SEBUAH
RAHASIA HATI
(Fiksi Remaja ‘Persahabatan’)
**
BAB
I
Julia Collection
Julia sedang sibuk membantu rekan
kerjanya, wanita single 27 tahun itu
punya dua cabang toko di pasar dengan sewa satu
ruko lebih kurang dua puluh dua juta pertahun. Ia menjalani bisnis itu
dalam lima tahun belakangan, sebelumnya ia bekerja di sebuah butik milik
seorang pejabat daerah. Ada dua orang pegawai disetiap satu toko, sedang Julia
sendiri sering bolak-balik Jakarta-Palembang untuk membeli isi tokonya belum
lagi harus melayani penjualan secara On-Line.
Hari itu setelah kembali dari toko yang
satu tiba-tiba Julia ingat dengan sahabatnya. Wanita itu tersenyum karena
sebenarnya bukan hari itu saja ia ingat dengan AemeL bahkan nyaris setiap hari
tapi hari itu ia bukan saja ingat tapi ada rasa kangen yang sepertinya tidak
biasa. Julia menghela napas berat seolah ingin meringankan beban yang ia rasa
di rongga dadanya tiba-tiba terasa menyesakkan dada, ia tidak pernah menelepon
lagi AemeL karena percuma sebab wanita itu tidak akan pernah lagi mengangkat
telepon darinya, sekali-kali ia mengirim pesan jika ada hal yang penting sekali
dan itu jarang sekali dapat balasan, andaipun ada balasan tidak penting untuk
dibalas karena pesannya tidak minta dikonfirmasi. Tapi rasa itu akan perlahan
menghilang seiring kesibukannya membantu
anak buahnya melayani pembeli yang jarang sepi di tokonya. Sebuah BlackBerry selalu menemaninya untuk
bisnis online yang ia jalani dua tahun belakangan.
“Kak, ini ada BBM dari pelanggan. Katanya kiriman sudah sampai, barang yang
datang juga sama persis dengan yang ia pesan.” Pegawai yang sekitar usia dua
puluh tiga tahun itu bicara pada Julia disambut Julia dengan senyuman itu
artinya pelanggannnya puas dengan pelayanan mereka. Ruko yang tidak lebih besar
dari lima kali lima meter itu berisi barang dengan mutu bagus dan tidak terlalu
memenuhi ruangan sehingga Julia bisa meletakkan sebuah meja dengan dua kursi
kecil di pojok bagian belakang ditambah sebuah kipas angin kecil. Sebuah laptop
ukuran 11 inch sedang terbuka di atas meja, sekali-kali Julia asik menyimak
layarnya untuk melihat perkembangan bisnis di dunia internet. Ia sendiri telah
mendaftarkan Julia Collection di sana.
Seema wanita yang sekaligus orang
kepercayaan Julia itu mendekati bosnya. “Kak, biasanya sebulan sekali sudah
harus belanja ke Jakarta tapi kali ini baru masuk minggu kedua toko ini sudah
harus kembali diisi, apa kali ini pesan saja dan minta dipaketin seperti bulan
kemarin?” ia bertanya karena isi toko sudah harus ditambah. Pikirnya apalagi
pesanam lewat online makin lancar.
Julia melirik Seema lalu berkata “Aku akan
ke Jakarta kalau pesan rasanya kurang puas untuk memilih.” Ia memastikan. “Oya
Seema….” Julia berhenti bicara seakan sedang memikirkan sesuatu sedang wanita
itu menunggu Julia meneruskan kata-katanya tapi Julia hanya menatapnya seolah
lupa tadi ingin bicara apa. “Mungkin aku akan ke Jakarta dalam dua hari ini,
selama aku pergi kedua toko yang ada di Palembang ini adalah tanggung jawab
kamu.” Katanya kemudian. Tanpa dijelaskan Seema sebenarnya sudah tahu tanggung
jawabnya termasuk mengirimkan pesanan yang
lewat internet.
“Oke, sip..” Seema tersenyum tanda setuju.
“Seema, baju kemeja dewasa ini harganya
berapa ya? Aku lupa?” rekan kerja Seema memperlihatkan sebuah kemeja lengan
panjang karena ia sedang ditunggu dua orang sepertinya pasangan kekasih yang
berminat dengan kemeja itu.
“Seratus lima puluh ribu, bisa kurang
kok.” Sahut Seema setelah melihat jenis kemeja yang diperlihatkan temannya dan
kalaupun bisa kurang tidak lebih dari sepuluh ribu rupiah karena barang yang
ada di toko Julia Collection sudah dikenal dengan mutunya jadi tidak ada yang
berani menawar rendah. Julia hanya mengamati mereka dari belakang mejanya lalu
kembali mengecek kiriman yang sudah terkirim di internet. Jasa pengiriman tak
jarang mengecewakan yang seharusnya sampai dalam waktu tiga hari malah dua
minggu baru sampai dan membuat si pengirim dan pemesan jadi sangat kecewa dan
anehnya tidak ada jaminan ganti rugi yang ada yang punya barang harus mengirim
ulang. Itulah dunia bisnis tidak selalu manis.
Setelah berkutat beberapa menit di dunia
internet Julia meraih BB-nya dan membukanya, tidak ada PIN BB sahabatnya yang
satu itu kecuali nomor ponsel yang sudah ia simpan lebih dari tujuh tahun.
Kembali ia menghela napas panjang karena teringat lagi dengan wanita satu itu.
Di bagian depan atas ruko ada tulisan
besar berbunyi ‘Julia Collection’ itulah satu-satunya usaha yang Julia jalani
sekarang yang bisa menghidupi dirinya sekaligus membayar empat orang
karyawannya yang kesemuanya ia anggap keluarga sendiri. Bukan itu saja, selain
itu ia masih bisa sedikit-sedikit membantu keluarganya. Julia tidak memiliki
rumah pribadi, ia tinggal di tempat kos hanya ada satu kamar. Meski ada
beberapa kakaknya menawarkan untuk tinggal di rumah mereka tapi Julia memilih
untuk tinggal sendiri dibanding tinggal di rumah kakaknya yang kaya, punya
pembantu dan segala macam. Julia tidak suka mendengar gosip, tidak suka ikut
arisan keluarga juga tidak suka pergi-pergi yang tidak jelas. Ia punya banyak
teman dari berbagai kalangan, tua ataupun muda, pegawai bahkan kaki lima tapi
kini ia hanya dekat dengan wanita yang satu itu, wanita yang selama beberapa
bulan ini mengganggu pikirannya. Wanita yang ia anggap lebih dari keluarga
sendiri, tidak ada lagi rahasia yang ia simpan dari wanita itu. Semua sudah ia
buka dengan sangat jelas, ibarat sebuah buku tidak ada satupun halaman yang
wanita itu lewati mengenai kisah hidup Julia. Tapi sekarang wanita itu sedang
apa? Bagaimana perasaannya Julia tidak tahu.
Tak jarang Julia meneteskan airmata
mengingat persahabatan mereka yang tidak biasa. Julia yang merasa takut
kehilangan lantaran sudah banyak kehilangan di dalam hidupnya harus terpisah
darinya, rasanya tidak ada yang lebih sakit dari tidak tahu kabar dari seorang
sahabat yang sangat disayangi.
Hujan mulai turun dan dalam hitungan detik
saja sudah sangat deras, orang-orang yang berniat belanja jadi kalang kabut
mencari tempat berteduh tak terkecuali di depan teras Julia Collection. Julia
merasa hatinya beku dan saat itu ia ingin menuliskan pesan.
**
AL. Sadei
Gedung Gramedia dipenuhi pengunjung karena
ada jumpa penulis novel remaja di sana yaitu, AL. Sadei. Seorang wanita usia
tidak lebih dari dua puluh tujuh tahun itu sedang dikerubuti oleh para
penggemar novelnya, agar novel yang mereka beli ditandatangi oleh penulis
kesayangan mereka. Setelah acara bedah buku sekalian peluncuran perdana novel
terbaru dengan judul ‘Rahasia Hati’ yang diterbitkan sebanyak 10.000 ekslempar
untuk seluruh Indonesia.
Tidak kurang dari dua jam acara itu
berlangsung, AL. Sadei hanya ditemani oleh pihak penerbit yang tadi memberikan
sedikit mukadimah tentang karya ke tujuh
yang ditulis AL. Sadei yang mereka terbitkan. Sebelumnya AL. Sadei telah
mengatakan kepada pengunjung kalau novel itu ia tulis dalam waktu dua bulan
saja. Bagi penulis senior itu mungkin bisa dibilang terlalu lama, tapi bagi AL.
Sadei menulis novel itu termasuk singkat karena ia bisa menulis novel dalam
waktu tiga bulan bahkan lebih, ada juga bisa selesai dalam satu bulan untuk
ukuran 150-200 halaman. Tapi novel AL. Sadei bisa sampai empat bahkan tujuh
kali cetak ulang, tidak jarang juga hanya satu kali cetak dalam satu judul.
Beberapa pengunjung mendapat hadiah novel
karena berhasil menjawab beberapa pertanyaan yang disediakan oleh panitia dari
toko dan mereka mendapat juga tanda tangan
dari AL. Sadei sekaligus foto bersama dengan sang penulisnya. Sebelum
bubar AL. Sadei bicara kepada pimpinan redaksi
penerbitnya seolah candaan saja.
“Mitha, dalam beberapa minggu ke depan aku
ingin istirahat dulu.”
Wanita yang bernama Mitha itu melirik AL.
Sadei dengan mimik lucu. “Kenapa, mau semedi cari ilham? Hehehe… kamu ini
ada-ada saja.”
“Ngapain cari ilham, ilham sih tidak usah
dicari kalau sudah datang ia akan datang sendiri seperti tamu tanpa diundang.
Ya sudah, aku mau pulang, kamu cepat sana… pacarmu sudah menunggu tuh.” Goda
AL. Sadei.
AL. Sadei telah menyelesaikan sesi acara
itu dan kini ia akan kembali ke tempat kosnya di kawasan Cinere. Dari lantai
tiga gedung Gramedia AL. Sadei sudah mengenakan kacamatanya lalu turun
melewati lantai yang menjual berbagai merek pakaian terkenal sebab toko Gramedia itu ada
di dalam sebuah mol besar. Beberapa wartawan online sudah menulis apa yang AL.
Sadei bicarakan di acara tadi, dalam hitungan menit artikel mereka akan muncul
di dunia maya khusus untuk para manusia yang mencari berita di dunia yang saat
ini sudah melaju dengan pesat, dulu beberapa orang memandangnya sebagai dunia
sesat.
Wanita dengan celana jins sekaligus kaus
lengan panjang itu sudah memasuki area parkir motor yang ada di lantai satu.
Sejenak ia mengecek ponselnya yang ada dikantong celana jinsnya tanpa
mengeluarkannya dari dalam kantong. Ia mengenakan jaket kulitnya dan terakhir
memasang helmnya tanpa bisa menutupi rambut panjangnya yang ia ikat seperti
ekor kuda.
Melewati petugas parkir ia masih terlihat
tenang dan merasa lega karena acara bedah bukunya berjalan dengan lancar.
Setelah melewati halaman gedung mol itu ia merasa ada sesuatu menyapanya, rasa
kangen pada seseorang. Motor matic yang membawa tubuh semampai itu terlihat
berjalan dengan stabil dengan kecepatan biasa namun rasa kangennya seperti meluncur pada kecepatan diatas seratus meter perjam. AL. Sadei menarik napas
beberapa kali, rasa benci dan kangen sepertinya sedang berperang hebat di dalam
dadanya. Tas ransel tipis menempel di punggungnya meski isinya hanya sebuah laptop
dan beberapa surat seakan tidak terasa berat. Sebuah motor besar tiba-tiba
lewat di depan AL. Sadei dengan kecepatan tinggi untuk buru-buru berbelok ke
sebuah gang yang ada di kiri motor AL. Sadei, dan saat itu lampu sign belakang
motor besar itu menyentuh ban depan motor AL. Sadei bersamaan dengan
bergetarnya ponsel di dalam kantong celananya karena ada SMS masuk. Motor matic
itu terlempar tanpa bisa dikendalikan oleh pemiliknya, sedang yang punya motor
besar itu sudah melesat meninggalkan korbannya tanpa ada satupun yang bisa
melihatnya dengan jelas. AL. Sadei dengan tubuh jatuh sedang kepalanya yang
terbungkus helm membentur pembatas jalan dengan sangat keras. Beberapa orang
berhenti melihat kecelakaan itu dan sebuah mobil pikap yang ada dibelakang kerumunan
orang menjadi sasaran untuk membawa AL. Sadei ke rumah sakit terdekat. Sebelum
diangkat ke atas pikap orang melepaskan dulu helm yang masih membungkus kepala
wanita malang itu, tidak ada darah atau luka yang terlihat tapi wanita itu sama
sekali tidak sadarkan diri. Dua orang pria mengangkat tubuh AL. Sadei ke atas
pikap dan sekaligus ikut mengantar ke rumah sakit.
**
Best
friend
Pihak rumah sakit tidak tahu harus
menghubungi siapa untuk menjaga pasien yang baru saja mereka rawat dan periksa.
Pasien itu mengalami gegar otak dan pergelangan kaki kirinya patah, sedang
kedua pria yang mengantarnya ke rumah sakit sudah pulang setelah mengatakan
kalau mereka hanya mengantar saja bukan dari pihak keluarga dari wanita itu.
Kejadian semacam itu memang kerapkali terjadi di jalan. Pasien yang masih tidak
sadarkan diri itu ditempatkan di ruang intensive. Seorang dokter melihat ada
ponsel yang ada di kantong jins sebelah kiri pasien, tanpa berpikir panjang
lagi ia mengeluarkannya karena yakin ada petunjuk di sana, meski mereka sudah
memeriksa isi tas pasien tapi mereka tidak menemukan petunjuk yang bisa
dihubungi dengan cepat. Jam di dinding putih ruangan di intensive menunjukkan
pukul 15.07 WIB.
Dokter itu sudah memegang ponsel, ia
mengamatinya sejenak lalu melirik suster yang
masih berdiri bingung di
sebelahnya.
“Pasti ada sesuatu di sini.” Ujar sang
dokter dengan nada pasti.
“Coba cek nomor kontaknya dok, cari nama
penting seperti ‘ayah, ibu atau kakak’ dari pasien.” Usul suster.
“Remaja sekarang jarang menulis
nama seperti itu.” Kata dokter itu sambil berusaha membuka ponsel itu dengan
hati-hati. Beruntung ponsel itu tidak memakai kata sandi. Dan pertama yang
terlihat adalah pesan masuk dari nama yang tertulis ‘Best friend’
‘AemeL……’
Dokter itu tiba-tiba tersenyum. “Pesan kok
hanya satu kata.” Lirihnya lalu ia menatap pasien yang masih tidak sadarkan
diri bahkan bisa dibilang koma. “Pesan ini dikirim oleh best friend-nya, aku
harus menghubunginya.” Dokter memencet nomor itu tanpa menunggu reaksi dari
susternya.
Julia sedang menatap layar BB-nya menyala yang memunculkan nama
AemeL, sudah lama sekali nama itu tidak nongol di LCD itu sehingga menimbulkan
rasa deg-degan yang tidak keruan di hatinya. Setelah membiarkannya beberapa
detik akhirnya Julia memutuskan untuk mengangkat dan rasa kagetnya bertambah
setelah mendengar suara seorang pria.
“Halo……….?”
“Ya. Halo..” jawab Julia meski ragu-ragu.
“Maaf, siapapun nama Anda saya tidak
peduli.. tapi ini sangat penting, saya baru saja membuka ponsel seorang wanita
ternyata ada SMS Anda yang masuk dan bertuliskan dengan nama best friend,
makanya saya menghubungi Anda. Kami, dan khususnya saya telah membongkar tas
pasien namun tidak satupun menemukan yang bisa dihubungi selain di dompet ada
SIM dan KTP atas nama Aemel Baes. Wanita itu sekarang sedang berada di rumah
sakit karena kecelakaan tabrak lari.”
“Apa?” suara Julia agak tercekat tidak
percaya sekaligus cemas.
“Ini tidak main-main, kami di rumah sakit
Harapan Indah menunggu kedatangan Anda secepatnya.” Tegasnya dengan pasti.
“Baik, saya akan segera ke sana.” Jawab
Julia dengan sangat cepat tanpa berpikir lagi apakah telepon itu sebuah
penipuan atau tidak.
Tadinya ia berpikir tidak tahu harus
bicara apa saat AemeL meneleponnya dan apa yang AemeL katakan, karena ia sudah rindu sekali dengan suara
itu.
Pihak rumah sakit mencatat nama pasien
sesuai nama yang mereka lihat di kartu identitas sekaligus menulis semua hasil
lab dan sebab musabab kenapa ia sampai ke rumah sakit.
~
Tepat pukul 20.47 WIB Julia tiba di rumah
sakit yang merawat AemeL Baes, setelah turun dari taksi ia langsung menuju
ruang informasi menanyakan apakah benar AemeL Baes berada di tempat itu. Dengan
tas punggung yang ditenteng, rambut semi bob, baju kaus serta celana jins dan
tanpa polesan make-up ia coba bertanya.
“Maaf Sus, saya ingin tanya… apakah ada
pasien yang bernama AemeL Baes dirawat di sini?” katanya pada wanita berseragam
perawat, disebelahnya ada dua orang lagi dan yang satunya seorang pria sedang
melihat-lihat daftar pasien. Perawat yang ditanya mengangkat wajahnya untuk
menatap Julia sedangkan seorang pria dengan pakaian dokter menatap Julia dengan
tatapan campur aduk.
“Saya cek dulu.” Sahut perawat itu
akhirnya dan langsung mengecek papan daftar pasien yang ada di sebelahnya.
“Anda best friend??!” kata dokter itu
sebelum suster menemukan nama yang ditanyakan sang tamu atau orang yang
bermaksud besuk sanak saudaranya.
Julia mengalihkan pandangannya kepada
orang tersebut dan sebelum pria itu terlalu jauh mengamati wajahnya Julia
mengajukan pertanyaan.
“Anda mengenali saya?” katanya dengan nada
rendah.
“Ikuti saya…” kata sang dokter. Suster
yang melihat mereka sepertinya sadar kalau mereka sudah saling komunikasi
sehingga ia membiarkan wanita itu mengikuti printah sang dokter.
Julia sudah berjalan bersisian dengan
dokter muda itu dengan rasa was-was yang luar biasa.
“Hampir enam jam... Mengapa Anda begitu
lama datang? Sahabat macam apa Anda ini?” sergah sang dokter dengan nada tidak
enak terdengar di telinga Julia. “Semacet-macet kota ini tidak mungkin menjebak
Anda selama itu di jalanan.” Nadanya masih sama.
“Bagaimana keadaan AemeL?” Julia ingin
segera tahu kondisi sahabatnya tanpa mempedulikan ocehan sang dokter dan ia
merasa tidak perlu menjelaskan apa yang telah ia lewati selama kurang lebih
enam jam ini.
Dokter itu menghentikan langkahnya diikuti
oleh Julia, kedua orang itu saling tatap beberapa saat di lorong panjang teras
rumah sakit.
“AemeL Baes masih tidak sadarkan diri
hingga detik ini.” Kata dokter itu dengan nada tenang namun tidak demikian
dengan Julia.
“Apa maksud Anda? Dia koma?”
Dokter tidak mengangguk juga tidak
menggeleng, ia diam sejenak karena baru kali ini ada orang menyebutnya ‘Anda’
bukan ‘dokter’ “Ayo…” ia kembali mengajak Julia jalan. “Anda bukan saja
kelihatan cemas tapi juga terlihat sangat lelah. “Aku tidak menyebut AemeL
koma, hanya saja belum sadarkan diri. Ia mengalami tabrak lari.” Lanjutnya.
“Tabrak lari?”
“Ya, memangnya aneh? Ada ratusan kasus
tabrak lari di ibukota ini setiap harinya.” Mereka sudah tiba di ruang rawat
intensive. “Ini, AemeL ada di dalam, tunggu, biar saya panggil suster keluar
dulu.” Dokter membuka pintu lalu mengisyaratkan agar suster jaga keluar. Saat
keluar suster melirik sekilas pada Julia dengan tatapan penuh tanya.
“Apa dia si best friend, itu?” ujarnya
membuat Julia bingung.
“Sepertinya ya, semoga saja ia benar-benar
best friend sehingga kita tidak harus menunggunya selama enam jam.” Sindir
dokter sengaja tertuju pada Julia.
“Maaf,.. “ Julia merasa mulai tidak sabar.
Ia langsung membuka pintu dan menerobos masuk untuk segera melihat kondisi
AemeL tanpa harus melayani dokter dan suster itu untuk berdebat. Namun di depan
pintu bagian dalam ia tertegun takkala melihat sosok seorang wanita yang
terbaring di tempat tidur pasien dengan kondisi memprihatinkan. Alat bantu
pernapasan terpasang di hidungnya. Julia menutup mulutnya dengan telapak
tangannya agar jeritannya tidak keluar saat itu pundaknya disentuh oleh sebuah
tangan dengan lembut seakan coba menguatkannya.
“Ia sudah menunggu kamu dari tadi, jika
saja ia bisa bicara maka ia akan marah sama kamu.. kamu boleh mendekatinya
dengan catatan tidak boleh berbuat macam-macam.” Sang dokter bicara karena
merasa sudah yakin dialah best friend itu.
Tas di bahu Julia sudah jatuh ke lantai
dan kakinya mendekati AemeL sedang dokter masih mengamati sosok itu, di matanya
sosok wanita itu terlihat sangat ideal.
“AemeL…..” lirih Julia memanggil nama
AemeL yang nyaris saja tidak bisa keluar dari mulutnya namun yang dipanggil tetap diam
membisu seolah ia sedang tidur dengan nyenyaknya tanpa menyadari kalau
sahabatnya yang datang dari luar kota telah berada disisinya. Julia semakin
dekat dan dengan gemetar tangannya coba menyentuh pipi AemeL. “Bangun AemeL…….”
Lagi-lagi suaranya terdengar lirih. Sang dokter masih tetap menyimak Julia
tanpa bergerak dari tempatnya semula berdiri. Lalu beberapa detik berikutnya
terdengar suara lembut dari mulut dokter yang sudah ada di sebelah Julia.
“Pergelangan kaki kirinya patah.”
“Apa..? Anda bilang kakinya patah?” Julia
menoleh pada dokter dengan kata diluar kendalinya.
“Pelankan suaramu.” Anjur dokter.
Julia merasa tidak kuat, ia berbalik dan
bermaksud meninggalkan ruangan itu namun buru-buru tangannya diraih oleh dokter. Tapi Julia malah marah
kepada pria itu. “Kenapa Anda menelepon saya kalau hanya bermaksud menyampaikan
berita seperti ini? Apa salah AemeL dan saya? Apa tidak ada orang lain yang
bisa Anda hubungi? Katakan….. apa Anda kira saya bisa menghadapi kenyataan
ini?” keluh Julia dengan mata berkaca-kaca.
“Ponsel AemeL mati, mungkin kehabisan
baterey setelah saya menelepon kamu. Apa kamu pikir hanya dia pasien di rumah
sakit ini perlu perhatian? Ribuan pasien di sini menunggu kesembuhan dan
kehadiran orang-orang terdekatnya. Jika kamu merasa dia benar-benar sahabatnya,
hubungi keluarganya dan temani dia di rumah sakit ini sebelum yang lain datang,
oke..?! saya masih banyak urusan.” Kali ini kata-kata dokter itu berubah jadi
kasar. Setelah berkata seperti ia keluar dan meninggalkan ruangan AemeL dan
Julia yang masih bingung, sedih dan tidak tahu harus bagaimana. Tidak ada yang
bisa ia lakukan selain kembali mendekati tempat AemeL dibaringkan.
Kali ini Julia benar-benar sudah menangis
dihadapan sosok AemeL yang masih tidak sadarkan diri. “AemeL…. Katakan apa yang
harus aku lakukan?” gumannya sambil memegang tangan AemeL dengan erat. “Sudah
beberapa bulan ini aku merindukan suaramu, bicaralah Ae…, aku tidak bisa
menghadapimu seperti ini, apakah ini hukuman untukku? Bangun Ae…. Aku kangen.”
Kini air mata Julia jatuh mengenai tangan AemeL namun sosok itu tetap tidak
bergeming.
Sejenak dokter itu masih menatap Julia
dari luar pintu sebelum benar-benar pergi meninggalkan kedua wanita yang tidak
ia kenal itu.
Julia tidak menghiraukan perutnya yang
mulai berteriak minta diisi, sepanjang perjalanan dari Palembang naik pesawat
pukul 17.27 WIB dan tiba di Bandara Soekarno-Hatta pukul 18.37 WIB. Perjalanan
dari Bandara sampai rumah sakit lebih kurang dua jam, dalam waktu nyaris enam
jam ia sama sekali belum menyentuh makanan. Kini dipikirannya ingin AemeL segera
siuman dan bicara padanya, harapan Julia memang terwujud AemeL sadar setelah
pukul sepuluh malam. Melihat kenyataan itu Julia tersenyum meski tak bisa
menyembunyikan rasa duka yang dalam melihat kondisi AemeL. Ia tidak peduli
kalau AemeL akan memarahinya, ia rela.
“Ae…..?” panggil Julia dengan nada penuh
rasa haru.
“Mmm.. kamu.” Suara AemeL masih
terbata-bata lalu dengan pelan ia melepas alat penutup hidungnya. “Kenapa saya
di sini? Kamu…. Kamu siapa……..?”
“Apa………?” Julia langsung shock karena AemeL tidak mengenalinya.
“Ya Tuhan……..”
AemeL tidak peduli dengan rasa kaget di
wajah Julia karena kepalanya masih terasa pusing dan ia kembali memejamkan
matanya beberapa kali. Julia hanya bisa menatap AemeL dengan pikiran tidak
menentu sekaligus sedih melebihi tadi.
~
“Benturan di kepalanya menyebabkan ia lupa
ingatan dan mengalami amnesia.” Jelas dokter yang merawat AemeL. Julia masih
terdiam di depan meja dokter tanpa bisa bicara apa-apa. “Sebaiknya kamu hubungi
keluarganya.”
“Kapan ia bisa keluar dari rumah sakit
ini?”
“Untuk saat ini belum bisa dipastikan.”
Sahut dokter .
“Saya akan kembali ke ruangannya.” Hanya
itu yang keluar dari mulut Julia. AemeL kembali tertidur, bukan pingsan lagi
karena pengaruh obat. Itu kata dokternya pada Julia. Mengetahui AemeL mengalami
amnesia Julia mematikan ponsel dan BB-nya. Ia memeriksa tas AemeL, sebuah
laptop entah masih berfungsi dengan baik atau ikut retak seperti isi otak AemeL
karena kecelakaan itu. Sebuah ponsel dalam kondisi mati dan dompet dengan isi
uang tidak lebih dari lima ratus ribu rupiah dan dua kartu ATM. Kedua kartu itu
Julia mengetahui PIN-nya dengan baik. Bukan itu saja, kata sandi Twitter dan Facebook AemeL juga ia tahu, karena dikasih tahu sama AemeL waktu
hubungan mereka masih baik, apakah AemeL menggantinya atau tidak Julia tidak
ingin mengetahuinya. Sekali lagi Julia menatap sahabatnya yang sekarang bukan
saja sakit dan patah tungkai kaki kiri tapi mengalami lupa ingatan. Julia
merasakan dadanya benar-benar sesak.
Seorang suster masuk untuk memberikan obat
diikuti seorang wanita yang bertugas menyediakan makan malam untuk pasien. Ia
tidak peduli apakah nanti makanan itu akan dimakan atau tidak yang penting ia
sudah menyediakan sesuai intruksi dari dokter yang merawat pasien.
“Selamat malam.” Sapa suster pada Julia
yang duduk di samping AemeL. “Saya akan memeriksa Pasien, Anda keluarganya?” ia
melirik ke Julia sejenak.
“Ya, silahkan.” Sahut Julia dingin.
“O, ya. Anda diminta menemui bagian administrasi.”
Kata suster sembari mengecek kondisi AemeL.
“Tentu saja, tapi… apakah suster mau di
sini sebentar saat saya keluar menemui bagian administrasi?” pinta Julia karena
tidak ingin meninggalkan AemeL sendirian di ruangan itu.
~
Di ruang administrasi Julia malah bertemu
dengan dokter yang tadi, apa dia tidak
punya kerjaan lain ya? Di ruang
informasi ada, di ruang administrasi juga ada atau jangan-jangan sebenarnya dia
itu bukan dokter. Pikir Julia mulai kesal.
“Selamat malam.” Sapa Julia karena melihat
ada petugas lain dalam ruangan itu.
“Ya, selamat malam.. silahkan masuk.”
Julia masuk tanpa mempedulikan pria yang
duduk di sebelah petugas, sepertinya ia sedang asik menyimak sesuatu. Bukannya
pria itu tidak tahu kalau Julia yang masuk tapi ia tidak mau ambil pusing
seolah sedang mengerjakan hal yang penting.
“Silahkan duduk.” Ucap petugas. Julia
menarik kursi dan duduk di depannya. Petugas langsung ke pokok permasalahan.
“Ini mengenai pasien yang bernama AemeL Baes, kamu adalah satu-satunya orang
yang terdekatnya saat ini, apa kamu keluarganya? Atau kami bisa menghubungi
keluarganya?”
“Em.. kalau maksud suster mengenal biaya
perawatan AemeL selama di sini, semuanya adalah tanggung jawab saya.” Sahut
Julia yang sudah bisa membayangkan berapa besar biaya yang harus ia keluarkan.
Karena tidak sekali dua kali ia berurusan dengan rumah sakit.
Mendengar itu, dokter yang di sebelah
sekilas menoleh seakan terhenyak tapi sebelum Julia menyadarinya ia sudah
kembali dengan kesibukannya meski berguman dalam hati. ‘Mungkin penyebab
sahabatnya itu kecelakaan adalah dia... makanya ia ingin bertanggung jawab.’
“Oke.” Pegawai rumah sakit itu
mengeluarkan kertas rincian biaya masuk AemeL . “Yang lainnya akan menyusul.”
Lanjutnya. Julia sangat mengerti mengenai rincian biaya nginap semalam, obat,
biaya dokter dan yang lainnya.
“Terima kasih.” Kata Julia setelah
mengecek kertas yang sudah ada ditangannya. “Apa saya harus membayar ini
sekarang?” nadanya tidak mengundang rasa sombong sama sekali melainkan ingin
serius bertanya.
“Nanti saja, saat pasien akan keluar dari
sini.” Jelas petugas administrasi itu dengan ramah.
“Oke.. kalau begitu saya permisi dulu.”
Kata Julia sambil memegang kertas print-out dari petugas administrasi lalu
berlalu meninggalkan ruangan. Sekali lagi Julia merasakan perutnya mulai
memanggil, sebelum kembali ke ruangan AemeL, Julia berbelok ke kantin untuk
membelikan sesuatu. Di sana ia membeli beberapa buah, roti dan air mineral.
Saat kembali menuju ruangan perawatan
AemeL sosok dokter itu melintas di pikiran Julia tanpa bisa ia kendalikan
membuatnya kesal.
Ada yang harus ia katakan pada dokter muda
itu, sebab jika AemeL sudah kembali ke rumah pasti ada rutinitas untuk kontrol
dan kembali ke rumah sakit. Julia membuat perjanjian lisan pada sang dokter.
**
Ruang
Hati yang Kosong
Tempat yang didapat Julia berada di lantai
tiga karena itu satu-satunya apartemen yang kosong. Dari taksi AemeL dibantu
oleh sopir untuk duduk di kursi rodanya. Setelah itu tugas Julia mendorong
kursi roda lalu masuk ke dalam lift, taklama kemudian tibalah mereka di lantai
tiga pintu nomor tujuh. Sejenak AemeL mengamati ruangan sederhana itu. Sebuah
ruang tamu yang bisa dibilang menyatu dengan dapur kecil.
“Kamarnya cuma satu.” Ujar Julia
memberitahu. AemeL mengambil tongkat lipatnya yang dijepit pada kursi roda dan
bermaksud berdiri. “Tunggu.” Julia langsung menahannya. “Biar aku bantu.”
“Tidak apa-apa, aku bisa.” Hela AemeL
sambil berusaha berdiri dengan menurunkan kaki kanannya terlebih dahulu. Julia
mengamatinya sejenak, susah payah AemeL untuk keluar dari kursi roda tapi tidak
berhasil juga. “Sial” ia menggerutu dan Julia langsung memegang tubuhnya lalu
mengangkatnya pelan.
Julia dan AemeL sudah menempati sebuah
apartemen sederhana, meski kaki AemeL belum bisa dikatakan sembuh tapi
kepalanya sudah tidak sakit walau demikian tidak ada yang tahu kapan
amnesianya bisa hilang. AemeL
menggunakan kursi roda untuk sementara, itu kata dokter. Barang-barang yang ada
di tempat kos AemeL bisa dikatakan tidak ada yang dibawa ke apartemen oleh
Julia. Sehingga tidak ada tanda-tanda kalau AemeL adalah seorang penulis.
Motornya yang rusak masih di kantor polisi, Julia merasa belum waktunya untuk mengurus
urusan motor, selanjutnya tas punggung AemeL beserta isinya disimpan oleh Julia
dalam rak dan dikunci.
“Hati-hati.” Ujar Julia. AemeL sudah
berhasil berdiri tanpa berani meletakkan kaki kirinya pada lantai. Tongkat itu
menjadi pengganti kaki kirinya. “Langsung istirahat di kamar saja ya.” Tambah
Julia tanpa bermaksud menganggap AemeL seorang anak kecil yang harus dikasih
tahu.
“Terima kasih, Jul.” kata AemeL setelah ia
duduk di atas tempat tidur. Julia menatap gadis itu, baru kali ini ia menyebut
nama Julia meski hanya sepotong. Waktu di rumah sakit ia hanya memanggil dengan
sebutan ‘Mbak’
“Em, ya. Sama-sama.” Sahut Julia tidak
ingin memperlihatkan reaksi yang berarti.
“Kenapa saya harus tinggal di apartemen
ini? Dan kamu… apa benar kamu adalah orang yang dikirim pak dokter untuk
merawat saya? Memangnya saya tidak punya keluarga? Dan… mengenai semua biaya
perawatan saya dibiayai oleh seseorang yang tidak ingin disebutkan namanya?
Apakah pak dokter itu yang melakukan semuanya? Tapi untuk apa ia melakukannya?
Apa mungkin yang menabrak saya itu masih ada hubungannya dengan pak dokter itu?
Kalau semua identitas saya hilang mengapa kamu dan dokter itu tahu nama saya?”
Mendengar pertanyaan yang menumpuk itu
membuat Julia menarik napas dalam-dalam. “Saya sudah menjelaskan semuanya yang
saya tahu dan saya tidak tahu banyak mengenai hal itu. Sudahlah, tidak usah
berpikiran macam-macam, sejam lagi kamu harus minum obatmu kembali.”
“Jul…?” panggil AemeL saat Julia ingin
melangkah keluar dari kamar. Julia menoleh.
“Apa?”
“Aku…” AemeL ingin melontarkan lagi
beberapa pertanyaan tapi langsung distop oleh Julia.
“Sudahlah, istiharat saja. Saya harus
mandi dulu.” Potong Julia. AemeL hanya
bisa menggangguk meski masih begitu banyak yang ingin ia tanyakan pada Julia.
Di kamar mandi Julia menarik napas
dalam-dalam, kini ia baru menyadari kalau punya bisnis di Palembang tapi hati
kecilnya mengatakan, lupakan sejenak tentang hal itu karena kesembuhan AemeL
lebih utama. ‘AemeL, maafkan aku karena tidak memberitahukan siapa aku yang
sebernarnya, Tuhan.. ampuni segala salah dan dosa hambaMu ini.’ Guman Julia
dengan segala kekuatan dan titik lemahnya.
Beberapa saat kemudian Julia keluar dari
kamar mandi, ia ke dapur untuk mengambil sesuatu yang telah ia siapkan sehari
sebelum mengajak AemeL ke apartemen. Persediaan makanan di dalam lemari
pendingin yang harus ia hangatkan untuk AemeL.
Berikutnya ia ke kamar dengan bubur hangat
dan ternyata AemeL tidak tidur, ie setia menunggu Julia selesai menyelesaikan
mandinya.
“Kamu kok lama sekali.” Ujarnya saat
melihat Julia muncul seolah tidak ingin ditinggal lama-lama.
“Sudah lama tidak bisa mandi dengan
leluasa, makan yaaaa, abis itu minum obatmu.”
“Apa kamu juga sudah makan?” tanya AemeL.
“Gampanglah ya, yang penting kamu makan
dulu karena harus minum obat.” Ia duduk di bibir ranjang dan saat itu AemeL
bermaksud untuk duduk dan bersandar tapi saat ia menarik kakinya tiba-tiba
tersangkut dengan ujung selimut menyebabkan pergelangan kakinya terasa ketarik
membuat AemeL meringis.
“Auw…”
“Ae, kamu tidak apa-apa? Hati-hati.” Julia
tidak bisa menyembunyikan
kekhawatirannya.
AemeL menggeleng tapi dalam hati ia
berusaha keras menahan rasa sakit yang luar biasa itu. ‘Ya Tuhan, mengapa
kakiku harus patah?’ sesaat mata AemeL terpejam seakan rasa sakit itu sedang
menusuk ulu hatinya. Julia menyimak gadis itu dengan seksama dan ia bisa
membaca kalau AemeL sedang menahan rasa sakit, itu membuatnya merasa tidak tahan.
“Ae…” ia memegang bahu AemeL. “Kamu tidak
apa-apa?” ulangnya lagi dengan pelan. AemeL coba untuk tersenyum meski sangat
berat.
“Sini.” Ia meraih mangkuk makanan dari
tangan Julia. “Biar aku makan sendiri.”
“Yakin?”
“Ya.”
Julia membiarkan AemeL menikmati
makanannya sedang ia keluar dari kamar menuju ruang depan yang sekaligus
menjadi tempat serba guna. Peralatan dapur secara umum memang sudah disediakan
oleh pihak penyewa apartemen, hanya kompor satu tungku, wajan, penggorengan dan
ceret kecil untuk sekedar menyeduh air guna membuat teh atau kopi, tak
ketinggalan sebuah mesin cuci ukuran kecil serta lemari pendingin. Sepertinya
itu lebih dari lengkap.
AemeL di kamar sedang menyimak bubur
hangat dalam mangkuk, selera makannya sama besar dengan rasa sakit yang sedang
ia alami. Beberapa saat saja ia sudah menyelesaikan makanannya kemudian
meletakkan mangkuk di atas meja kecil di pinggir tempat tidur, ia melirik
bungkusan obat dan segelas air putih dan belum berminat untuk meraihnya.
Matanya menyimak ruangan tempat tidur yang mungkin tidak lebih besar dari empat
kali empat meter persegi. Di bagian ujung dipan ada sebuah lemari pakaian
berukuran sedang lalu di sampingnya ada kaca besar menempel di dinding, sebuah
jam dinding kecil menunjukkan waktu pukul 19.21 WIB. Sebuah lampu bohlam
menerangi ruangan itu dengan sinarnya yang lembut. Tidak ada televisi begitupun
di ruang depan, AemeL tidak melihat
adanya layar kaca. Tempat itu benar-benar asing di mata AemeL, tidak ada
satupun benda di ruangan itu yang pernah ia lihat sebelumnya. AemeL membenci
kondisinya yang mengalami lupa ingatan.
AemeL tidak menyadari kalau Julia sudah
berdiri di pintu beberapa saat dan mengamatinya dari tadi, saat sadar ia jadi
tersenyum dibalas Julia dengan senyum tipis.
“Tidak ada yang bisa aku lakukan di sini.”
Helanya seolah menganggap tempat itu tidak ubahnya seperti rumah sakit.
“Ini memang tempat untuk kamu istirahat,
minum obatnya ya sebentar lagi aku akan ke lantai dua untuk membeli sesuatu di
bazaar.” Julia mengambil obat dan membukanya agar segera diminum oleh AemeL.
AemeL mengamati Julia dengan penuh kecurigaan.
“Kamu mau belanja di bazaar? Siapa lagi
yang memberi uang untuk membiayai hidupku? Jul…. kamu bukan perawat yang khusus
untuk menemani aku, kan? Dan tempat ini, sebenarnya punya siapa? Andai ada yang
menyewanya, siapa yang membayar sewanya? Aku tidak mau makan lagi dari uang
yang tidak aku tahu dari mana asalnya.” Kali ini nada AemeL terdengar
mengancam.
“Minumlah obat ini, kalau kamu sembuh
semuanya akan terjawab. Aku mohon jangan lagi menyinggung masalah itu, yang
harus kamu pikirkan sekarang adalah harus segera sembuh, tidak ada yang lain.”
Hela Julia. Kali ini AemeL meraih obat dari tangan Julia dengan kasar lalu berkata.
“Aku memang lupa ingatan Jul, tapi aku
masih punya hati. Boleh saja aku tidak tahu siapa kamu, siapa pak dokter itu
dan siapa yang telah mengeluarkan semua uang untukku? Sekarang aku mau bertanya
sama kamu. Apa kamu kenal aku sebelumnya?”
Julia terdiam, kali ini ia
benar-benar tidak bisa langsung menjawab.
‘Kamu tahu Julia, saat
ini kamu telah menjadi sosok asing bagiku. Untuk mengenali kamu seperti dulu
aku merasa butuh waktu.’
Isi pesan beberapa bulan lalu dari AemeL
terngiang kembali di otak Julia dan akhirnya ia pun menggeleng dengan pasti.
“Aku harus turun untuk belanja, pastikan
obat itu kamu minum sebelum aku kembali.” Kata Julia akhirnya. Ia berbalik
tanpa menunggu reaksi lagi dari AemeL. AemeL kini yang terdiam, ia menyadari
tidak mungkin berasal dari keluarga kaya raya sehingga mampu membayar orang
untuk merawatnya atau yang menabraknya berasal dari keluarga punya pengaruh
dalam negeri ini sehingga rela melakukan apa saja agar ia tidak menuntut.
Terpikir oleh nya untuk bertanya kepada pak dokter siapa dirinya dan siapa
Julia, pasti akan ia tanyakan kalau bertemu nanti saat kontrol ke rumah sakit
untuk melihat perkembangan kakinya. Sekali lagi AemeL memejamkan matanya, rasa
sakit di kakinya kembali terasa membuatnya meraih gelas air putih lalu
menenggak obatnya. Saat menyadari Julia pergi AemeL merasa sangat kesepian,
bukan itu saja. Kini ia merasa takut sendirian.
Di bazaar, Julia membeli semua hal yang
disukai oleh AemeL, dari kopi kegemarannya, makanan kecil dan buah advocat
kesukaannya. Tidak lebih dari tiga puluh menit Julia sudah kembali dari lantai
dua, tapi Aemel telah tertidur dengan nyenyak karena pengaruh obat penenang dan
penahan rasa sakit. Julia membereskan hasil belanjaannya dan tak lama kemudian
seseorang mengetuk pintu depan. Julia melirik jam ditangannya. Pukul setengah
sembilan malam, ia beranjak ke pintu setelah pintu terbuka pria itu sudah
berdiri dengan gaya berbeda saat ada di rumah sakit.
“Bagaimana kabarmu?”
“Tidak lebih baik dari rumah sakit.” Sahut
Julia berusaha jujur. Pria itu melihat bias kelelahan dari wajah Julia yang
tidak bisa gadis itu sembunyikan.
“Maaf, aku akan sedikit mengambil waktu
istirahatmu.”
“Masuklah.” Ujar Julia.
Pria itu mengamati suasana ruangan. “Kamu
suka tempat ini? Di mana AemeL?”
“Dia sedang tidur.” Mereka sudah duduk di
ruangan sederhana dengan dua sofa yang saling bersisian.
“Apa kalian bertengkar?”
“Sedikit, tapi jangan khawatir aku bisa
menanganinya.” Tekan Julia tidak ingin membuat pria itu bingung.
“Kamu harus menjaga kesehatanmu, AemeL
akan sangat sedih kalau kamu juga jatuh sakit. Aku membawakan beberapa
vitamin.” Kata pria itu sembari mengeluarkan beberapa vitamin yang harus
dikonsumsi oleh Julia. Kemudian sebuah
ponsel. “Ini, untuk kamu. Hanya ada nomorku di dalamnya, kamu bisa menghubungi
aku kapan saja, jangan pernah sungkan.”
“Ya, terima kasih untuk semuanya. Tanpa
bantuan Anda… saya tidak tahu apa yang terjadi dengan aku dan AemeL.”
“Best
friend.” Pria itu tersenyum membuat
Julia ikut tersenyum simpul. “Minggu depan ia harus ke rumah sakit, untuk
kontrol lagi kepala dan kakinya.”
Julia mengangguk tanda setuju.
~
Setiap hari Julia menemani AemeL bahkan
setiap mata AemeL terbuka, sore itu mereka duduk di bangku yang ada di Balkon menikmati suasan sore yang
tidak bisa dibilang cerah. AemeL duduk di kursi rodanya tanpa menoleh pada
Julia dan berkata.
“Kenapa tidak ada televisi di apartemen
ini?”
“Untuk apa? Acara sekarang jarang ada yang
bermutu, yang ada tentang para elit politik yang berdebat tidak jelas seperti
anak kecil, para istri-istri koruptor yang digiring ke gedung KPK untuk menjadi
saksi dengan senyum tidak tahu malu dengan menenteng tas-tas yang bermerek
serta gadget mahal. Kalaupun ada berita artis paling-paling tentang sensasi
mereka, sinetron-sinetron yang isinya anak sekolah dengan lokasi sekolah tapi
selalu bicara pacar.” Kata Julia dengan nada sangat pelan membuat AemeL
meliriknya sejenak. Sesaat ia takjub dengan penuturan Julia. Tapi pada intinya
Julia tidak mau AemeL melihat seandainya ada orang atau penggemar AemeL yang
tiba-tiba muncul di televisi menanyakan keberadaan AemeL yang menghilang karena
kecelakaan. Kalau di Jejaring Sosial seperti di Twitter dan teman-teman Facebook
sedang bertanya-tanya kemana AemeL karena mereka ingin mengomentari tentang
novel baru yang AemeL rilis pada hari naas itu. Tapi AemeL tidak akan tahu
kalau sudah banyak sekali komentar yang masuk tanpa AemeL buka satupun akunnya.
Kalau ada yang bertanya ke pihak penerbit maka si Metha hanya menjawab kalau
AemeL sedang istiharat atau berlibur beberapa minggu seperti yang AemeL
jelaskan waktu itu. Jadi tidak ada yang bertanya lagi.
“Apa kamu tidak bosan menemani aku?”
“Tidak pernah.” Julia menatap AemeL
sejenak.
“Tapi aku tidak ingin merepotkanmu, kamu
pasti punya kehidupan sendiri di luar sana yang harus kamu jalani tanpa harus
terbelenggu di sini dengan seorang wanita amnesia, mungkin akan lebih baik
andai saja aku langsung mati di jalanan waktu itu.”
“Ae! Kamu tidak perlu bicara seperti itu.”
Sergah Julia marah membuat AemeL menoleh pada wajah Julia tapi Julia malah
melanjutkan kata-katanya. “Apa kamu tahu terkadang apa yang aku pikirkan? Aku bahkan suka
berkhayal menjadi orang yang lupa ingatan, lupa segala-galanya tentang masa
lalu, tentang semua kesalahan dan tentang rasa sakit lalu hidup dengan pikiran
yang berawal lagi dari nol tanpa mengenali siapa-siapa di dunia ini, lalu
melakukan banyak hal yang positif. Mendapatkan teman baru dan semua serba
baru.”
Mendengar itu membuat AemeL terkekeh
lembut. “Apa yang kamu katakan Jul? tidak ada orang di dunia ini ingin
masalalunya hilang begitu saja apalagi saat-saat indah. Kamu tahu apa yang
paling susah digapai di dunia ini? Yaitu masa lalu yang tidak akan mungkin lagi
kita raih, sehebat apapun kita.” AemeL sedang berpikir keras untuk mengingat
semua masa lalunya, berkali-kali ia menarik napas dalam-dalam tapi ia malah
merasakan kepalanya sakit luar biasa. AemeL lalu beranjak dari kursi rodanya
untuk belajar jalan namun kakinya kesandung dengan kusri rodanya sehingga
terjerembab membuat Julia berteriak.
“AemeL..!!!” Julia langsung turun dari
kursinya untuk memegang AemeL tapi gadis itu sudah pingsan. Lagi-lagi Julia panik
tanpa berpikir panjang lagi ia menghubungi nomor yang ada di ponsel barunya.
Tidak sampai dua puluh menit AemeL sudah
ada di ruang perawatan sudah tenang dengan obat yang diberikan oleh dokter.
Pria itu sedang menatap Julia dan bertanya.
“Bagaimana dia bisa jatuh? Kakinya menjadi
agak terhambat untuk sembuh akibat jatuh itu.”
“Kami sedang ngobrol setelah itu ia
tiba-tiba beranjak dari kursi untuk berdiri saat itulah kakinya kesandung
dengan injakan kursi roda. Aku.. aku mohon Anda periksa lagi kepalanya, tolong…
aku tidak mau gara-gara benturan kecelakaan itu menyebabkan ada benjolan di
dalam yang memungkinkan menimbulkan gejala kanker otak.”
Pria itu tersenyum tipis ia tidak mengira
jalan pikiran Julia bisa sejauh itu meski ia tidak memungkiri akan adanya hal
semacam itu akan timbul. “Kamu tenang saja, tidak ada gejala seperti itu…
akibat pingsan itu juga karena ia terlalu keras mengajak otaknya berpikir
tentang masalalunya, ia hanya shock.
Besok juga ia bisa pulang lagi kok. Apa kamu kelelahan menghadapi AemeL?”
“Tidak.” Sahut Julia dengan sangat cepat
membuat pria itu kembali tersenyum.
“Oke, kalau begitu aku tinggal dulu.”
Julia pun berbalik tak ingin memandang
punggung pria itu, ia kembali ke ruangan AemeL tapi sampai di sana ia mendapati
suhu badan AemeL panas dan sekali lagi ia panik dan langsung memencet tombol
merah untuk memanggil suster jaga, detik berikutnya kembali ia menekan nomor
yang ada di ponselnya.
Hanya suster yang datang dan langsung
memeriksa suhu badan AemeL. Julia mengamatinya dengan masih was-was yang
tinggi. Menit berikutnya suster bicara pada Julia.
“Dia tidak apa-apa, hanya saja karena
pengaruh obat tadi… kamu tidak usah terlalu panik, ia sedang tidur kok.” Jelas suster dengan tenang.
“Ya, Sus.” Sahut Julia namun tetap saja ia
panik.
“Saya permisi dulu.. kalau ada apa-apa
panggil saja saya.” Kata suster lagi dan Julia mengangguk meski ia agak kecewa
pada dokter yang satu itu tidak datang bahkan tidak mengangkat teleponnya. Julia
duduk di sisi AemeL dan memegang tangan AemeL.
“Ae, mengapa bisa seperti ini? Kamu
seharusnya sudah mendingan, seharusnya kamu lebih berhati-hati. Aku tidak bisa
melihatmu terus-terusan seperti ini.” Suara Julia tertahan, tapi ia tidak tahu
kalau seorang dokter sedang mengamatinya dari luar pintu melalui kaca kecil
yang ada dibagian atas pintu. Setelah beberapa detik ia berdiri di tempat itu
lalu kembali ke ruang kerjanya untuk melanjutkan tugas yang belum selesai ia
kerjakan. Seorang dokter wanita menyimak sikap pria itu akhir-akhirnya ini agak
berubah pendiam, meski penasaran ia tidak berani bertanya lebih jauh pada
dokter yang dikenal plamboyan dengan kekayaan kedua orang tuanya itu. Bukan
satu dua dokter wanita menaruh perhatian padanya tapi pria itu tak pernah
memberi harapan, ia ramah dalam urusan pekerjaan dan punya tanggung jawab yang
tinggi namun dingin dalam hal menghadapi wanita yang tidak begitu ia sukai.
Tak lama berselang seorang suster masuk
memberitahukan pada Julia kalau AemeL belum
bisa pulang besok.
“Dokter Wowor mengatakan kalau pasien yang
bernama AemeL belum bisa pulang besok karena kakinya belum bisa digerakan,
tulangnya bergeser lagi.”
“Oh, dokter Wowor? Maksudnya dokter
ortopedi?”
“Bukan, dokter Wowor mendapat laporan dari
dokter bagian tulang. Dokter Wowor itu yang menangani pasien ini, ia dokter
ahli penyakit dalam dan bagian kanker juga.” Jelas suster membuat Julia
terdiam.
‘Wowor…’ gumannya dalam hati seolah baru
menyadari kalau pria itu bernama Wowor karena selama ini tak pernah ada nama di
baju dokternya. Julia kembali menatap AemeL yang ternyata belum bisa dibawa
pulang besok. Setelah kepergian suster itu Julia duduk lagi, ia mengamati sosok
AemeL yang tidak tahu dimana ia berada bahkan tidak tahu siapa dirinya. Julia
menghela napas panjang lalu mengambil ponsel yang diberikan oleh Wowor.
Diamatinya beberapa saat ponsel yang tidak bisa dibilang murahan itu meski
hanya ada satu nomor kontak dengan nama ‘Aku’. Ponsel Julia sendiri sudah ia
matikan sejak ia mengurus AemeL, detik berikutnya ia pun mematikan ponsel itu
dan meletakkanya di bawah bantal AemeL.
“Ae, kamu harus segera sembuh ya.. aku
akan merawatmu sampai kapanpun.” Ia mengusap kening AemeL dengan lembut. “Aku
tidak menyukai kota ini Ae, kalau kamu sembuh dan bisa ingat kembali aku baru
bisa kembali ke Palembang. Aku tidak mau semua orang terlalu lama kehilangan
kamu, meski aku senang berada di dekatmu tapi sungguh ini saat yang amat sangat
menyedihkan karena kondisimu. Aku ingin kita jalan-jalan lagi seperti
tahun-tahun kemarin, aku kangen kamu yang dulu, Ae.” Tanpa disadari mata Julia
telah meneteskan air mata. Gadis yang jarang sekali menangis itu akhirnya luluh
juga melihat kondisi AemeL, itu kedua kalinya ia menangis setelah AemeL mengalami
kecelakaan.
Ponsel sudah dimatikan, tapi dokter Wowor
tetap tidak muncul-muncul juga. Julia merasa bersyukur karena ia pikir tidak
ada gunanya juga memegang nomor pria itu. Sebagai seorang dokter ia mungkin
sangat sibuk dan Julia tidak ingin mengganggunya meski ia menangani AemeL. Di
sisi tempat tidur AemeL itulah Julia akhirnya tertidur karena kelelahan.
Beberapa menit berikutnya AemeL terjaga dan melihat Julia masih tertidur dengan
beralaskan satu tangan. AemeL coba menggapai kepalanya dengan usapan lembut.
“Jul…. bangun….” Kata AemeL sembari
berusaha mengangkat kepalanya dengan menyeret kedua kakinya ke arah depan agar
ia bisa duduk dan bersandar di bantal. Julia membuka matanya dan mengangkat
kepalanya lalu menemukan AemeL sudah dalam posisi setengah duduk.
“Ae, kamu sudah baikan? Tadi kamu pingsan
makanya aku bawa lagi ke sini.” Ujar Julia. AemeL pun mengamati suasana ruangan dan ia menyadari
kalau sedang berada di kamar rumah sakit dan ia langsung ingat kejadian jatuh
dari kursi roda.
“Em… aku minta maaf karena lagi-lagi
merepotkanmu.” Ujar AemeL dengan penuh penyesalan karena
kekuranghati-hatiannya.
“Tidak apa-apa.. sekarang jangan banyak
pikiran dulu ya.”
AemeL malah tersenyum simpul seakan
melupakan rasa sakit di kakinya. “Orang lupa ingatan mana bisa banyak pikiran,
kamu ini ada-ada saja.” Sergahnya setengah bercanda.
“Terserahlah, pokoknya jangan berpikiran
macam-macam dulu, bagaimana dengan kakimu?” kedua gadis itu menatap ke arah
kaki AemeL bersamaan. AemeL coba menggerakkan kakinya dengan cara dimiringkan
kiri dan ke kanan.
“Tidak apa-apa, hanya sakit sedikit saja.”
Sahutnya meski tak bisa menyembunyikan kerutan di dahinya menahan rasa sakit.
Julia tahu kalau yang namanya patah itu lebih sakit dari luka yang menganga.
“Mungkin kita akan ada di rumah sakit
paling sedikitnya dua hari untuk terapi kakimu biar benar-benar bisa pulang ke
apartemen.” Kata Julia memastikan. AemeL tak membantah karena ia sudah pasrah
Julia mau membuat dirinya seperti apa pun ia tidak akan menolak meski secara
naluri ia masih ingin tahu siapa Julia itu sebenarnya yang rela tidak tidur dan
melakukan apa saja untuknya, jika benar ia orang yang dibayar rasanya jarang
menemukan orang yang tulus seperti itu.
Dokter Wowor masuk setelah mengetuk pintu
terlebih dahulu, Julia dan AemeL menoleh secara bersamaan, pria itu yang
menegur terlebih dahulu.
“Hei AemeL, kamu sudah bangun?” sapanya
dengan ramah sama pada pasien-pasien yang lainnya, sebelum AemeL menjawab pria
itu melirik ke Julia sekilas ia penasaraan mengapa ponsel gadis itu tidak bisa
dihubungi.
“Sudah Dok, em.. kapan saya bisa keluar
dari tempat ini?” tanya AemeL. Jujur ia merasa serba salah, di apartemen ia
bisa membuat Julia istirahat tapi kalau ia buru-buru pulang kakinya akan lama
sembuh.
Dokter Wowor sudah berdiri di sebelah
AemeL. “Keputusannya ada pada dokter tulang.” Ia coba meraba tumit AemeL yang
sudah diperbaiki balutannya dengan lebih kencang. AemeL diam saja padahal saat
dokter mengangkat sedikit kakinya terasa ngilu sekali. Julia hanya menyimak apa
yang dilakukan oleh pria itu sedang pria itu sekali-kali menoleh pada Julia dan
itu tidak luput dari pengamatan AemeL sehingga menimbulkan pertanyaan di
hatinya mengenai hubungan kedua insan itu. “Kepalamu gimana? Tidak ada rasa
sakit, kan? Kalau ada tolong jangan disembunyikan, ada seseorang yang begitu
mengkhawatirkan kondisi kepalamu.” Ujar pria itu dengan nada pemberitahuan dan
membuat Julia mengalihkan pandangannya ke arah lain dan saat itu Wowor pun
menatap ke Julia.
“Mm.. Jul…?” sergah AemeL setengah
memanggil. Julia menoleh. “Boleh aku bicara sebentar dengan pak dokter?”
pintanya.
“Tentu saja.” Sahut Julia setelah diam
sejenak. “Aku ke kantin sebentar ya, saya titip AemeL pada Anda sebentar.”
Julia pun beranjak setelah pria itu menggangguk. Ia berjalan keluar ruangan
tanpa menoleh sekilas, ia percaya apa pun yang ditanyakan AemeL pada pria itu
Julia tidak ragu karena ia sudah memberikan janji dan ia yakin pria itu akan
memegang janjinya. Julia benar-benar ke kantin dan membelikan sesuatu yang
dibutuhkan dalam ruangan saat menunggu AemeL.
“Pak dokter,…” kata AemeL setelah pria itu
duduk di kursi yang tadi ditempati oleh Julia. “Apakah Julia itu pacar atau
istri pak dokter?” tanya AemeL sangat ingin tahu.
Pria itu menggeleng. “Tidak, saya belum
punya istri dan juga tidak punya pacar.” Sahut pria itu setengah bercanda
membuat AemeL tertawa karena tidak percaya kalau pria sesempurna dia tidak
punya pacar. “Kenapa kamu bertanya seperti itu? Apakah ia kasar dalam
merawatmu?”
“Saya tidak suka sama dia, saya ingin
perawat yang lain, emm… sebelumnya maaf, bukannya saya tidak tahu diri..
sebenarnya saya ini tidak tahu siapa-siapa dan tidak kenal dengan siapapun,
mungkin saya ini anak yatim piatu yang ditabrak oleh orang kaya dan coba
memberikan sesuatu perawatan terbaik tapi sekali lagi apapun yang terjadi
dengan saya, saya tidak suka dengan gadis yang bernama Julia itu.” Kata AemeL
yang sebenarnya memancing dokter itu untuk mengatakan siapa Julia itu
sebenarmya.
“Tapi dia ingin sekali merawat kamu.”
“Siapa sebenarnya dia? Dan mengapa ia
ingin sekali merawat aku?”
“Jika ingatan kamu kembali maka kamu akan
tahu semuanya.”
“Itu jawaban yang sama diberikan oleh Julia
saat aku tanya siapa dia sebenarnya.” Rungut AemeL tidak puas. “Tapi satu yang
aku tangkap dari sikap dokter dengan Julia, pak dokter mencintai dia, kan?”
tebak AemeL membuat pria itu terperangah. Benarkah apa yang dikatakan AemeL
barusan? Apakah AemeL sudah melihat bias-bias aneh itu? AemeL mengamati pria
itu karena merasa tebakkannya mengenai sasaran. “Jika saya tahu kalau pak
dokter dan Julia ternyata adalah suami istri maka saya tidak akan memaafkan
kalian.”
“AemeL, mengapa kamu berpikiran seperti
itu..? sekarang kamu harus fokur dengan kakimu agar cepat sembuh, oke?” pria
itu melirik jam tangannya, sudah lebih dari sepuluh menit Julia pergi. Terpikir
olehnya untuk menelepon tapi dari tadi ponsel yang ia beri tidak aktif.
“Kalau dokter mau pergi tidak apa-apa,
sebentar lagi Julia juga pasti kembali.” AemeL tahu kegelisahan di wajah pria
itu.
“Tidak AemeL, aku tidak bisa pergi sebelum
Julia kembali.” Kata dokter seakan punya tanggung jawab yang besar dan
setidaknya ia tidak ingin mengecewakan Julia kalau sampai meninggalkan AemeL
sendirian. Detik berikutnya Julia benar-benar muncul dengan menenteng belanjaan
dalam kantong kresek. “Oke, sampai ketemu lagi.” Kata pria itu setelah melihat
Julia datang.
“Terima kasih.” Sahut AemeL sembari
mengangguk.
“Terima kasih ya, sudah jaga AemeL.” Kata
Julia sebelum pria itu menghilang dari pintu.
Wowor menatap Julia sejenak setelah Julia
tidak lagi menghiraukannya, pengakuan AemeL mengatakan tidak menyukai Julia
membuat pria itu tidak rela Julia merawat AemeL. Jika saja bukan karena janji
itu sudah ia larang keras Julia merawatnya.
AemeL tidak bicara apapun saat Julia
kembali dan mengeluarkan isi kantong belanjaannya. Julia menoleh sekilas pada
gadis itu.
“Akan aku buatkan kopi, semoga kamu suka.”
Ujarnya sambil mengeluarkan dua bungkus kopi instan lalu meraih gelas untuk
mengambil air panas dari freezer.
Detik berikutnya ia mengaduk isi gelas sehingga menimbulkan aroma nikmat kopi
sejati membuat AemeL membiarkan udara itu masuk ke dalam napasnya, sepertinya
ia menyukai aroma itu. “Ini untukmu, rasanya sama dengan kopi kegemaranku,
semoga kamu suka.” Ujar Julia. Ia membelikan kopi yang paling digemari oleh
AemeL. Sebelum lupa ingatan AemeL bisa menghabiskan dua sampai tiga gelas kopi
seperti itu dalam sehari.
“Terima kasih.” Sahut AemeL. “Semoga saja
sesuai dengan seleraku. Pak dokter sudah cerita banyak hal padaku..” lanjut
AemeL.
“Tentang apa?” tanya Julia dengan cepat
karena saking penasarannya.
“Tapi tidak ada yang penting. Julia…..
apakah pak dokter itu………? Ah, sudahlah.” AemeL tidak melanjutkan kata-katanya
yang bermaksud menanyakan apakah dokter itu suaminya Julia.
“Apa?” tanya Julia masih penasaran.
“Selama bersamaku, kamu belum pernah
pulang, mengapa?”
“Aku akan pulang kalau kamu sudah sembuh,
aku pernah bilang seperti itu, kan?”
“Oh, ya. Aku baru ingat. Maaf.”
Julia mengambil gelas kopi untuk AemeL
agar gadis itu mencicipinya dan diterima AemeL dengan senang hati. Ia coba
menikmati kopi spesial yang dibuat oleh Julia. Sesaat ia terlihat sangat
menikmatinya, Julia menyimaknya. Cara AemeL menikmati kopi tidak pernah
berubah.
“Apa yang kalian bicarakan tadi?” Julia
masih saja ingin tahu apa yang ditanyakan AemeL pada dokter tadi.
“Sudah aku katakan tidak ada
yang penting…” AemeL menatap Julia dengan seksama. “Yang aku tahu pak dokter
mencintai kamu, hanya itu. Terlepas apakah dia suami kamu atau pacar aku tidak
tahu.” Nada suara AemeL masih menyelidiki.
“Apa…?” Julia nyaris saja tersedak saat
meneguk kopinya.
Sementara di ruangan lain Wowor sedang
menatap layar ponselnya, pesan yang ia kirim ke nomor Julia belum ada laporan
terkirim membuatnya menarik napas dalam-dalam, sejak itu ia jarang datang ke
ruangan AemeL.
Keesokan paginya, AemeL menjalani terapi
berjalan di ruagan terapi didampingi dokter ortopedi dan Julia setia
menemaninya. Setelah makan siang terapi itu diulang lagi dan sebelum istirahat
tidur terapi yang ketiga. Dokter mempercayakan Julia memegang tangan AemeL
sedang yang satunya memegang besi yang sudah disediakan kiri dan kanan untuk
pegangan pasien.
AemeL melirik Julia. “Biar aku coba
sendiri, siapa tahu bisa.” Pintanya untuk berjalan sendiri. Julia melirik
dokter yang mendampingi dan diperbolehkan dengan anggukan kepala. Julia pun
melepas tangan AemeL dan gadis itu memegang pagar besi yang memanjang di sini
kiri kanannya. AemeL memegang kedua batang besi itu dengan erat dan kaki
kirinya ia letakkan dengan pasti di atas lantai lalu coba berjalan. Selangkah
dua langkah dan selanjutnya ia seperti memaksakan sehingga secara refleks kaki
kirinya terangkat karena rasa sakit yang luar biasa, sehingga ia pun terduduk
di lantai. Julia buru-buru menghampiri AemeL yang tidak bergerak di lantai
dengan meringis, ia nyaris saja menangis.
“Ae, jangan dipaksakan, nanti malah makin
parah.” Kata Julia dengan nada cemas.
“Pergilah Julia, pergi! Tinggalkan aku!”
kata AemeL dengan nada tinggi, ia kecewa dengan kakinya dan marah pada diri
sendiri sehingga amarahnya tertumpah pada Julia. Dari sisi lain Wowor
menyaksikan Julia sedang diusir oleh AemeL.
Dokter mendekati pasienya. “Cukup untuk
hari ini, sudah saatnya istirahat. Besok kita lanjutkan, kasus seperti ini
tidak bisa dipaksakan, patah tulang akan sembuh dengan berjalannya waktu,
percayalah.” Kata dokter dengan bijaksana. Ia membantu Julia membangunkan tubuh
AemeL dari lantai.
“Itu benar Ae.” Tambah Julia. AemeL
menatap Julia sejenak, haruskah ia percaya dengan kata-kata Julia yang ia
yakini tidak jujur padanya!?
~
Saat pulang dari rumah sakit Julia tidak
melihat batang hidung Wowor, ia yakin pria itu tahu kalau AemeL pulang hari itu
karena dia adalah salah satu dokter yang menangani AemeL. Entah mengapa Julia
ingin sekali pria itu ada saat itu meski sekedar melepas kepulangannya bersama
AemeL ke apartemen. Sebelum naik ke lantai tiga AemeL minta mampir ke bazaar
untuk membeli sesuatu.
“Jul, kamu punya uang?” tanyanya dengan
penuh harapan. Julia mengangguk dan berharap gadis itu mengatakan minta
dibelikan sesuatu hal yang sangat ingin dinikmatinya.
“Aku minta dibelikan sebuah buku tulis dan
ballpoint, tolong ya..”
“Untuk apa?” tanya Julia agak bingung.
“Ya, sekedar mengisi waktu luang.”
“O, baiklah. Tunggu di sini.” Kata Julia
meninggalkan AemeL di atas kursi rodanya sementara ia menghampiri tempat alat
tulis. Julia memilih sebuah buku sebentuk diary
dan ballpoint dengan tinta emas. Dari kursi rodanya AemeL mengamati Julia, ia
berpikir apakah pak dokter itu mengatakan kalau ia tidak suka dengan Julia?
Kalau ya tapi mengapa gadis itu masih saja seperti kemarin-kemarin. AemeL
menghela napas berat.
“Terima kasih banyak.” Ujar AemeL setelah
menerima alat tulis dari tangan Julia. “Ini buku dan ballpoint istimewa. Sekali
lagi terima kasih.”
“Sama-sama.” Balas Julia sembari mendorong
kursi roda AemeL.
“Jul, apa pak dokter mengatakan sesuatu
hal sama kamu sebelum kita pulang?”
“Tidak.” Jangankan mengatakan sesuatu,
bertemu saja tidak. Lanjut Julia dalam hati. Sebuah ponsel yang masih dalam
kondisi mati tersimpan di kantong celana Julia.
Malam tiba, Julia menyalakan ponselnya
karena penasaran apakah ada panggilan masuk atau pesan dari Wowor. Ternyata ada
dua kali panggilan masuk dan satu pesan.
‘Julia, kalau kamu tidak kuat merawat
AemeL, bicarlah padaku. Aku mohon.’
Julia mengernyitkan alisnya. ‘Urusan apa
dia bicara seperti itu?’ setelah memastikan cuma ada satu pesan kembali Julia
mematikan ponselnya tanpa membalas pesan.
“Kamu punya hape?” tanya AemeL saat
melihat Julia meletakkan ponselnya di atas rak piring.
Julia melirik AemeL. “Ya.”
“Boleh aku pinjam? Mmm.. tapi siapa yang
akan aku hubungi ya. Yah, tidak jadi deh.” AemeL membatalkan niatnya. “Apakah
selama ini aku punya benda seperti itu? Kalau iya, pasti ada orang yang
menghubungi aku, kasihan sekali kalau ada orang yang menghubungi aku dan tidak
tahu kabarku. Jul… apa aku punya pacar? Ya Tuhan… kamu kan sudah memberitahu
aku kalau kamu tidak kenal dengan aku, kalau pun aku punya pacar kamu pasti
tidak kenal dengannya.” AemeL tersenyum seakan mentertawakan dirinya sendiri.
“Atau… jangan-jangan aku sudah punya suami?” AemeL kembali berpikir keras untuk
mengembalikan ingatannya mengenai masa lalunya. Julia menghampiri AemeL dan jongkok
di depan kursi roda serta memegang kedua sandaran tangan kursi.
“Sebelum dompetmu dicuri orang di rumah
sakit, dokter sempat melihat KTP kamu, kamu masih single Ae.”
Lagi-lagi AemeL tersenyum. “Ya, ya…
syukurlah, berarti tidak ada yang menunggu aku di rumah.” AemeL memutar kursi
rodanya kebelakang membuat Julia melepaskan tangannya. “Aku ingin istirahat..
selamat malam Julia.” Helanya dengan nada tidak bersahabat.
“Selamat malam.” Julia bangun untuk
membantu AemeL naik ke atas tempat tidur.
“Aku bisa sendiri.” Selalu saja kata-kata seperti itu yang keluar setiap kali
Julia ingin membantunya. Keras kepalanya tidak pernah berubah. Pikir Julia.
Julia berjalan ke arah dapur, ia
mencuci gelas kotor, sebentar saja sudah
terdengar suara gelas jatuh dan pecah. Bukan sekali itu saja, kemarin-kemarin
AemeL mendengar suara piring pecah. Tapi saat gelas pecah terdengar suara Julia
yang meringis seperti orang kesakitan. Jempol tangan kiri Julia tergores ujung
gelas dan mengeluarkan darah segar.
“Julia…… kamu tidak apa-apa?” suara AemeL
dari kamar.
“Tidak apa-apa, kamu istirahat saja.”
Sahut Julia sambil menekan darah yang terus keluar dari jempolnya. Julia meraih
kotak P3K yang ada di sebelah rak piring. Dengan cepat ia meraih benda itu dan
mengeluarkan isinya sebelum AemeL tahu tangannya berdarah. Julia mengambil
betadine serta secarik kain kassa, dengan sangat lincah ia meneteskan obat cair
itu lalu menutup lukannya dengan kain kassa lalu membalutnya, terakhir
merekatkan plaster. Semua itu tidak lepas dari pengamatan AemeL yang bisa
melihat dapur dari kamar tidur. Kejadian itu membuat dirinya sedikit yakin
kalau Julia memang seorang perawat, bukan ahli dapur yang biasa mencuci piring
kotor. Mungkin gadis itu sangat membenci pekerjaan mencuci di dapur. Pikir
AemeL.
Setelah kejadian itu, AemeL tidak pernah
membiarkan lagi Julia mencuci gelas atau apa
pun yang kotor di dapur. Ia bisa
melakukannya dari atas kursi roda.
~
Wowor ingin sekali bertemu dengan Julia
bahkan setiap saat, di ruang kerjanya ia kelihatan gelisah. Ia sendiri tidak
tahu mengapa wanita yang satu itu bisa membuat pikirannya bercabang dari
pekerjaan. Wowor selalu serius dengan pekerjaannya, masalah kekayaan orang tua
bukan jadi andalannya karena menjadi dokter adalah keinginannya sejak kecil.
Dokter wanita menegurnya karena mengamati kegelisahan Wowor akhir-akhir ini.
“Selamat malam, Dok. Ada tugas malam?”
sapanya sekedar ingin berbincang dengan Wowor. Wowor melirik wanita itu
sejenak.
“Ya, sebentar lagi ada operasi.” Jawab
Wowor seadanya.
“Sepertinya berat, atau jangan-jangan Dokter
sedang memikirkan hal lain?” ia mulai masuk wilayah pribadi Wowor. Wanita itu
duduk di kursinya sebelah meja Wowor.
“Tidak juga, Dokter sendiri mengapa belum
pulang?”
“Sebentar lagi, mau istirahat juga.
Tadinya saya kira Dokter sudah mau pulang, saya pikir bisa sekalian bareng.”
Wanita itu mulai membuka peluang. Wowor hanya bisa senyum dan ia tidak
menjanjikan apa pun pada dokter itu. Dulu saja ia tidak bisa menjanjikan apa
pun pada wanita apalagi sekarang hatinya seolah sudah ada pada Julia. Wowor
menatap ponselnya, sejak ia menitipkan nomor pada Julia ia sering berharap
Julia menghubunginya.
Setelah menyelesaikan operasi sekitar tiga
jam Wowor bukannya pulang tapi datang ke apartemen tempat Julia dan AemeL
tinggal untuk beberapa hari ini. Saat ia datang ke apartemen Julia sedang
menutup kaca jendela karena sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Julia kaget
melihat kemunculan Wowor saat menjelang tengah malam. Julia melirik ke arah
kamar di mana AemeL sudah ada di sana sejak sejam yang lalu. Ia pasti sudah
tidur pikirnya, jadi tidak enak mengajak pria itu masuk. Julia membuka pintu
sebelum Wowor mengetuk, ia mengamati pria yang mengenakan kemeja lengan panjang
itu.
“Ada apa?” ia langsung bertanya.
“Boleh aku masuk?”
“Tapi, AemeL sudah tidur.”
“Aku ingin bicara dengan kamu, Jul.
sebentar saja.” Pintanya.
Julia masih menimbang-nimbang, kalau ia
mengajak pria itu masuk ia tidak mau salah tingkah tapi tidak etis juga bicara
di depan pintu karena ia percaya pria itu tidak akan macam-macam. “Silahkan.”
“Terima kasih.” Pria itu merasa sangat
lega setelah Julia mengizinkannya masuk.
“Apa hape-mu hilang?” tanya pria itu
sembari duduk.
“Mhm… maaf, aku lupa men-charg-nya, dan tidak tahu charger-nya ada di mana.” Sahut Julia
coba tenang., ia tidak mau pria itu tahu titik lemahnya karena ia paling benci
jika seorang pria mengetahui titik lemahnya.
“O…”
Sedang di kamar, AemeL samar-samar
mendengar suara orang sedang berbincang tapi matanya tak bisa diajak kompromi
lantaran pengaruh obat istirahat masih menguasainya.
“Mm.. kamu, maksudku… keluargamu tidak
mencarimu? Kalau kamu mau pulang, aku bisa minta orang lain menjaga AemeL
sehari dan kamu bisa kembali lagi ke sini.”
“Tidak.” Sahut Julia setelah duduk di
kursi satunya. Julia sangat yakin kalau anak buah dan keluarganya sedang
mencarinya apalagi ia tidak bisa dihubungi.
“M.. rumah kamu di mana?”
“Palembang.” Oh! Sial! Julia keceplosan,
sedikitpun tidak ada maksudnya untuk memberitahukan kalau dia tinggal di
Palembang.
“Palembang? Jadi…….. waktu aku menunggu
kamu selama kurang lebih enam jam itu kamu datang dari Palembang? Ya Tuhan…
pantas saja lama. Aku minta maaf.” Ujar Wowor karena sudah menghakimi Julia
datang terlambat. “Tapi…. kamu dan AemeL bisa fasih sekali menggunakan bahasa
Jakarta.”
Julia merasa tidak perlu menjelaskan apa
pun lagi pada pria itu, cukup itu saja, itupun karena keceplosan. “Mm..
sebenarnya, kamu ke sini mau bicara apa?” Julia coba membatasi waktu Wowor.
“Kamu waktu itu mengatakan kalau AemeL
adalah temanmu dari SMA, ternyata kamu dari Palembang dan pastinya AemeL juga
dari sana.”
“Em…” Julia melirik ke arah pintu kamar
khawatir AemeL terbangun. “Kamu tidak bicara apa-apa kan sama AemeL?”
“Lupakan masalah itu, aku ke sini ingin
bilang satu hal ke kamu. Aku.., aku suka sama kamu dari sejak pertama melihat
kamu berdiri di depan ruang informasi, setiap hari perasaan itu bertambah dan
terus bertambah dan aku rasa aku jatuh cinta sama kamu, andai kamu sudah
menikah atau sudah punya kekasih, aku minta maaf.” Kata Wowor dengan jujur dan
nada yang sangat menyakinkan. Matanya tidak lepas menatap Julia tapi Julia tidak
mau meleleh pada pria yang baru ia kenal beberapa minggu ini. Mungkin pria itu
pernah mengatakan hal yang sama pada setiap dokter muda yang masih single di tempatnya bekerja?
Membayangkan hal itu membuat Julia tersenyum tipis.
“Maaf, mau minum apa?”
“Tidak Jul, terima kasih. Aku harus pulang
karena sudah terlalu malam.” Wowor tidak peduli Julia mau menjawab atau tidak
dengan pernyataannya tadi tapi ia lega karena sudah mengatakan semua isi
hatinya.
AemeL benar-benar sudah terjaga sesaat sebelum
Wowor pamit pulang.
“Ya…”
“Pegang ini.” Kali ini Wowor meletakkan BB-nya
di atas meja. “Siapa tahu ada keperluan mendadak.” Ujar pria itu sangat
memohon.
“Tidak, tolong bawa lagi BB-nya.” Julia
merasa sangat tidak enak. Kalau mau ia bisa
menyalakan BB-nya sendiri tapi ia tidak mau ada teman atau keluarga yang
menghubunginya
sebelum AemeL sembuh.
“Aku mohon, anggap saja ini permintaan
terakhirku. Aku pamit dulu, ya.” Wowor beranjak. “Semoga AemeL lekas sembuh.”
Tambahnya.
Julia menarik napas dalam-dalam, ia tidak
bisa memaksa Wowor membawa lagi BB
itu, beberapa saat saja terdengar ada BBM masuk dan Julia tidak mempedulikannya
sama sekali, BB itu tergeletak saja
di atas meja hingga subuh menjelang.
Sebelum Julia bangun AemeL sudah bangun,
sejenak ia menyimak Julia yang masih terlelap. AemeL mengambil buku dan
ballpoint-nya. Lalu mulai menulis.
Tinta emas,
Aku benar-benar tidak
mengerti apa yang sedang terjadi di tempat ini dan pada diriku? Dan Julia,
siapa pun dia… apakah dia seorang musuh, teman atau saudara.. aku tidak peduli.
Apakah saat ini aku benar-benar membutuhkannya? Entahlah! Tapi siapa pun dia,
aku ingin sekali menjadi temannya.
AemeL menutup bukunya dan kembali
meletakkan buku itu di bawah tempat tidurnya. Setelah melirik ke Julia sejenak
ia bangkit dan berusaha jalan dengan menggunakan kedua tongkatnya untuk menuju
ruang dapur. Di sana ia coba membuat kopi, semua sudah tersedia di tempatnya…
apa pun yang diinginkan AemeL. Kopi yang ia sukai, bahkan kamar mandi yang
airnya sudah tersedia di bak mandi tanpa AemeL harus capek-capek menyalakan
kran. Sejenak AemeL menghela napas, terngiang kembali saat dokter itu pamit
semalam, ia merasa yakin kalau pria itu ada hubungan khusus dengan Julia.
AemeL menghirup kopi hangatnya sedang satu
gelas lagi ia letakkan di atas meja untuk Julia. AemeL mulai berpikir lagi. Ia
bisa menyimak semua hal yang ada pada Julia, dari jari, wajah hingga ujung
kakinya ia terlihat seperti orang kaya, atau setidaknya bukan orang susah,
mungkin seorang pengusaha muda.
‘Ya Tuhan, aku tidak bisa terus-terusan
seperti ini, Julia mungkin tidak akan meninggalkanku sebelum aku sembuh tapi
sampai kapan aku bisa ingat semuanya? Aku tidak ingin merusak hubungan pak
dokter dengan Julia.’
AemeL melirik kaki kirinya, sekali lagi ia
mengesalkan kenapa kakinya harus patah hingga menyusahkan dirinya bahkan orang
lain. AemeL mengesap lagi kopinya hingga tinggal separuh. Saat itu terdengar
Julia keluar dari kamar dan mencari-cari keberadaan AemeL.
“Ae, Ae…. Kamu di mana?” ia
mengkhawatirkan AemeL.
AemeL melirik ke pintu, Julia sudah
berdiri di sana sambil mengucek-ngucek matanya yang masih mengantuk. “Tidak
usah bersikap seperti itu, aku tidak suka.” Sahut AemeL tidak sehangat kopinya.
“Apa maksud kamu?” Julia sudah berdiri di
dekat kursi AemeL.
“Sudahlah Jul, aku sudah muak dengan semua
ini.” Sekilas AemeL melirik sebuah BB
ada di atas meja yang sama sekali belum disentuh oleh Julia. AemeL meraih
tongkatnya. “Aku tidak suka sandiwara ini.. kamu dan pak dokter, siapa kalian
sebenarnya? Kalian orang kaya? Yang bisa membeli semua keperluanku, dari baju…
perlengkapan serta tempat ini. Kalian berdua pasti bukan orang yang
berpura-pura baik padaku. Jika aku hanya pasien lupa ingatan dan patah tulang,
aku rasa ada ratusan pasien yang bernasib sama denganku tapi mengapa hanya aku
yang kalian istimewakan? Kenapa?” emosi AemeL sudah mulai memuncak di pagi buta
itu.
“Duduklah Ae.” Pinta Julia mulai khawatir.
“Tidak, aku tidak bisa seperti ini tanpa
penjelasan.”
“Bagaimana aku menjelaskannya sedangkan
kamu masih lupa ingatan.”
“Sekali lagi aku beritahu ya, Jul. aku
memang amnesia tapi masih punya hati yang bisa melihat dan mendengar semua yang
ada di depan mataku sekarang ini. Apa susahnya kamu menjelaskan semuanya!
Bagaimana jika aku tidak akan pernah ingat? Apa aku ini seorang musuh yang tak
termaafkan? Atau sebaliknya?!”
“Hentikan AemeL! Hentikan! Apa kamu sudah
ingat semuanya dan berpura-pura masih amnesia dan berharap aku jujur? Katakan!
Akan aku katakan semuanya, semua yang ingin kamu dengar? Oke!” sergah Julia tak
kalah emosi. Kedua gadis itu saling tatap beberapa saat seolah tidak tahu apa
yang harus dikatakan lagi, namun gemuruh amarah di dada sama-sama membara.
Detik berikutnya AemeL berjalan keluar dengan tongkat, Julia melihatnya dengan
masih terdiam seolah tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Tanpa ia sadari
AemeL sudah keluar dari apartemen sementara Julia masih mematung di tempatnya.
Di luar, AemeL bertemu dengan satpam lalu
bertanya. “Pak…?”
“Ya, Neng?”
“Apa Bapak pernah melihat saya sebelumnya?
Maksud saya, sebelum saya tinggal di
tempat ini?”
“Tidak Neng, memangnya kenapa? Neng mau
kemana?”
“O, tidak kenapa-napa. Saya hanya ingin
mengirup udara pagi, terima kasih ya, Pak.”
“Ya, hati-hati dan jangan jauh-jauh.”
Nasihat pria paruh baya itu lalu ia kembali ke tugasnya tanpa melihat lagi
kemana AemeL pergi.
Di dalam apartemen Julia masih bingung
memikirkan apakah AemeL sudah ingat semuanya
atau belum? Terbayang dengan jelas kemarahan di wajah AemeL tadi. Julia
buru-buru bergerak dari tempatnya seolah tersadar kalau AemeL masih dalam
kondisi sakit. Julia berlari keluar tapi tidak menemukan AemeL, ia ke ujung
jalan tapi tetap tidak mendapatkan AemeL. Akhirnya ia kembali lagi dengan
kecemasan yang tinggi membuat pak satpam menegurnya.
“Ada apa, Neng?”
“M.. m.. anu Pak, lihat seorang wanita
lewat dengan menggunakan tongkat?”
“O, ya ya… tadi dia lewat sini. Katanya
mau menghirup udara pagi.”
“Bapak lihat dia jalan ke mana?”
“Nggak tuh, soalnya tadi saya lagi ada
urusan. Ya paling-paling nanti juga balik lagi.” Pikir pria itu karena orang
jalan pincang tidak akan pergi jauh.
Mengingat kemarahan AemeL membuat Julia
yakin kalau gadis itu tidak akan kembali lagi. Mungkin ia sudah ingat semuanya.
Julia kembali ke apartemen setelah pamit pada Pak satpam, karena kalau AemeL
sudah ingat semuanya ia pasti akan mengunjungi tempat kosnya. Julia
menggantikan bajunya untuk menyusul AemeL ke sana dan tak lupa mengantongi BB Wowor.
Beberapa saat kemudian Julia sudah tiba di
tempat kos AemeL selama ini, kenangan yang pernah ia lalui di tempat itu
langsung menyeruak di benaknya kala melihat pintu kayu itu. Nyaris setiap ke
Jakarta ia mampir di sana dan menginap bahkan beberapa hari lalu kembali ke
Palembang dengan belanjaan banyak sekali buat isi tokonya. Julia menghela napas
panjang, terpikir sejenak ia akan nasib tokonya selama ia tinggalkan tapi
keberadaan AemeL yang belum jelas membuyarkan semuanya. pintu kayu yang
diplitur itu masih tertutup sangat rapat dan tidak ada tanda-tanda orang datang
ke tempat itu. Seorang ibu muda menyapa Julia yang kebetulan sudah pernah
bertemu dengan Julia beberapa kali.
“Julia…. Kamu? AemeL sudah beberapa hari
tidak pulang, ada yang bilang ia keluar kota. Memangnya kamu tidak tahu?” ia
terlihat heran melihat kemunculan Julia ke tempat itu dengan tangan kosong.
“Em, ya Bu. Saya sedang menunggunya
mungkin sebentar lagi ia pulang.” Kata Julia yang hampir saja tidak bisa
bicara. Karena wanita itu tidak melihat kemunculan AemeL berarti AemeL tidak
pernah muncul di tempat itu. ‘Ya Tuhan ke
mana AemeL, lindungi dia Tuhan.’
Bisik Julia dalam hati dengan napas yang nyaris saja sesak.
“O, ya sudah. Ibu ke belakang dulu ya.
Kalau ada keperluan apa-apa, panggil saya saja.” Kata wanita itu akhirnya.
“Ya, terima kasih, Bu.” Setelah wanita itu
menghilang Julia pun buru-buru meninggalkan tempat itu. Di jalan ia coba
menghubungi Wowor, karena jika ingatan AemeL sudah pulih ada kemungkinan ia
mencari Wowor di rumah sakit untuk minta penjelasan.
Julia memeriksa nomor yang masuk dan benar
ada nomor atas nama aku mengirim pesan, mungkin semalam Julia tidak berniat
memeriksa jam berapa pesan itu masuk, dan beberapa BBM yang sama sekali tidak ia buka. Ia memanggil dari nomor pesan
yang berisi dua kata, ‘ini aku.’ Sekali Julia panggil tidak
diangkat, dua kali, tiga kali bahkan hingga tujuh kali tetap tidak diangkat
sementara nomor yang dihubungi sedang tidak sibuk. Julia mulai kehilangan akal
sehatnya, sekali lagi ia menatap layar BB
itu dan detik berikutnya ia melemparkan benda itu ke jalanan hingga hancur
berkeping-keping. ‘Sudah kuduga tidak ada
perlunya kamu menitipkan benda seperti ini padaku.’ Gerutu Julia.
Orang-orang yang melihat sikap Julia mengira ia sedang bertengkar dengan
pacarnya atau telah diputuskan cerai oleh suaminya hanya lewat telepon sehingga
membuatnya emosi seperti itu. Sedangkan Julia sama sekali tidak peduli dengan
semua pandangan orang di jalan. Ia menyetop taksi.
Di rumah sakit, Wowor baru saja keluar
dari ruang operasi, seorang dokter wanita menyapanya.
“Bagaimana operasinya Dok, lancar?”
“Ya, Begitulah. Dari subuh baru selesai
jam segini.” Ia melirik arlojinya yang sudah menunjukkan pukul delapan pagi.
Lalu ia mengeluarkan BB dari dalam
kantong celananya. Melihat BB yang
dipegang pria itu berbeda dari yang kemarin membuat wanita itu bertanya lagi.
“Baru, Dok? Yang kemarin
dikemanain?” ‘pantes saja BBM-ku tidak
dibaca.’ Guman wanita itu dalam hati.
“O, ada. tapi lagi pake yang ini.” Sahut
Wowor apa adanya. “Maaf aku ke kantor dulu ya.” Wowor menghindari wanita yang
selalu ingin tahu urusannya. Wanita itu hanya bisa mendengus kesal. Wowor
memeriksa ada tujuh panggilan dari Julia, karena khawatir ia langsung menelepon
balik, tapi nomor itu sudah tidak akitf. Wowor ke ruangannya untuk menggantikan
baju seragamnya setelah itu ia keluar dengan maksud mendatangi apartemen karena
perasaannya sedang tidak enak.
Di lorong rumah sakit langkah Wowor
terhenti karena melihat Julia sedang berjalan ke arahnya, saat itu juga ia
berlari mendekati Julia.
“Julia.” Ujarnya khawatir saat melihat
wajah Julia yang tidak kalah cemas bercampur emosi. “Barusan aku menghubungi
kamu tapi nomornya tidak aktif. Ada apa? Kamu tidak apa-apa? Dan AemeL?”
“BB Anda sudah aku buang, buat apa kalau
Anda juga tidak bisa dihubungi.” Gerutu Julia dengan nada kesal bercampur
cemas.
“Jul, tadi nomorku sedang aku silent karena ada kerjaan.” Kata Wowor
masih cemas.
“Sudahlah, aku ke sini mencari AemeL.”
“Mencari AemeL? Memangnya AemeL kenapa?”
“Dia pergi dari apartemen.”
“Apa? Kalian bertengkar lagi?”
“AemeL ke sini tidak?!” suara Julia mulai
meninggi.
“Aku tidak melihatnya.” Sahut Wowor dengan
jujur.
“Ya Tuhan… kemana dia?” Julia mulai putus
asa.
“Kita akan mencarinya.” Kata Wowor dengan
cepat.
“Mencari ke mana?” Julia seakan bertanya pada diri
sendiri. Dokter wanita yang menaruh perhatian pada Wowor melirik ke arah kedua
insan itu. Sepertinya ia akan berhenti berharap cinta dari Wowor.
“Apa ingatannya sudah pulih?” tanya Wowor.
“Aku tidak tahu.” Julia mulai berjalan
diikuti Wowor.
“Apa yang ia bicarakan saat terakhir kali
kalian bersama?”
“Ia mengatakan sudah muak, lalu pergi.”
Sahut Julia tidak bisa bicara panjang lebar. Wowor sedang membayangkan kalau
kedua gadis itu telah bertengkar hebat.
“Kita pasti akan menemukannya, dengan
kondisinya seperti itu ia tidak akan bisa pergi jauh. Ia tidak membawa kartu
ATM-nya, kan? Tentu saja, karena aku yakin ingatannya belum pulih.” Wowor
meraih tangan Julia dan membawa gadis itu ke tempat parkir menuju mobilnya.
Julia yang merasa sudah putus asa ikut saja dengan Wowor.
~
Di tempat duduk sebuah halte bis AemeL
sedang duduk diam seperi patung, ia tidak menangis tidak juga terlihat sedang
risau. Kedua tongkatnya ia pegang dengan sangat erat tanpa peduli orang-orang
bergantian datang dan pergi dari tempat itu. Ingatannya masih tertuju pada
Julia, ia tidak bisa membedakan antara benci dan sayang pada gadis itu. Sebuah
motor besar tiba-tiba berhenti dan pengemudinya turun lalu mendekati sosok
AemeL yang masih dalam diamnya.
“Hei…” terdengar sapaan lembut. AemeL
mengangkat wajahnya sekilas dan seorang pria dengan jaket kulit dan sebuah helm
di tangan sedang tersenyum pada AemeL. “Kamu mau ke mana?” ia melirik tongkat
lalu pada kaki kiri AemeL yang masih terbalut. “Kamu sedang menunggu seseorang
atau mau pergi ke mana?” tanya pria itu peduli tapi AemeL tetap tak menjawab.
Pria itu melirik jam tangannya, sepertinya ia harus buru-buru pergi. “Ya,
sudah… semoga orang yang sedang kamu tunggu cepat tiba, saya permisi dulu.”
Kata pria itu dan akhirnya dijawab dengan anggukan kecil oleh AemeL dan itu
sempat membuat si pria senang.
Di perjalanan pria itu masih memikirkan
gadis yang duduk di kursi halte bis dengan sepasang tongkat seolah sedang
menunggu pangerannya datang menjemput. Wajah itu manis juga. Pikirnya hingga
tanpa sadar terukir seulas senyum dari balik helmnya.
Sementara Julia dan Wowor keliling mencari
AemeL nyaris seharian. Wowor yang belum istirahat dan Julia yang cemas.
Beberapa telepon masuk tidak ia angkat, sekarang mobil Wowor sedang terparkir
di ujung jalan seolah tidak tahu lagi harus ke mana.
“Anda bilang akan menemukannya…” suara
Julia serak.
“Kita akan lapor polisi.” Usulnya.
“Tidak.” Tegas Julia. “Aku akan terus
mencarinya sampai ketemu.” Ia bermaksud membuka pintu mobil tapi tangannya
langsung ditarik oleh Wowor. “Kamu harus makan dulu, dari pagi kamu belum
makan.”
“Anda pikir aku bisa makan sebelum melihat
AemeL?”
“Ya, Tuhan. Julia…. Kamu boleh-boleh saja
memikirkan AemeL tapi kamu juga harus memikirkan kesehatan kamu.” Hela Wowor.
“Anda tidak akan mengerti, lepaskan tangan
saya.” Pintanya.
“Tidak. Aku tidak akan melepaskanmu.”
“Lepaskan!”
“Tidak!” Wowor bersikeras. Ia tahu gadis
itu sedang khawatir dan lelah juga lapar, Wowor juga tidak bisa menyembunyikan
kelelahannya membawa mobil di tengah-tengah kemacetan lalu lintas.
“Apa sih peduli Anda?!” Julia merasa
sedang ditahan.
Wowor melepaskan tangan Julia sambil
berkata. “Aku peduli sama kamu karena aku mencintai kamu, aku tidak ingin kamu
sakit. Puas kamu mendengar pengakuan itu?”
Julia terdiam, ia menurunkan tangannya
perlahan seolah tidak punya tenaga lagi, jangankan beranjak dari dalam mobil
mengangkat wajahnya saja ia tidak kuat lagi. Ia ingin sekali menangis, di sini
lain ia kehilangan AemeL dan di sini Wowor mengutarakan perasaanya. Julia tidak
bisa bicara apa-apa lagi karena kata-kata Wowor seakan menohok titik lemah di
hatinya. Wowor menunggu reaksi Julia agak lama dan detik berikutnya Julia
menatap pria itu dengan keberanian yang susah payah ia kumpulkan.
“Anda baru kenal saya beberapa minggu ini,
gampang sekali Anda mengucapkan kata-kata itu. Asal Anda tahu ya, saya rela
kehilangan Anda daripada AemeL. AemeL adalah sahabat saya sudah hampir puluhan
tahun, jadi…” Julia tidak bisa meneruskan kata-katanya. Wowor menarik napas
panjang.
~
Pukul lima lebih, pria itu lewat lagi di
halte bis itu entah masih ingat gadis itu atau memang ia harus pulang melewati
jalan itu. Dan ia terkejut karena si gadis
masih berdiam di tempat ia duduk tadi pagi. Pria itu buru-buru turun
seakan menyadari ada yang tidak beres. Ia memegang pundak AemeL.
“Kamu, apa dari tadi pagi kamu belum
beranjak dari tempat ini? Apa orang yang kamu tunggu belum juga datang?”
tanyanya dengan datar namun mengandung kecemasan yang tinggi karena melihat
kondisi tubuh gadis itu sudah sangat melemah dan bersandar pada sandaran kursi.
AemeL menatap pria itu tapi tidak bicara apa-apa. “Kamu… aduh, apa kamu lupa
jalan pulang?” ia mengira gadis itu tidak bisa bicara.
“Emmm… tidak, tapi aku… aku benci dia.”
Pria itu berpikir kalau wanita itu sedang
bertengkar dengan suaminya atau saudaranya.
“Wajah kamu pucat sekali, dan…” ia
memegang tangan AemeL. “Tangan kamu dingin, kamu harus pulang, biar aku antar…”
“Tidak. Aku tidak mau pulang.” Suara AemeL
bergetar karena lemah, seharian ini ia tidak
makan apa-apa.
“Kamu harus pulang, sehebat apa pun
pertengkaran dengan saudara atau pada orang tua, kamu tidak boleh seperti ini.
Mereka pasti mencari kamu. Ayo…. Aku antar, lihatlah sebentar lagi akan gelap.
Kota ini sangat kejam… aku tidak mau terjadi apa-apa pada dirimu.” Sebelum
membawa AemeL pulang pria itu membelikan sebotol susu coklat untuk memulihkan
tenaga AemeL yang lemah agar ia tidak jatuh dari boncengan motornya. Sebentar
saja AemeL sudah ada di belakang tubuh pria itu, tanpa sadar ia memeluk tubuh
pria itu dengan sangat erat karena takut jatuh dan sekaligus rasa dingin yang
tak tertahankan.
Tidak sampai sepuluh menit AemeL sudah
tiba di apartemen yang tidak dikunci oleh Julia waktu pergi. Pria itu membawa
AemeL ke dalam, sejenak ia mengamati suasana apartemen dan menurutnya sangat
nyaman sebagai tempat tinggal. Tubuh AemeL yang sudah sangat lemah dengan
kondisi kakinya yang masih parah membuat pria itu menggendongnya ke atas tempat tidur.
“Kamu di sini tinggal sama siapa?”
“Kakak saya.” Sahut AemeL dengan nada yang
seakan tenggelam oleh kelelahannya.
Pria itu meletakan tongkat AemeL di sini
tempat tidur. “Istirahatlah, aku akan di sini sampai kakakmu pulang.” Ujarnya.
“Terima kasih.” Kini pria itu hanya
melihat mulutnya yang terbuka tanpa bisa
mendengar suara AemeL yang sudah sangat
lemah. Sejenak ia mengamati AemeL namun AemeL sudah memejamkan matanya. Setelah
menyelimuti tubuh AemeL ia keluar dari ruangan itu. Di ruang depan ia menyimak
semua sudut, tidak ada satupun foto yang terlihat atau sebagai tanda pemilik
apartemen. Ia melirik jam tangannya, sudah pukul enam lewat. Cepat sekali waktu
berlalu pikirnya. Pria itu bermaksud keluar untuk bertemu orang atau satpam
apartemen atau siapapun, karena ia harus pulang tapi ia tidak bisa meninggalkan
AemeL sendirian di dalam dengan kondisi sakit kaki dan lemah. Saat ia ingin
membuka pintu sudah
keburu terbuka dari luar. Seorang
wanita dan pria muncul dari balik pintu.
“Kamu! Kamu siapa?” Julia langsung
bertanya.
“Mmm….” Sebelum pria itu menjawab Julia
sudah berlari ke kamar tidur dan melihat AemeL sudah tertidur. Ia lega tapi ia
harus bertanya pada pria yang di depan itu. Ia berbalik. Pria itu sudah duduk
di sofa bersama Wowor.
“Dia yang menemukan AemeL.” Kata Wowor
sebelum Julia melontarkan pertanyaan.
“Di mana?”
“Tidak penting dimananya? Yang penting
sekarang AemeL sudah kembali.” Wowor tidak menceritakan seperti yang pria itu
jelaskan tadi. Ia tidak ingin Julia tambah sedih.
“Terima kasih.” Ujar Julia akhirnya.
“Ya, sama-sama. Semoga kalau bertengkar
lagi dengan adik sendiri tidak sampai terulang lagi kejadian seperti hari ini.”
Tambah pria itu.
“Apa maksud Anda?”
“Sudahlah.” Wowor menengahi. “Kamu
istirahatlah, biar kami pulang.” Ia melirik pada pria baik yang sudah membawa
AemeL kembali ke apartemen. Pria itu mengerti apa yang harus ia lakukan,
sepertinya ada urusan keluarga yang belum selesai, pikirnya.
“Baiklah, sampaikan salam saya, kalau ia
sudah bangun nanti.” Ujarnya kemudian.
Julia lagi-lagi menghela napas lega
setelah kedua pria itu pergi dari apartemen, ia ke kamar mandi untuk
membersihkan dirinya karena seharian ini ia belum mandi. Beberapa menit
berikutnya ia ke depan untuk mengambil kunci pintu dan menyimpannya agar tidak
dapat di cari oleh AemeL, ia tidak ingin AemeL kembali pergi. Setelah merasa
semua beres baru ia kembali ke kamar di mana AemeL terlihat masih tertidur
dengan begitu pulasnya. Julia naik ke atas tempat tidur dan duduk di dekat
kepala AemeL. Ia mengusap kening AemeL dengan lembut.
“Ae, jangan pernah mengulang lagi seperti
kejadian hari ini, kamu membuat aku seperti orang gila karena seharian
mencarimu. Kamu tidak pernah mengerti kalau aku sangat menyayangimu, aku mohon
jadilah wanita baik dan seperti kata pria itu tadi, aku tidak mau menjadi kakak
atau adikmu sebab aku hanya ingin menjadi sahabatmu sampai aku mati.” Guman
Julia dengan pelan seolah takut membangunkan AemeL yang terlelap. Julia yang
merasa lelah akhirnya membaringkan tubuhnya, sejenak sosok Wowor melintas
dipikirannya tapi hanya sepintas sebab Julia sudah sangat mengantuk.
Sekitar pukul sebelas malam AemeL seperti
orang berguman dan berkali-kali memanggil-manggil nama Julia membuat Julia
membuka matanya. Saat Julia melihat AemeL ternyata gadis itu masih tidur dengan
mata tertutup sangat rapat tapi lagi-lagi ia memanggil nama Julia.
“Julia…. Julia…. Jangan meninggalkan aku,
jangan pernah meninggalkan aku.”
Ia mengigau pikir Julia. Kali ini gadis
itu menggerak-gerakkan tangannya dan tetap mengeluarkan kata-kata seperti itu
dan Julia melihat ada air mata keluar dari sudut mata AemeL. Julia merasa ada
yang tidak beres, ia meraba kening AemeL dan sangat terkejut karena suhu badan
AemeL panas sangat tinggi.
“Ya Tuhan, dia demam.” Julia melompat dari
tempat tidur menuju lemari es untuk mengambil air dingin lalu sebuah mangkuk,
terakhir sebuah handuk kecil. Detik berikutnya ia sudah ada di sebelah AemeL
yang masih saja mengigau. Julia membasahi handuk kecil itu, memerasnya lalu
meletakkannya di atas kening AemeL. Belum sampai satu menit ia mengulangnya
lagi karena AemeL masih mengigau. Julia tidak bisa menahan air matanya karena
melihat ada air mata AemeL yang jatuh di sudut matanya, ia mengusap air mata
itu. “AemeL, jangan seperti ini. Aku tidak tahan melihatmu seperti ini.”
Gumannya lagi lalu memeluk tubuh gadis itu, hawa panas dari badan AemeL terasa
seakan membakar hati Julia.
“Juliaaa…” kini suara itu terdengar sangat
melemah. Julia mengangkat tubuhnya untuk menatap AemeL yang ia kira sudah
terjaga namun gadis itu masih dengan mata terpejam. Sekali lagi Julia
mengompresnya, lalu ia menempelkan punggung tangannya pada leher AemeL setelah
itu ia menghela napas sedikit lega karena panas pada tubuh AemeL sudah jauh
menurun. Julia masih tetap terjaga dan sekali-kali tetap mengganti air kompres
agar AemeL benar-benar sembuh.
Sejenak Julia mengamati keadaan
sekeliling, tak pernah terbayangkan sebelumnya akan berada di tempat itu dan
menemani AemeL yang sakit terkadang membuat hatinya ketar-ketir karena takut
terjadi apa-apa pada AemeL. Jarum jam di dinding sudah menunjukkan pukul dua
belas lewat. Kembali ia menoleh pada wajah AemeL, gadis itu kini sudah terlihat
lebih tenang. Tanpa bisa Julia pungkiri saat ini ia sangat merindukan sosok
Wowor ada di sisinya dan memberikan kekuatan pada dirinya. Julia akhirnya
berbaring dengan menghadap ke wajah AemeL karena ingin berjaga-jaga kalau-kalau
gadis itu panas lagi. Denting jarum jam terus berjalan seolah meninabobokan
Julia yang lelah hingga ia tertidur dalam posisi melingkar dan wajah tetap
menghadap ke arah AemeL.
Sebelum pagi AemeL terbangun karena merasa
sangat lapar, ia heran karena di keningnya ada handuk kecil yang masih lembab.
Ia melirik ke meja kecil di mana sebuah mangkuk berisi air masih di sana. Ia
melepaskan handuk dari atas keningnya. Di sebelahnya Julia tertidur seperti
kelelahan membuat AemeL menarik napas dalam-dalam, ia ingat kejadian seharian
kemarin dan pria yang tidak ia kenal membawanya pulang, setelah itu ia tidak
ingat apa-apa lagi. AemeL mengambil buku dari bawah tempat tidurnya, sebelumnya
ia menyelimuti Julia. AemeL mulai menuliskan sesuatu di bukunya..
Tinta emas….
Sungguh aku masih
tidak mengerti rahasia apa yang Julia sembunyikan, Tapi meskipun demikian, apa
pun yang terjadi pada kami sebelumnya… aku ingin sekali menjadi sahabatnya. Tuhan…
lindungilah Julia, sembuhkanlah ingatanku agar semua teka-teki ini terjawab,
amin.
Perut AemeL berbunyi dan AemeL kembali
meletakkan bukunya di bawah tempat tidurnya, ia ingat dari kemarin belum makan
apa-apa selain minum susu coklat yang diberi oleh pria asing itu, AemeL meraih tongkat
yang ada di sisi sebelah kirinya dan perlahan bangkit, ia berputar mengelilingi
tempat tidur untuk mendekati Julia, ia mendekati wajahnya pada Julia lalu
sekilas ia mencium pipi Julia begitu lembut seolah ingin mengucapkan terima
kasih pada gadis itu. Setelah selesai ia berguman.
“Maafkan semua kesalahanku, kondisi
seperti ini membuat aku seperti orang putus asa. Apa pun yang terjadi aku tidak
akan pernah pergi lagi, Julia.” Perlahan AemeL membawa kakinya keluar dari
kamar dengan terseok-seok ia mencari sesuatu di dalam lemari es. Ada dua sachet bumbu nasi goreng ia meraihnya
lalu melirik rice cooker, apakah ada nasi di dalam sana?
Pikirnya. Ternyata nasinya tidak lebih dari satu porsi saja tapi AemeL tetap
menggorengnya dan akan berbagi dengan Julia nanti.
Setelah selesai dan meletakkan hasil
pekerjaannya ke dalam dua piring kecil Julia muncul dari kamar dan tentu saja
kaget melihat AemeL sudah ada di sana. Ia langsung menghampiri gadis itu karena
semalam ia diserang demam tinggi, ia tidak ingin hal itu kembali menimpa AemeL.
“Maaf, aku terbangun karena lapar.” Kata
AemeL yang merasa Julia terbangun karena suara berisik yang ia timbulkan dari
dapur. AemeL mengangkat satu piring untuk ia bawa ke meja tapi langsung diambil
oleh Julia untuk membantunya membawa ke atas meja. AemeL diam dan tak menolak
Julia membantunya karena ia masih membutuhkan dua tongkat untuk berjalan
mendekati meja. Setelah duduk di kursi Julia langsung meraba kening AemeL
sekilas ternyata memang sudah tidak panas. AemeL menyimak Julia yang tidak
mengeluarkan satupatahkatapun. Berikutnya Julia mengambil gelas dan mengisinya
dengan air tawar lalu meletakkannya di meja untuk AemeL, selanjutnya ia membuat
kopi dan tidak sampai dalam hitungan menit ia sudah mengambil pakaian kotor
untuk dimasukkan ke dalam mesin cuci. Sedangkan AemeL sudah menikmati nasi
gorengnya karena perutnya sudah sangat lapar. Julia masih tidak bisa diam, ia
kembali ke kamar untuk merapikan tempat tidur lalu keluar lagi membuka jendela,
udara dingin masuk lewat jendela, di luar cahaya belum bisa dibilang terang.
Semua yang Julia lakukan tidak pernah lepas dari mata AemeL.
AemeL bergerak ke arah tempat cucian
piring saat Julia sudah berdiri di sana. “Biar aku saja.” Ujarnya.
“Jangan.” Tolak Julia.
AemeL melirik bekas luka di ibu jari Julia
lalu langsung mengambil gelas dari tangan Julia. “Sudah aku bilang, biar aku
saja. Aku bisa melakukannya karena aku bukan wanita lumpuh.” Tekan AemeL
membuat Julia marah.
“Apa maksud kamu?” kata Julia.
“Aku tahu kamu bukan orang yang seperti
saat ini.” Sahut AemeL tanpa menoleh pada Julia. “Kamu berusaha menjadi orang
lain.” Mendengar ucapan AemeL membuat Julia menjatuhkan gelas dari tangannya ke
bak cucian memaksa AemeL menoleh dan menatap gadis itu. “Kenapa? Apa aku salah?
Kamu tidak bisa membohongi aku, Jul. aku tidak tahu apa profesi kamu tapi yang
jelas kamu bukan orang dapur yang terbiasa dengan bau asap, membilas gelas atau
piring kotor. Berapa pembantu kamu di
rumah? Dua? Tiga atau empat?” sergah AemeL. “Apa pun yang telah terjadi antara
kamu dan aku, aku tidak mau kamu mengubah karakter kamu, aku ingin kamu menjadi
diri sendiri. Apa kamu pikir aku suka dalam kondisi seperti ini? Ditemani orang
yang tidak aku kenal dan rela melakukan apa saja yang mungkin tidak pernah ia
lakukan sebelumnya? Aku benci diriku dan juga kamu…..” kalimat terakhir itu
terdengar seperti penyesalan dan suaranya serak. “Aku benci kamu…….” Kali ini
tongkat AemeL terjatuh dan ia ikut merosot dan terduduk di lantai. Julia
mengikutinya ke lantai dan menatap wajah AemeL yang sudah menangis di sana.
Semua yang dikatakan AemeL memang benar adanya, Julia memang paling benci
dengan yang namanya pekerjaan yang ada di dapur apalagi mencuci segala
perabotan kotor. “Aku benci kamu.” Ulang AemeL nyaris terisak.
“Apa kamu pikir aku tidak benci kamu? Aku
bahkan sangat membenci kamu, tapi setiap kali rasa benci itu muncul rasa sayang
itu melebihi apa pun. Kamu…. Kamu…” Julia ikut menangis.
“Tapi kenapa kamu mau melakukan semua ini?
Kenapa?”
“Aku tidak tahu…” Julia
menggeleng-gelengkan kepala dengan suara ikut serak, keduanya sudah saling
menangis.
“Tinggalkan aku, Julia… tinggalkan aku….”
Kini suara AemeL seperti berteriak tapi tidak bisa keluar dengan keras karena
dadanya seakan terasa sangat sesak.
Julia memegang wajah AemeL yang sudah
basah dengan air mata seperti halnya dengan dirinya. “Tidak….. AemeL, aku tidak
akan meninggalkanmu.” dan akhirnya ia memeluk tubuh AemeL sangat erat karena
tidak bisa bicara apa-apa lagi dan kedua gadis itu menangis bersama sampai
sesunggukan. Beberapa saat kedua gadis itu menghabiskan waktu untuk saling
berbagi kehangatan, itu pertama kali mereka merasakan kasih sayang seorang
sahabat sejak AemeL lupa ingatan tapi tetap saja Julia belum bisa menjelaskan
siapa dirinya yang sebenarnya. Udara pagi menyegarkan ruangan apartemen mereka
meski sempat dihiasi dengan air mata namun telah hadir rasa saling peduli
diantara keduanya.
**
Cinta
datang dari Musuh
Sore itu, pria asing itu datang lagi ke
apartemen AemeL dan Julia. Ia bertemu dengan Julia karena AemeL sedang
istirahat di kamar, tidur karena habis minum obat.
“Aku tidak tahu apa yang membawa aku
kembali ke tempat ini?” katanya pada Julia setelah Julia meletakkan segelas
kopi di hadapannya.
“Tidak apa-apa, sekali lagi saya harus
mengucapkan terima kasih karena telah menemukan AemeL kemarin.” Ucap Julia
karena masih terbayang ia mencari AemeL ke mana-mana, ia stres karena tidak
berhasil. “Silahkan diminum.” Lanjutnya.
“Terima kasih. Mm… apa dia adik kamu?”
selidiknya.
Julia menggeleng. “Dia sahabat saya.. tapi
dia sedang lupa ingatan.”
“Apa?” pria itu kaget sekali. Julia
mengangguk mengiyakan pernyataanya. “Dia masih kuliah atau bekerja?”
Julia merasa tidak pantas menceritakan hal
lebih jauh tentang sahabatnya pada pria asing dan dia memang tidak ingin
menjelaskan lebih dari itu.
“Kakinya cacat, apa dia pernah jatuh?”
tetap saja pria itu ingin tahu banyak. “Namanya AemeL, kan?”
“Silahkan diminum dulu kopinya, nanti
keburu dingin.” Julia coba mengalihkan topik pembicaraan. Pria itu mengikuti
apa yang di minta Julia dengan mencicipi kopi yang telah dihidangkan untuknya.
Sebenarnya pria itu ingin sekali bertemu dengan AemeL, sejak kemarin ia merasa
ada hal yang membuatnya tertarik dengan gadis itu.
“M… dia sudah lama tidur? Maksud saya, apa
dia tidak apa-apa?”
“Dia baik-baik saja, sekali lagi terima
kasih karena telah mengkhawatirkannya.” Ucap Julia karena ia memang sangat
berterima kasih pada pria itu. Pria itu mengangguk-anggukan kepalanya.
“Saya, nama saya Teguh, Teguh Tebolai.”
Akhirnya pria itu memperkenalkan dirinya. Julia mengangguk dan sepertinya ia
pernah melihat pria itu sebelumnya tapi ia tidak tahu di mana dan kapan. Julia
coba menepis dugaan itu, ia pasti berhalusinasi sebab banyak orang yang
memiliki wajah yang nyaris mirip, pikirnya. “Baiklah, saya permisi.” Ujarnya
karena sudah hampir maghrib.
Dan anehnya, keesokan harinya pria itu
datang lagi dan bertemu dengan Julia di parkiran apartemen sesaat setelah Julia
bertemu dengan pak satpam untuk mengatakan seandainya satpam melihat AemeL
pergi sendiri harus dicegah. Julia tidak membawa pria itu masuk dan mereka
hanya ngobrol di bangku yang ada dekat parkir. Julia menyimak motor besar milik
pria yang bernama Teguh itu, lampu sign
sebelah kirinya patah dan terkulai. Teguh mengikuti arah mata Julia.
“Masih bisa menyala, aku belum sempat
membawanya ke bengkel.” Jelas Teguh. “Tidak tahu kapan patahnya dan mengenai apa.”
Tambahnya. “Saat itu, tengah hari aku naik motor seperti orang gila….” Ia
berhenti sejenak seakan tidak ingin mengingat kejadian pahit hari itu. “Aku
anak bungsu dari dua bersaudara, hari itu ibuku meninggal dan aku tidak sempat
ada di sisinya saat terakhir ia menutup mata dan aku bahkan tidak memiliki
pesan terakhir darinya.” Nada bicara pria itu mulai terdengar lirih. Ia
terlihat masih sangat berduka. Julia terdiam lama, hening. Lalu sesaat kemudian
Julia seperti tersentak seolah ingat dengan kejadian naas itu.
“Kapan ibumu meninggal?”
“M… beberapa minggu yang lalu, belum juga
genap empat puluh hari.”
“Apakah hari itu adalah hari kamis?”
Teguh menatap Julia agak lama lalu. “Ya,
kenapa kamu bisa tahu?” helanya.
“Berarti, kamu… kamulah si penabrak itu.”
Julia langsung berdiri. Teguh mengikutinya dengan bingung.
“Apa maksud kamu, Julia?”
“Kamu pasti yang menabrak AemeL dan
mengakibatkan kakinya patah dan ia mengalami amnesia.” Kata Julia dengan nada
bergetar.
“Apa? Apa maksud kamu?” kata Teguh merasa
tidak melakukan itu, kata-kata Julia membuatnya kaget namun akhirnya ia terdiam
seolah menyadari sesuatu. Siang itu ia memang berbelok ke arah kiri tanpa
memikirkan ada orang lain di depannya. Ia menyalip lalu tancap gas ke kiri
sebelum melesat ia sempat merasakan motornya agak goyang. Ia menatap mata Julia
dengan seksama. “Em… apakah waktu itu AemeL mengendarai motor?” katanya
kemudian.
“Ternyata kamu… kamu orangnya.” Julia
menggeleng-gelengkan kepalanya menahan emosi. “Pergilah, kamu tidak perlu lagi
datang-datang ke sini. Aku mohon kamu pergi.” Ujar Julia yang sudah bisa
memastikan kalau Teguh-lah orang itu.
“Julia.” Teguh meraih tangan Julia yang
ingin berbalik meninggalkannya. “Aku mohon jangan bersikap seperti ini. Asal
kamu tahu bahwa tidak ada yang kebetulan di dunia ini, percayalah. Apa pun yang
telah terjadi aku minta maaf.” pintanya dengan sungguh-sungguh. “Aku akan
bertanggung jawab.”
“Kamu tidak perlu minta maaf sama aku, aku turut berduka cita atas
kepergian ibumu tapi kamu…., sekali lagi aku mohon jangan pernah lagi datang ke
sini dan menemui AemeL.” Kali ini Julia benar-benar meninggalkan Teguh di
tempat itu. Teguh hanya bisa menarik napas dalam-dalam lalu melirik arlojinya. Dia harus ke kantor.
Di perjalanan tak henti-hentinya ia
memikirkan apa yang telah terjadi dan pengakuan Julia mengatakan kalau dia
adalah yang menabrak AemeL seperti orang pengecut atau disebut dengan tabrak
lari, tidak bertanggung jawab. Jika benar ia yang menabrak AemeL maka Teguh
tidak bisa memaafkan dirinya apalagi mengingat AemeL yang waktu itu duduk
seharian di halte bis, karena mengalami amnesia belum lagi kakinya patah. Teguh
meninju stang motornya karena kesal.
Di kantor Teguh mencari nama AemeL di
internet dan jejaring sosial apa saja.. beberapa menit ia telah menghabiskan
waktunya tapi tidak juga berhasil. Tidak ada satupun wanita yang bernama AemeL.
A… Ae.. tapi bukan AemeL, yang ada nama AL. Sadei. Ia meng-klik nama itu lalu muncullah profil lengkapnya. Seorang penulis
berbakat, lahir di Palembang dua puluh tujuh tahun yang lalu. Telah merilis
beberapa judul novel dan yang sedang beredar adalah novel dengan judul ‘Sebuah
Rahasia.’ Yang diterbitkan oleh penerbit besar dari Jawa Timur. Teguh menyimak
nomor telepon dari penerbit. Detik berikutnya ia menghubungi nomor tersebut dan
diangkat oleh seorang wanita.
“Ya, selamat pagi.”
“Penerbit Mandiri?” tanya Teguh.
“Ya, mau bicara sama siapa, ya?”
“M… saya mau tanya Mbak? Apa AL. Sadei
seorang penulis yang menerbitkan novel-novelnya di sana? Kalau boleh tahu,
apakah itu nama aslinya atau nama Pena?”
“Aduh, kami tidak bisa memberitahukan hal
itu karena itu permintaan dari klien kami. Kami menjalani semua sesuai
prosedur. Kalau boleh tahu ini siapa, ya?”
“Saya Teguh. Teguh Tebolai. Saya berharap
sekali kalau Mbak bisa bantu.”
“Teguh Tebolai? Seorang reporter di salah
satu televisi swasta itu?”
“Betul, Mbak.”
“O, tapi maaf Mas, kami tetap tidak bisa
bantu. Nanti kami akan mengkonfirmasi pada penulisnya, ya.” Kata suara itu
seolah minta pengertian dari Teguh.
“Oke. Terima kasih sebelumnya.”
‘Hmmm… AemeL Baes ternyata lama juga
semedinya sampai ada yang mencarinya ke sini.’ Guman Mitha yang ia tahu AemeL
sedang berlibur atau memang sedang tidak ingin diganggu.
Sekali lagi Teguh menelusuri profil AL.
Sadei. Semua foto yang tertera adalah foto penggemarnya, ada yang memegang
novel lalu beberapa komentar di bawahnya serta gambar-gambar cover novel. Teguh terhenti di foto yang satunya di mana
seseorang sedang berdiri dengan wanita itu yang memperlihatkan novel lagi.
Wanita yang satunya adalah AemeL Baes. ‘AemeL
Baes adalah namanya.’ Guman Teguh. Ia mencari nama itu di Facebook tapi tidak berhasil ditemukan.
Lalu ia membuka akun Twitter, menit
berikutnya ia mendapatkan nama pemilik dengan nama tersebut. Teguh masih sangat
penasaran ia terus menelusuri, tidak satupun ia menemukan foto AemeL Baes. Di
profil tertulis nama. Pekerjaan freelance,
tinggal di Jakarta. Follower tidak
lebih dari tujuh ratus orang, mengikuti beberapa ratus antaranya novelis
Indonesia, para motivator dan beberapa artis.
Teguh kembali ke Facebook AL. Sadei dan melihat statusnya, lajang tapi sedang
menjalin hubungan dengan seseorang, untuk beberapa detik Teguh kecewa. Saat itu
orang bagian staf mendatangi meja Teguh.
“Hai, Guh….?”
“Ya.” Teguh mengangkat wajahnya dari layar
laptopnya.
“Besok ada tugas keluar kota, siap ya?”
ujar wanita tiga puluhan itu. Dialah senior Teguh yang sangat peduli dengan
Teguh.
“Aduh, gimana ya?”
“Eit, sejak kapan kamu menolak tugas?”
ujar wanita itu dengan gaya dibuat-buat tegas.
“Aku akan keluar kota kalau sudah melewati
empat puluh hari, bagaimana?” Teguh minta pertimbangan.
“Kalau ada gantinya aku juga tidak akan
meminta kamu.” Jelas seniornya tidak punya pilihan. “Cuma empat hari, oke.” Ia
coba memaklumi dan tidak mau dianggap tak punya toleransi.
“Baiklah.” Teguh menyerah meski merasa
berat. Disamping karena ibunya ia juga ingin menemui AemeL dan mengatakan kalau
dia-lah yang telah membuatnya celaka.
~
Julia tidak habis pikir kalau Teguh tidak
menyadari telah menyenggol motor orang dan mengakibatkan AemeL seperti saat
ini. Keterlaluan sekali! Gumannya.
Tanggung jawab seperti apa yang akan
diberikan Teguh sama AemeL? Jangankan ngotot untuk bertemu lagi, bahkan sudah
beberapa hari ini ia tidak ada kabarnya lagi. Julia merasa itulah orang
Jakarta, bicara selalu manis namun tidak pernah sesuai dengan prakteknya.
Sedangkan Wowor yang jelas-jelas sudah
mengatakan menyukai Julia tidak pernah ada kabarnya lagi. Ponsel yang satu
tidak pernah menyala lagi sedang BB
sudah hancur berkeping-keping di tangan Julia. Julia jadi tersenyum sendiri
mengingat semua itu. ‘Maaf Wor, tidak ada
maksudku untuk merugikanmu.’ Batinnya.
AemeL menjadi sangat pendiam sekarang, ia
bahkan tidak pernah mau memikirkan lagi siapa Julia. Ia hanya fokus dengan
kesembuhan kakinya agar bisa berjalan lagi tanpa menggunakan tongkat.
**
Julia
oh Julia
Seema jadi keteteran saat ditanyakan oleh
anak buah Julia yang lain mengenai keberadaan Julia. Kalau dengan urusan
keluarga tidak begitu bermasalah sebab Julia itu memang sudah hidup mandiri dan
jarang juga bertemu dengan keluarga besar, kadang sebulan sekali bahkan dua
bulan sekali jadi mengenai kehilangan Julia yang nyaris sebulan ini belum
begitu heboh di dalam keluarga.
‘Seema, aku harus pergi… untuk sementara
semua urusan toko aku serahkan sama kamu. Aku tidak bisa memberitahumu ke mana aku
pergi, nanti setelah pulang aku ceritakan semuanya. aku percaya padamu. Terima
kasih.’
Itu BBM
yang masuk terakhir kali ke BB Seema.
Yang menjadi pertanyaan Seema, ke mana gadis itu pergi? Sepertinya ia tidak
punya masalah serius yang harus dihindari. Julia juga tidak punya hutang di
bank apalagi pada rentenir tapi mengapa BB-nya
tidak aktif? Berkali-kali Seema memeras otaknya untuk mencari tahu di mana
keberadaan bosnya itu. Sedang barang di toko hanya tinggal satu dua saja karena
nyaris dua bulan tidak diisi. Seema hanya berpesan pada teman-temannya agar
menjual semua barang yang ada di toko dan uangnya dikumpulkan.
“Kita jual saja yang ada dulu, mungkin
seminggu ke depan toko ini bisa diisi dengan barang yang lebih banyak jadi kita
tidak selalu mengatakan pada pelanggan, ini habis, ini juga habis. Karena
kata-kata seperti itu paling tidak aku sukai. Julia sedang pergi karena ada
urusan yang tidak bisa ia tinggalkan dan aku tidak bisa memberitahukannya pada
kalian. Yang penting gaji kalian bulan ini tetap dibayar full.” Jelas Seema pada temannya saat mereka kumpul malam itu di
toko utama. Seema sebenarnya tidak begitu yakin apakah bulan depan toko masih
bisa dibuka atau benar-benar tutup untuk selamanya.
‘Aduh, Julia Julia… kamu ke mana sih?’
~
Wowor seringkali menjadi tidak fokus
bekerja sejak bertemu dengan Julia, gadis itu sudah menyerap sebagian ketenangan jiwanya. Yang tidak dia habis
pikir Julia itu agak emosional, suka meledak-ledak dan ponsel sepertinya bukan
barang penting baginya. Wowor menjadi tersenyum, bukan hal aneh kalau ada
wanita yang seringkali mengatakan perasaannya duluan padanya tapi Julia sangat
berbeda, terkadang tak sebelah matapun ia memandang Wowor, ia bahkan menyebut
Wowor dengan ‘Anda’
‘Dia memang berbeda, aku suka dia.’
**
Sahabat
‘Apakah aku salah? Mengambil tindakan meninggalkanmu karena aku
sangat menyayangimu. Setelah kau mengatakan betapa sangat kecewanya dirimu atas
penjelasan yang aku paparkan, sedang kamu sendiri yang memintaku untuk berkata
jujur. Menurutmu, bersahabat itu harus saling terbuka… Tidak boleh saling tersinggung, Saling
mengerti, Saling jujur, menyangkut apa pun itu. Semua kejujuran itu telah kau
dengar dari mulutku, yang tadinya tidak sanggup aku utarakan…. Tapi kau memaksaku
sampai mengancam untuk bertanya pada orang lain… padahal orang lain tidak tahu
apa-apa. Sungguh aku tidak sanggup menyampaikannya padamu, tapi kamu memaksa
dan kita telah berjanji sebelumnya bahwa tidak boleh ada yang disembunyikan /rahasiakan
dalam persahabatan kita. Hanya itu yang aku ingat… Dengan tanpa berpikir
panjang…. Kejujuran yang seharusnya tidak boleh kau dengar itu terlontar juga…
tadinya aku pikir itu semua demi kebaikanmu, karena aku sayang kamu. Namun
setelah mendengar semua itu, kamu berubah… Yang selama ini setiap hari menyapa
baik lewat telepon ataupun pesan singkat… namun sejak itu tak lagi ada satu
kata pun kudengar darimu, Hampir setiap hari aku menyapamu ‘Say Hello’ tanya
kabar atau memberi ucapan apa saja.. tapi aku tak pernah mendapat respon lagi
darimu. Itukah yang kamu sebut ‘persahabatan kita sangat kuat, dan tidak akan
hancur kalau kita berdua sama-sama tidak menginginkannya hancur?’ Selama ini,
aku masih bertahan…. Karena aku pikir tidak akan hancur kalau hanya kamu yang menginginkannya
hancur. Sekali lagi aku mengatakan, Aku tidak tahan lagi menikmati situasi yang
tidak nikmat ini..,’
Dan…. saat itulah aku mendapat jawaban
darimu, Kamu menjelaskan semuanya, Mengatakan aku telah membuatmu sangat
kecewa.’
AemeL :
“Sudahlah… jangan terlalu
dinikmati, aku hanya butuh waktu atas betapa kecewanya aku sama kamu. aku
kecewa sama orang yang menyampaikan itu sama kamu, tapi aku tahu kekurangan dan
kebodohan orang itu.. semua sudah tahu dia. Jadi aku sangat memakluminya. Tapi kamu….?!
Kenapa kamu lakukan itu? Itu namanya sayang…? Itukah namanya menjaga? Itukah
namanya menghargai? Bukan sama kamu saja dia ceritakan hal itu, pada semua
orang ia katakan hal yang sama… tapi semua orang tahu dia dan aku. Jadi satupun
tak ada yang nyampain ke aku. Tapi kamu………?!! aku jadi makin ga paham sama
kamu, aku jadi asing sendiri. Padahal aku tahu omongan itu tanpa kamu sampein
ke aku. Tapi saat kamu mengatakannya, aku bukan sedih dengan penyampain
ucapannya. aku kecewa sifat kamu, kenapa kamu begitu tak bijaksana sih…?
Mengapa kamu mendiskriminasi aku? Seharusnya kamu lindungi sahabatmu. Kenapa
aku beranggapan seolah-olah kamu
mendorong aku ke jurang tanpa bertanya apa kesalahanku. aku cuma butuh waktu menerima
kekuranganmu itu, tak ada benci di hati.”
Julia :
“Oh, begitu? Jadi di sini kebodohanku karena
penyampaian itu? kamu yang maksa aku mengatakan semua apa yang orang itu
katakan. aku nggak bisa bohong sama kamu, karena diawal persahabatan kita sudah
berjanji tidak boleh ada yang disembunyikan apa pun itu, karena sahabat yang
baik tidak selalu mengiyakan kebaikan saja. Jika kejujuran aku membuat kamu
kecewa, meski aku nggak pernah bermaksud membuat kamu kecewa. Aku memang ga
bisa terima kata-kata orang itu, karena menurut aku sangat tidak etis. Aku
emosi. Jika kamu tahu semua apa yang orang itu katakan sama aku, mengapa saat
itu kamu marah besar saat aku gak mau cerita karena tidak sanggup
menyampaikannya sama kamu…??? Sampai kamu ngancam ke aku untuk bertanya sama
orang lain yang kamu kira aku cerita ke orang yang nyatanya tidak tahu apa-apa.
Aku nggak akan pernah maksa kamu terima aku lagi sebagai sahabatmu, hanya saja
aku butuh penjelasan.”
AemeL :
“Ya kalo kamu anggap itu
hal benar, aku minta maaf… tak dapat memakluminya saat itu. Jadi tak ada yang
salah di sini. Dia dengan sifat dasarnya aku maklumi, kamu yang jujur tak
peduli dengan akibatnya…., sedang aku yang berharap tidak mendengar ucapan yang
gak ngenakin dari orang yang aku sayangi. Aku paham atas semuanya. Sekali lagi,
aku tak membenci di sini, aku sudah paham.”
Julia :
“Setelah aku berpikir lagi…. aku hanya mo
bilang, aku nggak akan membuatmu kecewa
lagi, nggak akan menyakiti kamu lagi… nggak akan pernah… karena aku nggak
sanggup mendengar kamu KECEWA atas sifatku, semua ini hanya satu alasan….
Karena aku SAYANG sama kamu, untuk TERAKHIR kalinya aku mau bilang ‘Maaaaaf’kan
aku.”
(Aku sayang sama kamu makanya aku akan
pergi dari hidupmu, agar kamu nggak akan pernah lagi kecewa sama aku)
‘Isi pesan-pesan yang meluluhlantakkan
kisah persahabatan.’
Julia menghela napas sangat dalam
mengingat hal itu ia merasa begitu down
karena sejak itu ia merasa kehilangan seorang sahabat yang mungkin dibilang
terlalu ia sayangi dan pertemuan berikutnya terjadi setelah AemeL mengalami
amnesia. Apakah ada yang lebih sakit dari itu? Tanpa sadar air mata Julia pun
mengalir, akhir-akhir ini ia menjadi orang cengeng. Julia tahu kalau ia tidak
pernah membiarkan siapa pun yang membuatnya mengeluarkan air mata tapi AemeL
bisa melakukan itu. AemeL bukanlah sahabat pertamanya, tapi mengapa ia bisa
meluluhlantakkan hati Julia, mampu membuat Julia melakukan apapun termasuk
meninggalkan bisnisnya.
“Julia…..?” itu suara AemeL memanggil
Julia yang mengambil jemuran di sudut balkon. Julia menoleh pada AemeL dan
wanita itu sedang menatap wajah Julia dengan seksama. “Ada yang ingin aku
bicarakan.” Lanjutnya.
Julia mendekati AemeL dan meletakkan baju
di atas sofa lalu duduk di sebelah AemeL. “Hmm, aku juga sebenarnya ingin
mengatakan satu hal sama kamu….” Suara Julia terhenti. ‘Ah, Tidak, aku tidak boleh mengatakan itu, mengapa aku harus
menyampaikan pada AemeL siapa yang menabraknya sementara aku sendiri saja tidak
bisa jujur pada AemeL. Itu sangat tidak adil.’ “Mm.. kamu saja, mau bicara
apa?”
AemeL meletakkan tongkatnya di sisi sofa
lalu terdengar tarikan napas panjang dari mulutnya kemudian terdengar tawa
halus. “Maafkan aku, Jul.” ia menatap Julia. “Aku sudah ingat semuanya, kita
harus keluar dari apartemen ini.” Ujar AemeL seolah tidak pernah terjadi
apa-apa sedangkan Julia terperangah bukan kepalang. Bukan ia tidak pernah
membayangkan kalau harus berhadapan lagi dengan AemeL yang akan ingat semuanya.
Julia menundukkan wajahnya seakan tidak bisa bicara apa-apa. “Sekali lagi aku
minta maaf karena telah merepotkanmu, aku tidak suka tempat ini. Kalau sisa
saldo di ATM-ku masih ada kita akan segera mencari tempat baru.”
“Aku tidak menggunakan ATM-mu.” Julia
menoleh pada AemeL.
“Ya, Tuhan. Jadi kamu telah menghabiskan
tabunganmu untuk semua ini dan biaya pengobatanku? Sudah berapa hari kita di
sini? Sebulan atau lebih?”
“Aku baru saja ingin menambah waktu sewa
apartemen ini.”
“Kalau kamu tidak menggunakan ATM-ku, maka
kita akan jalan-jalan ke Bali, seminggu atau sebulan. Aku benar-benar tidak
suka tempat ini.” AemeL mengulang lagi kata-kata terakhir itu. “Mm.. bagaimana
kabar pak dokter? Dia menyukaimu, aku bisa melihatnya.”
Julia berdiri, meski ia merasa sangat kaku
dengan kondisi AemeL yang sudah baikkan namun tak bisa ia pungkiri ia masih
kangen sekali dengan gadis itu.
“Duduklah kembali Jul, aku masih kangen.
Aku aku… maksudku tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini termasuk aku.”
“Apa aku masih asing di matamu?” ujar
Julia akhirnya dan AemeL menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Aku tidak ingin membahas masalah itu,
sedikitpun tidak. Aku ini sudah mengalami amnesia jadi anggap saja, memoriku
baru saja dimulai lagi dari awal.” AemeL mengambil tongkatnya. “Kita ke tempat
kosku yang lama, setelah itu baru kita pikirkan selanjutnya. Oya, tadi kamu mau
bicara apa?”
Julia tidak langsung menjawab, ia diam
agak lama baru bisa menjelaskan. “Si Teguh.”
“Oh, pria itu? Kenapa dengan dia?”
“Ternyata dia yang menabrak kamu.. dan ia
tidak menyadarinya.” Julia menunggu reaksi AemeL tapi AemeL diam seperti
menunggu kelanjutan cerita Julia. “Katanya dia akan bertanggung jawab, tapi
setelah hampir satu minggu mengetahui kalau yang tertabrak itu adalah kamu,
sampai detik ini ia tidak muncul lagi.”
AemeL beranjak dari sofa diamati Julia
dengan tenang karena AemeL mulai lancar jalan dengan tongkatnya. “Oh, begitu…?
Jadi dia. Aneh juga kalau ia tidak menyadarinya dan pertemuan di halte itu,
apakah ada yang kebetulan di dunia ini? Sudahlah Jul, semua ini sudah diatur
sama Tuhan… yang penting sekarang aku senang bisa bersama kamu lagi. Aku
kangen, apa kamu tidak ingin memeluk aku? Ya kamu sudah peluk aku waktu di
pojok tempat cucian piring tapi itu bukan aku, kan?”
Julia tersenyum, perasaannya bercampur
aduk merasa lucu juga terharu. AemeL sepertinya tak akan membiarkannya jadi
orang asing lalu dengan cepat ia menghampiri AemeL dan memeluk gadis itu dengan
erat. “Terima kasih Tuhan, untuk semua ini.”
“Jangan pernah bersikap konyol lagi ya,
kamu jelek sekali kalau lagi mencuci piring.”
“Sialan kamu, aku memang benci mencuci
piring tapi kan aku harus melakukannya.” Sahut Julia, AemeL mengusap punggung
Julia dengan penuh kasih sayang, tanpa Julia sadar kalau sebenarnya AemeL
menyanyangi Julia lebih dari yang Julia tahu.
Bel pintu terdengar sangat nyaring. AemeL
dan Julia berpandangan sesaat.
Julia bicara. “Kalau itu pak dokter,
jangan singgung-singgung tentang perasaanku sama dia, Oke.”
“Jadi benar kamu ada perasaan sama dia?
Hmmm sudah kuduga.” Goda AemeL.
“Aduh, Ae… apa sih yang bisa aku
sembunyikan dari kamu kalau kamu tidak amnesia. Biar aku buka pintu dulu.”
Kilah Julia.
“Tapi kalau itu si Teguh, tolong jangan
bicara apa-pun tentang aku, oke!?”
Julia mengacungkan jempolnya. “Siiip!” ia
mendekati pintu setelah terdengar suara bel kedua.
Teguh berdiri dengan sangat gagah di depan
pintu, tangannya memegang sebuah bungkusan kecil semacam kado. Ia tersenyum
pada Julia.
“Selamat sore Julia, apa kabar?... maaf aku
datang lagi. Aku mohon jangan usir aku.” Pintanya serius.
“Sangat baik.” Jawab Julia dengan santai.
‘Tumben ia nongol lagi setelah beberapa hari menghilang.’ Batin Julia.
“M… boleh aku masuk?”
“Silahkan.” Julia mempersilahkan pria itu
masuk ke ruang tamu di mana AemeL sudah duduk kembali di sofa dengan sebuah
majalah di tangan.
“Selamat sore AemeL….. bagaimana
kesehatanmu?”
AemeL mengangkat kepalanya. “Emmm… kamu?”
AemeL tak begitu kaget. “Aku, aku
sangat baik.”
“Silahkan duduk, Guh.” Kata Julia.
Teguh mengambil tempat duduk di sebelah
AemeL lalu ia menyerahkan bungkusan itu kepada AemeL. “Untuk kamu.” Ujarnya.
“Bukalah.” AemeL meraih bungkusan itu sedang Julia sudah duduk di sebelah
kanannya AemeL. Ternyata sebuah novel. “Tadi aku ke toko buku, ternyata ada
sebuah novel baru karya AL.Sadei. kamu pasti suka, dari sinopsisnya saja bagus
banget.”
Julia nyaris saja berujar kalau itu adalah
novel terbaru dari karya AemeL tapi mulutnya terkunci karena pesan AemeL tadi.
“Terima kasih, aku pasti suka.
Sekali lagi terima kasih ya.”
“Hmm… ada satu lagi Ae, aku… aku.” Teguh
masih ragu-ragu lalu ia menoleh pada Julia yang di sebelah AemeL. Julia
akhirnya menatap AemeL dan AemeL menunggu apa yang akan pria itu katakan. “Aku
menyukai kamu.” Ternyata yang dikatakan pria itu tidak seperti yang Julia duga
karena tadi ia pikir pria itu akan mengakui tentang insiden itu. “Aku….”
Sepertinya ia belum selesai. Ia melirik ke arah kaki AemeL. “Aku menyukaimu
bukan lantaran kakimu cidera karena aku, tapi aku memang benar-benar
menyukaimu. 4 hari lebih tugas di luar kota tak bisa seharipun aku tidak ingat
denganmu. Maafkan aku Ae, lancang dan telah membuatmu seperti ini. Maafkan
aku.” Pintanya tulus dan bukan lantaran atas dasar mengemis cinta gadis itu.
AemeL melirik ke Julia dan gadis itu hanya
mengangkat kedua bahunya lantaran tidak tahu harus bagaimana. Kemudian AemeL
menatap pada novel yang masih ditangannya.
“Ini, aku yang menulisnya dan terima kasih
sudah membelinya.” AemeL menoleh pada Teguh yang bengong. “Ingatanku sudah
pulih, jadi…. Lupakan tentang perasaan kamu itu. Aku memang menghargai
kata-kata kamu tapi untuk saat ini, aku hanya bisa bilang… terima kasih. Tidak
ada yang kebetulan di dunia ini. Waktu itu kamu sudah membawaku pulang dari
halte, untuk itu aku harap kamu jangan pernah merasa ada acara hutang budi
lantaran sudah menabrak motorku meski itu hanya kecelakaan sebab tidak ada
satupun orang menginginkan mengalami kecelakaan di jalan, kan?”
“Em, AemeL… bukan itu maksudku. Aduh….
Bagaimana menjelaskannya ya?”
Pesona pria itu memang tak bisa AemeL
pungkiri dan Julia tahu sekali pria tipe AemeL yang seperti Teguh itu. Kulit
sawo matang, punya cambang tipis, tinggi dan pintar. “Maaf Guh, bukannya mengusir
kamu tapi kami ada urusan yang belum selesai. Aku harap kamu mengerti dan
sekali lagi terima kasih novelnya.”
“Julia, tolong jelaskan.” Pria itu minta
dukungan dari Julia. “Aku serius tentang perasaanku sama AemeL.”
“Aku tidak bisa bilang apa-apa, Guh. Apa
yang dikatakan AemeL memang benar, karena masih ada urusan yang belum kami
selesaikan.” Julia sebenarnya tidak tahu mengapa AemeL bilang seperti itu, apa
dia ingin menghindar dari Teguh atau ada hal lain?
**
BAB II
Julia Hilang
AemeL kembali ke kontrakannya yang lama
meski belum bisa dibilang sembuh dari pincang akibat kecelakaan. Kehilangan
Julia membuatnya lebih stres dari tak berhubungan baik selama ini. Di depan
laptopnya ia mengecek semua saldo tabungannya lewat internet banking dan
semuanya masih utuh dan rencananya untuk mengajak Julia berlibur ke Bali
tinggal impian sebab gadis itu telah menghilang entah ke mana dan tidak mungkin
ia kembali ke Lampung tanpa memberitahunya sebab mereka sudah berbaikan yang
mana semua kegiatan selalu mereka beritahu. AemeL melirik sebuah buku harian
yang dibeli Julia waktu ia amnesia detik berikutnya ia meraih buku itu dan
membukanya. Deretan tulisan tangannya dengan tinta emas terlihat rapih dan
indah namun tak seindah isi dari tulisan tersebut.
Tinta emas,
Cobaan apalagi ini? Bulan lalu aku selalu
bertanya tentang Julia pada-Mu namun setelah aku menemukan jawabannya ia
kembali pergi yang memunculkan ribuan pertanyaan lagi dibenak ini! Jika ia
benar sahabat sejatiku kembalikan ia padaku, Tuhan. Julia… aku percaya
dimanapun kamu berada kamu tetap baik-baik saja, baik-baik saja… karena kamu
adalah aku, kalau aku baik maka begitulah kondisimu, kita satu. Tuhan tahu itu?
Di akhir kalimat terpaut tanda tanya
seakan AemeL sendiri ragu kalau Julia baik-baik saja meski demikian ia tetap
menanamkan keyakinan kalau sahabatnya tidak akan apa-apa. Berikutnya AemeL
membuka lembaran words dalam
laptopnya dan mengecek beberapa naskah yang belum selesai ia tulis namun
beberapa detik ia mengamati semua itu dan tidak ada satu katapun yang bisa ia
tulis hingga akhirnya ia kembali menutupnya. AemeL mengamati seisi ruangan
kontrakannya, tidak ada yang berubah.
Setengah jam berikutnya AemeL sudah ada di
depan ruangan kerja Wowor, pria itu menyambutnya dengan senyum seperti
kemarin-kemarin, tidak ada yang berubah sedikitpun begitupun dengan caranya
menyambut kedatangan AemeL.
“Hai, AemeL.. bagaimana kabarmu? Aku rasa
tidak ada jadwal kontrolmu hari ini, ternyata…”
“Memang tidak ada, aku ke sini hanya ingin
bertanya yang mungkin kamu tahu jawabannya.”
“Tentu saja Ae, aku akan menjawab semua
hal yang aku tahu menyangkut pertanyaanmu kecuali tentang keberadaan Julia.”
Ujar Wowor penuh simpati namun membuat AemeL tertawa getir.
“Justru itulah yang ingin aku tanyakan,
apa ia tidak menghubungimu dalam beberapa hari ini?” tanya AemeL dengan nada
datar dan di mata Wowor itu pertanyaan sangat biasa tidak ada kekhawatiran sama
sekali.
“Untuk apa kamu mencarinya? Jika ia
memutuskan untuk pergi berarti ia tidak ingin dekat dengan kamu, bukankah
begitu? Ngomong-ngomong bagaimana kelanjutan hubungan kamu dengan sang reporter
itu?” tanya Wowor setelah AemeL duduk di depan meja kerjanya.
AemeL kembali tersenyum. “Bukannya aku
ingin mengalihkan omongan kamu, aku malah melihat kamu itu sangat perhatian
dengan Julia tapi mengapa saat ia menghilang seolah menghilang juga perasaan
kamu padanya? Selama amnesia aku bisa melihat yang terjadi antara kamu dengan
Julia.” Pancing AemeL setengah memvonis.
Wowor malah tertawa renyah. “Kamu pikir
seperti itu? Terserah apa penilaian kamu tapi yang aku lihat selama kamu
amnesia ia sangat memperhatikan kamu bahkan tidak menghiraukan kesehatannya
sendiri, aku pikir dialah satu-satunya sahabat setia di dunia ini tapi sekarang
apa yang terjadi? Ia pergi bahkan tanpa sepatahkatapun pesan untuk kamu. Apakah
itu masih bisa disebut seorang sahabat?” kata Wowor kemudian.
AemeL tiba-tiba merasa gerah dalam ruangan
ber-AC itu hingga memutuskan untuk pamit. “Kamu benar Wor, tidak ada yang
sejati di dunia ini, jadi buat apa aku mencarinya. Sekali lagi, kamu memang
benar.” Ia bicara dengan nada tenang namun hatinya sangat tersinggung mendengar
pernyataan Wowor.
Wowor mengangguk-anggukan kepalanya dengan
pasti disertai senyuman tipis. ‘Tidak ada
sahabat sejati, Ae. Jika ada yang mempercayai itu, adalah orang bodoh!’
AemeL keluar dari ruangan Wowor dengan
perasaan sakit seolah menyakini ucapan pria itu kalau Julia sengaja
meninggalkannya dan pergi tanpa pesan. Dalam perjalanan AemeL menerima pesan
dari salah satu temannya yang tidak bisa dibilang dekat tapi cukup akrab karena
mereka satu sekolah dulu.
“Hai, AemeL… apa kabar? Juga dengan Julia?
Apa dia pernah memberi kabar padamu? Anak itu sekarang sombong, terakhir aku
menghubunginya nomornya tidak aktif.”
“Aku baik-baik saja, dan Julia juga. Ia
mungkin sedang sibuk mengurus bisnisnya, terakhir aku ketemu dia karena ia
datang ke Jakarta, sebulan yang lalu.”
“Syukurlah kalau begitu, oh, ya… bagaimana
dengan tulisan-tulisan kamu? Tentunya masih eksis’kan? salam sama Julia ya
kalau kamu ketemu dia atau telepon dia.”
“Oke, Mei. Salam juga buat teman-teman
yang lain ya.”
‘Julia baik-baik saja!? Ini benar-benar
kebohongan terbesar yang pernah aku katakan pada dunia. Ya Tuhan, semoga
demikian… Julia masih baik-baik saja.’
AemeL menghela napas panjang. ‘Jika aku
bilang tidak tahu keberadaan Julia dan mengatakan kalau aku dan Julia tidak
saling kontak, maka teman-teman yang lain tahu kalau selama ini aku dengan
Julia tidak harmonis padahal sebelumnya mereka tahunya kami teman yang paling
dekat dan selalu memberitahukan hal apa pun tentang kejadian di dunia
pertemanan, maka tidak masuk akal kalau aku bilang Julia tidak pernah ada
kabarnya lagi. Ya Tuhan.. lindungi Julia dimanapun ia berada.’
Untuk menghilangkan kepenatan pikiran
AemeL mengunjungi sebuah toko buku terbesar, di sana ia bisa mengamati beberapa
nama penulis besar dan membelikan beberapa buku yang ia rasa perlu. Baginya
sebuah buku semacam makanan yang memiliki nutrisi paling dahsyat. Saat ia
berada di depan rak buku psikologi seorang wanita dua puluhan berbicara padanya
tanpa menatap AemeL dengan seksama.
“Mencari buku karya siapa, Mbak? Ada
banyak buku psikologi karya orang-orang kita di sini tapi aku sedang mencari
buku ‘Dunia Sophie’.” Ujarnya. AemeL melirik anak itu sekilas, sepertinya ia
mahasiswi psikologi pertengahan semester.
AemeL yang sudah membaca buku yang
disebutkan anak itu jadi tersenyum saja, karena buku yang tidak kurang dari
delapan ratus halaman itu telah ia lahap dengan sempurna. AemeL agak kaget saat
melihat sebuah novel dengan judul ‘Sebuah Rahasia’ di tangan gadis itu.
AemeL mengalihkan pandangannya karena
sudah menemukan buku yang bagus. “Oke, saya duluan.. semoga kamu cepat
menemukan buku ‘Dunia Sophie’ itu.” Ujar AemeL dan ia membawa
kakinya yang masih pincang menuju meja kasir. Sedang gadis itu hanya menatap
AemeL pergi dengan terpaku, entah mengapa seakan ia kenal dengan wanita
tersebut.
~
AemeL sudah duduk di bangku yang ada di
pinggiran rak buku, kalau sudah menghadapi sebuah buku ia bisa lupa dengan yang
lain meski hanya sejenak. Setelah beberapa menit dan melahap beberapa halaman
pertama ia pun mengangkat kepalanya disertai tarikan napas panjang. Menit
berikutnya ia mengeluarkan laptop tapi ia masukan kembali dan memutuskan untuk
pulang ke tempat kos karena tidak ada yang bisa ia tulis saat itu.
Saat di tempat kos ia sudah ditunggu oleh
Teguh, pria itu sedang duduk di bangku yang ada di teras dan kelihatannya ia
sudah terlalu lama di sana. Ia langsung bangun dari tempat duduknya setelah
melihat kemunculan AemeL dan AemeL tidak heran kalau pria itu bertahan di sana
sebab ia tidak memiliki nomor yang harus dihubungi. AemeL membuka pintu dan
mengajak pria itu duduk di ruang tamu dengan pintu terbuka lebar. Teguh masuk
dengan perasaan lega bercampur lelah dan itu terdengar dengan jelas di telinga
AemeL saat pria itu menghempaskan bokongnya di atas kursi. AemeL meletakkan
tasnya kemudian membawa minuman untuk Teguh.
“Maaf mengganggu kamu, kedatanganku hanya
ingin memastikan kalau kamu baik-baik saja. Bagaimana dengan motor kamu yang di
kantor polisi? Aku rasa kewajibanku untuk mengurus semuanya. tolong jangan
salah paham, ini semua salahku, kan?” ujar Teguh dengan perhatian penuh.
“Minumlah dulu.” Hela AemeL tanpa ingin
merepotkan Teguh, bagaimanapun ia punya kenalan seorang polisi yang bertugas di
sana. “Bukannya bermaksud tidak mengindahkan maksud baik kamu, tapi sudah ada yang
mengurus.” Tambah AemeL setelah Teguh meneguk minumannya.
“Siapa?” tanya Teguh dengan cepat karena
ia takut ada pria lain yang mengambil alih perannya.
“Seorang teman.”
Pastilah teman itu seorang pria, pikir
Teguh. “Mm… aku merasa tidak enak karena kamu masih sakit seperti itu.” Ia
melirik ke arah kaki AemeL sekilas. “Sekarang kamu jadi tidak bisa bawa motor
lagi untuk ke mana-mana. Mm.. kalau kamu tidak keberatan, aku ingin sekali
mengantarmu jika kamu ingin pergi-pergi.” Sampai kapanpun Teguh tetap merasa
sangat bersalah.
“Nanti dikira tukang ojekku.” Kata AemeL
setengah bercanda membuat Teguh jadi tertawa.
“Kamu bisa saja.” Teguh bisa melihat kalau
AemeL ternyata bisa bergurau juga.
“Tidak apa-apa Guh, nanti juga aku bisa
bawa motor lagi kok.”
“Oh, ya. Aku dengar kabar kalau Julia
menghilang, kok bisa?” tanya Teguh dan membuat AemeL kaget juga mendengar Teguh
tahu berita itu. “Apa ia diculik? Jika hal itu benar, kami sebagai jurnalis
mungkin bisa coba mencari jejaknya dan satu lagi, aku harus membayar semua
biaya rumah sakit kamu meski aku tidak bisa menyembuhkan luka kakimu dan waktu
kamu yang telah menghilang selama ini.” Ujar Teguh dengan nada serius.
AemeL menggeleng lembut. “Tidak, lupakan
tentang itu dan mengenai Julia ia tidak mungkin diculik!” bantah AemeL dengan
tegas dan sedetik berikutnya ia coba memahami kata diculik itu. ‘Apa mungkin seorang gadis semulia dan
sepintar Julia menjadi korban penculikkan? Rasanya tidak mungkin, tapi bukankah
tidak ada hal yang tidak mungkin di dunia ini?’ “Julia telah kembali
menjadi dirinya sebelum aku amnesia.”
“Maksudnya?” Teguh mengeryitkan kedua
alisnya karena tidak mengerti sama sekali.
“Lupakan, aku kenal siapa Julia jadi…
sampai saat ini ia baik-baik saja.” Ujar AemeL karena tidak ingin pria itu tahu
bagaimana dilema persahabatannya dengan Julia. Cukup Wowor saja yang tahu
karena ia memang sudah terlanjur tahu sebab kondisi saat itu mengharuskan ia
tahu.
“Oh, ngomong-ngomong kamu sudah makan?”
kata Teguh setelah melirik arlojinya yang sudah menunjukkan pukul satu siang.
AemeL mengangguk meski ia sebenarnya belum makan. Teguh hanya tersenyum.
“Aku minta Pin BB kamu ya, besok malam aku
ingin mengajak kamu keluar. Aku mohon kamu tidak menolak jika tidak ada
kegiatan.” Itu ajakan kencan pertama yang keluar dari mulut Teguh. AemeL wanita
dua puluh tujuh tahun tak perlu mencerna kata-kata Teguh, apakah pria itu
sedang kosong? Tidak ada yang tahu,
apalagi AemeL yang nota bene baru kenal dengannya. AemeL tidak mau ada embel-embel hutang budi diantara mereka.
AemeL menyebut pin BB-nya lalu berkata. “Aku tidak bisa memastikan apakah besok malam
ada kegiatan atau tidak.” Sahutnya. Teguh memaklumi dan itu bukan kata-kata
yang terdengar seperti jual mahal atau gengsi dan sepertinya memang kata itu
jujur apa adanya.
**
Sangkar cinta Buta
Di dalam ruangan yang serba ada termasuk
televisi, Julia mengedarkan seluruh pandangannya ke semua sudut. Tidak ada yang
ia kenal, mungkin seperti itulah yang dialami oleh AemeL saat mengalami
amnesia. Pikirnya. Julia coba mencari remote televisi namun beberapa saat tidak
ia temukan, ia coba mendekati layar untuk menyalakannya namun tidak ada satupun
kabel yang terhubung ke benda yang bisa menghasilkan gambar hidup itu. Julia
menghela napas dengan berat, tadinya ia bermaksud menyalakan layar itu agar
tahu di mana posisinya karena dimanapun atau kota manapun akan menampilkan
siaran daerah masing-masing. Sudah beberapa hari ia berada di ruangan tertutup
tanpa bisa tahu di mana dan siapa yang membawanya ke tempat itu. Ia tidak
memegang ponsel atau satupun barang yang bisa dijadikan untuk berkomunikasi
keluar.
Terakhir yang Julia tahu ia dicegat oleh
orang tak ia kenal di depan apartemen, orang itu langsung menutup mulut dan
matanya. Bau harum yang menempel di mulutnya membuat ia jatuh pingsan saat
dimasukkan ke dalam sebuah mobil. Tidak tahu berapa menit atau bahkan
berjam-jam lamanya, setelah sadar ia sudah ada di tempat terkutuk itu. Julia
pun menemukan barang pribadinya yang ia bawa dari Palembang. Jika barang itu
ada bersamanya berarti orang itu sempat masuk ke apartemen dan juga mungkin
menculik AemeL. Membayangkan AemeL membuat Julia sedih, sebab kondisi gadis itu
masih sakit. Julia coba mencari pintu yang bisa dibuka dan berharap mendengar
suara AemeL di sebelah yang mungkin dikurung bersebelahan dengannya. Julia
mendekati sebuah pintu yang terlihat seperti pintu ruang tengah. Jangankan
membuka, menggerakkan sedikit saja tidak bisa. Pintu itu terlalu kokoh, dengan
bahan kayu jati yang tingginya mencapai dua setengah meter. Julia melirik ke
belakang, ada pintu dengan dua sisi yang tidak kalah kokoh dengan pintu ruanga
tengah. Di sekitarnya ada sofa mewah, karpet tebal berwarna hijau tua dan
disini ruangan ada sebuah lemari es berukuran besar dan sebuah rice cooker
sedang. Di kiri kanan ada jendela berukuran lebar dengan masing-masing dua sisi
yang bisa dibuka tapi dari sejak pertama jendela itu terkunci, sepertinya
dikunci dari luar. Jendela itu seperti jendela rumah tua karena dibagian
bawahnya dibuat pentilasi dari kayu, hingga berbentuk sebuah sisir besar. Di
kanan Julia sebuah kamar tidur berukuran besar, disanalah Julia tidur dan
dikamar itu ada kamar mandi sendiri, semua isi kamar mandi sangat mewah tidak
kalah seperti kamar mandi yang ada di hotel bintang lima tapi situasi kamar
tidur sangat klasik tapi entah mengapa Julia tidak merasa takut sama sekali
berada di tempat itu, ia hanya penasaran. Siapa yang membawanya ke tempat itu
dan apa mau orang itu darinya.
Julia memegang perutnya yang sudah mulai
menyanyi keroncong, jika tidak makan ia akan sakit tapi ia tidak ingin makan
lagi dari orang yang tidak ia kenal.
‘Ya Tuhan, jika tempat ini adalah musibah
besar bagiku dan keluarga maka keluarkan aku dari penjara ini namun jika semua
ini kehendak-Mu yang akan menebus segala dosaku maka aku iklas berada di sini.’ Guman Julia dalam hati. Detik
berikutnya pintu ruang tengah terbuka. Seorang pria bertubuh binaragawan masuk
dengan membawakan sebuah nampan berisikan lauk, ayam bakar pedas. Ia meletakkan
nampan itu di meja samping pintu. Dari kemarin Julia mengajak pria itu bicara
dan bertanya banyak hal tapi tak satupun kata yang keluar dari mulutnya, ia
mungkin gagu atau memang dikunci paksa oleh orang yang punya rumah itu.
“Tolong keluarkan saya dari sini.” Pinta
Julia untuk kesekian kalinya. Dan lagi-lagi pria itu menggeleng seperti
kemarin. Itu menandakan kalau ia tidak punya hak mengeluarkan Julia. Julia
mendekati pria itu dan dengan secepat kilat ia menghalanginya agar Julia
menjaga jarak kalau tidak Julia akan celaka. Pria itu mengangkat telapak
tangannya yang terbuka mengisyaratkan agar Julia tetap berdiri di tempatnya.
Julia melihat ada sebuah senjata api di pinggang pria itu. “Aku mohon, aku
harus pergi. Temanku akan cemas kalau tidak dapat kabar dariku. Aku tidak butuh
lauk itu, aku hanya ingin pergi dari sini! Apa kamu yang membawa aku ke sini?”
tanya Julia meski ia bisa menebak kalau pria itu hanya suruhan. Dua kali kepala
itu terlihat menggeleng dengan pasti dan tandanya Julia tidak bisa memaksanya.
Detik berikutnya pintu kembali ditutup
dengan rapat membuat Julia ingin menangis. ‘Tidak!
Aku tidak boleh menangis, orang gila itu akan merasa menang kalau aku nangis.
Tidak… aku harus mencari cara bagaimana caranya bisa keluar dari sini, tapi
kalau aku jatuh sakit bukannya aku malah dibawa ke rumah sakit dan itu artinya
aku keluar dari ruangan terkutuk ini.’ Julia menarik napas dalam-dalam. ‘Tapi alangkah bodohnya jika hanya untuk
keluar aku mengorbankan kesehatanku., memangnya tidak ada pilihan lain?’
Julia tidak menghiraukan lauk nikmat yang
ada diatas meja kecil di samping pintu, matanya melirik meja yang di dekat
galon freezer di mana tersedia
beberapa bungkus kopi instan dalam berbagai merek. Julia yang maniak kopi tapi
dari kemarin belum satupun ia buka kopi itu meski air panas tersedia selalu.
Mata Julia mengamati setiap sudut ruangan dan kali ini yang ada dibagian atas
kalau-kalau ada kamera cctv yang dipasang tapi ia tidak menemukan satupun
kamera kecil yang ada pada setiap sudut ruangan. Suhu ruangan tidak bisa
dibilang panas ataupun dingin, Julia curiga kalau posisinya ada di sebuah
pedesaan atau mungkin di sebuah desa terpencil. Sekali lagi ia menarik napas
panjang bersamaan dengan sahutan perutnya yang minta diisi namun Julia tak
menghiraukannya. Julia kembali ke kamar, ada sebuah mukena di sana, zuhur sudah
lewat membuat ia buru-buru ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya meski tak
ada satupun debu yang menempel di kulitnya. Julia mengunci pintu kamar mandi
dengan rapat sekali dan ia pastikan tidak ada satupun kamera yang ada di kamar
mandi mewah itu. Di tempat perlengkapan sabun ada beberapa botol shampo wanita
dari puluhan merek. Ia memilih yang biasa ia pakai.
‘Apa maunya orang itu? Mentang-mentang ia
bisa menyediakan segalanya maka apa pun ia sediakan dalam berbagai merek. Jika
ia bisa memiliki segalanya untuk apa ia membawa aku ke sini sebagai tawanannya
atau mungkin akan ia jadikan tumbal? Ya Tuhan.. lindungi aku dari marabahaya,
Ibu.. doakan aku supaya tidak kenapa-napa.’ Pinta Julia dengan begitu ia bisa sedikit tenang,
karena ia yakin apa pun alasannya orang itu pasti punya niat yang tidak bisa ia
bayangkan. Julia tidak dapat menebak siapa orang yang menyebabkan ia terkurung.
Julia membasahi rambut dan seluruh tubuhnya, ia tidak mandi menggunakan shower karena ia lebih suka memakai
gayung. Taklama kemudian Julia telah selesai mandi dan menyelesaikan shalat
zuhurnya dengan menentukan kiblat dari arah matahari yang masuk ke dalam
kisi-kisi kamar karena tidak ada petunjuk kiblat di dalam rumah itu. Dan
lagi-lagi perutnya bersuara membuat Julia mulai membenci suara itu.
Mata Julia kembali mengamati seisi kamar
dengan bangunan klasik, tempat tidur dari kayu dengan kasur empuk, meja dan
lemari semua terbuat dari kayu. Lemari hanya satu pintu dan isinya hanya tas
Julia sedang di meja kecil itu ada beberapa buku tebal entah itu karya siapa
Julia tak pernah tertarik untuk mendekatinya. Ada tiga buah handuk yang masih
terbungkus dengan plastik, sepertinya baru. Julia tidak pernah menyentuhnya
karena dari Palembang ia membawa handuk meski ukurannya tidak bisa dibilang
besar.
**
Arjuna Masakini
Adakah wanita yang menolaknya? Dua orang
pria sedang berbincang di sebuah kafe terbuka, zaman sekarang melihat dua orang
pria tampan dengan pekerjaan mapan sedang makan berdua dengan pria juga akan
mengundang tanya pada setiap orang, apakah mereka pasangan kekasih? Oh, dunia
ini memang cepat sekali menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang menjurus ke hal
negatif. Bukan tanpa alasan karena dunia ini memang sudah rusak semua isinya
dalam segala bidang dan setiap hubungan. Orang tua ada yang merusak putrinya
sendiri, saudara sekandung ada yang membunuh saudaranya sendiri, para pejabat
saling sikut di kursi kekuasaannya yang hanya sementara itu. Tidak tahu lagi di
mana mencari sebuah hubungan suci di dunia ini seakan semuanya telah dinodai
oleh nafsu orang yang kurang beriman.
“Kamu tidak merasa kehilangan dengan
hilangnya Julia?” tanya pria yang berkemeja abu-abu, dia adalah Teguh sang
reporter ternama di sebuah stasiun televisi swasta. Ia menatap pria yang ada
dihadapannya yang sedang menikmati minuman ringannya. Dia bernama dr. Wowor
Vandeep, dokter muda yang punya potesnsi dan mencintai pekerjaanya dengan
sepenuh jiwa tidak peduli dengan wanita-wanita yang coba mendekatinya sebab ia
tidak akan memberikan harapan pada wanita yang tidak bisa membuatnya jatuh
cinta.
“Mengapa aku yang harus merasa kehilangan?
dia adalah wanita yang baru aku kenal namanya dalam sebulan belakangan.
Diantara kami juga tidak ada hubungan apa-apa yang terjalin.” Jawabnya dengan
enteng. Teguh mengamati wajah pria itu sejenak lalu mengalihkan pandangannya ke
arah lain sambil berkata.
“Aku juga baru mengenali AemeL tidak lebih
dari sebulan, seandainya dia yang menghilang maka aku akan mencarinya tak
peduli ke ujung dunia sekalipun.”
“Berarti kamu mencintai wanita itu
melebihi apa pun di dunia ini, kasihan sekali. Apakah jika kamu hilang ia akan
peduli? Aku rasa tidak!” nada Wowor sinis bahkan mengandung ejekan untuk Teguh.
“Apa karena kamu telah mengakibatnya cacat sehingga menimbulkan rasa kasihan?
Cinta dan rasa kasihan itu dua hal yang berbeda, Bung.” Tambahnya.
Teguh tertawa halus dan menyadari kalau
Wowor sedang mengejeknya. “Andai saja Anda mengerti dan memahami misteri sebuah
hati.” Ujar Teguh seakan berkata sendiri. Ia lalu meneguk habis minumannya
memaksa Wowor mengamatinya dan pria itu terdiam.
‘Tidak ada yang lebih mengerti dengan misteri
hati selain aku, cinta akan membuat Anda gila.’ Guman Wowor dalam hati. ‘… dan Anda tidak tahu betapa besar
perasaanku pada Julia.’
“Apa Anda yakin kalau Julia benar-benar
hilang?” kata Wowor kemudian. “Anda tidak akan pernah tahu, siapa tahu ia
kembali ke kampung halamannya.” Mereka bicara dengan sebutan Anda dan terkadang
kamu. “Zaman sekarang banyak hal yang dilakukan orang yang tidak masuk akal.
Hubungan Julia dengan AemeL itu tidak harmonis.”
“Apa maksud Anda tidak harmonis?” tanya Teguh
dengan nada sangat penasaran.
“Lupakan.” Jawab Wowor yang sama persis
seperti jawaban AemeL saat itu.
“Apa Anda mencintai Julia?” pertanyaan
yang menjurus menuduh.
“Saya tidak seperti Anda bisa jatuh cinta
pada wanita yang baru dikenal. Maaf, sepertinya saya harus kembali ke kantor.”
Kata Wowor yang bermaksud ingin kembali ke rumah sakit. Bukannya ia tidak
menghargai Teguh dan sok jadi orang penting tapi ia tidak suka pria itu
membicarakan tentang Julia.
Setelah Wowor pergi Teguh menghubungi
AemeL karena gadis itu telah memberikan nomon pin BB sekaligus nomor teleponnya.
AemeL yang sedang mengetik di kamar kosnya
melirik nomor masuk di LCD BB-nya,
setelah beberapa detik baru ia angkat. “Ya, halo?”
“Halo Ae, ini Teguh. Aku jemput pukul
tujuh malam ini ya?” kata Teguh mencoba bicara apa adanya, ia tidak mau
terkesan mengemis meski ia sangat ingin melakukannya. AemeL tidak bisa langsung
menjawab, entah apa yang harus ia jawab padahal ia tahu kalau Teguh akan
meneleponnya. Seharusnya ia sudah menyediakan beberapa jawaban baik itu
menghindar ataupun mengiyakan. AemeL melirik jam weker di meja kecilnya dan
masih pukul empat sore.
“Maaf Guh, aku sepertinya tidak bisa.
Sekali lagi maaf.” Sahut AemeL tidak bermaksud mengecewakan pria itu namun
tetap saja Teguh kecewa, itu terdengar dari nada jawabannya.
“Oh, tidak apa-apa. Baiklah…. Selamat
berkatifitas ya.” Hela Teguh dengan nada lemah. “Dan, jaga kesehatan. Selamat
sore.” Ia mengakhiri telepon.
AemeL menghela napas panjang hingga dua
kali, ia melirik layar laptopnya di mana lembaran words-nya sedang menunggu. Ia memang sedang asyik menulis tapi
sekarang tidak berminat lagi. Telepon dari Teguh telah membuyarkan semua isi
cerita di dalam otaknya. AemeL merasa tidak pantas pergi dengan Teguh sementara
ia tidak tahu di mana keberadaan Julia sahabatnya, apakah gadis itu baik-baik
saja atau nyawanya sedang terancam?! Hanya Tuhan yang tahu namun setiap saat
AemeL selalu berdoa untuk keselamatan Julia meski setiap ia coba menghubungi
nomornya tetap tidak aktif.
Selepas maghrib, Wowor mengunjungi AemeL
di kediamannya. Yang melihat Teguh datang kemarin siang pastilah mencap AemeL
sebagai gadis menerima setiap pria yang datang ke tempat kosnya. Bukannya AemeL
tidak berpikir ke arah itu, tapi orang tidak akan tahu apa yang ia kerjakan
karena pada prinsipnya orang lain kebanyakkan akan berpikiran negatif.
“Mengapa tidak telepon dahulu?” kata AemeL
setelah Wowor duduk di ruang tamunya.
“Mm.. maaf, apa aku mengganggu acara
kamu?” Wowor merasa tidak enak juga. “Bagaimana dengan kakimu?” tanyanya dengan
tulus.
AemeL mengusap pergelangan kakinya
sejenak. “Sudah tidak begitu sakit, tapi belum bisa naik motor.” Ia tertawa
halus. “Aku sudah tidak apa-apa sih, hanya saja saat ini aku tidak bisa tidak
memikirkan Julia. Entah di mana ia berada sekarang.”
“Sudahlah, siapa tahu ia sedang
bersenang-senang dengan seseorang.” Timpal Wowor membuat AemeL tersenyum.
“Ya ya, siapa tahu kamu benar. Tidak ada
pentingnya memikirkan orang yang tidak memikirkan kita. Kalau ia peduli sama
aku pasti ia pergi dengan baik-baik atau setidaknya pamit.” Hela AemeL tapi
Wowor tidak tahu kalau hati AemeL sedang hancur dan sakit sekali memikirkan
keselamatan Julia.
“Kalau kamu ingin pergi ke mana-mana
jangan sungkan menelepon aku, aku siap mengantarmu.. karena saat ini kamu tidak
bisa naik motor, kan? Jadi, anggap saja aku ini pengganti temanmu yang sudah
menghilang itu.”
AemeL mengamati wajah Wowor dengan
seksama. “Apa kamu tidak keberatan membantu aku mencari keberadaan Julia?”
“Ah, itu lagi. Bukankah kita sudah
membahasnya?”
“Ya, siapa tahu ia sedang bersama
seseorang dan melupakan aku. Aku ini memang bodoh.” Senyum AemeL mengembang dan
di mata Wowor terlihat dengan jelas kalau AemeL tidak merasa kehilangan. “Apa
kamu tidak punya perasaan apa-apa dengannya? Bukan tanpa alasan aku bicara
demikian, karena selama ini aku melihat kamu menaruh perhatian sama dia.”
“Yang orang lihat terkadang tidak seperti
kenyataannya.” Jawab Wowor dan AemeL menemukan ada ketidakjelasan dari
pengakuan itu. Wowor sedang bicara bohong, karena AemeL tahu kalau pria itu
menyukai sahabatnya begitupun sebaliknya. “Bahkan kamu mungkin tidak tahu jika
aku mengatakan kalau aku menyukai kamu. Apa kamu bisa percaya itu?” tambah
Wowor membuat AemeL agak terperangah. “Lupakan, aku pasti sedang meracau.”
Ralat Wowor sambil tertawa membuat AemeL ikut tertawa meski kehadiran Wowor tak
bisa mengubah perasaannya yang lagi kacau, ia tidak akan bisa tenang sebelum
tahu keberadaan Julia. Bagaimana pun Julia adalah seorang sahabat yang amat
sangat berarti baginya dan yang membuatnya tidak mengerti adalah, bagaimana
perasaan Wowor pada Julia? Waktu sebulan kebersamaan mereka ia selalu bisa
melihat kalau Wowor punya perasaan sayang pada Julia dan ia tahu Julia punya
rasa yang sama dengan Wowor dan saat ini ada ketidakpedulian Wowor pada Julia
terlihat begitu nyata, apakah diantara mereka telah terjadi perjanjian atau ada
salah satu mereka merasa kecewa?
“Bagaimana kalau kita keluar? Besok aku
libur dan senin malam baru dinas.” Ajak Wowor seperti seorang teman mengajak
temannya keluar untuk sekedar menghirup udara segar. Julia terlihat berpikir
untuk beberapa saat hingga akhirnya mengiyakan setelah mempertimbangkan banyak
hal, diantaranya siapa tahu ia bisa mendapatkan informasi tentang Julia.
Setelah menikmati beberapa menit jalanan
macet akhirnya Wowor dan AemeL bisa bernapas lega di sebuah tempat makan
istimewa. Saat mereka sudah duduk Wowor mengomentari pakaian AemeL.
“Aku suka cara berpakaianmu, terkesan
sekali kalau kamu itu orangnya simpel dan pintar. Cara berpakaian kamu dengan
Julia sebenarnya tidak jauh beda.” Tutur Wowor dengan penuh rasa simpati. AemeL
tak merespon karena dari kata-kata Wowor ia bisa menangkap kalau sebenarnya
selama ini pria itu memperhatikan cara berpakaian Julia.
“Bawaan dari zaman sekolah.” Akhirnya
AemeL bicara juga.
“Pakaian juga mencerminkan pribadi
seseorang. Oke, kamu mau pesan apa?” ia menyodorkan kertas menu kehadapan AemeL
dengan santai.
Sebelum meraih lembaran menu AemeL sudah
berkata lebih dulu. “Aku dan Julia sebenarnya suka sekali dengan menu ikan
bakar yang sangat pedas, tapi ayam bakar juga. Lalapannya daun singkong muda
direbus dan sambel ijo.” Ia mengamati suasana sekilas. “Tapi di sini aku rasa
tidak menyediakan menu seperti itu.”
“Lihat saja dulu, menu kesukaan kalian itu
seperti masakan Padang ya.” Ujar Wowor. “Nanti kita akan mengunjungi tempat
makan yang menyediakan khusus menu seperti
itu.”
AemeL hanya tersenyum. “Tidak apa-apa, aku
bisa makan apa saja yang penting sehat.” Ia mengamati daftar menu yang
tersedia. Nasi goreng, segala macam mie, sea
food serta segala macam minuman jus.
“Makanan berat semua.” Ujar AemeL kemudian.
“Makan berat waktu malam tidak masalah, asalkan tidak langsung tidur
minimal dua jam dan minuman jus bisa menetralisir kolestrol.” Wowor menatap
AemeL sejenak. “Tolong tulis pesananku sekalian, kepiting asam pedes tanpa nasi
dan jus jeruk.”
AemeL pun menulis pesanan Wowor dan ia pun
memesan menu yang sama persis. “Julia paling benci dengan makanan kepiting,
alasannya makannya terlalu lama menghabiskan waktu, ia suka makanan yang cepat
mengenyangkan, lalu ia bisa bersantai setelah itu sambil menikmati obrolan
ringan dan menikmati kopi kegemarannya.”
“Begitu ya?”
“Ya, dia suka pergi jalan-jalan dan yang
pasti dengan orang-orang yang cocok dengannya. Dia tidak suka orang pamer
kekayaan, ia tidak suka dibanding-bandingkan dengan orang lain, ia bisa terbuka
sekali dengan orang yang ia anggap memahaminya tapi ia paling benci pada orang
yang tahu titik lemahnya. Dia tidak pandai memasak tapi tahu hampir semua
tempat makanan enak termasuk di Jakarta ini.” Tutur AemeL seolah tidak sadar,
karena ia sangat merindukan sahabatnya itu. Pesanan mereka telah datang,
sejenak mereka merapikan meja untuk mulai menyantap hidangan. Wowor masih diam
seolah masih ingin mendengar banyak tentang Julia dari mulut orang yang ia
anggap paling dekat dengan Julia.
Sambil meraih sendok garpu AemeL bicara
lagi. “Julia itu paling benci orang menikmati makanan dengan tangan kiri. Hmmm…
menurut aku, dia itu adalah gadis yang perfect
sekali. Tidak suka bergosip tapi suka memberi saran kepada semua
teman-temannya, tapi…. kalau ada teman
yang suka ngocol ia bisa masuk dan menjadi lebih gila bercandanya, memang gadis
serba bisa dia itu, kecuali masak. Terbayangkan… bagaimana beratnya ia
menjalani hidup satu bulan lalu di apartemen? Ia mencuci piring, gelas dan
masak meski hanya nasi goreng..” AemeL terdiam dan Wowor masih menyimaknya,
pria itu mendengar dengan sangat detil
seolah cerita AemeL lebih menarik dari kepiting yang ada dihadapannya. “Dia
hanya butuh seorang pria yang bisa mengayominya, bisa menjadi imamnya sekaligus
punya ilmu agama minimal satu level darinya.”
Mendengar itu memaksa Wowor meneguk jus
jeruknya, sedang AemeL mulai menikmati kepiting di dalam piringnya. “Tidak ada
manusia yang sempurna, kan? Sehebat-hebatnya Julia dan sebaik-baiknya dia,
tetap saja ia orang yang tidak tahu sopan santun karena pergi tanpa berita.”
Celetuk Wowor seakan cerita AemeL tidak berarti baginya. Bersamaan dengan itu
sebuah layar televisi yang ada disudut ruangan sedang menyiarkan berita off air
dan seorang reporter tampan berdiri di tempat kumuh untuk menyajikan kondisi
yang masih memprihatinkan di sisi lain Jakarta.
“Dia.” Kata Wowor saat menyimak berita
itu. “Dia suka sama kamu, mungkin lebih dari yang kamu kira.” Ia menunggu
respon dari AemeL.
“Apa….?” AemeL agak terperangah, mungkin
bukan karena kata-kata Wowor tapi karena tadi sore pria itu menelepon dan ingin
mengajaknya pergi tapi ia malah bersama Wowor.
“Aku bicara serius, ia sangat mencintai
kamu. Aku jadi iri mendengar cintanya yang begitu besar sama kamu.” Tambah
Wowor. “Apakah cinta itu bisa muncul saat seseorang merasa bersalah? Tapi aku
merasa kamu beruntung Ae. Dia pria baik-baik, dua tahun lalu kekasihnya
meninggal karena kecelakaan saat meliput berita bencana tanah longsor, ia
berada terlalu dekat dengan lokasi hingga ikut tertimbun karena waktu itu masih
gerimis. Mereka satu profesi tapi tidak berjodoh.” Urai Wowor dan membuat AemeL
jadi merinding mendengarnya. Sosok Teguh sudah menghilang dari layar kaca,
AemeL menatap Wowor masih penuh tanya. “Teguh bukan temanku, tapi kami pernah
bertemu beberapa kali, ia banyak cerita tentang dirinya dan kamu.”
“O…” hanya itu kata yang keluar dari mulut
AemeL dan ia coba membasahi tenggorokannya dengan jus jeruk yang dingin tapi
cerita Wowor masih menggema di otaknya.
“Kamu mencintai Julia?” itu pertanyaan
untuk kesekian kalinya AemeL lontarkan pada Wowor.
“Kamu mengira demikian?”
“Aku sedang bertanya.”
“Oke, nanti kalau kamu sudah bertemu
dengan Julia katakan juga pertanyaan seperti itu lalu aku akan menjawab
pertanyaanmu tanpa tahu apa jawaban Julia padamu.”
Mendengar itu membuat AemeL tidak bisa
menahan tawanya. “Kamu itu pandai sekali mengelak, apa susahnya bilang iya atau
tidak. Apa kita seumuran atau……..?”
“Aku sudah kepala tiga.”
“O.” AemeL mengangguk-angguk pelan karena
ia sendiri baru masuk usia 27 tahun. “Usia kepala tiga sepertinya sangat pas
untuk menikah.”
‘Aku akan menikah hanya dengan Julia.’ Sahut Wowor dalam hati.
“Kamu sendiri?”
“Tadinya menargetkan menikah usia 25 tapi
sekarang malah tidak punya target lagi.”
Tidak ada yang bicara lagi selain suara
sendok terdengar pelan menemani mereka menghabiskan malam itu bersama.
Pertemanan itu sudah dimulai saat mereka mulai mengenali diri masing-masing.
Jika Wowor mengakui menyukai dan mencintai Julia itu tidak salah, sebab Julia
adalah gadis yang nyaris sempurna dambaan pria, tapi siapa yang percaya kalau
Wowor yang tampan, punya karir bagus diusia tiga puluhan tidak punya pacar?
Rasanya sangat tidak mungkin, AemeL tidak akan membiarkan sahabatnya jatuh
cinta dengan pria yang akan membuatnya patah hati.
‘Ah, apakah menghilangnya Julia lantaran
ia telah patah hati karena sudah mencintai Wowor dan mengetahui kalau pria itu
sudah punya calon istri? Dan tanpa memberitahu aku karena ia benar-benar ingin
menghilangkan jejaknya dari Wowor! Ya Tuhan, apakah dugaanku ini benar?’ AemeL menghela napas berat. ‘Tidak, meski ia punya tampang Arjuna tetap
ia tidak pantas menyakiti hati Julia. Tapi yang lebih susah adalah… jika Julia
telah kembali menjadi dirinya sebelum aku amnesia, baiklah Julia, aku akan
mengikuti keinginanmu, kau berjalan di duniamu dan aku juga begitu.’
AemeL sudah berhenti memikirkan Julia,
kini ia akan kembali fokus dengan dunia tulis-menulisnya selain tetap berdoa
semoga Julia baik-baik saja.
“Apa kamu sudah bisa melupakan Julia?”
suara Wowor tiba-tiba menghalau lamunan AemeL.
AemeL coba tersenyum seindah mungkin dan
setegar yang ia mampu. “Tentu saja, dan satu lagi… jangan percaya dengan apa
yang pernah saya ucapkan.” Tambah AemeL dengan sangat yakin membuat pria itu
tersenyum dengan penuh kemenangan meski tidak begitu mengerti apa maksud dari
kata-kata AemeL tersebut.
‘Kamu memang benar Ae, tidak ada yang
abadi di dunia ini, sabahat? Omong kosong dengan yang namanya persahabatan!’ saat itu muncul kebencian di
benak Wowor pada AemeL. Entah mengapa kebencian itu ada.
AemeL tidak menyadari kalau pria itu sudah
membencinya hingga ke ubun-ubun, pesona AemeL tidak mempan dipikiran Wowor
serta segala macam kepintaran dan wawasannya. Di perjalanan pulang tidak banyak
yang mereka bicarakan. Wowor lebih banyak diam begitupun AemeL. AemeL pun tidak
tertarik sama sekali dengan pria matang yang memiliki wajah indo itu, meski tidak
sedikit wanita yang mendambakan cintanya apalagi di kalangan rumah sakit tempat
Wowor bernaung. AemeL tiba-tiba kangen dengan Teguh, pria sawo matang, mandiri
dan terkesan bisa melakukan apa saja. Terpikir oleh AemeL untuk mengirim BBM pada Teguh tapi ia tidak suka kalau
Wowor menegurnya dan bertanya mengirim pesan untuk atau pada siapa. Itu
menandakan kalau ia sedang bosan duduk di samping Wowor. Detik-detik menunggu
mobil sampai di depan kos AemeL rasanya lama sekali, lalu sebuah suara ping dan BB AemeL berdering tapi AemeL membiarkannya, ia akan membukanya
nanti di Kos. Wowor melirik ke arah AemeL sekilas.
“Terima kasih ya, Ae.”
“Untuk?”
“Atas kesediaan kamu menemaniku makan
malam.” Wowor sudah kembali mengamati jalanan.
“Oh, itu. Sama-sama. Siapa tahu
nanti-nanti aku tidak bisa menemani kamu lagi, kamu seorang dokter yang punya
jadwal sangat padat dan aku, kalau sedang punya cerita bagus di otakku,
kemanapun orang ajak pergi tidak akan bisa… karena khawatir otakku akan meledak
nanti.” Ujar AemeL seperti bercanda namun itu serius sebab kalau ide cerita
sudah memenuhi otaknya kalau tidak dituangkan lewat tulisan maka ia tidak akan
bisa fokus dengan apa pun yang ada di depannya karena cerita itu akan
berseliweran di otaknya, menguasai otaknya untuk diajak keluar dengan sesegera
mungkin.
Apapun yang dikatakan AemeL tidak masuk di
akal Wowor hingga ia pun hanya bisa tersenyum simpul. Apalagi kebencian telah AemeL tanam di otaknya, tadinya ia
berharap bisa membawa AemeL datang ke rumahnya, kenal dengan kedua orang tuanya namun semua itu tidak penting
lagi.
~
Teguh merasa harus menemui AemeL, cintanya
pada gadis itu tidak main-main. Kedewasaan pribadi membutuhkan sebuah kepastian
di dalam menjalani hidup. Tidak ada lagi pikiran memikirkan hal yang
sudah-sudah, kekasih yang telah lama pergi tidak bisa dijadikan sebagai bahan
untuk selalu menikmati kesedihan yang berkepanjangan. Tidak ada alasan untuk
menjadi pribadi cengeng.
Di tempat kos AemeL yang sepi Teguh
mendapati gadis itu habis menangis, ia mungkin menangis semalaman. Ingin sekali
Teguh merengkuh tubuh itu seerat mungkin meski tak dapat meringankan beban apa
yang ia derita. Dan AemeL benci sekali kalau ia kedapatan habis menangis
apalagi di depan seorang pria.
“Aku mungkin datang tidak
diwaktu yang tepat.” Hela Teguh namun ditanggapi AemeL dengan gelengan lembut.
“Aku tidak apa-apa. Hanya saja sedang
kangen sekali dengan Julia.” AemeL tidak bisa menyembunyikan perasaan sedihnya
pada Teguh berbeda sekali dengan Wowor, dengan pria itu AemeL bisa berpura-pura
tidak memikirkan Julia.
“Apa kita perlu melapor polisi?” Teguh
tidak sanggup melihat gadis itu bersedih apalagi di depan matanya.
Lagi-lagi AemeL menggeleng karena ia tidak
yakin Julia menghilang tapi gadis itu sengaja menjauhinya, lagi. dan kali ini
ia tidak tahu apa sebabnya, itu yang membuat AemeL lebih sedih. Julia tidak pernah tahu berapa waktu yang
AemeL habiskan untuk memikirkannya.
“Apa kamu sedang ingin sendiri?” lanjut
Teguh. Kali ini AemeL diam, ia mengamati Teguh sejenak dan andai pria itu tahu
kalau AemeL sedang membutuhkan seseorang untuk menemaninya. Namun di hati
kecilnya tidak bisa menerima kalau keakraban mereka karena insiden kecelakaan
itu. AemeL pun tidak tahu jika ada seorang wanita yang merasa tersakiti dengan
keberadaan Teguh di tempat kosnya, perkara Wowor pernah mengatakan Teguh sangat
mencintainya dan ia telah kehilangan kekasihnya dua tahun yang lalu tidak bisa
ia percaya begitu saja. Dunia ini penuh tipu daya sana sini, tak terkecuali
dalam dunia asmara. AemeL tidak suka Teguh menguasai suasana hatinya yang
sedang lemah.
“Aku, sebenarnya aku ingin pergi ke suatu
tempat.”
“Aku antar.”
Sudah AemeL duga kalau Teguh akan
melontarkan tawaran itu, AemeL merasa
telah menyesal mengatakannya. “Hmm, tidak usah. Perginya juga nanti sore kok.”
AemeL tidak berbohong karena tadi pagi seorang teman sama-sama penulis
mengajaknya bertemu di sebuah coffee shop.
“Hari ini aku libur, Ae. Jam kerjaku nanti
malam sampai besok siang. Maklum seorang reporter jam kerjanya tidak menentu.”
Jelas Teguh dan sepertinya AemeL memahami, kecuali kalau reporter tetap di
studio. AemeL tidak ingin menanyakan satu hal pun tentang kehidupan pria itu,
termasuk urusan wanitanya.
Sorenya, AemeL akhirnya mengizinkan Teguh
menemaninya bertemu dengan seorang kerabat yang
sudah ia kenal dalam dua tahun ini lewat Facebook, dan mereka sudah dua kali bertemu. Di area parkir Teguh
memarkir motor besarnya dan itu pertama kalinya AemeL naik motor setelah
kecelakaan. AemeL tidak lagi menggunakan tongkat karena Teguh melarangnya
dengan alasan ia bisa membantu sebisanya. Setelah melepaskan jaketnya AemeL
mengamati Teguh yang juga merapikan jaket dan meletakkannya di atas stang
motor.
“Apa temanmu sudah sampai atau kita
terlambat?”
“Itu pertanyaan yang sama.” Hela AemeL
sembari tersenyum. “Ia sudah di dalam beberapa menit yang lalu.” Tambah AemeL
dan ia bermaksud melangkah tapi segera diraih tangannya oleh Teguh.
“Biar aku bantu.”
“Aku tidak apa-apa, sudah sembuh ini kok.”
Mereka melangkah bersama-sama karena Teguh tahu AemeL belum sembuh seutuhnya.
Dan itu memang benar karena AemeL masih sedikit pincang untuk mengimbangi
kakinya yang satu sebab ia tidak bisa membebani kaki kirinya seperti sebelum
patah.
AemeL tersenyum melihat temannya yang
sudah duduk di pojok kanan ruangan, dan saat gadis itu melihat kemunculan AemeL
bersama seorang pria yang belum ia kenal dan AemeL tidak pernah menceritakan
sebelumnya membuatnya agak kaget sebab pria itu baginya bukan pria biasa. Meski
tidak pernah bertemu langsung ia mengagumi pria itu dari layar kaca, caranya
membawakan berita, suaranya yang khas, senyumnya menawan dan tubuhnya ternyata
lebih atletis dari dekat, dan yang membuatnya lebih menarik karena pria itu
sangat lihat dan cerdas bila sedang berdialog dengan sumber berita.
Ia menyambut kedatangan AemeL dengan
berdiri. “Hai, maaf aku datang kecepatan karena sudah tidak sabar ingin cerita
banyak hal.” Katanya karena ia tahu AemeL itu tidak pernah terlambat bila
membuat janji.
“Tidak, akunya saja yang memang agak
terlambat.” Sahut AemeL tidak ingin membuat temannya merasa bersalah. “Oh, ya.
kenalkan ini temanku… namanya……..”
“Teguh Tebolai.” Potong gadis itu hafal
betul dengan nama reporter favoritnya membuat pria itu tertawa, ia akan merasa
senang kalau gadis itu tahu namanya bukan dari AemeL tapi dari kinerjanya
selama ini. AemeL ikut senang karena temannya sudah tahu nama Teguh.
“Senang bertemu dengan kamu…..”
“Nurmala.” Sambung gadis itu memberitahu namanya sendiri. Teguh
tersenyum lalu melirik ke AemeL diamati Nurmala dan ia berharap hubungan mereka
tidak lebih dari teman biasa.
Detik berikutnya mereka duduk, memesan
makanan lalu berbincang layaknya teman
yang sudah seringkali bertemu dan AemeL senang sebab Teguh cepat sekali akrab
dengan Nurnala. Sekilas AemeL dan Nurmala mengakui kalau bertemanan mereka
berawal dari chat di facebook dan
merasa akrab karena memiliki kesukaan yang sama yaitu menulis.
“Dunia internet memang banyak sekali
membantu kegiatan sehari-hari kita, teknologi memang luar biasa, Tapi teknologi
akan merusak hidup jika kita tidak bisa menggunakannya dengan baik.” Tutur
Teguh lalu menikmati kopi cappuccinonya. Diiyakan Nurmala dengan anggukan lalu
ia menatap AemeL.
“Ae, maksudku mengajak kamu ketemu di sini ingin menanyakan apakah benar
ada penerbit yang mengambil hak kita?” ia bertanya serius dan sebelumnya ia
pernah melontarkan pertanyaan itu pada AemeL di jejaring sosial. Teguh
membiarkan kedua gadis itu bicara serius tanpa ingin memotong pembicaraan.
“Nur, kita sebenarnya sudah punya surat
kontrak dan di sana tertulis dengan sangat jelas, berapa tahun naskah kita
dikontrak, akan dikeluarkan berapa eksemplar dalam cetakan pertama dan berapa
royaltinya sudah sesuai dengan kesepakatan pihak pertama dan kedua, begitupun
kalau ada cetakan kedua dan seterusnya. Jadi kalau maksud kamu ada pihak
penerbit yang diam-diam mencetak diluar kesepakatan itu dan menjualnya lalu mengambil
keuntungan sendiri. Yah itu adalah tanggung jawab mereka kepada Tuhan. Rezeki
kita tidak akan pernah tertukar Nur.” Ujar AemeL.
“Ah, terkadang surat MoU itu hanya
formalitas saja, di dalamnya mereka bilang akan mencetak ribuan eksemplar namun
kenyataannya mereka mencetak lebih banyak dari itu, dan royaltinya akan dibagi
sesuai dengan yang habis seperti tertera di surat kontrak padahal mereka telah
membuatnya lebih banyak.” Gadis itu merasa belum puas dengan keterangan dari
AemeL.
“Sekarang begini saja, kalau kamu merasa
tidak nyaman dengan penerbit kamu sekarang mendingan kamu cari penerbit baru,
ada ratusan penerbit di tanah air ini dan jangan takut tidak diterima selagi
kamu merasa naskahmu layak untuk diterbitkan. Dalam kasus kamu ini kita tidak
bisa hanya menerka-nerka dan akan lebih mudah dibawa ke ranah hukum jika kita
punya bukti yang jelas, semisal ada pihak percetakan yang tahu pasti berapa
ribu buku kita dicetak, dan kita bisa membandingkannya dengan jumlah yang ada
di kontrak.” Tambah AemeL sedangkan Teguh hanya menikmati AemeL yang bicara dan
menurutnya AemeL adalah gadis yang luar biasa sehingga ia merasa betah sekali
berada di dekat AemeL.
“Ya juga sih, tapikan kesel juga kalau itu
benar. Itu namanya mereka telah mengambil keuntungan sendiri.”
“Tidak usah terlalu dirisaukan, tidak baik
juga jika nanti kamu membuat status di jejaring sosial mengenal hal ini
sementara kamu sendiri tidak tahu pasti kebenarannya sebab kadang yang orang
beritakan itu belum tentu maksudnya baik untuk kita. Dunia ini pernuh
persaingan Nur, dan tidak banyak orang yang bisa bersaing dengan jujur. Satu
lagi, kalau kamu membuat kontrak baru pada satu penerbit cantumkan juga,
seandainya suatu ketika naskah kamu di-film-kan. Karena royalti naskah film
dengan buku itu tidak bisa disatukan. Jangan sampai keliru.” Kali ini AemeL
bicara seolah sedang memberikan kuliah pada mahasiswinya.
“Begitu ya.” Kata gadis yang baru bergelut
dalam dunia penerbit sejak empat tahun ini, sedang AemeL sudah lebih dari tujuh
tahun meski belum ada novelnya yang difilmkan namun ia tahu banyak dengan dunia
satu itu. Karena ia sering menghadiri seminar, punya beberapa orang yang
bergelut langsung dalam dunia perfilmaan dan kali ini semoga saja Teguh bisa
menjadi salah satu teman baiknya. Nurmala menatap Teguh yang dari tadi hanya
mendengar mereka bicara. “Bagaimana menurut kamu, Guh?” ia ingin sekali
mendengar pria itu bicara.
“Topik kalian sangat bagus dan sedikit
menambah wawasan saya dalam dunia yang kalian geluti, meski bidangku juga masih
ada hubungannya dengan dunia tulis-menulis. Kalau menurut aku sih segala
sesuatu itu tidak ada yang susah kalau kita punya bukti yang kuat dan seperti
yang disebutkan AemeL tadi… intinya jangan pernah mengatakan sesuatu yang belum
kita ketahui dengan pasti kebenarannya sebab itu bisa menjadi bumerang untuk
diri kita sendiri.” Tutur Teguh dengan santai. Tapi kata-katanya yang sedikit
membela dan menyinggung nama AemeL membuat Nurmala merasa tidak suka. Namun
AemeL tidak menyadari itu sebab ia tiba-tiba ingat dengan Julia, kalau sudah
ingat Julia ia sedih dan itu bisa langsung mendadak menyerang ketenangan
pikirannya. Entah tahu atau tidak dengan kegelisahan AemeL sehingga tangan
Teguh mendarat di tangan AemeL dan menggenggamnya dengan erat membuat AemeL
agak kaget dan untung Nurmala tidak melihatnya karena tangan AemeL sedang ada
di atas dengkulnya yang terhalang oleh meja namun tidak bisa mencegah degupan
jantung AemeL yang secara langsung berdetak lebih kencang.
‘Ya Tuhan, laki-laki ini akan membuat
wajahku memerah dihadapan Nurmala. Tolong lepaskan tanganku.’ Bisik hati AemeL
dan detik berikutnya ia menarik tangannya dari genggaman tangan Teguh secara
perlahan. Teguh dengan halus melepas genggamannya sembari menatap AemeL dan menciptakan
senyum yang sangat manis dan itu membuat Nurmala yang duduk di depan mereka
menjadi keki melihat tatapan mesra Teguh untuk AemeL dan senyum manis itu meski
dibalas serba-salah oleh AemeL tak membuat Nurmala mengurungkan niatnya untuk
segera pamit karena yang ingin ia sampaikan pada AemeL sudah selesai.
Sepertinya ia tidak bisa menjadi sahabat AemeL sebab gadis itu adalah kekasih
dari orang yang ia kagumi dan berharap pria itu jadi miliknya. AemeL dan Teguh
melepaskan kepergian gadis yang masih dibawah dua puluh lima tahun itu. Dari
tadi AemeL bisa melihat kalau Nurmala menyukai Teguh tapi tidak terlalu ia
ambil pusing sebab perasaan AemeL masih bercabang memikirkan Julia.
Entah senang atau bimbang, AemeL akhirnya
mengikuti ajakan Teguh membawanya ke suatu tempat yang ia sendiri belum tahu.
Dengan berboncengan dibelakang punggung Teguh ia terlihat memegang pinggang
Teguh seolah khawatir jatuh lagi dari motor dan adegan itu sempat terlihat oleh
Wowor yang sedang mengendarai mobilnya saat itu ia disalip oleh Teguh. Wowor
menjadi semakin kesal dengan AemeL dan itu mungkin puncak kekesalannya pada
gadis itu sehingga ia meninju setir mobilnya beberapa kali.
Setelah menempuh perjalanan beberapa
menit, Teguh dan AemeL akhirnya tiba di Pantai Ancol. Motor itu berhenti di
dekat sebuah tenda. AemeL masih tidak habis pikir mengapa ia bisa mengikuti
pria itu sampai sejauh itu. Ia sadar kalau ia punya hati dengan Teguh tapi
kesannya ia murahan sekali jika mengikuti Teguh tanpa tujuan apalagi hari sudah
senja.
“Untungnya kita tidak terlambat.” Kata
Teguh akhirnya. Ia menatap AemeL yang turun dari motor lalu buru-buru
membantunya setelah sadar AemeL masih pincang. “Hati-hati.”
“Kenapa kita ada di sini?” tanya AemeL
kemudian. Ada rasa malu dihatinya mengingat tak mampu menolak ajakan Teguh.
“Sudah lama sekali aku tidak menikmati
sunset, mari.” Ia membawa AemeL ke bawah tenda yang ada tempat duduknya yang
terbuat dari semen berbentuk melengkung, mereka duduk di sana. Beberapa menit
lagi matahari akan tenggelam dan Teguh tidak ingin melewatkan kesempatan itu.
Dan saat sunset terlihat ia berjongkok di hadapan AemeL dengan sebuah kotak
cincin di tangannya membuat AemeL sangat kaget, kaget sekali. “AemeL Baes…
maukah kamu menjadi istriku?”
AemeL sama sekali tidak bisa menjawab
pertanyaan konyol yang selama ini hanya ia lihat di televisi atau di film-film
roman dan ia mengganggapnya gombal, tidak masuk akal dan aneh. Tapi saat ini ia
benar-benar mengalaminya dan yang melakukan itu bukan pacarnya atau orang yang
ia kenal bertahun-tahun.
Sepasang kekasih yang ada di tenda lain
yang sedang menikmati sunset dan angin laut sempat melihat adegan itu. Yang
wanita berkomentar.
“Lihat, pria itu sedang melamar
kekasihnya.. hohohoho.. romatis sekali. Kapan ya kamu melakukan hal seperti itu
padaku?” ujarnya seperti bicara sendiri, sedang pasangannya hanya diam entah
tidak tahu apa yang sedang ia pikirkan melihat adegan itu.
“AemeL…….” Kata Teguh melihat AemeL belum
bisa menjawab permintaanya.
AemeL meraih tangan Teguh. “Duduklah di atas,
tidak baik berjongkok seperti itu.” Sahut AemeL merasa Teguh tidak pantas
berlutut di depannya. Bagaimanapun dia adalah seorang pria yang dihargai di
rumahnya, seorang anak yang sangat disayangi oleh kedua orang tuanya, seorang
kakak yang dihormati oleh adiknya bahkan seorang adik yang mungkin jadi
kesayangan di keluarga atau mungkin seorang rekan kerja yang amat dihargai di
kantor atas kinerjanya. AemeL menatap Teguh yang sudah kembali duduk di
sisinya. “Apa yang kamu pikirkan Teguh…?”
“Aku mencintai kamu.”
“Jangan potong dulu ucapanku, pertama kamu
bilang mencintaiku dan itu belum juga sampai dua bulan, aku tidak menjawab dan
mungkin kamu sendiri bisa melihat bagaimana sikapku ke kamu sehingga kamu bisa
merasa kalau aku sebenarnya juga punya perasaan yang sama ke kamu, dan hari
ini…….. kamu coba melamarku untuk menjadi istrimu, kamu pikir….”
“AemeL…….”
“Aku belum selesai….” AemeL tak melepaskan
tatapannya pada Teguh. “Kamu tidak kenal denganku, begitupun sebaliknya. Apa
kamu pikir melamar itu sebuah lelucon yang bisa diucapkan kapan dan di mana
saja? Apa kamu telah dikecewakan mantan kekasihmu yang menikah dengan orang
lain sehingga saat ketemu aku dengan gampangnya kamu memutuskan untuk menikah
sehingga terkesan kalau kamu juga bisa menikah dengan segera? Wowor pernah
bilang padaku kalau kamu telah kehilangan kekasihmu dua tahun silam karena
musibah di lokasi, tapi tetap saja aku tidak kenal dengan kamu seutuhnya dan
cerita yang dilontarkan orang lain mungkin tidak sengaja tidak bisa aku jadi
patokan. Dan kini…..” AemeL melirik ke arah kakinya sekilas. “Apa karena kaki
ini kamu memutuskan untuk menjadikan aku istrimu…..? aku coba menghargai kamu
Guh, tanpa memikirkan berapa juta uang yang telah dikeluarkan oleh Julia di
rumah sakit karena musibah itu dan kini aku kehilangan dia. Apa kamu berpikir
dengan cacat seperti ini aku tidak bisa bekerja dan dijauhi oleh pria sehingga
kamu mengambil alih?”
Teguh meraih tangan AemeL dan kotak cincin
itu sudah ia letakkan di sisinya sedangkan sunset telah berlalu tanpa sempat
mereka nikmati hanya sinarnya yang keemasan menyinari wajah mereka beberapa
saat. “Sudah cukup kamu bicara sayang… kini giliranku. Yang diceritakan Wowor
itu memang benar dan aku tidak pernah memintanya menceritakan padamu, ia
mungkin tahu kisah itu dari orang lain. Aku membeli cincin ini sehari setelah
bertemu dengan kamu di halte itu, jadi tidak ada hubungannya dengan semua hal
yang kamu sangka. Aku benar-benar menyukai kamu dan tidak ada kaitannya dengan
cidera kakimu. Kalau masalah kenal jauh, yang mungkin semua orang juga tahu
untuk sebuah hubungan itu butuh proses dan mengenali keluarga masing-masing.
Tidak ada gunanya pacaran setahun atau bahkan sampai puluhan tahun, kalau Tuhan
mengatakan tidak jodoh yah.. kita hanya bisa sakit hati.”
“Teguh, dengarkan aku…”
“Tidak sayang, jangan mempersulit hal yang
sudah gampang. Kamu tinggal sendirian di Jakarta ini, aku tidak mau kamu sakit
dan sendirian di rumah. Kedua orang tuaku sudah tidak ada, aku hanya punya
seorang kakak perempuan yang sudah menikah dan tinggal bersama anak dan
suaminya di rumah mereka. Aku ingin kita hidup bersama, tapi kalau kamu tidak
menyukaiku.. itu lain lagi ceritanya, aku tidak mungkin memaksa kamu.” Kata
Teguh. AemeL menatap tangannya yang sedang dipegang oleh Teguh, sejenak ia
hanya bisa memandang itu. “Nanti aku akan mengajak kamu kenalan dengan kakakku
satu-satunya.
Detik beriktunya AemeL menarik tangannya.
“Tidak.” Ia menggeleng-geleng pelan.
“Kamu tidak suka sama aku?” tanya Teguh
tak kalah pelan.
“Bukan itu…….” AemeL jadi bingung harus
apa. Teguh mengangkat tangan kanan AemeL lalu mencium punggungnya dengan
lembut. “Kalau kamu tidak bisa bertemu
dalam waktu dekat ini, minggu depan juga tidak apa-apa. Setelah itu, aku ingin
bertemu dengan keluarga besarmu yang di Palembang.”
AemeL merasa terpojok, ia tak bisa
pungkiri kalau Teguh serius dengan kata-katanya. “Kamu belum kenal dengan
keluargaku, khsususnya aku… aku tidak mau nanti…..”
“Jangan punya pikiran seperti itu,
intinya…. Kita akan segera menikah.” Tegas Teguh.
“Aku tidak akan menikah sebelum bertemu
dengan Julia.” AemeL tiba-tiba melontarkan kata-kata itu. Apakah itu sebuah
penolakan atau memang kata-kata AemeL serius? Teguh masih bingung.
“Julia?! Oh, tentu saja……. Kita akan
menemukannya.” Sahut Teguh dengan segera setelah menyadari kalau Julia adalah
seorang gadis yang punya peran penting dalam hubungan mereka.
“Teguh?” panggil AemeL.
“Ya?”
“Apa
yang kamu lihat dari aku?”
Teguh bukannya menjawab tapi malah memeluk
tubuh AemeL dengan sangat erat seakan ingin mencurahkan semua rasa yang ia
punya pada gadis itu. “Jangan pernah bertanya seperti itu sayang, sebagai
seorang penulis kamu pasti tahu kalau cinta tidak butuh dijelaskan, kamu mampu
membuat hatiku bergetar….. terima kasih.” Ucap Teguh setengah berbisik. AemeL
tidak bisa menjawab lagi meski selama ini ia dikenal tidak bisa diam dalam hal
bicara, cinta Teguh telah membuatnya terdiam seribu bahasa. Semoga saja cinta
Teguh benar-benar tulus. Hanya itu yang mampu ia bisikkan di dalam hatinya
sendiri.
~
Wowor sedang berbincang berdua dengan
Maminya di kursi taman samping rumah mereka. Wanita keturunan Jawa kental itu
sedang mendengarkan putra tunggalnya bercerita tentang seorang gadis idamannya.
Tak biasanya ia bersikap seperti itu karena selama ini ia di mata Wowor adalah
seorang Ibu yang otoriter sekali apalagi dalam menentukan calon istri untuk
Wowor.
“Dia bukan seperti wanita pada umumnya,
Mi.” kata Wowor lagi dan berharap kali ini Maminya memberikan sesuatu respon
lebih jauh supaya ia bisa memberikan alasan-alasan sesuai pikirannya.
“Tidak apa-apa sayang….”
“Dia tidak bisa masak, bukan wanita yang
feminin, wanita yang biasa bekerja di luar rumah dan dia berasal dari
Sumatera.” Tambah Wowor yang sudah siap mendengar segala bentuk protes Maminya
yang akan mengatakan semua hal tentang watak orang Sumatera yang ia anggap kasar, tidak sopan dan bicara sesukanya dan
berbagai cap jelek lagi lainnya. Wowor bukan anak mami yang harus disediakan
segala urusannya oleh maminya. Ia pria mandiri meski demikian maminya mau
anaknya diurus oleh wanita yang tepat, yang menyanyanginya bukan lantaran
hartanya atau kedudukan papinya di kantor. Ia ingin Wowor menemukan wanita yang
mencintai dan dicintainya. Karena kedua itu merupakan modal yang kuat, seiman
dan saling menghargai. Sejatinya bukan dari suku mana asal manusianya tapi
sikap yang diajarkan di dalam keluarga itu merupakan tonggak awal pembentukan
watak seseorang.
Wanita itu menatap anaknya dengan seksama
dan ia tidak ingin melihat anaknya yang sudah kepala tiga itu untuk terus hidup
tanpa pasangan lantaran kekerasan hatinya memilih pilihan untuk anaknya
sementara banyak teman-temannya sudah menimang cucu, bahkan ada cucu temannya yang sudah masuk
sekolah SMP. Ia merasa kesepian di rumah sementara suaminya masih sibuk
menjalani bisnis, mengurus perusahaan. Andai saja Wowor menjadi bisnisman
penerus Papinya mungkin suaminya itu sudah pensiun dan duduk manis di rumah
tapi Wowor memilih hidup dalam bidang yang ia sukai.
“Tidak apa-apa sayang, intinya kalau
wanita itu mencintai kamu begitupun sebaliknya itu sudah cukup buat Mami. Kapan
kamu mengenalkannya sama Mami dan Papi…?” ujarnya ingin buru-buru Wowor membawa
wanita itu kehadapannya dan meminangnya untuk menjadi menantu.
“Secepatnya Mi.” sahut Wowor penuh
semangat.
~
Teguh dan AemeL sudah duduk di ruang
keluarga seorang wanita yang amat sangat menyayangi Teguh, yakni Riza Tebolai
kakak kandung Teguh Tebolai yang sudah memiliki dua orang putra dan putri serta
suaminya seorang anggota Legislatif. Riza sendiri seorang Pegawai Negeri Sipil
yang sudah lima belas tahun mengabdikan dirinya di Dinas Pendidikan. Ia mengamati
AemeL sejenak sebab ia tahu tidak sopan terlalu lama menatap seseorang karena
dianggap tidak sopan dan yang ditatap tentunya akan merasa risih apalagi orang
baru. Ia pun merasa ikut berdosa atas kecelakaan yang menimpa AemeL namun yang
ia lihat kehadiran AemeL membuat adiknya berbeda dari kemarin khususnya dua
tahun yang lalu setelah kekasihnya meninggal. Ia bisa melihat Teguh seolah
menemukan kembali getaran hatinya yang selama ini diam membeku. Ia bisa melihat
betapa sederhananya gadis yang bernama AemeL itu, meski demikian tak bisa
dipungkiri kalau gadis itu punya otak cemerlang. Tak bisa dibohongi juga kalau
ia berasal dari keluarga baik-baik. Tak perlu banyak cerita atau menanyakan
hal-hal yang sudah dianggap basi.
AemeL bisa merasakan betapa kentalnya
hubungan kakak dan adik antara Teguh dan Riza, tak terlihat adanya kebohongan
atau hal yang disembunyikan di antara mereka. Rumah Riza yang sederhana dengan
dua orang anak, satu asisten rumah tangga terasa begitu nyaman. Sekali duduk
saja AemeL sudah bisa merasakan kenyamanan di rumah itu. AemeL seakan bisa
membayangkan bagaimana kedua orang tua mereka membesarkan dan mendidik mereka,
dan hasil itu terlihat jelas di pembawaan Riza untuk adiknya dan Teguh adalah
seorang adik yang sangat menghargai kakaknya.
“Di sinilah keluarga Teguh satu-satunya.”
Ujar Riza dengan nada santai. “Tapi saat ini Teguh menempati rumah peninggalan
kedua orang tua kami. Hmm.... semoga pertemuan berikutnya kakak harap kita
membahas hal yang lebih jauh, seperti keinginan Teguh melamar kamu pada kedua
orang tuamu...” wanita itu tersenyum sejenak melihat keheranan di wajah AemeL.
“Teguh sudah menceritakan semua tentang kamu yang ia ketahui.”
AemeL menoleh pada Teguh karena keputusan
yang Teguh ambil sangat buru-buru tapi pria itu malah bertanya. “Kapan kita
akan bertemu dengan kedua orang tuamu di kampung?”
AemeL kembali pada sosok Riza sebab ia
masih canggung pada wanita itu. “Mm... kok jadi membahas masalah serius sih,
Kak?”
“Tidak apa-apa.... bukannya kalian sudah
saling menyukai?” sahutnya pendek, meski suara itu manis di dengar namun tetap
saja membuat AemeL tidak enak. Ia merasa malu tapi setelah melihat kesungguhan
Teguh membuatnya serba salah. Apakah itu yang disebut jodoh? Kenal dalam
hitungan bulan namun sudah akan melangkah ke jenjang yang lebih jauh dan
serius. Sosok Teguh adalah pria yang dicari sekaligus pria idaman meskipun
begitu AemeL tidak mau terjebak. Ia tidak tahu pasti sedalam apa perasaan Teguh
kepadanya.
~
Dalam pergaulan remaja akhir, seorang pria
pastinya menginginkan seorang pendamping yang sempurna dalam arti yang
sesungguhnya. Bisa masak, mengerti segala hal dan enak diajak berdiskusi dari
masalah harga sayur hingga ke harga saham. Sedangkan wanita menginginkan pria
yang bisa membimbingnya, mapam dalam finansial dan setia. Yang idaman belum
tentu yang dicari begitupun sebaliknya. Yang asik sebagai teman belum tentu
cocok sebagai teman hidup.
Dalam kehidupan sehari-hari di rumah
tangga tak jarang seorang suami yang terlihat baik di rumah dan terkesan
sebagai suami yang takut istri namun kenyataan di luar berbanding terbalik.
Itulah warna dalam rumah tangga yang sudah menjadi rahasia umum. Ada juga
pasangan yang baik bahkan sangat menyayangi pasangannya, menjalani semua
aturan-aturan rumah tangga sesuai agama dan hukum negara tapi tetap saja si
pasangan mencari di luar. Apa sebab? Ah, mungkin kurang bersyukur atau
kurangnya iman. Entahlah. Semua orang punya alasan masing-masing.
~
Wowor Vandeep, seorang dokter plamboyan
terlahir dari keluarga terhormat dari seorang ibu Jawa tulen dan ayah Belanda.
Anak tunggal yang agak susah jatuh cinta alias agak pilih-pilih pasangan.
Mungkin karena ibunya termasuk orang yang selektif, bukan tanpa alasan karena
Wowor adalah harapan mereka satu-satunya orang tua manapun pasti menginginkan
pasangan terbaik buat anak-anaknya bahkan bukan saja pemilik anak tunggal. Tak
jarang ada yang melontarkan kata-kata kasar
kepada orang yang tidak mereka sukai dan membuat orang sakit hati bahkan
dendam. Semoga tidak ada lagi yang seperti itu.
~
Wowor muncul di hadapan Julia, hal itu
tidak pernah disangka oleh Julia sebelumnya sehingga memaksa gadis itu menarik
napas dalam-dalam karena sangat tidak mengerti apa maksud pria itu sebenarnya.
Ia berdiri sendiri dihadapan Julia tanpa pria kemarin yang seperti seorang
pengawal. Julia geleng-geleng kepala namun ditanggapi dengan santai oleh Wowor.
“Maafkan aku atas ketidaknyamanan kamu di
sini. Semua ini aku lakukan untuk kamu.” Ungkap Wowor dan Julia sungguh tidak
mengerti ke mana arah kata-kata itu.
Julia menghela napas berat. “Apapun motif
dan alasan Anda melakukan hal ini, sungguh Anda sudah sangat mengecewakan
saya.” Tekan Julia sangat marah tapi Wowor masih terlihat santai dan dengan entengnya
ia menyerahkan tas Julia.
“Semua barang-barang kamu ada di sini.”
Julia meraih tasnya tanpa mengalihkan
matanya dari wajah Wowor, ia masih tidak mengerti apa yang ada di otak pria
itu. Saat ia ingin membuka tasnya Wowor
bicara lagi.
“Kamu tidak usah menghubungi AemeL karena dia
bukan teman yang baik untuk kamu.” Ucapan itu membuat Julia menghentikan
niatnya yang sebenarnya tadi memang ingin menelepon AemeL karena ia yakin
sahabatnya pasti kalang kabut mencarinya. Julia menatap Wowor dengan seksama
dan menimbulkan berbagai macam praduga, apakah selama ini AemeL tidak pernah
menanyakan keberadaannya kepada Wowor?
Atau Wowor tidak pernah menceritakan keberadaannya. Kali ini Julia menghela
napas panjang. Ia tidak mungkin mempercayai Wowor yang baru ia kenal
dibandingkan dengan AemeL sudah bertahun-tahun. Pasti ada yang tidak beres.
Wowor melanjutkan kata-katanya. “AemaL sedang bersenang-senang dengan kekasih
barunya si jurnalis itu, bagaimana mungkin ia bisa mengingat kamu yang selami ini
merawat dia. Ia bahkan tidak peduli dengan kehilangan kamu.” Tambah Wowor
membuat kepala Julia mulai berdenyut.
Julia tidak jadi membuka tasnya dan mengenai kata-kata kehilangan itu
memaksa Julia angkat kaki dari hadapan Wowor yang kini ia pikir memang punya
dua kepribadian dan tempat itu sudah ingin sekali ia tinggalkan. “Tunggu.”
Wowor meraih tangan Julia. “Kita akan pergi sama-sama dari tempat ini.” Ujarnya
kemudian. Julia tiba-tiba berubah pikiran yang tadinya ingin pergi jauh dari
Wowor dan menemui AemeL di tempat kosnya. Ia akan mengikuti pria itu dan
mencari tahu apa sebenarnya yang Wowor inginkan darinya dan AemeL. Ia tidak
takut lagi apa yang dilakukan pria itu terhadap dirinya, akan ia lalui karena
sudah terlanjur disekap. Jadi untuk mengetahui siapa Wowor sesungguhnya ia akan
mengikuti apa yang akan pria itu lakukan.
Menit berikutnya Julia dan Wowor sudah ada
di dalam mobil yang disetir oleh Wowor. Julia tidak bertanya ke mana Wowor akan
membawanya. Saat keluar dari dalam rumah mewah sejenis vila itu Julia tidak
mengeluarkan suara. Ia sekilas melirik ke belakang untuk sekedar tahu seperti
apa tempat yang ia tempati beberapa hari ini. Tidak di daerah Puncak bukan juga
tempat yang pernah ia lihat selama pernah ke Jakarta. Hanya beberapa menit mereka
sudah melewati jalan raya, di samping kiri jalan terlihat nama sebuah komplek
perumahan mewah. Julia sudah bisa menyimpulkan kalau tempat itu adalah sebuah
komplek besar dengan halaman setiap rumahnya sangat luas bahkan semacam kebun.
Sepertinya memang tempat orang-orang kaya menginfestasikan uang mereka.
Julia masih diam, ia bersandar di jok
samping Wowor dengan memeluk tasnya sedang Wowor sekali-kali meliriknya, lalu
ia mengeluarkan suaranya.
“Mengapa kamu tidak bertanya ke mana kita
akan pergi?” tanya Wowor.
“Anda pasti lebih tahu apa yang terbaik
buat saya, bukankah begitu?” sahut Julia membuat Wowor tak bisa meneruskan
kata-katanya. Ia memang harus hati-hati pada gadis yang sudah merampas hatinya
itu. Sejujurnya Wowor lebih menderita dari Julia. Tapi ia tidak ingin
memperlihatkannya pada Julia. Wowor menghela napas panjang.
“Aku sebenarnya ingin mempertemukan kamu
dengan mami dan papiku.”
“Terserah apa yang Anda inginkan dan
lakukanlah.”
“Aku serius.” Tambah Wowor sembari
menyetir dengan santai. Ia tidak khawatir gadis itu akan keluar atau memaksa
turun dari dalam mobilnya. Ia seakan tahu apa yang ada di dalam kepala Julia,
gadis seperti Julia memiliki karakter pantang menyerah, tulus bahkan agak keras
kepala. Dan paling benci jika diremehkan. Ia tidak peduli pada wanita atau pria
yang melecehkannnya maka ia akan mengambil sikap dan itu sering diluar dugaan
orang. Sekali lagi Wowor coba memahami pribadi Julia yang tidak akan silau
dengan kebendaan. Ia bukan tipe perempuan yang rela dinikahi pria kaya yang usianya
sudah mendekati kepala enam dan bukan juga perempuan yang rela dipoligami hmm.
Pikiran Woworr sedang berkecamuk tak kalah dengan Julia yang penasaran dengan
maksud Wowor.
“Julia, sekali lagi aku ingin mengatakan
kalau aku menyukai kamu sejak pertama bertemu di rumah sakit. Jika ada orang
yang tidak percaya dengan cinta pada pandangan pertama, maka mereka salah.
Bagaimana menurut kamu sendiri?” ia melirik ke wajah Julia sejenak namun gadis
itu tidak mengeluarkan suara. Wowor tidak mengerti kalau ia sedang teringat
dengan AemeL. Apa pun yang dikatakan Wowor sepertinya bukan masalah besar sebab
siapa pun punya pendapat sendiri dengan cinta. Tidak peduli apakah ada yang mau
menganggapnya nyata atau abstrak. Tapi menurut Julia, cinta tetaplah cinta yang
akan bertengger pada posisinya sendiri.
Cinta tidak egois, tidak menuntut, tidak kekanak-kanakan jika ada selain itu
maka itu cinta buta.
Mobil mewah itu berbelok ke kiri jalan
memasuki kawasan Serpong lalu menuju perumahan elit yang tidak begitu jauh dari
pusat perbelanjaan. Hari menjelang sore saat mobil berhenti di salah satu
halaman rumah yang bercat coklat tua mendekati warna kayu.
“Ini tempat tinggal kedua orang tuaku dan
aku. Ayo kita turun karena aku ingin mengenalkan kamu dengan mereka.” Ujar
Wowor. Julia hanya menghela napas sesaat dan matanya menatap sekilas ke rumah
besar yang terlihat sepi. Jangankan penghuni rumah suara pengurus rumahpun
tidak terdengar apalagi terlihat wujudnya. Apakah rumah itu sama seperti tempat
Julia disekap atau benar rumah yang berpenghuni!?
Wowor sudah turun dan kini ia membuka
pintu untuk Julia. “Ayo... turun.” Ia meraih tangan Julia dengan lembut dan
sopan. Julia tidak suka diperlakukan seperti sang putri hanya saja ia memang
enggan untuk turun. Tanpa paksaan
akhirnya Julia melangkahkan kakinya dari dalam mobil dengan tas tidak lepas
dari tangannya. Saat itu keluar seorang wanita paruh baya, cantik dan terlihat
enegik. Ia melebarkan senyuman indah dan salam perkenalan kepada Julia.
“Halo... selamat datang sayang...” ia
menyongsong Julia dan secara naluri
Julia mengulurkan tangan pada wanita yang terkesan diktator. Sekilas saja Julia
bisa merasa kalau wanita yang ada dihadapannya itu adalah wanita keras, disiplin
dan agak berkelas juga sedikit egois yang mungkin mendekati nge-bos-i. Diluar pengetahuan Julia
sesungguhnya wanita itu sedang menilai Julia yang tadinya ia berpikir akan
dikenalkan oleh Wowor pada seorang gadis yang menenteng tas bermerek, berhak
tinggi dengan bulu mata bak selebriti atau sejenisnya. Namun kenyataannya Julia hanya memeluk tas
gendong tipis, dengan mengenakan t-shirt bermerek dengan pasangan celana jins berbahan lembut
serta sandal kulit yang tipis.
“Inilah Julia yang aku maksud Mi.” Kata
Wowor setelah mencium punggung tangan maminya. Julia hanya melihat adegan itu
sekilas lalu wanita itu berkata.
“Ajaklah masuk sayang, tapi papi kamu
belum pulang karena masih ada urusan tapi ia janji akan segera pulang untuk
kalian.” Jelasnya sembari melirik ke Julia. Julia mulai tidak suka dengan
suasana formal namun ia ikuti saja sejauh mana Wowor akan membawanya ke dalam
kehidupan mereka.
Wanita itu mengajak Julia masuk lewat
pintu depan, tak sedikipun Julia merasa canggung. Ia tidak peduli apa tujuan
mereka mengajaknya ke rumah itu, untuk pamer harta, ataukah untuk hal yang
lain. Yang menjadi keinginan Julia saat
ini adalah mengetahui siapa Wowor sebenarnya? Apalagi dengan kejadian di rumah
kosong itu, seolah ia punya tantangan sendiri untuk lebih tahu apa rencana
Wowor selanjutnya. Menit berikutnya keluar asisten rumah tangga yang membawakan
makanan kecil dan kopi kesukaan Julia juga dua gelas kopi yang sama dengan
kepunyaan Julia. Apakah itu untuk menghargai tamu atau mereka memang juga
penyuka kopi. Entahlah.
“Mi, seperti yang sudah pernah aku
ceritakan ke Mami kalau aku kenal dengan Julia waktu di rumah sakit, saat dia
menemui sahabatnya.” Kata Wowor setelah asisten rumah kembali masuk.
“Silahkan diminum sayang. Kata Wowor kamu
suka minum kopi, Tante juga suka kopi tapi bukan kopi tertentu.” Katanya pada
Julia setelah itu menatap anaknya. “Kamu sudah cerita semuanya tentang Julia
sayang bahkan berkali-kali termasuk tentang di rumah kita yang satunya.” Ujar
wanita itu dengan santainya namun membuat Julia sedikit kaget. Apakah kedua ibu
dan anak ini tidak pernah punya rahasia? Masalahnya bukan itu yang ingin
diketahui oleh Julia tapi apa motif Wowor menyekapnya? Dan apakah itu juga
diketahui oleh maminya? Itu akan segera diketahui oleh Julia. Ia menyeruput
kopinya dengan santai lalu melirik ke mami Wowor.
“Terima kasih dan sepertinya saya sudah
harus segera pergi sebab ada urusan yang belum selesai.” Kata Julia dengan
serius dan masih dengan mimik santai namun pengakuan itu sempat membuat heran
maminya Wowor juga anaknya.
“Emm.... sayang... ada apa ini?” ia
melirik anaknya.
“Em ya, Julia memang masih ada urusan Mi.
Aku akan mengantarnya ke suatu tempat.” Wowor coba bersikap wajar.
“Tidak, terima kasih untuk semuanya. Saya
harus pergi sendiri.” Potong Julia
dengan cepat sambil beranjak dari tempat duduknya.
“Tapi kamu belum bertemu dengan papinya
Wowor sayang...” tambah wanita itu berusaha
menahan kepergian Julia.
“Em, maaf Tante... bertemu dengan Tante
saja saya sudah bersyukur, apa pun yang terjadi hari ini pasti sudah
direncankan oleh Tuhan dan selanjutnya hanya Dia yang tahu. Permisi..” Julia
tidak menemukan apa-apa lagi yang bermakna dalam pembicaraan itu. “Dan satu
hal..., apakah Tante tahu kalau saya telah dibawa dari apartemen teman saya
dengan cara yang tidak wajar?”
Wanita itu mengerutkan kedua alisnya
dengan rasa kaget yang luar biasa saat ia melirik Wowor pria itu langsung
berkata.
“E, maaf untuk yang satu itu Mi.. aku
belum sempat cerita.” Ujar Wowor merasa amat sangat bersalah. Julia melangkah
tanpa bisa menahan diri lagi sedangkan Wowor menyusulnya. Wanita itu hanya bisa
melihat kedua insan itu meninggalkan ruang tamu rumahnya. Di depan Wowor
menahan tangan Julia.
“Tolong dengarkan saya dulu.” Pintanya.
Julia menatap pria itu.
“Tolong lepaskan tangan saya, Anda sudah
berhasil mengajak saya sampai sejauh ini dan sekarang saya ingin pergi sendiri
dan jangan mengganggu saya, oke!.”
“Julia.. aku lakukan semua ini semata-mata
karena kamu.. karena aku sangat sayang sama kamu. Kamu pasti mau ke tempat
AemeL,’kan? Untuk apa kamu mencarinya, dia tidak pernah memikirkan kamu selama
ini. Percayalah sama aku.”
Julia menarik tangannya dari genggaman
tangan Wowor. “Anda tidak tahu apa-apa, jadi jangan bicara hal yang tidak Anda
tahu.”
“Aku hanya ingin menyelamatkan kamu supaya
kamu tidak kecewa, hanya itu.”
“Hanya itu? Yakin hanya itu?!!” Julia
akhirnya berbalik dan sebelumnya ia sempat mengamati sejenak sebuah rumah yang
berdiri kokoh laksana istana sang koruptor. Apakah Wowor ingin mempertontonkan
padanya kalau mereka punya rumah semegah itu? Masa bodoh!
“Julia, aku mohon biarkan aku mengantarmu
kemanapun kamu mau pergi. Aku tidak bisa
membiarkanmu pergi sendiri.”
“Kenapa memangnya?”
“Karena aku sayang sama kamu.”
“Oke, kalau begitu biarkan saya pergi
sendirian. Itu sudah cukup membuktikan kalau Anda peduli.”
“Ya, ampun.” Wowor tidak bisa menahan
Julia dan tidak berhasil mengantar gadis itu untuk pergi namun ia tidak tahu
pasti apakah Julia akan ke tempat kos AemeL atau kembali ke Palembang? Hanya
Julia yang tahu.
Wowor kembali ke dalam di mana maminya
masih menunggu di kursi mewahnya. Ia pikir Julia akan kembali masuk namun
kenyataannya hanya Wowor yang muncul.
“Mana gadis itu?” katanya tanpa ekspresi
yang berarti. “Dia pergi? Apakah ia seperti gadis Sumatera yang lain?”
“Tidak Mi, Julia itu berbeda.” Tegas
Wowor.
“Apa maksud gadis itu bilang ia dibawa
paksa ke rumah kita yang satunya?” wanita itu ingin tahu apa yang telah
dilakukan anaknya.
“O, itu. Aku hanya ingin memberitahukan
padanya kalau sahabatnya itu tidak sebaik yang ia kira Mi. Ingat tentang
sahabatku yang mengkhianati aku beberapa tahun lalu?” ujar Wowor dan langsung
membuat maminya paham.
~
AemeL tidak memaksa Teguh untuk
menggantikan biaya berobat yang telah dibayar Julia tetapi pria itu merasa
harus melakukannya karena itu jenis tanggung jawabnya selepas ia yang
menyebabkan kecelakaan itu.
“Tidak sayang, aku lakukan itu bukan hanya
lantaran Julia itu sahabat kamu tapi ini murni tanggung jawabku sebagai orang
yang menyebabkan musibah itu. Aku mohon kamu mengerti dan kalau aku kasih ke
kamu lalu Julia marah dan tidak mau menerimanya aku akan transfer ke
rekeningnya Julia. Aku juga sudah menanyakan dari pihak rumah sakit berapa
semua biaya yang telah dikeluarkan termasuk biaya apartemen. Kamu jangan
khawatir, bagaimanapun caranya aku harus melunaskan semua itu.”
“Yeah, terserah kamulah.” AemeL menyerah.
Ia memang tahu nomor rekening Julia tapi yang membuatnya pusing di mana gadis itu sekarang.
Dan saat AemeL dan Teguh hendak keluar
dari gang tempat kontrakkan AemeL, Julia muncul namun ia buru-buru menghindar.
Wowor mungkin benar kalau selama ini AemeL tidak pernah memikirkannya apalagi
mencarinya. Melihat kenyataan betapa bahagianya AemeL bersama Teguh membuat
Julia merasakan rasa sesak di dalam dadanya mendadak ia merasa susah bernapas.
‘Jika kenyataannya seperti ini maka aku
harus pulang ke Palembang sesegera mungkin.’ Julia coba menghela napas panjang lalu tanpa
berpikir lagi mencari taksi untuk pergi ke suatu tempat. Beberapa saat kemudian
ia sudah berada di dalam taksi menuju kawasan Tanah Abang, di sana ia punya
beberapa tempat yang sudah ia kenal yaitu tempat menginap satu malam bila mana
ia membeli barang dagangannnya namun tidak bisa pulang dalam hari itu juga,
tidak jarang Julia lakukan bila sedang tidak bersama AemeL, murah juga aman.
Terbayang lagi dipikirannya ke sosok AemeL dan Teguh, sekali lagi benar apa
kata Wowor bahwa mereka sudah jadian
dan bahagia. Bertemu dengan pria idamannya membuat AemeL melupakan sahabatnya
sendiri. Mengingat itu memaksa Julia tersenyum getir. ‘Ya Tuhan, mengapa ini bisa terjadi? Apakah AemeL setega itu? Ah,
apakah yang aku lihat itu sama seperti kenyataan atau hanya perasaanku saja?
Tapi yang aku lihat mereka berdua memang sedang bahagia-bahagianya. Aku tidak
akan mengganggu kamu lagi AemeL. Kita berjalan pada jalan kita masing-masing,
mungkin akan lebih baik jika kita seperti kemarin-kemarin lagi. Aku memang
masih asing di mata kamu. Selamat tinggal sahabat.’ Tanpa terasa air mata
Julia mengalir lembut melewati pipinya yang putih bersih. Taksi masih berjalan
menembus jalanan Jakarta yang ramai siang dan malam tiada bedanya. Setengah jam
berikutnya taksi berhenti Julia keluar dan membawa dirinya ke tempat penginapan
yang kebanyakan para pelanggan yang datang dari berbagai kota di tanah air,
rata-rata mereka punya usaha jualan atau membuka toko sendiri di daerahnya.
Julia merebahkan tubuhnya diatas tempat
tidur sederhana sejenak untuk menghilangkan penat lalu terpikir olehnya untuk
mengaktifkan BB-nya. Sebentar saja
muncul beberapa BBM juga SMS masuk kebanyakan dari AemeL.
Diantaranya...
‘Julia, aku sudah tidak tahu lagi ke mana mencari kamu. Tolong hubungi
aku.’ Ada
debaran yang susah Julia artikan saat membaca BBM itu. Julia coba menenangkan hatinya sejenak, tak lama
berikutnya ada pesan masuk dari salah satu bank swasta kalau ada seseorang
telah menstranfer uang ke rekeningnya. Julia mengecek jumlah saldonya dan
ternyata uang itu banyak sekali melebihi uang yang telah ia pakai untuk
membayar semua biaya pengobatan AemeL di rumah sakit.
‘Hmm... AemeL telah mengisi rekeningku,
apakah ia merasa telah berhutang padaku? Atau karena kami tidak jadi
jalan-jalan ke Bali. Aduh AemeL... apa maksud semua ini.’
Keesokan harinya Julia ke bank untuk
mengecek siapa yang telah menstranfer uang sebanyak itu ke nomor rekeningnya.
Apakah benar AemeL atau ada orang lain semisal Wowor atau Teguh? Dan ternyata
si Teguh.
AemeL yang sudah bangun saat mengecek BB-nya dan melihat kalau BBM-nya sudah dibaca oleh Julia langsung
ia pencet nomor Julia. Saat itu Julia masih di bank. Tujuh detik Julia membiarkan
teleponnya menyala kemudian mengangkatnya.
“Julia..” teriak AemeL dengan nada
tertahan. “Kamu di mana? Kamu sehat?”
“Ya, ada apa?” jawab Julia dengan singkat
tanpa ada gejolak yang berarti seperti tekanan nada suara AemeL yang masuk ke
telinganya.
“Ya, Allah. Julia apa yang terjadi dengan
kamu? Kamu sudah di Palembang ya? Kamu kok tega banget sih? Pergi tanpa pamit..
mungkin benar yang dikatakan oleh Wowor kalau kamu memang sengaja meninggalkan
aku.” AemeL tidak melanjutkan kata-katanya seakan minta Julia bicara namun
Julia tidak bicara, ia mengedarkan pandangannya ke ruang tunggu di mana para
nasabah menunggu nomor antrian. Lalu pikirannya ke sosok Wowor yang mungkin
selama ini sering bertemu dengan AemeL. “Julia....?” lanjut AemeL.
“Em, siapa yang mengisi saldo di
rekeningku?” tanya Julia dengan pelan.
“Aku sudah menjelaskan padanya tapi ia
tetap ngotot untuk menggantikan semua biaya itu termasuk uang sewa apartemen. Ia bilang sebagai tanggung
jawabnya karena telah menyebabkan kecelakaan itu. Julia, kamu di mana? Aku
ingin ketemu.” Tambah AemeL.
“Aku, nantilah aku kabarin lagi. Sudah
ya.. aku tutup dulu teleponnya.” Kata Julia tanpa memberitahukan keberadaannya
kepada AemeL.
AemeL coba menghubungi Julia lagi namun
gadis itu tidak menggubrisnya. Terpikir olahnya untuk menelepon ke Seema yang
di Palembang namun urung karena khawatir mereka tambah bingung kalau AemeL
mencari sahabatnya.
Siang itu Julia belanja untuk mengisi
tokonya di Palembang setelah sebelumnya menghubungi Seema dan mengabarkan kalau
ia akan kembali ke Palembang siang nanti. Julia tidak menanyakan apapaun pada
AemeL tentang Wowor ataupun Teguh, terpikir olehnya tentang Teguh yang
menggantikan semua uang itu. Pria itu pastinya sudah menguras isi tabungannya.
Julia tahu pasti berapa gaji seorang jurnalis yang bekerja di televisi kecuali
ia punya pekerjaan sampingan. Meski ia sadar kalau memang sudah seharusnya
Teguh mempertanggungjawabkan kejadian itu namun kini Julia jadi kasihan sama
AemeL karena ia tahu tipe pria seperti apa idaman gadis itu. Ah, tapi
sepertinya AemeL bahagia apalagi ia tahu Teguh juga mencintai AemeL.
~
Siang itu, Wowor masih membahas tentang
Julia bersama maminya sebab wanita itu masih meragukan Julia untuk menjadi pendamping
anaknya. Namun Wowor berusaha meyakinkan
mami kalau Julia adalah wanita yang tepat untuknya.
“Mi, kenapa sih masih membeda-bedakan suku
dan ras dalam hidup ini?”
“Bukan seperti itu Wor, buktinya mami
sendiri menikah dengan papi kamu dari orang luar sono tapi ini kasusnya
berbeda. Mami sudah lihat sendiri teman mami punya mantu dari luar pulau Jawa,
terbukti mamtunya itu tidak bisa apa-apa, wataknya kasar kemauannya semaunya
saja.”
“Mami jangan menyamaratakan sifat orang
seperti itu.”
“Tapi umum nya seperti itu. Oke, begini
saja... kamu bilang saja ke Julia kalau kamu akan menikahinya tapi kalau ia
tidak ingin menikah dalam beberapa bulan ini berarti ia tidak serius dengan
kamu.” Tantang wanita itu meski sejujurnya ia menyukai penampilan Julia meski
apa adanya namun terlihat cerdas serta punya ketulusan. Wowor pun mengiyakan
kata-kata maminya.
Langkah pertama yang harus ia lakukan
adalah menghubungi Julia, meski tidak gampang namun ia coba berkali-kali
menekan nomor kontak Julia dan sayangnya tidak sekalipun Julia angkat. Langkah
selanjutnya ialah mendatangi tempat AemeL. Kembali Wowor kecewa karena AeemeL
juga tidak mengetahui keberadaan gadis impian Wowor tersebut. AemeL sejujurnya
kaget saat Wowor mencari keberadaan Julia.
“Sejujurnya aku tidak tahu keberadaan Julia.” Katanya dengan nada
serius. “Sudah lama aku mencarinya dan kamu tahu itu,’kan? Bahkan selama ini
aku selalu bertanya sama kamu tentang
Julia selalu kamu jawab ‘untuk apa? Ngapain mencari dia? Ia tidak akan pernah
memikirkanmu, ia mungkin sudah pulang ke kampungnya tanpa pamit sama kamu.’ Dan
anehnya aku selalu percaya kata-kata kamu itu. Tapi sekarang untuk apa kamu
mencarinya?” AemeL mulai curiga sama dokter kalem itu walaupun sesungguhnya
keyakinannya datang dari kondisi persahabatan mereka yang memang dari beberapa
bulan yang lalu kurang harmonis dengan Julia.
Wowor menatap sendu pada AemeL seolah
tidak bisa menyembunyikan kerinduannya pada Julia. “Ae, kamu tahu sendiri kan
kalau aku sangat mencintai dan menyayangi Julia. Aku ingin membuat pengakuan
sama kamu..” ujar Wowor dengan sungguh-sungguh dan membuat AemeL berdebar
menunggu pengakuannya karena kemarin-kemarin ia seakan tidak peduli pada Julia
dan mengapa sekarang ia ketakutan kehilangan Julia. “Selama ini aku membawa
Julia ke rumah mmm... bisa disebut vila kami tanpa sepengetahuan kamu, Julia
dan juga kedua orang tuaku.”
“Kamu.....!?” sergah AemeL dengan cepat,
bukan debaran lagi tapi kemarahan yang memuncak.
“Dengar dulu Ae, aku belum selesai.” Kata
Wowor coba meredam emosi AemeL walau ia sadar kesalahannya sangat besar. “Aku
lakukan semua itu karena aku sangat menyayangi Julia, aku tidak ingin ia
disakiti.”
“Disakiti sama siapa?” AemeL semakin tidak
sabar. Kali ini Wowor agak kesulitan untuk menjelaskannya.
“Em.. aku hanya khawatir kalau ada orang
yang tidak tulus menyayanginya.”
“Maksud kamu apa? Aku tidak mengerti.”
Wowor menghela napas panjang lalu dengan
hati-hati ia mulai menjelaskan apa yang ia maksud. “Aku mungkin sangat
menyayangi Julia sehingga melupakan kalau kamu juga menyayanginya. Dulu.. aku
pernah disakiti dan dikhianati oleh sahabatku sendiri. Maafkan aku Ae. Kemarin
sore aku mengajak Julia ke rumah dan bertemu dengan mamiku, aku ingin
menikahinya tapi sekarang aku tidak tahu di mana keberadaaannya. Ia tidak
angkat telepon dariku sejak pergi dari rumah.”
“Aku belum paham dengan kata-katamu yang
mengajak Julia ke vila tanpa pengetahuan Julia, apa maksudnya kamu telah
menculik Julia?” AemeL masih penasaran.
“Begini Ae, sebenarnya aku hanya ingin
mengetes kamu.” Kata Wowor Jujur.
“Maksud kamu?”
“Begini, aku hanya ingin tahu sejauh mana
kamu mengkhawatirkannya... dan aku pura-pura tidak tahu di mana Julia saat kamu
datang padaku untuk bertanya tentang keberadaan Julia dan yang aku lihat kamu
sebenarnya biasa-biasa saja. Jadi kupikir kamu tidak menyayangi Julia seperti
Julia menyayangi kamu.”
“Hehm... kamu itu tahu apa sih tentang
kedekatanku dengan Julia.” Sindir AemeL merasa tidak suka cara Wowor
memperlakukan Julia. “Sudahlah... sebaiknya kamu cari tahu sendiri
keberadaannya dan aku sungguh tidak tahu di mana dia.”
“Aku minta alamatnya yang di Palembang.”
Lanjut Wowor.
“Apa.......? O, jangan dulu sebelum aku
tahu perkembangan selanjutnya.” Tegas AemeL tidak ingin terjadi hal yang tidak
diinginkan terhadap Julia. Kali ini AemeL melihat Wowor lebih khawatir dari
dirinya mengenai Julia. Semoga pria itu tidak bersandirawa. Pikirnya.
Seandainya Wowor punya motif lain maka AemeL tidak akan pernah memaafkannya. ‘ya Tuhan apa yang harus aku lakukan?’
Sepeninggalan Wowor, AemeL mengirim pesan kepada Julia. Entah
gadis itu mau membaca atau tidak yang penting ia harus mengabarkan.
“Julia, kamu tahu..? aku ingin sekali
bicara sama kamu. Tolong jangan seperti ini.”
Pesan itu terkirim dan telah dibaca oleh
Julia namun beberapa lama AemeL menunggu tidak ada respon, untuk menulis pesan
rasanya terlalu lama membuang waktu meski demikian tetap saja tidak tuntas apa
yang akan dibicarakan. Tujuh belas menit berikutnya balasan pesan itu masuk.
“Nanti aku telepon, jangan sekarang.”
AemeL hanya bisa menghela napas panjang
karena ia tidak bisa berbuat apa-apa kalau Julia sudah bilang seperti itu.
**
Julia Gadis Sumatra
Apa kita bisa memilih untuk lahir di mana?
Baik Julia atau gadis mana pun tidak bisa meminta kepada ibu dan bapaknya untuk
lahir sebagai anak Jawa, Kalimantan, Papua bahkan di negara Eropa sana. Karena
kita sudah dipilih oleh Tuhan lahir sebagai anak siapa dan tinggal di suku
mana, semua sudah jadi ketentuan yang maha Kuasa. Bukan tanpa sebab Julia
memutuskan untuk pergi karena ia bisa melihat kalau mami Wowor memandangnya
berbeda apalagi setelah menerima pesan dari Wowor yang tanpa sengaja mengatakan
maminya memang agak lain menilai gadis Sumatera. Dan dengan jelas Julia bisa
memastikan bagaimana orang diluar sana menilai gadis Sumatera. Julia di
Palembang juga punya banyak kenalan yang bisa dibilang dekat dengan orang-orang
dari berbagai suku yang ada di nusantara ini. Bagaimana detilnya Julia
menjelaskan kalau gadis Sumatera itu punya cara sendiri dan prinsip hidup yang
tidak akan pernah mereka mengerti sebagaimana mungkin juga tidak bisa
dimengerti suku ibunya jika Julia menjelaskan cara hidup atau pandangan hidup
orang luar pulau Sumatera tetap saja ibu Julia sulit memahaminya.
Puluhan tahun silam para pemuda dan pemudi
nusantara telah membuat sumpah yang dinamakan Sumpah Pemuda tanggal 28 oktober
1928 yang berbunyi.....
1. Kami
putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air
Indonesia.
2. Kami
putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
3. Kami
putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Jadi apa yang tertera diatas tidak ada
sedikitpun harus diragukan kalau kita anak nusantara tidak boleh dibeda-bedakan
baik suku, bahasa juga yang lainnya. Untuk apa mempermasalahkan dia suku Batak,
Betawi, Bugis, Rejang, Minang atau apapun itu yang penting dia orang Indonesia.
Bukan itu saja, di zaman sekarang bahkan dari zaman moyang Julia sudah ada yang
menikah dengan orang Belanda, Jepang bahkan Arab. Intinya Tuhan menciptakan
manusia itu sama jadi mengapa dipermasalahkan. Perkara orangnya kasar atau
apalah itu tidak bisa disebut karena ia berasal dari suku tertentu, sifat
seseorang tidak bisa dikategorikan per-suku tapi itu sudah jadi sifat
individunya masing-masing.
Julia adalah Julia yang sudah dipilih oleh
Tuhan lahir sebagai anak Sumatera, punya usaha, punya hati, punya keluarga yang
sangat mencintainya dan teman-teman yang baik. Akan sakit hati jika ada yang
mengatakan kalau gadis Sumatera itu kasar, keras kepala sok kuasa atau sok
dalam segala hal. Anak-anak Sumatera yang sudah merantau atau menyeberang laut datang
ke Jakarta atau ke kota manapun yang ada di tanah air ini punya kemauan keras
untuk maju sehingga mereka tidak takut mati, mempertahankan harga diri dan
menjunjung tinggi nama baik tanah kelahirannya di kampung. Bukan itu saja,
sekali bilang ‘ya’ tetap ‘ya’ begitupun sebaliknya. Jadi apa masalahnya? Apakah
itu salah? Julia tidak pernah menyesal terlahir sebagai gadis Sumatera meski
ada yang mengatakan orang Sumatera itu begini dan begitu.
Setelah menyelesaikan semua urusan toko
dan dibantu teman-teman, Julia kini sedang berdiam di tempat kosnya. Sudah
saatnya ia menghubungi AemeL meski lelah pulang dari Jakarta membawa barang
untuk isi toko.
Sesaat saja telepon terhubung. “Halo..”
“Julia, ceritakan tentang semua, aku
kangen sekali dan ingin tahu di mana kamu sekarang?”
“Ya.” Suara Julia santai sesantai ia
bersandar di tempat tidurnya meski hatinya dipenuhi rasa tidak tenang dengan
berbagai kejadian selama ini. “Aku sekarang di Palembang dan baik-baik saja.
Aku harap kamu juga begitu dan satu hal yang ingin aku katakan padamu, semoga
kamu sama Teguh bahagia.” Ujar Julia dan membuat jantung AemeL agak berdegup
kencang lalu terhenti. Belum sempat AemeL membantah Julia sudah melanjutkan
ucapannya. “Satu lagi, semoga kamu tidak bertemu dengan Wowor.”
“Bagaimana mungkin, ada apa dengan kamu
dan Wowor? Kemarin Wowor datang ke tempatku.” Jelas AemeL dan tentu saja Julia
tidak kaget.
“Dia tidak mendesak kamu? Baiklah, akan
aku ceritakan sedikit.” Ujar Julia karena tidak ingin menyusahkan AemeL dengan
sikap Wowor yang belum ia pahami. Julia tak mau peduli apakah yang pernah
dikatakan Wowor tentang diri AemeL benar atau tidak. Beberapa saat setelah
mendengar cerita Julia memaksa AemeL menghela napas panjang.
“Kenapa sih Jul, kamu harus percaya sama
orang lain? Bukannya dari dulu kita sudah berjanji apapun yang pernah terjadi
diluar sana atau dalam individu kita masing-masing tidak perlu bertanya sama
orang lain. Sejujurnya aku kecewa dengan kamu yang pulang tanpa memberitahu
aku. Kamu tersinggung dengan sikapku selama ini? Dulu kita juga pernah membahas
masalah itu, kalau persahabatan kita tidak boleh yang namanya punya rasa
seperati itu. Tapi kamu...?”
“Ae, mengapa kamu memojokkan aku? Kamu
tidak tahu kalau aku...?”
“Aku tahu bagaimana perasaan kamu saat
Wowor menyekapmu tapi kamu tidak boleh pulang begitu saja setelah melihat aku
dengan Teguh, kalau kamu tidak tanya langsung kamu tidak akan tahu apa yang
kami lakukan, aku mencari kamu seperti orang gila Julia.” Suara AemeL mulai
serak. “Tidak perlu aku meragukan perasaan sayang kamu ke aku,’kan?” saat AemeL
mulai mempertanyakan rasa peduli dan sayangnya pada sahabatnya itu membuat
Julia kesal dan melempar BB-nya ke
atas kasur dan membiarkan gadis itu menjerit memanggilnya.
AemeL yang menyadari kata-katanya hanya
mampu menatap layar BB-nya. Kalau
sudah begitu ia tahu apa yang sedang Julia lakukan akhirnya ia memutuskan
sambungan telepon ke nomor Julia. Ia menghela napas berat lalu mengambil buku
yang dibeli Julia dan menulis menggunakan bollpoint
tinta emasnya.
‘Tinta emas....., maafkan aku. Julia
mungkin tidak tahu kalau aku sangat menyayanginya. Kadang aku sadar kalau ia
juga teramat menyayangi aku dengan kecemasannya, dengan rasa kangennya yang
suka berbarengan denganku dan juga dengan perhatiannya yang suka berlebihan
namun entah mengapa aku seringkali merasa ia tak peduli denganku. Maafkan aku
Julia... apa pun yang terjadi di dunia ini sering membuat aku tak bisa
melupakanmu dan seperti sekarang ini kamu tidak tahu kalau aku ingin sekali ada
kamu di sini, bersamaku.’
AemeL mengakhiri tulisan di buku indah
itu, banyak sekali suka duka yang telah ia jalani bersama Julia selama ini.
Sejenak AemeL mengukir senyum manis kala ingat kebersamaannya saat di daerah
Bogor dan Jakarta kala ia mengantar AemeL belanja atau sekedar jalan-jalan.
Makan es krim bersama, duduk berjam-jam di tempat makan membicarakan isi dunia
ini tak ketinggalan tentang teman-teman sekolah dulu. Tak sedikit teman pria
yang menyukainya dan banyak juga yang mengatakan langsung kepada AemeL agar
mereka dicomblangi kepada Julia.
Hmmm... AemeL tidak akan rela jika ada salah satu temannya yang coba menyakiti
Julia apalagi dengan sengaja melakukannya. Dan sekarang Wowor mendekati Julia,
apakah ia tulus mencintai Julia atau sekedar observasi? AemeL ingin sekali
mengetahuinya. Sikap pria itu saat AemeL amnesia dengan sekarang ini agak
berbeda. Apalagi setelah Julia menjelaskan kalau ibunya Wowor agak-agak
‘alergi’ dengan gadis Sumatera. Pasti ada sebab mengapa ia seperti itu. Julia
adalah gadis yang pantang menyerah, pantang diremehkan. Apa jadinya kalau gadis
itu masuk ke dalam keluarga Wowor. Pikir AemeL.
Julia kembali mengambil BB-nya yang dari tadi tergeletak di atas
tempat tidur dan pastinya sudah tidak tersambung lagi dengan AemeL. Tidak ada BBM masuk dari AemeL sudah Julia duga
karena mereka sebenarnya sudah mengenali karakter masing-masing meski masih
saja suka salam paham.
“Julia, aku akan mencarimu ke Palembang
meski AemeL tidak mau memberitahukan alamat kamu.” Pesan itu membuat Julia agak
marah karena lebih terdengar mengancam daripada memberitahu. Julia berusaha
tidak menghiraukan BBM dari Wowor
yang hanya membuatnya naik darah saja.
Dan dengan perasaan pasti akhirnya Julia memutuskan untuk kembali ke
Jakarta guna menyelesaikan permasalahannya dengan Wowor. Seolah bisa membaca
apa yang akan dilakukan Wowor karena ia tidak ingin ada keributan di tempat
kosnya ataupun di Palembang. Intinya ia tidak ingin mempermalukan pria itu.
~
Julia mengabarkan pada AemeL jika ia
kembali ke Jakarta namun ia tidak mengatakan pada AemeL kalau ia akan bertemu
dengan Wowor terlebih dahulu. Di rumah sakit Julia menemui Wowor dan tentu saja
pria itu merasa teramat bahagia. Artinya Julia akan menerima cintanya dan ia
akan segera menikah seperti janjinya pada maminya.
Di tempat makan siang. “Aku senang sekali
kamu bisa ke sini. Habis dari sini kita langsung ke rumahku ya.” Ujar Wowor
dijawab Julia hanya dengan tatapan penuh tanya. “Julia, bicaralah.. apa kamu
benar dari Palembang atau sengaja bersembunyi di tempat kos AemeL?” setidaknya
Wowor merasa bahagia karena Julia menemuinya sebelum ketemu AemeL, itu artinya
Julia lebih mementingkan dirinya daripada sahabatnya. Apakah Julia lebih kangen
dengan Wowor dibanding AemeL?
“Kamu tidak kenal aku juga AemeL, jadi
janganlah menuduh yang bukan-bukan.
Kedatanganku ke sini hanya ingin menyelesaikan urusan kita.” Sahut Julia coba
mencari keseriusan Wowor, ia lebih suka pria itu menyayanginya daripada mencintainya.
“Maafkan aku Julia.. aku peduli sekali
sama kamu. Aku bisa melakukan apa saja untuk kamu.”
‘Hmm.... signal tidak baik.’ Pikir Julia. Jika ada seorang
pria berkata semacam itu pertanda bahaya karena bukan tidak mungkin ia
menyakiti orang lain demi mendapatkan orang yang diinginkannya. Tak peduli
apakah itu ibunya sendiri atau orang-orang terdekat si wanita. Bahkan ia bisa
membunuh orang yang diinginkannya dengan kata lain, jika ia tidak bisa memiliki
maka orang lainpun tidak. Menyeramkan! Julia menghela napas panjang. Apakah
pria yang ada dihadapannya sekarang ini punya cinta atau obsesi? Dua hal yang
sangat berbeda.
“Apa yang kamu inginkan dariku?” suara
Julia lembut namun penuh keberanian.
“Kamu pikir aku bisa menjelaskannya?” hela
Wowor dengan nada putus asa. “Aku ingin dekat dengan kamu Jul, selalu. Apakah
itu karena perasaan cinta atau yang lainnya? Aku tidak tahu. Ada rasa sakit di
sini kalau jauh dari kamu.” Tambah wowor menunjuk dada kirinya.
“Jika aku jauh dari kamu tapi aku bahagia,
apakah kamu masih merasa sakit?” entah mengapa Julia tidak lagi menyebut Wowor
dengan ‘anda’ dan itu tidak disadari oleh Wowor.
“Pertanyaan yang sangat sulit dijawab. Apa
yang harus aku katakan andai bersamaku tapi kamu tidak bahagia... tolong
jelaskan padaku apa yang mesti aku lakukan?” julia tidak menjawab pertanyaan
balik dari Wowor selain meneruskan menikmati makanannya yang sempat tertunda.
Sedang wowor hanya menatap gadis itu. Dan terkadang terlihat cuek, penuh
perhatian, bicara penuh wibawa juga bermutu tinggi isi obrolannya. Bagaimana ia
tidak sakit hati jika jauh dari gadis seperti Julia. Jarang dan bahkan ia tidak
pernah bertemu dengan gadis se-tipe dengan Julia. Ah, wowor belum bertemu saja
dengan yang lain.
“Apa rencana kamu selanjutknya?” tanya
Julia diluar dugaan wowor. Kedua insan itu saling tatap.
“Jika aku ingin menikah dengan kamu apakah
itu berlebihan?”
“Atas dasar apa ingin menikahiku?” Julia
tidak bermaksud pria itu menganggapnya jual mahal karena dia bukan barang
dagangan yang ada di tokonya bukannya juga bermaksud meremehkan Wowor. Sebelum
Wowor menjawab Julia tersenyum simpul. Sejujurnya tidak ada bahkan belum ada
wanita yang berani bicara seperti cara bicara Julia yang Wowor temui. Lagi-lagi
gadis itu memperlihatkan mutunya dihadapan Wowor.
“Kamu semakin membuatku penasaran Julia.
Satu pertanyaanku padamu, apa kamu mau menikah denganku?” tanya Wowor penuh
harap karena ia tidak tahu apa yang akan dijawab oleh Julia. Sejenak Julia
mengamati kondisi tempat makan mewah itu dan cukup ramai dengan macam-macam
bentuk dan corak manusia. Ia tidak menyangka kalau Wowor akan melamarnya di
tempat itu. Kembali ia menatap Wowor. Ia tidak akan mengatakan mau jika
maksudnya hanya untuk coba-coba karena sebenarnya ia pun masih meragukan
perasaannya
pada Wowor.
“Tidak.” Jawab Julia akhirnya dengan nada
pelan seakan tidak ingin menyakiti perasaan Wowor. Jawaban itu membuat Wowor
tersenyum getir dan sudah ia duga sebenarnya meski tidak pasti sebab ia juga
tidak yakin sepenuhnya kalau Julia akan menolak lamarannya. Jawaban itu tanpa
tedeng aling-aling dengan kata lain ‘beri aku waktu untuk berpikir atau
sejenisnya.’ Itu jawaban yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Julia sengaja
menatap Wowor untuk menunggu reaksinya. Ia berharap urusannya dengan Wowor
selesai sampai di situ. “Apa pun yang telah terjadi selama ini, aku anggap
selesai Wor.” Ia tidak ingin mengupas lagi tentang penyekapan itu atau yang
lainnya.
“Kesalahanku mungkin terlalu fatal ya?
Tapi aku tidak ingin hubungan kita berakhir Julia. Satu hal yang ingin aku
beritahu ke kamu lagi.. tolong buktikan pada mamiku kalau gadis Sumatera
ataupun orang Sumatera itu tidak seperti yang ada dipikrannya.”
“Maksud kamu?” Julia belum mengerti ke
mana arah kata-kata itu.
“Menikahlah denganku.” Wowor meminta
dengan sopan.
O o, apakah tidak ada cara lain? Kalau
Julia menolak apakah tidak ada orang lain yang bisa membuktikan itu? Gejolak
dalam diri Julia mulai berkecamuk antara harga diri, nama baik orang Sumatera
dan pertaruhan dirinya dengan mami Wowor. Julia pikir bertemu dengan Wowor akan
menyelesaikan masalahnya dan sepertinya baru saja dimulai.
**
AemeL
Baes dan Julia Aurora
AemeL Baes tentu saja merasa dinomor
duakan setelah mengetahui Julia memilih
bertemu dengan Wowor, itu tidak biasanya. Rasa kangen AemeL pada Julia dibumbui
kekecewaan yang dalam.
“Jangan seperti anak kecil.” Ujar Julia
saat mereka berpelukan di tempat kos AemeL. Meski tak menjawab AemeL belum bisa
menerima kenyataan itu. Apapun alasannya ia ingin Julia menemuinya terlebih
dahulu lalu mereka akan bertemu dengan Wowor berdua. Julia sudah menjelaskan
mengapa ia memutuskan untuk bertemu dengan Wowor dulu.
“Tetap saja pria itu besar kepala.”
“Sudahlah, aku mina maaf sekarang beri aku
mimun.. aku kangen dengan kopi buatanmu.” Julia coba menenangkan AemeL.
AemeL tersenyum dan entah mengapa ia
merasa ada kecemburuan teman di dalam persahabatan itu. Dari dulu AemeL memang
selalu mendapat kabar paling pertama apapun dari Julia. Ia di mana, sama siapa,
dan mau pergi ke mana. Dan aneh rasanya jika Julia mengabaikan hal itu.
“Kita ke Bali....!” seru AemeL saat
membawakan dua gelas kopi untuk mereka.
“Tidak. Aku hanya ingin menikmati tempat
yang dekat, nyaman dan sejuk.” Sekilas ia menyimak kaki AemeL yang belum sembuh
total tapi AemeL mengabaikannya walau terkadang masih suka terasa ngilu kalau
lelah.
“Ke Danau. Tempatnya tidak begitu jauh.”
Sahut AemeL merasa Julia pasti punya alasan sendiri untuk tidak pergi jauh
karena Julia adalah penyuka traveling.
Lima belas menit berikutnya kedua gadis
itu sudah ada di tepi danau yang tenang di daerah Cinere, Julia yang
mengendarai motor AemeL memutuskan untuk cerita tentang Wowor di tempat itu. Di
bawah Pondok yang teduh mereka hanya ditemani minuman es kelapa muda.
“Apakah Wowor menjelaskan mengapa ia
mengurung kamu di rumah kosongnya?” tanya AemeL tidak sabar.
“Tidak begitu jelas apa alasannya.” Julia
menyeruput es kelapanya.
“Ia
bilang sama aku kejadian itu lantaran ia tidak ingin kamu kecewa. Khususnya
terhadapku. Aku tidak begitu paham apa maksudnya.” Kata AemeL. Julia melirik ke
AemeL.
“Wowor berkali-kali mengatakan kalau kamu
tidak pernah peduli sama aku, apakah aku hilang, mati atau apalah namanya, saat
aku ingin pergi dari rumahnya pertama yang ia katakan tidak usah menghubungi
kamu karena kamu sedang berbahagia dengan Teguh. Dan keyakinanku yang tak
tergoyahkan hancur saat melihat kamu keluar berdua dengan Teguh dari tempat kos
kamu dan pikiranku mengatakan kalau aku memang tetap asing di matamu. Malam itu
aku ingin ke tempatmu dan mengatakan kalau aku baik-baik saja agar kamu tidak
khawatir tapi ternyata aku salah. Malam itu juga aku ke Tanah Abang mencari penginapan
dan paginya belanja setelah itu pulang ke Palembang karena sudah cukup membuat
Seema khawatir selama ini.”
“Julia, Julia...” hela AemeL dengan napas
sesak. Ia melemparkan pandangannya ke arah danau yang tenang. Di jam kerja
suasana danau menjadi lengang seakan membuat dunia AemeL tambah sunyi meski ada
sahabaat yang paling ia sayangi disampingnya. Julia mungkin tidak akan percaya
kalau ia telah mencarinya seperti orang gila.
“Aku datang ke Jakarta berharap urusanku
dengan Wowor selesai nyatanya tidak. Ia malah menantangku agar menikah
dengannya.” Tambah Julia menghilangkan keheningan yang panjang diantara mereka.
Kali ini AemeL menatapnya dengan seksama.
“Menantang bagaimana, maksudnya?”
“Ibunya mengatakan kalau gadis Sumatera
itu beda, beda dalam arti yang tidak baik dan punya sifat yang tidak umum.
Seperti kasar dan keras kepala.”
“Oh, jadi? Maksudnya kamu merasa
tertantang? Untuk apa? Untuk membuktikan pada dunia kalau gadis Sumatera tidak
seperti itu? Ngapain?” kata AemeL merasa mulai kesal mendengar hal itu. Ia
tidak menyangka keluarga Wowor seperti itu terutama ibunya. “Tapi Wowornya
tidak seperti itu,’kan?”
“Kamu pikir kalau Wowor tidak seperti itu,
aku bisa tenang?”
“Ya aku tahu.” Jawab AemeL dengan cepat.
“Emm... ngomong-ngomong mengapa kita harus jatuh cinta dengan orang di luar
pulau Sumatera ya?” tambahnya seolah untuk dirinya sendiri.
“Kita? Lo aja kali....” canda Julia dengan
gaya anak Jakarta membuat AemeL senewen.
“Itukan karena kita hidup di pulau ini.”
“Kamu saja yang hidup di pulau ini, aku
sih masih di Palembang dan hanya sekali-kali saja datang itupun untuk membeli
barang daganganku.”
“Huuuu...” AemeL memukul bahu Julia dengan
lembut. Dengan begitu Julia tahu manja anak itu mulai keluar. Entah mengapa ia
suka menggoda AemeL dan jika AemeL mulai marah ia baru bicara serius.
“Kenapa kamu kasih nomor rekeningku dengan
Teguh?” mata Julia menatap ke danau yang mungkin tidak akan pernah tahu dari
mana saja orang datang untuk melihat keindahannya.
“Kamu pikir aku punya pilihan?”
“Kamu mencintainya?”
“Kau tahu pria seperti apa yang aku
idamkan, apalagi orangnya serius.”
“Sepertinya kamu tidak punya pilihan
lagi.” Goda Julia lalu menoleh ke arah kaki AemeL. “Sepertinya sudah membaik.”
Diikuti oleh mata AemeL lalu ia mengangkat sedikit kakinya. “
“Sejujurnya masih sering sakit.” Jawab
AemeL. Pikiran Julia langsung melayang pada peristiwa di mana AemeL terbaring
di rumah sakit dan tidak sadarkan diri, setelah sadar tahu-tahunya tidak ingat
dengan dirinya. Julia merasa sedih. “Kamu kenapa sih, kok diam?”
“Apa kamu masih menganggap aku asing di
matamu Ae?” tanya Julia diluar dugaan AemeL membuat AemeL mengalihkan
pandangannya ke danau. Sekali-kali ia menghela napas berat. Karena setiap kali
ingat itu dadanya terasa sakit. Ia tidak membenci Julia dan mana mungkin ia
mampu membenci karena setiap kali rasa benci itu muncul puluhan kali rasa
kangennya menyeruak dan Julia tidak pernah tahu itu.
“Sejujurnya aku sangat sedih dengan
esemes kamu yang terakhir dengan alasan tidak ingin mengecewakanku dan
memutuskan untuk pergi.” Kata AemeL dengan pandangan masih ke hamparan danau.
“Apa kamu pikir aku punya pilihan waktu
itu?”
AemeL tersenyum manja dan keduanya
akhirnya jadi tersenyum, sejenak masalah dengan cowok jadi terlupakan. “Aku
kepengen makan bakso. Kamu? Semoga ada mie ayam di sini.”
“Kamu masih ingat kesukaanku ternyata.”
Kata Julia saat AemeL melirik ke arah tukang jualan.
“Memangnya aku masih amnesia.” AemeL
beranjak dari kursinya untuk memesan makanan. Saat itu pangggilan dari Wowor
masuk ke BB Julia. Sejenak Julia
membiarkannya dan panggilan kedua baru ia angkat.
“Ya, halo..?” mau apa lagi? Nyaris saja
Julia menambahkan kata-kata itu.
“Mm.. ini Julia?” hampir saja Julia
mematikan sambungan itu karena bukan Wowor yang telepon tapi maminya. Julia
masih ingat dengan dialek wanita itu.
“M.. ya Tante. Ada apa?” suara Julia
biasa. Tidak sok hormat atau cemas apalagi basa-
basi yang tidak penting.
“Tante ingin bertemu sama kamu. Kamu masih
di Jakarta’kan?”
‘Siapa?’
tanya AemeL tanpa suara pada Julia yang masih bicara di telepon setelah ia kembali
ke tempat duduknya. Julia hanya mengisyaratkan agar AemeL diam dengan cara meletakkan
jari telunjuk di bibirnya.
“Sekarang sih masih Tante, tapi besok pagi
sudah kembali ke Palembang.” Ujar Julia dengan nada bangga menyebut kata
‘Palembang’ seakan ingin memberitahukan pada wanita itu kalau ia bersyukur
telah dilahirkan di sana.
“Oh, ya sudah. Nanti malam kita harus
bertemu. Akan saya kasih tahu tempatnya nanti. Oke, sudah dulu.” Teleponpun
dimatikan sebelum Julia mengucap salam, Julia menebak-nebak apakah ada Wowor
disamping maminya atau wanita itu
menelepon tanpa diketahui oleh anaknya.
“Kamu mau pulang besok?” AemeL langsung
bertanya detik setelah Julia meletakkan BB-nya
di meja.
“Memangnya aku pernah lama di sini?”
“Padahal aku masih kangen. Siapa tadi yang
telepon?”
“Maminya Wowor. Dia ingin bertemu nanti
malam.”
“Bersama Wowor?”
“Tidak tahu.”
AemeL mengamati wajah sahabatnya. Meski
wajah itu tak terlihat cemas tapi ia khawatir sekali. Ingin rasanya ia melarang
namun ia penasaran juga. “Aku harus ikut!” tegasnya dan spontan membuat Julia
tertawa meski halus. “Tidak ingin mengajak aku...?” rajuk AemeL namun masih
dalam suasana cemas.
“Bagaimana mungkin aku tidak mengajakmu,
kalau tidak karena musibah itu aku tidak mungkin bertemu dengan dokter itu,
kan?”
“Kamu menyesal?” tanya AemeL. Pesanan
mereka datang dan Julia merasa tidak perlu menjawab pertanyaan AemeL sebab ia
sangat yakin kalau setiap masalah ataupun musibah pasti ada hikmahnya. Perkara
maminya Wowor suka atau tidak tak penting baginya. Semua itu hak dia mau suka sama
orang mana, suku apa terserah dia. Kendati demikian Julia merasa berhak membela
harga dirinya.
“Hm... mi ayam ini sepertinya nikmat
sekali.” Ujar Julia yang memang sudah merasa lapar. Tak demikian dengan AemeL
meski lapar ia masih mengamati Julia.
“Jul, bagaimana dengan usahamu di
Palembang?” ia merasa bersalah karena telah merepotkan gadis itu dalam dua
bulan belakangan ini, walaupun sebelumnya ia jarang sekali bertanya tentang
berapa keuntungan Julia dalam sebulan. Bukan ia tidak mau tahu hanya saja
khawatir Julia tersinggung. Julia melirik AemeL sejenak sebelum mencicipi mi
ayamnya.
“Sejak kapan kamu peduli dengan usahaku?”
sahut Julia ringan. Usaha Julia tidak menuntutnya harus berada di lokasi karena
ia punya beberapa orang yang bisa dipercaya yang penting isi tokoh penuh.
AemeL senyum simpul, ia ingat betapa
semangatnnya Julia memberi dorongan pada dirinya saat coba mengirim
tulisan-tulisannya ke penerbit meski saat itu AemeL masih bekerja di sebuah
perusahaan yang tidak ada hubungannya dengan dunia menulis. Ia pun menyemangati
AemeL saat naskah-naskah itu ditolak. Setelah diterima Julialah yang paling
dulu ia beritahu. Persahabatan yang sudah mereka lewati puluhan tahun itu tak
bisa diabaikan begitu saja ataupun diporak-porandakan orang lain. Ketika
teman-teman sekolah mereka heran dan kaget kalau AemeL menjadi penulis Julia
menjelaskan kalau AemeL memang suka menulis dari sejak di bangku sekolah. Julia
ada benar dan tidaknya karena sejak sekolah AemeL tidak begitu tahu kalau ia suka
menulis bahkan ‘MaDing’ pun tidak
pernah ia lirik. Hanya saja saat suntuk di pelajaran terakhir AemeL suka
menulis di buku catatannya dan suatu saat Julia yang duduk di belakang
memergoki AemeL sedang menulis dan dari pandangan Julia saat itu AemeL sedang
punya masalah sehingga hati Julia tergerak untuk menanyakannya dengan cara
menulis juga. Saat itu AemeL ingat tulisan Julia dengan nada simpatik membuat
AemeL merasa tersentuh. Sejak itulah mereka mulai akrab satu sama lainya.
Sebenarnya AemeL dan Julia punya kesamaan yang cendrung tertutup.
Melihat AemeL diam Julia mengangkat
kepalanya untuk bicara serius. “Kapan kita ke Bali?” ujarnya seakan
mengingatkan AemeL dengan keinginannya. AemeL hanya tersenyum tipis karena ia
tidak punya keinginan lagi untuk berangkat ke sana.
“Entahlah...” sahutnya dengan nada gamang.
Kalau sudah seperti itu Julia paham AemeL sedang tidak fokus. Entah apa yang
menjadi pusat pemikirannya sekarang? Kedua gadis itu akhirnya diam sejenak dan
kesempatan itu digunakan mereka untuk menikmati makanan masing-masing dengan
pikiran-pikiran yang berseliweran di atas kepala.
“Bagaimana sosok maminya Wowor?” AemeL
tiba-tiba bertanya setelah beberapa saat hanya terdengar suara sendok garpu
yang menyentuh mangkok.
“Mengapa bertanya tentang dia?” kata Julia
tidak ingin mengingat wanita itu meskipun ia tidak akan pernah bisa melupakan
sosok wanita perlente dengan gaya khas ala darah biru. “Kamu ingat salah satu
teman sekolah kita yang dulu nakalnya minta ampun eh sekarang jadi direktur di
sebuah bank swasta. Tidak disangka ya, nasib seseorang. Yang lainnya si tukang
bolos dan suka mengganggu guru sekarang menjadi penambang, yang tukang nyontek
jadi PNS, yang serius sekolahnya jadi guru.”
“Sementara kamu punya usaha sendiri, aku
yakin dulu kamu tidak akan menyangka hal itu.” Tebak AemeL.
Julia tertawa pelan. “Dulu punya keinginan
kuliah setinggi-tingginya, tapi sejak beliau tidak ada keinginan itu musnah,
sempat drop dan berpikir tidak ada gunanya kuliah hingga di kelas tiga semangat
belajar turun drastis.” Hela Julia yang sudah ditinggal ayahnya waktu ia duduk
di bangku kelas dua SMA.
“Kita memang tidak pernah tahu apa yang
akan terjadi esok, tidak sedikit teman kita yang sudah menikah bahkan ada juga
yang berpisah. Ada yang sudah kaya tapi sombong, jangankan menawarkan sesuatu
ditelepon saja tidak pernah diangkat. Ada juga yang setiap hari menanyakan
kabar kita dan peduli bahkan ada diantara teman yang dulu jaim setelah lulus
menjadi lebih akrab bahkan seperti keluarga sendiri. Terkadang timbul rasa
kengen berkumpul dengan mereka, tapi terus terang kalau tidak ada kamu pasti
rasanya beda. Ada yang terasa kurang dan kosong di sini.” Tutur AemeL sembari
menunjuk ke dadanya. Julia yang jarang mendengar AemeL bicara panjang menjadi
terharu. Sejujurnya ia tahu kalau AemeL peduli sama dia tak ubahnya ia begitu
menyayangi AemeL. Ia tidak takut kehilangan pria yang ia cintai asalkan bukan
AemeL. Julia tersenyum semakin mengagumi sahabatnya.
“Julia, semenjak kita ketemu di rumah
sakit aku tidak pernah lagi melihat kamu menyentuh benda terkutuk itu.” Kata
AemeL menambahkan dan kontan membuat Julia lebih melebarkan senyumannnya. AemeL
memang selalu menyebut rokok adalah benda terkutuk, karena dia tidak
menyukainya dengan alasan lebih parah dari pendapat seorang dokter.
Mempersingkat usialah, merugikan orang lainlah, membakar uanglah, merusak
jantung, menambah polusi udara, dan yang lebih konyol ia bilang tidak menambah
orang terlihat keren.
“Sejak dua tahun lalu aku bercerai
dengannya. Setiap aku pegang benda itu aku selalu ingat kata-kata kamu yang
menyebutnya ‘tertkutuk’ mungkin saat itu karena aku benci dengan kamu dan ingin
melupakanmu agar tidak pernah lagi terngiang setiap ucapan kamu maka secara
perlahan kebiasaan untuk memegang benda terkutuk itu jadi musnah, dan apa kamu
pikir itu gampang Ae?”
“Ya, dan kenyataannya kamu tidak juga
berhasil melupakan aku, kan?” kata-kata itu sama sekali tidak terdengar semacam
menggoda. “Tapi untungnya kamu bisa melepaskan rokok, bukan aku.”
“...Dan tetap saja aku benci kamu.. juga
kota ini. Kenapa kamu tidak mau pulang kampung saja dan menulis di kampung?
Bukankah menulis itu bisa di mana saja bahkan di dalam gua sekalipun?”
“Hehe... ya kamu benar, aku bisa menulis
bahkan hanya bermodalkan dunia internet tapi itu bukan hal yang mutlak, di sini
aku butuh sosialisali, mengikuti bermacam seminar dunia tulis menulis, butuh
bertemu dengan berbagai macam bentuk karakter manusia juga butuh buku-buku yang
bermutu.”
“Kamu tidak takut bertemu lagi dengan
orang semacam Wowor yang bisa menyekap orang dan kejadian kecelakaan itu apa
itu bukan pelajaran yang mengharuskan kamu pulang? Aku bisa kerja di kampung
dan ke sini hanya belanja kebutuhan usahaku. Masa kamu tidak bisa melakukannya
dari kampung?” Julia masih ngotot meski AemeL sudah menjelaskannya.
“Takut? Bukannya gadis Sumatera yang sudah
menyeberangi lautan dan memutuskan untuk merantau itu harus punya jiwa setegar
baja? Aku tidak sendiri di sini, ada tante yang sudah berkeluarga yang bisa aku
jadikan orang tua pengganti meski kejadian kemarin belum sempat mereka tahu,
tapi nanti aku akan main ke rumahnya. Hmm... ngomong-ngomong aku senang melihat
keadaanmu sekarang terutama bisa lepas dengan benda terkutuk itu, dan yang
lebih penting..., hampir tiga tahun masa bodoh dengan cowok dan sekarang
bertemu dengan orang seperti Wowor, dia tipe kamu sekali.” Pancing AemeL.
“Jika melihat siapa Wowor sekarang mungkin
aku akan lebih memilih untuk tidak jatuh cinta lagi.”
“Tapi aku bisa melihat perhatiannya pada
kamu saat aku sakit, aku pikir dia tidak seperti itu dan mengenai penyekapan
itu ia pasti punya alasan sendiri yang pastinya belum kita ketahui. Ia punya
sisi lembut yang jarang dimiliki anak tunggal apalagi dengan keberadaan harta
yang berlimpah.”
“Hei, aku bukan gadis Sumatera yang gila
harta.”
“Ya, aku tahu.... tapi kamu suka dia,
kan?” tegas AemeL. Julia memperbaiki posisi duduknya dan tiba-tiba ia
merindukan benda terkutuk itu. Melihat Julia gelisah AemeL langsung menawarkan
minuman kesukaannya. “Pesan coke ya?”
“Ya, boleh. Yang dingin.”
Beberapa saat setelah Julia meneguk
minuman dinginnya AemeL masih mengajak gadis itu bicara. “Kamu tahu Jul..
bagaimana perasaanku saat aku sakit dan amnesia?”
Julia meletakkan minumannya. “Yang pasti
sangat membenci aku.”
“Ya, karena kamu tidak ingin menjelaskan
siapa diri kamu sebenarnya. Mentang-mentang aku amnesia kamu merasa percuma
menjelaskannya? Aku benci sekali kamu saat itu dan sepertinya Wowor mendukung
kebohongan itu, yah.. yang namanya kebohongan tetap saja tidak baik, kan?
Karena membuat aku berpikir negatif sama kamu juga pada Wowor, aku pikir kamu
seorang suster yang dibayar Wowor lantaran dia yang membuat aku celaka, juga
sempat terpikir olehku kalau kamu adalah istrinya Wowor setelah melihat
kemungkinan kalau kamu bukan seorang perawat meski jago merawat orang. Tidak
bisa mencuci piring maksudku tidak suka mencuci piring.”
Sekali lagi Julia menenggak minumannya
lalu menghela napas panjang. “Setelah dua tahun lebih tidak bertemu dan jarang
kontek tiba-tiba mendapatkan kabar kamu kecelakaan, tidak sadar beberapa jam
dan setelah sadar kamu tidak mengenali aku, apakah ada yang lebih sakit dari
itu?”
“Aku yang salah. Maafkan ya. Mau janji
kalau kita tidak boleh saling marah, tersinggung dan saling percaya?”
“Sudahlah, tidak usah diungkit-ungkit lagi
dan bukannya kita sudah pernah berjanji seperti itu? Dan satu hal, sahabat
yang baik tidak selalu mengiyakan apa
yang disukai sahabatnya. Tidak selalu berkata iya demi kesenangan sahabatnya,
jika ia tahu itu salah maka ia wajib mengatakannya meski sakit untuk didengar.”
Ujar Julia. Julia memang selalu bicara tegas meski kadang menyakitkan untuk
didengar oleh AemeL. Jika saja AemeL mau sedikit berlapang dada menghadapi
sahabatnya maka semua akan baik-baik saja. Ia tahu Julia peduli sama dia, bisa
melakukan apa saja untuknya, bukan itu saja. Julia bahkan peduli pada semua
temannya, punya simpati tinggi meski kadang terkesan egois. Tegas namun suka
tidak tegaan, nada suaranya terkadang tinggi namun bisa sangat lembut dan
serius jauh dari apa yang AemeL pikirkan. Ucapannya suka terdengar pedas tapi
maksudnya baik. Itulah Julia yang sesungguhnya. Dia gadis Sumatera sejati,
tidak gampang terpengaruh lingkungan buruk meski tidak menutup mata dengan
pergaulan. Punya segudang pengalaman hidup, meski ia terlihat kokoh seperti
karang tapi ia juga bisa luluh dan menangis kalau sahabatnya disakiti. Dan
AemeL adalah salah satu sahabat yang mampu meluluhlantakkan jiwanya. Mampu
membuatnya menangis saat melihat gadis itu terbaring di rumah sakit. AemeL
adalah buku harian berjalannya Julia tapi jika AemeL tidak mempercayainya maka
ia akan sangat tersinggung. Mereka saling mengenali satu sama lain tapi
terkadang masih saja minta ketegasan dari orang lain mengenai kepedulian
masing-masing.
~
Diluar dugaan Julia, Wowor dan maminya
bertemu dengan Julia di tempat kosnya AemeL. Julia tentu saja tidak ingin
menjadi orang yang terlihat idiot tanpa mengetahui apa maksud Wowor mengajak
maminya bertemu.
“Boleh saya bicara sebentar dengan Wowor?”
pinta Julia pada Wowor dan untuk pamit pada wanita paruh baya yang sudah duduk
di ruang tamu sederhana tempat kos AemeL. AemeL yang ikut menemani mereka jadi
heran tak terkecuali Wowor dan maminya. Sejenak mereka saling pandang dan
akhirnya Wowor membawa Julia ke teras. Wanita itu hanya tersenyum melihat
tingkah anak sekarang. Ia menyimak suasana tempat kos AemeL sementara AemeL
berusaha tenang. Ia coba memahami sifat wanita yang dikatakan Julia punya gaya
layaknya darah biru. Ruang tamu sangat sederhana satu kursi panjang dan dua
kursi kecil. Meja kecil yang sering dipakai untuk meletakkan laptop sama AemeL
serta vas bunga yang berisikan aster imitasi. Sepintas AemeL merasakan kalau
wanita itu sedang berbicara sendiri ‘beginilah hidup gadis Sumatera yang
merantau dengan bermodalkan wajah menawan dan coba tebar pesona pada pria-pria
muda bahkan mungkin para pria kayayang sudah sangat tua untuk mengubah nasibnya
di kampung.’ Membayangkan hal itu AemeL jadi bergidik sendiri. Semoga ia salah
dan itu hanya pikiran negatifnya pada wanita itu. Pikirnya.
Julia menatap Wowor yang sudah berdiri
dihadapannya. “Ada apa sebenarnya?” kata Julia dengan nada pelan dan tidak
ingin membuat pria itu merasa tidak enak.
“Mami dan aku ingin melamar kamu secara
resmi.” Sahut Wowor dengan pasti.
“Ya Tuhan, bukannya aku sudah bilang sama
kamu dan jawabanku waktu itu sangat jelas, kan?” guman Julia semakin gusar.
“Julia, jika kamu tidak menerima aku maka
kita akan mati berdua.” Kata-kata itu semacam ancaman yang mengarah untuk diri
Wowor sendiri. Julia mengamati mata Wowor dengan seksama ada keseriusan yang
tidak biasa di sana. Ia tidak tahu mengapa pria yang baru kenal dengannya itu
lancang sekali mengatakan kata-kata yang tidak bisa dianggap enteng. Berikutnya
Julia memutuskan untuk kembali ke ruang tamu tanpa memberi keputusan pada
Wowor. Ia duduk di sebelah AemeL lalu menatap wanita yang ada dihadapannya yang
sudah ditemani anaknya.
“Mm... Julia dan AemeL kamu sebagai
sahabatnya di sini Tante ingin menyampaikan maksud kedatangan Tante dengan
Wowor.” Ia berhenti sejenak membuat AemeL melirik Julia namun gadis itu tidak
memberikan reaksi apapun. “Tante ingin melamar Julia untuk menjadi istri Wowor,
sayang sekali papinya tidak bisa ikut. Untuk kedua kalinya ia pasti ikut untuk
datang ke Palembang saat kami meminta Julia kepada walinya nanti.” Katanya
dengan sangat menyakinkan. AemeL memegang tangan Julia seolah takut sahabatnya
jatuh ke dalam sarang harimau tapi Julia tidak akan membuat AemeL cemas meski
ia sendiri tidak suka situasi saat itu.
“Em.. saya sangat menghargai kedatangan
Tante ke sini.” Julia tidak heran mendengar kata-kata wanita itu karena ia sudah
bertanya pada Wowor. “Bukan saya bermaksud tidak sopan atau mengabaikan
kedatangan Tante juga Wowor tapi saya rasa, saya bukan wanita yang tepat untuk
anak Tante.” Wanita itu melirik anaknya karena tidak menyangka anaknya akan
ditolak. “Saya pikir banyak wanita yang lebih baik diluar sana untuk menjadi
menantu Tante.” Tambah Julia masih dengan nada pelan dan sama sekali tidak
bermaksud merendahkan siapapun, ia sadar sebagai wanita dewasa bisa menentukan
jalan hidupnya.
Wowor menghela napas panjang dan sangat
menyadari kekerasan hati Julia yang susah diajak berdamai tapi ia tidak akan
mundur untuk mendapatkan Julia. Ia pun mengeluarkan suaranya. “Ma, aku dan
Julia baru kenal dalam dua bulan ini bahkan kurang. Sepertinya kami masih butuh
beberapa waktu lagi untuk saling mengenal, bukankah begitu Julia?” ujarnya
dengan sabar namun Julia tak memberi jawaban karena ia tidak tahu apa yang
harus dikatakan melihat pria itu masih bersikukuh meski ia sudah menjelaskan
lebih dari dua kali.
Wanita itu meneguk teh yang disediakan
oleh AemeL yang ia rasa kurang nikmat dan baru kali itu ia merasa ada yang
menolak anaknya yang seolah tanpa cacat dan yang melakukan itu adalah wanita
yang belum ia tahu bibit bebet bobotnya dan yang lebih menyakitkan karena dia sendiri
yang langsung melamar.
Julia dan AemeL bisa melihat bagaimana
tidak nyamannya wanita itu setelah mendengar penuturan Julia. Julia memang
berusaha jujur dan tidak ingin memberi harapan karena takut ia tidak bisa
memberikan apa-apa untuk mereka. Sedang AemeL khawatir kejadian-kejadian yang
sering ditayangkan televisi akan menimpa pada Julia di mana banyak wanita yang
dibunuh orang karena menolak cinta pria. Ada yang dimutilasi, ditusuk bahkan
disetrum. Ia coba menyimak wajah Wowor untuk mencari keseriusan pria itu
mencintai sahabatnya. Cinta yang berlebihan terkadang tidak baik. Jika pria
tidak takut dan berani menyakiti dirinya sendiri maka akan tidak mustahil ia
menyakiti wanitanya dengan alasan yang suka tidak masuk akal. Huh!
Sebelum pamit pulang Wowor mengatakan pada
Julia kalau besok ia akan mengantar Julia ke Bandara, meski Julia mengatakan
tidak perlu namun Wowor tidak menghiraukannya. Kedua ibu dan anak itu
meninggalkan kos AemeL menuju mobil yang diparkir depan gang.
Di dalam mobil wanita itu mengeluhkan
sifat Julia kepada Wowor. “Ia sudah memperlihatkan sifat aslinya, gadis
Sumtera. Sudah Mami bilang kalau ia serius mencintai kamu ia tidak akan
mengatakan ia bukan wanita yang baik untuk kamu. Seharusnya ia juga
memperjuangkan kamu dari Mami. Barangkali ia punya cowok di Sumatera sana.”
Kata-kata terakhir dari mami sempat membuat Wowor gundah namun ia coba tepis
kemungkinan itu.
“Ia masih butuh waktu Mi untuk melihat
keseriusan aku sama dia. Dan mengenai sifat itu bukan karena ia gadis Sumatera,
seperti halnya Mami yang dikenal punya sifat ramah, lebih bersabar menghadapi
orang lain, memiliki hati yang lembut, sensitif terhadap lingkungan, lebih
banyak menggunakan tatakrama, dan pecinta damai serta yang lebih penting Mami
penyuka masakan yang manis-manis.” Tutur Wowor dan membuat maminya terdiam.
Satu hal yang tidak pernah Wowor tahu apa yang pernah diamali maminya puluhan
tahun silam.
~
Di atas tempat tidur kamar kos AemeL yang
sederhana Julia duduk menghadap pada AemeL yang tak henti-hentinya
memperlihatkan mimik khawatir pada sahabatnya.
“Aku akan menelepon Teguh agar besok kamu
tidak diantar sama Wowor.”
“Tidak Ae, aku tidak akan apa-apa.”
“Kalau begitu aku harus ikut.”
“Sudah aku katakan kalau aku tidak akan
apa-apa.”
AemeL menyerah meski selama ini Julia
selalu ingin ia antar kemanapun tapi ia yakin masih ada urusan yang belum
selesai antara Julia dengan Wowor. Walaupun demikian masih saja ia cerewet.
“Aku tidak bisa membayangkan saat mengantar kamu ke Bandara tiba-tiba Wowor
berbelok arah, apa kamu tidak pernah trauma dengan penyekapan itu?”
Julia mengingat situasi di rumah kosong
itu, tidak ada satupun yang membuatnya takut. Tidak ada kekerasan yang dia
alami di sana. “Sekarang begini saja, apapun yang terjadi sama aku nanti kamu
harus janji bahwa kamu tidak boleh sedih, janji?”
“Ngapain kamu bicara seperti itu?” AemeL
marah mendengar pernyataan Julia. “Kamu
pikir aku mau berjanji dengan sesuatu yang tidak bisa aku tepati?” sungut
AemeL masih marah dan Julia hanya senyum-senyum saja dan akhirnya ia menghela
napas panjang. Sejujurnya baru kali ini Julia merasa seolah dihadapkan pada
buah simalakama.
“Oke, sekarang ceritakan tentang Teguh.”
Pintanya agar AemeL melupakan kisah rumit yang ia hadapi.
**
Terdiam
dalam Luka
Mobil mewah itu meluncur dengan santai
menyusuri jalan Pondok Indah kawasan Jakarta Selatan tujuan Bandara
Soekarno-Hatta. Julia yang duduk di sebelah Wowor mengirim BBM dengan Seema dan AemeL. Sekilas Wowor menyimak kesibukan Julia
lalu berkata dengan datar.
“Apa pernah aku ada dalam pikiranmu meski
sebentar?” mendengar penuturan yang mengandung pertanyaan memaksa Julia menoleh
pada pria bersih, seorang dokter, impian banyak wanita terutama dikalangan para
medis. Nyaris sempurna, itulah dr. Wowor Vandeef. Terpikir atau sengaja
memikirkannya merupakan dua hal yang berbeda bagi Julia. Ia belum pernah
bertemu dengan pria yang menimbulkan rasa aneh seperti pada Wowor. Entah
mengapa ada banyak hal dalam hubungan itu. Terutama pembuktian, apakah itu
pembuktian untuk maminya atau pembuktian cinta itu sendiri. Sepertinya bukan
itu saja, di sini Julia merasa ada hak gadis Sumatera yang harus ia bela.
Terlalu berlebihan memang kedengarannya tapi sebagai gadis Sumatera Julia tak
bisa begitu saja melupakan kata-kata mami Wowor lewat Wowor.
‘Gadis Sumatera itu kasar, keras kepala,
tidak mau memahami tatakrama, sulit bersabar dan kalau bicara suaranya keras.’
Itu adalah segelintir kata-kata
yang diucapkan mami Wowor lalu ia disampaikan ke Julia meski setelahnya ia
menyesal menyampaikan, kalau saja saat itu Julia tidak mendesaknya menanyakan
mengapa maminya bersikap agak tidak suka dengan Julia. Wowor sudah menjelaskan bukan itu inti dari maksud
maminya.
“Wor, tidak selamanya hubungan indah itu
berakhir dengan pernikahan, kan? Mungkin akan lebih indah kalau kita hanya
berteman saja. Kamu pria baik-baik yang pasti akan mendapatkan wanita baik-baik
juga. Itulah yang disebut jodoh. Aku tidak mau hadir di antara keluarga kamu
sebagai bebanmu, di mana anak laki-laki itu tak akan pernah bisa lepas dari
ibunya karena setelah menikah ada dua wanita di dalam hidupnya, yaitu isteri
dan ibunya. Aku tidak mau kamu menyakiti mami kamu lantaran membela aku
begitupun sebaliknya, karena kamu sudah sangat memahami sifat-sifat gadis
Sumatera, bukan? Seperti halnya kamu memahami sifat mami kamu.”
“Tapi siapa yang memahami sifatku dan
perasaanku?”
“Tentunya mami kamu. Aku tidak mau
bereksperimen dengan hal yang nantinya akan membuatku kecewa karena aku sangat
memahami diriku. Sakit hati mungkin hal biasa bagiku tapi kalau sudah kecewa,
gunungpun rasanya akan meledak. Maafkan aku Wor. Sekarang aku minta kamu
turunkan aku di sini. Biar aku naik taksi saja.” Tutur Julia setelah mobil
keluar dari Tol.
“Tidak Julia, jangan seperti ini. Aku
tidak bisa membiarkanmu kalaupun kamu tidak ingin aku antar ke Bandara lebih
baik kamu tidak usah saja pergi.” Setelah bicara seperti itu Wowor menepikan
mobilnya. Apakah ia kembali akan membawa Julia ke rumah kosongnya? Julia tidak
ingin berpikir ke arah sana dan tidak seharusnya ia membiarkan Wowor
mengantarnya namun ia tak ingin Wowor menganggapnya sok. Wowor harus tahu apa
yang diinginkannya ia tidak ingin memberikan harapan sia-sia pada pria baik semacam Wowor.
“Maafkan aku Wor, aku harus pergi.” Julia
membuka pintu mobil.
“Julia, aku mencintai kamu... sampai
kapanpun, jangan pergi...” Belum juga selesai kata-kata Wowor terdengar suara
berdebam di samping mobil, suara itu sangat keras dan Wowor bisa melihat dengan
jelas kalau tubuh Julia terpental ke depan. Julia tertabrak mobil yang melaju
cepat di sebelah mereka. Meski mobil Wowor sudah berada di bahu jalan.
Sepertinya mobil itu kehilangan kendali.
~
Manusia memang selalu punya rencana namun
Tuhan adalah maha penentu, sebagaimana
inginnya Julia menjauhi Wowor agar tak menyakiti perasaannya atau harapan palsu
tapi Tuhan berkata lain. Kini gadis Sumatera itu terbaring di rumah sakit dan
koma.
Isi BBM-nya
dengan Seema dan AemeL :
Seema : Seema, titip toko ya.
AemeL : Aku ingin pergi yang jauh.
Mendapat pesan dari Julia seperti itu bagi
Seema mungkin sudah biasa tapi bagi AemeL menjadi shock dan lebih dahsyat lagi setelah menerima telepon dari Wowor
gelap sudah dunia ia rasa.
Meski yang menabrak bertanggung jawab
penuh dengan kecelakaan itu namun bagi Wowor bukan itu persoalannya. Ia jadi
ketakukan kalau Julia benar-benar meninggalkannya untuk selama-lamanya. Ia
tidak berpikir lagi apakah Julia akan menerimanya atau tidak namun gadis itu
harus bangun dari komanya.
Berbeda lagi dengan maminya Wowor, ia
menemukan sebuah foto pria yang ia kenal jatuh dari dalam dompet Julia dan
membuat ia lebih kaget dari kabar kecelakaan itu sendiri. Luka selama ini ia simpan
menjadi menganga lagi. Itu disebabkan oleh Julia.
AemeL marah besar pada Wowor yang sudah
ada di ruang tunggu, ia tidak peduli kalau pria itu juga sedang panik sama
tidak pedulinya ia pada mami Wowor diantara mereka.
“Ini semua gara-gara kamu Wor, aku memang
tidak percaya sama kamu. Kalau Julia tidak memaksa dan meyakinkan aku... aku
memang percaya pada Julia tapi kamu!? Apa yang telah kamu lakukan padanya? Kamu
mendorongnya keluar dari mobil hingga jatuh di jalan lalu tertabrak mobil, itu yang
telah kamu lakukan pada Julia? Katakan apa sebenarnya yang kamu inginkan dari
dia? Kamu boleh menyakiti aku tapi tidak Julia, kau bunuh saja aku Worrrr....!”
teriak AemeL setengah menangis. Wowor tidak bisa harus melakukan apa karena ia
sendiri merasa amat sangat terpukul.
“Ini semua tidak seperti yang kamu duga
Ae, silahkan kamu menyalahkan aku... tapi sekarang aku mohon kamu hubungi
keluarganya... keluarganya harus tahu kondisi Julia.” Ujar Wowor karena ia tahu
kondisi Julia parah, bukan ia tidak mau mengurus gadis itu tapi ada banyak hal
yang mungkin tidak bisa ia urus karena dia bukan siapa-siapanya Julia.
“Kamu pikir aku sanggup melakukannya?”
hela AemeL masih menangis.
“Saudara Wowor....” seorang dokter
tiba-tiba keluar dari ruangan dan memanggil Wowor dengan sebuah kertas di
tangannya. Wowor berpaling ke pria itu. “Ada yang harus menandatangi kertas
pernyataan ini, pasien harus segera dioperasi.” Katanya dengan nada pasti.
Sudah Wowor duga, pria itu memegang sebuah surat pernyataan untuk dibumbuhi
tanda tangan dari pihak penanggun gjawab.
Wowor kembali ke wajah AemeL. “Tolong
hubungi keluarganya Ae, aku mohon.” Pinta Wowor dengan nada cemas yang tinggi.
AemeL segera mencari ponselnya untuk menghubungi kakak Julia. Tapi sepertinya
pria itu tidak bisa menunggu terlalu lama karena
pasien dalam kondisi kritis.
“Ya AemeL hubungi keluarganya.” Mami Wowor
ikut menimpali.
“Pasien tidak bisa menunggu.” Ingatnya,
AemeL masih berusaha menghubungi seseorang dan beberapa detik saja terhubung.
“Kak, ini AemeL.” Kata AemeL dengan nada
gemetar.
“Ya Ae, aku tahu. Ada apa....”
“Julia Kak... Julia kecelakaan... Kakak
harus datang ke sini.” Kata-kata AemeL masih gemetar.
“Kamu di mana?”
“Di Jakarta.”
“Saya tidak bisa menunggu.” Suara pria itu lagi-lagi
menggetarkan sekujur tubuh Wowor. Ia langsung merebut kertas dari tangannya
karena ia tahu yang dihubungi oleh AemeL pastinya berada di Palembang. Ia
langsung menandatangi surat pernyataan itu. AemeL yang menyaksikan sikap Wowor
tak bisa bicara lagi. Pria itu langsung membawa surat masuk dan dengan segera
menangani Julia.
“Ya, Kak... Julia ada di rumah sakit
Jakarta.” Suara AemeL sudah melemah. Wowor sudah duduk lunglai di kursi.
Setelah memastikan Kakak Julia akan segera datang ke Jakarta AemeL baru bisa
membawa tubuhnya ke kursi. Ia duduk di sebelah Wowor. “Kalau terjadi hal yang
tidak diinginkan pada Julia, maka kamu akan tahu akibatnya.” Guman AemeL dengan
nada ancaman yang tidak bisa dibayangkan oleh Wowor. Sekilas Wowor melirik pada
AemeL. Ia tidak bisa membela diri pada gadis itu, apapun yang akan dilakukan
AemeL ia seolah akan menerimanya detik itu juga. Kalaupun ia harus mati,
asalkan Julia bisa diselamatkan.
~
Wanita paruh baya itu tak bisa melupakan
gambar yang ia dapat dari dalam dompet Julia. Entah untuk yang keberapa kalinya
ia mengamati foto itu. Sosok pria tiga puluhan dengan wajah oval, sedikit
cambang. Wajah putih bersih khas Sumatera. Pesonanya mengalahkan pria bule
sekalipun, dengan karakter kuat membuatnya benar-benar terpana.
Memori otaknya membawanya kembali pada
peristiwa puluhan tahun silam.
“Aku sangat mencintai kamu, Warsih.
Perkenalan kita yang sudah hampir dua tahun sudah lebih dari cukup untuk saling
mengenal. Kita akan segera menikah, aku akan pulang ke Sumatera untuk mengajak
kedua orang tuaku agar melamar kamu, sayang. Kamu harus menunggu aku ya.”
‘Sial!’ wanita itu membuang foto yang dari
tadi ia genggam. Emosinya mengalahkan semua keindahan kenangan itu.
Beberapa saat berikutnya ia
kembali mengambil foto itu dan mencari AemeL yang masih setia di ruang tunggu.
Beruntung tidak ada Wowor bersamanya sehingga ia bisa menanyakan sesuatu yang
tidak boleh diketahui oleh Wowor. Ia duduk di dekat AemeL tanpa dipedulikan
AemeL. Ia menjulurkan telapak tangannya ke arah wajah AemeL membuat AemeL kaget
setelah melihat gambar siapa yang ada di telapak tangan wanita itu.
“Kamu kenal dengan orang ini..?” suara
wanita itu agak berat meski penuh keingintahuan yang tinggi. AemeL melirik
wanita yang telah melahirkan Wowor tersebut dengan tatapan aneh karena
menanyakan hal yang sudah pasti ia tahu.
“Dari mana Tante mendapatkan foto itu?”
tanya AemeL curiga.
“Foto ini jatuh dari dalam dompetnya
Julia. Sekarang dompet itu ada bersama Wowor, nanti ia pasti mengembalikan pada
kamu sebelum Julia pulih.”
AemeL masih mengamati wanita itu yang
mungkin sedang memikirkan pria di foto itu adalah kekasih Julia. Pikirnya.
Memikirkan hal itu membuat AemeL menjadi geram.
“Pria itu adalah ayahnya Julia.” Tegasnya.
Ia tidak melihat ada bias kelegaan di wajah itu dan justru AemeL menemukan hal
yang tidak bisa ia bayangkan. Wajah itu menjadi pucat dan tiba-tiba wanita itu
memegang dadanya dan mengusapnya dengan lembut. Kini AemeL tidak bisa melihat
dengan jelas apakah itu tanda lega karena pria itu bukan kekasihnya Julia atau
ada hal lain yang membuatnya sedih. Wanita itu sudah menarik tangannya dari
hadapan AemeL.
Bersamaan dengan itu, sosok yang amat
mirip dengan pria yang ada di foto muncul dihadapan mereka. Detik itu wanita
tersebut merasakan dadanya berhenti berdetak, kenangan puluhan tahun silam kini
seakan muncul dan menabrak tubuhnya yang selama ini berusaha kokoh bertahan dan
akhirnya tumbang juga. Wanita itu tidak bisa melepaskan matanya dari pria yang
sedang mendekati mereka dan AemeL berlari menyusul dan memeluk pria tersebut.
Dalam pelukan pria itu AemeL tak bisa menahan curahan air matanya yang mengalir
dengan deras.
~
Julia mengalami luka dalam yang cukup
parah, tulang rusuknya patah dan sedikit menyentuh paru-paru hingga terluka.
Dan sepertinya akan memakan waktu lama untuk sembuh, setelah menjalani operasi
yang cukup panjang namun Julia masih dalam kondisi kritis. Yang menabrak tidak
berani datang kecuali diwakilkan oleh keluarga. Mereka meminta maaf dan siap
menerima tuntutan apa pun dari korban karena mereka mengakui ceroboh dalam
mengemudi apalagi ada sopir saksi yang melihat insiden itu, semua itu
dikarenakan tuntutan pekerjaan dan harus mengejar waktu. Jakarta memang macet
dan setelah melihat peluang jalan kosong sebentar saja banyak pengemudi
kehilangan kendali di jalanan hingga melupakan keselamatan orang lain bahkan
diri sendiri.
Wowor sedang duduk berdua dengan pria yang
bernama Juna yang datang dari Palembang setelah mendapat telepon dari AemeL.
“Julia itu adalah salah satu adik
perempuan kesayangan saya, saya tidak bisa mendengar ia punya kesulitan atau
ada yang menyakitinya. Dia memang keras kepala tapi punya disiplin yang tinggi....dan
mandiri.” pria itu berhenti sejenak karena menahan rasa sesak di dadanya
membayangkan adik kesayangannya terbaring dan sedang berperang menahan rasa
sakit.
“Saya sangat mencintai Julia.” Tutur Wowor
disela jeda pria itu. “Sejujurnya saya kenal dengan Julia tidak lebih dari dua
bulan yang lalu tapi saya merasa ia sangat spesial, saya bahkan sudah melamar
Julia bersama ibu saya di tempat kos AemeL dengan maksud kalau Julia menerima
kami akan datang ke Palembang secara resmi. Tapi saat mengantar Julia ke
bandara dan.... Julia minta turun dengan maksud untuk naik taksi lalu mobil itu
datang seperti kilat...” mata Wowor terpejam seolah kejadian itu sedang
melintas di depannya. Juna bisa menebak kalau Julia saat itu sedang bertengkar
dengan pria yang belum pernah ia dengar sebelumnya dari Julia. Julia tidak akan
mengenalkan teman prianya kepada keluarga kalau ia merasa belum yakin. Ia
mengamati Wowor sejenak, di matanya tidak terlihat yang aneh-aneh pada pria itu
dan entah mengapa ia tidak bisa marah pada Wowor, pria asing yang mungkin
dicintai adiknya atau sebaliknya.
Juna akhirnya tahu kalau AemeL juga pernah
mengalami kecelakaan karena ia sedikit mengorek keterangan kapan Julia kenal
dengan Wowor. Yang membuatnya merasa aneh mengapa kedua sahabat itu bisa
mengalami nasib yang sama yaitu kecelakaan di kota orang lain.
“Apakah Julia mencintai pria yang bernama
Wowor itu?” tanya Juna pada AemeL. Gadis itu tidak bisa berbohong pada Juna
yang sudah ia anggap kakak sendiri.
“Emm... ya tapi Julia masih ragu dengan
Wowor, mungkin karena mereka baru kenal.” Tutur AemeL dan itu bisa dimaklumi
oleh Juna tapi ia bisa melihat keseriusan Wowor dari sisi dirinya sebagai
seorang pria. Namun sejatinya apapun masalah yang sedang dihadapi oleh Julia
dengan Wowor akan bisa diselesaikan kalau Julia sudah siuman dan sembuh. Juna
menyelesaikan urusan dengan pihak yang menabrak adiknya, semua biaya rumah
sakit dibiayai oleh mereka, jika Julia tidak selamat dari kecelakaan itu....
belum dibicarakan karena tidak ada satu pihakpun yang menginginkan itu terjadi.
Siang malam AemeL menjaga Julia, ia bahkan
membawa laptopnya ke rumah sakit dan mencurahkan kesedihannya lewat tulisan dan
sekali-kali di buku dengan tinta emasnya dan Julia belum juga sadarkan diri.
Wanita paruh baya itu sedang
mendekati AemeL karena ingin menjelaskan mengapa Wowor sampai membawa Julia ke
rumah kosongnya yang AemeL sebut sebagai penyekapan dan peristiwa itu tidak
pernah AemeL ceritakan pada Juna karena takut Juna akan membunuh Wowor. Sebab
pria manapun tidak akan bisa menerima kalau tahu adik perempuannya pernah
disekap pria lain dengan alasan apa pun.
“Waktu SMA Wowor pernah dikhianati oleh
sahabatnya sendiri, pria itu membunuh kekasih Wowor lantaran cintanya ditolak,
dan waktu kuliah di fakultas kedokteran lagi-lagi seseorang yang disebut
sahabat mengkhianatinya. Pria itu memfitnah Wowor sehingga ia ditinggal dan
wanita itu menikah dengan pria lain.” Tutur wanita itu berharap AemeL memahami
perasaan anaknya.
AemeL menghela napas panjang.
‘AemeL, aku hanya ingin mengetes kamu.’ Kata-kata itu terngiang di
telinga AemeL setelah Wowor mengakui kalau Julia telah ia sembunyikan. AemeL
menatap mami Wowor yang kini ia rasa mengalami perubahan yang cukup hebat,
apakah karena peristiwa kecelakaan Julia atau ada hal lain membuatnya menjadi
terlihat benar-benar seorang wanita sejati, tidak memperlihatkan keangkuhannya
menghadapi orang dari suku mana berasal. AemeL jadi bingung dibuatnya, anak dan
ibu seolah punya dua kepribadian masing-masing. Ah! AemeL tidak peduli apa yang
dipikirkan oleh mereka, yang menjadi fokusnya sekarang adalah Julia sembuh,
sembuh dan sembuh apalagi sekarang masih tidak sadarkan diri.
Baru kali pertama AemeL melihat sosok
papinya Wowor, pria Belanda yang sepertinya punya kesibukan tidak biasa,
sosoknya tidak bisa dibilang lebih tinggi dari Juna. Agak kaku namun terlihat
tulus. Ia sedang berbincang dengan Wowor di depan kamar Julia.
“Kamu mencintai wanita itu?” tanya dengan
nada khas seorang ayah.
“Ya, Pi.” Mata kedua pria itu tidak lepas
dari sosok Julia yang terbaring.
“Kamu ingin menikah dengannya sekarang?
Bukankah boleh menikah dengan wanita yang dicintai meski ia dalam kondisi sakit
berat..?” katanya karena ia pernah menonton film Ayat-Ayat Cinta.
“Tidak Pi, aku akan menikahinya setelah ia
siuman dan aku akan menunggu itu sampai kapanpun.” Sahut Wowor dengan nada
pasti.
“Baiklah, Papi akan mendukungmu.” Lama
kedua pria itu mengamati Julia dan itu tidak lepas dari pandangan AemeL yang
dari tadi sudah duduk di kursi ruanga tunggu. Beberapa saat kemudian Wowor
masuk ke dalam setelah Juna meninggalkan ruangan dan bergabung dengan papinya
Wowor. AemeL mengikuti dari belakang namun ia tidak masuk hanya memandang dari
kaca kecil di pintu ruangan. Ia melihat Wowor mengusap kening Julia beberapa
kali, lalu mengecupnya dengan lembut membuat AemeL menahan napas dan detik
berikutnya ia melihat Wowor mengusap matanya sendiri. Ah, sepertinya pria itu
menangis. Pikir AemeL. Itu semacam adegan drama yang paling menyentuh hati
AemeL membuat mata AemeL pun ikut terasa berkaca-kaca. Apakah pria itu menangis
takut kehilangan Julia atau ia sedih karena merasa bersalah? AemeL tidak tahu
pasti yang ia tahu ketakutannya mungkin lebih besar dari rasa takut yang
dialami oleh Wowor.
~
Warsih makin hari semakin tidak tenang, ia
ingin menanyakan kepada AemeL mengapa ayahnya Julia tidak datang melihat
kondisi Julia? Mengapa cuma anaknya yang bermama Juna itu datang sendiri?
Kedatangan Juna membuat pikirannya makin kalang kabut, karena wajah itu
memaksanya kembali ke masa yang tidak pernah bisa ia lupakan meski ia tidak
ingin mengingatnya sedikitpun. Kemarahan yang terpendam selama ini menjadi
semacam gunung api aktif yang siap meledak. Rasa dikhianati, dipecundangi dan
merasa dibohongi semua itu seperti lahar panas gunung yang meleleh dan membakar
hatinya. Dan semua itu melebur dan melepuh dengan satu kalimat dari AemeL.
‘Ayahnya Julia sudah meninggal saat Julia
duduk di bangku kelas dua SMA’
Ingin rasanya ia menjerit sekuat tenaga
tidak tahu lagi rasa apa yang ada dihatinya saat ini. Seolah suara Fundo musical instrumental opera suspense
dari Mozart menyentak dadanya. Ia tidak bisa lagi membedakan rasa dendam,
sakit hati, terharu bahkan rasa cinta karena semuanya menggumpal dan siap
menelan tubuhnya detik itu juga. Warsih yang malang, mencintai pria yang tidak
bisa ia miliki bahkan tidak pernah berusaha mencari keberadaannya karena merasa
telah dikhianati. Saat ia bertemu dengan keluarganya walau tanpa sengaja
semuanya sudah sirna, pria itu telah meninggalkannya lebih dulu, mungkin sudah
lama meninggalkannya sebelum ia menikah. Tidak ada yang boleh tahu tentang
perasaannya pada pria itu, tidak AemeL, Julia, Wowor ataupun suaminya sekarang.
Pria bule yang sudah memberikannya seorang putra kebanggaannya. Jika tidak ada
yang boleh tahu tentang pria Sumatera itu bagaimana ia bisa tahu mengapa
kepergiannya untuk menjemput orang tuanya tidak pernah kembali lagi..? ada
kejadian apa saat itu sehingga membuatnya menunggu dalam ketidakpastian. Sakit
rasa hatinya dan itu ia simpan bertahun-tahun hingga rasa sakit itu sudah
menjadi beku lalu muncullah gadis Sumatera dengan nota bene kenal dengan Wowor
menyenggol lukanya karena membawa nama Sumatera.. dan kini kenyataannya gadis
itu adalah........
AemeL tidak mau meninggalkan Julia meski
untuk sekedar melepaskan penat dan tidur dengan nyenyak di tempat kosnya, ia
tidak ingin Julia siuman tanpa ada di sisinya dan sama sekali tidak ingin
meninggalkan Julia dengan alasan apa pun. Ia memandang wajah Julia yang tidak
ubahnya orang tidur.
‘Julia... apakah sama yang kamu rasa saat
melihat aku di rumah sakit dengan terbaring seperti ini? Sakit sekali rasanya
Julia melihat kamu seperti ini. Kamu harus janji untuk kembali, kamu harus
hidup dan bahagia... kamu harus sadar dan bangun Julia, aku tidak peduli apa
kamu mau kenal denganku atau tidak, yang penting kamu harus sembuh. Aku sayang
sekali sama kamu shobat. Bangunlah.. kamu wanita kuat, aku tahu itu.’
Kalimat terakhir AemeL bisikkan
di telinga Julia dan saat ia mengangkat wajahnya tanpa ia sadar air matanya
telah jatuh mengenai pelipis Julia dan tanpa AemeL lihat ternyata jemari Julia
memberi sedikit respon. AemeL mengusap lembut air mata di pipi Julia dan saat
mendengar derit suara pintu dibuka ia buru-buru mengusap air matanya sendiri
apalagi sadar kalau yang masuk adalah Wowor, ia tidak ingin pria itu melihat ia
rapuh.
Wowor mengamati AemeL dan perlengkapan
gadis itu di sudut kamar ia meletakkan laptopnya yang tidak pernah ditutup.
“AemeL, kamu harus istirahat. Jangan
sampai kamu sakit karena Julia akan marah sama aku jika itu terjadi. Aku akan
menjaga Julia di sini, seberapa sayangnya kamu sama dia.. aku juga lebih......”
Wowor tidak bisa melanjutkan kata-katanya karena tidak ingin AemeL tersinggung.
Ia sendiri pernah punya sahabat dan bisa melakukan apapun untuk sahabatnya
meski tidak berbuah baik. AemeL tidak berkomentar dan ia masih memandang wajah
sahabatnya. Wowor berkata lagi. “Kita akan membawa Julia ke rumah sakit terbaik
di kota ini, secepatnya.” Wowor ingin memindahkan Julia ke rumah sakit yang
lebih baik dan itu tidak bisa buru-buru karena bisa-bisa berakibat fatal untuk
Julia. Sekilas AemeL melirik Wowor, apapun yang pria itu katakan ia tidak
peduli selain kesembuhan Julia.
“Kembalikan Julia padaku.....” katanya
nyaris berguman membuat Wowor tak bisa berkata-kata lagi.
Bersamaan dengan itu Teguh muncul diantara
mereka, pria yang selama dua hari ini tugas di luar kota setelah kembali
langsung datang ke rumah sakit. Melihat kedatangan Teguh membuat AemeL tidak
bisa menahan tangis yang selama ini ia tahan di depan Wowor. Ia lari kedalam
pelukan Teguh dan Teguh yang sudah tahu dari AemeL kalau Julia tidak sadarkan
diri memandang ke sosok Julia yang terbaring di dekat mereka. Ia memahami
bagaimana perasaan AemeL hingga membuatnya mengusap punggung AemeL lalu matanya
beralih ke Wowor.
“Dia akan baik-baik saja.” Ujar Wowor
dengan mata sudah pada wajah Julia. Mendengar kata untuk menguatkan diri
sendiri itu memaksa Teguh mengusap bahu Wowor.
“Ya, dia akan baik-baik saja.” Tambahnya
dengan nada khas seorang sahabat. Teguh melangkah mendekati pembaringan Julia
sedang AemeL masih dalam dekapannya. Lama ia terpaku di sana tanpa sadar ia
mengusap lengan Julia seakan ingin memberi kekuatan pada Julia kalau mereka
semua ada di tempat itu menunggu Julia sadar. Teguh bisa melihat kalau Julia
memang dalam kondisi yang tidak bisa ditebak.
Teguh melihat dan merasakan kalau AemeL
dalam kondisi yang sama saat ia melihat di halte senja itu. Bagaimanapun
kesedihan yang AemeL rasakan ia merasa tidak mampu menyembuhkannya dan
satu-satunya cara yang bisa ia lakukan adalah memberinya keyakinan kalau Julia
akan baik-baik saja. Meski sudah ada Teguh tetap saja AemeL tidak ingin
meninggalkan Julia, Teguh masih bisa melihat AemeL berjalan belum normal
seratus persen. Beberapa saat kemudian Teguh membawa AemeL ke ruangan tunggu.
Di sana ia tidak melepaskan AemeL dari dekapannya.
“Julia, Guh.... dia.. dia pasti sangat
kesakitan. Aku hanya patah kaki sakitnya sudah luar biasa tapi Julia.... tulang
rusuknya patah dan menembus paru-parunya.. bisa kamu bayangkan sesakit apa yang
ia rasakan?” suara AemeL setengah menangis.
Teguh mengusap bahu AemeL. “Kita harus
berdoa untuk kesembuhan Julia.. kamu harus yakin kalau dia akan sembuh,
kesembuhan kamu juga pasti ada peran doa Julia.. percayalah.” Guman Teguh
diantara duka AemeL yang dalam.
Di kantin rumah sakit, Juna sedang
berbincang dengan maminya Wowor. Wanita paruh baya itu tak bisa menghentikan
debaran jantungnya yang tidak biasa dan itu dikarenakan sosok masa lalu itu
sangat mirip dengan pria yang ada di hadapannya.
“Juna, mengapa kamu tidak kabarkan
kecelakaan Julia dengan keluargamu yang lain? Ibu kamu atau adik-adik kamu..?”
“Tidak sekarang Tante.” Sahut Juna dan
wanita itu merasa tersanjung Juna memanggilnya Tante meski ratusan orang
menyebutnya Tante tapi suara yang keluar dari mulut Juna seolah ada keakraban
sendiri terdengar di telinganya.
“Kapan...?”
Juna menatap wanita itu sejenak dan ia
berharap wanita itu tidak menganggapnya menyembunyikan sesuatu dari keluarganya
atau berharap wanita itu tidak menyebutkan ‘kalau
tidak sekarang kapan lagi? Bagaimana kalau Julia tidak bisa diselamatkan?’
tapi mimik wajah itu memperlihatkan kekhawatiran yang mungkin sama dengan Juna.
“Sejak sepuluh tahun lalu saya selalu
berusaha untuk memberi ketenangan di dalam keluarga saya, baik itu ibu saya
juga adik-adik saya.. bagaimanapun caranya mereka tidak boleh cemas dan saya
ingin melindungi mereka semua.”
“Sepuluh tahun lalu.....?” kata wanita itu
dengan nada mengandung keingintahuan yang dalam. “Kenapa harus sejak sepuluh
tahun yang lalu?”
Kali ini Juna menarik napas dalam-dalam.
“Ya, benar.. sejak ayah saya meninggal dunia dan sebagai anak tertua saya harus
mengambil alih perannya dalam urusan melindungi keluarga. Itu sudah menjadi
naluri disamping memang kewajiban anak tertua, tak peduli apakah anak tertua
itu pria atau wanita.”
“Oh, kamu memang benar.” Hela wanita itu
mengiyakan. “Apakah ayah kamu bernama.. Januardi?” menyebut kata terakhir bibir
wanita itu agak gemetar. Kali ini Juna mengamati wanita itu agak lama namun
wanita itu tidak mau kalah, ia berusaha menjadi wanita tegar karena inilah
saatnya ia mengetahui apa yang terjadi dengan Januardi sejak tiga puluhlimaan
tahun yang lalu.
“Ya, benar sekali. Januardi adalah nama
ayah saya... Tante tahu nama itu dari mana?” giliran Juna ingin tahu apa yang
tersembunyi dalam pikiran wanita yang tidak jauh lebih lebih tua dari ibunya.
Apakah wanita itu sedang menyelidiki bibit bebet bobot wanita calon isteri dari
anaknya? Keterlaluan! Apa ia tidak berpikir kalau adik saya sedang berjuang
untuk kesembuhannya!
“Sudah Tante duga..?”
“Maksud Tante?” Juna menenggak minuman
dingin yang ada dihadapannya lalu menunggu wanita itu bicara jujur.
“Nama itu tidak asing di telinga Tante,
dulu... saya punya sahabat.. ia punya teman dekat pria Sumatera.. dan kebetulan
nama kekasihnya itu Januardi. Mereka sudah berjanji untuk menikah.. pria itu
kembali ke kotanya untuk membawa kedua orang tuanya dengan niat kembali datang
dan melamar dia... namun kenyataannya hingga sekarang pria itu tidak pernah
kembali.” Bibir wanita itu kembali gemetar mengisahkan cerita itu dan dengan
jelas Juna bisa merasakan kesedihannya. Saat itu tergiang beberapa cerita yang
pernah ayahnya kisahkan padanya saat ia masih usia sekolah.
“Oh, itu... menyedihkan sekali.” Tutur Juna dengan nada
mengandung keprihatinan yang tinggi.
“Bukan itu saja...” sambung wanita itu
dengan tidak sabar karena gejolak emosinya mulai keluar. “Itu prilaku yang
tidak bertanggung jawab.” Tegasnya memaksa Juna merasa terpojok.
“Saya mengerti Tante, tentunya wanita itu,
keluarganya dan teman-temannya menganggap pria Sumatera itu tidak bertanggung
jawab, pecundang dan semua hal yang jelek. Kalau boleh saya meminta sama
Tante.. apa boleh saya bertemu dengan teman Tante itu? Saya mewakili keluarga
khsususnya ayah saya ingin meminta maaf kepada beliau..” pinta Juna dengan
tulus.
“Pastinya, jangankan pria Sumatera...
imbas itu juga menimpa wanita Sumatera. Dan satu hal yang harus kamu tahu Juna,
wanita itu sudah meninggal sejak tiga puluh satu tahun silam.. ia mati bunuh
diri... itu karena ia merasa dikhianati oleh pria Sumatera.” Ujar wanita itu
dengan nada agak tinggi membuat Juna menyandarkan punggungnya di sandaran kursi
kantin. Ia merasa punya PR baru yang harus dituntaskan. Julia belum ketahuan nasibnya
kini ada hal baru yang harus ia luruskan. Sedang wanita paruh baya itu tidak
menyangka akan menceritakan kisah itu mengatasnamakan orang lain. Itu tak
pernah terpikir sebelumnya oleh dia kalau akan berjalan seperti itu.
“Wanita itu tinggal di mana Tente?” lanjut
Juna masih punya niat mendatangi makam wanita yang dimaksud.
“Di Surabaya, tapi aku tidak tahu pasti di
mana tempatnya. Dia itu teman kuliah, meski dekat aku tidak pernah datang ke
rumahnya.” Jawabnya dengan nada datar. Sejenak Juna mengamati wanita Jawa tulen
itu, meski ia terlihat lembut namun Juna merasa dibalik kelembutannya ada
rahasia yang tersimpan. Juna coba menepis namun ia merasa ada sesuatu yang
masih mengusik benaknya dalam obrolan mereka.
Apapun dibalik itu semua kesembuhan Julia
adalah yang paling penting. Juna kembali ke ruangan Julia, di sana ada Wowor
serta AemeL beserta Teguh. Ia meminta mereka meninggalkan adiknya namun Wowor
berdalih dengan alasan ia sudah ambil cuti dari rumah sakit untuk menemani
Julia dan kali ini AemeL yang mengalah, ia kembali ke tempat kos diantar oleh
Teguh.
Wanita paruh baya itu masih duduk di
kantin rumah sakit pikirannya masih melayang pada masa silam dan ia belum juga
menemukan jawaban yang dia inginkan.
**
Cinta tak berlabel......
..dan tak berkelamin, tak berkasta juga
tak bersuku.
Segala sesuatu yang terjadi di muka bumi
ini baik itu yang menimpa manusia ataupun yang lainnya tidak ada yang serba
kebetulan seperti kejadian yang menimpa Warsih, ia kehilangan Januardi lalu
bertemu dengan anaknya si Julia dan Juna lewat Wowor. Ada apa dibalik pertemuan
itu? Warsih tidak bisa lagi bertemu dengan cinta sejatinya meski hatinya telah
diisi oleh pria Belanda, itulah takdir. Teringat ia dengan salah satu kisah
seorang kerabat jauh dimana hubungan mereka tidak direstui dan masing-masing
menikah dengan orang lain lalu setelah hidup bersama kurang lebih dari tiga
puluh tahun pasangan mereka sama-sama meninggal, dengan takdir Tuhan mereka
dipertemukan lagi dan dengan izin Tuhan juga mereka akhirnya menikah, hidup
bahagia bahkan sangat bahagia namun kebahagian itu hanya berumur tiga bulan
karena si pria meninggal akibat penyakit, meski sang kekasih meninggal dalam
pelukannya namun rasa sesak itu melebihi rasa pedih selama berpisah selama ini.
Hmm... apakah harus bersyukur karena pernah diberi waktu hidup bersama atau
menyesal karena harus berpisah lagi ditengah-tengah manisnya cinta?
Warsih, sisi mana yang pernah ia rasakan?
Ia hanya merasa kecewa dan kecewa.
Juna menatap adik kesayangannya yang masih
terbaring dan belum juga sadarkan diri tapi dokter menyakinkan kalau kondisinya
terus membaik dan ia tidak perlu dipindahkan sebab rumah sakit yang
menanganinya sudah termasuk salah satu rumah sakit terbaik di Jakarta. Juna pun
menyakinkan dirinya kalau tidak lama lagi adiknya akan sembuh. Ia menghela
napas panjang karena pikirannya melayang pada almarhum sang ayah yang ia
banggakan...
‘Juna, Ayah pernah menyakiti seorang wanita
dan Ayah merasa ia tidak akan pernah memaafkan Ayah. Meski demikian Ayah tidak
akan pernah berhenti memohon kepada Tuhan supaya ia memaafkan Ayah. Kamu tahu
Juna? Kewajiban seorang anak laki-laki itu selain kepada isterinya juga kepada
ibunya. Waktu itu, Ayah belum menikah padahal Ayah sudah berjanji kepada
seorang wanita yang Ayah cintai untuk menikahinya tapi semua itu harus Ayah
ingkari karena permintaan seorang Ibu yaitu nenek kamu. Bukan bermaksud
menyalahkan nenek kamu tapi semua sudah Ayah jalani. Beliau menyukai seorang
wanita sholehah dan meminta Ayah menikahinya meski Ayah sudah menjelaskan kalau
Ayah punya pilihan hati sendiri di pulau Jawa. Tidak tahu apakah ini kesalahan
Ayah atau situasi sehingga Ayah menuruti keinginan nenekmu dengan satu harapan
ingin membahagiakannya selagi ia masih hidup. Ayah mengirim surat pada wanita
pujaan Ayah, sebulan dua bulan bahkan setahun tidak Ayah dapat balasan darinya.
Di dalam surat itu Ayah menjelaskan situasi bahkan bermaksud ingin menikah
secara diam-diam dengannya kalau ia setuju, mungkin ia tidak setuju sehingga ia
tidak membalas surat Ayah atau ada hal lain Ayah tidak mengerti. Saat itu Ayah
tidak punya waktu untuk mendatanginya lagi di sisi lain Ayah pikir ia memang
tidak setuju untuk menikah dengan Ayah tanpa restu dari orang tua. Ayah hidup dengan
ibumu dengan ketulusan, keiklasan dari keputusan orang tua dan ibumu memang
wanita yang baik dan ia tidak pernah tahu apa yang dialami Ayah sebelum
menikahinya, karena Ayah tidak ingin ia merasa tersinggung. Setelah menikah
Ayah tidak pernah lagi berkunjung ke pulau Jawa dan memutuskan untuk berhenti
bekerja di sana.’
Sekali lagi Juna menghela napas sangat
dalam, kata-kata ayahnya ia dengar pertama sekaligus terakhir kali sebelum ia
menikahi gadis Lampung. Ayahnya juga mengatakan cerita itu hanya diceritakan
pada dirinya, tidak pada adik-adiknya. Ia tidak terpikir akan menginjakkan
kakinya di pulau di mana dulu ayahnya pernah kenal dengan seorang wanita, dan
wanita itu adalah teman dari ibunya calon Julia. Mata Juna kembali kepada wajah
Julia.
‘Julia, tidak boleh ada seorangpun yang menyakiti kamu. Kakak janji
akan menjagamu.’ Gumannya dengan lirih. Saat itu AemeL masuk bersamaan
dengan Julia menggerakan jarinya seolah mendengar kata-kaka kakaknya. AemeL
menghampiri Juna dan meminta pria itu untuk istirahat dan ia akan menjaga Julia
menggantikan Juna. Pria itu tidak membantah karena ia juga harus makan dan ke
Musolah. AemeL meletakkan laptopnya di meja kecil yang ada di dalam ruangan itu
dilengkapi satu sofa panjang. Meski dalam kondisi sedih AemeL tidak pernah
berhenti untuk menulis, entah mengapa menulis seolah sudah menjadi udara
baginya dalam menjalani hidup ini. AemeL mengusap tangan Julia lalu mengambil
tisu basah dan mengelap wajah Julia dengan lembut.
‘Julia, sudah beberapa hari ini kamu
seperti ini.. apa kamu tidak bosan tidur terus? Aku tahu kamu bukan orang yang
suka berdiam diri seperti ini. Bangunlah sahabat... bukan aku sudah bosan
menemanimu di sini, tapi aku kangen dengan suaramu, omelanmu dan semua
tentangmu. Meski dengan bangun kamu marah sama aku akan aku terima, aku tidak
akan membantah, tidak akan sakit hati.’
AemeL teringat bagaimana Julia
memarahinya dengan alasan demi kebaikannya. AemeL sangat kecewa, bahkan malu
tapi itulah Julia, ia akan berkata tidak atau sebaliknya jika itu demi
kebaikkan orang yang ia sayangi. Tidak semua orang bisa menerima kenyataan
pahit meski benar lalu akhirnya menyadari bahwa itu memang benar namun merasa
malu untuk mengakui kesalahan itu dan memilih harus menjauh karena menghindari rasa
malu, meski ia tahu kedepannya tidak akan mengulangi hal itu lagi. Setiap
manusia selalu berbeda cara pandang juga pilihan hidup. Tapi AemeL memang
memiliki rasa sayang yang lebih banyak dari kecewa itu sendiri kepada Julia
apalagi ia tahu Julia juga tulus menyayanginya. Sejatinya tidak ada manusia
yang sempurna secara sikap dan tidak ada manusia yang lepas dari khilap. Pun
akan dianggap berjiwa besar jika ingin menyadari setiap kesalahan dan berusaha
memperbaikinya.
Kini AemeL menulis di buku yang dibeli
oleh Julia, sebelumnya sejenak ia mengamati sahabatnya itu dengan hati yang
sedih, karena sejujurnya ia takut sekali kehilangan Julia meski dokter
mengatakan Julia akan baik-baik saja.
‘Tinta emas,... tidak tahu lagi apa yang
akan aku lakukan saat ini, berdoa untuk kesembuhan sahabatku itu pasti. Tak
sedikitpun aku menginginkan ia cidera apalagi sakit seperti saat ini. Tinta
emas, tolong sampaikan kepada Tuhan betapa aku sangat menyayanginya. Jangan
pernah pisahkan lagi kami dengan alasan-alasan sakit hati atau kesalahpahaman,
kami satu jiwa, persahabatan kami tidak biasa, biar orang mengatakan hubungan
darah persaudaraan lebih kuat dari apapun tapi aku merasa hubunganku dengan
Julia lebih kental dari hubungan darah persaudaraan. Keluarga adalah segalanya
bagiku, Teguh belahan jiwaku namun Julia.... aku tidak bisa menyebutnya sebagai
apa tapi aku merasa rasa sayangku padanya tak bisa diungkapkan apalagi
diumpamakan dengan apapun. Julia kembalilah, bangunlah... aku sangat
menyayangimu....... sampai napas terakhirku.’
Dengan perlahan AemeL menutup buku diary indah itu, lalu matanya beralih
pada laptop di mana tulisan-tulisannya selalu setia menanti ia melanjutkan
kisah dunia ini untuk dituangkan di sana. AemeL memiliki banyak cinta, cinta
pada benda kesayangannya, cinta pada pekerjaannya dan entah berapa lagi cinta
yang ia miliki namun ia gadis yang tidak gampang jatuh cinta pada lawan jenis
kalau tidak benar-benar merasa klik. Detik ini AemeL tidak punya niat atau mood untuk melanjutkan kisah di dalam
laptopnya karena pikirannya tertuju kepada Julia, ia kembali mendekati Julia
mengusap kening Julia dan tidak boleh lagi ada air mata, ia meraih tangan Julia
dan menggenggamnya dengan erat. Tangan yang dari kecil tidak pernah kena lumpur
sawah karena ayah Julia tidak pernah membiarkan anak gadis mereka turun ke
sawah berbeda dengan gadis Sumatera yang lain, mereka dari kecil dibiasakan
membantu kegiatan kedua orang tua mereka di sawah ataupun di kebun. Julia,
gadis tegas, punya tulisan tangan sangat indah, punya prinsip hidup yang kuat
dan tidak segan-segan marah pada orang yang jelas salah, tidak takut ditinggal
oleh orang yang ia cintai kalau ia merasa benar. Saat genggaman tangan AemeL
ingin lepas ia merasakan gerakan dari tangan Julia membuat AemeL spontan
menoleh pada tangan itu. Julia menggerakan tangannya seolah menyadari kalau
Julia sudah sadar memaksa AemeL mendekati wajahnya ke wajah Julia.
“Julia, Julia......” gumannya dengan
pelan. “Kamu sudah... sudah sadar...? kamu bisa mendengarkan aku.......?” suara
AemeL masih pelan dan detik berikutnya Julia membuka matanya dan mendapatkan
AemeL di dekat wajahnya. Melihat mata Julia terbuka tanpa sadar mata AemeL
berair seakan tuntas sudah penantiannya selama kurang lebih tujuh hari ini. Ia
ingin memeluk gadis itu tapi ia takut menyakiti tubuh yang habis dioperasi itu.
“Alhamdulillaha ya Allah Julia sudah sadar.” Hela AemeL sedangkan Julia
menyimak situasi keliling dengan ekor matanya. Rumah sakit, pikirnya dan secara
kilat pikirannya kembali merekam kejadian siang itu di jalan dan tiba-tiba
matanya terpejam seolah kenangan itu tidak ingin ia ingat. “Julia...?” panggil
AemeL setengah panik, suara itu jelas sekali terdengar di telinga Julia.
“Ae......” suara Julia lembut setelah
menatap wajah AemeL yang masih panik dihadapannya. AemeL menganggukan kepalanya
seakan mengatakan kalau ia tidak akan ke mana-mana. Mata di wajah itu
berkaca-kaca meski mimik wajahnya menyiratkan kebahagiaan karena Julia telah
siuman. “Sejak kapan aku di sini...?”
“Jangan banyak bicara dulu, aku panggilkan
kak Juna ya, tadi ia di sini dan sekarang sedang istirahat.”
“Kak Juna di sini?” giliran Julia panik
kalau sudah ada kak Juna berarti urusan akan serius. Sebab pria itu tidak
pernah ikut campur urusan Julia kalau bukan urusan serius. AemeL mengganggukan
kepalanya dan ia buru-buru menahan tubuh Julia saat gadis itu hendak bangun.
Julia segera sadar setelah merasakan beberapa alat kedokteran menempel di
badannya. Ia tidak mungkin mengatakan saat itu kalau Julia mengalami patah
tulang dan tulang rusuknya itu menembus ke paru-parunya. AemeL menghubungi Juna
yang ternyata sudah melangkah ke arah kamar inap Julia.
“Kak Juna, lihat.... Julia sudah sadar...”
kata AemeL setengah berteriak. Pria itu mendekati adiknya dan langsung memegang
kening Julia.
“Syukurlah sayang... kakak tahu kalau kamu
sangat kuat. Semuanya akan segera beres dan kamu segera pulih. Tetap kuat ya.”
Ujar Juna meski sesungguhnya ia takut juga kehilangan adiknya. Setegar apa pun
dia tetap punya kekhawatiran itu, Juna memang telah menggantikan sosok ayah
untuk Julia dan adik-adiknya. “Lihat AemeL, tak sedikitpun ia ingin beranjak
dari sisi kamu, kalian memang sahabat yang hebat sekaligus gila.” Kata terakhir
disertai tawa dari mulut Juna membuat AemeL ikut tersenyum. Julia melirik ke
AemeL yang tak ingin memperlihatkan rasa lelahnya di hadapan Julia. “Sudah
tujuh hari kamu di sini, kakak belum mengabarkan keluarga di Palembang karena
kakak percaya kamu akan baik-baik saja.” Tambah Juna.
“Tujuh hari?” pertanyaan itu ditujukan
kepada AemeL dan AemeL hanya bisa menganggukkan kepalanya dengan pelan. Julia
melirik tangannya yang terpasang jarum infus karena Julia belum bisa menelan
makanan langsung meskipun ia sudah sadar, sebab paru-parunya masih luka.
AemeL tidak tahu di mana posisi Wowor saat
ini, ia hanya mengirim BBM pada pria itu untuk mengabarkan kalau Julia
sudah sadar, pesan itu sudah terkirim dan belum dibaca.
“Tunggu di sini ya, kakak mau ke ruangan
dokter untuk membicarakan kondisi kamu.” Kata Juna kepada Julia sekalian pamit
pada AemeL.
Sepeninggal kak Juna, Julia langsung
melirik pada AemeL yang sepertinya sudah siap dengan segala pertanyaan yang
mungkin ditanyakan Julia padanya. Namun sebelumnya ia mendahului Julia. “Jangan
banyak bicara dulu ya, kamu masih lemah.” Ia melirik ke arah perut Julia
sekilas.
Julia hanya mengukir senyuman tipis lalu
berkata diluar dugaan AemeL. “Bagaimana keadaan kamu?”
“Aku sangat baik, aku hanya
mengkhawatirkan kamu.. cepat sembuh ya.” Sahutnya sembari mengusap lengan
Julia. Sejujurnya AemeL ingin sekali segera bertanya bagaimana kejadian
sebenarnya hingga menyebabkan Julia mengalami kecelakaan namun itu tidak
memungkinkan karena kondisi Julia masih sangat lemah. AemeL harus menyimpan
dulu rasa ingin tahunya walau secara simbolis ia sudah mendengar penjelasan
dari Wowor.
Wowor! Di mana pria itu? Mengapa ia tidak
muncul? Apakah ia sudah kembali bekerja? Bukankah semalam ia masih di sini.
Pikir AemeL, ia tidak berharap Julia menanyakan Wowor saat itu. Sudah seminggu
ia menunggu Julia sadar dan sekarang ia tidak ingin kebersamaannya dengan Julia
harus terganggu dengan pria yang bernama Wowor.
Lagi-lagi diluar dugaan AemeL, dalam
kondisi yang masih sangat lemah Julia menceritakan semua kejadian sebelum ia
mengalami kecelakaan dan itu nyaris sama yang diceritakan oleh Wowor.
Detik-detik setelah cerita kondisi Julia makin lemah dan saat itu Juna dan
dokter masuk untuk mengecek kondisi Julia setelah siuman. Setelah semuanya kembali
normal Wowor muncul dan kali ini ia membawa mami dan papinya tanpa diduga, pria
itu melamar Julia di depan kakak dan sahabatnya. Julia sangat tidak menyukai
situasi itu namun ia tidak bisa mencegah bahkan tak kuasa untuk mengeluarkan
suaranya yang masih lemah. Saat matanya bertemu dengan mata papinya Wowor, ia
melihat ada ketulusan dan keteguhan di sana yang membuat Julia makin tak kuasa
karena ada senyum wibawa seakan meminta Julia untuk menjadi anaknya. Sebelum
mata Julia ke wajah maminya Wowor terlebih dahulu ia menatap kak Juna. Pria itu
hanya mengangkat kedua bahunya seolah semua keputusan ada di tangan Julia
karena kebahagiaan Julia sudah pasti kebahagiaannya juga. Julia memahami
kebijakan kakaknya, kini matanya mencari AemeL yang ternyata masih berdiri di
sebelahnya. Gadis itu hanya tersenyum dan Julia tahu apa pun keputusannya nanti
sudah pasti disetujui oleh AemeL meski demikian ia tidak mau mengambil
keputusan tanpa diketahui oleh AemeL. Bersamaan dengan itu sebuah tangan
menyentuh lengan Julia. Wanita paruh baya itu mengusap tangan Julia dan berkata
lembut.
“Lekas sembuh ya Julia, semua orang di
ruangan ini sangat menyayangi kamu.” Itu adalah suara seorang wanita Jawa
Tulen, lembut dan penuh kasih sayang. Wowor mengusap bahu maminya semacam ucapan
terima kasih yang dalam pada wanita yang telah melahirkan dirinya ke dunia ini.
Kemudian ia meraih tangan Julia yang ada jarum infusnya namun secara halus
Julia menarik tangannya dari genggaman Wowor. Julia belum tahu bagaimana
kondisinya setelah kecelakaan yang membuatnya tak sadarkan diri selama tujuh
hari, apakah kakinya diamputasi atau ada luka parah yang tidak bisa disembuhkan sehingga membuat
semua orang di dalam ruangan itu menaruh rasa kasihan padanya. Julia tidak
selemah perkiraan mereka kiranya itu terjadi. Wowor masih tidak percaya kalau
gadis yang ia cintai itu masih menolaknya namun ia coba bersikap dewasa dan
berusaha memahami psikis Julia setelah kecelakaan.
“Tidak apa-apa sayang.... tidak sedikitpun
ada paksaan di sini. Semua keputusan ada pada dirimu. Apa pun yang kamu
putuskan semua bisa menerima, termasuk aku.” Ujar Wowor dan Julia bisa
merasakan kalau pria itu tidak punya sisi yang disembunyikan lagi namun ia
tetap harus hati-hati.
Menit berikutnya Julia merasa harus ditinggal
sendirian, meski AemeL khsususnya Wowor merasa berat namun mereka melakukan
itu. Julia merasa harus punya ruang sendiri untuk beberapa saat. Ia merasa
sulit bernapas menghadapi kenyataan hidup yang ia rasa tiba-tiba meski sangat
sadar tidak ada yang serba kebetulan di dunia ini. Beberapa menit kemudian
seorang suster masuk karena tidak ingin pasiennya lama-lama sendirian. Saat
masuk ia melihat Julia baik-baik saja kemdian ia berbisik pada Julia.
“Kamu tidak lagi menyentuh benda terkutuk
itu, bukan?” celetuknya membuat Julia tersenyum. “Jaga paru-paru kamu jangan
biarkan benda terkutuk itu membuatnya hitam. Hidupnya ini hanya sesaat sobat
jangan sia-siakan.” Tambahnya membuat Julia seakan disadarkan banyak hal.
Suster itu tahu kalau hasil operasi dari paru-paru Julia memperlihatkan hasil
selama ini ia mengkonsumsi sigaret namun bukan itu yang membuat Julia tersenyum
tapi sebutan itu sama persis dengan sebutan yang diciptakan oleh AemeL dan ia
tahu pasti kalau AemeL tidak mungkin mengatakan pada orang lain kalau ia pernah
merokok.
“Ya, terima kasih banyak atas nasihatnya
Sus.” Sahut Julia pada suster empat puluhan itu.
“Oh, ya. Ngomong-ngomong.. kamu punya
sahabat yang sangat luar biasa dan kekasih yang amat sangat mencintaimu. Tidak
semua orang seberuntung kamu di dunia ini... dan sepertinya kamu akan lekas
sembuh karena mereka semua sudah tidak sabar ingin melihat kamu sehat. Nanti
kita akan melakukan cek ulang untuk melihat perkembangan tulang rusuk kamu.”
Tambah suster empatpuluhan itu.
Di ruanga tunggu. Wowor
terlihat lesu di sampingnya AemeL duduk namun ia sudah terlihat ceria karena
Julia sudah sadar.
“Dia masih meragukan perasaanku.” Guman
Wowor pada AemeL dan baru itu kali pertama AemeL mendengar suara Wowor tidak
biasanya. Ada kesedihan tidak biasa di dalamnya. “Tapi tidak apa, kesembuhan
Julia paling utama.” AemeL menatap Wowor saat pria itu menoleh padanya. “Ae,
besok aku sudah harus masuk kerja. Selama aku tidak bisa ke sini, aku titip
Julia sama kamu ya. Aku percaya sama kamu.”
“Ya, tidak ada orang lain yang bisa kamu
percaya selain aku sebab Julia adalah aku.” Balas AemeL dengan nada pasti agar
pria itu tidak lagi menganggap seorang sahabat memakan sahabatnya sendiri.
Wowor tersenyum manis seakan melupakan
trauma yang pernah ia alami selama ini. Hidup memang indah, lain orang lain
sifat. Lain padang lain belalang... itu kata pepatah lama.
~
Bersambung.......
========================================================================
Tidak ada komentar:
Posting Komentar