PUJI
YARRA
(fiksi remaja)
**
Logika
“Di
mana logikamu, Yarra?” kata Bety kepada Yarra yang dari tadi seperti orang
kehilangan akal sehatnya setelah bertemu dengan pria bernama Puji. Yarra tidak
mempedulikan ucapan sahabatnya saat mereka masuk rumah.
Yarra meletakkan satu telapak tangan di dadanya sambil menatap Bety.
“Hatiku tidak pernah berdesir kencang setelah tujuh tahun ini.” Matanya terbuka
lebar seakan menandakan dia telah kembali hidup. Bety ikut masuk lupa membuka
sepatunya membuat Yarra panik. “Eh e e.... sepatu, sepatu.” tunjuknya dengan
nada pelan setengah berteriak persis seorang ibu sedang menegur anaknya yang
mengenakan sandal kotor habis bermain dari luar.
“Kalau urusan kebersihan membuat kau seperti
orang kebakaran jenggot.” Rungut Bety merasa sepatunya tidak kotor tapi harus
dibuka setiap kali masuk ke rumah Yarra.
“Kalau masalah kebersihan bukan urusan jenggot tapi merupakan sumber
kesehatan.” Sahut Yarra berdiplomatis.
“Ya, Non resik.” Ujar Bety tidak mau
berdebat.
Yarra langsung ke dapur bermaksud membuat kopi untuk sahabatnya tapi
langsung dicegah oleh Bety karena merasa harus segera pulang.
“Aku
tidak akan lama,” Bety melirik jarum jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul
delapan malam. “Zizi pasti sudah menunggu aku.”
“Oke, baiklah. Bet... Kira-kira Puji masih single nggak, ya?” Yarra belum bisa
mengalihkan topik pembicaraannya dari sosok Puji yang mereka jumpai tadi siang
di tempat meeting.
“Hei, bisa tidak kau hentikan pembicaraan mengenai pria yang belum kita
tahu perkembangannya dalam tujuh tahun belakangan.
“Bet, saat SMA aku memang menyukai pria itu meski kita tidak saling tahu
perasaan masing-masing apalagi terakhir kudengar setamat SMA dia belajar ke
luar kota dan sekarang dia kembali di hadapanku dengan sosok yang diimpikan
semua wanita muda bahkan yang sudah lanjut usia.”
“O,
o... sepertinya sahabatku sudah tergila-gila dengan pujaan masa lalunya.
Kendalikan perasaanmu oke, aku tidak mau kamu nantinya patah hati lalu
memutuskan untuk tidak menikah sampai mati. Jangan terlalu melambungkan
harapanmu ke langit karena jika kau jatuh aku tidak bisa menolongmu. Sekarang
satu hal yang ingin kutanya sama kamu. Seandainya kamu bertemu dengan Puji di
jalan dan pria itu berprofesi sebagai tukang parkir atau sejenisnya, apakah
hatimu masih berdesir seperti tadi?” ujar Bety coba menenangkan gejolak hati
Yarra.
Yarra seakan tersentak dengan uraian Bety secara otomatis melambungkan
ingatannya tadi siang saat bertemu dengan Puji yang perlente persis eksekutif
muda, berkelas dan sangat cool. Lalu
dengan cepat pikirannya membuat dua gambar pria, satu dengan pakaian tukang
parkir dan satunya pria berdasi dengan pakaian licin, kemeja bagus, sepatu
mengkilap, wajah cerah dan rambut semi cepak. Itu adalah gambar Puji dengan
pakaian berbeda.
“Apa
yang ada di otakmu saat ini?” tembak Bety seakan memahami yang sedang
dipikirkan Yarra dalam kurun waktu beberapa detik barusan.
“Aku
tidak mengerti apa yang sedang kamu bicarakan?”
“Kau
paham sekali apa yang aku maksudkan, oke... sepertinya aku harus pulang
sekarang. Pesanku kau cepat istirahat dan berpikirlah secara logika semoga kamu
akan menemukan apa yang kamu impikan selama ini.”
“Baiklah, biar sopirku antar ya.”
Bety
melotot. “Ya haruslah, karena Zizi pasti sudah tidak sabar menunggu aku.” Bety
tidak mau terlambat dengan menelepon atau menunggu taksi datang, karena Zizi
adakah segala-galanya. Kalau saja tadi Yarra tidak ngotot mengajaknya mampir
dia tidak akan mampir, ia mengalah karena Yarra sedang tidak stabil hanya
gara-gara bertemu dengan pria masa lalunya meski dulu mereka belum sempat
pacaran.
Sepeninggal Bety, Yarra langsung membersihkan tubuhnya di kamar mandi
dan beberapa saat saja ia sudah kembali ke kamarnya, lalu kopi hangat menyusul
bersama wanita empat puluhan yang sudah menemani Yarra selama tiga tahun
belakangan ini.
“Ini
kopinya, Non.”
“Terima kasih.”
Wanita itu meletakkan gelas kopi di tempat yang biasa ia letakkan, meja
kecil yang di sebelahnya ada sebuah buku yang belum selesai dibaca tuannya.
“Ada
lagi yang dibutuhkan, Non?” katanya sebelum melangkah keluar.
“Tidak.
sekali lagi terima kasih ya, Bik.” Sahut Yarra dan wanita itu meninggalkan
kamar Yarra lalu menutup pintu dari depan. Ia menuju ruang tengah untuk
menunggu sopir pulang setelah itu ia akan istirahat seperti biasa dan bangun
subuh.
Sebelum menikmati kopi Yarra membuka laci lemarinya di mana ada album
foto masa SMA, dengan hati-hati disertai debaran hati tidak keruan ia membuka
halaman album. Halaman pertama ada kata sambutan kepala sekolah lalu wali kelas
beserta foto semua guru, halaman berikutnya foto bersama sekelas di depan
sekolah. Gambar yang tidak terlalu besar namun dengan jelas Yarra bisa menyimak
satu persatu wajah teman-temannya yang tidak lebih dari 30 siswa, pria itu,
Puji berdiri paling ujung di belakang karena semua siswi duduk di depan.
Wajahnya manis dan masih terkesan kekanak-kanakkan sekali dan tadi siang wajah
itu berubah drastis. Yarra membuka lagi lembar berikutnya ada foto
sendiri-sendiri dengan ukuran agak besar dengan background berbeda-beda. Dan lagi-lagi ia menemukan foto Puji yang
kali ini mengenakan pakaian kasual berbeda dengan foto di depan mereka semua
mengenakan pakaian sekolah. Terlihat Puji bak model yang baru saja lulus dari
sekolah model sehingga gayanya terlihat tidak alami. Yarra tersenyum sampai
lupa menyimak fotonya sendiri.
“Puji, apakah kamu sudah punya kekasih
atau jangan-jangan sudah punya istri? Ya Tuhan, mengapa aku memikirkan pria itu
lagi? sedang tadi dia bersikap biasa-biasa saja, menegur sekilas lalu buru-buru
pergi bersama temannya. Mengapa dia yang hadir di meeting itu?”
Yarra bermaksud menelepon Bety untuk menanyakan keberadaan atau posisi
Puji dalam perusahaan yang bekerja sama dengan kantor mereka. Karena sejak
mereka berurusan dengan kantor itu selama ini belum pernah melihat atau
mendengar sosok Puji dan di dalam rapat tadi Puji disebut hanya mewakili
kantornya. Dia bersama temannya seorang pria bukan dengan seorang wanita yang
biasanya sebagai sekretaris. Situasi itu membuat Yarra tambah bingung, saat
ingin mengangkat ponselnya ia menyadari posisi Bety kalau sudah sampai rumah.
Yarra mengurungkan niatnya untuk menelepon.
Namun kata-kata Bety masih terngiang
sangat jelas, ‘sendainya Puji yang ia
temui dengan profesi tukang parkir mungkinkah debaran itu masih sama?’
Yarra menutup album SMA-nya namun tak bisa menutup pikirannya dari sosok
Puji. Seandainya ia punya akun Facebook
bisa mencari nama Puji dan melihat status pria itu di akunnya, sayangnya Yarra
tidak menyukai akun itu dengan alasan tidak tertarik juga merasa tidak ada
manfaatnya tapi kini ia sedikit menyesal tidak memilikinya. Bety akan mentertawainya
jika tiba-tiba ia membuat akun itu hanya karena ingin mencari status Puji.
Yarra melirik gelas kopinya lalu menikmatinya sejenak, detik itu ia
membayangkan suatu saat akan menikmati kopi bersama Puji.
“Puji Kaganga.” Nama itu muncul dari mulut Yarra tanpa ia sadari.
Akal
sehat Yarra seolah tersedot habis oleh sosok Puji, ia seperti orang bodoh yang
belum pernah jatuh cinta. Sebelum ini ia pernah dekat dengan dua orang pria
yang mengajaknya serius tapi tidak bisa membuatnya mampu untuk berkomitmen.
Karena pria-pria itu tak mampu membuatnya nyaman juga tak bisa menggetarkan
hatinya. Pesta para eksekutif selama ini sudah cukup membuatnya bosan. Yarra
akan mencari tahu di mana Puji tinggal, dan apa posisinya di kantor rekanan
mereka tak peduli apa tanggapan Bety.
Cinta membuat orang lupa dengan statusnya sendiri. Melumpuhkan logika!!
--- ooo
---
Pilihan
Hidup
Puji
sedang nge-gym dalam ruangan fitnes
yang ia mulai dari pukul enam tadi pagi. Sejenak bayangan Yarra melintas dalam
ingatannya namun buru-buru ia tepis hingga melayang melewati ruangan berdinding
beton itu. setelah melewati satu jam di ruangan itu ia kembali ke rumah dengan
naik sepeda, meski punya alat fitnes di rumah ia lebih senang fitnes di tempat gym, di jalan kembali bayangan Yarra
menyapanya lalu ia melindasnya dengan roda sepeda sport itu dan hilang tak berbekas.
Lima
menit saja Puji sudah tiba di rumahnya, santap pagi sudah disiapkan oleh
kokinya di meja makan. Tersedia makanan penuh gizi namun Puji tidak pernah
pilih-pilih makanan. Setelah mandi ia menuju meja makan yang tersedia di
samping taman dan menikmati susu low fat-nya.
Sejenak ia menyimak koran yang tersedia di atas mejanya.
Di
koran bisnis itu menampilkan satu artikel seorang Aktris ternama negeri ini
yang sudah pernah mendapatkan piala tertinggi dalam dunia perfilman. Sosok itu
terlihat jauh lebih muda dari usianya yang sesungguhnya. Ia terlihat seperti wanita
usia tiga puluh tahun namun Puji tahu pasti beliau sudah menginjak usia empat
puluh tiga tahun. Diketahui publik sudah tiga kali menikah, menjadi single parent dan memiliki satu orang putri kini sedang menyelesaikan
pendidikannya di Paris. Wanita itu sudah memutuskan untuk tidak ingin menikah
lagi dan berulang kali ia katakan setiap kali ada wartawan menanyakan tentang
sosok pria seperti apa yang ia harapkan untuk menjadi pendamping hidupnya di
sisa usianya.
Puji
berjalan ke lemari untuk mengambil gunting, ia menggunting artikel itu lalu
membawanya ke kamar dan memasukkannya ke dalam laci seakan tidak boleh
diketahui oleh seisi rumahnya. Sudah ada beberapa guntingan kertas koran juga
majalah di lacinya. Setiap kali ia menemukan berita wanita itu selalu ia ambil
dan menyimpannya rapat-rapat, sosok itu selalu saja membuat jantungnya seakan
berhenti berdenyut, di sisi lain muncul perasaan yang hingga detik ini tidak
bisa ia pastikan.
Milena
seorang artis yang dikagumi penggemarnya yang kata kebanyakan orang belum ada
tandingannya dalam kurun waktu dua dekade ini. Hidup senang dengan harta yang
tidak akan habis untuk tujuh turunannya. Tidak pernah bermasalah dengan
obat-obatan, tidak juga berminat mencalonkan dirinya untuk menjadi pejabat
meski penggemarnya akan memenangkan dirinya apalagi melihat status akademisnya
sudah menyelesaikan S2 di negeri ini. Wanita itu di mata penggemarnya adalah
sosok sempurna dan hidup bahagia meski ia sudah tiga kali bercerai dan akhirnya
memilih untuk tidak menikah lagi. Satu kekurangan beliau yaitu ‘kawin cerai’
namun penggemarnya bisa memaklumi dengan alasan tidak akan membiarkan idola
mereka hidup dalam keluarga yang tidak bisa membuatnya nyaman. Milena memang
terlahir sebagai artis dan mendedikasikan hidupnya di dunia film, tak jarang ia
pun didaulat sebagai juri dalam beberapa festival baik di dalam negeri maupun
di negara Asia lainnya. Beberapa dunia iklan pun dilakoninya yang akan menambah
pundi-pundinya namun demikian ia tidak mendidik putrinya untuk terjun ke dalam
dunia hiburan.
Puji
selalu mengikuti perkembangan wanita itu sejak sepuluh tahun ini namun ia tidak
memiliki keberanian untuk mendekatinya walau pun setiap kali melihat beliau
muncul di televisi dalam wawancara atau menonton filmnya hati Puji selalu
terbakar dan terasa hangus tanpa tersisa. Pesona wanita itu seakan mampu
menyedot mata siapa saja yang menatapnya tak terkecuali Puji yang sudah lama
mengamatinya. Setiap kali Puji mengamati mata wanita itu ia merasa benar-benar
hangus seperti saat ini, sebelum meletakkan guntingan koran itu ia menarik
napas dalam-dalam seolah memastikan kalau nyawanya masih ada. Detik berikutnya
Puji mengunci lacinya.
Puji
ke kantor dengan mengendarai mobil sendiri, yang mengurus rumahnya kebanyakan
pria kecuali tukang cuci, yang masak adalah koki pria, pun asisten di kantornya
juga pria yang umumnya orang sebut sebagai sekretaris. Delapan puluh persen
pegawai di kantornya juga kaum pria.
“Wanita tidak becus kerja, kalaupun mereka berotak jenius tetap saja
sering menghambat kerja kantor karena setiap bulan mereka minta cuti dengan
alasan haid, belum lagi jika harus cuti hamil dan sebagainya yang susah
dimengerti.” Ujar Puji saat asistennya mempertanyakan keberadaan wanita yang
sangat terbatas di kantor itu. “Pria juga bisa sebagai asisten dan
menyelesaikan tugasnya dengan baik.” Puji menambahkan. Sejak itu asistennya
mulai mempelajari pribadi Puji.
“Tapi kita butuh wanita Ji, dan akan aneh di mata orang kalau hidup kita
selalu dikelilingi pria.” Sahabatnya yang merangkap sebagai asisten masih
berani bicara. Puji melirik pria itu sejenak seolah menasbihkan bahwa wanita di
matanya hanya mahluk perusak.
“Kamu itu seolah tidak pernah belajar dari pengalaman, bagaimana dengan
pacarmu sekarang? Wanita yang kamu puja itu baru mau menerima lamaranmu jika
kamu sudah punya rumah, mobil dan pekerjaan yang menjanjikan. Aku sih bisa saja
memberimu sebuah rumah juga mobil mewah tapi tetap saja kamu tidak mau, kan
dengan alasan mana ada seorang asisten bisa gampangnya punya rumah dan mobil
mewah padahal baru kerja beberapa bulan di kantorku. Seandainya kamu kerja
denganku sejak dua tahun lalu pasti sudah kau genggam semua itu. dan lagi aku
tidak suka seorang wanita selalu berpatokan memilih pria dengan memandang apa
yang ia punya.”
“Yah, kita ketemunya juga baru. Mau diapain lagi.” Pria itu berkelit.
“Satu hal lagi Ji, kurasa wajar wanita berpikiran seperti itu, mana ada sih di
dunia ini wanita ingin hidup susah, tinggal di tempat kumuh, ngontrak seumur
hidup atau apalah namanya. Pasti mereka akan memilih hidup sendiri kurasa.” Pria
usia tiga puluhan itu kembali menambahkan. “Dari kecil aku hidup susah, orang
tuaku hingga detik ini belum juga punya rumah. Kami hidup mengontrak dan pindah
ke kontrak satu ke kontrak yang lainnya. Belum lagi kalau yang punya rumah
mendadak ingin mengosongkan rumahnya dengan berbagai alasan, dari rumahnya
sudah laku dijual, keluarganya ingin menempati atau ingin direnovasi. Aku
nyaris saja tidak bisa menyelesaikan sekolah dan untungnya bisa menyelesaikan
D3, kerja pindah-pindah, dari toko, kurir lalu akhirnya bertemu denganmu saat
aku mengirimkan paket ke perusahaanmu.” Dimas kembali mengisahkan perjalanan
hidupnya. “Jika sekarang pacarku menginginkan hidup layak setelah nanti kami
menikah kurasa wajar saja karena aku sudah melihat sendiri bagaimana
menderitanya ibuku selama hidupnya dengan ayahku yang sepanjang hidupnya seolah
tidak punya cita-cita. Kurasa ibuku bertahan dengan beliau karena memikirkan
kami anak-anaknya, bukan karena cinta beliau kepada ayahku.” Dimas seolah
menyesal mengapa ayahnya menjadi pria pemalas dan hampir sepanjang hidupnya ia
habiskan untuk tidur, menonton televisi dan bekerja juga hanya berpikir untuk
makan besok, tidak lebih. Kok ada ya orang seperti itu? Dimas tak habis pikir.
“Hidup ini pilihan sobat, kita harus menentukan pilihan kita sendiri
karena ratusan orang sudah menentukan pilihan hidupnya masing-masing. Kamu
memilih kerja satu kantor denganku dan aku memang sudah memilihmu untuk menjadi
salah satu bagian dari urusan kerjaku.” Puji sudah dua kali mendengar kisah itu
dari mulut Dimas tapi mengenai kemalasan ayahnya baru ia dengar.
“Apakah untuk tidak menikah sudah menjadi pilihan yang sudah kamu
tetapkan?”
Puji
melirik sahabatnya sejenak. “Dimas, sejak kapan aku mengatakan tidak pernah
ingin menikah?” Puji mengingatkan pria itu. “Lebih baik kamu kuliah lagi biar otakmu
lebih encer, banyak rezeki dan bisa membeli rumah buat ibumu.” Kata Puji dengan
sungguh-sungguh.
“Oh,
tidak pernah ya? Aku kira kamu pernah bilang tidak ingin menikah. Lagian setiap
wanita selalu saja salah di matamu.” Kilah Dimas, mengenai kuliah lagi memang
sudah ia pikirkan.
“Aku
tidak pernah bilang wanita salah, ibumu mungkin satu di antara seribu wanita di
dunia ini, yang lain itu... hanya saja....” Puji tidak meneruskan ucapannya.
Pembicaraan usai meeting itu terhenti
sampai di situ karena keduanya kembali sibuk dengan pekerjaan masing-masing dan
Puji memang tidak tertarik untuk meneruskannya.
Seolah ingat sesuatu Dimas kembali ke meja Puji. “Ji, waktu meeting dengan perusahaan eksport import dua hari lalu ada seorang wanita menegurmu, apa kalian sudah
saling kenal sebelumnya?”
Puji
mengangkat wajahnya dari layar laptop di mejanya. “Wanita? Wanita yang mana?”
“Itu,
CEO perusahaan partner kita. Kita
sedang menjalankan kerja sama dengan perusahaannya dalam eksport minyak wangi.”
“Menegur? Apakah setiap orang menegur itu sudah saling kenal?” sahut
Puji dan kembali menekuni pekerjaannya namun ucapan Dimas memancing ingatan
Puji kepada wanita yang sejak dua hari ini lumayan mengganggu ketenangannya dan
setiap bayangan sosok itu muncul ia buru-buru membunuhnya sebelum terbunuh.
“Dia
wanita mandiri yang jarang ditemukan, punya karakter kuat dan daya tariknya membuat
pria lupa statusnya. Masih muda, cantik alami. Ehmm... kalau saja aku masih
muda dan belum punya pacar.” Tambah Dimas sembari meninggalkan meja Puji.
“Dimas.....!!!”
Dimas menoleh sekilas lalu mengangkat tangannya dengan menunjukkan dua
jari pertanda peace. Ia tahu Puji
sangat tidak suka dengan ucapannya tadi. Pria tiga puluhan itu masih tidak
mengerti apa alasan Puji tidak menyukai wanita yang ia bicarakan itu.
--- ooo
---
Yarra Qinant
Wanita
mandiri, suksesnya tidak instan, disiplin dan ke mana-mana selalu membawa spray antiseptik dan alergi debu. Selain
gila kerja selalu menggunakan waktu luang dengan membaca buku apa saja. Tidak
memilih teman bergaul tapi agak selektif jika berurusan dengan pria.
Menggunakan sopir dengan satu alasan, yaitu ingin tetap melakukan sesuatu di
dalam mobil setidaknya membaca buku serta tidak bisa lepas dari benda ajaibnya
yaitu gadget.
Anak
tertua dari tiga bersaudara, punya dua adik pria yang masih kuliah dan satu
lagi duduk di bangku SMA dan kedua orang tua masih aktif kerja tidak pernah
mendesak Yarra untuk segera menikah karena segala sesuatu ada di pilihan Yarra.
Tiap
hari ibunya selalu menelepon atau mengirim BBM
sekedar mengatakan ia sayang sama Yarra, dan seminggu sekali ia berkunjung ke
rumah Yarra. Kedisiplinan Yarra menurun dari ibunya. Meski sebagai wanita karir
ia berhasil mendidik ketiga anaknya dan suaminya yang berprofesi sebagai TNI
amat sangat membantu.
Meski Yarra dipanggil temannya sebagai miss resik tapi adik pria yang
pas dibawahnya tidak demikian. Ia slebor,
santai dengan gayanya sendiri, tidak bisa dipaksa bahkan mandi bisa hanya satu
kali dalam sehari meski otaknya tetap encer tak membuat Yarra menyukai adiknya
itu karena di benaknya pria itu tak bisa lepas dengan kebiasaan ‘jorok’-nya.
Setiap kali ia komplain adiknya selalu mengatakan ia nyaman dengan
kebiasaannya.
Pernah suatu kali Yarra tugas ke luar kota adiknya minta izin untuk main
dan mengajak teman-temannya ke rumah, sayangnya sebelum acara mereka selesai
Yarra sudah kembali. Rumah berantakan membuat pengurus rumah sibuk sehari
semalam dan sejak itu Yarra tidak pernah lagi membolehkan adiknya membawa teman
ke rumahnya.
Siang itu di kantin Yarra memutuskan mengajak Bety untuk makan siang,
seperti biasa sebelum duduk Yarra mengambil tissu dan mengelap kursi yang akan
ia duduki selanjutnya meja di mana ia akan meletakkan kedua tangannya sebelum
membuat pesanan. Bety mengamatinya sejenak lalu berkomentar.
“Hei, ini ruangan ber-AC dijamin tidak ada debu yang menempel dan
pelayan di sini selalu rajin membersihkan tempat di mana para pelanggannya akan
duduk.”
“Kuman itu selalu ada di setiap tempat.” Sahut Yarra tanpa menatap Bety
dan setelah yakin tempatnya bersih baru ia duduk. Ia menatap wajah sahabatnya.
“Mau makan apa?”
“Makanan yang paling enak di sini.”
“Yang paling nikmat di sini belum tentu sesuai dengan seleramu.” Goda
Yarra. “Seperti biasa, ya?” usul Yarra.
“Aku
tidak mau yang biasa karena saat ini aku sedang ingin pizza keju yang pedas.”
Sahut Bety yang selama ini seringkali makan siang dengan roti bakar plus kopi
late bersama Yarra.
“Baiklah, tidak ada salahnya makan pizza di musim hujan.”
Pelayan menghampiri meja mereka dengan cepat Yarra memesan pizza keju
ukuran medium dan tetap dengan kopi late.
Yarra mengambil ponsel dari tasnya setelah di tangan ia melirik Bety
seolah ada yang kurang dari isi gadget-nya.
“Kenapa aku tidak punya nomor Puji, ya?”
“Dia
lagi, mahluk itu lagi.” Keluh Bety.
“Bet, bisa nggak sih kamu sedikit saja memahami perasaanku?” ujar Yarra.
“Dulu, dari kelas satu sampai kelas tiga SMA aku satu kelas dengannya. Waktu
naik kelas dua kami sama-sama mencalonkan diri jadi ketua OSIS tapi setelah
tahu namaku ada di daftar calon ia mengundurkan diri dan sampai detik ini aku
tidak tahu apa alasannya mengundurkan diri.” Yarra kembali bernostalgia.
“Mungkin dia tidak mau bersaing dengan wanita.” Tebak Bety asal bicara.
“Mungkin kamu benar, tapi sepintas aku dengar dari salah satu temanku ia
tidak akan mundur jika calon wanita itu bukan aku. Tapi aku tetap dipilih sih.”
Kata Yarra tanpa mengandung nada bangga dalam ucapannya.
Pesanan mereka datang sebelum menikmati Yarra kembali bicara. “Aku ingin
sekali bertemu dengan Puji, lagi.” Kembali ia menatap Bety. “Kamu bisa bantu
kan, Bet?” ia memohon dan Bety belum pernah melihat Yarra seperti itu
membuatnya prihatin. Yarra bukan perawan tua karena ia baru saja menginjak usia
26 tahun. Sudah bertemu dengan puluhan pria sukses dan wanita-wanita berbagai
kalangan dengan selera masing-masing, pesta sana-sini, dan membicarakan
pasangan-pasangan mereka. Semua membicarakan kelebihan dan kesuksesan mereka
seakan tidak ada satu hal pun kepahitan hidup yang mereka alami. Tapi Puji
adalah pria yang berbeda di mata Yarra, ia tidak bisa ditebak, cool, tidak pernah membicarakan
kesuksesan yang ia capai karena sepertinya ia lebih sukai orang menilai dirinya
dari caranya sendiri.
“Akan aku pikirkan, pizza panas ini membuatku tidak bisa berpikir.” Jawab
Bety karena perutnya sudah berteriak minta diisi.
“Benar ya, Bet. Aku menunggu kabar darimu secepatnya.” Tambah Yarra
seolah Puji adalah pria paling sempurna di dunia ini.
mereka
memang sudah menjalin kerja sama meski selama ini bukan Puji yang menangani.
Dari info sedikit yang ia dapat Puji adalah pemilik baru dari perusahaan
tersebut. Bety memang harus hati-hati karena Yarra adalah sahabat yang ia kenal
sudah puluhan tahun, ia tidak ingin Yarra jatuh ke dalam pelukan pria yang
tidak ia kenal dengan baik.
**
Sebelum pulang Bety mencari nomor ponsel asisten Puji di file-nya. Setelah menemukan nama Dimas
langsung ia hubungi.
“Halo?”
“Ya,
ini Bety, kan?” sepertinya pria itu sudah menyimpan nomor Bety.
“Betul. Bisa ketemu?”
“Kapan? Sore ini? Di mana? ada hubungannya dengan urusan kerja, kan?”
Alamaaak, orang ini banyak sekali bertanya.
“Nanti aku SMS alamatnya.”
Bety memutuskan telepon setelah yakin Dimas mengiyakan ajakannya untuk bertemu.
Bety
memutuskan untuk tidak pulang bersama Yarra dengan alasan ingin membeli sesuatu
yang dibutuhkan Zizi. Dan seperti biasa Yarra selalu percaya dengan kata-kata
Bety yang memutuskan untuk pulang bersama sopirnya.
Tidak sampai sepuluh menit Bety sudah tiba di lokasi, belum sempat ia
pesan minuman Dimas sudah muncul di hadapannya. Pria itu menghampiri Bety dan
mengulurkan tangannya.
“Apa
kabar?”
“Baik.” Sahut Bety singkat. “Anda juga?”
“Saya juga baik, saya pikir kamu datang bersama teman.” Mereka sudah
duduk dengan dibatasi meja. “Sudah pesan makanan?”
“Belum,
saya ingin pesan jus alpukat saja. Anda?”
“Panggil Dimas saja.” Usul Dimas ingin terkesan santai. Bety mengangguk.
“Apa kabar dengan Yarra?” tanya Dimas dengan agak mengejutkan Bety namun Bety
tidak ingin membesarkan masalah itu dan menganggap itu sekedar pertanyaan
seorang rekan kerja saja dengan begitu ia merasa lebih santai untuk bertanya
tentang Puji kepada Dimas.
“Yarra baik-baik saja. Apa aku bisa bertemu dengan Puji? Aku harap kamu
bisa mengatur pertemuanku dengan bosmu itu, Dimas?” Bety berharap Dimas tidak
berpikiran macam-macam.
“O,
o, apakah kamu tertarik dengan Puji? Selain sebagai bos ia juga temanku meski
kami belum lama kenal.” Tetap saja Dimas punya pikiran yang tidak diharapkan
Bety.
“Ngaco kamu! Aku sudah punya Zizi.” Bety
langsung membantah.
“Zizi? Siapa itu Zizi?”
“Tidak usah dibahas.” Bety menyudahi pembicaraan tentang Zizi yang amat
sangat ia cintai.
“Jadi?” jus pesanan mereka sudah tiba di atas meja. “Maksud pertemuan
ini hanya untuk mengatur pertemuanmu dengan Puji?” tambah Dimas.
Bety
menyeruput minumannya sejenak lalu menatap Dimas. “Ya, hanya kamu yang bisa
membantuku. Aku menunggu kabar darimu secepatnya.”
“Ada
apa sebenarnya? Boleh aku tahu sesuatu?”
“Sesuatu apa?” Bety kembali menikmati jusnya seolah ingin buru-buru
menghabiskannya lalu meninggalkan tempat makan itu.
“Yah, tentang tujuanmu untuk bertemu dengan Puji.”
“Maaf, aku tidak bisa mengatakannya padamu tapi yang pasti tidak ada
hubungannya dengan pekerjaan.”
“Mungkin kamu benar, aku juga tidak tahu banyak tentang Puji karena
bergabung di kantornya masih dalam hitungan bulan. Baiklah, aku akan usahakan
agar kamu bisa bertemu dengan Puji secepatnya. Aku berharap tujuanmu bertemu
Puji dengan niat yang baik.” Kata Dimas dari ucapan itu Bety bisa melihat kalau
Dimas sangat menjaga bosnya.
Bety
menciptakan sebuah senyum setelah melepas kepergiaan Dimas. Ia berharap Dimas
segera memberikan kabar agar ia tidak pusing lagi menghadapi Yarra yang tiap
hari membicarakan Puji, di kantor, di jalan bahkan di tempat makan. Rasa penasarannya
tentang Puji makin jadi setelah tahu Yarra sangat memuja pria itu. sedang
sepintas ia bisa melihat kalau Puji bukanlah pria yang pas untuk Yarra. Ia
khawatir Yarra salah memilih tempat untuk melabuhkan cintanya. Ia tahu Yarra
jika sudah sakit hati susah disembuhkan. Ia tidak ingin urusan kantor akan terbengkalai
andai Yarra patah hati, semua akan berimbas dengan orang-orang terdekatnya.
Meski memiliki kinerja yang tidak diragukan lagi Yarra terkadang susah untuk
menjadi pribadi yang profesional dengan teman dekatnya. Tak jarang ia sering
kena omel Yarra hanya karena hal kecil jika hatinya sedang tidak enak. Tapi
untuk urusan ke klien ia bisa menjadi
pribadi yang susah ditandingi.
---ooo---
Pengenalan
Pertama kalinya Bety melakukan pekerjaan
diluar pengetahuan Yarra padahal sangat erat hubungannya dengan Yarra tapi ia
tidak peduli karena semua yang akan ia lakukan adalah untuk Yarra.
Pria
cool bernama Puji itu sudah duduk
bersama Bety, di mata Bety pria itu terkesan agak aneh dari namanya saja sudah terdengar
aneh. ‘Kaganga’ mengapa tidak ‘Gangga’ saja sekalian. Pikir Bety.
“Pasti ada hal penting yang ingin Anda sampaikan kepada saya karena
sudah capek-capek menemui Dimas untuk bertemu.” Kata Puji di telinga Bety
terdengar formal. “Apakah ada urusan kerja sama dengan kantor?” lebih formal
lagi.
“Ini
bukan meeting jadi tidak ada
hubungannya sama sekali dengan kantor.” Bantah Bety. “Kalau menyangkut urusan
kantor pasti ada campur tangan bos saya karena saya adalah rekan kerja beliau
sekaligus tangan kanannya.”
Puji
mengukir senyum dan menyandarkan punggungnya di sandaran kursi agar terlihat
rileks dan ia memang sudah rileks menghadapi Bety. Kehadiran Bety mau tidak mau
membawa pikirannya ke sosok Yarra. Sosok itu sudah benar-benar mengacaukan
otaknya.
“Anda kenal Yarra?” Bety langsung ke titik permasalahannya bertemu
dengan Puji.
“Yarra? Bukankah dia itu bosmu?”
“Di
kantor dia memang bos saya tapi di luar dia rekan dan bisa juga disebut teman.”
“Ya,
saya kenal. Memangnya kenapa?”
“Anda menyukainya? Oh, maksud saya jika Anda belum menikah.”
Untuk kedua kalinya Puji tersenyum namun bukan senyum mengejek, itu yang
Bety tangkap. Bety menunggu pria itu bicara dan menanggapi pertanyaannya.
Pertanyaan Bety memang kurang etis di kalangan wanita tapi dia harus menanyakan
itu.
Puji
mengamati Bety dengan seksama lalu mulai bicara serius. “Apa dia pernah bicara
tentang saya kepada Anda?” puji meletakkan kedua tangannya di atas meja.
Pertanyaan itu memaksa Bety tersenyum karena terkesan ada nada penggosip di
dalamnya, lalu untuk sejenak ia menikmati kopinya.
“Menurut
Anda?” Bety balik memancing Puji dengan pertanyaan yang tidak kalah berat.
“Bety,” Puji menyebut nama wanita itu dengan nada lembut. “Sebenarnya
apa yang ingin kita bicarakan di tempat ini?” sekilas Puji mengamati suasana
tempat nyaman itu, tidak ada yang ia kenal selain Bety. Ia jarang sekali makan
bersama wanita apalagi hanya berdua seperti saat itu.
“Pertanyaan pertama saya tadi adalah maksud dari sebenarnya, tapi kamu
malah balik bertanya.” Bety menghela napas panjang dengan harapan pertemuannya
dengan Puji hari itu bukanlah sebuah kesalahan.
Puji
mengambil ponselnya, ia menyimaknya sejenak lalu kembali ke wajah Bety.
“Ada
telepon?” tanya Bety mengira Dimas sedang menelepon atau mengirim pesan kepada
Puji untuk sekedar menanyakan apakah mereka sudah bertemu.
“Tidak,
bukan siapa-siapa.” Ia kembali ke wajah Bety. “Saya memang suka dengan Yarra.”
Puji memberi jawaban dari pertanyaan pertama Bety. Bety mengamati wajah Puji
seakan mencari kejujuran dari ucapan pria itu. “Kau meragukanku?” spontan Bety
tersenyum karena Puji tahu apa yang baru saja ia pikirkan. Belum pernah ia
merasa terjebak seperti itu sebelumnya. “Saya belum menikah, jika Yarra masih single juga saya ingin menjalin hubungan
serius dengannya.”
Ehmm... percaya diri sekali pria ini. Sabar
Bety, jangan langsung percaya begitu saja dengan mulut pria tampan apalagi
sukses.
“Ho... ehmm... saya terkejut, maksud saya bagaimana seandainya Yarra
sudah punya kekasih?”
“Tidak masalah, berarti dia bukan untuk saya tapi kalau dia sedang
kosong saya ingin menjadikan dia kekasih saya atau mungkin akan saya lamar
untuk menjadi istri saya.”
“Oh,
ya? Apakah saat ini kamu juga sedang tidak punya teman wanita yang dekat?
Maksud saya pacar.”
Kata-kata Bety terlalu gampang ditangkap oleh Puji membuatnya mengambil
kesimpulan sendiri.
“Kamu mau bantu saya?”
“Bantu apa?”
“Maukah
kamu memberitahukan semua hal tentang Yarra?” kata Puji dan kali ini ia melihat
kening Bety agak berkerut. “Jangan salah paham dulu, saya menyukai Yarra dan
tidak ada salahnya kalau saya tahu apa-apa yang ia sukai dan tidak. Simple, kan?”
“Oke,” Bety mulai melunak. “Dengan satu syarat, apapun yang kita
bicarakan ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan pekerjaan.”
Puji
melirik ponselnya. “Ya, saya janji.” Ucapnya dengan nada pasti.
“Sebelumnya saya ingin tanya satu hal, apa tujuanmu menanyakan itu?”
“Saya ingin memberikan kejutan sama dia, terus terang dari SMA saya
sudah menyukai dia tapi sayangnya kami tidak pernah bertemu setelah itu.”
Bety
tersenyum tipis karena Yarra pun mengatakan hal yang sama, siapa tahu mereka
akan berjodoh. Pikirnya.
“Yarra menyukai kopi late.....” Bety sudah memulai.
“Apalagi...?” kata Puji dengan nada sabar dengan hati yang mulai
berdebar tidak menentu seolah Yarra sedang duduk di sebelahnya.
Bety
pun mulai bicara lancar seakan tidak ada beban sama sekali. “Dia alergi dengan
debu dan selalu membawa spray anti septik di dalam tasnya. Aku sering
menyebutnya miss resik, Tidak suka bergosip, disiplin, menyukai pria pekerja
keras dan berpikiran maju, wataknya keras, tidak plin plan, suka berpakaian simple semi fornal, makanan fovoritnya
roti bakar, menikmati kopi late minimal tiga gelas sehari, tidak begitu suka
mol kecuali datang sebulan sekali sekedar untuk memborong pakaian kantor, dan
lebih memilih cafe sepi dengan segelas kopi, membaca buku ditemani alunan musik
klasik.” Bety berhenti sejenak untuk menikmati kopinya yang masih tersisa. Puji
pun melakukan hal sama meneguk kopi cappuccinonya dan kembali menatap Bety
karena masih meminta wanita itu meneruskan ceritanya tentang Yarra, ia yakin
masih banyak yang belum diutarakan sebab Bety bukan saja kaki tangan atau rekan
di kantor Yarra.
“Hanya itu?” pancing Puji lagi.
“Sepertinya kau penasaran sekali tentang Yarra.”
“Setelah ibu saya, Yarra adalah wanita kedua yang kehidupannya ingin
sekali saya ketahui di dunia ini.” Jelas Puji.
“Ibu, kamu?” alis Bety bertaut tanda tidak mengerti.
“Tidak usah bahas ibu saya, kita sedang bicara tentang Yarra.
Teruskan...”
Bety
memberitahukan semua hal tentang Yarra, merek kosmetik, model baju tidur, nama
pasta gigi, sikat gigi, sabun, samphoo, termasuk ke hal yang sangat pribadi
yaitu merek pembalut yang Yarra pakai. Bety memang keterlaluan, tapi ia harus
memberitahukan itu karena Puji memang memintanya.
“Saya pikir saya ini sudah gila, kenapa hal yang sangat pribadi saya
tuturkan semuanya kepadamu.” Bety tidak bisa menarik lagi semua ucapan yang
telah ia keluarkan.
“Jangan berpikran seperti itu, saya yang keterlaluan. Saya menyukai
Yarra dan tidak ada maksud saya untuk merendahkan kamu ataupun Yarra. Semua hal
yang telah kamu katakan tadi sangat penting untuk saya. Saya ingin mengajak
Yarra ke sebuah tempat paling indah di dunia ini, untuk itulah saya harus
mengetahui semuanya.”
“Maksud kamu?”
“Saya akan membawanya berlibur untuk beberapa hari, dan saat itulah saya
akan utarakan perasaan dan isi hati saya padanya.”
“Ow.... so sweet.” Bety tak bisa menyembunyikan
rasa senangnya mendengar niat Puji. Pasti Yarra juga akan sangat senang.
Pikirnya.
Puji
meraih ponselnya yang dari tadi menyala, ia mematikannya karena menganggap
semua yang Bety katakan sudah cukup membantunya.
“Satu hal yang ingin saya minta ke kamu, saya ingin mendekati Yarra tapi
saya mohon kamu seolah tidak tahu. Bisa? Tolonglah.....” pinta Puji.
“Satu hal juga yang ingin aku minta ke kamu,”
“Baiklah, apa?”
“Jangan pernah sakiti Yarra apapun alasannya.”
“Ya,
saya janji.”
**
Setelah
meeting berikutnya Puji mulai
mengajak Yarra untuk makan siang berdua, tanpa rasa curiga kepada Bety sama
sekali Yarra mengikuti ajakan Puji dengan perasaan yang sudah ia kendalikan.
Seperti yang pernah Bety kisahkan sebelumnya, Puji bisa melihat bagaimana Yarra
bersikap di meja makan, sebelum menikmati sesuatu meski yakin sendok sudah
bersih ia masih saja mengelapnya dengan tissu.
Bukan itu saja, sebelum memegang makanannya ia pun menyemprotkan cairan
antiseptik yang ia keluarkan dari dalam tasnya. Puji memang tidak merasa
terganggu dan mengamati apa saja yang Yarra lakukan tanpa berkomentar sama
sekali apalagi Yarra tidak terlalu ngotot meminta Puji melakukan hal yang sama,
ia membantu Puji mengelap sendok untuk Puji.
“Terima kasih.” Kata Puji dengan tulus. Yarra hanya tersenyum.
“Tidak usah berterima kasih.” Sahut Yarra. “Nggak nyangka ya bisa
bertemu lagi setelah sekian tahun tidak pernah terpikir sebelumnya.
“Ya,
karena hidup bukan untuk dipikirkan tapi dijalani saja. Kamu tidak jauh berbeda
dari sejak sekolah dulu, hanya saja sekarang lebih elegan, lebih sukses dan
tetap.....”
“Apa?” kata Yarra karena Puji tidak meneruskan ucapannya.
Puji
tersenyum. “Tahu kenapa dulu aku mundur dari calon ketua OSIS?”
“Ya.. kenapa?” kata Yarra dengan tidak
sabar untuk mengetahui hal itu sebab ia sungguh penasaran.
“Sejujurnya aku tidak punya alasan yang
tepat untuk mundur waktu itu, hanya saja aku merasa bersyukur kamu yang maju
karena aku seolah-olah merasa kita punya misi yang sama dan dirimu sudah cukup
mewakili diriku. Hanya itu yang ada dipikiranku saat itu.”
“Sesimpel itu?” Yarra tidak akan tersanjung dengan uraian Puji meski
terkesan memuji.
“Ya.”
Kali
ini Yarra yang tersenyum, dan mereka mulai menikmati santap siang mereka.
Sekali-kali Puji menikmati wajah Yarra hal itu membuat Yarra merasa salah
tingkah.
“Tidak ada yang marah aku mengajakmu makan siang ini, kan?” kata Puji
akhirnya membuat Yarra mengalihkan wajahnya dari roti bakar yang masih hangat
di mejanya.
“Marah?”
“Ya,
pacarmu akan menembak mati aku kalau tahu saat ini aku sedang menatap dirimu.”
“Mungkin, dan setelah itu ia akan masuk penjara tapi aku tidak bisa
membantunya karena aku juga salah.”
“Hoho.”
Puji yang jarang makan sama wanita merasa sedikit canggung karena keberadaan
Yarra dengan Bety sangatlah berbeda namun ia tidak ingin memperlihatkan hal itu
kepada Yarra.
Yarra tidak suka dengan komentar Puji dengan kata hoho itu namun ia
pastikan Puji sedang mengetesnya.
“Kau
sedang mengujiku dan mengatakan kalau sebenarnya aku sedang tidak punya
kekasih?”
“Kita sama, makanya aku mengajakmu ke sini karena aku ingin kenal lebih
dekat dengamu. Kita tidak perlu mengasihi diri kita sendiri karena kita berhak
mendapatkan yang terbaik buat kita. Bukan masalah tidak punya tapi belum
menemukan yang terbaik, dan saat ini aku merasa kamu adalah wanita yang aku
inginkan selama ini. Maaf kalau aku terlalu lancang.” Ujar Puji panjang lebar
membuat Yarra terdiam agak lama lalu ia meneguk latenya terasa nikmat melewati
tenggorokannya.
Puji
melakukan hal sama detik berikutnya ia mengamati ruangan romantis itu yang
sengaja ia pilih untuk makan siang bersama Yarra.
“Aku
harap kamu menyukai tempat ini. Aku menemukannya minggu lalu dan hampir tiap
hari aku datang ke sini, kalau tidak siang pasti malam.” Tambah Puji memaksa
Yarra ikut menyimak ruangan itu, tidak besar namun terkesan personal. Lampu yang menyala tidak
terlalu terang dan bernuansa Itali. Yarra memang baru pertama masuk ke sana,
secara selera ia mengakui Puji memang punya selera bagus.
Yarra kembali menatap Puji. “Lumayan.” Ia
tidak mengatakan tempat itu cukup bagus tapi cukup lumayan. Matanya beralih ke
jemari Puji yang sedang memegang gelas kopi di atas meja itu. kuku-kuku Puji
terlihat pendek dan yang lebih penting sangat bersih. Yarra sendiri tidak
memanjangkan kukunya karena menurutnya hanya akan membuat sarang kuman meski ia
tidak pernah menyentuh tanah. Dari kuku saja sudah memberikan nilai tambah pada
diri Puji untuk Yarra. Puji tahu kalau Yarra sedang mengamatinya, apakah Yarra
juga tahu apa yang sedang Puji pikirkan?
**
Pertemuan semakin intens, di saat weekend
Puji mengajak Yarra ke Mall bukan
menemani belanja tapi pure
jalan-jalan layaknya anak remaja pada umumnya lalu mengakhirinya dengan
menonton film di bioskop.
Tak sampai di situ, mereka pun mengisahkan
tempat apa yang paling ingin mereka kunjungi di dunia ini. Yarra mengatakan ingin
sekali mengunjungi negeri Tibet karena negara lain sudah sering ia lihat sedangkan
Puji hanya ingin berlibur di istana pribadinya.
“Aku
sudah jalan-jalan ke Eropa dan menilhat nyaris semua negeri di dunia dan bagiku hanya ada satu tempat yang paling
indah di dunia ini.”
Yarra menatap Puji seolah ingin menanyakan di mana tempat itu.
“Suatu saat aku ingin sekali mengajakmu ke sana.” Mata Puji berbinar
mengisyaratkan bahwa tempat itu tidak ada duanya.
“Terima kasih, tentu saja aku ingin ke sana. Di mana tempat itu?”
“Masih di Indonesia tapi tempat itu laksana sorga bagiku.”
Yarra tersenyum seakan ingin segera Puji mengajaknya ke sana, sepertinya
tidak butuh waktu lama kalau mereka akan ke tempat itu karena lokasinya masih
di dalam negeri.
*
Puji
mengisahkan kebersamaannya dengan Yarra kepada Dimas membuat pria itu terus
saja menggodanya.
“Aku
rasa kau mencintai Yarra.”
“Tidak, aku tidak mencintainya.”
“Hei
sobat, tidak ada alasan bagi pria tidak mencintai wanita seperti Yarra. Kamu
mulai mengantarnya ke Mall,
menemaninya makan siang terkadang makan malam bersama, apalagi namanya kalau
bukan cinta.
“Sekali lagi aku katakan aku tidak mencintai Yarra.” Puji tetap ngotot.
“Menyukainya, mungkin.” Ia menambahkan.
Tak
demikian dengan Yarra yang merasa mulai akrab dengan Puji setiap hari pria itu
menanyakan kabarnya, menemaninya makan, nonton bahkan duduk santai di toko buku
sambil mencari buku-buku bermutu sekaligus membicarakan bisnis. Setiap kali
habis bertemu dengan Puji tak lupa ia ceritakan kepada Bety.
“Aku
mulai merasa nyaman dengan Puji.” Yarra selalu terlihat semangat dan segar
akhir-akhir ini membuat Bety pun ikut bahagia namun ia masih ragu dengan
ketulusan Puji kepada sahabatnya itu.
“Apa
dia sudah mengatakan perasaanya dengan kata-kata ‘aku mencintaimu?’ Yarra, aku
masih ragu dengan perasaan pria itu terhadapmu.”
“Aduh Bety... apa zaman sekarang kata-kata itu masih diperlukan? Aku
sama Puji itu bukan anak belasan tahun lagi, sikap, perbuatan dan perhatian
yang ia tunjukkan selama ini membuatku tak perlu menanyakan hal itu.”
Mendengar ucapan Yarra membuat Bety menghela napas panjang dan semakin
khawatir kalau cinta akan membuat Yarra melupakan dirinya sendiri.
“Apa
seleramu dengannya sama?”
“Kita
sama-sama pengusaha sepertinya tidak sulit menyatukan selera andai tidak ada
kesamaan itu, bukankah begitu?” Yarra tersenyum tapi Bety malah mengangkat
kedua bahunya seolah yang Yarra katakan itu tidak akan sesimple yang ia
ucapkan. Dalam hati ia akan menemui Puji dan berharap bisa berkunjung ke rumah
pria itu suatu hari.
“Apa
Puji pernah mengajakmu ke rumahnya?”
“Hubungan kami terlalu dini untuk berkunjung ke rumah, meski tadi aku
mengatakan kami bukan anak SMA atau mahasiswa aku rasa masih perlu waktu, Puji
juga belum pernah cerita tentang keluarganya sama halnya denganku. Semua ada
waktunya kok.” Bantah Yarra. “Ia bilang suatu saat akan mengajak aku ke tempat
yang paling indah di negeri ini, yang ia sebut sorga untuknya. Aku jadi
penasaran tempat seperti apa itu.”
“Oke, baiklah. Semoga hubunganmu dengan Puji terus berjalan indah.”
Harap Bety karena ia tahu dengan pasti kalau Yarra itu memiliki pribadi yang
jarang dimiliki wanita lain.
*
Puji mengajak wanita yang bekerja di rumahnya ke
sebuah pusat perbelanjaan mewah, yang melihat mungkin menganggapnya aneh. Puji
memberikan wanita itu sebuah catatan agar mengambil semua yang ada di catatan
tanpa satupun yang boleh dilewatkan. itu pertama kalinya Puji membawa wanita
itu ke sebuah toko membeli keperluan sehari-hari sampai ke tempat pakaian.
Wanita yang diajak belanja menurut saja dan saat ia harus mengambil
barang-barang yang dianggapnya aneh ia tidak berani bertanya apalagi menghadapi
Puji yang jarang sekali bicara dan bisa-bisa ia salah tanya akan berakibat
fatal baginya.
Belanjaan itu lumayan banyak dan tidak ada yang tahu untuk siapa
barang-barang itu Puji beli.
Keakraban Puji dengan Yarra terus berlanjut Yarra tidak peduli apakah
Puji akan mengutarakan perasaannya atau tidak yang penting ia bisa terus
bersama dengan pria itu merupakan satu hal yang tidak bisa digantikan dengan
apapun. Kata indah hanya untuk telinga namun sikap dan perhatian pria itu sudah
menunjukkan segalanya, itu rasa yang sukar diungkapkan. Jika nanti Yarra
menanyakan hal itu bukan tidak mungkin Puji akan meragukannya dan mengatakan
‘apakah sikap dan perhatikanku tidak cukup untuk semua itu?’ andai itu sampai
terjadi bisa-bisa hubungan mereka akan renggang Yarra tidak bisa membayangkan
hal itu. Yarra membiarkan hubungannya berjalan sesederhana mungkin tanpa harus
bertanya ini dan itu, dan saat Puji mengatakan akan mengajaknya mendatangi
tempat itu Yarra tidak mengelak lagi.
“Kamu serius?”
“Tentu saja, kita akan berlibur di sana sekitar satu minggu.” Kata Puji
sangat serius. “Kamu bisa membereskan dulu urusan kantor dan kalau ada masalah
yang belum selesai bisa diselesaikan dulu sampai kamu bisa menitipkan beberapa
hal pada Bety untuk yang bersifat tidak terlalu fatal.” Tambah Puji. “Kalau
kamu sudah siap, kita akan berangkat.” Puji mengakhiri ucapannya.
“Hmm... di tempat yang kamu bilang sangat istimewa itu ada siapa saja?”
wajah Yarra yang penuh pertanyaan itu diliputi rasa khawatir meski ia
membanyangkan ada keindahan tersendiri kalau bisa terus berdua dengan Puji.
“Siapa
yang kamu harapkan ada di sana?” pertanyaan mengandung penawaran.
Yarra
tersenyum tipis di benaknya membayangkan semacam bulan madu, ada seorang
pelayan, pemamdangan yang indah di sekitar kediaman dan apapun yang ia inginkan
tersedia di sana. Tapi hati kecilnya seakan menolak ajakan Puji karena merasa
tidak layak mengikuti pria itu sebelum mereka resmi menikah.
“Apakah kepergian kita nanti tidak dikomplain keluargamu? Dan aku
mungkin agak sulit minta izin sama orang tuaku.”
“Mengenai izin dari kedua orang tuamu itu tanggung jawabku, kapan kamu
mengajak aku menemui mereka? Dan mengenai keluargaku, yang aku miliki hanya
ayahku dan beliau telah pergi untuk
selamanya sejak aku duduk di bangku SMA.”
“Oh,” Yarra baru kali pertama mendengar tentang keluarga Puji. Apakah
yang Puji katakan itu sebuah kebenaran? Yarra belum bisa memastikannya.
“Sebelum kita berlibur aku ingin mengajakmu makan malam di rumahku.”
Ajak Puji dan tawaran itu sedikit
menepis kekhawatiran Yarra karena pria itu mulai membuka diri.
*
Tiba
di rumah Puji sebuah kenyamanan langsung terasa oleh Yarra. Rumah yang tidak
terlalu besar namun halamannya sangat luas, di depan rumah tananam hias ditata
dengan sangat rapih, di halaman samping banyak pohon kecil seperti mangga,
rambutan serta pohon pepaya kesemua pohon itu sepertinya hasil pencangkokan
karena terlihat pendek, lebat dan sudah berbuah. Di bagian samping belakang ada
sebuah kolam renang berukuran sedang dan di dekatnya ada sebuah pondok kecil
semacam tenda tempat menikmati kopi.
Kesan alami yang ditampilkan hunian itu kental sekali. Saat masuk rumah
Puji mengenalkan Yarra kepada orang-orang yang ada di sana, yang mengurus
halaman, yang membantu mengurus rumah serta yang mengurus pakaian dan semua
keperluannya sehari-hari. Dari semua yang ada di sana hanya ada satu wanita
paruh baya selebihnya pria. Puji menyebutkan mereka sebagai anggota keluarganya
meski semua tahu bahwa mereka tidak lebih dari asisten rumah tangga walaupun
Puji memperlakukan mereka sangat baik tanpa membeda-bedakan makanan atau apa pun
yang mereka butuhkan.
Kesan kekeluargaan memang terasa saat mereka menyambut Yarra untuk makan
malam. Kehidupan yang dijalani Puji terlihat begitu sempurna meski tidak ada
orang tuanya di rumah itu. sebuah pertanyaan muncul di hati Yarra ‘apakah Puji
hidup sebatang kara?’ meski serba berkecukupan? Muncul keinginan Yarra untuk
mengetahui lebih banyak hal lagi tentang Puji.
Yarra tidak mungkin mencari tahu kepada pengurus rumah karena mereka
baru saja bertemu malam itu dan Puji tidak sedikitpun melepaskannya dari
pandangan matanya seolah malam itu Yarra adalah wanita paling berharga di dunia.
Kerahaman sikap Puji dan orang-orang rumah malam itu melupakan niat Yarra untuk
bertanya lebih jauh lagi.
Tak
perlu lagi meragukan hal yang tidak berdasar, Puji sudah memperlihatkan siapa
ayahnya lewat foto-foto yang ada di rumahnya, gambaran pria pekerja keras dan
mengenai ibunya ia hanya tahu kisah ibunya dari almarhum sang ayah. Bagi Puji
sosok ayahnya adalah pria yang mengagumkan karena menghidupi dirinya meski
sebagai single parent dan tidak pernah menikah lagi setelah ibunya pergi, pria itu
berhasil membangun perusahaan kecilnya dan meninggalkan warisan untuk anaknya.
Perjuangan
Puji belumlah seberapa dibandingkan ayahnya namun satu hal yang Puji dapat dari
ayahnya bahwa ‘harta adalah sebagian dari harga diri seseorang’ seorang yang
menempati kontrakan bisa saja diusir lantaran telat membayar uang sewa, nyawa
seseorang bisa saja dilempar dari dalam angkutan umum kalau tidak mampu
membayar ongkos bahkan seseorang bisa disejajarkan dengan hewan peliharaan
lantaran bergantung dengan orang yang berduit.
“Aku
akan berlibur dengan Puji, sebuah impian
yang selama ini aku harapkan.” Ujar Yarra kepada Bety membuat Bety menautkan
kedua alisnya.
“Yarra, kamu belum kenal baik dengan Puji meski dulu kalian satu sekolah
itu juga tidak saling bicara. Aku tidak bisa melepaskanmu untuk pergi
dengannya, pergi makan malam ke rumahnya atau sekedar kenal dengan orang-orang
yang ada di rumahnya merupakan hal yang berbeda jika pergi dengannya untuk
berlibur.”
“Sepertinya
kamu sangat meragukanku, tak biasanya.” Yarra memaklumi apa yang Bety
khawatirkan tapi ia sebagai wanita dewasa tahu batas semua itu.
Bety
tentu tidak meragukan sahabatnya tapi Puji, ia tidak kenal baik pria dingin itu.
“Yarra, kita kenal tidak satu dua tahun tapi nyaris sepuluh tahun bagaimana
mungkin kamu bilang aku meragukanmu.”
“Jadi mengenai Puji? sekali lagi aku katakan kita bukan anak kemarin,
kita juga bukan mencari pacar tapi ke arah yang lebih tinggi dari itu.”
Bety
menarik napas panjang mendengar penuturan Yarra yang sudah sangat serius dengan
Puji yang masih penuh misteri itu.
“Baiklah, berapa hari kalian akan berlibur?” Bety pasrah tidak ada
gunanya berdebat dengan Yarra yang sudah begitu banyak makan asam garam
kehidupan, dilarang juga percuma karena dia adalah wanita dewasa yang berhak
memilih hidupnya, selain itu dia juga seorang pimpinan di sebuah perusahaan
jadi akan terkesan naif jika Bety banyak memberinya kritik.
“Yah, sekitar seminggu.. dan...” Yarra tidak meneruskan ucapannya.
“Apa...?”
“Ehmm... jangan marah ya kalau nanti aku jarang memberi kabar.” Kata
Yarra setengah bercanda.
“O,
o... sepertinya aku akan segera dilupakan.” Goda Bety tapi tidak masalah yang penting
Yarra bahagia itu sudah cukup baginya.
---000---
Rasa
Keputusan
Yarra dan Puji untuk berlibur tidak ada halangan lagi, kedua orang tua Yarra
telah diberi penjelasan dan Yarra sebagai wanita dewasa pastinya tahu
menempatkan dirinya apalagi Puji mengatakan di tempat mereka nanti semua yang
diperlukan ada termasuk yang pengurus rumah menandakan kalau mereka tidak hanya
berdua di tempat itu.
Seperti halnya dengan Yarra pun Puji mengatakan kepada Dimas kalau untuk
beberapa hari ke depan tidak perlu menghubunginya.
Dimas pastinya memaklumi hal itu karena sekeras apapun Puji mengelak
mengatakan tidak mencintai Yarra sekuat itu pula keyakinan Dimas tentang
perasaan Puji kepada Yarra. Ia merasa Puji bahkan bisa melompat dari ketinggian
seratus meter hanya untuk Yarra.
Semua sudah Yarra persiapkan dengan sangat matang termasuk menitipkan
urusan kantor kepada Bety untuk beberapa hari ke depan.
Yarra dibuat kaget oleh Puji karena mereka pergi bukannya mengendarai
mobil atau naik pesawat dengan alasan tempat itu masih di dalam kota membuat
Puji memilih helikopter apakah Puji menyewanya atau milik sendiri, Yarra tidak
tahu pasti.
“Mengapa kita harus naik helikopter?” tanya Yarra saat helikopter sudah
ada di depan mata mereka. Sebuah lapangan yang tidak terlalu luas di pinggiran
komplek perumahan yang tidak jauh dari tempat tinggal Puji, saat Yarra menoleh
ke belakang mobil yang tadi mereka tumpangi sudah menjauh meninggalkan tempat
itu. seorang pilot dan satu awaknya sudah siap di dalam helikopter. Semua tas
bawaan Yarra sudah dibawa terlebih dahulu ke dalam helikopter dan Puji
sepertinya tidak banyak membawa keperluannya sepertinya semua sudah
dipersiapkan di tempat yang akan mereka kunjungi.
“Negara kita khususnya Jakarta masih dihantui dengan namanya ‘macet’
jadi mana mungkin aku tega membiarkanmu menghabiskan waktu berlama-lama di
tengah jalan.”
“Apakah setiap kamu berlibur ke sana selalu naik itu?”
“Tidak juga, ini khusus untuk kamu.”
Yarra tidak akan tersanjung apalagi ia tahu Puji memiliki apapun yang
ingin ia persembahkan untuknya. Tempat yang akan mereka kunjungi tentulah tidak
mudah digapai dengan sebuah mobil, mungkin bisa di sebut sebuah villa yang
tempatnya di atas gunung atau sejenisnya.
Puji
mengajak wanita itu naik ke atas helikopter yang sudah siap terbang, cuaca
siang itu terik dan langit biru tak terlihat ditutup awan sedikitpun. Yarra
tersenyum meski senyum itu diselimuti rasa deg-degan karena itu pertama kalinya
ia naik helikopter yang rasanya pasti akan berbeda dengan pesawat yang
sesungguhnya. Sosok Puji yang maskulin dengan kaus krem berlengan panjang itu
membuat Yarra tambah menyukainya. Ia begitu menjaga Yarra dengan tidak berusaha
menyentuhnya tapi Yarra yakin pria itu akan melindunginya. Senyum Puji yang
ramah dan manis seringkali meluluhkan hati Yarra yang merasa baru kali itu
benar-benar menyukai pria dalam arti yang sesungguhnya.
Helikopter sudah meninggi meninggalkan tanah yang siap diinjak kapan
saja dan akan selalu menerima apa saja diatasnya tanpa protes, seringkali kita
mengira tanah itu tidak ada nyawanya tapi pernahkah kita berpikir dari tanah
dan air semua tumbuhan bisa hidup. Apa yang ada di benak kita jika tanah sudah
mulai longsor dan ratusan nyawa manusia bisa lenyap hanya dalam hitungan detik?
Yarra saat ini tentunya tidak memikirkan hal itu karena pria pujaannya
ada di sampingnya sekarang, di bawah terlihat pemandangan kota yang indah dari
jauh namun semraut jika didekati, pemandangan kota sudah mulai menghilang
memunculkan warna hijau dari daun-daun pohon. Helikopter terus terbang
pohon-pohon mulai terlihat lebat sepertinya mereka memasuki pinggiran kota yang
mungkin menuju sebuah bukit kecil. Yarra semakin terkesimak dengan keindahan
yang ditampilkan namun keindahan yang sesungguhnya adalah keberadaan Puji di
sampingnya laksana surga yang belum pernah ia rasakan. Puji meliriknya dan
menciptakan senyuman terindahnya untuk sang bidadari hati membuat Yarra merasa
terbang melampaui ketinggian sang helikopter seakan ia tidak ingin buru-buru
helikopter mendarat di tanah.
Namun kenyataan seringkali tidak sama dengan harapan, helikopter sudah
sampai di tempat yang dituju. Suaranya yang lumayan tinggi menyadarkan Yarra
bahwa mereka sudah harus menginjak tanah. Pilot dan co-pilot dengan sigap
membantu Yarra dan Puji mengangkat barang bawaan mereka seolah menguatkan
keyakinan Yarra kalau helikopter itu adalah kepunyaan Puji meski Puji tidak
mengatakannya.
Setelah semua selesai mereka meninggalkan Puji dan Yarra di tempat itu,
sesaat Yarra melihat Puji berbicara dengan pilot dan kemudian pilot
meninggalkan Puji setelah sebelumnya berjabat tangan lalu mengangguk kecil ke
arah Yarra tanda ia akan pamit. Yarra membalas anggukan itu disertai senyum
ucapan terima kasih.
Yarra menghela napas lega setelah melihat sebuah bangunan kokoh meski
terbuat dari kayu, tingginya tidak kurang dari dua meter. Bangunan itu tidak
ubahnya sebuah rumah kuno dengan gaya moderen. pemandangan di sekelilingnya
membuat Yarra terdiam sejenak tidak menyangka sebelumnya kalau di sana ada
sebuah kolam yang menyerupai danau kecil dan sebuah perahu sedang terikat di
tepi kolam. Bangunan itu hanya satu terletak di dataran tinggi, tidak ada hal
lain yang terlihat, sepertinya Yarra dan Puji akan tinggal jauh dari manusia
lain di bumi ini. Jauh dari pesta glamour,
jauh dari kebisingan kota, jauh dari orang-orang yang mengutamakan benda branded bahkan jauh dari urusan
pekerjaan. Tiba-tiba Yarra merasa mulai ada yang aneh, halaman yang cukup luas
dengan dikelilingi pohon bambu kecil mencakup sebagai pagar halaman, tidak ada
yang keluar dari rumah itu untuk menyambut mereka, sepi, Yarra mulai menyadari
bahwa sebenarnya hanya ada dia dan Puji di tempat itu.
Matahari masih tinggi dan cahaya teriknya seakan ingin memperlihatkan
semua yang ada di sana, suasana sekeliling terlihat baru saja dibersihkan
mungkin sudah dibersihkan beberapa hari yang lalu oleh orang yang dibayar Puji
atau memang ada orang yang tinggal menetap sebagai penjaga rumah karena Puji
pernah mengatakan memang ada yang mengurus rumah itu, tapi di mana mereka?
Puji
mengajak Yarra masuk dengan isyarat ramah seakan ingin memperlihatkan dunianya
yang ia ceritakan selama ini. Sosok itu sudah berbeda tidak ada lagi Puji di
sana yang ada hanya seorang pria yang ingin memberitahukan siapa dirinya dan
apa hubungannya dengan tempat itu. Yarra mengikuti pria itu ke dalam dengan
manaiki tangga kayu kokoh sekitar tujuh anak tangga, pintu sudah terbuka
mungkin dibuka oleh yang membawa tas tadi dan buktinya tas-tas sudah ada di
ruang tengah. Yarra dibuat terkejut karena tidak ada satupun tasnya di sana.
“Puji? Tas, tasku ketinggalan di atas helikopter....?” Yarra panik
setengah mati. Puji coba menenangkannya.
“Emm... istirahatlah dulu, aku minta maaf
atas kejadian itu dan kita...”
“Panggil pilotnya untuk putar balik karena semua barangku ada di sana.”
Pinta Yarra sambil melangkah ke depan pintu untuk mencari apakah helikopter
masih terlihat atau benar-benar sudah menghilang.
“Yarra.....” suara itu terdengar tidak berdaya seolah dia seorang
pelayan di istana yang tidak bisa melakukan apa-apa tanpa ada izin dari raja.
“helikopternya sudah jauh, aku tidak akan bisa menyuruhnya balik lagi karena
pilotnya akan kembali ke sini minggu depan.”
“Tapi kamu kan bisa meneleponnya.” Yarra nyaris saja menangis.
“Aku
tidak membawa ponselku.”
“Apa...?” tulang Yarra seakan rontok dan jatuh di lantai kayu yang tebal
dan licin. Ia melirik tumpukan tas yang ada di dalam ruangan itu. jika semua
barangnya ketinggalan lalu apa yang ada di dalam tas-tas itu? “Kita harus
kembali lagi.” Tambah Yarra karena merasa tidak bisa hidup tanpa
barang-barangnya.
“Sebenarnya semua keperluanmu ada di dalam tas-tas itu?”
“Apakah semua barangku ada di dalam sana?”
“Ya,
tapi maksudku itu bukan barangmu asli karena aku membelikannya sebelum kita ke
sini.”
“Jadi, tasku sengaja tidak dibawa turun dari helikopter?”
“Yarra, bukan itu maksudku. Aku hanya ingin membuatmu merasakan tempat
ini adalah benar-benar baru, sehingga tidak ada satu bendapun yang
mengingatkanmu kepada rumahmu, kantormu bahkan temanmu.”
“Puji..... bagaimana mungkin kamu melakukan hal ini padaku?” Yarra
merasakan dadanya mulai sesak meski udara di sana sangat segar namun tak mampu
ia hirup. Yarra mulai kehilangan suasana hatinya yang tadi sempat
berbunga-bunga apalagi menyadari kalau tempat yang mereka kunjungi tidak lebih
dari sebuah villa besar tanpa penghuni, jauh dari kota dan jauh juga dari
dusun. Yarra tidak tahu di mana lokasi mereka. “Kita harus kembali Puji, tidak
peduli apakah akan naik angkutan umum sekalipun.”
Puji
melirik ke arah luar. “Apakah kamu melihat adanya jalan yang pernah dilewati
angkutan umum di tempat ini?” katanya dengan nada nyaris asing di telinga
Yarra.
“Mungkin di dekat sini tidak ada tapi kita bisa jalan untuk beberapa
meter ke arah yang dilewati kendaraan yang mungkin keluar masuk.” Yarra masih
terus berusaha.
Kali
ini Puji melirik Yarra dengan tatapan yang tidak bisa Yarra artikan. Di mana
sosok cool itu? sosok perhatian
selama beberapa minggu belakangan ini. Puji kembali ke tumpukan tas dan mulai
membukanya satu persatu.
“Di
mana yang lainnya? Orang yang selama ini di sini?”
“Sayangnya mereka pulang kemarin karena ada keluarganya yang sakit.”
Ujar Puji datar. Apakah Yarra percaya? Tapi melihat rumah itu yang jauh dari
kesan kotor sepertinya Puji tidak berbohong, tapi apakah mereka pulang kemarin
juga naik helikopter?
>>>>>>>> Bersambung.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar