DIOBA n’ ZEE
*
Mobil Fortuner sudah siap di depan rumah
super megah dan seorang wanita sekitar usia 25-an duduk di belakang stir
menunggu orang yang akan di bawa. Tak berapa lama kemudian yang di tunggupun
keluar dengan tampilan wanita karir usianya tidak lebih dari duapuluhdua tahun.
Ia masuk ke dalam mobil tanpa harus di bantu untuk membuka pintu.
“Selamat pagi Zee..” sapa sopir saat wanita
itu duduk di sebelahnya nadanya dingin dan tidak akan bicara kalau tidak di tanya
ia memang selalu menyapa dulu setelahnya diam dan diam.
“Pagi juga Dioba.” Sambut wanita itu dengan
nada semangat serta senyum indah seperti pagi-pagi sebelumnya. Mobil mulai
beranjak dari depan rumah menuju jalan raya lalu meluncur deras seakan sudah
biasa seperti itu. Sopir yang bernama Dioba Uku selalu fokus dengan
pekerjaannya tanpa menoleh kepada wanita di sebelahnya yang sudah sibuk dengan
dunianya sendiri, dunia kerjanya yang tidak pernah lepas dengan Gadget-nya. Sang ahli nyetir membawa
mobil merasa tidak pernah terganggu dengan kegiatan wanita tersebut dan memang
seperti itu adanya karena yang sibuk juga merasa santai berada di dalam mobil
meski ia memilih duduk di sebelah sopirnya. Wanita itu tidak pernah dandan di
dalam mobil tidak juga banyak bicara tapi dia punya wibawa yang kuat meski
kesan manja pada dirinya terkadang tak bisa ia sembunyikan.
“Hari ini ada meeting yang lumayan panjang dan aku rasa kamu bisa pulang atau
jalan-jalan ke mana dulu karena sepertinya akan keluar dari kantor sekitar
pukul tujuh malam.” Jelas wanita itu dan dijawab sopir dengan singkat dan
jelas.
“Ya.” Namun saat menjawab ia menoleh sekilas
pertanda ia menghargai teman bicaranya dan yang diajak bicara sudah hafal betul
sifat sopirnya. Nyaris setengah jam di jalan mobil baru bisa berhenti di depan
gedung perkantoran dengan tulisan ‘KEME JANG’ sebuah perusahaan yang bergerak
di bidang Periklanan.
“Oke, sampai jumpa lagi nanti.” Kata wanita
manis berambut panjang itu sembari membuka pintu mobil.
“Ya.” Sahut Dioba sebelum wanita itu
meluncur pergi menuju kantornya. Sesaat sebelum menstarter mobil ia menghela
napas panjang. Hari senin yang lumayan panjang untuk dilewati. Dioba membawa
mobil hitam mengkilap itu ke sebuah tempat yang sebelumnya pernah ia datangi.
Sampai di lokasi yang tidak begitu ramai ia mengambil tiket lalu meluncur ke
dalam dengan menenteng tas ranselnya.
Seorang pria paruh baya menyapanya. “Hai
Dioba Uku.... kamu ini tahu sekali kalau kolam di waktu senin dalam kondisi
bersih dan tidak terlalu ramai. Bagaimana kabar Zee Neba?”
“Kabar Zee Neba baik-baik saja. Ya pasti
karena semalam baru saja di kuras.” Sahut Dioba dengan nada santai sembari
melirik hamparan air kolam yang bersih dan tenang. Meski ada satu dua orang
yang sudah berenang di sana. “Bapak juga tahu aku ini kan pengangguran jadi
hari apa saja bisa datang ke sini.” Tambah Dioba.
Pria itu tersenyum. “Baiklah, setengah jam
lagi aku akan membawakan minuman kesukaanmu.”
“Terima kasih, Pak.” Dioba memberi salam
hormat pada pria yang sudah puluhan tahun bekerja di tempat itu dan ia bisa
melakukan apa saja, dari melayani tamu, membersihkan kolam sampai Taman. Dioba ke ruang ganti pakaian, di ranselnya
selalu ada pakaian renang yang kapan saja siap digunakan, bukan itu saja karena
selain pakaian renang ada juga sepatu kets
dan beberapa kaus olahraga volinya disamping itu ada satu barang yang tidak
pernah ia tinggalkan yaitu NoteBook-nya.
Setelah keluar dari ruang ganti Dioba
melihat ada rombongan wanita sekitar kepala empat di luar, mereka yang tidak
lebih dari tujuh orang sepertinya satu geng
yang siap berenang. Kalau sudah ada wanita berkumpul pasti ramai karena mereka
selalu punya bahan cerita yang tidak pernah ada habis-habisnya seolah merekalah
yang membuat kisah di dalam dunia ini. Di antara mereka tidak ada yang membawa
anak, Dioba melirik ke arah mereka sejenak namun ada salah satu dari mereka
menyimak sosok Dioba yang di matanya terlihat memiliki bentuk tubuh yang ideal
dengan rambut sebahunya.
“Wanita itu terlihat sendiri, apa kalian
yakin dia ke sini sendiri? Zaman sekarang banyak orang aneh, zaman prostitusi
juga zaman serba palsu.” Celotehnya dan Dioba yang sudah mendekati kolam tentu
saja tidak mendengar kata-kata itu.
“Ya, tidak sedikit orang yang menempuh
jalan instan untuk cepat kaya.” Yang
lain menambahkan.
“Ngapain sih ngomongin orang mendingan kita segera ganti baju renang...
nanti keburu siang panas mukaku akan gosong dan ngeluarin duit lagi buat perawatan.” Sindir yang sepertinya lebih
mementingkan kesehatan dirinya daripada usil dengan jalan hidup orang lain.
“Itu baru benar.” Wanita yang berwajah
ceria menimpali dan akhirnya mereka masuk ke ruang ganti sementara Dioba sudah menceburkan dirinya ke dalam kolam.
Meski tidak begitu paham tehnik berenang namun ia bisa berenang dengan gaya
kupu-kupu dan gaya dada. Tidak ada pemanasan yang ia lakukan sebelumnya hanya
saja ia berenang dengan santai dulu lalu ia menggunakan gaya kupu-kupu tanpa
harus melompat dari atas seperti yang sering dilakukan para perenang
sesungguhnya. Ia melakukan gaya itu dengan beberapa kali lintasan sampai ia
merasakan gerakan jantungnya semakin cepat dan kaki terasa mulai berat sehingga
mengharuskannya untuk berhenti sebentar lalu mengulangnya lagi. Sepuluh menit
berikutnya Dioba menyandarkan punggungnya di sisi kolam sehingga ia bisa
melihat semua orang yang ada di dalam kolam tak terkecuali geng yang tadi. Hanya satu dua yang benar-benar berenang sedangkan
yang lain tak ubahnya berada di tempat arisan. Suara mereka juga ada yang keras
dan mereka terlihat tertawa bahagia seakan tidak ada masalah yang mereka alami
di dalam hidup ini. Sekilas Dioba bisa membayangkan apa yang mereka pikirkan semua
hal itu ia simpan di dalam memori otaknya kemudian ia kembali berenang untuk
beberapa putaran lagi sampai ia benar-benar merasa badannya cukup enteng dan
segar meski lelah.
Dioba merasa sudah saatnya ia naik dan
mandi setelah selesai ia baru ke meja yang selama ini sering ia tempati dengan
kursi yang ada sedikit busanya. Ia duduk di kursi pojok ruangan dan
mengeluarkan NoteBook-nya. Tidak
sampai lima menit pria paruh baya itu mendatanginya dengan segelas kopi panas
dan roti bakar, ia meletakkan di atas meja Dioba.
“Ini, kamu pasti sudah kedinginan dan menu kesukaan kamu ini akan kembali
menghangatkanmu.”
“Terima kasih, Pak.” Ujar Dioba dengan
santun pada pria itu dan dibalas dengan anggukan serta senyum tulus seorang
bapak.
“Selamat menulis ya.” Tambahnya setelah
melihat NoteBook wanita itu sudah
terbuka. Dioba hanya membalasnya dengan senyum termanisnya. Sebelum menulis ia
menikmati kopi dan rotinya sedikit untuk menghangatkan tubuhnya seperti yang
dikatakan pria tadi. Cafe pagi-pagi belum ramai hanya ada beberapa orang yang
terlihat sedang sarapan sebelum berenang dan sebaliknya. Dioba memang bisa
fokus menulis di mana saja meski orang-orang lewat tak jauh darinya, ia juga
menggunakan headset menikmati
lagu-lagu klasik serta alunan gesekan biola dari Vanessa Mae. Saat lelah
menulis ia menggunakan waktu membuka internet untuk sekedar tahu apa yang
terjadi di dunia luar. Kebiasaan menulis Dioba telah diketahui oleh Zee karena
ia sering melihat Dioba menulis di dalam mobil sesaat setelah ia masuk ke dalam
mobil dan itu bukan sekali dua kali namun Zee tidak pernah bertanya apa yang
ditulis Dioba sebaliknya Dioba pun tidak pernah menjelaskan apa yang ia tulis.
Dioba selalu menulis apa yang dia alami dan lihat seakan ia sedang menulis di
buku Diary saja namun satu hal yang
tidak pernah ketinggalan di dalam tulisannya yaitu tentang Zee Neba.
*
Dioba mengamati teman-temannya yang sedang
berlatih bola voli di dalam gedung
olahraga itu tidak ada satupun yang benar-benar akrab dengannya karena dia tidak
gampang akrab dengan siapapun. Setiap minggu ada saja yang coba mengajaknya
bicara bahkan dari hati ke hati Dioba menanggapinya sekedar saja bahkan tidak
jarang ia pun mejadi tempat mereka berbagi kisah. Kisah keluarga, perselingkuhan
bahkan kisah yang paling rahasia pun. Namun jika ada yang mau tahu tentang
dirinya Dioba selalu memberi sekat dengan mereka. Ia merasa tidak ada yang
berhak tahu mengenai hidupnya. Ia selalu melenggang pergi dengan santai seolah
tidak ingin mengganggu siapapun. Tidak sedikit yang mempertanyakan siapa Dioba
sebenarnya, keluarganya, kekasihnya atau apakah dia sudah menikah apa belum.
Setiap kali mata orang asing memandang selalu memancing ingin mengetahui
tentang dia namun Dioba tetap santai.
Dioba lebih senang mengamati prilaku
teman-temannya di banding ikut campur urusan mereka. Semisal si A,
penampilannya bak Artis dan memang ia menarik dengan bentuk tubuh yang nyaris
sempurna, permainannya juga lumayan bagus namun dia termasuk pendatang baru di
tempat Dioba. Dia pastilah orang yang punya keuangan di atas rata-rata, pikir
Dioba. Ternyata tidak demikian adanya, dia hanyalah orang biasa yang punya sedikit keahlian di
bidangnya dan pasangan hidupnya juga tidak punya apa-apa.
Si B, nyablak,
ramah dan suka humor tadinya Dioba pikir dia hanya suka bercanda dengan masalah
pria ternyata dia serius dan benar-benar punya kebiasaan dalam hal main hati.
Dan ada lagi yang dulunya sempat Dioba kagumi melihat penampilannya yang
pendiam, baik dan nganyomi ternyata
dia tidak sesempurna yang dibayangkan karena dia sering membuat status di BB dengan kata-kata memaki tidak jelas
dan kata-katanya kasar.
**
Halo
Zee
“Zee..... sejak
aku berada di kota ini banyak sekali hal baru yang aku temukan, kamu mungkin
sudah menjumpai ribuan orang dalam perjalanan hidupmu tapi apakah kamu juga
bertemu dengan orang-orang seperti yang pernah aku lihat? Tak sedikit dari
mereka yang memandangku sebelah mata, bahkan dari mulut orang-orang aku dengar
mereka menganggap aku aneh. Apakah kamu juga berpendapat sama dengan mereka
Zee?
Tidak apa-apa kalau benar, aku tidak mau ambil pusing.... aku tidak mau
mengganggu pekerjaan kamu seperti halnya kamu juga tidak pernah mau ikut campur
urusanku. Tapi tahukah kamu Zee.....? tidak tahu mengapa aku susah sekali
mempercayai orang di lingkunganku.
Si Anu.... dia sudah menikah dan aku tak habis pikir mengapa dia pacaran
lagi? Apakah sekedar untuk bersenang-senang? Kalau demikian berarti dia tidak
bahagia dengan suaminya, jika demikian mengapa dia masih mempertahankan rumah
tangganya? Aku yakin kamu juga tidak bisa menjawab pertanyaanku karena kamu
juga belum pernah menikah.
Dia yang aku kenal beberapa bulan ini sudah banyak cerita tentang
kehidupan rumah tangganya padaku dan aku mengira dia hanya cerita kepadaku eh
betapa naifnya aku berpkikir demikian. Mana ada orang yang gampang cerita hanya
cerita pada satu orang, aku benarkan Zee?
Orang ini lain lagi Zee.... dia sudah berjilbab tapi punya kekasih di
lingkungan kami latihan dan anehnya dia sudah tidak sungkan-sungkan lagi
memperlihatkan keakrabannya dengan pria itu di depan kami dan yang lebih aneh
lagi tidak ada satupun di antara kami yang menegurnya. Aku jadi senyum-senyum
sendiri kalau ingat masalah ini.
Nah! Kalau wanita yang satu itu dia termasuk orang yang mapan karena
setiap latihan dia punya seragam baru dan seragam olahraganya selalu sama dari
ujung kaki sampai rambut. Aku rasa dia punya semua warna sepatu di dunia ini.
Pernah aku dengar dari salah satu anggota latihan kalau di antara mereka tidak
hanya punya niat untuk berolahraga sebab tidak sedikit yang datang untuk
sekedar tebar pesona lantaran di gedung samping ada juga para pria yang latihan
voli.
Ada seorang wanita yang juga masih single Zee.... tubuhnya tidak jauh
beda dariku untuk ukuran kurus, tapi dia lebih cuek dalam hal kepribadian
bahkan tidak segan-segan memperlihatkan sifat aslinya di muka umum yang mungkin
untuk ukuran anak gadis tidak etis dilakukan dalam pandangan orang awam. Tapi
semua itu adalah hak dia karena kebebasan itu muklak milik indivudi
masing-masing manusia. Benarkan Zee...?
Dan yang satu ini membuat aku benar-benar salut, dia wanita karir dan
punya hobi olahraga salah satunya bermain bola voli. Di samping untuk
refreshing dia memang suka bergaul dan seringkali memberikan pelajaran yang
baik bagi yang dekat dengannya, suka menjadi penengah. Bukan tipe penghasut
bukan juga sombong dan dia sudah sering tugas dinas di luar negeri dari foto
yang ada di BB-nya namun tidak sekalipun dia menyebutkan di mana lokasi foto
itu meski semua kami tahu di mana keberadaannya. Benar-benar wanita yang rendah
hati, apabila di antara anggota ada yang ribut-ribut sedikit dia selalu
menyarankan untuk tidak diperbesar dan segera diselesaikan. Kalaupun ada
masalah di dalam grup voli dia tidak menginginkan dibawa keluar gedung. Dia
adalah ketua tim kami di grup voli Zee. Kami tidak salah memilih dia kan? Di
antara kami memang punya hobi yang sama Zee tapi tidak semua kami hanya
menjalankan hobi itu dengan sungguh-sungguh seperti yang aku katakan tadi
karena ada beberapa orang yang punya modus di dalamnya meski hanya secuil namun
yang paling banyak adalah memang benar-benar hobi disamping itu untuk
menghilangkan kepenatan di luar semisal di rumah, di kantor atau apapun
profesinya karena umumnya yang hobi voli bisa tertawa lepas di lapangan sembari
berolahraga. Bugar lahir batin. Tapi kamu Zee..... apakah kamu tidak penat
seharian di kantor? Aku tahu.... kamu memang punya kebiasaan lain selain di
kantor yaitu belanja dan berduaan dengan kekasihmu tapi aku sungguh tidak mau
nanti setelah menikah kamu tidak bahagia, tidak mau kamu selingkuh dan tidak
mau kamu mengumbar kisah-kisahmu dengan wanita-wanita yang tidak bisa memegang
omongannya. Aku juga tidak mau melihat kamu menangis hanya karena disakiti
pasangan, karena kamu tidak akan pernah tahu apa yang akan aku lakukan jika itu
terjadi.”
Dioba menutup NoteBook-nya setelah menulis kata hatinya dengan panjang lebar di
lembaran Word, saatnya ia mandi
karena tidak ada istilah telat baginya untuk menjemput Zee. Zee sudah
menggajinya mahal yang mampu membuatnya membeli sesuatu, sehingga ia bisa
meneruskan hobi olahraganya dan memberinya ruang untuk menjalankan hobinya
tersebut. Tidak ada alasan baginya untuk mengecewakan Zee, selain baik dan
royal Zee perhatian padanya tapi setelah mengetahui siapa Zee sebenarnya semua
berubah drastis.
Fortuner itu sudah ada di depan kantor Zee
beberapa menit yang lalu, Dioba mengamati Zee melangkah dari pintu utama dan di
sebelah kanannya ada seorang pria yang sudah tidak asing di mata Dioba. Usia
pria itu tidak kurang dari 27 tahun. Dari gerak tubuh mereka bisa Dioba lihat
kalau pria itu sedang meminta sesuatu kepada Zee dan tidak bisa dikabulkan.
Kalau Zee sudah mengatakan tidak maka seperti apapun usaha pria itu tidak akan
bisa berhasil. Ada kesamaan sifat yang itu antara Zee dengan Dioba.
Sebelum Zee masuk ke dalam mobilnya pria
itu memegang tangan Zee sehingga memaksa Zee berhenti sejenak untuk
mendengarkan apa yang akan dikatakan kekasihnya.
“Aku ingin kamu ganti supir.” Sergahnya
membuat kedua alis Zee terangkat tidak menyangka kalau pria itu akan mengatakan
hal itu. “Aku serius.” Tambahnya.
“Masalah serius tidak bisa dibicarakan di
jalan, sekarang aku ingin pulang dan kita bisa bicarakan ini lagi besok. Apapun
alasanmu akan aku dengar besok, oke..”
“Zee..... ini semua demi kebaikanmu.” Tambah
pria itu seakan tidak rela kekasihnya disupiri oleh Dioba.
“Bimo... aku lelah sekali, sekali lagi aku
katakan kalau kita akan bicarakan ini besok.” Pinta Zee dan kali ini pria yang
bernama Bimo itu harus melepaskan kekasihnya untuk pulang bersama Dioba meski
ada kekhawatiran di wajahnya.
“Halo Zee.... selamat malam.” Sapa Dioba
saat Zee membuka pintu mobil.
“Malam juga Dioba....” balas Zee seperti
biasa tanpa ada sedikitpun hal yang berubah. Bimo mendekati mobil yang sudah
dinyalakan mesinnya.
“Dioba.... aku harap kamu bisa menjaga Zee
dan hati-hati kalau membawa mobil.” Tegasnya. Namun yang menjawab kata-katanya
malah Zee.
“Bim... kamu ini apa-apaan sih.” Zee tidak
suka Bimo bicara seperti itu kepada supirnya.
“Tidak apa-apa Zee.... tidak masalah.”
Sahut Dioba dengan santai tanpa tersinggung ataupun menyiratkan kata kesal
kepada Bimo. Detik berikutnya ia meninggalkan pria itu yang mungkin juga akan
segera pulang ke rumahnya. Setelah mobil meluncur indah di jalan raya Zee
melirik ke arah Dioba sejenak dan sempat mengamati wajah wanita itu dan tidak
ada yang berubah semua sama di matanya Dioba sama saja saat pertama kali dia
rekrut jadi supirnya. Dioba menyadari kalau Zee sedang mengamatinya dan ia juga
tadi sempat mendengar samar-samar apa yang dikatakan Bimo kepada Zee di tempat
parkir meski sejujurnya ia tidak suka dengan cara Bimo memandangnya apalagi
ikut campur dengan urusannya. Namun Zee pribadi tidak punya rasa takut
sedikitpun kepada Dioba dan sebentar saja matanya sudah mengantuk.
“Mataku ini tidak bisa diajak kompromi.”
Ujar Zee dan kalau sudah bicara seperti itu biasanya dalam hitungan detik saja
matanya sudah terpejam dan saat Dioba menoleh Zee sudah bersandar di joknya
dengan mata terpejam. Dioba hanya menghela napas dalam-dalam karena sejak ia
tahu siapa Zee sebenarnya ia merasa tidak bisa melakukan apa-apa karena rasa
sakit hati, benci dan juga rasa sayangnya kepada Zee melebur jadi satu sehingga
sukar sekali ia pisahkan. Terkadang terpikir olehnya untuk menyetir sekencang
mungkin lalu saat berada di depan jurang ia melemparkan mobil ke dalam jurang
sampai mereka berdua mati terbakar di dalam mobil hingga jadi abu.
Zee sudah tertidur pulas saat mobil sudah
masuk ke dalam pekarangan rumahnya. Rumah bagus itu sudah menyala terang dengan
lampu taman serta lampu rumah yang menyala di setiap sudutnya. Kini Dioba sudah
menutup kembali pintu pagar dengan remote yang ada di dalam mobil. Dioba
menoleh ke wajah Zee yang diterangi dengan lampu teras rumah yang menyala
terang. Wanita itu masih terlelap membuat Dioba tidak tega membangunkannya
sedangkan jarum jam di tangannya sudah menunjukkan pukul delapan malam.
Beberapa menit kemudian pengurus rumah yang kata Zee sudah puluhan tahun
bekerja dengan Zee muncul setelah tadi mendengar suara mobil majikannya masuk.
Dioba keluar dari mobil dan menyapa wanita paruh baya yang menyambut mereka.
“Selamat malam Mbok...”
“Malam Dio....” sahutnya dengan panggilan
Dio karena Dioba lebih senang wanita itu memanggilnya demikian. Pertama kenal
wanita itu ia memanggil Dioba dengan sebutan Non. “Non Zee mana? Tidur...?”
katanya seperti itu karena tidak melihat majikannya ikut keluar dan beliau
sudah tahu kebiasaan majikan manisnya itu senang sekali tidur di dalam mobil.
“Ya begitu deh, bangunkan saja.”
“Ya, ya tapi kamu jangan pulang dulu akan
Mbok buatkan kopi untukmu dan Non Zee.” Katanya tidak menginginkan Dioba
langsung pulang. Dan kali ini Dioba mengikuti apa kata wanita baik hati
tersebut. “Non..... Nona Zee... bangun, sudah sampai...” wanita itu
menggoyang-goyangkan bahu majikannya dengan perlahan sampai Zee membuka matanya
dan menemukan dirinya masih di dalam mobil.
“O ya ya....” ia melirik ke jok sebelah
yang sudah kosong.
“Non Dio sudah di dalam baru saja masuk,
Mbok mintanya jangan pulang dulu.”
“Oh..” Zee keluar dari dalam mobil dibantu
sama Mbok. “Buatkan kopi untuk Dioba dan aku juga ya Mbok.”
“Tentu saja Non.” Sahutnya sambil ikut
masuk mengikuti majikannya dari belakang. Di ruang samping Dioba terlihat santai
menyimak isi BB-nya karena ada
beberapa grup yang ia ikuti seperti tim volinya dan grup sekolahnya dulu. Zee masuk
tidak lewat ruang samping karena dia langsung masuk lewat pintu depan, masuk ke
kamarnya dan mandi, panggilan dari Bimo tidak ia gubris dan baru di angkat
setelah ia selesai mandi.
“Ya halo...., ini baru saja selesai mandi.
Aku tidak apa-apa.” Setelah mempersingkat obrolan Zee meletakkan ponselnya dan
ia ke ruang samping menemui Dioba. Dioba duduk di sofa empuk dan ruangan itu
lengkap dengan semua keindahan untuk memanjakan mata, dari hiasan sampai
televisi dengan ukuran besar. Tidak ada foto keluarga di dalam ruangan itu
semua hiasan dipenuhi dengan lukisan abstrak. Dioba tidak mengerti mengapa
ruangan itu semua serba abstrak, kecuali satu ukiran dengan kerajinan tangan terbuat
bahan dasar kulit sapi yaitu gambar harimau Sumatra yang dibingkai indah dan
kokoh di dinding bagian kanan. Dioba merasakan ada hal yang ingin diperjelas di
ruangan itu meski lukisannya serba abstrak. Dioba hanya beberapa kali saja
duduk di dalam ruangan itu.
Zee yang sudah mandi mendekati tempat duduk
Dioba dan ikut duduk di sebelahnya. “Besok ke sini seperti biasa tapi kita
tidak ke kantor.” Kata Zee dilirik sekilas oleh Dioba. “Kita tidak belanja atau
jalan-jalan tapi ada shooting iklan
di daerah Puncak.”
“Ya.”
“Dioba.... kamu boleh bawa kekasihmu kalau
mau karena setelah syuting selesai kita tidak langsung pulang tapi kalau
kekasihmu sedang kerja jangan dipaksain nanti malah kalian ribut.” Kata Zee
yang tidak biasanya menyinggung masalah pacar kepada Dioba.
Terdengar tawa halus dari mulut Dioba. “Aku
tidak punya pacar.”
“Benarkah?” pertanyaan itu terdengar antara
kaget dan senang namun Dioba tidak menanggapi pertanyaan Zee dengan kembali
menikmati kopi bikinan Mbok. “Rasanya tidak masuk akal kalau wanita mandiri dan
cantik seperti kamu tidak punya pacar.” Ia menoleh kepada Dioba.
“Memangnya harus punya pacar?” hela Dioba
dengan menekan kata harus dalam kalimatnya. “Sepertinya aku harus segera pulang
karena kamu mau istirahat.” Ia coba menghindari pertanyaan Zee selanjutnya tapi
Zee coba menahannya.
“Bagaimana kalau malam ini kamu menginap
saja di sini, sejak Ayahku sering tugas di luar dalam dua tahun belakangan rumah
ini menjadi sepi. Mbok dan pak Hasan tidak cukup membuat rumah menjadi ramai.”
Tutur Zee lalu meneguk kopinya. “Ya.. aku ingat kontrak kerja kita.” Lanjut Zee
karena Dioba masih diam. “Em... aku boleh tanya satu hal?”
“Ya.”
“Siapa orang yang paling kamu benci di
dunia ini?”
“Apa?” pertanyaan tidak di duga itu menyentak
Dioba.
“Apa tadi kamu berpikir aku akan menanyakan
siapa orang yang paling kamu cintai di dunia ini?”
“Tidak juga... aku pulang sekarang,
sampaikan salam sama Mbok dan pak Hasan.”
“Kamu tidak mau menginap meski aku
memohon?”
“Maafkan aku.” Dioba beranjak. “Selamat
malam Zee.”
“Selamat malam Dio....” kali ini Zee
memanggilnya Dio memaksa gadis itu menoleh sejenak namun tak membuat Zee
berdiri. Tidak biasanya Zee seperti itu karena setiap melepaskan Dioba dia
selalu berdiri bahkan mengantarnya sampai pintu depan terkadang sampai Dioba
naik motor kesayangannya. Motor itu selalu ia titip di rumah Zee, Dioba dari
rumah kontrakannya mengendarai motor begitupun pulangnya karena Zee tidak
mengizinkan dia pergi ke mana-mana mengendarai motor meski Dioba sebenarnya
lebih nyaman naik motor. Saat Dioba melangkah pergi Zee hanya menatap punggungnya
hingga mengilang tidak terlihat lagi. Kata-kata Bima masih terngiang di
telinganya tentang Dioba. Haruskah ia mengkhawatirkan Dioba? Apakah dia di mata
orang-orang terlihat menakutkan? Sepertinya tidak! Dioba orangnya baik,
bertanggung jawab dengan pekerjaannya dan tidak egois.
**
Nama Gadis
Itu Dioba Uku
“Zee.... Ayah mau kamu cari supir seorang
wanita selama Ayah dinas di luar.” Pria limapuluhan itu tidak ingin anak gadis
kesayangannya ke mana-mana di kawal supir pria karena supir pribadi mereka
sudah pensiun.
“Tidak gampang mencari supir wanita, Yah.
Apalagi yang mengenali lingkungan Jakarta dengan baik. Ayah ini ada-ada saja.”
Protes Zee memaksa ayahnya menatap anaknya dengan sungguh-sungguh.
“Kalau begitu kamu ikut Ayah saja, biar
staff-mu yang mengurus perusahaan itu untuk sementara.”
“Bagaimana sementara Ayah ada di luar bisa
dua bahkan sampai lima tahun masa Zee membiarkan usaha yang sudah dirintis
selama ini ditinggalkan begitu saja. Ya sudah... akan Zee usahan mencari supir
seorang wanita.”
“Benar ya sayang.... nanti Ayah akan bantu
kamu mencarinya.” Ujar pria itu penuh perhatian bukan lantaran istrinya sudah
tidak ada tapi sejak anak gadisnya lahir ke dunia ini apapun bisa ia lakukan
demi kebahagiaan anaknya. Dia tidak akan pergi ke luar negeri kalau anaknya
masih usia sekolah, sejak dulu ia selalu menunda kepergiaannya untuk urusan
bisnis. Tidak tahu mengapa gadis yang sudah menginjak usia 22 tahun itu masih
ia anggap anak kecil yang mesti diawasi setiap langkahnya meskipun ia selalu
mengajarkan Zee untuk hidup mandiri.
Beberapa hari sebelum ayahnya berangkat
masuk surat lamaran ke kantor Zee untuk ditempatkan di bagian apa saja. Saat
Zee menerima surat itu dari tangan personalianya ia agak kaget karena pelamar
mau ditempatkan di mana saja, seakan mengisyatakan kalau dia bisa melakukan apa
saja atau bisa saja sebaliknya karena tidak memiliki keahlian apapun ia rela
jadi cleaning service. Zee makin
penasaran lalu ia mengamati CV sang pelamar.
Namanya Dioba Uku, berasal dari luar kota,
usia tidak lebih dari 25 tahun pendidikan S1 Sastra Indonesia. Biodata umum
gadis bernama Dioba Uku tersebut mungkin lebih cocok jadi seorang bintang atau pengacara
yang berwajah dingin namun punya karakter yang kuat. Zee melihat nomor telepon
yang bisa dihubungi. Tidak perlu menunggu besok karena Zee meminta gadis itu
datang ke kantornya hari itu juga.
Gadis yang bernama Dioba Uku mendatangi
kantor Zee dengan mengendarai sepeda motornya. Motor besar yang pada umumnya
dipakai oleh kaum pria. Zee melihat kemunculan gadis itu di depan kantornya,
tidak bisa ia pungkiri kalau Dioba punya style
yang tidak biasa. Ia menunggu di dalam ruangannya dan memilih untuk duduk di
sofa bukan di kursi kerjanya. Seperti yang sudah ia duga sebelumnya. Dioba
muncul dengan pakaian yang tidak biasa bagi seorang wanita yang melamar kerja
di kantor resmi. Barangkali ia berpikir kalau kantor Zee bergerak dalam urusan
periklanan sehingga tidak harus formal-formal sekali. Bagi Zee memang tidak
masalah tapi apa yang ada di dalam pikiran Dioba tidak bisa ia pastikan.
“Selamat siang.....” sapa Dioba dengan
santai kala masuk ke ruangan Zee.
“Selamat siang, silahkan duduk.” Zee
mengisyaratkan kalau gadis itu harus duduk di sofa yang ada di sampingnya.
“Terima kasih.” Dioba duduk tanpa merasa
canggung seakan ia datang bertamu saja.
“Kita langsung ke pokok persoalan saja ya.”
Kata Zee serius memperlihatkan kalau dia adalah seorang pimpinan di tempat itu.
“Masih bekerja di tempat lain?” suaranya tenang.
“Sudah tidak lagi sejak minggu lalu.” Jawab
Dioba dengan sangat jelas.
“Apakah Anda merasa tidak salah tempat
melamar pekerjaan?”
“Tidak. Saya tidak harus melamar jadi
seorang editor di sebuah perusahaan penerbit atau melamar menjadi seorang jurnalis,’kan?”
Jawaban yang keluar dari mulut Dioba
memaksa Zee tersenyum namun ia tidak ingin memperlihatkan wibawanya jatuh di
depan Dioba. “Oke, saya mengerti dan sesuai dengan permintaan Anda di riwayat
CV saya ingin menempatkan Anda sebagai orang penting di perusahaan ini
khususnya untuk saya pribadi. Tapi sebelumnya saya ingin tanya satu hal, apakah
Anda bisa menyetir mobil?” Zee mengamati mata Dioba sesaat gadis itu menoleh
padanya dan sedang menatap matanya juga.
“Anda ingin menempatkan saya sebagai supir
kantor?”
“Anda keberatan?”
“Tidak.” Sahut Dioba disertai senyum tipis.
“Oke.... kita akan membuat surat perjanjian
kerja.” Kata Zee dengan semangat karena gadis itu bisa membawa mobil. “Di CV
Anda mengatakan berasal dari luar pulau Jawa, sudah berapa tahun Anda berada di
kota ini?” itu masih pertanyaan interviu.
“Tiga tahun.”
“Baiklah, tunggu sebentar.” Zee mendekati
meja kerjanya dan mengambil sesuatu di sana. Ia sudah mempersiapkan semuanya,
yaitu surat perjanjian kerja dengan Dioba. Lalu ia menyerahkannya kepada Dioba.
“Silahkan dibaca dulu... saya akan keluar sebentar.” Zee meninggalkan
ruangannya untuk menuju ruang sebelah di mana ia bisa menyendiri. Zee
menghubungi ayahnya.
“Ayah, aku sudah menemukannya.”
“Menemukan siapa?” tanya ayahnya belum
mengerti.
“Supir wanita.”
“Di mana?”
“Dia datang ke kantor, memang sih dia tidak
melamar sebagai supir tapi dia bisa nyetir dan aku percaya dia bisa aku
andalkan. Aku akan kirim fotonya kepada Ayah.” Zee mengirim foto Dioba yang
sudah ia foto dari lembaran CV Dioba. Beberapa saat berikutnya pria itu
mengiyakan usul anaknya. Ia tidak mengerti mengapa bisa satu pilihan dengan
anaknya.
“Ya sayang... Ayah setuju tapi tidak bisa
bertemu dengannya karena Ayah sudah harus pergi. Kamu berikan ponselmu sama dia
biar Ayah bicara langsung sama dia.”
“Baik Ayah.” Zee kembali ke ruangan di mana
Dioba telah selesai membaca surat MOU itu. “Ayahku ingin bicara sama kamu, dia
ada di telepon ini.” Zee menyerahkan telepon genggamnya kepada Dioba meski ia
tidak tahu apakah Dioba menyetujui surat perjanjian kerja itu atau tidak. Dioba
menerima telepon dari tangan Zee tanpa tahu apa yang akan dibicarakan ayah
gadis yang ada di hadapannya itu.
“Halo....”
“Ya Halo... saya Ayahnya Zee Neba, saya
tidak tahu siapa nama kamu dari mana asal kamu tapi anak gadis saya sudah
memilih kamu untuk menjadi supirnya jadi saya titipkan anak gadis saya sama
kamu selama saya tidak bisa memantaunya. Dia bilang bisa mengandalkanmu dan
percaya sama kamu maka saya juga akan mengandalkanmu. Sekali lagi saya akan
titipkan anak gadis saya sama kamu, terima kasih.” Pembicaraanpun selesai.
Dioba tidak sempat bicara apa-apa selain pertama dan terakhir, selebihnya hanya
pria itu yang bicara dan berulang-ulang mengatakan anak gadisnya seolah hanya
dia seorang di dunia ini yang memiliki anak perempuan. Dioba mengembalikan
telepon kepada pemiliknya.
“Bagaimana? Apa kita sudah bisa
menandatangani surat MOU itu?”
Dioba diam sejenak, tadinya ia pikir akan
menjadi supir kantor namun ia akan menandatangani surat kontrak sebagai supir
pribadi pemilik perusahaan. Gaji yang ditawarkan memang jauh di atas standar
UMR DKI. Apakah ia harus menolaknya dan kembali bekerja di perusahaan yang
selama ini telah memberikannya upah maksimal tapi ia merasa tidak nyaman.
“Apa saya bisa sedikit mengubah dan
menambahkan isi MOU itu?”
“Em...” Zee berpikir sejenak. “Baiklah,
kita akan buat kesepakatan bersama.” Kata Zee tanpa mendengar apa yang
dibicarakan Ayahnya dengan wanita dihadapannya. Ia memberikan sebuah pulpen
kepada Dioba. Dioba meraih pulpen dengan cepat dan ia sudah tidak sabar untuk
memberi usul bahkan meminta pendapatnya agar sesuai dengan keinginan kedua
belah pihak. Zee mengamati wanita yang sedang menulis dengan sangat cermat,
cepat dan tanpa ada pertanyaan sehingga dalam hitungan beberapa detik saja ia
sudah menyelesaikan tulisannya dan menyerahkan lembaran itu kembali kepada Zee.
Zee mempelajari apa yang sudah dituliskan Dioba di lembaran tersebut.
“Apa ada yang membuat Anda keberatan dengan
usulan saya?”
“Sejauh ini tidak, kita akan menandatangani
surat kontrak kerja selama tiga tahun ke depan dengan catatan, surat kontrak
tidak berlaku jika Anda memutuskan untuk menikah. Anda menikah berarti hubungan
kerja juga putus.” Itu tambahan dari Zee sedangkan Dioba menuliskan tambahan,
satu pihak pertama tidak perlu ikut campur urusan pribadi pihak ke dua
begitupun sebaliknya. Meski di dalam surat perjanjian kerja itu agak berlebihan
yang Zee berikan kepada Dioba dengan harapan Dioba tidak menolak seolah dia
memang sedang mencari orang yang susah di dapat.
“Sebelum menandatangani surat kontrak ini
apakah Anda tidak ingin mengetes saya dulu?” ujar Dioba untuk memastikan kalau
Zee tidak salah pilih.
“Anda punya SIM A, kan?”
“Punya.”
“Itu sudah cukup buat saya.”
Dioba tersenyum seakan menganggap Zee selain
sebagai gadis brilian juga terlalu gampang percaya sama orang lain. Apakah dia
tidak tahu kalau zaman sekarang banyak orang yang membuat SIM melalui calo dan tidak pandai menyetir tapi
punya SIM. Pikir Dioba.
“Oke.....”
Surat perjanjian pun ditandatangani dengan
tanpa ada paksaan dari salah satu pihakpun dan akhirnya Zee bicara lagi.
“Dioba Uku..... Anda sudah bisa mulai
bekerja hari ini... dan seperti di dalam perjanjian yang sudah kita
tandatangani... tidak ada kewajiban untuk menggunakan seragam.”
“Terima kasih.” Dioba mengulurkan tangannya
untuk berjabat tangan.
*
Bimo yang mengetahui kekasihnya punya supir
baru kurang respect karena seorang
wanita dan menurutnya kurang bisa diandalkan. Apalagi setelah melihat sendiri
Dioba Uku yang bersikap tidak seperti supir pada umumnya kepada majikan. Tidak
memanggil Zee dengan sebutan ‘Non’ atau ‘Tuan Putri’
“Dari mana kamu mendapatkan gadis yang
bernama Dioba itu, sayang?” ia membahasnya saat mereka makan siang di sebuah
kafe.
“Dia melamar ke kantor.”
“Tapi dia kan tidak melamar sebagai supir
pribadi dan dia bisa masuk ke bagian lain.”
“Tapi yang sedang dibutuhkan adalah supir
pribadi. Dia oke kok, tahu jalan meski
dia berasal dari luar kota dan membawa mobil juga keren. Tidak cerewet,
disiplin juga bertanggung jawab.”
“Yah, tentu saja dia tahu jalan meski dia
ambil D3-nya di daerah asalnya tapi ia menyelesaikan S1 di kota ini.”
“Kok kamu tahu?” Zee mengamati Bimo dengan
seksama.
“Kemarin aku tanya-tanya sedikit padanya,
kamu itu kekasihku dan aku tidak mau terjadi apa-apa dengan kamu nanti. Kalau
boleh aku sarankan.... kamu cari supir lain atau nanti biar aku yang
mencarinya.”
“Aku mengontrak Dioba tiga tahun dan satu
hal yang harus kamu tahu.... dalam perjanjian kami tidak diizinkan ikut campur
urusan pribadi.” Jawab Zee dengan datar.
“Apa? Masa ada perjanjian semacam itu? Kamu
kok tidak tanya aku dulu sebelum memutuskan sesuatu?” Bimo merasa diabaikan
dengan keputusan sepihak dari Zee tapi bagi Zee pribadi yang penting dia sudah
memberitahukan masalah itu kepada Ayahnya.
“Jangan terlalu membesarkan masalah ini dan
aku ingin fokus dengan pekerjaanku dan kamu juga seperti itu aku rasa.” Zee
coba menenangkan pikiran Bimo yang mulai khawatir berlebihan. Zee tahu apa yang
dia lakukan dan kalaupun Dioba melakukan hal yang mencurigakan dia akan segera
mengambil sikap dan bisa menghentikan wanita itu secara sepihak. Tapi sejauh
ini ia merasa nyaman-nyaman saja bahkan melihat sikap Dioba membuatnya tidak
memandang gadis itu sebagai supir, tepatnya sebagai rekan kerja.
*
Penyelidikan Bimo tidak hanya sampai di
situ, ia mengikuti Dioba sampai ke tempat kontrakannya dan memastikan kalau
wanita itu benar-benar bekerja dan tidak ada maksud lain di dalamnya. Sekali
dua kali tidak ia temukan kejanggalan sampai ia pun sempat bertanya ke
orang-orang yang ada di sekeliling tempat tinggal Dioba, hasilnya baik-baik
saja untuk sejauh ini. Satu hal yang Bimo tidak tahu... siapa Dioba sebenarnya?
Bimo tidak ingin kehilangan Zee apalagi ada
pihak lain yang coba-coba mengacaukan hubungannya dengan Zee. Tidak seorang
pria ataupun wanita yang boleh memisahkan dia dengan Zee. Dan setelah melihat
Dioba akhir-akhir ini Bimo mulai tidak tenang meski ia belum menemukan ada
kejanggalan yang signifikan karena bukan tidak mungkin ada modus yang
tersembunyi tersimpan di benak Dioba dengan menjadi supir pribadi Zee.
Zee memang wanita baik yang tidak pernah punya
pikiran jelek kepada orang lain namun apakah semua orang bisa seperti dia?
Karena tidak semua niat baik orang akan di terima dengan baik tanpa adanya
keinginan untuk memanfaatkan kebaikan orang. Zee yang dibesarkan oleh Ayahnya
yang sudah menanamkan untuk selalu berpikiran positif kepada semua orang dan
itu susah diubah meski banyak orang mengatakan dia harus lebih waspada dengan
budaya orang Indonesia yang serba palsu, meski sudah seringkali mengalami hal yang
tidak diinginkan Zee tetap menjadi dirinya yang baik hati.
**
Zee Neba
Pagi itu mobil yang di bawa Dioba meluncur
ke arah Puncak Bogor, kali ini Zee membawa sekretarisnya ikut serta dan mereka
duduk di belakang. Seperti biasa Dioba tidak banyak bicara. Sekretaris Zee
mengamati sosok supir bosnya yang di matanya wanita itu terlihat tidak biasa
tapi dia tidak tahu apa yang menarik dari sosok itu dan ia tidak tahu dari mana
bosnya mendapatkan supir seperti itu.
Setelah mobil berjalan sekitar setengah jam
telepon Zee berdering panggilan masuk dari Bimo. Menyadarkan Zee kalau dia
punya janji untuk mengatakan masalah Dioba dengan Bimo hari itu.
“Halo.....?”
“Sayang..... kamu sudah berangkat ke
kantor?”
“Hari
ini aku ke Puncak, maaf aku lupa kasi tahu kalau hari ini ada jadwal ke
Puncak.”
“Aduh..!!” keluh Bimo khawatir. “Sama Dia?”
tegas Bimo lagi.
“Aku mohon jangan sekarang....” pinta Zee
tidak ingin membahas masalah yang saat ini dianggapnya tidak penting karena
pikirannya terfokus dengan pekerjaan yang akan dilaksanakan di area Puncak. Ia meminta
pembicaraan dihentikan saja apalagi akhir-akhir ini Bimo rada banyak menuntut
dan cerewet.
Sekretaris menoleh ke arah bosnya dan sudah
bisa ia pastikan kalau yang barusan telepon adalah Bimo. Ia menyadari kalau
belakangan ini bosnya tidak terlalu perhatian dengan Bimo karena beberapa kali
pria itu tidak bisa menghubungi Zee mengalihkan telepon ke dia dan bertanya
hal-hal yang tidak penting meski separuh wanita menganggapnya sebagai
perhatiaan namun bagi Zee yang dididik ayahnya menjadikan dia wanita mandiri,
tegas dan kuat tidak memerlukan hal seperti itu yang ke mana-mana minta
dijelaskan, minta di antar, minta makan bersama, minta pulang bersama bahkan
tidak sedikit hal yang membuat waktu terbuang percuma.
Saat itu Bimo pernah mengatakan. “Sayang...
kamu kok tidak pernah bertanya padaku semisal ‘sudah makan belum? Jangan tidur
malam-malam, kerja jangan sampai lupa waktu’ kenapa? Kamu nggak sayang ya sama
aku....? padahal aku selalu menyediakan waktu untuk bertanya seperti itu padamu.”
“Dengan bertanya seperti itu apakah sudah
jaminan kalau kamu sayang banget sama aku?” Zee malah balik bertanya dengan
ringan namun cukup membuat Bimo terdiam.
Sesaat sampai di lokasi klien Zee menelepon
dan mengatakan kalau artis yang membintangi iklan mereka diganti dengan seorang
pria dan pria itu sudah ada di lokasi. Pemberitahuan yang mendadak itu membuat mood Zee juga mendadak jelek.
“Ada apa?” sekretarisnya bertanya.
“Aku paling tidak suka hal-hal yang seperti
itu...” sahut Zee dan itu belum membuat sekretarisnya mengerti dan yang ia tahu
pasti ada hal yang sudah membuat bosnya sangat kecewa. “Dio.... bisa agak
cepat....?” ia meminta Dioba menyetir lebih cepat karena tidak sabar ingin
tahu seperti apa tampang orang yang
menggantikan pemeran utama di dalam iklan yang sudah ia beserta staff-nya buatkan
naskahnya.
“Ya, bisa.” Jawab Dioba dengan tenang dan
mobilpun mulai melaju lebih cepat dari sebelumnya bahkan ada kesempatan
menyalip sedikit saja tidak ia sia-siakan membuat sekretaris Zee agak menahan
napas.
“Mm... hati-hati Dioba....” ujarnya dengan
nada cemas.
“Ya.” Dioba menyahut kata-kata sekretaris
Zee dan tetap fokus dengan pekerjaannya, jalur Puncak pada hari kerja tidak
terlalu macet sehingga mereka lebih cepat sampai tujuan.
Beberapa kru sudah ada di lokasi, melihat
Zee datang klien dari pemilik produk menghampirinya.
“Zee.... sorry nih, ini di luar skenario kita. Artis kita mengalami kecelakaan
kecil dan cidera makanya posisinya kita ganti.” Pria itu adalah wakil dari
pihak produk.
“Tapikan kita bisa menunda syuting, apalagi
hanya cidera kecil.” Zee mulai memperlihatkan gayanya.
“Tidak bisa, bos maunya syuting harus jalan.”
“Kenapa tidak mengambil pemerannya tetap
seorang wanita? Memangnya bintang iklan wanita di negeri ini terbatas?” suara
Zee masih dalam posisi sebagai klien produk yang tidak bisa dianggap enteng.
“Mm.... gimana ya? Aku rasa tidak masalah
kalau produk kami diperankan oleh seorang pria. Bos juga tidak masalah
sepertinya.” Pria muda itu masih coba membela diri. Zee duduk di kursi yang ada
di teras villa sedangkan kru yang lain terlihat masih santai seolah menunggu
aba-aba dari para pemilik acara.
“Sejujurnya saya tidak suka jika sebuah
produk diiklankan oleh artis yang sendirinya tidak menggunakan produk tersebut
semisal begini... hindari pria mengiklankan sabun colek, sabun cair pencuci
piring bahkan alat pembersih kompor karena itu bukan pekerjaan seorang pria
sehingga akan terasa aneh kalau seorang wanita bila membintangi iklan mobil
Truk baru, iklan atau iklan memasang genteng... saya pikir kalian sudah
mengerti jalan pikiran saya selama ini.” Tutur Zee.
“Jadi gimana kelanjutannya?” pria itu minta
pertimbangan Zee.
Zee paling tidak suka bekerja dengan orang
yang suka ambil keputusan mendadak dengan alasan yang sukar diterima apalagi
menyangkut dengan profesinalitas. “Beri waktu saya bicara dengan bos Anda.”
Kata Zee sambil meraih ponselnya untuk menghubungi kliennya.
Zee tidak akan takut kehilangan klien jika
suka semena-mena, ia bukan tipikal penjilat dan masih menganut aliran
idealisnya. Bukannya wanita yang gila pujian, suka mencoba banyak hal,
menghargai orang yang pantas dihargai. Kerja demi prestasi, menyenangkan orang
jujur karena dia tidak bisa disogok.
**
Dunia
Dioba
“Dio.... besok pagi tanggal merah, kamu
latihan voli kan? Aku tidak ada jadwal ke mana-mana tapi aku ingin ikut kamu
latihan. Mohon jemput aku besok ya....”
“Apa?” Dioba tidak pernah menyangka Zee
ingin masuk ke dalam dunianya, membayangkannya saja tidak pernah. Gadis yang
selama ini ia perhatikan selalu menggunakan pakaian kantor dan kasual, selalu
menggunakan laptop, Iphone, berhak tinggi meski sering juga
mengenakan sepatu santai. “Untuk apa?” tambah Dioba dengan cepat.
“Yah.... ingin tahu saja seperti apa itu
bermain voli karena aku penasaran mengapa kamu begitu menyukai permainan itu
siapa tahu aku juga menyukainya dan ikut bergabung. Selama ini aku selalu sibuk
dengan urusan pekerjaanku tanpa pernah berpikir untuk olahraga.”
“Kenapa tidak ambil Yoga saja? Aku rasa itu
lebih pas.”
“Tapi besok aku ingin ikut denganmu.” Zee
masih bersikeras untuk tetap ikut sedangkan Dioba merasa enggan untuk mengajak
gadis itu sehingga terpikir olehnya untuk membatalkan latihan besok tapi
rasanya tidak mungkin karena dia sangat menyukai olahraga tersebut. “Boleh
ya....? aku mohon... kita naik motor kamu.” Ucapan Zee kali ini membuat Dioba
lebih kaget lagi. Bukan ia tidak pernah melihat Zee kena panas atau dibasahi
oleh air hujan sebab kadangkala ia mengawasi syuting iklan di teriknya panas
matahari juga dinginnya air hujan jika syuting harus selesai dalam keadaan
seperti itu tapi naik motor ditengah macetnya lalu lintas Jakarta dan panas
serta debunya jalanan tak bisa Dioba bayangkan kalau Zee akan melalui itu.
“Aku tidak punya helmet dua.” Dioba
berusaha menghindar dari keinginan Zee untuk ikut dengannya.
“Di rumah ada helm Ayah. Aku bisa
menggunakannya.” Sahut Zee membuat Dioba seolah mati kutu dan keinginan Zee
yang kuat itu kembali memaksa kebencian Dioba kepada gadis itu muncul lagi.
“Pukul 07.30 aku sudah berangkat.”
“Tidak masalah.” Zee tambah semagat.
Dioba tidak bicara lagi selain memacu
kecepatan mobil dengan seksama namun bayangan besok seakan sudah terjadi di
depan matanya. Dioba mulai menerka apa yang ada di benak Zee menyangkut
dunianya. Selama ini Zee mungkin tidak pernah mendengar dunia lapangan seperti
apa teman-temannya memaki orang kalau sedang bermain jelek. Yang tidak kuat
akan terhempas yang kuat akan bertahan itupun karena dua hal pertama karena
mereka benar-benar menyukai olahraga itu dan yang terakhir memang ada yang
bermuka tembok. Tidak peduli orang bicara apa yang penting dia datang, main dan
senang-senang lalu pulang. Meski tidak jarang ada yang hanya sekedar
menghindari pekerjaan rumah dalam arti bukan menghindar tapi mencari suasana
baru karena dari pagi hingga malam berkutat dengan pekerjaan rumah ataupun
urusan kantor. Tapi Dioba yakin kalau kedatangan Zee besok adalah sekedar untuk
melihat-lihat saja tidak lebih dari itu. Kini suasana hati Dioba mulai berubah
yang tadinya tidak suka Zee datang ke tempat latihannya kini malah ini segera
pagi dan dengan cepat mengatakan kepada Zee ‘inilah duniaku’ selama ini Dioba
tidak menyukai orang-orang mengetahui apa yang dia lakukan dan apa pekerjaannya
karena dia senang menjadi dirinya sendiri tidak ada yang mengusik. Dia nyaman
seperti itu tanpa ada yang ikut campur.
Setelah mengantar Zee pulang dari kantor
Dioba langsung kembali ke kontrakannya setelah sebelumnya Zee mengingatkannya
untuk tidak lupa menjemputnya esok pagi dan tentu saja Dioa merasa ada yang
aneh karena selama ini dia selalu pergi sendirian ke gedung olahraga dan besok
akan datang bersama Zee yang punya dunia lain dengannya dan bukan itu saja
mereka juga selain punya dunia berbeda juga profesi yang ibarat langit dan
bumi.
Pukul 21.00 WIB Dioba membuka laptopnya dan
kembali menulis apa yang ada dipikirannya mengenai hidup, yang ia alami, lihat
dan dengar bahkan apa yang ia inginkan di dunia ini. Tidak peduli apa yang
orang lain inginkan darinya namun Dioba berusaha menjadi orang yang berguna,
tidak menyakiti orang lain dan tidak ingin merugikan orang lain serta berharap
bisa membahagiakan orang namun semua keinginan itu menghilang seperti awan yang
dihempaskan oleh angin kencang yang terkadang seperti menampar wajahnya hingga
terasa sakit dan perih.
Tiga jam sudah ia lewati malam itu dengan
hasil beberapa halaman word terisi
penuh tanpa ia baca ulang apa yang tertera di sana. Kelelahan dan rasa kantuk
memaksa Dioba lekas tidur hingga pajar menjelang. Saat bangun dan seperti biasa
ia melakukan rutinitas pagi setelah itu baru ia membuat secangkir kopi. Di
lemari pendingin yang tingginya tidak lebih dari satu meter Dioba mengambil biskuit
bergizi dan mulai menikmatinya bersama kopi pagi. BB-nya terus berbunyi pang
ping dari obrolan grup volinya. Dioba
tidak banyak ambil bagian dalam obrolan itu meski terkadang ada yang
berpendapat kalau anggota grup itu tidak suka menulis dan lebih suka membaca
saja. Isi obrolan terkadang membuat Dioba tersenyum, ada yang lucu, ada yang
kesal bahkan ada banyak selisih paham di dalamnya. Dioba hanya mengomentari
hal-hal yang penting-penting saja. Setelah tahu kaus voli warna apa yang harus
dipakai Dioba menghabiskan kopinya lalu mandi.
Di samping kamar mandi ada beberapa stel
pakaian kotor di dalam ember yang belum sempat di cuci. Dioba meliriknya
sekilas dan berniat mencucinya sore.
Dioba sudah siap dengan seragam voli karena
ia tidak ingin sampai di GOR lalu sibuk menggantikan kostum seperti kebanyakan
temannya yang sampai lokasi menghabiskan sekitar lima belas menit untuk sekedar
menggunakan perlengkapan olahraga dari baju, celana juga deker karena ia lebih suka melakukan pemanasan sebelum bermain. Dioba
juga memasukkan handuk kecil, kaus ganti dan beberapa keperluan lainnya seperti
alat mandi.
Sebelum berangkat ia mengecek motornya
terutama bahan bakar karena ia tidak mau berhenti di tempat pengisian bensin
kalau sedang membawa Zee kecuali kalau ia sedang menyetir mobil Zee. Sampai di
rumah Zee tepat sepuluh menit sebelum pukul setengah delapan dan diluar dugaan
Dioba. Gadis itu ternyata sudah siap di teras rumahnya dengan menggunakan
T-Shirt warna merah, celana panjang olahraga warna hitam dan sepatu kets yang selama ini mungkin ia suka
pakai untuk jogging. Ia tersenyum
menyambut Dioba yang kini juga terlihat lain di matanya karena ia jarang
melihat Dioba mengenakan pakaian semacam itu meski selama ini ia tahu kalau
Dioba sering menggunakan pakaian kasual dan tidak ia sangka kalau Dioba lebih
elegan mengenakan seragam itu dengan sepatunya.
“Pagi Zee....” sapa Dioba.
“Pagi juga Dio..... Sepuluh menit lagi kamu
tidak datang maka aku akan meneleponmu.” Perkataan mengandung banyak makna.
Memaksa Dioba tersenyum karena ia tadi berpikir akan menemukan Zee masih mandi
atau setidaknya masih sibuk mencari baju apa yang harus ia pakai.
“Berangkat....?!” tambahnya sambil meraih helm yang sudah tergeletak di bangku
panjang di sebelahnya. Namun Dioba masih belum bergeming seakan mencari apa
yang kurang pada diri Zee.
Ups! Ya, jaket. “Naik motor harus
mengenakan jaket.”
Zee mengamati dirinya sejenak lalu menatap
Dioba. “Harus?” katanya. “Baiklah. Tunggu sebentar.” Gadis itu meluncur ke
dalam tanpa berteriak memanggil Mbok yang siap kapan saja ia butuh. Zee memang
jarang bersikap seperti anak majikan pada umumnya yang seratus persen
mengandalkan tenaga pengurus rumah. Lagi-lagi itu hasil didikan ayahnya yang
membiasakannya agar mandiri.
Beberapa detik berikutnya Zee sudah ada di
belakang punggung Dioba dan itu hal baru baginya meski jago membawa mobil Zee
tidak bisa mengendarai motor. Ada suasana lain yang tadinya ia takuti dan kini
menjadi keasikan tersendiri duduk di atas motor.
“Dio.....?” panggil Zee dari belakang
mengajak Dioba berbincang. Karena Dioba tidak mendengar panggilan itu memaksa
Zee agak mengeraskan suaranya.
Dioba agak memiringkan kepalanya sedikit
agar suaranya bisa terdengar oleh Zee. “Kita di atas motor tidak baik banyak
ngobrol, maksudku suara kita akan di bawa angin juga agak terperangkap di dalam
helm jadi tidak akan kedengaran.” Jelas Dioba dengan suara pelan, lebih keras
dari bicara jika di dalam mobil meski ia sudah menurunkan kecepatan motornya.
Mendengar penjelasan itu sangat dimengerti oleh Zee sehingga ia tidak bicara
lagi selain menyimak semua yang bisa ia lihat dari atas motor. Selama ini ia
selalu berada di atas mobil dan kini ia bisa merasakan bagaimana posisinya
selama ini yang seringkali melihat motor menyalip bahkan dengan lincahnya
meliuk-liuk di jalan raya di antara ramainya ribuan mobil. Kendaraan roda dua
itu ternyata memiliki kerawanan untuk terbalik sebab kena senggol sedikit saja
oleh kendaraan lain dia akan roboh. Zee jadi salut juga dengan pengendara roda
dua yang bisa mempertahankan keseimbangan dua roda itu meski tak dipungkiri
sudah banyak sekali kasus kecelakaan motor.
Zee tiba-tiba membayangkan dirinya jadi
Dioba yang bisa melakukan apa saja seperti saat ini. Namun tidak mengurangi
kenyamanannya berada di belakang Dioba meski ada kecemasan saat motor melaju
kencang hingga membuatnya memeluk Dioba. Hal itu cukup mengagetkan Dioba seolah
baru menyadari ada orang yang diboncengannya. Dioba kini merasa ada orang lain di
dunia ini selain dirinya karena sudah puluhan tahun ia merasa hidup sendiri.
Itu sentakan yang luar biasa menakjubkan sekaligus ada rasa yang mengiris-iris
hatinya sampai membuat Dioba sedikit susah bernafas. Duapuluh menit berikutnya
motor Dioba sudah berhenti di halaman parkir gedung olahraga.
Zee berdecak kagum saat melihat kendaraan
memenuhi halaman parkir dari kendaraan roda dua hingga roda empat.
“Dio... apakah separuh orang Jakarta
melakukan olahraga di sini?” Zee bertanya saat menurunkan kakinya dari atas
motor Dioba. Dioba mengamati sekilas suasana parkiran yamg memang sudah penuh.
Bukan mereka terlambat tapi kondisinya memang seperti itu sebab dari pukul enam
pagi orang sudah pada berdatangan dari berbagai jenis olahraga. Jadwal
masing-masing memang berbeda. Ada anak sekolah yang memang sedang mengambil
nilai meski tidak pada waktu sekolah. Para ibu-ibu muda bahkan lanjut
mengadakan senam kebugaran di lapangan yang berlokasi di tengah dan jumlah
mereka sampai ratusan. Segala jenis olahraga memang ada di tempat itu,
anak-anak usia SD hingga mahasiswa ada. Dari yang memang rutin menjadi anggota
bahkan yang datang dikala ada waktu saja. Seperti Dioba misalnya yang datang
kala libur kerja saja.
“Pastinya tidak karena kalau hari libur
setiap tempat memang penuh seperti di mol, tempat hiburan, tempat makan bahkan
gedung bioskop.” Sahut Dioba menjawab sesuai dengan kenyataan yang selama ini
pernah ia saksikan sendiri. Ia mengajak Zee menuju gedung olahraga yang
beberapa bulan ini ia datangi. Tempatnya
ada di gedung urutan tiga karena gedung paling depan untuk para pesenam, yang
ke dua untuk olahraga badminton, dan bangunan ke tiga untuk basket, bola voli
dan bersebelahan dengan olahraga Yudo.
Saat jalan di sisi gedung Dioba dan Zee
berpapasan dengan dua orang teman Dioba yang sudah saling kenal dan bermain di
gedung yang sama.
“Hai Dio...... apa kabar?” mereka berjabat
tangan lalu cium pipi kiri dan kanan lalu keduanya menoleh kepada Zee. “Hmm...
baru bergabung ya?” tanya mereka melihat tampilan Zee layaknya pemain baru.
Setelah mereka berjabat tangan Dioba sekilas menjelaskan kalau Zee datang hanya
ingin melihat-lihat saja. Meski mereka melihat hubungan Zee dengan Dioba tidak
biasa namun mereka tetap diam meski ada pransangka yang mulai muncul. Mereka
sama-sama masuk ke dalam yang ternyata sudah ada beberapa orang di dalam. Di
samping pintu di bagian dalam ada seorang wanita duduk di depan meja kecil dan
sepertinya tempat absen bagi yang datang latihan. Setelah memberi salam,
menulis di kertas yang sudah tersedia dan memberi paraf di sana.
Dioba meletakkan tasnya di sisi lapangan
bergabung dengan tas temannya yang lain, setiap mereka bertemu satu sama lain
selalu memberi salam dan berjabat tangan meski tidak semua melakukan cium pipi
kiri dan kanan dan tentunya tak ketinggalan menanyakan siapa teman Dioba karena
tidak biasanya ia membawa teman dan juga tak perlu menanyakan apakah Zee akan
ikut bergabung untuk latihan atau sekedar menemani Dioba.
Dioba mengambil ikat rambutnya karena ia
tidak suka rambutnya tergerai kalau lagi main voli dan kalau sudah diikat
menjadi lebih enteng dan tidak mengganggu aktivitasnya. Ia lalu menatap kepada
Zee yang saat ini bukan sebagai bosnya tapi sebagai orang lain yang tidak bisa
disebutkan sebagai apa. Bukan teman, bukan suadara bukan juga sebagai apapun
karena Dioba sendiri tidak bisa menyebutkan gadis itu sebagai apanya di tempat
itu.
“Mau ikut pasing-pasingan?” tawar Dioba.
Zee menggeleng. “Aku duduk di sini saja.”
Sambil melirik bangku yang bersebelahan dengan tas para anggota pemain.
“Ya sudah tidak apa-apa... tapi kamu tadi
pagi sudah sarapan kan?” kembali Dioba bertanya dan itu sungguh berbeda sekali
kalau dia jadi supir Zee. Zee merasa ada perhatian lain yang tidak ia terima
dari Dioba hari itu. Zee ibarat seorang anak kecil yang ia bawa ke tempat refreshing dan takut anak itu dalam
keadaan perut kosong. Mengingat itu membuat Zee tersenyum tipis dan berharap
mendengar perhatian seperti itu tiap hari dari Dioba.
Zee mengamati setiap orang yang ada di
dalam ruangan itu dan ternyata di dalam gedung itu ada dua lapangan bola voli
dan yang di sebelah sana untuk para pria dan dari tadi mereka sudah sibuk
bermain karena sepertinya sudah komplit. Sama seperti yang wanita sebab usia
para pemain rata-rata empatpuluhan meski tidak dipungkiri satu dua masih muda,
kalaupun mereka sudah menikah paling-paling anak mereka baru satu orang. Tidak
di mana-mana zaman sekarang ini setiap orang yang memiliki ponsel dan punya
kesempatan selalu melakukan selfie.
Seperti yang dilakukan sebagian teman Dioba di lapangan, dan spontan salah satu
teman Dioba menarik Dioba untuk foto bersama. Setelah itu ia memanggil Zee agar
foto juga, melihat Zee ikut bangun memaksa Dioba mengambil ponselnya agar
gambarnya dengan Zee hanya ada di ponselnya saja.
“Pake
yang ini saja, tolong ya.” Ia minta temannya untuk mengambil gambar. Dioba
melingkarkan tangannya ke bahu Zee dan dengan spontan Zee pun melingkarkan
tangan kirinya di pinggang Dioba. Akhirnnya ada gambar Zee berdua dengan Dioba
meski dengan background lapangan bola
voli yang ada di dalam gedung olahraga. Tidak apa-apa Zee suka itu meski apapun
namanya ia tidak menyangka dan tidak pernah terpikir akan punya foto berdua
dengan supirnya.
Dan dari anggota wanita masih pada yang berdatangan,
ada yang membawa anak dan ada juga di antara anak mereka menggunakan seragam
bola voli dan sepertinya usia mereka tidak lebih dari usia SD. Wanita-wanita
itu membiarkan anak mereka menunggu di sisi lapangan dekat dinding gedung
dengan segala macam makanan yang sudah disiapkan dari rumah. Wanita-wanita itu
tidak melewati Zee untuk sekedar bertegur sapa dan berjabat tangan. Zee hanya
mengangguk dan menciptakan sebuah senyuman untuk mereka yang menyapanya dan
menyambut tangannya. Bisa ia rasakan betapa mereka saling kompak bahkan terasa
ada jalinan kekeluargaan di antara mereka. Kini Zee mengamati Dioba yang sudah
masuk lapangan untuk pemanasan. Ia melakukan lari beberapa kali putaran meski
tidak semua melakukan hal itu. Ada yang pasing dengan yang lain, ada yang
sedang melakukan lompat-lompat ringan, dan semua hal pemanasan sebelum bermain
di lakukan masing-masing dengan gaya sendiri-sendiri. Namun masih ada saja yang
sibuk foto-foto bersama. Dan setelah berkumpul sekitar limabelas orang mereka
membuat lingkaran kecil karena ada yang memberi aba-aba untuk berdoa. Satu dua
dari mereka ada yang menggunakan hijab dan yang mengarahkan untuk berdoa bukan
dari salah satu yang berhijab. Sepertinya siapapun yang bersedia memimpin doa
tidak masalah bagi mereka.
“Assalam’mualaikum teman-teman...” dijawab
serentak dari lingkaran kecil itu dan setiap bahu mereka saling bersentuhan.
“Alhamdulillah hari ini kita bisa lathian lagi dan sebelum latihan seperti
biasa kita akan berdoa dulu menurut kepercayaan kita masing-masing. Semoga hari
ini kita diberi kebahagiaan, keberkahan dan kesehatan... berdoa mulai.....”
kata yang memimpin doa dan beberapa detik selanjutnya. “Berdoa selesai....”
setelah berdoa selesai semua wanita itu mengumpulkan tangan di tengah lalu
meneriakan yell yell bersamaan.
BLJ...!!!
Semua yang wanita-wanita itu lakukan tidak
lepas dari pengamatan Zee yang duduk tenang di bangku kayu panjang yang memang
sudah tersedia di sisi dinding gedung. Seorang pria yang juga tidak kurang dari
usia empatpuluhan masuk ke lapangan dan bergabung di antara wanita-wanita itu.
“Oke.... pada sudah selesai melakukan
pemanasan, kan? Sekarang kita latihan nyemes
sebentar lalu kalian boleh main..... tujuh orang pertama silahkan maju dan yang
lainnya menunggu dan boleh pasing-pasingan dulu dengan yang lain.” Ujar pria
yang berambut lurus itu memberi aba-aba. Di sampingnya sudah ada bola yang
tidak lebih dari sepuluh biji, Dioba dengan temannya yang lain sudah berdiri
berjejer dihadapan pria itu dan menunggu bola untuk di smass. Dioba masuk rombongan yang pertama dan sebelum mendapatkan
giliran ia menoleh ke arah Zee khawatir kalau-kalau gadis itu bosan di
tempatnya namun sepertinya tidak karena Zee asik dengan suasana lapangan dan
menyimak apa saja yang di lakukan orang-orang yang ada di depannya.
Grup pertama di beri kesempatan tiga kali nyemes dan diganti dengan grup yang
kedua. Zee melihat semesan Dioba
lumayan keras meski tidak jatuh pas di depan posisi tengah lapangan. Pemanasan
itu berlangsung tidak lebih dari sepuluh menit. Setelah itu mereka bersiap
untuk main dan membagikan teman dengan cara swit,
yang menang di sebelah kiri dan sebaliknya. Agar permainan tidak timpang teman swit mereka pastilah yang permainannya
hampir sama. Dan tosser tidak
melakukan hal itu karena mereka bebas menentukan tempatnya sendiri.
Pria yang tadi bertindak sebagai pelatih
menjadi wasit saat wanita-wanita itu bermain. Meski permainan sudah dimulai
tapi tetap saja masih ada yang datang. Yang datang belakangan melakukan
pemanasan sendiri dengan cara melenturkan otot lalu pasing dengan teman yang
belum kebagian main di set pertama.
Ada wanita dengan rambut panjang diikat
dengan hanya membawa tas kecil, ia sudah siap dengan semua hal yang berhubungan
dengan main voli. Ia berjalan ke arah tempat tas-tas dan secara otomatis akan
melewati Zee. Zee menganggukkan kepalanya sedikit saat wanita itu lewat di
dekatnya.
“Hai....” wanita itu menyapa sekaligus
mengulurkan tangannya disambut Zee dengan erat. Tidak ada pertanyaan yang
berarti namun dengan pasti wanita itu menyadari baru pertama melihat Zee.
Wanita itu meletakkan tasnya lalu ia bergabung ke lapangan dan Zee masih saja
terus mengamati wanita murah senyum dan terkesan punya karakter itu. Lalu ada
salah satu wanita berhijab sedang berbincang akrab dengan pria, mereka
sama-sama berdiri di sisi lapangan. Apakah pria itu suaminya atau hanya sekedar
kenalan? Zee tidak tahu namun yang jelas pria itu salah satu anggota voli
bagian pria yang ada di lapangan sebelah.
Zee lalu menyimak permaian Dioba dan saat
salah satu dari mereka berhasil memasukan bola sedangkan pihak lawan tidak bisa
mengembalikan semesan maka mereka
akan melakukan tos bersama dan tertawa bahkan tidak segan-segan menggoda teman
mereka yang gagal dengan kata-kata yang mungkin bagi orang biasa terdengar
kasar dan tidak pantas. Seperti ‘ah bego
lo, bola kayak gitu aja ga bisa ambil. Payah! Bola gitu aja mati. Huuuuuuu
emang ga pintar-pintar sih lo.’ Bahkan yang bolanya bagus saja masih dimaki. ‘Wew... cemesannya gila! Bab....! hahaha’ ya
seperti itu. Namun inti dari semua itu Zee bisa melihat betapa bahagianya para
wanita itu seakan mereka sedang merayakan kemenangan atau sedang jalan-jalan di
tempat yang mereka impikan selama ini. Tak terkecuali dengan Dioba yang bisa
dilihat oleh Zee kalau wanita itu terlihat berbeda sekali saat ia sedang
membawa mobil. Di lapangan dia bisa tertawa lepas, tos sama teman-temannya yang
mungkin lebih dewasa darinya dan mereka terlihat sama rata dan tidak
membeda-bedakan satu sama yang lain, tidak ada perbedaan sama sekali di antara
mereka tidak peduli dari suku atau dari mana berasal. Betapa bahagianya mereka
itu. Itukah dunia Dioba? Yang tak pernah terlintas di benak Zee selama ini?
Set pertama dimenangkan oleh tim Dioba dan
mereka akan pindah ke tempat lawan untuk melanjutkan set ke dua. Sebelum
melanjutkan set kedua Dioba menghampiri Zee untuk mengambil minuman yang ada di
dalam tasnya. Bisa Zee lihat kalau wajah Dioba sudah dipenuhi oleh keringat
sepertinya permaian itu cukup menguras tenaganya atau memang dia bermain
maksimal? Tapi Zee melihatnya bermain tadi agak santai tapi kok bisa
berkeringat seperti itu.
“Semoga kamu tidak bosan duduk di sini.”
Ujar Dioba kepada Zee yang masih menunggunya.
“Bagi minum Di......” kata salah satu teman
Dioba yang mendekat dan tanpa berpikir lagi Dioba langsung menyerahkan botol
minumannya kepada wanita yang meminta dan langsung diteguk. Adegan itu tidak
lepas dari pengamatan Zee yang menurutnya agak aneh kalau ada dua orang
menikmati mimuan dengan satu botol namun bagi Dioba sendiri terlihat itu sudah
biasa di antara mereka yang ada di lapangan.
“Kamu tidak haus? Semoga kamu bisa menunggu
nanti kita akan beli minuman di depan.” Dioba seolah memahami apa yang ada
dipikiran Zee yang tidak akan ikut minum bekas teman Dioba meski Dioba sendiri
masih menikmati minuman itu. “Aku akan main sekali lagi....” tambah Dioba dan
Zee hanya tersenyum saja pertanda ia akan tetap menunggu.
Tanpa lama-lama menunggu lagi set keduapun
dimulai bahkan ada di antara teman Dioba tidak berhenti untuk minum. Kembali
Zee mengamati satu persatu para pemain itu. Yang satu sosoknya tidak bisa
dibilang kurus bahkan tambun, ia mengenakan hijab tapi pukulannya mematikan. Serven-nya juga keren, warna kaus, sepatu serta jilbabnya senada. Dan yang membuat
Zee lebih kagun adalah sosok salah satu tosser
itu yang tidak bisa disebut muda tapi lincah sekali ia memberi umpan. Ada lagi
yang aneh, wanita itu tidak terlalu tua tidak juga bisa dibilang muda dan
anaknya seorang wanita kelas 6 SD. Dia tadi yang minta minum dengan Dioba Dia
suka meminta temannya fokus memperhatikan bola dan selalu berusaha mengambil
bola sesulit apapun, ia bahkan sering mengambil bola yang di depan temannya
tapi pas bola jatuh di tempatnya ia tidak sedang ada di posisi. Bola mati dan
saat itu ia diomeli tossernya ‘lo tuh
yeeee ribut minta orang selalu siap, gilirannya sendiri aja ga tau ada di mana.’
Dan dengan enteng dan merasa bersalah ia menyahut. ‘ye gw goblok lupa mundur lagi.’ Itulah dia, suka memaki orang dan
bisa juga memaki dirinya sendiri sehingga orang yang kadang suka ia katain
tidak pernah tersinggung dengannya. Dan akhirnya selalu diwarnai dengan tawa.
Itulah dunia lapangan tapi tidak menutup kemungkinan ada juga yang tersinggung
dan biasanya terjadi pada pemain baru dalam arti bukan baru menjadi bergabung
tapi baru dalam dunia lapangan.
Set kedua agak alot dan berakhir dengan
skor 25-27 tim Dioba kalah. Itu tidak masalah karena seperti itulah permainan.
Permainan selanjutnya diganti sama orang yang belum main tapi itu masih tidak
cukup sehingga yang main pertama kembali ikut bermain. Memang suka seperti itu
dan kali ini Dioba tidak akan mengambilnya karena ada Zee yang menunggu meski
tak jarang ia bermain sampai empat set.
Ia menghampiri Zee yang sepertinya sudah
melihat semua sosok yang ada di dalam ruangan itu. Ia mengajak Zee naik ke atas
karena posisi tempat latihannya ada di lantai bawah. Meski pintu masuk lewat
samping ada namun Dioba memilih pintu yang di atas, di mana ada toilet, tempat
ganti baju dan musolah kecil lalu di pintu luar kiri dan kanannya ada tukang
jualan makanan dan minuman. Biasanya selesai main teman-teman Dioba duduk dulu
di sana untuk sekedar bercengkrama sambil minum kopi, istirahat dan
mengeringkan keringat.
Dioba memesan kopi pada wanita paruh baya
yang sudah lama berjualan di tempat itu dan biasa dipanggil dengan sebutan
‘emak’ “Kamu mau kopi hitam atau cappuccino?” ia melirik Zee.
“Samain
saja sama pesananmu.” Sahut Zee. Lalu ia melirik penjual yang di sebelah kiri
sepertinya ada pecel di sana.
“Itu pecel sayuran, ada lontongnya juga.
Mau?”
“Boleh.”
Dioba memesan dua cangkir cappuccino lalu
ia memesan pecel sayuran, ditambah satu bungkus lontong serta kerupuk tidak
lupa sambelnya yang banyak. Meski ada banyak macam gorengan untuk campuran pecel namun Dioba tidak menambahkan satupun
gorengan ke dalam pecel Zee meski ia
tahu Zee menyukai tahu isi.
Dioba meletakkan piring pecel yang sudah
terisi kehadapan Zee yang duduk di teras GOR. Teras yang lumayan besar meski
mereka duduk di bawah seperti lesehan
namun teras itu juga memiliki dua tingkat walau tidak terlalu tinggi. Satu dua oramg
yang tadi main di bawah sudah ikut naik namun anggota pria sepertinya sudah
terlebih dahulu ada di tempat itu. Mereka duduk di teras paling depan dan
berkumpul di sana sembari ngobrol meski masih ada yang mengenakan seragam voli.
Mereka tidak peduli pada orang baru dan sekali-kali melemparkan candaan kepada
wanita yang sudah mereka kenal. Zee melihat ada tanda peringatan dilarang
merokok tapi kok ada di antara mereka yang merokok.
Emak membawakan kopi untuk Zee dan Dioba.
“Terima kasih ya, Mak.” Kata Dioba.
Melihat piring pecel hanya satu Zee
bertanya pada Dioba. “Kamu tidak makan pecel?”
“Aku belum lapar.”
Salah satu teman Dioba menghampiri Dioba.
“Di, sabtu depan kita mau jalan-jalan ke Bandung untuk sparing sama anak sana.
Lo ikut ya?” wanita usia 35-an itu mengajak Dioba ke Bandung bersama yang lain.
“Tim BLJ sudah ada 5 orang... kalau bisa sih 12 orang biar kita jalan dua tim.”
“Gw nggak bisa....” ujar Dioba dengan
santai.
“Kok nggak bisa?” pertanyaan itu keluar
dari mulut Zee yang sedang memegang piring pecelnya. Wanita yang tadi bertanya
menoleh kepada Zee.
“Hai.... temannya Dio... ya?”
Kedua wanita itu saling berjabat tangan.
“Ya.” Jawab Zee. “Makan.....?” ia menawarkan pecel kepada wanita itu.
“Tidak, terima kasih. Nanti aku akan pesan
sendiri.” Tambahnya. “Nggak tahu nih Dio.... susah banget kalau diajak main
keluar... padahal tidak ada yang harus diurus. Yang lain saja sudah punya anak
pada mau ikut.” Omelnya setengah bercanda.
“Ih! Kok malah curhat? Sudah.... pokoknya gw nggak bisa kalau main keluar. Main di
sini sudah cukup buat gw.” Dioba membela diri meski merasa tidak perlu
menjelaskan alasannya dan itu membuat Zee penasaran dan ia tidak tahu kalau
mereka-mereka itu sering bermain voli ke luar kota.
“Yo
wes.... mm.... mbak Zee ini mau ikut bergabung di BLJ? Sudah daftar?”
Zee menggeleng dan tak bisa dipungkiri
kalau penampilannya terlihat dari kelas atas dan entah mengapa dia mau duduk di
ubin teras GOR, makan dan menikmati kopi di tempat itu. Sungguh itu pengalaman
pertama untuk Zee. Dan sekali lagi ia berkata dalam hati ‘seperti inikah dunia
Dioba?’
Sepertinya Zee tidak perlu heran karena ada
beberapa wanita yang terlihat berkelas di tempat itu. Bahkan ada di antara
mereka yang sudah keliling Eropa dan bekerja di perusahaan besar yang ada di
Jakarta dan wanita itu dengan santainya duduk berselonjor di ubin karena
setelah main mereka terlihat begitu santai seolah sedang piknik. Ada yang
membuka sepatu, melepaskan kaus kaki sembari menunggu kopi atau minuman dingin.
Sungguh pemandangan yang tidak biasa di mata Zee melihat betapa mereka tidak
pernah memandang orang dengan sebelah mata. ‘sedang
berada di dunia apa aku ini?’ jauh dari dunia selebriti, jauh dari dunia
glamour, dunia sikut sana sikut sini. Tidak ada ketegangan urat syaraf di
antara mereka, obrolan penuh canda bahkan saling ledek satu sama yang lain. Zee bahkan melihat tukang jualan di sana
pun ikut menikmati candaan dari orang-orang yang punya hobi olahraga itu.
Dioba melirik jam dari ponselnya sudah
menunjukkan pukul sepuluh berarti waktu bermain untuk tim BLJ sudah selesai dan
lapangan akan dipakai oleh anak-anak yang usia SD dan SMP yang akan selesai
pukul 12 siang. Ada banyak yang latihan di sana dan kebanyakan wanita yang
bermain voli di gedung itu memang mengantar anak mereka yang rutin latihan.
Keseluruhan yang latihan mungkin mencapai 60-an anak laki-laki dan perempuan.
Mereka memang sengaja dididik untuk menjadi pemain bagus bahkan ada yang memang
dipersiapkan untuk menjadi pemain nasional.
Seorang wanita mungil yang tadi ikut
bermain dan menjadi lawan Dioba membuka tasnya dan mengeluarkan beberapa
atribut permainan bola voli. Sepertinya ada yang memesan sepatu olahraga
darinya dan celana. Saat ia menyebutkan harga sepasang sepatu Zee bisa pastikan
kalau lima pasang sepatu sejenis seharga sepasang sepatu miliknya. Zee meilirk
sepatu yang ia pakai dan timbul keinginannya untuk membelikan sepatu yang sama
untuk Dioba kalau nanti dia pergi ke toko sepatu.
Ponsel Dioba berdering dan yang muncul
nomor tidak ia kenal. Lama ia mengamati nomor itu namun tidak ia angkat tapi
nomor itu muncul lagi.
“Siapa?” tanya Zee tak seperti biasa mau
ikut campur urusan telepon masuk ke ponsel Dioba. Dioba menggeleng.
“Tidak tahu....”
Zee mendekati mukanya ke ponsel Dioba untuk
melihat nomor yang muncul dan ia ingat kalau angka terakhir dari nomor itu
adalah milik Bimo.
“Itu
nomor Bimo, dia pasti telepon ke ponselku yang ketinggalan di rumah. Mungkin
dia mendapatkan nomormu dari Amel.
Dari sekretaris Zee? Dioba memang tidak
memberikan nomor ponselnya kepada Bimo karena ia tidak suka dengan pria itu.
“Kalau dia telepon lagi biar aku yang
angkat.” Detik setelah Zee mengatakan hal itu ponsel berbunyi lagi dan Dioba
langsung menyerahkannya kepada Zee.
“Halo.....?”
“Sayang.... ini kamu? Kok kamu yang angkat
telepon Dioba? Memangnya ponsel kamu di mana? Sudah puluhan kali aku hubungi.
Sekarang aku ada di depan rumah kamu....”
“Ponselku ketinggalan di rumah, sekarang
aku bersama Dio... hari ini aku ikut dia latihan voli.” Zee menjelaskan apa
adanya.
Bimo melihat mobil Zee masih ada di Garasi.
“Apa....? kamu pergi naik motor dengan Dioba?” kecemasan pria itu makin
menjadi.
“Tidak perlu bicara seperti itu, nanti
malam aku ingin kita bertemu, oke? Sekarang aku tutup dulu teleponnya ya.” Kata
Zee pelan agar ucapannya tidak terdengar ke mana-mana. Setelah mendengar
persetujuan Bimo meski terdengar agak kesal Zee menutup telepon dan
menyerahkannya kembali kepada Dioba. Gadis itu meletakkan ponselnya kembali ke
dalam tas.
“Tunggu sebentar ya, aku mau ganti baju
dulu.” Ia pamit dengan Zee dan membawa pakaian gantinya bersama.
Setelah kepergian Dioba ada yang mengajak
Zee berbincang meski gadis itu belum menyelesaikan makanannya.
“Kamu temannya Dio.....? baru kali ini
gadis itu membawa teman ke sini, apa kamu juga ingin ikut main voli?” wanita
yang bertanya itu memang ramah meski tidak terlihat cerdas. Wajahnya putih,
rambutnya sebahu agak ikal.
“Ya, tapi aku tidak bisa main voli...
membayangkan kena bola saja tanganku sudah sakit duluan. Sudah lama ikut di
sini?”
“Lama sedikit dari Dio. Kamu adiknya?
Atau.....?” pertanyaan itu sengaja digantung sepertinya. “Atau teman kerja?”
wanita itu melanjutkan pertanyaannya.
“Teman kerja.”
“Satu kantor?”
“Ya.....” tegas Zee.
“Oh.” Terlihat sekali di mata Zee kalau
wanita itu tidak terlalu cerdas dan ia bertanya hanya sebatas ingin tahu saja,
tidak lebih.
“Woi.... ada yang kepoh....” terdengar suara menggoda wanita yang bertanya tadi.
Menyadari hal itu wanita itu jadi tertawa.
“Biarin! Namanya juga kenalan.” Ia membela
diri.
“Hati-hati Mbak, dia itu ratu kepo di sini.” Masih dengan nada
bercanda dan ditanggapi Zee dengan senyuman saja. “Mm... kalau tidak salah saya
pernah melihat Mbak deh sebelum di sini tapi di mana ya? Pernah ke Cafe Embong?”
wanita itu bertanya tanpa harus mendekati Zee karena jarak mereka tidak lebih
dari dua meter. Zee mengingat kembali kapan dia berada di cafe yang barusan di
sebut itu. Ups! Dia ingat, ia ada di cafe itu saat syuting iklan sebuah minuman
ringan.
“Ya saya pernah ke sana beberapa minggu
yang lalu.”
“Ya, berarti saya tidak salah. Waktu itu
sedang ada acara semacam syuting begitu dan saya melihat Mbak juga ada di sana.”
Jelas wanita yang memiliki pribadi terbuka, suka bicara apa adanya. Dialah yang
tadi minum satu botol dengan Dioba. Bisa Zee bayangkan kalau wanita itu sudah
dekat sekali dengan Dioba.
“Ngapain lo di Cafe?” goda yang tadi
menjadi tosser.
“Biasa Mak.... gw kan kalau malam nyenyong nyari duit hahaha.” Mendengar
ucapan wanita itu memaksa Zee tertawa halus. “Mm waktu itu Mbak ikut syuting
ya?” ia bertanya lagi.
“Tidak, saya hanya melihat-lihat saja.” Zee
berusaha bicara apa adanya dan memang benar ia tidak ikut syuting tapi sebagai
pelaksana acara dan tak perlu ia jelaskan secara detil.
Dioba sudah kembali dari ganti baju, kini
ia sudah mengenakan kaus oblong dan celana panjang jeans warna coklat, wajahnya juga sudah segar tidak lagi penuh
keringat. Ia kembali duduk untuk menikmati kopinya sedangkan Zee sudah
menyelesaikan makan pecelnya meski tidak habis total. Kedua gadis itu memang
duduk di pinggir dan menyandar pada dinding gedung. Di teras juga masih ada
yang berfoto. Saat yang lain sibuk bercerita bahkan ada yang suaranya keras
membuat Zee bertanya kepada Dio siapa-siapa saja nama-nama teman Dioba.
Dioba menjelaskan secara garis besar saja,
di antara mereka ada anggota lama ada juga yang masuk belakangan dari Dioba.
Dan yang paling pojok teras ada seorang wanita yang usianya mungkin tidak jauh
berbeda dengan Dioba. Ia terlihat sedang asik menikmati benda berasap itu. Zee
tidak terlalu menghiraukannya namun yang ia sayangkan sudah ada tanda
peringatan kawasan bebas rokok tapi.....?! dia tidak sendiri karena ada dua
orang lagi yang menemanimya di sana. Itu adalah salah satu potret orang negeri ini
karena sudah mencapai 66 juta jumlah perokok aktif di Indonesia. Apa yang
terjadi?di sisi lain benda itu memberi keuntungan bagi devisa negara, memberi
lapangan pekerjaan namun juga membunuh banyak warga.
“Kita pulang sebentar lagi.” Kata Dioba
yang masih menikmati sisa kopinya. Zee mengiyakan. Dan bagi wanita yang hanya
latihan dan tidak menemani anaknya satu persatu pulang setelah pamit pada semua
temannya yang di sana. Lagi-lagi Zee melihat sopan santun di antara para
pemain.
Saat ada di parkiran Dioba menjelaskan
kepada Zee. “Nanti di jalan pulang kita akan makan dulu ya. Aku biasa melakukan
hal itu.”
“Boleh.” Kata Zee yang penasaran di mana
Dioba biasa makan siang.
Motor melaju dan mengambil posisi di kiri
jalan. Belum sampai sepuluh menit Dioba sudah menepikan motornya dan
membelokkannya pada halaman yang tidak terlalu luas. Zee melihat sekeliling,
ternyata Dioba memilih tempat makan lesehan.
“Apakah sudah buka?” tanya Zee karena
suasana tempat itu masih sepi meski bagian dalamnya cukup luas.
“Sudah, tempat ini sudah buka sekitar
setengah jam yang lalu.” Ucapan Dioba memang ada benarnya sebab sudah ada satu
dua orang tamu di dalam. “Ayo....” Dioba mengajak gadis itu masuk, saat muncul
mereka langsung disambut hangat oleh pemilik tempat itu.
“Siang Dio.....” sapa wanita tigapuluhan
yang terlihat sudah akrab dengan Dioba.
“Siang Mbak...”
“Seperti biasa?” ujarnya.
Dioba menoleh ke Zee sembari menjawab
pertanyaan pemilik warung. “Kalau saya sih seperti biasa... tapi untuk Zee...
biar dia lihat dulu menu yang ada di atas meja.” Usul Dioba.
“Baiklah.” Wanita itu setuju lalu melirik rekannya untuk segera membuat
pesanan Dioba. “Silahkan duduk.” Tambahnya untuk mempersilahkan Dioba dan Zee
mengambil tempat. Dioba membawa Zee ke meja yang biasa ia tempati dan lagi-lagi
di pojok.
“Kamu pesen apa?” Dioba memberikan daftar
menu kepada Zee dan disambut gadis itu setelah ia duduk santai di lantai
beralaskan anyaman rotan yang sudah mengkilap saking seringnya diduduki orang.
Sejenak Zee mengamati daftar menu dari
bebek bakar, ayam bakar, pecel Lele dan banyak lagi. Zee bingung lalu ia
bertanya kepada Dioba.
“Memangnya kamu tadi pesan apa?”
“Pecak ikan mas, sambel pedas, dan cah
kankung.”
“Kalau begitu aku pesan seperti itu juga
deh.”
“Minumnya?”
“Teh anget
saja.”
Dioba tersenyum simpul karena baru kali ini
pesanan mereka sama dalam urusan minuman
karena tanpa sepengetahuan Zee setiap Dioba makan di tempat itu memang selalu
minum teh hangat.
Sembari menunggu pesanan datang Zee
menggunakan waktu untuk bertanya banyak hal kepada Dioba dan sepertinya ia lupa
dengan surat perjanjian kontrak.
“Dio.... BLJ itu apa?”
“BLJ....? oh itu, itu nama tim voli
singkatan dari Belahan Jiwa. Aku juga nggak tahu siapa yang menamai tim itu
BLJ, mungkin pelatihnya.”
“Pelatih... aku nggak nyangka lho kalau
kalian main ada pelatihnya segala. Tadinya aku pikir siapa saja yang mau main
tinggal main dan aku lihat semuanya sudah pada jago main. Dan, kamu... apa dulu
kamu memang pemain voli?”
“Bukan, aku hanya pemain otodidak. Dulu
waktu sekolah menengah memang suka main di sekolah dan aku memang suka meski
tidak jago. Dan mengenai pelatih memang ada tapi yang namanya pemain di sana
rata-rata ibu-ibu jadi jarang sekali ada latihan fisik, mereka datang pemanasan
sebentar dan maunya langsung main. Meski kadang pelatih maunya kita-kita harus
latihan fisik dulu. Yah begitulah namanya mak-mak kalau dipanggil suruh latihan
fisik malah galakan mereka dari pelatihnya. Di sana kita memang datang terima
beres, tidak tahu menahu urusan lapangan, bola atau net karena semua sudah
menjadi urusan pelatih dan yang tadi di meja itu yang terima absen adalah
istrinya pelatih. Dia tempat kita membayar iuran bulanan serta yang datang
selalu absen.”
“Berapa iuran sebulannya?”
“Duapuluhlima ribu rupiah, seminggu sekali
main dari pukul 07.00-10.00 WIB.”
“Lama juga.”
“Tapi seringnya sih main dari pukul 08.00
WIB seperti tadi. Karena mulai pada ngumpulnya ya jam segitu.”
“Begitu ya? Tapi..... aku hari ini melihat
kamu sangat bahagia... aku belum pernah melihat kamu sebahagia hari ini. Apakah
setiap minggu kamu selalu tertawa dengan teman-teman volimu seperti tadi?” kali
ini pertanyaan itu terdengar di telinga Dioba menjurus ke pribadi. Dioba
menoleh ke wajah Zee yang duduk di sebelah kirinya. Zee juga sedang menatapnya
namun sebelum Dioba menjawab pesanan mereka sudah datang.
“Silahkan.....” dua pelayan meletakkan nasi
panas dan ikan mas yang sudah disiram bumbu pedas sehingga menggungah selera
Dioba siang itu.
“Terima kasih ya, Mbak, Mas....” kata Dioba
saat semua sudah tersedia di depan mata mereka. Zee sebenarnya masih sangat
kenyang tapi saat melihat hidangan itu ia jadi berselera lagi apalagi makan
bersama Dioba yang untuk pertama kalinya. Menikmati kopi bersama sudah sangat
sering tapi makan, baru kali itu.
“Kau belum jawab pertanyaanku.” Tagih Zee
sebelum Dioba mulai menikmati santap siangnya.
“Pertanyaanmu sudah melanggar perjanjian
kerja.”
“Tapi aku kan sedang libur, kita berdua
sama-sama dalam kondisi bebas jam kerja.”
“Memangnya kamu mau aku jawab apa?”
“Kok malah balik nanya?”
“Karena aku tidak suka pertanyaanmu dan
kurasa aku tidak perlu menjawabnya.” Dioba mencuci tangannya pada air dalam mangkuk
yang sudah disediakan. “Selamat makan siang.” Ujarnya untuk Zee. Zee tidak
merespon ucapan Dioba selain fokus menatap gadis itu yang mulai menikmati
makanannya.
Dioba memang selalu bahagia dan bisa
tertawa lepas setiap kali ia ada di lapangan bahkan di antara teman-teman
volinya. Meski mereka kadang bicara blak-blakan, bahkan ada di antara temannya
yang menurut Dioba terlalu berani yaitu mengatakan perasaan pada pria yang ia
sukai meski mereka sama-sama sudah punya pasangan hidup. Dioba sempat dibuat
geleng-geleng kepala mendengar pengakuan mereka. Ada juga yang merasa sudah
biasa dengan perselingkuhan namun banyak juga yang menjunjung tinggi kesetiaan
bahkan tidak akan cerita sedikitpun urusan pribadi dan rumah tangganya kepada
orang lain. Teman-teman voli Dioba memang berasal dari banyak kalangan dan berbagai
profesi seperti perawat, sekretaris, guru, anggota TNI, ibu rumah tangga, pegawai
biasa yang masih kuliah sampai yang cleaning
servis di sebuah perusahaan. Tidak
sedikit dari mereka yang sudah cerita banyak hal dalam urusan dapur dan
pasangan kepada Dioba dan Dioba selalu menempatkan mereka sebagai teman, tidak
mau ikut campur namun terkadang ia sedikit memberikan pandangan jika ada yang
memiliki pengetahuan di bawah dia. Tapi rasanya aneh bagi Dioba kalau ada
wanita yang sudah menikah lalu menceritakan kehidupan rumah tangganya pada
Dioba yang belum masuk area itu meski ia sering dengar dan melihat di
sekelilingnya.
“Nikmati pecak ikannya selagi hangat.”
Kasih tahu Dioba karena melihat Zee belum menyentuh piringnya dan sepertinya
gadis itu masih ingin bertanya lagi kepada Dioba yang dari tadi seolah tidak
peduli dengannya.
“Baiklah kalau kau pikir pertanyaanku yang
tadi masuk kategori pribadi tapi aku ingin tanya lagi satu hal sama kamu.
Apakah kamu suka aku pacaran dengan Bimo?”
“Maksudnya?” Dioba melirik Zee sejenak.
“Maksudku, menurut kamu apakah aku dan Bimo
pasangan yang serasi?” Zee tidak tahu mengapa ia merasa deg-degan menunggu
jawaban yang keluar dari mulut Dioba.
Dioba meneguk teh hangatnya lalu menoleh ke
Zee. “Sejujurnya aku tidak tahu apakah kamu dengan Bimo itu serasi atau tidak
dan yang aku tahu..... aku tidak suka dengan Bimo. Hanya itu.”
Mendengar itu Zee malah tersenyum simpul
membuat Dioba merasa aneh apakah gadis itu senang atau sedang memancing Dioba
untuk mengeluarkan pendapatnya mengenai Bimo. Zee lalu mulai menikmati
makanannya membuat Dioba bengong.
“Mm.. boleh aku tahu teman-temanmu di GOR
itu?” Zee kembali bertanya setelah beberapa saat menikmati makan siangnya.
“Tahu seperti apa?”
“Sebelumnya aku tidak tahu kalau tim voli
kalian suka pergi-pergi keluar kota, sepertinya asik juga ya...?”
“Ya, tapi aku tidak pernah ikut...
turnamen-turnamen antar tim juga jarang sekali ikut kecuali kalau turnamen di
dalam GOR sendiri aku pasti mau.”
“Oh, ya?”
“Ya.” Bersamaan dengan itu sebuah piring
yang berisikan macam-macam gorengan
muncul dihadapan mereka. Dioba yang tidak suka makan gorengan memaklumi kalau pemilik warung menyodorkan piring itu
lantaran Dioba mengajak teman. Saat Zee ingin mengambil tahu isi Dioba langsung
menyela. “Terigu yang membalut tahu dan gorengan yang lain adalah sumber dari
lemak.”
“Tapi aku suka.” Guman Zee mendengar
kata-kata yang mengandung larangan tersebut namun Dioba tidak membahasnya lagi.
“Dio..... kapan-kapan kalau kamu pulang kampung aku ikut ya?”
“Tidak!” Dioba langsung menghentikan
kegiatan makannya mendengar ucapan Zee. Ia menatap mata gadis itu dan detik itu
Zee bisa merasakan kalau Dioba amat sangat tidak suka ucapan barusan.
“Kenapa?
Aku kan tidak punya kampung halaman dan ingin sekali rasanya merasakan suasana
kampung halaman. Setiap datangnya hari besar ribuan orang Jakarta melakukan
mudik dan dengan bangga mereka katakan, lebaran dan liburan sekolah di kampung
halaman itu tidak ada duanya. Kenapa aku tidak boleh ikut denganmu? Sehari dua
hari juga tidak apa-apa kok.” Zee masih minta Dioba pertimbangkan keinginannya.
Dioba mulai merasakan kalau selama ini Zee
selalu mendapatkan apa yang ia inginkan, kebencian itu muncul lagi di benaknya
dan susah sekali ia kendalikan.
“Cepat habiskan makananmu karena habis ini
aku ada urusan.” Kata-kata itu seolah terdengar dari mulut seorang senior atau
atasan di sebuah perusahaan. Zee merasa kalau hari itu Dioba telah menjelma
dari seorang supir menjadi menjadi...? Zee tidak bisa menyebutkannya sebagai
apa namun yang pasti ia merasa Dioba berubah. Apakah itu juga bagian dari
dunianya? Zee menarik napas dalam-dalam. Pecak ikan mas yang pedas sempat ia
nikmati karena ia suka dengan rasa pedas namun nada bicara Dioba yang terdengar
tidak biasa membuatnya sedih. Menyadari telah berkata kasar Dioba meminta maaf.
“Maaf, saya tak bermkasud seperti itu.., jangan diambil hati, sekali lagi
maaf.” Bukan nada suara Dioba saja yang rendah dan serius meminta maaf tapi
wajah itu membuat Zee tidak tega. Ia tidak tahu mengapa Dioba hari itu seolah
cepat marah meski tadi pagi dia terlihat begitu bahagianya.
*
Zee sedang makan malam dengan Bimo karena pas
Bimo mengajak nonton di bioskop ia menolak dengan alasan sedang tidak mood untuk menonton film.
“Kita makan saja malam ini.” Ujar Zee
setelah jus yang mereka pesan datang. Bimo tidak mempermasalahkan hal itu yang
penting saat ini ia bisa berdua dengan Zee.
“Susah sekali untuk minta waktu bersama kamu
akhir-akhir ini tapi dengan mudahnya kamu seharian menghabiskan waktu bersama
Dioba. Sudah berkali-kali aku mengatakan kalau Dioba itu tidak pantas menjadi
supir kamu.”
Zee tidak langsung menanggapi kata-kata
Bimo, ia menikmati jus apelnya lalu mengitari situasi keliling dengan ekor
matanya dan tempat itu cukup ramai karena Zee memang memilih tempat yang ramai
untuk makan bersama Bimo. Lalu ia kembali menatap Bimo.
“Sebenarnya bagaimana penilaian kamu
mengenai Dioba?”
“Dia itu wanita mistrius, aku khawatir dia
punya modus menjadi supir kamu.”
“Dia tidak melamar jadi supir, mengenai
praduga kamu itu aku rasa sangat berlebihan. Dioba hanya wanita yang berasal
dari kampung dan coba mencari peruntungannya di Jakarta ini. Aku rasa hanya
itu.”
“Zee... kamu jangan terlalu naif. Kamu ini
anak orang kaya dan juga punya perusahaan sendiri meski belum bisa di sebut cukup
besar tapi kamu adalah pewaris tunggal dari ayah kamu.” Jelas Bimo.
Mendengar penuturan Bimo memaksa Zee
tersenyum karena ia sama sekali tidak melihat Dioba punya modus untuk
mendapatkan hartanya. Dioba bukan wanita ambisius, hidupnya selalu santai dan
tenang. Dia bahkan sering terlihat asik dengan dunianya.
“Aku ingin kamu cari supir lain secepatnya.”
“Tidak, Bim. Aku merasa nyaman dengan Dioba
tapi tidak menghilangkan kemungkinan akan memberhentikannya kalau aku merasa
tidak nyaman lagi. Aku janji.”
“Zee... bagaimana kalau kamu tidak punya
kesempatan untuk menyelamatkan diri dari wanita itu? Satu hal lagi... apakah
dia punya kekasih?”
“Memangnya kenapa?”
Bimo menghela napas panjang karena ia
memang sering mengkhawatirkan wanita yang baik itu. Terkadang kebaikannya
sering merugikan dirinya sendiri. “Sayang..... bagaimana kalau kita
melangsungkan pertunangan dulu?”
“Tunangan? Untuk apa?” Zee jadi heran dan
kaget dengan niat Bimo yang mengajaknya untuk bertunangan karena sama sekali ia
belum pernah memikirkan hubungannya ke arah sana.
“Menikah?” permintaan Bimo semakin ektrim
saja karena ia tidak akan rela gadis itu berpaling ke pria lain. Ketakutan Bimo
lebih besar lagi kalau Zee mulai tidak mempedulikannya. Zee memang gila kerja
dan ia baru saja menyelesaikan S2-nya tahun lalu. “Aku ini belum 33 Tahun Bim...”
“Kamu mau karir atau aku.....? menunggu
kamu 33 tahun itu sama saja aku menunggu sepuluh tahun lagi.” pertanyaan Bimo
mulai melantur.
“Kamu meminta aku menentukan pilihan? Dan
kamu minta aku memilih apa?” pembicaraan itu mulai serius yang tadinya hanya
ingin membahas tentang Dioba.
“Aku berharap kamu tahu apa yang aku
inginkan...”
“Yang kamu inginkan bukan yang bisa aku
berikan. Kita break.” Kata Zee.
“Apa...?! Zee, kita sudah hampir dua tahun
bersama masa dengan gampangnya kamu memutuskan untuk break?”
Keputusan break yang dilontarkan Zee membuat Bimo panik dan tidak bisa
menerima begitu saja sehingga ia menyangka kalau salah satu penyebabnya adalah
Dioba.
**
Bimo
Pria itu mengikuti Dioba yang baru saja
pulang mengantar Zee. Dia mengajak Dioba duduk di bangku pinggir jalan setelah
Dioba menepikan motornya. Dioba tidak menyukai gaya bicara Bimo yang seakan
seperti diktator.
“Kau menyukai Zee?” pertanyaan di luar
dugaan Dioba.
“Tolong diperjelas maksud dari pertanyaan
Anda.” Dioba menganggap Bimo adalah orang lain dan ia tidak bisa akrab dengan
Bimo. Meski tahu maksud dari pertanyaan itu namun Dioba ingin pria itu
memperjelas karena ia tidak ingin ada kesalahpahaman di antara mereka.
“Apa kamu menyukai saya? Dan satu hal
lagi... kamu adalah orang yang tidak jelek dan juga masuk kategori wanita
idaman saya.”
Dioba tidak ingin tertawa meski pertanyaan dan
pernyataan itu agak menggelikan terdengar di telinganya. “Tidak ada satupun
manusia yang saya sukai di hidup saya.” Perkataan itu seolah menegaskan kalau
Dioba tidak suka dengan Bimo.
“Itu tidak mungkin karena saya melihat ada
kecemburuan pada dirimu melihat saya dekat dengan Zee. Tapi masalahnya aku
belum tahu apa kamu suka Zee atau saya.”
“Maaf Bung, saya harus pulang karena
lelah.” Dioba beranjak dari bangku yang tidak jauh dari taman kota itu.
“Di..... saya belum selesai.”
“Tidak ada yang perlu diselesaikan, jika
Anda punya masalah saya pastikan tidak ada hubungannya dengan saya.” Dioba tahu
sekali kalau Bimo tidak menyukainya seperti tidak sukanya ia kepada Bimo. Meski
ia belum tahu kalau Zee meminta break
dengan Bimo. Untuk saat ini Dioba baru bisa mengambil kesimpulan kalau Bimo menganggapnya
mencintai Zee meski ia merasakan ada ambisi yang tersimpan pada diri Bimo yang
belum bisa dianalisa secara jelas oleh Dioba karena ia baru beberapa kali saja
bicara berdua dengan Bimo.
Bimo tidak bisa mencegah kepergian Dioba di
malam itu namun kekesalannya belum juga pergi bahkan semakin memuncak. Apakah harus
mendekati ayah Zee demi mendapatkan anaknya? Tapi pria itu sedang berada di
luar negeri sedangkan di sini Zee susah sekali dikendalikan. Tapi masih ada
Amel, orang yang mungkin bisa diajak kerja sama. Maka tanpa menunggu waktu lama
Bimo langsung tancap gas ke rumah Amel.
Amel menerima Bimo meski tidak begitu suka
karena pria itu tidak menelepon terlebih dahulu. Bimo hanya minta Amel
menemaninya duduk di teras dan ia langsung ke pokok masalah yang sedang ia
hadapi.
“Begini Mel, Zee minta kami break tanpa alasan dan tidak biasanya ia
seperti itu, gampang marah dan tidak suka berterus terang. Akhir-akhir ini dia
banyak berubah dan itu aku lihat setelah Dioba menjadi supirnya. Kamu tahu?
Kemarin minggu dia ikut Dioba ke GOR menonton wanita itu main voli. Itukan aneh
banget! Tidak biasa-biasanya Zee ingin melakukan hal yang bukan bidangnya
apalagi olahraga seperti itu. Aku curiga sama Dioba. Kamu sebagai sekretarisnya
apakah tidak melihat adanya keanehan di antara mereka?”
Amel mencerna apa yang Bimo uraikan dan
mengenai Zee yang tidak begitu suka dengan sikap Bimo sebenarnya sudah lama
jauh sebelum mereka kenal dengan Dioba karena sejatinya Zee adalah orang yang
tidak bisa dikekang. Kalau pria itu bilang mereka break sepertinya itu bukan hal yang mengejutkan. Tapi kalau pria
itu menyinggung masalah mereka ada hubungannya dengan Dioba mungkin masih bisa
diselidiki.
“Maaf Bim.... saya dekat dengan Zee hanya
masalah pekerjaan tidak yang lainnya.” Kata Amel dengan nada pelan agar pria
itu tidak tersinggung. Bukan ia menutup mata tapi ia tahu sekali kalau Zee
tidak begitu suka urusan pribadinya diketahui orang lain.
“Mm Mel.... bagaimana kalau setiap kegiatan
Zee kamu infokan ke saya.”
“Apa??” wanita itu lagi-lagi terkejut
dengan usul gila Bimo.
“Maksud saya begini, saya akan bayar setiap
kali kamu kasi info ... misalnya di mana dan sama siapa Zee hari ini dan begitu
seterusnya. Kamu mau,’kan?”
“Tidak Bim... saya tidak mungkin melakukan
itu. Ini loyalitas saya sebagai seorang sekretaris dan sebagai karyawan di sebuah perusahaan.”
“Saya ngerti. Kamu kerja juga demi uang
kan? saya akan bayar lebih...”
“Tidak. Maaf, saya tidak bisa
melakukannya.” Tegas Amel dengan nada pasti. Loyalitasnya kepada Zee tidak bisa
dibandingkan dengan uang meski di matanya Bimo bisa melakukan apa saja demi
sebuah cinta yang menurutnya cinta mati padahal Amel tahu seperti apa Bimo itu
sesungguhnya.
“Jadi kamu tidak bisa bantu saya?”
“Untuk yang satu ini, saya minta maaf...”
Amel memberikan kepastiannya. Mereka sudah putus dan kalaupun juga belum Amel
tidak akan tega melakukan itu karena selama ini Zee sudah terlalu baik. Ia
tidak bisa bayangkan kalau bekerja di perusahaan lain dan menemukan bos yang
baru mungkin tidak akan ada yang sebaik Zee dan kalaupun ada, di mana?
Bimo sudah merasa kehilangan harapan untuk
masuk ke dalam hidup Zee. Pria tampan itu merasa direndahkan dengan sikap Zee
yang mengambil keputusan sepihak. Sepertinnya harus ambil jalan lain.
Bimo mulai memasang jurus mendekati wanita
lain untuk memancing kecemburuan Zee. Sebagai pria ia merasa lepas satu dapat
sepuluh hmm.... dan ia tahu di mana Zee suka menghabiskan waktu luangnya
saat-saat lepas dari kesibukan. Waktu makan siang ia membawa wanita yang baru
ia dekati makan di tempat di mana ia suka makan dengan Zee. Namun sayangnya
hari itu Zee tidak makan di sana sehingga membuat Bimo makin keki dan kesal
sendiri. Tapi ia merasa puas setelah lewat mau pulang Zee sempat melihat ia menggandeng
wanita itu dan betapa bangganya dia meski sejujurnya ia merasakan ada yang
sakit tak tertahankan. Namun sebaliknya Zee merasa biasa-biasa saja dan
menganggap Bimo murahan. Meski menggandeng wanita lain adalah haknya dia namun
Zee melihat Bimo tidak lebih dari pria gampangan. Dioba pun menyaksikan hal itu
dan ia tidak akan komentar apa pun karena itu adalah zona pribadi bosnya namun
baginya Bimo memang tidak penting dan tidak ada ruginya Zee lepas dari pria itu
malahan ia merasa bersyukur.
“Saya baru saja minta break sama Bimo tiga hari yang lalu tapi dia sudah memperlihatkan
warna aslinya.” Ujar Zee kepada Dioba yang membawanya pulang. Dioba hanya
menambahkan beberapa kalimat saja.
“Cinta tidak seperti itu.” Ujarnya. Zee
melirik ke wajah Dioba yang tidak terlihat jelas karena gelapnya sang malam.
Lampu jalan dan lampu yang memancar dari mobil dari depan tidaklah seterang
yang diinginkan sebab lampu-lampu itu hanya menerangi jalan saja namun dengan
pasti Zee bisa mengamati kalau wanita itu memiliki penampilan amat sangat
berbeda waktu dia ke lapangan voli. Sejujurnya Zee menyukai penampilan Dioba
saat di lapangan, seolah itulah sosok aslinya namun saat ini ia hanya
memperlihatkan kalau dia adalah seorang karyawan yang selalu patuh dan tidak
bicara kalau tidak diminta. Dioba seakan membangun jarak dengan mereka yang
sangat jauh bahkan seolah ada tembok besar dan tinggi di antara mereka. Tapi
kalau Dioba menggunakan penampilan lapangannya saat jadi supir maka akan
terlihat aneh. Selain sosoknya di lapangan berbeda dengan sekarang Zee juga
suka cara Dioba berkomunikasi dengannya saat seperti itu Dioba seolah menjadi
seorang teman, bukan karyawan bahkan Dioba bisa menjadi orang yang lebih dewasa
darinya dan Zee memang menyadari kalau usia Dioba di atasnya. Dan di momen itu
Dioba bisa menempatkan diri kalau sebenarnya dia di atas Zee dalam urusan makan
asam garam kehidupan.
Zee tidak menanggapi ucapan Dioba dengan
pendapatnya tentang cinta. “Apa minggu depan aku boleh ke GOR lagi?” katanya
semacam permintaan.
“Kita lihat saja nanti.”
Zee tak menjawab lagi, kalau tidak capek ia
memang akan kembali ikut dengan Dioba. Mengurus usaha di bidang advertising memang cukup menyita waktu.
Selain dibutuhkan banyak ahli di bidang teknologi juga dalam hal kreativitas.
Dekat dengan Bimo selama ini tidak banyak
membantu Zee dalam urusan bisnis, pria itu tidak bisa memberi motivasi yang
baik juga kurang bisa diajak konsultasi dalam urusan pekerjaan. Bimo cendrung
pasif dalam hal itu. Ia lebih sering membicarakan urusan perasaannya dibanding
masa depan pekerjaan. Bimo mungkin mendambakan istri yang bukan pekerja kantor
meski ia tidak pernah mengatakan hal itu kepada Zee.
Hidup memang pilihan perkara suka atau
tidak merupakan hasil dari pilihan itu sendiri. Bimo tidak perlu mengatakan
alasannya mengapa dia melakukan gonta-ganti pasangan setelah break dengan Zee. Meski demikian ia
selalu mengamati perkembangan Zee karena ia masih menginginkan sesuatu dari
Zee.
Bimo bukanlah seorang pria yang gampang
menyerah begitu saja dengan kondisinya apalagi dia punya ambisi yang masih
terus menggerogoti pikirannya. Banyak jalan menuju roma, Dioba bukanlah
penghalang yang berarti bagi Bimo apalagi wanita itu berasal dari daerah yang
dengan mudah ia perdaya seerat apapun Zee mempertahankannya.
‘Dioba.....
saya tahu sebenarnya kamu punya modus bekerja dengan Zee, hanya saja saya belum
tahu pasti dan akan segera tahu.’ Itu pesan masuk ke dalam ponsel Dioba.
Itu semacam ancaman untuk Dioba namun Dioba merasa tidak perlu menggantikan
nomor ponselnya hanya gara-gara ancaman orang gila seperti Bimo dan Zee tidak
perlu tahu masalah itu. Dioba pun tak ingin menanggapi pesan itu karena akan
membuang-buang waktu saja.
Dioba sedang menatap Zee yang dari tadi
menarik napas panjang berkali-kali. Wanita itu jarang sekali mengeluh kalaupun
itu terjadi berarti ia sudah tidak tahu lagi harus bagaimana.
“Saya tidak mengerti apa maunya orang-orang
yang ada di negeri ini. Dalam semua departemen maunya hanya untung dan untung
tanpa memikirkan hal yang logis. Apalagi di dalam dunia periklanan, banyak
artis yang mengiklankan produks padahal dia sendiri tidak menggunakannya. Jadi
tidak habis pikir....”
“Orang baik sedikit pendukungnya, hal yang
idealis juga seringkali ditertawai orang.
Budaya asli sering dilupakan, budaya asing dibangga-banggakan, jago membuat
yang palsu seolah prestasi yang mengagumkan dan kebaikan serta logika akan
dianggap aneh.” Tutur Dioba memaksa Zee terperangah, meski ia sering
mendengar dan tahu yang dikatakan wanita
itu benar namun ia seakan baru mendengarnya untuk pertama kali. Sebelum Zee
berkomentar lebih banyak lagi Dioba sudah menambah laju kecepatan mobil.
“Kalau kamu cuti nanti aku ingin ikut
berlibur di kampung halamanmu.”
Pernyataan Zee nyaris saja membuat Dioba mengerem mendadak. Itu pernyataan
kedua wanita itu. Apakah itu sudah seharusnya atau merupakan sebuah kesempatan
untuk Dioba!?
**
Perjalanan
Dioba
menyetujui keikutsertaan Zee asalkan wanita itu setuju melalui jalan darat,
Dioba ingin naik angkutan umum yaitu bus malam tapi Zee ngotot agar mereka
membawa Fortuner kesayangan Zee. Dengan kesepakatan bahwa Zee juga harus
bergantian menyetir akhirnya usul Zee dikabulkan oleh Dioba.
“Jangan khawatir, aku siap jadi supir
pengganti asalkan kita bawa mobil dari Jakarta.”
“Bukan itu masalahnya, jarak Jakarta dari
kampung halamanku lebih dari 700 mil dan bisa kamu bayangkan berapa jam kita di
jalan.”
“Tidak masalah.” Tegas Zee namun Dioba jadi
berpikir sejenak sehingga Zee masih penasaran apakah wanita itu masih ragu
untuk mengajaknya. “Ada apa lagi...?”
“Ayahmu belum juga kembali dari luar
negeri.... padahal sudah lama sekali.”
“Ya sih, tapi beliau kan sudah kasi info
kalau pekerjaannya di sana masih membutuhkan banyak waktu dan aku pikir juga
karena ia tahu aku di sini baik-baik saja dan beliau sangat percaya sama kamu
makanya beliau tidak khawatir untuk berlama-lama di sana. Lagian aku ini kan
bukan anak SMA kelas 1 lagi.”
“Ya. Tapi bagi ayahmu kamu tetaplah anak
gadis kecilnya. Aku mau kamu minta izin sama beliau..”
“Kamu ini aneh, aku mau jalan-jalan
keliling Eropa puluhan hari juga tidak masalah bagi ayahku.”
“Kampungku bukan Eropa.” Tegas Dioba seakan
memaksa Zee untuk memberitahukan kepergiannya. Wanita itu pun tidak
menyia-nyiakan kesempatan dan menghubungi ayahnya saat ia memberitahukan akan
pergi ke kampungnya Dioba, pria itu agak keberatan meski akhirnya menyetujui
juga karena Zee tidak memberitahukan nama kampung Dioba. Sejujurnya pria itu
lebih suka anaknya berlibur ke tempatnya yang di Eropa tapi alasannya ia sudah
beberapa kali ke sana. Setelah itu Dioba menelepon seseorang untuk
memberitahukan kalau ia akan pulang dan berlibur di kampungnya.
Dioba meminta Zee yang membawa mobil
terlebih dahulu. Perjalanan dari Jakarta menuju ke Merak sepertinya akan mudah
dilewati oleh Zee yang terbiasa menyetir di kota besar. Fortuner itu sudah
dipenuhi oleh barang bawaan Zee sedangkan Dioba hanya membawa beberapa pakaian
saja. Sebelum keberangkatannya Zee memberitahukan kepada Amel kalau dia akan
keluar kota dengan Dioba dan meminta Amel menangani urusan kantor dalam dua
minggu ke depan.
Dioba tidak pernah membayangkan akan
mengajak Zee berkunjung ke kampungnya, sama tidak percayanya saat Zee ikut
dengannya ke GOR bermimpi saja tidak pernah. Anak kota itu akan masuk ke dalam
perkampungan yang teramat sangat jauh
dari ibukota meski sudah menjadi Kabupaten.
“Zee.... kamu ini aneh tahu nggak! Kamu itu
kenal dengan Dioba baru setahun belakangan ini tapi kamu sudah berani ikut dia
keluar kota. Ya aku tahu kalau dia itu baik dan sopan tapi kan kampung
halamannya itu jauh sekali, bukan di Bandung atau daerah Sukabumi...” Saat
memberitahukan ingin pergi dengan Dioba sepertinya Amel protes keras namun Amel
berusaha memastikan kalau dia akan baik-baik saja.
“Aku tidak akan apa-apa, dengan kepergianku
bersama Dioba akan mempererat hubungan kami untuk urusan kantor. Seperti kamu
dan aku selama ini, kamu percaya sama aku deh Mel... ini semua aku lakukan demi
keakraban semata.”
“Tapi Zee...... kita belum tahu siapa Dioba
sebenarnya.” Amel masih saja mengkhawatirkan bosnya. Tapi Zee hanya tersenyum
seolah menganggap Amel mulai menyamai Bimo meski berbeda cara perhatiannya. Zee
memperlihatkan keyakinannya kepada Amel untuk percaya kalau dia akan baik-baik
saja. Kalau Dioba ingin berbuat jahat kepadanya maka selama ini sudah ia
lakukan karena dalam setahun ini Dioba sudah mengendalikan hidup Zee di atas
mobil.
“Selama aku pergi, aku percayakan urusan
kantor padamu.” Tambah Zee memaksa Amel tidak bisa bicara apa-apalagi. Itulah
permbicaraan Zee dengan sekretarisnya dua hari yang lalu.
Fortuner itu sudah melewati Tol Grogol
diiringi sebuah lagu ‘Broken Angel’ Arash
feat. Helena. Di tangan Zee mobil melaju dengan kencang sedangkan Dioba di
sebelahnya hanya duduk mengamati suasana sekitar jalan. Ia tidak asik dengan
ponsel atau yang lainnya dan sepertinya siap bicara kalau Zee mengajaknya
berbincang. Di atas Dashboard ada
sebuah map Sumatra Selatan, khususnya Bengkulu. Kalau untuk Dioba pribadi tidak
membutuhkan map itu karena Provinsi Bengkulu adalah tanah kelahirannya tapi Zee
ngotot membawa kertas itu.
“Kita nanti akan melewati jalan lintas
Sumatra ya Di.......?” tanya Zee akhirnya.
“Ya. Tapi kita harus menginap dulu di
Lampung dan setelah subuh baru jalan lagi.” Ujar Dioba. Zee melirik jam
tangannya yang jarumnya sedang menunjukkan pukul 14.17 WIB. “Untuk sampai di
Merak membutuhkan lebih kurang 2 jam lagi. Di atas kapal Ferry sekitar dua jam
juga dan tiba di Bakauheni diperkirakan maghrib atau lewat.”
“Wow! Kamu ternyata sudah memprediksi
perjalanan kita dengan baik. Semoga saja tidak ada halangan.” Kata Zee dan
diamini oleh Dioba. Dioba yang memang sudah seringkali pulang naik Bus tentunya
hafal berapa jam perjalanan yang akan mereka tempuh nanti. Berapa kali mereka
harus mampir untuk makan di warung dan warung mana saja yang akan mereka
singgahi. “Kalau lewat atas hanya membutuhkan waktu satu jam,’kan, Di?”
“Ya, tapi dari Bandara untuk sampai ke
rumah ibuku tetap saja akan menempuh jalan darat sekitar empat jam dengan
menggunakan mobil Travel.”
“Boleh aku tanya satu hal? Semoga saja kamu
tidak menganggap pertanyaan ini menyangkut urusan pribadi.” Dioba menoleh pada
Zee.
Zee meliriknya sekilas. “Boleh, ada apa?
Jangan sungkan seperti itu... kita sedang tidak di kantor dan tidak sedang
menjalani urusan pekerjaan. Perjanjian itu hanya berlaku kalau kita sedang
sama-sama bertugas. Jadi untuk bertanya hal apapun tidak masalah dan aku harap
kamu juga tidak keberatan kalau seandainya nanti aku juga ingin bertanya
hal-hal yang mungkin ada yang kurasa mengganjal di hatiku.”
“Bagaimana kamu memberitahukan kepada Amel
tentang keberangkatanmu ini dan apakah kamu percaya penuh dengan wanita itu?”
Pertanyaan itu masih ada hubungannya dengan
urusan kantor meski ada hal menyangkut urusan kepercayaan namun tetap menjurus
ke urusan pekerjaan.
“Tentu saja aku memberitahukan sebenarnya
kepada Amel kalau aku akan berkunjung ke kampung halamanmu meski awalnya ia
meragukanku namun untuk urusan kepercayaanku kepada Amel kurasa sama percayanya
aku sama kamu.”
Itulah Zee, selalu gampang percaya sama
orang lain. “Percaya pada semua orang dan berpikiran positif itu memang baik
tapi waspada tidak ada ruginya.” Tutur Dioba dengan santai namun mengandung
nada peringatan.
“Memangnya kenapa? Apa aku tidak boleh
percaya sama kamu? Apa kamu akan mencelakaiku?” kata Zee dengan nada diiringi
tawa halus namun perkataan itu sempat membuat Dioba kaget. “Di..... banyak
sekali motif atau modus bagi seseorang atau banyak orang di dunia ini untuk
mencelakai orang bahkan tidak segan-segan membunuh orang tapi bagiku semua itu
tidak ada bandingnya dengan sebuah keikhlasan dan ketulusan yang dilakukan oleh orang yang dijadikan target.
Harta tidak dibawa mati, sedangkan nyawa juga titipan yang maha kuasa. Uang
dicari untuk kebutuhan bukan untuk ditimbun-timbun. Harta banyak juga tidak ada
gunanya kalau tidak bisa menikmatinya dan mengamalkannya.”
“Kamu percaya dengan pembunuh berdarah
dingin? Atau sang spikopat.”
“Ya.. aku sudah sering mendengar di berita
juga melihatnya di film-film.”
Dioba yang biasanya selalu menggunakan headset kalau di perjalanan kini
mengabaikan kebiasaan itu hanya karena tidak ingin mengabaikan Zee apalagi
wanita itu tidak ada teman bicara di perjalanan sepanjang menuju pulau Sumatra
dan amat sangat tidak sopan kalau ia melakukan hal itu. Perjalanan menuju pelabuhan
Merak terasa cepat karena Zee memang pandai mengendarai mobil jauh dari yang
Dioba kira. Dioba ingat saat pertama kali belajar mengendarai mobil saat ia di
kampung halamannya pria yang sudah menikah dengan pegawai negeri, dulu pria itu
teman sekolah Dioba dan kini juga menikah dengan wanita tetangga dekat ruamh. Pria
itu tanpa rencana menantang Dioba coba membawa mobilnya dan ia mengajarkan
Dioba dengan tulus karena melihat kemauan Dioba yang cukup keras dan dengan
beraninya ia meminta Dioba mengendarai dengan satu tangan dan sebelumnya ia
minta Dioba membeli minuman dulu lalu tanpa di duga ia menyuruh Dioba menikmati
minuman botol itu sembari tidak melepaskan stir dari tangannya yang satu.
Setelah itu nyaris setiap ia istirahat untuk makan siang ia selalu memberi
peluang kepada Dioba untuk memperlancar mengendarainya dan setelah itu Dioba
sudah merasa terlatih. Hal yang tidak pernah Dioba duga sebelumnya kalau ia
bisa mengendarai sebuah mobil tanpa harus memiliki mobil begitupun dengan
sepeda motor. Kebaikan dan ketulusan orang-orang yang ada di sekelilingnya
selama ini tidak akan pernah ia bisa lupakan begitu saja meski ia belum bisa
membalas kebaikan orang-orang itu. Orang
baik memang tidak pernah minta dibalaskan budi baiknya karena mereka
tulus dan ikhlas hanya saja sebagai manusia terkadang merasa kalau kita perlu
melakukan kebaikan kepada siapa saja terlebih dengan orang-orang yang sudah
berbuat baik terhadap kita.
Pria itu sekarang masih sibuk menjadi supir
angkot dan bisnis kecil-kecilan meski istrinya seorang wanita PNS.
Dioba melirik ke Zee yang masih segar
dengan stirnya, merasa diperhatikan oleh Dioba memaksa Zee bertanya.
“Apa ada yang aneh? Atau aku masuk jalur
yang salah?” ia menoleh sejenak lalu melihat ke jalanan lagi. Dioba sudah
kembali menyimak jalan panjang yang kiri kanannya tidak ada lagi gedung-gedung
tinggi menjulang.
“Tidak ada. Apa yang ada dipikiranmu Zee?
Apakah kamu sedang berpikir kalau kamu saat ini sedang merasakan berada di
dalam posisiku?” tanya Dioba meski pertanyaan itu diluar dugaannya sendiri.
“Tidak juga.” Jawab Zee dengan santai. “Itu
kalau pertanyaanmu barusan menyangkut soal pekerjaan lho tapi kalau soal lain
aku tidak tahu.” Sekilas ia menyimak mimik wajah Dioba yang tanpa ekspresi dan
terkesan datar-datar saja. “Apa ada pikiran lain yang ada di benakmu tentang
aku?” Zee balik bertanya.
Dioba berdehem halus sebelum menjawab
pertanyaan Zee. “Berapa kamu beli mobil ini dan apakah menggunakan uang dari
hasil kerjamu selama ini?” pertanyaan itu baru mengusik pikiran Dioba saat dari
beberapa menit yang lalu sebab ia merasa betapa beruntungnya wanita kota itu.
Hidup enak, punya segalanya di dalam rumah besar yang dihuni oleh pengurus
rumah. Punya perusahaan dan seorang ayah yang amat sangat menyayanginya. Punya
kekasih meski sudah ia depak dan
seorang supir pribadi dan sekolahnya cukup tinggi yang mungkin kembali akan melanjutkan
S3-nya dalam usia yang lumayan masih muda.
Zee tertawa mendengar pertanyaan Dioba
namun ia harus menjawab jujur apa yang telah ditanyakan kepadanya. “Pertanyaanmu
mengandung dua konotasi, pertama hanya ingin tahu harga dan berniat juga ingin
membelinya dan yang kedua ingin tahu apakah mobil ini pemberian ayahku atau
dari hasil keringatku sendiri. Berhubung kita sedang tidak dalam urusan
pekerjaan dan kurasa pertanyaan yang menjurus ke pribadi itu akan aku jawab.
Aku beli dari hasil kerjaku selama hampir dua tahun ini.” Jawab Zee dengan nada
tenang tanpa mengandung kesombongan di dalamnya.
“Ayahmu tidak sayang sama kamu?”
“Maksudmu?” kata Zee dengan cepat namun
sebelum Dioba menjawab ia menambahkan lagi dengan segera. “Tidak. Beliau sangat
menyayangiku... apapun yang ia lakukan di dunia ini hanya untukku, saat ia
ingin membelikan sebuah mobil untukku aku langsung menolaknya karena aku ingin
punya sesuatu dari hasil jerih payahku sendiri dan beliau mengizinkannya meski
tadinya menginginkan aku hanya untuk menabung dan menabung. Sayang ya kamu
belum ketemu beliau... beliau adalah pria yang paling baik di dunia ini.” Puji
Zee dengan bangga meski pujian itu tidak membuat Dioba ikut senang.
“Aku rasa setiap anak di dunia ini akan
mengatakan hal yang sama kalau ayah atau ibu mereka adalah yang terhebat dan
terbaik. Itu sudah lumrah.”
“Ya, mungkin kamu benar namun sayangnya aku
tidak pernah bertemu dengan ibuku. Beliau meninggal saat usiaku 7 tahun.”
“Ayahku juga sudah meninggal sebelum aku
dilahirkan ke dunia ini.” Itu pertama kalinya Dioba mengeluarkan isi dari dalam
kehidupan pribadinya kepada Zee.
“Kamu punya ibu tiri?” tanya Zee sembari
menoleh ke wajah Dioba meski ayahnya sendiri tidak menikah namun tidak menuntut
kemungkinan kalau ibunya Dioba juga telah menikah lagi. Sesaat terdengar
tarikan napas panjang dari mulut Dioba memaksa Zee melambatkan laju kecepatan
mobilnya.
“Tidak.”
“Oh.” Kata oh itu mengandung keprihatinan
yang tinggi sekaligus rasa bangga karena dengan menjadi wanita single parent telah berhasil membuat Dioba menjadi seperti saat ini,
sekolah menyelesaikan S1-nya. Timbul keinginan Zee setelah kembalinya dari
kampung nanti akan menjadikan Dioba sebagai pegawai penting di kantornya
tapi.... “Di... apakah menjadi supir kamu merasa, maksudku aku ingin
menjadikanmu pegawai penting di kantor tapi secara pribadi aku merasa kamu
paling penting ada bersamaku. Apakah itu rasa egoku yang bicara? Tapi kamu
boleh kok nanti mengembangkan hobimu dan selama ini aku juga tidak pernah
menuntut,’kan?”
“Mengapa kamu bicara seperti itu? Buatku
kerja apapun dan dimanapun yang terpenting adalah kenyamanan meski tidak
menampik pandangan orang yang masih memandang orang sebelah mata dari profesi
yang orang jalani, itu pandangan manusiawi di semua belahan dunia ini.”
“Kamu bisa saja...” sahut Zee merasa tidak
enak hati. Matahari mulai condong dan sesaat lagi mereka tiba di pelabuhan
Merak untuk menyeberang ke pulau Sumatra. “Aku mulai lapar.” Tambah Zee.
“Kita bisa makan nanti di dalam kapal
Ferry.” Dioba memberi usul dan dalam perjalanan itu dialah kendalinya.
Keputusan ada di tangannya.
“Oke.” Saat mobil mulai masuk area
pengambilan tiket untuk masuk ke kapal Zee meraih botol minumnya dan meneguknya
beberapa tenggak.
“Antrian tidak akan lama karena bukan hari
libur sekolah bukan juga hari besar agama jadi lancar.” Jelas Dioba karena
memang suasana pelabuhan penyebrangan itu terlihat agak lengang.
Benar saja, tidak sampai setengah jam
mengantri mobilpun sudah bisa masuk ke dalam lambung kapal Ferry yang dari tadi
sudah siap di tepi pelabuhan. Sampai di dalam ternyata mobil pribadi sudah banyak
tersusun meski tidak bisa di bilang penuh. Mobil truk angkutan sembako atau
minum-minum yang bermerek yang akan di angkut ke kota-kota kecil yang ada di
Sumatra. Kalau dari Sumatra sendiri biasanya mengangkut hasil pertanian ke
Jakarta seperti kelapa, pisang, kopi dan hasil pertanian yang lainnya.
Saat hendak keluar dari dalam mobil Dioba
mengingatkan Zee untuk mengenakan jaketnya. Selain di luar dingin ia tidak
ingin wanita itu berpenampilan mencolok karena mereka sudah akan meninggalkan
kota Jakarta yang mungkin orang pada umumnya tidak begitu peduli orang mau
berpenampilan seperti artis sekalipun.
“Ya ya.... di atas nanti pasti dingin
apalagi sudah menjelang senja begini.” Kata Zee tidak memahami apa yang ada
dipikiran Dioba. Dioba tak perlu menjelaskannya selain memberi usul dan
melarang apa yang seharusnya. Dioba hanya membawa tas selempangnya yang berisi
dompet dan ponsel. Laptop dan yang lainnya ia tinggal di dalam mobil. Dioba
yang mengenakan kaus lengan panjang merasa tidak perlu mengenakan jaket meski
ia tahu di atas saat memandang laut nanti anginnya cukup kencang.
“Jujur... ini pertama kalinya aku naik
kapal Ferry, untungnya aku tidak mabuk laut tidak juga phobia ketinggian.” Zee merasa
takjub saat mereka jalan di sisi kapal di mana langsung terlihat air laut yang
masih bergolak karena masih dekat dengan pelabuhan.
“Bisa berenang?” spontan Dioba melontarkan
pertanyaan itu.
“Pasti. Tapi tidak pernah berenang di
laut.... kata orang sejago-jagonya orang berenang di kolam renang belum tentu
bisa berenang di tengah laut karena laut punya nyawa sendiri yang mengandung
ribuan misteri di dalamnya.”
Dioba membawa Zee masuk ke dalam resto
kecil yang tidak begitu ramai karena tempatnya ada di bagian atas kapal dan
tempat yang ia pilih bukan kelas ekonomi. Sambil makan mereka bisa melihat laut
tanpa ada halangan yang menutupi mata mereka. Dioba tidak memberlakukan Zee sebagai
bos atau sebagai teman dan baginya tidak ada yang istimewa pada wanita itu
hanya saja hidupnya beruntung meski sejujurnya Dioba masih tidak mengerti apa
yang sedang ia inginkan dari Zee. Apakah ada rasa kecemburuan atau ada hal
lain...? apakah cemburu sosial atau yang lainnya. Hanya Tuhan yang tahu apa
yang ada di hati Dioba saat bersama Zee.
Zee menikmati makan senja itu dengan sangat
nikmat terbukti ia makan banyak dengan lauk pedas dan berkali-kali ia menoleh
kepada Dioba yang juga terlihat menikmati makanannya. Satu dua orang yang ada
di tempat itu tidak mempedulikan kedua wanita itu meski Zee memperlihatkan
sosok yang gampang di goda pria lain meski demikian tidak berlaku jika ia ada
di dekat Dioba yang memiliki pribadi untuk orang enggan berbuat iseng lantaran
sosoknya yang santai, fokus dan punya wibawa yang jarang dimiliki wanita
seusianya.
Beberapa saat kemudian kedua wanita itu
sudah berdiri di bagian paling pinggir kapal untuk menikmati senja yang indah
dan tidak lama lagi sunset menyinari badan
kapal. Ada beberapa orang yang juga ikut berdiri tidak jauh dari Zee dan Dioba.
Dioba menarik napas dalam-dalam, jika malam menjelang dan mereka masih berdiri
di atas itu dan tidak ada orang lain maka akan lebih mudah baginya untuk
mendorong Zee hingga jatuh ke dalam laut dalam karena wanita itu tidak akan
bisa berenang di dalam ombak yang deras. Kapal berayun-ayun karena ombak yang
lumayan tinggi ditambah lagi angin yang cukup kencang. Tapi apakah ia tega?
Membayangkan Zee megap-megap dan terminum air laut lalu tenggelam dan perlahan
tidak bisa bernapas lalu mati dengan mengenaskan atau bahkan tubuhnya
dicabik-cabik binatang buas yang ada di dalam laut dengan gigi-gigi taringnya.
Bukan itu saja, polisi akan mencarinya dengan pembunuhan berencana dengan motif
untuk mengambil mobilnya atau hal lain. Tidak!!!
“Di..... ambil foto dong! Ini suasana lagi
bagus.” Ujar Zee membuyarkan apa yang ada di dalam otak Dioba saat itu. Ia
menyerahkan kamera ponselnya kepada Dioba dan diterima Dioba dengan perasaan
yang sudah ia kendalikan. Kini ponsel canggih itu sudah ada di tanganya untuk
mengambil gambar Zee yang tidak perlu bergaya macam-macam karena wanita itu
sudah memenuhi gaya apapun di sosoknya. Tiga kali Dioba mengambil gambarnya
setelah itu Zee minta mereka selfie
beberapa kali lalu ia minta tolong orang lain mengambil gambar mereka berdua
agar semua pemandangannya terekam di kamera sebab Zee tidak suka dengan tongsis.
Menit berikutnya Zee minta Dioba foto sendiri namun ditolak oleh Dioba dengan
mengatakan.
“Sudah cukup foto-fotonya.” Sepertinya ia
lebih suka menikmati suasana laut dibanding menghabiskan waktu dengan terus
berfoto. Dioba meletakkan kedua tangannya di atas besi kapal sebagai pembatas
untuk menikmati permukaan laut yang tak terlihat ujungnya. Di laut manusia akan
terasa bak setitik air dan di atas pesawat manusia akan terasa lebih kecil dari
lalat. Seperti itulah manusia yang tidak lebih dari sebutir debu yang kapan
saja bisa lenyap. Dioba ingat dengan ibu dan neneknya yang di kampung meski
tidak lama lagi ia akan bertemu dengan mereka tapi bagi Dioba dua sosok wanita
itu adalah yang paling berarti di dalam hidupnya. Mereka memberi izin kepada
Dioba untuk merantau dan selalu mendoakan yang terbaik bagi Dioba. Bagi mereka
tidak ada harta yang lebih berharga di dunia ini selain Dioba. Kebahagiaan
Dioba adalah segalanya dengan cara membiarkan wanita itu berkelana di kota
orang lain meninggalkan kampungnya entah demi apa namun yang jelas mereka tidak
akan menghalangi apapun keinginan Dioba. Mengabulkan keinginan Dioba adalah
bentuk dari kasih sayang mereka.
Zee menghampiri Dioba dan berdiri tepat
disebelah wanita itu dengan sangat dekat sehingga bahunya mengenai bahu Dioba.
“Seharusnya aku merasa asing berada di sini,
coba kamu lihat di depan sana laut yang begitu luas dan dalam yang kita sendiri
tidak tahu apa saja isinya selain ikan dan mahluk laut lainnya. Apa bisa kamu
bayangkan jika ada seorang anak manusia terjatuh ke dalam sana tanpa bisa
berenang sedikitpun? Dia akan mati sebelum orang datang membantunya apalagi
kalau hari sudah gelap.”
“Hidup mati manusia ada di tangan Tuhan,
mengenai bagaimana cara ia mati itu juga rahasia Tuhan.” Dioba meluruskan
badannya ia merasa tidak suka kalau Zee bicara sesuai apa yang ada
dipikirannya. Ia menatap Zee yang masih asik mengamati laut. “Kalau kamu
sendiri berharap mati seperti apa?”
Itu pertanyaan di luar dugaan Zee. “Apa
bisa kita tidak usah lagi membicarakan tentang mati untuk saat ini? Apa kamu
tidak bisa melihat betapa indahnya dunia ini? Dunia laut dan dunia atas sana
begitu sempurna, tidak salah jika Khairil Anwar mengatakan ‘Aku Ingin Hidup
1000 Tahun Lagi’ meski demikian yang namanya mahluk bernyawa pasti mati dan aku
ingin mati di dekat orang-orang yang aku cintai dan sayangi.” Zee menghadapkan
wajahnya ke hadapan Dioba. “Meski aku kini hanya punya seorang ayah namun
sekarang aku punya kamu yang juga sudah aku anggap kelurga sendiri... kamu tahu
apa itu arti keluarga?”
“Tidak! Aku bukan keluargamu....” Dioba
membantahnya dengan tegas. “Bagaimanapun kita berbeda, posisi kita seperti
langit dan bumi.”
“Manusia tetaplah manusia, posisi bisa
diubah tapi rasa nyaman tidak bisa ditemukan kepada setiap orang yang kita
temukan. Tapi akan lain halnya jika kamu memiliki rasa berbeda... bukan rasa
nyaman atau rasa sayang yang tulus kepadaku.”
Dioba membalikan badannya ke arah laut luas
sembari berguman. “Tahu apa kamu tentang rasa.”
“Tidak ada yang kebetulan di dunia ini Di....
semua yang terjadi sudah direncanakan oleh Tuhan.” Matahari mulai pamit dan
bola merah besar itu seakan menyentuh air laut dan akan terlelap di dalamnya,
dalam pelukan bumi. Begitulah tata surya akan berjalan sesuai printah Tuhan.
Ada dua pria yang coba mendekati Zee dan
Dioba mengamatinya dari dekat tanpa coba ikut campur. Kedua pria itu sepertinya
hanya ingin kenalan dan berbincang-bincang saja dan kalaupun mereka punya niat
buruk kepada Zee maka Dioba tidak akan peduli dan itu artinya mereka membantu
pekerjaan Dioba. Mereka bertanya mau kemana? Jalan-jalan atau mengunjungi
keluarga atau mau pulang kampung? Dijawab Zee apa adanya kalau dia memang mau
jalan-jalan sekalian mengunjungi keluarga. Melihat gelagat tidak baik dari
kedua pria itu Dioba langsung bertindak yang tadinya seolah dia tidak bersama
Zee kini meraih tangan Zee dan memegangnya dengan erat.
“Maaf... kami akan segera turun.” Ujarnya
lalu meraih tangan Zee dan mengajaknya meninggalkan tempat itu. Zee mengikuti
langkah Dioba dan bertanya setelah mereka menjauh dari kedua pria tersebut.
“Ada apa sih Di....? mereka tidak
macam-macam kok.”
Dioba sudah melepas tangan Zee dan mereka
berjalan ke sisi lain kapal bukan turun seperti yang tadi dikatakan oleh Dioba.
“Belum tapi mereka akan macam-macam.” Ujar Dioba tanpa menoleh kepada wajah Zee
dan ia bisa melihat tadi kalau salah satu dari pria tadi sedang merogoh
kantongnya dengan mengamati Zee secara seksama. Zee berhenti melangkahkan
kakinya hanya ingin melihat apakah Dioba juga berhenti. Ia tadi juga tahu kalau
kedua pria itu tidak punya niat baik padanya namun sampai di mana pengamatan
Dioba? Sampai di mana kepeduliannya? Zee tahu meski Dioba itu terlihat cuek dan
seolah masa bodoh ia yakin Dioba tak akan membiarkannya diganggu sama orang
apalagi Zee akan memasuki daerah Sumatra yang notabene tanah kelahiran Dioba.
Menyadari tidak ada suara Zee memaksa Dioba
menoleh ke belakang dan mendapati Zee sedang menatap jauh ke laut dengan
memeluk kedua tangannya di dada. Tidak ada lagi kedua pria tadi yang ada hanya
satu dua orang lewat menikmati indahnya malam itu di atas kapal yang hanya
diterangi kerlap-kerlip ribuan bintang. Indahnya malam itu membuat orang tidak
peduli dengan dinginnya terpaan angin laut yang kencang. Zee masih mendekap
tanganya dan jaket berbahan kausnya sepertinya tidak cukup kuat menahan
terjangan angin apalagi Dioba yang hanya mengenakan kaus lengan panjang tanpa
tambahan jaket.
“Aku mau pesan kopi. Mau tunggu di sini
atau ikut ke dalam?” kata Dioba sebenarnya mengajak Zee meninggalkan tempat itu
karena tidak ada lagi pemandangan laut yang indah kecuali gelap sedangkan
kerlip bintang hanya terlihat semacam hiasan langit saja bukan sebagai
penerang. Zee menoleh kepada Dioba yang masih menunggu responnya. Tak ada suara
lalu detik berikutnya Zee melepaskan dekapan tangan di dadanya lalu meraih tangan
Dioba dan mengikuti langkah Dioba yang mulai bergerak. Zee seperti anak kecil
yang pegangan sama kakaknya meski tidak suka cara Zee namun Dioba tidak bisa
langsung menepis tangan Zee khawatir wanita itu akan tersinggung.
Di cafe yang masih berlokasi bagian atas
kapal Dioba memesan kopi susu dan diikuti oleh Zee dengan pesanan yang sama di
tambah dengan roti keju. Malam mulai beranjak dan sekitar setengah jam lagi
mereka akan berlabuh di pelabuhan Bakaheuni.
“Aku suka suasana di sini.” Ujar Zee
setelah menyeruput kopinya dan kursinya mengahadap ke laut meski mereka tidak
benar-benar duduk di pinggiran kapal karena posisi cafe agak di tengah. Dioba diam
dan menikmati kopinya, seharian ini ia tidak mendengar Zee membicarakan urusan
kantor dan tidak juga ada telepon dari Amel sang sekretaris Zee. Sepertinya
urusan kantor baik-baik saja. “Seperti katamu nanti kita akan menginap di hotel
atau losmen dan setelah subuh baru berangkat lagi... begitu,’kan?”
“Ya.”
“Dan kita akan tiba di rumahmu sekitar
pukul enam sore atau mungkin malam hari. Ya ampun Di...! kenapa aku lupa bawa
oleh-oleh untuk keluargamu di kampung?”
“Tidak usah, bagi mereka kedatanganku saja
melebihi hadiah dari apapun yang ada di dunia ini.” Sahut Dioba santai
menanggapi kepanikan Zee.
“Oh, begitu ya. Tapi tetap saja aku merasa
tidak enak. Sepertinya kamu amat sangat berarti ya di keluargamu dan kurasa
ayahku juga seperti itu padaku dan begitupun sebaliknya karena kami hanya
tinggal berdua dalam hubungan darah jadi aku merasa wajar kalau ayahku kadang
memiliki sifat yang terlalu protektif padaku. Aku baru boleh melakukan sesuatu
kalau sudah ada izin dari beliau dan begitupun beliau, dia tidak akan menikah
dengan perempuan yang tidak aku sukai.” Zee melirik Dioba. “Apakah aku terlalu
egois?”
“Mungkin. Tapi bagiku kamu itu tidak lebih
dari wanita beruntung.”
“Beruntung dari segi apa?” Zee meletakkan
gelas kopinya. “Pandangan orang selalu dari segi berbeda. Kadang yang kita
lihat baik belum tentu baik dari pandangan orang, yang kita lihat beruntung
belum tentu begitu yang dirasakan orang yang kita lihat. Intinya setiap manusia
selalu merasakan ingin berada di luar zonanya. Aku pernah mendengar obrolan ibu
rumahtangga. Dia mengatakan ‘enak sekali ya jadi wanita karir bisa punya uang
lebih, bisa bantu suami dan bisa membeli
yang diinginkannya tanpa minta uang sama suami ‘sedangkan wanita karir
berpendapat sebaliknya ‘enak sekali menjadi ibu rumahtangga bisa melihat
perkembangan anak setiap jamnya, bisa membantu anak membuat PR, bisa masak
setiap pagi, mengantar dan menunggu anak-anak di sekolah.’ Jadi seperti itulah
manusia Di.”
“Kasus kita beda Zee, tidak seperti kasus
wanita karir dan wanita ibu rumahtangga.” Kembali Dioba menikmati kopinya. “Dan
kamu....., sudahlah.” Dioba tidak meneruskan kata-katanya. “Sudah saatnya kita
turun kerena sebentar lagi kapal akan menepi.” Ujar Dioba tidak mau lagi
berdebat dengan urusan itu karena Zee tidak akan pernah mengerti.
Seperti yang telah disepakati sebelumnya saat
keluar dari kapal urusan mobil sudah menjadi tanggung jawab Dioba. Mobil keluar
dari lambung kapal dan mulai mencari tempat penginapan karena waktu sudah
menunjukkan pukul tujuh malam. Dioba akan mencarikan tempat yang tidak bisa
dibilang mewah namun cukup menjadi tempat untuk istirahat hingga subuh
menjelang.
“Jangan kaget karena kita tidak akan
menginap di hotel berbintang dan jangan juga berharap kita akan
bersenang-senang.” Kata Dioba saat mobil sudah jalan sekitar lima menit di
jalan raya dan di tepi jalan Dioba akan singgah di penginapan biasa di mana
orang-orang sering menginap saat jalan-jalan atau memang suka keliling
Indonesia.
“Tidak masalah.” Sahut Zee dengan sungguh-sungguh.
“Karena kita memang bukan untuk mencari hotel mewah atau survei hotel,’kan?”
Zee juga memang sudah bosan untuk tidur di hotel bintang lima yang menyediakan
mini bar, balkon atau perlengkapan lainnya yang bersifat kemewahan. Bukan juga
ia tidak mampu membayar perjalanan mereka ke kampung Dioba dan bukan juga ia
minta Dioba yang membiayai semuanya. Namun semua yang ia jalani bersama Dioba
merupakan perjalanan yang tidak akan pernah ia lupakan untuk seumur hidupnya
nanti.
Dioba menepikan mobil dan berbelok ke arah
sebuah penginapan umum yang letaknya tidak jauh dari sebuah mini market dan
sebelumnya mereka melewati beberapa penginapan dan hotel Bandar Lampung yang
memiliki beberapa lantai.
Dioba meminta Zee menunggu di dalam mobil
sebentar untuk menanyakan apakah masih ada 1 kamar kosong untuk dua tempat
tidur. Tempat itu mungkin tidak akan lebih dari duaratusribu permalamnya. Menit
berikutnya Dioba telah kembali ke mobil dan meminta Zee turun dengan membawa
segala keperluan yang nanti dibutuhkan.
Hal pertama yang akan dilakukan oleh Dioba
adalah mandi dan sebelumnya ia memesan dua cangkir kopi agar diantar ke kamar
no 7 yang mereka tempati yaitu kamar paling ujung. Zee mengamati kamar yang
malam itu akan mereka tiduri. Sebuah kamar dengan dua tempat tidur, meja dan
kursi sepasang dan satu televisi ukuran sedang, AC dan satu kamar mandi. Cukup
nyaman dan di depan pintu kamar langsung ada teras kecil dan tempat duduk
dengan sofa yang ditengahnya tersedia meja kecil. Pintu itu sudah dikunci oleh
Dioba sebelum ia masuk ke kamar mandi.
Zee membongkar isi tasnya dan isi dompetnya
dengan lengkap kartu ATM dan beberapa lembar uang kertas ratusan ribu rupiah.
Ia tidak tahu berapa tabungan Dioba dan berapa uang yang ada di dompetnya dan
sepertinya wanita itu tidak mau perjalanannya dibiayai oleh Zee. Apakah ia
memiliki gengsi yang tinggi atau memang dia punya banyak uang. Sampai detik ini
Zee tidak bisa menduga siapa Dioba yang sesungguhnya meski secara emosional ia
tahu karakter Dioba namun masih banyak hal yang harus ia dalami mengenai wanita
itu. Kadang ia pemarah, baik, kadang tidak peduli dan masih banyak lagi yang
membuat Zee ingin masuk ke dalam pribadi Dioba. Wanita itu bukan saja menyimpan
banyak misteri hidupnya namun ia juga menarik untuk di kenal lebih jauh. Ia
seperti hewan jinak namun terkadang semacam hewan liar yang kapan saja siap
menerkam.
Pintu kamar di ketuk oleh seorang pelayan
untuk mengantar kopi pesanan Dioba. Zee membuka pintu dan sepertinya Dioba
selalu berada selangkah di depan Zee untuk urusan seperti itu. Ia mungkin
menyadari kalau Zee terbiasa jadi anak orang kaya dan besarnya menjadi bos.
Saat Zee ingin membayar ternyata sudah di bayar di muka oleh Dioba. Pelayan itu
pamit setelah Zee mengucapkan terima kasih. Zee mengamati dua cangkir kopi di
atas meja tanpa ada makanan kecil, entah ia lupa atau memang tidak ada makan
malam lagi. Pikir Zee. Ponsel Dioba yang tergeletak di atas meja menyala
sepertinya ada pesan masuk memaksa Zee meliriknya namun tidak akan membuka
ponsel itu dan di layarnya tertera wallpaper
gambar Zee bersama Dioba di dalam GOR waktu itu. Zee mengukir senyum tipis menyimak
gambar itu sebelum menghilang bersama matinya cahaya lampu dari ponsel.
Detik berikutnya Dioba keluar dari kamar
mandi dengan wajah yang lebih cerah dan segar dari sebelumnya. Ia melirik Zee
yang rebahan di atas tempat tidur satunya. “Tidak mau mandi? Mandilah dulu biar
segar dan bisa tidur dengan nyenyak nantinya.” Kata Dioba dan hidungnya
langsung mencium aroma kopi sejak masih di dalam kamar mandi. Zee tidak segera
menjawab apa yang Dioba katakan dan sepertinya ia ingin sekali segera tidur
karena merasa lelah namun ia tidak mau
Dioba berpikir kalau dia adalah wanita jorok yang kapan saja bisa tidur meski
belum mandi sekalipun.
“Dingin nggak?”
“Ya.. sedikit karena di sini menggunakan
air sumur bukan air PAM seperti di daerah Jakarta jadi lebih alami dan
dinginnyapun seolah air yang turun dari gunung..” mendengar penuturan Dioba
membuat Zee sudah menggigil dulu namun ia paksakan untuk mandi seolah ingin
membuktikan kebenaran kata-kata Dioba itu dan bukan bualan semata.
Dioba mengecek ponselnya ternyata dari
ibundanya yang mengirim pesan untuk hati-hati di jalan. Dioba menjelaskan kalau
malam itu mereka akan menginap di penginapan dan sebelum fajar mereka baru
berangkat lagi. Di status BB-nya
Dioba menulis ‘Detik ke depan tidak ada
yang tahu apa yang akan terjadi pada
kita’
Dioba membawa cangkir kopinya ke luar dari
kamar dan ia duduk di kursi teras. Di sana ia menyandarkan tubuhnya sembari menikmati
kopi hangatnya. Di samping kanan kamar mereka ada sebuah kolam ikan yang
terbuat dari semen dan taman kecil yang indah diterangi lampu yang terang
sehingga terkesan kalau tempat itu ramah dan benar-benar dibuat bukan saja
sebagai tempat menginap namun sebagai tempat istirahat yang menyenangkan.
Beberapa saat kemudian Zee menyusul duduk
di kursi yang di sebelahnya namun ia tidak membawa gelas kopinya karena mungkin
mengira Dioba tidak akan lama duduk di tempat itu namun tidak demikian karena
Dioba memang betah duduk di sana sebelum matanya mengantuk.
“Airnya lumayan dingin namun akan terasa
segar dan hangat setelah selesai mandi.” Kata Zee tanpa diminta oleh Dioba.
“Nikmati kopimu sebelum dingin, nanti kita
akan makan di kantin.” Saran Dioba karena menikmati kopi nikmat itu tidak lebih
dari duapuluh menit setelah disuguhkan.
Zee langsung mengambil kopinya ke dalam
setelah kembali duduk ia menenggak kopinya dan melirik gelas Dioba yang tinggal
setengah. “Aku rasa tidak perlu makan lagi karena sudah malam, nanti kalau
lapar kita pesan jus saja.” Usul Zee.
“Yah, terserah kamu saja.” Sahutnya datar.
Dioba meraih ponselnya dan menyimaknya sesaat sekedar ingin melihat status BB teman-temanya.
“Di.... kamu tidak merokok? Orang suka menikmati
kopi biasanya cendrung perokok.” Tanya Zee tanpa bermaksud menyinggung.
“Kamu sendiri?” ia balik bertanya tanpa
harus menatap lawan bicaranya. “Bukankah kamu juga tiap pagi, siang dan sore
juga penikmat kopi?” ujarnya semacam dugaan.
“Yah, dulu aku sempat menikmati benda itu
tapi sekarang sudah tidak lagi.” Kata Zee dengan jujur dan kali itu Dioba
menatap Zee. Pengakuan itu diluar dugaannya. “Aku juga pernah menikmati minuman
keras bahkan sampai mabuk.” Belum turun volume rasa kaget Dioba ditambah lagi
dengan pengakuan selanjutnya. “Kamu.... apakah kamu punya pacar di kampung
halamanmu?”
Dioba menarik napas dalam-dalam baru
menjawab. “Punya, tapi dulu saat aku masih kuliah.” Beritahunya dengan nada
datar, tidak ada penyesalan dalam kata-kata itu.
“Oh....” hanya itu yang keluar dari mulut
Zee dan kembali ia menikmati kopinya hingga nyaris habis.
Malam terus beranjak namun Zee merasa
enggan untuk buru-buru masuk karena masih ingin mendengar cerita dari mulut
Dioba. “Boleh aku tahu tentang keluargamu di kampung?”
Dioba menghirup kopinya hingga habis. “Aku
hanya punya seorang ibu dan seorang nenek.” Jawab Dioba singkat dan sepertinya
ia sudah ingin masuk untuk istirahat karena besok giliran dia yang menyetir.
“Sebaiknya kita istirahat.” Ia menegaskan. Zee menghela napas panjang karena ia
merasa saat ini Dioba sedang menjauhi dirinya.
“Apakah tidak ada jadwal minum jus lagi?”
“Aku masih kenyang, tapi aku akan pesan
untuk kamu.” Ujar Dioba akhirnya dan ngeloyor pergi ke Kantin tanpa berusaha
menelepon dari kamar.
“Tunggu!” Zee memanggil Dioba karena dia
ingin ikut ke Kantin yang sekaligus bisa di sebut sebagai Kafe kecil. Jam sudah
menunjukkan hampir pukul sembilan malam dan Dioba tahu kalau Zee tidak akan
bisa tidur dengan perut lapar. Zee memesan jus apel dan makanan kecil, jika ia
tidak sempat menikmati makanan kecil itu maka sebagai cadangan saja meski di
mobilnya sudah banyak persediaan makanan kecil.
Di kamar, Dioba sudah mengunci pintu dan siap-siap
untuk ke atas tempat tidur dan sebelumnya menggosok gigi terlebih dahulu. Zee
merasa Dioba tidak seramah kala ia ada di GOR dan hari itu menjadi hari yang
tidak bisa dilupakan oleh Zee dan mengapa kondisi hari itu tidak bisa terulang
lagi sehingga membuat Zee merasa menjadi orang lain, bukan sebagai bos bukan
juga sebagai teman. Kini ia merasa menjadi sosok asing di dekat Dioba, apakah
ia akan menyesal mengikuti perjalanan itu nanti?
“Di.......?” wanita itu coba bertanya
setelah Dioba keluar dari kamar mandi. “Langsung mau tidur ya? Boleh aku minta
waktu lagi...?”
“Maksudnya?” Dioba merasa heran karena dari
tadi wanita itu terus saja bertanya. Ia duduk di tempat tidurnya lalu menatap
Zee yang saat itu sedang duduk juga di tempat tidurnya sehingga kedua wanita
itu kini sedang duduk berhadap-hadapan. Zee tidak langsung menuntaskan
pertanyaannya dan memandang Dioba cukup lama membuat Dioba merasa salah
tingkah.
“Aku punya waktu... silahkan apa yang harus
aku lakukan.” Itu ucapan bak seorang anak buah kepada bosnya dan itu tidak
disukai Zee dalam kondisi di luar pekerjaan.
“Kau tidak menyesalkan mengajak aku ke
kampung halamanmu?”
“Kita belum juga sampai tapi kamu sudah
melontarkan pertanyaan semacam itu. Ada apa sebenarnya?”
“Aku tidak mengenalimu saat ini.”
“Maksudmu?” tanya Dioba balik dan ia memang
suka kalau Zee tidak mengenalinya secara utuh.
“Aku merasa saat ini seperti sandramu,
kadang juga merasa seperti tuan putrimu. Sikapmu sungguh susah kumengerti. Kamu
tidak punya adik ataupun kakak,’kan sama halnya dengan diriku. Kenapa kita
tidak saling memahami posisi kita dan hidup saling berdampingan.”
“Apa maksud kamu? Aneh sekali kata-katamu
itu.” Sergah Dioba tidak suka dengan pernyataan Zee yang dianggapnya
berlebihan. “Kamu orang kota aku orang kampung yang sampai kapanpun tidak akan
pernah menyatu dan berdampingan. Orang kota akan selalu menganggap orang
kampung itu udik, kampungan, miskin, tidak berpendidikan, kolot dan semua hal
yang sifatnya jelek, juga hidup dari kubangan lumpur sawah dan kebun.” Uraian
kata Dioba membuat Zee kaget bukan main karena bukan itu yang ia maksudkan
namun Dioba sudah berpikir sejauh itu.
Zee menarik napas panjang karena nada dari
kata-kata Dioba itu semacam fakta yang harus Zee terima dan dengar meski
demikian ada gejolak di dalam ungkapannya seolah tidak sedikit yang berasal
dari kampung menjadi kebutuhan pokok orang kota. Zee tersenyum tipis namun
Dioba tidak lagi menghiraukannya dengan merebahkan badannya di atas kasur empuk
itu.
“Pastikan lampu dimatikan kalau kamu sudah
siap untuk tidur, karena aku tak bisa tidur dengan lampu menyala terang.” Ujar
Dioba akhirnya. Zee masih diam karena ia merasa Dioba belum bisa memahami apa
maksud dari kata-katanya dengan kata ‘berdampingan’ atau bisa saja ia sangat
memahami namun menolaknya dengan keras karena ia tahu Dioba itu punya sifat
yang keras dan punya prinsip hidup.
“Kamu itu terkadang menyebalkan.” Kata Zee
sembari melangkah ke kamar mandi, gelas jusnya sudah kosong dan ia tidak
menikmati makanan kecil karena akan menyusul untuk segera istirahat. Dioba tak
menggubrisnya lagi walau kadang ia merasa Zee lebih menyebalkan dari siapapun.
Sebenarnya Dioba ingin membuka laptopnya
dan menuliskan apa yang ada di otaknya saat ini namun sepertinya tidak
memungkinkan karena ia tidak ingin menulis dilihat oleh Zee dan tentu saja ia
tidak akan bisa konsentrasi. Sebelum Zee kembali dari kamar mandi Dioba
beranjak menuju tempat tidur Zee dan membersihkan tempat itu dengan
mengibaskannya dengan selimut. Ia tidak ingin wanita itu digigit sesuatu meski
hanya seekor semut sekalipun. Saat kembali ke tempat tidurnya Zee menyadari
kalau tempat tidurnya telah dibersihkan. Ia melirik ke arah Dioba lalu mengukir
sebuah senyuman lalu dalam hati ia berguman. ‘Kamu memang benar-benar
menyebalkan.’ Ia mematikan lampu dan ikut rebahan, kamar yang hanya diterangi
oleh cahaya lampu dari teras luar itu terasa nyaman, dingin sehingga Zee harus
menarik selimut agar bisa tidur dengan nyenyak. Sejujurnya ia tadinya ingin
Dioba memilih kamar dengan satu tempat tidur yang luas karena Zee tidak pernah
tidur dengan siapapun sehingga ia ingin merasakan bagaimana rasanya tidur
berdua meskipun hanya dengan Dioba. Tapi apa boleh dikata karena untuk
sementara ini yang mengatur perjalanan adalah Dioba dan pulang nanti Zee ingin
menyampaikan kalau dia punya keingian juga.
“Selamat tidur Di.....” Zee coba
mengucapkan kata-kata yang biasanya orang ucapkan menjelang tidur. Tidak ada
sahutan, mungkin Dioba sudah terlelap atau mungkin ia sudah enggan bicara lagi.
Pikir Zee.
*
Fortuner itu sudah keluar dari halaman
penginapan pas setelah menjelang fajar menyingsing. Dioba yang ada di belakang
stir melirik ke Zee untuk memastikan apakah wanita itu masih mengantuk atau
benar-benar sudah segar. Sepertinya wanita pekerja itu tidak mengantuk karena
ia malah tersenyum lebar untuk Dioba.
“Hati-hati Di..... aku percayakan hidupku
padamu.” Meski kata-kata itu terdengar ringan namun mengandung arti yang tidak
main-main.
“Hidup dan mati kita ada di tangan Tuhan.”
Dioba membelokan mobil untuk menuju perjalanan yang sesungguhnya. “Selamat
datang di Sumatra, pasang saja sabuk pengamanmu.”
“Oke...” sahut Zee dan setelah ia memasang
sabuk pengaman ia menyetel lagu kegemarannya ‘A Thousand Years’ meski tak
begitu suka dengan lagu genre seperti itu namun Dioba membiarkan Zee menikmati
alunan suara Christina Perri agar ia tidak bosan di mobil. “Udara di sini
dingin, tidak perlu menyalakan AC sudah kedinginan.”
“Karena masih gelap nanti kalau sudah siang
juga sudah pasti panas. Pulau Sumatra tidak seperti puluhan tahun yang lalu
karena di mana-mana sudah dibangun perumahan, penginapan, hotel, tempat ibadah
dan sekolah-sekolah. Meski diikuti dengan penanaman pohon baru namun tetap saja
tidak bisa mengimbangi pengurangan lahan apalagi lahan pertanian yang setiap
tahunnya terus saja berkurang.”
“Begitu ya.” Kata Zee seperti tidak
memahami meski dengan jelas ia tahu pasti kalau setiap tahunnya selalu seperti
itu, jangankan di daerah di pinggiran Jakarta saja seperti itu kalau ada lahan
satu dua hekare langsung di buat perumahan meski hanya untuk beberapa unit
saja. Dan sepertinya para pengembang sudah mengembangkan sayapnya ke
pelosok-pelosok tanah air dengan sasaran utama adalah para pegawai negeri.
Mereka membuat ratusan bahkan ribuan unit perumahan dengan menyawar para PNS
itu, rumah murah dengan subsidi pemerintah namun tetap saja harganya mahal.
“Apakah nanti kamu pernah berpikir untuk menetap di Jakarta dan membeli rumah
di sana?” kata Zee akhirnya.
“Tidak. Buat saya kampung halaman adalah
yang terindah walaupun tak dipungkiri banyak sekali kekurangan di mana-mana.
Harga sembako juga di kampung sudah hampir menyamai kota besar tapi di kampung
waktu istirahat terasa lama berbeda sekali tinggal di Jakarta, bangun pagi-pagi
tahu-tahu tak terasa sudah maghrib saja. Kita seolah diburu waktu tapi di
kampung waktu seolah kita yang atur dan waktu masih bisa diajak bersahabat.”
“Sepertinya menarik.” Kata Zee seperti coba
membayangi apa yang diucapkan Dioba namun ia tidak akan percaya begitu saja
kalau belum merasakannya sendiri karena Zee adalah tipe orang yang ingin
langsung praktek bukan teori.
“Waktu malam kita bisa menghabiskan waktu
sepanjang malam kalau di Jakarta sudah menjelang subuh namun di kampung masih
menginjak tengah malam sampai kita merasa kalau setiap malam itu adalah malam
panjang.”
“Hehehe itu dikarenakan tidak adanya
kegiatan makanya terasa panjang lha kalau orang kotakan punya banyak acara dari
makan malam di kafe, menonton bioskop bahkan menghabiskan waktu di tempat
hiburan lainnya semacam bar.”
“Yah taroklah seperti itu tapi tidak
sedikit orang pekerja di Jakarta yang tinggal di pinggirannya menghabiskan
waktu setiap harinya empat jam di jalan. Keluar dari kantor pukul lima sore dan
sampai rumah pukul tujuh malam bahkan lebih, kelelahan. Isirahat sebentar lalu
harus buru-buru tidur lagi karena besoknya setelah subuh harus berangkat lagi
dan lagi-lagi bertemu dengan macetnya jalan Jakarta.” Dioba bercerita seakan ia
sudah begitu memahami banyak hal di ibukota.
“Benar sekali apa yang kamu katakan Di...”
Zee menoleh pada Dioba. “Lalu mengapa kamu ada di Jakarta dan bertemu denganku,
sekarang menjadi salah satu orang yang kamu sebutkan tadi itu? Apakah ada hal
lain yang membuatmu melakukan itu?”
Dioba melirik ke Zee sekilas, jalan lurus
kota Bandar Lampung membuat Dioba bisa santai mengendarai mobil dan di upuk
timur cahaya merah sudah mulai terlihat pertanda matahari sudah akan muncul ke
permukaan bumi.
“Manusia terkadang melakukan hal diluar
keinginannya meski tidak tahu apa alasannya.”
“Mungkin kamu benar, tapi menurutku kamu
itu unik. Aku tahu kamu suka menulis dan melakukan banyak hal dengan
kegemaranmu itu, apa mungkin kamu itu sedang melakukan riset untuk tulisanmu
dan bekerja sambil mencari bahan untuk tulisan mengenai kota Jakarta? Jika itu
benar pasti menarik tapi jika aku salah kamu pasti punya maksud lain karena
selain menyukai Jakarta kamu juga membencinya. Terkadang kita juga menikmati
apa yang kita benci,’kan?” urai Zee dan detik berikutnya Dioba menepikan mobil
lantaran ia ingin menikmati momen munculnya sang mentari. Ia suka momen seperti
itu lalu mengambil gambarnya untuk diabadikan di ponselnya. Setelah mengambil
gambar dari dalam mobil ia menyalakan lagi mesin mobil.
“Tunggu Di....”
“Tidak bisa lama-lama karena kita sudah
mulai menjauh dari tengah kota, akan tidak aman nanti kalau aku sendiri sih
tidak apa-apa.” ‘aku percayakan anak gadisku padamu Dioba’ itu pesan yang
pernah diucapakan ayahnya Zee kepada Dioba meski hanya lewat telepon.
“Sebentar saja.” Pinta Zee.
‘Apa peduliku! Bukankah aku sendiri
menginginkan wanita ini celaka?!’ Dioba menuruti keingian Zee. Zee membuka
pintu mobil dan ia sepertinya ingin menikmati momen itu dari luar, selain minta
Dioba mengambil gambarnya dengan siluit sunrise
ia juga sangat antusias melihat kejadian itu di pinggir jalan dan cahaya itu
seolah mengintip dari balik gunung yang tidak bisa dibilang tinggi. Tidak
sampai di situ saja, ia bahkan ingin memotret Dioba dengan angle menyandar di mobil lalu background
matahari terbit.
“Sudahlah, kita harus segera berangkat.”
Ujar Dioba setengah memaksa.
“Ayolah, momen ini jarang ditemukan. Aku
tidak peduli apa alasanmu yang penting kita harus ambil gambar di sini.” Zee
masih bersikeras agar Dioba mengikuti keinginannya dan Dioba mengikuti bukan
lantara ia penurut karena apa yang dikatakan Zee sebenarnya ada benarnya.
Setelah mereka memotret beberapa kali dan hendak masuk mobil tiba-tiba ada
seekor ular melewati jalan raya. Zee ingin menjerit tapi di tahan oleh Dioba
dengan menutup mulut Zee dengan telapak tanganya agar suara Zee tidak keluar
sehingga ular merasa tidak terganggu.
“Tenang, biarkan saja dia lewat karena
kalau dia kaget dia akan menyerang kita.” Kata Dioba dengan nada pelan sambil
melepaskan tangannya dari mulut Zee. Apa yang dikatakan Dioba ternyata benar
dan ular yang cukup besar itu hanya menyebrang jalan dengan santai lalu masuk
ke dalam semak-semak. Zee buru-buru masuk ke dalam mobil setelah ular itu
menghilang karena dia tidak akan mengambil resiko dengan gigitan ular.
Kedatangan ular cukup membuat jantungnya berdetak kencang. Dioba mengikuti Zee
yang sudah ada di dalam mobil. Sebelum menjalankan mobil ia membiarkan Zee
tenang dulu.
“Tidak apa-apa, pernah melihat ular lebih
besar dari itu di kebun binatang,’kan? Santai saja.” Kata Dioba padahal ia tahu
pasti kondisi binatang di alam liar dengan yang di kebun binatang itu berbeda
jauh.
“Kemunculan ular itu sempat membuat aku sport jantung. Kok ada ya ular nyebrang
jalan di pagi buta begini. Ayo kita meninggalkan tempat ini.”
Dioba menjalankan mobilnya. “Minum dulu
biar lebih tenang. Biasalah binatang melata itu tidak akan melewati jalan aspal
di panas terik matahari.” Jelasnya kemudian. Zee mengambil minumannya yang
mereka sediakan berbagai jenis di dalam mobil. Lalu ia mengelap mulutnya.
“Kamu itu cukup kuat juga menutup mulutku
tadi.”
“Kenapa sakit? Maaf kalau begitu.” Kata
Dioba serius tapi Zee malah tertawa.
“Tidak, tidak apa-apa. Mau minum juga?”
“Nanti aku ambil sendiri.” Ia tidak akan
membiarkan wanita itu meladeninya meski hanya memberinya sebotol minuman. Hari
sudah mulai terlihat terang dan langit sepertinya akan cerah. Dioba melirik
persediaan bensin dan sepertinya sudah harus diisi dan ia tahu kalau tidak jauh
lagi ada pom bensin dengan jarak tidak lebih dari 20 km. Kini lagu Iwan Fals
dengan judul ‘Nyanyian Jiwa’ berkumandang di dalam Fortuner itu.
“Kamu itu sebenarnya suka lagu siapa?”
tanya Zee karena ia tidak tahu kalau Dioba punya koleksi lagu yang menurutnya
rada aneh-aneh.
“Lagu siapa saja yang penting enak di
dengar.” Ujarnya dan suara Iwan Fals sudah berganti dengan suara Tantri Kotak.
Mobil melaju kencang membelah pagi itu dan Dioba menghentikan mobil di POM
bensin beberapa saat kemudian. Ia berpesan kepada Zee untuk tidak usah turun
dari mobil.
“Tapi......?”
“Tidak mau ke toilet,’kan? Ya sudah tidak
usah keluar.”
“Aku kan harus bayar bensinnya.”
“Aku bisa melakukannya.”
Mobil yang di depan mereka sudah selesai
mengisi bensinnya dan Dioba sudah masuk antrian. “Zee... aku memang belum
sanggup membeli mobil tapi aku masih mampu untuk membeli bensinnya.” Kata Dioba sambil membuka
pintu mobil dan memesan untuk diisi penuh.
“Dasar keras kepala.” Gerutu Zee.
Sikap
Dioba masih saja menjadi misteri di mata Zee membuatnya tidak sabar ingin buru
bertemu dengan orang yang melahirkan Dioba dan bertanya banyak hal dengan orang-orang
sekitar Dioba karena baginya Dioba itu bukan saja menyebalkan karena kadang ia
susah diatur walau demikian baiknya kadang tanpa pamrih. Zee memejamkan matanya
sambil menunggu Dioba selesai sepertinya ia tidak mau peduli lagi apa yang
wanita itu lakukan, berapa banyak ia mengisi bensin dan berapa banyak uang yang
sudah ia keluarkan. Ia tidak akan memberi kalau Dioba tidak memintanya. Kembali
Zee menjadi dirinya sendiri, seorang bos. Mungkin itu yang diinginkan Dioba
karena ia masih memberi jarak itulah yang Zee rasakan.
Dioba tidak mengganggu Zee dengan kembali
menyetir setelah ia menikmati minuman hangatnya yang ia isi dari tempat
penginapan. Mobil tidak bisa melaju kencang karena ada beberapa jalan
berlubang. Perjalanan untuk sampai di rumah memang masih sangat lama dan itu
sudah menjadi hal biasa bagi Dioba.
Dioba tidak bisa membayangkan bagaimana Zee
kalau sudah sampai di rumahnya begitupun dengan nenek dan ibunya meski bagi
mereka tidak masalah kalau dia mengajak seorang teman untuk berlibur walaupun
tadinya ibunya tidak setuju lantaran khawatir orang kota akan menghina
kediamannya yang di kampung. Dioba sebenarnya juga tidak tahu mengapa
mengizinkan Zee ikut bersamanya terlepas dari sebagai bosnya yang ia lihat
kesepian dan sejujurnya Zee tidak beda jauh dari kondisi Dioba sendiri. Apakah
untuk melenyapkan nyawa Zee lebih gampang di kampung? Tidak! Itu pikiran bodoh.
Semua orang akan cepat mengira kalau Dioba pelakunya karena mereka selalu
bersama. Tidak ada jalan yang mudah, hanyut? Zee bisa berenang. Dioba menghela
napas panjang dan agak keras sehingga membuat Zee membuka matanya. Tapi kenapa
tadi ia berusaha menyelamatkan Zee dari ular itu. ‘Bodoh! Mengapa setiap kali
ada kesempatan seperti itu aku selalu lupa dengan hal itu’ Dioba melirik Zee
yang sudah membuka matanya lalu kembali fokus ke jalan raya yang memang sudah
terang dari tadi dan satu dua mobil ada di belakang dan di depan mereka.
“Sudah sampai mana Di....?”
“Masih di Lampung.”
“Perutku lapar.”
Dioba melirik jam tangannya ternyata sudah
hampir pukul sepuluh. “Ya nanti kalau ketemu rumah makan kita mampir.” Dioba
akan mampir di rumah makan Padang karena makanan Padang pada umumnya disukai
seluruh orang Indonesia.
“Di.... apa yang membuatmu ke Jakarta
dengan menempuh jarak yang tidak bisa dibilang dekat itu?”
“Jakarta dekat kalau kita naik pesawat.
Kalau mengenai keinginan mungkin semua orang yang tinggal di kampung punya
keinginan untuk melihat ibukota negerinya perkara ia suka atau tidak dengan
siapa yang memimpin negeri ini.”
Zee tertawa halus karena Dioba setiap kali
menjawab pertanyaan selalu disertai dengan hal yang tidak di duga sebelumnya.
Zee bertanya pendek dan ia menjawab panjang lebar, itu pertanda kalau Dioba
sedang ingin mengeluarkan unek-uneknya.
Mobil mulai melaju kencang karena kembali
menemukan jalanan bagus. Zee memperbaiki posisi duduknya dengan mengamati
sekeliling jalan yang ternyata masih banyak di tanam singkong. “Pulau ini dulu
banyak diduduki para trasmigran,’kan?”
“Ya, dari pulau Jawa.”
“Betul, penduduk pulau Jawa melebihi
setengah dari keseluruhan penduduk Indonesia makanya diadakan program
transmigrasi itu.” Tambah Zee. “Mm.. Di, kalau kamu lelah aku bisa menggantikan
membawa mobil kok lagian tidak ada aturan kalau kamu yang selalu membawanya.”
“Ya nanti saja. Itu di depan sudah
kelihatan ada rumah makan, bukannya kamu sudah lapar?” Dioba menuruni kecepatan
laju mobil.
“Kamu benar, aku memang sudah lapar
sekali.”
Rumah makan itu cukup besar, di halaman
parkirnya banyak kendaraan dari mobil pribadi, bus angkutan umum sampai mobil
truk. Dioba menempatkan mobil tidak jauh dari pintu masuk karena tidak ingin
mobil Zee nanti tergores oleh tangan-tangan iseng.
Kedua gadis itu mengambil meja yang agak
belakang setelah sebelumnya dari toilet. Sesaat saja pelayan menghampiri mereka
dengan menyapa apakah mereka hendak makan sekarang atau sedang menunggu
keluarga yang lain. Setelah memutuskan untuk makan pelayan itu melambaikan
tangannya kepada temannya yang di depan untuk dibawakan hidangan. Tidak sampai
satu menit hidangan sudah memenuhi meja dan tidak lupa Zee minta tolong kepada
pelayan agar ia di foto bersama Dioba sesaat ingin menikmati makan jelang siang
itu. Zee seolah tidak ingin melewati satu momenpun bersama Dioba tanpa ada
gambar yang diabadikan.
“Kalau ayahku nanti melihat foto
kebersamaan kita saat jalan-jalan ia pasti senang.” Ujarnya dengan nada
semangat. Sebenarnya ia sudah kangen dengan pria itu namun ia tidak ingin
merusak suasana saat bersama Dioba dengan menceritakan hal ayahnya.
“Makanlah.” Dioba menimpali dengan nada
datar. Ia juga sudah lapar karena tadi setelah subuh hanya menikmati kopi
dengan sepotong roti. Di salah satu sudut ruangan ada sebuah televisi dengan
ukuran besar meski tidak semua pengunjung menikmati acara televisi namun bisa
menjadi hiburan tersendiri bagi sebagian orang di sana. Pelayan-pelayan
terlihat sibuk dan mereka mengenakan seragam putih dengan bawahan hitam. Sambil
makan Dioba mengamati para tamu dengan berbagai prilaku mereka. Beberapa orang
dari kalangan atas dan juga dari kalangan biasa lalu ia melirik ke Zee di
matanya Zee terlihat dari kalangan biasa
meski ia tahu kalau wanita itu berasal dari kalangan atas. Zee tidak suka
mengenakan kalung emas, gelang emas juga pernak-pernik yang berlebihan meski
tidak ada yang menyangkal kalau pakaian yang ia kenakan semua bermerek. Zee
hanya mengenakan sepatu sandal kulit, di mobilnya ada beberapa pasang sepatu
kets dan yang lainnya. Pakaiannya kaus kasual karena Dioba memang mengingatkan
wanita itu untuk tidak terlalu mencolok dalam urusan penampilan karena orang di
kampungnya tidak suka hal semacam itu. Karena nanti akan dicap artis masuk desa
atau sok pamer. Dioba tidak ingin juga kalau Zee dianggap wanita sok kota pamer
kekayaan dengan orang kampung. Satu lagi yang paling penting, Dioba tidak ingin
Zee menjadi sumber perhatian orang sehingga timbul rasa iseng orang untuk
menggodanya.
“Makan di sini nikmat sekali.” Zee
berkomentar tulus dan Dioba bisa melihat kalau wanita itu memang puas dengan
makanan di tempat itu. Zee memang beda, di kantor memang ia seorang bos oleh
puluhan anak buah dan staff tapi kini ia terlihat tak ubahnya gadis biasa
bahkan nyaris sebagai seorang anak kecil.
“Kau tidak mengkhawatirkan kontormu?” Dioba
coba mengingatkan kalau Zee punya tanggung jawab yang tidak sedikit di kantor.
“Kalau aku sih jika kamu bangkrut aku kan bisa cari kerja di tempat lain.”
Suara itu terdengar serius.
Zee menoleh pada wajah Dioba. “Jangan
bicara soal kantor di tempat seperti ini meski ucapan kamu barusan benar adanya
tapi aku tidak suka.” Protes Zee bukannya membuat Dioba tersinggung namun ia
tersenyum tipis. “Dan.. senyummu itu menyebalkan.” Ia menambahkan dan malahan
membuat Dioba tambah tertawa. “Jahat!” gerutu Zee akhirnya.
Dioba mendekatkan wajahnya sedikit ke arah
Zee dan berkata. “Kamu tidak akan pernah bisa bayangkan betapa jahatnya aku.”
Ia mundur lagi namun Zee masih menatapnya dengan agak terkejut lalu ia
tersenyum.
“Ya aku tahu.” Sahut Zee membuat Dioba tak
kalah kaget. Zee mungkin berpikir kalau Dioba akan bekerja sama dengan Amel
untuk merampas kantornya bahkan menghancurkannya atau ada hal lain yang ia
tidak tahu yang mungkin ada hubungannya dengan Bimo. Tapi Zee tidak mau peduli
apapun yang ada dipikiran Dioba dan sepertinya apa yang dipikirkan Zee sama tak
pedulinya Dioba karena saat ini ia masih mencari cara bagaimana menghilangkan
nyawa wanita itu dan tidak ada satupun yang tahu.
Setelah menghabiskan waktu nyaris setengah
jam di rumah makan mereka kembali meneruskan perjalanan dan kali ini Dioba
masih posisi di belakang stir. Mobil melaju dengan kencang tidak biasa dan Zee
menyetel lagu ‘No Doub-Don’t Speak’
dengan nada agak kencang namun tidak membuat Dioba terganggu. Sepertinya Zee
sedang senang dan tidak ada perbincangan di antara mereka selain laju mobil
yang berpacu seirama dengan suara rocker unik itu. Dioba juga terlihat santai
dengan posisinya apalagi perut sudah terisi tambah fokus dan ia berharap Zee
tidur bersama dengan iringan lagu kegemarannya. Dioba menarik napas dalam-dalam
karena biasanya ia pulang kampung hanya duduk manis di dalam Bus malam kalau
tidak naik Bus ia naik pesawat yang berangkat pagi lalu naik travel dan bisa
menikmati pamandangan alam Sumatra yang masih asri dan hutan lindungnya masih
tetap terjaga. Tapi kini situasi berbeda di mana ia harus melindungi nyawa
seseorang yang notabenenya ingin ia lenyapkan. Ia melirik ke Zee dan benar saja
wanita itu ternyata sudah bersandar dengan baik dan sebentar lagi ia akan
terlelap di dalam mimpi indahnya. Baguslah ia tidur karena jalanan masih lurus
tidak banyak tikungan juga masih licin sehingga kecepakan mobil bisa melaju
dengan stabil.
Meski suara nyanyian dari tape mobil masih
mengalun dan tentunya sudah dikecilkan volumenya oleh Dioba tetap saja membuat
Dioba merasa kesepian. Mahluk di sampingnya kini sudah terlelap Dioba merasa
kesendiriannya makin kentara belum pernah ia merasa kesepian yang begitu dalam.
Ia melirik Zee sejenak entah mengapa ia merasa ada rasa kasian yang menjalar di
benaknya saat itu terhadap wanita itu. Wanita yang sebagian orang melihatnya
sempurna, punya segalanya dan hidup mapan tidak tergantung dengan orang lain.
Dan kini di mata Dioba wanita itu tidak lebih dari seorang gadis manja meski
jauh dari sifat egois. Ibunya sudah meninggal saat ia masih duduk di bangku
kelas 1 SD membuat Dioba penasaran siapa ibunya dan ayahnya yang masih ada
belum pernah sekalipun Dioba jumpai. Seperti apa kedua orang tua wanita itu
sehingga bisa menjadikan anaknya seperti sekarang ini. Rasa penasaran Dioba
akan terus bersarang selagi ia belum bertemu dengan orang tua Zee yang masih
tersisa. Mentari sudah bersinar dengan teriknya namun kondisi di dalam mobil
masih saja sama.
Rasa penasaran Dioba makin menggunung
setelah melihat foto seorang pria di rumah Zee bahkan menjadi dendam yang tidak
ada taranya sehingga timbul keinginannya untuk melenyapkan anaknya. Agar pria
itu tahu bagaimana sakit dan menderitanya hidup yang pernah seseorang alami
karena kebejatannya selama ini sehingga membuat orang lain hidup di dalam
kehampaan, kehinaan sepanjang hidupnya bahkan itu berimbas pada keturuannya dan
juga keluarga besarnya. Sepertinya dengan melenyapkan orang yang sangat ia
sayangi belumlah cukup. Pikir Dioba yang masih memikirkan bagaimana cara
menghilangkan nyawa Zee dengan cara sangat mengenaskan. Apakah harus memukulnya
sampai hancur lalu menguburnya hidup-hidup lalu orang akan menemukan mayatnya
setelah sebulan kemudian? Sehingga semua orang tahu betapa menderitanya ia
sebelum menghembuskan napas terakhirnya lalu semua orang akan mengutuk pembunuhnya
sehingga berharap ia dihukum gantung atau di tembak mati! Dan ayahnya akan
menderita sepanjang masa setelah menyadari kesakitan yang dialami anaknya.
Setelah diadakan penyelidikan oleh polisi ditemukan bukti kalau yang
menghilangkan nyawa Zee adalah Dioba dengan motif sakit hati dan..........? Oh
tidak..!! hati Dioba menjerit tidak ingin motifnya di ketahui oleh umum.
Sekali lagi Dioba melirik ke wajah Zee,
wajah tanpa dosa dan baik pada semua orang apakah ia pantas mati seperti itu?
‘ya Tuhan....... berilah petunjuk.’ Dioba menjadi tidak menentu menghadapi
kenyataan yang ada di depan matanya. ‘Di.... apapun alasanmu tidak dibenarkan
menghilangkan nyawa seseorang, tapi bagaimana dengan para eksekutor dan para
regu tembak itu? Apa mereka pantas melakukannya? Mereka telah diizinkan oleh
Tuhan karena yang dihukum mati itu telah melenyapkan banyak nyawa yang tak
berdosa bahkan membunuh orang secara perlahan, maka mereka dikasih hukuman yang
setimpal. Tapi apakah Zee tidak pantas menerima hukuman tersebut?’ pikiran
Dioba tambah kacau saja karena puluhan pertanyaan hilang timbul di otaknya.
Siang itu terus berjalan menemani
perjalanan Zee dan Dioba menuju kampung halaman Dioba. Pikiran Dioba tidak bisa
tenang meski perjalanan sudah melewati separuh jalan. Ia masih membawa mobil
dan membiarkan Zee menikmati perjalanan tanpa harus disibukan dengan fokus
mengendarai. Menjelang pukul tiga sore kembali mereka harus berhenti di tempat
makan. Rumah makan yang tidak kalah besar dari yang pertama, di sana selain
makan mereka bisa mandi dan ganti pakaian serta beristirahat. Ada Mushola dan
bale-bale tempat rebahan dan memang nyaman untuk menghilangkan penat.
Dioba menikmati kopi bersama Zee setelah
wanita itu menyelesaikan mandinya dan kini ia sudah berganti kaus lengan
panjang warna coklat dengan paduan celana jeans
hitam sehingga terlihat lebih segar.
“Pukul berapa kira-kira kita akan sampai di
tempat?” ia bertanya setelah duduk di sebelah Dioba yang juga sudah mandi untuk
memulihkan otaknya.
“Sekitar pukul tujuh malam nanti.” Ia
memperkirakan dengan wajar.
“Kalau kita membawa mobil dengan cepat apa
tidak bisa sampai sebelum malam menjelang?”
“beberapa jam sebelum sampai di lokasi kita
akan menemui jalan yang penuh dengan tikungan jadi tidak mungkin bisa melaju
dengan kencang.” Kembali Dioba menghirup kopinya. “Pernah melakukan tes untuk
mengambil SIM motor? Kita harus melewati jalan yang dibentuk dengan angka 8 dan
jalan zig-zag tapi jalan menuju kampungku akan melewati jalan yang dinamakan
tikungan 9.” Tambah Dioba setelah meletakan gelas kopinya.
“Begitu ya? Kirain sama kayak tes untuk SIM
mobil yang harus melakukan maju mundur, cara memarkir mobil dan yang lainnya.”
Kilah Zee dengan senyum mengembang serta coba membanyangkan jalan seperti apa
itu tikungan sembilan. Ia tidak perlu bertanya lagi dan Dioba tidak akan
menjelaskan lebih jauh. Kini mereka cukup istirahat seperlunya, Zee tidak minta
makan karena ia hanya memesan roti dan susu coklat. Dan perjalanan berikutnya
ia ingin menyetir.
“Nanti kamu bisa istirahat di mobil untuk
tidur.” Usul Zee dengan serius.
“Tidak, aku tidak bisa tidur di mobil
kalaupun aku sangat mengantuk aku akan tidur di sini barang sebentar sepuluh
menit juga bisa dan itu bisa menghilangkan rasa kantuk asalkan sesuai dengan
kwalitas tidurnya.” Jelas Dioba dengan santai. Mana tega ia tidur dan
membiarkan Zee jalan sendiri dan kalaupun ia tidak tahu jalan akan bertanya
dengan membangunkannya dari tidur. Dioba tidak mungkin melakukan itu, karena
Zee adalah bosnya dan dia masih sebagai bawahannya yang nanti tidak tahu sampai
kapan itu berakhir dan akan berakhir kalau Dioba menginginkannya berakhir.
“Ya terserah kamu saja, tapi aku yang bawa
mobil ya?”
Dioba menganggukan kepalanya namun ia tidak
akan mengizinkan Zee membawa mobil kalau sudah sampai di jalur yang banyak
tikungannya karena kebanyakan pengemudi di tikungan lewat di tengah jalan dan
jalan di daerah tidak cukup besar untuk sama-sama lewat di tengah sehingga
banyak kejadian kecelakaan di tikungan sebab tidak punya kesempatan untuk
mengelak disaat kendaraaan lain muncul apalagi jarak tikungan satu dengan yang
lainnya cukup dekat. Menyetir di lintas Sumatra seperti itu dibutuhkan orang
yang sudah punya insting yang cukup tinggi Dioba menyadari hal itu. Di kota
besar bahkan di ibukota orang bisa melihat jalan ratusan meter di depan
sehingga bisa mengontrol kendaraan.
Saat menyetir Zee memang cendrung senang
menyetel musik ternyata disamping suka serius bekerja Zee juga punya sisi lain
yaitu suka sekali mendengar lagu dan itu tidak biasanya karena selama ini saat
Dioba membawanya bekerja ia jarang minta disetelkan lagu atau mungkin karena
volume kerjanya yang cukup tinggi sehingga harus lebih banyak memikirkan
pekerjaan.
Menjelang dekat dengan lokasi Kabupaten
daerah Dioba, ia meminta Zee berganti posisi karena ia tidak mau Zee ribet
dengan kondisi jalan yang penuh tikungan apalagi suasana sudah mulai mendekati
petang dan sebentar lagi gelap. Melihat kondisi jalan seperti itu membuat Zee
agak bergidik juga karena jalanan tidak ada lampu jalan dan kiri kanannya
semak-semak. Ditambah lagi jalan agak sempit.
“Apakah tidak ada Harimau Sumatra yang
tiba-tiba muncul di depan kita Di...?”
“Tidak, Harimau Sumatra bahkan sudah
mendekati kepunahan. Dulu mungkin sering ada Harimau yang duduk di tengah jalan
dan hal itu seringkali ditemukan oleh supir Bus malam tapi itu puluhan tahun
yang lalu mungkin duapuluh tahun silam.” Jelas Dioba sungguh-sungguh.
Meski Dioba sudah berkata seperti itu tetap
saja jalanan terasa menyeramkan apalagi sepi dan jarang sekali ada mobil yang
lewat di belakang mereka sampai Zee tidak berani untuk menoleh ke belakang.
“Berapa kilo kita harus melewati jalan
seperti ini?”
“Tidak lebih dari setengah jam, nanti juga
di depan sudah ada perkampungan orang.” Jelas Dioba. “Kamu lapar? Nanti kita
bisa berhenti kok.”
“Tidak, nanti kita makan saja di rumah
kamu. Sudah tidak jauh lagi,’kan?”
“Ya, kira-kira sejam setengah lagi, kita
akan sampai sekitar pukul delapan malam nanti atau mungkin lebih cepat karena
jalan ke kampungku lumayan bagus.”
“Ya sudah, kita makan di rumah saja dan di
mobil juga masih banyak makanan kok.” Kata Zee sepertinya ingin buru-buru
meninggalkan jalanan sepi itu, meski mengantuk ia tidak bisa memejamkan matanya
karena masih dihantui rasa was-was. Dioba tahu kalau sudah mendekati daerahnya
jarang sekali ditemukan perampok di jalan kecuali masih di daerah Lampung ia
pastinya khawatir juga.
Suara deru mesin mobil berpacu dengan waktu
yang seolah melawan dinginnya malam. Tak ada suara di antara Zee dan Dioba,
suara lagu di tape mobil juga bisu. Kedua wanita itu hanya fokus dengan jalanan
di depan yang diterangi cahaya lampu mobil yang amat terang. Lalu ada juga
mobil lain yang lewat dari depan seolah menandakan adanya kehidupan lain.
Meski jalan itu terasa panjang dan sunyi
namun akhirnya berakhir sudah, kini mereka sudah masuk daerah perkampungan
penduduk dan mulai terlihat ramai baik kendaran roda dua juga kendaraan roda
empat bahkan ada beberapa orang terlihat di pinggir jalan dan banyak juga sedang santai di beranda rumah
masing-masing. Rumah warung yang bersifat kelontong sudah terlihat beberapa,
kampung yang damai dan nyaman juga ramai. Zee sudah bisa menghela napas lega
meski Dioba mengatakan kalau mereka masih membutuhkan sekitar duapuluh menit
lagi untuk sampai di rumah. Semakin mendekati Desa Dioba makin ramai saja
suasana malam itu mungkin karena cuaca cerah atau apa Zee tidak mengerti.
Apalagi banyak sekali para penduduk sedang berbincang terlihat di berbagai
tempat baik di warung ataupun di sisi bahu jalan.
**
Loyalitas
Bimo masih belum putus asa untuk mencari bagaimana
caranya agar Zee kembali lagi kepadanya. Dan kesempatan untuk mendekati Amel
sepertinya inilah saatnya dikala Zee sedang pergi berlibur ke luar kota. Itu yang
ia dengar sepintas dari beberapa rekan yang kebetulan juga kenal dengan Zee dan
itu bukan hal pasti karena Zee tidak mengizinkan Amel memberitahukan kepada
siapapun ke mana ia pergi kecuali sedang pergi keluar kota kalaupun ada yang
bertanya.
Bimo menunggu Amel pulang dari kantor
sepertinya setelah Zee tidak di kantor pekerjaannya jadi lebih banyak. Itu
pertama kalinya ia bertemu dengan Bimo sejak waktu itu. Saat betapa tidak
sopannya Bimo mengatakan kalau ia juga bisa saja naksir dengannya. Apakah itu
serius atau sebagai perumpamaan belaka ia tidak peduli.
“Bagaimana kabarmu, Mel?” sapanya kala Amel
sudah merasa terpaksa duduk di depan pria itu yang kini sedang memesan makanan
mereka.
“Biasa saja.” Justru seharusnya ia yang
bertanya bagaimana kabar Bimo setelah diputisin sama Zee namun ia enggan
menanyakan hal itu karena ia tidak suka memulai hal yang sebenarnya ingin di
bahas oleh Bimo karena tidak ada alasan lain bagi Bimo menemuinya kecuali untuk
satu kepentingan itu.
Pria itu tersenyum melihat reaksi Amel yang
datar-datar saja. “Yakin biasa-biasa saja? Bukannya sejak kepergian Zee kamu
jadi tambah repot? Banyak uang lembur dong?” pertanyaan itu mengandung
keingintahuan tinggi sekaligus ada isi ledekan di dalamnya.
“Sudah aku katakan biasa saja, bekerja
dengan Zee bukan dihitung dalam ukuran lembur dan tidaknya tapi hasil dari
kerja itu sendiri.” Tegas Amel. Ia menatap Bimo sekilas. “Sebenarnya kamu ada
perlu apa mengajak saya ke sini?” saat minuman datang Amel langsung
menikmatinya sedikit dan menunggu Bimo mengeluarkan bisanya.
“Kalau aku pikir-pikir kamu itu menjadi
sekretarisnya Zee sejak ia memdirikan kantor itu dan tentunya kamu perperan
banyak dalam urusan perusahaan tersebut dalam arti kamu tahu semua hal di
dalamnya.”
“Maksudnya?” Amel tidak ingin pria itu
bertele-tele.
“Apa kamu tidak pernah tertarik untuk punya
perusahaan sendiri?” kata Bimo dan Amel masih membiarkan pria itu meneruskan
kata-katanya karena ia tidak mau langsung menduga isi dari maksud ucapan itu
sebab di matanya pria itu rada licik. Bukan tidak mungkin ia punya maksud lain
yang tidak pernah terpikirkan olehnya. “Aku pikir setiap orang apalagi yang
sudah tahu bisnis pastinya berkeinginan punya usaha sendiri apalagi sudah punya
pengalaman, tinggal waktu. Waktu tidak akan menghampiri kita kecuali kita yang
menciptakannya. Maksud aku begini..... kita bisa bekerja sama.” Ia mendekati
kepalanya agak ke arah wajah Amel. “Zee punya segalanya, kamu punya rahasia
perusahaannya. Kamu bisa mengalihkan semua itu ke tanganmu.”
Kelicikan Bimo lebih parah dari yang Amel
duga dan ia sudah mereka ucapan Bimo ke dalam ponselnya.
“Bukannya kamu mencintai Zee? Kok bicaranya
jadi ngelantur ke mana-mana? Kalaupun saya ingin punya usaha sendiri bukan
seperti itu caranya. Mengambil hak orang lain akan tidak baik akibatnya untuk
seumur hidup. Aku masih ingin hidup tenang.”
“Jangan naif seperti itu Mel.” Pria itu
sudah memperbaiki posisi duduknya. “Zaman sekarang ini banyak orang kaya yang
melakukan hal itu, sudah jadi rahasia umum kalau setiap tender dilakukan dengan
cara sikut sana sini. Kesempatan tidak datang dua kali.”
“Tunggu dulu. Kamu masih mencintai
Zee,’kan?”
“Mm... kami sudah putus.” Jawaban itu masih
mengandung harapan meski harapan itu sangat jauh sehingga menimbulkan rasa
dendam. “Aku tidak ingin lagi memikirkan dia, aku ke sini hanya ingin bilang ke
kamu kalau kamu punya kesempatan untuk menjadi pengusaha seperti dia. Dan
kesempatanmu sudah ada di depan mata. Untuk tidak membuat Zee curiga kita
memang tidak ada kerja sama tapi aku akan membantu kamu dari belakang,
bagaimana?” wajah Bimo terlihat berapi-api.
“Akan aku pikirkan.”
“Mel, jangan hanya ngomong seperti itu ini
mumpung Zee sedang tidak ada di kantor nanti keburu dia balik ruang gerak kamu
jadi sempit. Pergunakan kesempatan ini sebaik mungkin.
“Ya aku tahu kalau ucapanmu memang ada
benarnya.” Amel sudah tidak lagi merekam pembicaraan mereka. Bimo tersenyum
karena Amel sepertinya sudah terpengaruh dengan usulnya.
“Nah begitu baru namanya orang berpikiran
maju.” Tambah Bimo. Amel mengamati pria itu sejenak dengan seksama. Ia masih
belum mengerti apa yang pria itu cari dan keuntungan apa yang ia dapat dari ide
itu. Apakah pure untuk pembalasan
cintanya karena sudah diputusin sama Zee? Atau memang selama ini memang pria
itu tidak pernah mencintai Zee selain berharap semua kekayaan Zee jatuh ke
tangannya? Kalau pria itu tidak mencintai Zee rasanya tidak masuk akal karena
Zee adalah wanita yang menarik untuk semua pria, ia bahkan memiliki IQ diatas
rata-rata wanita pada umumnya dan yang terpenting Zee adalah wanita baik-baik
dan ia tulus nyaris pada semua orang. Sepertinya akan lebih mungkin kalau pria
itu merasa tidak mampu bersanding dalam segala hal dengan Zee makanya ia
bermaksud untuk menghancurkan bisnisnya. Amel menghela napas panjang menyadari
kalau loyalitasnya kepada bos sedang diuji.
**
Diluar Dugaan
Zee tidak pernah menyangka kalau kampung
Dioba ternyata sudah sangat ramai. Apa yang diinginkan sepertinya ada di tempat
itu meski hanya sebuah kabupaten namun di pinggir jalan mini market sudah
menjamur, berbagai rental juga ada dari rental mobil sampai rental komputer.
Kesibukan warga sepertinya sudah menjadi pandangan sehari-hari.
Satu lagi yang membuat Zee tidak kalah
terkejut, rumah orang tua Dioba yang dihuni oleh nenek dan ibunya itu ternyata
cukup luas. Air PAM sudah masuk dan semua hal yang ada di rumah itu sudah
memenuhi standar kesehatan dan isinya juga tidak bisa dibilang kuno bahkan
perabotan dapur juga serba modern lalu apa yang Dioba cari di Jakarta dengan
tinggal di tempat kos kecil dan meninggalkan kemewahan di rumah itu yang
jelas-jelas sudah menjadi warisannya. Pikir Zee.
Zee memang diterima dengan senang hati oleh
nenek dan ibunya yang usianya tidak lebih dari lima puluh tahun. Ibunya pasti
menikah muda. Lagi-lagi Zee berbicara di dalam hati.
Melihat mobil Zee yang mentereng apalagi
Dioba mengatakan kalau itu bukan mobil rental membuat ibunya Dioba merasa tidak
enak dengan wanita muda itu yang akan tinggal di rumahnya untuk beberapa hari
ke depan.
“Inilah rumah Dio, Nak. Rumah tua yang
tidak ada apa-apanya dan kamu jangan kaget ya. Tidak ada AC di sini dan semoga
kamu betah dan semoga nyaman.” Katanya dengan nada penuh wibawa meski maksudnya
untuk merendah dan Zee jadi berpikir inikah seorang wanita yang telah
melahirkan ‘Dioba Uku?’ tapi mengapa anak yang ia lahirkan punya sifat yang
jauh sekali darinya. Wanita itu ramah, lembut dan penuh kasih sayang, peduli
dan tenang sekali kalau sudah mendengar suaranya.
“Tidak, Bu. Ibu jangan khawatir Zee akan
betah kok.” Sahutnya lalu menoleh pada Dioba yang mulai memperlihatkan
ketidakramahannya. Pun neneknya tidak beda jauh dari ibunya Dioba. Wanita
lanjut usia itu memperlihatkan kasih sayangnya pada Zee sama persis ia
menyayangi Dioba. Ia mungkin melihat Zee lebih membutuhkan kasih sayang yang
selama ini tidak ia dapatkan sehingga Dioba bisa melihat neneknya lebih
menyayangi Zee daripada dirinya. Hal itu membuat Dioba mulai tidak nyaman.
‘Bu, nenek...... kalian tidak tahu siapa
orang yang sedang kalian hadapi itu. Jika kalian tahu maka perasaan kalian akan
sama seperti aku, benci bahkan sangat benci padanya.’
Mereka menikmati santap malam setelah mandi
dan ibundanya Dioba memang masak masakan spesial untuk kedua wanita itu.
Apalagi anaknya jarang pulang. Meski meja makan itu cukup luas namun tak
mengurangi keakraban mereka. Malam itu seperti makan malam dengan keluarga
untuk pertama kalinya yang dirasakan oleh Zee. Meski Dioba tidak banyak bicara
namun ibunya banyak bercerita terutama tentang pekerjaan mereka sehari-hari.
Keluarga Dioba memang keturunan petani,
mereka punya sawah yang luas dan kebun yang tidak sedikit meski keluarga mereka
hanya beberapa orang. Kakek Dioba memang meninggalkan warisan yang banyak. Ia
punya tiga orang anak, dua laki-laki dan satu ibunya Dioba dan sayangnya kedua
laki-laki itu meninggal saat mereka masih remaja karena saat muda mereka ikut
nambang dan tertimbun longsoran tanah tambang. Meski orang tuanya meminta
mereka meneruskan sekolah namun mereka tetap memilih untuk menjadi penambang
dengan alasan tanah kelahiran mereka banyak menyimpan emas. Tak di pungkiri
memang kalau tanah kelahiran Dioba kaya dengan sumber alamnya apalagi emas.
Karena waktu zaman Soekarno saja dari bumi kelahiran Dioba menyumbangkan 35
kilo emas di Monas dari 50 kilo keseluruhan emas yang ada di puncak Monas
tersebut. Luar biasa memang. Dan setelah kedua adik kakak itu meninggal
otomatis semua warisan jatuh ke tangan ibunya Dioba. Wanita itu memang hanya
menamatkan SMA namun anaknya melampauinya dan menyelesaikan S1-nya di Jakarta
meski akhirnya terdampar jadi supir Zee.
“Dio jadi supir kamu, ibu tidak malu kok
asalkan pekerjaannya halal.” Kata ibu Dioba dan membuat Zee kaget bukan main.
Ia melirik Dioba yang asik menikmati makanan masakan ibunya namun sedikitpun
wanita itu tidak menghiraukannya. Setelah selesai makan ia merapikan meja dan
mencuci piring meski ibunya melarang.
“Dio.... kamu ajak Zee istirahat saja sana,
kalian pasti sangat lelah. Biar ibu yang melakukannya dan kita bisa ngobrol
lagi besok.” Ujar ibunya meminta anak gadisnya untuk segera istirahat di kamar.
Saat Zee ingin membantu Dioba dilarang keras oleh ibunya.
“Di.....?” Zee mulai membuka suaranya saat
mereka sudah ada di kamar.
“Ya.” Sahut Dioba singkat.
“Jadi ibu kamu tahu kalau kamu di Jakarta
seorang supir?”
“Tentu saja beliau tahu karena aku
menceritakan.” ‘Dan.... beliau juga akan segera tahu siapa kamu sebenarnya
Zee.’ Guman Dioba di dalam hati.
“Tapi...” Zee tidak mampu meneruskan
ucapannya.
“Kenapa? Apakah menurut kamu pekerjaan
seorang supir itu hina? Rendahan? Sehingga kamu berpikir ibuku malu punya
seorang anak berprofesi sebagai supir?” ia mengamati wajah Zee yang masih tidak
mengerti jalan pikirannya. “Sudahlah, sebaiknya kamu istirahat. Terserah mau
tidur di sebelah mana.” Tambah Dioba. Zee mengamati kamar Dioba yang luas dengan
satu tempat tidur berukuran 2 x 2 meter. Tidak ada AC dan jendela memiliki kisi-kisi
yang lumayan besar dan yang lebih unik lagi ada sebuah kelambu di atas ranjang
itu.
“Aku di sebelah dinding saja biar tidak
merepotkan.”
“Silahkan.”
Dioba memang membutuhan istirahat karena
perjalanan dari Jakarta yang mereka tempuh lumayan panjang. Istirahat di kamar
sendiri memang nyaman dan pasti akan tidur dengan lelap.
*
Pagi menjelang dengan sangat ramahnya meski
cerah namun cuaca di perkampungan terasa dingin mengusap ke seluruh kulit.
Tetangga yang tahu Dioba pulang kampung tentunya bertanya-tanya sama siapa dia
pulang dan apakah itu mobil Dioba atau mobil sewaan. Kalau saja itu mobil Dioba
tentunya tidaklah aneh karena hibah kekayaan dari orang tuanya bisa saja
membeli dua atau tiga mobil mewah sekalipun. Tapi Dioba bukanlah orang yang mau
seenaknya melakukan hal itu meski tidak ada yang melarang karena ia bisa dengan
bebas menggunakan haknya.
Kenyataannya mobil itu adalah milik wanita
kota itu yang sekarang bersama dengan Dioba. Ia minta diajak jalan-jalan meski
Dioba sudah mengatakan tidak ada tempat yang ingin ia kunjungi. Dioba malas
mendatangi sebuah tempat yang sudah ia kunjungi bukan karena tempat itu tidak
bagus atau indah namun ia lekas bosan namun jika ada orang yang belum pernah
datang dan ingin mengajaknya ia akan melakukannya dan merasa tidak akan
terpaksa bahkan ia dengan senangnya membawa dan mengantar serta menerangkan
kondisi di tempat yang mereka datangi.
Zee saat ini tidak terlihat seperti wanita
kota namun lebih ke tampilan wanita dewasa dengan sosok modisnya karena Dioba
sekali lagi tidak ingin wanita itu datang ke kampungnya dengan sosok asing yang
mentereng meski demikian Zee memang wanita cerdas yang bisa menempatkan diri
dan dia juga bukan orang yang suka pamer apalagi kepada orang yang tidak ia
kenal terlebih pada orang dekatnya.
Dioba hanya membawa Zee ke tempat yang
menurutnya pantas meski keinginan untuk meleyapkan Zee masih saja terus
mengganggu pikirannya. Sebuah tempat yang memungkinkan bisa mencelakai Zee
adalah wisata air terjun dengan begitu ia membawa Zee ke sana. Lokasinya tidak
lebih dari sepuluh kilometer dari rumah Dioba. Suasana liburan pastinya tempat
itu ramai oleh pengunjung dan mempermudah pekerjaan Dioba nanti.
Air terjun itu cukup tinggi bisa dilihat
dari jauh, dari bawah bahkan dari atasnya tergantung selera pengunjung. Namun
Dioba akan memilih dari atas sebab jika Zee tergelincir maka habislah wanita
itu jatuh ke dalam jurang yang di bawahnya sudah menunggu batu besar yang siap
menerima kepala Zee. Sempurna! Itu bukan pembunuhan tapi kecelakaan, dari atas
jarang ada anak-anak atau orang tua yang naik sehingga tidak ada pagar pembatas
antara zona aman dan bahaya.
Zee yang takjub menikmati air terjun
bersama pengunjung yang lain tidak menyadari apa yang ada di benak Dioba yang
ia anggap sebagai wanita baik-baik dan akan menjaga keselamatannya hanya
mengamatinya dari belakang meski tidak jauh dari Zee. Bagi Zee wanita itu
adalah penjaganya sekarang selain Tuhan sehingga ia sedikitpun tidak akan
khawatir ancaman dari luar bahkan dari orang-orang iseng yang kapan saja bisa
mengganggunya. Keasikan Zee sedikitpun tidak terusik oleh larangan atau
peringatan dari Dioba. Tidak ada kata-kata ‘jangan terlalu dekat jurang karena
bibir tebing licin atau semacamnya’ Dioba malah tidak sabar menunggu Zee lenyap
dari hadapannya. Udara panas namun semilir angin terus saja bertiup kencang
diiringi suara air terjun yang seolah seirama dengan suara degup jantung Dioba
yang menderu tidak menentu. Sekali-kali Dioba mengambil gambar Zee dari kamera
ponselnya. Melihat kesibukan Dioba mengambil gambar ia semakin senang dan
meminta lagi dengan background lereng
bukit yang masih asri. Dioba berdiri untuk membidiknya dengan satu printah
halus.
“Mundur sedikit agar gambarnya terlihat
lebih nyata..” Zee tidak menyadari dibalik printah itu sehingga ia menurut saja
dan Dioba siap menekan tombol klik di ponselnya dan mendapatkan gambar Zee yang
sensasional namun saat Zee ingin berbalik membuatnya nyaris terpeleset andai
tidak ada yang dengan cepat menangkap tangannya. Melihat kenyataan itu membuat
jantung Dioba seolah kena serangan jantung tiba-tiba dan ia melompat
menghampiri tubuh Zee dan menarik ke arahnya sampai lupa mengucapkan terima
kasih pada orang yang tadi menyelematkan Zee.
Dioba membawa Zee pulang ketegangan itu
belum juga hilang meski mereka sudah nyaman di dalam mobil. Dioba masih tidak
mengerti apa yang ia alami seharusnya ia senang Zee jatuh dihadapannya dan
lenyap untuk selama-lamanya namun kenyataan itu jauh dari yang ia harapakan.
Ada ketakutan yang tidak ia harapkan muncul saat melihat Zee nyaris saja jatuh.
“Maaf, aku tidak hati-hati sehingga
membuatmu shock tadi. Aku tidak akan
mengulanginya lagi.”
“Tidak perlu minta maaf, aku juga yang
salah kok. Sebaiknya kita cari tempat wisata yang lain saja.”
“Baiklah, aku akan ikuti saja.” Ujar Zee
meski rasa paniknya belum hilang betul. Dioba membawa mobil melaju dengan pelan
terpikir olehnya untuk membawa Zee ke Danau yang ada di tepi jalan raya, danau
yang sekaligus sebagai irigasi dan Pembangkit Listrik. Tempat itu tidak bisa
dibilang dekat dari rumah karena membutuhkan sekitar duapuluh menit perjalanan
dengan kecepatan sedang.
Rumah penduduk yang sangat padat waktu Zee
lewat tempat itu suasana malam hari dan kini dengan jelas Zee bisa mengamati
rumah-rumah yang jaraknya sangat berdekatan dengan jalan raya yang hanya
dibatasi oleh pagar rumah meski tidak semua rumah memasang pagar. Lalu lalang
kendaraan pun cukup ramai dan sepertinya anak-anak di kampung itu sudah
terbiasa dengan suasana itu sehingga tidak ada anak-anak yang bermain di jalan
raya. Tidak ada rambu-rambu lalu lintas, jalanan aspal juga tidak ada garis
tengahnya sehingga kendaraan dengan leluasanya melintas di tengah jalan. Zee
hanya menikmati perjalanan itu dengan santai hingga tak terasa Dioba sudah
menepikan mobilnya di bahu jalan karena di samping mereka terbentang sebuah danau.
Dioba tidak segera mengajak Zee turun karena suasana danau juga tidak ramai.
“Ini Danau-nya?” mata Zee memandang jauh ke
depan dan di ujung danau terlihat lereng bukit yang sedikit menyeramkan meski
danau itu letaknya di tepi jalan.
“Mau jalan-jalan di Irigasinya?” Dioba
melirik Zee sekilas. Zee belum bergeming dan setelah berpikir sejenak ia
menjawab.
“Sepertinya menarik.” Zee tidak akan
memperlihatkan ketakutannya kepada Dioba. Setakut apapun dia Dioba tidak boleh
tahu.
“Oke, nanti kita bisa pesan makanan di
warung.” Tidak ada penjaga parkir di tempat itu tidak juga ada pengawas karena
bukan hari Raya sehingga tidak ada pengunjung yang membludak. Di dekat danau
ada beberapa tenda permanen tempat duduk-duduk para pengunjung.
Setelah mereka duduk di salah satu tempat
kembali Zee mengamati sekeliling. “Apakah tempat ini punya legenda atau
semacamnya?”
“Biasanya di kampung seperti itu, setiap
tempat punya ceritanya sendiri-sendiri dan aku rasa tidak perlu dibahas juga.” Sahut
Dioba. “Dulu Danau ini cukup luas dan sekarang aku melihat semakin mengecil
juga airnya makin surut dan semakin tidak terawat.” Dioba menyapu pandangnya ke
setiap penjuru. Ada yang sedang mandi, ada yang berdayung ke arah yang lebih
jauh bahkan ada yang memancing.
“Apakah danau ini dalam?”
“Pasti, yang di semen untuk dialirkan ke
setiap sawah penduduk saja dalamnya sampai sembilan meter dan di sana itu...”
Dioba menunjuk ke arah orang-orang yang sedang mendayungkan perahunya. “Tidak
tahu berapa kedalamannya.”
“Tapi yang sedang membawa perahunya
sepertinya tidak merasa takut.”
“Coba kamu perhatikan baik-baik. Di sana
ada pembatas dari tali dan para pencari ikan juga yang sedang berdayung untuk
sekedar menikmati indahnya suasa danau tidak boleh melewati pembatas itu.”
“Ya, kamu benar. Itu artinya kita boleh
naik perahu?”
“Mau?” tanya Dioba yang sudah puluhan tahun
tidak merasakan naik perahu kecil itu. Zee mengangguk. Sebentar saja mereka
sudah menghampiri tepi danau salah satu pemilik perahu langsung bertanya.
“Naik perahu, Non?”
Setelah sesuai kesepakatan mereka naik,
sampai di tengah harganya akan beda jika sampai tali pembatas dan Dioba
memutuskan untuk sampai di tali pembatas meski biayanya sediki mahal ia tidak
peduli karena ia ingin Zee merasa puas. Danau yang tenang namun tak bisa
menyembunyikan keangkerannya karena lokasinya ada di kaki bukit yang curam dan
naik perahu bukannya merasa senang apalagi nyaman malahan diliputi rasa was-was
yang tinggi namun Zee tidak mau menyesal telah mengambil keputusan untuk naik
sedangkan Dioba yang tahu kisah legenda danau berusaha tenang apalagi legenda
itu belakangan ia dengar hanya cerita rakyat saja yang tidak ada bukti
kebenarannya.
Itu bukan Danau Toba bukannya juga Danau
terangker di dunia karena anak kecil saja berani naik perahu meski ditemani
kedua orang tua mereka. Berdayung bukan hal aneh di negeri ini karena begitu
banyak danau kecil yang ada hampir di tiap Provinsi. Dioba tidak berharap
perahu karam dan menenggelamkan Zee dan dirinya sebab mereka sama-sama bisa
berenang. Semakin ke tengah air terlihat makin jernih sehingga dunia dalam air
terasa hidup. Zee menatap Dioba dan wanita itu hanya tersenyum lalu diikuti
oleh Zee, tidak ada cerita yang mengalir dari keduanya.
“Danau-nya sangat tenang.” Ujar Zee
akhirnya namun dalam hati ia menambahkan. ‘Tapi sangat mencekam.’
“Ya, apalagi airnya tidak seperti dulu.”
“Benar Non, danau ini setiap tahun airnya
menyusut.” Yang punya sampan ikut bicara berusaha akrab.
“Ya, Pak, tidak di sini saja sebab di
mana-mana yang namanya air sungai, danau semua pasti menyusut disebabkan banyak
faktor.” Kata Dioba menimpali. “Sebaiknya kita putar balik saja Pak.” Usul
Dioba meski batas tali pembatas hanya berjarak sekitar dua meter lagi. Ia
menyadari kalau Zee tidak bisa menikmati acara naik perahu itu dan berharap
untuk segera turun.
“Baiklah.” Pria paruh baya itu menyetujui
usul Dioba untuk berputar balik lagi ke tepi danau. Akhirnya mereka bisa keluar
juga dari perahu kecil itu sehingga Zee bisa bernapas lega.
“Kita cari makan ya?” ajak Dioba dengan
antusiasnya. Zee mengikuti ajakan Dioba yang membawanya ke warung sederhana tidak
jauh dari danau sehingga mereka tidak perlu mengedarai mobil untuk jalan ke
warung.
Tidak ada hidangan istimewa selain masakan
khas daerah di tambah dengan telor di balado dan ada juga di dadar serta tak
ketinggalan beberapa macam ikan ada yang di goreng ada juga di buat pedas.
Sedangkan sayurnya ada kacang panjang di tumis, daun singkong rebus dan pilihan
ke tiga ada tumis kangkung. Itu masakan umum selain masakan khas yang tidak Zee
kenal. Meski begitu tak menghilangkan nafsu makan Zee yang tidak terlalu
pilih-pilih makanan. Dioba senang melihat semangat Zee yang tidak susah dalam
urusan makan. Ia bahkan seakan tidak percaya kalau wanita pemilik sebuah
perusahaan itu kini sedang menikmati masakan sederhana denganya di sebuah desa
yang selama ini mungkin tidak pernah terpikirkan olehnya juga Zee sendiri.
“Mau pesan kopi?” tanya Dioba tanpa ragu
karena ia melihat warung itu cukup bersih dan di setujui oleh Zee dengan
memesan kopi instan. “Semoga kamu bisa menikmati setiap tempat yang kita
kunjungi dan setiap waktu yang kita lewati.”
“Terdengar indah.” Sahut Zee dengan nada
pelan karena tidak ingin orang di sekitar mereka mendengar khususnya yang punya
warung dan pelayannya. Kedua wanita itu tersenyum seolah sudah melupakan
kejadian di air terjun dan di berbagai tempat lainnya.
*
Malam itu tiba-tiba Zee demam tinggi dan
suhu badannya panas sekali membuat seisi rumah panik.
“Di.... ini gimana? Tadi Zee baik-baik saja.”
Ujar ibunya karena ia tahu kalau pulang dari jalan-jalan anak itu tidak
mengeluhkan apa-apa bahkan setelah mandi petang juga ia masih baik-baik saja.
Dioba menyadari kalau suhu badan Zee mulai
naik setelah beberapa saat ia mandi dan tidak menyangka akan secepat itu
reaksinya.
“Ya Di.... Nenek juga jadi khawatir.
Bagaimana ini?”
“Tidak apa-apa Nek, paling-paling juga
karena perbedaan cuaca biasa harus beradaptasi.” Kata Dioba dengan santainya.
“Ya, Nek. Aku tidak apa-apa kok hanya
pusing sedikit. Nenek dan Ibu tidak usah cemas seperti itu.” Zee ikut
menambahkan dan ia tidak menyangka kalau reaksi Dioba bisa sesantai itu melihat
kondisinya. Padahal sejujurnya Zee merasakan kepalanya pusing luar biasa dan
perutnya mulai mual. Dioba mengamati Zee yang tiduran di tempat tidurnya dengan
kekhawatiran luar bisa yang tidak terlihat oleh Zee juga Nenek dan Ibunya. Tak
pernah terpikirkan olehnya akan menghadapi kenyataan seperti itu. Zee bangun
dari tempatnya membuat Dioba mencegahnya.
“Mau ke mana?”
“Ke kamar mandi.” Suara Zee mulai melemah.
Dioba menuntunnya. “Tidak, aku bisa sendiri.” Mendengar itu Dioba melepaskan
tangannya dari tangan Zee.
“Zee, hati-hati.” Ibu berusaha mengambil
alih untuk memegang wanita muda itu dan membawanya ke kamar mandi. Di kamar
mandi Zee muntah membuat nenek dan ibu makin panik.
“Di.... lakukan sesuatu!” teriak ibunya dan
detik berikutnya Zee tumbang membuat Dioba yang berdiri di belakangnya langsung
memegang tubuhnya. Wanita itu pingsan. Dioba bergerak cepat.
“Aku harus segera membawanya ke rumah
sakit.”
“Ibu ikut.”
“Nenek juga.”
Dioba tidak bisa mencegah nenek dan ibunya
untuk ikut. “Bantu Dio mengangkat Zee ke dalam mobil, Bu.” Pintanya. Wanita itu
mengangkat kedua kaki Zee dan Dioba membopong badannya untuk masuk ke dalam
mobil. Nenek mengambil peralatannya untuk segera menyusul ke dalam mobil. “Ibu
duduk di belakang sambil memegang Zee ya. Biar Dio mengambil dompet dulu.”
Dioba berlari ke dalam untuk mengambil dompetnya dan mengunci pintu rumah lalu segera melarikan Zee
ke rumah sakit umum terdekat. Beruntung jarak rumah sakit hanya berjarak tidak
lebih dari 4 kilometer dari rumah.
Sampai di rumah sakit kepanikan Dioba makin
terasa seolah membayangkan Zee tidak akan selamat. Rumah sakit seakan momok
yang menakutkan harus dimasuki. Para medis segera membantu Zee untuk di bawa ke
dalam dan segera di periksa. Ia sudah tidak pingsan lagi namun suhu badannya
belum turun. Seorang dokter masuk untuk memerintahkan pada perawat agar Zee di
ambil darahnya untuk di cek. Tubuh Zee memang makin lemah membuat Dioba merasa
terpukul. Di mata Zee, ibu dan neneknya ia seolah tidak peduli dengan wanita
itu namun di hatinya ada ketakutan yang luar biasa. Di sisi lain ia ingin
wanita itu lenyap namun di sisi sebelah hatinya tidak ingin wanita itu sakit bahkan
ada rasa takut kehilangan, ia tidak mengerti dilema apa yang sedang melandanya
sampai ia tidak menyadari sosok seorang dokter yang menangani Zee.
Dokter muda yang tentu saja sudah sangat
kenal dengan ibu dan nenek Dioba. Dokter itu menyapa ibu Dioba dan neneknya.
“Nenek, Ibu.... apa kabar?” ia menyambut tangan kedua wanita yang tidak asing
itu dengan bergantian. Keduanya tidak kalah taget meski ada bias kegembiraan
karena yang menangani Zee adalah dokter yang mereka kenal. “Siapa wanita yang
sakit itu, Bu?”
“Dia Zee, sahabatnya Dio yang datang dari
Jakarta.”
“Benarkan? Lalu Dio-nya mana?” mata pria
itu mulai mencari-cari dan ia mendapati sosok wanita itu sedang berdiri di sisi
pintu kamar dengan mata tak lepas memandang Zee yang kini masih terbaring lemah
dan ia masih bisa mendengar semua pembicaraan orang-orang yang di dalam ruangan
itu. Pria itu menatap Dioba yang terpaku dengan mata tertuju pada Zee lalu pria
itu ikut melirik ke Zee sekilas kemudian kembali pada sosok Dioba yang sudah
beberapa tahun ini tidak ia tahu kabar beritanya. Ada rasa perih yang selama
ini terus mengiris hatinya dan rasa suka cita kembali melihat wajah itu. Ia
harus melakukan sesuatu dan ia mendekati ibu Dioba. “Bu, Nenek....” ia bicara
pelan. “Tunggu di sini sebentar, karena hasil tes darah Zee tidak lama lagi
akan segera diketahui. Saya ingin bicara sebentar dengan Dio.” Katanya dengan
nada yang ia sendiri susah pahami. Wanita itu mengangguk dan pria itu segera ke
arah Dioba dan meraih tangannya, memegangnya erat hingga menyadarkan Dioba
kalau dari tadi ia bengong, hanya badannya saja ada di sana dan sukmanya sedang
melayang memikirkan banyak hal khususnya Zee. Matanya menoleh pada pria itu dan
berguman menyebut namanya.
“Hendra.....?” gumanannya itu semacam
pertanyaan apakah pria itu bertugas di rumah sakit tersebut dan juga banyak
pertanyaan terkandung di dalamnya. Pria itu tersenyum disertai anggukan kecil
lalu membawa Dioba meninggalkan ruangan itu. Pegangan tanganya yang erat
membawa Dioba berjalan menyusuri lorong rumah sakit lalu masuk ke dalam ruangan
pribadinya. Ia meraih kursi dan mengajak Dioba duduk seperti seorang anak kecil
yang patuh Dioba pun duduk di sebelah kursi pria itu yang sudah ia tarik
mendekati kursi Dioba.
“Bagaimana kabarmu?” matanya menatap wajah
itu dengan seksama karena rasa rindu selama ini sudah meluluhlantakkan hatinya.
“Zee... bagaimana keadaannya? Tadi di rumah
ia sempat pingsan.”
“Teman kamu tidak apa-apa, aku sudah cek
mata dan tenggorokannya. Semoga saja ia hanya deman, nanti kita akan tahu
setelah hasil darahnya keluar. Di mana kamu selama ini? Apakah kamu baik-baik
saja? Aku aku.... selalu memikirkanmu Di, saat aku datang ke rumahmu dan
bertanya pada ibu di mana kamu tapi karena pesanmu baik ibu ataupun nenek tidak
berani mengatakan keberadaanmu. Aku seperti orang gila yang selalu menunggu
kamu tanpa tahu keadaanmu.” Ia mengusap tangan Dioba dengan lembut dan penuh
kasih sayang.
“Aku harus kembali ke ruangan Zee.” Di mata
dr. Hendra jelas sekali terlihat kalau Dioba sangat mengkhawatirkan kondisi
Zee.
“Baiklah, kita akan ke sana.” Ia tidak tega
melihat Dioba sedih dan khawatir meski ia belum tahu siapa Zee dan apa
hubungannya dengan Dioba. Mereka kembali ke ruangan Zee dan beberapa suster dan
dokter jaga sempat melihat keakraban kedua insan itu. Dr. Hendra yang baru
bertugas beberapa bulan ini di rumah sakit itu jarang sekali terlihat dekat
dengan seorang wanita dan malam itu ia tampak akrab dan begitu menyayangi
wanita itu. Ada hubungan spesial yang terlihat dari bahasa tubuhnya
memperlakukan Dioba.
Hasil tes darah Zee membuktikan kalau
wanita itu terkena typus dan harus rawat inap. Mendengar itu Dioba makin merasa
bersalah saja karena penyebab penyakit typus itu karena bakteri salmonella
typhi yang masuk melalui makanan atau
minuman yang sudah terkontaminasi bakteri tersebut. Namun kemungkinan lain bisa
juga karena kelelahan. Typus merupakan salah satu penyakit yang berbahaya jika
tidak ditangani secara serius bisa mengakitabkan kematian.
Dioba bicara serius kepada Hendra. “Aku mau
Zee mendapatkan perawatan terbaik, Hen. Pindahkan dia ke kelas VIP.” Ujarnya
dengan nada sungguh-sungguh.
“Kamu tenang saja Di, temanmu sudah dikasi
obat sesuai dengan penyakitnya dan dalam beberapa hari ke depan ia akan
baik-baik saja. Kamu sangat menyayangi dia, apa aku boleh tahu siapa dia
sebenarnya? Apakah masih ada hubungan keluarga?”
“Tidak.” Sahut Dioba dengan sangat cepat.
Dia tidak bisa membayangkan kalau Zee meninggal di kampungnya, untuk
memberitahukan kepada ayahnya Zee saja ia tidak sanggup. Apa yang pria itu
lakukan kalau tahu anak gadisnya sakit di kampung orang, ia mungkin akan segera
terbang dari Amerika dan bukan saja, dia akan bertemu dengan ibunya. Balas
dendam Dioba tidak akan selesai seperti itu. “Mm... dia itu bosku di Jakarta.”
Dioba bercerita sekilas mengenai Zee. “Saat aku cuti dan bermaksud pulang
kampung untuk bertemu ibu dan juga nenek, beliau ingin ikut serta meski aku
sudah melarangnya.”
“Oh, seperti itu. Jadi kamu pulang kampung
tidak ada maksud untuk bertemu denganku? Di.... tidak pernahkah kamu sedikit
saja pernah ingat sama aku?”
“Itu sudah lama sekali Hen, mengapa kamu
mengingat-ingat hal yang tidak pernah kita pikir.” Kata Dioba tidak ingin
mengungkit kisah lama.
“Kamu salah Di, dari kelas satu SMA kita
dekat. Setelah kamu naik kelas dua aku lulus dan meneruskan sekolah kedokteran
di Jogya selama di sana nyaris tidak pernah aku pulang untuk menjadi seorang
dokter dan disela-sela kuliahku tidak ada waktu yang tidak ada kamu di
pikiranku. Jika kamu belum menikah aku ingin kamu jadi istriku.” Jelas Hendra
dengan seksama membuat Dioba terdiam. Tujuh tahun lebih mereka tidak saling
kontak, saat Hendra pergi ke Jogya tidak ada janji-janji yang mereka ucapkan
tidak juga ada keputusan untuk mengakhiri hubungan mereka. Bukannya mereka
tidak pernah dekat dengan orang lain selama ini namun setiap orang punya
kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Hendra merasa Dioba adalah wanita
yang paling ideal untuknya terlepas
apakah dia sendiri ideal atau tidak
untuk Dioba.
Dioba merasakan kalau dadanya masih
berdesir kencang saat dekat dengan Hendra tapi pria itu tidak boleh tahu degup
jantungnya yang nyaris sama saat pertama kali mereka kencan. Apakah itu cinta
‘monyet’ saat duduk di bangku sekolah? Dioba tidak tahu pasti.
Di rungan Zee, nenek dan ibu masih terlihat
cemas meski dokter mengatakan kalau Zee akan baik-baik saja. Zee yang sudah
bangun dari tidurnya karena pengaruh obat mendapatkan ibu dan nenek di samping
ranjangnya dengan pandangan cemas.
“Nak, kamu sudah bangun? Ibu takut sekali.”
“Nenek juga Zee, Nenek takut kamu tidak
bangun lagi.”
Zee tersenyum tipis, ia melirik botol infus
menggantung di sebelah kirinya lalu menoleh kepada dua wanita yang
mengkhawatirkannya. “Nenek, Ibu.... Zee tidak apa-apa. Hanya kena typus dua
atau tiga hari juga sembuh kok.” Zee coba menenangkan mereka. Nenek mengusap
tangan Zee dan ibu juga mengelus-elus kening Zee. Adegan itu sempat dilihat
oleh Dioba yang tadi hendak masuk lalu keluar lagi. Ia tidak habis pikir
bagaimana Zee bisa merampas kasih sayang nenek dan ibunya dalam waktu dua hari
ini. Perhatian itu mereka lakukan bukan lantaran Zee sedang sakit, di rumah
juga Zee mendapatkan perhatian istimewa. Dioba menghela napas panjang ‘kalian
akan melupakan semua itu ibu, nenek jika sudah tahu siapa Zee sebenarnya!’
“Mm.. Dio mana, Bu?” tanya Zee karena dari
tadi tidak melihat sosok Dioba.
“Tadi dia ada urusan dengan dokter Hendra.”
Jawab ibu apa adanya.
“Dokter Hendra...” suara Zee datar dan ia
merasa ada hubungan tidak biasa antara Dioba dengan dokter tersebut. Apakah
mereka kawan lama atau ada hal lain. “Bu, Nenek.... Zee minta maaf ya sudah
merepotkan semuanya. Zee jadi tidak enak dan Dio.....” Zee merasa kalau Dioba
tidak mempedulikannya. Pasti dia sibuk dengan teman lamanya atau pacarnya. Dulu
ia pernah bilang pernah punya pacar saat masih di bangku kuliah, apakah dokter
itu? Zee tidak bisa memaksa Dioba ada di sampingnya dan perhatian nenek dan ibunya
sudah lebih dari cukup meski ada rasa sedih namun ia tidak boleh menuntut
lebih.
“Tidak apa-apa sayang... Dio juga sangat
mengkhawatirkanmu. Tadi saja sebelum hasil tes darahmu keluar dia seperti orang
bingung karena panik. Dia sangat menyayangi kamu sama seperti Nenek. Bagi kami,
kamu sama saja dengan Dio. Kamu sudah jadi bagian dari keluarga kami.”
“Semua yang Nenek bicarakan itu benar
sayang.” Tambah ibu Dioba. Tidak lama kemudian Dioba masuk dengan santai seolah
tidak terjadi apa-apa dan musibah yang menimpa Zee dianggapnya enteng.
“Nenek dan Ibu sebaiknya pulang dan
istirahat di rumah, biar saja saya yang di sini. Zee tidak apa-apa kok. Dua
atau tiga hari juga sudah bisa pulang. Nanti saya antar dan untuk sementara
biar suster yang menjaga Zee, hanya beberapa menit saja.”
“Di.... kamu ini apa-apaan? Ibu akan tetap
di sini menemani Zee dan ibu rasa Nenekmu juga tidak akan mau pulang.” Protes
ibunya.
“Ya, Nenek akan tetap di sini.”
“Nenek, Dio benar.... tidak seharusnya
Nenek tidur di rumah sakit nanti jadi ikut-ikutan sakit. Bukannya Zee tidak mau
ditemani Nenek sama Ibu tapi kan ada Dio.” Kata Zee membenarkan meski ucapannya
dan Dio benar namun Zee merasa nada bicara Dioba memang lain. Tidak ada kesan
perhatian di dalamnya. Ia melirik ke arah Dioba namun wanita itu sudah menatap
ke arah lain. Ia kembali seperti semula, kadang cuek terkadang sangat peduli.
Zee sudah mulai hafal dengan karakter Dioba.
Malam itu ibu dan nenek memutuskan untuk
tetap di rumah sakit dan keesokan siangnya ia baru pulang untuk mengambil
pakaian ganti dan juga masak untuk dibawa ke rumah sakit. Dokter Hendra setiap
kali ia punya waktu luang tak sedikitpun ia ingin berpisah dari Dioba. Dioba
tidak ingin memberikan harapan palsu kepada pria itu bagaimanapun ia masih
terikat kontrak dengan Zee meski di dalam kontrak ada pengecualian.
“Bagaimana perasaanmu? Sudah tidak ada yang
sakit,’kan?” tanya Dioba saat duduk di kursi yang ada di samping tempat tidur
pasien yang kini sudah ada di ruangan VIP.
“Maaf ya Di..., aku jadi merepotkan kamu.
Semua ini diluar dugaan dan rencana.”
“Ya masa sakit di rencana... kamu ini
ada-ada saja.” Dioba yang dari tadi memegang sebuah buku kembali asik dengan
bukunya.
“Ya, aku tahu tapi.... sungguh aku merasa
tidak enak dengan kondisi ini.”
“Tidak usah berpikiran macam-macam.” Dioba
menoleh pada Zee. “Aku yang salah, kamu mungkin kelelahan atau juga termakan
makanan yang tidak higinis. Semua salahku, aku yang harus minta maaf. Maafkan
aku, ya.” Ia memegang tangan Zee sepertinya ia mulai berubah lagi. Zee
merasakan itu dan ia menyukai kalau Dioba sudah memperlihatkan kasih sayangnya.
“Dokter Hendra, apa aku boleh tahu siapa
dia sebenarnya?”
Dioba langsung melepaskan tangannya dari
Zee. “Apa? Dokter Hendra? Apa maksud kamu?” Dioba menghindar dari tatapan ingin
tahu Zee.
“Entahlah, aku merasa kalian berdua punya
kisah lama atau kisah baru? Apa kamu akan menikah dengannya dan tidak akan
kembali lagi ke Jakarta?”
“Kamu bosku Zee, apa yang bisa aku lakukan
tanpa persetujuanmu. Dan mengenai dokter Hendra aku rasa tidak ada yang perlu
dibahas.”
“Ya, aku ingat... tidak boleh menanyakan
tentang pribadi, itu di dalam kontrak,’kan?”
“Sudahlah, sebaiknya kamu istirahat.”
“Apa kamu akan menemui dokter itu?”
“Zee........”
“Oke, oke.... aku akan diam.” Zee kembali
mengeluh. “Kamu marah Di?” ia masih menambahkan. Dioba hanya meliriknya sejenak
karena merasa tidak bisa berbuat apa-apa.
*
Zee sudah kembali dari rumah sakit namun
kondisinya masih lemah dan istirahat di kamar Dioba. Meski kondisi Zee masih
seperti itu Dioba tetap saja tidak begitu mempedulikannya sehingga menimbulkan
beberapa pertanyaan dari ibu dan neneknya. Dan malam itu kala mereka
sedang berbincang di ruang dapur ibunya
coba menanyakan beberapa hal.
“Di0.... ada yang ingin Ibu tanyakan ke
kamu, selama Zee di sini baik Ibu juga Nenekmu merasakan kalau kamu seolah-olah
tidak menyukai Zee apakah kamu tidak senang kalau Ibu dan Nenekmu menyayangi
anak itu? Atau memang ada hal lain? Bukannya kamu yang mengajaknya ke sini dan
kamu juga mengatakan kalau dia itu juga bos kamu. Ada apa sebenarnya?”
“Ya, jawab pertanyaan Ibumu.” Neneknya yang
duduk di kursi dekat meja makan ikut bicara. Dioba menatap ibu dan neneknya
bergantian karena ia tidak yakin apakah kedua wanita yang ia sayangi itu siap
jika ia cerita kebenaran itu atau malah lebih parah darinya? Dulu ibunya pernah
mengatakan kalau ibunya sudah mati bahkan dari kecil kata-kata itu sudah ia
tanamkan di otak Dioba begitupun dengan neneknya tidak kalah heboh kalau Dioba
menanyakah prihal ayahnya. ‘ayahmu sudah meninggal bahkan sebelum kamu
dilahirkan!’
Dioba menghela napas panjang. “Maaf Nek,
Bu...... Dio tidak tahu harus bilang apa, maaf.” Melihat sikap Dioba seperti
itu makin membuat ibu dan neneknya tambah penasaran dan semakin yakin kalau
Dioba menyimpan sesuatu hal entah itu rahasia atau masalah besar yang mungkin
tidak sanggup ia pikul. Ibunya bangun dari kursi dan mendekati Dioba dan berdiri di belakangnya memegang pundaknya
dengan penuh kasih sayang seakan ingin memberikan dukungan pada anak sematawayangnya
karena ia tahu kalau Dioba lagi punya masalah.
“Tidak apa-apa sayang, Ibu mengerti. Apapun
masalahmu dan apa yang kamu rasakan Ibu tidak akan marah terlepas itu urusan
pribadi atau urusan keluarga kita. Ibu berjanji pada kamu tidak akan memaksamu
dan tidak akan marah apapun yang akan kamu ceritakan baik sekarang atau nanti.”
Ia mengusap lembut pundak anaknya dan Dioba merasa tidak perlu menyimpan lagi
apa yang ada dipikirannya. Setiap masalah harus diselesaikan baik itu masalah
kecil atau besar dan urusan seberapa sanggup orang menerimanya tergantung dari
sebesar apa jiwa seseorang dan sekuat apa orang itu terbiasa dengan masalah dan
Dioba mulai yakin kalau apa yang akan ia ceritakan tidak akan berdampak fatal
pada ibu dan neneknya.
“Baiklah Bu, Nenek... Dio akan cerita
dengan satu syarat tidak ada keributan sama sekali di sini.” ujar Dioba dan
melihat anaknya ingin cerita sang ibu mengambil kursi dan duduk di sebelah
anaknya, mengamati Dioba dengan sungguh-sungguh seakan keduanya telah
menyetuhui syarat dari Dioba. Dioba pun mengisahkan satu demi satu apa yang ia
lihat dan alami selama kenal dengan Zee.
“Pertama Dio memang sama sekali tidak
mengenali Zee dan melamar kerja ke kantornya itupun karena ada pengumuman
lowongan di koran dari kantornya. Entah Zee atau ada orang lain tahu siapa Dio,
Dio juga tidak tahu tapi pekerjaan Dio berjalan dengan lancar sampai Dio
akhirnya berkunjung untuk pertama kalinya ke rumah Zee yang menjadi bos Dio dan
di sanalah Dio melihat foto pria itu, foto yang sama persis dengan foto yang
dulu pernah dikasih lihat sama Ibu. Memang Dio tidak pernah bertemu langsung
dengan beliau karena sedang bertugas di luar negeri tapi Dio yakin beliau
adalah pria yang selama ini Ibu dan Nenek bilang sudah meninggal sejak puluhan
tahun yang lalu...”
“Jadi..............” ibunya tambah
penasaran, ada amarah yang tidak bisa ia sembunyikan sekaligus penasaran yang
amat sangat.
“Dio belum selesai Bu.” Ujar Dioba dengan
nada berat dan meneruskan. “Pertama kerja Dio memang benar-benar serius kerja
dan setelah melihat foto beliau Dio jadi tidak tahu harus bagaimana, apakah
harus berhenti atau....?” ia berhenti sejenak membuat ibu dan neneknya terpaku
dan berharap cerita Dioba tidak selesai sampai di situ. “Benar-benar dilema,
Dio sangat membenci pria itu dan berdampak ke Zee.”
“Zee itu bukan istrinya, ‘kan?” nenek
nyeletuk.
Dioba menggeleng. “Ibu dan Nenek sekarang
tahu kan bagaimana perasaan Dioba kalau dekat dan melihat Zee? Terkadang ada
rasa yang tidak masuk akal, rasa dendam juga keingian-keinginan untuk
membunuhnya dan Dio tidak tahu apakah dengan cara itu dendam Dio akan terbalas
atau mungkin juga ada harapan agar pria itu juga merasakan bagaimana itu
rasanya rasa sakit.” Suara Dioba terdengar bergetar.
“Dio, kamu tidak boleh seperti itu sayang....
kamu juga tidak tahu pasti kan apakah pria itu orang yang sama atau bukan.”
Ibunya mulai bicara realistis. Ia memang mengatakan kalau pria itu sudah
meninggal karena kesal sebab pria itu sudah membohonginya. Bagaimana tidak,
saat sebelum menikah pria itu mengakui masih single namun setelah mereka ada di depan penghulu dan ditanya sama
penghulu pria itu baru mengakui kalau ia sudah pernah menikah dan masih
berstatus suami orang. Apakah ada rasa yang lebih sakit dan malu daripada itu?
Ibarat nasi sudah menjadi bubur. Nenek melirik ke anaknya yang dulu dinikahi
oleh pria yang tidak bertanggung jawab dan kini kenyataannya anak pria itu ada
di antara mereka selain Dioba, dia adalah Zee. Dulu ia juga sempat stres karena
anaknya melahirkan tanpa ada suami di sampingnya meski berstatus istri. Ia
merasa malu pada lingkungan, malu pada semuanya.
Hal itu dirasakan oleh ibu Dioba lebih ke
arah pengkhianatan, cinta palsu dan kebohongan yang tidak bisa dimaafkan.
Setelah Dioba lahir juga pria itu masih sekali dua kali menghubunginya
menanyakan kabar anaknya sekaligus kabar ibunya. Setelah ibu Dioba minta
pertanggung jawaban dari segi segalanya, pria itu pun menghilang seolah di
telan bumi dan sejak itulah ia memutuskan menganggap pria itu sudah mati, hal
itupun ia sampaikan juga kepada anaknya yang saat itu sudah mulai bisa bicara.
“Ibu........” Dioba menatap ibunya dengan
rasa kasihan. “”Maafkan Dio sudah memulai cerita ini. Sesakit apapun yang telah
Ibu rasakan Dio bisa merasakannya juga meskipun Dio tidak tahu bagaimana
kejadian yang sebenarnya.” Ujarnya dengan sungguh-sungguh dan yang ia tahu
ibunya sudah menyembunyikan sesuatu entah itu ayahnya menikah lagi dan
meninggalkan mereka sehingga muncul skenario ‘mati’ itu atau ada kisah lain.
Wanita itu berusaha tersenyum kepada anaknya meski tipis dan terlihat
dipaksakan namun ia bermaksud untuk mengatakan kepada Dio kalau dia tidak
apa-apa.
“Sudahlah Di, terlepas siapapun Zee kita
juga tidak tahu siapa ibunya dan yang pasti dia tentu saja tidak tahu apa-apa
dengan semua ini jangan libatkan dia, kasihan dia.”
Dioba menarik napas dalam-dalam karena ada
yang tidak ibunya tahu yaitu perasaannya yang memiliki nasib berbanding
terbalik dengan Zee. Apakah dia punya hak untuk hidup seperti Zee atau tidak
namun kenyataan itu sudah menyakitkan hatinya yang paling dalam.
“Dio, Nenek ingin tanya sekali lagi....
apakah kamu yakin kalau foto pria yang ada di rumahnya Zee itu adalah foto yang
sama yang dulu dimiliki oleh Ibumu? Dan kalian punya ayah yang sama?” wanita
tua itu ingin kepastian dari cucunya bagaimanapun juga sejak Zee datang ke
rumah itu ia merasakan memiliki ada ikatan yang kuat di antara mereka dia ingin
memastikan apakah Zee juga cucunya meski tidak bisa disebut demikian karena
beda ibu dan juga ayahnya Zee bukanlah anak kandungnya hanya mantan menantu dan
secara harfiah tidak ada hubungan darah sama sekali.
Dioba mengangguk dengan pasti karena foto
itu sama tidak ada bedanya sama sekali.
“Apa rencanamu sekarang?” tanya ibunya dan
sebelum Dioba angkat bicara terdengar ketukan di pintu depan. Ada yang datang
dan itu adalah dokter Hendra. Pria itu menanyakan bagaimana kondisi Zee dan
yang terpenting ia ingin bertemu dengan Dioba.
Dioba mengajak pria itu masuk dan
mengatakan kalau Zee sudah tidur dari tadi itu tandanya kalau ia sudah membaik.
“Syukurlah kalau begitu.”
“Aku buatkan kopi ya.”
“Boleh.”
Beberapa saat saja Dioba sudah keluar
dengan secangkir kopi. Nenek dan Ibunya hanya menyapa Hendra lalu mereka kembali
lagi ke dalam untuk memberikan kesempatan ngobrol pada kedua insan itu. Ibunya
Dioba tentu saja masih memikirkan cerita anaknya dan membuatnya penasaran
karena belum melihat sendiri kalau foto pria yang anaknya lihat itu adalah pria
yang ia kenal 26 tahun silam. Rasa penasarannya melebihi rasa sakitnya, di sisi
lain ia punya keingian untuk ke Jakarta dan memastikan hal itu namun separuh
hatinya merasa seakan tidak punya keberanian dan lebih jelasnya merasa tidak
punya harga diri. Tidak! Ia tidak akan menemui pria itu apapun alasannya.
“Apa rencanamu sekarang?” tanya dokter
Hendra sama persis dengan pertanyaan ibunya tadi membuat Dioba langsung
mengangkat wajahnya untuk menatap pria itu.
“Rencana apa maksudnya?”
“Pernikahan kita.” Hendra mendekatkan
wajahnya sedikit ke arah Dioba. “Sebelum kamu kembali ke Jakarta aku ingin
mengajak kedua orang tuaku ke sini, aku sudah membahas masalah ini pada ibu dan
nenekmu lalu mereka mengatakan keputusan ada di tanganmu.” Jelas Hendra. Dioba
menatap pria itu untuk mencari kejujuran di wajahnya dan sungguh ia tidak
mengerti apakah pria itu benar-benar masih menyukainya atau karena perasaan
sesaat sebab sudah lama tidak berjumpa. “Apapun keputusan kamu, jangan pernah
merasa bersalah karena mungkin selama ini akulah yang salah sebab tidak
sungguh-sungguh mencarimu karena aku menganggap jika kamu jodohku maka kita
akan kembali dipertemukan seperti ini. Kedengarannya pasrah tapi aku percaya
itu namun jika perasaanmu sudah tidak lagi sama kepadaku aku tidak punya hak
untuk memaksamu karena sesuatu yang dipaksakan maka hasilnya akan menyakitkan.
Aku sudah mengatakan kepada keluargaku kalau aku akan melamarmu tapi kalau
kenyataannya berbeda aku tidak harus malu dan memaksakan diri hanya karena
harga diri atau pandangan orang lain. Karena yang terpenting adalah perasaan
kita dan kebahagiaan keluarga kita yang lain akan mengikuti. Kita tidak akan
hidup dari pandangan atau penilaian orang.”
“kamu terlalu banyak bicara.... silahkan
diminum dulu kopinya.” Kata Dioba dengan perasaan masih tidak menentu. “Beri
aku kesempatan... dan akan aku jawab pertanyaanmu sepulangnya aku dari Jakarta
nanti.” Lanjut Dioba setelah Hendra menikmati kopinya.
“Kamu akan ke Jakarta besok?”
“Tidak. Cutiku masih seminggu lagi dan Zee
juga masih belum pulih benar.”
“Sayang.... kenapa harus menunggu cuti habis?
Kamu tidak harus kembali bekerja dengan Zee,’kan karena kita akan segera
menikah.”
“Belum apa-apa kamu sudah memperlihatkan
keegoisan kamu, kamu sudah mulai memaksa dan ingat..... kamu sendiri bilang
kalau sesuatu yang dipaksakan itu hasilnya akan menyakitkan.” Tegas Dioba.
Hendra hanya tersenyum karena sejujurnya ia tidak ingin kehilangan Dioba. Gadis
unik, tidak sama dengan ratusan gadis menarik lainnya karena Dioba punya
keistimewaan yang tidak biasa.
“Sebenarnya aku ingin mengajak kamu keluar
tapi kondisi Zee masih tidak memungkinkan untuk ditinggal, aku akan menunggu
besok.” Kata Hendra dan tidak ditanggapi serius oleh Dioba karena pikirannya
masih ke persoalan ceritanya kepada ibu dan neneknya tadi dan ia tidak bisa
menebak apa yang sedang dipikirkan ibu dan neneknya sekarang tentang Zee dan
ayahnya. Ia memang tidak berharap kedua wanita itu membenci Zee seperti yang ia
rasakan karena ada benarnya kalau Zee tidak tahu apa-apa mengenai masa lalu
ayahnya. Zee sebenarnya tidak pantas menerima akibat perlakuan ayahnya.
Tidak ada yang tahu kalau sebenarnya Zee
sudah mendengar semua pembicaraan malam itu karena ia belum benar-benar tidur.
Ia membuka laptop Dioba dan mencari sesuatu yang tidak biasa di sana semacam
tulisan atau koleksi foto. Dan benar setelah membuka beberapa files foto ia menemukan foto ayahnya
yang masih muda dan itu difoto ulang dari kemera ponsel, gambar itu sama persis
dengan gambar ayahnya masih muda. Di bawah foto ada tulisan ‘ayahku’ kebenaran
cerita Dioba semalam ada benarnya. Zee menutup file itu lalu membuka halaman Word
karena ia tahu Dioba suka menulis. Ternyata selain suka menulis kisah fiksi
Dioba juga menuliskan perasaannya, kisah masa sekolahnya, masa-masa di mana
semua temannya punya ayah dan ia bahkan sering dicap ‘anak haram’ dan setelah
bertemu dengan Zee di Jakarta apalagi sejak tahu Zee adalah anak pria yang
sudah meninggalkan dia dan ibunya ia ingin membunuh Zee beberapa kali
kesempatan untuk membalas semua perlakukan ayahnya. Seketika Zee merasa
merinding tapi ia tidak boleh takut karena ia tahu kalau Dioba sebenarnya punya
banyak kesempatan untuk membunuhnya tapi mengapa tidak ia lakukan? Pasti ada
hal yang disembunyikan Dioba yang tidak ia ketahui. Jika benar ayahnya telah
melakukan hal yang tidak manusiawi kepada Dioba dengan ibunya maka Zee merasa
pantas menerima balasannya dari Dioba dan keluarganya. Zee menarik napas
dalam-dalam dan saat ini Dioba sedang pergi dengan Hendra tidak tahu entah ke mana
karena Zee memang sengaja memberikan waktu untuk mereka dengan maksud mencari
tahu apa yang Dioba simpan di dalam laptopnya dan ternyata apa yang ia cari ada semua tersimpan di dalam files Dioba. Zee menutup kembali laptop
dan ia mencari sebuah pulpen dan secarik kertas. Di sana Zee menuliskan
kata-kata wasiat atau pesan terakhir untuk Dioba dan keluarganya.
Tanggal
17 juli,
Aku harus menuliskan ini...., kematianku atas kehendakku sendiri tidak
ada paksaan atau tekanan dari orang lain. Apa yang aku lakukan telah aku
pikirkan matang-matang dan aku pantas menerima semua ini. Selamat tinggal untuk
semua orang yang aku cintai. Maafkan aku....
TTD,
Zee Neba.
Zee melipat kertas itu dengan rapih dan memasukan ke
dalam kantong celananya, ia tidak bisa lagi berpikiran jernih karena semua
sikap yang suka berubah-ubah dari Dioba selama ini sudah ia temukan jawabannya
jadi tidak ada lagi yang membuatnya bimbang untuk melakukan itu. Zee mungkin
tidak lagi memikirkan siapa yang salah dan siapa yang benar, apakah ayahnya
atau ibunya Dioba tapi yang ada dipikirannya sekarang adalah bagaimana cara
melakukan bunuh diri. Perhatian nenek dan ibu Dioba sudah tidak penting lagi
baginya.
Dioba pergi memang sudah minta izin pada
semua yang ada di rumahnya meski dengan jujur ia akui tidak tega meninggalkan
Zee di rumah namun ia juga tidak bisa menolak ajakan Hendra. Hendra mengajak
Dioba makan di sebuah tempat yang dekat dengan pusat perbelanjaan meski
jaraknya tidak lebih dari 5 kilometer dari rumah. Kebersamaan mereka tidak
murni buat senang-senang karena pikiran Dioba masih tertuju pada rumah. Hendra
mengusap tangannya dengan lembut.
“Ada apa? Sepertinya hatimu tidak di sini.”
“Aku merasa tidak enak dengan Zee walaupun
kita ke sini tidak memakai mobilnya tapi tetap saja aku merasa bersalah
meninggalkannya di rumah apalagi di sini dia ikut denganku tapi aku
meninggalkannya dan seharusnya kemanapun aku pergi ia ikut.”
“Aku sangat mengerti, tapi kita tidak akan
lama kok dan aku janji setelah makan kita akan segera pulang.” Ucapan Hendra
mampu mengukir senyum di sudut bibir Dioba.
“Ya, tapi janji ya tidak ada yang melabrak
aku di sini melihat kamu makan denganku?” sahut Dioba karena ia percaya ada
banyak wanita yang menyukai dokter muda yang tampan itu apalagi dia dinas di
kampung mereka sudah lumayan lama rasanya mustahil tidak ada yang
mendambakannya.
“Ini kampung kita dan semua orang mungkin
tahu kalau aku hanya menyukai kamu dari dulu hingga sekarang... dan kedua orang
tuaku pun tahu itu.” Kata Hendra dengan pasti. “Boleh tahu siapa pria yang
selama ini dekat denganmu?”
Dioba tidak menjawab pertanyaan itu karena
ia tidak suka pertanyaan tersebut bukannya ia tidak pernah dekat dengan pria
baik di bangku kuliah dan saat sebelum bekerja dengan Zee di Jakarta.
Keberadaan Hendra yang tidak pernah ada kabar tidak membuatnya anti dengan pria
lain sebab ia yakin Tuhan maha membalikkan hati seseorang dan ia bisa mencintai
pria lain. Itu tidak ia pungkiri karena satu dua pria pernah ia kencani setelah
Hendra dan ia juga tidak ingin tahu siapa saja selama ini yang pernah dekat
dengan Hendra sebab semua orang punya kisah dan masa lalu yang mungkin tidak
ingin ia bagi dengan orang lain.
“Kamu selalu jadi wanita tertutup dari dulu,
kamu selalu membuat aku penasaran Di.... kamu adalah satu-satunya wanita yang
membuat aku merasa tidak berdaya, membuatku panas dingin seperti ini. Hatiku
selalu ketar-ketir baik jauh ataupun dekat denganmu.”
“Seorang dokter tidak pantas bicara macam
anak SMP begitu.” Kata Dioba lalu mulai menikmati makan malamnya agar segera
pulang ke rumah. “Makanlah, aku sudah lapar.”
“Cinta memang selalu seperti anak kecil,
aku rasa seperti itu.” Hendra membela diri dan Dioba tetap ingin menjadi
dirinya sendiri tanpa harus hanyut dengan kata-kata gombal atau serius karena
sudah banyak ia lihat kejadian yang memuakan di dunia ini. Atas nama cinta
menggebu dan memutuskan untuk menikah dan setelah mengarungi rumahtangga
keributan selalu hadir sehingga tidak ada lagi cinta selain caci maki dan
hinaan meski tidak semua seperti itu. Jika Hendra memang jodohnya ia tidak akan
menyesal karena perasaanya kepada pria itu tetap sama dan mungkin sekarang
lebih besar hanya saja Dioba sudah dewasa dan akan memperlihatkan cinta yang
dewasa juga. Hendra pria dewasa yang romantis dan tidak terlalu mengumbarkan
perasaannya pada muka umum, sayang pada keluarga dan sangat perhatian.
“Boleh aku tahu apa tujuanmu punya istri?”
pertanyaan itu diluar dugaan Hendra sehingga membuatnya meletakkan sendok ke
piringnya untuk menatap Dioba dengan seksama karena pertanyaan itu tidak
gampang dijawab. “Mohon jangan bertanya balik.” Tambah Dioba.
“Baiklah. Aku tidak perlu membahas apa
tujuan pria punya istri, kini aku akan katakan apa tujuanku untuk punya istri.
Pertama.... untuk teman hidup, kedua untuk mendapatkan keturunan tapi terlepas
dari semua itu hanya satu yang aku inginkan yaitu kenyamanan dan bisa juga
disebut kebahagiaan sejati.”
“Hidup ini seperti berjudi Hen..... saat
kita merasa yakin mendapatkan apa yang kita inginkan bisa saja itu hanya
pertaruhan belaka.”
Hendra bengong sejenak tak mengira pikiran
Dioba sudah sejauh itu, wanita yang selama ini ia pikir penuh misteri ternyata
makin matang dalam berpikir dan makin membuatnya terkagum-kagum.
“Seorang dokter tidak mengerti perumpamaan
kata.”
“Ya, karena satu penyakit harus dikasih
obat yang tepat bukan perkiraan.” Hela Dioba membuat Hendra langsung tersenyum
simpul. “Aku rasa kita harus segera pulang.”
*
Setelah bertemu dengan ibunya dan
memastikan kalau ibunya baik-baik saja Dioba kembali ke kamarnya. Malam yang
mulai beranjak larut dan di kamar Dioba menemukan Zee tidak sedang tidur
tapi......
Wanita itu sedang duduk di kursi dekat meja
hias Dioba dan hanya lampu meja yang menyala sehingga terlihat redup. Kedua
tangannya sedang memegang sesuatu, yang di sebelah kiri tak terlihat jelas
karena ia gengam dengan erat namun di tangan kanannya sebuah botol yang isinya
bisa Dioba pastikan masih sangat banyak dan tutupnya sudah terbuka.
“Zee...........? apa yang akan kamu
lakukan?” Dioba mendekati wanita itu dengan perlahan.
“Aku harus melakukan pekerjaanmu yang
selama ini kamu tunda-tunda, jangan mendekat Di....” perintahnya serius. Dioba
tidak tahu apa yang ada dipikiran wanita itu, apakah ia marah karena
ditinggalkan sebentar dan Dioba pergi dengan Hendra? Itu tidak mungkin karena
Zee adalah wanita normal dan ia pernah pacaran dengan Bimo.
“Singkirkan benda itu.” Kali ini Dioba yang
memerintah walaupun suaranya terdengar gemetar. “Apapun yang ada di otakmu kita
bisa bicarakan baik-baik, aku mohon.”
“Tidak. Sekali lagi jangan coba-coba
mendekat karena aku sudah tahu semunya.” Zee melemparkan benda di tangan
kirinya ke arah Dioba dan saat Dioba meraih benda itu Zee menenggak semua isi
botol yang ada di tangan kanannya dan detik berikutnya ia jatuh ke lantai.
Dioba tidak menghiraukan lagi benda itu karena ia melihat Zee sudah terjatuh
dan botol racun nyamuk sudah ikut tergeletak di lantai dengan kondisi kosong.
Dioba panik dan sebelum ia memanggil ibu dan neneknya sudah di kamar karena
tadi mendengar suara benda jatuh ke lantai dan benda itu adalah tubuh Zee yang
sudah terkulai di lantai, mulutnya mulai mengeluarkan busa. Dengan cepat Dioba
menelepon Hendra dan mengatakan kalau Zee telah menenggak racun nyamuk agar
pria itu sekalian membawa obat penawarnya.
“Kenapa dengan Zee? Kalian berantem ya?”
tanya ibunya disela-sela kepanikan melihat kondisi Zee yang mungkin tidak bisa
tertolong lagi.
“Aku tidak tahu, Bu.” Dioba berusaha
mengangkat tubuh Zee ke atas tempat tidur dan lampu sudah dinyalakan. Wajah Zee
sudah mulai membiru dan detik berikutnya Hendra muncul, ia buru-buru dari
rumahnya dengan mengendarai sepeda motor. Dioba membersihkan mulut Zee dengan
bajunya. Nenek di sampingnya tidak bisa berbuat banyak selain bingung karena
panik. Hendra segera menangani Zee dengan cara profesional selama ini ia biasa
menangani kasus semacam itu bahkan lebih parah tapi ia tidak gugup tapi kasus
yang dialami oleh Zee membuatnya agak merinding dan bisa bernapas lega setelah
memasang infus. Ia menoleh pada ketiga wanita yang ada di kamar itu.
Lalu menoleh pada Dioba. “Untung kamu
segera menelepon aku, kalau telat sedikit saja.... ya Tuhan.... dia menenggak
cairan itu sangat banyak sekali sehingga reaksinya begitu cepat. Ada apa
dengannya, Di.....?”
“Aku tidak tahu, dia hanya mengatakan kalau
dia sudah tahu semuanya.” Suara Dioba masih gemetar lalu ia menoleh pada ibu
dan neneknya dan mengira kalau mereka sudah cerita semuanya pada Zee. Ibunya
menggeleng pelan dan neneknya pun melakukan hal yang sama lalu mata Dioba
tertuju pada benda yang tadi dilemparkan Zee sebelum menenggak racun itu. Semua
menyimak apa yang dilakukan Dioba. Itu secarik kertas yang sudah kusut karena
digengam oleh Zee. Dioba membuka dan membacanya lalu memberitahukannya kepada
ibu, nenek juga Hendra, sepertinya tidak perlu lagi menyimpan rahasia itu
kepada Hendra karena dia telah ikut berperan menyelamatkan Zee dari usahanya
untuk bunuh diri.
“Kalian semua tenang, sekarang Zee sudah
selamat dan sebentar lagi dia akan sadar.” Ia meraih tangan Dioba. “Sayang....
aku ingin bicara sebentar di depan.” Dioba mengajak Hendra ke ruang tamu. Ia
tidak peduli apakah pria itu akan berubah pikiran dengannya setelah tahu siapa
Zee sebenarnya dan apa hubungan Zee dengannya.
“Terima kasih sudah cepat datang, aku tidak
tahu kalau sampai Zee.....”
Pria itu mengusap pundak Dioba. “Apa yang
harus aku tahu, sayang.....? sejujurnya aku juga tadi sempat gemetar melihat kondisi
Zee.” Ia membawa Dioba duduk di kursi yang ada di ruang tamu dan Dioba kembali
memperlihatkan kertas tulisan tangan Zee yang benar-benar sudah kumal. Hendra
membaca kalimat itu sampai dua kali tapi ia belum begitu paham apa maksudnya
berbeda dengan Dioba karena sebelum menenggak cairan itu Zee mengatakan akan
melakukan pekerjaannya. Pekerjaan untuk membunuh Zee namun Dioba tidak akan
bisa mengatakan hal itu kepada Hendra. Ia hanya menjelaskan tentang ayah
mereka, andaipun Hendra harus tahu tentang niatnya untuk membunuh Zee tapi
bukan sekarang saatnya. Hendra menghela napas panjang.
“Jadi, apakah Zee merasa harus menebus dosa
ayahnya?”
“Entahlah, aku tidak tahu pasti... terlalu sakit rasanya kalau dibahas.”
“Baiklah, aku mengerti. Kamu harus tenang
ya, semoga kita bisa melewati semua ini dengan kepala yang dingin. Apakah Zee
itu adikmu atau bukan tidak masalah bagiku.... kamu tetaplah Dioba seorang
wanita yang aku cintai dan kamu jangan pernah berubah, aku tidak peduli siapa
ayah kamu karena bagiku adalah pribadimu yang baik.”
“Aku tidak sebaik yang kamu kira Hen, aku
ini wanita jahat.”
“Tidak Di, aku kenal kamu sudah cukup lama
jadi apapun yang kamu lakukan pasti ada alasan yang sangat kuat di dalamnya.”
“Aku ingin melihat Zee.” Kata Dioba dan
mereka kembali ke kamar dan wanita itu belum juga sadarkan diri dan isi botol
infus sudah berkurang banyak. “Apa kita harus memberitahukan ayahnya?” Dioba
malah minta pertimbangan Hendra.
“Jangan dulu, kamu lihat wajah Zee sudah
mulai terlihat segar. Jika kamu harus menghubungi ayahnya sebaiknya kamu tanya
dulu kepada Nenek dan juga Ibumu, syukur-syukur itu atas izin Zee juga.” Kata
Hendra merasa yakin kalau sebentar lagi Zee akan sadar. Ia coba memegang denyut
nadi Zee yang sudah kembali normal. “Nanti aku harus ke rumah sakit, kamu
jangan khawatir jika nanti Zee sadar dan
sudah mau makan maka infusnya sudah boleh kamu lepas. Jangan panik ya, kalau
ada apa-apa kamu segera hubungi aku.” Jelas Hendra dan Dioba hanya mengangguk
Hendra lalu pamit pada nenek dan ibu.
Nyaris semalaman itu Dioba tidak memejamkan
matanya karena Zee masih lemas, nenek dan ibu bisa istirahat sebentar itupun
karena paksaan dari Dioba. Menjelang subuh Zee berusaha bangun dari tempat
tidur dan Dioba mengawasinya, sejam yang lalu ia dipaksa makan bubur oleh
Dioba. Ia tidak ke mana-mana dan hanya duduk di ranjang dan menatap Dioba yang
duduk di sebelahnya.
“Mengapa aku masih diselamatkan?” suaranya
pelan dan matanya berkaca-kaca. “Bukannya kamu menginginkan aku mati dari sejak
kamu melihat foto ayahku dan juga mungkin ayahmu?”
“Aku tidak ingin membahasnya, sebaiknya
kamu istirahat karena aku juga ingin tidur.”
“Aku tahu, kamu tentunya tidak akan mau aku
jadi adikmu.”
“Tentu saja, kamu adalah bosku dan sekarang
sedang berlibur di kampung halamanku. Jangan berpikir macam-macam lagi karena
aku tidak ingin memikirkan lagi siapa ayahku sebab aku sudah terbiasa tidak
memiliki seorang ayah, dan satu hal lagi bagaimanapun juga aku masih
menganggapmu bosku serta masih menghargaimu.”
Zee melepaskan selang infus dari tangannya
karena isinya sudah hampir habis. Ia kembali menoleh pada Dioba. “Aku tahu apa
yang masih tersimpan di kepalamu, aku tidak pernah takut mati Di.... dan aku
baru saja melakukannya tapi mengapa kamu yang seolah takut aku mati? Kamu
pengecut kelihatannya saja kamu itu tangguh tapi kenyataannya kamu lemah.”
Dioba membalikkan badannya untuk menatap
Zee yang sudah membaik. “Kamu tidak tahu
apa-apa tentang perasaanku.”
“Ya mungkin karena kamu bersembunyi dibalik
keangkuhanmu.”
“Tadinya aku memang ingin sekali membunuhmu
kamu tahu kenapa? Karena aku benci sekali dengan kamu tapi kamu tahu kenapa aku tidak pernah bisa melakukannya?
Sebab setiap kali niat itu muncul di benakku setiap kali juga di sisi lain
otakku melarang aku melakukannya, dan aku tidak tahu apa sebabnya.” Suara Dioba
terdengar menekan dan berat membuat Zee terdiam. Dan Dioba melanjutkan lagi.
“Aku merasa kalau kita berdua merasakan hal yang sama, sama-sama memiliki
keluarga yang tidak lengkap dan mungkin itu adalah alasan mengapa aku tidak
bisa membunuhmu meski sangat ingin, aku sehrusnya benci dengan ayahmu dan
membunuhnya tapi aku pikir dengan kematianmu maka ayahmu akan lebih menderita
dari mati itu sendiri seumur hidupnya.” Kedua wanita itu saling menatap mata masing-masing. “Saat ini, mungkin kamu
yang ingin membunuhku tapi aku tidak harus menenggak racun nyamuk seperti yang
kamu lakukan. Setelah aku pikir-pikir tidak ada gunanya membunuhmu karena akan
membongkar aib keluargaku dan juga nama baikmu sebagai seorang direktur di
sebuah perusahaan. Setelah kamu sehat aku akan mengantarmu kembali ke Jakarta,
ke tempat asalmu.”
Zee merasakan rasa sakit yang bukan
kepalang kata-kata Dioba lebih menyakitkan dari menenggak cairan racun yang
telah ia rasakan. Kini wanita itu telah berbaring namun Zee masih terpuruk di
tempatnya. Ia akan menghubungi ayahnya dan menyelesaikan masalah yang sudah
tersimpan puluhan tahun itu. Ia tidak ingin lagi ada korban berikutnya.
Zee jadi pendiam, wanita jenius dan
berpendidikan tinggi itu merasa tempat itu telah menghakiminya meski
orang-orang yang ada di rumah itu berusaha bersikap wajar dan mereka tidak tahu
kalau ayahnya akan segera datang dalam waktu duapuluh empat jam ke depan. Dari
Amerika ia terbang, jika sudah sampai di Bandara Soekarno-Hatta ia langsung ke
Sumatra. Zee mengatakan kepada ayahnya kalau ia sakti di kampung halaman teman
yang sekaligus sopirnya dan pria itu sudah memesankan Helikopter kenalannya
untuk menuju rumah Dioba karena dari kenalannya ia tahu kalau daerah itu
memiliki tempat helikopter untuk mendarat.
Lapangan itu hanya berjarak lima kilometer
dari rumah Dioba, ia tidak ingin dijemput oleh siapapun selain mengatakan
kepada Zee kalau ia sudah mendarat dan dalam hitungan menit akan tiba di rumah
Dioba. Zee tahu kalau ayahnya tidak akan nyasar.
Menjelang petang pria itu muncul di pintu
rumah ibunya Dioba dan yang membuka pintu adalah Dioba sendiri. Setelah memberi
salam pria itu langsung bertanya.
“Kamu Dioba,’kan? Aku sudah menitipkan
anakku sama kamu dan mempercayai kamu sepenuhnya untuk menjaganya. Sakit apa
Zee? Di mana dia?” tanya pria itu karena merasa yakin kalau wanita muda yang
berdiri di depannya adalah Dioba karena Zee pernah mengirim fotonya melalui
ponsel. Menyadari yang berdiri di depan pintu itu adalah ayahnya Zee membuat
Dioba kesal karena Zee menyuruh ayahnya datang tanpa bilang dulu pada yang
punya rumah dan itu merupakan kelancangan tersendiri menurutnya.
“Silahkan masuk dulu, karena Anda adalah
tamu kami.” Kata Dioba akhirnya. Ia mengamati pria itu dengan tas koper kecil
di tangan kirinya dan wajahnya itu. ‘Inikah ayahnya Zee? Apa mungkin dia juga
ayahku? Aku tidak bisa mempercayainya, sungguh.’
Saat pria itu melangkah untuk masuk ke
dalam ruang tamu, ibu Dioba keluar dari dalam dan terpaku di tempatnya tanpa
melangkah lagi seakan jadi patung tiba-tiba juga dengan pria itu yang tak kalah
takjub dengan wanita yang sudah menginjak usia 47 tahun itu. Ia sudah bertemu
dengan ratusan wanita di dunia ini baik di dunia politik, wanita karir dan juga
dari kalangan pejabat tapi tidak ada yang seperti itu. Wanita yang memiliki
wajah yang begitu damai bila dipandang.
Ada yang beda dari wajah tampan itu dan
tanda luka kecil di dagunya. “Anda, Anda bukan Gilang?” tanya ibu Dioba dengan
ragu-ragu.
“Maaf.......” sahut pria itu dengan sangat
sopan karena dia kaget sekali kalau wanita itu kenal dengan nama Gilang. “Saya
Galang.... ayahnya Zee Neba. Anak saya di sini, ‘kan? Saya ingin melihatnya ia
bilang sama saya kalau dia sedang sakit. Apa dia sudah dibawa ke rumah sakit?”
ujarnya. Dioba masih menyimak pria itu yang berbincang dengan ibunya, ia
menunggu kelanjutan kisah mereka. Apakah akan ada keributan besar karena
kemarahan ibunya selama ini? Jika itu terjadi ia sudah siap dengan berbagai
resiko sepahit apapun itu.
“Ayah!” Zee tiba-tiba muncul dari balik
pintu kamar. Ia langsung memeluk ayahnya karena sudah lama sekali tidak bertemu
dan itu adalah perpisahan terlama mereka sejak Zee dilahirkan di dunia ini.
“Sayang..... bagaimana kondisimu? Kenapa
kamu tidak di rumah sakit?”
“Tadinya di rumah sakit tapi sekarang sudah
mendingan.” Zee menatap wajah ayahnya sejenak lalu ke Dioba seolah ingin
memberitahukan kalau pria itu adalah ayahnya juga tapi Dioba merasakan ada hal
yang tidak beres telah terjadi selama ini karena baik ibunya juga pria itu
ternyata tidak saling kenal. “Ayah...... ini Dioba dan,” ia menoleh ke ibunya
Dioba namun sebelum Zee menjelaskan pria itu berkata.
“Dia pasti ibunya.... terima kasih ya Mbak
sudah menerima anak saya di sini.” Ucapnya dengan santun membuat Zee kembali
menatap ayahnya.
“Ayah, beliau itu.....”
“Ya, sayang.... apa Ayah salah? Dia ibunya
teman kamu,’kan?”
“Zee, Ayahmu benar. Beliau bernama Galang
bukan Gilang.” Wanita itu membenarkan. Bersamaan dengan itu dari arah dapur
datang Nenek dengan kemarahan yang agak meluap melihat pria yang selama ini
telah meninggalkan anak dan cucunya tanpa kabar apalagi memberikan nafkah dan
kini tiba-tiba muncul di rumahnya. Mendengar anaknya sakit langsung terbang
sedangkan ia tidak pernah peduli kalau salah satu anaknya yang lain selama ini
lebih parah dari sakit dan ia tidak pernah menampakkan batang hidungnya.
“Ibu.... tenang. Beliau bukan pria yang Ibu
maksud, dia orang lain.” Ibu Dioba berusaha menenangkan ibunya. Kebingungan di
antara mereka makin menjadi, hanya ibu Dioba dan pria itu yang bisa
menjelaskannya karena baik Gilang ataupun Galang memiliki wajah yang sangat
mirip meski sudah puluhan tahun tidak bertemu tapi wanita itu bisa
membedakannya.
**
Galang dan Gilang
Gilang baru saja pulang ke rumah dan kalau bertemu
dengan Galang selalu saja ada yang salah karena Galang tidak suka dengan
pergaulan yang diterakpakan oleh Gilang.
“Bang, ingat pesan Papa yang tidak suka
kita menghabiskan hasil kerja kerasnya selama ini hanya untuk kesenangan yang
tidak jelas.” Kata Galang melihat Gilang membawa seorang wanita ke dalam rumah
bukan karena wanitanya tapi pria itu selalu membawakan wanita yang berbeda
setiap datang.
“Ah! Tahu apa kamu tentang kesenangan.
Sebaiknya kamu bekerja saja dengan tekun biar jadi pengusaha sukses seperti
Papa.” Sergah Gilang dengan nada yang tidak pernah menghargai orang
sekelilingnya. Sejak kedua orang tua mereka meninggal kedua pria kembar itu
punya cara sendiri untuk bertahan hidup bahkan menikmati kesenanganpun mereka
punya cara sendiri. Galang meneruskan usaha orang tuanya bahkan mengembangkan
bisnisnya sedangkan Gilang hanya tahu cara menghabiskan uang, bersenang-senang
dengan banyak wanita dan menikahi di antaranya tanpa kejelasan yang pasti tidak
jarang ia melakukan nikah sirri pada wanita yang kotanya ia kunjungi. Terakhir
Galang mendengar kalau abangnya menikahi wanita Sunda. Suatu hari Galang
memberi saran pada abangnya untuk menikahi satu wanita dan hidup dengan
cara-cara orang normal yang dilakukan pada umumnya namun lagi-lagi abangnya
mengatakan kalau Galang tidak tahu apa-apa tentang wanita apalagi cara
membahagiakan diri dengan wanita-wanita.
“Kamu itu tidak tahu menahu tentang wanita
dan cara memperlakukan mereka.”
“Setidaknya aku tahu bagaimana perasaan
orang lain agar nanti tidak ada orang yang sakit hati karena ulah Abang.”
“Heh! Kamu tahu tidak? Banyak sekali wanita
di dunia ini membutuhkan kasih sayang pria dan kamu tahu berapa banding pria
dan wanita di dunia ini? Kamu tidak akan percaya kalau aku mengatakannya jadi
apa salahnya kita memiliki dua atau lebih dari mereka. Hidup hanya sekali dan
kita harus tahu caranya menikmati hidup tapi kalau kamu tidak setuju itu hak
kamu dan aku tidak pernah melarangmu untuk itu biarkan aku menjalani hidupku
dengan caraku sendiri. Aku bahagia seperti ini.”
“Abang hanya membohongi diri sendiri, coba
lari dari kenyataan dan pada dasarnya Abang berusaha menutupi sesuatu yang
selama ini sudah terjadi. Itu tidak baik Bang, jangan mengulangi kesalahan yang
telah orang lakukan ke Abang itu sama saja namanya menanamkan benih kebencian
di hati orang lain hanya karena kesalahan orang lain juga. Abang itu hanya
memindahkannya saja dan Abang tidak menyadari itu.”
“Sudahlah! Kamu tidak perlu menceramahiku
lagian juga aku tidak memakai uangmu, aku mau berkunjung ke daerah Sumatra
mungkin sebulan atau lebih. Kamu jaga diri dan tidak usah menghubungiku biar
aku saja yang menelepon kalau ada perlu.” Setiap meninggalkan rumah Gilang
selalu saja bicara seperti itu membuat Galang tidak bisa bicara banyak karena
ia tahu abangnya itu memang sedang patah hati karena ditinggal menikah oleh
kekasih yang ia anggap sangat setia selama ini.
Setelah beberapa bulan kemudian Gilang
pulang dari petualangannya, entah ia benar-benar dari Sumatra atau tidak Galang
tidah tahu pasti dan sejak pulang ia lebih banyak diam dan jarang membawa
wanita ke rumah lagi membuat Gilang merasa kalau petualangan Abangnya sudah
berakhir dan ia akan hidup bahagia dengan wanita pilihan terakhirnya. Tapi
anehnya dia tidak pernah membicarakan seorang wanita atau cerita-cerita hal
lain yang ia temukan dan tiga berikutnya ia malah menikah dengan wanita asli
keturunan Jakarta meski tidak dirayakan dengan meriah karena itu keinginan
Abangnya. Itu adalah pernikahan pertama dan terakhir Gilang yang dilihat Galang
karena Abang dan kakak iparnya meninggal dalam kecelakaan saat mereka pergi
bulan madu.
Galang merasa kalau keluarganya mendapatkan
cobaan yang tidak ringan serta berturut-turut, kedua orang tuanya meninggal
dalam kecelakaan pesawat. Atas janji pihak penerbangan untuk memberikan
santunan sebesar 1 milyar rupiah untuk satu nyawa itu hanya janji-janji di
depan publik saja dan keluarga Galang tidak menuntut. Selepas itu Galang yang
sudah lulus sarjana meneruskan usaha ayahnya karena Gilang sendiri tidak
tertarik untuk jadi pengusaha.
Setelah menikah dan punya satu orang putri
istri Galang juga meninggal akibat sakit atau nyeri kepala *sekunder yang dideritanya selama lebih
dari dua tahun dan koma selama 3 bulan. Kalau saja penyakitnya cepat ditangani
tapi wanita itu selalu mengatakan kalau dia tidak apa-apa setiap kali suaminya
mengajak ke rumah sakit dan saat rasa sakit itu sudah tidak tertahankan lagi ia
baru menyerah dan mau ke rumah sakit namun semuanya sudah terlambat karena
penyakitnya sudah stadium akhir. Pembelajaran yang Galang dapat dari kejadian
itu adalah jangan pernah menyepelekan sakit kepala. Penyesalan memang selalu
datang diakhir, tapi Galang tidak mau kehilangan lagi. Ia menjaga anak
sematawayangnya dan menyekolahkan dengan baik, memberinya waktu dan peluang
untuk berbisnis dan membuka usaha sendiri bukan memberinya kemanjaan yang
nantinya akan menyulitkan dirinya sendiri. Karena hal semacam itu merupakan
pembelajaran yang salah kaprah.
*nyeri kepala sekunder adalah nyeri
kepala yang disertai gejala gangguan saraf seperti kejang-kejang, mata juling,
penglihatan ganda, dan kelemahan di salah satu alat gerak. Nyeri kepala
sekunder dapat disebabkan oleh adanya kelainan patologis pada otak. Kalainan
ini dapat berupa tumor otak, stroke. Thrombosis ( sumbatan pada arteri ),
hipertensi berat ( maligna ), infeksi otak ( meningitis, encephalitis, abses ),
atau kelainan pada pembuluh darah otak, seperti aneurisma dan AVM (
artiriovenous malformation )
By : Eka Hospital
Care for better health.
*
Pembelajaran
Dioba Uku dan Zee Neba merasakan bahwa yang
terjadi selama ini merupakan hal yang tidak akan pernah bisa mereka lupakan.
Ada kekejaman dan rasa putus asa serta berpikiran negatif pada orang yang belum
mereka benar-benar kenali lalu setelahnya ada rasa penyesalan, rasa malu dan rasa
bersalah berikutnya pasti muncul rasa canggung di antara semuanya. Begitulah
alaminya. Dioba yang sudah pendiam dari sananya menjadi lebih pendiam saja. Zee
merasa bersyukur karena dia tidak satu ayah dengan Dioba karena ia akan merasa
lebih bersalah andai kebenaran itu seperti itu adanya meski di sisi lain ia
ingin sekali Dioba sebagai kakak kandungnya.
“Apa yang kamu sesali Di?” tanya Zee kala
mereka berdua sedang ada di kamar. Dioba mengamati Zee sejenak dan membayangkan
kalau saja wanita itu tidak bisa diselamatkan dari usahanya melakukan bunuh
diri lalu ia menggeleng pelan.
“Tidak ada.”
Zee tersenyum seakan memvonis Dioba terlalu
egois, tidak punya hati dan belum ada perubahan dari wajah dan sikapnya selama
ini seolah tidak pernah terjadi apa-apa. “Aku mengerti.”
“Kamu tidak akan mengerti apa-apa Zee.”
Keluh Dioba.
“Mungkin karena kamu masih berusaha
sembunyi dariku sangat dalam, ingat Di..... aku ini bukan lagi bosmu sekarang tapi
aku adalah adik sepupumu.” Zee berusaha menjelaskan yang di benaknya sudah
sangat jelas tapi ia tidak akan pernah bisa merasakan apa yang dirasakan oleh
Dioba. “Aku sadar ternyata kakak kembar dari Ayahku yang punya kisah yang
sangat tragis adalah ayah kandungmu. Ayahku pernah cerita kalau beliau punya
seorang kakak yang meninggal karena kecelakaan mobil tapi mengapa beliau tidak
tahu kalau ternyata dia punya seorang anak gadis yang jauh di luar kota.” Ia
memegang tangan Dioba dan menepuk-nepuknya pelan. “Keberadaanmu di Jakarta
telah digiring oleh Tuhan untuk mempertmukan kita juga agar kamu tahu apa yang
kamu tidak ketahui selama ini.”
“Aku tidak ingin membahasnya.” Dioba
beranjak dari tempat duduknya dan meninggalkan Zee yang mengikuti dengan ekor
matanya. Di ruang dapur pria itu sedang terlibat perbincangan serius dengan nenek
Dioba membuat Dioba menghentikan langkahnya.
“Ibu, niatku bukan lantaran ingin menebus semua
perlakukan Bang Gilang selama belasan tahun belakangan tapi aku benar-benar menyukai
anak ibu, sungguh aku berani mempertaruhkan apapun untuk dia.” Kata pria itu
dengan nada sungguh-sungguh namun tidak begitu saja bisa meluluhkan hati wanita
yang anaknya sudah disakiti oleh pria yang kini adiknya ada dihadapannya. Dulu
kakaka kembarnya memang tidak pernah meminta atau melamar anaknya dengan resmi
namun rasa kecewa itu masih saja membekas. Kini ada orang lain yang ingin
serius menghabiskan sisa hidupnya bersama anaknya yang notabene satu darah
dengan mantan suami anaknya. Bukan tidak mungkin kejadian masa silam akan
terulang lagi, bukan saja akan membuat malu keluarga dan kampung halaman tapi
malu pada keturunan juga pada sang Pencipta.
“Jangan pernah mengatakan berani mempertaruhkan
apapun, kamu punya anak gadis begitupun anakku. Kami orang kampung yang tinggal
di kampung susah sekali mengerti apa yang kalian inginkan dan apa yang ada di
otak kalian dan yang terpenting kami tidak bisa mempercayai kalian.”
“Lalu apa yang harus saya lakukan, Bu?”
pria itu tidak bisa memaksa wanita lanjut usia itu. “Tapi apapun yang ibu
pikirkan tentang saya dan mungkin anak saya satu hal yang ingin saya beritahu
kepada Ibu bahwa saya serius dengan lamaran saya tanpa ada motif apapun di
dalamnya. Baiklah, mungkin saya akan pergi mengajak anak saya untuk menginap di
Hotel dan akan kembali lagi besok dengan tujuan meminta ibundanya Dio menjadi
istri saya. Saya pamit dulu.”
Dioba keluar dari balik pintu dan mencegah
pria itu pergi apalagi sampai membawa Zee. “Om, Om mau ke mana?”
Pria itu menoleh pada Dioaba. “Om akan
mengajak Zee menginap di Hotel karena kami tidak pantas tinggal di rumah kalian,
tidak enak dipandang masyarakat.”
“Tidak, Om tidak boleh membawa Zee dari
sini dan Om juga tidak perlu pergi nanti saya akan ke rumah pak kades untuk
melapor kalau kami sedang ada tamu yang berkunjung dan satu hal lagi, Om dan
Zee bukanlah orang lain, kalian sudah menjadi bagian dari keluarga kami.” Kata
Dioba dengan nada serius, tidak ada lagi hal yang lebih penting dalam hidupnya
karena sekarang ia sudah bertemu dengan keluarga ayahnya terlepas selama ini ia
merasa sakit hati bahkan punya rasa dendam sampai ingin membunuh orang yang
tidak bersalah. Ia mungkin belum bisa mempercayai kebenaran yang hakiki dari
kisah ayahnya yang dikisahkan oleh Galang namun setidaknya ia tahu dari ibunya
kalau Galang bukanlah pria yang selama ini melukai ibunya. Andaipun ada
kebohongan dibalik semua kisah itu Dioba tidak akan lagi menaruh curiga pada
yang belum ia ketahui kebenarannnya.
Apa yang dikatakan oleh Dioba membuat pria
itu terharu tapi ia tidak bisa tinggal kalau nenek dan Ibunya tidak memberi
izin meski yang dikatakan anak itu tidak salah sebab mereka adalah bagian dari
keluarga yang tidak sengaja datang dari jauh. Ibu Dioba ikut ambil bagian meski
ia sulit memutuskan karena tidak mudah menghadapi semua kejadian yang
menurutnya agak mendadak.
“Saya memahami situasi ini, Jika Mas Galang
ingin menginap di Hotel kami tidak akan keberatan tapi saya pribadi tidak ingin
Zee ikut pergi, dia harus ada di sini karena dia adalah tamu anak saya yang
diajak langsung dari rumahnya namun saya dan keluarga akan menerima kapan saja
Mas Galang mau berkunjung.” Urai wanita kalem itu dengan nada pasti
bagaimanapun ia sudah menyayangi Zee sejak anak itu muncul di rumahnya bersama
Dioba. Zee yang sudah berdiri di antara mereka jadi tidak bisa bicara banyak
karena ia tahu posisi ayahnya di samping itu ia memahami adab meski ia tidak
tega kalau ayahnya harus menginap di Hotel walaupun selama ini rumah kedua
ayahnya adalah hotel. Seharusnya sebelum menghubungi ayahnya ia tahu beliau
tidak bisa menginap di rumah Dioba. Zee segera menyadari kalau lokasi Hotel
tidak jauh dari tempat mereka.
Galang yang tahu persis posisinya dan
keberadaan mereka tetap mengambil keputusan dari hati kecilnya, ia merasa
bersyukur karena anaknya sudah tidak sakit lagi. Sebelum ia pergi ke Hotel yang
akan diantar oleh Dioba dan Zee ia minta izin bicara sebentar dengan ibu Dioba.
“Aku akan datang lagi besok, semua sudah
aku katakan kepada Ibumu dan demi Tuhan aku berharap kamu mau membuka hati
untukku.” Ucapnya dengan nada rendah meski mengandung sejuta harapan. Wanita
itu tidak menemukan adanya Gilang di sana, mereka berdua sungguh berbeda dan
andaipun ia menyukai pria itu sama sekali bukan lantaran wajah yang mirip tapi
prilaku, cara bicara, sikap dan kesopanannya melampaui Gilang. Ada kenyamanan
tersendiri terpancar dari tatapannya bukan gelora yang menggebu-gebu, bukan
pula ada janji-janji manis yang tidak perlu didengar namun sudah bisa dirasakan
sebuah kejujuran bagi yang mendengar nada bicaranya. Sungguh ia tidak tahu
harus menjawab apa karena pria itu seperti telah menguasai perasaannya dengan
cara yang berbeda. Sejak ditinggal Gilang ia seakan bersumpah tidak akan lagi
mengenali laki-laki semua kebahagiaannya ia curahkan hanya untuk Dioba dan
kepahitan hidupnya akan ia simpan dalam-dalam jangan sampai Dioba ikut
merasakannya namun ia tidak menyadari kalau selama ini Dioba merasakan semua
kepahitan hidup ibunya. Dan kini di pengunjung usia senjanya muncul seorang
pria selama ini terpikir juga tidak untuk melangkah sejauh itu. Namun ia tidak
mau banyak berpikir yang bukan-bukan sebab apapun yang terjadi telah diketahui
oleh Tuhan tidak ada yang bisa dilakukan selain minta yang terbaik kepada
Tuhan. Manusia hanya melakukan yang ia sanggup dan semoga saja ia mampu
mengendalikan perasaannya kepada Galang, perasaan yang puluhan tahun tidak ia
rasakan. Sungguh aneh rasanya, tidak ada maksud untuknya mencari semua hal
tentang Gilang di sosok Galang karena mereka merupakan dua pribadi yang sangat
berbeda. Tidak ada rasa rindu pada Gilang ia temukan di Galang lantaran
perasaannya pada kedua sosok itu sangat berbeda apakah dikarenakan prilaku
mereka yang berbeda entah apa ia tidak tahu pasti.
Galang di antar oleh Dioba dan anaknya ke
sebuah Hotel yang jaraknya tidak lebih dari 3 kilometer dari rumah Dioba. Satu
hal yang amat disyukuri pria itu adalah melihat anaknya sudah kembali sehat.
Hotel yang cukup mewah di daerah itu dengan bangunan khas pemiliknya pengusaha
setempat yang sudah amat dikenal kaya dari Dioba kecil. Zee belum langsung
pulang karena ayah dan anak itu masih saling rindu.
“Ayah minta maaf ya karena kali ini cukup
lama meninggalkanmu, semua ini mungkin karena ayah sangat percaya sama Dioba.”
Ia melirik Dioba yang duduk di sebelah Zee dan Zee ikut melirik wanita itu.
“Tapi pas Ayah dengar kamu sakit tetap saja ayah tidak bisa menahan diri untuk
segera bertemu denganmu.”
“Ya, Ayah tidak salah menitipkan aku sama
Dioba karena bukan saja dia yang menyayangiku nenek dan ibu juga menyayangi
aku.”
“Semoga saja seterusnya begitu dan.......”
pria itu berdiam sejenak sebelum meneruskan ia menatap kedua gadis itu
bergantian. “Satu hal penting yang ingin Ayah katakan pada kalian berdua dan
masalah ini bukan direkayasa ataupun di buat-buat, bukan saja ada niat baik di
dalamnya namun ini merupakan sebuah anugrah yang selama ini mungkin tidak
pernah terpikirkan oleh Ayah dan barangkali oleh Ibumu juga Dio....” ia menekan
ucapan terakhirnya pada Dioba. “Saya Galang, ayahnya Zee Neba ingin melamar ibu
kamu untuk menjadi istri karena saya menyukai beliau dan menyayanginya bukan
lantaran ia pernah menikah dengan siapa-siapa, saya sudah membicarakan hal ini
kepada beliau juga nenekmu Dio meski kedua wanita itu belum memberikan lampu
hijau namun saya berharap kalian berdua tidak keberatan untuk itu saya ingin
minta persetujuan kalian berdua.” Urai pria itu dengan pelan agar kedua wanita
muda yang ada dihadapannya bisa memahami maksud tulusnya namun respon keduanya
tetap saja membingungkan karena masih kaget terutama Zee karena Dio sekilas
sudah mendengar pengakuan pria itu kepada neneknya. Zee melirik ke Dioba namun
wanita itu tidak bicara sepatahkatapun Zee menunggu namun tetap bisu. Ia ingin
mencari apakah ada kemarahan di wajah
itu? Namun tetap saja tidak ada reaksi yang bisa Zee pahami.
“Kalau Zee pribadi hanya ingin mengatakan
jika semuanya demi kebahagiaan kita tidak ada salahnya namun jika ada yang
tidak berkenan atau merasa dirugikan ataupun merasa ada yang tersakiti maka Zee
tidak akan mengizinkan ayah melakukannya.”
Mendengar itu membuat Dioba memberi respon
“Kebahagiaan ibu dan nenek saya adalah kebahagiaan saya juga terlepas dari semua
itu mungkin saya pikir....” Dioba tidak melanjutkan membuat ayah dan anak itu
jadi penasaran.
“Kamu pikir apa?” pertanyaan itu meluncur
bersamaan dari Zee juga Ayahnya.
‘Apakah tidak bisa ditemukan kebahagiaan
yang lain tanpa Ibu dan Om Galang harus menikah?’ pikir Dioba tapi ia tidak
bisa menyampaikan kata-kata itu karena mungkin Om dan Ibunya memang memiliki
perasaan yang sama dan Dioba tidak ingin mengekang perasaan mereka.
“Tidak apa-apa bukankah setiap niat baik
dengan tujuan baik tidak akan merugikan siapa-siapa? Yang paling penting dalam
hidup ini adalah saling menghargai satu sama yang lain dan dalam kesempatan
ini, saya ingin minta maaf sama Zee di depan Om karena tidak bisa menjaga Zee
dengan baik sampai dia sakit, saya banyak melakukan kesalahan.”
Zee langsung meraih pundak Dioba dan
memeluknya. “Kamu tidak salah apa-apa, apapun yang terjadi belakangan ini semua
diluar rencana kita tapi karena kita punya niat baik untuk jalan-jalan ke
daerahmu jadi hasilnya juga baik,’kan? Kalau tidak bagaimana mungkin aku tahu kamu
adalah kakakku.” Ujar Zee membuat Ayahnya terharu melihat adegan itu. Dioba
menoleh kepada Galang dan tiba-tiba ia merindukan kekasihnya, Hendra. Ucapan
Zee memang berlebihan meski ia tahu kalau dirinya punya niat jelek pada wanita
itu walaupun niat itu sendiri tidak tahu menahu siapa yang salah dan siapa yang
benar, yang terpenting hasil akhirnya tidak melukai Zee dan usaha bunuh diri
itu merupakan kecerobohan dari keputusan Zee sendiri dan membuat Dioba akhirnya
menyadari kalau dia takut kehilangan Zee, baik sebagai bos juga sebagai teman
dan kini sebagai.......... J
*
Tidak gampang bagi wanita itu menerima
Galang untuk menjadi suaminya, selama ini ada beberapa pria coba serius
mendekatinya baik dari pengusaha lokal ataupun dari daerah lain. Wanita itu
memang bisa digolongkan menarik dari berbagai sisi namun ia tidak memikirkan
kebahagiaannya lantaran sudah di rampas oleh kebohongan Gilang dan nyaris saja
ia mengambil kesimpulan bahwa tidak ada pria yang baik di dunia ini. Kalaupun
ia menikah lagi ada kekhawatiran anak gadisnya akan menjadi korban sebab tidak
sedikit kejadian yang dialami anak gadis yang masa depannya hancur akibat
pelecehan dari ayah tirinya. Pemikiran manusiawi yang dialami sebagian wanita
yang punya anak gadis harus menikah lagi dan punya suami ‘sambung’ jika ia
menerima pinangan pria itu orang-orang sekeliling akan mengatakan kalau ia
lagi-lagi menikahi orang jauh tanpa tahu siapa orang itu sebenarnya, apakah ia
harus jatuh di dalam lubang yang sama? Tapi yang terpenting adalah apakah ia
menyukai Galang dan Galang mencintainya? Karena dengan bertambahnya usia yang
sudah mulai lanjut satu hal itu tidak bisa disepelekan begitu saja, sebagai
manusia normal tidak hanya harus hidup dengan pasangan tapi juga tetap punya
latar belakang rasa itu. Apapun yang terjadi wanita itu harus menyakini dulu
perasaannya, yang lain mungkin penting tapi yang terpenting adalah perasaannya
dan perasaan pria itu. Jika Tuhan mengizinkan ia kembali punya suami maka itu
adalah suaminya sampai mati namun tidak segampang itu karena ada kendala
pastinya yang akan ia hadapi yaitu di mana ia tinggal kalau mereka benar-benar
menikah?
*
Dioba sedang menulis di laptopnya karena
sudah terlalu banyak kisah yang ia simpan di dalam otaknya dan sudah harus
dituangkan ke dalam tulisan. Lama ia berkutat di sana di saat Zee sedang
meluangkan waktu bersama ayahnya.
‘Tuhan,
kebenaran apa yang sedang Engkau perlihatkan di depan mataku ini? Apakah aku
harus senang ataukah sebaliknya? Sungguh tidak pernah terpikirkan sebelumnya...
apa semua ini? Aku jadi bingung dengan yang ada di depan mataku, sebuah
kebenaran seakan kisah drama yang mungkin orang anggap murahan atau masih ada
rahasia di dalamnya?....’
Belum juga selesai Dioba menulis ibunya
sudah muncul memaksa Dioba beranjak dari kursinya. Wanita itu mendekati anak
gadisnya dan mereka pun duduk di kursi panjang yang ada di kamar itu.
“Ibu....”
“Ya, apa yang sedang kamu pikirkan, Nak?”
ia mengusap punggung tangan anaknya. “Kebahagian ibu ada di dalam senyummu,
bicaralah.”
“Tidak, Ibu. Dari dulu Ibu selalu memikirkan kebahagiaan Dio dan kini
sudah saatnya Ibu memikirkan kebahagiaan Ibu sendiri. Dio tidak pernah sendiri
apalagi sekarang ada Hendra.”
“Apa yang kamu bicarakan? Ibu tidak akan
meninggalkanmu.”
“Ini bukan masalah meninggalkan atau tidak
Bu tapi ini tentang kebahagiaan Ibu. Dio tidak boleh egois.” Ia beranjak dari
kursinya dan menutup laptopnya. Wanita itu ikut berdiri masih mengamati anaknya.
“Ibu akan ikuti apa yang terbaik untuk
kamu.” Ujarnya dengan nada pasrah karena baginya Dioba tetaplah anak kecil yang
masih ingin ia peluk seumur hidupnya. Lalu keduanya berpelukkan dengan perasaan
yang sama bimbangnya namun satu hal yang tidak bisa diubah yaitu rasa sayang di
antara mereka.
“Hm... mau dong dipeluk juga.” Suara Zee
masuk membuat keduanya melepaskan pelukan dan Ibu Dio tersenyum dan langsung
memeluk wanita yang ia sayang dari sejak pertama datang. Iapun tidak ingin
melepaskan Dioba yang ingin menjauh, ia meraihnya dan kedua wanita itu ada di dalam
dekapannya tulusnya.
“Tetaplah menjadi diri kalian sendiri ya,
sayang...” ucapnya dengan nada tidak di buat-buat. Zee dulu bertanya-tanya
seperti apa wanita yang sudah membesarkan Dioba yang memiliki pribadi unik,
sopan, punya wawasan luas dan berkarakter dan ternyata inilah wanita itu yang
sekarang sedang memeluknya. Wanita yang membiarkan anaknya berkembang dengan
bebas meski dalam pantauan dan memberikannya pendidikan. Zee jadi terharu dan
membayangkan kalau ibuya dulu juga pastilah wanita hebat sehingga tidak gampang
membuat ayahnya mencari wanita lain dan ketika bertemu dengan ibunya Dioba
mengubah segalanya. Apakah ia harus menyalahkan ayahnya? Rasanya tidak adil
jika ia melakukan itu karena ayahnya juga pantas mendapatkan kebahagiaan.
Zee tinggal berdua di kamar itu dan saatnya
Dioba membahas cutinya yang sudah hampir habis. “Aku ingin bicara sebagai
karyawanmu.”
“Bicara apa?” Zee mengamatinya lalu melirik
ke laptop yang tertutup rapih di atas meja. “Apa keasikanmu menulis akan mengganggu
kerjamu?” ia menatap Dioba dengan seksama. “Hubungan kerja kita sudah selesai
Di, kamu tidak pantas menjadi sopir adikmu sendiri. Sebentar lagi kamu akan
menjadi nyonya dr. Hendra dan aku........?” wajah itu berubah menjadi sendu
seolah hidupnya sebatangkara. Bagaimana tidak, ayahnya akan menikah dan Dioba
juga akan menyusul menerima lamaran Hendra. Zee akan sendirian benar-benar
sendirian.
“Ada apa?”
“Tidak apa-apa, aku bahagia setelah tahu
kalau kamu adalah kakak sepupuku selama ini aku tidak mengira kalau punya
keluarga selain ayahku ternyata aku punya kamu dan Ibu juga nenek. He he he
tadinya menyangka aku hanya punya seorang ayah.”
“Katakan apa yang kamu rasakan, aku tidak
melihat kalau kamu sedang bahagia dan berjanjilah tidak ada lagi rahasia di
antara kita, aku menyayangimu memang dari pertama dan aku minta maaf telah
punya niat buruk sama kamu.”
“Kamu sudah minta maaf di depan ayah, tidak
perlu minta maaf lagi dan aku juga memakluminya. Jika nanti ayah dan ibu
menikah apa kamu akan tetap di sini bersama Hendra?”
“Entahlah?!”
“Di..... aku ingin bersama kamu, bersama
nenek ingin bersama ayah dan ibu tapi apakah itu mungkin? Sejujurnya aku tidak
suka situasi itu, kita baru saja kenal lebih dekat tapi harus menjalani
kehidupan masing-masing.”
Dioba menghela napas panjang apa yang
dikatakan Zee memang ada benarnya tapi
situasi terjadi memang tidak selalu sama seperti yang kita harapakan dan kita
hanya bisa menciptakan kenyamanan itu sendiri bukan mencarinya.
“Aku ingin kuliah lagi.” Tutur Dioba
akhirnya. “Mau ambil Sastra Indonesia.”
“Em, di Jakarta ya.” Usul Zee dengan nada
paksaan namun dijawab dengan senyum simpul oleh Dioba.
Niat untuk kuliah lagi disampaikan Dioba
kepada Hendra membuat pria itu merasa kalau Dioba akan kembali menjauhinya.
“Hanya setahun, kamu kan tahu kalau tahun
ini ibuku akan menikah masa kita juga tahun ini? Dan satu hal lagi.... setelah
kita kembali bertemu aku masih meragukan perasaanmu. Kita memang lama tidak
bertemu dan aku merasa pertemuan ini mungkin perasaanmu hanya karena shock tapi sebenarnya tidak begitu
menyukaiku apalagi mencintaiku. Aku masih butuh kepastian perasaanmu.”
“Ya Tuhan, Di..... mengapa kamu masih ingin
mengujiku. Kamu tega sekali.”
Dioba tersenyum bagaimanapun ia masih
membutuhkan waktu tidak ingin gegabah apalagi setelah berpisah cukup lama ia
tidak begitu paham perubahan apa yang dialami oleh Hendra selama ini.
“Pertemuan kita ini memang tidak ada rencana bahkan bisa disebut dengan
kebetulan meski kita tidak boleh berpikiran seperti itu tapi aku tidak tahu
siapa selama ini yang dekat dengan kamu, dan aku tahu tidak sedikit para medis
di tempatmu bekerja menaruh perhatian sama kamu bahkan mungkin juga dokter yang
melebihi segala-galanya.” Kata Dioba panjang lebar namun sejujurnya ia memang
serius ingin kuliah karena kalau sudah menikah ia merasa tidak bisa
melakukannya. Jika sudah menyelesaikan sekolah ia bisa meneruskan hobi
menulisnya dan mendampingi Hendra bekerja sebagai dokter dan siap ikut
dimanapun ditempatkan. Dioba memang sudah memikirkan semuanya tapi kalau
rencananya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan itu semua kehendak Tuhan, ia
hanya berusaha melakukan yang terbaik.
“Di, aku ingin kamu pertimbangkan lagi
keinginan kamu itu. Bukannya aku tidak ingin kamu sekolah lagi tapi aku tidak
bisa jauh darimu sudah cukup selama ini.”
“Aku tidak akan melarang kamu dekat dengan
wanita lain Hen, jika hal itu terjadi berarti kita tidak jodoh.”
“Dio, aku tidak suka dengan kata-katamu.”
“Aku minta maaf. Kamu marah? Maaf sekali
lagi ya, aku memang tidak seperti waktu duduk di bangku SMA. Mungkin banyak hal
yang tidak kamu tahu dengan sikap dan pribadiku dan aku tidak ingin kamu kaget
nantinya dan marah-marah.”
“Apa yang sedang kamu pikirkan? Sampai
berprangka seperti itu.”
“Tidak ada, aku rasa itu hal wajar karena
kita kenal hanya dua tahun dan pisah lebih dari tujuh tahun bukankah dalam
tujuh tahun itu banyak sekali hal yang tidak kita ketahui? Aku bicara realistis
kok.”
“Kamu tidak sayang sama aku?” itu
pertanyaan sangat serius dilontarkan oleh Hendra, kata ‘sayang’ adalah lebih
tinggi dari makna cinta, mungkin.
“Rasa sayang bisa hilang jika mengalami
tekanan atau ketidakcocokan yang permanen.”
“Kamu ini ada-ada saja, mana ada
ketidakcocokan yang permanen. Oke.....” Hendra menggenggam tangan Dioba dengan
erat seakan ingin membuatkan janji suci pada wanita itu. “Kamu boleh kuliah
lagi dan aku akan menunggumu, tidak masalah karena tujuh tahun itu tidak
sepadan dengan setahun.”
“Kamu percaya padaku?”
“Aku percaya pada Tuhan dan yakin kalau
Tuhan akan mengembalikan dirimu kembali kepadaku.”
“Amin, Terima kasih.”
Adakah yang menjamin kalau dalam waktu
setahun tidak ada yang tergoda dengan orang lain? Jangankan setahun, detik
berikutnya manusia tidak akan pernah tahu apa yang terjadi pada dirinya.
Manusia memang hanya bisa berencana namun ketetapan hanya ada di tangan Tuhan.
Tuhan tidak suka pada hamba-Nya yang sombong, Dia menyukai yang punya niat baik
dan tulus juga pada orang yang selalu berusaha dan berdoa.
**
Hidup Tidak Sesimple Teori
Dioba Uku melanjutkan kuliah di jurusan
Sastra Indonesia dan masih sebagai orang yang mendampingi Zee karena ia hanya
mengambil kuliah sabtu dan minggu dan terus menulis kisah yang indah dan bagus.
Zee memang tidak ingin posisi Dioba sebagai orang yang selalu menemaninya
digantikan oleh orang lain. Namun setiap kali Dioba melakukan pekerjaan berat
dan memikirkan banyak hal ia mengalami.....
Bersambung....
=======