. Di tangan Zee mobil melaju dengan kencang sedangkan Dioba di sebelahnya hanya duduk mengamati suasana sekitar jalan. Ia tidak asik dengan ponsel atau yang lainnya dan sepertinya siap bicara kalau Zee mengajaknya berbincang. Di atas Dashboard ada sebuah map Sumatra Selatan, khususnya Bengkulu. Kalau untuk Dioba pribadi tidak membutuhkan map itu karena Provinsi Bengkulu adalah tanah kelahirannya tapi Zee ngotot membawa kertas itu.
    “Kita nanti akan melewati jalan lintas Sumatra ya Di.......?” tanya Zee akhirnya.
    “Ya. Tapi kita harus menginap dulu di Lampung dan setelah subuh baru jalan lagi.” Ujar Dioba. Zee melirik jam tangannya yang jarumnya sedang menunjukkan pukul 14.17 WIB. “Untuk sampai di Merak membutuhkan lebih kurang 2 jam lagi. Di atas kapal Ferry sekitar dua jam juga dan tiba di Bakauheni diperkirakan maghrib atau lewat.”
    “Wow! Kamu ternyata sudah memprediksi perjalanan kita dengan baik. Semoga saja tidak ada halangan.” Kata Zee dan diamini oleh Dioba. Dioba yang memang sudah seringkali pulang naik Bus tentunya hafal berapa jam perjalanan yang akan mereka tempuh nanti. Berapa kali mereka harus mampir untuk makan di warung dan warung mana saja yang akan mereka singgahi. “Kalau lewat atas hanya membutuhkan waktu satu jam,’kan, Di?”
    “Ya, tapi dari Bandara untuk sampai ke rumah ibuku tetap saja akan menempuh jalan darat sekitar empat jam dengan menggunakan mobil Travel.”
    “Boleh aku tanya satu hal? Semoga saja kamu tidak menganggap pertanyaan ini menyangkut urusan pribadi.” Dioba menoleh pada Zee.
    Zee meliriknya sekilas. “Boleh, ada apa? Jangan sungkan seperti itu... kita sedang tidak di kantor dan tidak sedang menjalani urusan pekerjaan. Perjanjian itu hanya berlaku kalau kita sedang sama-sama bertugas. Jadi untuk bertanya hal apapun tidak masalah dan aku harap kamu juga tidak keberatan kalau seandainya nanti aku juga ingin bertanya hal-hal yang mungkin ada yang kurasa mengganjal di hatiku.”
    “Bagaimana kamu memberitahukan kepada Amel tentang keberangkatanmu ini dan apakah kamu percaya penuh dengan wanita itu?”
    Pertanyaan itu masih ada hubungannya dengan urusan kantor meski ada hal menyangkut urusan kepercayaan namun tetap menjurus ke urusan pekerjaan.
    “Tentu saja aku memberitahukan sebenarnya kepada Amel kalau aku akan berkunjung ke kampung halamanmu meski awalnya ia meragukanku namun untuk urusan kepercayaanku kepada Amel kurasa sama percayanya aku sama kamu.”
    Itulah Zee, selalu gampang percaya sama orang lain. “Percaya pada semua orang dan berpikiran positif itu memang baik tapi waspada tidak ada ruginya.” Tutur Dioba dengan santai namun mengandung nada peringatan.
    “Memangnya kenapa? Apa aku tidak boleh percaya sama kamu? Apa kamu akan mencelakaiku?” kata Zee dengan nada diiringi tawa halus namun perkataan itu sempat membuat Dioba kaget. “Di..... banyak sekali motif atau modus bagi seseorang atau banyak orang di dunia ini untuk mencelakai orang bahkan tidak segan-segan membunuh orang tapi bagiku semua itu tidak ada bandingnya dengan sebuah keikhlasan dan ketulusan yang  dilakukan oleh orang yang dijadikan target. Harta tidak dibawa mati, sedangkan nyawa juga titipan yang maha kuasa. Uang dicari untuk kebutuhan bukan untuk ditimbun-timbun. Harta banyak juga tidak ada gunanya kalau tidak bisa menikmatinya dan mengamalkannya.”
    “Kamu percaya dengan pembunuh berdarah dingin? Atau sang spikopat.”
    “Ya.. aku sudah sering mendengar di berita juga melihatnya di film-film.”
    Dioba yang biasanya selalu menggunakan headset kalau di perjalanan kini mengabaikan kebiasaan itu hanya karena tidak ingin mengabaikan Zee apalagi wanita itu tidak ada teman bicara di perjalanan sepanjang menuju pulau Sumatra dan amat sangat tidak sopan kalau ia melakukan hal itu. Perjalanan menuju pelabuhan Merak terasa cepat karena Zee memang pandai mengendarai mobil jauh dari yang Dioba kira. Dioba ingat saat pertama kali belajar mengendarai mobil saat ia di kampung halamannya pria yang sudah menikah dengan pegawai negeri, dulu pria itu teman sekolah Dioba dan kini juga menikah dengan wanita tetangga dekat ruamh. Pria itu tanpa rencana menantang Dioba coba membawa mobilnya dan ia mengajarkan Dioba dengan tulus karena melihat kemauan Dioba yang cukup keras dan dengan beraninya ia meminta Dioba mengendarai dengan satu tangan dan sebelumnya ia minta Dioba membeli minuman dulu lalu tanpa di duga ia menyuruh Dioba menikmati minuman botol itu sembari tidak melepaskan stir dari tangannya yang satu. Setelah itu nyaris setiap ia istirahat untuk makan siang ia selalu memberi peluang kepada Dioba untuk memperlancar mengendarainya dan setelah itu Dioba sudah merasa terlatih. Hal yang tidak pernah Dioba duga sebelumnya kalau ia bisa mengendarai sebuah mobil tanpa harus memiliki mobil begitupun dengan sepeda motor. Kebaikan dan ketulusan orang-orang yang ada di sekelilingnya selama ini tidak akan pernah ia bisa lupakan begitu saja meski ia belum bisa membalas kebaikan orang-orang itu. Orang  baik memang tidak pernah minta dibalaskan budi baiknya karena mereka tulus dan ikhlas hanya saja sebagai manusia terkadang merasa kalau kita perlu melakukan kebaikan kepada siapa saja terlebih dengan orang-orang yang sudah berbuat baik terhadap kita.
    Pria itu sekarang masih sibuk menjadi supir angkot dan bisnis kecil-kecilan meski istrinya seorang wanita PNS.
    Dioba melirik ke Zee yang masih segar dengan stirnya, merasa diperhatikan oleh Dioba memaksa Zee bertanya.
    “Apa ada yang aneh? Atau aku masuk jalur yang salah?” ia menoleh sejenak lalu melihat ke jalanan lagi. Dioba sudah kembali menyimak jalan panjang yang kiri kanannya tidak ada lagi gedung-gedung tinggi menjulang.
    “Tidak ada. Apa yang ada dipikiranmu Zee? Apakah kamu sedang berpikir kalau kamu saat ini sedang merasakan berada di dalam posisiku?” tanya Dioba meski pertanyaan itu diluar dugaannya sendiri.
    “Tidak juga.” Jawab Zee dengan santai. “Itu kalau pertanyaanmu barusan menyangkut soal pekerjaan lho tapi kalau soal lain aku tidak tahu.” Sekilas ia menyimak mimik wajah Dioba yang tanpa ekspresi dan terkesan datar-datar saja. “Apa ada pikiran lain yang ada di benakmu tentang aku?” Zee balik bertanya.
    Dioba berdehem halus sebelum menjawab pertanyaan Zee. “Berapa kamu beli mobil ini dan apakah menggunakan uang dari hasil kerjamu selama ini?” pertanyaan itu baru mengusik pikiran Dioba saat dari beberapa menit yang lalu sebab ia merasa betapa beruntungnya wanita kota itu. Hidup enak, punya segalanya di dalam rumah besar yang dihuni oleh pengurus rumah. Punya perusahaan dan seorang ayah yang amat sangat menyayanginya. Punya kekasih meski sudah ia depak dan seorang supir pribadi dan sekolahnya cukup tinggi yang mungkin kembali akan melanjutkan S3-nya dalam usia yang lumayan masih muda.
    Zee tertawa mendengar pertanyaan Dioba namun ia harus menjawab jujur apa yang telah ditanyakan kepadanya. “Pertanyaanmu mengandung dua konotasi, pertama hanya ingin tahu harga dan berniat juga ingin membelinya dan yang kedua ingin tahu apakah mobil ini pemberian ayahku atau dari hasil keringatku sendiri. Berhubung kita sedang tidak dalam urusan pekerjaan dan kurasa pertanyaan yang menjurus ke pribadi itu akan aku jawab. Aku beli dari hasil kerjaku selama hampir dua tahun ini.” Jawab Zee dengan nada tenang tanpa mengandung kesombongan di dalamnya.
    “Ayahmu tidak sayang sama kamu?”
    “Maksudmu?” kata Zee dengan cepat namun sebelum Dioba menjawab ia menambahkan lagi dengan segera. “Tidak. Beliau sangat menyayangiku... apapun yang ia lakukan di dunia ini hanya untukku, saat ia ingin membelikan sebuah mobil untukku aku langsung menolaknya karena aku ingin punya sesuatu dari hasil jerih payahku sendiri dan beliau mengizinkannya meski tadinya menginginkan aku hanya untuk menabung dan menabung. Sayang ya kamu belum ketemu beliau... beliau adalah pria yang paling baik di dunia ini.” Puji Zee dengan bangga meski pujian itu tidak membuat Dioba ikut senang.
    “Aku rasa setiap anak di dunia ini akan mengatakan hal yang sama kalau ayah atau ibu mereka adalah yang terhebat dan terbaik. Itu sudah lumrah.”
    “Ya, mungkin kamu benar namun sayangnya aku tidak pernah bertemu dengan ibuku. Beliau meninggal saat usiaku 7 tahun.”
    “Ayahku juga sudah meninggal sebelum aku dilahirkan ke dunia ini.” Itu pertama kalinya Dioba mengeluarkan isi dari dalam kehidupan pribadinya kepada Zee.
    “Kamu punya ibu tiri?” tanya Zee sembari menoleh ke wajah Dioba meski ayahnya sendiri tidak menikah namun tidak menuntut kemungkinan kalau ibunya Dioba juga telah menikah lagi. Sesaat terdengar tarikan napas panjang dari mulut Dioba memaksa Zee melambatkan laju kecepatan mobilnya.
    “Tidak.”
    “Oh.” Kata oh itu mengandung keprihatinan yang tinggi sekaligus rasa bangga karena dengan menjadi wanita single parent telah berhasil membuat Dioba menjadi seperti saat ini, sekolah menyelesaikan S1-nya. Timbul keinginan Zee setelah kembalinya dari kampung nanti akan menjadikan Dioba sebagai pegawai penting di kantornya tapi.... “Di... apakah menjadi supir kamu merasa, maksudku aku ingin menjadikanmu pegawai penting di kantor tapi secara pribadi aku merasa kamu paling penting ada bersamaku. Apakah itu rasa egoku yang bicara? Tapi kamu boleh kok nanti mengembangkan hobimu dan selama ini aku juga tidak pernah menuntut,’kan?”
    “Mengapa kamu bicara seperti itu? Buatku kerja apapun dan dimanapun yang terpenting adalah kenyamanan meski tidak menampik pandangan orang yang masih memandang orang sebelah mata dari profesi yang orang jalani, itu pandangan manusiawi di semua belahan dunia ini.”
    “Kamu bisa saja...” sahut Zee merasa tidak enak hati. Matahari mulai condong dan sesaat lagi mereka tiba di pelabuhan Merak untuk menyeberang ke pulau Sumatra. “Aku mulai lapar.” Tambah Zee.
    “Kita bisa makan nanti di dalam kapal Ferry.” Dioba memberi usul dan dalam perjalanan itu dialah kendalinya. Keputusan ada di tangannya.
    “Oke.” Saat mobil mulai masuk area pengambilan tiket untuk masuk ke kapal Zee meraih botol minumnya dan meneguknya beberapa tenggak.
    “Antrian tidak akan lama karena bukan hari libur sekolah bukan juga hari besar agama jadi lancar.” Jelas Dioba karena memang suasana pelabuhan penyebrangan itu terlihat agak lengang.
    Benar saja, tidak sampai setengah jam mengantri mobilpun sudah bisa masuk ke dalam lambung kapal Ferry yang dari tadi sudah siap di tepi pelabuhan. Sampai di dalam ternyata mobil pribadi sudah banyak tersusun meski tidak bisa di bilang penuh. Mobil truk angkutan sembako atau minum-minum yang bermerek yang akan di angkut ke kota-kota kecil yang ada di Sumatra. Kalau dari Sumatra sendiri biasanya mengangkut hasil pertanian ke Jakarta seperti kelapa, pisang, kopi dan hasil pertanian yang lainnya.
    Saat hendak keluar dari dalam mobil Dioba mengingatkan Zee untuk mengenakan jaketnya. Selain di luar dingin ia tidak ingin wanita itu berpenampilan mencolok karena mereka sudah akan meninggalkan kota Jakarta yang mungkin orang pada umumnya tidak begitu peduli orang mau berpenampilan seperti artis sekalipun.
    “Ya ya.... di atas nanti pasti dingin apalagi sudah menjelang senja begini.” Kata Zee tidak memahami apa yang ada dipikiran Dioba. Dioba tak perlu menjelaskannya selain memberi usul dan melarang apa yang seharusnya. Dioba hanya membawa tas selempangnya yang berisi dompet dan ponsel. Laptop dan yang lainnya ia tinggal di dalam mobil. Dioba yang mengenakan kaus lengan panjang merasa tidak perlu mengenakan jaket meski ia tahu di atas saat memandang laut nanti anginnya cukup kencang.
    “Jujur... ini pertama kalinya aku naik kapal Ferry, untungnya aku tidak mabuk laut tidak juga phobia ketinggian.” Zee merasa takjub saat mereka jalan di sisi kapal di mana langsung terlihat air laut yang masih bergolak karena masih dekat dengan pelabuhan.
    “Bisa berenang?” spontan Dioba melontarkan pertanyaan itu.
    “Pasti. Tapi tidak pernah berenang di laut.... kata orang sejago-jagonya orang berenang di kolam renang belum tentu bisa berenang di tengah laut karena laut punya nyawa sendiri yang mengandung ribuan misteri di dalamnya.”
    Dioba membawa Zee masuk ke dalam resto kecil yang tidak begitu ramai karena tempatnya ada di bagian atas kapal dan tempat yang ia pilih bukan kelas ekonomi. Sambil makan mereka bisa melihat laut tanpa ada halangan yang menutupi mata mereka. Dioba tidak memberlakukan Zee sebagai bos atau sebagai teman dan baginya tidak ada yang istimewa pada wanita itu hanya saja hidupnya beruntung meski sejujurnya Dioba masih tidak mengerti apa yang sedang ia inginkan dari Zee. Apakah ada rasa kecemburuan atau ada hal lain...? apakah cemburu sosial atau yang lainnya. Hanya Tuhan yang tahu apa yang ada di hati Dioba saat bersama Zee.
    Zee menikmati makan senja itu dengan sangat nikmat terbukti ia makan banyak dengan lauk pedas dan berkali-kali ia menoleh kepada Dioba yang juga terlihat menikmati makanannya. Satu dua orang yang ada di tempat itu tidak mempedulikan kedua wanita itu meski Zee memperlihatkan sosok yang gampang di goda pria lain meski demikian tidak berlaku jika ia ada di dekat Dioba yang memiliki pribadi untuk orang enggan berbuat iseng lantaran sosoknya yang santai, fokus dan punya wibawa yang jarang dimiliki wanita seusianya.
    Beberapa saat kemudian kedua wanita itu sudah berdiri di bagian paling pinggir kapal untuk menikmati senja yang indah dan tidak lama lagi sunset menyinari badan kapal. Ada beberapa orang yang juga ikut berdiri tidak jauh dari Zee dan Dioba. Dioba menarik napas dalam-dalam, jika malam menjelang dan mereka masih berdiri di atas itu dan tidak ada orang lain maka akan lebih mudah baginya untuk mendorong Zee hingga jatuh ke dalam laut dalam karena wanita itu tidak akan bisa berenang di dalam ombak yang deras. Kapal berayun-ayun karena ombak yang lumayan tinggi ditambah lagi angin yang cukup kencang. Tapi apakah ia tega? Membayangkan Zee megap-megap dan terminum air laut lalu tenggelam dan perlahan tidak bisa bernapas lalu mati dengan mengenaskan atau bahkan tubuhnya dicabik-cabik binatang buas yang ada di dalam laut dengan gigi-gigi taringnya. Bukan itu saja, polisi akan mencarinya dengan pembunuhan berencana dengan motif untuk mengambil mobilnya atau hal lain. Tidak!!!
    “Di..... ambil foto dong! Ini suasana lagi bagus.” Ujar Zee membuyarkan apa yang ada di dalam otak Dioba saat itu. Ia menyerahkan kamera ponselnya kepada Dioba dan diterima Dioba dengan perasaan yang sudah ia kendalikan. Kini ponsel canggih itu sudah ada di tanganya untuk mengambil gambar Zee yang tidak perlu bergaya macam-macam karena wanita itu sudah memenuhi gaya apapun di sosoknya. Tiga kali Dioba mengambil gambarnya setelah itu Zee minta mereka selfie beberapa kali lalu ia minta tolong orang lain mengambil gambar mereka berdua agar semua pemandangannya terekam di kamera sebab Zee tidak suka dengan tongsis. Menit berikutnya Zee minta Dioba foto sendiri namun ditolak oleh Dioba dengan mengatakan.
    “Sudah cukup foto-fotonya.” Sepertinya ia lebih suka menikmati suasana laut dibanding menghabiskan waktu dengan terus berfoto. Dioba meletakkan kedua tangannya di atas besi kapal sebagai pembatas untuk menikmati permukaan laut yang tak terlihat ujungnya. Di laut manusia akan terasa bak setitik air dan di atas pesawat manusia akan terasa lebih kecil dari lalat. Seperti itulah manusia yang tidak lebih dari sebutir debu yang kapan saja bisa lenyap. Dioba ingat dengan ibu dan neneknya yang di kampung meski tidak lama lagi ia akan bertemu dengan mereka tapi bagi Dioba dua sosok wanita itu adalah yang paling berarti di dalam hidupnya. Mereka memberi izin kepada Dioba untuk merantau dan selalu mendoakan yang terbaik bagi Dioba. Bagi mereka tidak ada harta yang lebih berharga di dunia ini selain Dioba. Kebahagiaan Dioba adalah segalanya dengan cara membiarkan wanita itu berkelana di kota orang lain meninggalkan kampungnya entah demi apa namun yang jelas mereka tidak akan menghalangi apapun keinginan Dioba. Mengabulkan keinginan Dioba adalah bentuk dari kasih sayang mereka.
    Zee menghampiri Dioba dan berdiri tepat disebelah wanita itu dengan sangat dekat sehingga bahunya mengenai bahu Dioba.
    “Seharusnya aku merasa asing berada di sini, coba kamu lihat di depan sana laut yang begitu luas dan dalam yang kita sendiri tidak tahu apa saja isinya selain ikan dan mahluk laut lainnya. Apa bisa kamu bayangkan jika ada seorang anak manusia terjatuh ke dalam sana tanpa bisa berenang sedikitpun? Dia akan mati sebelum orang datang membantunya apalagi kalau hari sudah gelap.”
    “Hidup mati manusia ada di tangan Tuhan, mengenai bagaimana cara ia mati itu juga rahasia Tuhan.” Dioba meluruskan badannya ia merasa tidak suka kalau Zee bicara sesuai apa yang ada dipikirannya. Ia menatap Zee yang masih asik mengamati laut. “Kalau kamu sendiri berharap mati seperti apa?”
    Itu pertanyaan di luar dugaan Zee. “Apa bisa kita tidak usah lagi membicarakan tentang mati untuk saat ini? Apa kamu tidak bisa melihat betapa indahnya dunia ini? Dunia laut dan dunia atas sana begitu sempurna, tidak salah jika Khairil Anwar mengatakan ‘Aku Ingin Hidup 1000 Tahun Lagi’ meski demikian yang namanya mahluk bernyawa pasti mati dan aku ingin mati di dekat orang-orang yang aku cintai dan sayangi.” Zee menghadapkan wajahnya ke hadapan Dioba. “Meski aku kini hanya punya seorang ayah namun sekarang aku punya kamu yang juga sudah aku anggap kelurga sendiri... kamu tahu apa itu arti keluarga?”
    “Tidak! Aku bukan keluargamu....” Dioba membantahnya dengan tegas. “Bagaimanapun kita berbeda, posisi kita seperti langit dan bumi.”
    “Manusia tetaplah manusia, posisi bisa diubah tapi rasa nyaman tidak bisa ditemukan kepada setiap orang yang kita temukan. Tapi akan lain halnya jika kamu memiliki rasa berbeda... bukan rasa nyaman atau rasa sayang yang tulus kepadaku.”
    Dioba membalikan badannya ke arah laut luas sembari berguman. “Tahu apa kamu tentang rasa.”
    “Tidak ada yang kebetulan di dunia ini Di.... semua yang terjadi sudah direncanakan oleh Tuhan.” Matahari mulai pamit dan bola merah besar itu seakan menyentuh air laut dan akan terlelap di dalamnya, dalam pelukan bumi. Begitulah tata surya akan berjalan sesuai printah Tuhan.
    Ada dua pria yang coba mendekati Zee dan Dioba mengamatinya dari dekat tanpa coba ikut campur. Kedua pria itu sepertinya hanya ingin kenalan dan berbincang-bincang saja dan kalaupun mereka punya niat buruk kepada Zee maka Dioba tidak akan peduli dan itu artinya mereka membantu pekerjaan Dioba. Mereka bertanya mau kemana? Jalan-jalan atau mengunjungi keluarga atau mau pulang kampung? Dijawab Zee apa adanya kalau dia memang mau jalan-jalan sekalian mengunjungi keluarga. Melihat gelagat tidak baik dari kedua pria itu Dioba langsung bertindak yang tadinya seolah dia tidak bersama Zee kini meraih tangan Zee dan memegangnya dengan erat.
    “Maaf... kami akan segera turun.” Ujarnya lalu meraih tangan Zee dan mengajaknya meninggalkan tempat itu. Zee mengikuti langkah Dioba dan bertanya setelah mereka menjauh dari kedua pria tersebut.
    “Ada apa sih Di....? mereka tidak macam-macam kok.”
    Dioba sudah melepas tangan Zee dan mereka berjalan ke sisi lain kapal bukan turun seperti yang tadi dikatakan oleh Dioba. “Belum tapi mereka akan macam-macam.” Ujar Dioba tanpa menoleh kepada wajah Zee dan ia bisa melihat tadi kalau salah satu dari pria tadi sedang merogoh kantongnya dengan mengamati Zee secara seksama. Zee berhenti melangkahkan kakinya hanya ingin melihat apakah Dioba juga berhenti. Ia tadi juga tahu kalau kedua pria itu tidak punya niat baik padanya namun sampai di mana pengamatan Dioba? Sampai di mana kepeduliannya? Zee tahu meski Dioba itu terlihat cuek dan seolah masa bodoh ia yakin Dioba tak akan membiarkannya diganggu sama orang apalagi Zee akan memasuki daerah Sumatra yang notabene tanah kelahiran Dioba.
    Menyadari tidak ada suara Zee memaksa Dioba menoleh ke belakang dan mendapati Zee sedang menatap jauh ke laut dengan memeluk kedua tangannya di dada. Tidak ada lagi kedua pria tadi yang ada hanya satu dua orang lewat menikmati indahnya malam itu di atas kapal yang hanya diterangi kerlap-kerlip ribuan bintang. Indahnya malam itu membuat orang tidak peduli dengan dinginnya terpaan angin laut yang kencang. Zee masih mendekap tanganya dan jaket berbahan kausnya sepertinya tidak cukup kuat menahan terjangan angin apalagi Dioba yang hanya mengenakan kaus lengan panjang tanpa tambahan jaket.
