Apakah
harga diri seseorang itu dinilai dari profesinya? Ada yang mengatakan pasangan
yang hidup dengan satu profesi akan mudah menjalani hidup karena memiliki
kinerja yang sama, bergelut dengan kondisi yang sama pula, dan memahami pola
kerja. Sesimple itukah??!!
Tokoh
:
1. Dedarai,
seorang wanita yang berprofesi sebagai pengusaha muda, usia 27 Tahun.
2. Dio, seorang
pria yang berprofesi sebagai supir dan masih mahasiswa, usia 23 Tahun.
3. Lalang, seorang
wanita yang berprofesi sebagai sekretaris, usia 25 Tahun.
4. Asyai, seorang
pria yang berprofesi sebagai Direktur perusahaan, usia 30 Tahun.
·
Dedarai,
agak ceroboh, gampang percaya sama orang lain, baik, modis dan terlahir dari
keluarga kaya.
·
Dio,
pekerja keras karena tuntutan kebutuhan hidup, jujur, baik, tidak bisa melihat
orang susah, teliti, pendiam, sederhana tidak pernah menuntut apalagi mengeluh,
dan bergaul dengan kalangan siapa saja.
·
Lalang,
tidak neko-neko, bekerja sesuai aturan dan hanya ingin punya suami yang bisa
membawanya hidup bahagia.
·
Asyai,
dari keluarga biasa dan broken home, punya ambisi, menilai wanita dari uangnya
sehingga ia merasa bisa membeli wanita dengan jabatannya. Otoriter pada
pasangan dan menilai orang lain dari profesi yang diemban. Baginya tidak ada
keberuntungan di dalam hidup ini atau campur tangan sang Pencipta yang ada
usaha dan ambisi yang bisa membawa orang ke puncak kesuksesan. dan menjabat sebagai CEO di sebuah perusahaan.
Sedan hitam meluncur dengan elegan di
tengah jalan metropolitan bersama kendaraan yang lainnya. Tak dipungkiri kalau
ibukota adalah pusatnya perekonomian di negeri ini, ratusan remaja yang di
kampung bermimpi akan menaklukan ibukota, yang hidup di kolong-kolong
jembatanpun berhasrat untuk menggapai gedung-gedung pencakar langit yang setiap
hari mereka lihat dan menjulang nyata di depan hidung mereka. Magnet ibukota
memang kuat sehingga mampu menyedot impian nyaris semua orang namun apakah
semua orang tahu apa saja isi dari ibukota? Apakah terlihat indah seperti
penampilannya?
Dedarai duduk di sebelah supirnya dan sudah
siap-siap untuk turun karena kantornya sudah dekat. Sekilas ia melirik pria
yang ada di sebelah kanannya. “Seharian ini aku di kantor, jadi kamu bisa
langsung ke kampus atau ke mana saja.”
“Oke.” Sahut pria itu dengan singkat dan
menghentikan mobil pas di depan pintu utama kantor wanita yang ia bawa. Ia
tidak membuka pintu mobil tidak juga bergerak karena wanita itu bisa melakukan
semuanya tanpa harus dibantu. Ia hanya mengamati wanita itu keluar dari mobil
dengan tas kantornya yang berukuran sedang, wanita sempurna itu melangkah
menuju pintu dengan gerakan anggun dan lincah. Rambut sebahunya dibiarkan jatuh
terurai. Dialah salah satu wanita karir yang bernasib baik di ibukota, lahir di
dalam keluarga yang sudah ditakdirkan kaya. Mereka mungkin tidak pernah
memegang tanah, memegang piring kotor atau bahkan mungkin tidak pernah tahu
seperti apa itu pohon padi. Mata pria itu menoleh ke jok yang tadi diduduki
Dedarai, ada ponsel di sana dan dengan cepat ia meraihnya lalu buru-buru keluar
dari dalam mobil untuk mengejar Dedarai yang sudah masuk. Dengan agak berlari
ia menggapainya sehingga sebentar saja ia sudah bertemu dengan Dedarai yang
bermaksud masuk ke dalam lift.
“De.......?” panggilnya.
Wanita itu menoleh dan mendapati supirnya.
“Aduh!” keluhnya saat melihat ponselnya ada di tangan pria jangkung itu. Pria
itu menyerahkan ponsel ke tangan Dedarai. “Maaf, jadi merepotkanmu. Terima
kasih.” Ujarnya dan langsung masuk ke dalam lift tanpa peduli orang
memperhatikannya, dan sudah menjadi rahasia umum kalau Dedarai memiliki seorang
supir tidak biasa. Sebagai wanita yang memegang peran penting di perusahaan
semestinya ia mempekerjakan seorang pria yang hanya menjadi supir, bukan yang
masih berstatus mahasiswa. Dedarai memang punya selera sendiri, menjadi pemilik
perusahaan menjadikannya berbeda dengan wanita-wantai lain. Punya supir
pribadi, dokter pribadi, desainer pribadi.
Dio memarkir sedan hitam itu di depan
tempat kosnya yang berlokasi beberapa kilometer saja dari luar Komplek Perumahan
Pondok Indah. Hanya sebuah kamar dengan satu kamar mandi namun halamannya bisa
buat memarkir mobil lantaran itu memang tempat indekos sehingga ada beberapa
kamar yang berderet. Sudah dua tahun ini ia tinggal di sana dengan membayar
uang kos tidak kurang dari tujuhratus ribu rupiah perbulannya. Sejenak Dio
mengamati tempatnya berteduh selama ini, sebuah tempat tidur busa yang
beralaskan karpet. Satu teko plastik eletrik, satu dua alat makan, kotak
plastik yang berisikan pakaian, meja kecil tanpa kursi, beberapa buku tebal ada
di sana dan sebuah foto berukuran 5R. Dio tersenyum saat menatap foto itu di
mana ada gambar kedua orang tuanya dan adik perempuannya yang saat ini masih
duduk di bangku kelas 1 SMA. Mereka ada di kampung halaman. Kini Dio membuat
secangkir kopi instan, saat menikmati kopi sosok Dedarai muncul di benaknya.
Wanita itu semacam kristal di matanya, laksana bintang di malam hari, ibarat
berlian yang ada di toko besar yang dipajang dalam etalasa bahkan terkadang Dio
merasa wanita itu semacam super star yang tidak menyadari kelebihannya.
Dio tidak berlebihan memang, karena sudah nyaris satu tahun ia menjadi supir
Dedarai dari awal ia bisa merasakan pesona yang tak biasa di sosok Dedarai.
Meski profesinya mengagumkan ia bukan tipe wanita sok printah, sok penting atau
sok cantik meski tidak ada yang meragukan pesonanya di mata kaum pria bahkan
banyak wanita di luar sana ingin menjadi seperti dia.
Dio meninggalkan kosnya untuk menuju kampus
meski tidak ada kelasnya hari itu, tidak ada mahasiswi yang berani genit dengan
Dio karena Dio tidak pernah memberikan hatinya kepada wanita yang tidak bisa ia
kasih harapan atau janji-janji apalagi cinta. Wibawa Dio membuatnya tidak
dilecehkan kaum wanita yang ada di kampusnya. Banyak yang penasaran dengan
kehidupan pribadi Dio dan tidak sedikit yang tahu kalau Dio memiliki profesi
sebagai supir seorang pengusaha muda yang masih single meski sudah punya kekasih. Mata luar memang hanya bisa
melihat dengan berbagai macam bentuk dan alasan, tidak jarang Dio dianggap
sebagai peliharaan tante-tante atau sejenisnya. Namun Dio merasa tidak punya
kewajiban untuk menjelaskan semua prasangka itu. Dia tidak punya waktu untuk
itu, kini ia sedang berbincang dengan dosen psikologi-nya.
“Tahun ini skripsimu dan aku harap tidak
ada halangan, masih sebagai supir?” ujar sang dosen dengan nada bercanda.
“Masih, Pak.”
“Kenapa tidak jadi sopir taksi saja
sepertinya lebih nyaman... banyak lho mahasiswa yang bekerja menjadi supir
taksi untuk membiayai kuliah mereka. Kalau jadi supir perusahaan apalagi supir
pribadi seorang pimpinan perusahaan... apa kamu tidak terlalu diikat dengan
waktunya yang padat itu?” tambah pria paruh baya itu sambil menyusun kertas
yang ada di atas mejanya.
“Aku kan kuliahnya sabtu minggu dan malam
hari, jadi aku rasa pas untuk menjadi supir pribadi seseorang yang jam libur
kerjanya pas hari-hari itu.”
“Kamu ini bisa saja, aku dengar bosmu itu
masih sangat muda apakah itu benar adanya? Tidak apa-apa sih calon S2 bidang
psikolog aku rasa cukup keren.”
“Kok Bapak bicara seperti itu?” sahut Dio
tidak enak karena dosennya sedang menggodanya.
“Tidak apa-apa, santai saja. Oke...
syukurlah kamu ke sini kebetulan aku sebenarnya minta bantuan kamu untuk
menyelesaikan pekerjaanku.” Pria itu suka sekali dengan apa yang dikerjakan
oleh Dio karena Dio teliti, jenius dan pekerjaannya selalu rapi. Tak jarang ia
menyisihkan gajinya untuk Dio meski Dio mengatakan kalau dia sudah punya
pekerjaan di luar kampus.
Nyaris seharian Dio menghabiskan waktunya
di kampus, selain mengerjakan pekerjaan yang dikasih dosennya ia juga membaca
beberapa buku dan menjelajahi dunia internet sehingga tanpa sadar ia tertidur
sejenak di ruangan itu. Saat matanya terbuka ia mengecek ponselnya apakah ada
panggilan dari Dedarai atau tidak. Tidak ada. Akhir-akhir ini Dio merasa
khawatir kalau sehari saja tidak ada kabar dari Dedarai, tak biasanya ia
merasakan hal itu. Dedarai berpesan tidak usah menelepon hanya dia yang boleh
menelepon Dio dan itu sudah Dio jalani selama setahun. Kalaupun ada situasi
yang mendesak maka yang menelepon Dio adalah sekretarisnya Dedarai yaitu
Lalang, Dio juga jarang menghubungi sekretaris Dedarai lantaran sekedar ingin
tahu di mana posisi bosnya karena dia tidak ingin terkesan berlebihan, ia tahu
kalau bosnya butuh pasti mencarinya. Bukan karena perjanjian kerja yang telah
mereka buat dalam bentuk lisan bukan juga karena ada hal lain.
Dio tidak pernah membawa wanita lain masuk
ke dalam sedan hitam itu meski seringkali ada yang ingin nebeng pulang bareng
bersamanya namun ia merasa tidak punya hak untuk itu walau terkadang ia tidak
tega dengan orang yang benar-benar butuh pulang bersamanya. Tapi itulah hidup semua
pekerjaan ada prosedurnya. Kita tidak bisa dengan hanya mengikuti semua kata
orang lain, karena prinsip hidup seseorang adalah cermin pribadinya sendiri.
Tepat pukul tujuh malam Dio menerima
telepon dari Dedarai karena dia akan segera meninggalkan kantor.
“Setengah jam lagi aku keluar dari kantor.”
Kata Dedarai tanpa bertanya di mana lokasi Dio, sedang apa atau berkata ‘tidak
boleh telat’ itu sama dengan kemarin-kemarin bahkan dari sejak Dio bekerja
dengannya. Dio buru-buru mengganti bajunya dengan yang bersih, sedikit parfum
ia usap ke lehernya. Rambut cepaknya terlihat rapi dan wajah oval itu bak pria
klasik yang sudah jarang ditemukan zaman sekarang. Setelah merasa semua oke ia
mengambil kunci sedan dan melangkah keluar dari tempat kosnya. Dengan pasti ia
bisa mengira dalam waktu yang tidak lebih dari duapuluh menit ia akan ada di
depan kantor Dedarai, setelah masuk Tol mobil meluncur indah dan mulus bak
belut melewati lumpur. Hanya membutuhkan waktu sepuluh menit di jalan Tol dan
kini sedan mengambil jalur kiri dan tujuh menit berikutnya sedan telah berhenti
di depan gedung perkantoran. Tidak sampai lima menit Dio melihat Dedarai keluar
bersama seorang pria, pria yang sudah seringkali Dio lihat sebelumnya. Mereka
mendekati sedan lalu keduanya berhenti.
“Aku lelah sekali, tidak bisa ke mana-mana
malam ini. Besok juga harus pagi-pagi ke kantor. Sebaiknya kamu langsung pulang
saja ya, ini aku juga langsung pulang kok.” Kata Dedarai dan sepertinya pria
itu tidak rela Dedarai pergi begitu saja.
“Aku sudah jauh-jauh ke sini untuk
menjemput kamu.”
“Tidak usah diperpanjang lagi, tadi siang
pas kamu telepon aku juga sudah memberi tahu kalau hari ini aku full di kantor. Aku balik ya.” Dedarai
berusaha bersikap lembut.
“Ya sudahlah..” ia meraih kepala Dedarai
dan sekilas mengecup keningnya dengan kuat dan pemandangan itu tidak lepas dari
mata Dio yang dari tadi mendengar semua percakapan mereka karena mereka memang
bicara pas di samping mobil. Dedarai masuk mobil namun pria itu melirik ke
supir yang belum menyalakan mesin. “Bawa mobil hati-hati ya.” Ia memperingati
Dio seolah takut pria itu melukai kekasihnya.
“Oke.” Sahut Dio.
“Apa-apaan sih....” Dedarai menengahi
karena tidak suka ada orang meragukan kemampuan orang yang ia percayai.
Mobil sudah meluncur dan dalam hitungan
menit saja Dedarai sudah memejamkan mata di joknya. Entah ia pulas atau sekedar
menghilangkan kelelahan mata yang seharian ini lelah di kantor. Lelah fisik
juga mata, Dio memahami betul kelelahan yang dirasakan oleh Dedarai yang
terkadang membuatnya sering tidak tega. Ia membawa mobil dengan pelan seolah
khawatir wanita itu terbangun dari tidurnya.
Setahun lalu Dio masih ingat dengan jelas
saat bertemu muka dengan Dedarai, kala mobil Dedarai mogok di pinggir jalan pas
Dio mau naik bus untuk menuju kampusnya dan memilih untuk membantu wanita itu
yang sepertinya sedang bingung.
“Maaf Mbak, mobilnya mogok ya?” Dio
menghampiri wanita yang sudah masuk lagi ke dalam mobilnya.
“Sepertinya begitu, aku akan melepon
taksi.” Katanya tanpa meremehkan pria itu.
“Boleh aku cek sebentar?”
“Mm... ya silahkan.” Katanya setelah
berpikir beberapa saat dan merasa yakin kalau pria itu bisa dipercaya. Tidak
sampai lima menit Dio sudah selesai mengecek mesin yang ada di bagian kap mobil
sedan hitam itu.
“Sudah, silahkan coba nyalakan mesinnya.”
Helanya dan wanita itu mengikuti dan bisa menyala dengan sempurna. Sebelum pria
itu pamit ia memanggilnya dan meminta pria itu yang membawa mobil menuju
kantornya.
“M.. maaf... saya harus buru-buru ke kampus.”
Sebenarnya Dio tidak ada kelas di kampusnya kedatangannya ke kampus hanya untuk
urusan lain dan masih ada hubungannya dengan kuliah.
“Oh, memangnya kampus apa? Siapa tahu searah.
Ya sudahlah... tidak apa-apa, terima kasih banyak ya.” Wanita itu mengambil
tissue basah agar pria itu mengelap tangannya yang bekas pegang mesin mobil. Di
terima Dio dengan baik. Terpikir olehnya untuk memberikan uang tanda terima
kasih tapi khawatir pria itu tersinggung. “Aku sebenarnya butuh supir....”
katanya dan ucapannya terpotong saat tangannnya mengambil sebuah kartu nama.
“Tolong ini... hubungi aku kalau ada teman kamu yang butuh pekerjaan. Tolong ya,
aku menghargai pertolonganmu barusan, sekali lagi terima kasih.”
Dio diam namun matanya tak bisa lepas
menatap wanita itu, wanita kaya, berkelas namun tidak memandang remeh kelas
bawah, rasanya cukup aneh. Karena kebanyakan orang hanya menghargai nilai dan
nyawa orang dengan uang saja. Dio tidak bisa menjawab banyak dari kata-kata itu
selain ucapan kembali terima kasih. Wanita itu kembali menelepon taksi untuk
membatalkan pesanannya, meninggalkan Dio yang masih terpaku dengan pesona yang
tak biasa itu. Kalau saja ia jatuh cinta maka rasanya bukan hal yang mustahil
menyukai wanita yang sama sekali berbeda di matanya. Terlepas dari semua itu
Dio memang membantu wanita itu dengan penuh ketulusan. Saat naik bus berikutnya
Dio masih tidak bisa melepaskan pikirannya dari wajah wanita tadi. Kartu nama
wanita itu ia simpan di dalam tas ranselnya tanpa ingin melihat kembali namanya
dengan pasti. Ia menyadari tidak ada gunanya berharap lebih atau memikirkan hal
yang aneh-aneh. Selama ini Dio memang mengerjakan apa saja untuk menghasilkan
uang demi kuliah dan syukur-syukur bisa membantu orang tuanya di kampung.
Teringat olehnya kata-kata wanita tadi yang mengatakan sedang butuh supir. ‘tapi... meskipun bisa menyetir, aku kan
tidak punya SIM A. Aku harus punya SIM.’
===
Bersambung,,