(Fiksi
Remaja Akhir ‘Persahabatan’)
*
‘.....Kata ayahku, kewajiban anak
laki-laki itu selain kepada isterinya, ia juga harus patuh kepada ibunya....’
*
BAB I
Julia Collection
Julia sedang sibuk membantu rekan
kerjanya, wanita singel 27 tahun itu punya dua cabang toko di pasar dengan sewa
satu ruko lebih kurang dua puluh dua
juta pertahun. Ia menjalani bisnis itu dalam lima tahun belakangan, sebelumnya
ia bekerja di sebuah butik milik seorang pejabat daerah. Ada dua orang pegawai
di setiap satu toko, sedang Julia sendiri sering bolak-balik Jakarta-Palembang
untuk membeli isi tokonya belum lagi harus melayani penjualan secara On-Line.
Hari itu setelah kembali dari toko yang
satu tiba-tiba Julia ingat dengan sahabatnya. Wanita itu tersenyum karena
sebenarnya bukan hari itu saja ia ingat dengan AemeL bahkan nyaris setiap hari
tapi hari itu ia bukan saja ingat tapi ada rasa kangen yang sepertinya tidak
biasa. Julia menghela napas berat seolah ingin meringankan beban yang ia rasa
di rongga dadanya tiba-tiba terasa menyesakkan dada, ia tidak pernah menelepon
lagi AemeL karena percuma sebab wanita itu tidak akan pernah lagi mengangkat
telepon darinya, sekali-kali ia mengirim pesan jika ada hal yang penting sekali
dan itu jarang sekali dapat balasan, andaipun ada balasan tidak penting untuk
dibalas karena pesannya tidak minta dikonfirmasi. Tapi rasa itu akan perlahan
menghilang seiring kesibukannya membantu
anak buahnya melayani pembeli yang jarang sepi di tokonya. Sebuah BlackBerry selalu menemaninya untuk
bisnis online yang ia jalani dua tahun belakangan.
“Kak, ini ada BBM dari pelanggan. Katanya
kiriman sudah sampai, barang yang datang juga sama persis dengan yang ia pesan.”
Pegawai yang sekitar usia dua puluh tiga tahun itu bicara pada Julia disambut
Julia dengan senyuman itu artinya pelanggannnya puas dengan pelayanan mereka.
Ruko yang tidak lebih besar dari lima kali lima meter itu berisi barang dengan
mutu bagus dan tidak terlalu memenuhi ruangan sehingga Julia bisa meletakkan
sebuah meja dengan dua kursi kecil di pojok bagian belakang ditambah sebuah
kipas angin kecil. Sebuah laptop ukuran 11 inch sedang terbuka di atas meja,
sekali-kali Julia asik menyimak layarnya untuk melihat perkembangan bisnis di
dunia internet. Ia sendiri telah mendaftarkan Julia Collection di sana.
Seema wanita yang sekaligus orang
kepercayaan Julia itu mendekati bosnya. “Kak, biasanya sebulan sekali sudah
harus belanja ke Jakarta tapi kali ini baru masuk minggu kedua toko ini sudah
harus kembali diisi, apa kali ini pesan saja dan minta dipaketin seperti bulan
kemarin?” ia bertanya karena isi toko sudah harus ditambah. Pikirnya apalagi
pesanam lewat online makin lancar.
Julia melirik Seema lalu berkata “Aku akan
ke Jakarta kalau pesan rasanya kurang puas untuk memilih.” Ia memastikan. “Oya
Seema….” Julia berhenti bicara seakan sedang memikirkan sesuatu sedang wanita
itu menunggu Julia meneruskan kata-katanya tapi Julia hanya menatapnya seolah
lupa tadi ingin bicara apa. “Mungkin aku akan ke Jakarta dalam dua hari ini,
selama aku pergi kedua toko yang ada di Palembang ini adalah tanggung jawab
kamu.” Katanya kemudian. Tanpa dijelaskan Seema sebenarnya sudah tahu tanggung
jawabnya termasuk mengirimkan pesanan yang
lewat internet.
“Oke, sip..” Seema tersenyum tanda setuju.
“Seema, baju kemeja dewasa ini harganya
berapa ya? Aku lupa?” rekan kerja Seema memperlihatkan sebuah kemeja lengan
panjang karena ia sedang ditunggu dua orang sepertinya pasangan kekasih yang
berminat dengan kemeja itu.
“Seratus lima puluh ribu, bisa kurang
kok.” Sahut Seema setelah melihat jenis kemeja yang diperlihatkan temannya dan
kalaupun bisa kurang tidak lebih dari sepuluh ribu rupiah karena barang yang
ada di toko Julia Collection sudah dikenal dengan mutunya jadi tidak ada yang
berani menawar rendah. Julia hanya mengamati mereka dari belakang mejanya lalu
kembali mengecek kiriman yang sudah terkirim di internet. Jasa pengiriman tak
jarang mengecewakan yang seharusnya sampai dalam waktu tiga hari malah dua
minggu baru sampai dan membuat si pengirim dan pemesan jadi sangat kecewa dan
anehnya tidak ada jaminan ganti rugi yang ada yang punya barang harus mengirim
ulang. Itulah dunia bisnis tidak selalu manis.
Setelah berkutat beberapa menit di dunia
internet Julia meraih BB-nya dan membukanya, tidak ada PIN BB sahabatnya yang
satu itu kecuali nomor ponsel yang sudah ia simpan lebih dari tujuh tahun.
Kembali ia menghela napas panjang karena teringat lagi dengan wanita satu itu.
Di bagian depan atas ruko ada tulisan
besar berbunyi ‘Julia Collection’ itulah satu-satunya usaha yang Julia jalani
sekarang yang bisa menghidupi dirinya sekaligus membayar empat orang
karyawannya yang kesemuanya ia anggap keluarga sendiri. Bukan itu saja, selain
itu ia masih bisa sedikit-sedikit membantu keluarganya. Julia tidak memiliki
rumah pribadi, ia tinggal di tempat kos hanya ada satu kamar. Meski ada
beberapa kakaknya menawarkan untuk tinggal di rumah mereka tapi Julia memilih
untuk tinggal sendiri dibanding tinggal di rumah kakaknya yang kaya, punya
pembantu dan segala macam. Julia tidak suka mendengar gosip, tidak suka ikut
arisan keluarga juga tidak suka pergi-pergi yang tidak jelas. Ia punya banyak
teman dari berbagai kalangan, tua ataupun muda, pegawai bahkan kaki lima tapi
kini ia hanya dekat dengan wanita yang satu itu, wanita yang selama beberapa
bulan ini mengganggu pikirannya. Wanita yang ia anggap lebih dari keluarga
sendiri, tidak ada lagi rahasia yang ia simpan dari wanita itu. Semua sudah ia
buka dengan sangat jelas, ibarat sebuah buku tidak ada satupun halaman yang
wanita itu lewati mengenai kisah hidup Julia. Tapi sekarang wanita itu sedang
apa? Bagaimana perasaannya Julia tidak tahu.
Tak jarang Julia meneteskan airmata
mengingat persahabatan mereka yang tidak biasa. Julia yang merasa takut
kehilangan lantaran sudah banyak kehilangan di dalam hidupnya harus terpisah
darinya, rasanya tidak ada yang lebih sakit dari tidak tahu kabar dari seorang
sahabat yang sangat disayangi.
Hujan mulai turun dan dalam hitungan detik
saja sudah sangat deras, orang-orang yang berniat belanja jadi kalang kabut
mencari tempat berteduh tak terkecuali di depan teras Julia Collection. Julia
merasa hatinya beku dan saat itu ia ingin menuliskan pesan.
**
AL.
Sadei
Gedung Gramedia dipenuhi pengunjung karena
ada jumpa penulis novel remaja di sana yaitu, AL. Sadei. Seorang wanita usia
tidak lebih dari dua puluhtujuh tahun itu sedang dikerubuti oleh para penggemar
novelnya, agar novel yang mereka beli ditandatangi oleh penulis kesayangan
mereka. Setelah acara bedah buku sekalian peluncuran perdana novel terbaru
dengan judul ‘Rahasia Hati’ yang diterbitkan sebanyak 10.000 ekslempar untuk
seluruh Indonesia.
Tidak kurang dari dua jam acara itu
berlangsung, AL. Sadei hanya ditemani oleh pihak penerbit yang tadi memberikan
sedikit mukadimah tentang karya ke tujuh
yang ditulis AL. Sadei yang mereka terbitkan. Sebelumnya AL. Sadei telah
mengatakan kepada pengunjung kalau novel itu ia tulis dalam waktu dua bulan
saja. Bagi penulis senior itu mungkin bisa dibilang terlalu lama, tapi bagi AL.
Sadei menulis novel itu termasuk singkat karena ia bisa menulis novel dalam
waktu tiga bulan bahkan lebih, ada juga bisa selesai dalam satu bulan untuk
ukuran 150-200 halaman. Tapi novel AL. Sadei bisa sampai empat bahkan tujuh
kali cetak ulang, tidak jarang juga hanya satu kali cetak dalam satu judul.
Beberapa pengunjung mendapat hadiah novel
karena berhasil menjawab beberapa pertanyaan yang disediakan oleh panitia dari
toko dan mereka mendapat juga tanda tangan
dari AL. Sadei sekaligus foto bersama dengan sang penulisnya. Sebelum
bubar AL. Sadei bicara kepada pimpinan redaksi
penerbitnya seolah candaan saja.
“Mitha, dalam beberapa minggu ke depan aku
ingin istirahat dulu.”
Wanita yang bernama Mitha itu melirik AL.
Sadei dengan mimik lucu. “Kenapa, mau semedi cari ilham? Hehehe… kamu ini
ada-ada saja.”
“Ngapain cari ilham, ilham sih tidak usah
dicari kalau sudah datang ia akan datang sendiri seperti tamu tanpa diundang.
Ya sudah, aku mau pulang, kamu cepat sana… pacarmu sudah menunggu tuh.” Goda
AL. Sadei.
AL. Sadei telah menyelesaikan sesi acara
itu dan kini ia akan kembali ke tempat kosnya di kawasan Cinere. Dari lantai
tiga gedung Gramedia AL. Sadei sudah mengenakan kacamatanya lalu turun
melewati lantai yang menjual berbagai
merek pakaian terkenal sebab toko
Gramedia itu ada di dalam sebuah mol besar. Beberapa wartawan online sudah
menulis apa yang AL. Sadei bicarakan di acara tadi, dalam hitungan menit
artikel mereka akan muncul di dunia maya khusus untuk para manusia yang mencari
berita di dunia yang saat ini sudah melaju dengan pesat, dulu beberapa orang
memandangnya sebagai dunia sesat.
Wanita dengan celana jins sekaligus kaus
lengan panjang itu sudah memasuki area parkir motor yang ada di lantai satu.
Sejenak ia mengecek ponselnya yang ada dikantong celana jinsnya tanpa
mengeluarkannya dari dalam kantong. Ia mengenakan jaket kulitnya dan terakhir
memasang helmnya tanpa bisa menutupi rambut panjangnya yang ia ikat seperti
ekor kuda.
Melewati petugas parkir ia masih terlihat
tenang dan merasa lega karena acara bedah bukunya berjalan dengan lancar.
Setelah melewati halaman gedung mol itu ia merasa ada sesuatu menyapanya, rasa
kangen pada seseorang. Motor matic yang membawa tubuh semampai itu terlihat
berjalan dengan stabil dengan kecepatan biasa namun rasa kangennya seperti meluncur pada kecepatan diatas seratus meter perjam. AL. Sadei menarik napas
beberapa kali, rasa benci dan kangen sepertinya sedang berperang hebat di dalam
dadanya. Tas ransel tipis menempel di punggungnya meski isinya hanya sebuah
laptop dan beberapa surat seakan tidak terasa berat. Sebuah motor besar
tiba-tiba lewat di depan AL. Sadei dengan kecepatan tinggi untuk buru-buru
berbelok ke sebuah gang yang ada di kiri motor AL. Sadei, dan saat itu lampu
sign belakang motor besar itu menyentuh ban depan motor AL. Sadei bersamaan
dengan bergetarnya ponsel di dalam kantong celananya karena ada SMS masuk.
Motor matic itu terlempar tanpa bisa dikendalikan oleh pemiliknya, sedang yang
punya motor besar itu sudah melesat meninggalkan korbannya tanpa ada satupun
yang bisa melihatnya dengan jelas. AL. Sadei dengan tubuh jatuh sedang
kepalanya yang terbungkus helm membentur pembatas jalan dengan sangat keras.
Beberapa orang berhenti melihat kecelakaan itu dan sebuah mobil pikap yang ada
dibelakang kerumunan orang menjadi sasaran untuk membawa AL. Sadei ke rumah
sakit terdekat. Sebelum diangkat ke atas pikap orang melepaskan dulu helm yang
masih membungkus kepala wanita malang itu, tidak ada darah atau luka yang
terlihat tapi wanita itu sama sekali tidak sadarkan diri. Dua orang pria
mengangkat tubuh AL. Sadei ke atas pikap dan sekaligus ikut mengantar ke rumah
sakit.
**
Best
friend
Pihak rumah sakit tidak tahu harus
menghubungi siapa untuk menjaga pasien yang baru saja mereka rawat dan periksa.
Pasien itu mengalami gegar otak dan pergelangan kaki kirinya patah, sedang
kedua pria yang mengantarnya ke rumah sakit sudah pulang setelah mengatakan
kalau mereka hanya mengantar saja bukan dari pihak keluarga dari wanita itu.
Kejadian semacam itu memang kerapkali terjadi di jalan. Pasien yang masih tidak
sadarkan diri itu ditempatkan di ruang intensive. Seorang dokter melihat ada
ponsel yang ada di kantong jins sebelah kiri pasien, tanpa berpikir panjang
lagi ia mengeluarkannya karena yakin ada petunjuk di sana, meski mereka sudah
memeriksa isi tas pasien tapi mereka tidak menemukan petunjuk yang bisa
dihubungi dengan cepat. Jam di dinding putih ruangan di intensive menunjukkan
pukul 15.07 WIB.
Dokter itu sudah memegang ponsel dan
mengamatinya sejenak lalu melirik suster yang masih berdiri bingung di
sebelahnya.
“Pasti ada sesuatu di sini.” Ujar sang
dokter dengan nada pasti.
“Coba cek nomor kontaknya dok, cari nama
penting seperti ‘ayah, ibu atau kakak’ dari pasien.” Usul suster.
“Remaja sekarang jarang menulis nama
seperti itu.” Kata dokter itu sambil berusaha membuka ponsel itu dengan
hati-hati. Beruntung ponsel itu tidak memakai kata sandi. Dan pertama yang
terlihat adalah pesan masuk dari nama yang tertulis ‘Best friend’
‘AemeL……’
Dokter itu tiba-tiba tersenyum. “Pesan kok
hanya satu kata.” Lirihnya lalu ia menatap pasien yang masih tidak sadarkan
diri bahkan bisa dibilang koma. “Pesan ini dikirim oleh best friend-nya, aku
harus menghubunginya.” Dokter memencet nomor itu tanpa menunggu reaksi dari
susternya.
Julia sedang menatap layar BB-nya menyala yang memunculkan nama
AemeL, sudah lama sekali nama itu tidak nongol di LCD itu sehingga menimbulkan
rasa deg-degan yang tidak keruan di hatinya. Setelah membiarkannya beberapa
detik akhirnya Julia memutuskan untuk mengangkat dan rasa kagetnya bertambah setelah
mendengar suara seorang pria.
“Halo……….?”
“Ya. Halo..” jawab Julia meski ragu-ragu.
“Maaf, siapapun nama Anda saya tidak
peduli.. tapi ini sangat penting, saya baru saja membuka ponsel seorang wanita
ternyata ada SMS Anda yang masuk dan
bertuliskan dengan nama best friend, makanya saya menghubungi Anda.
Kami, dan khususnya saya telah membongkar tas pasien namun tidak satupun
menemukan yang bisa dihubungi selain di dompet ada SIM dan KTP atas nama Aemel
Baes. Wanita itu sekarang sedang berada di rumah sakit karena kecelakaan tabrak
lari.”
“Apa?” suara Julia agak tercekat tidak
percaya sekaligus cemas.
“Ini tidak main-main, kami di rumah sakit
Harapan Indah menunggu kedatangan Anda secepatnya.” Tegasnya dengan pasti.
“Baik, saya akan segera ke sana.” Jawab
Julia dengan sangat cepat tanpa berpikir lagi apakah telepon itu sebuah
penipuan atau tidak.
Tadinya ia berpikir tidak tahu harus
bicara apa saat AemeL meneleponnya dan apa yang AemeL katakan, karena ia sudah rindu sekali dengan suara
itu.
Pihak rumah sakit mencatat nama pasien
sesuai nama yang mereka lihat di kartu identitas sekaligus menulis semua hasil
lab dan sebab musabab kenapa ia sampai ke rumah sakit.
~
Tepat pukul 20.47 WIB Julia tiba di rumah
sakit yang merawat AemeL Baes, setelah turun dari taksi ia langsung menuju
ruang informasi menanyakan apakah benar AemeL Baes berada di tempat itu. Dengan
tas punggung yang di tenteng, rambut
semi bob, baju kaus serta celana jins dan tanpa polesan make-up ia coba bertanya.
“Maaf Sus, saya ingin tanya… apakah ada
pasien yang bernama AemeL Baes dirawat di sini?” katanya pada wanita berseragam
perawat, di sebelahnya ada dua orang lagi dan yang satunya seorang pria sedang
melihat-lihat daftar pasien. Perawat yang di tanya mengangkat wajahnya untuk
menatap Julia sedangkan seorang pria dengan pakaian dokter menatap Julia dengan
tatapan campur aduk.
“Saya cek dulu.” Sahut perawat itu
akhirnya dan langsung mengecek papan daftar pasien yang ada di sebelahnya.
“Anda best
friend??!” kata dokter itu sebelum
suster menemukan nama yang ditanyakan sang tamu atau orang yang bermaksud besuk
sanak saudaranya.
Julia mengalihkan pandangannya kepada
orang tersebut dan sebelum pria itu terlalu jauh mengamati wajahnya Julia
mengajukan pertanyaan.
“Anda mengenali saya?” katanya dengan nada
rendah.
“Ikuti saya…” kata sang dokter. Suster
yang melihat mereka sepertinya sadar kalau mereka sudah saling komunikasi
sehingga ia membiarkan wanita itu mengikuti printah sang dokter.
Julia sudah berjalan bersisian dengan
dokter muda itu dengan rasa was-was yang luar biasa.
“Hampir enam jam... Mengapa Anda begitu
lama datang? Sahabat macam apa Anda ini?” sergah sang dokter dengan nada tidak
enak terdengar di telinga Julia. “Semacet-macet kota ini tidak mungkin menjebak
Anda selama itu di jalanan.” Nadanya masih sama.
“Bagaimana keadaan AemeL?” Julia ingin
segera tahu kondisi sahabatnya tanpa mempedulikan ocehan sang dokter dan ia
merasa tidak perlu menjelaskan apa yang telah ia lewati selama kurang lebih
enam jam ini.
Dokter itu menghentikan langkahnya diikuti
oleh Julia, kedua orang itu saling tatap beberapa saat di lorong panjang teras
rumah sakit.
“AemeL Baes masih tidak sadarkan diri
hingga detik ini.” Kata dokter itu dengan nada tenang namun tidak demikian
dengan Julia.
“Apa maksud Anda? Dia koma?”
Dokter tidak mengangguk juga tidak
menggeleng, ia diam sejenak karena baru kali ini ada orang menyebutnya ‘Anda’
bukan ‘dokter’ “Ayo…” ia kembali mengajak Julia jalan. “Anda bukan saja
kelihatan cemas tapi juga terlihat sangat lelah. “Aku tidak menyebut AemeL
koma, hanya saja belum sadarkan diri. Ia mengalami tabrak lari.” Lanjutnya.
“Tabrak lari?”
“Ya, memangnya aneh? Ada ratusan kasus
tabrak lari di ibukota ini setiap harinya.” Mereka sudah tiba di ruang rawat
intensive. “Ini, AemeL ada di dalam, tunggu, biar saya panggil suster keluar
dulu.” Dokter membuka pintu lalu mengisyaratkan agar suster jaga keluar. Saat
keluar suster melirik sekilas pada Julia dengan tatapan penuh tanya.
“Apa dia si best friend, itu?”
ujarnya membuat Julia bingung.
“Sepertinya ya, semoga saja ia benar-benar
best friend sehingga kita tidak harus menunggunya selama enam jam.” Sindir
dokter sengaja tertuju pada Julia.
“Maaf,.. “ Julia merasa mulai tidak sabar.
Ia langsung membuka pintu dan menerobos masuk untuk segera melihat kondisi
AemeL tanpa harus melayani dokter dan suster itu untuk berdebat. Namun di depan
pintu bagian dalam ia tertegun takkala melihat sosok seorang wanita yang
terbaring di tempat tidur pasien dengan kondisi memprihatinkan. Alat bantu
pernapasan terpasang di hidungnya. Julia menutup mulutnya dengan telapak
tangannya agar jeritannya tidak keluar saat itu pundaknya disentuh oleh sebuah
tangan dengan lembut seakan coba menguatkannya.
“Ia sudah menunggu kamu dari tadi, jika
saja ia bisa bicara maka ia akan marah sama kamu.. kamu boleh mendekatinya
dengan catatan tidak boleh berbuat macam-macam.” Sang dokter bicara karena
merasa sudah yakin dialah best friend itu.
Tas di bahu Julia sudah jatuh ke lantai
dan kakinya mendekati AemeL sedang dokter masih mengamati sosok itu, di matanya
sosok wanita itu terlihat sangat ideal.
“AemeL…..” lirih Julia memanggil nama
AemeL yang nyaris saja tidak bisa keluar dari mulutnya namun yang dipanggil tetap diam
membisu seolah ia sedang tidur dengan nyenyaknya tanpa menyadari kalau
sahabatnya yang datang dari luar kota telah berada disisinya. Julia semakin
dekat dengan gemetar tangannya coba menyentuh pipi AemeL. “Bangun AemeL…….”
Lagi-lagi suaranya terdengar lirih. Sang dokter masih tetap menyimak Julia
tanpa bergerak dari tempatnya semula berdiri. Lalu beberapa detik berikutnya
terdengar suara lembut dari mulut dokter yang sudah ada di sebelah Julia.
“Pergelangan kaki kirinya patah.”
“Apa..? Anda bilang kakinya patah?” Julia
menoleh pada dokter dengan kata diluar kendalinya.
“Pelankan suaramu.” Anjur dokter.
Julia merasa tidak kuat, ia berbalik dan
bermaksud meninggalkan ruangan itu namun buru-buru tangannya diraih oleh dokter. Tapi Julia malah marah
kepada pria itu. “Kenapa Anda menelepon saya kalau hanya bermaksud menyampaikan
berita seperti ini? Apa salah AemeL dan saya? Apa tidak ada orang lain yang
bisa Anda hubungi? Katakan….. apa Anda kira saya bisa menghadapi kenyataan
ini?” keluh Julia dengan mata berkaca-kaca.
“Ponsel AemeL mati, mungkin kehabisan bateray setelah saya menelepon kamu. Apa
kamu pikir hanya dia pasien di rumah sakit ini perlu perhatian? Ribuan pasien
di sini menunggu kesembuhan dan kehadiran orang-orang terdekatnya. Jika kamu
merasa benar-benar sahabatnya, hubungi keluarganya dan temani dia di rumah
sakit ini sebelum yang lain datang, oke..?! saya masih banyak urusan.” Kali ini
kata-kata dokter itu berubah jadi kasar. Setelah berkata seperti ia keluar dan
meninggalkan ruangan AemeL dan Julia yang masih bingung, sedih dan tidak tahu
harus bagaimana. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain kembali mendekati tempat
AemeL dibaringkan.
Kali ini Julia benar-benar sudah menangis
dihadapan sosok AemeL yang masih tidak sadarkan diri. “AemeL…. Katakan apa yang
harus aku lakukan?” gumannya sambil memegang tangan AemeL dengan erat. “Sudah
beberapa bulan ini aku merindukan suaramu, bicaralah Ae…, aku tidak bisa
menghadapimu seperti ini, apakah ini hukuman untukku? Bangun Ae…. Aku kangen.”
Kini air mata Julia jatuh mengenai tangan AemeL namun sosok itu tetap tidak
bergeming.
Sejenak dokter itu masih menatap Julia
dari luar pintu sebelum benar-benar pergi meninggalkan kedua wanita yang tidak
ia kenal itu.
Julia tidak menghiraukan perutnya yang
mulai berteriak minta diisi, sepanjang perjalanan dari Palembang naik pesawat
pukul 17.27 WIB dan tiba di Bandara Soekarno-Hatta pukul 18.37 WIB. Perjalanan
dari Bandara sampai rumah sakit lebih kurang dua jam, dalam waktu nyaris enam
jam ia sama sekali belum menyentuh makanan. Kini dipikirannya ingin AemeL
segera siuman dan bicara padanya, harapan Julia memang terwujud dan AemeL sadar
setelah pukul sepuluh malam. Melihat kenyataan itu Julia tersenyum meski tak bisa
menyembunyikan rasa duka yang dalam melihat kondisi AemeL. Ia tidak peduli
kalau AemeL akan memarahinya, ia rela.
“Ae…..?” panggil Julia dengan nada penuh
rasa haru yang tak terkatakan.
“Mmm.. kamu.” Suara AemeL masih
terbata-bata lalu dengan pelan ia melepas alat penutup hidungnya. “Kenapa saya
di sini? Kamu…. Kamu siapa……..?”
“Apa………?” Julia langsung shock karena AemeL tidak mengenalinya.
“Ya Tuhan……..”
AemeL tidak peduli dengan rasa kaget di
wajah Julia karena kepalanya masih terasa pusing dan ia kembali memejamkan
matanya beberapa kali. Julia hanya bisa menatap AemeL dengan pikiran tidak
menentu sekaligus sedih melebihi tadi.
~
“Benturan di kepalanya menyebabkan ia lupa
ingatan dan mengalami amnesia.” Jelas dokter yang merawat AemeL. Julia masih
terdiam di depan meja dokter tanpa bisa bicara apa-apa. “Sebaiknya kamu hubungi
keluarganya.”
“Kapan ia bisa keluar dari rumah sakit
ini?”
“Untuk saat ini belum bisa dipastikan.”
Sahut dokter .
“Saya akan kembali ke ruangannya.” Hanya
itu yang keluar dari mulut Julia. AemeL kembali tertidur, bukan pingsan lagi
karena pengaruh obat. Itu kata dokternya pada Julia. Mengetahui AemeL mengalami
amnesia Julia mematikan ponsel dan BB-nya.
Ia memeriksa tas AemeL, sebuah laptop entah masih berfungsi dengan baik atau
ikut retak seperti isi otak AemeL karena kecelakaan itu. Sebuah ponsel dalam
kondisi mati dan dompet dengan isi uang tidak lebih dari lima ratus ribu rupiah
dan dua kartu ATM. Kedua kartu itu Julia mengetahui PIN-nya dengan baik. Bukan
itu saja, kata sandi Twitter dan Facebook AemeL juga ia tahu, karena
dikasih tahu sama AemeL waktu hubungan mereka masih baik, apakah AemeL
menggantinya atau tidak Julia tidak ingin mengetahuinya. Sekali lagi Julia
menatap sahabatnya yang sekarang bukan saja sakit dan patah tungkai kaki kiri
tapi mengalami lupa ingatan. Julia merasakan dadanya benar-benar sesak.
Seorang suster masuk untuk memberikan obat
diikuti seorang wanita yang bertugas menyediakan makan malam untuk pasien. Ia
tidak peduli apakah nanti makanan itu akan dimakan atau tidak yang penting ia
sudah menyediakan sesuai intruksi dari dokter yang merawat pasien.
“Selamat malam.” Sapa suster pada Julia
yang duduk di samping AemeL. “Saya akan memeriksa Pasien, Anda keluarganya?” ia
melirik ke Julia sejenak.
“Ya, silahkan.” Sahut Julia dingin.
“O, ya. Anda diminta menemui bagian
administrasi.” Kata suster sembari mengecek kondisi AemeL.
“Tentu saja, tapi… apakah suster mau di
sini sebentar saat saya keluar menemui bagian administrasi?” pinta Julia karena
tidak ingin meninggalkan AemeL sendirian di ruangan itu.
~
Di ruang administrasi Julia malah bertemu
dengan dokter yang tadi, apa dia tidak
punya kerjaan lain ya? Di ruang
informasi ada, di ruang administrasi juga ada atau jangan-jangan sebenarnya dia
itu bukan dokter. Pikir Julia mulai kesal.
“Selamat malam.” Sapa Julia karena melihat
ada petugas lain dalam ruangan itu.
“Ya, selamat malam.. silahkan masuk.”
Julia masuk tanpa mempedulikan pria yang
duduk di sebelah petugas, sepertinya ia sedang asik menyimak sesuatu. Bukannya
pria itu tidak tahu kalau Julia yang masuk tapi ia tidak mau ambil pusing
seolah sedang mengerjakan hal yang penting.
“Silahkan duduk.” Ucap petugas. Julia
menarik kursi dan duduk di depannya. Petugas langsung ke pokok permasalahan.
“Ini mengenai pasien yang bernama AemeL Baes, kamu adalah satu-satunya orang
yang terdekatnya saat ini, apa kamu keluarganya? Atau kami bisa menghubungi
keluarganya?”
“Em.. kalau maksud suster mengenal biaya
perawatan AemeL selama di sini, semuanya adalah tanggung jawab saya.” Sahut
Julia yang sudah bisa membayangkan berapa besar biaya yang harus ia keluarkan.
Karena tidak sekali dua kali ia berurusan dengan rumah sakit.
Mendengar itu dokter yang di sebelah
sekilas menoleh seakan terhenyak tapi sebelum Julia menyadarinya ia sudah
kembali dengan kesibukannya meski berguman dalam hati. ‘Mungkin penyebab sahabatnya itu kecelakaan adalah dia... makanya ia
ingin bertanggung jawab.’
“Oke.” Pegawai rumah sakit itu
mengeluarkan kertas rincian biaya masuk AemeL . “Yang lainnya akan menyusul.”
Lanjutnya. Julia sangat mengerti mengenai rincian biaya nginap semalam, obat,
biaya dokter dan yang lainnya.
“Terima kasih.” Kata Julia setelah
mengecek kertas yang sudah ada ditangannya. “Apa saya harus membayar ini
sekarang?” nadanya tidak mengundang rasa sombong sama sekali melainkan ingin
serius bertanya.
“Nanti saja, saat pasien akan keluar dari
sini.” Jelas petugas administrasi itu dengan ramah.
“Oke.. kalau begitu saya permisi dulu.”
Kata Julia sambil memegang kertas print-out dari petugas administrasi lalu
berlalu meninggalkan ruangan. Sekali lagi Julia merasakan perutnya mulai
memanggil, sebelum kembali ke ruangan AemeL, Julia berbelok ke kantin untuk
membelikan sesuatu. Di sana ia membeli beberapa buah, roti dan air mineral.
Saat kembali menuju ruangan perawatan
AemeL sosok dokter itu melintas dipikiran Julia tanpa bisa ia kendalikan
membuatnya kesal.
Ada yang harus ia katakan pada dokter muda
itu, sebab jika AemeL sudah kembali ke rumah pasti ada rutinitas untuk kontrol
dan kembali ke rumah sakit. Julia membuat perjanjian lisan pada sang dokter.
**
bersambung...............
Tidak ada komentar:
Posting Komentar