    “Aku mau pesan kopi. Mau tunggu di sini atau ikut ke dalam?” kata Dioba sebenarnya mengajak Zee meninggalkan tempat itu karena tidak ada lagi pemandangan laut yang indah kecuali gelap sedangkan kerlip bintang hanya terlihat semacam hiasan langit saja bukan sebagai penerang. Zee menoleh kepada Dioba yang masih menunggu responnya. Tak ada suara lalu detik berikutnya Zee melepaskan dekapan tangan di dadanya lalu meraih tangan Dioba dan mengikuti langkah Dioba yang mulai bergerak. Zee seperti anak kecil yang pegangan sama kakaknya meski tidak suka cara Zee namun Dioba tidak bisa langsung menepis tangan Zee khawatir wanita itu akan tersinggung.
    Di cafe yang masih berlokasi bagian atas kapal Dioba memesan kopi susu dan diikuti oleh Zee dengan pesanan yang sama di tambah dengan roti keju. Malam mulai beranjak dan sekitar setengah jam lagi mereka akan berlabuh di pelabuhan Bakaheuni.
    “Aku suka suasana di sini.” Ujar Zee setelah menyeruput kopinya dan kursinya mengahadap ke laut meski mereka tidak benar-benar duduk di pinggiran kapal karena posisi cafe agak di tengah. Dioba diam dan menikmati kopinya, seharian ini ia tidak mendengar Zee membicarakan urusan kantor dan tidak juga ada telepon dari Amel sang sekretaris Zee. Sepertinya urusan kantor baik-baik saja. “Seperti katamu nanti kita akan menginap di hotel atau losmen dan setelah subuh baru berangkat lagi... begitu,’kan?”
   “Ya.”
    “Dan kita akan tiba di rumahmu sekitar pukul enam sore atau mungkin malam hari. Ya ampun Di...! kenapa aku lupa bawa oleh-oleh untuk keluargamu di kampung?”
    “Tidak usah, bagi mereka kedatanganku saja melebihi hadiah dari apapun yang ada di dunia ini.” Sahut Dioba santai menanggapi kepanikan Zee.
    “Oh, begitu ya. Tapi tetap saja aku merasa tidak enak. Sepertinya kamu amat sangat berarti ya di keluargamu dan kurasa ayahku juga seperti itu padaku dan begitupun sebaliknya karena kami hanya tinggal berdua dalam hubungan darah jadi aku merasa wajar kalau ayahku kadang memiliki sifat yang terlalu protektif padaku. Aku baru boleh melakukan sesuatu kalau sudah ada izin dari beliau dan begitupun beliau, dia tidak akan menikah dengan perempuan yang tidak aku sukai.” Zee melirik Dioba. “Apakah aku terlalu egois?”
    “Mungkin. Tapi bagiku kamu itu tidak lebih dari wanita beruntung.”
    “Beruntung dari segi apa?” Zee meletakkan gelas kopinya. “Pandangan orang selalu dari segi berbeda. Kadang yang kita lihat baik belum tentu baik dari pandangan orang, yang kita lihat beruntung belum tentu begitu yang dirasakan orang yang kita lihat. Intinya setiap manusia selalu merasakan ingin berada di luar zonanya. Aku pernah mendengar obrolan ibu rumahtangga. Dia mengatakan ‘enak sekali ya jadi wanita karir bisa punya uang lebih, bisa  bantu suami dan bisa membeli yang diinginkannya tanpa minta uang sama suami ‘sedangkan wanita karir berpendapat sebaliknya ‘enak sekali menjadi ibu rumahtangga bisa melihat perkembangan anak setiap jamnya, bisa membantu anak membuat PR, bisa masak setiap pagi, mengantar dan menunggu anak-anak di sekolah.’ Jadi seperti itulah manusia Di.”
    “Kasus kita beda Zee, tidak seperti kasus wanita karir dan wanita ibu rumahtangga.” Kembali Dioba menikmati kopinya. “Dan kamu....., sudahlah.” Dioba tidak meneruskan kata-katanya. “Sudah saatnya kita turun kerena sebentar lagi kapal akan menepi.” Ujar Dioba tidak mau lagi berdebat dengan urusan itu karena Zee tidak akan pernah mengerti.
    Seperti yang telah disepakati sebelumnya saat keluar dari kapal urusan mobil sudah menjadi tanggung jawab Dioba. Mobil keluar dari lambung kapal dan mulai mencari tempat penginapan karena waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Dioba akan mencarikan tempat yang tidak bisa dibilang mewah namun cukup menjadi tempat untuk istirahat hingga subuh menjelang.
    “Jangan kaget karena kita tidak akan menginap di hotel berbintang dan jangan juga berharap kita akan bersenang-senang.” Kata Dioba saat mobil sudah jalan sekitar lima menit di jalan raya dan di tepi jalan Dioba akan singgah di penginapan biasa di mana orang-orang sering menginap saat jalan-jalan atau memang suka keliling Indonesia.
    “Tidak masalah.” Sahut Zee dengan sungguh-sungguh. “Karena kita memang bukan untuk mencari hotel mewah atau survei hotel,’kan?” Zee juga memang sudah bosan untuk tidur di hotel bintang lima yang menyediakan mini bar, balkon atau perlengkapan lainnya yang bersifat kemewahan. Bukan juga ia tidak mampu membayar perjalanan mereka ke kampung Dioba dan bukan juga ia minta Dioba yang membiayai semuanya. Namun semua yang ia jalani bersama Dioba merupakan perjalanan yang tidak akan pernah ia lupakan untuk seumur hidupnya nanti.
    Dioba menepikan mobil dan berbelok ke arah sebuah penginapan umum yang letaknya tidak jauh dari sebuah mini market dan sebelumnya mereka melewati beberapa penginapan dan hotel Bandar Lampung yang memiliki beberapa lantai.
    Dioba meminta Zee menunggu di dalam mobil sebentar untuk menanyakan apakah masih ada 1 kamar kosong untuk dua tempat tidur. Tempat itu mungkin tidak akan lebih dari duaratusribu permalamnya. Menit berikutnya Dioba telah kembali ke mobil dan meminta Zee turun dengan membawa segala keperluan yang nanti dibutuhkan.
    Hal pertama yang akan dilakukan oleh Dioba adalah mandi dan sebelumnya ia memesan dua cangkir kopi agar diantar ke kamar no 7 yang mereka tempati yaitu kamar paling ujung. Zee mengamati kamar yang malam itu akan mereka tiduri. Sebuah kamar dengan dua tempat tidur, meja dan kursi sepasang dan satu televisi ukuran sedang, AC dan satu kamar mandi. Cukup nyaman dan di depan pintu kamar langsung ada teras kecil dan tempat duduk dengan sofa yang ditengahnya tersedia meja kecil. Pintu itu sudah dikunci oleh Dioba sebelum ia masuk ke kamar mandi.
    Zee membongkar isi tasnya dan isi dompetnya dengan lengkap kartu ATM dan beberapa lembar uang kertas ratusan ribu rupiah. Ia tidak tahu berapa tabungan Dioba dan berapa uang yang ada di dompetnya dan sepertinya wanita itu tidak mau perjalanannya dibiayai oleh Zee. Apakah ia memiliki gengsi yang tinggi atau memang dia punya banyak uang. Sampai detik ini Zee tidak bisa menduga siapa Dioba yang sesungguhnya meski secara emosional ia tahu karakter Dioba namun masih banyak hal yang harus ia dalami mengenai wanita itu. Kadang ia pemarah, baik, kadang tidak peduli dan masih banyak lagi yang membuat Zee ingin masuk ke dalam pribadi Dioba. Wanita itu bukan saja menyimpan banyak misteri hidupnya namun ia juga menarik untuk di kenal lebih jauh. Ia seperti hewan jinak namun terkadang semacam hewan liar yang kapan saja siap menerkam.
    Pintu kamar di ketuk oleh seorang pelayan untuk mengantar kopi pesanan Dioba. Zee membuka pintu dan sepertinya Dioba selalu berada selangkah di depan Zee untuk urusan seperti itu. Ia mungkin menyadari kalau Zee terbiasa jadi anak orang kaya dan besarnya menjadi bos. Saat Zee ingin membayar ternyata sudah di bayar di muka oleh Dioba. Pelayan itu pamit setelah Zee mengucapkan terima kasih. Zee mengamati dua cangkir kopi di atas meja tanpa ada makanan kecil, entah ia lupa atau memang tidak ada makan malam lagi. Pikir Zee. Ponsel Dioba yang tergeletak di atas meja menyala sepertinya ada pesan masuk memaksa Zee meliriknya namun tidak akan membuka ponsel itu dan di layarnya tertera wallpaper gambar Zee bersama Dioba di dalam GOR waktu itu. Zee mengukir senyum tipis menyimak gambar itu sebelum menghilang bersama matinya cahaya lampu dari ponsel.
    Detik berikutnya Dioba keluar dari kamar mandi dengan wajah yang lebih cerah dan segar dari sebelumnya. Ia melirik Zee yang rebahan di atas tempat tidur satunya. “Tidak mau mandi? Mandilah dulu biar segar dan bisa tidur dengan nyenyak nantinya.” Kata Dioba dan hidungnya langsung mencium aroma kopi sejak masih di dalam kamar mandi. Zee tidak segera menjawab apa yang Dioba katakan dan sepertinya ia ingin sekali segera tidur karena merasa lelah namun  ia tidak mau Dioba berpikir kalau dia adalah wanita jorok yang kapan saja bisa tidur meski belum mandi sekalipun.
    “Dingin nggak?”
    “Ya.. sedikit karena di sini menggunakan air sumur bukan air PAM seperti di daerah Jakarta jadi lebih alami dan dinginnyapun seolah air yang turun dari gunung..” mendengar penuturan Dioba membuat Zee sudah menggigil dulu namun ia paksakan untuk mandi seolah ingin membuktikan kebenaran kata-kata Dioba itu dan bukan bualan semata.
    Dioba mengecek ponselnya ternyata dari ibundanya yang mengirim pesan untuk hati-hati di jalan. Dioba menjelaskan kalau malam itu mereka akan menginap di penginapan dan sebelum fajar mereka baru berangkat lagi. Di status BB-nya Dioba menulis ‘Detik ke depan tidak ada yang tahu apa  yang akan terjadi pada kita’
    Dioba membawa cangkir kopinya ke luar dari kamar dan ia duduk di kursi teras. Di sana ia menyandarkan tubuhnya sembari menikmati kopi hangatnya. Di samping kanan kamar mereka ada sebuah kolam ikan yang terbuat dari semen dan taman kecil yang indah diterangi lampu yang terang sehingga terkesan kalau tempat itu ramah dan benar-benar dibuat bukan saja sebagai tempat menginap namun sebagai tempat istirahat yang menyenangkan.
    Beberapa saat kemudian Zee menyusul duduk di kursi yang di sebelahnya namun ia tidak membawa gelas kopinya karena mungkin mengira Dioba tidak akan lama duduk di tempat itu namun tidak demikian karena Dioba memang betah duduk di sana sebelum matanya mengantuk.
    “Airnya lumayan dingin namun akan terasa segar dan hangat setelah selesai mandi.” Kata Zee tanpa diminta oleh Dioba.
    “Nikmati kopimu sebelum dingin, nanti kita akan makan di kantin.” Saran Dioba karena menikmati kopi nikmat itu tidak lebih dari duapuluh menit setelah disuguhkan.
    Zee langsung mengambil kopinya ke dalam setelah kembali duduk ia menenggak kopinya dan melirik gelas Dioba yang tinggal setengah. “Aku rasa tidak perlu makan lagi karena sudah malam, nanti kalau lapar kita pesan jus saja.” Usul Zee.
    “Yah, terserah kamu saja.” Sahutnya datar. Dioba meraih ponselnya dan menyimaknya sesaat sekedar ingin melihat status BB teman-temanya.
    “Di.... kamu tidak merokok? Orang suka menikmati kopi biasanya cendrung perokok.” Tanya Zee tanpa bermaksud menyinggung.
    “Kamu sendiri?” ia balik bertanya tanpa harus menatap lawan bicaranya. “Bukankah kamu juga tiap pagi, siang dan sore juga penikmat kopi?” ujarnya semacam dugaan.
    “Yah, dulu aku sempat menikmati benda itu tapi sekarang sudah tidak lagi.” Kata Zee dengan jujur dan kali itu Dioba menatap Zee. Pengakuan itu diluar dugaannya. “Aku juga pernah menikmati minuman keras bahkan sampai mabuk.” Belum turun volume rasa kaget Dioba ditambah lagi dengan pengakuan selanjutnya. “Kamu.... apakah kamu punya pacar di kampung halamanmu?”
    Dioba menarik napas dalam-dalam baru menjawab. “Punya, tapi dulu saat aku masih kuliah.” Beritahunya dengan nada datar, tidak ada penyesalan dalam kata-kata itu.
    “Oh....” hanya itu yang keluar dari mulut Zee dan kembali ia menikmati kopinya hingga nyaris habis.
    Malam terus beranjak namun Zee merasa enggan untuk buru-buru masuk karena masih ingin mendengar cerita dari mulut Dioba. “Boleh aku tahu tentang keluargamu di kampung?”
    Dioba menghirup kopinya hingga habis. “Aku hanya punya seorang ibu dan seorang nenek.” Jawab Dioba singkat dan sepertinya ia sudah ingin masuk untuk istirahat karena besok giliran dia yang menyetir. “Sebaiknya kita istirahat.” Ia menegaskan. Zee menghela napas panjang karena ia merasa saat ini Dioba sedang menjauhi dirinya.
    “Apakah tidak ada jadwal minum jus lagi?”
    “Aku masih kenyang, tapi aku akan pesan untuk kamu.” Ujar Dioba akhirnya dan ngeloyor pergi ke Kantin tanpa berusaha menelepon dari kamar.
    “Tunggu!” Zee memanggil Dioba karena dia ingin ikut ke Kantin yang sekaligus bisa di sebut sebagai Kafe kecil. Jam sudah menunjukkan hampir pukul sembilan malam dan Dioba tahu kalau Zee tidak akan bisa tidur dengan perut lapar. Zee memesan jus apel dan makanan kecil, jika ia tidak sempat menikmati makanan kecil itu maka sebagai cadangan saja meski di mobilnya sudah banyak persediaan makanan kecil.
    Di kamar, Dioba sudah mengunci pintu dan siap-siap untuk ke atas tempat tidur dan sebelumnya menggosok gigi terlebih dahulu. Zee merasa Dioba tidak seramah kala ia ada di GOR dan hari itu menjadi hari yang tidak bisa dilupakan oleh Zee dan mengapa kondisi hari itu tidak bisa terulang lagi sehingga membuat Zee merasa menjadi orang lain, bukan sebagai bos bukan juga sebagai teman. Kini ia merasa menjadi sosok asing di dekat Dioba, apakah ia akan menyesal mengikuti perjalanan itu nanti?
    “Di.......?” wanita itu coba bertanya setelah Dioba keluar dari kamar mandi. “Langsung mau tidur ya? Boleh aku minta waktu lagi...?”
    “Maksudnya?” Dioba merasa heran karena dari tadi wanita itu terus saja bertanya. Ia duduk di tempat tidurnya lalu menatap Zee yang saat itu sedang duduk juga di tempat tidurnya sehingga kedua wanita itu kini sedang duduk berhadap-hadapan. Zee tidak langsung menuntaskan pertanyaannya dan memandang Dioba cukup lama membuat Dioba merasa salah tingkah.
    “Aku punya waktu... silahkan apa yang harus aku lakukan.” Itu ucapan bak seorang anak buah kepada bosnya dan itu tidak disukai Zee dalam kondisi di luar pekerjaan.
    “Kau tidak menyesalkan mengajak aku ke kampung halamanmu?”
    “Kita belum juga sampai tapi kamu sudah melontarkan pertanyaan semacam itu. Ada apa sebenarnya?”
    “Aku tidak mengenalimu saat ini.”
    “Maksudmu?” tanya Dioba balik dan ia memang suka kalau Zee tidak mengenalinya secara utuh.
    “Aku merasa saat ini seperti sandramu, kadang juga merasa seperti tuan putrimu. Sikapmu sungguh susah kumengerti. Kamu tidak punya adik ataupun kakak,’kan sama halnya dengan diriku. Kenapa kita tidak saling memahami posisi kita dan hidup saling berdampingan.”
    “Apa maksud kamu? Aneh sekali kata-katamu itu.” Sergah Dioba tidak suka dengan pernyataan Zee yang dianggapnya berlebihan. “Kamu orang kota aku orang kampung yang sampai kapanpun tidak akan pernah menyatu dan berdampingan. Orang kota akan selalu menganggap orang kampung itu udik, kampungan, miskin, tidak berpendidikan, kolot dan semua hal yang sifatnya jelek, juga hidup dari kubangan lumpur sawah dan kebun.” Uraian kata Dioba membuat Zee kaget bukan main karena bukan itu yang ia maksudkan namun Dioba sudah berpikir sejauh itu.
    Zee menarik napas panjang karena nada dari kata-kata Dioba itu semacam fakta yang harus Zee terima dan dengar meski demikian ada gejolak di dalam ungkapannya seolah tidak sedikit yang berasal dari kampung menjadi kebutuhan pokok orang kota. Zee tersenyum tipis namun Dioba tidak lagi menghiraukannya dengan merebahkan badannya di atas kasur empuk itu.
    “Pastikan lampu dimatikan kalau kamu sudah siap untuk tidur, karena aku tak bisa tidur dengan lampu menyala terang.” Ujar Dioba akhirnya. Zee masih diam karena ia merasa Dioba belum bisa memahami apa maksud dari kata-katanya dengan kata ‘berdampingan’ atau bisa saja ia sangat memahami namun menolaknya dengan keras karena ia tahu Dioba itu punya sifat yang keras dan punya prinsip hidup.
    “Kamu itu terkadang menyebalkan.” Kata Zee sembari melangkah ke kamar mandi, gelas jusnya sudah kosong dan ia tidak menikmati makanan kecil karena akan menyusul untuk segera istirahat. Dioba tak menggubrisnya lagi walau kadang ia merasa Zee lebih menyebalkan dari siapapun.
    Sebenarnya Dioba ingin membuka laptopnya dan menuliskan apa yang ada di otaknya saat ini namun sepertinya tidak memungkinkan karena ia tidak ingin menulis dilihat oleh Zee dan tentu saja ia tidak akan bisa konsentrasi. Sebelum Zee kembali dari kamar mandi Dioba beranjak menuju tempat tidur Zee dan membersihkan tempat itu dengan mengibaskannya dengan selimut. Ia tidak ingin wanita itu digigit sesuatu meski hanya seekor semut sekalipun. Saat kembali ke tempat tidurnya Zee menyadari kalau tempat tidurnya telah dibersihkan. Ia melirik ke arah Dioba lalu mengukir sebuah senyuman lalu dalam hati ia berguman. ‘Kamu memang benar-benar menyebalkan.’ Ia mematikan lampu dan ikut rebahan, kamar yang hanya diterangi oleh cahaya lampu dari teras luar itu terasa nyaman, dingin sehingga Zee harus menarik selimut agar bisa tidur dengan nyenyak. Sejujurnya ia tadinya ingin Dioba memilih kamar dengan satu tempat tidur yang luas karena Zee tidak pernah tidur dengan siapapun sehingga ia ingin merasakan bagaimana rasanya tidur berdua meskipun hanya dengan Dioba. Tapi apa boleh dikata karena untuk sementara ini yang mengatur perjalanan adalah Dioba dan pulang nanti Zee ingin menyampaikan kalau dia punya keingian juga.
    “Selamat tidur Di.....” Zee coba mengucapkan kata-kata yang biasanya orang ucapkan menjelang tidur. Tidak ada sahutan, mungkin Dioba sudah terlelap atau mungkin ia sudah enggan bicara lagi. Pikir Zee.
*
    Fortuner itu sudah keluar dari halaman penginapan pas setelah menjelang fajar menyingsing. Dioba yang ada di belakang stir melirik ke Zee untuk memastikan apakah wanita itu masih mengantuk atau benar-benar sudah segar. Sepertinya wanita pekerja itu tidak mengantuk karena ia malah tersenyum lebar untuk Dioba.
    “Hati-hati Di..... aku percayakan hidupku padamu.” Meski kata-kata itu terdengar ringan namun mengandung arti yang tidak main-main.
    “Hidup dan mati kita ada di tangan Tuhan.” Dioba membelokan mobil untuk menuju perjalanan yang sesungguhnya. “Selamat datang di Sumatra, pasang saja sabuk pengamanmu.”
    “Oke...” sahut Zee dan setelah ia memasang sabuk pengaman ia menyetel lagu kegemarannya ‘A Thousand Years’ meski tak begitu suka dengan lagu genre seperti itu namun Dioba membiarkan Zee menikmati alunan suara Christina Perri agar ia tidak bosan di mobil. “Udara di sini dingin, tidak perlu menyalakan AC sudah kedinginan.”
    “Karena masih gelap nanti kalau sudah siang juga sudah pasti panas. Pulau Sumatra tidak seperti puluhan tahun yang lalu karena di mana-mana sudah dibangun perumahan, penginapan, hotel, tempat ibadah dan sekolah-sekolah. Meski diikuti dengan penanaman pohon baru namun tetap saja tidak bisa mengimbangi pengurangan lahan apalagi lahan pertanian yang setiap tahunnya terus saja berkurang.”
    “Begitu ya.” Kata Zee seperti tidak memahami meski dengan jelas ia tahu pasti kalau setiap tahunnya selalu seperti itu, jangankan di daerah di pinggiran Jakarta saja seperti itu kalau ada lahan satu dua hekare langsung di buat perumahan meski hanya untuk beberapa unit saja. Dan sepertinya para pengembang sudah mengembangkan sayapnya ke pelosok-pelosok tanah air dengan sasaran utama adalah para pegawai negeri. Mereka membuat ratusan bahkan ribuan unit perumahan dengan menyawar para PNS itu, rumah murah dengan subsidi pemerintah namun tetap saja harganya mahal. “Apakah nanti kamu pernah berpikir untuk menetap di Jakarta dan membeli rumah di sana?” kata Zee akhirnya.
    “Tidak. Buat saya kampung halaman adalah yang terindah walaupun tak dipungkiri banyak sekali kekurangan di mana-mana. Harga sembako juga di kampung sudah hampir menyamai kota besar tapi di kampung waktu istirahat terasa lama berbeda sekali tinggal di Jakarta, bangun pagi-pagi tahu-tahu tak terasa sudah maghrib saja. Kita seolah diburu waktu tapi di kampung waktu seolah kita yang atur dan waktu masih bisa diajak bersahabat.”
    “Sepertinya menarik.” Kata Zee seperti coba membayangi apa yang diucapkan Dioba namun ia tidak akan percaya begitu saja kalau belum merasakannya sendiri karena Zee adalah tipe orang yang ingin langsung praktek bukan teori.
    “Waktu malam kita bisa menghabiskan waktu sepanjang malam kalau di Jakarta sudah menjelang subuh namun di kampung masih menginjak tengah malam sampai kita merasa kalau setiap malam itu adalah malam panjang.”
    “Hehehe itu dikarenakan tidak adanya kegiatan makanya terasa panjang lha kalau orang kotakan punya banyak acara dari makan malam di kafe, menonton bioskop bahkan menghabiskan waktu di tempat hiburan lainnya semacam bar.”
    “Yah taroklah seperti itu tapi tidak sedikit orang pekerja di Jakarta yang tinggal di pinggirannya menghabiskan waktu setiap harinya empat jam di jalan. Keluar dari kantor pukul lima sore dan sampai rumah pukul tujuh malam bahkan lebih, kelelahan. Isirahat sebentar lalu harus buru-buru tidur lagi karena besoknya setelah subuh harus berangkat lagi dan lagi-lagi bertemu dengan macetnya jalan Jakarta.” Dioba bercerita seakan ia sudah begitu memahami banyak hal di ibukota.
    “Benar sekali apa yang kamu katakan Di...” Zee menoleh pada Dioba. “Lalu mengapa kamu ada di Jakarta dan bertemu denganku, sekarang menjadi salah satu orang yang kamu sebutkan tadi itu? Apakah ada hal lain yang membuatmu melakukan itu?”
    Dioba melirik ke Zee sekilas, jalan lurus kota Bandar Lampung membuat Dioba bisa santai mengendarai mobil dan di upuk timur cahaya merah sudah mulai terlihat pertanda matahari sudah akan muncul ke permukaan bumi.
    “Manusia terkadang melakukan hal diluar keinginannya meski tidak tahu apa alasannya.”
    “Mungkin kamu benar, tapi menurutku kamu itu unik. Aku tahu kamu suka menulis dan melakukan banyak hal dengan kegemaranmu itu, apa mungkin kamu itu sedang melakukan riset untuk tulisanmu dan bekerja sambil mencari bahan untuk tulisan mengenai kota Jakarta? Jika itu benar pasti menarik tapi jika aku salah kamu pasti punya maksud lain karena selain menyukai Jakarta kamu juga membencinya. Terkadang kita juga menikmati apa yang kita benci,’kan?” urai Zee dan detik berikutnya Dioba menepikan mobil lantaran ia ingin menikmati momen munculnya sang mentari. Ia suka momen seperti itu lalu mengambil gambarnya untuk diabadikan di ponselnya. Setelah mengambil gambar dari dalam mobil ia menyalakan lagi mesin mobil.
    “Tunggu Di....”
    “Tidak bisa lama-lama karena kita sudah mulai menjauh dari tengah kota, akan tidak aman nanti kalau aku sendiri sih tidak apa-apa.” ‘aku percayakan anak gadisku padamu Dioba’ itu pesan yang pernah diucapakan ayahnya Zee kepada Dioba meski hanya lewat telepon.
    “Sebentar saja.” Pinta Zee.
    ‘Apa peduliku! Bukankah aku sendiri menginginkan wanita ini celaka?!’ Dioba menuruti keingian Zee. Zee membuka pintu mobil dan ia sepertinya ingin menikmati momen itu dari luar, selain minta Dioba mengambil gambarnya dengan siluit sunrise ia juga sangat antusias melihat kejadian itu di pinggir jalan dan cahaya itu seolah mengintip dari balik gunung yang tidak bisa dibilang tinggi. Tidak sampai di situ saja, ia bahkan ingin memotret Dioba dengan angle menyandar di mobil lalu background matahari terbit.
    “Sudahlah, kita harus segera berangkat.” Ujar Dioba setengah memaksa.
    “Ayolah, momen ini jarang ditemukan. Aku tidak peduli apa alasanmu yang penting kita harus ambil gambar di sini.” Zee masih bersikeras agar Dioba mengikuti keinginannya dan Dioba mengikuti bukan lantara ia penurut karena apa yang dikatakan Zee sebenarnya ada benarnya. Setelah mereka memotret beberapa kali dan hendak masuk mobil tiba-tiba ada seekor ular melewati jalan raya. Zee ingin menjerit tapi di tahan oleh Dioba dengan menutup mulut Zee dengan telapak tanganya agar suara Zee tidak keluar sehingga ular merasa tidak terganggu.
    “Tenang, biarkan saja dia lewat karena kalau dia kaget dia akan menyerang kita.” Kata Dioba dengan nada pelan sambil melepaskan tangannya dari mulut Zee. Apa yang dikatakan Dioba ternyata benar dan ular yang cukup besar itu hanya menyebrang jalan dengan santai lalu masuk ke dalam semak-semak. Zee buru-buru masuk ke dalam mobil setelah ular itu menghilang karena dia tidak akan mengambil resiko dengan gigitan ular. Kedatangan ular cukup membuat jantungnya berdetak kencang. Dioba mengikuti Zee yang sudah ada di dalam mobil. Sebelum menjalankan mobil ia membiarkan Zee tenang dulu.
    “Tidak apa-apa, pernah melihat ular lebih besar dari itu di kebun binatang,’kan? Santai saja.” Kata Dioba padahal ia tahu pasti kondisi binatang di alam liar dengan yang di kebun binatang itu berbeda jauh.
    “Kemunculan ular itu sempat membuat aku sport jantung. Kok ada ya ular nyebrang jalan di pagi buta begini. Ayo kita meninggalkan tempat ini.”
    Dioba menjalankan mobilnya. “Minum dulu biar lebih tenang. Biasalah binatang melata itu tidak akan melewati jalan aspal di panas terik matahari.” Jelasnya kemudian. Zee mengambil minumannya yang mereka sediakan berbagai jenis di dalam mobil. Lalu ia mengelap mulutnya.
    “Kamu itu cukup kuat juga menutup mulutku tadi.”
    “Kenapa sakit? Maaf kalau begitu.” Kata Dioba serius tapi Zee malah tertawa.
    “Tidak, tidak apa-apa. Mau minum juga?”
    “Nanti aku ambil sendiri.” Ia tidak akan membiarkan wanita itu meladeninya meski hanya memberinya sebotol minuman. Hari sudah mulai terlihat terang dan langit sepertinya akan cerah. Dioba melirik persediaan bensin dan sepertinya sudah harus diisi dan ia tahu kalau tidak jauh lagi ada pom bensin dengan jarak tidak lebih dari 20 km. Kini lagu Iwan Fals dengan judul ‘Nyanyian Jiwa’ berkumandang di dalam Fortuner itu.
    “Kamu itu sebenarnya suka lagu siapa?” tanya Zee karena ia tidak tahu kalau Dioba punya koleksi lagu yang menurutnya rada aneh-aneh.
    “Lagu siapa saja yang penting enak di dengar.” Ujarnya dan suara Iwan Fals sudah berganti dengan suara Tantri Kotak. Mobil melaju kencang membelah pagi itu dan Dioba menghentikan mobil di POM bensin beberapa saat kemudian. Ia berpesan kepada Zee untuk tidak usah turun dari mobil.
    “Tapi......?”
    “Tidak mau ke toilet,’kan? Ya sudah tidak usah keluar.”
    “Aku kan harus bayar bensinnya.”
    “Aku bisa melakukannya.”
    Mobil yang di depan mereka sudah selesai mengisi bensinnya dan Dioba sudah masuk antrian. “Zee... aku memang belum sanggup membeli mobil tapi aku masih mampu untuk  membeli bensinnya.” Kata Dioba sambil membuka pintu mobil dan memesan untuk diisi penuh.
    “Dasar keras kepala.” Gerutu Zee.
    Sikap Dioba masih saja menjadi misteri di mata Zee membuatnya tidak sabar ingin buru bertemu dengan orang yang melahirkan Dioba dan bertanya banyak hal dengan orang-orang sekitar Dioba karena baginya Dioba itu bukan saja menyebalkan karena kadang ia susah diatur walau demikian baiknya kadang tanpa pamrih. Zee memejamkan matanya sambil menunggu Dioba selesai sepertinya ia tidak mau peduli lagi apa yang wanita itu lakukan, berapa banyak ia mengisi bensin dan berapa banyak uang yang sudah ia keluarkan. Ia tidak akan memberi kalau Dioba tidak memintanya. Kembali Zee menjadi dirinya sendiri, seorang bos. Mungkin itu yang diinginkan Dioba karena ia masih memberi jarak itulah yang Zee rasakan.
    Dioba tidak mengganggu Zee dengan kembali menyetir setelah ia menikmati minuman hangatnya yang ia isi dari tempat penginapan. Mobil tidak bisa melaju kencang karena ada beberapa jalan berlubang. Perjalanan untuk sampai di rumah memang masih sangat lama dan itu sudah menjadi hal biasa bagi Dioba.
    Dioba tidak bisa membayangkan bagaimana Zee kalau sudah sampai di rumahnya begitupun dengan nenek dan ibunya meski bagi mereka tidak masalah kalau dia mengajak seorang teman untuk berlibur walaupun tadinya ibunya tidak setuju lantaran khawatir orang kota akan menghina kediamannya yang di kampung. Dioba sebenarnya juga tidak tahu mengapa mengizinkan Zee ikut bersamanya terlepas dari sebagai bosnya yang ia lihat kesepian dan sejujurnya Zee tidak beda jauh dari kondisi Dioba sendiri. Apakah untuk melenyapkan nyawa Zee lebih gampang di kampung? Tidak! Itu pikiran bodoh. Semua orang akan cepat mengira kalau Dioba pelakunya karena mereka selalu bersama. Tidak ada jalan yang mudah, hanyut? Zee bisa berenang. Dioba menghela napas panjang dan agak keras sehingga membuat Zee membuka matanya. Tapi kenapa tadi ia berusaha menyelamatkan Zee dari ular itu. ‘Bodoh! Mengapa setiap kali ada kesempatan seperti itu aku selalu lupa dengan hal itu’ Dioba melirik Zee yang sudah membuka matanya lalu kembali fokus ke jalan raya yang memang sudah terang dari tadi dan satu dua mobil ada di belakang dan di depan mereka.
    “Sudah sampai mana Di....?”
    “Masih di Lampung.”
    “Perutku lapar.”
    Dioba melirik jam tangannya ternyata sudah hampir pukul sepuluh. “Ya nanti kalau ketemu rumah makan kita mampir.” Dioba akan mampir di rumah makan Padang karena makanan Padang pada umumnya disukai seluruh orang Indonesia.
    “Di.... apa yang membuatmu ke Jakarta dengan menempuh jarak yang tidak bisa dibilang dekat itu?”
    “Jakarta dekat kalau kita naik pesawat. Kalau mengenai keinginan mungkin semua orang yang tinggal di kampung punya keinginan untuk melihat ibukota negerinya perkara ia suka atau tidak dengan siapa yang memimpin negeri ini.”
    Zee tertawa halus karena Dioba setiap kali menjawab pertanyaan selalu disertai dengan hal yang tidak di duga sebelumnya. Zee bertanya pendek dan ia menjawab panjang lebar, itu pertanda kalau Dioba sedang ingin mengeluarkan unek-uneknya.
    Mobil mulai melaju kencang karena kembali menemukan jalanan bagus. Zee memperbaiki posisi duduknya dengan mengamati sekeliling jalan yang ternyata masih banyak di tanam singkong. “Pulau ini dulu banyak diduduki para trasmigran,’kan?”
    “Ya, dari pulau Jawa.”
    “Betul, penduduk pulau Jawa melebihi setengah dari keseluruhan penduduk Indonesia makanya diadakan program transmigrasi itu.” Tambah Zee. “Mm.. Di, kalau kamu lelah aku bisa menggantikan membawa mobil kok lagian tidak ada aturan kalau kamu yang selalu membawanya.”
    “Ya nanti saja. Itu di depan sudah kelihatan ada rumah makan, bukannya kamu sudah lapar?” Dioba menuruni kecepatan laju mobil.
    “Kamu benar, aku memang sudah lapar sekali.”
    Rumah makan itu cukup besar, di halaman parkirnya banyak kendaraan dari mobil pribadi, bus angkutan umum sampai mobil truk. Dioba menempatkan mobil tidak jauh dari pintu masuk karena tidak ingin mobil Zee nanti tergores oleh tangan-tangan iseng.
    Kedua gadis itu mengambil meja yang agak belakang setelah sebelumnya dari toilet. Sesaat saja pelayan menghampiri mereka dengan menyapa apakah mereka hendak makan sekarang atau sedang menunggu keluarga yang lain. Setelah memutuskan untuk makan pelayan itu melambaikan tangannya kepada temannya yang di depan untuk dibawakan hidangan. Tidak sampai satu menit hidangan sudah memenuhi meja dan tidak lupa Zee minta tolong kepada pelayan agar ia di foto bersama Dioba sesaat ingin menikmati makan jelang siang itu. Zee seolah tidak ingin melewati satu momenpun bersama Dioba tanpa ada gambar yang diabadikan.
    “Kalau ayahku nanti melihat foto kebersamaan kita saat jalan-jalan ia pasti senang.” Ujarnya dengan nada semangat. Sebenarnya ia sudah kangen dengan pria itu namun ia tidak ingin merusak suasana saat bersama Dioba dengan menceritakan hal ayahnya.
    “Makanlah.” Dioba menimpali dengan nada datar. Ia juga sudah lapar karena tadi setelah subuh hanya menikmati kopi dengan sepotong roti. Di salah satu sudut ruangan ada sebuah televisi dengan ukuran besar meski tidak semua pengunjung menikmati acara televisi namun bisa menjadi hiburan tersendiri bagi sebagian orang di sana. Pelayan-pelayan terlihat sibuk dan mereka mengenakan seragam putih dengan bawahan hitam. Sambil makan Dioba mengamati para tamu dengan berbagai prilaku mereka. Beberapa orang dari kalangan atas dan juga dari kalangan biasa lalu ia melirik ke Zee di matanya Zee terlihat dari kalangan  biasa meski ia tahu kalau wanita itu berasal dari kalangan atas. Zee tidak suka mengenakan kalung emas, gelang emas juga pernak-pernik yang berlebihan meski tidak ada yang menyangkal kalau pakaian yang ia kenakan semua bermerek. Zee hanya mengenakan sepatu sandal kulit, di mobilnya ada beberapa pasang sepatu kets dan yang lainnya. Pakaiannya kaus kasual karena Dioba memang mengingatkan wanita itu untuk tidak terlalu mencolok dalam urusan penampilan karena orang di kampungnya tidak suka hal semacam itu. Karena nanti akan dicap artis masuk desa atau sok pamer. Dioba tidak ingin juga kalau Zee dianggap wanita sok kota pamer kekayaan dengan orang kampung. Satu lagi yang paling penting, Dioba tidak ingin Zee menjadi sumber perhatian orang sehingga timbul rasa iseng orang untuk menggodanya.
    “Makan di sini nikmat sekali.” Zee berkomentar tulus dan Dioba bisa melihat kalau wanita itu memang puas dengan makanan di tempat itu. Zee memang beda, di kantor memang ia seorang bos oleh puluhan anak buah dan staff tapi kini ia terlihat tak ubahnya gadis biasa bahkan nyaris sebagai seorang anak kecil.
    “Kau tidak mengkhawatirkan kontormu?” Dioba coba mengingatkan kalau Zee punya tanggung jawab yang tidak sedikit di kantor. “Kalau aku sih jika kamu bangkrut aku kan bisa cari kerja di tempat lain.” Suara itu terdengar serius.
    Zee menoleh pada wajah Dioba. “Jangan bicara soal kantor di tempat seperti ini meski ucapan kamu barusan benar adanya tapi aku tidak suka.” Protes Zee bukannya membuat Dioba tersinggung namun ia tersenyum tipis. “Dan.. senyummu itu menyebalkan.” Ia menambahkan dan malahan membuat Dioba tambah tertawa. “Jahat!” gerutu Zee akhirnya.
    Dioba mendekatkan wajahnya sedikit ke arah Zee dan berkata. “Kamu tidak akan pernah bisa bayangkan betapa jahatnya aku.” Ia mundur lagi namun Zee masih menatapnya dengan agak terkejut lalu ia tersenyum.
    “Ya aku tahu.” Sahut Zee membuat Dioba tak kalah kaget. Zee mungkin berpikir kalau Dioba akan bekerja sama dengan Amel untuk merampas kantornya bahkan menghancurkannya atau ada hal lain yang ia tidak tahu yang mungkin ada hubungannya dengan Bimo. Tapi Zee tidak mau peduli apapun yang ada dipikiran Dioba dan sepertinya apa yang dipikirkan Zee sama tak pedulinya Dioba karena saat ini ia masih mencari cara bagaimana menghilangkan nyawa wanita itu dan tidak ada satupun yang tahu.
    Setelah menghabiskan waktu nyaris setengah jam di rumah makan mereka kembali meneruskan perjalanan dan kali ini Dioba masih posisi di belakang stir. Mobil melaju dengan kencang tidak biasa dan Zee menyetel lagu ‘No Doub-Don’t Speak’ dengan nada agak kencang namun tidak membuat Dioba terganggu. Sepertinya Zee sedang senang dan tidak ada perbincangan di antara mereka selain laju mobil yang berpacu seirama dengan suara rocker unik itu. Dioba juga terlihat santai dengan posisinya apalagi perut sudah terisi tambah fokus dan ia berharap Zee tidur bersama dengan iringan lagu kegemarannya. Dioba menarik napas dalam-dalam karena biasanya ia pulang kampung hanya duduk manis di dalam Bus malam kalau tidak naik Bus ia naik pesawat yang berangkat pagi lalu naik travel dan bisa menikmati pamandangan alam Sumatra yang masih asri dan hutan lindungnya masih tetap terjaga. Tapi kini situasi berbeda di mana ia harus melindungi nyawa seseorang yang notabenenya ingin ia lenyapkan. Ia melirik ke Zee dan benar saja wanita itu ternyata sudah bersandar dengan baik dan sebentar lagi ia akan terlelap di dalam mimpi indahnya. Baguslah ia tidur karena jalanan masih lurus tidak banyak tikungan juga masih licin sehingga kecepakan mobil bisa melaju dengan stabil.
    Meski suara nyanyian dari tape mobil masih mengalun dan tentunya sudah dikecilkan volumenya oleh Dioba tetap saja membuat Dioba merasa kesepian. Mahluk di sampingnya kini sudah terlelap Dioba merasa kesendiriannya makin kentara belum pernah ia merasa kesepian yang begitu dalam. Ia melirik Zee sejenak entah mengapa ia merasa ada rasa kasian yang menjalar di benaknya saat itu terhadap wanita itu. Wanita yang sebagian orang melihatnya sempurna, punya segalanya dan hidup mapan tidak tergantung dengan orang lain. Dan kini di mata Dioba wanita itu tidak lebih dari seorang gadis manja meski jauh dari sifat egois. Ibunya sudah meninggal saat ia masih duduk di bangku kelas 1 SD membuat Dioba penasaran siapa ibunya dan ayahnya yang masih ada belum pernah sekalipun Dioba jumpai. Seperti apa kedua orang tua wanita itu sehingga bisa menjadikan anaknya seperti sekarang ini. Rasa penasaran Dioba akan terus bersarang selagi ia belum bertemu dengan orang tua Zee yang masih tersisa. Mentari sudah bersinar dengan teriknya namun kondisi di dalam mobil masih saja sama.
    Rasa penasaran Dioba makin menggunung setelah melihat foto seorang pria di rumah Zee bahkan menjadi dendam yang tidak ada taranya sehingga timbul keinginannya untuk melenyapkan anaknya. Agar pria itu tahu bagaimana sakit dan menderitanya hidup yang pernah seseorang alami karena kebejatannya selama ini sehingga membuat orang lain hidup di dalam kehampaan, kehinaan sepanjang hidupnya bahkan itu berimbas pada keturuannya dan juga keluarga besarnya. Sepertinya dengan melenyapkan orang yang sangat ia sayangi belumlah cukup. Pikir Dioba yang masih memikirkan bagaimana cara menghilangkan nyawa Zee dengan cara sangat mengenaskan. Apakah harus memukulnya sampai hancur lalu menguburnya hidup-hidup lalu orang akan menemukan mayatnya setelah sebulan kemudian? Sehingga semua orang tahu betapa menderitanya ia sebelum menghembuskan napas terakhirnya lalu semua orang akan mengutuk pembunuhnya sehingga berharap ia dihukum gantung atau di tembak mati! Dan ayahnya akan menderita sepanjang masa setelah menyadari kesakitan yang dialami anaknya. Setelah diadakan penyelidikan oleh polisi ditemukan bukti kalau yang menghilangkan nyawa Zee adalah Dioba dengan motif sakit hati dan..........? Oh tidak..!! hati Dioba menjerit tidak ingin motifnya di ketahui oleh umum.
    Sekali lagi Dioba melirik ke wajah Zee, wajah tanpa dosa dan baik pada semua orang apakah ia pantas mati seperti itu? ‘ya Tuhan....... berilah petunjuk.’ Dioba menjadi tidak menentu menghadapi kenyataan yang ada di depan matanya. ‘Di.... apapun alasanmu tidak dibenarkan menghilangkan nyawa seseorang, tapi bagaimana dengan para eksekutor dan para regu tembak itu? Apa mereka pantas melakukannya? Mereka telah diizinkan oleh Tuhan karena yang dihukum mati itu telah melenyapkan banyak nyawa yang tak berdosa bahkan membunuh orang secara perlahan, maka mereka dikasih hukuman yang setimpal. Tapi apakah Zee tidak pantas menerima hukuman tersebut?’ pikiran Dioba tambah kacau saja karena puluhan pertanyaan hilang timbul di otaknya.
    Siang itu terus berjalan menemani perjalanan Zee dan Dioba menuju kampung halaman Dioba. Pikiran Dioba tidak bisa tenang meski perjalanan sudah melewati separuh jalan. Ia masih membawa mobil dan membiarkan Zee menikmati perjalanan tanpa harus disibukan dengan fokus mengendarai. Menjelang pukul tiga sore kembali mereka harus berhenti di tempat makan. Rumah makan yang tidak kalah besar dari yang pertama, di sana selain makan mereka bisa mandi dan ganti pakaian serta beristirahat. Ada Mushola dan bale-bale tempat rebahan dan memang nyaman untuk menghilangkan penat.
    Dioba menikmati kopi bersama Zee setelah wanita itu menyelesaikan mandinya dan kini ia sudah berganti kaus lengan panjang warna coklat dengan paduan celana jeans hitam sehingga terlihat lebih segar.
    “Pukul berapa kira-kira kita akan sampai di tempat?” ia bertanya setelah duduk di sebelah Dioba yang juga sudah mandi untuk memulihkan otaknya.
    “Sekitar pukul tujuh malam nanti.” Ia memperkirakan dengan wajar.
    “Kalau kita membawa mobil dengan cepat apa tidak bisa sampai sebelum malam menjelang?”
    “beberapa jam sebelum sampai di lokasi kita akan menemui jalan yang penuh dengan tikungan jadi tidak mungkin bisa melaju dengan kencang.” Kembali Dioba menghirup kopinya. “Pernah melakukan tes untuk mengambil SIM motor? Kita harus melewati jalan yang dibentuk dengan angka 8 dan jalan zig-zag tapi jalan menuju kampungku akan melewati jalan yang dinamakan tikungan 9.” Tambah Dioba setelah meletakan gelas kopinya.
   “Begitu ya? Kirain sama kayak tes untuk SIM mobil yang harus melakukan maju mundur, cara memarkir mobil dan yang lainnya.” Kilah Zee dengan senyum mengembang serta coba membanyangkan jalan seperti apa itu tikungan sembilan. Ia tidak perlu bertanya lagi dan Dioba tidak akan menjelaskan lebih jauh. Kini mereka cukup istirahat seperlunya, Zee tidak minta makan karena ia hanya memesan roti dan susu coklat. Dan perjalanan berikutnya ia ingin menyetir.
    “Nanti kamu bisa istirahat di mobil untuk tidur.” Usul Zee dengan serius.
    “Tidak, aku tidak bisa tidur di mobil kalaupun aku sangat mengantuk aku akan tidur di sini barang sebentar sepuluh menit juga bisa dan itu bisa menghilangkan rasa kantuk asalkan sesuai dengan kwalitas tidurnya.” Jelas Dioba dengan santai. Mana tega ia tidur dan membiarkan Zee jalan sendiri dan kalaupun ia tidak tahu jalan akan bertanya dengan membangunkannya dari tidur. Dioba tidak mungkin melakukan itu, karena Zee adalah bosnya dan dia masih sebagai bawahannya yang nanti tidak tahu sampai kapan itu berakhir dan akan berakhir kalau Dioba menginginkannya berakhir.
    “Ya terserah kamu saja, tapi aku yang bawa mobil ya?”
    Dioba menganggukan kepalanya namun ia tidak akan mengizinkan Zee membawa mobil kalau sudah sampai di jalur yang banyak tikungannya karena kebanyakan pengemudi di tikungan lewat di tengah jalan dan jalan di daerah tidak cukup besar untuk sama-sama lewat di tengah sehingga banyak kejadian kecelakaan di tikungan sebab tidak punya kesempatan untuk mengelak disaat kendaraaan lain muncul apalagi jarak tikungan satu dengan yang lainnya cukup dekat. Menyetir di lintas Sumatra seperti itu dibutuhkan orang yang sudah punya insting yang cukup tinggi Dioba menyadari hal itu. Di kota besar bahkan di ibukota orang bisa melihat jalan ratusan meter di depan sehingga bisa mengontrol kendaraan.
    Saat menyetir Zee memang cendrung senang menyetel musik ternyata disamping suka serius bekerja Zee juga punya sisi lain yaitu suka sekali mendengar lagu dan itu tidak biasanya karena selama ini saat Dioba membawanya bekerja ia jarang minta disetelkan lagu atau mungkin karena volume kerjanya yang cukup tinggi sehingga harus lebih banyak memikirkan pekerjaan.
    Menjelang dekat dengan lokasi Kabupaten daerah Dioba, ia meminta Zee berganti posisi karena ia tidak mau Zee ribet dengan kondisi jalan yang penuh tikungan apalagi suasana sudah mulai mendekati petang dan sebentar lagi gelap. Melihat kondisi jalan seperti itu membuat Zee agak bergidik juga karena jalanan tidak ada lampu jalan dan kiri kanannya semak-semak. Ditambah lagi jalan agak sempit.
    “Apakah tidak ada Harimau Sumatra yang tiba-tiba muncul di depan kita Di...?”
    “Tidak, Harimau Sumatra bahkan sudah mendekati kepunahan. Dulu mungkin sering ada Harimau yang duduk di tengah jalan dan hal itu seringkali ditemukan oleh supir Bus malam tapi itu puluhan tahun yang lalu mungkin duapuluh tahun silam.” Jelas Dioba sungguh-sungguh.
    Meski Dioba sudah berkata seperti itu tetap saja jalanan terasa menyeramkan apalagi sepi dan jarang sekali ada mobil yang lewat di belakang mereka sampai Zee tidak berani untuk menoleh ke belakang.
    “Berapa kilo kita harus melewati jalan seperti ini?”
    “Tidak lebih dari setengah jam, nanti juga di depan sudah ada perkampungan orang.” Jelas Dioba. “Kamu lapar? Nanti kita bisa berhenti kok.”
    “Tidak, nanti kita makan saja di rumah kamu. Sudah tidak jauh lagi,’kan?”
    “Ya, kira-kira sejam setengah lagi, kita akan sampai sekitar pukul delapan malam nanti atau mungkin lebih cepat karena jalan ke kampungku lumayan bagus.”
    “Ya sudah, kita makan di rumah saja dan di mobil juga masih banyak makanan kok.” Kata Zee sepertinya ingin buru-buru meninggalkan jalanan sepi itu, meski mengantuk ia tidak bisa memejamkan matanya karena masih dihantui rasa was-was. Dioba tahu kalau sudah mendekati daerahnya jarang sekali ditemukan perampok di jalan kecuali masih di daerah Lampung ia pastinya khawatir juga.
    Suara deru mesin mobil berpacu dengan waktu yang seolah melawan dinginnya malam. Tak ada suara di antara Zee dan Dioba, suara lagu di tape mobil juga bisu. Kedua wanita itu hanya fokus dengan jalanan di depan yang diterangi cahaya lampu mobil yang amat terang. Lalu ada juga mobil lain yang lewat dari depan seolah menandakan adanya kehidupan lain.
    Meski jalan itu terasa panjang dan sunyi namun akhirnya berakhir sudah, kini mereka sudah masuk daerah perkampungan penduduk dan mulai terlihat ramai baik kendaran roda dua juga kendaraan roda empat bahkan ada beberapa orang terlihat di pinggir jalan dan  banyak juga sedang santai di beranda rumah masing-masing. Rumah warung yang bersifat kelontong sudah terlihat beberapa, kampung yang damai dan nyaman juga ramai. Zee sudah bisa menghela napas lega meski Dioba mengatakan kalau mereka masih membutuhkan sekitar duapuluh menit lagi untuk sampai di rumah. Semakin mendekati Desa Dioba makin ramai saja suasana malam itu mungkin karena cuaca cerah atau apa Zee tidak mengerti. Apalagi banyak sekali para penduduk sedang berbincang terlihat di berbagai tempat baik di warung ataupun di sisi bahu jalan.

**
Loyalitas

    Bimo masih belum putus asa untuk mencari bagaimana caranya agar Zee kembali lagi kepadanya. Dan kesempatan untuk mendekati Amel sepertinya inilah saatnya dikala Zee sedang pergi berlibur ke luar kota. Itu yang ia dengar sepintas dari beberapa rekan yang kebetulan juga kenal dengan Zee dan itu bukan hal pasti karena Zee tidak mengizinkan Amel memberitahukan kepada siapapun ke mana ia pergi kecuali sedang pergi keluar kota kalaupun ada yang bertanya.
    Bimo menunggu Amel pulang dari kantor sepertinya setelah Zee tidak di kantor pekerjaannya jadi lebih banyak. Itu pertama kalinya ia bertemu dengan Bimo sejak waktu itu. Saat betapa tidak sopannya Bimo mengatakan kalau ia juga bisa saja naksir dengannya. Apakah itu serius atau sebagai perumpamaan belaka ia tidak peduli.
    “Bagaimana kabarmu, Mel?” sapanya kala Amel sudah merasa terpaksa duduk di depan pria itu yang kini sedang memesan makanan mereka.
    “Biasa saja.” Justru seharusnya ia yang bertanya bagaimana kabar Bimo setelah diputisin sama Zee namun ia enggan menanyakan hal itu karena ia tidak suka memulai hal yang sebenarnya ingin di bahas oleh Bimo karena tidak ada alasan lain bagi Bimo menemuinya kecuali untuk satu kepentingan itu.
    Pria itu tersenyum melihat reaksi Amel yang datar-datar saja. “Yakin biasa-biasa saja? Bukannya sejak kepergian Zee kamu jadi tambah repot? Banyak uang lembur dong?” pertanyaan itu mengandung keingintahuan tinggi sekaligus ada isi ledekan di dalamnya.
    “Sudah aku katakan biasa saja, bekerja dengan Zee bukan dihitung dalam ukuran lembur dan tidaknya tapi hasil dari kerja itu sendiri.” Tegas Amel. Ia menatap Bimo sekilas. “Sebenarnya kamu ada perlu apa mengajak saya ke sini?” saat minuman datang Amel langsung menikmatinya sedikit dan menunggu Bimo mengeluarkan bisanya.
    “Kalau aku pikir-pikir kamu itu menjadi sekretarisnya Zee sejak ia memdirikan kantor itu dan tentunya kamu perperan banyak dalam urusan perusahaan tersebut dalam arti kamu tahu semua hal di dalamnya.”
    “Maksudnya?” Amel tidak ingin pria itu bertele-tele.
    “Apa kamu tidak pernah tertarik untuk punya perusahaan sendiri?” kata Bimo dan Amel masih membiarkan pria itu meneruskan kata-katanya karena ia tidak mau langsung menduga isi dari maksud ucapan itu sebab di matanya pria itu rada licik. Bukan tidak mungkin ia punya maksud lain yang tidak pernah terpikirkan olehnya. “Aku pikir setiap orang apalagi yang sudah tahu bisnis pastinya berkeinginan punya usaha sendiri apalagi sudah punya pengalaman, tinggal waktu. Waktu tidak akan menghampiri kita kecuali kita yang menciptakannya. Maksud aku begini..... kita bisa bekerja sama.” Ia mendekati kepalanya agak ke arah wajah Amel. “Zee punya segalanya, kamu punya rahasia perusahaannya. Kamu bisa mengalihkan semua itu ke tanganmu.”
    Kelicikan Bimo lebih parah dari yang Amel duga dan ia sudah mereka ucapan Bimo ke dalam ponselnya.
  “Bukannya kamu mencintai Zee? Kok bicaranya jadi ngelantur ke mana-mana? Kalaupun saya ingin punya usaha sendiri bukan seperti itu caranya. Mengambil hak orang lain akan tidak baik akibatnya untuk seumur hidup. Aku masih ingin hidup tenang.”
    “Jangan naif seperti itu Mel.” Pria itu sudah memperbaiki posisi duduknya. “Zaman sekarang ini banyak orang kaya yang melakukan hal itu, sudah jadi rahasia umum kalau setiap tender dilakukan dengan cara sikut sana sini. Kesempatan tidak datang dua kali.”
    “Tunggu dulu. Kamu masih mencintai Zee,’kan?”
    “Mm... kami sudah putus.” Jawaban itu masih mengandung harapan meski harapan itu sangat jauh sehingga menimbulkan rasa dendam. “Aku tidak ingin lagi memikirkan dia, aku ke sini hanya ingin bilang ke kamu kalau kamu punya kesempatan untuk menjadi pengusaha seperti dia. Dan kesempatanmu sudah ada di depan mata. Untuk tidak membuat Zee curiga kita memang tidak ada kerja sama tapi aku akan membantu kamu dari belakang, bagaimana?” wajah Bimo terlihat berapi-api.
    “Akan aku pikirkan.”
    “Mel, jangan hanya ngomong seperti itu ini mumpung Zee sedang tidak ada di kantor nanti keburu dia balik ruang gerak kamu jadi sempit. Pergunakan kesempatan ini sebaik mungkin.
    “Ya aku tahu kalau ucapanmu memang ada benarnya.” Amel sudah tidak lagi merekam pembicaraan mereka. Bimo tersenyum karena Amel sepertinya sudah terpengaruh dengan usulnya.
    “Nah begitu baru namanya orang berpikiran maju.” Tambah Bimo. Amel mengamati pria itu sejenak dengan seksama. Ia masih belum mengerti apa yang pria itu cari dan keuntungan apa yang ia dapat dari ide itu. Apakah pure untuk pembalasan cintanya karena sudah diputusin sama Zee? Atau memang selama ini memang pria itu tidak pernah mencintai Zee selain berharap semua kekayaan Zee jatuh ke tangannya? Kalau pria itu tidak mencintai Zee rasanya tidak masuk akal karena Zee adalah wanita yang menarik untuk semua pria, ia bahkan memiliki IQ diatas rata-rata wanita pada umumnya dan yang terpenting Zee adalah wanita baik-baik dan ia tulus nyaris pada semua orang. Sepertinya akan lebih mungkin kalau pria itu merasa tidak mampu bersanding dalam segala hal dengan Zee makanya ia bermaksud untuk menghancurkan bisnisnya. Amel menghela napas panjang menyadari kalau loyalitasnya kepada bos sedang diuji.
**   
Diluar Dugaan

    Zee tidak pernah menyangka kalau kampung Dioba ternyata sudah sangat ramai. Apa yang diinginkan sepertinya ada di tempat itu meski hanya sebuah kabupaten namun di pinggir jalan mini market sudah menjamur, berbagai rental juga ada dari rental mobil sampai rental komputer. Kesibukan warga sepertinya sudah menjadi pandangan sehari-hari.
    Satu lagi yang membuat Zee tidak kalah terkejut, rumah orang tua Dioba yang dihuni oleh nenek dan ibunya itu ternyata cukup luas. Air PAM sudah masuk dan semua hal yang ada di rumah itu sudah memenuhi standar kesehatan dan isinya juga tidak bisa dibilang kuno bahkan perabotan dapur juga serba modern lalu apa yang Dioba cari di Jakarta dengan tinggal di tempat kos kecil dan meninggalkan kemewahan di rumah itu yang jelas-jelas sudah menjadi warisannya. Pikir Zee.
    Zee memang diterima dengan senang hati oleh nenek dan ibunya yang usianya tidak lebih dari lima puluh tahun. Ibunya pasti menikah muda. Lagi-lagi Zee berbicara di dalam hati.
    Melihat mobil Zee yang mentereng apalagi Dioba mengatakan kalau itu bukan mobil rental membuat ibunya Dioba merasa tidak enak dengan wanita muda itu yang akan tinggal di rumahnya untuk beberapa hari ke depan.
    “Inilah rumah Dio, Nak. Rumah tua yang tidak ada apa-apanya dan kamu jangan kaget ya. Tidak ada AC di sini dan semoga kamu betah dan semoga nyaman.” Katanya dengan nada penuh wibawa meski maksudnya untuk merendah dan Zee jadi berpikir inikah seorang wanita yang telah melahirkan ‘Dioba Uku?’ tapi mengapa anak yang ia lahirkan punya sifat yang jauh sekali darinya. Wanita itu ramah, lembut dan penuh kasih sayang, peduli dan tenang sekali kalau sudah mendengar suaranya.
    “Tidak, Bu. Ibu jangan khawatir Zee akan betah kok.” Sahutnya lalu menoleh pada Dioba yang mulai memperlihatkan ketidakramahannya. Pun neneknya tidak beda jauh dari ibunya Dioba. Wanita lanjut usia itu memperlihatkan kasih sayangnya pada Zee sama persis ia menyayangi Dioba. Ia mungkin melihat Zee lebih membutuhkan kasih sayang yang selama ini tidak ia dapatkan sehingga Dioba bisa melihat neneknya lebih menyayangi Zee daripada dirinya. Hal itu membuat Dioba mulai tidak nyaman.
    ‘Bu, nenek...... kalian tidak tahu siapa orang yang sedang kalian hadapi itu. Jika kalian tahu maka perasaan kalian akan sama seperti aku, benci bahkan sangat benci padanya.’
    Mereka menikmati santap malam setelah mandi dan ibundanya Dioba memang masak masakan spesial untuk kedua wanita itu. Apalagi anaknya jarang pulang. Meski meja makan itu cukup luas namun tak mengurangi keakraban mereka. Malam itu seperti makan malam dengan keluarga untuk pertama kalinya yang dirasakan oleh Zee. Meski Dioba tidak banyak bicara namun ibunya banyak bercerita terutama tentang pekerjaan mereka sehari-hari.
    Keluarga Dioba memang keturunan petani, mereka punya sawah yang luas dan kebun yang tidak sedikit meski keluarga mereka hanya beberapa orang. Kakek Dioba memang meninggalkan warisan yang banyak. Ia punya tiga orang anak, dua laki-laki dan satu ibunya Dioba dan sayangnya kedua laki-laki itu meninggal saat mereka masih remaja karena saat muda mereka ikut nambang dan tertimbun longsoran tanah tambang. Meski orang tuanya meminta mereka meneruskan sekolah namun mereka tetap memilih untuk menjadi penambang dengan alasan tanah kelahiran mereka banyak menyimpan emas. Tak di pungkiri memang kalau tanah kelahiran Dioba kaya dengan sumber alamnya apalagi emas. Karena waktu zaman Soekarno saja dari bumi kelahiran Dioba menyumbangkan 35 kilo emas di Monas dari 50 kilo keseluruhan emas yang ada di puncak Monas tersebut. Luar biasa memang. Dan setelah kedua adik kakak itu meninggal otomatis semua warisan jatuh ke tangan ibunya Dioba. Wanita itu memang hanya menamatkan SMA namun anaknya melampauinya dan menyelesaikan S1-nya di Jakarta meski akhirnya terdampar jadi supir Zee.
    “Dio jadi supir kamu, ibu tidak malu kok asalkan pekerjaannya halal.” Kata ibu Dioba dan membuat Zee kaget bukan main. Ia melirik Dioba yang asik menikmati makanan masakan ibunya namun sedikitpun wanita itu tidak menghiraukannya. Setelah selesai makan ia merapikan meja dan mencuci piring meski ibunya melarang.
    “Dio.... kamu ajak Zee istirahat saja sana, kalian pasti sangat lelah. Biar ibu yang melakukannya dan kita bisa ngobrol lagi besok.” Ujar ibunya meminta anak gadisnya untuk segera istirahat di kamar. Saat Zee ingin membantu Dioba dilarang keras oleh ibunya.
    “Di.....?” Zee mulai membuka suaranya saat mereka sudah ada di kamar.
    “Ya.” Sahut Dioba singkat.
    “Jadi ibu kamu tahu kalau kamu di Jakarta seorang supir?”
    “Tentu saja beliau tahu karena aku menceritakan.” ‘Dan.... beliau juga akan segera tahu siapa kamu sebenarnya Zee.’ Guman Dioba di dalam hati.
    “Tapi...” Zee tidak mampu meneruskan ucapannya.
    “Kenapa? Apakah menurut kamu pekerjaan seorang supir itu hina? Rendahan? Sehingga kamu berpikir ibuku malu punya seorang anak berprofesi sebagai supir?” ia mengamati wajah Zee yang masih tidak mengerti jalan pikirannya. “Sudahlah, sebaiknya kamu istirahat. Terserah mau tidur di sebelah mana.” Tambah Dioba. Zee mengamati kamar Dioba yang luas dengan satu tempat tidur berukuran 2 x 2 meter. Tidak ada AC dan jendela memiliki kisi-kisi yang lumayan besar dan yang lebih unik lagi ada sebuah kelambu di atas ranjang itu.
    “Aku di sebelah dinding saja biar tidak merepotkan.”
    “Silahkan.”
    Dioba memang membutuhan istirahat karena perjalanan dari Jakarta yang mereka tempuh lumayan panjang. Istirahat di kamar sendiri memang nyaman dan pasti akan tidur dengan lelap.
*
    Pagi menjelang dengan sangat ramahnya meski cerah namun cuaca di perkampungan terasa dingin mengusap ke seluruh kulit. Tetangga yang tahu Dioba pulang kampung tentunya bertanya-tanya sama siapa dia pulang dan apakah itu mobil Dioba atau mobil sewaan. Kalau saja itu mobil Dioba tentunya tidaklah aneh karena hibah kekayaan dari orang tuanya bisa saja membeli dua atau tiga mobil mewah sekalipun. Tapi Dioba bukanlah orang yang mau seenaknya melakukan hal itu meski tidak ada yang melarang karena ia bisa dengan bebas menggunakan haknya.
    Kenyataannya mobil itu adalah milik wanita kota itu yang sekarang bersama dengan Dioba. Ia minta diajak jalan-jalan meski Dioba sudah mengatakan tidak ada tempat yang ingin ia kunjungi. Dioba malas mendatangi sebuah tempat yang sudah ia kunjungi bukan karena tempat itu tidak bagus atau indah namun ia lekas bosan namun jika ada orang yang belum pernah datang dan ingin mengajaknya ia akan melakukannya dan merasa tidak akan terpaksa bahkan ia dengan senangnya membawa dan mengantar serta menerangkan kondisi di tempat yang mereka datangi.
    Zee saat ini tidak terlihat seperti wanita kota namun lebih ke tampilan wanita dewasa dengan sosok modisnya karena Dioba sekali lagi tidak ingin wanita itu datang ke kampungnya dengan sosok asing yang mentereng meski demikian Zee memang wanita cerdas yang bisa menempatkan diri dan dia juga bukan orang yang suka pamer apalagi kepada orang yang tidak ia kenal terlebih pada orang dekatnya.
    Dioba hanya membawa Zee ke tempat yang menurutnya pantas meski keinginan untuk meleyapkan Zee masih saja terus mengganggu pikirannya. Sebuah tempat yang memungkinkan bisa mencelakai Zee adalah wisata air terjun dengan begitu ia membawa Zee ke sana. Lokasinya tidak lebih dari sepuluh kilometer dari rumah Dioba. Suasana liburan pastinya tempat itu ramai oleh pengunjung dan mempermudah pekerjaan Dioba nanti.
    Air terjun itu cukup tinggi bisa dilihat dari jauh, dari bawah bahkan dari atasnya tergantung selera pengunjung. Namun Dioba akan memilih dari atas sebab jika Zee tergelincir maka habislah wanita itu jatuh ke dalam jurang yang di bawahnya sudah menunggu batu besar yang siap menerima kepala Zee. Sempurna! Itu bukan pembunuhan tapi kecelakaan, dari atas jarang ada anak-anak atau orang tua yang naik sehingga tidak ada pagar pembatas antara zona aman dan bahaya.
    Zee yang takjub menikmati air terjun bersama pengunjung yang lain tidak menyadari apa yang ada di benak Dioba yang ia anggap sebagai wanita baik-baik dan akan menjaga keselamatannya hanya mengamatinya dari belakang meski tidak jauh dari Zee. Bagi Zee wanita itu adalah penjaganya sekarang selain Tuhan sehingga ia sedikitpun tidak akan khawatir ancaman dari luar bahkan dari orang-orang iseng yang kapan saja bisa mengganggunya. Keasikan Zee sedikitpun tidak terusik oleh larangan atau peringatan dari Dioba. Tidak ada kata-kata ‘jangan terlalu dekat jurang karena bibir tebing licin atau semacamnya’ Dioba malah tidak sabar menunggu Zee lenyap dari hadapannya. Udara panas namun semilir angin terus saja bertiup kencang diiringi suara air terjun yang seolah seirama dengan suara degup jantung Dioba yang menderu tidak menentu. Sekali-kali Dioba mengambil gambar Zee dari kamera ponselnya. Melihat kesibukan Dioba mengambil gambar ia semakin senang dan meminta lagi dengan background lereng bukit yang masih asri. Dioba berdiri untuk membidiknya dengan satu printah halus.
    “Mundur sedikit agar gambarnya terlihat lebih nyata..” Zee tidak menyadari dibalik printah itu sehingga ia menurut saja dan Dioba siap menekan tombol klik di ponselnya dan mendapatkan gambar Zee yang sensasional namun saat Zee ingin berbalik membuatnya nyaris terpeleset andai tidak ada yang dengan cepat menangkap tangannya. Melihat kenyataan itu membuat jantung Dioba seolah kena serangan jantung tiba-tiba dan ia melompat menghampiri tubuh Zee dan menarik ke arahnya sampai lupa mengucapkan terima kasih pada orang yang tadi menyelematkan Zee.
    Dioba membawa Zee pulang ketegangan itu belum juga hilang meski mereka sudah nyaman di dalam mobil. Dioba masih tidak mengerti apa yang ia alami seharusnya ia senang Zee jatuh dihadapannya dan lenyap untuk selama-lamanya namun kenyataan itu jauh dari yang ia harapakan. Ada ketakutan yang tidak ia harapkan muncul saat melihat Zee nyaris saja jatuh.
    “Maaf, aku tidak hati-hati sehingga membuatmu shock tadi. Aku tidak akan mengulanginya lagi.”
    “Tidak perlu minta maaf, aku juga yang salah kok. Sebaiknya kita cari tempat wisata yang lain saja.”
    “Baiklah, aku akan ikuti saja.” Ujar Zee meski rasa paniknya belum hilang betul. Dioba membawa mobil melaju dengan pelan terpikir olehnya untuk membawa Zee ke Danau yang ada di tepi jalan raya, danau yang sekaligus sebagai irigasi dan Pembangkit Listrik. Tempat itu tidak bisa dibilang dekat dari rumah karena membutuhkan sekitar duapuluh menit perjalanan dengan kecepatan sedang.
    Rumah penduduk yang sangat padat waktu Zee lewat tempat itu suasana malam hari dan kini dengan jelas Zee bisa mengamati rumah-rumah yang jaraknya sangat berdekatan dengan jalan raya yang hanya dibatasi oleh pagar rumah meski tidak semua rumah memasang pagar. Lalu lalang kendaraan pun cukup ramai dan sepertinya anak-anak di kampung itu sudah terbiasa dengan suasana itu sehingga tidak ada anak-anak yang bermain di jalan raya. Tidak ada rambu-rambu lalu lintas, jalanan aspal juga tidak ada garis tengahnya sehingga kendaraan dengan leluasanya melintas di tengah jalan. Zee hanya menikmati perjalanan itu dengan santai hingga tak terasa Dioba sudah menepikan mobilnya di bahu jalan karena di samping mereka terbentang sebuah danau. Dioba tidak segera mengajak Zee turun karena suasana danau juga tidak ramai.
    “Ini Danau-nya?” mata Zee memandang jauh ke depan dan di ujung danau terlihat lereng bukit yang sedikit menyeramkan meski danau itu letaknya di tepi jalan.
    “Mau jalan-jalan di Irigasinya?” Dioba melirik Zee sekilas. Zee belum bergeming dan setelah berpikir sejenak ia menjawab.
    “Sepertinya menarik.” Zee tidak akan memperlihatkan ketakutannya kepada Dioba. Setakut apapun dia Dioba tidak boleh tahu.
    “Oke, nanti kita bisa pesan makanan di warung.” Tidak ada penjaga parkir di tempat itu tidak juga ada pengawas karena bukan hari Raya sehingga tidak ada pengunjung yang membludak. Di dekat danau ada beberapa tenda permanen tempat duduk-duduk para pengunjung.
    Setelah mereka duduk di salah satu tempat kembali Zee mengamati sekeliling. “Apakah tempat ini punya legenda atau semacamnya?”
    “Biasanya di kampung seperti itu, setiap tempat punya ceritanya sendiri-sendiri dan aku rasa tidak perlu dibahas juga.” Sahut Dioba. “Dulu Danau ini cukup luas dan sekarang aku melihat semakin mengecil juga airnya makin surut dan semakin tidak terawat.” Dioba menyapu pandangnya ke setiap penjuru. Ada yang sedang mandi, ada yang berdayung ke arah yang lebih jauh bahkan ada yang memancing.
    “Apakah danau ini dalam?”
    “Pasti, yang di semen untuk dialirkan ke setiap sawah penduduk saja dalamnya sampai sembilan meter dan di sana itu...” Dioba menunjuk ke arah orang-orang yang sedang mendayungkan perahunya. “Tidak tahu berapa kedalamannya.”
    “Tapi yang sedang membawa perahunya sepertinya tidak merasa takut.”
    “Coba kamu perhatikan baik-baik. Di sana ada pembatas dari tali dan para pencari ikan juga yang sedang berdayung untuk sekedar menikmati indahnya suasa danau tidak boleh melewati pembatas itu.”
    “Ya, kamu benar. Itu artinya kita boleh naik perahu?”
    “Mau?” tanya Dioba yang sudah puluhan tahun tidak merasakan naik perahu kecil itu. Zee mengangguk. Sebentar saja mereka sudah menghampiri tepi danau salah satu pemilik perahu langsung bertanya.
    “Naik perahu, Non?”
    Setelah sesuai kesepakatan mereka naik, sampai di tengah harganya akan beda jika sampai tali pembatas dan Dioba memutuskan untuk sampai di tali pembatas meski biayanya sediki mahal ia tidak peduli karena ia ingin Zee merasa puas. Danau yang tenang namun tak bisa menyembunyikan keangkerannya karena lokasinya ada di kaki bukit yang curam dan naik perahu bukannya merasa senang apalagi nyaman malahan diliputi rasa was-was yang tinggi namun Zee tidak mau menyesal telah mengambil keputusan untuk naik sedangkan Dioba yang tahu kisah legenda danau berusaha tenang apalagi legenda itu belakangan ia dengar hanya cerita rakyat saja yang tidak ada bukti kebenarannya.
    Itu bukan Danau Toba bukannya juga Danau terangker di dunia karena anak kecil saja berani naik perahu meski ditemani kedua orang tua mereka. Berdayung bukan hal aneh di negeri ini karena begitu banyak danau kecil yang ada hampir di tiap Provinsi. Dioba tidak berharap perahu karam dan menenggelamkan Zee dan dirinya sebab mereka sama-sama bisa berenang. Semakin ke tengah air terlihat makin jernih sehingga dunia dalam air terasa hidup. Zee menatap Dioba dan wanita itu hanya tersenyum lalu diikuti oleh Zee, tidak ada cerita yang mengalir dari keduanya.
    “Danau-nya sangat tenang.” Ujar Zee akhirnya namun dalam hati ia menambahkan. ‘Tapi sangat mencekam.’
    “Ya, apalagi airnya tidak seperti dulu.”
    “Benar Non, danau ini setiap tahun airnya menyusut.” Yang punya sampan ikut bicara berusaha akrab.
    “Ya, Pak, tidak di sini saja sebab di mana-mana yang namanya air sungai, danau semua pasti menyusut disebabkan banyak faktor.” Kata Dioba menimpali. “Sebaiknya kita putar balik saja Pak.” Usul Dioba meski batas tali pembatas hanya berjarak sekitar dua meter lagi. Ia menyadari kalau Zee tidak bisa menikmati acara naik perahu itu dan berharap untuk segera turun.
    “Baiklah.” Pria paruh baya itu menyetujui usul Dioba untuk berputar balik lagi ke tepi danau. Akhirnya mereka bisa keluar juga dari perahu kecil itu sehingga Zee bisa bernapas lega.
    “Kita cari makan ya?” ajak Dioba dengan antusiasnya. Zee mengikuti ajakan Dioba yang membawanya ke warung sederhana tidak jauh dari danau sehingga mereka tidak perlu mengedarai mobil untuk jalan ke warung.
    Tidak ada hidangan istimewa selain masakan khas daerah di tambah dengan telor di balado dan ada juga di dadar serta tak ketinggalan beberapa macam ikan ada yang di goreng ada juga di buat pedas. Sedangkan sayurnya ada kacang panjang di tumis, daun singkong rebus dan pilihan ke tiga ada tumis kangkung. Itu masakan umum selain masakan khas yang tidak Zee kenal. Meski begitu tak menghilangkan nafsu makan Zee yang tidak terlalu pilih-pilih makanan. Dioba senang melihat semangat Zee yang tidak susah dalam urusan makan. Ia bahkan seakan tidak percaya kalau wanita pemilik sebuah perusahaan itu kini sedang menikmati masakan sederhana denganya di sebuah desa yang selama ini mungkin tidak pernah terpikirkan olehnya juga Zee sendiri.
    “Mau pesan kopi?” tanya Dioba tanpa ragu karena ia melihat warung itu cukup bersih dan di setujui oleh Zee dengan memesan kopi instan. “Semoga kamu bisa menikmati setiap tempat yang kita kunjungi dan setiap waktu yang kita lewati.”
    “Terdengar indah.” Sahut Zee dengan nada pelan karena tidak ingin orang di sekitar mereka mendengar khususnya yang punya warung dan pelayannya. Kedua wanita itu tersenyum seolah sudah melupakan kejadian di air terjun dan di berbagai tempat lainnya.
*
    Malam itu tiba-tiba Zee demam tinggi dan suhu badannya panas sekali membuat seisi rumah panik.
    “Di.... ini gimana? Tadi Zee baik-baik saja.” Ujar ibunya karena ia tahu kalau pulang dari jalan-jalan anak itu tidak mengeluhkan apa-apa bahkan setelah mandi petang juga ia masih baik-baik saja.
    Dioba menyadari kalau suhu badan Zee mulai naik setelah beberapa saat ia mandi dan tidak menyangka akan secepat itu reaksinya.
    “Ya Di.... Nenek juga jadi khawatir. Bagaimana ini?”
    “Tidak apa-apa Nek, paling-paling juga karena perbedaan cuaca biasa harus beradaptasi.” Kata Dioba dengan santainya.
    “Ya, Nek. Aku tidak apa-apa kok hanya pusing sedikit. Nenek dan Ibu tidak usah cemas seperti itu.” Zee ikut menambahkan dan ia tidak menyangka kalau reaksi Dioba bisa sesantai itu melihat kondisinya. Padahal sejujurnya Zee merasakan kepalanya pusing luar biasa dan perutnya mulai mual. Dioba mengamati Zee yang tiduran di tempat tidurnya dengan kekhawatiran luar bisa yang tidak terlihat oleh Zee juga Nenek dan Ibunya. Tak pernah terpikirkan olehnya akan menghadapi kenyataan seperti itu. Zee bangun dari tempatnya membuat Dioba mencegahnya.
    “Mau ke mana?”
    “Ke kamar mandi.” Suara Zee mulai melemah. Dioba menuntunnya. “Tidak, aku bisa sendiri.” Mendengar itu Dioba melepaskan tangannya dari tangan Zee.
    “Zee, hati-hati.” Ibu berusaha mengambil alih untuk memegang wanita muda itu dan membawanya ke kamar mandi. Di kamar mandi Zee muntah membuat nenek dan ibu makin panik.
    “Di.... lakukan sesuatu!” teriak ibunya dan detik berikutnya Zee tumbang membuat Dioba yang berdiri di belakangnya langsung memegang tubuhnya. Wanita itu pingsan. Dioba bergerak cepat.
    “Aku harus segera membawanya ke rumah sakit.”
    “Ibu ikut.”
    “Nenek juga.”
    Dioba tidak bisa mencegah nenek dan ibunya untuk ikut. “Bantu Dio mengangkat Zee ke dalam mobil, Bu.” Pintanya. Wanita itu mengangkat kedua kaki Zee dan Dioba membopong badannya untuk masuk ke dalam mobil. Nenek mengambil peralatannya untuk segera menyusul ke dalam mobil. “Ibu duduk di belakang sambil memegang Zee ya. Biar Dio mengambil dompet dulu.” Dioba berlari ke dalam untuk mengambil dompetnya dan  mengunci pintu rumah lalu segera melarikan Zee ke rumah sakit umum terdekat. Beruntung jarak rumah sakit hanya berjarak tidak lebih dari 4 kilometer dari rumah.
    Sampai di rumah sakit kepanikan Dioba makin terasa seolah membayangkan Zee tidak akan selamat. Rumah sakit seakan momok yang menakutkan harus dimasuki. Para medis segera membantu Zee untuk di bawa ke dalam dan segera di periksa. Ia sudah tidak pingsan lagi namun suhu badannya belum turun. Seorang dokter masuk untuk memerintahkan pada perawat agar Zee di ambil darahnya untuk di cek. Tubuh Zee memang makin lemah membuat Dioba merasa terpukul. Di mata Zee, ibu dan neneknya ia seolah tidak peduli dengan wanita itu namun di hatinya ada ketakutan yang luar biasa. Di sisi lain ia ingin wanita itu lenyap namun di sisi sebelah hatinya tidak ingin wanita itu sakit bahkan ada rasa takut kehilangan, ia tidak mengerti dilema apa yang sedang melandanya sampai ia tidak menyadari sosok seorang dokter yang menangani Zee.
    Dokter muda yang tentu saja sudah sangat kenal dengan ibu dan nenek Dioba. Dokter itu menyapa ibu Dioba dan neneknya. “Nenek, Ibu.... apa kabar?” ia menyambut tangan kedua wanita yang tidak asing itu dengan bergantian. Keduanya tidak kalah taget meski ada bias kegembiraan karena yang menangani Zee adalah dokter yang mereka kenal. “Siapa wanita yang sakit itu, Bu?”
    “Dia Zee, sahabatnya Dio yang datang dari Jakarta.”
    “Benarkan? Lalu Dio-nya mana?” mata pria itu mulai mencari-cari dan ia mendapati sosok wanita itu sedang berdiri di sisi pintu kamar dengan mata tak lepas memandang Zee yang kini masih terbaring lemah dan ia masih bisa mendengar semua pembicaraan orang-orang yang di dalam ruangan itu. Pria itu menatap Dioba yang terpaku dengan mata tertuju pada Zee lalu pria itu ikut melirik ke Zee sekilas kemudian kembali pada sosok Dioba yang sudah beberapa tahun ini tidak ia tahu kabar beritanya. Ada rasa perih yang selama ini terus mengiris hatinya dan rasa suka cita kembali melihat wajah itu. Ia harus melakukan sesuatu dan ia mendekati ibu Dioba. “Bu, Nenek....” ia bicara pelan. “Tunggu di sini sebentar, karena hasil tes darah Zee tidak lama lagi akan segera diketahui. Saya ingin bicara sebentar dengan Dio.” Katanya dengan nada yang ia sendiri susah pahami. Wanita itu mengangguk dan pria itu segera ke arah Dioba dan meraih tangannya, memegangnya erat hingga menyadarkan Dioba kalau dari tadi ia bengong, hanya badannya saja ada di sana dan sukmanya sedang melayang memikirkan banyak hal khususnya Zee. Matanya menoleh pada pria itu dan berguman menyebut namanya.
    “Hendra.....?” gumanannya itu semacam pertanyaan apakah pria itu bertugas di rumah sakit tersebut dan juga banyak pertanyaan terkandung di dalamnya. Pria itu tersenyum disertai anggukan kecil lalu membawa Dioba meninggalkan ruangan itu. Pegangan tanganya yang erat membawa Dioba berjalan menyusuri lorong rumah sakit lalu masuk ke dalam ruangan pribadinya. Ia meraih kursi dan mengajak Dioba duduk seperti seorang anak kecil yang patuh Dioba pun duduk di sebelah kursi pria itu yang sudah ia tarik mendekati kursi Dioba.
    “Bagaimana kabarmu?” matanya menatap wajah itu dengan seksama karena rasa rindu selama ini sudah meluluhlantakkan hatinya.
    “Zee... bagaimana keadaannya? Tadi di rumah ia sempat pingsan.”
    “Teman kamu tidak apa-apa, aku sudah cek mata dan tenggorokannya. Semoga saja ia hanya deman, nanti kita akan tahu setelah hasil darahnya keluar. Di mana kamu selama ini? Apakah kamu baik-baik saja? Aku aku.... selalu memikirkanmu Di, saat aku datang ke rumahmu dan bertanya pada ibu di mana kamu tapi karena pesanmu baik ibu ataupun nenek tidak berani mengatakan keberadaanmu. Aku seperti orang gila yang selalu menunggu kamu tanpa tahu keadaanmu.” Ia mengusap tangan Dioba dengan lembut dan penuh kasih sayang.
    “Aku harus kembali ke ruangan Zee.” Di mata dr. Hendra jelas sekali terlihat kalau Dioba sangat mengkhawatirkan kondisi Zee.
    “Baiklah, kita akan ke sana.” Ia tidak tega melihat Dioba sedih dan khawatir meski ia belum tahu siapa Zee dan apa hubungannya dengan Dioba. Mereka kembali ke ruangan Zee dan beberapa suster dan dokter jaga sempat melihat keakraban kedua insan itu. Dr. Hendra yang baru bertugas beberapa bulan ini di rumah sakit itu jarang sekali terlihat dekat dengan seorang wanita dan malam itu ia tampak akrab dan begitu menyayangi wanita itu. Ada hubungan spesial yang terlihat dari bahasa tubuhnya memperlakukan Dioba.
    Hasil tes darah Zee membuktikan kalau wanita itu terkena typus dan harus rawat inap. Mendengar itu Dioba makin merasa bersalah saja karena penyebab penyakit typus itu karena  bakteri salmonella typhi yang masuk melalui makanan atau minuman yang sudah terkontaminasi bakteri tersebut. Namun kemungkinan lain bisa juga karena kelelahan. Typus merupakan salah satu penyakit yang berbahaya jika tidak ditangani secara serius bisa mengakitabkan kematian.
    Dioba bicara serius kepada Hendra. “Aku mau Zee mendapatkan perawatan terbaik, Hen. Pindahkan dia ke kelas VIP.” Ujarnya dengan nada sungguh-sungguh.
    “Kamu tenang saja Di, temanmu sudah dikasi obat sesuai dengan penyakitnya dan dalam beberapa hari ke depan ia akan baik-baik saja. Kamu sangat menyayangi dia, apa aku boleh tahu siapa dia sebenarnya? Apakah masih ada hubungan keluarga?”
    “Tidak.” Sahut Dioba dengan sangat cepat. Dia tidak bisa membayangkan kalau Zee meninggal di kampungnya, untuk memberitahukan kepada ayahnya Zee saja ia tidak sanggup. Apa yang pria itu lakukan kalau tahu anak gadisnya sakit di kampung orang, ia mungkin akan segera terbang dari Amerika dan bukan saja, dia akan bertemu dengan ibunya. Balas dendam Dioba tidak akan selesai seperti itu. “Mm... dia itu bosku di Jakarta.” Dioba bercerita sekilas mengenai Zee. “Saat aku cuti dan bermaksud pulang kampung untuk bertemu ibu dan juga nenek, beliau ingin ikut serta meski aku sudah melarangnya.”
    “Oh, seperti itu. Jadi kamu pulang kampung tidak ada maksud untuk bertemu denganku? Di.... tidak pernahkah kamu sedikit saja pernah ingat sama aku?”
    “Itu sudah lama sekali Hen, mengapa kamu mengingat-ingat hal yang tidak pernah kita pikir.” Kata Dioba tidak ingin mengungkit kisah lama.
    “Kamu salah Di, dari kelas satu SMA kita dekat. Setelah kamu naik kelas dua aku lulus dan meneruskan sekolah kedokteran di Jogya selama di sana nyaris tidak pernah aku pulang untuk menjadi seorang dokter dan disela-sela kuliahku tidak ada waktu yang tidak ada kamu di pikiranku. Jika kamu belum menikah aku ingin kamu jadi istriku.” Jelas Hendra dengan seksama membuat Dioba terdiam. Tujuh tahun lebih mereka tidak saling kontak, saat Hendra pergi ke Jogya tidak ada janji-janji yang mereka ucapkan tidak juga ada keputusan untuk mengakhiri hubungan mereka. Bukannya mereka tidak pernah dekat dengan orang lain selama ini namun setiap orang punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Hendra merasa Dioba adalah wanita yang paling ideal untuknya terlepas apakah dia sendiri ideal atau tidak untuk Dioba.
    Dioba merasakan kalau dadanya masih berdesir kencang saat dekat dengan Hendra tapi pria itu tidak boleh tahu degup jantungnya yang nyaris sama saat pertama kali mereka kencan. Apakah itu cinta ‘monyet’ saat duduk di bangku sekolah? Dioba tidak tahu pasti.
    Di rungan Zee, nenek dan ibu masih terlihat cemas meski dokter mengatakan kalau Zee akan baik-baik saja. Zee yang sudah bangun dari tidurnya karena pengaruh obat mendapatkan ibu dan nenek di samping ranjangnya dengan pandangan cemas.
    “Nak, kamu sudah bangun? Ibu takut sekali.”
    “Nenek juga Zee, Nenek takut kamu tidak bangun lagi.”
    Zee tersenyum tipis, ia melirik botol infus menggantung di sebelah kirinya lalu menoleh kepada dua wanita yang mengkhawatirkannya. “Nenek, Ibu.... Zee tidak apa-apa. Hanya kena typus dua atau tiga hari juga sembuh kok.” Zee coba menenangkan mereka. Nenek mengusap tangan Zee dan ibu juga mengelus-elus kening Zee. Adegan itu sempat dilihat oleh Dioba yang tadi hendak masuk lalu keluar lagi. Ia tidak habis pikir bagaimana Zee bisa merampas kasih sayang nenek dan ibunya dalam waktu dua hari ini. Perhatian itu mereka lakukan bukan lantaran Zee sedang sakit, di rumah juga Zee mendapatkan perhatian istimewa. Dioba menghela napas panjang ‘kalian akan melupakan semua itu ibu, nenek jika sudah tahu siapa Zee sebenarnya!’
    “Mm.. Dio mana, Bu?” tanya Zee karena dari tadi tidak melihat sosok Dioba.
    “Tadi dia ada urusan dengan dokter Hendra.” Jawab ibu apa adanya.
    “Dokter Hendra...” suara Zee datar dan ia merasa ada hubungan tidak biasa antara Dioba dengan dokter tersebut. Apakah mereka kawan lama atau ada hal lain. “Bu, Nenek.... Zee minta maaf ya sudah merepotkan semuanya. Zee jadi tidak enak dan Dio.....” Zee merasa kalau Dioba tidak mempedulikannya. Pasti dia sibuk dengan teman lamanya atau pacarnya. Dulu ia pernah bilang pernah punya pacar saat masih di bangku kuliah, apakah dokter itu? Zee tidak bisa memaksa Dioba ada di sampingnya dan perhatian nenek dan ibunya sudah lebih dari cukup meski ada rasa sedih namun ia tidak boleh menuntut lebih.
    “Tidak apa-apa sayang... Dio juga sangat mengkhawatirkanmu. Tadi saja sebelum hasil tes darahmu keluar dia seperti orang bingung karena panik. Dia sangat menyayangi kamu sama seperti Nenek. Bagi kami, kamu sama saja dengan Dio. Kamu sudah jadi bagian dari keluarga kami.”
    “Semua yang Nenek bicarakan itu benar sayang.” Tambah ibu Dioba. Tidak lama kemudian Dioba masuk dengan santai seolah tidak terjadi apa-apa dan musibah yang menimpa Zee dianggapnya enteng.
    “Nenek dan Ibu sebaiknya pulang dan istirahat di rumah, biar saja saya yang di sini. Zee tidak apa-apa kok. Dua atau tiga hari juga sudah bisa pulang. Nanti saya antar dan untuk sementara biar suster yang menjaga Zee, hanya beberapa menit saja.”
    “Di.... kamu ini apa-apaan? Ibu akan tetap di sini menemani Zee dan ibu rasa Nenekmu juga tidak akan mau pulang.” Protes ibunya.
    “Ya, Nenek akan tetap di sini.”
    “Nenek, Dio benar.... tidak seharusnya Nenek tidur di rumah sakit nanti jadi ikut-ikutan sakit. Bukannya Zee tidak mau ditemani Nenek sama Ibu tapi kan ada Dio.” Kata Zee membenarkan meski ucapannya dan Dio benar namun Zee merasa nada bicara Dioba memang lain. Tidak ada kesan perhatian di dalamnya. Ia melirik ke arah Dioba namun wanita itu sudah menatap ke arah lain. Ia kembali seperti semula, kadang cuek terkadang sangat peduli. Zee sudah mulai hafal dengan karakter Dioba.
    Malam itu ibu dan nenek memutuskan untuk tetap di rumah sakit dan keesokan siangnya ia baru pulang untuk mengambil pakaian ganti dan juga masak untuk dibawa ke rumah sakit. Dokter Hendra setiap kali ia punya waktu luang tak sedikitpun ia ingin berpisah dari Dioba. Dioba tidak ingin memberikan harapan palsu kepada pria itu bagaimanapun ia masih terikat kontrak dengan Zee meski di dalam kontrak ada pengecualian.
    “Bagaimana perasaanmu? Sudah tidak ada yang sakit,’kan?” tanya Dioba saat duduk di kursi yang ada di samping tempat tidur pasien yang kini sudah ada di ruangan VIP.
    “Maaf ya Di..., aku jadi merepotkan kamu. Semua ini diluar dugaan dan rencana.”
    “Ya masa sakit di rencana... kamu ini ada-ada saja.” Dioba yang dari tadi memegang sebuah buku kembali asik dengan bukunya.
    “Ya, aku tahu tapi.... sungguh aku merasa tidak enak dengan kondisi ini.”
    “Tidak usah berpikiran macam-macam.” Dioba menoleh pada Zee. “Aku yang salah, kamu mungkin kelelahan atau juga termakan makanan yang tidak higinis. Semua salahku, aku yang harus minta maaf. Maafkan aku, ya.” Ia memegang tangan Zee sepertinya ia mulai berubah lagi. Zee merasakan itu dan ia menyukai kalau Dioba sudah memperlihatkan kasih sayangnya.
    “Dokter Hendra, apa aku boleh tahu siapa dia sebenarnya?”
    Dioba langsung melepaskan tangannya dari Zee. “Apa? Dokter Hendra? Apa maksud kamu?” Dioba menghindar dari tatapan ingin tahu Zee.
    “Entahlah, aku merasa kalian berdua punya kisah lama atau kisah baru? Apa kamu akan menikah dengannya dan tidak akan kembali lagi ke Jakarta?”
    “Kamu bosku Zee, apa yang bisa aku lakukan tanpa persetujuanmu. Dan mengenai dokter Hendra aku rasa tidak ada yang perlu dibahas.”
    “Ya, aku ingat... tidak boleh menanyakan tentang pribadi, itu di dalam kontrak,’kan?”
    “Sudahlah, sebaiknya kamu istirahat.”
    “Apa kamu akan menemui dokter itu?”
    “Zee........”
    “Oke, oke.... aku akan diam.” Zee kembali mengeluh. “Kamu marah Di?” ia masih menambahkan. Dioba hanya meliriknya sejenak karena merasa tidak bisa berbuat apa-apa.
*
    Zee sudah kembali dari rumah sakit namun kondisinya masih lemah dan istirahat di kamar Dioba. Meski kondisi Zee masih seperti itu Dioba tetap saja tidak begitu mempedulikannya sehingga menimbulkan beberapa pertanyaan dari ibu dan neneknya. Dan malam itu kala mereka sedang  berbincang di ruang dapur ibunya coba menanyakan beberapa hal.
    “Di0.... ada yang ingin Ibu tanyakan ke kamu, selama Zee di sini baik Ibu juga Nenekmu merasakan kalau kamu seolah-olah tidak menyukai Zee apakah kamu tidak senang kalau Ibu dan Nenekmu menyayangi anak itu? Atau memang ada hal lain? Bukannya kamu yang mengajaknya ke sini dan kamu juga mengatakan kalau dia itu juga bos kamu. Ada apa sebenarnya?”
    “Ya, jawab pertanyaan Ibumu.” Neneknya yang duduk di kursi dekat meja makan ikut bicara. Dioba menatap ibu dan neneknya bergantian karena ia tidak yakin apakah kedua wanita yang ia sayangi itu siap jika ia cerita kebenaran itu atau malah lebih parah darinya? Dulu ibunya pernah mengatakan kalau ibunya sudah mati bahkan dari kecil kata-kata itu sudah ia tanamkan di otak Dioba begitupun dengan neneknya tidak kalah heboh kalau Dioba menanyakah prihal ayahnya. ‘ayahmu sudah meninggal bahkan sebelum kamu dilahirkan!’
    Dioba menghela napas panjang. “Maaf Nek, Bu...... Dio tidak tahu harus bilang apa, maaf.” Melihat sikap Dioba seperti itu makin membuat ibu dan neneknya tambah penasaran dan semakin yakin kalau Dioba menyimpan sesuatu hal entah itu rahasia atau masalah besar yang mungkin tidak sanggup ia pikul. Ibunya bangun dari kursi dan mendekati Dioba dan  berdiri di belakangnya memegang pundaknya dengan penuh kasih sayang seakan ingin memberikan dukungan pada anak sematawayangnya karena ia tahu kalau Dioba lagi punya masalah.
    “Tidak apa-apa sayang, Ibu mengerti. Apapun masalahmu dan apa yang kamu rasakan Ibu tidak akan marah terlepas itu urusan pribadi atau urusan keluarga kita. Ibu berjanji pada kamu tidak akan memaksamu dan tidak akan marah apapun yang akan kamu ceritakan baik sekarang atau nanti.” Ia mengusap lembut pundak anaknya dan Dioba merasa tidak perlu menyimpan lagi apa yang ada dipikirannya. Setiap masalah harus diselesaikan baik itu masalah kecil atau besar dan urusan seberapa sanggup orang menerimanya tergantung dari sebesar apa jiwa seseorang dan sekuat apa orang itu terbiasa dengan masalah dan Dioba mulai yakin kalau apa yang akan ia ceritakan tidak akan berdampak fatal pada ibu dan neneknya.
    “Baiklah Bu, Nenek... Dio akan cerita dengan satu syarat tidak ada keributan sama sekali di sini.” ujar Dioba dan melihat anaknya ingin cerita sang ibu mengambil kursi dan duduk di sebelah anaknya, mengamati Dioba dengan sungguh-sungguh seakan keduanya telah menyetuhui syarat dari Dioba. Dioba pun mengisahkan satu demi satu apa yang ia lihat dan alami selama kenal dengan Zee.
    “Pertama Dio memang sama sekali tidak mengenali Zee dan melamar kerja ke kantornya itupun karena ada pengumuman lowongan di koran dari kantornya. Entah Zee atau ada orang lain tahu siapa Dio, Dio juga tidak tahu tapi pekerjaan Dio berjalan dengan lancar sampai Dio akhirnya berkunjung untuk pertama kalinya ke rumah Zee yang menjadi bos Dio dan di sanalah Dio melihat foto pria itu, foto yang sama persis dengan foto yang dulu pernah dikasih lihat sama Ibu. Memang Dio tidak pernah bertemu langsung dengan beliau karena sedang bertugas di luar negeri tapi Dio yakin beliau adalah pria yang selama ini Ibu dan Nenek bilang sudah meninggal sejak puluhan tahun yang lalu...”
    “Jadi..............” ibunya tambah penasaran, ada amarah yang tidak bisa ia sembunyikan sekaligus penasaran yang amat sangat.
    “Dio belum selesai Bu.” Ujar Dioba dengan nada berat dan meneruskan. “Pertama kerja Dio memang benar-benar serius kerja dan setelah melihat foto beliau Dio jadi tidak tahu harus bagaimana, apakah harus berhenti atau....?” ia berhenti sejenak membuat ibu dan neneknya terpaku dan berharap cerita Dioba tidak selesai sampai di situ. “Benar-benar dilema, Dio sangat membenci pria itu dan berdampak ke Zee.”
    “Zee itu bukan istrinya, ‘kan?” nenek nyeletuk.
    Dioba menggeleng. “Ibu dan Nenek sekarang tahu kan bagaimana perasaan Dioba kalau dekat dan melihat Zee? Terkadang ada rasa yang tidak masuk akal, rasa dendam juga keingian-keinginan untuk membunuhnya dan Dio tidak tahu apakah dengan cara itu dendam Dio akan terbalas atau mungkin juga ada harapan agar pria itu juga merasakan bagaimana itu rasanya rasa sakit.” Suara Dioba terdengar bergetar.
    “Dio, kamu tidak boleh seperti itu sayang.... kamu juga tidak tahu pasti kan apakah pria itu orang yang sama atau bukan.” Ibunya mulai bicara realistis. Ia memang mengatakan kalau pria itu sudah meninggal karena kesal sebab pria itu sudah membohonginya. Bagaimana tidak, saat sebelum menikah pria itu mengakui masih single namun setelah mereka ada di depan penghulu dan ditanya sama penghulu pria itu baru mengakui kalau ia sudah pernah menikah dan masih berstatus suami orang. Apakah ada rasa yang lebih sakit dan malu daripada itu? Ibarat nasi sudah menjadi bubur. Nenek melirik ke anaknya yang dulu dinikahi oleh pria yang tidak bertanggung jawab dan kini kenyataannya anak pria itu ada di antara mereka selain Dioba, dia adalah Zee. Dulu ia juga sempat stres karena anaknya melahirkan tanpa ada suami di sampingnya meski berstatus istri. Ia merasa malu pada lingkungan, malu pada semuanya.
    Hal itu dirasakan oleh ibu Dioba lebih ke arah pengkhianatan, cinta palsu dan kebohongan yang tidak bisa dimaafkan. Setelah Dioba lahir juga pria itu masih sekali dua kali menghubunginya menanyakan kabar anaknya sekaligus kabar ibunya. Setelah ibu Dioba minta pertanggung jawaban dari segi segalanya, pria itu pun menghilang seolah di telan bumi dan sejak itulah ia memutuskan menganggap pria itu sudah mati, hal itupun ia sampaikan juga kepada anaknya yang saat itu sudah mulai bisa bicara.
    “Ibu........” Dioba menatap ibunya dengan rasa kasihan. “”Maafkan Dio sudah memulai cerita ini. Sesakit apapun yang telah Ibu rasakan Dio bisa merasakannya juga meskipun Dio tidak tahu bagaimana kejadian yang sebenarnya.” Ujarnya dengan sungguh-sungguh dan yang ia tahu ibunya sudah menyembunyikan sesuatu entah itu ayahnya menikah lagi dan meninggalkan mereka sehingga muncul skenario ‘mati’ itu atau ada kisah lain. Wanita itu berusaha tersenyum kepada anaknya meski tipis dan terlihat dipaksakan namun ia bermaksud untuk mengatakan kepada Dio kalau dia tidak apa-apa.
    “Sudahlah Di, terlepas siapapun Zee kita juga tidak tahu siapa ibunya dan yang pasti dia tentu saja tidak tahu apa-apa dengan semua ini jangan libatkan dia, kasihan dia.”
    Dioba menarik napas dalam-dalam karena ada yang tidak ibunya tahu yaitu perasaannya yang memiliki nasib berbanding terbalik dengan Zee. Apakah dia punya hak untuk hidup seperti Zee atau tidak namun kenyataan itu sudah menyakitkan hatinya yang paling dalam.
    “Dio, Nenek ingin tanya sekali lagi.... apakah kamu yakin kalau foto pria yang ada di rumahnya Zee itu adalah foto yang sama yang dulu dimiliki oleh Ibumu? Dan kalian punya ayah yang sama?” wanita tua itu ingin kepastian dari cucunya bagaimanapun juga sejak Zee datang ke rumah itu ia merasakan memiliki ada ikatan yang kuat di antara mereka dia ingin memastikan apakah Zee juga cucunya meski tidak bisa disebut demikian karena beda ibu dan juga ayahnya Zee bukanlah anak kandungnya hanya mantan menantu dan secara harfiah tidak ada hubungan darah sama sekali.
    Dioba mengangguk dengan pasti karena foto itu sama tidak ada bedanya sama sekali.
    “Apa rencanamu sekarang?” tanya ibunya dan sebelum Dioba angkat bicara terdengar ketukan di pintu depan. Ada yang datang dan itu adalah dokter Hendra. Pria itu menanyakan bagaimana kondisi Zee dan yang terpenting ia ingin bertemu dengan Dioba.
    Dioba mengajak pria itu masuk dan mengatakan kalau Zee sudah tidur dari tadi itu tandanya kalau ia sudah membaik.
    “Syukurlah kalau begitu.”
    “Aku buatkan kopi ya.”
    “Boleh.”
    Beberapa saat saja Dioba sudah keluar dengan secangkir kopi. Nenek dan Ibunya hanya menyapa Hendra lalu mereka kembali lagi ke dalam untuk memberikan kesempatan ngobrol pada kedua insan itu. Ibunya Dioba tentu saja masih memikirkan cerita anaknya dan membuatnya penasaran karena belum melihat sendiri kalau foto pria yang anaknya lihat itu adalah pria yang ia kenal 26 tahun silam. Rasa penasarannya melebihi rasa sakitnya, di sisi lain ia punya keingian untuk ke Jakarta dan memastikan hal itu namun separuh hatinya merasa seakan tidak punya keberanian dan lebih jelasnya merasa tidak punya harga diri. Tidak! Ia tidak akan menemui pria itu apapun alasannya.
    “Apa rencanamu sekarang?” tanya dokter Hendra sama persis dengan pertanyaan ibunya tadi membuat Dioba langsung mengangkat wajahnya untuk menatap pria itu.
    “Rencana apa maksudnya?”
    “Pernikahan kita.” Hendra mendekatkan wajahnya sedikit ke arah Dioba. “Sebelum kamu kembali ke Jakarta aku ingin mengajak kedua orang tuaku ke sini, aku sudah membahas masalah ini pada ibu dan nenekmu lalu mereka mengatakan keputusan ada di tanganmu.” Jelas Hendra. Dioba menatap pria itu untuk mencari kejujuran di wajahnya dan sungguh ia tidak mengerti apakah pria itu benar-benar masih menyukainya atau karena perasaan sesaat sebab sudah lama tidak berjumpa. “Apapun keputusan kamu, jangan pernah merasa bersalah karena mungkin selama ini akulah yang salah sebab tidak sungguh-sungguh mencarimu karena aku menganggap jika kamu jodohku maka kita akan kembali dipertemukan seperti ini. Kedengarannya pasrah tapi aku percaya itu namun jika perasaanmu sudah tidak lagi sama kepadaku aku tidak punya hak untuk memaksamu karena sesuatu yang dipaksakan maka hasilnya akan menyakitkan. Aku sudah mengatakan kepada keluargaku kalau aku akan melamarmu tapi kalau kenyataannya berbeda aku tidak harus malu dan memaksakan diri hanya karena harga diri atau pandangan orang lain. Karena yang terpenting adalah perasaan kita dan kebahagiaan keluarga kita yang lain akan mengikuti. Kita tidak akan hidup dari pandangan atau penilaian orang.”
    “kamu terlalu banyak bicara.... silahkan diminum dulu kopinya.” Kata Dioba dengan perasaan masih tidak menentu. “Beri aku kesempatan... dan akan aku jawab pertanyaanmu sepulangnya aku dari Jakarta nanti.” Lanjut Dioba setelah Hendra menikmati kopinya.
    “Kamu akan ke Jakarta besok?”
    “Tidak. Cutiku masih seminggu lagi dan Zee juga masih belum pulih benar.”
    “Sayang.... kenapa harus menunggu cuti habis? Kamu tidak harus kembali bekerja dengan Zee,’kan karena kita akan segera menikah.”
    “Belum apa-apa kamu sudah memperlihatkan keegoisan kamu, kamu sudah mulai memaksa dan ingat..... kamu sendiri bilang kalau sesuatu yang dipaksakan itu hasilnya akan menyakitkan.” Tegas Dioba. Hendra hanya tersenyum karena sejujurnya ia tidak ingin kehilangan Dioba. Gadis unik, tidak sama dengan ratusan gadis menarik lainnya karena Dioba punya keistimewaan yang tidak biasa.
    “Sebenarnya aku ingin mengajak kamu keluar tapi kondisi Zee masih tidak memungkinkan untuk ditinggal, aku akan menunggu besok.” Kata Hendra dan tidak ditanggapi serius oleh Dioba karena pikirannya masih ke persoalan ceritanya kepada ibu dan neneknya tadi dan ia tidak bisa menebak apa yang sedang dipikirkan ibu dan neneknya sekarang tentang Zee dan ayahnya. Ia memang tidak berharap kedua wanita itu membenci Zee seperti yang ia rasakan karena ada benarnya kalau Zee tidak tahu apa-apa mengenai masa lalu ayahnya. Zee sebenarnya tidak pantas menerima akibat perlakuan ayahnya.
    Tidak ada yang tahu kalau sebenarnya Zee sudah mendengar semua pembicaraan malam itu karena ia belum benar-benar tidur. Ia membuka laptop Dioba dan mencari sesuatu yang tidak biasa di sana semacam tulisan atau koleksi foto. Dan benar setelah membuka beberapa files foto ia menemukan foto ayahnya yang masih muda dan itu difoto ulang dari kemera ponsel, gambar itu sama persis dengan gambar ayahnya masih muda. Di bawah foto ada tulisan ‘ayahku’ kebenaran cerita Dioba semalam ada benarnya. Zee menutup file itu lalu membuka halaman Word karena ia tahu Dioba suka menulis. Ternyata selain suka menulis kisah fiksi Dioba juga menuliskan perasaannya, kisah masa sekolahnya, masa-masa di mana semua temannya punya ayah dan ia bahkan sering dicap ‘anak haram’ dan setelah bertemu dengan Zee di Jakarta apalagi sejak tahu Zee adalah anak pria yang sudah meninggalkan dia dan ibunya ia ingin membunuh Zee beberapa kali kesempatan untuk membalas semua perlakukan ayahnya. Seketika Zee merasa merinding tapi ia tidak boleh takut karena ia tahu kalau Dioba sebenarnya punya banyak kesempatan untuk membunuhnya tapi mengapa tidak ia lakukan? Pasti ada hal yang disembunyikan Dioba yang tidak ia ketahui. Jika benar ayahnya telah melakukan hal yang tidak manusiawi kepada Dioba dengan ibunya maka Zee merasa pantas menerima balasannya dari Dioba dan keluarganya. Zee menarik napas dalam-dalam dan saat ini Dioba sedang pergi dengan Hendra tidak tahu entah ke mana karena Zee memang sengaja memberikan waktu untuk mereka dengan maksud mencari tahu apa yang Dioba simpan di dalam laptopnya dan ternyata apa yang ia  cari ada semua tersimpan di dalam files Dioba. Zee menutup kembali laptop dan ia mencari sebuah pulpen dan secarik kertas. Di sana Zee menuliskan kata-kata wasiat atau pesan terakhir untuk Dioba dan keluarganya.

   
    Tanggal 17 juli,
    Aku harus menuliskan ini...., kematianku atas kehendakku sendiri tidak ada paksaan atau tekanan dari orang lain. Apa yang aku lakukan telah aku pikirkan matang-matang dan aku pantas menerima semua ini. Selamat tinggal untuk semua orang yang aku cintai. Maafkan aku....

TTD,
Zee Neba.

    Zee melipat kertas itu dengan rapih dan memasukan ke dalam kantong celananya, ia tidak bisa lagi berpikiran jernih karena semua sikap yang suka berubah-ubah dari Dioba selama ini sudah ia temukan jawabannya jadi tidak ada lagi yang membuatnya bimbang untuk melakukan itu. Zee mungkin tidak lagi memikirkan siapa yang salah dan siapa yang benar, apakah ayahnya atau ibunya Dioba tapi yang ada dipikirannya sekarang adalah bagaimana cara melakukan bunuh diri. Perhatian nenek dan ibu Dioba sudah tidak penting lagi baginya.
    Dioba pergi memang sudah minta izin pada semua yang ada di rumahnya meski dengan jujur ia akui tidak tega meninggalkan Zee di rumah namun ia juga tidak bisa menolak ajakan Hendra. Hendra mengajak Dioba makan di sebuah tempat yang dekat dengan pusat perbelanjaan meski jaraknya tidak lebih dari 5 kilometer dari rumah. Kebersamaan mereka tidak murni buat senang-senang karena pikiran Dioba masih tertuju pada rumah. Hendra mengusap tangannya dengan lembut.
    “Ada apa? Sepertinya hatimu tidak di sini.”
    “Aku merasa tidak enak dengan Zee walaupun kita ke sini tidak memakai mobilnya tapi tetap saja aku merasa bersalah meninggalkannya di rumah apalagi di sini dia ikut denganku tapi aku meninggalkannya dan seharusnya kemanapun aku pergi ia ikut.”
    “Aku sangat mengerti, tapi kita tidak akan lama kok dan aku janji setelah makan kita akan segera pulang.” Ucapan Hendra mampu mengukir senyum di sudut bibir Dioba.
    “Ya, tapi janji ya tidak ada yang melabrak aku di sini melihat kamu makan denganku?” sahut Dioba karena ia percaya ada banyak wanita yang menyukai dokter muda yang tampan itu apalagi dia dinas di kampung mereka sudah lumayan lama rasanya mustahil tidak ada yang mendambakannya.
    “Ini kampung kita dan semua orang mungkin tahu kalau aku hanya menyukai kamu dari dulu hingga sekarang... dan kedua orang tuaku pun tahu itu.” Kata Hendra dengan pasti. “Boleh tahu siapa pria yang selama ini dekat denganmu?”
    Dioba tidak menjawab pertanyaan itu karena ia tidak suka pertanyaan tersebut bukannya ia tidak pernah dekat dengan pria baik di bangku kuliah dan saat sebelum bekerja dengan Zee di Jakarta. Keberadaan Hendra yang tidak pernah ada kabar tidak membuatnya anti dengan pria lain sebab ia yakin Tuhan maha membalikkan hati seseorang dan ia bisa mencintai pria lain. Itu tidak ia pungkiri karena satu dua pria pernah ia kencani setelah Hendra dan ia juga tidak ingin tahu siapa saja selama ini yang pernah dekat dengan Hendra sebab semua orang punya kisah dan masa lalu yang mungkin tidak ingin ia  bagi dengan orang lain.
    “Kamu selalu jadi wanita tertutup dari dulu, kamu selalu membuat aku penasaran Di.... kamu adalah satu-satunya wanita yang membuat aku merasa tidak berdaya, membuatku panas dingin seperti ini. Hatiku selalu ketar-ketir baik jauh ataupun dekat denganmu.”
    “Seorang dokter tidak pantas bicara macam anak SMP begitu.” Kata Dioba lalu mulai menikmati makan malamnya agar segera pulang ke rumah. “Makanlah, aku sudah lapar.”
    “Cinta memang selalu seperti anak kecil, aku rasa seperti itu.” Hendra membela diri dan Dioba tetap ingin menjadi dirinya sendiri tanpa harus hanyut dengan kata-kata gombal atau serius karena sudah banyak ia lihat kejadian yang memuakan di dunia ini. Atas nama cinta menggebu dan memutuskan untuk menikah dan setelah mengarungi rumahtangga keributan selalu hadir sehingga tidak ada lagi cinta selain caci maki dan hinaan meski tidak semua seperti itu. Jika Hendra memang jodohnya ia tidak akan menyesal karena perasaanya kepada pria itu tetap sama dan mungkin sekarang lebih besar hanya saja Dioba sudah dewasa dan akan memperlihatkan cinta yang dewasa juga. Hendra pria dewasa yang romantis dan tidak terlalu mengumbarkan perasaannya pada muka umum, sayang pada keluarga dan sangat perhatian.
    “Boleh aku tahu apa tujuanmu punya istri?” pertanyaan itu diluar dugaan Hendra sehingga membuatnya meletakkan sendok ke piringnya untuk menatap Dioba dengan seksama karena pertanyaan itu tidak gampang dijawab. “Mohon jangan bertanya balik.” Tambah Dioba.
    “Baiklah. Aku tidak perlu membahas apa tujuan pria punya istri, kini aku akan katakan apa tujuanku untuk punya istri. Pertama.... untuk teman hidup, kedua untuk mendapatkan keturunan tapi terlepas dari semua itu hanya satu yang aku inginkan yaitu kenyamanan dan bisa juga disebut kebahagiaan sejati.”
    “Hidup ini seperti berjudi Hen..... saat kita merasa yakin mendapatkan apa yang kita inginkan bisa saja itu hanya pertaruhan belaka.”
    Hendra bengong sejenak tak mengira pikiran Dioba sudah sejauh itu, wanita yang selama ini ia pikir penuh misteri ternyata makin matang dalam berpikir dan makin membuatnya terkagum-kagum.
    “Seorang dokter tidak mengerti perumpamaan kata.”
    “Ya, karena satu penyakit harus dikasih obat yang tepat bukan perkiraan.” Hela Dioba membuat Hendra langsung tersenyum simpul. “Aku rasa kita harus segera pulang.”
*
    Setelah bertemu dengan ibunya dan memastikan kalau ibunya baik-baik saja Dioba kembali ke kamarnya. Malam yang mulai beranjak larut dan di kamar Dioba menemukan Zee tidak sedang tidur tapi......
    Wanita itu sedang duduk di kursi dekat meja hias Dioba dan hanya lampu meja yang menyala sehingga terlihat redup. Kedua tangannya sedang memegang sesuatu, yang di sebelah kiri tak terlihat jelas karena ia gengam dengan erat namun di tangan kanannya sebuah botol yang isinya bisa Dioba pastikan masih sangat banyak dan tutupnya sudah terbuka.
    “Zee...........? apa yang akan kamu lakukan?” Dioba mendekati wanita itu dengan perlahan.
    “Aku harus melakukan pekerjaanmu yang selama ini kamu tunda-tunda, jangan mendekat Di....” perintahnya serius. Dioba tidak tahu apa yang ada dipikiran wanita itu, apakah ia marah karena ditinggalkan sebentar dan Dioba pergi dengan Hendra? Itu tidak mungkin karena Zee adalah wanita normal dan ia pernah pacaran dengan Bimo.
    “Singkirkan benda itu.” Kali ini Dioba yang memerintah walaupun suaranya terdengar gemetar. “Apapun yang ada di otakmu kita bisa bicarakan baik-baik, aku mohon.”
    “Tidak. Sekali lagi jangan coba-coba mendekat karena aku sudah tahu semunya.” Zee melemparkan benda di tangan kirinya ke arah Dioba dan saat Dioba meraih benda itu Zee menenggak semua isi botol yang ada di tangan kanannya dan detik berikutnya ia jatuh ke lantai. Dioba tidak menghiraukan lagi benda itu karena ia melihat Zee sudah terjatuh dan botol racun nyamuk sudah ikut tergeletak di lantai dengan kondisi kosong. Dioba panik dan sebelum ia memanggil ibu dan neneknya sudah di kamar karena tadi mendengar suara benda jatuh ke lantai dan benda itu adalah tubuh Zee yang sudah terkulai di lantai, mulutnya mulai mengeluarkan busa. Dengan cepat Dioba menelepon Hendra dan mengatakan kalau Zee telah menenggak racun nyamuk agar pria itu sekalian membawa obat penawarnya.
    “Kenapa dengan Zee? Kalian berantem ya?” tanya ibunya disela-sela kepanikan melihat kondisi Zee yang mungkin tidak bisa tertolong lagi.
    “Aku tidak tahu, Bu.” Dioba berusaha mengangkat tubuh Zee ke atas tempat tidur dan lampu sudah dinyalakan. Wajah Zee sudah mulai membiru dan detik berikutnya Hendra muncul, ia buru-buru dari rumahnya dengan mengendarai sepeda motor. Dioba membersihkan mulut Zee dengan bajunya. Nenek di sampingnya tidak bisa berbuat banyak selain bingung karena panik. Hendra segera menangani Zee dengan cara profesional selama ini ia biasa menangani kasus semacam itu bahkan lebih parah tapi ia tidak gugup tapi kasus yang dialami oleh Zee membuatnya agak merinding dan bisa bernapas lega setelah memasang infus. Ia menoleh pada ketiga wanita yang ada di kamar itu.
    Lalu menoleh pada Dioba. “Untung kamu segera menelepon aku, kalau telat sedikit saja.... ya Tuhan.... dia menenggak cairan itu sangat banyak sekali sehingga reaksinya begitu cepat. Ada apa dengannya, Di.....?”
    “Aku tidak tahu, dia hanya mengatakan kalau dia sudah tahu semuanya.” Suara Dioba masih gemetar lalu ia menoleh pada ibu dan neneknya dan mengira kalau mereka sudah cerita semuanya pada Zee. Ibunya menggeleng pelan dan neneknya pun melakukan hal yang sama lalu mata Dioba tertuju pada benda yang tadi dilemparkan Zee sebelum menenggak racun itu. Semua menyimak apa yang dilakukan Dioba. Itu secarik kertas yang sudah kusut karena digengam oleh Zee. Dioba membuka dan membacanya lalu memberitahukannya kepada ibu, nenek juga Hendra, sepertinya tidak perlu lagi menyimpan rahasia itu kepada Hendra karena dia telah ikut berperan menyelamatkan Zee dari usahanya untuk bunuh diri.
    “Kalian semua tenang, sekarang Zee sudah selamat dan sebentar lagi dia akan sadar.” Ia meraih tangan Dioba. “Sayang.... aku ingin bicara sebentar di depan.” Dioba mengajak Hendra ke ruang tamu. Ia tidak peduli apakah pria itu akan berubah pikiran dengannya setelah tahu siapa Zee sebenarnya dan apa hubungan Zee dengannya.
    “Terima kasih sudah cepat datang, aku tidak tahu kalau sampai Zee.....”
    Pria itu mengusap pundak Dioba. “Apa yang harus aku tahu, sayang.....? sejujurnya aku juga tadi sempat gemetar melihat kondisi Zee.” Ia membawa Dioba duduk di kursi yang ada di ruang tamu dan Dioba kembali memperlihatkan kertas tulisan tangan Zee yang benar-benar sudah kumal. Hendra membaca kalimat itu sampai dua kali tapi ia belum begitu paham apa maksudnya berbeda dengan Dioba karena sebelum menenggak cairan itu Zee mengatakan akan melakukan pekerjaannya. Pekerjaan untuk membunuh Zee namun Dioba tidak akan bisa mengatakan hal itu kepada Hendra. Ia hanya menjelaskan tentang ayah mereka, andaipun Hendra harus tahu tentang niatnya untuk membunuh Zee tapi bukan sekarang saatnya. Hendra menghela napas panjang.
    “Jadi, apakah Zee merasa harus menebus dosa ayahnya?”
    “Entahlah, aku tidak tahu pasti... terlalu sakit rasanya kalau dibahas.”
    “Baiklah, aku mengerti. Kamu harus tenang ya, semoga kita bisa melewati semua ini dengan kepala yang dingin. Apakah Zee itu adikmu atau bukan tidak masalah bagiku.... kamu tetaplah Dioba seorang wanita yang aku cintai dan kamu jangan pernah berubah, aku tidak peduli siapa ayah kamu karena bagiku adalah pribadimu yang baik.”
    “Aku tidak sebaik yang kamu kira Hen, aku ini wanita jahat.”
    “Tidak Di, aku kenal kamu sudah cukup lama jadi apapun yang kamu lakukan pasti ada alasan yang sangat kuat di dalamnya.”
    “Aku ingin melihat Zee.” Kata Dioba dan mereka kembali ke kamar dan wanita itu belum juga sadarkan diri dan isi botol infus sudah berkurang banyak. “Apa kita harus memberitahukan ayahnya?” Dioba malah minta pertimbangan Hendra.
    “Jangan dulu, kamu lihat wajah Zee sudah mulai terlihat segar. Jika kamu harus menghubungi ayahnya sebaiknya kamu tanya dulu kepada Nenek dan juga Ibumu, syukur-syukur itu atas izin Zee juga.” Kata Hendra merasa yakin kalau sebentar lagi Zee akan sadar. Ia coba memegang denyut nadi Zee yang sudah kembali normal. “Nanti aku harus ke rumah sakit, kamu jangan khawatir jika nanti Zee sadar  dan sudah mau makan maka infusnya sudah boleh kamu lepas. Jangan panik ya, kalau ada apa-apa kamu segera hubungi aku.” Jelas Hendra dan Dioba hanya mengangguk Hendra lalu pamit pada nenek dan ibu.
    Nyaris semalaman itu Dioba tidak memejamkan matanya karena Zee masih lemas, nenek dan ibu bisa istirahat sebentar itupun karena paksaan dari Dioba. Menjelang subuh Zee berusaha bangun dari tempat tidur dan Dioba mengawasinya, sejam yang lalu ia dipaksa makan bubur oleh Dioba. Ia tidak ke mana-mana dan hanya duduk di ranjang dan menatap Dioba yang duduk di sebelahnya.
    “Mengapa aku masih diselamatkan?” suaranya pelan dan matanya berkaca-kaca. “Bukannya kamu menginginkan aku mati dari sejak kamu melihat foto ayahku dan juga mungkin ayahmu?”
    “Aku tidak ingin membahasnya, sebaiknya kamu istirahat karena aku juga ingin tidur.”
    “Aku tahu, kamu tentunya tidak akan mau aku jadi adikmu.”
    “Tentu saja, kamu adalah bosku dan sekarang sedang berlibur di kampung halamanku. Jangan berpikir macam-macam lagi karena aku tidak ingin memikirkan lagi siapa ayahku sebab aku sudah terbiasa tidak memiliki seorang ayah, dan satu hal lagi bagaimanapun juga aku masih menganggapmu bosku serta masih menghargaimu.”
    Zee melepaskan selang infus dari tangannya karena isinya sudah hampir habis. Ia kembali menoleh pada Dioba. “Aku tahu apa yang masih tersimpan di kepalamu, aku tidak pernah takut mati Di.... dan aku baru saja melakukannya tapi mengapa kamu yang seolah takut aku mati? Kamu pengecut kelihatannya saja kamu itu tangguh tapi kenyataannya kamu lemah.”
    Dioba membalikkan badannya untuk menatap Zee yang  sudah membaik. “Kamu tidak tahu apa-apa tentang perasaanku.”
    “Ya mungkin karena kamu bersembunyi dibalik keangkuhanmu.”
    “Tadinya aku memang ingin sekali membunuhmu kamu tahu kenapa? Karena aku benci sekali dengan kamu tapi kamu tahu  kenapa aku tidak pernah bisa melakukannya? Sebab setiap kali niat itu muncul di benakku setiap kali juga di sisi lain otakku melarang aku melakukannya, dan aku tidak tahu apa sebabnya.” Suara Dioba terdengar menekan dan berat membuat Zee terdiam. Dan Dioba melanjutkan lagi. “Aku merasa kalau kita berdua merasakan hal yang sama, sama-sama memiliki keluarga yang tidak lengkap dan mungkin itu adalah alasan mengapa aku tidak bisa membunuhmu meski sangat ingin, aku sehrusnya benci dengan ayahmu dan membunuhnya tapi aku pikir dengan kematianmu maka ayahmu akan lebih menderita dari mati itu sendiri seumur hidupnya.” Kedua wanita itu saling menatap  mata masing-masing. “Saat ini, mungkin kamu yang ingin membunuhku tapi aku tidak harus menenggak racun nyamuk seperti yang kamu lakukan. Setelah aku pikir-pikir tidak ada gunanya membunuhmu karena akan membongkar aib keluargaku dan juga nama baikmu sebagai seorang direktur di sebuah perusahaan. Setelah kamu sehat aku akan mengantarmu kembali ke Jakarta, ke tempat asalmu.”
    Zee merasakan rasa sakit yang bukan kepalang kata-kata Dioba lebih menyakitkan dari menenggak cairan racun yang telah ia rasakan. Kini wanita itu telah berbaring namun Zee masih terpuruk di tempatnya. Ia akan menghubungi ayahnya dan menyelesaikan masalah yang sudah tersimpan puluhan tahun itu. Ia tidak ingin lagi ada korban berikutnya.
    Zee jadi pendiam, wanita jenius dan berpendidikan tinggi itu merasa tempat itu telah menghakiminya meski orang-orang yang ada di rumah itu berusaha bersikap wajar dan mereka tidak tahu kalau ayahnya akan segera datang dalam waktu duapuluh empat jam ke depan. Dari Amerika ia terbang, jika sudah sampai di Bandara Soekarno-Hatta ia langsung ke Sumatra. Zee mengatakan kepada ayahnya kalau ia sakti di kampung halaman teman yang sekaligus sopirnya dan pria itu sudah memesankan Helikopter kenalannya untuk menuju rumah Dioba karena dari kenalannya ia tahu kalau daerah itu memiliki tempat helikopter untuk mendarat.
    Lapangan itu hanya berjarak lima kilometer dari rumah Dioba, ia tidak ingin dijemput oleh siapapun selain mengatakan kepada Zee kalau ia sudah mendarat dan dalam hitungan menit akan tiba di rumah Dioba. Zee tahu kalau ayahnya tidak akan nyasar.
    Menjelang petang pria itu muncul di pintu rumah ibunya Dioba dan yang membuka pintu adalah Dioba sendiri. Setelah memberi salam pria itu langsung bertanya.
    “Kamu Dioba,’kan? Aku sudah menitipkan anakku sama kamu dan mempercayai kamu sepenuhnya untuk menjaganya. Sakit apa Zee? Di mana dia?” tanya pria itu karena merasa yakin kalau wanita muda yang berdiri di depannya adalah Dioba karena Zee pernah mengirim fotonya melalui ponsel. Menyadari yang berdiri di depan pintu itu adalah ayahnya Zee membuat Dioba kesal karena Zee menyuruh ayahnya datang tanpa bilang dulu pada yang punya rumah dan itu merupakan kelancangan tersendiri menurutnya.
    “Silahkan masuk dulu, karena Anda adalah tamu kami.” Kata Dioba akhirnya. Ia mengamati pria itu dengan tas koper kecil di tangan kirinya dan wajahnya itu. ‘Inikah ayahnya Zee? Apa mungkin dia juga ayahku? Aku tidak bisa mempercayainya, sungguh.’
    Saat pria itu melangkah untuk masuk ke dalam ruang tamu, ibu Dioba keluar dari dalam dan terpaku di tempatnya tanpa melangkah lagi seakan jadi patung tiba-tiba juga dengan pria itu yang tak kalah takjub dengan wanita yang sudah menginjak usia 47 tahun itu. Ia sudah bertemu dengan ratusan wanita di dunia ini baik di dunia politik, wanita karir dan juga dari kalangan pejabat tapi tidak ada yang seperti itu. Wanita yang memiliki wajah yang begitu damai bila dipandang.
    Ada yang beda dari wajah tampan itu dan tanda luka kecil di dagunya. “Anda, Anda bukan Gilang?” tanya ibu Dioba dengan ragu-ragu.
    “Maaf.......” sahut pria itu dengan sangat sopan karena dia kaget sekali kalau wanita itu kenal dengan nama Gilang. “Saya Galang.... ayahnya Zee Neba. Anak saya di sini, ‘kan? Saya ingin melihatnya ia bilang sama saya kalau dia sedang sakit. Apa dia sudah dibawa ke rumah sakit?” ujarnya. Dioba masih menyimak pria itu yang berbincang dengan ibunya, ia menunggu kelanjutan kisah mereka. Apakah akan ada keributan besar karena kemarahan ibunya selama ini? Jika itu terjadi ia sudah siap dengan berbagai resiko sepahit apapun itu.
    “Ayah!” Zee tiba-tiba muncul dari balik pintu kamar. Ia langsung memeluk ayahnya karena sudah lama sekali tidak bertemu dan itu adalah perpisahan terlama mereka sejak Zee dilahirkan di dunia ini.
    “Sayang..... bagaimana kondisimu? Kenapa kamu tidak di rumah sakit?”
    “Tadinya di rumah sakit tapi sekarang sudah mendingan.” Zee menatap wajah ayahnya sejenak lalu ke Dioba seolah ingin memberitahukan kalau pria itu adalah ayahnya juga tapi Dioba merasakan ada hal yang tidak beres telah terjadi selama ini karena baik ibunya juga pria itu ternyata tidak saling kenal. “Ayah...... ini Dioba dan,” ia menoleh ke ibunya Dioba namun sebelum Zee menjelaskan pria itu berkata.
    “Dia pasti ibunya.... terima kasih ya Mbak sudah menerima anak saya di sini.” Ucapnya dengan santun membuat Zee kembali menatap ayahnya.
    “Ayah, beliau itu.....”
    “Ya, sayang.... apa Ayah salah? Dia ibunya teman kamu,’kan?”
    “Zee, Ayahmu benar. Beliau bernama Galang bukan Gilang.” Wanita itu membenarkan. Bersamaan dengan itu dari arah dapur datang Nenek dengan kemarahan yang agak meluap melihat pria yang selama ini telah meninggalkan anak dan cucunya tanpa kabar apalagi memberikan nafkah dan kini tiba-tiba muncul di rumahnya. Mendengar anaknya sakit langsung terbang sedangkan ia tidak pernah peduli kalau salah satu anaknya yang lain selama ini lebih parah dari sakit dan ia tidak pernah menampakkan batang hidungnya.
    “Ibu.... tenang. Beliau bukan pria yang Ibu maksud, dia orang lain.” Ibu Dioba berusaha menenangkan ibunya. Kebingungan di antara mereka makin menjadi, hanya ibu Dioba dan pria itu yang bisa menjelaskannya karena baik Gilang ataupun Galang memiliki wajah yang sangat mirip meski sudah puluhan tahun tidak bertemu tapi wanita itu bisa membedakannya.

**
Galang dan Gilang

    Gilang baru saja pulang ke rumah dan kalau bertemu dengan Galang selalu saja ada yang salah karena Galang tidak suka dengan pergaulan yang diterakpakan oleh Gilang.
    “Bang, ingat pesan Papa yang tidak suka kita menghabiskan hasil kerja kerasnya selama ini hanya untuk kesenangan yang tidak jelas.” Kata Galang melihat Gilang membawa seorang wanita ke dalam rumah bukan karena wanitanya tapi pria itu selalu membawakan wanita yang berbeda setiap datang.
    “Ah! Tahu apa kamu tentang kesenangan. Sebaiknya kamu bekerja saja dengan tekun biar jadi pengusaha sukses seperti Papa.” Sergah Gilang dengan nada yang tidak pernah menghargai orang sekelilingnya. Sejak kedua orang tua mereka meninggal kedua pria kembar itu punya cara sendiri untuk bertahan hidup bahkan menikmati kesenanganpun mereka punya cara sendiri. Galang meneruskan usaha orang tuanya bahkan mengembangkan bisnisnya sedangkan Gilang hanya tahu cara menghabiskan uang, bersenang-senang dengan banyak wanita dan menikahi di antaranya tanpa kejelasan yang pasti tidak jarang ia melakukan nikah sirri pada wanita yang kotanya ia kunjungi. Terakhir Galang mendengar kalau abangnya menikahi wanita Sunda. Suatu hari Galang memberi saran pada abangnya untuk menikahi satu wanita dan hidup dengan cara-cara orang normal yang dilakukan pada umumnya namun lagi-lagi abangnya mengatakan kalau Galang tidak tahu apa-apa tentang wanita apalagi cara membahagiakan diri dengan wanita-wanita.
    “Kamu itu tidak tahu menahu tentang wanita dan cara memperlakukan mereka.”
    “Setidaknya aku tahu bagaimana perasaan orang lain agar nanti tidak ada orang yang sakit hati karena ulah Abang.”
    “Heh! Kamu tahu tidak? Banyak sekali wanita di dunia ini membutuhkan kasih sayang pria dan kamu tahu berapa banding pria dan wanita di dunia ini? Kamu tidak akan percaya kalau aku mengatakannya jadi apa salahnya kita memiliki dua atau lebih dari mereka. Hidup hanya sekali dan kita harus tahu caranya menikmati hidup tapi kalau kamu tidak setuju itu hak kamu dan aku tidak pernah melarangmu untuk itu biarkan aku menjalani hidupku dengan caraku sendiri. Aku bahagia seperti ini.”
    “Abang hanya membohongi diri sendiri, coba lari dari kenyataan dan pada dasarnya Abang berusaha menutupi sesuatu yang selama ini sudah terjadi. Itu tidak baik Bang, jangan mengulangi kesalahan yang telah orang lakukan ke Abang itu sama saja namanya menanamkan benih kebencian di hati orang lain hanya karena kesalahan orang lain juga. Abang itu hanya memindahkannya saja dan Abang tidak menyadari itu.”
    “Sudahlah! Kamu tidak perlu menceramahiku lagian juga aku tidak memakai uangmu, aku mau berkunjung ke daerah Sumatra mungkin sebulan atau lebih. Kamu jaga diri dan tidak usah menghubungiku biar aku saja yang menelepon kalau ada perlu.” Setiap meninggalkan rumah Gilang selalu saja bicara seperti itu membuat Galang tidak bisa bicara banyak karena ia tahu abangnya itu memang sedang patah hati karena ditinggal menikah oleh kekasih yang ia anggap sangat setia selama ini.
    Setelah beberapa bulan kemudian Gilang pulang dari petualangannya, entah ia benar-benar dari Sumatra atau tidak Galang tidah tahu pasti dan sejak pulang ia lebih banyak diam dan jarang membawa wanita ke rumah lagi membuat Gilang merasa kalau petualangan Abangnya sudah berakhir dan ia akan hidup bahagia dengan wanita pilihan terakhirnya. Tapi anehnya dia tidak pernah membicarakan seorang wanita atau cerita-cerita hal lain yang ia temukan dan tiga berikutnya ia malah menikah dengan wanita asli keturunan Jakarta meski tidak dirayakan dengan meriah karena itu keinginan Abangnya. Itu adalah pernikahan pertama dan terakhir Gilang yang dilihat Galang karena Abang dan kakak iparnya meninggal dalam kecelakaan saat mereka pergi bulan madu.
    Galang merasa kalau keluarganya mendapatkan cobaan yang tidak ringan serta berturut-turut, kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan pesawat. Atas janji pihak penerbangan untuk memberikan santunan sebesar 1 milyar rupiah untuk satu nyawa itu hanya janji-janji di depan publik saja dan keluarga Galang tidak menuntut. Selepas itu Galang yang sudah lulus sarjana meneruskan usaha ayahnya karena Gilang sendiri tidak tertarik untuk jadi pengusaha.
    Setelah menikah dan punya satu orang putri istri Galang juga meninggal akibat sakit atau nyeri kepala *sekunder yang dideritanya selama lebih dari dua tahun dan koma selama 3 bulan. Kalau saja penyakitnya cepat ditangani tapi wanita itu selalu mengatakan kalau dia tidak apa-apa setiap kali suaminya mengajak ke rumah sakit dan saat rasa sakit itu sudah tidak tertahankan lagi ia baru menyerah dan mau ke rumah sakit namun semuanya sudah terlambat karena penyakitnya sudah stadium akhir. Pembelajaran yang Galang dapat dari kejadian itu adalah jangan pernah menyepelekan sakit kepala. Penyesalan memang selalu datang diakhir, tapi Galang tidak mau kehilangan lagi. Ia menjaga anak sematawayangnya dan menyekolahkan dengan baik, memberinya waktu dan peluang untuk berbisnis dan membuka usaha sendiri bukan memberinya kemanjaan yang nantinya akan menyulitkan dirinya sendiri. Karena hal semacam itu merupakan pembelajaran yang salah kaprah.
*nyeri kepala sekunder adalah nyeri kepala yang disertai gejala gangguan saraf seperti kejang-kejang, mata juling, penglihatan ganda, dan kelemahan di salah satu alat gerak. Nyeri kepala sekunder dapat disebabkan oleh adanya kelainan patologis pada otak. Kalainan ini dapat berupa tumor otak, stroke. Thrombosis ( sumbatan pada arteri ), hipertensi berat ( maligna ), infeksi otak ( meningitis, encephalitis, abses ), atau kelainan pada pembuluh darah otak, seperti aneurisma dan AVM ( artiriovenous malformation )
By : Eka Hospital
Care for better health.
*

Pembelajaran

    Dioba Uku dan Zee Neba merasakan bahwa yang terjadi selama ini merupakan hal yang tidak akan pernah bisa mereka lupakan. Ada kekejaman dan rasa putus asa serta berpikiran negatif pada orang yang belum mereka benar-benar kenali lalu setelahnya ada rasa penyesalan, rasa malu dan rasa bersalah berikutnya pasti muncul rasa canggung di antara semuanya. Begitulah alaminya. Dioba yang sudah pendiam dari sananya menjadi lebih pendiam saja. Zee merasa bersyukur karena dia tidak satu ayah dengan Dioba karena ia akan merasa lebih bersalah andai kebenaran itu seperti itu adanya meski di sisi lain ia ingin sekali Dioba sebagai kakak kandungnya.
    “Apa yang kamu sesali Di?” tanya Zee kala mereka berdua sedang ada di kamar. Dioba mengamati Zee sejenak dan membayangkan kalau saja wanita itu tidak bisa diselamatkan dari usahanya melakukan bunuh diri lalu ia menggeleng pelan.
    “Tidak ada.”
    Zee tersenyum seakan memvonis Dioba terlalu egois, tidak punya hati dan belum ada perubahan dari wajah dan sikapnya selama ini seolah tidak pernah terjadi apa-apa. “Aku mengerti.”
    “Kamu tidak akan mengerti apa-apa Zee.” Keluh Dioba.
    “Mungkin karena kamu masih berusaha sembunyi dariku sangat dalam, ingat Di..... aku ini bukan lagi bosmu sekarang tapi aku adalah adik sepupumu.” Zee berusaha menjelaskan yang di benaknya sudah sangat jelas tapi ia tidak akan pernah bisa merasakan apa yang dirasakan oleh Dioba. “Aku sadar ternyata kakak kembar dari Ayahku yang punya kisah yang sangat tragis adalah ayah kandungmu. Ayahku pernah cerita kalau beliau punya seorang kakak yang meninggal karena kecelakaan mobil tapi mengapa beliau tidak tahu kalau ternyata dia punya seorang anak gadis yang jauh di luar kota.” Ia memegang tangan Dioba dan menepuk-nepuknya pelan. “Keberadaanmu di Jakarta telah digiring oleh Tuhan untuk mempertmukan kita juga agar kamu tahu apa yang kamu tidak ketahui selama ini.”
    “Aku tidak ingin membahasnya.” Dioba beranjak dari tempat duduknya dan meninggalkan Zee yang mengikuti dengan ekor matanya. Di ruang dapur pria itu sedang terlibat perbincangan serius dengan nenek Dioba membuat Dioba menghentikan langkahnya.
    “Ibu, niatku bukan lantaran ingin menebus semua perlakukan Bang Gilang selama belasan tahun belakangan tapi aku benar-benar menyukai anak ibu, sungguh aku berani mempertaruhkan apapun untuk dia.” Kata pria itu dengan nada sungguh-sungguh namun tidak begitu saja bisa meluluhkan hati wanita yang anaknya sudah disakiti oleh pria yang kini adiknya ada dihadapannya. Dulu kakaka kembarnya memang tidak pernah meminta atau melamar anaknya dengan resmi namun rasa kecewa itu masih saja membekas. Kini ada orang lain yang ingin serius menghabiskan sisa hidupnya bersama anaknya yang notabene satu darah dengan mantan suami anaknya. Bukan tidak mungkin kejadian masa silam akan terulang lagi, bukan saja akan membuat malu keluarga dan kampung halaman tapi malu pada keturunan juga pada sang Pencipta.
    “Jangan pernah mengatakan berani mempertaruhkan apapun, kamu punya anak gadis begitupun anakku. Kami orang kampung yang tinggal di kampung susah sekali mengerti apa yang kalian inginkan dan apa yang ada di otak kalian dan yang terpenting kami tidak bisa mempercayai kalian.”
    “Lalu apa yang harus saya lakukan, Bu?” pria itu tidak bisa memaksa wanita lanjut usia itu. “Tapi apapun yang ibu pikirkan tentang saya dan mungkin anak saya satu hal yang ingin saya beritahu kepada Ibu bahwa saya serius dengan lamaran saya tanpa ada motif apapun di dalamnya. Baiklah, mungkin saya akan pergi mengajak anak saya untuk menginap di Hotel dan akan kembali lagi besok dengan tujuan meminta ibundanya Dio menjadi istri saya. Saya pamit dulu.”
    Dioba keluar dari balik pintu dan mencegah pria itu pergi apalagi sampai membawa Zee. “Om, Om mau ke mana?”
    Pria itu menoleh pada Dioaba. “Om akan mengajak Zee menginap di Hotel karena kami tidak pantas tinggal di rumah kalian, tidak enak dipandang masyarakat.”
    “Tidak, Om tidak boleh membawa Zee dari sini dan Om juga tidak perlu pergi nanti saya akan ke rumah pak kades untuk melapor kalau kami sedang ada tamu yang berkunjung dan satu hal lagi, Om dan Zee bukanlah orang lain, kalian sudah menjadi bagian dari keluarga kami.” Kata Dioba dengan nada serius, tidak ada lagi hal yang lebih penting dalam hidupnya karena sekarang ia sudah bertemu dengan keluarga ayahnya terlepas selama ini ia merasa sakit hati bahkan punya rasa dendam sampai ingin membunuh orang yang tidak bersalah. Ia mungkin belum bisa mempercayai kebenaran yang hakiki dari kisah ayahnya yang dikisahkan oleh Galang namun setidaknya ia tahu dari ibunya kalau Galang bukanlah pria yang selama ini melukai ibunya. Andaipun ada kebohongan dibalik semua kisah itu Dioba tidak akan lagi menaruh curiga pada yang belum ia ketahui kebenarannnya.
    Apa yang dikatakan oleh Dioba membuat pria itu terharu tapi ia tidak bisa tinggal kalau nenek dan Ibunya tidak memberi izin meski yang dikatakan anak itu tidak salah sebab mereka adalah bagian dari keluarga yang tidak sengaja datang dari jauh. Ibu Dioba ikut ambil bagian meski ia sulit memutuskan karena tidak mudah menghadapi semua kejadian yang menurutnya agak mendadak.
    “Saya memahami situasi ini, Jika Mas Galang ingin menginap di Hotel kami tidak akan keberatan tapi saya pribadi tidak ingin Zee ikut pergi, dia harus ada di sini karena dia adalah tamu anak saya yang diajak langsung dari rumahnya namun saya dan keluarga akan menerima kapan saja Mas Galang mau berkunjung.” Urai wanita kalem itu dengan nada pasti bagaimanapun ia sudah menyayangi Zee sejak anak itu muncul di rumahnya bersama Dioba. Zee yang sudah berdiri di antara mereka jadi tidak bisa bicara banyak karena ia tahu posisi ayahnya di samping itu ia memahami adab meski ia tidak tega kalau ayahnya harus menginap di Hotel walaupun selama ini rumah kedua ayahnya adalah hotel. Seharusnya sebelum menghubungi ayahnya ia tahu beliau tidak bisa menginap di rumah Dioba. Zee segera menyadari kalau lokasi Hotel tidak jauh dari tempat mereka.
    Galang yang tahu persis posisinya dan keberadaan mereka tetap mengambil keputusan dari hati kecilnya, ia merasa bersyukur karena anaknya sudah tidak sakit lagi. Sebelum ia pergi ke Hotel yang akan diantar oleh Dioba dan Zee ia minta izin bicara sebentar dengan ibu Dioba.
    “Aku akan datang lagi besok, semua sudah aku katakan kepada Ibumu dan demi Tuhan aku berharap kamu mau membuka hati untukku.” Ucapnya dengan nada rendah meski mengandung sejuta harapan. Wanita itu tidak menemukan adanya Gilang di sana, mereka berdua sungguh berbeda dan andaipun ia menyukai pria itu sama sekali bukan lantaran wajah yang mirip tapi prilaku, cara bicara, sikap dan kesopanannya melampaui Gilang. Ada kenyamanan tersendiri terpancar dari tatapannya bukan gelora yang menggebu-gebu, bukan pula ada janji-janji manis yang tidak perlu didengar namun sudah bisa dirasakan sebuah kejujuran bagi yang mendengar nada bicaranya. Sungguh ia tidak tahu harus menjawab apa karena pria itu seperti telah menguasai perasaannya dengan cara yang berbeda. Sejak ditinggal Gilang ia seakan bersumpah tidak akan lagi mengenali laki-laki semua kebahagiaannya ia curahkan hanya untuk Dioba dan kepahitan hidupnya akan ia simpan dalam-dalam jangan sampai Dioba ikut merasakannya namun ia tidak menyadari kalau selama ini Dioba merasakan semua kepahitan hidup ibunya. Dan kini di pengunjung usia senjanya muncul seorang pria selama ini terpikir juga tidak untuk melangkah sejauh itu. Namun ia tidak mau banyak berpikir yang bukan-bukan sebab apapun yang terjadi telah diketahui oleh Tuhan tidak ada yang bisa dilakukan selain minta yang terbaik kepada Tuhan. Manusia hanya melakukan yang ia sanggup dan semoga saja ia mampu mengendalikan perasaannya kepada Galang, perasaan yang puluhan tahun tidak ia rasakan. Sungguh aneh rasanya, tidak ada maksud untuknya mencari semua hal tentang Gilang di sosok Galang karena mereka merupakan dua pribadi yang sangat berbeda. Tidak ada rasa rindu pada Gilang ia temukan di Galang lantaran perasaannya pada kedua sosok itu sangat berbeda apakah dikarenakan prilaku mereka yang berbeda entah apa ia tidak tahu pasti.
    Galang di antar oleh Dioba dan anaknya ke sebuah Hotel yang jaraknya tidak lebih dari 3 kilometer dari rumah Dioba. Satu hal yang amat disyukuri pria itu adalah melihat anaknya sudah kembali sehat. Hotel yang cukup mewah di daerah itu dengan bangunan khas pemiliknya pengusaha setempat yang sudah amat dikenal kaya dari Dioba kecil. Zee belum langsung pulang karena ayah dan anak itu masih saling rindu.
    “Ayah minta maaf ya karena kali ini cukup lama meninggalkanmu, semua ini mungkin karena ayah sangat percaya sama Dioba.” Ia melirik Dioba yang duduk di sebelah Zee dan Zee ikut melirik wanita itu. “Tapi pas Ayah dengar kamu sakit tetap saja ayah tidak bisa menahan diri untuk segera bertemu denganmu.”
    “Ya, Ayah tidak salah menitipkan aku sama Dioba karena bukan saja dia yang menyayangiku nenek dan ibu juga menyayangi aku.”
    “Semoga saja seterusnya begitu dan.......” pria itu berdiam sejenak sebelum meneruskan ia menatap kedua gadis itu bergantian. “Satu hal penting yang ingin Ayah katakan pada kalian berdua dan masalah ini bukan direkayasa ataupun di buat-buat, bukan saja ada niat baik di dalamnya namun ini merupakan sebuah anugrah yang selama ini mungkin tidak pernah terpikirkan oleh Ayah dan barangkali oleh Ibumu juga Dio....” ia menekan ucapan terakhirnya pada Dioba. “Saya Galang, ayahnya Zee Neba ingin melamar ibu kamu untuk menjadi istri karena saya menyukai beliau dan menyayanginya bukan lantaran ia pernah menikah dengan siapa-siapa, saya sudah membicarakan hal ini kepada beliau juga nenekmu Dio meski kedua wanita itu belum memberikan lampu hijau namun saya berharap kalian berdua tidak keberatan untuk itu saya ingin minta persetujuan kalian berdua.” Urai pria itu dengan pelan agar kedua wanita muda yang ada dihadapannya bisa memahami maksud tulusnya namun respon keduanya tetap saja membingungkan karena masih kaget terutama Zee karena Dio sekilas sudah mendengar pengakuan pria itu kepada neneknya. Zee melirik ke Dioba namun wanita itu tidak bicara sepatahkatapun Zee menunggu namun tetap bisu. Ia ingin mencari apakah ada kemarahan  di wajah itu? Namun tetap saja tidak ada reaksi yang bisa Zee pahami.
    “Kalau Zee pribadi hanya ingin mengatakan jika semuanya demi kebahagiaan kita tidak ada salahnya namun jika ada yang tidak berkenan atau merasa dirugikan ataupun merasa ada yang tersakiti maka Zee tidak akan mengizinkan ayah melakukannya.”
    Mendengar itu membuat Dioba memberi respon “Kebahagiaan ibu dan nenek saya adalah kebahagiaan saya juga terlepas dari semua itu mungkin saya pikir....” Dioba tidak melanjutkan membuat ayah dan anak itu jadi penasaran.
    “Kamu pikir apa?” pertanyaan itu meluncur bersamaan dari Zee juga Ayahnya.
    ‘Apakah tidak bisa ditemukan kebahagiaan yang lain tanpa Ibu dan Om Galang harus menikah?’ pikir Dioba tapi ia tidak bisa menyampaikan kata-kata itu karena mungkin Om dan Ibunya memang memiliki perasaan yang sama dan Dioba tidak ingin mengekang perasaan mereka.
    “Tidak apa-apa bukankah setiap niat baik dengan tujuan baik tidak akan merugikan siapa-siapa? Yang paling penting dalam hidup ini adalah saling menghargai satu sama yang lain dan dalam kesempatan ini, saya ingin minta maaf sama Zee di depan Om karena tidak bisa menjaga Zee dengan baik sampai dia sakit, saya banyak melakukan kesalahan.”
    Zee langsung meraih pundak Dioba dan memeluknya. “Kamu tidak salah apa-apa, apapun yang terjadi belakangan ini semua diluar rencana kita tapi karena kita punya niat baik untuk jalan-jalan ke daerahmu jadi hasilnya juga baik,’kan? Kalau tidak bagaimana mungkin aku tahu kamu adalah kakakku.” Ujar Zee membuat Ayahnya terharu melihat adegan itu. Dioba menoleh kepada Galang dan tiba-tiba ia merindukan kekasihnya, Hendra. Ucapan Zee memang berlebihan meski ia tahu kalau dirinya punya niat jelek pada wanita itu walaupun niat itu sendiri tidak tahu menahu siapa yang salah dan siapa yang benar, yang terpenting hasil akhirnya tidak melukai Zee dan usaha bunuh diri itu merupakan kecerobohan dari keputusan Zee sendiri dan membuat Dioba akhirnya menyadari kalau dia takut kehilangan Zee, baik sebagai bos juga sebagai teman dan kini sebagai.......... J
*
    Tidak gampang bagi wanita itu menerima Galang untuk menjadi suaminya, selama ini ada beberapa pria coba serius mendekatinya baik dari pengusaha lokal ataupun dari daerah lain. Wanita itu memang bisa digolongkan menarik dari berbagai sisi namun ia tidak memikirkan kebahagiaannya lantaran sudah di rampas oleh kebohongan Gilang dan nyaris saja ia mengambil kesimpulan bahwa tidak ada pria yang baik di dunia ini. Kalaupun ia menikah lagi ada kekhawatiran anak gadisnya akan menjadi korban sebab tidak sedikit kejadian yang dialami anak gadis yang masa depannya hancur akibat pelecehan dari ayah tirinya. Pemikiran manusiawi yang dialami sebagian wanita yang punya anak gadis harus menikah lagi dan punya suami ‘sambung’ jika ia menerima pinangan pria itu orang-orang sekeliling akan mengatakan kalau ia lagi-lagi menikahi orang jauh tanpa tahu siapa orang itu sebenarnya, apakah ia harus jatuh di dalam lubang yang sama? Tapi yang terpenting adalah apakah ia menyukai Galang dan Galang mencintainya? Karena dengan bertambahnya usia yang sudah mulai lanjut satu hal itu tidak bisa disepelekan begitu saja, sebagai manusia normal tidak hanya harus hidup dengan pasangan tapi juga tetap punya latar belakang rasa itu. Apapun yang terjadi wanita itu harus menyakini dulu perasaannya, yang lain mungkin penting tapi yang terpenting adalah perasaannya dan perasaan pria itu. Jika Tuhan mengizinkan ia kembali punya suami maka itu adalah suaminya sampai mati namun tidak segampang itu karena ada kendala pastinya yang akan ia hadapi yaitu di mana ia tinggal kalau mereka benar-benar menikah?
*
    Dioba sedang menulis di laptopnya karena sudah terlalu banyak kisah yang ia simpan di dalam otaknya dan sudah harus dituangkan ke dalam tulisan. Lama ia berkutat di sana di saat Zee sedang meluangkan waktu bersama ayahnya.
   
    ‘Tuhan, kebenaran apa yang sedang Engkau perlihatkan di depan mataku ini? Apakah aku harus senang ataukah sebaliknya? Sungguh tidak pernah terpikirkan sebelumnya... apa semua ini? Aku jadi bingung dengan yang ada di depan mataku, sebuah kebenaran seakan kisah drama yang mungkin orang anggap murahan atau masih ada rahasia di dalamnya?....’

    Belum juga selesai Dioba menulis ibunya sudah muncul memaksa Dioba beranjak dari kursinya. Wanita itu mendekati anak gadisnya dan mereka pun duduk di kursi panjang yang ada di kamar itu.
    “Ibu....”
    “Ya, apa yang sedang kamu pikirkan, Nak?” ia mengusap punggung tangan anaknya. “Kebahagian ibu ada di dalam senyummu, bicaralah.”
    “Tidak, Ibu. Dari dulu Ibu selalu memikirkan kebahagiaan Dio dan kini sudah saatnya Ibu memikirkan kebahagiaan Ibu sendiri. Dio tidak pernah sendiri apalagi sekarang ada Hendra.”
    “Apa yang kamu bicarakan? Ibu tidak akan meninggalkanmu.”
    “Ini bukan masalah meninggalkan atau tidak Bu tapi ini tentang kebahagiaan Ibu. Dio tidak boleh egois.” Ia beranjak dari kursinya dan menutup laptopnya. Wanita itu ikut berdiri masih mengamati anaknya.
    “Ibu akan ikuti apa yang terbaik untuk kamu.” Ujarnya dengan nada pasrah karena baginya Dioba tetaplah anak kecil yang masih ingin ia peluk seumur hidupnya. Lalu keduanya berpelukkan dengan perasaan yang sama bimbangnya namun satu hal yang tidak bisa diubah yaitu rasa sayang di antara mereka.
    “Hm... mau dong dipeluk juga.” Suara Zee masuk membuat keduanya melepaskan pelukan dan Ibu Dio tersenyum dan langsung memeluk wanita yang ia sayang dari sejak pertama datang. Iapun tidak ingin melepaskan Dioba yang ingin menjauh, ia meraihnya dan kedua wanita itu ada di dalam dekapannya tulusnya.
    “Tetaplah menjadi diri kalian sendiri ya, sayang...” ucapnya dengan nada tidak di buat-buat. Zee dulu bertanya-tanya seperti apa wanita yang sudah membesarkan Dioba yang memiliki pribadi unik, sopan, punya wawasan luas dan berkarakter dan ternyata inilah wanita itu yang sekarang sedang memeluknya. Wanita yang membiarkan anaknya berkembang dengan bebas meski dalam pantauan dan memberikannya pendidikan. Zee jadi terharu dan membayangkan kalau ibuya dulu juga pastilah wanita hebat sehingga tidak gampang membuat ayahnya mencari wanita lain dan ketika bertemu dengan ibunya Dioba mengubah segalanya. Apakah ia harus menyalahkan ayahnya? Rasanya tidak adil jika ia melakukan itu karena ayahnya juga pantas mendapatkan kebahagiaan.
    Zee tinggal berdua di kamar itu dan saatnya Dioba membahas cutinya yang sudah hampir habis. “Aku ingin bicara sebagai karyawanmu.”
    “Bicara apa?” Zee mengamatinya lalu melirik ke laptop yang tertutup rapih di atas meja. “Apa keasikanmu menulis akan mengganggu kerjamu?” ia menatap Dioba dengan seksama. “Hubungan kerja kita sudah selesai Di, kamu tidak pantas menjadi sopir adikmu sendiri. Sebentar lagi kamu akan menjadi nyonya dr. Hendra dan aku........?” wajah itu berubah menjadi sendu seolah hidupnya sebatangkara. Bagaimana tidak, ayahnya akan menikah dan Dioba juga akan menyusul menerima lamaran Hendra. Zee akan sendirian benar-benar sendirian.
    “Ada apa?”
    “Tidak apa-apa, aku bahagia setelah tahu kalau kamu adalah kakak sepupuku selama ini aku tidak mengira kalau punya keluarga selain ayahku ternyata aku punya kamu dan Ibu juga nenek. He he he tadinya menyangka aku hanya punya seorang ayah.”
    “Katakan apa yang kamu rasakan, aku tidak melihat kalau kamu sedang bahagia dan berjanjilah tidak ada lagi rahasia di antara kita, aku menyayangimu memang dari pertama dan aku minta maaf telah punya niat buruk sama kamu.”
    “Kamu sudah minta maaf di depan ayah, tidak perlu minta maaf lagi dan aku juga memakluminya. Jika nanti ayah dan ibu menikah apa kamu akan tetap di sini bersama Hendra?”
    “Entahlah?!”
    “Di..... aku ingin bersama kamu, bersama nenek ingin bersama ayah dan ibu tapi apakah itu mungkin? Sejujurnya aku tidak suka situasi itu, kita baru saja kenal lebih dekat tapi harus menjalani kehidupan masing-masing.”
    Dioba menghela napas panjang apa yang dikatakan Zee memang ada  benarnya tapi situasi terjadi memang tidak selalu sama seperti yang kita harapakan dan kita hanya bisa menciptakan kenyamanan itu sendiri bukan mencarinya.
    “Aku ingin kuliah lagi.” Tutur Dioba akhirnya. “Mau ambil Sastra Indonesia.”
    “Em, di Jakarta ya.” Usul Zee dengan nada paksaan namun dijawab dengan senyum simpul oleh Dioba.
    Niat untuk kuliah lagi disampaikan Dioba kepada Hendra membuat pria itu merasa kalau Dioba akan kembali menjauhinya.
    “Hanya setahun, kamu kan tahu kalau tahun ini ibuku akan menikah masa kita juga tahun ini? Dan satu hal lagi.... setelah kita kembali bertemu aku masih meragukan perasaanmu. Kita memang lama tidak bertemu dan aku merasa pertemuan ini mungkin perasaanmu hanya karena shock tapi sebenarnya tidak begitu menyukaiku apalagi mencintaiku. Aku masih butuh kepastian perasaanmu.”
    “Ya Tuhan, Di..... mengapa kamu masih ingin mengujiku. Kamu tega sekali.”
    Dioba tersenyum bagaimanapun ia masih membutuhkan waktu tidak ingin gegabah apalagi setelah berpisah cukup lama ia tidak begitu paham perubahan apa yang dialami oleh Hendra selama ini. “Pertemuan kita ini memang tidak ada rencana bahkan bisa disebut dengan kebetulan meski kita tidak boleh berpikiran seperti itu tapi aku tidak tahu siapa selama ini yang dekat dengan kamu, dan aku tahu tidak sedikit para medis di tempatmu bekerja menaruh perhatian sama kamu bahkan mungkin juga dokter yang melebihi segala-galanya.” Kata Dioba panjang lebar namun sejujurnya ia memang serius ingin kuliah karena kalau sudah menikah ia merasa tidak bisa melakukannya. Jika sudah menyelesaikan sekolah ia bisa meneruskan hobi menulisnya dan mendampingi Hendra bekerja sebagai dokter dan siap ikut dimanapun ditempatkan. Dioba memang sudah memikirkan semuanya tapi kalau rencananya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan itu semua kehendak Tuhan, ia hanya berusaha melakukan yang terbaik.
    “Di, aku ingin kamu pertimbangkan lagi keinginan kamu itu. Bukannya aku tidak ingin kamu sekolah lagi tapi aku tidak bisa jauh darimu sudah cukup selama ini.”
    “Aku tidak akan melarang kamu dekat dengan wanita lain Hen, jika hal itu terjadi berarti kita tidak jodoh.”
    “Dio, aku tidak suka dengan kata-katamu.”
    “Aku minta maaf. Kamu marah? Maaf sekali lagi ya, aku memang tidak seperti waktu duduk di bangku SMA. Mungkin banyak hal yang tidak kamu tahu dengan sikap dan pribadiku dan aku tidak ingin kamu kaget nantinya dan marah-marah.”
    “Apa yang sedang kamu pikirkan? Sampai berprangka seperti itu.”
    “Tidak ada, aku rasa itu hal wajar karena kita kenal hanya dua tahun dan pisah lebih dari tujuh tahun bukankah dalam tujuh tahun itu banyak sekali hal yang tidak kita ketahui? Aku bicara realistis kok.”
    “Kamu tidak sayang sama aku?” itu pertanyaan sangat serius dilontarkan oleh Hendra, kata ‘sayang’ adalah lebih tinggi dari makna cinta, mungkin.
    “Rasa sayang bisa hilang jika mengalami tekanan atau ketidakcocokan yang permanen.”
    “Kamu ini ada-ada saja, mana ada ketidakcocokan yang permanen. Oke.....” Hendra menggenggam tangan Dioba dengan erat seakan ingin membuatkan janji suci pada wanita itu. “Kamu boleh kuliah lagi dan aku akan menunggumu, tidak masalah karena tujuh tahun itu tidak sepadan dengan setahun.”
    “Kamu percaya padaku?”
    “Aku percaya pada Tuhan dan yakin kalau Tuhan akan mengembalikan dirimu kembali kepadaku.”
    “Amin, Terima kasih.”
    Adakah yang menjamin kalau dalam waktu setahun tidak ada yang tergoda dengan orang lain? Jangankan setahun, detik berikutnya manusia tidak akan pernah tahu apa yang terjadi pada dirinya. Manusia memang hanya bisa berencana namun ketetapan hanya ada di tangan Tuhan. Tuhan tidak suka pada hamba-Nya yang sombong, Dia menyukai yang punya niat baik dan tulus juga pada orang yang selalu berusaha dan berdoa.
**
Hidup Tidak Sesimple Teori
    Dioba Uku melanjutkan kuliah di jurusan Sastra Indonesia dan masih sebagai orang yang mendampingi Zee karena ia hanya mengambil kuliah sabtu dan minggu dan terus menulis kisah yang indah dan bagus. Zee memang tidak ingin posisi Dioba sebagai orang yang selalu menemaninya digantikan oleh orang lain. Namun setiap kali Dioba melakukan pekerjaan berat dan memikirkan banyak hal ia mengalami.....

Bersambung....

=======