Jumat, 27 Maret 2015

PROFESI

Apakah harga diri seseorang itu dinilai dari profesinya? Ada yang mengatakan pasangan yang hidup dengan satu profesi akan mudah menjalani hidup karena memiliki kinerja yang sama, bergelut dengan kondisi yang sama pula, dan memahami pola kerja. Sesimple itukah??!!

Tokoh :
1.      Dedarai, seorang wanita yang berprofesi sebagai pengusaha muda, usia 27 Tahun.
2.      Dio, seorang pria yang berprofesi sebagai supir dan masih mahasiswa, usia 23 Tahun.
3.      Lalang, seorang wanita yang berprofesi sebagai sekretaris, usia 25 Tahun.
4.      Asyai, seorang pria yang berprofesi sebagai Direktur perusahaan, usia 30 Tahun.


Karakter :
·         Dedarai, agak ceroboh, gampang percaya sama orang lain, baik, modis dan terlahir dari keluarga kaya.
·         Dio, pekerja keras karena tuntutan kebutuhan hidup, jujur, baik, tidak bisa melihat orang susah, teliti, pendiam, sederhana tidak pernah menuntut apalagi mengeluh, dan bergaul dengan kalangan siapa saja.
·         Lalang, tidak neko-neko, bekerja sesuai aturan dan hanya ingin punya suami yang bisa membawanya hidup bahagia.
·         Asyai, dari keluarga biasa dan broken home, punya ambisi, menilai wanita dari uangnya sehingga ia merasa bisa membeli wanita dengan jabatannya. Otoriter pada pasangan dan menilai orang lain dari profesi yang diemban. Baginya tidak ada keberuntungan di dalam hidup ini atau campur tangan sang Pencipta yang ada usaha dan ambisi yang bisa membawa orang ke puncak kesuksesan. dan menjabat sebagai CEO di sebuah perusahaan.

**
    Sedan hitam meluncur dengan elegan di tengah jalan metropolitan bersama kendaraan yang lainnya. Tak dipungkiri kalau ibukota adalah pusatnya perekonomian di negeri ini, ratusan remaja yang di kampung bermimpi akan menaklukan ibukota, yang hidup di kolong-kolong jembatanpun berhasrat untuk menggapai gedung-gedung pencakar langit yang setiap hari mereka lihat dan menjulang nyata di depan hidung mereka. Magnet ibukota memang kuat sehingga mampu menyedot impian nyaris semua orang namun apakah semua orang tahu apa saja isi dari ibukota? Apakah terlihat indah seperti penampilannya?
    Dedarai duduk di sebelah supirnya dan sudah siap-siap untuk turun karena kantornya sudah dekat. Sekilas ia melirik pria yang ada di sebelah kanannya. “Seharian ini aku di kantor, jadi kamu bisa langsung ke kampus atau ke mana saja.”
    “Oke.” Sahut pria itu dengan singkat dan menghentikan mobil pas di depan pintu utama kantor wanita yang ia bawa. Ia tidak membuka pintu mobil tidak juga bergerak karena wanita itu bisa melakukan semuanya tanpa harus dibantu. Ia hanya mengamati wanita itu keluar dari mobil dengan tas kantornya yang berukuran sedang, wanita sempurna itu melangkah menuju pintu dengan gerakan anggun dan lincah. Rambut sebahunya dibiarkan jatuh terurai. Dialah salah satu wanita karir yang bernasib baik di ibukota, lahir di dalam keluarga yang sudah ditakdirkan kaya. Mereka mungkin tidak pernah memegang tanah, memegang piring kotor atau bahkan mungkin tidak pernah tahu seperti apa itu pohon padi. Mata pria itu menoleh ke jok yang tadi diduduki Dedarai, ada ponsel di sana dan dengan cepat ia meraihnya lalu buru-buru keluar dari dalam mobil untuk mengejar Dedarai yang sudah masuk. Dengan agak berlari ia menggapainya sehingga sebentar saja ia sudah bertemu dengan Dedarai yang bermaksud masuk ke dalam lift.
    “De.......?” panggilnya.
    Wanita itu menoleh dan mendapati supirnya. “Aduh!” keluhnya saat melihat ponselnya ada di tangan pria jangkung itu. Pria itu menyerahkan ponsel ke tangan Dedarai. “Maaf, jadi merepotkanmu. Terima kasih.” Ujarnya dan langsung masuk ke dalam lift tanpa peduli orang memperhatikannya, dan sudah menjadi rahasia umum kalau Dedarai memiliki seorang supir tidak biasa. Sebagai wanita yang memegang peran penting di perusahaan semestinya ia mempekerjakan seorang pria yang hanya menjadi supir, bukan yang masih berstatus mahasiswa. Dedarai memang punya selera sendiri, menjadi pemilik perusahaan menjadikannya berbeda dengan wanita-wantai lain. Punya supir pribadi, dokter pribadi, desainer pribadi.
    Dio memarkir sedan hitam itu di depan tempat kosnya yang berlokasi beberapa kilometer saja dari luar Komplek Perumahan Pondok Indah. Hanya sebuah kamar dengan satu kamar mandi namun halamannya bisa buat memarkir mobil lantaran itu memang tempat indekos sehingga ada beberapa kamar yang berderet. Sudah dua tahun ini ia tinggal di sana dengan membayar uang kos tidak kurang dari tujuhratus ribu rupiah perbulannya. Sejenak Dio mengamati tempatnya berteduh selama ini, sebuah tempat tidur busa yang beralaskan karpet. Satu teko plastik eletrik, satu dua alat makan, kotak plastik yang berisikan pakaian, meja kecil tanpa kursi, beberapa buku tebal ada di sana dan sebuah foto berukuran 5R. Dio tersenyum saat menatap foto itu di mana ada gambar kedua orang tuanya dan adik perempuannya yang saat ini masih duduk di bangku kelas 1 SMA. Mereka ada di kampung halaman. Kini Dio membuat secangkir kopi instan, saat menikmati kopi sosok Dedarai muncul di benaknya. Wanita itu semacam kristal di matanya, laksana bintang di malam hari, ibarat berlian yang ada di toko besar yang dipajang dalam etalasa bahkan terkadang Dio merasa wanita itu semacam super star yang tidak menyadari kelebihannya. Dio tidak berlebihan memang, karena sudah nyaris satu tahun ia menjadi supir Dedarai dari awal ia bisa merasakan pesona yang tak biasa di sosok Dedarai. Meski profesinya mengagumkan ia bukan tipe wanita sok printah, sok penting atau sok cantik meski tidak ada yang meragukan pesonanya di mata kaum pria bahkan banyak wanita di luar sana ingin menjadi seperti dia.
    Dio meninggalkan kosnya untuk menuju kampus meski tidak ada kelasnya hari itu, tidak ada mahasiswi yang berani genit dengan Dio karena Dio tidak pernah memberikan hatinya kepada wanita yang tidak bisa ia kasih harapan atau janji-janji apalagi cinta. Wibawa Dio membuatnya tidak dilecehkan kaum wanita yang ada di kampusnya. Banyak yang penasaran dengan kehidupan pribadi Dio dan tidak sedikit yang tahu kalau Dio memiliki profesi sebagai supir seorang pengusaha muda yang masih single meski sudah punya kekasih. Mata luar memang hanya bisa melihat dengan berbagai macam bentuk dan alasan, tidak jarang Dio dianggap sebagai peliharaan tante-tante atau sejenisnya. Namun Dio merasa tidak punya kewajiban untuk menjelaskan semua prasangka itu. Dia tidak punya waktu untuk itu, kini ia sedang berbincang dengan dosen psikologi-nya.
    “Tahun ini skripsimu dan aku harap tidak ada halangan, masih sebagai supir?” ujar sang dosen dengan nada bercanda.
    “Masih, Pak.”
    “Kenapa tidak jadi sopir taksi saja sepertinya lebih nyaman... banyak lho mahasiswa yang bekerja menjadi supir taksi untuk membiayai kuliah mereka. Kalau jadi supir perusahaan apalagi supir pribadi seorang pimpinan perusahaan... apa kamu tidak terlalu diikat dengan waktunya yang padat itu?” tambah pria paruh baya itu sambil menyusun kertas yang ada di atas mejanya.
    “Aku kan kuliahnya sabtu minggu dan malam hari, jadi aku rasa pas untuk menjadi supir pribadi seseorang yang jam libur kerjanya pas hari-hari itu.”
    “Kamu ini bisa saja, aku dengar bosmu itu masih sangat muda apakah itu benar adanya? Tidak apa-apa sih calon S2 bidang psikolog aku rasa cukup keren.”
    “Kok Bapak bicara seperti itu?” sahut Dio tidak enak karena dosennya sedang menggodanya.
    “Tidak apa-apa, santai saja. Oke... syukurlah kamu ke sini kebetulan aku sebenarnya minta bantuan kamu untuk menyelesaikan pekerjaanku.” Pria itu suka sekali dengan apa yang dikerjakan oleh Dio karena Dio teliti, jenius dan pekerjaannya selalu rapi. Tak jarang ia menyisihkan gajinya untuk Dio meski Dio mengatakan kalau dia sudah punya pekerjaan di luar kampus.
    Nyaris seharian Dio menghabiskan waktunya di kampus, selain mengerjakan pekerjaan yang dikasih dosennya ia juga membaca beberapa buku dan menjelajahi dunia internet sehingga tanpa sadar ia tertidur sejenak di ruangan itu. Saat matanya terbuka ia mengecek ponselnya apakah ada panggilan dari Dedarai atau tidak. Tidak ada. Akhir-akhir ini Dio merasa khawatir kalau sehari saja tidak ada kabar dari Dedarai, tak biasanya ia merasakan hal itu. Dedarai berpesan tidak usah menelepon hanya dia yang boleh menelepon Dio dan itu sudah Dio jalani selama setahun. Kalaupun ada situasi yang mendesak maka yang menelepon Dio adalah sekretarisnya Dedarai yaitu Lalang, Dio juga jarang menghubungi sekretaris Dedarai lantaran sekedar ingin tahu di mana posisi bosnya karena dia tidak ingin terkesan berlebihan, ia tahu kalau bosnya butuh pasti mencarinya. Bukan karena perjanjian kerja yang telah mereka buat dalam bentuk lisan bukan juga karena ada hal lain.
    Dio tidak pernah membawa wanita lain masuk ke dalam sedan hitam itu meski seringkali ada yang ingin nebeng pulang bareng bersamanya namun ia merasa tidak punya hak untuk itu walau terkadang ia tidak tega dengan orang yang benar-benar butuh pulang bersamanya. Tapi itulah hidup semua pekerjaan ada prosedurnya. Kita tidak bisa dengan hanya mengikuti semua kata orang lain, karena prinsip hidup seseorang adalah cermin pribadinya sendiri.
    Tepat pukul tujuh malam Dio menerima telepon dari Dedarai karena dia akan segera meninggalkan kantor.
    “Setengah jam lagi aku keluar dari kantor.” Kata Dedarai tanpa bertanya di mana lokasi Dio, sedang apa atau berkata ‘tidak boleh telat’ itu sama dengan kemarin-kemarin bahkan dari sejak Dio bekerja dengannya. Dio buru-buru mengganti bajunya dengan yang bersih, sedikit parfum ia usap ke lehernya. Rambut cepaknya terlihat rapi dan wajah oval itu bak pria klasik yang sudah jarang ditemukan zaman sekarang. Setelah merasa semua oke ia mengambil kunci sedan dan melangkah keluar dari tempat kosnya. Dengan pasti ia bisa mengira dalam waktu yang tidak lebih dari duapuluh menit ia akan ada di depan kantor Dedarai, setelah masuk Tol mobil meluncur indah dan mulus bak belut melewati lumpur. Hanya membutuhkan waktu sepuluh menit di jalan Tol dan kini sedan mengambil jalur kiri dan tujuh menit berikutnya sedan telah berhenti di depan gedung perkantoran. Tidak sampai lima menit Dio melihat Dedarai keluar bersama seorang pria, pria yang sudah seringkali Dio lihat sebelumnya. Mereka mendekati sedan lalu keduanya berhenti.
    “Aku lelah sekali, tidak bisa ke mana-mana malam ini. Besok juga harus pagi-pagi ke kantor. Sebaiknya kamu langsung pulang saja ya, ini aku juga langsung pulang kok.” Kata Dedarai dan sepertinya pria itu tidak rela Dedarai pergi begitu saja.
    “Aku sudah jauh-jauh ke sini untuk menjemput kamu.”
    “Tidak usah diperpanjang lagi, tadi siang pas kamu telepon aku juga sudah memberi tahu kalau hari ini aku full di kantor. Aku balik ya.” Dedarai berusaha bersikap lembut.
    “Ya sudahlah..” ia meraih kepala Dedarai dan sekilas mengecup keningnya dengan kuat dan pemandangan itu tidak lepas dari mata Dio yang dari tadi mendengar semua percakapan mereka karena mereka memang bicara pas di samping mobil. Dedarai masuk mobil namun pria itu melirik ke supir yang belum menyalakan mesin. “Bawa mobil hati-hati ya.” Ia memperingati Dio seolah takut pria itu melukai kekasihnya.
    “Oke.” Sahut Dio.                                                                                     
    “Apa-apaan sih....” Dedarai menengahi karena tidak suka ada orang meragukan kemampuan orang yang ia percayai.
    Mobil sudah meluncur dan dalam hitungan menit saja Dedarai sudah memejamkan mata di joknya. Entah ia pulas atau sekedar menghilangkan kelelahan mata yang seharian ini lelah di kantor. Lelah fisik juga mata, Dio memahami betul kelelahan yang dirasakan oleh Dedarai yang terkadang membuatnya sering tidak tega. Ia membawa mobil dengan pelan seolah khawatir wanita itu terbangun dari tidurnya.
    Setahun lalu Dio masih ingat dengan jelas saat bertemu muka dengan Dedarai, kala mobil Dedarai mogok di pinggir jalan pas Dio mau naik bus untuk menuju kampusnya dan memilih untuk membantu wanita itu yang sepertinya sedang bingung.
    “Maaf Mbak, mobilnya mogok ya?” Dio menghampiri wanita yang sudah masuk lagi ke dalam mobilnya.
    “Sepertinya begitu, aku akan melepon taksi.” Katanya tanpa meremehkan pria itu.
    “Boleh aku cek sebentar?”
    “Mm... ya silahkan.” Katanya setelah berpikir beberapa saat dan merasa yakin kalau pria itu bisa dipercaya. Tidak sampai lima menit Dio sudah selesai mengecek mesin yang ada di bagian kap mobil sedan hitam itu.
    “Sudah, silahkan coba nyalakan mesinnya.” Helanya dan wanita itu mengikuti dan bisa menyala dengan sempurna. Sebelum pria itu pamit ia memanggilnya dan meminta pria itu yang membawa mobil menuju kantornya.
   “M.. maaf... saya harus buru-buru ke kampus.” Sebenarnya Dio tidak ada kelas di kampusnya kedatangannya ke kampus hanya untuk urusan lain dan masih ada hubungannya dengan kuliah.
    “Oh, memangnya kampus apa? Siapa tahu searah. Ya sudahlah... tidak apa-apa, terima kasih banyak ya.” Wanita itu mengambil tissue basah agar pria itu mengelap tangannya yang bekas pegang mesin mobil. Di terima Dio dengan baik. Terpikir olehnya untuk memberikan uang tanda terima kasih tapi khawatir pria itu tersinggung. “Aku sebenarnya butuh supir....” katanya dan ucapannya terpotong saat tangannnya mengambil sebuah kartu nama. “Tolong ini... hubungi aku kalau ada teman kamu yang butuh pekerjaan. Tolong ya, aku menghargai pertolonganmu barusan, sekali lagi terima kasih.”
    Dio diam namun matanya tak bisa lepas menatap wanita itu, wanita kaya, berkelas namun tidak memandang remeh kelas bawah, rasanya cukup aneh. Karena kebanyakan orang hanya menghargai nilai dan nyawa orang dengan uang saja. Dio tidak bisa menjawab banyak dari kata-kata itu selain ucapan kembali terima kasih. Wanita itu kembali menelepon taksi untuk membatalkan pesanannya, meninggalkan Dio yang masih terpaku dengan pesona yang tak biasa itu. Kalau saja ia jatuh cinta maka rasanya bukan hal yang mustahil menyukai wanita yang sama sekali berbeda di matanya. Terlepas dari semua itu Dio memang membantu wanita itu dengan penuh ketulusan. Saat naik bus berikutnya Dio masih tidak bisa melepaskan pikirannya dari wajah wanita tadi. Kartu nama wanita itu ia simpan di dalam tas ranselnya tanpa ingin melihat kembali namanya dengan pasti. Ia menyadari tidak ada gunanya berharap lebih atau memikirkan hal yang aneh-aneh. Selama ini Dio memang mengerjakan apa saja untuk menghasilkan uang demi kuliah dan syukur-syukur bisa membantu orang tuanya di kampung. Teringat olehnya kata-kata wanita tadi yang mengatakan sedang butuh supir. ‘tapi... meskipun bisa menyetir, aku kan tidak punya SIM A. Aku harus punya SIM.’

===

Bersambung,,

Rabu, 04 Maret 2015

SEBUAH RAHASIA HATI


(Fiksi Remaja Akhir ‘Persahabatan’)
*
     ‘.....Kata ayahku, kewajiban anak laki-laki itu selain kepada isterinya, ia juga harus patuh kepada ibunya....’
*
BAB I
Julia Collection
     Julia sedang sibuk membantu rekan kerjanya, wanita singel 27 tahun itu punya dua cabang toko di pasar dengan sewa satu  ruko lebih kurang dua puluh dua juta pertahun. Ia menjalani bisnis itu dalam lima tahun belakangan, sebelumnya ia bekerja di sebuah butik milik seorang pejabat daerah. Ada dua orang pegawai di setiap satu toko, sedang Julia sendiri sering bolak-balik Jakarta-Palembang untuk membeli isi tokonya belum lagi harus melayani penjualan secara On-Line.
     Hari itu setelah kembali dari toko yang satu tiba-tiba Julia ingat dengan sahabatnya. Wanita itu tersenyum karena sebenarnya bukan hari itu saja ia ingat dengan AemeL bahkan nyaris setiap hari tapi hari itu ia bukan saja ingat tapi ada rasa kangen yang sepertinya tidak biasa. Julia menghela napas berat seolah ingin meringankan beban yang ia rasa di rongga dadanya tiba-tiba terasa menyesakkan dada, ia tidak pernah menelepon lagi AemeL karena percuma sebab wanita itu tidak akan pernah lagi mengangkat telepon darinya, sekali-kali ia mengirim pesan jika ada hal yang penting sekali dan itu jarang sekali dapat balasan, andaipun ada balasan tidak penting untuk dibalas karena pesannya tidak minta dikonfirmasi. Tapi rasa itu akan perlahan menghilang seiring kesibukannya  membantu anak buahnya melayani pembeli yang jarang sepi di tokonya. Sebuah BlackBerry selalu menemaninya untuk bisnis online yang ia jalani dua tahun belakangan.
     “Kak, ini ada BBM dari pelanggan. Katanya kiriman sudah sampai, barang yang datang juga sama persis dengan yang ia pesan.” Pegawai yang sekitar usia dua puluh tiga tahun itu bicara pada Julia disambut Julia dengan senyuman itu artinya pelanggannnya puas dengan pelayanan mereka. Ruko yang tidak lebih besar dari lima kali lima meter itu berisi barang dengan mutu bagus dan tidak terlalu memenuhi ruangan sehingga Julia bisa meletakkan sebuah meja dengan dua kursi kecil di pojok bagian belakang ditambah sebuah kipas angin kecil. Sebuah laptop ukuran 11 inch sedang terbuka di atas meja, sekali-kali Julia asik menyimak layarnya untuk melihat perkembangan bisnis di dunia internet. Ia sendiri telah mendaftarkan Julia Collection di sana.
      Seema wanita yang sekaligus orang kepercayaan Julia itu mendekati bosnya. “Kak, biasanya sebulan sekali sudah harus belanja ke Jakarta tapi kali ini baru masuk minggu kedua toko ini sudah harus kembali diisi, apa kali ini pesan saja dan minta dipaketin seperti bulan kemarin?” ia bertanya karena isi toko sudah harus ditambah. Pikirnya apalagi pesanam lewat online makin lancar.
     Julia melirik Seema lalu berkata “Aku akan ke Jakarta kalau pesan rasanya kurang puas untuk memilih.” Ia memastikan. “Oya Seema….” Julia berhenti bicara seakan sedang memikirkan sesuatu sedang wanita itu menunggu Julia meneruskan kata-katanya tapi Julia hanya menatapnya seolah lupa tadi ingin bicara apa. “Mungkin aku akan ke Jakarta dalam dua hari ini, selama aku pergi kedua toko yang ada di Palembang ini adalah tanggung jawab kamu.” Katanya kemudian. Tanpa dijelaskan Seema sebenarnya sudah tahu tanggung jawabnya termasuk mengirimkan pesanan yang  lewat internet.
     “Oke, sip..” Seema tersenyum tanda setuju.
     “Seema, baju kemeja dewasa ini harganya berapa ya? Aku lupa?” rekan kerja Seema memperlihatkan sebuah kemeja lengan panjang karena ia sedang ditunggu dua orang sepertinya pasangan kekasih yang berminat dengan kemeja itu.
     “Seratus lima puluh ribu, bisa kurang kok.” Sahut Seema setelah melihat jenis kemeja yang diperlihatkan temannya dan kalaupun bisa kurang tidak lebih dari sepuluh ribu rupiah karena barang yang ada di toko Julia Collection sudah dikenal dengan mutunya jadi tidak ada yang berani menawar rendah. Julia hanya mengamati mereka dari belakang mejanya lalu kembali mengecek kiriman yang sudah terkirim di internet. Jasa pengiriman tak jarang mengecewakan yang seharusnya sampai dalam waktu tiga hari malah dua minggu baru sampai dan membuat si pengirim dan pemesan jadi sangat kecewa dan anehnya tidak ada jaminan ganti rugi yang ada yang punya barang harus mengirim ulang. Itulah dunia bisnis tidak selalu manis.
     Setelah berkutat beberapa menit di dunia internet Julia meraih BB-nya dan membukanya, tidak ada PIN BB sahabatnya yang satu itu kecuali nomor ponsel yang sudah ia simpan lebih dari tujuh tahun. Kembali ia menghela napas panjang karena teringat lagi dengan wanita satu itu.
     Di bagian depan atas ruko ada tulisan besar berbunyi ‘Julia Collection’ itulah satu-satunya usaha yang Julia jalani sekarang yang bisa menghidupi dirinya sekaligus membayar empat orang karyawannya yang kesemuanya ia anggap keluarga sendiri. Bukan itu saja, selain itu ia masih bisa sedikit-sedikit membantu keluarganya. Julia tidak memiliki rumah pribadi, ia tinggal di tempat kos hanya ada satu kamar. Meski ada beberapa kakaknya menawarkan untuk tinggal di rumah mereka tapi Julia memilih untuk tinggal sendiri dibanding tinggal di rumah kakaknya yang kaya, punya pembantu dan segala macam. Julia tidak suka mendengar gosip, tidak suka ikut arisan keluarga juga tidak suka pergi-pergi yang tidak jelas. Ia punya banyak teman dari berbagai kalangan, tua ataupun muda, pegawai bahkan kaki lima tapi kini ia hanya dekat dengan wanita yang satu itu, wanita yang selama beberapa bulan ini mengganggu pikirannya. Wanita yang ia anggap lebih dari keluarga sendiri, tidak ada lagi rahasia yang ia simpan dari wanita itu. Semua sudah ia buka dengan sangat jelas, ibarat sebuah buku tidak ada satupun halaman yang wanita itu lewati mengenai kisah hidup Julia. Tapi sekarang wanita itu sedang apa? Bagaimana perasaannya Julia tidak tahu.
     Tak jarang Julia meneteskan airmata mengingat persahabatan mereka yang tidak biasa. Julia yang merasa takut kehilangan lantaran sudah banyak kehilangan di dalam hidupnya harus terpisah darinya, rasanya tidak ada yang lebih sakit dari tidak tahu kabar dari seorang sahabat yang sangat disayangi.
     Hujan mulai turun dan dalam hitungan detik saja sudah sangat deras, orang-orang yang berniat belanja jadi kalang kabut mencari tempat berteduh tak terkecuali di depan teras Julia Collection. Julia merasa hatinya beku dan saat itu ia ingin menuliskan pesan.
**






AL. Sadei
     Gedung Gramedia dipenuhi pengunjung karena ada jumpa penulis novel remaja di sana yaitu, AL. Sadei. Seorang wanita usia tidak lebih dari dua puluhtujuh tahun itu sedang dikerubuti oleh para penggemar novelnya, agar novel yang mereka beli ditandatangi oleh penulis kesayangan mereka. Setelah acara bedah buku sekalian peluncuran perdana novel terbaru dengan judul ‘Rahasia Hati’ yang diterbitkan sebanyak 10.000 ekslempar untuk seluruh Indonesia.
     Tidak kurang dari dua jam acara itu berlangsung, AL. Sadei hanya ditemani oleh pihak penerbit yang tadi memberikan sedikit mukadimah tentang karya ke tujuh  yang ditulis AL. Sadei yang mereka terbitkan. Sebelumnya AL. Sadei telah mengatakan kepada pengunjung kalau novel itu ia tulis dalam waktu dua bulan saja. Bagi penulis senior itu mungkin bisa dibilang terlalu lama, tapi bagi AL. Sadei menulis novel itu termasuk singkat karena ia bisa menulis novel dalam waktu tiga bulan bahkan lebih, ada juga bisa selesai dalam satu bulan untuk ukuran 150-200 halaman. Tapi novel AL. Sadei bisa sampai empat bahkan tujuh kali cetak ulang, tidak jarang juga hanya satu kali cetak dalam satu judul.
     Beberapa pengunjung mendapat hadiah novel karena berhasil menjawab beberapa pertanyaan yang disediakan oleh panitia dari toko dan mereka mendapat juga tanda tangan  dari AL. Sadei sekaligus foto bersama dengan sang penulisnya. Sebelum bubar AL. Sadei bicara kepada pimpinan redaksi  penerbitnya seolah candaan saja.
     “Mitha, dalam beberapa minggu ke depan aku ingin istirahat dulu.”
     Wanita yang bernama Mitha itu melirik AL. Sadei dengan mimik lucu. “Kenapa, mau semedi cari ilham? Hehehe… kamu ini ada-ada saja.”
     “Ngapain cari ilham, ilham sih tidak usah dicari kalau sudah datang ia akan datang sendiri seperti tamu tanpa diundang. Ya sudah, aku mau pulang, kamu cepat sana… pacarmu sudah menunggu tuh.” Goda AL. Sadei.
     AL. Sadei telah menyelesaikan sesi acara itu dan kini ia akan kembali ke tempat kosnya di kawasan Cinere. Dari lantai tiga gedung Gramedia AL. Sadei sudah mengenakan kacamatanya lalu turun melewati  lantai yang menjual berbagai merek  pakaian terkenal sebab toko Gramedia itu ada di dalam sebuah mol besar. Beberapa wartawan online sudah menulis apa yang AL. Sadei bicarakan di acara tadi, dalam hitungan menit artikel mereka akan muncul di dunia maya khusus untuk para manusia yang mencari berita di dunia yang saat ini sudah melaju dengan pesat, dulu beberapa orang memandangnya sebagai dunia sesat.
     Wanita dengan celana jins sekaligus kaus lengan panjang itu sudah memasuki area parkir motor yang ada di lantai satu. Sejenak ia mengecek ponselnya yang ada dikantong celana jinsnya tanpa mengeluarkannya dari dalam kantong. Ia mengenakan jaket kulitnya dan terakhir memasang helmnya tanpa bisa menutupi rambut panjangnya yang ia ikat seperti ekor kuda.
     Melewati petugas parkir ia masih terlihat tenang dan merasa lega karena acara bedah bukunya berjalan dengan lancar. Setelah melewati halaman gedung mol itu ia merasa ada sesuatu menyapanya, rasa kangen pada seseorang. Motor matic yang membawa tubuh semampai itu terlihat berjalan dengan stabil dengan kecepatan biasa namun rasa kangennya seperti  meluncur pada kecepatan diatas  seratus meter perjam. AL. Sadei menarik napas beberapa kali, rasa benci dan kangen sepertinya sedang berperang hebat di dalam dadanya. Tas ransel tipis menempel di punggungnya meski isinya hanya sebuah laptop dan beberapa surat seakan tidak terasa berat. Sebuah motor besar tiba-tiba lewat di depan AL. Sadei dengan kecepatan tinggi untuk buru-buru berbelok ke sebuah gang yang ada di kiri motor AL. Sadei, dan saat itu lampu sign belakang motor besar itu menyentuh ban depan motor AL. Sadei bersamaan dengan bergetarnya ponsel di dalam kantong celananya karena ada SMS masuk. Motor matic itu terlempar tanpa bisa dikendalikan oleh pemiliknya, sedang yang punya motor besar itu sudah melesat meninggalkan korbannya tanpa ada satupun yang bisa melihatnya dengan jelas. AL. Sadei dengan tubuh jatuh sedang kepalanya yang terbungkus helm membentur pembatas jalan dengan sangat keras. Beberapa orang berhenti melihat kecelakaan itu dan sebuah mobil pikap yang ada dibelakang kerumunan orang menjadi sasaran untuk membawa AL. Sadei ke rumah sakit terdekat. Sebelum diangkat ke atas pikap orang melepaskan dulu helm yang masih membungkus kepala wanita malang itu, tidak ada darah atau luka yang terlihat tapi wanita itu sama sekali tidak sadarkan diri. Dua orang pria mengangkat tubuh AL. Sadei ke atas pikap dan sekaligus ikut mengantar ke rumah sakit.
**




Best friend
     Pihak rumah sakit tidak tahu harus menghubungi siapa untuk menjaga pasien yang baru saja mereka rawat dan periksa. Pasien itu mengalami gegar otak dan pergelangan kaki kirinya patah, sedang kedua pria yang mengantarnya ke rumah sakit sudah pulang setelah mengatakan kalau mereka hanya mengantar saja bukan dari pihak keluarga dari wanita itu. Kejadian semacam itu memang kerapkali terjadi di jalan. Pasien yang masih tidak sadarkan diri itu ditempatkan di ruang intensive. Seorang dokter melihat ada ponsel yang ada di kantong jins sebelah kiri pasien, tanpa berpikir panjang lagi ia mengeluarkannya karena yakin ada petunjuk di sana, meski mereka sudah memeriksa isi tas pasien tapi mereka tidak menemukan petunjuk yang bisa dihubungi dengan cepat. Jam di dinding putih ruangan di intensive menunjukkan pukul 15.07 WIB.
     Dokter itu sudah memegang ponsel dan mengamatinya sejenak lalu melirik suster yang masih berdiri bingung di sebelahnya.
     “Pasti ada sesuatu di sini.” Ujar sang dokter dengan nada pasti.
    “Coba cek nomor kontaknya dok, cari nama penting seperti ‘ayah, ibu atau kakak’ dari pasien.” Usul  suster.
     “Remaja sekarang jarang menulis nama seperti itu.” Kata dokter itu sambil berusaha membuka ponsel itu dengan hati-hati. Beruntung ponsel itu tidak memakai kata sandi. Dan pertama yang terlihat adalah pesan masuk dari nama yang tertulis ‘Best friend’
     ‘AemeL……’
     Dokter itu tiba-tiba tersenyum. “Pesan kok hanya satu kata.” Lirihnya lalu ia menatap pasien yang masih tidak sadarkan diri bahkan bisa dibilang koma. “Pesan ini dikirim oleh best friend-nya, aku harus menghubunginya.” Dokter memencet nomor itu tanpa menunggu reaksi dari susternya.
     Julia sedang menatap layar BB-nya menyala yang memunculkan nama AemeL, sudah lama sekali nama itu tidak nongol di LCD itu sehingga menimbulkan rasa deg-degan yang tidak keruan di hatinya. Setelah membiarkannya beberapa detik akhirnya Julia memutuskan untuk mengangkat dan rasa kagetnya bertambah setelah mendengar suara seorang pria.
     “Halo……….?”
     “Ya. Halo..” jawab Julia meski ragu-ragu.
     “Maaf, siapapun nama Anda saya tidak peduli.. tapi ini sangat penting, saya baru saja membuka ponsel seorang wanita ternyata ada SMS Anda yang masuk dan bertuliskan dengan nama best friend, makanya saya menghubungi Anda. Kami, dan khususnya saya telah membongkar tas pasien namun tidak satupun menemukan yang bisa dihubungi selain di dompet ada SIM dan KTP atas nama Aemel Baes. Wanita itu sekarang sedang berada di rumah sakit karena kecelakaan tabrak lari.”
     “Apa?” suara Julia agak tercekat tidak percaya sekaligus cemas.
     “Ini tidak main-main, kami di rumah sakit Harapan Indah menunggu kedatangan Anda secepatnya.” Tegasnya dengan pasti.
     “Baik, saya akan segera ke sana.” Jawab Julia dengan sangat cepat tanpa berpikir lagi apakah telepon itu sebuah penipuan atau tidak.
     Tadinya ia berpikir tidak tahu harus bicara apa saat AemeL meneleponnya dan apa yang AemeL katakan,  karena ia sudah rindu sekali dengan suara itu.
     Pihak rumah sakit mencatat nama pasien sesuai nama yang mereka lihat di kartu identitas sekaligus menulis semua hasil lab dan sebab musabab kenapa ia sampai ke rumah sakit.
~
     Tepat pukul 20.47 WIB Julia tiba di rumah sakit yang merawat AemeL Baes, setelah turun dari taksi ia langsung menuju ruang informasi menanyakan apakah benar AemeL Baes berada di tempat itu. Dengan tas punggung yang di tenteng, rambut semi bob, baju kaus serta celana jins dan tanpa polesan make-up ia coba bertanya.
     “Maaf Sus, saya ingin tanya… apakah ada pasien yang bernama AemeL Baes dirawat di sini?” katanya pada wanita berseragam perawat, di sebelahnya ada dua orang lagi dan yang satunya seorang pria sedang melihat-lihat daftar pasien. Perawat yang di tanya mengangkat wajahnya untuk menatap Julia sedangkan seorang pria dengan pakaian dokter menatap Julia dengan tatapan campur aduk.
     “Saya cek dulu.” Sahut perawat itu akhirnya dan langsung mengecek papan daftar pasien yang ada di sebelahnya.
     “Anda best friend??!” kata dokter itu sebelum suster menemukan nama yang ditanyakan sang tamu atau orang yang bermaksud besuk sanak saudaranya.
     Julia mengalihkan pandangannya kepada orang tersebut dan sebelum pria itu terlalu jauh mengamati wajahnya Julia mengajukan pertanyaan.
     “Anda mengenali saya?” katanya dengan nada rendah.
     “Ikuti saya…” kata sang dokter. Suster yang melihat mereka sepertinya sadar kalau mereka sudah saling komunikasi sehingga ia membiarkan wanita itu mengikuti printah sang dokter.
     Julia sudah berjalan bersisian dengan dokter muda itu dengan rasa was-was yang luar biasa.
     “Hampir enam jam... Mengapa Anda begitu lama datang? Sahabat macam apa Anda ini?” sergah sang dokter dengan nada tidak enak terdengar di telinga Julia. “Semacet-macet kota ini tidak mungkin menjebak Anda selama itu di jalanan.” Nadanya masih sama.
     “Bagaimana keadaan AemeL?” Julia ingin segera tahu kondisi sahabatnya tanpa mempedulikan ocehan sang dokter dan ia merasa tidak perlu menjelaskan apa yang telah ia lewati selama kurang lebih enam jam ini.
     Dokter itu menghentikan langkahnya diikuti oleh Julia, kedua orang itu saling tatap beberapa saat di lorong panjang teras rumah sakit.
     “AemeL Baes masih tidak sadarkan diri hingga detik ini.” Kata dokter itu dengan nada tenang namun tidak demikian dengan Julia.
     “Apa maksud Anda? Dia koma?”
     Dokter tidak mengangguk juga tidak menggeleng, ia diam sejenak karena baru kali ini ada orang menyebutnya ‘Anda’ bukan ‘dokter’ “Ayo…” ia kembali mengajak Julia jalan. “Anda bukan saja kelihatan cemas tapi juga terlihat sangat lelah. “Aku tidak menyebut AemeL koma, hanya saja belum sadarkan diri. Ia mengalami tabrak lari.” Lanjutnya.
     “Tabrak lari?”
     “Ya, memangnya aneh? Ada ratusan kasus tabrak lari di ibukota ini setiap harinya.” Mereka sudah tiba di ruang rawat intensive. “Ini, AemeL ada di dalam, tunggu, biar saya panggil suster keluar dulu.” Dokter membuka pintu lalu mengisyaratkan agar suster jaga keluar. Saat keluar suster melirik sekilas pada Julia dengan tatapan penuh tanya.
     “Apa dia si best friend, itu?” ujarnya membuat Julia bingung.
     “Sepertinya ya, semoga saja ia benar-benar best friend sehingga kita tidak harus menunggunya selama enam jam.” Sindir dokter sengaja tertuju pada Julia.
     “Maaf,.. “ Julia merasa mulai tidak sabar. Ia langsung membuka pintu dan menerobos masuk untuk segera melihat kondisi AemeL tanpa harus melayani dokter dan suster itu untuk berdebat. Namun di depan pintu bagian dalam ia tertegun takkala melihat sosok seorang wanita yang terbaring di tempat tidur pasien dengan kondisi memprihatinkan. Alat bantu pernapasan terpasang di hidungnya. Julia menutup mulutnya dengan telapak tangannya agar jeritannya tidak keluar saat itu pundaknya disentuh oleh sebuah tangan dengan lembut seakan coba menguatkannya.
     “Ia sudah menunggu kamu dari tadi, jika saja ia bisa bicara maka ia akan marah sama kamu.. kamu boleh mendekatinya dengan catatan tidak boleh berbuat macam-macam.” Sang dokter bicara karena merasa sudah yakin dialah best friend itu.
     Tas di bahu Julia sudah jatuh ke lantai dan kakinya mendekati AemeL sedang dokter masih mengamati sosok itu, di matanya sosok wanita itu terlihat sangat ideal.
     “AemeL…..” lirih Julia memanggil nama AemeL yang nyaris saja tidak bisa keluar dari  mulutnya namun yang dipanggil tetap diam membisu seolah ia sedang tidur dengan nyenyaknya tanpa menyadari kalau sahabatnya yang datang dari luar kota telah berada disisinya. Julia semakin dekat dengan gemetar tangannya coba menyentuh pipi AemeL. “Bangun AemeL…….” Lagi-lagi suaranya terdengar lirih. Sang dokter masih tetap menyimak Julia tanpa bergerak dari tempatnya semula berdiri. Lalu beberapa detik berikutnya terdengar suara lembut dari mulut dokter yang sudah ada di sebelah Julia.
     “Pergelangan kaki kirinya patah.”
     “Apa..? Anda bilang kakinya patah?” Julia menoleh pada dokter dengan kata diluar kendalinya.
     “Pelankan suaramu.” Anjur dokter.
     Julia merasa tidak kuat, ia berbalik dan bermaksud meninggalkan ruangan itu namun buru-buru tangannya  diraih oleh dokter. Tapi Julia malah marah kepada pria itu. “Kenapa Anda menelepon saya kalau hanya bermaksud menyampaikan berita seperti ini? Apa salah AemeL dan saya? Apa tidak ada orang lain yang bisa Anda hubungi? Katakan….. apa Anda kira saya bisa menghadapi kenyataan ini?” keluh Julia dengan mata berkaca-kaca.
     “Ponsel AemeL mati, mungkin kehabisan bateray setelah saya menelepon kamu. Apa kamu pikir hanya dia pasien di rumah sakit ini perlu perhatian? Ribuan pasien di sini menunggu kesembuhan dan kehadiran orang-orang terdekatnya. Jika kamu merasa benar-benar sahabatnya, hubungi keluarganya dan temani dia di rumah sakit ini sebelum yang lain datang, oke..?! saya masih banyak urusan.” Kali ini kata-kata dokter itu berubah jadi kasar. Setelah berkata seperti ia keluar dan meninggalkan ruangan AemeL dan Julia yang masih bingung, sedih dan tidak tahu harus bagaimana. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain kembali mendekati tempat AemeL dibaringkan.
     Kali ini Julia benar-benar sudah menangis dihadapan sosok AemeL yang masih tidak sadarkan diri. “AemeL…. Katakan apa yang harus aku lakukan?” gumannya sambil memegang tangan AemeL dengan erat. “Sudah beberapa bulan ini aku merindukan suaramu, bicaralah Ae…, aku tidak bisa menghadapimu seperti ini, apakah ini hukuman untukku? Bangun Ae…. Aku kangen.” Kini air mata Julia jatuh mengenai tangan AemeL namun sosok itu tetap tidak bergeming.
     Sejenak dokter itu masih menatap Julia dari luar pintu sebelum benar-benar pergi meninggalkan kedua wanita yang tidak ia kenal itu.
     Julia tidak menghiraukan perutnya yang mulai berteriak minta diisi, sepanjang perjalanan dari Palembang naik pesawat pukul 17.27 WIB dan tiba di Bandara Soekarno-Hatta pukul 18.37 WIB. Perjalanan dari Bandara sampai rumah sakit lebih kurang dua jam, dalam waktu nyaris enam jam ia sama sekali belum menyentuh makanan. Kini dipikirannya ingin AemeL segera siuman dan bicara padanya, harapan Julia memang terwujud dan AemeL sadar setelah pukul sepuluh malam. Melihat kenyataan itu Julia tersenyum meski tak bisa menyembunyikan rasa duka yang dalam melihat kondisi AemeL. Ia tidak peduli kalau AemeL akan memarahinya, ia rela.
     “Ae…..?” panggil Julia dengan nada penuh rasa haru yang tak terkatakan.
     “Mmm.. kamu.” Suara AemeL masih terbata-bata lalu dengan pelan ia melepas alat penutup hidungnya. “Kenapa saya di sini? Kamu…. Kamu siapa……..?”
     “Apa………?” Julia langsung shock karena AemeL tidak mengenalinya. “Ya Tuhan……..”
     AemeL tidak peduli dengan rasa kaget di wajah Julia karena kepalanya masih terasa pusing dan ia kembali memejamkan matanya beberapa kali. Julia hanya bisa menatap AemeL dengan pikiran tidak menentu sekaligus sedih melebihi tadi.
~
     “Benturan di kepalanya menyebabkan ia lupa ingatan dan mengalami amnesia.” Jelas dokter yang merawat AemeL. Julia masih terdiam di depan meja dokter tanpa bisa bicara apa-apa. “Sebaiknya kamu hubungi keluarganya.”
     “Kapan ia bisa keluar dari rumah sakit ini?”
     “Untuk saat ini belum bisa dipastikan.” Sahut dokter .
     “Saya akan kembali ke ruangannya.” Hanya itu yang keluar dari mulut Julia. AemeL kembali tertidur, bukan pingsan lagi karena pengaruh obat. Itu kata dokternya pada Julia. Mengetahui AemeL mengalami amnesia Julia mematikan ponsel dan BB-nya. Ia memeriksa tas AemeL, sebuah laptop entah masih berfungsi dengan baik atau ikut retak seperti isi otak AemeL karena kecelakaan itu. Sebuah ponsel dalam kondisi mati dan dompet dengan isi uang tidak lebih dari lima ratus ribu rupiah dan dua kartu ATM. Kedua kartu itu Julia mengetahui PIN-nya dengan baik. Bukan itu saja, kata sandi Twitter dan Facebook AemeL juga ia tahu, karena dikasih tahu sama AemeL waktu hubungan mereka masih baik, apakah AemeL menggantinya atau tidak Julia tidak ingin mengetahuinya. Sekali lagi Julia menatap sahabatnya yang sekarang bukan saja sakit dan patah tungkai kaki kiri tapi mengalami lupa ingatan. Julia merasakan dadanya benar-benar sesak.
     Seorang suster masuk untuk memberikan obat diikuti seorang wanita yang bertugas menyediakan makan malam untuk pasien. Ia tidak peduli apakah nanti makanan itu akan dimakan atau tidak yang penting ia sudah menyediakan sesuai intruksi dari dokter yang merawat pasien.
     “Selamat malam.” Sapa suster pada Julia yang duduk di samping AemeL. “Saya akan memeriksa Pasien, Anda keluarganya?” ia melirik ke Julia sejenak.
     “Ya, silahkan.” Sahut Julia dingin.
     “O, ya. Anda diminta menemui bagian administrasi.” Kata suster sembari mengecek kondisi AemeL.
     “Tentu saja, tapi… apakah suster mau di sini sebentar saat saya keluar menemui bagian administrasi?” pinta Julia karena tidak ingin meninggalkan AemeL sendirian di ruangan itu.
~
     Di ruang administrasi Julia malah bertemu dengan dokter yang  tadi, apa dia tidak punya kerjaan  lain ya? Di ruang informasi ada, di ruang administrasi juga ada atau jangan-jangan sebenarnya dia itu bukan dokter. Pikir Julia mulai kesal.
     “Selamat malam.” Sapa Julia karena melihat ada petugas lain dalam ruangan itu.
     “Ya, selamat malam.. silahkan masuk.”
     Julia masuk tanpa mempedulikan pria yang duduk di sebelah petugas, sepertinya ia sedang asik menyimak sesuatu. Bukannya pria itu tidak tahu kalau Julia yang masuk tapi ia tidak mau ambil pusing seolah sedang mengerjakan hal yang penting.
     “Silahkan duduk.” Ucap petugas. Julia menarik kursi dan duduk di depannya. Petugas langsung ke pokok permasalahan. “Ini mengenai pasien yang bernama AemeL Baes, kamu adalah satu-satunya orang yang terdekatnya saat ini, apa kamu keluarganya? Atau kami bisa menghubungi keluarganya?”
     “Em.. kalau maksud suster mengenal biaya perawatan AemeL selama di sini, semuanya adalah tanggung jawab saya.” Sahut Julia yang sudah bisa membayangkan berapa besar biaya yang harus ia keluarkan. Karena tidak sekali dua kali ia berurusan dengan rumah sakit.
      Mendengar itu dokter yang di sebelah sekilas menoleh seakan terhenyak tapi sebelum Julia menyadarinya ia sudah kembali dengan kesibukannya meski berguman dalam hati. ‘Mungkin penyebab sahabatnya itu kecelakaan adalah dia... makanya ia ingin bertanggung jawab.’
     “Oke.” Pegawai rumah sakit itu mengeluarkan kertas rincian biaya masuk AemeL . “Yang lainnya akan menyusul.” Lanjutnya. Julia sangat mengerti mengenai rincian biaya nginap semalam, obat, biaya dokter dan yang lainnya.
     “Terima kasih.” Kata Julia setelah mengecek kertas yang sudah ada ditangannya. “Apa saya harus membayar ini sekarang?” nadanya tidak mengundang rasa sombong sama sekali melainkan ingin serius bertanya.
     “Nanti saja, saat pasien akan keluar dari sini.” Jelas petugas administrasi itu dengan ramah.
     “Oke.. kalau begitu saya permisi dulu.” Kata Julia sambil memegang kertas print-out dari petugas administrasi lalu berlalu meninggalkan ruangan. Sekali lagi Julia merasakan perutnya mulai memanggil, sebelum kembali ke ruangan AemeL, Julia berbelok ke kantin untuk membelikan sesuatu. Di sana ia membeli beberapa buah, roti dan air mineral.
     Saat kembali menuju ruangan perawatan AemeL sosok dokter itu melintas dipikiran Julia tanpa bisa ia kendalikan membuatnya kesal.
     Ada yang harus ia katakan pada dokter muda itu, sebab jika AemeL sudah kembali ke rumah pasti ada rutinitas untuk kontrol dan kembali ke rumah sakit. Julia membuat perjanjian lisan pada sang dokter.
**

bersambung...............