Minggu, 01 Mei 2016

PUJI & YARRA

PUJI YARRA
(fiksi remaja)
**
Logika
       “Di mana logikamu, Yarra?” kata Bety kepada Yarra yang dari tadi seperti orang kehilangan akal sehatnya setelah bertemu dengan pria bernama Puji. Yarra tidak mempedulikan ucapan sahabatnya saat mereka masuk rumah.
       Yarra meletakkan satu telapak tangan di dadanya sambil menatap Bety. “Hatiku tidak pernah berdesir kencang setelah tujuh tahun ini.” Matanya terbuka lebar seakan menandakan dia telah kembali hidup. Bety ikut masuk lupa membuka sepatunya membuat Yarra panik. “Eh e e.... sepatu, sepatu.” tunjuknya dengan nada pelan setengah berteriak persis seorang ibu sedang menegur anaknya yang mengenakan sandal kotor habis bermain dari luar.
       “Kalau urusan kebersihan membuat kau seperti orang kebakaran jenggot.” Rungut Bety merasa sepatunya tidak kotor tapi harus dibuka setiap kali masuk ke rumah Yarra.
       “Kalau masalah kebersihan bukan urusan jenggot tapi merupakan sumber kesehatan.” Sahut Yarra berdiplomatis.
       “Ya, Non resik.” Ujar Bety tidak mau berdebat.
       Yarra langsung ke dapur bermaksud membuat kopi untuk sahabatnya tapi langsung dicegah oleh Bety karena merasa harus segera pulang.
       “Aku tidak akan lama,” Bety melirik jarum jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul delapan malam. “Zizi pasti sudah menunggu aku.”
       “Oke, baiklah. Bet... Kira-kira Puji masih single nggak, ya?” Yarra belum bisa mengalihkan topik pembicaraannya dari sosok Puji yang mereka jumpai tadi siang di tempat meeting.
       “Hei, bisa tidak kau hentikan pembicaraan mengenai pria yang belum kita tahu perkembangannya dalam tujuh tahun belakangan.
       “Bet, saat SMA aku memang menyukai pria itu meski kita tidak saling tahu perasaan masing-masing apalagi terakhir kudengar setamat SMA dia belajar ke luar kota dan sekarang dia kembali di hadapanku dengan sosok yang diimpikan semua wanita muda bahkan yang sudah lanjut usia.”
       “O, o... sepertinya sahabatku sudah tergila-gila dengan pujaan masa lalunya. Kendalikan perasaanmu oke, aku tidak mau kamu nantinya patah hati lalu memutuskan untuk tidak menikah sampai mati. Jangan terlalu melambungkan harapanmu ke langit karena jika kau jatuh aku tidak bisa menolongmu. Sekarang satu hal yang ingin kutanya sama kamu. Seandainya kamu bertemu dengan Puji di jalan dan pria itu berprofesi sebagai tukang parkir atau sejenisnya, apakah hatimu masih berdesir seperti tadi?” ujar Bety coba menenangkan gejolak hati Yarra.
       Yarra seakan tersentak dengan uraian Bety secara otomatis melambungkan ingatannya tadi siang saat bertemu dengan Puji yang perlente persis eksekutif muda, berkelas dan sangat cool. Lalu dengan cepat pikirannya membuat dua gambar pria, satu dengan pakaian tukang parkir dan satunya pria berdasi dengan pakaian licin, kemeja bagus, sepatu mengkilap, wajah cerah dan rambut semi cepak. Itu adalah gambar Puji dengan pakaian berbeda.
       “Apa yang ada di otakmu saat ini?” tembak Bety seakan memahami yang sedang dipikirkan Yarra dalam kurun waktu beberapa detik barusan.
       “Aku tidak mengerti apa yang sedang kamu bicarakan?”
       “Kau paham sekali apa yang aku maksudkan, oke... sepertinya aku harus pulang sekarang. Pesanku kau cepat istirahat dan berpikirlah secara logika semoga kamu akan menemukan apa yang kamu impikan selama ini.”
       “Baiklah, biar sopirku antar ya.”
       Bety melotot. “Ya haruslah, karena Zizi pasti sudah tidak sabar menunggu aku.” Bety tidak mau terlambat dengan menelepon atau menunggu taksi datang, karena Zizi adakah segala-galanya. Kalau saja tadi Yarra tidak ngotot mengajaknya mampir dia tidak akan mampir, ia mengalah karena Yarra sedang tidak stabil hanya gara-gara bertemu dengan pria masa lalunya meski dulu mereka belum sempat pacaran.
       Sepeninggal Bety, Yarra langsung membersihkan tubuhnya di kamar mandi dan beberapa saat saja ia sudah kembali ke kamarnya, lalu kopi hangat menyusul bersama wanita empat puluhan yang sudah menemani Yarra selama tiga tahun belakangan ini.
       “Ini kopinya, Non.”
       “Terima kasih.”
       Wanita itu meletakkan gelas kopi di tempat yang biasa ia letakkan, meja kecil yang di sebelahnya ada sebuah buku yang belum selesai dibaca tuannya.
       “Ada lagi yang dibutuhkan, Non?” katanya sebelum melangkah keluar.
       “Tidak. sekali lagi terima kasih ya, Bik.” Sahut Yarra dan wanita itu meninggalkan kamar Yarra lalu menutup pintu dari depan. Ia menuju ruang tengah untuk menunggu sopir pulang setelah itu ia akan istirahat seperti biasa dan bangun subuh.
       Sebelum menikmati kopi Yarra membuka laci lemarinya di mana ada album foto masa SMA, dengan hati-hati disertai debaran hati tidak keruan ia membuka halaman album. Halaman pertama ada kata sambutan kepala sekolah lalu wali kelas beserta foto semua guru, halaman berikutnya foto bersama sekelas di depan sekolah. Gambar yang tidak terlalu besar namun dengan jelas Yarra bisa menyimak satu persatu wajah teman-temannya yang tidak lebih dari 30 siswa, pria itu, Puji berdiri paling ujung di belakang karena semua siswi duduk di depan. Wajahnya manis dan masih terkesan kekanak-kanakkan sekali dan tadi siang wajah itu berubah drastis. Yarra membuka lagi lembar berikutnya ada foto sendiri-sendiri dengan ukuran agak besar dengan background berbeda-beda. Dan lagi-lagi ia menemukan foto Puji yang kali ini mengenakan pakaian kasual berbeda dengan foto di depan mereka semua mengenakan pakaian sekolah. Terlihat Puji bak model yang baru saja lulus dari sekolah model sehingga gayanya terlihat tidak alami. Yarra tersenyum sampai lupa menyimak fotonya sendiri.
       “Puji, apakah kamu sudah punya kekasih atau jangan-jangan sudah punya istri? Ya Tuhan, mengapa aku memikirkan pria itu lagi? sedang tadi dia bersikap biasa-biasa saja, menegur sekilas lalu buru-buru pergi bersama temannya. Mengapa dia yang hadir di meeting itu?”
       Yarra bermaksud menelepon Bety untuk menanyakan keberadaan atau posisi Puji dalam perusahaan yang bekerja sama dengan kantor mereka. Karena sejak mereka berurusan dengan kantor itu selama ini belum pernah melihat atau mendengar sosok Puji dan di dalam rapat tadi Puji disebut hanya mewakili kantornya. Dia bersama temannya seorang pria bukan dengan seorang wanita yang biasanya sebagai sekretaris. Situasi itu membuat Yarra tambah bingung, saat ingin mengangkat ponselnya ia menyadari posisi Bety kalau sudah sampai rumah. Yarra mengurungkan niatnya untuk menelepon.
       Namun kata-kata Bety masih terngiang sangat jelas, ‘sendainya Puji yang ia temui dengan profesi tukang parkir mungkinkah debaran itu masih sama?’
       Yarra menutup album SMA-nya namun tak bisa menutup pikirannya dari sosok Puji. Seandainya ia punya akun Facebook bisa mencari nama Puji dan melihat status pria itu di akunnya, sayangnya Yarra tidak menyukai akun itu dengan alasan tidak tertarik juga merasa tidak ada manfaatnya tapi kini ia sedikit menyesal tidak memilikinya. Bety akan mentertawainya jika tiba-tiba ia membuat akun itu hanya karena ingin mencari status Puji. Yarra melirik gelas kopinya lalu menikmatinya sejenak, detik itu ia membayangkan suatu saat akan menikmati kopi bersama Puji.
       “Puji Kaganga.”  Nama itu muncul dari mulut Yarra tanpa ia sadari.
       Akal sehat Yarra seolah tersedot habis oleh sosok Puji, ia seperti orang bodoh yang belum pernah jatuh cinta. Sebelum ini ia pernah dekat dengan dua orang pria yang mengajaknya serius tapi tidak bisa membuatnya mampu untuk berkomitmen. Karena pria-pria itu tak mampu membuatnya nyaman juga tak bisa menggetarkan hatinya. Pesta para eksekutif selama ini sudah cukup membuatnya bosan. Yarra akan mencari tahu di mana Puji tinggal, dan apa posisinya di kantor rekanan mereka tak peduli apa tanggapan Bety.
       Cinta membuat orang lupa dengan statusnya sendiri. Melumpuhkan logika!!
--- ooo ---
Pilihan Hidup
       Puji sedang nge-gym dalam ruangan fitnes yang ia mulai dari pukul enam tadi pagi. Sejenak bayangan Yarra melintas dalam ingatannya namun buru-buru ia tepis hingga melayang melewati ruangan berdinding beton itu. setelah melewati satu jam di ruangan itu ia kembali ke rumah dengan naik sepeda, meski punya alat fitnes di rumah ia lebih senang fitnes di tempat gym, di jalan kembali bayangan Yarra menyapanya lalu ia melindasnya dengan roda sepeda sport itu dan hilang tak berbekas.
       Lima menit saja Puji sudah tiba di rumahnya, santap pagi sudah disiapkan oleh kokinya di meja makan. Tersedia makanan penuh gizi namun Puji tidak pernah pilih-pilih makanan. Setelah mandi ia menuju meja makan yang tersedia di samping taman dan menikmati susu low fat-nya. Sejenak ia menyimak koran yang tersedia di atas mejanya.
       Di koran bisnis itu menampilkan satu artikel seorang Aktris ternama negeri ini yang sudah pernah mendapatkan piala tertinggi dalam dunia perfilman. Sosok itu terlihat jauh lebih muda dari usianya yang sesungguhnya. Ia terlihat seperti wanita usia tiga puluh tahun namun Puji tahu pasti beliau sudah menginjak usia empat puluh tiga tahun. Diketahui publik sudah tiga kali menikah, menjadi single parent dan memiliki satu orang putri kini sedang menyelesaikan pendidikannya di Paris. Wanita itu sudah memutuskan untuk tidak ingin menikah lagi dan berulang kali ia katakan setiap kali ada wartawan menanyakan tentang sosok pria seperti apa yang ia harapkan untuk menjadi pendamping hidupnya di sisa usianya.
       Puji berjalan ke lemari untuk mengambil gunting, ia menggunting artikel itu lalu membawanya ke kamar dan memasukkannya ke dalam laci seakan tidak boleh diketahui oleh seisi rumahnya. Sudah ada beberapa guntingan kertas koran juga majalah di lacinya. Setiap kali ia menemukan berita wanita itu selalu ia ambil dan menyimpannya rapat-rapat, sosok itu selalu saja membuat jantungnya seakan berhenti berdenyut, di sisi lain muncul perasaan yang hingga detik ini tidak bisa ia pastikan.
       Milena seorang artis yang dikagumi penggemarnya yang kata kebanyakan orang belum ada tandingannya dalam kurun waktu dua dekade ini. Hidup senang dengan harta yang tidak akan habis untuk tujuh turunannya. Tidak pernah bermasalah dengan obat-obatan, tidak juga berminat mencalonkan dirinya untuk menjadi pejabat meski penggemarnya akan memenangkan dirinya apalagi melihat status akademisnya sudah menyelesaikan S2 di negeri ini. Wanita itu di mata penggemarnya adalah sosok sempurna dan hidup bahagia meski ia sudah tiga kali bercerai dan akhirnya memilih untuk tidak menikah lagi. Satu kekurangan beliau yaitu ‘kawin cerai’ namun penggemarnya bisa memaklumi dengan alasan tidak akan membiarkan idola mereka hidup dalam keluarga yang tidak bisa membuatnya nyaman. Milena memang terlahir sebagai artis dan mendedikasikan hidupnya di dunia film, tak jarang ia pun didaulat sebagai juri dalam beberapa festival baik di dalam negeri maupun di negara Asia lainnya. Beberapa dunia iklan pun dilakoninya yang akan menambah pundi-pundinya namun demikian ia tidak mendidik putrinya untuk terjun ke dalam dunia hiburan.
       Puji selalu mengikuti perkembangan wanita itu sejak sepuluh tahun ini namun ia tidak memiliki keberanian untuk mendekatinya walau pun setiap kali melihat beliau muncul di televisi dalam wawancara atau menonton filmnya hati Puji selalu terbakar dan terasa hangus tanpa tersisa. Pesona wanita itu seakan mampu menyedot mata siapa saja yang menatapnya tak terkecuali Puji yang sudah lama mengamatinya. Setiap kali Puji mengamati mata wanita itu ia merasa benar-benar hangus seperti saat ini, sebelum meletakkan guntingan koran itu ia menarik napas dalam-dalam seolah memastikan kalau nyawanya masih ada. Detik berikutnya Puji mengunci lacinya.
       Puji ke kantor dengan mengendarai mobil sendiri, yang mengurus rumahnya kebanyakan pria kecuali tukang cuci, yang masak adalah koki pria, pun asisten di kantornya juga pria yang umumnya orang sebut sebagai sekretaris. Delapan puluh persen pegawai di kantornya juga kaum pria.
       “Wanita tidak becus kerja, kalaupun mereka berotak jenius tetap saja sering menghambat kerja kantor karena setiap bulan mereka minta cuti dengan alasan haid, belum lagi jika harus cuti hamil dan sebagainya yang susah dimengerti.” Ujar Puji saat asistennya mempertanyakan keberadaan wanita yang sangat terbatas di kantor itu. “Pria juga bisa sebagai asisten dan menyelesaikan tugasnya dengan baik.” Puji menambahkan. Sejak itu asistennya mulai mempelajari pribadi Puji.
       “Tapi kita butuh wanita Ji, dan akan aneh di mata orang kalau hidup kita selalu dikelilingi pria.” Sahabatnya yang merangkap sebagai asisten masih berani bicara. Puji melirik pria itu sejenak seolah menasbihkan bahwa wanita di matanya hanya mahluk perusak.
       “Kamu itu seolah tidak pernah belajar dari pengalaman, bagaimana dengan pacarmu sekarang? Wanita yang kamu puja itu baru mau menerima lamaranmu jika kamu sudah punya rumah, mobil dan pekerjaan yang menjanjikan. Aku sih bisa saja memberimu sebuah rumah juga mobil mewah tapi tetap saja kamu tidak mau, kan dengan alasan mana ada seorang asisten bisa gampangnya punya rumah dan mobil mewah padahal baru kerja beberapa bulan di kantorku. Seandainya kamu kerja denganku sejak dua tahun lalu pasti sudah kau genggam semua itu. dan lagi aku tidak suka seorang wanita selalu berpatokan memilih pria dengan memandang apa yang ia punya.”
       “Yah, kita ketemunya juga baru. Mau diapain lagi.” Pria itu berkelit. “Satu hal lagi Ji, kurasa wajar wanita berpikiran seperti itu, mana ada sih di dunia ini wanita ingin hidup susah, tinggal di tempat kumuh, ngontrak seumur hidup atau apalah namanya. Pasti mereka akan memilih hidup sendiri kurasa.” Pria usia tiga puluhan itu kembali menambahkan. “Dari kecil aku hidup susah, orang tuaku hingga detik ini belum juga punya rumah. Kami hidup mengontrak dan pindah ke kontrak satu ke kontrak yang lainnya. Belum lagi kalau yang punya rumah mendadak ingin mengosongkan rumahnya dengan berbagai alasan, dari rumahnya sudah laku dijual, keluarganya ingin menempati atau ingin direnovasi. Aku nyaris saja tidak bisa menyelesaikan sekolah dan untungnya bisa menyelesaikan D3, kerja pindah-pindah, dari toko, kurir lalu akhirnya bertemu denganmu saat aku mengirimkan paket ke perusahaanmu.” Dimas kembali mengisahkan perjalanan hidupnya. “Jika sekarang pacarku menginginkan hidup layak setelah nanti kami menikah kurasa wajar saja karena aku sudah melihat sendiri bagaimana menderitanya ibuku selama hidupnya dengan ayahku yang sepanjang hidupnya seolah tidak punya cita-cita. Kurasa ibuku bertahan dengan beliau karena memikirkan kami anak-anaknya, bukan karena cinta beliau kepada ayahku.” Dimas seolah menyesal mengapa ayahnya menjadi pria pemalas dan hampir sepanjang hidupnya ia habiskan untuk tidur, menonton televisi dan bekerja juga hanya berpikir untuk makan besok, tidak lebih. Kok ada ya orang seperti itu? Dimas tak habis pikir.
       “Hidup ini pilihan sobat, kita harus menentukan pilihan kita sendiri karena ratusan orang sudah menentukan pilihan hidupnya masing-masing. Kamu memilih kerja satu kantor denganku dan aku memang sudah memilihmu untuk menjadi salah satu bagian dari urusan kerjaku.” Puji sudah dua kali mendengar kisah itu dari mulut Dimas tapi mengenai kemalasan ayahnya baru ia dengar.
       “Apakah untuk tidak menikah sudah menjadi pilihan yang sudah kamu tetapkan?”
       Puji melirik sahabatnya sejenak. “Dimas, sejak kapan aku mengatakan tidak pernah ingin menikah?” Puji mengingatkan pria itu. “Lebih baik kamu kuliah lagi biar otakmu lebih encer, banyak rezeki dan bisa membeli rumah buat ibumu.” Kata Puji dengan sungguh-sungguh.
       “Oh, tidak pernah ya? Aku kira kamu pernah bilang tidak ingin menikah. Lagian setiap wanita selalu saja salah di matamu.” Kilah Dimas, mengenai kuliah lagi memang sudah ia pikirkan.
       “Aku tidak pernah bilang wanita salah, ibumu mungkin satu di antara seribu wanita di dunia ini, yang lain itu... hanya saja....” Puji tidak meneruskan ucapannya. Pembicaraan usai meeting itu terhenti sampai di situ karena keduanya kembali sibuk dengan pekerjaan masing-masing dan Puji memang tidak tertarik untuk meneruskannya.
       Seolah ingat sesuatu Dimas kembali ke meja Puji. “Ji, waktu meeting dengan perusahaan eksport import dua hari lalu ada seorang wanita menegurmu, apa kalian sudah saling kenal sebelumnya?”
       Puji mengangkat wajahnya dari layar laptop di mejanya. “Wanita? Wanita yang mana?”
       “Itu, CEO perusahaan partner kita. Kita sedang menjalankan kerja sama dengan perusahaannya dalam eksport minyak wangi.”
       “Menegur? Apakah setiap orang menegur itu sudah saling kenal?” sahut Puji dan kembali menekuni pekerjaannya namun ucapan Dimas memancing ingatan Puji kepada wanita yang sejak dua hari ini lumayan mengganggu ketenangannya dan setiap bayangan sosok itu muncul ia buru-buru membunuhnya sebelum terbunuh.
       “Dia wanita mandiri yang jarang ditemukan, punya karakter kuat dan daya tariknya membuat pria lupa statusnya. Masih muda, cantik alami. Ehmm... kalau saja aku masih muda dan belum punya pacar.” Tambah Dimas sembari meninggalkan meja Puji.
       “Dimas.....!!!”
       Dimas menoleh sekilas lalu mengangkat tangannya dengan menunjukkan dua jari pertanda peace. Ia tahu Puji sangat tidak suka dengan ucapannya tadi. Pria tiga puluhan itu masih tidak mengerti apa alasan Puji tidak menyukai wanita yang ia bicarakan itu.
--- ooo ---
Yarra Qinant
       Wanita mandiri, suksesnya tidak instan, disiplin dan ke mana-mana selalu membawa spray antiseptik dan alergi debu. Selain gila kerja selalu menggunakan waktu luang dengan membaca buku apa saja. Tidak memilih teman bergaul tapi agak selektif jika berurusan dengan pria. Menggunakan sopir dengan satu alasan, yaitu ingin tetap melakukan sesuatu di dalam mobil setidaknya membaca buku serta tidak bisa lepas dari benda ajaibnya yaitu gadget.
       Anak tertua dari tiga bersaudara, punya dua adik pria yang masih kuliah dan satu lagi duduk di bangku SMA dan kedua orang tua masih aktif kerja tidak pernah mendesak Yarra untuk segera menikah karena segala sesuatu ada di pilihan Yarra.
       Tiap hari ibunya selalu menelepon atau mengirim BBM sekedar mengatakan ia sayang sama Yarra, dan seminggu sekali ia berkunjung ke rumah Yarra. Kedisiplinan Yarra menurun dari ibunya. Meski sebagai wanita karir ia berhasil mendidik ketiga anaknya dan suaminya yang berprofesi sebagai TNI amat sangat membantu.
       Meski Yarra dipanggil temannya sebagai miss resik tapi adik pria yang pas dibawahnya tidak demikian. Ia slebor, santai dengan gayanya sendiri, tidak bisa dipaksa bahkan mandi bisa hanya satu kali dalam sehari meski otaknya tetap encer tak membuat Yarra menyukai adiknya itu karena di benaknya pria itu tak bisa lepas dengan kebiasaan ‘jorok’-nya. Setiap kali ia komplain adiknya selalu mengatakan ia nyaman dengan kebiasaannya.
       Pernah suatu kali Yarra tugas ke luar kota adiknya minta izin untuk main dan mengajak teman-temannya ke rumah, sayangnya sebelum acara mereka selesai Yarra sudah kembali. Rumah berantakan membuat pengurus rumah sibuk sehari semalam dan sejak itu Yarra tidak pernah lagi membolehkan adiknya membawa teman ke rumahnya.
       Siang itu di kantin Yarra memutuskan mengajak Bety untuk makan siang, seperti biasa sebelum duduk Yarra mengambil tissu dan mengelap kursi yang akan ia duduki selanjutnya meja di mana ia akan meletakkan kedua tangannya sebelum membuat pesanan. Bety mengamatinya sejenak lalu berkomentar.
       “Hei, ini ruangan ber-AC dijamin tidak ada debu yang menempel dan pelayan di sini selalu rajin membersihkan tempat di mana para pelanggannya akan duduk.”
       “Kuman itu selalu ada di setiap tempat.” Sahut Yarra tanpa menatap Bety dan setelah yakin tempatnya bersih baru ia duduk. Ia menatap wajah sahabatnya. “Mau makan apa?”
       “Makanan yang paling enak di sini.”
       “Yang paling nikmat di sini belum tentu sesuai dengan seleramu.” Goda Yarra. “Seperti biasa, ya?” usul Yarra.
       “Aku tidak mau yang biasa karena saat ini aku sedang ingin pizza keju yang pedas.” Sahut Bety yang selama ini seringkali makan siang dengan roti bakar plus kopi late bersama Yarra.
       “Baiklah, tidak ada salahnya makan pizza di musim hujan.”
       Pelayan menghampiri meja mereka dengan cepat Yarra memesan pizza keju ukuran medium dan tetap dengan kopi late.
       Yarra mengambil ponsel dari tasnya setelah di tangan ia melirik Bety seolah ada yang kurang dari isi gadget-nya.
       “Kenapa aku tidak punya nomor Puji, ya?”
       “Dia lagi, mahluk itu lagi.” Keluh Bety.
       “Bet, bisa nggak sih kamu sedikit saja memahami perasaanku?” ujar Yarra. “Dulu, dari kelas satu sampai kelas tiga SMA aku satu kelas dengannya. Waktu naik kelas dua kami sama-sama mencalonkan diri jadi ketua OSIS tapi setelah tahu namaku ada di daftar calon ia mengundurkan diri dan sampai detik ini aku tidak tahu apa alasannya mengundurkan diri.” Yarra kembali bernostalgia.
       “Mungkin dia tidak mau bersaing dengan wanita.” Tebak Bety asal bicara.
       “Mungkin kamu benar, tapi sepintas aku dengar dari salah satu temanku ia tidak akan mundur jika calon wanita itu bukan aku. Tapi aku tetap dipilih sih.” Kata Yarra tanpa mengandung nada bangga dalam ucapannya.
       Pesanan mereka datang sebelum menikmati Yarra kembali bicara. “Aku ingin sekali bertemu dengan Puji, lagi.” Kembali ia menatap Bety. “Kamu bisa bantu kan, Bet?” ia memohon dan Bety belum pernah melihat Yarra seperti itu membuatnya prihatin. Yarra bukan perawan tua karena ia baru saja menginjak usia 26 tahun. Sudah bertemu dengan puluhan pria sukses dan wanita-wanita berbagai kalangan dengan selera masing-masing, pesta sana-sini, dan membicarakan pasangan-pasangan mereka. Semua membicarakan kelebihan dan kesuksesan mereka seakan tidak ada satu hal pun kepahitan hidup yang mereka alami. Tapi Puji adalah pria yang berbeda di mata Yarra, ia tidak bisa ditebak, cool, tidak pernah membicarakan kesuksesan yang ia capai karena sepertinya ia lebih sukai orang menilai dirinya dari caranya sendiri.
       “Akan aku pikirkan, pizza panas ini membuatku tidak bisa berpikir.” Jawab Bety karena perutnya sudah berteriak minta diisi.
       “Benar ya, Bet. Aku menunggu kabar darimu secepatnya.” Tambah Yarra seolah Puji adalah pria paling sempurna di dunia ini.
       mereka memang sudah menjalin kerja sama meski selama ini bukan Puji yang menangani. Dari info sedikit yang ia dapat Puji adalah pemilik baru dari perusahaan tersebut. Bety memang harus hati-hati karena Yarra adalah sahabat yang ia kenal sudah puluhan tahun, ia tidak ingin Yarra jatuh ke dalam pelukan pria yang tidak ia kenal dengan baik.
**
       Sebelum pulang Bety mencari nomor ponsel asisten Puji di file-nya. Setelah menemukan nama Dimas langsung ia hubungi.
       “Halo?”
       “Ya, ini Bety, kan?” sepertinya pria itu sudah menyimpan nomor Bety.
       “Betul. Bisa ketemu?”
       “Kapan? Sore ini? Di mana? ada hubungannya dengan urusan kerja, kan?”
       Alamaaak, orang ini banyak sekali bertanya.
       “Nanti aku SMS alamatnya.” Bety memutuskan telepon setelah yakin Dimas mengiyakan ajakannya untuk bertemu.
       Bety memutuskan untuk tidak pulang bersama Yarra dengan alasan ingin membeli sesuatu yang dibutuhkan Zizi. Dan seperti biasa Yarra selalu percaya dengan kata-kata Bety yang memutuskan untuk pulang bersama sopirnya.
       Tidak sampai sepuluh menit Bety sudah tiba di lokasi, belum sempat ia pesan minuman Dimas sudah muncul di hadapannya. Pria itu menghampiri Bety dan mengulurkan tangannya.
       “Apa kabar?”
       “Baik.” Sahut Bety singkat. “Anda juga?”
       “Saya juga baik, saya pikir kamu datang bersama teman.” Mereka sudah duduk dengan dibatasi meja. “Sudah pesan makanan?”
       “Belum, saya ingin pesan jus alpukat saja. Anda?”
       “Panggil Dimas saja.” Usul Dimas ingin terkesan santai. Bety mengangguk. “Apa kabar dengan Yarra?” tanya Dimas dengan agak mengejutkan Bety namun Bety tidak ingin membesarkan masalah itu dan menganggap itu sekedar pertanyaan seorang rekan kerja saja dengan begitu ia merasa lebih santai untuk bertanya tentang Puji kepada Dimas.
       “Yarra baik-baik saja. Apa aku bisa bertemu dengan Puji? Aku harap kamu bisa mengatur pertemuanku dengan bosmu itu, Dimas?” Bety berharap Dimas tidak berpikiran macam-macam.
       “O, o, apakah kamu tertarik dengan Puji? Selain sebagai bos ia juga temanku meski kami belum lama kenal.” Tetap saja Dimas punya pikiran yang tidak diharapkan Bety.
       “Ngaco kamu! Aku sudah punya Zizi.” Bety langsung membantah.
       “Zizi? Siapa itu Zizi?”
       “Tidak usah dibahas.” Bety menyudahi pembicaraan tentang Zizi yang amat sangat ia cintai.
       “Jadi?” jus pesanan mereka sudah tiba di atas meja. “Maksud pertemuan ini hanya untuk mengatur pertemuanmu dengan Puji?” tambah Dimas.
       Bety menyeruput minumannya sejenak lalu menatap Dimas. “Ya, hanya kamu yang bisa membantuku. Aku menunggu kabar darimu secepatnya.”
       “Ada apa sebenarnya? Boleh aku tahu sesuatu?”
       “Sesuatu apa?” Bety kembali menikmati jusnya seolah ingin buru-buru menghabiskannya lalu meninggalkan tempat makan itu.
       “Yah, tentang tujuanmu untuk bertemu dengan Puji.”
       “Maaf, aku tidak bisa mengatakannya padamu tapi yang pasti tidak ada hubungannya dengan pekerjaan.”
       “Mungkin kamu benar, aku juga tidak tahu banyak tentang Puji karena bergabung di kantornya masih dalam hitungan bulan. Baiklah, aku akan usahakan agar kamu bisa bertemu dengan Puji secepatnya. Aku berharap tujuanmu bertemu Puji dengan niat yang baik.” Kata Dimas dari ucapan itu Bety bisa melihat kalau Dimas sangat menjaga bosnya.
       Bety menciptakan sebuah senyum setelah melepas kepergiaan Dimas. Ia berharap Dimas segera memberikan kabar agar ia tidak pusing lagi menghadapi Yarra yang tiap hari membicarakan Puji, di kantor, di jalan bahkan di tempat makan. Rasa penasarannya tentang Puji makin jadi setelah tahu Yarra sangat memuja pria itu. sedang sepintas ia bisa melihat kalau Puji bukanlah pria yang pas untuk Yarra. Ia khawatir Yarra salah memilih tempat untuk melabuhkan cintanya. Ia tahu Yarra jika sudah sakit hati susah disembuhkan. Ia tidak ingin urusan kantor akan terbengkalai andai Yarra patah hati, semua akan berimbas dengan orang-orang terdekatnya. Meski memiliki kinerja yang tidak diragukan lagi Yarra terkadang susah untuk menjadi pribadi yang profesional dengan teman dekatnya. Tak jarang ia sering kena omel Yarra hanya karena hal kecil jika hatinya sedang tidak enak. Tapi untuk urusan ke klien ia bisa menjadi pribadi yang susah ditandingi.
---ooo---
Pengenalan
       Pertama kalinya Bety melakukan pekerjaan diluar pengetahuan Yarra padahal sangat erat hubungannya dengan Yarra tapi ia tidak peduli karena semua yang akan ia lakukan adalah untuk Yarra.
       Pria cool bernama Puji itu sudah duduk bersama Bety, di mata Bety pria itu terkesan agak aneh dari namanya saja sudah terdengar aneh. ‘Kaganga’ mengapa tidak ‘Gangga’ saja sekalian. Pikir Bety.
       “Pasti ada hal penting yang ingin Anda sampaikan kepada saya karena sudah capek-capek menemui Dimas untuk bertemu.” Kata Puji di telinga Bety terdengar formal. “Apakah ada urusan kerja sama dengan kantor?” lebih formal lagi.
       “Ini bukan meeting jadi tidak ada hubungannya sama sekali dengan kantor.” Bantah Bety. “Kalau menyangkut urusan kantor pasti ada campur tangan bos saya karena saya adalah rekan kerja beliau sekaligus tangan kanannya.”
      Puji mengukir senyum dan menyandarkan punggungnya di sandaran kursi agar terlihat rileks dan ia memang sudah rileks menghadapi Bety. Kehadiran Bety mau tidak mau membawa pikirannya ke sosok Yarra. Sosok itu sudah benar-benar mengacaukan otaknya.
       “Anda kenal Yarra?” Bety langsung ke titik permasalahannya bertemu dengan Puji.
       “Yarra? Bukankah dia itu bosmu?”
       “Di kantor dia memang bos saya tapi di luar dia rekan dan bisa juga disebut teman.”
       “Ya, saya kenal. Memangnya kenapa?”
       “Anda menyukainya? Oh, maksud saya jika Anda belum menikah.”
       Untuk kedua kalinya Puji tersenyum namun bukan senyum mengejek, itu yang Bety tangkap. Bety menunggu pria itu bicara dan menanggapi pertanyaannya. Pertanyaan Bety memang kurang etis di kalangan wanita tapi dia harus menanyakan itu.
       Puji mengamati Bety dengan seksama lalu mulai bicara serius. “Apa dia pernah bicara tentang saya kepada Anda?” puji meletakkan kedua tangannya di atas meja. Pertanyaan itu memaksa Bety tersenyum karena terkesan ada nada penggosip di dalamnya, lalu untuk sejenak ia menikmati kopinya.
        “Menurut Anda?” Bety balik memancing Puji dengan pertanyaan yang tidak kalah berat.
       “Bety,” Puji menyebut nama wanita itu dengan nada lembut. “Sebenarnya apa yang ingin kita bicarakan di tempat ini?” sekilas Puji mengamati suasana tempat nyaman itu, tidak ada yang ia kenal selain Bety. Ia jarang sekali makan bersama wanita apalagi hanya berdua seperti saat itu.
      “Pertanyaan pertama saya tadi adalah maksud dari sebenarnya, tapi kamu malah balik bertanya.” Bety menghela napas panjang dengan harapan pertemuannya dengan Puji hari itu bukanlah sebuah kesalahan.
       Puji mengambil ponselnya, ia menyimaknya sejenak lalu kembali ke wajah Bety.
       “Ada telepon?” tanya Bety mengira Dimas sedang menelepon atau mengirim pesan kepada Puji untuk sekedar menanyakan apakah mereka sudah bertemu.
       “Tidak, bukan siapa-siapa.” Ia kembali ke wajah Bety. “Saya memang suka dengan Yarra.” Puji memberi jawaban dari pertanyaan pertama Bety. Bety mengamati wajah Puji seakan mencari kejujuran dari ucapan pria itu. “Kau meragukanku?” spontan Bety tersenyum karena Puji tahu apa yang baru saja ia pikirkan. Belum pernah ia merasa terjebak seperti itu sebelumnya. “Saya belum menikah, jika Yarra masih single juga saya ingin menjalin hubungan serius dengannya.”
       Ehmm... percaya diri sekali pria ini. Sabar Bety, jangan langsung percaya begitu saja dengan mulut pria tampan apalagi sukses.
       “Ho... ehmm... saya terkejut, maksud saya bagaimana seandainya Yarra sudah punya kekasih?”
       “Tidak masalah, berarti dia bukan untuk saya tapi kalau dia sedang kosong saya ingin menjadikan dia kekasih saya atau mungkin akan saya lamar untuk menjadi istri saya.”
       “Oh, ya? Apakah saat ini kamu juga sedang tidak punya teman wanita yang dekat? Maksud saya pacar.”
       Kata-kata Bety terlalu gampang ditangkap oleh Puji membuatnya mengambil kesimpulan sendiri.
       “Kamu mau bantu saya?”
       “Bantu apa?”
       “Maukah kamu memberitahukan semua hal tentang Yarra?” kata Puji dan kali ini ia melihat kening Bety agak berkerut. “Jangan salah paham dulu, saya menyukai Yarra dan tidak ada salahnya kalau saya tahu apa-apa yang ia sukai dan tidak. Simple, kan?”
       “Oke,” Bety mulai melunak. “Dengan satu syarat, apapun yang kita bicarakan ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan pekerjaan.”
       Puji melirik ponselnya. “Ya, saya janji.” Ucapnya dengan nada pasti.
       “Sebelumnya saya ingin tanya satu hal, apa tujuanmu menanyakan itu?”
       “Saya ingin memberikan kejutan sama dia, terus terang dari SMA saya sudah menyukai dia tapi sayangnya kami tidak pernah bertemu setelah itu.”
       Bety tersenyum tipis karena Yarra pun mengatakan hal yang sama, siapa tahu mereka akan berjodoh. Pikirnya.
       “Yarra menyukai kopi late.....” Bety sudah memulai.
       “Apalagi...?” kata Puji dengan nada sabar dengan hati yang mulai berdebar tidak menentu seolah Yarra sedang duduk di sebelahnya.
       Bety pun mulai bicara lancar seakan tidak ada beban sama sekali. “Dia alergi dengan debu dan selalu membawa spray anti septik di dalam tasnya. Aku sering menyebutnya miss resik, Tidak suka bergosip, disiplin, menyukai pria pekerja keras dan berpikiran maju, wataknya keras, tidak plin plan, suka berpakaian simple semi fornal, makanan fovoritnya roti bakar, menikmati kopi late minimal tiga gelas sehari, tidak begitu suka mol kecuali datang sebulan sekali sekedar untuk memborong pakaian kantor, dan lebih memilih cafe sepi dengan segelas kopi, membaca buku ditemani alunan musik klasik.” Bety berhenti sejenak untuk menikmati kopinya yang masih tersisa. Puji pun melakukan hal sama meneguk kopi cappuccinonya dan kembali menatap Bety karena masih meminta wanita itu meneruskan ceritanya tentang Yarra, ia yakin masih banyak yang belum diutarakan sebab Bety bukan saja kaki tangan atau rekan di kantor Yarra.
       “Hanya itu?” pancing Puji lagi.
       “Sepertinya kau penasaran sekali tentang Yarra.”
       “Setelah ibu saya, Yarra adalah wanita kedua yang kehidupannya ingin sekali saya ketahui di dunia ini.” Jelas Puji.
       “Ibu, kamu?” alis Bety bertaut tanda tidak mengerti.
       “Tidak usah bahas ibu saya, kita sedang bicara tentang Yarra. Teruskan...”
       Bety memberitahukan semua hal tentang Yarra, merek kosmetik, model baju tidur, nama pasta gigi, sikat gigi, sabun, samphoo, termasuk ke hal yang sangat pribadi yaitu merek pembalut yang Yarra pakai. Bety memang keterlaluan, tapi ia harus memberitahukan itu karena Puji memang memintanya.
       “Saya pikir saya ini sudah gila, kenapa hal yang sangat pribadi saya tuturkan semuanya kepadamu.” Bety tidak bisa menarik lagi semua ucapan yang telah ia keluarkan.
       “Jangan berpikran seperti itu, saya yang keterlaluan. Saya menyukai Yarra dan tidak ada maksud saya untuk merendahkan kamu ataupun Yarra. Semua hal yang telah kamu katakan tadi sangat penting untuk saya. Saya ingin mengajak Yarra ke sebuah tempat paling indah di dunia ini, untuk itulah saya harus mengetahui semuanya.”
       “Maksud kamu?”
       “Saya akan membawanya berlibur untuk beberapa hari, dan saat itulah saya akan utarakan perasaan dan isi hati saya padanya.”
       “Ow.... so sweet.” Bety tak bisa menyembunyikan rasa senangnya mendengar niat Puji. Pasti Yarra juga akan sangat senang. Pikirnya.
       Puji meraih ponselnya yang dari tadi menyala, ia mematikannya karena menganggap semua yang Bety katakan sudah cukup membantunya.
       “Satu hal yang ingin saya minta ke kamu, saya ingin mendekati Yarra tapi saya mohon kamu seolah tidak tahu. Bisa? Tolonglah.....” pinta Puji.
       “Satu hal juga yang ingin aku minta ke kamu,”
       “Baiklah, apa?”
       “Jangan pernah sakiti Yarra apapun alasannya.”
       “Ya, saya janji.”
**
       Setelah meeting berikutnya Puji mulai mengajak Yarra untuk makan siang berdua, tanpa rasa curiga kepada Bety sama sekali Yarra mengikuti ajakan Puji dengan perasaan yang sudah ia kendalikan. Seperti yang pernah Bety kisahkan sebelumnya, Puji bisa melihat bagaimana Yarra bersikap di meja makan, sebelum menikmati sesuatu meski yakin sendok sudah bersih ia masih saja mengelapnya dengan tissu.
       Bukan itu saja, sebelum memegang makanannya ia pun menyemprotkan cairan antiseptik yang ia keluarkan dari dalam tasnya. Puji memang tidak merasa terganggu dan mengamati apa saja yang Yarra lakukan tanpa berkomentar sama sekali apalagi Yarra tidak terlalu ngotot meminta Puji melakukan hal yang sama, ia membantu Puji mengelap sendok untuk Puji.
       “Terima kasih.” Kata Puji dengan tulus. Yarra hanya tersenyum.
       “Tidak usah berterima kasih.” Sahut Yarra. “Nggak nyangka ya bisa bertemu lagi setelah sekian tahun tidak pernah terpikir sebelumnya.
       “Ya, karena hidup bukan untuk dipikirkan tapi dijalani saja. Kamu tidak jauh berbeda dari sejak sekolah dulu, hanya saja sekarang lebih elegan, lebih sukses dan tetap.....”
       “Apa?” kata Yarra karena Puji tidak meneruskan ucapannya.
       Puji tersenyum. “Tahu kenapa dulu aku mundur dari calon ketua OSIS?”
       “Ya.. kenapa?” kata Yarra dengan tidak sabar untuk mengetahui hal itu sebab ia sungguh penasaran.
       “Sejujurnya aku tidak punya alasan yang tepat untuk mundur waktu itu, hanya saja aku merasa bersyukur kamu yang maju karena aku seolah-olah merasa kita punya misi yang sama dan dirimu sudah cukup mewakili diriku. Hanya itu yang ada dipikiranku saat itu.”
       “Sesimpel itu?” Yarra tidak akan tersanjung dengan uraian Puji meski terkesan memuji.
       “Ya.”
       Kali ini Yarra yang tersenyum, dan mereka mulai menikmati santap siang mereka. Sekali-kali Puji menikmati wajah Yarra hal itu membuat Yarra merasa salah tingkah.
       “Tidak ada yang marah aku mengajakmu makan siang ini, kan?” kata Puji akhirnya membuat Yarra mengalihkan wajahnya dari roti bakar yang masih hangat di mejanya.
       “Marah?”
       “Ya, pacarmu akan menembak mati aku kalau tahu saat ini aku sedang menatap dirimu.”
       “Mungkin, dan setelah itu ia akan masuk penjara tapi aku tidak bisa membantunya karena aku juga salah.”
       “Hoho.” Puji yang jarang makan sama wanita merasa sedikit canggung karena keberadaan Yarra dengan Bety sangatlah berbeda namun ia tidak ingin memperlihatkan hal itu kepada Yarra.
       Yarra tidak suka dengan komentar Puji dengan kata hoho itu namun ia pastikan Puji sedang mengetesnya.
       “Kau sedang mengujiku dan mengatakan kalau sebenarnya aku sedang tidak punya kekasih?”
       “Kita sama, makanya aku mengajakmu ke sini karena aku ingin kenal lebih dekat dengamu. Kita tidak perlu mengasihi diri kita sendiri karena kita berhak mendapatkan yang terbaik buat kita. Bukan masalah tidak punya tapi belum menemukan yang terbaik, dan saat ini aku merasa kamu adalah wanita yang aku inginkan selama ini. Maaf kalau aku terlalu lancang.” Ujar Puji panjang lebar membuat Yarra terdiam agak lama lalu ia meneguk latenya terasa nikmat melewati tenggorokannya.
       Puji melakukan hal sama detik berikutnya ia mengamati ruangan romantis itu yang sengaja ia pilih untuk makan siang bersama Yarra.
       “Aku harap kamu menyukai tempat ini. Aku menemukannya minggu lalu dan hampir tiap hari aku datang ke sini, kalau tidak siang pasti malam.” Tambah Puji memaksa Yarra ikut menyimak ruangan itu, tidak besar namun terkesan personal. Lampu yang menyala tidak terlalu terang dan bernuansa Itali. Yarra memang baru pertama masuk ke sana, secara selera ia mengakui Puji memang punya selera bagus.
       Yarra kembali menatap Puji. “Lumayan.” Ia tidak mengatakan tempat itu cukup bagus tapi cukup lumayan. Matanya beralih ke jemari Puji yang sedang memegang gelas kopi di atas meja itu. kuku-kuku Puji terlihat pendek dan yang lebih penting sangat bersih. Yarra sendiri tidak memanjangkan kukunya karena menurutnya hanya akan membuat sarang kuman meski ia tidak pernah menyentuh tanah. Dari kuku saja sudah memberikan nilai tambah pada diri Puji untuk Yarra. Puji tahu kalau Yarra sedang mengamatinya, apakah Yarra juga tahu apa yang sedang Puji pikirkan?
**
       Pertemuan semakin intens, di saat weekend Puji mengajak Yarra ke Mall bukan menemani belanja tapi pure jalan-jalan layaknya anak remaja pada umumnya lalu mengakhirinya dengan menonton film di bioskop.
       Tak sampai di situ, mereka pun mengisahkan tempat apa yang paling ingin mereka kunjungi di dunia ini. Yarra mengatakan ingin sekali mengunjungi negeri Tibet karena negara lain sudah sering ia lihat sedangkan Puji hanya ingin berlibur di istana pribadinya.
       “Aku sudah jalan-jalan ke Eropa dan menilhat nyaris semua negeri di dunia  dan bagiku hanya ada satu tempat yang paling indah di dunia ini.”
       Yarra menatap Puji seolah ingin menanyakan di mana tempat itu.
      “Suatu saat aku ingin sekali mengajakmu ke sana.” Mata Puji berbinar mengisyaratkan bahwa tempat itu tidak ada duanya.
       “Terima kasih, tentu saja aku ingin ke sana. Di mana tempat itu?”
       “Masih di Indonesia tapi tempat itu laksana sorga bagiku.”
       Yarra tersenyum seakan ingin segera Puji mengajaknya ke sana, sepertinya tidak butuh waktu lama kalau mereka akan ke tempat itu karena lokasinya masih di dalam negeri.
*
       Puji mengisahkan kebersamaannya dengan Yarra kepada Dimas membuat pria itu terus saja menggodanya.
       “Aku rasa kau mencintai Yarra.”
       “Tidak, aku tidak mencintainya.”
       “Hei sobat, tidak ada alasan bagi pria tidak mencintai wanita seperti Yarra. Kamu mulai mengantarnya ke Mall, menemaninya makan siang terkadang makan malam bersama, apalagi namanya kalau bukan cinta.
       “Sekali lagi aku katakan aku tidak mencintai Yarra.” Puji tetap ngotot. “Menyukainya, mungkin.” Ia menambahkan.
       Tak demikian dengan Yarra yang merasa mulai akrab dengan Puji setiap hari pria itu menanyakan kabarnya, menemaninya makan, nonton bahkan duduk santai di toko buku sambil mencari buku-buku bermutu sekaligus membicarakan bisnis. Setiap kali habis bertemu dengan Puji tak lupa ia ceritakan kepada Bety.
       “Aku mulai merasa nyaman dengan Puji.” Yarra selalu terlihat semangat dan segar akhir-akhir ini membuat Bety pun ikut bahagia namun ia masih ragu dengan ketulusan Puji kepada sahabatnya itu.
       “Apa dia sudah mengatakan perasaanya dengan kata-kata ‘aku mencintaimu?’ Yarra, aku masih ragu dengan perasaan pria itu terhadapmu.”
       “Aduh Bety... apa zaman sekarang kata-kata itu masih diperlukan? Aku sama Puji itu bukan anak belasan tahun lagi, sikap, perbuatan dan perhatian yang ia tunjukkan selama ini membuatku tak perlu menanyakan hal itu.”
       Mendengar ucapan Yarra membuat Bety menghela napas panjang dan semakin khawatir kalau cinta akan membuat Yarra melupakan dirinya sendiri.
       “Apa seleramu dengannya sama?”
       “Kita sama-sama pengusaha sepertinya tidak sulit menyatukan selera andai tidak ada kesamaan itu, bukankah begitu?” Yarra tersenyum tapi Bety malah mengangkat kedua bahunya seolah yang Yarra katakan itu tidak akan sesimple yang ia ucapkan. Dalam hati ia akan menemui Puji dan berharap bisa berkunjung ke rumah pria itu suatu hari.
       “Apa Puji pernah mengajakmu ke rumahnya?”
       “Hubungan kami terlalu dini untuk berkunjung ke rumah, meski tadi aku mengatakan kami bukan anak SMA atau mahasiswa aku rasa masih perlu waktu, Puji juga belum pernah cerita tentang keluarganya sama halnya denganku. Semua ada waktunya kok.” Bantah Yarra. “Ia bilang suatu saat akan mengajak aku ke tempat yang paling indah di negeri ini, yang ia sebut sorga untuknya. Aku jadi penasaran tempat seperti apa itu.”
       “Oke, baiklah. Semoga hubunganmu dengan Puji terus berjalan indah.” Harap Bety karena ia tahu dengan pasti kalau Yarra itu memiliki pribadi yang jarang dimiliki wanita lain.
*
      Puji mengajak wanita yang bekerja di rumahnya ke sebuah pusat perbelanjaan mewah, yang melihat mungkin menganggapnya aneh. Puji memberikan wanita itu sebuah catatan agar mengambil semua yang ada di catatan tanpa satupun yang boleh dilewatkan. itu pertama kalinya Puji membawa wanita itu ke sebuah toko membeli keperluan sehari-hari sampai ke tempat pakaian.
       Wanita yang diajak belanja menurut saja dan saat ia harus mengambil barang-barang yang dianggapnya aneh ia tidak berani bertanya apalagi menghadapi Puji yang jarang sekali bicara dan bisa-bisa ia salah tanya akan berakibat fatal baginya.
       Belanjaan itu lumayan banyak dan tidak ada yang tahu untuk siapa barang-barang itu Puji beli.
       Keakraban Puji dengan Yarra terus berlanjut Yarra tidak peduli apakah Puji akan mengutarakan perasaannya atau tidak yang penting ia bisa terus bersama dengan pria itu merupakan satu hal yang tidak bisa digantikan dengan apapun. Kata indah hanya untuk telinga namun sikap dan perhatian pria itu sudah menunjukkan segalanya, itu rasa yang sukar diungkapkan. Jika nanti Yarra menanyakan hal itu bukan tidak mungkin Puji akan meragukannya dan mengatakan ‘apakah sikap dan perhatikanku tidak cukup untuk semua itu?’ andai itu sampai terjadi bisa-bisa hubungan mereka akan renggang Yarra tidak bisa membayangkan hal itu. Yarra membiarkan hubungannya berjalan sesederhana mungkin tanpa harus bertanya ini dan itu, dan saat Puji mengatakan akan mengajaknya mendatangi tempat itu Yarra tidak mengelak lagi.
       “Kamu serius?”
       “Tentu saja, kita akan berlibur di sana sekitar satu minggu.” Kata Puji sangat serius. “Kamu bisa membereskan dulu urusan kantor dan kalau ada masalah yang belum selesai bisa diselesaikan dulu sampai kamu bisa menitipkan beberapa hal pada Bety untuk yang bersifat tidak terlalu fatal.” Tambah Puji. “Kalau kamu sudah siap, kita akan berangkat.” Puji mengakhiri ucapannya.
       “Hmm... di tempat yang kamu bilang sangat istimewa itu ada siapa saja?” wajah Yarra yang penuh pertanyaan itu diliputi rasa khawatir meski ia membanyangkan ada keindahan tersendiri kalau bisa terus berdua dengan Puji.
       “Siapa yang kamu harapkan ada di sana?” pertanyaan mengandung penawaran.
       Yarra tersenyum tipis di benaknya membayangkan semacam bulan madu, ada seorang pelayan, pemamdangan yang indah di sekitar kediaman dan apapun yang ia inginkan tersedia di sana. Tapi hati kecilnya seakan menolak ajakan Puji karena merasa tidak layak mengikuti pria itu sebelum mereka resmi menikah.
       “Apakah kepergian kita nanti tidak dikomplain keluargamu? Dan aku mungkin agak sulit minta izin sama orang tuaku.”
      “Mengenai izin dari kedua orang tuamu itu tanggung jawabku, kapan kamu mengajak aku menemui mereka? Dan mengenai keluargaku, yang aku miliki hanya ayahku dan beliau telah  pergi untuk selamanya sejak aku duduk di bangku SMA.”
       “Oh,” Yarra baru kali pertama mendengar tentang keluarga Puji. Apakah yang Puji katakan itu sebuah kebenaran? Yarra belum bisa memastikannya.
       “Sebelum kita berlibur aku ingin mengajakmu makan malam di rumahku.” Ajak Puji  dan tawaran itu sedikit menepis kekhawatiran Yarra karena pria itu mulai membuka diri.
*
       Tiba di rumah Puji sebuah kenyamanan langsung terasa oleh Yarra. Rumah yang tidak terlalu besar namun halamannya sangat luas, di depan rumah tananam hias ditata dengan sangat rapih, di halaman samping banyak pohon kecil seperti mangga, rambutan serta pohon pepaya kesemua pohon itu sepertinya hasil pencangkokan karena terlihat pendek, lebat dan sudah berbuah. Di bagian samping belakang ada sebuah kolam renang berukuran sedang dan di dekatnya ada sebuah pondok kecil semacam tenda tempat menikmati kopi.
       Kesan alami yang ditampilkan hunian itu kental sekali. Saat masuk rumah Puji mengenalkan Yarra kepada orang-orang yang ada di sana, yang mengurus halaman, yang membantu mengurus rumah serta yang mengurus pakaian dan semua keperluannya sehari-hari. Dari semua yang ada di sana hanya ada satu wanita paruh baya selebihnya pria. Puji menyebutkan mereka sebagai anggota keluarganya meski semua tahu bahwa mereka tidak lebih dari asisten rumah tangga walaupun Puji memperlakukan mereka sangat baik tanpa membeda-bedakan makanan atau apa pun yang mereka butuhkan.
       Kesan kekeluargaan memang terasa saat mereka menyambut Yarra untuk makan malam. Kehidupan yang dijalani Puji terlihat begitu sempurna meski tidak ada orang tuanya di rumah itu. sebuah pertanyaan muncul di hati Yarra ‘apakah Puji hidup sebatang kara?’ meski serba berkecukupan? Muncul keinginan Yarra untuk mengetahui lebih banyak hal lagi tentang Puji.
       Yarra tidak mungkin mencari tahu kepada pengurus rumah karena mereka baru saja bertemu malam itu dan Puji tidak sedikitpun melepaskannya dari pandangan matanya seolah malam itu Yarra adalah wanita paling berharga di dunia. Kerahaman sikap Puji dan orang-orang rumah malam itu melupakan niat Yarra untuk bertanya lebih jauh lagi.
       Tak perlu lagi meragukan hal yang tidak berdasar, Puji sudah memperlihatkan siapa ayahnya lewat foto-foto yang ada di rumahnya, gambaran pria pekerja keras dan mengenai ibunya ia hanya tahu kisah ibunya dari almarhum sang ayah. Bagi Puji sosok ayahnya adalah pria yang mengagumkan karena menghidupi dirinya meski sebagai single parent dan tidak pernah menikah lagi setelah ibunya pergi, pria itu berhasil membangun perusahaan kecilnya dan meninggalkan warisan untuk anaknya.   
       Perjuangan Puji belumlah seberapa dibandingkan ayahnya namun satu hal yang Puji dapat dari ayahnya bahwa ‘harta adalah sebagian dari harga diri seseorang’ seorang yang menempati kontrakan bisa saja diusir lantaran telat membayar uang sewa, nyawa seseorang bisa saja dilempar dari dalam angkutan umum kalau tidak mampu membayar ongkos bahkan seseorang bisa disejajarkan dengan hewan peliharaan lantaran bergantung dengan orang yang berduit.
       “Aku akan berlibur dengan Puji, sebuah  impian yang selama ini aku harapkan.” Ujar Yarra kepada Bety membuat Bety menautkan kedua alisnya.
       “Yarra, kamu belum kenal baik dengan Puji meski dulu kalian satu sekolah itu juga tidak saling bicara. Aku tidak bisa melepaskanmu untuk pergi dengannya, pergi makan malam ke rumahnya atau sekedar kenal dengan orang-orang yang ada di rumahnya merupakan hal yang berbeda jika pergi dengannya untuk berlibur.”
       “Sepertinya kamu sangat meragukanku, tak biasanya.” Yarra memaklumi apa yang Bety khawatirkan tapi ia sebagai wanita dewasa tahu batas semua itu.
       Bety tentu tidak meragukan sahabatnya tapi Puji, ia tidak kenal baik pria dingin itu. “Yarra, kita kenal tidak satu dua tahun tapi nyaris sepuluh tahun bagaimana mungkin kamu bilang aku meragukanmu.”
       “Jadi mengenai Puji? sekali lagi aku katakan kita bukan anak kemarin, kita juga bukan mencari pacar tapi ke arah yang lebih tinggi dari itu.”
       Bety menarik napas panjang mendengar penuturan Yarra yang sudah sangat serius dengan Puji yang masih penuh misteri itu.
       “Baiklah, berapa hari kalian akan berlibur?” Bety pasrah tidak ada gunanya berdebat dengan Yarra yang sudah begitu banyak makan asam garam kehidupan, dilarang juga percuma karena dia adalah wanita dewasa yang berhak memilih hidupnya, selain itu dia juga seorang pimpinan di sebuah perusahaan jadi akan terkesan naif jika Bety banyak memberinya kritik.
       “Yah, sekitar seminggu.. dan...” Yarra tidak meneruskan ucapannya.
       “Apa...?”
       “Ehmm... jangan marah ya kalau nanti aku jarang memberi kabar.” Kata Yarra setengah bercanda.
       “O, o... sepertinya aku akan segera dilupakan.” Goda Bety tapi tidak masalah yang penting Yarra bahagia itu sudah cukup baginya.
---000---
Rasa
       Keputusan Yarra dan Puji untuk berlibur tidak ada halangan lagi, kedua orang tua Yarra telah diberi penjelasan dan Yarra sebagai wanita dewasa pastinya tahu menempatkan dirinya apalagi Puji mengatakan di tempat mereka nanti semua yang diperlukan ada termasuk yang pengurus rumah menandakan kalau mereka tidak hanya berdua di tempat itu.
       Seperti halnya dengan Yarra pun Puji mengatakan kepada Dimas kalau untuk beberapa hari ke depan tidak perlu menghubunginya.
       Dimas pastinya memaklumi hal itu karena sekeras apapun Puji mengelak mengatakan tidak mencintai Yarra sekuat itu pula keyakinan Dimas tentang perasaan Puji kepada Yarra. Ia merasa Puji bahkan bisa melompat dari ketinggian seratus meter hanya untuk Yarra.
       Semua sudah Yarra persiapkan dengan sangat matang termasuk menitipkan urusan kantor kepada Bety untuk beberapa hari ke depan.
       Yarra dibuat kaget oleh Puji karena mereka pergi bukannya mengendarai mobil atau naik pesawat dengan alasan tempat itu masih di dalam kota membuat Puji memilih helikopter apakah Puji menyewanya atau milik sendiri, Yarra tidak tahu pasti.
       “Mengapa kita harus naik helikopter?” tanya Yarra saat helikopter sudah ada di depan mata mereka. Sebuah lapangan yang tidak terlalu luas di pinggiran komplek perumahan yang tidak jauh dari tempat tinggal Puji, saat Yarra menoleh ke belakang mobil yang tadi mereka tumpangi sudah menjauh meninggalkan tempat itu. seorang pilot dan satu awaknya sudah siap di dalam helikopter. Semua tas bawaan Yarra sudah dibawa terlebih dahulu ke dalam helikopter dan Puji sepertinya tidak banyak membawa keperluannya sepertinya semua sudah dipersiapkan di tempat yang akan mereka kunjungi.
       “Negara kita khususnya Jakarta masih dihantui dengan namanya ‘macet’ jadi mana mungkin aku tega membiarkanmu menghabiskan waktu berlama-lama di tengah jalan.”
       “Apakah setiap kamu berlibur ke sana selalu naik itu?”
       “Tidak juga, ini khusus untuk kamu.”
       Yarra tidak akan tersanjung apalagi ia tahu Puji memiliki apapun yang ingin ia persembahkan untuknya. Tempat yang akan mereka kunjungi tentulah tidak mudah digapai dengan sebuah mobil, mungkin bisa di sebut sebuah villa yang tempatnya di atas gunung atau sejenisnya.
       Puji mengajak wanita itu naik ke atas helikopter yang sudah siap terbang, cuaca siang itu terik dan langit biru tak terlihat ditutup awan sedikitpun. Yarra tersenyum meski senyum itu diselimuti rasa deg-degan karena itu pertama kalinya ia naik helikopter yang rasanya pasti akan berbeda dengan pesawat yang sesungguhnya. Sosok Puji yang maskulin dengan kaus krem berlengan panjang itu membuat Yarra tambah menyukainya. Ia begitu menjaga Yarra dengan tidak berusaha menyentuhnya tapi Yarra yakin pria itu akan melindunginya. Senyum Puji yang ramah dan manis seringkali meluluhkan hati Yarra yang merasa baru kali itu benar-benar menyukai pria dalam arti yang sesungguhnya.
       Helikopter sudah meninggi meninggalkan tanah yang siap diinjak kapan saja dan akan selalu menerima apa saja diatasnya tanpa protes, seringkali kita mengira tanah itu tidak ada nyawanya tapi pernahkah kita berpikir dari tanah dan air semua tumbuhan bisa hidup. Apa yang ada di benak kita jika tanah sudah mulai longsor dan ratusan nyawa manusia bisa lenyap hanya dalam hitungan detik?
       Yarra saat ini tentunya tidak memikirkan hal itu karena pria pujaannya ada di sampingnya sekarang, di bawah terlihat pemandangan kota yang indah dari jauh namun semraut jika didekati, pemandangan kota sudah mulai menghilang memunculkan warna hijau dari daun-daun pohon. Helikopter terus terbang pohon-pohon mulai terlihat lebat sepertinya mereka memasuki pinggiran kota yang mungkin menuju sebuah bukit kecil. Yarra semakin terkesimak dengan keindahan yang ditampilkan namun keindahan yang sesungguhnya adalah keberadaan Puji di sampingnya laksana surga yang belum pernah ia rasakan. Puji meliriknya dan menciptakan senyuman terindahnya untuk sang bidadari hati membuat Yarra merasa terbang melampaui ketinggian sang helikopter seakan ia tidak ingin buru-buru helikopter mendarat di tanah.
       Namun kenyataan seringkali tidak sama dengan harapan, helikopter sudah sampai di tempat yang dituju. Suaranya yang lumayan tinggi menyadarkan Yarra bahwa mereka sudah harus menginjak tanah. Pilot dan co-pilot dengan sigap membantu Yarra dan Puji mengangkat barang bawaan mereka seolah menguatkan keyakinan Yarra kalau helikopter itu adalah kepunyaan Puji meski Puji tidak mengatakannya.
       Setelah semua selesai mereka meninggalkan Puji dan Yarra di tempat itu, sesaat Yarra melihat Puji berbicara dengan pilot dan kemudian pilot meninggalkan Puji setelah sebelumnya berjabat tangan lalu mengangguk kecil ke arah Yarra tanda ia akan pamit. Yarra membalas anggukan itu disertai senyum ucapan terima kasih.
       Yarra menghela napas lega setelah melihat sebuah bangunan kokoh meski terbuat dari kayu, tingginya tidak kurang dari dua meter. Bangunan itu tidak ubahnya sebuah rumah kuno dengan gaya moderen. pemandangan di sekelilingnya membuat Yarra terdiam sejenak tidak menyangka sebelumnya kalau di sana ada sebuah kolam yang menyerupai danau kecil dan sebuah perahu sedang terikat di tepi kolam. Bangunan itu hanya satu terletak di dataran tinggi, tidak ada hal lain yang terlihat, sepertinya Yarra dan Puji akan tinggal jauh dari manusia lain di bumi ini. Jauh dari pesta glamour, jauh dari kebisingan kota, jauh dari orang-orang yang mengutamakan benda branded bahkan jauh dari urusan pekerjaan. Tiba-tiba Yarra merasa mulai ada yang aneh, halaman yang cukup luas dengan dikelilingi pohon bambu kecil mencakup sebagai pagar halaman, tidak ada yang keluar dari rumah itu untuk menyambut mereka, sepi, Yarra mulai menyadari bahwa sebenarnya hanya ada dia dan Puji di tempat itu.
       Matahari masih tinggi dan cahaya teriknya seakan ingin memperlihatkan semua yang ada di sana, suasana sekeliling terlihat baru saja dibersihkan mungkin sudah dibersihkan beberapa hari yang lalu oleh orang yang dibayar Puji atau memang ada orang yang tinggal menetap sebagai penjaga rumah karena Puji pernah mengatakan memang ada yang mengurus rumah itu, tapi di mana mereka?
       Puji mengajak Yarra masuk dengan isyarat ramah seakan ingin memperlihatkan dunianya yang ia ceritakan selama ini. Sosok itu sudah berbeda tidak ada lagi Puji di sana yang ada hanya seorang pria yang ingin memberitahukan siapa dirinya dan apa hubungannya dengan tempat itu. Yarra mengikuti pria itu ke dalam dengan manaiki tangga kayu kokoh sekitar tujuh anak tangga, pintu sudah terbuka mungkin dibuka oleh yang membawa tas tadi dan buktinya tas-tas sudah ada di ruang tengah. Yarra dibuat terkejut karena tidak ada satupun tasnya di sana.
       “Puji? Tas, tasku ketinggalan di atas helikopter....?” Yarra panik setengah mati. Puji coba menenangkannya.
       “Emm... istirahatlah dulu, aku minta maaf atas kejadian itu dan kita...”
       “Panggil pilotnya untuk putar balik karena semua barangku ada di sana.” Pinta Yarra sambil melangkah ke depan pintu untuk mencari apakah helikopter masih terlihat atau benar-benar sudah menghilang.
       “Yarra.....” suara itu terdengar tidak berdaya seolah dia seorang pelayan di istana yang tidak bisa melakukan apa-apa tanpa ada izin dari raja. “helikopternya sudah jauh, aku tidak akan bisa menyuruhnya balik lagi karena pilotnya akan kembali ke sini minggu depan.”
       “Tapi kamu kan bisa meneleponnya.” Yarra nyaris saja menangis.
       “Aku tidak membawa ponselku.”
       “Apa...?” tulang Yarra seakan rontok dan jatuh di lantai kayu yang tebal dan licin. Ia melirik tumpukan tas yang ada di dalam ruangan itu. jika semua barangnya ketinggalan lalu apa yang ada di dalam tas-tas itu? “Kita harus kembali lagi.” Tambah Yarra karena merasa tidak bisa hidup tanpa barang-barangnya.
       “Sebenarnya semua keperluanmu ada di dalam tas-tas itu?”
       “Apakah semua barangku ada di dalam sana?”
       “Ya, tapi maksudku itu bukan barangmu asli karena aku membelikannya sebelum kita ke sini.”
       “Jadi, tasku sengaja tidak dibawa turun dari helikopter?”
       “Yarra, bukan itu maksudku. Aku hanya ingin membuatmu merasakan tempat ini adalah benar-benar baru, sehingga tidak ada satu bendapun yang mengingatkanmu kepada rumahmu, kantormu bahkan temanmu.”
       “Puji..... bagaimana mungkin kamu melakukan hal ini padaku?” Yarra merasakan dadanya mulai sesak meski udara di sana sangat segar namun tak mampu ia hirup. Yarra mulai kehilangan suasana hatinya yang tadi sempat berbunga-bunga apalagi menyadari kalau tempat yang mereka kunjungi tidak lebih dari sebuah villa besar tanpa penghuni, jauh dari kota dan jauh juga dari dusun. Yarra tidak tahu di mana lokasi mereka. “Kita harus kembali Puji, tidak peduli apakah akan naik angkutan umum sekalipun.”
       Puji melirik ke arah luar. “Apakah kamu melihat adanya jalan yang pernah dilewati angkutan umum di tempat ini?” katanya dengan nada nyaris asing di telinga Yarra.
       “Mungkin di dekat sini tidak ada tapi kita bisa jalan untuk beberapa meter ke arah yang dilewati kendaraan yang mungkin keluar masuk.” Yarra masih terus berusaha.
       Kali ini Puji melirik Yarra dengan tatapan yang tidak bisa Yarra artikan. Di mana sosok cool itu? sosok perhatian selama beberapa minggu belakangan ini. Puji kembali ke tumpukan tas dan mulai membukanya satu persatu.
       “Di mana yang lainnya? Orang yang selama ini di sini?”
       “Sayangnya mereka pulang kemarin karena ada keluarganya yang sakit.” Ujar Puji datar. Apakah Yarra percaya? Tapi melihat rumah itu yang jauh dari kesan kotor sepertinya Puji tidak berbohong, tapi apakah mereka pulang kemarin juga naik helikopter?
      
        
  
 >>>>>>>> Bersambung.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar