Kamis, 06 Agustus 2015

SEBUAH RAHASIA HATI
(Fiksi Remaja ‘Persahabatan’)
**

BAB I 
Julia Collection
     Julia sedang sibuk membantu rekan kerjanya, wanita single 27 tahun itu punya dua cabang toko di pasar dengan sewa satu  ruko lebih kurang dua puluh dua juta pertahun. Ia menjalani bisnis itu dalam lima tahun belakangan, sebelumnya ia bekerja di sebuah butik milik seorang pejabat daerah. Ada dua orang pegawai disetiap satu toko, sedang Julia sendiri sering bolak-balik Jakarta-Palembang untuk membeli isi tokonya belum lagi harus melayani penjualan secara On-Line.
     Hari itu setelah kembali dari toko yang satu tiba-tiba Julia ingat dengan sahabatnya. Wanita itu tersenyum karena sebenarnya bukan hari itu saja ia ingat dengan AemeL bahkan nyaris setiap hari tapi hari itu ia bukan saja ingat tapi ada rasa kangen yang sepertinya tidak biasa. Julia menghela napas berat seolah ingin meringankan beban yang ia rasa di rongga dadanya tiba-tiba terasa menyesakkan dada, ia tidak pernah menelepon lagi AemeL karena percuma sebab wanita itu tidak akan pernah lagi mengangkat telepon darinya, sekali-kali ia mengirim pesan jika ada hal yang penting sekali dan itu jarang sekali dapat balasan, andaipun ada balasan tidak penting untuk dibalas karena pesannya tidak minta dikonfirmasi. Tapi rasa itu akan perlahan menghilang seiring kesibukannya  membantu anak buahnya melayani pembeli yang jarang sepi di tokonya. Sebuah BlackBerry selalu menemaninya untuk bisnis online yang ia jalani dua tahun belakangan.
     “Kak, ini ada BBM dari pelanggan. Katanya kiriman sudah sampai, barang yang datang juga sama persis dengan yang ia pesan.” Pegawai yang sekitar usia dua puluh tiga tahun itu bicara pada Julia disambut Julia dengan senyuman itu artinya pelanggannnya puas dengan pelayanan mereka. Ruko yang tidak lebih besar dari lima kali lima meter itu berisi barang dengan mutu bagus dan tidak terlalu memenuhi ruangan sehingga Julia bisa meletakkan sebuah meja dengan dua kursi kecil di pojok bagian belakang ditambah sebuah kipas angin kecil. Sebuah laptop ukuran 11 inch sedang terbuka di atas meja, sekali-kali Julia asik menyimak layarnya untuk melihat perkembangan bisnis di dunia internet. Ia sendiri telah mendaftarkan Julia Collection di sana.
      Seema wanita yang sekaligus orang kepercayaan Julia itu mendekati bosnya. “Kak, biasanya sebulan sekali sudah harus belanja ke Jakarta tapi kali ini baru masuk minggu kedua toko ini sudah harus kembali diisi, apa kali ini pesan saja dan minta dipaketin seperti bulan kemarin?” ia bertanya karena isi toko sudah harus ditambah. Pikirnya apalagi pesanam lewat online makin lancar.
     Julia melirik Seema lalu berkata “Aku akan ke Jakarta kalau pesan rasanya kurang puas untuk memilih.” Ia memastikan. “Oya Seema….” Julia berhenti bicara seakan sedang memikirkan sesuatu sedang wanita itu menunggu Julia meneruskan kata-katanya tapi Julia hanya menatapnya seolah lupa tadi ingin bicara apa. “Mungkin aku akan ke Jakarta dalam dua hari ini, selama aku pergi kedua toko yang ada di Palembang ini adalah tanggung jawab kamu.” Katanya kemudian. Tanpa dijelaskan Seema sebenarnya sudah tahu tanggung jawabnya termasuk mengirimkan pesanan yang  lewat internet.
     “Oke, sip..” Seema tersenyum tanda setuju.
     “Seema, baju kemeja dewasa ini harganya berapa ya? Aku lupa?” rekan kerja Seema memperlihatkan sebuah kemeja lengan panjang karena ia sedang ditunggu dua orang sepertinya pasangan kekasih yang berminat dengan kemeja itu.
     “Seratus lima puluh ribu, bisa kurang kok.” Sahut Seema setelah melihat jenis kemeja yang diperlihatkan temannya dan kalaupun bisa kurang tidak lebih dari sepuluh ribu rupiah karena barang yang ada di toko Julia Collection sudah dikenal dengan mutunya jadi tidak ada yang berani menawar rendah. Julia hanya mengamati mereka dari belakang mejanya lalu kembali mengecek kiriman yang sudah terkirim di internet. Jasa pengiriman tak jarang mengecewakan yang seharusnya sampai dalam waktu tiga hari malah dua minggu baru sampai dan membuat si pengirim dan pemesan jadi sangat kecewa dan anehnya tidak ada jaminan ganti rugi yang ada yang punya barang harus mengirim ulang. Itulah dunia bisnis tidak selalu manis.
     Setelah berkutat beberapa menit di dunia internet Julia meraih BB-nya dan membukanya, tidak ada PIN BB sahabatnya yang satu itu kecuali nomor ponsel yang sudah ia simpan lebih dari tujuh tahun. Kembali ia menghela napas panjang karena teringat lagi dengan wanita satu itu.
     Di bagian depan atas ruko ada tulisan besar berbunyi ‘Julia Collection’ itulah satu-satunya usaha yang Julia jalani sekarang yang bisa menghidupi dirinya sekaligus membayar empat orang karyawannya yang kesemuanya ia anggap keluarga sendiri. Bukan itu saja, selain itu ia masih bisa sedikit-sedikit membantu keluarganya. Julia tidak memiliki rumah pribadi, ia tinggal di tempat kos hanya ada satu kamar. Meski ada beberapa kakaknya menawarkan untuk tinggal di rumah mereka tapi Julia memilih untuk tinggal sendiri dibanding tinggal di rumah kakaknya yang kaya, punya pembantu dan segala macam. Julia tidak suka mendengar gosip, tidak suka ikut arisan keluarga juga tidak suka pergi-pergi yang tidak jelas. Ia punya banyak teman dari berbagai kalangan, tua ataupun muda, pegawai bahkan kaki lima tapi kini ia hanya dekat dengan wanita yang satu itu, wanita yang selama beberapa bulan ini mengganggu pikirannya. Wanita yang ia anggap lebih dari keluarga sendiri, tidak ada lagi rahasia yang ia simpan dari wanita itu. Semua sudah ia buka dengan sangat jelas, ibarat sebuah buku tidak ada satupun halaman yang wanita itu lewati mengenai kisah hidup Julia. Tapi sekarang wanita itu sedang apa? Bagaimana perasaannya Julia tidak tahu.
     Tak jarang Julia meneteskan airmata mengingat persahabatan mereka yang tidak biasa. Julia yang merasa takut kehilangan lantaran sudah banyak kehilangan di dalam hidupnya harus terpisah darinya, rasanya tidak ada yang lebih sakit dari tidak tahu kabar dari seorang sahabat yang sangat disayangi.
     Hujan mulai turun dan dalam hitungan detik saja sudah sangat deras, orang-orang yang berniat belanja jadi kalang kabut mencari tempat berteduh tak terkecuali di depan teras Julia Collection. Julia merasa hatinya beku dan saat itu ia ingin menuliskan pesan.
**


















AL. Sadei
     Gedung Gramedia dipenuhi pengunjung karena ada jumpa penulis novel remaja di sana yaitu, AL. Sadei. Seorang wanita usia tidak lebih dari dua puluh tujuh tahun itu sedang dikerubuti oleh para penggemar novelnya, agar novel yang mereka beli ditandatangi oleh penulis kesayangan mereka. Setelah acara bedah buku sekalian peluncuran perdana novel terbaru dengan judul ‘Rahasia Hati’ yang diterbitkan sebanyak 10.000 ekslempar untuk seluruh Indonesia.
     Tidak kurang dari dua jam acara itu berlangsung, AL. Sadei hanya ditemani oleh pihak penerbit yang tadi memberikan sedikit mukadimah tentang karya ke tujuh  yang ditulis AL. Sadei yang mereka terbitkan. Sebelumnya AL. Sadei telah mengatakan kepada pengunjung kalau novel itu ia tulis dalam waktu dua bulan saja. Bagi penulis senior itu mungkin bisa dibilang terlalu lama, tapi bagi AL. Sadei menulis novel itu termasuk singkat karena ia bisa menulis novel dalam waktu tiga bulan bahkan lebih, ada juga bisa selesai dalam satu bulan untuk ukuran 150-200 halaman. Tapi novel AL. Sadei bisa sampai empat bahkan tujuh kali cetak ulang, tidak jarang juga hanya satu kali cetak dalam satu judul.
     Beberapa pengunjung mendapat hadiah novel karena berhasil menjawab beberapa pertanyaan yang disediakan oleh panitia dari toko dan mereka mendapat juga tanda tangan  dari AL. Sadei sekaligus foto bersama dengan sang penulisnya. Sebelum bubar AL. Sadei bicara kepada pimpinan redaksi  penerbitnya seolah candaan saja.
     “Mitha, dalam beberapa minggu ke depan aku ingin istirahat dulu.”
     Wanita yang bernama Mitha itu melirik AL. Sadei dengan mimik lucu. “Kenapa, mau semedi cari ilham? Hehehe… kamu ini ada-ada saja.”
     “Ngapain cari ilham, ilham sih tidak usah dicari kalau sudah datang ia akan datang sendiri seperti tamu tanpa diundang. Ya sudah, aku mau pulang, kamu cepat sana… pacarmu sudah menunggu tuh.” Goda AL. Sadei.
     AL. Sadei telah menyelesaikan sesi acara itu dan kini ia akan kembali ke tempat kosnya di kawasan Cinere. Dari lantai tiga gedung Gramedia AL. Sadei sudah mengenakan kacamatanya lalu turun melewati  lantai yang menjual berbagai merek  pakaian terkenal sebab toko Gramedia itu ada di dalam sebuah mol besar. Beberapa wartawan online sudah menulis apa yang AL. Sadei bicarakan di acara tadi, dalam hitungan menit artikel mereka akan muncul di dunia maya khusus untuk para manusia yang mencari berita di dunia yang saat ini sudah melaju dengan pesat, dulu beberapa orang memandangnya sebagai dunia sesat.
     Wanita dengan celana jins sekaligus kaus lengan panjang itu sudah memasuki area parkir motor yang ada di lantai satu. Sejenak ia mengecek ponselnya yang ada dikantong celana jinsnya tanpa mengeluarkannya dari dalam kantong. Ia mengenakan jaket kulitnya dan terakhir memasang helmnya tanpa bisa menutupi rambut panjangnya yang ia ikat seperti ekor kuda.
     Melewati petugas parkir ia masih terlihat tenang dan merasa lega karena acara bedah bukunya berjalan dengan lancar. Setelah melewati halaman gedung mol itu ia merasa ada sesuatu menyapanya, rasa kangen pada seseorang. Motor matic yang membawa tubuh semampai itu terlihat berjalan dengan stabil dengan kecepatan biasa namun rasa kangennya seperti  meluncur pada kecepatan diatas  seratus meter perjam. AL. Sadei menarik napas beberapa kali, rasa benci dan kangen sepertinya sedang berperang hebat di dalam dadanya. Tas ransel tipis menempel di punggungnya meski isinya hanya sebuah laptop dan beberapa surat seakan tidak terasa berat. Sebuah motor besar tiba-tiba lewat di depan AL. Sadei dengan kecepatan tinggi untuk buru-buru berbelok ke sebuah gang yang ada di kiri motor AL. Sadei, dan saat itu lampu sign belakang motor besar itu menyentuh ban depan motor AL. Sadei bersamaan dengan bergetarnya ponsel di dalam kantong celananya karena ada SMS masuk. Motor matic itu terlempar tanpa bisa dikendalikan oleh pemiliknya, sedang yang punya motor besar itu sudah melesat meninggalkan korbannya tanpa ada satupun yang bisa melihatnya dengan jelas. AL. Sadei dengan tubuh jatuh sedang kepalanya yang terbungkus helm membentur pembatas jalan dengan sangat keras. Beberapa orang berhenti melihat kecelakaan itu dan sebuah mobil pikap yang ada dibelakang kerumunan orang menjadi sasaran untuk membawa AL. Sadei ke rumah sakit terdekat. Sebelum diangkat ke atas pikap orang melepaskan dulu helm yang masih membungkus kepala wanita malang itu, tidak ada darah atau luka yang terlihat tapi wanita itu sama sekali tidak sadarkan diri. Dua orang pria mengangkat tubuh AL. Sadei ke atas pikap dan sekaligus ikut mengantar ke rumah sakit.

**









Best friend
     Pihak rumah sakit tidak tahu harus menghubungi siapa untuk menjaga pasien yang baru saja mereka rawat dan periksa. Pasien itu mengalami gegar otak dan pergelangan kaki kirinya patah, sedang kedua pria yang mengantarnya ke rumah sakit sudah pulang setelah mengatakan kalau mereka hanya mengantar saja bukan dari pihak keluarga dari wanita itu. Kejadian semacam itu memang kerapkali terjadi di jalan. Pasien yang masih tidak sadarkan diri itu ditempatkan di ruang intensive. Seorang dokter melihat ada ponsel yang ada di kantong jins sebelah kiri pasien, tanpa berpikir panjang lagi ia mengeluarkannya karena yakin ada petunjuk di sana, meski mereka sudah memeriksa isi tas pasien tapi mereka tidak menemukan petunjuk yang bisa dihubungi dengan cepat. Jam di dinding putih ruangan di intensive menunjukkan pukul 15.07 WIB.
     Dokter itu sudah memegang ponsel, ia mengamatinya sejenak lalu melirik suster yang
masih berdiri bingung di sebelahnya.
     “Pasti ada sesuatu di sini.” Ujar sang dokter dengan nada pasti.
    “Coba cek nomor kontaknya dok, cari nama penting seperti ‘ayah, ibu atau kakak’ dari pasien.” Usul  suster.
     “Remaja sekarang jarang menulis nama seperti itu.” Kata dokter itu sambil berusaha membuka ponsel itu dengan hati-hati. Beruntung ponsel itu tidak memakai kata sandi. Dan pertama yang terlihat adalah pesan masuk dari nama yang tertulis ‘Best friend’
     ‘AemeL……’
     Dokter itu tiba-tiba tersenyum. “Pesan kok hanya satu kata.” Lirihnya lalu ia menatap pasien yang masih tidak sadarkan diri bahkan bisa dibilang koma. “Pesan ini dikirim oleh best friend-nya, aku harus menghubunginya.” Dokter memencet nomor itu tanpa menunggu reaksi dari susternya.
     Julia sedang menatap layar BB-nya menyala yang memunculkan nama AemeL, sudah lama sekali nama itu tidak nongol di LCD itu sehingga menimbulkan rasa deg-degan yang tidak keruan di hatinya. Setelah membiarkannya beberapa detik akhirnya Julia memutuskan untuk mengangkat dan rasa kagetnya bertambah setelah mendengar suara seorang pria.
     “Halo……….?”
     “Ya. Halo..” jawab Julia meski ragu-ragu.
     “Maaf, siapapun nama Anda saya tidak peduli.. tapi ini sangat penting, saya baru saja membuka ponsel seorang wanita ternyata ada SMS Anda yang masuk dan bertuliskan dengan nama best friend, makanya saya menghubungi Anda. Kami, dan khususnya saya telah membongkar tas pasien namun tidak satupun menemukan yang bisa dihubungi selain di dompet ada SIM dan KTP atas nama Aemel Baes. Wanita itu sekarang sedang berada di rumah sakit karena kecelakaan tabrak lari.”
     “Apa?” suara Julia agak tercekat tidak percaya sekaligus cemas.
     “Ini tidak main-main, kami di rumah sakit Harapan Indah menunggu kedatangan Anda secepatnya.” Tegasnya dengan pasti.
     “Baik, saya akan segera ke sana.” Jawab Julia dengan sangat cepat tanpa berpikir lagi apakah telepon itu sebuah penipuan atau tidak.
     Tadinya ia berpikir tidak tahu harus bicara apa saat AemeL meneleponnya dan apa yang AemeL katakan,  karena ia sudah rindu sekali dengan suara itu.
     Pihak rumah sakit mencatat nama pasien sesuai nama yang mereka lihat di kartu identitas sekaligus menulis semua hasil lab dan sebab musabab kenapa ia sampai ke rumah sakit.
~

     Tepat pukul 20.47 WIB Julia tiba di rumah sakit yang merawat AemeL Baes, setelah turun dari taksi ia langsung menuju ruang informasi menanyakan apakah benar AemeL Baes berada di tempat itu. Dengan tas punggung yang ditenteng, rambut semi bob, baju kaus serta celana jins dan tanpa polesan make-up ia coba bertanya.
     “Maaf Sus, saya ingin tanya… apakah ada pasien yang bernama AemeL Baes dirawat di sini?” katanya pada wanita berseragam perawat, disebelahnya ada dua orang lagi dan yang satunya seorang pria sedang melihat-lihat daftar pasien. Perawat yang ditanya mengangkat wajahnya untuk menatap Julia sedangkan seorang pria dengan pakaian dokter menatap Julia dengan tatapan campur aduk.
     “Saya cek dulu.” Sahut perawat itu akhirnya dan langsung mengecek papan daftar pasien yang ada di sebelahnya.
     “Anda best friend??!” kata dokter itu sebelum suster menemukan nama yang ditanyakan sang tamu atau orang yang bermaksud besuk sanak saudaranya.
     Julia mengalihkan pandangannya kepada orang tersebut dan sebelum pria itu terlalu jauh mengamati wajahnya Julia mengajukan pertanyaan.
     “Anda mengenali saya?” katanya dengan nada rendah.
     “Ikuti saya…” kata sang dokter. Suster yang melihat mereka sepertinya sadar kalau mereka sudah saling komunikasi sehingga ia membiarkan wanita itu mengikuti printah sang dokter.
     Julia sudah berjalan bersisian dengan dokter muda itu dengan rasa was-was yang luar biasa.
     “Hampir enam jam... Mengapa Anda begitu lama datang? Sahabat macam apa Anda ini?” sergah sang dokter dengan nada tidak enak terdengar di telinga Julia. “Semacet-macet kota ini tidak mungkin menjebak Anda selama itu di jalanan.” Nadanya masih sama.
     “Bagaimana keadaan AemeL?” Julia ingin segera tahu kondisi sahabatnya tanpa mempedulikan ocehan sang dokter dan ia merasa tidak perlu menjelaskan apa yang telah ia lewati selama kurang lebih enam jam ini.
     Dokter itu menghentikan langkahnya diikuti oleh Julia, kedua orang itu saling tatap beberapa saat di lorong panjang teras rumah sakit.
     “AemeL Baes masih tidak sadarkan diri hingga detik ini.” Kata dokter itu dengan nada tenang namun tidak demikian dengan Julia.
     “Apa maksud Anda? Dia koma?”
     Dokter tidak mengangguk juga tidak menggeleng, ia diam sejenak karena baru kali ini ada orang menyebutnya ‘Anda’ bukan ‘dokter’ “Ayo…” ia kembali mengajak Julia jalan. “Anda bukan saja kelihatan cemas tapi juga terlihat sangat lelah. “Aku tidak menyebut AemeL koma, hanya saja belum sadarkan diri. Ia mengalami tabrak lari.” Lanjutnya.
     “Tabrak lari?”
     “Ya, memangnya aneh? Ada ratusan kasus tabrak lari di ibukota ini setiap harinya.” Mereka sudah tiba di ruang rawat intensive. “Ini, AemeL ada di dalam, tunggu, biar saya panggil suster keluar dulu.” Dokter membuka pintu lalu mengisyaratkan agar suster jaga keluar. Saat keluar suster melirik sekilas pada Julia dengan tatapan penuh tanya.
     “Apa dia si best friend, itu?” ujarnya membuat Julia bingung.
     “Sepertinya ya, semoga saja ia benar-benar best friend sehingga kita tidak harus menunggunya selama enam jam.” Sindir dokter sengaja tertuju pada Julia.
     “Maaf,.. “ Julia merasa mulai tidak sabar. Ia langsung membuka pintu dan menerobos masuk untuk segera melihat kondisi AemeL tanpa harus melayani dokter dan suster itu untuk berdebat. Namun di depan pintu bagian dalam ia tertegun takkala melihat sosok seorang wanita yang terbaring di tempat tidur pasien dengan kondisi memprihatinkan. Alat bantu pernapasan terpasang di hidungnya. Julia menutup mulutnya dengan telapak tangannya agar jeritannya tidak keluar saat itu pundaknya disentuh oleh sebuah tangan dengan lembut seakan coba menguatkannya.
     “Ia sudah menunggu kamu dari tadi, jika saja ia bisa bicara maka ia akan marah sama kamu.. kamu boleh mendekatinya dengan catatan tidak boleh berbuat macam-macam.” Sang dokter bicara karena merasa sudah yakin dialah best friend itu.
     Tas di bahu Julia sudah jatuh ke lantai dan kakinya mendekati AemeL sedang dokter masih mengamati sosok itu, di matanya sosok wanita itu terlihat sangat ideal.
     “AemeL…..” lirih Julia memanggil nama AemeL yang nyaris saja tidak bisa keluar dari  mulutnya namun yang dipanggil tetap diam membisu seolah ia sedang tidur dengan nyenyaknya tanpa menyadari kalau sahabatnya yang datang dari luar kota telah berada disisinya. Julia semakin dekat dan dengan gemetar tangannya coba menyentuh pipi AemeL. “Bangun AemeL…….” Lagi-lagi suaranya terdengar lirih. Sang dokter masih tetap menyimak Julia tanpa bergerak dari tempatnya semula berdiri. Lalu beberapa detik berikutnya terdengar suara lembut dari mulut dokter yang sudah ada di sebelah Julia.
     “Pergelangan kaki kirinya patah.”
     “Apa..? Anda bilang kakinya patah?” Julia menoleh pada dokter dengan kata diluar kendalinya.
     “Pelankan suaramu.” Anjur dokter.
     Julia merasa tidak kuat, ia berbalik dan bermaksud meninggalkan ruangan itu namun buru-buru tangannya  diraih oleh dokter. Tapi Julia malah marah kepada pria itu. “Kenapa Anda menelepon saya kalau hanya bermaksud menyampaikan berita seperti ini? Apa salah AemeL dan saya? Apa tidak ada orang lain yang bisa Anda hubungi? Katakan….. apa Anda kira saya bisa menghadapi kenyataan ini?” keluh Julia dengan mata berkaca-kaca.
     “Ponsel AemeL mati, mungkin kehabisan baterey setelah saya menelepon kamu. Apa kamu pikir hanya dia pasien di rumah sakit ini perlu perhatian? Ribuan pasien di sini menunggu kesembuhan dan kehadiran orang-orang terdekatnya. Jika kamu merasa dia benar-benar sahabatnya, hubungi keluarganya dan temani dia di rumah sakit ini sebelum yang lain datang, oke..?! saya masih banyak urusan.” Kali ini kata-kata dokter itu berubah jadi kasar. Setelah berkata seperti ia keluar dan meninggalkan ruangan AemeL dan Julia yang masih bingung, sedih dan tidak tahu harus bagaimana. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain kembali mendekati tempat AemeL dibaringkan.
     Kali ini Julia benar-benar sudah menangis dihadapan sosok AemeL yang masih tidak sadarkan diri. “AemeL…. Katakan apa yang harus aku lakukan?” gumannya sambil memegang tangan AemeL dengan erat. “Sudah beberapa bulan ini aku merindukan suaramu, bicaralah Ae…, aku tidak bisa menghadapimu seperti ini, apakah ini hukuman untukku? Bangun Ae…. Aku kangen.” Kini air mata Julia jatuh mengenai tangan AemeL namun sosok itu tetap tidak bergeming.
     Sejenak dokter itu masih menatap Julia dari luar pintu sebelum benar-benar pergi meninggalkan kedua wanita yang tidak ia kenal itu.
     Julia tidak menghiraukan perutnya yang mulai berteriak minta diisi, sepanjang perjalanan dari Palembang naik pesawat pukul 17.27 WIB dan tiba di Bandara Soekarno-Hatta pukul 18.37 WIB. Perjalanan dari Bandara sampai rumah sakit lebih kurang dua jam, dalam waktu nyaris enam jam ia sama sekali belum menyentuh makanan. Kini dipikirannya ingin AemeL segera siuman dan bicara padanya, harapan Julia memang terwujud AemeL sadar setelah pukul sepuluh malam. Melihat kenyataan itu Julia tersenyum meski tak bisa menyembunyikan rasa duka yang dalam melihat kondisi AemeL. Ia tidak peduli kalau AemeL akan memarahinya, ia rela.
     “Ae…..?” panggil Julia dengan nada penuh rasa haru.
     “Mmm.. kamu.” Suara AemeL masih terbata-bata lalu dengan pelan ia melepas alat penutup hidungnya. “Kenapa saya di sini? Kamu…. Kamu siapa……..?”
     “Apa………?” Julia langsung shock karena AemeL tidak mengenalinya. “Ya Tuhan……..”
     AemeL tidak peduli dengan rasa kaget di wajah Julia karena kepalanya masih terasa pusing dan ia kembali memejamkan matanya beberapa kali. Julia hanya bisa menatap AemeL dengan pikiran tidak menentu sekaligus sedih melebihi tadi.
~

     “Benturan di kepalanya menyebabkan ia lupa ingatan dan mengalami amnesia.” Jelas dokter yang merawat AemeL. Julia masih terdiam di depan meja dokter tanpa bisa bicara apa-apa. “Sebaiknya kamu hubungi keluarganya.”
     “Kapan ia bisa keluar dari rumah sakit ini?”
     “Untuk saat ini belum bisa dipastikan.” Sahut dokter .
     “Saya akan kembali ke ruangannya.” Hanya itu yang keluar dari mulut Julia. AemeL kembali tertidur, bukan pingsan lagi karena pengaruh obat. Itu kata dokternya pada Julia. Mengetahui AemeL mengalami amnesia Julia mematikan ponsel dan BB-nya. Ia memeriksa tas AemeL, sebuah laptop entah masih berfungsi dengan baik atau ikut retak seperti isi otak AemeL karena kecelakaan itu. Sebuah ponsel dalam kondisi mati dan dompet dengan isi uang tidak lebih dari lima ratus ribu rupiah dan dua kartu ATM. Kedua kartu itu Julia mengetahui PIN-nya dengan baik. Bukan itu saja, kata sandi Twitter dan Facebook AemeL juga ia tahu, karena dikasih tahu sama AemeL waktu hubungan mereka masih baik, apakah AemeL menggantinya atau tidak Julia tidak ingin mengetahuinya. Sekali lagi Julia menatap sahabatnya yang sekarang bukan saja sakit dan patah tungkai kaki kiri tapi mengalami lupa ingatan. Julia merasakan dadanya benar-benar sesak.
     Seorang suster masuk untuk memberikan obat diikuti seorang wanita yang bertugas menyediakan makan malam untuk pasien. Ia tidak peduli apakah nanti makanan itu akan dimakan atau tidak yang penting ia sudah menyediakan sesuai intruksi dari dokter yang merawat pasien.
     “Selamat malam.” Sapa suster pada Julia yang duduk di samping AemeL. “Saya akan memeriksa Pasien, Anda keluarganya?” ia melirik ke Julia sejenak.
     “Ya, silahkan.” Sahut Julia dingin.
     “O, ya. Anda diminta menemui bagian administrasi.” Kata suster sembari mengecek kondisi AemeL.
     “Tentu saja, tapi… apakah suster mau di sini sebentar saat saya keluar menemui bagian administrasi?” pinta Julia karena tidak ingin meninggalkan AemeL sendirian di ruangan itu.
~
     Di ruang administrasi Julia malah bertemu dengan dokter yang  tadi, apa dia tidak punya kerjaan  lain ya? Di ruang informasi ada, di ruang administrasi juga ada atau jangan-jangan sebenarnya dia itu bukan dokter. Pikir Julia mulai kesal.
     “Selamat malam.” Sapa Julia karena melihat ada petugas lain dalam ruangan itu.
     “Ya, selamat malam.. silahkan masuk.”
     Julia masuk tanpa mempedulikan pria yang duduk di sebelah petugas, sepertinya ia sedang asik menyimak sesuatu. Bukannya pria itu tidak tahu kalau Julia yang masuk tapi ia tidak mau ambil pusing seolah sedang mengerjakan hal yang penting.
     “Silahkan duduk.” Ucap petugas. Julia menarik kursi dan duduk di depannya. Petugas langsung ke pokok permasalahan. “Ini mengenai pasien yang bernama AemeL Baes, kamu adalah satu-satunya orang yang terdekatnya saat ini, apa kamu keluarganya? Atau kami bisa menghubungi keluarganya?”
     “Em.. kalau maksud suster mengenal biaya perawatan AemeL selama di sini, semuanya adalah tanggung jawab saya.” Sahut Julia yang sudah bisa membayangkan berapa besar biaya yang harus ia keluarkan. Karena tidak sekali dua kali ia berurusan dengan rumah sakit.
      Mendengar itu, dokter yang di sebelah sekilas menoleh seakan terhenyak tapi sebelum Julia menyadarinya ia sudah kembali dengan kesibukannya meski berguman dalam hati. ‘Mungkin penyebab sahabatnya itu kecelakaan adalah dia... makanya ia ingin bertanggung jawab.’
     “Oke.” Pegawai rumah sakit itu mengeluarkan kertas rincian biaya masuk AemeL . “Yang lainnya akan menyusul.” Lanjutnya. Julia sangat mengerti mengenai rincian biaya nginap semalam, obat, biaya dokter dan yang lainnya.
     “Terima kasih.” Kata Julia setelah mengecek kertas yang sudah ada ditangannya. “Apa saya harus membayar ini sekarang?” nadanya tidak mengundang rasa sombong sama sekali melainkan ingin serius bertanya.
     “Nanti saja, saat pasien akan keluar dari sini.” Jelas petugas administrasi itu dengan ramah.
     “Oke.. kalau begitu saya permisi dulu.” Kata Julia sambil memegang kertas print-out dari petugas administrasi lalu berlalu meninggalkan ruangan. Sekali lagi Julia merasakan perutnya mulai memanggil, sebelum kembali ke ruangan AemeL, Julia berbelok ke kantin untuk membelikan sesuatu. Di sana ia membeli beberapa buah, roti dan air mineral.
     Saat kembali menuju ruangan perawatan AemeL sosok dokter itu melintas di pikiran Julia tanpa bisa ia kendalikan membuatnya kesal.
     Ada yang harus ia katakan pada dokter muda itu, sebab jika AemeL sudah kembali ke rumah pasti ada rutinitas untuk kontrol dan kembali ke rumah sakit. Julia membuat perjanjian lisan pada sang dokter.




**











Ruang Hati yang Kosong
     Tempat yang didapat Julia berada di lantai tiga karena itu satu-satunya apartemen yang kosong. Dari taksi AemeL dibantu oleh sopir untuk duduk di kursi rodanya. Setelah itu tugas Julia mendorong kursi roda lalu masuk ke dalam lift, taklama kemudian tibalah mereka di lantai tiga pintu nomor tujuh. Sejenak AemeL mengamati ruangan sederhana itu. Sebuah ruang tamu yang bisa dibilang menyatu dengan dapur kecil.
     “Kamarnya cuma satu.” Ujar Julia memberitahu. AemeL mengambil tongkat lipatnya yang dijepit pada kursi roda dan bermaksud berdiri. “Tunggu.” Julia langsung menahannya. “Biar aku bantu.”
     “Tidak apa-apa, aku bisa.” Hela AemeL sambil berusaha berdiri dengan menurunkan kaki kanannya terlebih dahulu. Julia mengamatinya sejenak, susah payah AemeL untuk keluar dari kursi roda tapi tidak berhasil juga. “Sial” ia menggerutu dan Julia langsung memegang tubuhnya lalu mengangkatnya pelan.
     Julia dan AemeL sudah menempati sebuah apartemen sederhana, meski kaki AemeL belum bisa dikatakan sembuh tapi kepalanya sudah tidak sakit walau demikian tidak ada yang tahu kapan amnesianya  bisa hilang. AemeL menggunakan kursi roda untuk sementara, itu kata dokter. Barang-barang yang ada di tempat kos AemeL bisa dikatakan tidak ada yang dibawa ke apartemen oleh Julia. Sehingga tidak ada tanda-tanda kalau AemeL adalah seorang penulis. Motornya yang rusak masih di kantor polisi, Julia merasa belum waktunya untuk mengurus urusan motor, selanjutnya tas punggung AemeL beserta isinya disimpan oleh Julia dalam rak dan dikunci.
     “Hati-hati.” Ujar Julia. AemeL sudah berhasil berdiri tanpa berani meletakkan kaki kirinya pada lantai. Tongkat itu menjadi pengganti kaki kirinya. “Langsung istirahat di kamar saja ya.” Tambah Julia tanpa bermaksud menganggap AemeL seorang anak kecil yang harus dikasih tahu.
     “Terima kasih, Jul.” kata AemeL setelah ia duduk di atas tempat tidur. Julia menatap gadis itu, baru kali ini ia menyebut nama Julia meski hanya sepotong. Waktu di rumah sakit ia hanya memanggil dengan sebutan ‘Mbak’
     “Em, ya. Sama-sama.” Sahut Julia tidak ingin memperlihatkan reaksi yang berarti.
     “Kenapa saya harus tinggal di apartemen ini? Dan kamu… apa benar kamu adalah orang yang dikirim pak dokter untuk merawat saya? Memangnya saya tidak punya keluarga? Dan… mengenai semua biaya perawatan saya dibiayai oleh seseorang yang tidak ingin disebutkan namanya? Apakah pak dokter itu yang melakukan semuanya? Tapi untuk apa ia melakukannya? Apa mungkin yang menabrak saya itu masih ada hubungannya dengan pak dokter itu? Kalau semua identitas saya hilang mengapa kamu dan dokter itu tahu nama saya?”
     Mendengar pertanyaan yang menumpuk itu membuat Julia menarik napas dalam-dalam. “Saya sudah menjelaskan semuanya yang saya tahu dan saya tidak tahu banyak mengenai hal itu. Sudahlah, tidak usah berpikiran macam-macam, sejam lagi kamu harus minum obatmu kembali.”
     “Jul…?” panggil AemeL saat Julia ingin melangkah keluar dari kamar. Julia menoleh.
     “Apa?”
     “Aku…” AemeL ingin melontarkan lagi beberapa pertanyaan tapi langsung distop oleh Julia.
     “Sudahlah, istiharat saja. Saya harus mandi dulu.” Potong Julia. AemeL  hanya bisa menggangguk meski masih begitu banyak yang ingin ia tanyakan pada Julia.
     Di kamar mandi Julia menarik napas dalam-dalam, kini ia baru menyadari kalau punya bisnis di Palembang tapi hati kecilnya mengatakan, lupakan sejenak tentang hal itu karena kesembuhan AemeL lebih utama. ‘AemeL, maafkan aku karena tidak memberitahukan siapa aku yang sebernarnya, Tuhan.. ampuni segala salah dan dosa hambaMu ini.’ Guman Julia dengan segala kekuatan dan titik lemahnya.
     Beberapa saat kemudian Julia keluar dari kamar mandi, ia ke dapur untuk mengambil sesuatu yang telah ia siapkan sehari sebelum mengajak AemeL ke apartemen. Persediaan makanan di dalam lemari pendingin yang harus ia hangatkan untuk AemeL.
     Berikutnya ia ke kamar dengan bubur hangat dan ternyata AemeL tidak tidur, ie setia menunggu Julia selesai menyelesaikan mandinya.
     “Kamu kok lama sekali.” Ujarnya saat melihat Julia muncul seolah tidak ingin ditinggal lama-lama.
     “Sudah lama tidak bisa mandi dengan leluasa, makan yaaaa, abis itu minum obatmu.”
     “Apa kamu juga sudah makan?” tanya AemeL.
     “Gampanglah ya, yang penting kamu makan dulu karena harus minum obat.” Ia duduk di bibir ranjang dan saat itu AemeL bermaksud untuk duduk dan bersandar tapi saat ia menarik kakinya tiba-tiba tersangkut dengan ujung selimut menyebabkan pergelangan kakinya terasa ketarik membuat AemeL meringis.
     “Auw…”
     “Ae, kamu tidak apa-apa? Hati-hati.” Julia tidak bisa menyembunyikan  kekhawatirannya.
     AemeL menggeleng tapi dalam hati ia berusaha keras menahan rasa sakit yang luar biasa itu. ‘Ya Tuhan, mengapa kakiku harus patah?’ sesaat mata AemeL terpejam seakan rasa sakit itu sedang menusuk ulu hatinya. Julia menyimak gadis itu dengan seksama dan ia bisa membaca kalau AemeL sedang menahan rasa sakit, itu membuatnya merasa tidak tahan.
     “Ae…” ia memegang bahu AemeL. “Kamu tidak apa-apa?” ulangnya lagi dengan pelan. AemeL coba untuk tersenyum meski sangat berat.
     “Sini.” Ia meraih mangkuk makanan dari tangan Julia. “Biar aku makan sendiri.”
     “Yakin?”
     “Ya.”
     Julia membiarkan AemeL menikmati makanannya sedang ia keluar dari kamar menuju ruang depan yang sekaligus menjadi tempat serba guna. Peralatan dapur secara umum memang sudah disediakan oleh pihak penyewa apartemen, hanya kompor satu tungku, wajan, penggorengan dan ceret kecil untuk sekedar menyeduh air guna membuat teh atau kopi, tak ketinggalan sebuah mesin cuci ukuran kecil serta lemari pendingin. Sepertinya itu lebih dari lengkap.
     AemeL di kamar sedang menyimak bubur hangat dalam mangkuk, selera makannya sama besar dengan rasa sakit yang sedang ia alami. Beberapa saat saja ia sudah menyelesaikan makanannya kemudian meletakkan mangkuk di atas meja kecil di pinggir tempat tidur, ia melirik bungkusan obat dan segelas air putih dan belum berminat untuk meraihnya. Matanya menyimak ruangan tempat tidur yang mungkin tidak lebih besar dari empat kali empat meter persegi. Di bagian ujung dipan ada sebuah lemari pakaian berukuran sedang lalu di sampingnya ada kaca besar menempel di dinding, sebuah jam dinding kecil menunjukkan waktu pukul 19.21 WIB. Sebuah lampu bohlam menerangi ruangan itu dengan sinarnya yang lembut. Tidak ada televisi begitupun di ruang depan,  AemeL tidak melihat adanya layar kaca. Tempat itu benar-benar asing di mata AemeL, tidak ada satupun benda di ruangan itu yang pernah ia lihat sebelumnya. AemeL membenci kondisinya yang mengalami lupa ingatan.
     AemeL tidak menyadari kalau Julia sudah berdiri di pintu beberapa saat dan mengamatinya dari tadi, saat sadar ia jadi tersenyum dibalas Julia dengan senyum tipis.
     “Tidak ada yang bisa aku lakukan di sini.” Helanya seolah menganggap tempat itu tidak ubahnya seperti rumah sakit.
     “Ini memang tempat untuk kamu istirahat, minum obatnya ya sebentar lagi aku akan ke lantai dua untuk membeli sesuatu di bazaar.” Julia mengambil obat dan membukanya agar segera diminum oleh AemeL. AemeL mengamati Julia dengan penuh kecurigaan.
     “Kamu mau belanja di bazaar? Siapa lagi yang memberi uang untuk membiayai hidupku? Jul…. kamu bukan perawat yang khusus untuk menemani aku, kan? Dan tempat ini, sebenarnya punya siapa? Andai ada yang menyewanya, siapa yang membayar sewanya? Aku tidak mau makan lagi dari uang yang tidak aku tahu dari mana asalnya.” Kali ini nada AemeL terdengar mengancam.
     “Minumlah obat ini, kalau kamu sembuh semuanya akan terjawab. Aku mohon jangan lagi menyinggung masalah itu, yang harus kamu pikirkan sekarang adalah harus segera sembuh, tidak ada yang lain.” Hela Julia. Kali ini AemeL meraih obat dari tangan Julia dengan kasar lalu berkata.
     “Aku memang lupa ingatan Jul, tapi aku masih punya hati. Boleh saja aku tidak tahu siapa kamu, siapa pak dokter itu dan siapa yang telah mengeluarkan semua uang untukku? Sekarang aku mau bertanya sama kamu. Apa kamu kenal aku sebelumnya?”
     Julia terdiam, kali ini ia benar-benar tidak bisa langsung menjawab.
     ‘Kamu tahu Julia, saat ini kamu telah menjadi sosok asing bagiku. Untuk mengenali kamu seperti dulu aku merasa butuh waktu.’
     Isi pesan beberapa bulan lalu dari AemeL terngiang kembali di otak Julia dan akhirnya ia pun menggeleng dengan pasti.
     “Aku harus turun untuk belanja, pastikan obat itu kamu minum sebelum aku kembali.” Kata Julia akhirnya. Ia berbalik tanpa menunggu reaksi lagi dari AemeL. AemeL kini yang terdiam, ia menyadari tidak mungkin berasal dari keluarga kaya raya sehingga mampu membayar orang untuk merawatnya atau yang menabraknya berasal dari keluarga punya pengaruh dalam negeri ini sehingga rela melakukan apa saja agar ia tidak menuntut. Terpikir oleh nya untuk bertanya kepada pak dokter siapa dirinya dan siapa Julia, pasti akan ia tanyakan kalau bertemu nanti saat kontrol ke rumah sakit untuk melihat perkembangan kakinya. Sekali lagi AemeL memejamkan matanya, rasa sakit di kakinya kembali terasa membuatnya meraih gelas air putih lalu menenggak obatnya. Saat menyadari Julia pergi AemeL merasa sangat kesepian, bukan itu saja. Kini ia merasa takut sendirian.
     Di bazaar, Julia membeli semua hal yang disukai oleh AemeL, dari kopi kegemarannya, makanan kecil dan buah advocat kesukaannya. Tidak lebih dari tiga puluh menit Julia sudah kembali dari lantai dua, tapi Aemel telah tertidur dengan nyenyak karena pengaruh obat penenang dan penahan rasa sakit. Julia membereskan hasil belanjaannya dan tak lama kemudian seseorang mengetuk pintu depan. Julia melirik jam ditangannya. Pukul setengah sembilan malam, ia beranjak ke pintu setelah pintu terbuka pria itu sudah berdiri dengan gaya berbeda saat ada di rumah sakit.
     “Bagaimana kabarmu?”
     “Tidak lebih baik dari rumah sakit.” Sahut Julia berusaha jujur. Pria itu melihat bias kelelahan dari wajah Julia yang tidak bisa gadis itu sembunyikan.
     “Maaf, aku akan sedikit mengambil waktu istirahatmu.”
     “Masuklah.” Ujar Julia.
     Pria itu mengamati suasana ruangan. “Kamu suka tempat ini? Di mana AemeL?”
     “Dia sedang tidur.” Mereka sudah duduk di ruangan sederhana dengan dua sofa yang saling bersisian.
     “Apa kalian bertengkar?”
     “Sedikit, tapi jangan khawatir aku bisa menanganinya.” Tekan Julia tidak ingin membuat pria itu bingung.
     “Kamu harus menjaga kesehatanmu, AemeL akan sangat sedih kalau kamu juga jatuh sakit. Aku membawakan beberapa vitamin.” Kata pria itu sembari mengeluarkan beberapa vitamin yang harus dikonsumsi oleh Julia.  Kemudian sebuah ponsel. “Ini, untuk kamu. Hanya ada nomorku di dalamnya, kamu bisa menghubungi aku kapan saja, jangan pernah sungkan.”
     “Ya, terima kasih untuk semuanya. Tanpa bantuan Anda… saya tidak tahu apa yang terjadi dengan aku dan AemeL.”
     “Best friend.” Pria itu tersenyum membuat Julia ikut tersenyum simpul. “Minggu depan ia harus ke rumah sakit, untuk kontrol lagi kepala dan kakinya.”
     Julia mengangguk tanda setuju.
~

     Setiap hari Julia menemani AemeL bahkan setiap mata AemeL terbuka, sore itu mereka duduk di bangku  yang ada di Balkon menikmati suasan sore yang tidak bisa dibilang cerah. AemeL duduk di kursi rodanya tanpa menoleh pada Julia dan berkata.
     “Kenapa tidak ada televisi di apartemen ini?”
     “Untuk apa? Acara sekarang jarang ada yang bermutu, yang ada tentang para elit politik yang berdebat tidak jelas seperti anak kecil, para istri-istri koruptor yang digiring ke gedung KPK untuk menjadi saksi dengan senyum tidak tahu malu dengan menenteng tas-tas yang bermerek serta gadget mahal. Kalaupun ada berita artis paling-paling tentang sensasi mereka, sinetron-sinetron yang isinya anak sekolah dengan lokasi sekolah tapi selalu bicara pacar.” Kata Julia dengan nada sangat pelan membuat AemeL meliriknya sejenak. Sesaat ia takjub dengan penuturan Julia. Tapi pada intinya Julia tidak mau AemeL melihat seandainya ada orang atau penggemar AemeL yang tiba-tiba muncul di televisi menanyakan keberadaan AemeL yang menghilang karena kecelakaan. Kalau di Jejaring Sosial seperti di Twitter dan teman-teman Facebook sedang bertanya-tanya kemana AemeL karena mereka ingin mengomentari tentang novel baru yang AemeL rilis pada hari naas itu. Tapi AemeL tidak akan tahu kalau sudah banyak sekali komentar yang masuk tanpa AemeL buka satupun akunnya. Kalau ada yang bertanya ke pihak penerbit maka si Metha hanya menjawab kalau AemeL sedang istiharat atau berlibur beberapa minggu seperti yang AemeL jelaskan waktu itu. Jadi tidak ada yang bertanya lagi.
     “Apa kamu tidak bosan menemani aku?”
     “Tidak pernah.” Julia menatap AemeL sejenak.
    “Tapi aku tidak ingin merepotkanmu, kamu pasti punya kehidupan sendiri di luar sana yang harus kamu jalani tanpa harus terbelenggu di sini dengan seorang wanita amnesia, mungkin akan lebih baik andai saja aku langsung mati di jalanan waktu itu.”
     “Ae! Kamu tidak perlu bicara seperti itu.” Sergah Julia marah membuat AemeL menoleh pada wajah Julia tapi Julia malah melanjutkan kata-katanya. “Apa kamu tahu terkadang  apa yang aku pikirkan? Aku bahkan suka berkhayal menjadi orang yang lupa ingatan, lupa segala-galanya tentang masa lalu, tentang semua kesalahan dan tentang rasa sakit lalu hidup dengan pikiran yang berawal lagi dari nol tanpa mengenali siapa-siapa di dunia ini, lalu melakukan banyak hal yang positif. Mendapatkan teman baru dan semua serba baru.”
     Mendengar itu membuat AemeL terkekeh lembut. “Apa yang kamu katakan Jul? tidak ada orang di dunia ini ingin masalalunya hilang begitu saja apalagi saat-saat indah. Kamu tahu apa yang paling susah digapai di dunia ini? Yaitu masa lalu yang tidak akan mungkin lagi kita raih, sehebat apapun kita.” AemeL sedang berpikir keras untuk mengingat semua masa lalunya, berkali-kali ia menarik napas dalam-dalam tapi ia malah merasakan kepalanya sakit luar biasa. AemeL lalu beranjak dari kursi rodanya untuk belajar jalan namun kakinya kesandung dengan kusri rodanya sehingga terjerembab membuat Julia berteriak.
     “AemeL..!!!” Julia langsung turun dari kursinya untuk memegang AemeL tapi gadis itu sudah pingsan. Lagi-lagi Julia panik tanpa berpikir panjang lagi ia menghubungi nomor yang ada di ponsel barunya.
     Tidak sampai dua puluh menit AemeL sudah ada di ruang perawatan sudah tenang dengan obat yang diberikan oleh dokter. Pria itu sedang menatap Julia dan bertanya.
     “Bagaimana dia bisa jatuh? Kakinya menjadi agak terhambat untuk sembuh akibat jatuh itu.”
     “Kami sedang ngobrol setelah itu ia tiba-tiba beranjak dari kursi untuk berdiri saat itulah kakinya kesandung dengan injakan kursi roda. Aku.. aku mohon Anda periksa lagi kepalanya, tolong… aku tidak mau gara-gara benturan kecelakaan itu menyebabkan ada benjolan di dalam yang memungkinkan menimbulkan gejala kanker otak.”
     Pria itu tersenyum tipis ia tidak mengira jalan pikiran Julia bisa sejauh itu meski ia tidak memungkiri akan adanya hal semacam itu akan timbul. “Kamu tenang saja, tidak ada gejala seperti itu… akibat pingsan itu juga karena ia terlalu keras mengajak otaknya berpikir tentang masalalunya, ia hanya shock. Besok juga ia bisa pulang lagi kok. Apa kamu kelelahan menghadapi AemeL?”
     “Tidak.” Sahut Julia dengan sangat cepat membuat pria itu kembali tersenyum.
     “Oke, kalau begitu aku tinggal dulu.”
      Julia pun berbalik tak ingin memandang punggung pria itu, ia kembali ke ruangan AemeL tapi sampai di sana ia mendapati suhu badan AemeL panas dan sekali lagi ia panik dan langsung memencet tombol merah untuk memanggil suster jaga, detik berikutnya kembali ia menekan nomor yang ada di ponselnya.
     Hanya suster yang datang dan langsung memeriksa suhu badan AemeL. Julia mengamatinya dengan masih was-was yang tinggi. Menit berikutnya suster bicara pada Julia.
     “Dia tidak apa-apa, hanya saja karena pengaruh obat tadi… kamu tidak usah terlalu panik, ia sedang tidur kok.”  Jelas suster dengan tenang.
      “Ya, Sus.” Sahut Julia namun tetap saja ia panik.
     “Saya permisi dulu.. kalau ada apa-apa panggil saja saya.” Kata suster lagi dan Julia mengangguk meski ia agak kecewa pada dokter yang satu itu tidak datang bahkan tidak mengangkat teleponnya. Julia duduk di sisi AemeL dan memegang tangan AemeL.
     “Ae, mengapa bisa seperti ini? Kamu seharusnya sudah mendingan, seharusnya kamu lebih berhati-hati. Aku tidak bisa melihatmu terus-terusan seperti ini.” Suara Julia tertahan, tapi ia tidak tahu kalau seorang dokter sedang mengamatinya dari luar pintu melalui kaca kecil yang ada dibagian atas pintu. Setelah beberapa detik ia berdiri di tempat itu lalu kembali ke ruang kerjanya untuk melanjutkan tugas yang belum selesai ia kerjakan. Seorang dokter wanita menyimak sikap pria itu akhir-akhirnya ini agak berubah pendiam, meski penasaran ia tidak berani bertanya lebih jauh pada dokter yang dikenal plamboyan dengan kekayaan kedua orang tuanya itu. Bukan satu dua dokter wanita menaruh perhatian padanya tapi pria itu tak pernah memberi harapan, ia ramah dalam urusan pekerjaan dan punya tanggung jawab yang tinggi namun dingin dalam hal menghadapi wanita yang tidak begitu ia sukai.
     Tak lama berselang seorang suster masuk memberitahukan pada Julia kalau AemeL belum
bisa pulang besok.
     “Dokter Wowor mengatakan kalau pasien yang bernama AemeL belum bisa pulang besok karena kakinya belum bisa digerakan, tulangnya bergeser lagi.”
     “Oh, dokter Wowor? Maksudnya dokter ortopedi?”
     “Bukan, dokter Wowor mendapat laporan dari dokter bagian tulang. Dokter Wowor itu yang menangani pasien ini, ia dokter ahli penyakit dalam dan bagian kanker juga.” Jelas suster membuat Julia terdiam.
     ‘Wowor…’ gumannya dalam hati seolah baru menyadari kalau pria itu bernama Wowor karena selama ini tak pernah ada nama di baju dokternya. Julia kembali menatap AemeL yang ternyata belum bisa dibawa pulang besok. Setelah kepergian suster itu Julia duduk lagi, ia mengamati sosok AemeL yang tidak tahu dimana ia berada bahkan tidak tahu siapa dirinya. Julia menghela napas panjang lalu mengambil ponsel yang diberikan oleh Wowor. Diamatinya beberapa saat ponsel yang tidak bisa dibilang murahan itu meski hanya ada satu nomor kontak dengan nama ‘Aku’. Ponsel Julia sendiri sudah ia matikan sejak ia mengurus AemeL, detik berikutnya ia pun mematikan ponsel itu dan meletakkanya di bawah bantal AemeL.
     “Ae, kamu harus segera sembuh ya.. aku akan merawatmu sampai kapanpun.” Ia mengusap kening AemeL dengan lembut. “Aku tidak menyukai kota ini Ae, kalau kamu sembuh dan bisa ingat kembali aku baru bisa kembali ke Palembang. Aku tidak mau semua orang terlalu lama kehilangan kamu, meski aku senang berada di dekatmu tapi sungguh ini saat yang amat sangat menyedihkan karena kondisimu. Aku ingin kita jalan-jalan lagi seperti tahun-tahun kemarin, aku kangen kamu yang dulu, Ae.” Tanpa disadari mata Julia telah meneteskan air mata. Gadis yang jarang sekali menangis itu akhirnya luluh juga melihat kondisi AemeL, itu kedua kalinya ia menangis setelah AemeL mengalami kecelakaan.
     Ponsel sudah dimatikan, tapi dokter Wowor tetap tidak muncul-muncul juga. Julia merasa bersyukur karena ia pikir tidak ada gunanya juga memegang nomor pria itu. Sebagai seorang dokter ia mungkin sangat sibuk dan Julia tidak ingin mengganggunya meski ia menangani AemeL. Di sisi tempat tidur AemeL itulah Julia akhirnya tertidur karena kelelahan. Beberapa menit berikutnya AemeL terjaga dan melihat Julia masih tertidur dengan beralaskan satu tangan. AemeL coba menggapai kepalanya dengan usapan lembut.
     “Jul…. bangun….” Kata AemeL sembari berusaha mengangkat kepalanya dengan menyeret kedua kakinya ke arah depan agar ia bisa duduk dan bersandar di bantal. Julia membuka matanya dan mengangkat kepalanya lalu menemukan AemeL sudah dalam posisi setengah duduk.
     “Ae, kamu sudah baikan? Tadi kamu pingsan makanya aku bawa lagi ke sini.” Ujar Julia. AemeL pun  mengamati suasana ruangan dan ia menyadari kalau sedang berada di kamar rumah sakit dan ia langsung ingat kejadian jatuh dari kursi roda.
     “Em… aku minta maaf karena lagi-lagi merepotkanmu.” Ujar AemeL dengan penuh penyesalan karena kekuranghati-hatiannya.
     “Tidak apa-apa.. sekarang jangan banyak pikiran dulu ya.”
     AemeL malah tersenyum simpul seakan melupakan rasa sakit di kakinya. “Orang lupa ingatan mana bisa banyak pikiran, kamu ini ada-ada saja.” Sergahnya setengah bercanda.
     “Terserahlah, pokoknya jangan berpikiran macam-macam dulu, bagaimana dengan kakimu?” kedua gadis itu menatap ke arah kaki AemeL bersamaan. AemeL coba menggerakkan kakinya dengan cara dimiringkan kiri dan ke kanan.
     “Tidak apa-apa, hanya sakit sedikit saja.” Sahutnya meski tak bisa menyembunyikan kerutan di dahinya menahan rasa sakit. Julia tahu kalau yang namanya patah itu lebih sakit dari luka yang menganga.
     “Mungkin kita akan ada di rumah sakit paling sedikitnya dua hari untuk terapi kakimu biar benar-benar bisa pulang ke apartemen.” Kata Julia memastikan. AemeL tak membantah karena ia sudah pasrah Julia mau membuat dirinya seperti apa pun ia tidak akan menolak meski secara naluri ia masih ingin tahu siapa Julia itu sebenarnya yang rela tidak tidur dan melakukan apa saja untuknya, jika benar ia orang yang dibayar rasanya jarang menemukan orang yang tulus seperti itu.
     Dokter Wowor masuk setelah mengetuk pintu terlebih dahulu, Julia dan AemeL menoleh secara bersamaan, pria itu yang menegur terlebih dahulu.
     “Hei AemeL, kamu sudah bangun?” sapanya dengan ramah sama pada pasien-pasien yang lainnya, sebelum AemeL menjawab pria itu melirik ke Julia sekilas ia penasaraan mengapa ponsel gadis itu tidak bisa dihubungi.
     “Sudah Dok, em.. kapan saya bisa keluar dari tempat ini?” tanya AemeL. Jujur ia merasa serba salah, di apartemen ia bisa membuat Julia istirahat tapi kalau ia buru-buru pulang kakinya akan lama sembuh.
     Dokter Wowor sudah berdiri di sebelah AemeL. “Keputusannya ada pada dokter tulang.” Ia coba meraba tumit AemeL yang sudah diperbaiki balutannya dengan lebih kencang. AemeL diam saja padahal saat dokter mengangkat sedikit kakinya terasa ngilu sekali. Julia hanya menyimak apa yang dilakukan oleh pria itu sedang pria itu sekali-kali menoleh pada Julia dan itu tidak luput dari pengamatan AemeL sehingga menimbulkan pertanyaan di hatinya mengenai hubungan kedua insan itu. “Kepalamu gimana? Tidak ada rasa sakit, kan? Kalau ada tolong jangan disembunyikan, ada seseorang yang begitu mengkhawatirkan kondisi kepalamu.” Ujar pria itu dengan nada pemberitahuan dan membuat Julia mengalihkan pandangannya ke arah lain dan saat itu Wowor pun menatap ke Julia.
     “Mm.. Jul…?” sergah AemeL setengah memanggil. Julia menoleh. “Boleh aku bicara sebentar dengan pak dokter?” pintanya.
     “Tentu saja.” Sahut Julia setelah diam sejenak. “Aku ke kantin sebentar ya, saya titip AemeL pada Anda sebentar.” Julia pun beranjak setelah pria itu menggangguk. Ia berjalan keluar ruangan tanpa menoleh sekilas, ia percaya apa pun yang ditanyakan AemeL pada pria itu Julia tidak ragu karena ia sudah memberikan janji dan ia yakin pria itu akan memegang janjinya. Julia benar-benar ke kantin dan membelikan sesuatu yang dibutuhkan dalam ruangan saat menunggu AemeL.
     “Pak dokter,…” kata AemeL setelah pria itu duduk di kursi yang tadi ditempati oleh Julia. “Apakah Julia itu pacar atau istri pak dokter?” tanya AemeL sangat ingin tahu.
     Pria itu menggeleng. “Tidak, saya belum punya istri dan juga tidak punya pacar.” Sahut pria itu setengah bercanda membuat AemeL tertawa karena tidak percaya kalau pria sesempurna dia tidak punya pacar. “Kenapa kamu bertanya seperti itu? Apakah ia kasar dalam merawatmu?”
     “Saya tidak suka sama dia, saya ingin perawat yang lain, emm… sebelumnya maaf, bukannya saya tidak tahu diri.. sebenarnya saya ini tidak tahu siapa-siapa dan tidak kenal dengan siapapun, mungkin saya ini anak yatim piatu yang ditabrak oleh orang kaya dan coba memberikan sesuatu perawatan terbaik tapi sekali lagi apapun yang terjadi dengan saya, saya tidak suka dengan gadis yang bernama Julia itu.” Kata AemeL yang sebenarnya memancing dokter itu untuk mengatakan siapa Julia itu sebenarmya.
     “Tapi dia ingin sekali merawat kamu.”
     “Siapa sebenarnya dia? Dan mengapa ia ingin sekali merawat aku?”
     “Jika ingatan kamu kembali maka kamu akan tahu semuanya.”
     “Itu jawaban yang sama diberikan oleh Julia saat aku tanya siapa dia sebenarnya.” Rungut AemeL tidak puas. “Tapi satu yang aku tangkap dari sikap dokter dengan Julia, pak dokter mencintai dia, kan?” tebak AemeL membuat pria itu terperangah. Benarkah apa yang dikatakan AemeL barusan? Apakah AemeL sudah melihat bias-bias aneh itu? AemeL mengamati pria itu karena merasa tebakkannya mengenai sasaran. “Jika saya tahu kalau pak dokter dan Julia ternyata adalah suami istri maka saya tidak akan memaafkan kalian.”
     “AemeL, mengapa kamu berpikiran seperti itu..? sekarang kamu harus fokur dengan kakimu agar cepat sembuh, oke?” pria itu melirik jam tangannya, sudah lebih dari sepuluh menit Julia pergi. Terpikir olehnya untuk menelepon tapi dari tadi ponsel yang ia beri tidak aktif.
     “Kalau dokter mau pergi tidak apa-apa, sebentar lagi Julia juga pasti kembali.” AemeL tahu kegelisahan di wajah pria itu.
     “Tidak AemeL, aku tidak bisa pergi sebelum Julia kembali.” Kata dokter seakan punya tanggung jawab yang besar dan setidaknya ia tidak ingin mengecewakan Julia kalau sampai meninggalkan AemeL sendirian. Detik berikutnya Julia benar-benar muncul dengan menenteng belanjaan dalam  kantong kresek. “Oke, sampai ketemu lagi.” Kata pria itu setelah melihat Julia datang.
     “Terima kasih.” Sahut AemeL sembari mengangguk.
     “Terima kasih ya, sudah jaga AemeL.” Kata Julia sebelum pria itu menghilang dari pintu.
     Wowor menatap Julia sejenak setelah Julia tidak lagi menghiraukannya, pengakuan AemeL mengatakan tidak menyukai Julia membuat pria itu tidak rela Julia merawat AemeL. Jika saja bukan karena janji itu sudah ia larang keras Julia merawatnya.
     AemeL tidak bicara apapun saat Julia kembali dan mengeluarkan isi kantong belanjaannya. Julia menoleh sekilas pada gadis itu.
     “Akan aku buatkan kopi, semoga kamu suka.” Ujarnya sambil mengeluarkan dua bungkus kopi instan lalu meraih gelas untuk mengambil air panas dari freezer. Detik berikutnya ia mengaduk isi gelas sehingga menimbulkan aroma nikmat kopi sejati membuat AemeL membiarkan udara itu masuk ke dalam napasnya, sepertinya ia menyukai aroma itu. “Ini untukmu, rasanya sama dengan kopi kegemaranku, semoga kamu suka.” Ujar Julia. Ia membelikan kopi yang paling digemari oleh AemeL. Sebelum lupa ingatan AemeL bisa menghabiskan dua sampai tiga gelas kopi seperti itu dalam sehari.
     “Terima kasih.” Sahut AemeL. “Semoga saja sesuai dengan seleraku. Pak dokter sudah cerita banyak hal padaku..” lanjut AemeL.
     “Tentang apa?” tanya Julia dengan cepat karena saking penasarannya.
     “Tapi tidak ada yang penting. Julia….. apakah pak dokter itu………? Ah, sudahlah.” AemeL tidak melanjutkan kata-katanya yang bermaksud menanyakan apakah dokter itu suaminya Julia.
     “Apa?” tanya Julia masih penasaran.
     “Selama bersamaku, kamu belum pernah pulang, mengapa?”
     “Aku akan pulang kalau kamu sudah sembuh, aku pernah bilang seperti itu, kan?”
     “Oh, ya. Aku baru ingat. Maaf.”
     Julia mengambil gelas kopi untuk AemeL agar gadis itu mencicipinya dan diterima AemeL dengan senang hati. Ia coba menikmati kopi spesial yang dibuat oleh Julia. Sesaat ia terlihat sangat menikmatinya, Julia menyimaknya. Cara AemeL menikmati kopi tidak pernah berubah.
     “Apa yang kalian bicarakan tadi?” Julia masih saja ingin tahu apa yang ditanyakan AemeL pada dokter tadi.
     “Sudah aku katakan tidak ada yang penting…” AemeL menatap Julia dengan seksama. “Yang aku tahu pak dokter mencintai kamu, hanya itu. Terlepas apakah dia suami kamu atau pacar aku tidak tahu.” Nada suara AemeL masih menyelidiki.
     “Apa…?” Julia nyaris saja tersedak saat meneguk kopinya.
     Sementara di ruangan lain Wowor sedang menatap layar ponselnya, pesan yang ia kirim ke nomor Julia belum ada laporan terkirim membuatnya menarik napas dalam-dalam, sejak itu ia jarang datang ke ruangan AemeL.
     Keesokan paginya, AemeL menjalani terapi berjalan di ruagan terapi didampingi dokter ortopedi dan Julia setia menemaninya. Setelah makan siang terapi itu diulang lagi dan sebelum istirahat tidur terapi yang ketiga. Dokter mempercayakan Julia memegang tangan AemeL sedang yang satunya memegang besi yang sudah disediakan kiri dan kanan untuk pegangan pasien.
     AemeL melirik Julia. “Biar aku coba sendiri, siapa tahu bisa.” Pintanya untuk berjalan sendiri. Julia melirik dokter yang mendampingi dan diperbolehkan dengan anggukan kepala. Julia pun melepas tangan AemeL dan gadis itu memegang pagar besi yang memanjang di sini kiri kanannya. AemeL memegang kedua batang besi itu dengan erat dan kaki kirinya ia letakkan dengan pasti di atas lantai lalu coba berjalan. Selangkah dua langkah dan selanjutnya ia seperti memaksakan sehingga secara refleks kaki kirinya terangkat karena rasa sakit yang luar biasa, sehingga ia pun terduduk di lantai. Julia buru-buru menghampiri AemeL yang tidak bergerak di lantai dengan meringis, ia nyaris saja menangis.
     “Ae, jangan dipaksakan, nanti malah makin parah.” Kata Julia dengan nada cemas.
     “Pergilah Julia, pergi! Tinggalkan aku!” kata AemeL dengan nada tinggi, ia kecewa dengan kakinya dan marah pada diri sendiri sehingga amarahnya tertumpah pada Julia. Dari sisi lain Wowor menyaksikan Julia sedang diusir oleh AemeL.
     Dokter mendekati pasienya. “Cukup untuk hari ini, sudah saatnya istirahat. Besok kita lanjutkan, kasus seperti ini tidak bisa dipaksakan, patah tulang akan sembuh dengan berjalannya waktu, percayalah.” Kata dokter dengan bijaksana. Ia membantu Julia membangunkan tubuh AemeL dari lantai.
     “Itu benar Ae.” Tambah Julia. AemeL menatap Julia sejenak, haruskah ia percaya dengan kata-kata Julia yang ia yakini tidak jujur padanya!?
~

     Saat pulang dari rumah sakit Julia tidak melihat batang hidung Wowor, ia yakin pria itu tahu kalau AemeL pulang hari itu karena dia adalah salah satu dokter yang menangani AemeL. Entah mengapa Julia ingin sekali pria itu ada saat itu meski sekedar melepas kepulangannya bersama AemeL ke apartemen. Sebelum naik ke lantai tiga AemeL minta mampir ke bazaar untuk membeli sesuatu.
     “Jul, kamu punya uang?” tanyanya dengan penuh harapan. Julia mengangguk dan berharap gadis itu mengatakan minta dibelikan sesuatu hal yang sangat ingin dinikmatinya.
     “Aku minta dibelikan sebuah buku tulis dan ballpoint, tolong ya..”
     “Untuk apa?” tanya Julia agak bingung.
     “Ya, sekedar mengisi waktu luang.”
     “O, baiklah. Tunggu di sini.” Kata Julia meninggalkan AemeL di atas kursi rodanya sementara ia menghampiri tempat alat tulis. Julia memilih sebuah buku sebentuk diary dan ballpoint dengan tinta emas. Dari kursi rodanya AemeL mengamati Julia, ia berpikir apakah pak dokter itu mengatakan kalau ia tidak suka dengan Julia? Kalau ya tapi mengapa gadis itu masih saja seperti kemarin-kemarin. AemeL menghela napas berat.
     “Terima kasih banyak.” Ujar AemeL setelah menerima alat tulis dari tangan Julia. “Ini buku dan ballpoint istimewa. Sekali lagi terima kasih.”
      “Sama-sama.” Balas Julia sembari mendorong kursi roda AemeL.
     “Jul, apa pak dokter mengatakan sesuatu hal sama kamu sebelum kita pulang?”
     “Tidak.” Jangankan mengatakan sesuatu, bertemu saja tidak. Lanjut Julia dalam hati. Sebuah ponsel yang masih dalam kondisi mati tersimpan di kantong celana Julia.
     Malam tiba, Julia menyalakan ponselnya karena penasaran apakah ada panggilan masuk atau pesan dari Wowor. Ternyata ada dua kali panggilan masuk dan satu pesan.
     ‘Julia, kalau kamu tidak kuat merawat AemeL, bicarlah padaku. Aku mohon.’
     Julia mengernyitkan alisnya. ‘Urusan apa dia bicara seperti itu?’ setelah memastikan cuma ada satu pesan kembali Julia mematikan ponselnya tanpa membalas pesan.
     “Kamu punya hape?” tanya AemeL saat melihat Julia meletakkan ponselnya di atas rak piring.
     Julia melirik AemeL. “Ya.”
     “Boleh aku pinjam? Mmm.. tapi siapa yang akan aku hubungi ya. Yah, tidak jadi deh.” AemeL membatalkan niatnya. “Apakah selama ini aku punya benda seperti itu? Kalau iya, pasti ada orang yang menghubungi aku, kasihan sekali kalau ada orang yang menghubungi aku dan tidak tahu kabarku. Jul… apa aku punya pacar? Ya Tuhan… kamu kan sudah memberitahu aku kalau kamu tidak kenal dengan aku, kalau pun aku punya pacar kamu pasti tidak kenal dengannya.” AemeL tersenyum seakan mentertawakan dirinya sendiri. “Atau… jangan-jangan aku sudah punya suami?” AemeL kembali berpikir keras untuk mengembalikan ingatannya mengenai masa lalunya. Julia menghampiri AemeL dan jongkok di depan kursi roda serta memegang kedua sandaran tangan kursi.
     “Sebelum dompetmu dicuri orang di rumah sakit, dokter sempat melihat KTP kamu, kamu masih single Ae.”
     Lagi-lagi AemeL tersenyum. “Ya, ya… syukurlah, berarti tidak ada yang menunggu aku di rumah.” AemeL memutar kursi rodanya kebelakang membuat Julia melepaskan tangannya. “Aku ingin istirahat.. selamat malam Julia.” Helanya dengan nada tidak bersahabat.
     “Selamat malam.” Julia bangun untuk membantu AemeL naik ke atas tempat tidur.
     “Aku bisa sendiri.” Selalu saja  kata-kata seperti itu yang keluar setiap kali Julia ingin membantunya. Keras kepalanya tidak pernah berubah. Pikir Julia.
     Julia berjalan ke arah dapur, ia mencuci  gelas kotor, sebentar saja sudah terdengar suara gelas jatuh dan pecah. Bukan sekali itu saja, kemarin-kemarin AemeL mendengar suara piring pecah. Tapi saat gelas pecah terdengar suara Julia yang meringis seperti orang kesakitan. Jempol tangan kiri Julia tergores ujung gelas dan mengeluarkan darah segar.
     “Julia…… kamu tidak apa-apa?” suara AemeL dari kamar.
     “Tidak apa-apa, kamu istirahat saja.” Sahut Julia sambil menekan darah yang terus keluar dari jempolnya. Julia meraih kotak P3K yang ada di sebelah rak piring. Dengan cepat ia meraih benda itu dan mengeluarkan isinya sebelum AemeL tahu tangannya berdarah. Julia mengambil betadine serta secarik kain kassa, dengan sangat lincah ia meneteskan obat cair itu lalu menutup lukannya dengan kain kassa lalu membalutnya, terakhir merekatkan plaster. Semua itu tidak lepas dari pengamatan AemeL yang bisa melihat dapur dari kamar tidur. Kejadian itu membuat dirinya sedikit yakin kalau Julia memang seorang perawat, bukan ahli dapur yang biasa mencuci piring kotor. Mungkin gadis itu sangat membenci pekerjaan mencuci di dapur. Pikir AemeL.
     Setelah kejadian itu, AemeL tidak pernah membiarkan lagi Julia mencuci gelas atau apa
pun yang kotor di dapur. Ia bisa melakukannya dari atas kursi roda.
~

     Wowor ingin sekali bertemu dengan Julia bahkan setiap saat, di ruang kerjanya ia kelihatan gelisah. Ia sendiri tidak tahu mengapa wanita yang satu itu bisa membuat pikirannya bercabang dari pekerjaan. Wowor selalu serius dengan pekerjaannya, masalah kekayaan orang tua bukan jadi andalannya karena menjadi dokter adalah keinginannya sejak kecil. Dokter wanita menegurnya karena mengamati kegelisahan Wowor akhir-akhir ini.
     “Selamat malam, Dok. Ada tugas malam?” sapanya sekedar ingin berbincang dengan Wowor. Wowor melirik wanita itu sejenak.
     “Ya, sebentar lagi ada operasi.” Jawab Wowor seadanya.
     “Sepertinya berat, atau jangan-jangan Dokter sedang memikirkan hal lain?” ia mulai masuk wilayah pribadi Wowor. Wanita itu duduk di kursinya sebelah meja Wowor.
     “Tidak juga, Dokter sendiri mengapa belum pulang?”
     “Sebentar lagi, mau istirahat juga. Tadinya saya kira Dokter sudah mau pulang, saya pikir bisa sekalian bareng.” Wanita itu mulai membuka peluang. Wowor hanya bisa senyum dan ia tidak menjanjikan apa pun pada dokter itu. Dulu saja ia tidak bisa menjanjikan apa pun pada wanita apalagi sekarang hatinya seolah sudah ada pada Julia. Wowor menatap ponselnya, sejak ia menitipkan nomor pada Julia ia sering berharap Julia menghubunginya.
     Setelah menyelesaikan operasi sekitar tiga jam Wowor bukannya pulang tapi datang ke apartemen tempat Julia dan AemeL tinggal untuk beberapa hari ini. Saat ia datang ke apartemen Julia sedang menutup kaca jendela karena sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Julia kaget melihat kemunculan Wowor saat menjelang tengah malam. Julia melirik ke arah kamar di mana AemeL sudah ada di sana sejak sejam yang lalu. Ia pasti sudah tidur pikirnya, jadi tidak enak mengajak pria itu masuk. Julia membuka pintu sebelum Wowor mengetuk, ia mengamati pria yang mengenakan kemeja lengan panjang itu.
     “Ada apa?” ia langsung bertanya.
     “Boleh aku masuk?”
     “Tapi, AemeL sudah tidur.”
     “Aku ingin bicara dengan kamu, Jul. sebentar saja.” Pintanya.
     Julia masih menimbang-nimbang, kalau ia mengajak pria itu masuk ia tidak mau salah tingkah tapi tidak etis juga bicara di depan pintu karena ia percaya pria itu tidak akan macam-macam. “Silahkan.”
     “Terima kasih.” Pria itu merasa sangat lega setelah Julia mengizinkannya masuk.
     “Apa hape-mu hilang?” tanya pria itu sembari duduk.
     “Mhm… maaf, aku lupa men-charg-nya, dan tidak tahu charger-nya ada di mana.” Sahut Julia coba tenang., ia tidak mau pria itu tahu titik lemahnya karena ia paling benci jika seorang pria mengetahui titik lemahnya.
     “O…”
     Sedang di kamar, AemeL samar-samar mendengar suara orang sedang berbincang tapi matanya tak bisa diajak kompromi lantaran pengaruh obat istirahat masih menguasainya.
     “Mm.. kamu, maksudku… keluargamu tidak mencarimu? Kalau kamu mau pulang, aku bisa minta orang lain menjaga AemeL sehari dan kamu bisa kembali lagi ke sini.”
     “Tidak.” Sahut Julia setelah duduk di kursi satunya. Julia sangat yakin kalau anak buah dan keluarganya sedang mencarinya apalagi ia tidak bisa dihubungi.
     “M.. rumah kamu di mana?”
     “Palembang.” Oh! Sial! Julia keceplosan, sedikitpun tidak ada maksudnya untuk memberitahukan kalau dia tinggal di Palembang.
     “Palembang? Jadi…….. waktu aku menunggu kamu selama kurang lebih enam jam itu kamu datang dari Palembang? Ya Tuhan… pantas saja lama. Aku minta maaf.” Ujar Wowor karena sudah menghakimi Julia datang terlambat. “Tapi…. kamu dan AemeL bisa fasih sekali menggunakan bahasa Jakarta.”
     Julia merasa tidak perlu menjelaskan apa pun lagi pada pria itu, cukup itu saja, itupun karena keceplosan. “Mm.. sebenarnya, kamu ke sini mau bicara apa?” Julia coba membatasi waktu Wowor.
     “Kamu waktu itu mengatakan kalau AemeL adalah temanmu dari SMA, ternyata kamu dari Palembang dan pastinya AemeL juga dari sana.”
     “Em…” Julia melirik ke arah pintu kamar khawatir AemeL terbangun. “Kamu tidak bicara apa-apa kan sama AemeL?”
     “Lupakan masalah itu, aku ke sini ingin bilang satu hal ke kamu. Aku.., aku suka sama kamu dari sejak pertama melihat kamu berdiri di depan ruang informasi, setiap hari perasaan itu bertambah dan terus bertambah dan aku rasa aku jatuh cinta sama kamu, andai kamu sudah menikah atau sudah punya kekasih, aku minta maaf.” Kata Wowor dengan jujur dan nada yang sangat menyakinkan. Matanya tidak lepas menatap Julia tapi Julia tidak mau meleleh pada pria yang baru ia kenal beberapa minggu ini. Mungkin pria itu pernah mengatakan hal yang sama pada setiap dokter muda yang masih single di tempatnya bekerja? Membayangkan hal itu membuat Julia tersenyum tipis.
     “Maaf, mau minum apa?”
     “Tidak Jul, terima kasih. Aku harus pulang karena sudah terlalu malam.” Wowor tidak peduli Julia mau menjawab atau tidak dengan pernyataannya tadi tapi ia lega karena sudah mengatakan semua isi hatinya.
     AemeL benar-benar sudah terjaga sesaat sebelum Wowor pamit pulang.
     “Ya…”
     “Pegang ini.” Kali ini Wowor meletakkan BB-nya di atas meja. “Siapa tahu ada keperluan mendadak.” Ujar pria itu sangat memohon.
     “Tidak, tolong bawa lagi BB-nya.” Julia merasa sangat tidak enak. Kalau  mau ia bisa menyalakan BB-nya sendiri tapi ia tidak mau ada teman atau keluarga yang menghubunginya
sebelum AemeL sembuh.
     “Aku mohon, anggap saja ini permintaan terakhirku. Aku pamit dulu, ya.” Wowor beranjak. “Semoga AemeL lekas sembuh.” Tambahnya.
     Julia menarik napas dalam-dalam, ia tidak bisa memaksa Wowor membawa lagi BB itu, beberapa saat saja terdengar ada BBM masuk dan Julia tidak mempedulikannya sama sekali, BB itu tergeletak saja di atas meja hingga subuh menjelang.
     Sebelum Julia bangun AemeL sudah bangun, sejenak ia menyimak Julia yang masih terlelap. AemeL mengambil buku dan ballpoint-nya. Lalu mulai menulis.

Tinta emas,
Aku benar-benar tidak mengerti apa yang sedang terjadi di tempat ini dan pada diriku? Dan Julia, siapa pun dia… apakah dia seorang musuh, teman atau saudara.. aku tidak peduli. Apakah saat ini aku benar-benar membutuhkannya? Entahlah! Tapi siapa pun dia, aku ingin sekali menjadi temannya.

     AemeL menutup bukunya dan kembali meletakkan buku itu di bawah tempat tidurnya. Setelah melirik ke Julia sejenak ia bangkit dan berusaha jalan dengan menggunakan kedua tongkatnya untuk menuju ruang dapur. Di sana ia coba membuat kopi, semua sudah tersedia di tempatnya… apa pun yang diinginkan AemeL. Kopi yang ia sukai, bahkan kamar mandi yang airnya sudah tersedia di bak mandi tanpa AemeL harus capek-capek menyalakan kran. Sejenak AemeL menghela napas, terngiang kembali saat dokter itu pamit semalam, ia merasa yakin kalau pria itu ada hubungan khusus dengan Julia.
     AemeL menghirup kopi hangatnya sedang satu gelas lagi ia letakkan di atas meja untuk Julia. AemeL mulai berpikir lagi. Ia bisa menyimak semua hal yang ada pada Julia, dari jari, wajah hingga ujung kakinya ia terlihat seperti orang kaya, atau setidaknya bukan orang susah, mungkin seorang pengusaha muda.
    ‘Ya Tuhan, aku tidak bisa terus-terusan seperti ini, Julia mungkin tidak akan meninggalkanku sebelum aku sembuh tapi sampai kapan aku bisa ingat semuanya? Aku tidak ingin merusak hubungan pak dokter dengan Julia.’
      AemeL melirik kaki kirinya, sekali lagi ia mengesalkan kenapa kakinya harus patah hingga menyusahkan dirinya bahkan orang lain. AemeL mengesap lagi kopinya hingga tinggal separuh. Saat itu terdengar Julia keluar dari kamar dan mencari-cari keberadaan AemeL.
     “Ae, Ae…. Kamu di mana?” ia mengkhawatirkan AemeL.
     AemeL melirik ke pintu, Julia sudah berdiri di sana sambil mengucek-ngucek matanya yang masih mengantuk. “Tidak usah bersikap seperti itu, aku tidak suka.” Sahut AemeL tidak sehangat kopinya.
     “Apa maksud kamu?” Julia sudah berdiri di dekat kursi AemeL.
     “Sudahlah Jul, aku sudah muak dengan semua ini.” Sekilas AemeL melirik sebuah BB ada di atas meja yang sama sekali belum disentuh oleh Julia. AemeL meraih tongkatnya. “Aku tidak suka sandiwara ini.. kamu dan pak dokter, siapa kalian sebenarnya? Kalian orang kaya? Yang bisa membeli semua keperluanku, dari baju… perlengkapan serta tempat ini. Kalian berdua pasti bukan orang yang berpura-pura baik padaku. Jika aku hanya pasien lupa ingatan dan patah tulang, aku rasa ada ratusan pasien yang bernasib sama denganku tapi mengapa hanya aku yang kalian istimewakan? Kenapa?” emosi AemeL sudah mulai memuncak di pagi buta itu.
     “Duduklah Ae.” Pinta Julia mulai khawatir.
     “Tidak, aku tidak bisa seperti ini tanpa penjelasan.”
     “Bagaimana aku menjelaskannya sedangkan kamu masih lupa ingatan.”
     “Sekali lagi aku beritahu ya, Jul. aku memang amnesia tapi masih punya hati yang bisa melihat dan mendengar semua yang ada di depan mataku sekarang ini. Apa susahnya kamu menjelaskan semuanya! Bagaimana jika aku tidak akan pernah ingat? Apa aku ini seorang musuh yang tak termaafkan? Atau sebaliknya?!”
     “Hentikan AemeL! Hentikan! Apa kamu sudah ingat semuanya dan berpura-pura masih amnesia dan berharap aku jujur? Katakan! Akan aku katakan semuanya, semua yang ingin kamu dengar? Oke!” sergah Julia tak kalah emosi. Kedua gadis itu saling tatap beberapa saat seolah tidak tahu apa yang harus dikatakan lagi, namun gemuruh amarah di dada sama-sama membara. Detik berikutnya AemeL berjalan keluar dengan tongkat, Julia melihatnya dengan masih terdiam seolah tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Tanpa ia sadari AemeL sudah keluar dari apartemen sementara Julia masih mematung di tempatnya.
     Di luar, AemeL bertemu dengan satpam lalu bertanya. “Pak…?”
     “Ya, Neng?”
     “Apa Bapak pernah melihat saya sebelumnya? Maksud saya,  sebelum saya tinggal di tempat ini?”
     “Tidak Neng, memangnya kenapa? Neng mau kemana?”
     “O, tidak kenapa-napa. Saya hanya ingin mengirup udara pagi, terima kasih ya, Pak.”
     “Ya, hati-hati dan jangan jauh-jauh.” Nasihat pria paruh baya itu lalu ia kembali ke tugasnya tanpa melihat lagi kemana AemeL pergi.
     Di dalam apartemen Julia masih bingung memikirkan apakah AemeL sudah ingat  semuanya atau belum? Terbayang dengan jelas kemarahan di wajah AemeL tadi. Julia buru-buru bergerak dari tempatnya seolah tersadar kalau AemeL masih dalam kondisi sakit. Julia berlari keluar tapi tidak menemukan AemeL, ia ke ujung jalan tapi tetap tidak mendapatkan AemeL. Akhirnya ia kembali lagi dengan kecemasan yang tinggi membuat pak satpam menegurnya.
     “Ada apa, Neng?”
     “M.. m.. anu Pak, lihat seorang wanita lewat dengan menggunakan tongkat?”
     “O, ya ya… tadi dia lewat sini. Katanya mau menghirup udara pagi.”
     “Bapak lihat dia jalan ke mana?”
     “Nggak tuh, soalnya tadi saya lagi ada urusan. Ya paling-paling nanti juga balik lagi.” Pikir pria itu karena orang jalan pincang tidak akan pergi jauh.
     Mengingat kemarahan AemeL membuat Julia yakin kalau gadis itu tidak akan kembali lagi. Mungkin ia sudah ingat semuanya. Julia kembali ke apartemen setelah pamit pada Pak satpam, karena kalau AemeL sudah ingat semuanya ia pasti akan mengunjungi tempat kosnya. Julia menggantikan bajunya untuk menyusul AemeL ke sana dan tak lupa mengantongi BB Wowor.
     Beberapa saat kemudian Julia sudah tiba di tempat kos AemeL selama ini, kenangan yang pernah ia lalui di tempat itu langsung menyeruak di benaknya kala melihat pintu kayu itu. Nyaris setiap ke Jakarta ia mampir di sana dan menginap bahkan beberapa hari lalu kembali ke Palembang dengan belanjaan banyak sekali buat isi tokonya. Julia menghela napas panjang, terpikir sejenak ia akan nasib tokonya selama ia tinggalkan tapi keberadaan AemeL yang belum jelas membuyarkan semuanya. pintu kayu yang diplitur itu masih tertutup sangat rapat dan tidak ada tanda-tanda orang datang ke tempat itu. Seorang ibu muda menyapa Julia yang kebetulan sudah pernah bertemu dengan Julia beberapa kali.
     “Julia…. Kamu? AemeL sudah beberapa hari tidak pulang, ada yang bilang ia keluar kota. Memangnya kamu tidak tahu?” ia terlihat heran melihat kemunculan Julia ke tempat itu dengan tangan kosong.
     “Em, ya Bu. Saya sedang menunggunya mungkin sebentar lagi ia pulang.” Kata Julia yang hampir saja tidak bisa bicara. Karena wanita itu tidak melihat kemunculan AemeL berarti AemeL tidak pernah muncul di tempat itu. ‘Ya Tuhan ke mana AemeL, lindungi dia Tuhan.’ Bisik Julia dalam hati dengan napas yang nyaris saja sesak.
     “O, ya sudah. Ibu ke belakang dulu ya. Kalau ada keperluan apa-apa, panggil saya saja.” Kata wanita itu akhirnya.
     “Ya, terima kasih, Bu.” Setelah wanita itu menghilang Julia pun buru-buru meninggalkan tempat itu. Di jalan ia coba menghubungi Wowor, karena jika ingatan AemeL sudah pulih ada kemungkinan ia mencari Wowor di rumah sakit untuk minta penjelasan.
     Julia memeriksa nomor yang masuk dan benar ada nomor atas nama aku mengirim pesan, mungkin semalam Julia tidak berniat memeriksa jam berapa pesan itu masuk, dan beberapa BBM yang sama sekali tidak ia buka. Ia memanggil dari nomor pesan yang berisi dua kata, ‘ini aku.’ Sekali Julia panggil tidak diangkat, dua kali, tiga kali bahkan hingga tujuh kali tetap tidak diangkat sementara nomor yang dihubungi sedang tidak sibuk. Julia mulai kehilangan akal sehatnya, sekali lagi ia menatap layar BB itu dan detik berikutnya ia melemparkan benda itu ke jalanan hingga hancur berkeping-keping. ‘Sudah kuduga tidak ada perlunya kamu menitipkan benda seperti ini padaku.’ Gerutu Julia. Orang-orang yang melihat sikap Julia mengira ia sedang bertengkar dengan pacarnya atau telah diputuskan cerai oleh suaminya hanya lewat telepon sehingga membuatnya emosi seperti itu. Sedangkan Julia sama sekali tidak peduli dengan semua pandangan orang di jalan. Ia menyetop taksi.
     Di rumah sakit, Wowor baru saja keluar dari ruang operasi, seorang dokter wanita menyapanya.
     “Bagaimana operasinya Dok, lancar?”
     “Ya, Begitulah. Dari subuh baru selesai jam segini.” Ia melirik arlojinya yang sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Lalu ia mengeluarkan BB dari dalam kantong celananya. Melihat BB yang dipegang pria itu berbeda dari yang kemarin membuat wanita itu bertanya lagi.
     “Baru, Dok? Yang kemarin dikemanain?” ‘pantes saja BBM-ku tidak dibaca.’ Guman wanita itu dalam hati.
     “O, ada. tapi lagi pake yang ini.” Sahut Wowor apa adanya. “Maaf aku ke kantor dulu ya.” Wowor menghindari wanita yang selalu ingin tahu urusannya. Wanita itu hanya bisa mendengus kesal. Wowor memeriksa ada tujuh panggilan dari Julia, karena khawatir ia langsung menelepon balik, tapi nomor itu sudah tidak akitf. Wowor ke ruangannya untuk menggantikan baju seragamnya setelah itu ia keluar dengan maksud mendatangi apartemen karena perasaannya sedang tidak enak.
     Di lorong rumah sakit langkah Wowor terhenti karena melihat Julia sedang berjalan ke arahnya, saat itu juga ia berlari mendekati Julia.
     “Julia.” Ujarnya khawatir saat melihat wajah Julia yang tidak kalah cemas bercampur emosi. “Barusan aku menghubungi kamu tapi nomornya tidak aktif. Ada apa? Kamu tidak apa-apa? Dan AemeL?”
     “BB Anda sudah aku buang, buat apa kalau Anda juga tidak bisa dihubungi.” Gerutu Julia dengan nada kesal bercampur cemas.
     “Jul, tadi nomorku sedang aku silent karena ada kerjaan.” Kata Wowor masih cemas.
     “Sudahlah, aku ke sini mencari AemeL.”
     “Mencari AemeL? Memangnya AemeL kenapa?”
     “Dia pergi dari apartemen.”
     “Apa? Kalian bertengkar lagi?”
     “AemeL ke sini tidak?!” suara Julia mulai meninggi.
     “Aku tidak melihatnya.” Sahut Wowor dengan jujur.
     “Ya Tuhan… kemana dia?” Julia mulai putus asa.
     “Kita akan mencarinya.” Kata Wowor dengan cepat.
     “Mencari ke   mana?” Julia seakan bertanya pada diri sendiri. Dokter wanita yang menaruh perhatian pada Wowor melirik ke arah kedua insan itu. Sepertinya ia akan berhenti berharap cinta dari Wowor.
     “Apa ingatannya sudah pulih?” tanya Wowor.
     “Aku tidak tahu.” Julia mulai berjalan diikuti Wowor.
     “Apa yang ia bicarakan saat terakhir kali kalian bersama?”
     “Ia mengatakan sudah muak, lalu pergi.” Sahut Julia tidak bisa bicara panjang lebar. Wowor sedang membayangkan kalau kedua gadis itu telah bertengkar hebat.
     “Kita pasti akan menemukannya, dengan kondisinya seperti itu ia tidak akan bisa pergi jauh. Ia tidak membawa kartu ATM-nya, kan? Tentu saja, karena aku yakin ingatannya belum pulih.” Wowor meraih tangan Julia dan membawa gadis itu ke tempat parkir menuju mobilnya. Julia yang merasa sudah putus asa ikut saja dengan Wowor.
~

     Di tempat duduk sebuah halte bis AemeL sedang duduk diam seperi patung, ia tidak menangis tidak juga terlihat sedang risau. Kedua tongkatnya ia pegang dengan sangat erat tanpa peduli orang-orang bergantian datang dan pergi dari tempat itu. Ingatannya masih tertuju pada Julia, ia tidak bisa membedakan antara benci dan sayang pada gadis itu. Sebuah motor besar tiba-tiba berhenti dan pengemudinya turun lalu mendekati sosok AemeL yang masih dalam diamnya.
     “Hei…” terdengar sapaan lembut. AemeL mengangkat wajahnya sekilas dan seorang pria dengan jaket kulit dan sebuah helm di tangan sedang tersenyum pada AemeL. “Kamu mau ke mana?” ia melirik tongkat lalu pada kaki kiri AemeL yang masih terbalut. “Kamu sedang menunggu seseorang atau mau pergi ke mana?” tanya pria itu peduli tapi AemeL tetap tak menjawab. Pria itu melirik jam tangannya, sepertinya ia harus buru-buru pergi. “Ya, sudah… semoga orang yang sedang kamu tunggu cepat tiba, saya permisi dulu.” Kata pria itu dan akhirnya dijawab dengan anggukan kecil oleh AemeL dan itu sempat membuat si pria senang.
     Di perjalanan pria itu masih memikirkan gadis yang duduk di kursi halte bis dengan sepasang tongkat seolah sedang menunggu pangerannya datang menjemput. Wajah itu manis juga. Pikirnya hingga tanpa sadar terukir seulas senyum dari balik helmnya.
     Sementara Julia dan Wowor keliling mencari AemeL nyaris seharian. Wowor yang belum istirahat dan Julia yang cemas. Beberapa telepon masuk tidak ia angkat, sekarang mobil Wowor sedang terparkir di ujung jalan seolah tidak tahu lagi harus ke mana.
     “Anda bilang akan menemukannya…” suara Julia serak.
     “Kita akan lapor polisi.” Usulnya.
     “Tidak.” Tegas Julia. “Aku akan terus mencarinya sampai ketemu.” Ia bermaksud membuka pintu mobil tapi tangannya langsung ditarik oleh Wowor. “Kamu harus makan dulu, dari pagi kamu belum makan.”
     “Anda pikir aku bisa makan sebelum melihat AemeL?”
     “Ya, Tuhan. Julia…. Kamu boleh-boleh saja memikirkan AemeL tapi kamu juga harus memikirkan kesehatan kamu.” Hela Wowor.
     “Anda tidak akan mengerti, lepaskan tangan saya.” Pintanya.
     “Tidak. Aku tidak akan melepaskanmu.”
     “Lepaskan!”
     “Tidak!” Wowor bersikeras. Ia tahu gadis itu sedang khawatir dan lelah juga lapar, Wowor juga tidak bisa menyembunyikan kelelahannya membawa mobil di tengah-tengah kemacetan lalu lintas.
     “Apa sih peduli Anda?!” Julia merasa sedang ditahan.
     Wowor melepaskan tangan Julia sambil berkata. “Aku peduli sama kamu karena aku mencintai kamu, aku tidak ingin kamu sakit. Puas kamu mendengar pengakuan itu?”
     Julia terdiam, ia menurunkan tangannya perlahan seolah tidak punya tenaga lagi, jangankan beranjak dari dalam mobil mengangkat wajahnya saja ia tidak kuat lagi. Ia ingin sekali menangis, di sini lain ia kehilangan AemeL dan di sini Wowor mengutarakan perasaanya. Julia tidak bisa bicara apa-apa lagi karena kata-kata Wowor seakan menohok titik lemah di hatinya. Wowor menunggu reaksi Julia agak lama dan detik berikutnya Julia menatap pria itu dengan keberanian yang susah payah ia kumpulkan.
     “Anda baru kenal saya beberapa minggu ini, gampang sekali Anda mengucapkan kata-kata itu. Asal Anda tahu ya, saya rela kehilangan Anda daripada AemeL. AemeL adalah sahabat saya sudah hampir puluhan tahun, jadi…” Julia tidak bisa meneruskan kata-katanya. Wowor menarik napas panjang.
~

     Pukul lima lebih, pria itu lewat lagi di halte bis itu entah masih ingat gadis itu atau memang ia harus pulang melewati jalan itu. Dan ia terkejut karena si gadis  masih berdiam di tempat ia duduk tadi pagi. Pria itu buru-buru turun seakan menyadari ada yang tidak beres. Ia memegang pundak AemeL.
     “Kamu, apa dari tadi pagi kamu belum beranjak dari tempat ini? Apa orang yang kamu tunggu belum juga datang?” tanyanya dengan datar namun mengandung kecemasan yang tinggi karena melihat kondisi tubuh gadis itu sudah sangat melemah dan bersandar pada sandaran kursi. AemeL menatap pria itu tapi tidak bicara apa-apa. “Kamu… aduh, apa kamu lupa jalan pulang?” ia mengira gadis itu tidak bisa bicara.
     “Emmm… tidak, tapi aku… aku benci dia.”
     Pria itu berpikir kalau wanita itu sedang bertengkar dengan suaminya atau saudaranya.
     “Wajah kamu pucat sekali, dan…” ia memegang tangan AemeL. “Tangan kamu dingin, kamu harus pulang, biar aku antar…”
     “Tidak. Aku tidak mau pulang.” Suara AemeL bergetar karena lemah, seharian ini ia tidak
makan apa-apa.
     “Kamu harus pulang, sehebat apa pun pertengkaran dengan saudara atau pada orang tua, kamu tidak boleh seperti ini. Mereka pasti mencari kamu. Ayo…. Aku antar, lihatlah sebentar lagi akan gelap. Kota ini sangat kejam… aku tidak mau terjadi apa-apa pada dirimu.” Sebelum membawa AemeL pulang pria itu membelikan sebotol susu coklat untuk memulihkan tenaga AemeL yang lemah agar ia tidak jatuh dari boncengan motornya. Sebentar saja AemeL sudah ada di belakang tubuh pria itu, tanpa sadar ia memeluk tubuh pria itu dengan sangat erat karena takut jatuh dan sekaligus rasa dingin yang tak tertahankan.
     Tidak sampai sepuluh menit AemeL sudah tiba di apartemen yang tidak dikunci oleh Julia waktu pergi. Pria itu membawa AemeL ke dalam, sejenak ia mengamati suasana apartemen dan menurutnya sangat nyaman sebagai tempat tinggal. Tubuh AemeL yang sudah sangat lemah dengan kondisi kakinya yang masih parah membuat pria itu menggendongnya ke atas  tempat tidur.
     “Kamu di sini tinggal sama siapa?”
     “Kakak saya.” Sahut AemeL dengan nada yang seakan tenggelam oleh kelelahannya.
     Pria itu meletakan tongkat AemeL di sini tempat tidur. “Istirahatlah, aku akan di sini sampai kakakmu pulang.” Ujarnya.
     “Terima kasih.” Kini pria itu hanya melihat mulutnya yang terbuka tanpa  bisa mendengar suara AemeL  yang sudah sangat lemah. Sejenak ia mengamati AemeL namun AemeL sudah memejamkan matanya. Setelah menyelimuti tubuh AemeL ia keluar dari ruangan itu. Di ruang depan ia menyimak semua sudut, tidak ada satupun foto yang terlihat atau sebagai tanda pemilik apartemen. Ia melirik jam tangannya, sudah pukul enam lewat. Cepat sekali waktu berlalu pikirnya. Pria itu bermaksud keluar untuk bertemu orang atau satpam apartemen atau siapapun, karena ia harus pulang tapi ia tidak bisa meninggalkan AemeL sendirian di dalam dengan kondisi sakit kaki dan lemah. Saat ia ingin membuka pintu sudah
keburu terbuka dari luar. Seorang wanita dan pria muncul dari balik pintu.
     “Kamu! Kamu siapa?” Julia langsung bertanya.
     “Mmm….” Sebelum pria itu menjawab Julia sudah berlari ke kamar tidur dan melihat AemeL sudah tertidur. Ia lega tapi ia harus bertanya pada pria yang di depan itu. Ia berbalik. Pria itu sudah duduk di sofa bersama Wowor.
     “Dia yang menemukan AemeL.” Kata Wowor sebelum Julia melontarkan pertanyaan.
     “Di mana?”
     “Tidak penting dimananya? Yang penting sekarang AemeL sudah kembali.” Wowor tidak menceritakan seperti yang pria itu jelaskan tadi. Ia tidak ingin Julia tambah sedih.
     “Terima kasih.” Ujar Julia akhirnya.
     “Ya, sama-sama. Semoga kalau bertengkar lagi dengan adik sendiri tidak sampai terulang lagi kejadian seperti hari ini.” Tambah pria itu.
     “Apa maksud Anda?”
     “Sudahlah.” Wowor menengahi. “Kamu istirahatlah, biar kami pulang.” Ia melirik pada pria baik yang sudah membawa AemeL kembali ke apartemen. Pria itu mengerti apa yang harus ia lakukan, sepertinya ada urusan keluarga yang belum selesai, pikirnya.
     “Baiklah, sampaikan salam saya, kalau ia sudah bangun nanti.” Ujarnya kemudian.
     Julia lagi-lagi menghela napas lega setelah kedua pria itu pergi dari apartemen, ia ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya karena seharian ini ia belum mandi. Beberapa menit berikutnya ia ke depan untuk mengambil kunci pintu dan menyimpannya agar tidak dapat di cari oleh AemeL, ia tidak ingin AemeL kembali pergi. Setelah merasa semua beres baru ia kembali ke kamar di mana AemeL terlihat masih tertidur dengan begitu pulasnya. Julia naik ke atas tempat tidur dan duduk di dekat kepala AemeL. Ia mengusap kening AemeL dengan lembut.
     “Ae, jangan pernah mengulang lagi seperti kejadian hari ini, kamu membuat aku seperti orang gila karena seharian mencarimu. Kamu tidak pernah mengerti kalau aku sangat menyayangimu, aku mohon jadilah wanita baik dan seperti kata pria itu tadi, aku tidak mau menjadi kakak atau adikmu sebab aku hanya ingin menjadi sahabatmu sampai aku mati.” Guman Julia dengan pelan seolah takut membangunkan AemeL yang terlelap. Julia yang merasa lelah akhirnya membaringkan tubuhnya, sejenak sosok Wowor melintas dipikirannya tapi hanya sepintas sebab Julia sudah sangat mengantuk.
     Sekitar pukul sebelas malam AemeL seperti orang berguman dan berkali-kali memanggil-manggil nama Julia membuat Julia membuka matanya. Saat Julia melihat AemeL ternyata gadis itu masih tidur dengan mata tertutup sangat rapat tapi lagi-lagi ia memanggil nama Julia.
     “Julia…. Julia…. Jangan meninggalkan aku, jangan pernah meninggalkan aku.”
     Ia mengigau pikir Julia. Kali ini gadis itu menggerak-gerakkan tangannya dan tetap mengeluarkan kata-kata seperti itu dan Julia melihat ada air mata keluar dari sudut mata AemeL. Julia merasa ada yang tidak beres, ia meraba kening AemeL dan sangat terkejut karena suhu badan AemeL panas sangat tinggi.
     “Ya Tuhan, dia demam.” Julia melompat dari tempat tidur menuju lemari es untuk mengambil air dingin lalu sebuah mangkuk, terakhir sebuah handuk kecil. Detik berikutnya ia sudah ada di sebelah AemeL yang masih saja mengigau. Julia membasahi handuk kecil itu, memerasnya lalu meletakkannya di atas kening AemeL. Belum sampai satu menit ia mengulangnya lagi karena AemeL masih mengigau. Julia tidak bisa menahan air matanya karena melihat ada air mata AemeL yang jatuh di sudut matanya, ia mengusap air mata itu. “AemeL, jangan seperti ini. Aku tidak tahan melihatmu seperti ini.” Gumannya lagi lalu memeluk tubuh gadis itu, hawa panas dari badan AemeL terasa seakan membakar hati Julia.
     “Juliaaa…” kini suara itu terdengar sangat melemah. Julia mengangkat tubuhnya untuk menatap AemeL yang ia kira sudah terjaga namun gadis itu masih dengan mata terpejam. Sekali lagi Julia mengompresnya, lalu ia menempelkan punggung tangannya pada leher AemeL setelah itu ia menghela napas sedikit lega karena panas pada tubuh AemeL sudah jauh menurun. Julia masih tetap terjaga dan sekali-kali tetap mengganti air kompres agar AemeL benar-benar sembuh.
     Sejenak Julia mengamati keadaan sekeliling, tak pernah terbayangkan sebelumnya akan berada di tempat itu dan menemani AemeL yang sakit terkadang membuat hatinya ketar-ketir karena takut terjadi apa-apa pada AemeL. Jarum jam di dinding sudah menunjukkan pukul dua belas lewat. Kembali ia menoleh pada wajah AemeL, gadis itu kini sudah terlihat lebih tenang. Tanpa bisa Julia pungkiri saat ini ia sangat merindukan sosok Wowor ada di sisinya dan memberikan kekuatan pada dirinya. Julia akhirnya berbaring dengan menghadap ke wajah AemeL karena ingin berjaga-jaga kalau-kalau gadis itu panas lagi. Denting jarum jam terus berjalan seolah meninabobokan Julia yang lelah hingga ia tertidur dalam posisi melingkar dan wajah tetap menghadap ke arah AemeL.
     Sebelum pagi AemeL terbangun karena merasa sangat lapar, ia heran karena di keningnya ada handuk kecil yang masih lembab. Ia melirik ke meja kecil di mana sebuah mangkuk berisi air masih di sana. Ia melepaskan handuk dari atas keningnya. Di sebelahnya Julia tertidur seperti kelelahan membuat AemeL menarik napas dalam-dalam, ia ingat kejadian seharian kemarin dan pria yang tidak ia kenal membawanya pulang, setelah itu ia tidak ingat apa-apa lagi. AemeL mengambil buku dari bawah tempat tidurnya, sebelumnya ia menyelimuti Julia. AemeL mulai menuliskan sesuatu di bukunya..

     Tinta emas….
Sungguh aku masih tidak mengerti rahasia apa yang Julia sembunyikan, Tapi meskipun demikian, apa pun yang terjadi pada kami sebelumnya… aku ingin sekali menjadi sahabatnya. Tuhan… lindungilah Julia, sembuhkanlah ingatanku agar semua teka-teki ini terjawab, amin.

     Perut AemeL berbunyi dan AemeL kembali meletakkan bukunya di bawah tempat tidurnya, ia ingat dari kemarin belum makan apa-apa selain minum susu coklat yang diberi oleh pria asing itu, AemeL meraih tongkat yang ada di sisi sebelah kirinya dan perlahan bangkit, ia berputar mengelilingi tempat tidur untuk mendekati Julia, ia mendekati wajahnya pada Julia lalu sekilas ia mencium pipi Julia begitu lembut seolah ingin mengucapkan terima kasih pada gadis itu. Setelah selesai ia berguman.
     “Maafkan semua kesalahanku, kondisi seperti ini membuat aku seperti orang putus asa. Apa pun yang terjadi aku tidak akan pernah pergi lagi, Julia.” Perlahan AemeL membawa kakinya keluar dari kamar dengan terseok-seok ia mencari sesuatu di dalam lemari es. Ada dua sachet bumbu nasi goreng ia meraihnya lalu melirik rice cooker, apakah ada nasi di dalam sana? Pikirnya. Ternyata nasinya tidak lebih dari satu porsi saja tapi AemeL tetap menggorengnya dan akan berbagi dengan Julia nanti.
     Setelah selesai dan meletakkan hasil pekerjaannya ke dalam dua piring kecil Julia muncul dari kamar dan tentu saja kaget melihat AemeL sudah ada di sana. Ia langsung menghampiri gadis itu karena semalam ia diserang demam tinggi, ia tidak ingin hal itu kembali menimpa AemeL.
     “Maaf, aku terbangun karena lapar.” Kata AemeL yang merasa Julia terbangun karena suara berisik yang ia timbulkan dari dapur. AemeL mengangkat satu piring untuk ia bawa ke meja tapi langsung diambil oleh Julia untuk membantunya membawa ke atas meja. AemeL diam dan tak menolak Julia membantunya karena ia masih membutuhkan dua tongkat untuk berjalan mendekati meja. Setelah duduk di kursi Julia langsung meraba kening AemeL sekilas ternyata memang sudah tidak panas. AemeL menyimak Julia yang tidak mengeluarkan satupatahkatapun. Berikutnya Julia mengambil gelas dan mengisinya dengan air tawar lalu meletakkannya di meja untuk AemeL, selanjutnya ia membuat kopi dan tidak sampai dalam hitungan menit ia sudah mengambil pakaian kotor untuk dimasukkan ke dalam mesin cuci. Sedangkan AemeL sudah menikmati nasi gorengnya karena perutnya sudah sangat lapar. Julia masih tidak bisa diam, ia kembali ke kamar untuk merapikan tempat tidur lalu keluar lagi membuka jendela, udara dingin masuk lewat jendela, di luar cahaya belum bisa dibilang terang. Semua yang Julia lakukan tidak pernah lepas dari mata AemeL.
     AemeL bergerak ke arah tempat cucian piring saat Julia sudah berdiri di sana. “Biar aku saja.” Ujarnya.
     “Jangan.” Tolak Julia.
     AemeL melirik bekas luka di ibu jari Julia lalu langsung mengambil gelas dari tangan Julia. “Sudah aku bilang, biar aku saja. Aku bisa melakukannya karena aku bukan wanita lumpuh.” Tekan AemeL membuat Julia marah.
     “Apa maksud kamu?” kata Julia.
     “Aku tahu kamu bukan orang yang seperti saat ini.” Sahut AemeL tanpa menoleh pada Julia. “Kamu berusaha menjadi orang lain.” Mendengar ucapan AemeL membuat Julia menjatuhkan gelas dari tangannya ke bak cucian memaksa AemeL menoleh dan menatap gadis itu. “Kenapa? Apa aku salah? Kamu tidak bisa membohongi aku, Jul. aku tidak tahu apa profesi kamu tapi yang jelas kamu bukan orang dapur yang terbiasa dengan bau asap, membilas gelas atau piring kotor. Berapa pembantu kamu  di rumah? Dua? Tiga atau empat?” sergah AemeL. “Apa pun yang telah terjadi antara kamu dan aku, aku tidak mau kamu mengubah karakter kamu, aku ingin kamu menjadi diri sendiri. Apa kamu pikir aku suka dalam kondisi seperti ini? Ditemani orang yang tidak aku kenal dan rela melakukan apa saja yang mungkin tidak pernah ia lakukan sebelumnya? Aku benci diriku dan juga kamu…..” kalimat terakhir itu terdengar seperti penyesalan dan suaranya serak. “Aku benci kamu…….” Kali ini tongkat AemeL terjatuh dan ia ikut merosot dan terduduk di lantai. Julia mengikutinya ke lantai dan menatap wajah AemeL yang sudah menangis di sana. Semua yang dikatakan AemeL memang benar adanya, Julia memang paling benci dengan yang namanya pekerjaan yang ada di dapur apalagi mencuci segala perabotan kotor. “Aku benci kamu.” Ulang AemeL nyaris terisak.
     “Apa kamu pikir aku tidak benci kamu? Aku bahkan sangat membenci kamu, tapi setiap kali rasa benci itu muncul rasa sayang itu melebihi apa pun. Kamu…. Kamu…” Julia ikut menangis.
     “Tapi kenapa kamu mau melakukan semua ini? Kenapa?”
     “Aku tidak tahu…” Julia menggeleng-gelengkan kepala dengan suara ikut serak, keduanya sudah saling menangis.
     “Tinggalkan aku, Julia… tinggalkan aku….” Kini suara AemeL seperti berteriak tapi tidak bisa keluar dengan keras karena dadanya seakan terasa sangat sesak.
     Julia memegang wajah AemeL yang sudah basah dengan air mata seperti halnya dengan dirinya. “Tidak….. AemeL, aku tidak akan meninggalkanmu.” dan akhirnya ia memeluk tubuh AemeL sangat erat karena tidak bisa bicara apa-apa lagi dan kedua gadis itu menangis bersama sampai sesunggukan. Beberapa saat kedua gadis itu menghabiskan waktu untuk saling berbagi kehangatan, itu pertama kali mereka merasakan kasih sayang seorang sahabat sejak AemeL lupa ingatan tapi tetap saja Julia belum bisa menjelaskan siapa dirinya yang sebenarnya. Udara pagi menyegarkan ruangan apartemen mereka meski sempat dihiasi dengan air mata namun telah hadir rasa saling peduli diantara keduanya.




**










Cinta datang dari Musuh
     Sore itu, pria asing itu datang lagi ke apartemen AemeL dan Julia. Ia bertemu dengan Julia karena AemeL sedang istirahat di kamar, tidur karena habis minum obat.
     “Aku tidak tahu apa yang membawa aku kembali ke tempat ini?” katanya pada Julia setelah Julia meletakkan segelas kopi di hadapannya.
     “Tidak apa-apa, sekali lagi saya harus mengucapkan terima kasih karena telah menemukan AemeL kemarin.” Ucap Julia karena masih terbayang ia mencari AemeL ke mana-mana, ia stres karena tidak berhasil. “Silahkan diminum.” Lanjutnya.
     “Terima kasih. Mm… apa dia adik kamu?” selidiknya.
     Julia menggeleng. “Dia sahabat saya.. tapi dia sedang lupa ingatan.”
     “Apa?” pria itu kaget sekali. Julia mengangguk mengiyakan pernyataanya. “Dia masih kuliah atau bekerja?”
     Julia merasa tidak pantas menceritakan hal lebih jauh tentang sahabatnya pada pria asing dan dia memang tidak ingin menjelaskan lebih dari itu.
     “Kakinya cacat, apa dia pernah jatuh?” tetap saja pria itu ingin tahu banyak. “Namanya AemeL, kan?”
     “Silahkan diminum dulu kopinya, nanti keburu dingin.” Julia coba mengalihkan topik pembicaraan. Pria itu mengikuti apa yang di minta Julia dengan mencicipi kopi yang telah dihidangkan untuknya. Sebenarnya pria itu ingin sekali bertemu dengan AemeL, sejak kemarin ia merasa ada hal yang membuatnya tertarik dengan gadis itu.
     “M… dia sudah lama tidur? Maksud saya, apa dia tidak apa-apa?”
     “Dia baik-baik saja, sekali lagi terima kasih karena telah mengkhawatirkannya.” Ucap Julia karena ia memang sangat berterima kasih pada pria itu. Pria itu mengangguk-anggukan kepalanya.
     “Saya, nama saya Teguh, Teguh Tebolai.” Akhirnya pria itu memperkenalkan dirinya. Julia mengangguk dan sepertinya ia pernah melihat pria itu sebelumnya tapi ia tidak tahu di mana dan kapan. Julia coba menepis dugaan itu, ia pasti berhalusinasi sebab banyak orang yang memiliki wajah yang nyaris mirip, pikirnya. “Baiklah, saya permisi.” Ujarnya karena sudah hampir maghrib.
     Dan anehnya, keesokan harinya pria itu datang lagi dan bertemu dengan Julia di parkiran apartemen sesaat setelah Julia bertemu dengan pak satpam untuk mengatakan seandainya satpam melihat AemeL pergi sendiri harus dicegah. Julia tidak membawa pria itu masuk dan mereka hanya ngobrol di bangku yang ada dekat parkir. Julia menyimak motor besar milik pria yang bernama Teguh itu, lampu sign sebelah kirinya patah dan terkulai. Teguh mengikuti arah mata Julia.
     “Masih bisa menyala, aku belum sempat membawanya ke bengkel.” Jelas Teguh. “Tidak tahu kapan patahnya dan mengenai apa.” Tambahnya. “Saat itu, tengah hari aku naik motor seperti orang gila….” Ia berhenti sejenak seakan tidak ingin mengingat kejadian pahit hari itu. “Aku anak bungsu dari dua bersaudara, hari itu ibuku meninggal dan aku tidak sempat ada di sisinya saat terakhir ia menutup mata dan aku bahkan tidak memiliki pesan terakhir darinya.” Nada bicara pria itu mulai terdengar lirih. Ia terlihat masih sangat berduka. Julia terdiam lama, hening. Lalu sesaat kemudian Julia seperti tersentak seolah ingat dengan kejadian naas itu.
     “Kapan ibumu meninggal?”
     “M… beberapa minggu yang lalu, belum juga genap empat puluh hari.”
     “Apakah hari itu adalah hari kamis?”
     Teguh menatap Julia agak lama lalu. “Ya, kenapa kamu bisa tahu?” helanya.
     “Berarti, kamu… kamulah si penabrak itu.” Julia langsung berdiri. Teguh mengikutinya dengan bingung.
     “Apa maksud kamu, Julia?”
     “Kamu pasti yang menabrak AemeL dan mengakibatkan kakinya patah dan ia mengalami amnesia.” Kata Julia dengan nada bergetar.
     “Apa? Apa maksud kamu?” kata Teguh merasa tidak melakukan itu, kata-kata Julia membuatnya kaget namun akhirnya ia terdiam seolah menyadari sesuatu. Siang itu ia memang berbelok ke arah kiri tanpa memikirkan ada orang lain di depannya. Ia menyalip lalu tancap gas ke kiri sebelum melesat ia sempat merasakan motornya agak goyang. Ia menatap mata Julia dengan seksama. “Em… apakah waktu itu AemeL mengendarai motor?” katanya kemudian.
     “Ternyata kamu… kamu orangnya.” Julia menggeleng-gelengkan kepalanya menahan emosi. “Pergilah, kamu tidak perlu lagi datang-datang ke sini. Aku mohon kamu pergi.” Ujar Julia yang sudah bisa memastikan kalau Teguh-lah orang itu.
     “Julia.” Teguh meraih tangan Julia yang ingin berbalik meninggalkannya. “Aku mohon jangan bersikap seperti ini. Asal kamu tahu bahwa tidak ada yang kebetulan di dunia ini, percayalah. Apa pun yang telah terjadi aku minta maaf.” pintanya dengan sungguh-sungguh. “Aku akan bertanggung jawab.”
     “Kamu tidak perlu minta maaf  sama aku, aku turut berduka cita atas kepergian ibumu tapi kamu…., sekali lagi aku mohon jangan pernah lagi datang ke sini dan menemui AemeL.” Kali ini Julia benar-benar meninggalkan Teguh di tempat itu. Teguh hanya bisa menarik napas dalam-dalam  lalu melirik arlojinya. Dia harus ke kantor.
     Di perjalanan tak henti-hentinya ia memikirkan apa yang telah terjadi dan pengakuan Julia mengatakan kalau dia adalah yang menabrak AemeL seperti orang pengecut atau disebut dengan tabrak lari, tidak bertanggung jawab. Jika benar ia yang menabrak AemeL maka Teguh tidak bisa memaafkan dirinya apalagi mengingat AemeL yang waktu itu duduk seharian di halte bis, karena mengalami amnesia belum lagi kakinya patah. Teguh meninju stang motornya karena kesal.
     Di kantor Teguh mencari nama AemeL di internet dan jejaring sosial apa saja.. beberapa menit ia telah menghabiskan waktunya tapi tidak juga berhasil. Tidak ada satupun wanita yang bernama AemeL. A… Ae.. tapi bukan AemeL, yang ada nama AL. Sadei. Ia meng-klik nama itu lalu muncullah profil lengkapnya. Seorang penulis berbakat, lahir di Palembang dua puluh tujuh tahun yang lalu. Telah merilis beberapa judul novel dan yang sedang beredar adalah novel dengan judul ‘Sebuah Rahasia.’ Yang diterbitkan oleh penerbit besar dari Jawa Timur. Teguh menyimak nomor telepon dari penerbit. Detik berikutnya ia menghubungi nomor tersebut dan diangkat oleh seorang wanita.
     “Ya, selamat pagi.”
     “Penerbit Mandiri?” tanya Teguh.
     “Ya, mau bicara sama siapa, ya?”
     “M… saya mau tanya Mbak? Apa AL. Sadei seorang penulis yang menerbitkan novel-novelnya di sana? Kalau boleh tahu, apakah itu nama aslinya atau nama Pena?”
     “Aduh, kami tidak bisa memberitahukan hal itu karena itu permintaan dari klien kami. Kami menjalani semua sesuai prosedur. Kalau boleh tahu ini siapa, ya?”
     “Saya Teguh. Teguh Tebolai. Saya berharap sekali kalau Mbak bisa bantu.”
     “Teguh Tebolai? Seorang reporter di salah satu televisi swasta itu?”
     “Betul, Mbak.”
     “O, tapi maaf Mas, kami tetap tidak bisa bantu. Nanti kami akan mengkonfirmasi pada penulisnya, ya.” Kata suara itu seolah minta pengertian dari Teguh.
     “Oke. Terima kasih sebelumnya.”
     ‘Hmmm… AemeL Baes ternyata lama juga semedinya sampai ada yang mencarinya ke sini.’ Guman Mitha yang ia tahu AemeL sedang berlibur atau memang sedang tidak ingin diganggu.
     Sekali lagi Teguh menelusuri profil AL. Sadei. Semua foto yang tertera adalah foto penggemarnya, ada yang memegang novel lalu beberapa komentar di bawahnya serta gambar-gambar cover novel.  Teguh terhenti di foto yang satunya di mana seseorang sedang berdiri dengan wanita itu yang memperlihatkan novel lagi. Wanita yang satunya adalah AemeL Baes. ‘AemeL Baes adalah namanya.’ Guman Teguh. Ia mencari nama itu di Facebook tapi tidak berhasil ditemukan. Lalu ia membuka akun Twitter, menit berikutnya ia mendapatkan nama pemilik dengan nama tersebut. Teguh masih sangat penasaran ia terus menelusuri, tidak satupun ia menemukan foto AemeL Baes. Di profil tertulis nama. Pekerjaan freelance, tinggal di Jakarta. Follower tidak lebih dari tujuh ratus orang, mengikuti beberapa ratus antaranya novelis Indonesia, para motivator dan beberapa artis.
     Teguh kembali ke Facebook AL. Sadei dan melihat statusnya, lajang tapi sedang menjalin hubungan dengan seseorang, untuk beberapa detik Teguh kecewa. Saat itu orang bagian staf mendatangi meja Teguh.
     “Hai, Guh….?”
     “Ya.” Teguh mengangkat wajahnya dari layar laptopnya.
     “Besok ada tugas keluar kota, siap ya?” ujar wanita tiga puluhan itu. Dialah senior Teguh yang sangat peduli dengan Teguh.
     “Aduh, gimana ya?”
     “Eit, sejak kapan kamu menolak tugas?” ujar wanita itu dengan gaya dibuat-buat tegas.
     “Aku akan keluar kota kalau sudah melewati empat puluh hari, bagaimana?” Teguh minta pertimbangan.
     “Kalau ada gantinya aku juga tidak akan meminta kamu.” Jelas seniornya tidak punya pilihan. “Cuma empat hari, oke.” Ia coba memaklumi dan tidak mau dianggap tak punya toleransi.
     “Baiklah.” Teguh menyerah meski merasa berat. Disamping karena ibunya ia juga ingin menemui AemeL dan mengatakan kalau dia-lah yang telah membuatnya celaka.
~

     Julia tidak habis pikir kalau Teguh tidak menyadari telah menyenggol motor orang dan mengakibatkan AemeL seperti saat ini. Keterlaluan sekali! Gumannya.
     Tanggung jawab seperti apa yang akan diberikan Teguh sama AemeL? Jangankan ngotot untuk bertemu lagi, bahkan sudah beberapa hari ini ia tidak ada kabarnya lagi. Julia merasa itulah orang Jakarta, bicara selalu manis namun tidak pernah sesuai dengan prakteknya.
     Sedangkan Wowor yang jelas-jelas sudah mengatakan menyukai Julia tidak pernah ada kabarnya lagi. Ponsel yang satu tidak pernah menyala lagi sedang BB sudah hancur berkeping-keping di tangan Julia. Julia jadi tersenyum sendiri mengingat semua itu. ‘Maaf Wor, tidak ada maksudku untuk merugikanmu.’ Batinnya.
     AemeL menjadi sangat pendiam sekarang, ia bahkan tidak pernah mau memikirkan lagi siapa Julia. Ia hanya fokus dengan kesembuhan kakinya agar bisa berjalan lagi tanpa menggunakan tongkat.




**

















Julia oh Julia
     Seema jadi keteteran saat ditanyakan oleh anak buah Julia yang lain mengenai keberadaan Julia. Kalau dengan urusan keluarga tidak begitu bermasalah sebab Julia itu memang sudah hidup mandiri dan jarang juga bertemu dengan keluarga besar, kadang sebulan sekali bahkan dua bulan sekali jadi mengenai kehilangan Julia yang nyaris sebulan ini belum begitu heboh di dalam keluarga.
     ‘Seema, aku harus pergi… untuk sementara semua urusan toko aku serahkan sama kamu. Aku tidak bisa memberitahumu ke mana aku pergi, nanti setelah pulang aku ceritakan semuanya. aku percaya padamu. Terima kasih.’
     Itu BBM yang masuk terakhir kali ke BB Seema. Yang menjadi pertanyaan Seema, ke mana gadis itu pergi? Sepertinya ia tidak punya masalah serius yang harus dihindari. Julia juga tidak punya hutang di bank apalagi pada rentenir tapi mengapa BB-nya tidak aktif? Berkali-kali Seema memeras otaknya untuk mencari tahu di mana keberadaan bosnya itu. Sedang barang di toko hanya tinggal satu dua saja karena nyaris dua bulan tidak diisi. Seema hanya berpesan pada teman-temannya agar menjual semua barang yang ada di toko dan uangnya dikumpulkan.
     “Kita jual saja yang ada dulu, mungkin seminggu ke depan toko ini bisa diisi dengan barang yang lebih banyak jadi kita tidak selalu mengatakan pada pelanggan, ini habis, ini juga habis. Karena kata-kata seperti itu paling tidak aku sukai. Julia sedang pergi karena ada urusan yang tidak bisa ia tinggalkan dan aku tidak bisa memberitahukannya pada kalian. Yang penting gaji kalian bulan ini tetap dibayar full.” Jelas Seema pada temannya saat mereka kumpul malam itu di toko utama. Seema sebenarnya tidak begitu yakin apakah bulan depan toko masih bisa dibuka atau benar-benar tutup untuk selamanya.
     ‘Aduh, Julia Julia… kamu ke mana sih?’
~

     Wowor seringkali menjadi tidak fokus bekerja sejak bertemu dengan Julia, gadis itu sudah menyerap sebagian  ketenangan jiwanya. Yang tidak dia habis pikir Julia itu agak emosional, suka meledak-ledak dan ponsel sepertinya bukan barang penting baginya. Wowor menjadi tersenyum, bukan hal aneh kalau ada wanita yang seringkali mengatakan perasaannya duluan padanya tapi Julia sangat berbeda, terkadang tak sebelah matapun ia memandang Wowor, ia bahkan menyebut Wowor dengan  ‘Anda’
     ‘Dia memang berbeda, aku suka dia.’
     
**

Sahabat
‘Apakah aku salah? Mengambil tindakan meninggalkanmu karena aku sangat menyayangimu. Setelah kau mengatakan betapa sangat kecewanya dirimu atas penjelasan yang aku paparkan, sedang kamu sendiri yang memintaku untuk berkata jujur. Menurutmu, bersahabat itu harus saling terbuka…  Tidak boleh saling tersinggung, Saling mengerti, Saling jujur, menyangkut apa pun itu. Semua kejujuran itu telah kau dengar dari mulutku, yang tadinya tidak sanggup aku utarakan…. Tapi kau memaksaku sampai mengancam untuk bertanya pada orang lain… padahal orang lain tidak tahu apa-apa. Sungguh aku tidak sanggup menyampaikannya padamu, tapi kamu memaksa dan kita telah berjanji sebelumnya bahwa tidak boleh ada yang disembunyikan /rahasiakan dalam persahabatan kita. Hanya itu yang aku ingat… Dengan tanpa berpikir panjang…. Kejujuran yang seharusnya tidak boleh kau dengar itu terlontar juga… tadinya aku pikir itu semua demi kebaikanmu, karena aku sayang kamu. Namun setelah mendengar semua itu, kamu berubah… Yang selama ini setiap hari menyapa baik lewat telepon ataupun pesan singkat… namun sejak itu tak lagi ada satu kata pun kudengar darimu, Hampir setiap hari aku menyapamu ‘Say Hello’ tanya kabar atau memberi ucapan apa saja.. tapi aku tak pernah mendapat respon lagi darimu. Itukah yang kamu sebut ‘persahabatan kita sangat kuat, dan tidak akan hancur kalau kita berdua sama-sama tidak menginginkannya hancur?’ Selama ini, aku masih bertahan…. Karena aku pikir tidak akan hancur kalau hanya kamu yang menginginkannya hancur. Sekali lagi aku mengatakan, Aku tidak tahan lagi menikmati situasi yang tidak nikmat ini..,’
     Dan…. saat itulah aku mendapat jawaban darimu, Kamu menjelaskan semuanya, Mengatakan aku telah membuatmu sangat kecewa.’
AemeL :
 “Sudahlah… jangan terlalu dinikmati, aku hanya butuh waktu atas betapa kecewanya aku sama kamu. aku kecewa sama orang yang menyampaikan itu sama kamu, tapi aku tahu kekurangan dan kebodohan orang itu.. semua sudah tahu dia. Jadi aku sangat memakluminya. Tapi kamu….?! Kenapa kamu lakukan itu? Itu namanya sayang…? Itukah namanya menjaga? Itukah namanya menghargai? Bukan sama kamu saja dia ceritakan hal itu, pada semua orang ia katakan hal yang sama… tapi semua orang tahu dia dan aku. Jadi satupun tak ada yang nyampain ke aku. Tapi kamu………?!! aku jadi makin ga paham sama kamu, aku jadi asing sendiri. Padahal aku tahu omongan itu tanpa kamu sampein ke aku. Tapi saat kamu mengatakannya, aku bukan sedih dengan penyampain ucapannya. aku kecewa sifat kamu, kenapa kamu begitu tak bijaksana sih…? Mengapa kamu mendiskriminasi aku? Seharusnya kamu lindungi sahabatmu. Kenapa aku beranggapan  seolah-olah kamu mendorong aku ke jurang tanpa bertanya apa kesalahanku. aku cuma butuh waktu menerima kekuranganmu itu, tak ada benci di hati.”
Julia :
 “Oh, begitu? Jadi di sini kebodohanku karena penyampaian itu? kamu yang maksa aku mengatakan semua apa yang orang itu katakan. aku nggak bisa bohong sama kamu, karena diawal persahabatan kita sudah berjanji tidak boleh ada yang disembunyikan apa pun itu, karena sahabat yang baik tidak selalu mengiyakan kebaikan saja. Jika kejujuran aku membuat kamu kecewa, meski aku nggak pernah bermaksud membuat kamu kecewa. Aku memang ga bisa terima kata-kata orang itu, karena menurut aku sangat tidak etis. Aku emosi. Jika kamu tahu semua apa yang orang itu katakan sama aku, mengapa saat itu kamu marah besar saat aku gak mau cerita karena tidak sanggup menyampaikannya sama kamu…??? Sampai kamu ngancam ke aku untuk bertanya sama orang lain yang kamu kira aku cerita ke orang yang nyatanya tidak tahu apa-apa. Aku nggak akan pernah maksa kamu terima aku lagi sebagai sahabatmu, hanya saja aku butuh penjelasan.”

AemeL :
 “Ya kalo kamu anggap itu hal benar, aku minta maaf… tak dapat memakluminya saat itu. Jadi tak ada yang salah di sini. Dia dengan sifat dasarnya aku maklumi, kamu yang jujur tak peduli dengan akibatnya…., sedang aku yang berharap tidak mendengar ucapan yang gak ngenakin dari orang yang aku sayangi. Aku paham atas semuanya. Sekali lagi, aku tak membenci di sini, aku sudah paham.”

Julia :                      
 “Setelah aku berpikir lagi…. aku hanya mo bilang, aku nggak akan membuatmu  kecewa lagi, nggak akan menyakiti kamu lagi… nggak akan pernah… karena aku nggak sanggup mendengar kamu KECEWA atas sifatku, semua ini hanya satu alasan…. Karena aku SAYANG sama kamu, untuk TERAKHIR kalinya aku mau bilang ‘Maaaaaf’kan aku.”

     (Aku sayang sama kamu makanya aku akan pergi dari hidupmu, agar kamu nggak akan pernah lagi kecewa sama aku)
     ‘Isi pesan-pesan yang meluluhlantakkan kisah persahabatan.’
     Julia menghela napas sangat dalam mengingat hal itu ia merasa begitu down karena sejak itu ia merasa kehilangan seorang sahabat yang mungkin dibilang terlalu ia sayangi dan pertemuan berikutnya terjadi setelah AemeL mengalami amnesia. Apakah ada yang lebih sakit dari itu? Tanpa sadar air mata Julia pun mengalir, akhir-akhir ini ia menjadi orang cengeng. Julia tahu kalau ia tidak pernah membiarkan siapa pun yang membuatnya mengeluarkan air mata tapi AemeL bisa melakukan itu. AemeL bukanlah sahabat pertamanya, tapi mengapa ia bisa meluluhlantakkan hati Julia, mampu membuat Julia melakukan apapun termasuk meninggalkan bisnisnya.
     “Julia…..?” itu suara AemeL memanggil Julia yang mengambil jemuran di sudut balkon. Julia menoleh pada AemeL dan wanita itu sedang menatap wajah Julia dengan seksama. “Ada yang ingin aku bicarakan.” Lanjutnya.
     Julia mendekati AemeL dan meletakkan baju di atas sofa lalu duduk di sebelah AemeL. “Hmm, aku juga sebenarnya ingin mengatakan satu hal sama kamu….” Suara Julia terhenti. ‘Ah, Tidak, aku tidak boleh mengatakan itu, mengapa aku harus menyampaikan pada AemeL siapa yang menabraknya sementara aku sendiri saja tidak bisa jujur pada AemeL. Itu sangat tidak adil.’ “Mm.. kamu saja, mau bicara apa?”
     AemeL meletakkan tongkatnya di sisi sofa lalu terdengar tarikan napas panjang dari mulutnya kemudian terdengar tawa halus. “Maafkan aku, Jul.” ia menatap Julia. “Aku sudah ingat semuanya, kita harus keluar dari apartemen ini.” Ujar AemeL seolah tidak pernah terjadi apa-apa sedangkan Julia terperangah bukan kepalang. Bukan ia tidak pernah membayangkan kalau harus berhadapan lagi dengan AemeL yang akan ingat semuanya. Julia menundukkan wajahnya seakan tidak bisa bicara apa-apa. “Sekali lagi aku minta maaf karena telah merepotkanmu, aku tidak suka tempat ini. Kalau sisa saldo di ATM-ku masih ada kita akan segera mencari tempat baru.”
     “Aku tidak menggunakan ATM-mu.” Julia menoleh pada AemeL.
     “Ya, Tuhan. Jadi kamu telah menghabiskan tabunganmu untuk semua ini dan biaya pengobatanku? Sudah berapa hari kita di sini? Sebulan atau lebih?”
     “Aku baru saja ingin menambah waktu sewa apartemen ini.”
     “Kalau kamu tidak menggunakan ATM-ku, maka kita akan jalan-jalan ke Bali, seminggu atau sebulan. Aku benar-benar tidak suka tempat ini.” AemeL mengulang lagi kata-kata terakhir itu. “Mm.. bagaimana kabar pak dokter? Dia menyukaimu, aku bisa melihatnya.”
     Julia berdiri, meski ia merasa sangat kaku dengan kondisi AemeL yang sudah baikkan namun tak bisa ia pungkiri ia masih kangen sekali dengan gadis itu.
     “Duduklah kembali Jul, aku masih kangen. Aku aku… maksudku tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini termasuk aku.”
     “Apa aku masih asing di matamu?” ujar Julia akhirnya dan AemeL menggeleng-gelengkan kepalanya.
     “Aku tidak ingin membahas masalah itu, sedikitpun tidak. Aku ini sudah mengalami amnesia jadi anggap saja, memoriku baru saja dimulai lagi dari awal.” AemeL mengambil tongkatnya. “Kita ke tempat kosku yang lama, setelah itu baru kita pikirkan selanjutnya. Oya, tadi kamu mau bicara apa?”
     Julia tidak langsung menjawab, ia diam agak lama baru bisa menjelaskan. “Si Teguh.”
     “Oh, pria itu? Kenapa dengan dia?”
     “Ternyata dia yang menabrak kamu.. dan ia tidak menyadarinya.” Julia menunggu reaksi AemeL tapi AemeL diam seperti menunggu kelanjutan cerita Julia. “Katanya dia akan bertanggung jawab, tapi setelah hampir satu minggu mengetahui kalau yang tertabrak itu adalah kamu, sampai detik ini ia tidak muncul lagi.”
     AemeL beranjak dari sofa diamati Julia dengan tenang karena AemeL mulai lancar jalan dengan tongkatnya. “Oh, begitu…? Jadi dia. Aneh juga kalau ia tidak menyadarinya dan pertemuan di halte itu, apakah ada yang kebetulan di dunia ini? Sudahlah Jul, semua ini sudah diatur sama Tuhan… yang penting sekarang aku senang bisa bersama kamu lagi. Aku kangen, apa kamu tidak ingin memeluk aku? Ya kamu sudah peluk aku waktu di pojok tempat cucian piring tapi itu bukan aku, kan?”
     Julia tersenyum, perasaannya bercampur aduk merasa lucu juga terharu. AemeL sepertinya tak akan membiarkannya jadi orang asing lalu dengan cepat ia menghampiri AemeL dan memeluk gadis itu dengan erat. “Terima kasih Tuhan, untuk semua ini.”
     “Jangan pernah bersikap konyol lagi ya, kamu jelek sekali kalau lagi mencuci piring.”
     “Sialan kamu, aku memang benci mencuci piring tapi kan aku harus melakukannya.” Sahut Julia, AemeL mengusap punggung Julia dengan penuh kasih sayang, tanpa Julia sadar kalau sebenarnya AemeL menyanyangi Julia lebih dari yang Julia tahu.
     Bel pintu terdengar sangat nyaring. AemeL dan Julia berpandangan sesaat.
     Julia bicara. “Kalau itu pak dokter, jangan singgung-singgung tentang perasaanku sama dia, Oke.”
     “Jadi benar kamu ada perasaan sama dia? Hmmm sudah kuduga.” Goda AemeL.
     “Aduh, Ae… apa sih yang bisa aku sembunyikan dari kamu kalau kamu tidak amnesia. Biar aku buka pintu dulu.” Kilah Julia.
     “Tapi kalau itu si Teguh, tolong jangan bicara apa-pun tentang aku, oke!?”
     Julia mengacungkan jempolnya. “Siiip!” ia mendekati pintu setelah terdengar suara bel kedua.
     Teguh berdiri dengan sangat gagah di depan pintu, tangannya memegang sebuah bungkusan kecil semacam kado. Ia tersenyum pada Julia.
     “Selamat sore Julia, apa kabar?... maaf aku datang lagi. Aku mohon jangan usir aku.” Pintanya serius.
     “Sangat baik.” Jawab Julia dengan santai. ‘Tumben ia nongol lagi setelah beberapa hari menghilang.’ Batin Julia.
     “M… boleh aku masuk?”
     “Silahkan.” Julia mempersilahkan pria itu masuk ke ruang tamu di mana AemeL sudah duduk kembali di sofa dengan sebuah majalah di tangan.
     “Selamat sore AemeL….. bagaimana kesehatanmu?”
     AemeL mengangkat kepalanya. “Emmm… kamu?” AemeL tak begitu kaget. “Aku, aku
sangat baik.”
     “Silahkan duduk, Guh.” Kata Julia.
     Teguh mengambil tempat duduk di sebelah AemeL lalu ia menyerahkan bungkusan itu kepada AemeL. “Untuk kamu.” Ujarnya. “Bukalah.” AemeL meraih bungkusan itu sedang Julia sudah duduk di sebelah kanannya AemeL. Ternyata sebuah novel. “Tadi aku ke toko buku, ternyata ada sebuah novel baru karya AL.Sadei. kamu pasti suka, dari sinopsisnya saja bagus banget.”
     Julia nyaris saja berujar kalau itu adalah novel terbaru dari karya AemeL tapi mulutnya terkunci karena pesan AemeL tadi.
     “Terima kasih, aku pasti suka. Sekali lagi terima kasih ya.”
     “Hmm… ada satu lagi Ae, aku… aku.” Teguh masih ragu-ragu lalu ia menoleh pada Julia yang di sebelah AemeL. Julia akhirnya menatap AemeL dan AemeL menunggu apa yang akan pria itu katakan. “Aku menyukai kamu.” Ternyata yang dikatakan pria itu tidak seperti yang Julia duga karena tadi ia pikir pria itu akan mengakui tentang insiden itu. “Aku….” Sepertinya ia belum selesai. Ia melirik ke arah kaki AemeL. “Aku menyukaimu bukan lantaran kakimu cidera karena aku, tapi aku memang benar-benar menyukaimu. 4 hari lebih tugas di luar kota tak bisa seharipun aku tidak ingat denganmu. Maafkan aku Ae, lancang dan telah membuatmu seperti ini. Maafkan aku.” Pintanya tulus dan bukan lantaran atas dasar mengemis cinta gadis itu.
     AemeL melirik ke Julia dan gadis itu hanya mengangkat kedua bahunya lantaran tidak tahu harus bagaimana. Kemudian AemeL menatap pada novel yang masih ditangannya.
     “Ini, aku yang menulisnya dan terima kasih sudah membelinya.” AemeL menoleh pada Teguh yang bengong. “Ingatanku sudah pulih, jadi…. Lupakan tentang perasaan kamu itu. Aku memang menghargai kata-kata kamu tapi untuk saat ini, aku hanya bisa bilang… terima kasih. Tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Waktu itu kamu sudah membawaku pulang dari halte, untuk itu aku harap kamu jangan pernah merasa ada acara hutang budi lantaran sudah menabrak motorku meski itu hanya kecelakaan sebab tidak ada satupun orang menginginkan mengalami kecelakaan di jalan, kan?”
     “Em, AemeL… bukan itu maksudku. Aduh…. Bagaimana menjelaskannya ya?”
     Pesona pria itu memang tak bisa AemeL pungkiri dan Julia tahu sekali pria tipe AemeL yang seperti Teguh itu. Kulit sawo matang, punya cambang tipis, tinggi dan pintar. “Maaf Guh, bukannya mengusir kamu tapi kami ada urusan yang belum selesai. Aku harap kamu mengerti dan sekali lagi terima kasih novelnya.”
     “Julia, tolong jelaskan.” Pria itu minta dukungan dari Julia. “Aku serius tentang perasaanku sama AemeL.”
     “Aku tidak bisa bilang apa-apa, Guh. Apa yang dikatakan AemeL memang benar, karena masih ada urusan yang belum kami selesaikan.” Julia sebenarnya tidak tahu mengapa AemeL bilang seperti itu, apa dia ingin menghindar dari Teguh atau ada hal lain?





**









BAB II
Julia Hilang
     AemeL kembali ke kontrakannya yang lama meski belum bisa dibilang sembuh dari pincang akibat kecelakaan. Kehilangan Julia membuatnya lebih stres dari tak berhubungan baik selama ini. Di depan laptopnya ia mengecek semua saldo tabungannya lewat internet banking dan semuanya masih utuh dan rencananya untuk mengajak Julia berlibur ke Bali tinggal impian sebab gadis itu telah menghilang entah ke mana dan tidak mungkin ia kembali ke Lampung tanpa memberitahunya sebab mereka sudah berbaikan yang mana semua kegiatan selalu mereka beritahu. AemeL melirik sebuah buku harian yang dibeli Julia waktu ia amnesia detik berikutnya ia meraih buku itu dan membukanya. Deretan tulisan tangannya dengan tinta emas terlihat rapih dan indah namun tak seindah isi dari tulisan tersebut.
     Tinta emas,
     Cobaan apalagi ini? Bulan lalu aku selalu bertanya tentang Julia pada-Mu namun setelah aku menemukan jawabannya ia kembali pergi yang memunculkan ribuan pertanyaan lagi dibenak ini! Jika ia benar sahabat sejatiku kembalikan ia padaku, Tuhan. Julia… aku percaya dimanapun kamu berada kamu tetap baik-baik saja, baik-baik saja… karena kamu adalah aku, kalau aku baik maka begitulah kondisimu, kita satu. Tuhan tahu itu?
     Di akhir kalimat terpaut tanda tanya seakan AemeL sendiri ragu kalau Julia baik-baik saja meski demikian ia tetap menanamkan keyakinan kalau sahabatnya tidak akan apa-apa. Berikutnya AemeL membuka lembaran words dalam laptopnya dan mengecek beberapa naskah yang belum selesai ia tulis namun beberapa detik ia mengamati semua itu dan tidak ada satu katapun yang bisa ia tulis hingga akhirnya ia kembali menutupnya. AemeL mengamati seisi ruangan kontrakannya, tidak ada yang berubah.
     Setengah jam berikutnya AemeL sudah ada di depan ruangan kerja Wowor, pria itu menyambutnya dengan senyum seperti kemarin-kemarin, tidak ada yang berubah sedikitpun begitupun dengan caranya menyambut kedatangan AemeL.
     “Hai, AemeL.. bagaimana kabarmu? Aku rasa tidak ada jadwal kontrolmu hari ini, ternyata…”
     “Memang tidak ada, aku ke sini hanya ingin bertanya yang mungkin kamu tahu jawabannya.”
     “Tentu saja Ae, aku akan menjawab semua hal yang aku tahu menyangkut pertanyaanmu kecuali tentang keberadaan Julia.” Ujar Wowor penuh simpati namun membuat AemeL tertawa getir.
     “Justru itulah yang ingin aku tanyakan, apa ia tidak menghubungimu dalam beberapa hari ini?” tanya AemeL dengan nada datar dan di mata Wowor itu pertanyaan sangat biasa tidak ada kekhawatiran sama sekali.
     “Untuk apa kamu mencarinya? Jika ia memutuskan untuk pergi berarti ia tidak ingin dekat dengan kamu, bukankah begitu? Ngomong-ngomong bagaimana kelanjutan hubungan kamu dengan sang reporter itu?” tanya Wowor setelah AemeL duduk di depan meja kerjanya.
    AemeL kembali tersenyum. “Bukannya aku ingin mengalihkan omongan kamu, aku malah melihat kamu itu sangat perhatian dengan Julia tapi mengapa saat ia menghilang seolah menghilang juga perasaan kamu padanya? Selama amnesia aku bisa melihat yang terjadi antara kamu dengan Julia.” Pancing AemeL setengah memvonis.
     Wowor malah tertawa renyah. “Kamu pikir seperti itu? Terserah apa penilaian kamu tapi yang aku lihat selama kamu amnesia ia sangat memperhatikan kamu bahkan tidak menghiraukan kesehatannya sendiri, aku pikir dialah satu-satunya sahabat setia di dunia ini tapi sekarang apa yang terjadi? Ia pergi bahkan tanpa sepatahkatapun pesan untuk kamu. Apakah itu masih bisa disebut seorang sahabat?” kata Wowor kemudian.
     AemeL tiba-tiba merasa gerah dalam ruangan ber-AC itu hingga memutuskan untuk pamit. “Kamu benar Wor, tidak ada yang sejati di dunia ini, jadi buat apa aku mencarinya. Sekali lagi, kamu memang benar.” Ia bicara dengan nada tenang namun hatinya sangat tersinggung mendengar pernyataan  Wowor.
     Wowor mengangguk-anggukan kepalanya dengan pasti disertai senyuman tipis. ‘Tidak ada sahabat sejati, Ae. Jika ada yang mempercayai itu, adalah orang bodoh!’
     AemeL keluar dari ruangan Wowor dengan perasaan sakit seolah menyakini ucapan pria itu kalau Julia sengaja meninggalkannya dan pergi tanpa pesan. Dalam perjalanan AemeL menerima pesan dari salah satu temannya yang tidak bisa dibilang dekat tapi cukup akrab karena mereka satu sekolah dulu.
     “Hai, AemeL… apa kabar? Juga dengan Julia? Apa dia pernah memberi kabar padamu? Anak itu sekarang sombong, terakhir aku menghubunginya nomornya tidak aktif.”
     “Aku baik-baik saja, dan Julia juga. Ia mungkin sedang sibuk mengurus bisnisnya, terakhir aku ketemu dia karena ia datang ke Jakarta, sebulan yang lalu.”
     “Syukurlah kalau begitu, oh, ya… bagaimana dengan tulisan-tulisan kamu? Tentunya masih eksis’kan? salam sama Julia ya kalau kamu ketemu dia atau telepon dia.”
     “Oke, Mei. Salam juga buat teman-teman yang lain ya.”
     ‘Julia baik-baik saja!? Ini benar-benar kebohongan terbesar yang pernah aku katakan pada dunia. Ya Tuhan, semoga demikian… Julia masih baik-baik saja.’ AemeL menghela napas panjang. ‘Jika aku bilang tidak tahu keberadaan Julia dan mengatakan kalau aku dan Julia tidak saling kontak, maka teman-teman yang lain tahu kalau selama ini aku dengan Julia tidak harmonis padahal sebelumnya mereka tahunya kami teman yang paling dekat dan selalu memberitahukan hal apa pun tentang kejadian di dunia pertemanan, maka tidak masuk akal kalau aku bilang Julia tidak pernah ada kabarnya lagi. Ya Tuhan.. lindungi Julia dimanapun ia berada.’
     Untuk menghilangkan kepenatan pikiran AemeL mengunjungi sebuah toko buku terbesar, di sana ia bisa mengamati beberapa nama penulis besar dan membelikan beberapa buku yang ia rasa perlu. Baginya sebuah buku semacam makanan yang memiliki nutrisi paling dahsyat. Saat ia berada di depan rak buku psikologi seorang wanita dua puluhan berbicara padanya tanpa menatap AemeL dengan seksama.
     “Mencari buku karya siapa, Mbak? Ada banyak buku psikologi karya orang-orang kita di sini tapi aku sedang mencari buku ‘Dunia Sophie’.” Ujarnya. AemeL melirik anak itu sekilas, sepertinya ia mahasiswi psikologi pertengahan semester.
      AemeL yang sudah membaca buku yang disebutkan anak itu jadi tersenyum saja, karena buku yang tidak kurang dari delapan ratus halaman itu telah ia lahap dengan sempurna. AemeL agak kaget saat melihat sebuah novel dengan judul ‘Sebuah Rahasia’ di tangan gadis itu.
     AemeL mengalihkan pandangannya karena sudah menemukan buku yang bagus. “Oke, saya duluan.. semoga kamu cepat menemukan buku ‘Dunia Sophie’ itu.” Ujar AemeL dan ia membawa kakinya yang masih pincang menuju meja kasir. Sedang gadis itu hanya menatap AemeL pergi dengan terpaku, entah mengapa seakan ia kenal dengan wanita tersebut.
~

     AemeL sudah duduk di bangku yang ada di pinggiran rak buku, kalau sudah menghadapi sebuah buku ia bisa lupa dengan yang lain meski hanya sejenak. Setelah beberapa menit dan melahap beberapa halaman pertama ia pun mengangkat kepalanya disertai tarikan napas panjang. Menit berikutnya ia mengeluarkan laptop tapi ia masukan kembali dan memutuskan untuk pulang ke tempat kos karena tidak ada yang bisa ia tulis saat itu.
     Saat di tempat kos ia sudah ditunggu oleh Teguh, pria itu sedang duduk di bangku yang ada di teras dan kelihatannya ia sudah terlalu lama di sana. Ia langsung bangun dari tempat duduknya setelah melihat kemunculan AemeL dan AemeL tidak heran kalau pria itu bertahan di sana sebab ia tidak memiliki nomor yang harus dihubungi. AemeL membuka pintu dan mengajak pria itu duduk di ruang tamu dengan pintu terbuka lebar. Teguh masuk dengan perasaan lega bercampur lelah dan itu terdengar dengan jelas di telinga AemeL saat pria itu menghempaskan bokongnya di atas kursi. AemeL meletakkan tasnya kemudian membawa minuman untuk Teguh.
     “Maaf mengganggu kamu, kedatanganku hanya ingin memastikan kalau kamu baik-baik saja. Bagaimana dengan motor kamu yang di kantor polisi? Aku rasa kewajibanku untuk mengurus semuanya. tolong jangan salah paham, ini semua salahku, kan?” ujar Teguh dengan perhatian penuh.
      “Minumlah dulu.” Hela AemeL tanpa ingin merepotkan Teguh, bagaimanapun ia punya kenalan seorang polisi yang bertugas di sana. “Bukannya bermaksud tidak mengindahkan maksud baik kamu, tapi sudah ada yang mengurus.” Tambah AemeL setelah Teguh meneguk minumannya.
     “Siapa?” tanya Teguh dengan cepat karena ia takut ada pria lain yang mengambil alih perannya.
     “Seorang teman.”
     Pastilah teman itu seorang pria, pikir Teguh. “Mm… aku merasa tidak enak karena kamu masih sakit seperti itu.” Ia melirik ke arah kaki AemeL sekilas. “Sekarang kamu jadi tidak bisa bawa motor lagi untuk ke mana-mana. Mm.. kalau kamu tidak keberatan, aku ingin sekali mengantarmu jika kamu ingin pergi-pergi.” Sampai kapanpun Teguh tetap merasa sangat bersalah.
     “Nanti dikira tukang ojekku.” Kata AemeL setengah bercanda membuat Teguh jadi tertawa.
     “Kamu bisa saja.” Teguh bisa melihat kalau AemeL ternyata bisa bergurau juga.
     “Tidak apa-apa Guh, nanti juga aku bisa bawa motor lagi kok.”
     “Oh, ya. Aku dengar kabar kalau Julia menghilang, kok bisa?” tanya Teguh dan membuat AemeL kaget juga mendengar Teguh tahu berita itu. “Apa ia diculik? Jika hal itu benar, kami sebagai jurnalis mungkin bisa coba mencari jejaknya dan satu lagi, aku harus membayar semua biaya rumah sakit kamu meski aku tidak bisa menyembuhkan luka kakimu dan waktu kamu yang telah menghilang selama ini.” Ujar Teguh dengan nada serius.
    AemeL menggeleng lembut. “Tidak, lupakan tentang itu dan mengenai Julia ia tidak mungkin diculik!” bantah AemeL dengan tegas dan sedetik berikutnya ia coba memahami kata diculik itu. ‘Apa mungkin seorang gadis semulia dan sepintar Julia menjadi korban penculikkan? Rasanya tidak mungkin, tapi bukankah tidak ada hal yang tidak mungkin di dunia ini?’ “Julia telah kembali menjadi dirinya sebelum aku amnesia.”
     “Maksudnya?” Teguh mengeryitkan kedua alisnya karena tidak mengerti sama sekali.
     “Lupakan, aku kenal siapa Julia jadi… sampai saat ini ia baik-baik saja.” Ujar AemeL karena tidak ingin pria itu tahu bagaimana dilema persahabatannya dengan Julia. Cukup Wowor saja yang tahu karena ia memang sudah terlanjur tahu sebab kondisi saat itu mengharuskan ia tahu.
     “Oh, ngomong-ngomong kamu sudah makan?” kata Teguh setelah melirik arlojinya yang sudah menunjukkan pukul satu siang. AemeL mengangguk meski ia sebenarnya belum makan. Teguh hanya tersenyum.
     “Aku minta Pin BB kamu ya, besok malam aku ingin mengajak kamu keluar. Aku mohon kamu tidak menolak jika tidak ada kegiatan.” Itu ajakan kencan pertama yang keluar dari mulut Teguh. AemeL wanita dua puluh tujuh tahun tak perlu mencerna kata-kata Teguh, apakah pria itu sedang kosong?  Tidak ada yang tahu, apalagi AemeL yang nota bene baru kenal dengannya. AemeL tidak mau ada embel-embel hutang budi diantara mereka.
     AemeL menyebut pin BB-nya lalu berkata. “Aku tidak bisa memastikan apakah besok malam ada kegiatan atau tidak.” Sahutnya. Teguh memaklumi dan itu bukan kata-kata yang terdengar seperti jual mahal atau gengsi dan sepertinya memang kata itu jujur apa adanya.




**















Sangkar cinta Buta
     Di dalam ruangan yang serba ada termasuk televisi, Julia mengedarkan seluruh pandangannya ke semua sudut. Tidak ada yang ia kenal, mungkin seperti itulah yang dialami oleh AemeL saat mengalami amnesia. Pikirnya. Julia coba mencari remote televisi namun beberapa saat tidak ia temukan, ia coba mendekati layar untuk menyalakannya namun tidak ada satupun kabel yang terhubung ke benda yang bisa menghasilkan gambar hidup itu. Julia menghela napas dengan berat, tadinya ia bermaksud menyalakan layar itu agar tahu di mana posisinya karena dimanapun atau kota manapun akan menampilkan siaran daerah masing-masing. Sudah beberapa hari ia berada di ruangan tertutup tanpa bisa tahu di mana dan siapa yang membawanya ke tempat itu. Ia tidak memegang ponsel atau satupun barang yang bisa dijadikan untuk berkomunikasi keluar.
     Terakhir yang Julia tahu ia dicegat oleh orang tak ia kenal di depan apartemen, orang itu langsung menutup mulut dan matanya. Bau harum yang menempel di mulutnya membuat ia jatuh pingsan saat dimasukkan ke dalam sebuah mobil. Tidak tahu berapa menit atau bahkan berjam-jam lamanya, setelah sadar ia sudah ada di tempat terkutuk itu. Julia pun menemukan barang pribadinya yang ia bawa dari Palembang. Jika barang itu ada bersamanya berarti orang itu sempat masuk ke apartemen dan juga mungkin menculik AemeL. Membayangkan AemeL membuat Julia sedih, sebab kondisi gadis itu masih sakit. Julia coba mencari pintu yang bisa dibuka dan berharap mendengar suara AemeL di sebelah yang mungkin dikurung bersebelahan dengannya. Julia mendekati sebuah pintu yang terlihat seperti pintu ruang tengah. Jangankan membuka, menggerakkan sedikit saja tidak bisa. Pintu itu terlalu kokoh, dengan bahan kayu jati yang tingginya mencapai dua setengah meter. Julia melirik ke belakang, ada pintu dengan dua sisi yang tidak kalah kokoh dengan pintu ruanga tengah. Di sekitarnya ada sofa mewah, karpet tebal berwarna hijau tua dan disini ruangan ada sebuah lemari es berukuran besar dan sebuah rice cooker sedang. Di kiri kanan ada jendela berukuran lebar dengan masing-masing dua sisi yang bisa dibuka tapi dari sejak pertama jendela itu terkunci, sepertinya dikunci dari luar. Jendela itu seperti jendela rumah tua karena dibagian bawahnya dibuat pentilasi dari kayu, hingga berbentuk sebuah sisir besar. Di kanan Julia sebuah kamar tidur berukuran besar, disanalah Julia tidur dan dikamar itu ada kamar mandi sendiri, semua isi kamar mandi sangat mewah tidak kalah seperti kamar mandi yang ada di hotel bintang lima tapi situasi kamar tidur sangat klasik tapi entah mengapa Julia tidak merasa takut sama sekali berada di tempat itu, ia hanya penasaran. Siapa yang membawanya ke tempat itu dan apa mau orang itu darinya.
     Julia memegang perutnya yang sudah mulai menyanyi keroncong, jika tidak makan ia akan sakit tapi ia tidak ingin makan lagi dari orang yang tidak ia kenal.
     ‘Ya Tuhan, jika tempat ini adalah musibah besar bagiku dan keluarga maka keluarkan aku dari penjara ini namun jika semua ini kehendak-Mu yang akan menebus segala dosaku maka aku iklas berada di sini.’ Guman Julia dalam hati. Detik berikutnya pintu ruang tengah terbuka. Seorang pria bertubuh binaragawan masuk dengan membawakan sebuah nampan berisikan lauk, ayam bakar pedas. Ia meletakkan nampan itu di meja samping pintu. Dari kemarin Julia mengajak pria itu bicara dan bertanya banyak hal tapi tak satupun kata yang keluar dari mulutnya, ia mungkin gagu atau memang dikunci paksa oleh orang yang punya rumah itu.
     “Tolong keluarkan saya dari sini.” Pinta Julia untuk kesekian kalinya. Dan lagi-lagi pria itu menggeleng seperti kemarin. Itu menandakan kalau ia tidak punya hak mengeluarkan Julia. Julia mendekati pria itu dan dengan secepat kilat ia menghalanginya agar Julia menjaga jarak kalau tidak Julia akan celaka. Pria itu mengangkat telapak tangannya yang terbuka mengisyaratkan agar Julia tetap berdiri di tempatnya. Julia melihat ada sebuah senjata api di pinggang pria itu. “Aku mohon, aku harus pergi. Temanku akan cemas kalau tidak dapat kabar dariku. Aku tidak butuh lauk itu, aku hanya ingin pergi dari sini! Apa kamu yang membawa aku ke sini?” tanya Julia meski ia bisa menebak kalau pria itu hanya suruhan. Dua kali kepala itu terlihat menggeleng dengan pasti dan tandanya Julia tidak bisa memaksanya.
     Detik berikutnya pintu kembali ditutup dengan rapat membuat Julia ingin menangis. ‘Tidak! Aku tidak boleh menangis, orang gila itu akan merasa menang kalau aku nangis. Tidak… aku harus mencari cara bagaimana caranya bisa keluar dari sini, tapi kalau aku jatuh sakit bukannya aku malah dibawa ke rumah sakit dan itu artinya aku keluar dari ruangan terkutuk ini.’ Julia menarik napas dalam-dalam. ‘Tapi alangkah bodohnya jika hanya untuk keluar aku mengorbankan kesehatanku., memangnya tidak ada pilihan lain?’
     Julia tidak menghiraukan lauk nikmat yang ada diatas meja kecil di samping pintu, matanya melirik meja yang di dekat galon freezer di mana tersedia beberapa bungkus kopi instan dalam berbagai merek. Julia yang maniak kopi tapi dari kemarin belum satupun ia buka kopi itu meski air panas tersedia selalu. Mata Julia mengamati setiap sudut ruangan dan kali ini yang ada dibagian atas kalau-kalau ada kamera cctv yang dipasang tapi ia tidak menemukan satupun kamera kecil yang ada pada setiap sudut ruangan. Suhu ruangan tidak bisa dibilang panas ataupun dingin, Julia curiga kalau posisinya ada di sebuah pedesaan atau mungkin di sebuah desa terpencil. Sekali lagi ia menarik napas panjang bersamaan dengan sahutan perutnya yang minta diisi namun Julia tak menghiraukannya. Julia kembali ke kamar, ada sebuah mukena di sana, zuhur sudah lewat membuat ia buru-buru ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya meski tak ada satupun debu yang menempel di kulitnya. Julia mengunci pintu kamar mandi dengan rapat sekali dan ia pastikan tidak ada satupun kamera yang ada di kamar mandi mewah itu. Di tempat perlengkapan sabun ada beberapa botol shampo wanita dari puluhan merek. Ia memilih yang biasa ia pakai.
     ‘Apa maunya orang itu? Mentang-mentang ia bisa menyediakan segalanya maka apa pun ia sediakan dalam berbagai merek. Jika ia bisa memiliki segalanya untuk apa ia membawa aku ke sini sebagai tawanannya atau mungkin akan ia jadikan tumbal? Ya Tuhan.. lindungi aku dari marabahaya, Ibu.. doakan aku supaya tidak kenapa-napa.’ Pinta Julia dengan begitu ia bisa sedikit tenang, karena ia yakin apa pun alasannya orang itu pasti punya niat yang tidak bisa ia bayangkan. Julia tidak dapat menebak siapa orang yang menyebabkan ia terkurung. Julia membasahi rambut dan seluruh tubuhnya, ia tidak mandi menggunakan shower karena ia lebih suka memakai gayung. Taklama kemudian Julia telah selesai mandi dan menyelesaikan shalat zuhurnya dengan menentukan kiblat dari arah matahari yang masuk ke dalam kisi-kisi kamar karena tidak ada petunjuk kiblat di dalam rumah itu. Dan lagi-lagi perutnya bersuara membuat Julia mulai membenci suara itu.
     Mata Julia kembali mengamati seisi kamar dengan bangunan klasik, tempat tidur dari kayu dengan kasur empuk, meja dan lemari semua terbuat dari kayu. Lemari hanya satu pintu dan isinya hanya tas Julia sedang di meja kecil itu ada beberapa buku tebal entah itu karya siapa Julia tak pernah tertarik untuk mendekatinya. Ada tiga buah handuk yang masih terbungkus dengan plastik, sepertinya baru. Julia tidak pernah menyentuhnya karena dari Palembang ia membawa handuk meski ukurannya tidak bisa dibilang besar.



**












Arjuna Masakini
     Adakah wanita yang menolaknya? Dua orang pria sedang berbincang di sebuah kafe terbuka, zaman sekarang melihat dua orang pria tampan dengan pekerjaan mapan sedang makan berdua dengan pria juga akan mengundang tanya pada setiap orang, apakah mereka pasangan kekasih? Oh, dunia ini memang cepat sekali menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang menjurus ke hal negatif. Bukan tanpa alasan karena dunia ini memang sudah rusak semua isinya dalam segala bidang dan setiap hubungan. Orang tua ada yang merusak putrinya sendiri, saudara sekandung ada yang membunuh saudaranya sendiri, para pejabat saling sikut di kursi kekuasaannya yang hanya sementara itu. Tidak tahu lagi di mana mencari sebuah hubungan suci di dunia ini seakan semuanya telah dinodai oleh nafsu orang yang kurang beriman.
     “Kamu tidak merasa kehilangan dengan hilangnya Julia?” tanya pria yang berkemeja abu-abu, dia adalah Teguh sang reporter ternama di sebuah stasiun televisi swasta. Ia menatap pria yang ada dihadapannya yang sedang menikmati minuman ringannya. Dia bernama dr. Wowor Vandeep, dokter muda yang punya potesnsi dan mencintai pekerjaanya dengan sepenuh jiwa tidak peduli dengan wanita-wanita yang coba mendekatinya sebab ia tidak akan memberikan harapan pada wanita yang tidak bisa membuatnya jatuh cinta.
     “Mengapa aku yang harus merasa kehilangan? dia adalah wanita yang baru aku kenal namanya dalam sebulan belakangan. Diantara kami juga tidak ada hubungan apa-apa yang terjalin.” Jawabnya dengan enteng. Teguh mengamati wajah pria itu sejenak lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain sambil berkata.
     “Aku juga baru mengenali AemeL tidak lebih dari sebulan, seandainya dia yang menghilang maka aku akan mencarinya tak peduli ke ujung dunia sekalipun.”
     “Berarti kamu mencintai wanita itu melebihi apa pun di dunia ini, kasihan sekali. Apakah jika kamu hilang ia akan peduli? Aku rasa tidak!” nada Wowor sinis bahkan mengandung ejekan untuk Teguh. “Apa karena kamu telah mengakibatnya cacat sehingga menimbulkan rasa kasihan? Cinta dan rasa kasihan itu dua hal yang berbeda, Bung.” Tambahnya.
     Teguh tertawa halus dan menyadari kalau Wowor sedang mengejeknya. “Andai saja Anda mengerti dan memahami misteri sebuah hati.” Ujar Teguh seakan berkata sendiri. Ia lalu meneguk habis minumannya memaksa Wowor mengamatinya dan pria itu terdiam.
     ‘Tidak ada yang lebih mengerti dengan misteri hati selain aku, cinta akan membuat Anda gila.’ Guman Wowor dalam hati. ‘… dan Anda tidak tahu betapa besar perasaanku pada Julia.’
     “Apa Anda yakin kalau Julia benar-benar hilang?” kata Wowor kemudian. “Anda tidak akan pernah tahu, siapa tahu ia kembali ke kampung halamannya.” Mereka bicara dengan sebutan Anda dan terkadang kamu. “Zaman sekarang banyak hal yang dilakukan orang yang tidak masuk akal. Hubungan Julia dengan AemeL itu tidak harmonis.”
     “Apa maksud Anda tidak harmonis?” tanya Teguh dengan nada sangat penasaran.
     “Lupakan.” Jawab Wowor yang sama persis seperti jawaban AemeL saat itu.  
     “Apa Anda mencintai Julia?” pertanyaan yang menjurus menuduh.
     “Saya tidak seperti Anda bisa jatuh cinta pada wanita yang baru dikenal. Maaf, sepertinya saya harus kembali ke kantor.” Kata Wowor yang bermaksud ingin kembali ke rumah sakit. Bukannya ia tidak menghargai Teguh dan sok jadi orang penting tapi ia tidak suka pria itu membicarakan tentang Julia.
     Setelah Wowor pergi Teguh menghubungi AemeL karena gadis itu telah memberikan nomon pin BB sekaligus nomor teleponnya.
     AemeL yang sedang mengetik di kamar kosnya melirik nomor masuk di LCD BB-nya, setelah beberapa detik baru ia angkat. “Ya, halo?”
     “Halo Ae, ini Teguh. Aku jemput pukul tujuh malam ini ya?” kata Teguh mencoba bicara apa adanya, ia tidak mau terkesan mengemis meski ia sangat ingin melakukannya. AemeL tidak bisa langsung menjawab, entah apa yang harus ia jawab padahal ia tahu kalau Teguh akan meneleponnya. Seharusnya ia sudah menyediakan beberapa jawaban baik itu menghindar ataupun mengiyakan. AemeL melirik jam weker di meja kecilnya dan masih pukul empat sore.
     “Maaf Guh, aku sepertinya tidak bisa. Sekali lagi maaf.” Sahut AemeL tidak bermaksud mengecewakan pria itu namun tetap saja Teguh kecewa, itu terdengar dari nada jawabannya.
     “Oh, tidak apa-apa. Baiklah…. Selamat berkatifitas ya.” Hela Teguh dengan nada lemah. “Dan, jaga kesehatan. Selamat sore.” Ia mengakhiri telepon.
     AemeL menghela napas panjang hingga dua kali, ia melirik layar laptopnya di mana lembaran words-nya sedang menunggu. Ia memang sedang asyik menulis tapi sekarang tidak berminat lagi. Telepon dari Teguh telah membuyarkan semua isi cerita di dalam otaknya. AemeL merasa tidak pantas pergi dengan Teguh sementara ia tidak tahu di mana keberadaan Julia sahabatnya, apakah gadis itu baik-baik saja atau nyawanya sedang terancam?! Hanya Tuhan yang tahu namun setiap saat AemeL selalu berdoa untuk keselamatan Julia meski setiap ia coba menghubungi nomornya tetap tidak aktif.
     Selepas maghrib, Wowor mengunjungi AemeL di kediamannya. Yang melihat Teguh datang kemarin siang pastilah mencap AemeL sebagai gadis menerima setiap pria yang datang ke tempat kosnya. Bukannya AemeL tidak berpikir ke arah itu, tapi orang tidak akan tahu apa yang ia kerjakan karena pada prinsipnya orang lain kebanyakkan akan berpikiran negatif.
     “Mengapa tidak telepon dahulu?” kata AemeL setelah Wowor duduk di ruang tamunya.
     “Mm.. maaf, apa aku mengganggu acara kamu?” Wowor merasa tidak enak juga. “Bagaimana dengan kakimu?” tanyanya dengan tulus.
     AemeL mengusap pergelangan kakinya sejenak. “Sudah tidak begitu sakit, tapi belum bisa naik motor.” Ia tertawa halus. “Aku sudah tidak apa-apa sih, hanya saja saat ini aku tidak bisa tidak memikirkan Julia. Entah di mana ia berada sekarang.”
     “Sudahlah, siapa tahu ia sedang bersenang-senang dengan seseorang.” Timpal Wowor membuat AemeL tersenyum.
     “Ya ya, siapa tahu kamu benar. Tidak ada pentingnya memikirkan orang yang tidak memikirkan kita. Kalau ia peduli sama aku pasti ia pergi dengan baik-baik atau setidaknya pamit.” Hela AemeL tapi Wowor tidak tahu kalau hati AemeL sedang hancur dan sakit sekali memikirkan keselamatan Julia.
     “Kalau kamu ingin pergi ke mana-mana jangan sungkan menelepon aku, aku siap mengantarmu.. karena saat ini kamu tidak bisa naik motor, kan? Jadi, anggap saja aku ini pengganti temanmu yang sudah menghilang itu.”
     AemeL mengamati wajah Wowor dengan seksama. “Apa kamu tidak keberatan membantu aku mencari keberadaan Julia?”
     “Ah, itu lagi. Bukankah kita sudah membahasnya?”
     “Ya, siapa tahu ia sedang bersama seseorang dan melupakan aku. Aku ini memang bodoh.” Senyum AemeL mengembang dan di mata Wowor terlihat dengan jelas kalau AemeL tidak merasa kehilangan. “Apa kamu tidak punya perasaan apa-apa dengannya? Bukan tanpa alasan aku bicara demikian, karena selama ini aku melihat kamu menaruh perhatian sama dia.”
     “Yang orang lihat terkadang tidak seperti kenyataannya.” Jawab Wowor dan AemeL menemukan ada ketidakjelasan dari pengakuan itu. Wowor sedang bicara bohong, karena AemeL tahu kalau pria itu menyukai sahabatnya begitupun sebaliknya. “Bahkan kamu mungkin tidak tahu jika aku mengatakan kalau aku menyukai kamu. Apa kamu bisa percaya itu?” tambah Wowor membuat AemeL agak terperangah. “Lupakan, aku pasti sedang meracau.” Ralat Wowor sambil tertawa membuat AemeL ikut tertawa meski kehadiran Wowor tak bisa mengubah perasaannya yang lagi kacau, ia tidak akan bisa tenang sebelum tahu keberadaan Julia. Bagaimana pun Julia adalah seorang sahabat yang amat sangat berarti baginya dan yang membuatnya tidak mengerti adalah, bagaimana perasaan Wowor pada Julia? Waktu sebulan kebersamaan mereka ia selalu bisa melihat kalau Wowor punya perasaan sayang pada Julia dan ia tahu Julia punya rasa yang sama dengan Wowor dan saat ini ada ketidakpedulian Wowor pada Julia terlihat begitu nyata, apakah diantara mereka telah terjadi perjanjian atau ada salah satu mereka merasa kecewa?
     “Bagaimana kalau kita keluar? Besok aku libur dan senin malam baru dinas.” Ajak Wowor seperti seorang teman mengajak temannya keluar untuk sekedar menghirup udara segar. Julia terlihat berpikir untuk beberapa saat hingga akhirnya mengiyakan setelah mempertimbangkan banyak hal, diantaranya siapa tahu ia bisa mendapatkan informasi tentang Julia.
     Setelah menikmati beberapa menit jalanan macet akhirnya Wowor dan AemeL bisa bernapas lega di sebuah tempat makan istimewa. Saat mereka sudah duduk Wowor mengomentari pakaian AemeL.
     “Aku suka cara berpakaianmu, terkesan sekali kalau kamu itu orangnya simpel dan pintar. Cara berpakaian kamu dengan Julia sebenarnya tidak jauh beda.” Tutur Wowor dengan penuh rasa simpati. AemeL tak merespon karena dari kata-kata Wowor ia bisa menangkap kalau sebenarnya selama ini pria itu memperhatikan cara berpakaian Julia.
     “Bawaan dari zaman sekolah.” Akhirnya AemeL bicara juga.
     “Pakaian juga mencerminkan pribadi seseorang. Oke, kamu mau pesan apa?” ia menyodorkan kertas menu kehadapan AemeL dengan santai.
     Sebelum meraih lembaran menu AemeL sudah berkata lebih dulu. “Aku dan Julia sebenarnya suka sekali dengan menu ikan bakar yang sangat pedas, tapi ayam bakar juga. Lalapannya daun singkong muda direbus dan sambel ijo.” Ia mengamati suasana sekilas. “Tapi di sini aku rasa tidak menyediakan menu seperti itu.”
     “Lihat saja dulu, menu kesukaan kalian itu seperti masakan Padang ya.” Ujar Wowor. “Nanti kita akan mengunjungi tempat makan  yang menyediakan khusus menu seperti itu.”
     AemeL hanya tersenyum. “Tidak apa-apa, aku bisa makan apa saja yang penting sehat.” Ia mengamati daftar menu yang tersedia. Nasi goreng, segala macam mie, sea food serta segala macam minuman jus. “Makanan berat semua.” Ujar AemeL kemudian.
     “Makan berat waktu malam tidak masalah, asalkan tidak langsung tidur minimal dua jam dan minuman jus bisa menetralisir kolestrol.” Wowor menatap AemeL sejenak. “Tolong tulis pesananku sekalian, kepiting asam pedes tanpa nasi dan jus jeruk.”
     AemeL pun menulis pesanan Wowor dan ia pun memesan menu yang sama persis. “Julia paling benci dengan makanan kepiting, alasannya makannya terlalu lama menghabiskan waktu, ia suka makanan yang cepat mengenyangkan, lalu ia bisa bersantai setelah itu sambil menikmati obrolan ringan dan menikmati kopi kegemarannya.”
     “Begitu ya?”
     “Ya, dia suka pergi jalan-jalan dan yang pasti dengan orang-orang yang cocok dengannya. Dia tidak suka orang pamer kekayaan, ia tidak suka dibanding-bandingkan dengan orang lain, ia bisa terbuka sekali dengan orang yang ia anggap memahaminya tapi ia paling benci pada orang yang tahu titik lemahnya. Dia tidak pandai memasak tapi tahu hampir semua tempat makanan enak termasuk di Jakarta ini.” Tutur AemeL seolah tidak sadar, karena ia sangat merindukan sahabatnya itu. Pesanan mereka telah datang, sejenak mereka merapikan meja untuk mulai menyantap hidangan. Wowor masih diam seolah masih ingin mendengar banyak tentang Julia dari mulut orang yang ia anggap paling dekat dengan Julia.
     Sambil meraih sendok garpu AemeL bicara lagi. “Julia itu paling benci orang menikmati makanan dengan tangan kiri. Hmmm… menurut aku, dia itu adalah gadis yang perfect sekali. Tidak suka bergosip tapi suka memberi saran kepada semua teman-temannya, tapi….  kalau ada teman yang suka ngocol ia bisa masuk dan menjadi lebih gila bercandanya, memang gadis serba bisa dia itu, kecuali masak. Terbayangkan… bagaimana beratnya ia menjalani hidup satu bulan lalu di apartemen? Ia mencuci piring, gelas dan masak meski hanya nasi goreng..” AemeL terdiam dan Wowor masih menyimaknya, pria itu  mendengar dengan sangat detil seolah cerita AemeL lebih menarik dari kepiting yang ada dihadapannya. “Dia hanya butuh seorang pria yang bisa mengayominya, bisa menjadi imamnya sekaligus punya ilmu agama minimal satu level darinya.”
     Mendengar itu memaksa Wowor meneguk jus jeruknya, sedang AemeL mulai menikmati kepiting di dalam piringnya. “Tidak ada manusia yang sempurna, kan? Sehebat-hebatnya Julia dan sebaik-baiknya dia, tetap saja ia orang yang tidak tahu sopan santun karena pergi tanpa berita.” Celetuk Wowor seakan cerita AemeL tidak berarti baginya. Bersamaan dengan itu sebuah layar televisi yang ada disudut ruangan sedang menyiarkan berita off air dan seorang reporter tampan berdiri di tempat kumuh untuk menyajikan kondisi yang masih memprihatinkan di sisi lain Jakarta.
     “Dia.” Kata Wowor saat menyimak berita itu. “Dia suka sama kamu, mungkin lebih dari yang kamu kira.” Ia menunggu respon dari AemeL.
     “Apa….?” AemeL agak terperangah, mungkin bukan karena kata-kata Wowor tapi karena tadi sore pria itu menelepon dan ingin mengajaknya pergi tapi ia malah bersama Wowor.
     “Aku bicara serius, ia sangat mencintai kamu. Aku jadi iri mendengar cintanya yang begitu besar sama kamu.” Tambah Wowor. “Apakah cinta itu bisa muncul saat seseorang merasa bersalah? Tapi aku merasa kamu beruntung Ae. Dia pria baik-baik, dua tahun lalu kekasihnya meninggal karena kecelakaan saat meliput berita bencana tanah longsor, ia berada terlalu dekat dengan lokasi hingga ikut tertimbun karena waktu itu masih gerimis. Mereka satu profesi tapi tidak berjodoh.” Urai Wowor dan membuat AemeL jadi merinding mendengarnya. Sosok Teguh sudah menghilang dari layar kaca, AemeL menatap Wowor masih penuh tanya. “Teguh bukan temanku, tapi kami pernah bertemu beberapa kali, ia banyak cerita tentang dirinya dan kamu.”
     “O…” hanya itu kata yang keluar dari mulut AemeL dan ia coba membasahi tenggorokannya dengan jus jeruk yang dingin tapi cerita Wowor masih menggema di otaknya.
     “Kamu mencintai Julia?” itu pertanyaan untuk kesekian kalinya AemeL lontarkan pada Wowor.
     “Kamu mengira demikian?”
     “Aku sedang bertanya.”
     “Oke, nanti kalau kamu sudah bertemu dengan Julia katakan juga pertanyaan seperti itu lalu aku akan menjawab pertanyaanmu tanpa tahu apa jawaban Julia padamu.”
     Mendengar itu membuat AemeL tidak bisa menahan tawanya. “Kamu itu pandai sekali mengelak, apa susahnya bilang iya atau tidak. Apa kita seumuran atau……..?”
     “Aku sudah kepala tiga.”
     “O.” AemeL mengangguk-angguk pelan karena ia sendiri baru masuk usia 27 tahun. “Usia kepala tiga sepertinya sangat pas untuk menikah.”
     ‘Aku akan menikah hanya dengan Julia.’ Sahut Wowor dalam hati.
     “Kamu sendiri?”
     “Tadinya menargetkan menikah usia 25 tapi sekarang malah tidak punya target lagi.”
     Tidak ada yang bicara lagi selain suara sendok terdengar pelan menemani mereka menghabiskan malam itu bersama. Pertemanan itu sudah dimulai saat mereka mulai mengenali diri masing-masing. Jika Wowor mengakui menyukai dan mencintai Julia itu tidak salah, sebab Julia adalah gadis yang nyaris sempurna dambaan pria, tapi siapa yang percaya kalau Wowor yang tampan, punya karir bagus diusia tiga puluhan tidak punya pacar? Rasanya sangat tidak mungkin, AemeL tidak akan membiarkan sahabatnya jatuh cinta dengan pria yang akan membuatnya patah hati.
     ‘Ah, apakah menghilangnya Julia lantaran ia telah patah hati karena sudah mencintai Wowor dan mengetahui kalau pria itu sudah punya calon istri? Dan tanpa memberitahu aku karena ia benar-benar ingin menghilangkan jejaknya dari Wowor! Ya Tuhan, apakah dugaanku ini benar?’ AemeL menghela napas berat. ‘Tidak, meski ia punya tampang Arjuna tetap ia tidak pantas menyakiti hati Julia. Tapi yang lebih susah adalah… jika Julia telah kembali menjadi dirinya sebelum aku amnesia, baiklah Julia, aku akan mengikuti keinginanmu, kau berjalan di duniamu dan aku juga begitu.’
     AemeL sudah berhenti memikirkan Julia, kini ia akan kembali fokus dengan dunia tulis-menulisnya selain tetap berdoa semoga Julia baik-baik saja.
     “Apa kamu sudah bisa melupakan Julia?” suara Wowor tiba-tiba menghalau lamunan AemeL.
     AemeL coba tersenyum seindah mungkin dan setegar yang ia mampu. “Tentu saja, dan satu lagi… jangan percaya dengan apa yang pernah saya ucapkan.” Tambah AemeL dengan sangat yakin membuat pria itu tersenyum dengan penuh kemenangan meski tidak begitu mengerti apa maksud dari kata-kata AemeL tersebut.
     ‘Kamu memang benar Ae, tidak ada yang abadi di dunia ini, sabahat? Omong kosong dengan yang namanya persahabatan!’ saat itu muncul kebencian di benak Wowor pada AemeL. Entah mengapa kebencian itu ada.
     AemeL tidak menyadari kalau pria itu sudah membencinya hingga ke ubun-ubun, pesona AemeL tidak mempan dipikiran Wowor serta segala macam kepintaran dan wawasannya. Di perjalanan pulang tidak banyak yang mereka bicarakan. Wowor lebih banyak diam begitupun AemeL. AemeL pun tidak tertarik sama sekali dengan pria matang yang memiliki wajah indo itu, meski tidak sedikit wanita yang mendambakan cintanya apalagi di kalangan rumah sakit tempat Wowor bernaung. AemeL tiba-tiba kangen dengan Teguh, pria sawo matang, mandiri dan terkesan bisa melakukan apa saja. Terpikir oleh AemeL untuk mengirim BBM pada Teguh tapi ia tidak suka kalau Wowor menegurnya dan bertanya mengirim pesan untuk atau pada siapa. Itu menandakan kalau ia sedang bosan duduk di samping Wowor. Detik-detik menunggu mobil sampai di depan kos AemeL rasanya lama sekali, lalu sebuah suara ping dan BB AemeL berdering tapi AemeL membiarkannya, ia akan membukanya nanti di Kos. Wowor melirik ke arah AemeL sekilas.
     “Terima kasih ya, Ae.”
     “Untuk?”
     “Atas kesediaan kamu menemaniku makan malam.” Wowor sudah kembali mengamati jalanan.
     “Oh, itu. Sama-sama. Siapa tahu nanti-nanti aku tidak bisa menemani kamu lagi, kamu seorang dokter yang punya jadwal sangat padat dan aku, kalau sedang punya cerita bagus di otakku, kemanapun orang ajak pergi tidak akan bisa… karena khawatir otakku akan meledak nanti.” Ujar AemeL seperti bercanda namun itu serius sebab kalau ide cerita sudah memenuhi otaknya kalau tidak dituangkan lewat tulisan maka ia tidak akan bisa fokus dengan apa pun yang ada di depannya karena cerita itu akan berseliweran di otaknya, menguasai otaknya untuk diajak keluar dengan sesegera mungkin.
     Apapun yang dikatakan AemeL tidak masuk di akal Wowor hingga ia pun hanya bisa tersenyum simpul. Apalagi kebencian  telah AemeL tanam di otaknya, tadinya ia berharap bisa membawa AemeL datang ke rumahnya, kenal dengan kedua orang  tuanya namun semua itu tidak penting lagi.   
~

     Teguh merasa harus menemui AemeL, cintanya pada gadis itu tidak main-main. Kedewasaan pribadi membutuhkan sebuah kepastian di dalam menjalani hidup. Tidak ada lagi pikiran memikirkan hal yang sudah-sudah, kekasih yang telah lama pergi tidak bisa dijadikan sebagai bahan untuk selalu menikmati kesedihan yang berkepanjangan. Tidak ada alasan untuk menjadi pribadi cengeng.
     Di tempat kos AemeL yang sepi Teguh mendapati gadis itu habis menangis, ia mungkin menangis semalaman. Ingin sekali Teguh merengkuh tubuh itu seerat mungkin meski tak dapat meringankan beban apa yang ia derita. Dan AemeL benci sekali kalau ia kedapatan habis menangis apalagi di depan seorang pria.
     “Aku mungkin datang tidak diwaktu yang tepat.” Hela Teguh namun ditanggapi AemeL dengan gelengan lembut.
     “Aku tidak apa-apa. Hanya saja sedang kangen sekali dengan Julia.” AemeL tidak bisa menyembunyikan perasaan sedihnya pada Teguh berbeda sekali dengan Wowor, dengan pria itu AemeL bisa berpura-pura tidak memikirkan Julia.
     “Apa kita perlu melapor polisi?” Teguh tidak sanggup melihat gadis itu bersedih apalagi di depan matanya.
     Lagi-lagi AemeL menggeleng karena ia tidak yakin Julia menghilang tapi gadis itu sengaja menjauhinya, lagi. dan kali ini ia tidak tahu apa sebabnya, itu yang membuat AemeL lebih sedih.  Julia tidak pernah tahu berapa waktu yang AemeL habiskan untuk memikirkannya.
     “Apa kamu sedang ingin sendiri?” lanjut Teguh. Kali ini AemeL diam, ia mengamati Teguh sejenak dan andai pria itu tahu kalau AemeL sedang membutuhkan seseorang untuk menemaninya. Namun di hati kecilnya tidak bisa menerima kalau keakraban mereka karena insiden kecelakaan itu. AemeL pun tidak tahu jika ada seorang wanita yang merasa tersakiti dengan keberadaan Teguh di tempat kosnya, perkara Wowor pernah mengatakan Teguh sangat mencintainya dan ia telah kehilangan kekasihnya dua tahun yang lalu tidak bisa ia percaya begitu saja. Dunia ini penuh tipu daya sana sini, tak terkecuali dalam dunia asmara. AemeL tidak suka Teguh menguasai suasana hatinya yang sedang lemah.
     “Aku, sebenarnya aku ingin pergi ke suatu tempat.”
     “Aku antar.”
     Sudah AemeL duga kalau Teguh akan melontarkan tawaran itu,  AemeL merasa telah menyesal mengatakannya. “Hmm, tidak usah. Perginya juga nanti sore kok.” AemeL tidak berbohong karena tadi pagi seorang teman sama-sama penulis mengajaknya bertemu di sebuah coffee shop.
     “Hari ini aku libur, Ae. Jam kerjaku nanti malam sampai besok siang. Maklum seorang reporter jam kerjanya tidak menentu.” Jelas Teguh dan sepertinya AemeL memahami, kecuali kalau reporter tetap di studio. AemeL tidak ingin menanyakan satu hal pun tentang kehidupan pria itu, termasuk urusan wanitanya.
     Sorenya, AemeL akhirnya mengizinkan Teguh menemaninya bertemu dengan seorang kerabat yang  sudah ia kenal dalam dua tahun ini lewat Facebook, dan mereka sudah dua kali bertemu. Di area parkir Teguh memarkir motor besarnya dan itu pertama kalinya AemeL naik motor setelah kecelakaan. AemeL tidak lagi menggunakan tongkat karena Teguh melarangnya dengan alasan ia bisa membantu sebisanya. Setelah melepaskan jaketnya AemeL mengamati Teguh yang juga merapikan jaket dan meletakkannya di atas stang motor.
     “Apa temanmu sudah sampai atau kita terlambat?”
     “Itu pertanyaan yang sama.” Hela AemeL sembari tersenyum. “Ia sudah di dalam beberapa menit yang lalu.” Tambah AemeL dan ia bermaksud melangkah tapi segera diraih tangannya oleh Teguh.
     “Biar aku bantu.”
     “Aku tidak apa-apa, sudah sembuh ini kok.” Mereka melangkah bersama-sama karena Teguh tahu AemeL belum sembuh seutuhnya. Dan itu memang benar karena AemeL masih sedikit pincang untuk mengimbangi kakinya yang satu sebab ia tidak bisa membebani kaki kirinya seperti sebelum patah.
     AemeL tersenyum melihat temannya yang sudah duduk di pojok kanan ruangan, dan saat gadis itu melihat kemunculan AemeL bersama seorang pria yang belum ia kenal dan AemeL tidak pernah menceritakan sebelumnya membuatnya agak kaget sebab pria itu baginya bukan pria biasa. Meski tidak pernah bertemu langsung ia mengagumi pria itu dari layar kaca, caranya membawakan berita, suaranya yang khas, senyumnya menawan dan tubuhnya ternyata lebih atletis dari dekat, dan yang membuatnya lebih menarik karena pria itu sangat lihat dan cerdas bila sedang berdialog dengan sumber berita.
     Ia menyambut kedatangan AemeL dengan berdiri. “Hai, maaf aku datang kecepatan karena sudah tidak sabar ingin cerita banyak hal.” Katanya karena ia tahu AemeL itu tidak pernah terlambat bila membuat janji.
     “Tidak, akunya saja yang memang agak terlambat.” Sahut AemeL tidak ingin membuat temannya merasa bersalah. “Oh, ya. kenalkan ini temanku… namanya……..”
     “Teguh Tebolai.” Potong gadis itu hafal betul dengan nama reporter favoritnya membuat pria itu tertawa, ia akan merasa senang kalau gadis itu tahu namanya bukan dari AemeL tapi dari kinerjanya selama ini. AemeL ikut senang karena temannya sudah tahu nama Teguh.
     “Senang bertemu dengan kamu…..”
     “Nurmala.” Sambung gadis itu memberitahu namanya sendiri. Teguh tersenyum lalu melirik ke AemeL diamati Nurmala dan ia berharap hubungan mereka tidak lebih dari teman biasa.
     Detik berikutnya mereka duduk, memesan makanan lalu berbincang layaknya  teman yang sudah seringkali bertemu dan AemeL senang sebab Teguh cepat sekali akrab dengan Nurnala. Sekilas AemeL dan Nurmala mengakui kalau bertemanan mereka berawal dari chat di facebook dan merasa akrab karena memiliki kesukaan yang sama yaitu menulis.
     “Dunia internet memang banyak sekali membantu kegiatan sehari-hari kita, teknologi memang luar biasa, Tapi teknologi akan merusak hidup jika kita tidak bisa menggunakannya dengan baik.” Tutur Teguh lalu menikmati kopi cappuccinonya. Diiyakan Nurmala dengan anggukan lalu ia menatap AemeL.
      “Ae, maksudku mengajak kamu  ketemu di sini ingin menanyakan apakah benar ada penerbit yang mengambil hak kita?” ia bertanya serius dan sebelumnya ia pernah melontarkan pertanyaan itu pada AemeL di jejaring sosial. Teguh membiarkan kedua gadis itu bicara serius tanpa ingin memotong pembicaraan.
     “Nur, kita sebenarnya sudah punya surat kontrak dan di sana tertulis dengan sangat jelas, berapa tahun naskah kita dikontrak, akan dikeluarkan berapa eksemplar dalam cetakan pertama dan berapa royaltinya sudah sesuai dengan kesepakatan pihak pertama dan kedua, begitupun kalau ada cetakan kedua dan seterusnya. Jadi kalau maksud kamu ada pihak penerbit yang diam-diam mencetak diluar kesepakatan itu dan menjualnya lalu mengambil keuntungan sendiri. Yah itu adalah tanggung jawab mereka kepada Tuhan. Rezeki kita tidak akan pernah tertukar Nur.” Ujar AemeL.
     “Ah, terkadang surat MoU itu hanya formalitas saja, di dalamnya mereka bilang akan mencetak ribuan eksemplar namun kenyataannya mereka mencetak lebih banyak dari itu, dan royaltinya akan dibagi sesuai dengan yang habis seperti tertera di surat kontrak padahal mereka telah membuatnya lebih banyak.” Gadis itu merasa belum puas dengan keterangan dari AemeL.
     “Sekarang begini saja, kalau kamu merasa tidak nyaman dengan penerbit kamu sekarang mendingan kamu cari penerbit baru, ada ratusan penerbit di tanah air ini dan jangan takut tidak diterima selagi kamu merasa naskahmu layak untuk diterbitkan. Dalam kasus kamu ini kita tidak bisa hanya menerka-nerka dan akan lebih mudah dibawa ke ranah hukum jika kita punya bukti yang jelas, semisal ada pihak percetakan yang tahu pasti berapa ribu buku kita dicetak, dan kita bisa membandingkannya dengan jumlah yang ada di kontrak.” Tambah AemeL sedangkan Teguh hanya menikmati AemeL yang bicara dan menurutnya AemeL adalah gadis yang luar biasa sehingga ia merasa betah sekali berada di dekat AemeL.
     “Ya juga sih, tapikan kesel juga kalau itu benar. Itu namanya mereka telah mengambil keuntungan sendiri.”
     “Tidak usah terlalu dirisaukan, tidak baik juga jika nanti kamu membuat status di jejaring sosial mengenal hal ini sementara kamu sendiri tidak tahu pasti kebenarannya sebab kadang yang orang beritakan itu belum tentu maksudnya baik untuk kita. Dunia ini pernuh persaingan Nur, dan tidak banyak orang yang bisa bersaing dengan jujur. Satu lagi, kalau kamu membuat kontrak baru pada satu penerbit cantumkan juga, seandainya suatu ketika naskah kamu di-film-kan. Karena royalti naskah film dengan buku itu tidak bisa disatukan. Jangan sampai keliru.” Kali ini AemeL bicara seolah sedang memberikan kuliah pada mahasiswinya.
     “Begitu ya.” Kata gadis yang baru bergelut dalam dunia penerbit sejak empat tahun ini, sedang AemeL sudah lebih dari tujuh tahun meski belum ada novelnya yang difilmkan namun ia tahu banyak dengan dunia satu itu. Karena ia sering menghadiri seminar, punya beberapa orang yang bergelut langsung dalam dunia perfilmaan dan kali ini semoga saja Teguh bisa menjadi salah satu teman baiknya. Nurmala menatap Teguh yang dari tadi hanya mendengar mereka bicara. “Bagaimana menurut kamu, Guh?” ia ingin sekali mendengar pria itu bicara.
     “Topik kalian sangat bagus dan sedikit menambah wawasan saya dalam dunia yang kalian geluti, meski bidangku juga masih ada hubungannya dengan dunia tulis-menulis. Kalau menurut aku sih segala sesuatu itu tidak ada yang susah kalau kita punya bukti yang kuat dan seperti yang disebutkan AemeL tadi… intinya jangan pernah mengatakan sesuatu yang belum kita ketahui dengan pasti kebenarannya sebab itu bisa menjadi bumerang untuk diri kita sendiri.” Tutur Teguh dengan santai. Tapi kata-katanya yang sedikit membela dan menyinggung nama AemeL membuat Nurmala merasa tidak suka. Namun AemeL tidak menyadari itu sebab ia tiba-tiba ingat dengan Julia, kalau sudah ingat Julia ia sedih dan itu bisa langsung mendadak menyerang ketenangan pikirannya. Entah tahu atau tidak dengan kegelisahan AemeL sehingga tangan Teguh mendarat di tangan AemeL dan menggenggamnya dengan erat membuat AemeL agak kaget dan untung Nurmala tidak melihatnya karena tangan AemeL sedang ada di atas dengkulnya yang terhalang oleh meja namun tidak bisa mencegah degupan jantung AemeL yang secara langsung berdetak lebih kencang.
     ‘Ya Tuhan, laki-laki ini akan membuat wajahku memerah dihadapan Nurmala. Tolong lepaskan tanganku.’ Bisik hati AemeL dan detik berikutnya ia menarik tangannya dari genggaman tangan Teguh secara perlahan. Teguh dengan halus melepas genggamannya sembari menatap AemeL dan menciptakan senyum yang sangat manis dan itu membuat Nurmala yang duduk di depan mereka menjadi keki melihat tatapan mesra Teguh untuk AemeL dan senyum manis itu meski dibalas serba-salah oleh AemeL tak membuat Nurmala mengurungkan niatnya untuk segera pamit karena yang ingin ia sampaikan pada AemeL sudah selesai. Sepertinya ia tidak bisa menjadi sahabat AemeL sebab gadis itu adalah kekasih dari orang yang ia kagumi dan berharap pria itu jadi miliknya. AemeL dan Teguh melepaskan kepergian gadis yang masih dibawah dua puluh lima tahun itu. Dari tadi AemeL bisa melihat kalau Nurmala menyukai Teguh tapi tidak terlalu ia ambil pusing sebab perasaan AemeL masih bercabang memikirkan Julia.
     Entah senang atau bimbang, AemeL akhirnya mengikuti ajakan Teguh membawanya ke suatu tempat yang ia sendiri belum tahu. Dengan berboncengan dibelakang punggung Teguh ia terlihat memegang pinggang Teguh seolah khawatir jatuh lagi dari motor dan adegan itu sempat terlihat oleh Wowor yang sedang mengendarai mobilnya saat itu ia disalip oleh Teguh. Wowor menjadi semakin kesal dengan AemeL dan itu mungkin puncak kekesalannya pada gadis itu sehingga ia meninju setir mobilnya beberapa kali.
     Setelah menempuh perjalanan beberapa menit, Teguh dan AemeL akhirnya tiba di Pantai Ancol. Motor itu berhenti di dekat sebuah tenda. AemeL masih tidak habis pikir mengapa ia bisa mengikuti pria itu sampai sejauh itu. Ia sadar kalau ia punya hati dengan Teguh tapi kesannya ia murahan sekali jika mengikuti Teguh tanpa tujuan apalagi hari sudah senja.
     “Untungnya kita tidak terlambat.” Kata Teguh akhirnya. Ia menatap AemeL yang turun dari motor lalu buru-buru membantunya setelah sadar AemeL masih pincang. “Hati-hati.”
     “Kenapa kita ada di sini?” tanya AemeL kemudian. Ada rasa malu dihatinya mengingat tak mampu menolak ajakan Teguh.
     “Sudah lama sekali aku tidak menikmati sunset, mari.” Ia membawa AemeL ke bawah tenda yang ada tempat duduknya yang terbuat dari semen berbentuk melengkung, mereka duduk di sana. Beberapa menit lagi matahari akan tenggelam dan Teguh tidak ingin melewatkan kesempatan itu. Dan saat sunset terlihat ia berjongkok di hadapan AemeL dengan sebuah kotak cincin di tangannya membuat AemeL sangat kaget, kaget sekali. “AemeL Baes… maukah kamu menjadi istriku?”
     AemeL sama sekali tidak bisa menjawab pertanyaan konyol yang selama ini hanya ia lihat di televisi atau di film-film roman dan ia mengganggapnya gombal, tidak masuk akal dan aneh. Tapi saat ini ia benar-benar mengalaminya dan yang melakukan itu bukan pacarnya atau orang yang ia kenal bertahun-tahun.
     Sepasang kekasih yang ada di tenda lain yang sedang menikmati sunset dan angin laut sempat melihat adegan itu. Yang wanita berkomentar.
    “Lihat, pria itu sedang melamar kekasihnya.. hohohoho.. romatis sekali. Kapan ya kamu melakukan hal seperti itu padaku?” ujarnya seperti bicara sendiri, sedang pasangannya hanya diam entah tidak tahu apa yang sedang ia pikirkan melihat adegan itu.
     “AemeL…….” Kata Teguh melihat AemeL belum bisa menjawab permintaanya.
      AemeL meraih tangan Teguh. “Duduklah di atas, tidak baik berjongkok seperti itu.” Sahut AemeL merasa Teguh tidak pantas berlutut di depannya. Bagaimanapun dia adalah seorang pria yang dihargai di rumahnya, seorang anak yang sangat disayangi oleh kedua orang tuanya, seorang kakak yang dihormati oleh adiknya bahkan seorang adik yang mungkin jadi kesayangan di keluarga atau mungkin seorang rekan kerja yang amat dihargai di kantor atas kinerjanya. AemeL menatap Teguh yang sudah kembali duduk di sisinya. “Apa yang kamu pikirkan Teguh…?”
     “Aku mencintai kamu.”
     “Jangan potong dulu ucapanku, pertama kamu bilang mencintaiku dan itu belum juga sampai dua bulan, aku tidak menjawab dan mungkin kamu sendiri bisa melihat bagaimana sikapku ke kamu sehingga kamu bisa merasa kalau aku sebenarnya juga punya perasaan yang sama ke kamu, dan hari ini…….. kamu coba melamarku untuk menjadi istrimu, kamu pikir….”
     “AemeL…….”
     “Aku belum selesai….” AemeL tak melepaskan tatapannya pada Teguh. “Kamu tidak kenal denganku, begitupun sebaliknya. Apa kamu pikir melamar itu sebuah lelucon yang bisa diucapkan kapan dan di mana saja? Apa kamu telah dikecewakan mantan kekasihmu yang menikah dengan orang lain sehingga saat ketemu aku dengan gampangnya kamu memutuskan untuk menikah sehingga terkesan kalau kamu juga bisa menikah dengan segera? Wowor pernah bilang padaku kalau kamu telah kehilangan kekasihmu dua tahun silam karena musibah di lokasi, tapi tetap saja aku tidak kenal dengan kamu seutuhnya dan cerita yang dilontarkan orang lain mungkin tidak sengaja tidak bisa aku jadi patokan. Dan kini…..” AemeL melirik ke arah kakinya sekilas. “Apa karena kaki ini kamu memutuskan untuk menjadikan aku istrimu…..? aku coba menghargai kamu Guh, tanpa memikirkan berapa juta uang yang telah dikeluarkan oleh Julia di rumah sakit karena musibah itu dan kini aku kehilangan dia. Apa kamu berpikir dengan cacat seperti ini aku tidak bisa bekerja dan dijauhi oleh pria sehingga kamu mengambil alih?”
     Teguh meraih tangan AemeL dan kotak cincin itu sudah ia letakkan di sisinya sedangkan sunset telah berlalu tanpa sempat mereka nikmati hanya sinarnya yang keemasan menyinari wajah mereka beberapa saat. “Sudah cukup kamu bicara sayang… kini giliranku. Yang diceritakan Wowor itu memang benar dan aku tidak pernah memintanya menceritakan padamu, ia mungkin tahu kisah itu dari orang lain. Aku membeli cincin ini sehari setelah bertemu dengan kamu di halte itu, jadi tidak ada hubungannya dengan semua hal yang kamu sangka. Aku benar-benar menyukai kamu dan tidak ada kaitannya dengan cidera kakimu. Kalau masalah kenal jauh, yang mungkin semua orang juga tahu untuk sebuah hubungan itu butuh proses dan mengenali keluarga masing-masing. Tidak ada gunanya pacaran setahun atau bahkan sampai puluhan tahun, kalau Tuhan mengatakan tidak jodoh yah.. kita hanya bisa sakit hati.”
     “Teguh, dengarkan aku…”
     “Tidak sayang, jangan mempersulit hal yang sudah gampang. Kamu tinggal sendirian di Jakarta ini, aku tidak mau kamu sakit dan sendirian di rumah. Kedua orang tuaku sudah tidak ada, aku hanya punya seorang kakak perempuan yang sudah menikah dan tinggal bersama anak dan suaminya di rumah mereka. Aku ingin kita hidup bersama, tapi kalau kamu tidak menyukaiku.. itu lain lagi ceritanya, aku tidak mungkin memaksa kamu.” Kata Teguh. AemeL menatap tangannya yang sedang dipegang oleh Teguh, sejenak ia hanya bisa memandang itu. “Nanti aku akan mengajak kamu kenalan dengan kakakku satu-satunya.
     Detik beriktunya AemeL menarik tangannya. “Tidak.” Ia menggeleng-geleng pelan.
     “Kamu tidak suka sama aku?” tanya Teguh tak kalah pelan.
     “Bukan itu…….” AemeL jadi bingung harus apa. Teguh mengangkat tangan kanan AemeL lalu mencium punggungnya dengan lembut. “Kalau kamu tidak bisa  bertemu dalam waktu dekat ini, minggu depan juga tidak apa-apa. Setelah itu, aku ingin bertemu dengan keluarga besarmu yang di Palembang.”
     AemeL merasa terpojok, ia tak bisa pungkiri kalau Teguh serius dengan kata-katanya. “Kamu belum kenal dengan keluargaku, khsususnya aku… aku tidak mau nanti…..”
     “Jangan punya pikiran seperti itu, intinya…. Kita akan segera menikah.” Tegas Teguh.
     “Aku tidak akan menikah sebelum bertemu dengan Julia.” AemeL tiba-tiba melontarkan kata-kata itu. Apakah itu sebuah penolakan atau memang kata-kata AemeL serius? Teguh masih bingung.
     “Julia?! Oh, tentu saja……. Kita akan menemukannya.” Sahut Teguh dengan segera setelah menyadari kalau Julia adalah seorang gadis yang punya peran penting dalam hubungan mereka.
     “Teguh?” panggil AemeL.
     “Ya?”
     “Apa yang kamu lihat dari aku?”
     Teguh bukannya menjawab tapi malah memeluk tubuh AemeL dengan sangat erat seakan ingin mencurahkan semua rasa yang ia punya pada gadis itu. “Jangan pernah bertanya seperti itu sayang, sebagai seorang penulis kamu pasti tahu kalau cinta tidak butuh dijelaskan, kamu mampu membuat hatiku bergetar….. terima kasih.” Ucap Teguh setengah berbisik. AemeL tidak bisa menjawab lagi meski selama ini ia dikenal tidak bisa diam dalam hal bicara, cinta Teguh telah membuatnya terdiam seribu bahasa. Semoga saja cinta Teguh benar-benar tulus. Hanya itu yang mampu ia bisikkan di dalam hatinya sendiri.
~

     Wowor sedang berbincang berdua dengan Maminya di kursi taman samping rumah mereka. Wanita keturunan Jawa kental itu sedang mendengarkan putra tunggalnya bercerita tentang seorang gadis idamannya. Tak biasanya ia bersikap seperti itu karena selama ini ia di mata Wowor adalah seorang Ibu yang otoriter sekali apalagi dalam menentukan calon istri untuk Wowor.
     “Dia bukan seperti wanita pada umumnya, Mi.” kata Wowor lagi dan berharap kali ini Maminya memberikan sesuatu respon lebih jauh supaya ia bisa memberikan alasan-alasan sesuai pikirannya.
     “Tidak apa-apa sayang….”
     “Dia tidak bisa masak, bukan wanita yang feminin, wanita yang biasa bekerja di luar rumah dan dia berasal dari Sumatera.” Tambah Wowor yang sudah siap mendengar segala bentuk protes Maminya yang akan mengatakan semua hal tentang watak orang Sumatera yang ia anggap  kasar, tidak sopan dan bicara sesukanya dan berbagai cap jelek lagi lainnya. Wowor bukan anak mami yang harus disediakan segala urusannya oleh maminya. Ia pria mandiri meski demikian maminya mau anaknya diurus oleh wanita yang tepat, yang menyanyanginya bukan lantaran hartanya atau kedudukan papinya di kantor. Ia ingin Wowor menemukan wanita yang mencintai dan dicintainya. Karena kedua itu merupakan modal yang kuat, seiman dan saling menghargai. Sejatinya bukan dari suku mana asal manusianya tapi sikap yang diajarkan di dalam keluarga itu merupakan tonggak awal pembentukan watak seseorang.
    Wanita itu menatap anaknya dengan seksama dan ia tidak ingin melihat anaknya yang sudah kepala tiga itu untuk terus hidup tanpa pasangan lantaran kekerasan hatinya memilih pilihan untuk anaknya sementara banyak teman-temannya sudah menimang cucu,  bahkan ada cucu temannya yang sudah masuk sekolah SMP. Ia merasa kesepian di rumah sementara suaminya masih sibuk menjalani bisnis, mengurus perusahaan. Andai saja Wowor menjadi bisnisman penerus Papinya mungkin suaminya itu sudah pensiun dan duduk manis di rumah tapi Wowor memilih hidup dalam bidang yang ia sukai.
     “Tidak apa-apa sayang, intinya kalau wanita itu mencintai kamu begitupun sebaliknya itu sudah cukup buat Mami. Kapan kamu mengenalkannya sama Mami dan Papi…?” ujarnya ingin buru-buru Wowor membawa wanita itu kehadapannya dan meminangnya untuk menjadi menantu.
     “Secepatnya Mi.” sahut Wowor penuh semangat.
~
   
       Teguh dan AemeL sudah duduk di ruang keluarga seorang wanita yang amat sangat menyayangi Teguh, yakni Riza Tebolai kakak kandung Teguh Tebolai yang sudah memiliki dua orang putra dan putri serta suaminya seorang anggota Legislatif. Riza sendiri seorang Pegawai Negeri Sipil yang sudah lima belas tahun mengabdikan dirinya di Dinas Pendidikan. Ia mengamati AemeL sejenak sebab ia tahu tidak sopan terlalu lama menatap seseorang karena dianggap tidak sopan dan yang ditatap tentunya akan merasa risih apalagi orang baru. Ia pun merasa ikut berdosa atas kecelakaan yang menimpa AemeL namun yang ia lihat kehadiran AemeL membuat adiknya berbeda dari kemarin khususnya dua tahun yang lalu setelah kekasihnya meninggal. Ia bisa melihat Teguh seolah menemukan kembali getaran hatinya yang selama ini diam membeku. Ia bisa melihat betapa sederhananya gadis yang bernama AemeL itu, meski demikian tak bisa dipungkiri kalau gadis itu punya otak cemerlang. Tak bisa dibohongi juga kalau ia berasal dari keluarga baik-baik. Tak perlu banyak cerita atau menanyakan hal-hal yang sudah dianggap basi.
     AemeL bisa merasakan betapa kentalnya hubungan kakak dan adik antara Teguh dan Riza, tak terlihat adanya kebohongan atau hal yang disembunyikan di antara mereka. Rumah Riza yang sederhana dengan dua orang anak, satu asisten rumah tangga terasa begitu nyaman. Sekali duduk saja AemeL sudah bisa merasakan kenyamanan di rumah itu. AemeL seakan bisa membayangkan bagaimana kedua orang tua mereka membesarkan dan mendidik mereka, dan hasil itu terlihat jelas di pembawaan Riza untuk adiknya dan Teguh adalah seorang adik yang sangat menghargai kakaknya.
     “Di sinilah keluarga Teguh satu-satunya.” Ujar Riza dengan nada santai. “Tapi saat ini Teguh menempati rumah peninggalan kedua orang tua kami. Hmm.... semoga pertemuan berikutnya kakak harap kita membahas hal yang lebih jauh, seperti keinginan Teguh melamar kamu pada kedua orang tuamu...” wanita itu tersenyum sejenak melihat keheranan di wajah AemeL. “Teguh sudah menceritakan semua tentang kamu yang ia ketahui.”
     AemeL menoleh pada Teguh karena keputusan yang Teguh ambil sangat buru-buru tapi pria itu malah bertanya. “Kapan kita akan bertemu dengan kedua orang tuamu di kampung?”
     AemeL kembali pada sosok Riza sebab ia masih canggung pada wanita itu. “Mm... kok jadi membahas masalah serius sih, Kak?”
     “Tidak apa-apa.... bukannya kalian sudah saling menyukai?” sahutnya pendek, meski suara itu manis di dengar namun tetap saja membuat AemeL tidak enak. Ia merasa malu tapi setelah melihat kesungguhan Teguh membuatnya serba salah. Apakah itu yang disebut jodoh? Kenal dalam hitungan bulan namun sudah akan melangkah ke jenjang yang lebih jauh dan serius. Sosok Teguh adalah pria yang dicari sekaligus pria idaman meskipun begitu AemeL tidak mau terjebak. Ia tidak tahu pasti sedalam apa perasaan Teguh kepadanya.
~

     Dalam pergaulan remaja akhir, seorang pria pastinya menginginkan seorang pendamping yang sempurna dalam arti yang sesungguhnya. Bisa masak, mengerti segala hal dan enak diajak berdiskusi dari masalah harga sayur hingga ke harga saham. Sedangkan wanita menginginkan pria yang bisa membimbingnya, mapam dalam finansial dan setia. Yang idaman belum tentu yang dicari begitupun sebaliknya. Yang asik sebagai teman belum tentu cocok sebagai teman hidup.
     Dalam kehidupan sehari-hari di rumah tangga tak jarang seorang suami yang terlihat baik di rumah dan terkesan sebagai suami yang takut istri namun kenyataan di luar berbanding terbalik. Itulah warna dalam rumah tangga yang sudah menjadi rahasia umum. Ada juga pasangan yang baik bahkan sangat menyayangi pasangannya, menjalani semua aturan-aturan rumah tangga sesuai agama dan hukum negara tapi tetap saja si pasangan mencari di luar. Apa sebab? Ah, mungkin kurang bersyukur atau kurangnya iman. Entahlah. Semua orang punya alasan masing-masing.
~
     Wowor Vandeep, seorang dokter plamboyan terlahir dari keluarga terhormat dari seorang ibu Jawa tulen dan ayah Belanda. Anak tunggal yang agak susah jatuh cinta alias agak pilih-pilih pasangan. Mungkin karena ibunya termasuk orang yang selektif, bukan tanpa alasan karena Wowor adalah harapan mereka satu-satunya orang tua manapun pasti menginginkan pasangan terbaik buat anak-anaknya bahkan bukan saja pemilik anak tunggal. Tak jarang ada yang melontarkan kata-kata kasar  kepada orang yang tidak mereka sukai dan membuat orang sakit hati bahkan dendam. Semoga tidak ada lagi yang seperti itu.
~
     Wowor muncul di hadapan Julia, hal itu tidak pernah disangka oleh Julia sebelumnya sehingga memaksa gadis itu menarik napas dalam-dalam karena sangat tidak mengerti apa maksud pria itu sebenarnya. Ia berdiri sendiri dihadapan Julia tanpa pria kemarin yang seperti seorang pengawal. Julia geleng-geleng kepala namun ditanggapi dengan santai oleh Wowor.
      “Maafkan aku atas ketidaknyamanan kamu di sini. Semua ini aku lakukan untuk kamu.” Ungkap Wowor dan Julia sungguh tidak mengerti ke mana arah kata-kata itu.
     Julia menghela napas berat. “Apapun motif dan alasan Anda melakukan hal ini, sungguh Anda sudah sangat mengecewakan saya.” Tekan Julia sangat marah tapi Wowor masih terlihat santai dan dengan entengnya ia menyerahkan tas Julia.
     “Semua barang-barang kamu ada di sini.”
     Julia meraih tasnya tanpa mengalihkan matanya dari wajah Wowor, ia masih tidak mengerti apa yang ada di otak pria itu. Saat ia ingin membuka  tasnya Wowor bicara lagi.
     “Kamu tidak usah menghubungi AemeL karena dia bukan teman yang baik untuk kamu.” Ucapan itu membuat Julia menghentikan niatnya yang sebenarnya tadi memang ingin menelepon AemeL karena ia yakin sahabatnya pasti kalang kabut mencarinya. Julia menatap Wowor dengan seksama dan menimbulkan berbagai macam praduga, apakah selama ini AemeL tidak pernah menanyakan  keberadaannya kepada Wowor? Atau Wowor tidak pernah menceritakan keberadaannya. Kali ini Julia menghela napas panjang. Ia tidak mungkin mempercayai Wowor yang baru ia kenal dibandingkan dengan AemeL sudah bertahun-tahun. Pasti ada yang tidak beres. Wowor melanjutkan kata-katanya. “AemaL sedang bersenang-senang dengan kekasih barunya si jurnalis itu, bagaimana mungkin ia bisa mengingat kamu yang selami ini merawat dia. Ia bahkan tidak peduli dengan kehilangan kamu.” Tambah Wowor membuat kepala Julia mulai berdenyut.  Julia tidak jadi membuka tasnya dan mengenai kata-kata kehilangan itu memaksa Julia angkat kaki dari hadapan Wowor yang kini ia pikir memang punya dua kepribadian dan tempat itu sudah ingin sekali ia tinggalkan. “Tunggu.” Wowor meraih tangan Julia. “Kita akan pergi sama-sama dari tempat ini.” Ujarnya kemudian. Julia tiba-tiba berubah pikiran yang tadinya ingin pergi jauh dari Wowor dan menemui AemeL di tempat kosnya. Ia akan mengikuti pria itu dan mencari tahu apa sebenarnya yang Wowor inginkan darinya dan AemeL. Ia tidak takut lagi apa yang dilakukan pria itu terhadap dirinya, akan ia lalui karena sudah terlanjur disekap. Jadi untuk mengetahui siapa Wowor sesungguhnya ia akan mengikuti apa yang akan pria itu lakukan.
     Menit berikutnya Julia dan Wowor sudah ada di dalam mobil yang disetir oleh Wowor. Julia tidak bertanya ke mana Wowor akan membawanya. Saat keluar dari dalam rumah mewah sejenis vila itu Julia tidak mengeluarkan suara. Ia sekilas melirik ke belakang untuk sekedar tahu seperti apa tempat yang ia tempati beberapa hari ini. Tidak di daerah Puncak bukan juga tempat yang pernah ia lihat selama pernah ke Jakarta. Hanya beberapa menit mereka sudah melewati jalan raya, di samping kiri jalan terlihat nama sebuah komplek perumahan mewah. Julia sudah bisa menyimpulkan kalau tempat itu adalah sebuah komplek besar dengan halaman setiap rumahnya sangat luas bahkan semacam kebun. Sepertinya memang tempat orang-orang kaya menginfestasikan uang mereka.
     Julia masih diam, ia bersandar di jok samping Wowor dengan memeluk tasnya sedang Wowor sekali-kali meliriknya, lalu ia mengeluarkan suaranya.
     “Mengapa kamu tidak bertanya ke mana kita akan pergi?” tanya Wowor.
     “Anda pasti lebih tahu apa yang terbaik buat saya, bukankah begitu?” sahut Julia membuat Wowor tak bisa meneruskan kata-katanya. Ia memang harus hati-hati pada gadis yang sudah merampas hatinya itu. Sejujurnya Wowor lebih menderita dari Julia. Tapi ia tidak ingin memperlihatkannya pada Julia. Wowor menghela napas panjang.
     “Aku sebenarnya ingin mempertemukan kamu dengan mami dan papiku.”
     “Terserah apa yang Anda inginkan dan lakukanlah.”
     “Aku serius.” Tambah Wowor sembari menyetir dengan santai. Ia tidak khawatir gadis itu akan keluar atau memaksa turun dari dalam mobilnya. Ia seakan tahu apa yang ada di dalam kepala Julia, gadis seperti Julia memiliki karakter pantang menyerah, tulus bahkan agak keras kepala. Dan paling benci jika diremehkan. Ia tidak peduli pada wanita atau pria yang melecehkannnya maka ia akan mengambil sikap dan itu sering diluar dugaan orang. Sekali lagi Wowor coba memahami pribadi Julia yang tidak akan silau dengan kebendaan. Ia bukan tipe perempuan yang rela dinikahi pria kaya yang usianya sudah mendekati kepala enam dan bukan juga perempuan yang rela dipoligami hmm. Pikiran Woworr sedang berkecamuk tak kalah dengan Julia yang penasaran dengan maksud Wowor.
     “Julia, sekali lagi aku ingin mengatakan kalau aku menyukai kamu sejak pertama bertemu di rumah sakit. Jika ada orang yang tidak percaya dengan cinta pada pandangan pertama, maka mereka salah. Bagaimana menurut kamu sendiri?” ia melirik ke wajah Julia sejenak namun gadis itu tidak mengeluarkan suara. Wowor tidak mengerti kalau ia sedang teringat dengan AemeL. Apa pun yang dikatakan Wowor sepertinya bukan masalah besar sebab siapa pun punya pendapat sendiri dengan cinta. Tidak peduli apakah ada yang mau menganggapnya nyata atau abstrak. Tapi menurut Julia, cinta tetaplah cinta yang akan bertengger  pada posisinya sendiri. Cinta tidak egois, tidak menuntut, tidak kekanak-kanakan jika ada selain itu maka itu cinta buta.
     Mobil mewah itu berbelok ke kiri jalan memasuki kawasan Serpong lalu menuju perumahan elit yang tidak begitu jauh dari pusat perbelanjaan. Hari menjelang sore saat mobil berhenti di salah satu halaman rumah yang bercat coklat tua mendekati warna kayu.
     “Ini tempat tinggal kedua orang tuaku dan aku. Ayo kita turun karena aku ingin mengenalkan kamu dengan mereka.” Ujar Wowor. Julia hanya menghela napas sesaat dan matanya menatap sekilas ke rumah besar yang terlihat sepi. Jangankan penghuni rumah suara pengurus rumahpun tidak terdengar apalagi terlihat wujudnya. Apakah rumah itu sama seperti tempat Julia disekap atau benar rumah yang berpenghuni!?
     Wowor sudah turun dan kini ia membuka pintu untuk Julia. “Ayo... turun.” Ia meraih tangan Julia dengan lembut dan sopan. Julia tidak suka diperlakukan seperti sang putri hanya saja ia memang enggan untuk  turun. Tanpa paksaan akhirnya Julia melangkahkan kakinya dari dalam mobil dengan tas tidak lepas dari tangannya. Saat itu keluar seorang wanita paruh baya, cantik dan terlihat enegik. Ia melebarkan senyuman indah dan salam perkenalan kepada Julia.
     “Halo... selamat datang sayang...” ia menyongsong Julia  dan secara naluri Julia mengulurkan tangan pada wanita yang terkesan diktator. Sekilas saja Julia bisa merasa kalau wanita yang ada dihadapannya itu adalah wanita keras, disiplin dan agak berkelas juga sedikit egois yang mungkin mendekati nge-bos-i. Diluar pengetahuan Julia sesungguhnya wanita itu sedang menilai Julia yang tadinya ia berpikir akan dikenalkan oleh Wowor pada seorang gadis yang menenteng tas bermerek, berhak tinggi dengan bulu mata bak selebriti atau sejenisnya.  Namun kenyataannya Julia hanya memeluk tas gendong tipis, dengan mengenakan t-shirt bermerek  dengan pasangan celana jins berbahan lembut serta sandal kulit yang tipis.
     “Inilah Julia yang aku maksud Mi.” Kata Wowor setelah mencium punggung tangan maminya. Julia hanya melihat adegan itu sekilas lalu wanita itu berkata.
     “Ajaklah masuk sayang, tapi papi kamu belum pulang karena masih ada urusan tapi ia janji akan segera pulang untuk kalian.” Jelasnya sembari melirik ke Julia. Julia mulai tidak suka dengan suasana formal namun ia ikuti saja sejauh mana Wowor akan membawanya ke dalam kehidupan mereka.
     Wanita itu mengajak Julia masuk lewat pintu depan, tak sedikipun Julia merasa canggung. Ia tidak peduli apa tujuan mereka mengajaknya ke rumah itu, untuk pamer harta, ataukah untuk hal yang lain. Yang menjadi keinginan  Julia saat ini adalah mengetahui siapa Wowor sebenarnya? Apalagi dengan kejadian di rumah kosong itu, seolah ia punya tantangan sendiri untuk lebih tahu apa rencana Wowor selanjutnya. Menit berikutnya keluar asisten rumah tangga yang membawakan makanan kecil dan kopi kesukaan Julia juga dua gelas kopi yang sama dengan kepunyaan Julia. Apakah itu untuk menghargai tamu atau mereka memang juga penyuka kopi. Entahlah.
     “Mi, seperti yang sudah pernah aku ceritakan ke Mami kalau aku kenal dengan Julia waktu di rumah sakit, saat dia menemui sahabatnya.” Kata Wowor setelah asisten rumah kembali masuk.
     “Silahkan diminum sayang. Kata Wowor kamu suka minum kopi, Tante juga suka kopi tapi bukan kopi tertentu.” Katanya pada Julia setelah itu menatap anaknya. “Kamu sudah cerita semuanya tentang Julia sayang bahkan berkali-kali termasuk tentang di rumah kita yang satunya.” Ujar wanita itu dengan santainya namun membuat Julia sedikit kaget. Apakah kedua ibu dan anak ini tidak pernah punya rahasia? Masalahnya bukan itu yang ingin diketahui oleh Julia tapi apa motif Wowor menyekapnya? Dan apakah itu juga diketahui oleh maminya? Itu akan segera diketahui oleh Julia. Ia menyeruput kopinya dengan santai lalu melirik ke mami Wowor.
     “Terima kasih dan sepertinya saya sudah harus segera pergi sebab ada urusan yang belum selesai.” Kata Julia dengan serius dan masih dengan mimik santai namun pengakuan itu sempat membuat heran maminya Wowor juga anaknya.
     “Emm.... sayang... ada apa ini?” ia melirik anaknya.
     “Em ya, Julia memang masih ada urusan Mi. Aku akan mengantarnya ke suatu tempat.” Wowor coba bersikap wajar.
     “Tidak, terima kasih untuk semuanya. Saya harus pergi sendiri.”  Potong Julia dengan cepat sambil beranjak dari tempat duduknya.
     “Tapi kamu belum bertemu dengan papinya Wowor sayang...” tambah wanita itu berusaha
menahan kepergian Julia.
     “Em, maaf Tante... bertemu dengan Tante saja saya sudah bersyukur, apa pun yang terjadi hari ini pasti sudah direncankan oleh Tuhan dan selanjutnya hanya Dia yang tahu. Permisi..” Julia tidak menemukan apa-apa lagi yang bermakna dalam pembicaraan itu. “Dan satu hal..., apakah Tante tahu kalau saya telah dibawa dari apartemen teman saya dengan cara yang tidak wajar?”
     Wanita itu mengerutkan kedua alisnya dengan rasa kaget yang luar biasa saat ia melirik Wowor pria itu langsung berkata.
     “E, maaf untuk yang satu itu Mi.. aku belum sempat cerita.” Ujar Wowor merasa amat sangat bersalah. Julia melangkah tanpa bisa menahan diri lagi sedangkan Wowor menyusulnya. Wanita itu hanya bisa melihat kedua insan itu meninggalkan ruang tamu rumahnya. Di depan Wowor menahan tangan Julia.
     “Tolong dengarkan saya dulu.” Pintanya. Julia menatap pria itu.
     “Tolong lepaskan tangan saya, Anda sudah berhasil mengajak saya sampai sejauh ini dan sekarang saya ingin pergi sendiri dan jangan mengganggu saya, oke!.”
     “Julia.. aku lakukan semua ini semata-mata karena kamu.. karena aku sangat sayang sama kamu. Kamu pasti mau ke tempat AemeL,’kan? Untuk apa kamu mencarinya, dia tidak pernah memikirkan kamu selama ini. Percayalah sama aku.”
     Julia menarik tangannya dari genggaman tangan Wowor. “Anda tidak tahu apa-apa, jadi jangan bicara hal yang tidak Anda tahu.”
     “Aku hanya ingin menyelamatkan kamu supaya kamu tidak kecewa, hanya itu.”
     “Hanya itu? Yakin hanya itu?!!” Julia akhirnya berbalik dan sebelumnya ia sempat mengamati sejenak sebuah rumah yang berdiri kokoh laksana istana sang koruptor. Apakah Wowor ingin mempertontonkan padanya kalau mereka punya rumah semegah itu? Masa bodoh!
     “Julia, aku mohon biarkan aku mengantarmu kemanapun kamu mau pergi. Aku tidak bisa
membiarkanmu pergi sendiri.”
     “Kenapa memangnya?”
     “Karena aku sayang sama kamu.”
     “Oke, kalau begitu biarkan saya pergi sendirian. Itu sudah cukup membuktikan kalau Anda peduli.”
     “Ya, ampun.” Wowor tidak bisa menahan Julia dan tidak berhasil mengantar gadis itu untuk pergi namun ia tidak tahu pasti apakah Julia akan ke tempat kos AemeL atau kembali ke Palembang? Hanya Julia yang tahu.
     Wowor kembali ke dalam di mana maminya masih menunggu di kursi mewahnya. Ia pikir Julia akan kembali masuk namun kenyataannya hanya Wowor yang muncul.
     “Mana gadis itu?” katanya tanpa ekspresi yang berarti. “Dia pergi? Apakah ia seperti gadis Sumatera yang lain?”
     “Tidak Mi, Julia itu berbeda.” Tegas Wowor.
     “Apa maksud gadis itu bilang ia dibawa paksa ke rumah kita yang satunya?” wanita itu ingin tahu apa yang telah dilakukan anaknya.
     “O, itu. Aku hanya ingin memberitahukan padanya kalau sahabatnya itu tidak sebaik yang ia kira Mi. Ingat tentang sahabatku yang mengkhianati aku beberapa tahun lalu?” ujar Wowor dan langsung membuat maminya paham.
~

     AemeL tidak memaksa Teguh untuk menggantikan biaya berobat yang telah dibayar Julia tetapi pria itu merasa harus melakukannya karena itu jenis tanggung jawabnya selepas ia yang menyebabkan kecelakaan itu.
     “Tidak sayang, aku lakukan itu bukan hanya lantaran Julia itu sahabat kamu tapi ini murni tanggung jawabku sebagai orang yang menyebabkan musibah itu. Aku mohon kamu mengerti dan kalau aku kasih ke kamu lalu Julia marah dan tidak mau menerimanya aku akan transfer ke rekeningnya Julia. Aku juga sudah menanyakan dari pihak rumah sakit berapa semua biaya yang telah dikeluarkan termasuk biaya apartemen. Kamu jangan khawatir, bagaimanapun caranya aku harus melunaskan semua itu.”
     “Yeah, terserah kamulah.” AemeL menyerah. Ia memang tahu nomor rekening Julia tapi yang membuatnya pusing  di mana gadis itu sekarang.
     Dan saat AemeL dan Teguh hendak keluar dari gang tempat kontrakkan AemeL, Julia muncul namun ia buru-buru menghindar. Wowor mungkin benar kalau selama ini AemeL tidak pernah memikirkannya apalagi mencarinya. Melihat kenyataan betapa bahagianya AemeL bersama Teguh membuat Julia merasakan rasa sesak di dalam dadanya mendadak ia merasa susah bernapas.
     ‘Jika kenyataannya seperti ini maka aku harus pulang ke Palembang sesegera mungkin.’ Julia coba menghela napas panjang lalu tanpa berpikir lagi mencari taksi untuk pergi ke suatu tempat. Beberapa saat kemudian ia sudah berada di dalam taksi menuju kawasan Tanah Abang, di sana ia punya beberapa tempat yang sudah ia kenal yaitu tempat menginap satu malam bila mana ia membeli barang dagangannnya namun tidak bisa pulang dalam hari itu juga, tidak jarang Julia lakukan bila sedang tidak bersama AemeL, murah juga aman. Terbayang lagi dipikirannya ke sosok AemeL dan Teguh, sekali lagi benar apa kata Wowor bahwa mereka sudah jadian dan bahagia. Bertemu dengan pria idamannya membuat AemeL melupakan sahabatnya sendiri. Mengingat itu memaksa Julia tersenyum getir. ‘Ya Tuhan, mengapa ini bisa terjadi? Apakah AemeL setega itu? Ah, apakah yang aku lihat itu sama seperti kenyataan atau hanya perasaanku saja? Tapi yang aku lihat mereka berdua memang sedang bahagia-bahagianya. Aku tidak akan mengganggu kamu lagi AemeL. Kita berjalan pada jalan kita masing-masing, mungkin akan lebih baik jika kita seperti kemarin-kemarin lagi. Aku memang masih asing di mata kamu. Selamat tinggal sahabat.’ Tanpa terasa air mata Julia mengalir lembut melewati pipinya yang putih bersih. Taksi masih berjalan menembus jalanan Jakarta yang ramai siang dan malam tiada bedanya. Setengah jam berikutnya taksi berhenti Julia keluar dan membawa dirinya ke tempat penginapan yang kebanyakan para pelanggan yang datang dari berbagai kota di tanah air, rata-rata mereka punya usaha jualan atau membuka toko sendiri di daerahnya.
     Julia merebahkan tubuhnya diatas tempat tidur sederhana sejenak untuk menghilangkan penat lalu terpikir olehnya untuk mengaktifkan BB-nya. Sebentar saja muncul beberapa BBM juga SMS masuk kebanyakan dari AemeL. Diantaranya...
     ‘Julia, aku sudah tidak tahu lagi ke mana mencari kamu. Tolong hubungi aku.’ Ada debaran yang susah Julia artikan saat membaca BBM itu. Julia coba menenangkan hatinya sejenak, tak lama berikutnya ada pesan masuk dari salah satu bank swasta kalau ada seseorang telah menstranfer uang ke rekeningnya. Julia mengecek jumlah saldonya dan ternyata uang itu banyak sekali melebihi uang yang telah ia pakai untuk membayar semua biaya pengobatan AemeL di rumah sakit.
     ‘Hmm... AemeL telah mengisi rekeningku, apakah ia merasa telah berhutang padaku? Atau karena kami tidak jadi jalan-jalan ke Bali. Aduh AemeL... apa maksud semua ini.’
     Keesokan harinya Julia ke bank untuk mengecek siapa yang telah menstranfer uang sebanyak itu ke nomor rekeningnya. Apakah benar AemeL atau ada orang lain semisal Wowor atau Teguh? Dan ternyata si Teguh.
     AemeL yang sudah bangun saat mengecek BB-nya dan melihat kalau BBM-nya sudah dibaca oleh Julia langsung ia pencet nomor Julia. Saat itu Julia masih di bank. Tujuh detik Julia membiarkan teleponnya menyala kemudian mengangkatnya.
     “Julia..” teriak AemeL dengan nada tertahan. “Kamu di mana? Kamu sehat?”
     “Ya, ada apa?” jawab Julia dengan singkat tanpa ada gejolak yang berarti seperti tekanan nada suara AemeL yang masuk ke telinganya.
     “Ya, Allah. Julia apa yang terjadi dengan kamu? Kamu sudah di Palembang ya? Kamu kok tega banget sih? Pergi tanpa pamit.. mungkin benar yang dikatakan oleh Wowor kalau kamu memang sengaja meninggalkan aku.” AemeL tidak melanjutkan kata-katanya seakan minta Julia bicara namun Julia tidak bicara, ia mengedarkan pandangannya ke ruang tunggu di mana para nasabah menunggu nomor antrian. Lalu pikirannya ke sosok Wowor yang mungkin selama ini sering bertemu dengan AemeL. “Julia....?” lanjut AemeL.
     “Em, siapa yang mengisi saldo di rekeningku?” tanya Julia dengan pelan.
     “Aku sudah menjelaskan padanya tapi ia tetap ngotot untuk menggantikan semua biaya itu termasuk uang  sewa apartemen. Ia bilang sebagai tanggung jawabnya karena telah menyebabkan kecelakaan itu. Julia, kamu di mana? Aku ingin ketemu.” Tambah AemeL.
     “Aku, nantilah aku kabarin lagi. Sudah ya.. aku tutup dulu teleponnya.” Kata Julia tanpa memberitahukan keberadaannya kepada AemeL.
     AemeL coba menghubungi Julia lagi namun gadis itu tidak menggubrisnya. Terpikir olahnya untuk menelepon ke Seema yang di Palembang namun urung karena khawatir mereka tambah bingung kalau AemeL mencari sahabatnya.
     Siang itu Julia belanja untuk mengisi tokonya di Palembang setelah sebelumnya menghubungi Seema dan mengabarkan kalau ia akan kembali ke Palembang siang nanti. Julia tidak menanyakan apapaun pada AemeL tentang Wowor ataupun Teguh, terpikir olehnya tentang Teguh yang menggantikan semua uang itu. Pria itu pastinya sudah menguras isi tabungannya. Julia tahu pasti berapa gaji seorang jurnalis yang bekerja di televisi kecuali ia punya pekerjaan sampingan. Meski ia sadar kalau memang sudah seharusnya Teguh mempertanggungjawabkan kejadian itu namun kini Julia jadi kasihan sama AemeL karena ia tahu tipe pria seperti apa idaman gadis itu. Ah, tapi sepertinya AemeL bahagia apalagi ia tahu Teguh juga mencintai AemeL.
~

     Siang itu, Wowor masih membahas tentang Julia bersama maminya sebab wanita itu masih meragukan Julia untuk menjadi pendamping anaknya. Namun Wowor berusaha meyakinkan  mami kalau Julia adalah wanita yang tepat untuknya.
     “Mi, kenapa sih masih membeda-bedakan suku dan ras dalam hidup ini?”
     “Bukan seperti itu Wor, buktinya mami sendiri menikah dengan papi kamu dari orang luar sono tapi ini kasusnya berbeda. Mami sudah lihat sendiri teman mami punya mantu dari luar pulau Jawa, terbukti mamtunya itu tidak bisa apa-apa, wataknya kasar kemauannya semaunya saja.”
     “Mami jangan menyamaratakan sifat orang seperti itu.”
     “Tapi umum nya seperti itu. Oke, begini saja... kamu bilang saja ke Julia kalau kamu akan menikahinya tapi kalau ia tidak ingin menikah dalam beberapa bulan ini berarti ia tidak serius dengan kamu.” Tantang wanita itu meski sejujurnya ia menyukai penampilan Julia meski apa adanya namun terlihat cerdas serta punya ketulusan. Wowor pun mengiyakan kata-kata maminya.
     Langkah pertama yang harus ia lakukan adalah menghubungi Julia, meski tidak gampang namun ia coba berkali-kali menekan nomor kontak Julia dan sayangnya tidak sekalipun Julia angkat. Langkah selanjutnya ialah mendatangi tempat AemeL. Kembali Wowor kecewa karena AeemeL juga tidak mengetahui keberadaan gadis impian Wowor tersebut. AemeL sejujurnya kaget saat Wowor mencari keberadaan Julia.
     “Sejujurnya aku tidak tahu keberadaan Julia.” Katanya dengan nada serius. “Sudah lama aku mencarinya dan kamu tahu itu,’kan? Bahkan selama ini aku selalu bertanya sama  kamu tentang Julia selalu kamu jawab ‘untuk apa? Ngapain mencari dia? Ia tidak akan pernah memikirkanmu, ia mungkin sudah pulang ke kampungnya tanpa pamit sama kamu.’ Dan anehnya aku selalu percaya kata-kata kamu itu. Tapi sekarang untuk apa kamu mencarinya?” AemeL mulai curiga sama dokter kalem itu walaupun sesungguhnya keyakinannya datang dari kondisi persahabatan mereka yang memang dari beberapa bulan yang lalu kurang harmonis dengan Julia.
     Wowor menatap sendu pada AemeL seolah tidak bisa menyembunyikan kerinduannya pada Julia. “Ae, kamu tahu sendiri kan kalau aku sangat mencintai dan menyayangi Julia. Aku ingin membuat pengakuan sama kamu..” ujar Wowor dengan sungguh-sungguh dan membuat AemeL berdebar menunggu pengakuannya karena kemarin-kemarin ia seakan tidak peduli pada Julia dan mengapa sekarang ia ketakutan kehilangan Julia. “Selama ini aku membawa Julia ke rumah mmm... bisa disebut vila kami tanpa sepengetahuan kamu, Julia dan juga kedua orang tuaku.”
     “Kamu.....!?” sergah AemeL dengan cepat, bukan debaran lagi tapi kemarahan yang memuncak.
     “Dengar dulu Ae, aku belum selesai.” Kata Wowor coba meredam emosi AemeL walau ia sadar kesalahannya sangat besar. “Aku lakukan semua itu karena aku sangat menyayangi Julia, aku tidak ingin ia disakiti.”
     “Disakiti sama siapa?” AemeL semakin tidak sabar. Kali ini Wowor agak kesulitan untuk menjelaskannya.
     “Em.. aku hanya khawatir kalau ada orang yang tidak tulus menyayanginya.”
     “Maksud kamu apa? Aku tidak mengerti.”
     Wowor menghela napas panjang lalu dengan hati-hati ia mulai menjelaskan apa yang ia maksud. “Aku mungkin sangat menyayangi Julia sehingga melupakan kalau kamu juga menyayanginya. Dulu.. aku pernah disakiti dan dikhianati oleh sahabatku sendiri. Maafkan aku Ae. Kemarin sore aku mengajak Julia ke rumah dan bertemu dengan mamiku, aku ingin menikahinya tapi sekarang aku tidak tahu di mana keberadaaannya. Ia tidak angkat telepon dariku sejak pergi dari rumah.”
     “Aku belum paham dengan kata-katamu yang mengajak Julia ke vila tanpa pengetahuan Julia, apa maksudnya kamu telah menculik Julia?” AemeL masih penasaran.
     “Begini Ae, sebenarnya aku hanya ingin mengetes kamu.” Kata Wowor Jujur.
     “Maksud kamu?”
     “Begini, aku hanya ingin tahu sejauh mana kamu mengkhawatirkannya... dan aku pura-pura tidak tahu di mana Julia saat kamu datang padaku untuk bertanya tentang keberadaan Julia dan yang aku lihat kamu sebenarnya biasa-biasa saja. Jadi kupikir kamu tidak menyayangi Julia seperti Julia menyayangi kamu.”
     “Hehm... kamu itu tahu apa sih tentang kedekatanku dengan Julia.” Sindir AemeL merasa tidak suka cara Wowor memperlakukan Julia. “Sudahlah... sebaiknya kamu cari tahu sendiri keberadaannya dan aku sungguh tidak tahu di mana dia.”
     “Aku minta alamatnya yang di Palembang.” Lanjut Wowor.
     “Apa.......? O, jangan dulu sebelum aku tahu perkembangan selanjutnya.” Tegas AemeL tidak ingin terjadi hal yang tidak diinginkan terhadap Julia. Kali ini AemeL melihat Wowor lebih khawatir dari dirinya mengenai Julia. Semoga pria itu tidak bersandirawa. Pikirnya. Seandainya Wowor punya motif lain maka AemeL tidak akan pernah memaafkannya. ‘ya Tuhan apa yang harus aku lakukan?’
     Sepeninggalan Wowor,  AemeL mengirim pesan kepada Julia. Entah gadis itu mau membaca atau tidak yang penting ia harus mengabarkan.
     “Julia, kamu tahu..? aku ingin sekali bicara sama kamu. Tolong jangan seperti ini.”
     Pesan itu terkirim dan telah dibaca oleh Julia namun beberapa lama AemeL menunggu tidak ada respon, untuk menulis pesan rasanya terlalu lama membuang waktu meski demikian tetap saja tidak tuntas apa yang akan dibicarakan. Tujuh belas menit berikutnya balasan pesan itu masuk.
     “Nanti aku telepon, jangan sekarang.”
     AemeL hanya bisa menghela napas panjang karena ia tidak bisa berbuat apa-apa kalau Julia sudah bilang seperti itu.




**
Julia Gadis Sumatra
     Apa kita bisa memilih untuk lahir di mana? Baik Julia atau gadis mana pun tidak bisa meminta kepada ibu dan bapaknya untuk lahir sebagai anak Jawa, Kalimantan, Papua bahkan di negara Eropa sana. Karena kita sudah dipilih oleh Tuhan lahir sebagai anak siapa dan tinggal di suku mana, semua sudah jadi ketentuan yang maha Kuasa. Bukan tanpa sebab Julia memutuskan untuk pergi karena ia bisa melihat kalau mami Wowor memandangnya berbeda apalagi setelah menerima pesan dari Wowor yang tanpa sengaja mengatakan maminya memang agak lain menilai gadis Sumatera. Dan dengan jelas Julia bisa memastikan bagaimana orang diluar sana menilai gadis Sumatera. Julia di Palembang juga punya banyak kenalan yang bisa dibilang dekat dengan orang-orang dari berbagai suku yang ada di nusantara ini. Bagaimana detilnya Julia menjelaskan kalau gadis Sumatera itu punya cara sendiri dan prinsip hidup yang tidak akan pernah mereka mengerti sebagaimana mungkin juga tidak bisa dimengerti suku ibunya jika Julia menjelaskan cara hidup atau pandangan hidup orang luar pulau Sumatera tetap saja ibu Julia sulit memahaminya.
     Puluhan tahun silam para pemuda dan pemudi nusantara telah membuat sumpah yang dinamakan Sumpah Pemuda tanggal 28 oktober 1928 yang berbunyi.....
1.      Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.
2.      Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
3.      Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
     Jadi apa yang tertera diatas tidak ada sedikitpun harus diragukan kalau kita anak nusantara tidak boleh dibeda-bedakan baik suku, bahasa juga yang lainnya. Untuk apa mempermasalahkan dia suku Batak, Betawi, Bugis, Rejang, Minang atau apapun itu yang penting dia orang Indonesia. Bukan itu saja, di zaman sekarang bahkan dari zaman moyang Julia sudah ada yang menikah dengan orang Belanda, Jepang bahkan Arab. Intinya Tuhan menciptakan manusia itu sama jadi mengapa dipermasalahkan. Perkara orangnya kasar atau apalah itu tidak bisa disebut karena ia berasal dari suku tertentu, sifat seseorang tidak bisa dikategorikan per-suku tapi itu sudah jadi sifat individunya masing-masing.  
     Julia adalah Julia yang sudah dipilih oleh Tuhan lahir sebagai anak Sumatera, punya usaha, punya hati, punya keluarga yang sangat mencintainya dan teman-teman yang baik. Akan sakit hati jika ada yang mengatakan kalau gadis Sumatera itu kasar, keras kepala sok kuasa atau sok dalam segala hal. Anak-anak Sumatera yang sudah merantau atau menyeberang laut datang ke Jakarta atau ke kota manapun yang ada di tanah air ini punya kemauan keras untuk maju sehingga mereka tidak takut mati, mempertahankan harga diri dan menjunjung tinggi nama baik tanah kelahirannya di kampung. Bukan itu saja, sekali bilang ‘ya’ tetap ‘ya’ begitupun sebaliknya. Jadi apa masalahnya? Apakah itu salah? Julia tidak pernah menyesal terlahir sebagai gadis Sumatera meski ada yang mengatakan orang Sumatera itu begini dan begitu.
     Setelah menyelesaikan semua urusan toko dan dibantu teman-teman, Julia kini sedang berdiam di tempat kosnya. Sudah saatnya ia menghubungi AemeL meski lelah pulang dari Jakarta membawa barang untuk isi toko.
     Sesaat saja telepon terhubung. “Halo..”
     “Julia, ceritakan tentang semua, aku kangen sekali dan ingin tahu di mana kamu sekarang?”
     “Ya.” Suara Julia santai sesantai ia bersandar di tempat tidurnya meski hatinya dipenuhi rasa tidak tenang dengan berbagai kejadian selama ini. “Aku sekarang di Palembang dan baik-baik saja. Aku harap kamu juga begitu dan satu hal yang ingin aku katakan padamu, semoga kamu sama Teguh bahagia.” Ujar Julia dan membuat jantung AemeL agak berdegup kencang lalu terhenti. Belum sempat AemeL membantah Julia sudah melanjutkan ucapannya. “Satu lagi, semoga kamu tidak bertemu dengan Wowor.”
     “Bagaimana mungkin, ada apa dengan kamu dan Wowor? Kemarin Wowor datang ke tempatku.” Jelas AemeL dan tentu saja Julia tidak kaget.
     “Dia tidak mendesak kamu? Baiklah, akan aku ceritakan sedikit.” Ujar Julia karena tidak ingin menyusahkan AemeL dengan sikap Wowor yang belum ia pahami. Julia tak mau peduli apakah yang pernah dikatakan Wowor tentang diri AemeL benar atau tidak. Beberapa saat setelah mendengar cerita Julia memaksa AemeL menghela napas panjang.
     “Kenapa sih Jul, kamu harus percaya sama orang lain? Bukannya dari dulu kita sudah berjanji apapun yang pernah terjadi diluar sana atau dalam individu kita masing-masing tidak perlu bertanya sama orang lain. Sejujurnya aku kecewa dengan kamu yang pulang tanpa memberitahu aku. Kamu tersinggung dengan sikapku selama ini? Dulu kita juga pernah membahas masalah itu, kalau persahabatan kita tidak boleh yang namanya punya rasa seperati itu. Tapi kamu...?”
     “Ae, mengapa kamu memojokkan aku? Kamu tidak tahu kalau aku...?”
     “Aku tahu bagaimana perasaan kamu saat Wowor menyekapmu tapi kamu tidak boleh pulang begitu saja setelah melihat aku dengan Teguh, kalau kamu tidak tanya langsung kamu tidak akan tahu apa yang kami lakukan, aku mencari kamu seperti orang gila Julia.” Suara AemeL mulai serak. “Tidak perlu aku meragukan perasaan sayang kamu ke aku,’kan?” saat AemeL mulai mempertanyakan rasa peduli dan sayangnya pada sahabatnya itu membuat Julia kesal dan melempar BB-nya ke atas kasur dan membiarkan gadis itu menjerit memanggilnya.
     AemeL yang menyadari kata-katanya hanya mampu menatap layar BB-nya. Kalau sudah begitu ia tahu apa yang sedang Julia lakukan akhirnya ia memutuskan sambungan telepon ke nomor Julia. Ia menghela napas berat lalu mengambil buku yang dibeli Julia dan menulis menggunakan bollpoint tinta emasnya.
     ‘Tinta emas....., maafkan aku. Julia mungkin tidak tahu kalau aku sangat menyayanginya. Kadang aku sadar kalau ia juga teramat menyayangi aku dengan kecemasannya, dengan rasa kangennya yang suka berbarengan denganku dan juga dengan perhatiannya yang suka berlebihan namun entah mengapa aku seringkali merasa ia tak peduli denganku. Maafkan aku Julia... apa pun yang terjadi di dunia ini sering membuat aku tak bisa melupakanmu dan seperti sekarang ini kamu tidak tahu kalau aku ingin sekali ada kamu di sini, bersamaku.’
     AemeL mengakhiri tulisan di buku indah itu, banyak sekali suka duka yang telah ia jalani bersama Julia selama ini. Sejenak AemeL mengukir senyum manis kala ingat kebersamaannya saat di daerah Bogor dan Jakarta kala ia mengantar AemeL belanja atau sekedar jalan-jalan. Makan es krim bersama, duduk berjam-jam di tempat makan membicarakan isi dunia ini tak ketinggalan tentang teman-teman sekolah dulu. Tak sedikit teman pria yang menyukainya dan banyak juga yang mengatakan langsung kepada AemeL agar mereka dicomblangi kepada Julia. Hmmm... AemeL tidak akan rela jika ada salah satu temannya yang coba menyakiti Julia apalagi dengan sengaja melakukannya. Dan sekarang Wowor mendekati Julia, apakah ia tulus mencintai Julia atau sekedar observasi? AemeL ingin sekali mengetahuinya. Sikap pria itu saat AemeL amnesia dengan sekarang ini agak berbeda. Apalagi setelah Julia menjelaskan kalau ibunya Wowor agak-agak ‘alergi’ dengan gadis Sumatera. Pasti ada sebab mengapa ia seperti itu. Julia adalah gadis yang pantang menyerah, pantang diremehkan. Apa jadinya kalau gadis itu masuk ke dalam keluarga Wowor. Pikir AemeL.
     Julia kembali mengambil BB-nya yang dari tadi tergeletak di atas tempat tidur dan pastinya sudah tidak tersambung lagi dengan AemeL. Tidak ada BBM masuk dari AemeL sudah Julia duga karena mereka sebenarnya sudah mengenali karakter masing-masing meski masih saja suka salam paham.
     “Julia, aku akan mencarimu ke Palembang meski AemeL tidak mau memberitahukan alamat kamu.” Pesan itu membuat Julia agak marah karena lebih terdengar mengancam daripada memberitahu. Julia berusaha tidak menghiraukan BBM dari Wowor yang hanya membuatnya naik darah saja.  Dan dengan perasaan pasti akhirnya Julia memutuskan untuk kembali ke Jakarta guna menyelesaikan permasalahannya dengan Wowor. Seolah bisa membaca apa yang akan dilakukan Wowor karena ia tidak ingin ada keributan di tempat kosnya ataupun di Palembang. Intinya ia tidak ingin mempermalukan pria itu.
~

     Julia mengabarkan pada AemeL jika ia kembali ke Jakarta namun ia tidak mengatakan pada AemeL kalau ia akan bertemu dengan Wowor terlebih dahulu. Di rumah sakit Julia menemui Wowor dan tentu saja pria itu merasa teramat bahagia. Artinya Julia akan menerima cintanya dan ia akan segera menikah seperti janjinya pada maminya.
     Di tempat makan siang. “Aku senang sekali kamu bisa ke sini. Habis dari sini kita langsung ke rumahku ya.” Ujar Wowor dijawab Julia hanya dengan tatapan penuh tanya. “Julia, bicaralah.. apa kamu benar dari Palembang atau sengaja bersembunyi di tempat kos AemeL?” setidaknya Wowor merasa bahagia karena Julia menemuinya sebelum ketemu AemeL, itu artinya Julia lebih mementingkan dirinya daripada sahabatnya. Apakah Julia lebih kangen dengan Wowor dibanding AemeL?
     “Kamu tidak kenal aku juga AemeL, jadi janganlah menuduh yang  bukan-bukan. Kedatanganku ke sini hanya ingin menyelesaikan urusan kita.” Sahut Julia coba mencari keseriusan Wowor, ia lebih suka pria itu menyayanginya daripada mencintainya.
     “Maafkan aku Julia.. aku peduli sekali sama kamu. Aku bisa melakukan apa saja untuk kamu.”
     ‘Hmm.... signal tidak baik.’ Pikir Julia. Jika ada seorang pria berkata semacam itu pertanda bahaya karena bukan tidak mungkin ia menyakiti orang lain demi mendapatkan orang yang diinginkannya. Tak peduli apakah itu ibunya sendiri atau orang-orang terdekat si wanita. Bahkan ia bisa membunuh orang yang diinginkannya dengan kata lain, jika ia tidak bisa memiliki maka orang lainpun tidak. Menyeramkan! Julia menghela napas panjang. Apakah pria yang ada dihadapannya sekarang ini punya cinta atau obsesi? Dua hal yang sangat berbeda.
     “Apa yang kamu inginkan dariku?” suara Julia lembut namun penuh keberanian.
     “Kamu pikir aku bisa menjelaskannya?” hela Wowor dengan nada putus asa. “Aku ingin dekat dengan kamu Jul, selalu. Apakah itu karena perasaan cinta atau yang lainnya? Aku tidak tahu. Ada rasa sakit di sini kalau jauh dari kamu.” Tambah wowor menunjuk dada kirinya.
     “Jika aku jauh dari kamu tapi aku bahagia, apakah kamu masih merasa sakit?” entah mengapa Julia tidak lagi menyebut Wowor dengan ‘anda’ dan itu tidak disadari oleh Wowor.
     “Pertanyaan yang sangat sulit dijawab. Apa yang harus aku katakan andai bersamaku tapi kamu tidak bahagia... tolong jelaskan padaku apa yang mesti aku lakukan?” julia tidak menjawab pertanyaan balik dari Wowor selain meneruskan menikmati makanannya yang sempat tertunda. Sedang wowor hanya menatap gadis itu. Dan terkadang terlihat cuek, penuh perhatian, bicara penuh wibawa juga bermutu tinggi isi obrolannya. Bagaimana ia tidak sakit hati jika jauh dari gadis seperti Julia. Jarang dan bahkan ia tidak pernah bertemu dengan gadis se-tipe dengan Julia. Ah, wowor belum bertemu saja dengan yang lain.
     “Apa rencana kamu selanjutknya?” tanya Julia diluar dugaan wowor. Kedua insan itu saling tatap.
     “Jika aku ingin menikah dengan kamu apakah itu berlebihan?”
     “Atas dasar apa ingin menikahiku?” Julia tidak bermaksud pria itu menganggapnya jual mahal karena dia bukan barang dagangan yang ada di tokonya bukannya juga bermaksud meremehkan Wowor. Sebelum Wowor menjawab Julia tersenyum simpul. Sejujurnya tidak ada bahkan belum ada wanita yang berani bicara seperti cara bicara Julia yang Wowor temui. Lagi-lagi gadis itu memperlihatkan mutunya dihadapan Wowor.
     “Kamu semakin membuatku penasaran Julia. Satu pertanyaanku padamu, apa kamu mau menikah denganku?” tanya Wowor penuh harap karena ia tidak tahu apa yang akan dijawab oleh Julia. Sejenak Julia mengamati kondisi tempat makan mewah itu dan cukup ramai dengan macam-macam bentuk dan corak manusia. Ia tidak menyangka kalau Wowor akan melamarnya di tempat itu. Kembali ia menatap Wowor. Ia tidak akan mengatakan mau jika maksudnya hanya untuk coba-coba karena sebenarnya ia pun masih meragukan perasaannya
pada Wowor.
     “Tidak.” Jawab Julia akhirnya dengan nada pelan seakan tidak ingin menyakiti perasaan Wowor. Jawaban itu membuat Wowor tersenyum getir dan sudah ia duga sebenarnya meski tidak pasti sebab ia juga tidak yakin sepenuhnya kalau Julia akan menolak lamarannya. Jawaban itu tanpa tedeng aling-aling dengan kata lain ‘beri aku waktu untuk berpikir atau sejenisnya.’ Itu jawaban yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Julia sengaja menatap Wowor untuk menunggu reaksinya. Ia berharap urusannya dengan Wowor selesai sampai di situ. “Apa pun yang telah terjadi selama ini, aku anggap selesai Wor.” Ia tidak ingin mengupas lagi tentang penyekapan itu atau yang lainnya.
     “Kesalahanku mungkin terlalu fatal ya? Tapi aku tidak ingin hubungan kita berakhir Julia. Satu hal yang ingin aku beritahu ke kamu lagi.. tolong buktikan pada mamiku kalau gadis Sumatera ataupun orang Sumatera itu tidak seperti yang ada dipikrannya.”
     “Maksud kamu?” Julia belum mengerti ke mana arah kata-kata itu.
     “Menikahlah denganku.” Wowor meminta dengan sopan.
     O o, apakah tidak ada cara lain? Kalau Julia menolak apakah tidak ada orang lain yang bisa membuktikan itu? Gejolak dalam diri Julia mulai berkecamuk antara harga diri, nama baik orang Sumatera dan pertaruhan dirinya dengan mami Wowor. Julia pikir bertemu dengan Wowor akan menyelesaikan masalahnya dan sepertinya baru saja dimulai.


**

AemeL Baes dan Julia Aurora
     AemeL Baes tentu saja merasa dinomor duakan setelah mengetahui Julia  memilih bertemu dengan Wowor, itu tidak biasanya. Rasa kangen AemeL pada Julia dibumbui kekecewaan yang dalam.
     “Jangan seperti anak kecil.” Ujar Julia saat mereka berpelukan di tempat kos AemeL. Meski tak menjawab AemeL belum bisa menerima kenyataan itu. Apapun alasannya ia ingin Julia menemuinya terlebih dahulu lalu mereka akan bertemu dengan Wowor berdua. Julia sudah menjelaskan mengapa ia memutuskan untuk bertemu dengan Wowor dulu.
     “Tetap saja pria itu besar kepala.”
     “Sudahlah, aku mina maaf sekarang beri aku mimun.. aku kangen dengan kopi buatanmu.” Julia coba menenangkan AemeL.
     AemeL tersenyum dan entah mengapa ia merasa ada kecemburuan teman di dalam persahabatan itu. Dari dulu AemeL memang selalu mendapat kabar paling pertama apapun dari Julia. Ia di mana, sama siapa, dan mau pergi ke mana. Dan aneh rasanya jika Julia mengabaikan hal itu.
     “Kita ke Bali....!” seru AemeL saat membawakan dua gelas kopi untuk mereka.
     “Tidak. Aku hanya ingin menikmati tempat yang dekat, nyaman dan sejuk.” Sekilas ia menyimak kaki AemeL yang belum sembuh total tapi AemeL mengabaikannya walau terkadang masih suka terasa ngilu kalau lelah.
     “Ke Danau. Tempatnya tidak begitu jauh.” Sahut AemeL merasa Julia pasti punya alasan sendiri untuk tidak pergi jauh karena Julia adalah penyuka traveling.
     Lima belas menit berikutnya kedua gadis itu sudah ada di tepi danau yang tenang di daerah Cinere, Julia yang mengendarai motor AemeL memutuskan untuk cerita tentang Wowor di tempat itu. Di bawah Pondok yang teduh mereka hanya ditemani minuman es kelapa muda.
     “Apakah Wowor menjelaskan mengapa ia mengurung kamu di rumah kosongnya?” tanya AemeL tidak sabar.
     “Tidak begitu jelas apa alasannya.” Julia menyeruput es kelapanya.
     “Ia bilang sama aku kejadian itu lantaran ia tidak ingin kamu kecewa. Khususnya terhadapku. Aku tidak begitu paham apa maksudnya.” Kata AemeL. Julia melirik ke AemeL.
     “Wowor berkali-kali mengatakan kalau kamu tidak pernah peduli sama aku, apakah aku hilang, mati atau apalah namanya, saat aku ingin pergi dari rumahnya pertama yang ia katakan tidak usah menghubungi kamu karena kamu sedang berbahagia dengan Teguh. Dan keyakinanku yang tak tergoyahkan hancur saat melihat kamu keluar berdua dengan Teguh dari tempat kos kamu dan pikiranku mengatakan kalau aku memang tetap asing di matamu. Malam itu aku ingin ke tempatmu dan mengatakan kalau aku baik-baik saja agar kamu tidak khawatir tapi ternyata aku salah. Malam itu juga aku ke Tanah Abang mencari penginapan dan paginya belanja setelah itu pulang ke Palembang karena sudah cukup membuat Seema khawatir selama ini.”
     “Julia, Julia...” hela AemeL dengan napas sesak. Ia melemparkan pandangannya ke arah danau yang tenang. Di jam kerja suasana danau menjadi lengang seakan membuat dunia AemeL tambah sunyi meski ada sahabaat yang paling ia sayangi disampingnya. Julia mungkin tidak akan percaya kalau ia telah mencarinya seperti orang gila.
     “Aku datang ke Jakarta berharap urusanku dengan Wowor selesai nyatanya tidak. Ia malah menantangku agar menikah dengannya.” Tambah Julia menghilangkan keheningan yang panjang diantara mereka. Kali ini AemeL menatapnya dengan seksama.
     “Menantang bagaimana, maksudnya?”
     “Ibunya mengatakan kalau gadis Sumatera itu beda, beda dalam arti yang tidak baik dan punya sifat yang tidak umum. Seperti kasar dan keras kepala.”
     “Oh, jadi? Maksudnya kamu merasa tertantang? Untuk apa? Untuk membuktikan pada dunia kalau gadis Sumatera tidak seperti itu? Ngapain?” kata AemeL merasa mulai kesal mendengar hal itu. Ia tidak menyangka keluarga Wowor seperti itu terutama ibunya. “Tapi Wowornya tidak seperti itu,’kan?”
     “Kamu pikir kalau Wowor tidak seperti itu, aku bisa tenang?”
     “Ya aku tahu.” Jawab AemeL dengan cepat. “Emm... ngomong-ngomong mengapa kita harus jatuh cinta dengan orang di luar pulau Sumatera ya?” tambahnya seolah untuk dirinya sendiri.
     “Kita? Lo aja kali....” canda Julia dengan gaya anak Jakarta membuat AemeL senewen.
     “Itukan karena kita hidup di pulau ini.”
     “Kamu saja yang hidup di pulau ini, aku sih masih di Palembang dan hanya sekali-kali saja datang itupun untuk membeli barang daganganku.”
     “Huuuu...” AemeL memukul bahu Julia dengan lembut. Dengan begitu Julia tahu manja anak itu mulai keluar. Entah mengapa ia suka menggoda AemeL dan jika AemeL mulai marah ia baru bicara serius.
     “Kenapa kamu kasih nomor rekeningku dengan Teguh?” mata Julia menatap ke danau yang mungkin tidak akan pernah tahu dari mana saja orang datang untuk melihat keindahannya.
      “Kamu pikir aku punya pilihan?”
     “Kamu mencintainya?”
     “Kau tahu pria seperti apa yang aku idamkan, apalagi orangnya serius.”
     “Sepertinya kamu tidak punya pilihan lagi.” Goda Julia lalu menoleh ke arah kaki AemeL. “Sepertinya sudah membaik.” Diikuti oleh mata AemeL lalu ia mengangkat sedikit kakinya. “  
     “Sejujurnya masih sering sakit.” Jawab AemeL. Pikiran Julia langsung melayang pada peristiwa di mana AemeL terbaring di rumah sakit dan tidak sadarkan diri, setelah sadar tahu-tahunya tidak ingat dengan dirinya. Julia merasa sedih. “Kamu kenapa sih, kok diam?”
     “Apa kamu masih menganggap aku asing di matamu Ae?” tanya Julia diluar dugaan AemeL membuat AemeL mengalihkan pandangannya ke danau. Sekali-kali ia menghela napas berat. Karena setiap kali ingat itu dadanya terasa sakit. Ia tidak membenci Julia dan mana mungkin ia mampu membenci karena setiap kali rasa benci itu muncul puluhan kali rasa kangennya menyeruak dan Julia tidak pernah tahu itu.
      “Sejujurnya aku sangat sedih dengan esemes kamu yang terakhir dengan alasan tidak ingin mengecewakanku dan memutuskan untuk pergi.” Kata AemeL dengan pandangan masih ke hamparan danau.
     “Apa kamu pikir aku punya pilihan waktu itu?”
     AemeL tersenyum manja dan keduanya akhirnya jadi tersenyum, sejenak masalah dengan cowok jadi terlupakan. “Aku kepengen makan bakso. Kamu? Semoga ada mie ayam di sini.”
     “Kamu masih ingat kesukaanku ternyata.” Kata Julia saat AemeL melirik ke arah tukang jualan.
     “Memangnya aku masih amnesia.” AemeL beranjak dari kursinya untuk memesan makanan. Saat itu pangggilan dari Wowor masuk ke BB Julia. Sejenak Julia membiarkannya dan panggilan kedua baru ia angkat.
     “Ya, halo..?” mau apa lagi? Nyaris saja Julia menambahkan kata-kata itu.
     “Mm.. ini Julia?” hampir saja Julia mematikan sambungan itu karena bukan Wowor yang telepon tapi maminya. Julia masih ingat dengan dialek wanita itu.
     “M.. ya Tante. Ada apa?” suara Julia biasa. Tidak sok hormat atau cemas apalagi basa-
basi yang tidak penting.
     “Tante ingin bertemu sama kamu. Kamu masih di Jakarta’kan?”
     ‘Siapa?’ tanya AemeL tanpa suara pada Julia yang masih bicara di telepon setelah ia kembali ke tempat duduknya. Julia hanya mengisyaratkan agar AemeL diam dengan cara meletakkan jari telunjuk di bibirnya.
     “Sekarang sih masih Tante, tapi besok pagi sudah kembali ke Palembang.” Ujar Julia dengan nada bangga menyebut kata ‘Palembang’ seakan ingin memberitahukan pada wanita itu kalau ia bersyukur telah dilahirkan di sana.
     “Oh, ya sudah. Nanti malam kita harus bertemu. Akan saya kasih tahu tempatnya nanti. Oke, sudah dulu.” Teleponpun dimatikan sebelum Julia mengucap salam, Julia menebak-nebak apakah ada Wowor disamping maminya atau wanita itu  menelepon tanpa diketahui oleh anaknya.
     “Kamu mau pulang besok?” AemeL langsung bertanya detik setelah Julia meletakkan BB-nya di meja.
     “Memangnya aku pernah lama di sini?”
     “Padahal aku masih kangen. Siapa tadi yang telepon?”
     “Maminya Wowor. Dia ingin bertemu nanti malam.”
     “Bersama Wowor?”
     “Tidak tahu.”
     AemeL mengamati wajah sahabatnya. Meski wajah itu tak terlihat cemas tapi ia khawatir sekali. Ingin rasanya ia melarang namun ia penasaran juga. “Aku harus ikut!” tegasnya dan spontan membuat Julia tertawa meski halus. “Tidak ingin mengajak aku...?” rajuk AemeL namun masih dalam suasana cemas.
     “Bagaimana mungkin aku tidak mengajakmu, kalau tidak karena musibah itu aku tidak mungkin bertemu dengan dokter itu, kan?”
     “Kamu menyesal?” tanya AemeL. Pesanan mereka datang dan Julia merasa tidak perlu menjawab pertanyaan AemeL sebab ia sangat yakin kalau setiap masalah ataupun musibah pasti ada hikmahnya. Perkara maminya Wowor suka atau tidak tak penting baginya. Semua itu hak dia mau suka sama orang mana, suku apa terserah dia. Kendati demikian Julia merasa berhak membela harga dirinya.
     “Hm... mi ayam ini sepertinya nikmat sekali.” Ujar Julia yang memang sudah merasa lapar. Tak demikian dengan AemeL meski lapar ia masih mengamati Julia.
     “Jul, bagaimana dengan usahamu di Palembang?” ia merasa bersalah karena telah merepotkan gadis itu dalam dua bulan belakangan ini, walaupun sebelumnya ia jarang sekali bertanya tentang berapa keuntungan Julia dalam sebulan. Bukan ia tidak mau tahu hanya saja khawatir Julia tersinggung. Julia melirik AemeL sejenak sebelum mencicipi mi ayamnya.
     “Sejak kapan kamu peduli dengan usahaku?” sahut Julia ringan. Usaha Julia tidak menuntutnya harus berada di lokasi karena ia punya beberapa orang yang bisa dipercaya yang penting isi tokoh penuh.
     AemeL senyum simpul, ia ingat betapa semangatnnya Julia memberi dorongan pada dirinya saat coba mengirim tulisan-tulisannya ke penerbit meski saat itu AemeL masih bekerja di sebuah perusahaan yang tidak ada hubungannya dengan dunia menulis. Ia pun menyemangati AemeL saat naskah-naskah itu ditolak. Setelah diterima Julialah yang paling dulu ia beritahu. Persahabatan yang sudah mereka lewati puluhan tahun itu tak bisa diabaikan begitu saja ataupun diporak-porandakan orang lain. Ketika teman-teman sekolah mereka heran dan kaget kalau AemeL menjadi penulis Julia menjelaskan kalau AemeL memang suka menulis dari sejak di bangku sekolah. Julia ada benar dan tidaknya karena sejak sekolah AemeL tidak begitu tahu kalau ia suka menulis bahkan ‘MaDing’ pun tidak pernah ia lirik. Hanya saja saat suntuk di pelajaran terakhir AemeL suka menulis di buku catatannya dan suatu saat Julia yang duduk di belakang memergoki AemeL sedang menulis dan dari pandangan Julia saat itu AemeL sedang punya masalah sehingga hati Julia tergerak untuk menanyakannya dengan cara menulis juga. Saat itu AemeL ingat tulisan Julia dengan nada simpatik membuat AemeL merasa tersentuh. Sejak itulah mereka mulai akrab satu sama lainya. Sebenarnya AemeL dan Julia punya kesamaan yang cendrung tertutup.
     Melihat AemeL diam Julia mengangkat kepalanya untuk bicara serius. “Kapan kita ke Bali?” ujarnya seakan mengingatkan AemeL dengan keinginannya. AemeL hanya tersenyum tipis karena ia tidak punya keinginan lagi untuk berangkat ke sana.
     “Entahlah...” sahutnya dengan nada gamang. Kalau sudah seperti itu Julia paham AemeL sedang tidak fokus. Entah apa yang menjadi pusat pemikirannya sekarang? Kedua gadis itu akhirnya diam sejenak dan kesempatan itu digunakan mereka untuk menikmati makanan masing-masing dengan pikiran-pikiran yang berseliweran di atas kepala.
     “Bagaimana sosok maminya Wowor?” AemeL tiba-tiba bertanya setelah beberapa saat hanya terdengar suara sendok garpu yang menyentuh mangkok.
     “Mengapa bertanya tentang dia?” kata Julia tidak ingin mengingat wanita itu meskipun ia tidak akan pernah bisa melupakan sosok wanita perlente dengan gaya khas ala darah biru. “Kamu ingat salah satu teman sekolah kita yang dulu nakalnya minta ampun eh sekarang jadi direktur di sebuah bank swasta. Tidak disangka ya, nasib seseorang. Yang lainnya si tukang bolos dan suka mengganggu guru sekarang menjadi penambang, yang tukang nyontek jadi PNS, yang serius sekolahnya jadi guru.”
     “Sementara kamu punya usaha sendiri, aku yakin dulu kamu tidak akan menyangka hal itu.” Tebak AemeL.
     Julia tertawa pelan. “Dulu punya keinginan kuliah setinggi-tingginya, tapi sejak beliau tidak ada keinginan itu musnah, sempat drop dan berpikir tidak ada gunanya kuliah hingga di kelas tiga semangat belajar turun drastis.” Hela Julia yang sudah ditinggal ayahnya waktu ia duduk di bangku kelas dua SMA.
     “Kita memang tidak pernah tahu apa yang akan terjadi esok, tidak sedikit teman kita yang sudah menikah bahkan ada juga yang berpisah. Ada yang sudah kaya tapi sombong, jangankan menawarkan sesuatu ditelepon saja tidak pernah diangkat. Ada juga yang setiap hari menanyakan kabar kita dan peduli bahkan ada diantara teman yang dulu jaim setelah lulus menjadi lebih akrab bahkan seperti keluarga sendiri. Terkadang timbul rasa kengen berkumpul dengan mereka, tapi terus terang kalau tidak ada kamu pasti rasanya beda. Ada yang terasa kurang dan kosong di sini.” Tutur AemeL sembari menunjuk ke dadanya. Julia yang jarang mendengar AemeL bicara panjang menjadi terharu. Sejujurnya ia tahu kalau AemeL peduli sama dia tak ubahnya ia begitu menyayangi AemeL. Ia tidak takut kehilangan pria yang ia cintai asalkan bukan AemeL. Julia tersenyum semakin mengagumi sahabatnya.
     “Julia, semenjak kita ketemu di rumah sakit aku tidak pernah lagi melihat kamu menyentuh benda terkutuk itu.” Kata AemeL menambahkan dan kontan membuat Julia lebih melebarkan senyumannnya. AemeL memang selalu menyebut rokok adalah benda terkutuk, karena dia tidak menyukainya dengan alasan lebih parah dari pendapat seorang dokter. Mempersingkat usialah, merugikan orang lainlah, membakar uanglah, merusak jantung, menambah polusi udara, dan yang lebih konyol ia bilang tidak menambah orang terlihat  keren.
     “Sejak dua tahun lalu aku bercerai dengannya. Setiap aku pegang benda itu aku selalu ingat kata-kata kamu yang menyebutnya ‘tertkutuk’ mungkin saat itu karena aku benci dengan kamu dan ingin melupakanmu agar tidak pernah lagi terngiang setiap ucapan kamu maka secara perlahan kebiasaan untuk memegang benda terkutuk itu jadi musnah, dan apa kamu pikir itu gampang Ae?”
     “Ya, dan kenyataannya kamu tidak juga berhasil melupakan aku, kan?” kata-kata itu sama sekali tidak terdengar semacam menggoda. “Tapi untungnya kamu bisa melepaskan rokok, bukan aku.”
     “...Dan tetap saja aku benci kamu.. juga kota ini. Kenapa kamu tidak mau pulang kampung saja dan menulis di kampung? Bukankah menulis itu bisa di mana saja bahkan di dalam gua sekalipun?”
     “Hehe... ya kamu benar, aku bisa menulis bahkan hanya bermodalkan dunia internet tapi itu bukan hal yang mutlak, di sini aku butuh sosialisali, mengikuti bermacam seminar dunia tulis menulis, butuh bertemu dengan berbagai macam bentuk karakter manusia juga butuh buku-buku yang bermutu.”
     “Kamu tidak takut bertemu lagi dengan orang semacam Wowor yang bisa menyekap orang dan kejadian kecelakaan itu apa itu bukan pelajaran yang mengharuskan kamu pulang? Aku bisa kerja di kampung dan ke sini hanya belanja kebutuhan usahaku. Masa kamu tidak bisa melakukannya dari kampung?” Julia masih ngotot meski AemeL sudah menjelaskannya.
     “Takut? Bukannya gadis Sumatera yang sudah menyeberangi lautan dan memutuskan untuk merantau itu harus punya jiwa setegar baja? Aku tidak sendiri di sini, ada tante yang sudah berkeluarga yang bisa aku jadikan orang tua pengganti meski kejadian kemarin belum sempat mereka tahu, tapi nanti aku akan main ke rumahnya. Hmm... ngomong-ngomong aku senang melihat keadaanmu sekarang terutama bisa lepas dengan benda terkutuk itu, dan yang lebih penting..., hampir tiga tahun masa bodoh dengan cowok dan sekarang bertemu dengan orang seperti Wowor, dia tipe kamu sekali.” Pancing AemeL.
     “Jika melihat siapa Wowor sekarang mungkin aku akan lebih memilih untuk tidak jatuh cinta lagi.”
     “Tapi aku bisa melihat perhatiannya pada kamu saat aku sakit, aku pikir dia tidak seperti itu dan mengenai penyekapan itu ia pasti punya alasan sendiri yang pastinya belum kita ketahui. Ia punya sisi lembut yang jarang dimiliki anak tunggal apalagi dengan keberadaan harta yang berlimpah.”
     “Hei, aku bukan gadis Sumatera yang gila harta.”
     “Ya, aku tahu.... tapi kamu suka dia, kan?” tegas AemeL. Julia memperbaiki posisi duduknya dan tiba-tiba ia merindukan benda terkutuk itu. Melihat Julia gelisah AemeL langsung menawarkan minuman kesukaannya. “Pesan coke ya?”
     “Ya, boleh. Yang dingin.”
     Beberapa saat setelah Julia meneguk minuman dinginnya AemeL masih mengajak gadis itu bicara. “Kamu tahu Jul.. bagaimana perasaanku saat aku sakit dan amnesia?”
     Julia meletakkan minumannya. “Yang pasti sangat membenci aku.”
     “Ya, karena kamu tidak ingin menjelaskan siapa diri kamu sebenarnya. Mentang-mentang aku amnesia kamu merasa percuma menjelaskannya? Aku benci sekali kamu saat itu dan sepertinya Wowor mendukung kebohongan itu, yah.. yang namanya kebohongan tetap saja tidak baik, kan? Karena membuat aku berpikir negatif sama kamu juga pada Wowor, aku pikir kamu seorang suster yang dibayar Wowor lantaran dia yang membuat aku celaka, juga sempat terpikir olehku kalau kamu adalah istrinya Wowor setelah melihat kemungkinan kalau kamu bukan seorang perawat meski jago merawat orang. Tidak bisa mencuci piring maksudku tidak suka mencuci piring.”
     Sekali lagi Julia menenggak minumannya lalu menghela napas panjang. “Setelah dua tahun lebih tidak bertemu dan jarang kontek tiba-tiba mendapatkan kabar kamu kecelakaan, tidak sadar beberapa jam dan setelah sadar kamu tidak mengenali aku, apakah ada yang lebih sakit dari itu?”
     “Aku yang salah. Maafkan ya. Mau janji kalau kita tidak boleh saling marah, tersinggung dan saling percaya?”
     “Sudahlah, tidak usah diungkit-ungkit lagi dan bukannya kita sudah pernah berjanji seperti itu? Dan satu hal, sahabat yang  baik tidak selalu mengiyakan apa yang disukai sahabatnya. Tidak selalu berkata iya demi kesenangan sahabatnya, jika ia tahu itu salah maka ia wajib mengatakannya meski sakit untuk didengar.” Ujar Julia. Julia memang selalu bicara tegas meski kadang menyakitkan untuk didengar oleh AemeL. Jika saja AemeL mau sedikit berlapang dada menghadapi sahabatnya maka semua akan baik-baik saja. Ia tahu Julia peduli sama dia, bisa melakukan apa saja untuknya, bukan itu saja. Julia bahkan peduli pada semua temannya, punya simpati tinggi meski kadang terkesan egois. Tegas namun suka tidak tegaan, nada suaranya terkadang tinggi namun bisa sangat lembut dan serius jauh dari apa yang AemeL pikirkan. Ucapannya suka terdengar pedas tapi maksudnya baik. Itulah Julia yang sesungguhnya. Dia gadis Sumatera sejati, tidak gampang terpengaruh lingkungan buruk meski tidak menutup mata dengan pergaulan. Punya segudang pengalaman hidup, meski ia terlihat kokoh seperti karang tapi ia juga bisa luluh dan menangis kalau sahabatnya disakiti. Dan AemeL adalah salah satu sahabat yang mampu meluluhlantakkan jiwanya. Mampu membuatnya menangis saat melihat gadis itu terbaring di rumah sakit. AemeL adalah buku harian berjalannya Julia tapi jika AemeL tidak mempercayainya maka ia akan sangat tersinggung. Mereka saling mengenali satu sama lain tapi terkadang masih saja minta ketegasan dari orang lain mengenai kepedulian masing-masing.
~

     Diluar dugaan Julia, Wowor dan maminya bertemu dengan Julia di tempat kosnya AemeL. Julia tentu saja tidak ingin menjadi orang yang terlihat idiot tanpa mengetahui apa maksud Wowor mengajak maminya  bertemu.
     “Boleh saya bicara sebentar dengan Wowor?” pinta Julia pada Wowor dan untuk pamit pada wanita paruh baya yang sudah duduk di ruang tamu sederhana tempat kos AemeL. AemeL yang ikut menemani mereka jadi heran tak terkecuali Wowor dan maminya. Sejenak mereka saling pandang dan akhirnya Wowor membawa Julia ke teras. Wanita itu hanya tersenyum melihat tingkah anak sekarang. Ia menyimak suasana tempat kos AemeL sementara AemeL berusaha tenang. Ia coba memahami sifat wanita yang dikatakan Julia punya gaya layaknya darah biru. Ruang tamu sangat sederhana satu kursi panjang dan dua kursi kecil. Meja kecil yang sering dipakai untuk meletakkan laptop sama AemeL serta vas bunga yang berisikan aster imitasi. Sepintas AemeL merasakan kalau wanita itu sedang berbicara sendiri ‘beginilah hidup gadis Sumatera yang merantau dengan bermodalkan wajah menawan dan coba tebar pesona pada pria-pria muda bahkan mungkin para pria kayayang sudah sangat tua untuk mengubah nasibnya di kampung.’ Membayangkan hal itu AemeL jadi bergidik sendiri. Semoga ia salah dan itu hanya pikiran negatifnya pada wanita itu. Pikirnya.
     Julia menatap Wowor yang sudah berdiri dihadapannya. “Ada apa sebenarnya?” kata Julia dengan nada pelan dan tidak ingin membuat pria itu merasa tidak enak.
     “Mami dan aku ingin melamar kamu secara resmi.” Sahut Wowor dengan pasti.
     “Ya Tuhan, bukannya aku sudah bilang sama kamu dan jawabanku waktu itu sangat jelas, kan?” guman Julia semakin gusar.
     “Julia, jika kamu tidak menerima aku maka kita akan mati berdua.” Kata-kata itu semacam ancaman yang mengarah untuk diri Wowor sendiri. Julia mengamati mata Wowor dengan seksama ada keseriusan yang tidak biasa di sana. Ia tidak tahu mengapa pria yang baru kenal dengannya itu lancang sekali mengatakan kata-kata yang tidak bisa dianggap enteng. Berikutnya Julia memutuskan untuk kembali ke ruang tamu tanpa memberi keputusan pada Wowor. Ia duduk di sebelah AemeL lalu menatap wanita yang ada dihadapannya yang sudah ditemani anaknya.
     “Mm... Julia dan AemeL kamu sebagai sahabatnya di sini Tante ingin menyampaikan maksud kedatangan Tante dengan Wowor.” Ia berhenti sejenak membuat AemeL melirik Julia namun gadis itu tidak memberikan reaksi apapun. “Tante ingin melamar Julia untuk menjadi istri Wowor, sayang sekali papinya tidak bisa ikut. Untuk kedua kalinya ia pasti ikut untuk datang ke Palembang saat kami meminta Julia kepada walinya nanti.” Katanya dengan sangat menyakinkan. AemeL memegang tangan Julia seolah takut sahabatnya jatuh ke dalam sarang harimau tapi Julia tidak akan membuat AemeL cemas meski ia sendiri tidak suka situasi saat itu.
     “Em.. saya sangat menghargai kedatangan Tante ke sini.” Julia tidak heran mendengar kata-kata wanita itu karena ia sudah bertanya pada Wowor. “Bukan saya bermaksud tidak sopan atau mengabaikan kedatangan Tante juga Wowor tapi saya rasa, saya bukan wanita yang tepat untuk anak Tante.” Wanita itu melirik anaknya karena tidak menyangka anaknya akan ditolak. “Saya pikir banyak wanita yang lebih baik diluar sana untuk menjadi menantu Tante.” Tambah Julia masih dengan nada pelan dan sama sekali tidak bermaksud merendahkan siapapun, ia sadar sebagai wanita dewasa bisa menentukan jalan hidupnya.
     Wowor menghela napas panjang dan sangat menyadari kekerasan hati Julia yang susah diajak berdamai tapi ia tidak akan mundur untuk mendapatkan Julia. Ia pun mengeluarkan suaranya. “Ma, aku dan Julia baru kenal dalam dua bulan ini bahkan kurang. Sepertinya kami masih butuh beberapa waktu lagi untuk saling mengenal, bukankah begitu Julia?” ujarnya dengan sabar namun Julia tak memberi jawaban karena ia tidak tahu apa yang harus dikatakan melihat pria itu masih bersikukuh meski ia sudah menjelaskan lebih dari dua kali.  
     Wanita itu meneguk teh yang disediakan oleh AemeL yang ia rasa kurang nikmat dan baru kali itu ia merasa ada yang menolak anaknya yang seolah tanpa cacat dan yang melakukan itu adalah wanita yang belum ia tahu bibit bebet bobotnya dan yang lebih menyakitkan karena dia sendiri yang langsung melamar.
     Julia dan AemeL bisa melihat bagaimana tidak nyamannya wanita itu setelah mendengar penuturan Julia. Julia memang berusaha jujur dan tidak ingin memberi harapan karena takut ia tidak bisa memberikan apa-apa untuk mereka. Sedang AemeL khawatir kejadian-kejadian yang sering ditayangkan televisi akan menimpa pada Julia di mana banyak wanita yang dibunuh orang karena menolak cinta pria. Ada yang dimutilasi, ditusuk bahkan disetrum. Ia coba menyimak wajah Wowor untuk mencari keseriusan pria itu mencintai sahabatnya. Cinta yang berlebihan terkadang tidak baik. Jika pria tidak takut dan berani menyakiti dirinya sendiri maka akan tidak mustahil ia menyakiti wanitanya dengan alasan yang suka tidak masuk akal. Huh!
     Sebelum pamit pulang Wowor mengatakan pada Julia kalau besok ia akan mengantar Julia ke Bandara, meski Julia mengatakan tidak perlu namun Wowor tidak menghiraukannya. Kedua ibu dan anak itu meninggalkan kos AemeL menuju mobil yang diparkir depan gang.
     Di dalam mobil wanita itu mengeluhkan sifat Julia kepada Wowor. “Ia sudah memperlihatkan sifat aslinya, gadis Sumtera. Sudah Mami bilang kalau ia serius mencintai kamu ia tidak akan mengatakan ia bukan wanita yang baik untuk kamu. Seharusnya ia juga memperjuangkan kamu dari Mami. Barangkali ia punya cowok di Sumatera sana.” Kata-kata terakhir dari mami sempat membuat Wowor gundah namun ia coba tepis kemungkinan itu.
     “Ia masih butuh waktu Mi untuk melihat keseriusan aku sama dia. Dan mengenai sifat itu bukan karena ia gadis Sumatera, seperti halnya Mami yang dikenal punya sifat ramah, lebih bersabar menghadapi orang lain, memiliki hati yang lembut, sensitif terhadap lingkungan, lebih banyak menggunakan tatakrama, dan pecinta damai serta yang lebih penting Mami penyuka masakan yang manis-manis.” Tutur Wowor dan membuat maminya terdiam. Satu hal yang tidak pernah Wowor tahu apa yang pernah diamali maminya puluhan tahun silam.    
~

     Di atas tempat tidur kamar kos AemeL yang sederhana Julia duduk menghadap pada AemeL yang tak henti-hentinya memperlihatkan mimik khawatir pada sahabatnya.
     “Aku akan menelepon Teguh agar besok kamu tidak diantar sama Wowor.”
     “Tidak Ae, aku tidak akan apa-apa.”
     “Kalau begitu aku harus ikut.”
     “Sudah aku katakan kalau aku tidak akan apa-apa.”
     AemeL menyerah meski selama ini Julia selalu ingin ia antar kemanapun tapi ia yakin masih ada urusan yang belum selesai antara Julia dengan Wowor. Walaupun demikian masih saja ia cerewet. “Aku tidak bisa membayangkan saat mengantar kamu ke Bandara tiba-tiba Wowor berbelok arah, apa kamu tidak pernah trauma dengan penyekapan itu?”
     Julia mengingat situasi di rumah kosong itu, tidak ada satupun yang membuatnya takut. Tidak ada kekerasan yang dia alami di sana. “Sekarang begini saja, apapun yang terjadi sama aku nanti kamu harus janji bahwa kamu tidak boleh sedih, janji?”
     “Ngapain kamu bicara seperti itu?” AemeL marah mendengar pernyataan Julia. “Kamu  pikir aku mau berjanji dengan sesuatu yang tidak bisa aku tepati?” sungut AemeL masih marah dan Julia hanya senyum-senyum saja dan akhirnya ia menghela napas panjang. Sejujurnya baru kali ini Julia merasa seolah dihadapkan pada buah simalakama.
     “Oke, sekarang ceritakan tentang Teguh.” Pintanya agar AemeL melupakan kisah rumit yang ia hadapi.





**















Terdiam dalam Luka
     Mobil mewah itu meluncur dengan santai menyusuri jalan Pondok Indah kawasan Jakarta Selatan tujuan Bandara Soekarno-Hatta. Julia yang duduk di sebelah Wowor mengirim BBM dengan Seema dan AemeL. Sekilas Wowor menyimak kesibukan Julia lalu berkata dengan datar.
     “Apa pernah aku ada dalam pikiranmu meski sebentar?” mendengar penuturan yang mengandung pertanyaan memaksa Julia menoleh pada pria bersih, seorang dokter, impian banyak wanita terutama dikalangan para medis. Nyaris sempurna, itulah dr. Wowor Vandeef. Terpikir atau sengaja memikirkannya merupakan dua hal yang berbeda bagi Julia. Ia belum pernah bertemu dengan pria yang menimbulkan rasa aneh seperti pada Wowor. Entah mengapa ada banyak hal dalam hubungan itu. Terutama pembuktian, apakah itu pembuktian untuk maminya atau pembuktian cinta itu sendiri. Sepertinya bukan itu saja, di sini Julia merasa ada hak gadis Sumatera yang harus ia bela. Terlalu berlebihan memang kedengarannya tapi sebagai gadis Sumatera Julia tak bisa begitu saja melupakan kata-kata mami Wowor lewat Wowor.
     ‘Gadis Sumatera itu kasar, keras kepala, tidak mau memahami tatakrama, sulit bersabar dan kalau bicara suaranya keras.’
Itu adalah segelintir kata-kata yang diucapkan mami Wowor lalu ia disampaikan ke Julia meski setelahnya ia menyesal menyampaikan, kalau saja saat itu Julia tidak mendesaknya menanyakan mengapa maminya bersikap agak tidak suka dengan Julia. Wowor sudah  menjelaskan bukan itu inti dari maksud maminya.
     “Wor, tidak selamanya hubungan indah itu berakhir dengan pernikahan, kan? Mungkin akan lebih indah kalau kita hanya berteman saja. Kamu pria baik-baik yang pasti akan mendapatkan wanita baik-baik juga. Itulah yang disebut jodoh. Aku tidak mau hadir di antara keluarga kamu sebagai bebanmu, di mana anak laki-laki itu tak akan pernah bisa lepas dari ibunya karena setelah menikah ada dua wanita di dalam hidupnya, yaitu isteri dan ibunya. Aku tidak mau kamu menyakiti mami kamu lantaran membela aku begitupun sebaliknya, karena kamu sudah sangat memahami sifat-sifat gadis Sumatera, bukan? Seperti halnya kamu memahami sifat mami kamu.”
     “Tapi siapa yang memahami sifatku dan perasaanku?”
     “Tentunya mami kamu. Aku tidak mau bereksperimen dengan hal yang nantinya akan membuatku kecewa karena aku sangat memahami diriku. Sakit hati mungkin hal biasa bagiku tapi kalau sudah kecewa, gunungpun rasanya akan meledak. Maafkan aku Wor. Sekarang aku minta kamu turunkan aku di sini. Biar aku naik taksi saja.” Tutur Julia setelah mobil keluar dari Tol.
     “Tidak Julia, jangan seperti ini. Aku tidak bisa membiarkanmu kalaupun kamu tidak ingin aku antar ke Bandara lebih baik kamu tidak usah saja pergi.” Setelah bicara seperti itu Wowor menepikan mobilnya. Apakah ia kembali akan membawa Julia ke rumah kosongnya? Julia tidak ingin berpikir ke arah sana dan tidak seharusnya ia membiarkan Wowor mengantarnya namun ia tak ingin Wowor menganggapnya sok. Wowor harus tahu apa yang diinginkannya ia tidak ingin memberikan harapan sia-sia pada pria  baik semacam Wowor.
     “Maafkan aku Wor, aku harus pergi.” Julia membuka pintu mobil.
     “Julia, aku mencintai kamu... sampai kapanpun, jangan pergi...” Belum juga selesai kata-kata Wowor terdengar suara berdebam di samping mobil, suara itu sangat keras dan Wowor bisa melihat dengan jelas kalau tubuh Julia terpental ke depan. Julia tertabrak mobil yang melaju cepat di sebelah mereka. Meski mobil Wowor sudah berada di bahu jalan. Sepertinya mobil itu kehilangan kendali.
~

     Manusia memang selalu punya rencana namun Tuhan  adalah maha penentu, sebagaimana inginnya Julia menjauhi Wowor agar tak menyakiti perasaannya atau harapan palsu tapi Tuhan berkata lain. Kini gadis Sumatera itu terbaring di rumah sakit dan koma.
     Isi BBM-nya dengan Seema dan AemeL :
Seema : Seema, titip toko ya.
AemeL : Aku ingin pergi yang jauh.
     Mendapat pesan dari Julia seperti itu bagi Seema mungkin sudah biasa tapi bagi AemeL menjadi shock dan lebih dahsyat lagi setelah menerima telepon dari Wowor gelap sudah dunia ia rasa.
     Meski yang menabrak bertanggung jawab penuh dengan kecelakaan itu namun bagi Wowor bukan itu persoalannya. Ia jadi ketakukan kalau Julia benar-benar meninggalkannya untuk selama-lamanya. Ia tidak berpikir lagi apakah Julia akan menerimanya atau tidak namun gadis itu harus bangun dari komanya.
     Berbeda lagi dengan maminya Wowor, ia menemukan sebuah foto pria yang ia kenal jatuh dari dalam dompet Julia dan membuat ia lebih kaget dari kabar kecelakaan itu sendiri. Luka selama ini ia simpan menjadi menganga lagi. Itu disebabkan oleh Julia.
     AemeL marah besar pada Wowor yang sudah ada di ruang tunggu, ia tidak peduli kalau pria itu juga sedang panik sama tidak pedulinya ia pada mami Wowor diantara mereka.
     “Ini semua gara-gara kamu Wor, aku memang tidak percaya sama kamu. Kalau Julia tidak memaksa dan meyakinkan aku... aku memang percaya pada Julia tapi kamu!? Apa yang telah kamu lakukan padanya? Kamu mendorongnya keluar dari mobil hingga jatuh di jalan lalu tertabrak mobil, itu yang telah kamu lakukan pada Julia? Katakan apa sebenarnya yang kamu inginkan dari dia? Kamu boleh menyakiti aku tapi tidak Julia, kau bunuh saja aku Worrrr....!” teriak AemeL setengah menangis. Wowor tidak bisa harus melakukan apa karena ia sendiri merasa amat sangat terpukul.
     “Ini semua tidak seperti yang kamu duga Ae, silahkan kamu menyalahkan aku... tapi sekarang aku mohon kamu hubungi keluarganya... keluarganya harus tahu kondisi Julia.” Ujar Wowor karena ia tahu kondisi Julia parah, bukan ia tidak mau mengurus gadis itu tapi ada banyak hal yang mungkin tidak bisa ia urus karena dia bukan siapa-siapanya Julia.
     “Kamu pikir aku sanggup melakukannya?” hela AemeL masih menangis.
     “Saudara Wowor....” seorang dokter tiba-tiba keluar dari ruangan dan memanggil Wowor dengan sebuah kertas di tangannya. Wowor berpaling ke pria itu. “Ada yang harus menandatangi kertas pernyataan ini, pasien harus segera dioperasi.” Katanya dengan nada pasti. Sudah Wowor duga, pria itu memegang sebuah surat pernyataan untuk dibumbuhi tanda tangan dari pihak penanggun gjawab.
     Wowor kembali ke wajah AemeL. “Tolong hubungi keluarganya Ae, aku mohon.” Pinta Wowor dengan nada cemas yang tinggi. AemeL segera mencari ponselnya untuk menghubungi kakak Julia. Tapi sepertinya pria itu tidak bisa menunggu terlalu lama karena
pasien dalam kondisi kritis.
     “Ya AemeL hubungi keluarganya.” Mami Wowor ikut menimpali.
     “Pasien tidak bisa menunggu.” Ingatnya, AemeL masih berusaha menghubungi seseorang dan beberapa detik saja terhubung.
     “Kak, ini AemeL.” Kata AemeL dengan nada gemetar.
     “Ya Ae, aku tahu. Ada apa....”
     “Julia Kak... Julia kecelakaan... Kakak harus datang ke sini.” Kata-kata AemeL masih gemetar.
     “Kamu di mana?”
     “Di Jakarta.”
     “Saya tidak  bisa menunggu.” Suara pria itu lagi-lagi menggetarkan sekujur tubuh Wowor. Ia langsung merebut kertas dari tangannya karena ia tahu yang dihubungi oleh AemeL pastinya berada di Palembang. Ia langsung menandatangi surat pernyataan itu. AemeL yang menyaksikan sikap Wowor tak bisa bicara lagi. Pria itu langsung membawa surat masuk dan dengan segera menangani Julia.
     “Ya, Kak... Julia ada di rumah sakit Jakarta.” Suara AemeL sudah melemah. Wowor sudah duduk lunglai di kursi. Setelah memastikan Kakak Julia akan segera datang ke Jakarta AemeL baru bisa membawa tubuhnya ke kursi. Ia duduk di sebelah Wowor. “Kalau terjadi hal yang tidak diinginkan pada Julia, maka kamu akan tahu akibatnya.” Guman AemeL dengan nada ancaman yang tidak bisa dibayangkan oleh Wowor. Sekilas Wowor melirik pada AemeL. Ia tidak bisa membela diri pada gadis itu, apapun yang akan dilakukan AemeL ia seolah akan menerimanya detik itu juga. Kalaupun ia harus mati, asalkan Julia bisa diselamatkan.
~
     Wanita paruh baya itu tak bisa melupakan gambar yang ia dapat dari dalam dompet Julia. Entah untuk yang keberapa kalinya ia mengamati foto itu. Sosok pria tiga puluhan dengan wajah oval, sedikit cambang. Wajah putih bersih khas Sumatera. Pesonanya mengalahkan pria bule sekalipun, dengan karakter kuat membuatnya benar-benar terpana.
     Memori otaknya membawanya kembali pada peristiwa puluhan tahun silam.
     “Aku sangat mencintai kamu, Warsih. Perkenalan kita yang sudah hampir dua tahun sudah lebih dari cukup untuk saling mengenal. Kita akan segera menikah, aku akan pulang ke Sumatera untuk mengajak kedua orang tuaku agar melamar kamu, sayang. Kamu harus menunggu aku ya.”
     ‘Sial!’ wanita itu membuang foto yang dari tadi ia genggam. Emosinya mengalahkan semua keindahan kenangan itu.
     Beberapa saat berikutnya ia kembali mengambil foto itu dan mencari AemeL yang masih setia di ruang tunggu. Beruntung tidak ada Wowor bersamanya sehingga ia bisa menanyakan sesuatu yang tidak boleh diketahui oleh Wowor. Ia duduk di dekat AemeL tanpa dipedulikan AemeL. Ia menjulurkan telapak tangannya ke arah wajah AemeL membuat AemeL kaget setelah melihat gambar siapa yang ada di telapak tangan wanita itu.
     “Kamu kenal dengan orang ini..?” suara wanita itu agak berat meski penuh keingintahuan yang tinggi. AemeL melirik wanita yang telah melahirkan Wowor tersebut dengan tatapan aneh karena menanyakan hal yang sudah pasti ia tahu.
     “Dari mana Tante mendapatkan foto itu?” tanya AemeL curiga.
     “Foto ini jatuh dari dalam dompetnya Julia. Sekarang dompet itu ada bersama Wowor, nanti ia pasti mengembalikan pada kamu sebelum Julia pulih.”
     AemeL masih mengamati wanita itu yang mungkin sedang memikirkan pria di foto itu adalah kekasih Julia. Pikirnya. Memikirkan hal itu membuat AemeL menjadi geram.
     “Pria itu adalah ayahnya Julia.” Tegasnya. Ia tidak melihat ada bias kelegaan di wajah itu dan justru AemeL menemukan hal yang tidak bisa ia bayangkan. Wajah itu menjadi pucat dan tiba-tiba wanita itu memegang dadanya dan mengusapnya dengan lembut. Kini AemeL tidak bisa melihat dengan jelas apakah itu tanda lega karena pria itu bukan kekasihnya Julia atau ada hal lain yang membuatnya sedih. Wanita itu sudah menarik tangannya dari hadapan AemeL.
     Bersamaan dengan itu, sosok yang amat mirip dengan pria yang ada di foto muncul dihadapan mereka. Detik itu wanita tersebut merasakan dadanya berhenti berdetak, kenangan puluhan tahun silam kini seakan muncul dan menabrak tubuhnya yang selama ini berusaha kokoh bertahan dan akhirnya tumbang juga. Wanita itu tidak bisa melepaskan matanya dari pria yang sedang mendekati mereka dan AemeL berlari menyusul dan memeluk pria tersebut. Dalam pelukan pria itu AemeL tak bisa menahan curahan air matanya yang mengalir dengan deras.
~

     Julia mengalami luka dalam yang cukup parah, tulang rusuknya patah dan sedikit menyentuh paru-paru hingga terluka. Dan sepertinya akan memakan waktu lama untuk sembuh, setelah menjalani operasi yang cukup panjang namun Julia masih dalam kondisi kritis. Yang menabrak tidak berani datang kecuali diwakilkan oleh keluarga. Mereka meminta maaf dan siap menerima tuntutan apa pun dari korban karena mereka mengakui ceroboh dalam mengemudi apalagi ada sopir saksi yang melihat insiden itu, semua itu dikarenakan tuntutan pekerjaan dan harus mengejar waktu. Jakarta memang macet dan setelah melihat peluang jalan kosong sebentar saja banyak pengemudi kehilangan kendali di jalanan hingga melupakan keselamatan orang lain bahkan diri sendiri.
     Wowor sedang duduk berdua dengan pria yang bernama Juna yang datang dari Palembang setelah mendapat telepon dari AemeL.
     “Julia itu adalah salah satu adik perempuan kesayangan saya, saya tidak bisa mendengar ia punya kesulitan atau ada yang menyakitinya. Dia memang keras kepala tapi punya disiplin yang tinggi....dan mandiri.” pria itu berhenti sejenak karena menahan rasa sesak di dadanya membayangkan adik kesayangannya terbaring dan sedang berperang menahan rasa sakit.
     “Saya sangat mencintai Julia.” Tutur Wowor disela jeda pria itu. “Sejujurnya saya kenal dengan Julia tidak lebih dari dua bulan yang lalu tapi saya merasa ia sangat spesial, saya bahkan sudah melamar Julia bersama ibu saya di tempat kos AemeL dengan maksud kalau Julia menerima kami akan datang ke Palembang secara resmi. Tapi saat mengantar Julia ke bandara dan.... Julia minta turun dengan maksud untuk naik taksi lalu mobil itu datang seperti kilat...” mata Wowor terpejam seolah kejadian itu sedang melintas di depannya. Juna bisa menebak kalau Julia saat itu sedang bertengkar dengan pria yang belum pernah ia dengar sebelumnya dari Julia. Julia tidak akan mengenalkan teman prianya kepada keluarga kalau ia merasa belum yakin. Ia mengamati Wowor sejenak, di matanya tidak terlihat yang aneh-aneh pada pria itu dan entah mengapa ia tidak bisa marah pada Wowor, pria asing yang mungkin dicintai adiknya atau sebaliknya.
     Juna akhirnya tahu kalau AemeL juga pernah mengalami kecelakaan karena ia sedikit mengorek keterangan kapan Julia kenal dengan Wowor. Yang membuatnya merasa aneh mengapa kedua sahabat itu bisa mengalami nasib yang sama yaitu kecelakaan di kota orang lain.
     “Apakah Julia mencintai pria yang bernama Wowor itu?” tanya Juna pada AemeL. Gadis itu tidak bisa berbohong pada Juna yang sudah ia anggap kakak sendiri.
     “Emm... ya tapi Julia masih ragu dengan Wowor, mungkin karena mereka baru kenal.” Tutur AemeL dan itu bisa dimaklumi oleh Juna tapi ia bisa melihat keseriusan Wowor dari sisi dirinya sebagai seorang pria. Namun sejatinya apapun masalah yang sedang dihadapi oleh Julia dengan Wowor akan bisa diselesaikan kalau Julia sudah siuman dan sembuh. Juna menyelesaikan urusan dengan pihak yang menabrak adiknya, semua biaya rumah sakit dibiayai oleh mereka, jika Julia tidak selamat dari kecelakaan itu.... belum dibicarakan karena tidak ada satu pihakpun yang menginginkan itu terjadi.
     Siang malam AemeL menjaga Julia, ia bahkan membawa laptopnya ke rumah sakit dan mencurahkan kesedihannya lewat tulisan dan sekali-kali di buku dengan tinta emasnya dan Julia belum juga sadarkan diri.
     Wanita paruh baya itu sedang mendekati AemeL karena ingin menjelaskan mengapa Wowor sampai membawa Julia ke rumah kosongnya yang AemeL sebut sebagai penyekapan dan peristiwa itu tidak pernah AemeL ceritakan pada Juna karena takut Juna akan membunuh Wowor. Sebab pria manapun tidak akan bisa menerima kalau tahu adik perempuannya pernah disekap pria lain dengan alasan apa pun.
     “Waktu SMA Wowor pernah dikhianati oleh sahabatnya sendiri, pria itu membunuh kekasih Wowor lantaran cintanya ditolak, dan waktu kuliah di fakultas kedokteran lagi-lagi seseorang yang disebut sahabat mengkhianatinya. Pria itu memfitnah Wowor sehingga ia ditinggal dan wanita itu menikah dengan pria lain.” Tutur wanita itu berharap AemeL memahami perasaan anaknya.
     AemeL menghela napas panjang.
     ‘AemeL, aku hanya ingin mengetes kamu.’ Kata-kata itu terngiang di telinga AemeL setelah Wowor mengakui kalau Julia telah ia sembunyikan. AemeL menatap mami Wowor yang kini ia rasa mengalami perubahan yang cukup hebat, apakah karena peristiwa kecelakaan Julia atau ada hal lain membuatnya menjadi terlihat benar-benar seorang wanita sejati, tidak memperlihatkan keangkuhannya menghadapi orang dari suku mana berasal. AemeL jadi bingung dibuatnya, anak dan ibu seolah punya dua kepribadian masing-masing. Ah! AemeL tidak peduli apa yang dipikirkan oleh mereka, yang menjadi fokusnya sekarang adalah Julia sembuh, sembuh dan sembuh apalagi sekarang masih tidak sadarkan diri.
     Baru kali pertama AemeL melihat sosok papinya Wowor, pria Belanda yang sepertinya punya kesibukan tidak biasa, sosoknya tidak bisa dibilang lebih tinggi dari Juna. Agak kaku namun terlihat tulus. Ia sedang berbincang dengan Wowor di depan kamar Julia.
     “Kamu mencintai wanita itu?” tanya dengan nada khas seorang ayah.
     “Ya, Pi.” Mata kedua pria itu tidak lepas dari sosok Julia yang terbaring.
     “Kamu ingin menikah dengannya sekarang? Bukankah boleh menikah dengan wanita yang dicintai meski ia dalam kondisi sakit berat..?” katanya karena ia pernah menonton film Ayat-Ayat Cinta.
     “Tidak Pi, aku akan menikahinya setelah ia siuman dan aku akan menunggu itu sampai kapanpun.” Sahut Wowor dengan nada pasti.
     “Baiklah, Papi akan mendukungmu.” Lama kedua pria itu mengamati Julia dan itu tidak lepas dari pandangan AemeL yang dari tadi sudah duduk di kursi ruanga tunggu. Beberapa saat kemudian Wowor masuk ke dalam setelah Juna meninggalkan ruangan dan bergabung dengan papinya Wowor. AemeL mengikuti dari belakang namun ia tidak masuk hanya memandang dari kaca kecil di pintu ruangan. Ia melihat Wowor mengusap kening Julia beberapa kali, lalu mengecupnya dengan lembut membuat AemeL menahan napas dan detik berikutnya ia melihat Wowor mengusap matanya sendiri. Ah, sepertinya pria itu menangis. Pikir AemeL. Itu semacam adegan drama yang paling menyentuh hati AemeL membuat mata AemeL pun ikut terasa berkaca-kaca. Apakah pria itu menangis takut kehilangan Julia atau ia sedih karena merasa bersalah? AemeL tidak tahu pasti yang ia tahu ketakutannya mungkin lebih besar dari rasa takut yang dialami oleh Wowor.
~

     Warsih makin hari semakin tidak tenang, ia ingin menanyakan kepada AemeL mengapa ayahnya Julia tidak datang melihat kondisi Julia? Mengapa cuma anaknya yang bermama Juna itu datang sendiri? Kedatangan Juna membuat pikirannya makin kalang kabut, karena wajah itu memaksanya kembali ke masa yang tidak pernah bisa ia lupakan meski ia tidak ingin mengingatnya sedikitpun. Kemarahan yang terpendam selama ini menjadi semacam gunung api aktif yang siap meledak. Rasa dikhianati, dipecundangi dan merasa dibohongi semua itu seperti lahar panas gunung yang meleleh dan membakar hatinya. Dan semua itu melebur dan melepuh dengan satu kalimat dari AemeL.
     ‘Ayahnya Julia sudah meninggal saat Julia duduk di bangku kelas dua SMA’
     Ingin rasanya ia menjerit sekuat tenaga tidak tahu lagi rasa apa yang ada dihatinya saat ini. Seolah suara Fundo musical instrumental opera suspense dari  Mozart menyentak dadanya.  Ia tidak bisa lagi membedakan rasa dendam, sakit hati, terharu bahkan rasa cinta karena semuanya menggumpal dan siap menelan tubuhnya detik itu juga. Warsih yang malang, mencintai pria yang tidak bisa ia miliki bahkan tidak pernah berusaha mencari keberadaannya karena merasa telah dikhianati. Saat ia bertemu dengan keluarganya walau tanpa sengaja semuanya sudah sirna, pria itu telah meninggalkannya lebih dulu, mungkin sudah lama meninggalkannya sebelum ia menikah. Tidak ada yang boleh tahu tentang perasaannya pada pria itu, tidak AemeL, Julia, Wowor ataupun suaminya sekarang. Pria bule yang sudah memberikannya seorang putra kebanggaannya. Jika tidak ada yang boleh tahu tentang pria Sumatera itu bagaimana ia bisa tahu mengapa kepergiannya untuk menjemput orang tuanya tidak pernah kembali lagi..? ada kejadian apa saat itu sehingga membuatnya menunggu dalam ketidakpastian. Sakit rasa hatinya dan itu ia simpan bertahun-tahun hingga rasa sakit itu sudah menjadi beku lalu muncullah gadis Sumatera dengan nota bene kenal dengan Wowor menyenggol lukanya karena membawa nama Sumatera.. dan kini kenyataannya gadis itu adalah........
     AemeL tidak mau meninggalkan Julia meski untuk sekedar melepaskan penat dan tidur dengan nyenyak di tempat kosnya, ia tidak ingin Julia siuman tanpa ada di sisinya dan sama sekali tidak ingin meninggalkan Julia dengan alasan apa pun. Ia memandang wajah Julia yang tidak ubahnya orang tidur.
     ‘Julia... apakah sama yang kamu rasa saat melihat aku di rumah sakit dengan terbaring seperti ini? Sakit sekali rasanya Julia melihat kamu seperti ini. Kamu harus janji untuk kembali, kamu harus hidup dan bahagia... kamu harus sadar dan bangun Julia, aku tidak peduli apa kamu mau kenal denganku atau tidak, yang penting kamu harus sembuh. Aku sayang sekali sama kamu shobat. Bangunlah.. kamu wanita kuat, aku tahu itu.’
     Kalimat terakhir AemeL bisikkan di telinga Julia dan saat ia mengangkat wajahnya tanpa ia sadar air matanya telah jatuh mengenai pelipis Julia dan tanpa AemeL lihat ternyata jemari Julia memberi sedikit respon. AemeL mengusap lembut air mata di pipi Julia dan saat mendengar derit suara pintu dibuka ia buru-buru mengusap air matanya sendiri apalagi sadar kalau yang masuk adalah Wowor, ia tidak ingin pria itu melihat ia rapuh.
     Wowor mengamati AemeL dan perlengkapan gadis itu di sudut kamar ia meletakkan laptopnya yang tidak pernah ditutup.
     “AemeL, kamu harus istirahat. Jangan sampai kamu sakit karena Julia akan marah sama aku jika itu terjadi. Aku akan menjaga Julia di sini, seberapa sayangnya kamu sama dia.. aku juga lebih......” Wowor tidak bisa melanjutkan kata-katanya karena tidak ingin AemeL tersinggung. Ia sendiri pernah punya sahabat dan bisa melakukan apapun untuk sahabatnya meski tidak berbuah baik. AemeL tidak berkomentar dan ia masih memandang wajah sahabatnya. Wowor berkata lagi. “Kita akan membawa Julia ke rumah sakit terbaik di kota ini, secepatnya.” Wowor ingin memindahkan Julia ke rumah sakit yang lebih baik dan itu tidak bisa buru-buru karena bisa-bisa berakibat fatal untuk Julia. Sekilas AemeL melirik Wowor, apapun yang pria itu katakan ia tidak peduli selain kesembuhan Julia.
     “Kembalikan Julia padaku.....” katanya nyaris berguman membuat Wowor tak bisa berkata-kata lagi.
     Bersamaan dengan itu Teguh muncul diantara mereka, pria yang selama dua hari ini tugas di luar kota setelah kembali langsung datang ke rumah sakit. Melihat kedatangan Teguh membuat AemeL tidak bisa menahan tangis yang selama ini ia tahan di depan Wowor. Ia lari kedalam pelukan Teguh dan Teguh yang sudah tahu dari AemeL kalau Julia tidak sadarkan diri memandang ke sosok Julia yang terbaring di dekat mereka. Ia memahami bagaimana perasaan AemeL hingga membuatnya mengusap punggung AemeL lalu matanya beralih ke Wowor.
     “Dia akan baik-baik saja.” Ujar Wowor dengan mata sudah pada wajah Julia. Mendengar kata untuk menguatkan diri sendiri itu memaksa Teguh mengusap bahu Wowor.
     “Ya, dia akan baik-baik saja.” Tambahnya dengan nada khas seorang sahabat. Teguh melangkah mendekati pembaringan Julia sedang AemeL masih dalam dekapannya. Lama ia terpaku di sana tanpa sadar ia mengusap lengan Julia seakan ingin memberi kekuatan pada Julia kalau mereka semua ada di tempat itu menunggu Julia sadar. Teguh bisa melihat kalau Julia memang dalam kondisi yang tidak bisa ditebak.
     Teguh melihat dan merasakan kalau AemeL dalam kondisi yang sama saat ia melihat di halte senja itu. Bagaimanapun kesedihan yang AemeL rasakan ia merasa tidak mampu menyembuhkannya dan satu-satunya cara yang bisa ia lakukan adalah memberinya keyakinan kalau Julia akan baik-baik saja. Meski sudah ada Teguh tetap saja AemeL tidak ingin meninggalkan Julia, Teguh masih bisa melihat AemeL berjalan belum normal seratus persen. Beberapa saat kemudian Teguh membawa AemeL ke ruangan tunggu. Di sana ia tidak melepaskan AemeL dari dekapannya.
     “Julia, Guh.... dia.. dia pasti sangat kesakitan. Aku hanya patah kaki sakitnya sudah luar biasa tapi Julia.... tulang rusuknya patah dan menembus paru-parunya.. bisa kamu bayangkan sesakit apa yang ia rasakan?” suara AemeL setengah menangis.
     Teguh mengusap bahu AemeL. “Kita harus berdoa untuk kesembuhan Julia.. kamu harus yakin kalau dia akan sembuh, kesembuhan kamu juga pasti ada peran doa Julia.. percayalah.” Guman Teguh diantara duka AemeL yang dalam.
     Di kantin rumah sakit, Juna sedang berbincang dengan maminya Wowor. Wanita paruh baya itu tak bisa menghentikan debaran jantungnya yang tidak biasa dan itu dikarenakan sosok masa lalu itu sangat mirip dengan pria yang ada di hadapannya.
     “Juna, mengapa kamu tidak kabarkan kecelakaan Julia dengan keluargamu yang lain? Ibu kamu atau adik-adik kamu..?”
     “Tidak sekarang Tante.” Sahut Juna dan wanita itu merasa tersanjung Juna memanggilnya Tante meski ratusan orang menyebutnya Tante tapi suara yang keluar dari mulut Juna seolah ada keakraban sendiri terdengar di telinganya.
     “Kapan...?”
     Juna menatap wanita itu sejenak dan ia berharap wanita itu tidak menganggapnya menyembunyikan sesuatu dari keluarganya atau berharap wanita itu tidak menyebutkan ‘kalau tidak sekarang kapan lagi? Bagaimana kalau Julia tidak bisa diselamatkan?’ tapi mimik wajah itu memperlihatkan kekhawatiran yang mungkin sama dengan Juna.
     “Sejak sepuluh tahun lalu saya selalu berusaha untuk memberi ketenangan di dalam keluarga saya, baik itu ibu saya juga adik-adik saya.. bagaimanapun caranya mereka tidak boleh cemas dan saya ingin melindungi mereka semua.”
     “Sepuluh tahun lalu.....?” kata wanita itu dengan nada mengandung keingintahuan yang dalam. “Kenapa harus sejak sepuluh tahun yang lalu?”
     Kali ini Juna menarik napas dalam-dalam. “Ya, benar.. sejak ayah saya meninggal dunia dan sebagai anak tertua saya harus mengambil alih perannya dalam urusan melindungi keluarga. Itu sudah menjadi naluri disamping memang kewajiban anak tertua, tak peduli apakah anak tertua itu pria atau wanita.”
     “Oh, kamu memang benar.” Hela wanita itu mengiyakan. “Apakah ayah kamu bernama.. Januardi?” menyebut kata terakhir bibir wanita itu agak gemetar. Kali ini Juna mengamati wanita itu agak lama namun wanita itu tidak mau kalah, ia berusaha menjadi wanita tegar karena inilah saatnya ia mengetahui apa yang terjadi dengan Januardi sejak tiga puluhlimaan tahun yang lalu.
     “Ya, benar sekali. Januardi adalah nama ayah saya... Tante tahu nama itu dari mana?” giliran Juna ingin tahu apa yang tersembunyi dalam pikiran wanita yang tidak jauh lebih lebih tua dari ibunya. Apakah wanita itu sedang menyelidiki bibit bebet bobot wanita calon isteri dari anaknya? Keterlaluan! Apa ia tidak berpikir kalau adik saya sedang berjuang untuk kesembuhannya!
     “Sudah Tante duga..?”
     “Maksud Tante?” Juna menenggak minuman dingin yang ada dihadapannya lalu menunggu wanita itu bicara jujur.
     “Nama itu tidak asing di telinga Tante, dulu... saya punya sahabat.. ia punya teman dekat pria Sumatera.. dan kebetulan nama kekasihnya itu Januardi. Mereka sudah berjanji untuk menikah.. pria itu kembali ke kotanya untuk membawa kedua orang tuanya dengan niat kembali datang dan melamar dia... namun kenyataannya hingga sekarang pria itu tidak pernah kembali.” Bibir wanita itu kembali gemetar mengisahkan cerita itu dan dengan jelas Juna bisa merasakan kesedihannya. Saat itu tergiang beberapa cerita yang pernah ayahnya kisahkan padanya saat ia masih usia sekolah.
     “Oh, itu...  menyedihkan sekali.” Tutur Juna dengan nada mengandung keprihatinan yang tinggi.
     “Bukan itu saja...” sambung wanita itu dengan tidak sabar karena gejolak emosinya mulai keluar. “Itu prilaku yang tidak bertanggung jawab.” Tegasnya memaksa Juna merasa terpojok.
     “Saya mengerti Tante, tentunya wanita itu, keluarganya dan teman-temannya menganggap pria Sumatera itu tidak bertanggung jawab, pecundang dan semua hal yang jelek. Kalau boleh saya meminta sama Tante.. apa boleh saya bertemu dengan teman Tante itu? Saya mewakili keluarga khsususnya ayah saya ingin meminta maaf kepada beliau..” pinta Juna dengan tulus.
     “Pastinya, jangankan pria Sumatera... imbas itu juga menimpa wanita Sumatera. Dan satu hal yang harus kamu tahu Juna, wanita itu sudah meninggal sejak tiga puluh satu tahun silam.. ia mati bunuh diri... itu karena ia merasa dikhianati oleh pria Sumatera.” Ujar wanita itu dengan nada agak tinggi membuat Juna menyandarkan punggungnya di sandaran kursi kantin. Ia merasa punya PR baru yang harus dituntaskan. Julia belum ketahuan nasibnya kini ada hal baru yang harus ia luruskan. Sedang wanita paruh baya itu tidak menyangka akan menceritakan kisah itu mengatasnamakan orang lain. Itu tak pernah terpikir sebelumnya oleh dia kalau akan berjalan seperti itu.
     “Wanita itu tinggal di mana Tente?” lanjut Juna masih punya niat mendatangi makam wanita yang dimaksud.
     “Di Surabaya, tapi aku tidak tahu pasti di mana tempatnya. Dia itu teman kuliah, meski dekat aku tidak pernah datang ke rumahnya.” Jawabnya dengan nada datar. Sejenak Juna mengamati wanita Jawa tulen itu, meski ia terlihat lembut namun Juna merasa dibalik kelembutannya ada rahasia yang tersimpan. Juna coba menepis namun ia merasa ada sesuatu yang masih mengusik benaknya dalam obrolan mereka.
     Apapun dibalik itu semua kesembuhan Julia adalah yang paling penting. Juna kembali ke ruangan Julia, di sana ada Wowor serta AemeL beserta Teguh. Ia meminta mereka meninggalkan adiknya namun Wowor berdalih dengan alasan ia sudah ambil cuti dari rumah sakit untuk menemani Julia dan kali ini AemeL yang mengalah, ia kembali ke tempat kos diantar oleh Teguh.
     Wanita paruh baya itu masih duduk di kantin rumah sakit pikirannya masih melayang pada masa silam dan ia belum juga menemukan jawaban yang dia inginkan.
    
**

Cinta tak berlabel......
     ..dan tak berkelamin, tak berkasta juga tak bersuku.
     Segala sesuatu yang terjadi di muka bumi ini baik itu yang menimpa manusia ataupun yang lainnya tidak ada yang serba kebetulan seperti kejadian yang menimpa Warsih, ia kehilangan Januardi lalu bertemu dengan anaknya si Julia dan Juna lewat Wowor. Ada apa dibalik pertemuan itu? Warsih tidak bisa lagi bertemu dengan cinta sejatinya meski hatinya telah diisi oleh pria Belanda, itulah takdir. Teringat ia dengan salah satu kisah seorang kerabat jauh dimana hubungan mereka tidak direstui dan masing-masing menikah dengan orang lain lalu setelah hidup bersama kurang lebih dari tiga puluh tahun pasangan mereka sama-sama meninggal, dengan takdir Tuhan mereka dipertemukan lagi dan dengan izin Tuhan juga mereka akhirnya menikah, hidup bahagia bahkan sangat bahagia namun kebahagian itu hanya berumur tiga bulan karena si pria meninggal akibat penyakit, meski sang kekasih meninggal dalam pelukannya namun rasa sesak itu melebihi rasa pedih selama berpisah selama ini. Hmm... apakah harus bersyukur karena pernah diberi waktu hidup bersama atau menyesal karena harus berpisah lagi ditengah-tengah manisnya cinta?
     Warsih, sisi mana yang pernah ia rasakan? Ia hanya merasa kecewa dan kecewa.
     Juna menatap adik kesayangannya yang masih terbaring dan belum juga sadarkan diri tapi dokter menyakinkan kalau kondisinya terus membaik dan ia tidak perlu dipindahkan sebab rumah sakit yang menanganinya sudah termasuk salah satu rumah sakit terbaik di Jakarta. Juna pun menyakinkan dirinya kalau tidak lama lagi adiknya akan sembuh. Ia menghela napas panjang karena pikirannya melayang pada almarhum sang ayah yang ia banggakan...
     ‘Juna, Ayah pernah menyakiti seorang wanita dan Ayah merasa ia tidak akan pernah memaafkan Ayah. Meski demikian Ayah tidak akan pernah berhenti memohon kepada Tuhan supaya ia memaafkan Ayah. Kamu tahu Juna? Kewajiban seorang anak laki-laki itu selain kepada isterinya juga kepada ibunya. Waktu itu, Ayah belum menikah padahal Ayah sudah berjanji kepada seorang wanita yang Ayah cintai untuk menikahinya tapi semua itu harus Ayah ingkari karena permintaan seorang Ibu yaitu nenek kamu. Bukan bermaksud menyalahkan nenek kamu tapi semua sudah Ayah jalani. Beliau menyukai seorang wanita sholehah dan meminta Ayah menikahinya meski Ayah sudah menjelaskan kalau Ayah punya pilihan hati sendiri di pulau Jawa. Tidak tahu apakah ini kesalahan Ayah atau situasi sehingga Ayah menuruti keinginan nenekmu dengan satu harapan ingin membahagiakannya selagi ia masih hidup. Ayah mengirim surat pada wanita pujaan Ayah, sebulan dua bulan bahkan setahun tidak Ayah dapat balasan darinya. Di dalam surat itu Ayah menjelaskan situasi bahkan bermaksud ingin menikah secara diam-diam dengannya kalau ia setuju, mungkin ia tidak setuju sehingga ia tidak membalas surat Ayah atau ada hal lain Ayah tidak mengerti. Saat itu Ayah tidak punya waktu untuk mendatanginya lagi di sisi lain Ayah pikir ia memang tidak setuju untuk menikah dengan Ayah tanpa restu dari orang tua. Ayah hidup dengan ibumu dengan ketulusan, keiklasan dari keputusan orang tua dan ibumu memang wanita yang baik dan ia tidak pernah tahu apa yang dialami Ayah sebelum menikahinya, karena Ayah tidak ingin ia merasa tersinggung. Setelah menikah Ayah tidak pernah lagi berkunjung ke pulau Jawa dan memutuskan untuk berhenti bekerja di sana.’
     Sekali lagi Juna menghela napas sangat dalam, kata-kata ayahnya ia dengar pertama sekaligus terakhir kali sebelum ia menikahi gadis Lampung. Ayahnya juga mengatakan cerita itu hanya diceritakan pada dirinya, tidak pada adik-adiknya. Ia tidak terpikir akan menginjakkan kakinya di pulau di mana dulu ayahnya pernah kenal dengan seorang wanita, dan wanita itu adalah teman dari ibunya calon Julia. Mata Juna kembali kepada wajah Julia.   
     ‘Julia, tidak boleh ada seorangpun yang menyakiti kamu. Kakak janji akan menjagamu.’ Gumannya dengan lirih. Saat itu AemeL masuk bersamaan dengan Julia menggerakan jarinya seolah mendengar kata-kaka kakaknya. AemeL menghampiri Juna dan meminta pria itu untuk istirahat dan ia akan menjaga Julia menggantikan Juna. Pria itu tidak membantah karena ia juga harus makan dan ke Musolah. AemeL meletakkan laptopnya di meja kecil yang ada di dalam ruangan itu dilengkapi satu sofa panjang. Meski dalam kondisi sedih AemeL tidak pernah berhenti untuk menulis, entah mengapa menulis seolah sudah menjadi udara baginya dalam menjalani hidup ini. AemeL mengusap tangan Julia lalu mengambil tisu basah dan mengelap wajah Julia dengan lembut.
     ‘Julia, sudah beberapa hari ini kamu seperti ini.. apa kamu tidak bosan tidur terus? Aku tahu kamu bukan orang yang suka berdiam diri seperti ini. Bangunlah sahabat... bukan aku sudah bosan menemanimu di sini, tapi aku kangen dengan suaramu, omelanmu dan semua tentangmu. Meski dengan bangun kamu marah sama aku akan aku terima, aku tidak akan membantah, tidak akan sakit hati.’
      AemeL teringat bagaimana Julia memarahinya dengan alasan demi kebaikannya. AemeL sangat kecewa, bahkan malu tapi itulah Julia, ia akan berkata tidak atau sebaliknya jika itu demi kebaikkan orang yang ia sayangi. Tidak semua orang bisa menerima kenyataan pahit meski benar lalu akhirnya menyadari bahwa itu memang benar namun merasa malu untuk mengakui kesalahan itu dan memilih harus menjauh karena menghindari rasa malu, meski ia tahu kedepannya tidak akan mengulangi hal itu lagi. Setiap manusia selalu berbeda cara pandang juga pilihan hidup. Tapi AemeL memang memiliki rasa sayang yang lebih banyak dari kecewa itu sendiri kepada Julia apalagi ia tahu Julia juga tulus menyayanginya. Sejatinya tidak ada manusia yang sempurna secara sikap dan tidak ada manusia yang lepas dari khilap. Pun akan dianggap berjiwa besar jika ingin menyadari setiap kesalahan dan berusaha memperbaikinya.
     Kini AemeL menulis di buku yang dibeli oleh Julia, sebelumnya sejenak ia mengamati sahabatnya itu dengan hati yang sedih, karena sejujurnya ia takut sekali kehilangan Julia meski dokter mengatakan Julia akan baik-baik saja.
     ‘Tinta emas,... tidak tahu lagi apa yang akan aku lakukan saat ini, berdoa untuk kesembuhan sahabatku itu pasti. Tak sedikitpun aku menginginkan ia cidera apalagi sakit seperti saat ini. Tinta emas, tolong sampaikan kepada Tuhan betapa aku sangat menyayanginya. Jangan pernah pisahkan lagi kami dengan alasan-alasan sakit hati atau kesalahpahaman, kami satu jiwa, persahabatan kami tidak biasa, biar orang mengatakan hubungan darah persaudaraan lebih kuat dari apapun tapi aku merasa hubunganku dengan Julia lebih kental dari hubungan darah persaudaraan. Keluarga adalah segalanya bagiku, Teguh belahan jiwaku namun Julia.... aku tidak bisa menyebutnya sebagai apa tapi aku merasa rasa sayangku padanya tak bisa diungkapkan apalagi diumpamakan dengan apapun. Julia kembalilah, bangunlah... aku sangat menyayangimu....... sampai napas terakhirku.’
     Dengan perlahan AemeL menutup buku diary indah itu, lalu matanya beralih pada laptop di mana tulisan-tulisannya selalu setia menanti ia melanjutkan kisah dunia ini untuk dituangkan di sana. AemeL memiliki banyak cinta, cinta pada benda kesayangannya, cinta pada pekerjaannya dan entah berapa lagi cinta yang ia miliki namun ia gadis yang tidak gampang jatuh cinta pada lawan jenis kalau tidak benar-benar merasa klik. Detik ini AemeL tidak punya niat atau mood untuk melanjutkan kisah di dalam laptopnya karena pikirannya tertuju kepada Julia, ia kembali mendekati Julia mengusap kening Julia dan tidak boleh lagi ada air mata, ia meraih tangan Julia dan menggenggamnya dengan erat. Tangan yang dari kecil tidak pernah kena lumpur sawah karena ayah Julia tidak pernah membiarkan anak gadis mereka turun ke sawah berbeda dengan gadis Sumatera yang lain, mereka dari kecil dibiasakan membantu kegiatan kedua orang tua mereka di sawah ataupun di kebun. Julia, gadis tegas, punya tulisan tangan sangat indah, punya prinsip hidup yang kuat dan tidak segan-segan marah pada orang yang jelas salah, tidak takut ditinggal oleh orang yang ia cintai kalau ia merasa benar. Saat genggaman tangan AemeL ingin lepas ia merasakan gerakan dari tangan Julia membuat AemeL spontan menoleh pada tangan itu. Julia menggerakan tangannya seolah menyadari kalau Julia sudah sadar memaksa AemeL mendekati wajahnya ke wajah Julia.
     “Julia, Julia......” gumannya dengan pelan. “Kamu sudah... sudah sadar...? kamu bisa mendengarkan aku.......?” suara AemeL masih pelan dan detik berikutnya Julia membuka matanya dan mendapatkan AemeL di dekat wajahnya. Melihat mata Julia terbuka tanpa sadar mata AemeL berair seakan tuntas sudah penantiannya selama kurang lebih tujuh hari ini. Ia ingin memeluk gadis itu tapi ia takut menyakiti tubuh yang habis dioperasi itu. “Alhamdulillaha ya Allah Julia sudah sadar.” Hela AemeL sedangkan Julia menyimak situasi keliling dengan ekor matanya. Rumah sakit, pikirnya dan secara kilat pikirannya kembali merekam kejadian siang itu di jalan dan tiba-tiba matanya terpejam seolah kenangan itu tidak ingin ia ingat. “Julia...?” panggil AemeL setengah panik, suara itu jelas sekali terdengar di telinga Julia.
     “Ae......” suara Julia lembut setelah menatap wajah AemeL yang masih panik dihadapannya. AemeL menganggukan kepalanya seakan mengatakan kalau ia tidak akan ke mana-mana. Mata di wajah itu berkaca-kaca meski mimik wajahnya menyiratkan kebahagiaan karena Julia telah siuman. “Sejak kapan aku di sini...?”
     “Jangan banyak bicara dulu, aku panggilkan kak Juna ya, tadi ia di sini dan sekarang sedang istirahat.”
     “Kak Juna di sini?” giliran Julia panik kalau sudah ada kak Juna berarti urusan akan serius. Sebab pria itu tidak pernah ikut campur urusan Julia kalau bukan urusan serius. AemeL mengganggukan kepalanya dan ia buru-buru menahan tubuh Julia saat gadis itu hendak bangun. Julia segera sadar setelah merasakan beberapa alat kedokteran menempel di badannya. Ia tidak mungkin mengatakan saat itu kalau Julia mengalami patah tulang dan tulang rusuknya itu menembus ke paru-parunya. AemeL menghubungi Juna yang ternyata sudah melangkah ke arah kamar inap Julia.
     “Kak Juna, lihat.... Julia sudah sadar...” kata AemeL setengah berteriak. Pria itu mendekati adiknya dan langsung memegang kening Julia.
     “Syukurlah sayang... kakak tahu kalau kamu sangat kuat. Semuanya akan segera beres dan kamu segera pulih. Tetap kuat ya.” Ujar Juna meski sesungguhnya ia takut juga kehilangan adiknya. Setegar apa pun dia tetap punya kekhawatiran itu, Juna memang telah menggantikan sosok ayah untuk Julia dan adik-adiknya. “Lihat AemeL, tak sedikitpun ia ingin beranjak dari sisi kamu, kalian memang sahabat yang hebat sekaligus gila.” Kata terakhir disertai tawa dari mulut Juna membuat AemeL ikut tersenyum. Julia melirik ke AemeL yang tak ingin memperlihatkan rasa lelahnya di hadapan Julia. “Sudah tujuh hari kamu di sini, kakak belum mengabarkan keluarga di Palembang karena kakak percaya kamu akan baik-baik saja.” Tambah Juna.
     “Tujuh hari?” pertanyaan itu ditujukan kepada AemeL dan AemeL hanya bisa menganggukkan kepalanya dengan pelan. Julia melirik tangannya yang terpasang jarum infus karena Julia belum bisa menelan makanan langsung meskipun ia sudah sadar, sebab paru-parunya masih luka.
    AemeL tidak tahu di mana posisi Wowor saat ini, ia hanya mengirim BBM  pada pria itu untuk mengabarkan kalau Julia sudah sadar, pesan itu sudah terkirim dan belum dibaca.
     “Tunggu di sini ya, kakak mau ke ruangan dokter untuk membicarakan kondisi kamu.” Kata Juna kepada Julia sekalian pamit pada AemeL.
     Sepeninggal kak Juna, Julia langsung melirik pada AemeL yang sepertinya sudah siap dengan segala pertanyaan yang mungkin ditanyakan Julia padanya. Namun sebelumnya ia mendahului Julia. “Jangan banyak bicara dulu ya, kamu masih lemah.” Ia melirik ke arah perut Julia sekilas.
      Julia hanya mengukir senyuman tipis lalu berkata diluar dugaan AemeL. “Bagaimana keadaan kamu?”
     “Aku sangat baik, aku hanya mengkhawatirkan kamu.. cepat sembuh ya.” Sahutnya sembari mengusap lengan Julia. Sejujurnya AemeL ingin sekali segera bertanya bagaimana kejadian sebenarnya hingga menyebabkan Julia mengalami kecelakaan namun itu tidak memungkinkan karena kondisi Julia masih sangat lemah. AemeL harus menyimpan dulu rasa ingin tahunya walau secara simbolis ia sudah mendengar penjelasan dari Wowor.
     Wowor! Di mana pria itu? Mengapa ia tidak muncul? Apakah ia sudah kembali bekerja? Bukankah semalam ia masih di sini. Pikir AemeL, ia tidak berharap Julia menanyakan Wowor saat itu. Sudah seminggu ia menunggu Julia sadar dan sekarang ia tidak ingin kebersamaannya dengan Julia harus terganggu dengan pria yang bernama Wowor.
     Lagi-lagi diluar dugaan AemeL, dalam kondisi yang masih sangat lemah Julia menceritakan semua kejadian sebelum ia mengalami kecelakaan dan itu nyaris sama yang diceritakan oleh Wowor. Detik-detik setelah cerita kondisi Julia makin lemah dan saat itu Juna dan dokter masuk untuk mengecek kondisi Julia setelah siuman. Setelah semuanya kembali normal Wowor muncul dan kali ini ia membawa mami dan papinya tanpa diduga, pria itu melamar Julia di depan kakak dan sahabatnya. Julia sangat tidak menyukai situasi itu namun ia tidak bisa mencegah bahkan tak kuasa untuk mengeluarkan suaranya yang masih lemah. Saat matanya bertemu dengan mata papinya Wowor, ia melihat ada ketulusan dan keteguhan di sana yang membuat Julia makin tak kuasa karena ada senyum wibawa seakan meminta Julia untuk menjadi anaknya. Sebelum mata Julia ke wajah maminya Wowor terlebih dahulu ia menatap kak Juna. Pria itu hanya mengangkat kedua bahunya seolah semua keputusan ada di tangan Julia karena kebahagiaan Julia sudah pasti kebahagiaannya juga. Julia memahami kebijakan kakaknya, kini matanya mencari AemeL yang ternyata masih berdiri di sebelahnya. Gadis itu hanya tersenyum dan Julia tahu apa pun keputusannya nanti sudah pasti disetujui oleh AemeL meski demikian ia tidak mau mengambil keputusan tanpa diketahui oleh AemeL. Bersamaan dengan itu sebuah tangan menyentuh lengan Julia. Wanita paruh baya itu mengusap tangan Julia dan berkata lembut.
     “Lekas sembuh ya Julia, semua orang di ruangan ini sangat menyayangi kamu.” Itu adalah suara seorang wanita Jawa Tulen, lembut dan penuh kasih sayang. Wowor mengusap bahu maminya semacam ucapan terima kasih yang dalam pada wanita yang telah melahirkan dirinya ke dunia ini. Kemudian ia meraih tangan Julia yang ada jarum infusnya namun secara halus Julia menarik tangannya dari genggaman Wowor. Julia belum tahu bagaimana kondisinya setelah kecelakaan yang membuatnya tak sadarkan diri selama tujuh hari, apakah kakinya diamputasi atau ada luka parah  yang tidak bisa disembuhkan sehingga membuat semua orang di dalam ruangan itu menaruh rasa kasihan padanya. Julia tidak selemah perkiraan mereka kiranya itu terjadi. Wowor masih tidak percaya kalau gadis yang ia cintai itu masih menolaknya namun ia coba bersikap dewasa dan berusaha memahami psikis Julia setelah kecelakaan.
     “Tidak apa-apa sayang.... tidak sedikitpun ada paksaan di sini. Semua keputusan ada pada dirimu. Apa pun yang kamu putuskan semua bisa menerima, termasuk aku.” Ujar Wowor dan Julia bisa merasakan kalau pria itu tidak punya sisi yang disembunyikan lagi namun ia tetap harus hati-hati.
     Menit berikutnya Julia merasa harus ditinggal sendirian, meski AemeL khsususnya Wowor merasa berat namun mereka melakukan itu. Julia merasa harus punya ruang sendiri untuk beberapa saat. Ia merasa sulit bernapas menghadapi kenyataan hidup yang ia rasa tiba-tiba meski sangat sadar tidak ada yang serba kebetulan di dunia ini. Beberapa menit kemudian seorang suster masuk karena tidak ingin pasiennya lama-lama sendirian. Saat masuk ia melihat Julia baik-baik saja kemdian ia berbisik pada Julia.
     “Kamu tidak lagi menyentuh benda terkutuk itu, bukan?” celetuknya membuat Julia tersenyum. “Jaga paru-paru kamu jangan biarkan benda terkutuk itu membuatnya hitam. Hidupnya ini hanya sesaat sobat jangan sia-siakan.” Tambahnya membuat Julia seakan disadarkan banyak hal. Suster itu tahu kalau hasil operasi dari paru-paru Julia memperlihatkan hasil selama ini ia mengkonsumsi sigaret namun bukan itu yang membuat Julia tersenyum tapi sebutan itu sama persis dengan sebutan yang diciptakan oleh AemeL dan ia tahu pasti kalau AemeL tidak mungkin mengatakan pada orang lain kalau ia pernah merokok.
     “Ya, terima kasih banyak atas nasihatnya Sus.” Sahut Julia pada suster empat puluhan itu.
     “Oh, ya. Ngomong-ngomong.. kamu punya sahabat yang sangat luar biasa dan kekasih yang amat sangat mencintaimu. Tidak semua orang seberuntung kamu di dunia ini... dan sepertinya kamu akan lekas sembuh karena mereka semua sudah tidak sabar ingin melihat kamu sehat. Nanti kita akan melakukan cek ulang untuk melihat perkembangan tulang rusuk kamu.” Tambah suster empatpuluhan itu.
     Di ruanga tunggu. Wowor terlihat lesu di sampingnya AemeL duduk namun ia sudah terlihat ceria karena Julia sudah sadar.
     “Dia masih meragukan perasaanku.” Guman Wowor pada AemeL dan baru itu kali pertama AemeL mendengar suara Wowor tidak biasanya. Ada kesedihan tidak biasa di dalamnya. “Tapi tidak apa, kesembuhan Julia paling utama.” AemeL menatap Wowor saat pria itu menoleh padanya. “Ae, besok aku sudah harus masuk kerja. Selama aku tidak bisa ke sini, aku titip Julia sama kamu ya. Aku percaya sama kamu.”
     “Ya, tidak ada orang lain yang bisa kamu percaya selain aku sebab Julia adalah aku.” Balas AemeL dengan nada pasti agar pria itu tidak lagi menganggap seorang sahabat memakan sahabatnya sendiri.
      Wowor tersenyum manis seakan melupakan trauma yang pernah ia alami selama ini. Hidup memang indah, lain orang lain sifat. Lain padang lain belalang... itu kata pepatah lama.
~

Bersambung.......
     
     



========================================================================  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar