Selasa, 17 September 2013

VAWANA




(Sebuah Novel Fiksi Remaja)
===
    Muara Aman Tahun 1988
    Sebuah kota kecil yang ada di Kabupaten Rejang Lebong, provinsi Bengkulu. Pada tahun 1983 berdiri sebuah Sekolah Menengah Atas Negeri pertama bernama SMAN 1 Muara Aman, sesuai dengan nama kotanya. Kota Muara Aman dari Bengkulu pusat menempuh perjalanan darat sekitar empat jam. Sedangkan dari dusun Embong Panjang sekitar empat kilo meter.
    Vawana nama gadis itu, kurus, tinggi, hidung mancung dengan wajah oval dan rambut panjang yang lurus dan usianya masih dibawah enam belas tahun. Ia datang ke gedung sekolah SMAN 1 Muara Aman untuk mendaftar ulang sebagai calon murid baru di sekolah itu tanpa diantar oleh salah satu orang tuanya atau siapa pun, ia hanya datang bersama para calon murid yang lain tanpa satu pun yang ia kenal, mereka datang dari berbagai SMP yang ada disekitar lingkungan itu. Yang dari dusun Embong Panjang hanya dia berhasil masuk ke SMAN 1 Muara Aman, sedang teman se-SMP-nya atau teman-teman sedusunnya masuk ke sekolah swasta, ada yang ke SMEA, PGRI dan yang sederajat lainya. Sebab sekolah itu hanya menerima nilai NEM diatas rata-rata tanpa dites ulang.
    Vawana disambut oleh panitia penerima siswa baru, mereka adalah guru yang mengajar di sekolah itu termasuk TU juga yang meminta Vawana untuk menulis persyaratan atau berkas yang harus dikumpulkan.
    Seorang pria berusia sekitar tiga puluhan yang belakangan Vawana tahu kalau dia adalah TU di sekolah. Ia menatap Vawana sejenak. “Silahkan isi buku tamu ini.” Ujarnya karena ia duduk di barisan paling depan, di sebelahnya ada sekitar dua guru lain yang terlihat sibuk melayani para calon murid baru. Posisi mereka pas di sebelah kantor guru.
    Vawana meraih pulpen yang sudah tersedia di samping buku tamu yang telah terbuka. “Ya, Pak.” Sahut Vawana.
    “Kamu dari SMP mana?” ia menatap Vawana sejenak membuat Vawana gugup karena pertanyaan pria itu tidak bersahabat apalagi berwibawa. “Lha, ditanya dari SMP mana hidungnya malah kembang kempes begitu.” Spontan ia menggoda Vawana yang semakin gugup.
    Sambil menulis Vawana akhirnya menjawab. “Dari SMP Negeri Talang Leak.”
    “Oh, jauh juga.” Jawabnya spontan lalu ia melirik teman-teman guru yang lain sembari tertawa sedang Vawana tidak menghiraukannya lagi karena ingin buru-buru menulis namanya di buku tamu itu. Setelah selesai Vawana pun buru-buru meninggalkan tempat itu, senin besok ia sudah harus masuk sebagai siswi SMAN 1 Muara Aman.
*
    Muara Aman adalah nama sebuah perkampungan yang termasuk lumayan ramai karena ada pasar yang merupakan pertemuan kampung-kampung yang lainnya. Intinya Muara Aman adalah pusat dari semua kampung yang tidak kurang dari ratusan kampung yang ada di daerah sekitar, dan bisa dibilang sebuah kota kecil. Ada terminal, pasar tradisional sampai pasar pakaian dan tempat-tempat luar biasa lainnya.
    Vawana jarang sekali datang ke Muara Aman waktu mendaftar ulang saja ia baru dua kali menginjakkan kakinya di daerah itu, ia harus naik mobil angkutan umum sejenis angkot dengan ongkos seratus rupiah dengan jarak lebih kurang empat kilo meter dari rumahnya. Di pasar Muara Aman belum ada ojek atau sejenisnya hanya ada angkutan umum itu. Bentuknya berbeda dengan angkutan kota pada umumnya, besar kendarannya sama tapi terbuka dibagian belakangnya dengan posisi tempat duduk kiri kanan memanjang berhadapan, dengan muatan sekitar enam orang di kanan dan enam orang di kiri.
**
    Vawana dapat kelas 1-3 dan harus masuk siang hari karena sekolah masih kekurangan banyak kelas. Di siang hari ternyata ada juga anak PGRI yang memakai gedung SMAN 1 Muara Aman, sehingga Vawana tidak akan kesepian masuk siang karena anak-anak PGRI lengkap dari kelas satu hingga kelas tiga. Dan pemandangan saat jam istirahat terakhir adalah menonton anak kelas tiga yang prianya sering sekali bermain basket, itu tontonan menarik apalagi ada kakak kandung Vawana salah satu diantara pria itu. Tak jarang teman-teman pria kakak Vawana coba mendekati Vawana karena merasa tertarik tapi merasa tidak enak, sehingga mereka hanya bisa bercanda saja dari jauh tapi masih bisa didengar oleh pawana dan Vawana merasa tersanjung sekaligus segan kepada kakaknya yang cool, juga keren dalam segala hal, ia dijuluki Rano Karno di sekolah, wah senang sekali Vawana mendengar kakaknya banyak disukai orang.
    Suatu sore, Vawana pulang dan mobil sudah tidak ada yang ke dusun Vawana karena mobil hanya beroperasi hingga pukul 17.30 WIB saja sedang waktu itu hujan dan tempat menuju mobil ngetem lumayan jauh, jalan kaki sekitar sepuluh menit dari gedung sekolah. Sehingga Vawana terlambat karena kelamaan meneduh, ia ditemani oleh kakaknya beserta teman kakaknya, ada yang laki-laki ada juga yang perempuan dan akhirnya mereka memutuskan untuk pulang dengan berjalan kaki. Hujan sudah berhenti hanya saja cuaca masih mendung. Vawana dan kakaknya jarang bicara langsung tapi Vawana tahu kalau kakaknya sangat melindungi dia dari sikap dan caranya itu membuat Vawana sangat menyayangi pria itu. Disepanjang jalan mereka bercanda dan santai meski jalanan mulai gelap, ada satu dusun namanya Para Datuk, itu masih setengah perjalanan menuju rumah Vawana, tempat itu lumayan angker rumah penduduk hanya ada satu dan tidak ada lampu jalan yang menerangi jalanan… dunia gelap karena malam sudah menyambut Vawana beserta yang lainnya. Vawana dan teman-temannya hanya bisa berjalan dengan mengira-ngira saja karena sama sekali tidak ada cahaya dari langit, benar-benar gelap apalagi ada sedikit turun gerimis. Sempat membuat Vawana takut dan gemetar, ia merasa bersyukur kepada Tuhan karena ada kakaknya di sana yang menjadi pelindungnya hingga bisa melenyapkan rasa gemetar Vawana, di dalam gelap terus berjalan hanya ditemani suara-suara teman yang sama sekali tidak bisa kelihatan wajahnya, tempat gelap itu dilewati tidak kurang dari sepuluh menit. Vawana sempat menahan napas dan bisa bernapas lega setelah menemukan dusun yang sudah ada penghuninya ditambah cahaya lampu teras yang remang-remang itu sudah cukup membuat rasa senang di hati Pawana mulai timbul lagi.. untuk melanjutkan perjalanan menuju rumah, dan tiba di rumah sekitar pukul delapan malam.
    Dua hari setelah itu, Vawana ketinggalan mobil lagi, tidak ada kakaknya karena tidak masuk sekolah dan ia terpaksa diantar oleh seorang guru SMP Muara Aman. Pria itu adalah pamannya Vawana yang sudah menikah dan tinggal di Muara Aman dengan cara nge-kos. Beliau belum punya rumah pribadi sedang kedua orang tuanya tinggal di Curup, ia sepupu dekat dari ibu Vawana. Dulu saat Vawana masih bayi ia ingin mengadopsi untuk ia sekolahkan di sekolah perawat sekaligus dijadikan anak angkatnya, sebab ia suka sekali melihat Vawana kecil yang imut dan menggemaskan. Cerita itu pernah Vawana dengan dari ibunya langsung. Tapi sekarang ia sudah menikah dan punya anak sendiri.
**
    Karena sekolahnya siang hari, setiap pagi Vawana harus ke kebun karet untuk membantu ibunya menyadap karet ditemani kakak lelakinya itu. Kakak lelakinya mencari uang saku sendiri dengan menyadap karet orang tua mereka. Seorang wanita yang masih usia enam belasan menyadap karet di kebun yang pertama kali di dusun itu adalah Vawana. Seringkali ia merasa risih dilihat orang-orang yang lewat di kebunnya sebab kebun orang tua Vawana ada diperlintasan kebun orang lain. Tak jarang Vawana sembunyi di balik pohon karet kalau ada yang kebetulan lewat, tapi semangat Vawana tidak pernah surut karena ia melihat perjuangan ibunya yang tidak ada henti-hentinya bekerja untuk membantu membiayai anak-anaknya yang tidak bisa dibilang sedikit. Vawana punya empat orang adik, dua laki-laki dan dua perempuan tapi laki-laki yang satunya sudah meninggal saat usia dua tahun karena penyakit cacar. Sedangkan kakak, tiga perempuan dan tiga laki-laki tapi laki-laki yang pas diatas Vawana meninggal saat usia 17 tahun karena mengalami sakit yang cukup lama, deman tinggi dan tifus. Sedang kakak tertuanya yang nomor dua perempuan meninggal saat usia 13 bulan akibat cacar, yang nomor empat juga meninggal dengan penyakit yang sama diusia dua tahun. Setahu Vawana ia memiliki sembilan orang saudara kandung ternyata ia salah, sebab ibunya mengatakan kalau orang tuanya memiliki sebelas orang anak. Karena kedua kakak Pawana meninggal saat Vawana belum lahir.
    Sedang Bapak Vawana jarang ada dirumah, ia kerja di luar sebagai tukang bangunan dan tak jarang ia mengajak kenek dari dusun Vawana. Terkadang ia pulang tiga bulan sekali bahkan lebih. Ia mengambil borongan yang tempatnya tidak bisa dibilang dekat dari rumah, bahkan gedung kampus UNIB pun ia ikut andil membuatnya. Jadi yang ada di rumah selalu ibu Vawana dan anak-anaknya.
    Saat Vawana duduk di bangku kelas satu SMA kakak lelakinya yang paling tua sudah lulus dari sekolah dan memutuskan merantau ke luar kota, dan sekalinya pulang ia membelikan beberapa kaleng susu untuk keluarga, adik-adiknya serta orang tuanya. Ia menyadari kalau keluarganya jarang sekali menikmati minuman bergizi seperti itu. Vawana menjadi terharu dan senang setiap kali kakaknya pulang. Kakak perempuan Pawana tidak meneruskan sekolah, ia hanya tamat SD karena waktu ingin melanjutkan sekolah semua sawah yang ada di kampung Vawana dilanda serangan hama wereng membuat para petani tidak bisa memetik hasil panen, termasuk sawah kedua orang tua Vawana. Kakak Vawana itu tidak menyadap karet di kebun tapi ia mengurus rumah, urusan masak dan mencuci pakaian Vawana dan adik-adiknya beres ditangannya. Ia pastilah sangat ingin sekolah apalagi ia termasuk anak yang jenius, entah mengapa Vawana benar-benar tidak mengerti apakah hanya karena kasus wereng itu ia tidak bisa sekolah atau ada hal lainnya..?
    Di tahun 1988 itu juga kakak perempuan Vawana menikah diusia 24 tahun. Acara resepsi pun dilaksanakan dengan meriah sekali.
**
    Setelah semester pertama anak kelas 1-3 mendapat giliran masuk pagi, meski sedih tidak bisa bersama kakaknya lagi Vawana tetap semangat karena bergabung dengan semua anak-anak siswa yang murni SMAN 1 Muara Aman tanpa sering kepanasan di kelas saat menerima pelajaran diatas jam dua siang. Waktu keluar jam isirahat, Vawana bersama teman sebangkunya ke kantin sekedar menikmati makanan yang hari itu kebetulan ibunya memberi sedikit uang jajan dan itu jarang sekali terjadi, karena terkadang uang untuk ongkos naik angkutan saja ibunya sering meminjamkan dulu kepada warung sebelah rumah mereka dan akan mengembalikannya setelah menjual hasil dari menyadap karet. Tapi Pawana tidak pernah minta uang jajan kepada ibunya, apakah karena ia tahu ibunya tidak punya uang atau ia memang tidak pernah meminta!? Yang pasti ia tahu bapaknya tidak ada di rumah, yang rela meninggalkan rumah berbulan-bulan untuk menghidupi keluarga meski ibunya juga tidak pernah berhenti membantu.
*
    Suatu siang setelah pulang dari sekolah Vawana jalan kaki menuju tempat untuk menunggu mobil, seorang pria mengenakan baju pramuka duduk di salah satu ruko pasar, ia memang menunggu giliran masuk sekolah setelah anak-anak negeri pulang. Vawana tahu anak itu, dia anak PGRI kelas satu juga, rumahnya ada dilingkungan pasar saat itu ia nyeletuk dengan polosnya. “Ya Tuhan.. bagaimana caranya Engkau menciptakan mahluk seindah ini.” Ujarnya dan Vawana merasa yakin sekali kalau yang pria itu maksudkan adalah dirinya, Vawana merasa malu dan untungnya tidak ada yang mendengar sehingga Vawana yang tadinya menoleh sekilas langsung jalan lagi, ngeri juga ia. Tapi dia yakin pria itu tidak akan melakukan hal konyol, ia hanya mengangumi ciptaan Tuhan saja dengan caranya sendiri. Meski begitu Vawana merasa tersanjung juga.
*
    Saat masuk kantin mata Vawana sempat bersirobok pada sosok pria yang sedang tersenyum padanya tapi Vawana tetap melangkah seakan tidak menghiraukan pria yang ia tahu kakak kelasnya. Ia tidak tahu namanya dan di mana dusunnya, sama sekali ia tidak tahu. Pria itu tidak menegur Vawana dan tidak juga menyodorkan diri untuk berkenalan. Sedang Vawana tetap melanjutkan keinginannya untuk menikmati makanan yang ada di kantin.
    Keesokan harinya, teman sebangku Vawana menyampaikan salam dari seorang pria untuk Vawana. “Va, ada salam dari temanku, namanya Subay ia satu dusun denganku.” Jelas wanita yang bernama Anne itu, ia berperawakan agak pendek tapi cantik dan ramah. Vawana merasa cocok duduk sebangku dengannya.
    “Teman satu dusun dengan kamu? Kok namanya aneh?” sahut Vawana dengan wajah agak berlipat karena heran.
    “Ya, itu nama panggilannya agak mendekati nama aslinya sih. Pokoknya orangnya keren deh.” Kata Anne lagi agak bersemangat seolah mendukung pria yang menitipkan salam itu, Vawana tidak tahu apa yang telah pria itu katakan kepada Anne sehingga ia ingin sekali mengenalkan Vawana dengan temannya. Tapi Vawana tidak berkomentar lagi. Hingga esok harinya diwaktu istirahat pertama Vawana menerima surat dari Anne. “Ini surat dari Subay, untuk kamu. Ia memberikan ini padaku tadi. Kamu tahu Subay, kan? Itu lho pria yang menatap kamu waktu kita ke kantin kemarin, ia yang duduk bersama temannya itu. Dia itu yang satu kampung sama aku, coba kamu baca saja suratnya.” Kata Anne setelah surat itu ada di tangan Vawana. Vawana tidak langsung membuka surat itu, ia hanya menyimpannya di dalam kantong rok abu-abunya.
    “Nanti di rumah saja aku baca.” Kata Vawana tidak ingin isi surat itu diketahui oleh Anne karena merasa malu. Itu adalah surat pertama yang diterima Vawana dari seorang pria, saat ia duduk di bangku kelas satu SMA.
    Malam harinya, Vawana baru memberanikan diri untuk membuka surat itu dan mulai membacanya dengan perasaan tidak menentu..
    Hai mama… salam kenal,
    Aku memberanikan diri menulis surat ini untuk mama dengan harapan,
    Aku ingin kamu menjadi pacarku, mama.
    Aku tunggu jawaban mama ya.
    Dari yang mencintaimu, Subay.
    Vawana sangat kaget dengan isi surat yang memanggilnya dengan sebutan ‘mama’ itu terdengar aneh sekali, membuat Vawana langsung ingat wajah pria yang di kantin itu. Entah tidak tahu ia tiba-tiba merasa tidak suka sebutan itu, terdengar tua dan tidak romantis tapi wajah pria yang tersenyum itu mampu membuat hati Vawana berbunga sedikit. Vawana tidak berminat untuk membalas surat itu, bukan ia tidak bisa menulis surat balasannya tapi ia hanya merasa enggan saja.
    Hari berikutnya Vawana melihat Anne sedang berbincang-bincang dengan Subay di dekat pintu kelas dua IPA, itu kelasnya Subay. Di mana muridnya tidak lebih dari tiga puluh orang saja. hanya satu kelas, sedang anak IPS ada dua kelas. Vawana merasa yakin kalau mereka sedang membicarakan dirinya, apalagi saat itu Subay yang kebetulan menghadap ke arah Vawana melemparkan senyuman hingga memperlihatkan gigi-giginya yang rapih dan putih tapi Vawana memalingkan pandangannya ke tempat lain sebelum Anne menoleh kepadanya.
    Beberapa saat kemudian Anne sudah berdiri di hadapan Vawana. “Hei, tadi Subay tanya sama aku mengenai surat itu, kok tidak ada balasan atau aku belum kasih surat itu ke kamu? ia tanya seperti itu.” Jelas Anne yang kebetulan tadi tidak melihat kalau Pawana menyimak ia bicara dengan Subay.
    “Oh, itu? Tidak mesti dijawab dengan surat juga, kan?” sahut Vawana dengan santainya. Vawana benar-benar menempati kata-katanya dengan tidak pernah membalas surat cinta dari Subay. Hingga dua hari berikutnya Subay mendatangi Vawana saat mereka istirahat. Dengan senyum khasnya ia pun menegur Vawana dan membuat Vawana sedikit gugup meski Subay tidak menampakkan wajah galak, ia berdiri tepat di depan wajah Vawana hingga wajah putihnya terlihat semakin jelas oleh Vawana.
    “Apa kabar, Vawana?” kata Subay dengan suara lembut disertai senyum tipis membuat Vawana merasa panas dingin bukan takut dipergoki sama teman-temannya atau guru kelasnya karena ia merasa tidak berbuat apa-apa. “Kamu sudah baca surat dari aku, kan?” kata-kata itu seakan menegaskan ‘kenapa kamu belum membalas suratku?’
    “Sudah.” Sahut Vawana singkat dan seolah tidak begitu paham dengan ucapan Subay tapi ia tidak peduli.
    Tidak tahu bagaimana ceritanya, Vawana dan Subay akhirnya jadian dan dalam kesempatan berdua di luar jam sekolah. Subay tidak memanggil Vawana dengan sebutan ‘mama’ dan lebih sering menyebut ‘kamu’ “Vawana, pertama melihat kamu, yang aku lihat adalah pelipis sebelah kiri kamu.” Ia melirik ke arah pelipis Vawana sekilas. “Itu bekas luka, ya?”
    Vawana meraba pelipis sebelah kirinya di sana ada bekas luka kecil. “Ya, kata ibuku saat usiaku kira-kira empat tahun aku jatuh dari kursi dan wajahku mengenai kunci lemari yang ada di ruang tamu kami.” Pawana tersenyum karena ingat cerita ibu dan diperkuat oleh kakak perempuannya yang mengatakan kalau saat itu Vawana sedang berdiri di atas kursi dan melompat-lompat.
    “O, tapi aku suka bekas luka itu. Sepertinya punya daya tarik sendiri.” Kata Subay diluar dugaan Vawana.
    Vawana tersenyum. “Masa sih?” ia merasa tidak percaya.
    “Benar dan…….. satu lagi, aku suka gingsul kamu.” Kata Subay serius dan kembali membuat Vawana tersenyum.
**
    Malam minggu, Subay datang ke dusun Vawana. Vawana kaget saat salah satu teman sekelas Subay seorang pria yang rumahnya satu dusun dengan Vawana mengatakan Subay ingin bertemu. Malam minggu yang sangat cerah, banyak muda-mudi terlihat hilir mudik dan bercengkrama di jalan dengan kerabat mereka, serta anak-anak yang terlihat asyik bermain di warung ditemani orang tua mereka yang kebetulan menikmati apa yang tersaji di warung seperti pisang goreng atau jenis makanan lainnya, intinya kalau cuaca cerah suasana pasti ramai, karena tidak semua rumah memiliki televisi sehingga banyak yang menghabiskan waktunya di luar sembari menunggu datangnya ngantuk tapi banyak juga yang menghabiskan waktu di rumah atau di terasnya sendiri untuk melihat pemandangan di jalan. Tapi Vawana tidak akan keluar rumah kalau bukan malam minggu, itu sudah menjadi peraturan yang ia buat sendiri. Ia tidak seperti saudaranya yang lain, Vawana lebih senang menghabiskan waktu di rumah atau duduk di terasnya yang luas. Terkadang teman wanitanya yang datang untuk sekedar ngobrol di teras.
    “Kamu kapan sampai di dusunku?” tanya Vawana setelah ia bertemu dengan Subay sedang temanya sudah pergi.
    “Tadi sore, aku sengaja datang ke sini dan akan menginap di rumah temanku itu.” Jelas Subay.
    “Oh.” Vawana sangat mengerti, sebab untuk datang ke dusunnya malam-malam tidak ada angkutan umum apalagi rumah Subay lumayan jauh, sekitar tujuh kilo meter. Kedua sejoli itu memilih untuk jalan-jalan malam itu tanpa bergandengan tangan tentunya. Subay mengenakan celana panjang warna putih dengan kemeja lembut sedang Vawana mengenakan celana jins dengan dipadu kaos. Akhirnya Vawana mengajak Subay duduk di teras rumah neneknya, di sana mereka banyak bicara mengenai apa saja. Tanpa ada kontak fisik, atau hal yang nyeleneh lainya, meski jujur Vawana sebenarnya merasa sangat gugup, berdebar tidak keruan tapi mereka terlihat bahagia setiap kata diwarnai dengan canda dan tawa hingga tanpa terasa waktu sudah hampir menunjukkan pukul sepuluh malam itu, Vawana memutuskan untuk pulang yang akhirnya diantar oleh Subay sampai di depan halaman rumahnya.
    “Lain kali main ke rumahku, ya?” kata Subay serius diujung perpisahan malam itu. Vawana belum menjawab karena masih ragu. “Nanti aku akan mengajak Anne, rumahku dengan rumahnya tidak begitu jauh kok.” Tambah Subay setelah melihat keraguan Vawana.
    Setiap hari ibu Vawana berada di kebun dan sejak Vawana masuk pagi ia tidak bisa lagi menemani ibunya hanya sang kakak saja karena anak PGRI selalu masuk siang karena mereka belum memiliki gedung sekolah sendiri. Jadi Vawana hanya bisa membantunya di hari minggu atau hari libur nasional, terkadang setelah pulang dari sekolah ia masih sering menyempatkan diri membantu ibunya mengangkut kayu bakar atau paling tidak jika ibunya menyadap karet sore hari ia baru bisa membantu. Intinya sejak Vawana masuk sekolah pagi hari ia mulai jarang punya kesempatan membantu pekerjaan ibunya, dan jika ibunya pulang dari kebun rumah harus sudah beres, tidak ada piring kotor, makanan untuk sore ada alias sudah dimasak, air minun tersedia dan rumah bersih. Dan itu bisa Vawana kerjakan setelah pulang dari sekolah dibantu adik perempuannya.
**
    Hari itu, Vawana memenuhi ajakan Subay untuk main ke kampungnya dan ditemani Anne tentunya. Pertama Vawana ke rumah Anne, rumahnya tidak begitu jauh dari sungai Uram, airnya bersih hingga menyejukkan hari bagi yang melihatnya. Tak lama kemudian Subay datang, ia mengajak Vawana dan Anne bermain ke tempat lumbung padinya. Orang tua pria itu ternyata punya tempat penggilingan padi. Tanpa malu-malu Subay membantu orang yang sedang menjemur padi tanpa bermaksud pamer sama Vawana, sebab di dusun jika orang sudah memiliki penggilingan padi dan berhasil menarik banyak orang menitipkan padinya di tempat mereka maka mereka sudah bisa di sebut orang berada. Beberapa saat kemudian Subay mengajak Vawana main ke rumahnya dan tetap didampingi oleh Anne. Di rumah itu Vawana tidak menemukan kedua orang tua Subay selain kakak perempuannya. wanita itu terlihat tidak bersahabat. Sekilas Subay mengisyaratkan kalau perempuan itu adalah kakaknya. Tak sedikit pun wanita itu mengajak Vawana bicara dari dalam ia hanya lewat saja seolah tidak melihat Vawana. Vawana diam saja dan dari Anne akhirnya Vawana tahu kalau perempuan itu memang punya sifat seperti itu dan tak perlu diambil hati.
    Dan keesokannya, Vawana satu mobil dengan kakak Subay, mereka duduk berhadapan tapi perempuan itu tidak berada tepat di depan Vawana, Vawana menganggukkan sedikit kepalanya sekedar sapaan hormatnya pada perempuan yang mengenakan seragam perawat itu. Vawana tahu dari Subay kalau perempuan itu bekerja disalah satu rumah sakit di kampung yang tidak begitu jauh dari kampungnya Vawana. Vawana kaget karena melihat reaksi perempuan itu seolah tidak mengenalinya dan yang lebih membuat Vawana kesal, ia melirik Vawana dari ujung kaki hingga kepala. Itu membuat Vawana merasa dilecehkan. Tapi Vawana cuek saja, bodoh amat. Pikirnya. Hal itu tidak Vawana ceritakan pada Subay, sebab ia merasa tidak begitu penting untuk dibahas.
    Meski demikian hubungan Vawana dengan Subay tetap berjalan lancar, mereka pun pergi jalan-jalan ke air terjun yang ada di Paliak bersama salah satu teman Subay
yang juga mengajak kekasihnya sehingga mereka terlihat seperti double date, malam minggu Subay masih sering berkunjung ke tempat Vawana bahkan jika ada kesempatan siang minggu pun ia datang dengan alasan sedang bermain ke rumah temannya. Karena seringnya Subay datang ke rumah Vawana beberapa tentangga Vawana jadi akrab dengannya tak terkecuali yang wanita seusia Vawana.
**
    Untuk pertama kalinya Vawana menangis karena seorang pria, itu disebabkan oleh Subay. Malam itu seorang wanita yang juga tetangga dengan Vawana menceritakan kalau ia kenal dengan Subay dan ia juga kenal dengan pacar Subay.
    “Kamu sudah lama pacaran dengan Subay?” tanya wanita mungil yang rumahnya ada di depan rumah Vawana, namanya Tea.
    “Nggak juga sih, memangnya kenapa?” tanya Vawana sekedar ingin tahu maksud dari pertanyaan Tea sebab ia tahu kalau si Tea yang rada genit itu suka bolak-balik ke dusunnya Subay karena ia punya kakak ipar yang tinggal di sana.
    “Subay kan punya pacar di dusunnya, dan malam minggu kemarin aku melihat Subay datang ke tempat wanita itu, rumahnya dekat dengan rumah saudara iparku itu.” Jelas Tea dengan santainya tapi cukup memancing rasa cemburu Vawana dengan hebatnya sebab kebetulan malam minggu kemarin Subay memang tidak datang. Cemburu Vawana semakin lengkap setelah mendengar ada kabar angin kalau Subay juga punya kenalan seorang wanita yang tetangga dusun dengan Vawana.
    Malam itu,  cukup sudah alasanVawana menangis dan ia merasakan rasa sakit yang amat sakit dihatinya yang paling dalam. Subay mungkin cinta pertamanya tapi belum tentu Subay juga seperti itu. Siapa yang tidak menyukai Subay yang punya tipikal cowok melengkapi sempurna sebagai pria di sekolah, meski Vawana tahu ia bukanlah siswa jago basket atau juara umum dan yang lainnya. Ia pria ramah pada siapa saja, putih, keren, suka humor dan punya tubuh yang atletis.
    “Kamu kenal dengan cewek yang bernama Tea?” tanya Vawana suatu ketika saat mereka berdua.
    “Maksud kamu Tea yang punya saudara sedusun denganku?” sahut Subay santai. “Rumahnya di depan rumah kamu, kan?” Subay melirik Vawana sekilas seolah memastikan kalau yang Vawana maksud adalah cewek itu.
    “Ya, katanya ia sering menginap di tempat saudaranya itu.” Vawana berhenti sejenak untuk menghela napas sebelum melanjutkan ucapannya. “Dia bilang malam minggu lalu ia ketemu kamu di sana dan kamu… punya pacar juga di sana.” Kata Vawana akhirnya dan berharap Subay membantahnya, seharusnya ia suka Subay bicara jujur.
    Terdengar tawa halus keluar dari mulut Subay dan Vawana tidak mengerti maksud dari tawa itu. “Tea bicara seperti itu ya…” helanya tanpa menatap ke wajah Vawana ia pun melanjutkan. “Tea itu sebenarnya terang-terangan ingin aku jadi pacarnya.” Kali ini ia menatap Vawana. “Tapi…” lagi-lagi pria itu tertawa meski tidak bersuara. “Aku tidak suka dengan cewek yang terlalu agresif dan di mataku dia itu masih anak-anak.”
    Tidak tahu kenapa Vawana sangat mempercayai kata-kata Subay itu atau mungkin juga ia sangat mengenali sifat Tea karena sering melihat
kesehariannya, tapi kenapa saat Tea mengatakan Subay punya cewek lain ia langsung percaya?! Tapi sejak dapat kabar burung tentang Subay punya affair dengan cewek yang tinggal di sebelah dusunnya Vawana percaya, sebab secara kebetulan ia melihat cewek itu pernah berbincang dengan teman Subay. Itu sudah cukup sebagai bukti buat Vawana. Ia memang sakit hati tapi tidak sesakit saat Tea bercerita waktu itu. Tanpa sadar Vawana merasakan perasaannya kepada Subay mulai memudar, kalau pun Subay datang ia tak lagi merasakan perasaan yang menggebu-gebu seperti dulu yang bahkan merasa gemetar bila dekat dengan pria itu. Ia tidak lagi pernah bertanya tentang cewek lain, kalau pun mereka bertemu bicara apa saja bahkan tidak ada yang menyangkut urusan perasaan apalagi pegang-pegang tangan. Tapi mereka terlihat sangat rileks, bercanda bahkan tertawa bersama. Setiap kali bertemu selalu seperti itu, tidak ada janji-janji cinta atau hal-hal serius lainnya. Mereka bahkan lebih terlihat seperti teman saja meski Subay masih sering datang ke tempat Vawana. Surat yang memanggil Vawana dengan sebutan ‘mama’ itu seolah tidak ada makna yang berarti lagi dan lama-lama mereka mulai jarang bertemu.
*****
    Anak-anak Biologi
    Tahun 1988 sudah lewat, Vawana naik kelas dua dan ia memilih jurusan A2 Biologi. Si Anne masuk IPS yang disebut juga A3 mungkin nilainya tidak memungkinkan ia masuk IPA Vawana juga tidak tahu pasti, tapi intinya bukan itu karena semuanya tergantung selera masing-masing. Kalau anak IPA disebut A1, muridnya sekitar 21 orang. A2 sekitar empat puluhan sedangkan anak IPS ada dua kelas masing-masing lebih kurang empat puluh orang perkelasnya.
*
    Kakak Vawana sudah lulus, meski ia juara umum di PGRI tapi ia tidak lulus masuk perguruan tinggi negeri di UNIB. Vawana ingat saat mengikuti tes kakaknya belum begitu sembuh dari patah tulang kakinya akibat cidera main bola voli waktu sparing di dusun Vawana. Apakah itu berpengaruh saat ia menjalani ujian masuk perguruan tinggi? Dan yang lebih anehnya Vawana bertanya-tanya sendiri mengapa kakaknya tidak menjadi siswa undangan? Lagi-lagi Vawana tidak mengerti. Dan tak lama setelah kejadian itu ia memutuskan untuk merantau ke Palembang, kakak laki-laki tertua Vawana ada di kota itu juga.
*
    Dan setiap bapak Vawana pulang yang ia utamakan adalah melunasi uang SPP anak-anaknya setelah itu baru urusan dapur. Setiap ada kesempatan berkumpul dengan keluarga ia sering mengajarkan anak-anaknya mengaji, mengawasinya belajar dan ia paling tidak suka melihat anak-anaknya berkeliaran di jalan malam-malam. Menurutnya tidak ada yang menarik di sana dan setiap malamnya selalu saja pemandangannya seperti itu. Ia mementingkan sekolah untuk anak-anaknya sedangkan ibu Vawana tidak banyak bicara, ia selalu mencontohkan sikap yang baik kepada anak-anaknya, kalau pun ada yang melenceng ia akan memberitahukannya sekali, tinggal anak-anak yang berpikir dan yang paling menonjol adalah sifat sabarnya itu tak ada bandingnya. Ia juga menyuruh anak-anaknya belajar mengaji pada guru ngaji khusus di malam hari. Vawana sangat menyayangi kedua orang tuanya, tak jarang Vawana minta bapaknya bercerita tentang sejarah asal usul dusun mereka atau sejarah keseluruhan, terkadang bapaknya sampai cerita zaman Jepang, Belanda dan G 30 S PKI, dengan lancar dan semangat beliau menceritakan apa saja pernah ia alami. Tak jarang Vawana melihat mata bapaknya berbinar saking antusiasnya. Sang bapak yang asli keturunan Padang itu sudah merantau ke Bengkulu sejak usia muda, pekerja keras dan pernah menjadi tukang jahit di pasar Muara Aman hingga bertemu dengan wanita cantik, putih dan baik hati asli keturunan Rejang Lebong, Bengkulu.
*
    Naik kelas dua Vawana mendapatkan teman baru lagi yang satu jurusan dan itu rasanya lebih mengasyikkan, Vawana adalah satu-satunya wanita yang berasal dari dusunnya masuk jurusan itu, dan itu sudah tentu karena ia juga satu-satunya yang dapat masuk ke sekolah negeri, ada seorang pria dari dusun Tanjung Bunga, ia dikenal kocak tapi kurang pandai dalam hal berpakaian. Ia suka asal hingga terkadang celananya terkesan kekecilan menambah kesan kekonyolannya. Tapi itu tidak berpengaruh bagi Vawana, di kelas Vawana tidak dekat dengan pria mana pun. Ia hanya dekat dengan teman sebangkunya yang bernama Nelly. Wanita ini berasal dari pulau Jawa dan menetap di dusun Muara Aman, orangnya tidak neko-neko dan baik hati tapi Vawana jarang bercerita tentang dirinya kepada si Nelly, ia memang teman sebangku tapi jarang ngobrol jika sudah waktunya keluar bermain. Vawana sudah kenal dengan semua teman sekelasnya, di mana dusun mereka dan nama-nama mereka, meski ada yang belum pernah berbicara langsung setidaknya Vawana sudah sering melihat mereka saat kelas satu, saat mereka pulang bersama atau waktu Vawana masuk siang setidaknya pernah berpapasan di pintu gerbang sekolah.
    Ketua kelas terpilih adalah pria yang berasal dari Tabah Seberang, namanya Amad. S lumayan menawan dan bisa dibilang diatas rata-rata tapi sayangnya dia bukan tipe Vawana. Lama-lama Vawana melihat teman-teman cewek di kelasnya memiliki tiga geng, geng pertama kumpulan cewek dari dusun Muara Aman, kedua dari Ujung Tanjung dan ketiga berada ditengah-tengah itu termasuk Vawana. Tak jarang Vawana mengamati mereka, cara bergaulnya, cara belajarnya dan cara bersikap mereka kepada para pendidik. Geng dari kampung Muara Aman itu terlihat lebih dewasa dalam segala hal, lebih jujur namun terkesan ingin dominan meski terkadang rada angkuh. Sedang yang dari Ujung Tanjung agak terlihat lebay, punya otak tapi kurang jujur, meski ada satu dua yang terlihat realistis namun yang paling dominan mereka itu agak sedikit over acting terhadap guru pria, tidak bisa disalahkan juga karena diantara mereka ada yang menjalin kasih dengan salah satu satu guru pria yang masih single.
    Vawana duduk di depan salah satu geng yang berasal dari kampung Muara Aman, namanya Lala. Cewek yang satu ini bongsor, putih, rambut sebahu dan terlihat paling bijaksana diantara teman-temannya. Vawana sudah pernah bicara dengan cewek itu saat jam istirahat mereka duduk di bangku panjang di antara teman-teman yang lain. Mereka tidak ke kantin hanya berbincang saja sampai bel masuk berdering lagi.
    Keesokan harinya, Vawana terlihat agak gelisah namun ia tidak memperlihatkannya di depan teman-temannya. Kegelisahan Vawana terbawa ke dalam kelas dan saat menerima pelajaran pun Vawana masih diam seakan asyik di dunianya sendiri, guru yang sedang menjelaskan pelajaran pun tak begitu ia perhatikan dan malah asyik mencoret-coret tidak jelas di buku yang ada di atas mejanya. Tak lama kemudian ia menerima selembar kertas yang sudah terisi tulisan dari Lala, yang disodorkan dari belakang punggung Vawana. Melihat itu Vawana melirik ke Lala sekilas dan gadis itu memberikan seulas senyum tipis yang tulus. Dan tanpa menunggu lagi Vawana langsung membaca tulisan tangan itu.
    ‘Va, apa sih yang kamu pikirkan? Dari tadi aku memperhatikanmu. Aku merasa ada kesamaan diantara kita berdua hanya saja berbeda cara mengepresikannya. Jika kamu sedang punya masalah maka langsung terlihat jelas di wajah kamu dan aku sebaliknya. Sebesar apa pun masalahku, orang tidak akan bisa menebaknya karena aku simpan dalam-dalam. Tapi kamu… entah kenapa aku merasa kamu sedang memikirkan sesuatu, jangan suka bengong ya, tetap semangat.’
    Vawana tersenyum kecil setelah membaca tulisan itu, entah Lala merasa atau tidak tapi dampak dari tulisannya telah berhasil membuat Vawana tersenyum. Vawana kembali melirik ke arah Lala dan sepertinya gadis itu menunggu respon dari Vawana, tapi sepertinya Lala hanya melihat senyum hambar dari sudut bibir Vawana. Sejak peristiwa itu secara tidak langsung membawa Vawana dan Lala semakin dekat.
    Beberapa hari kemudian Lala terpilih sebagai wakil paskibra untuk mewakili siswi SMAN 1 Muara Aman mengikuti seleksi ke provinsi Bengkulu, dan prianya terpilih dari anak  kelas 2-A1, si Chiko. Vawana tidak tahu berapa hari mereka akan meninggalkan sekolah, mungkin tidak kurang dari seminggu. Jika mereka lolos di provinsi mungkin akan dibawa ke ibukota, jika tidak hanya sampai di tingkat provinsi saja. Sepertinya mereka berdua melaksanakan upacara 17 Agustus di Bengkulu. Setelah pulang dari Bengkulu, baik si Chiko maupun Lala secara tidak langsung ditugaskan sebagai pelatih anak-anak yang akan bertugas setiap hari senin untuk melaksanakan upacara bendera. Dan sepertinya mereka berdua bersaing dalam hal itu, jika minggu ini Lala yang melatih maka minggu besoknya si Chiko dan mereka akan berlomba siapa yang menghasilkan didikan yang terbaik.
    Vawana ingat saat ia kelas satu pernah mendapat pujian dari kakak kelasnya setelah ia bertugas membacakan UUD 45, saat itu si Henny anak A2 pembina pramuka mengacungkan jempolnya untuk Vawana setelah bertugas senin itu. Saat itu Vawana tersenyum bahagia, dan saat mendapatkan tugas yang lain Vawana tetap mendapat respon yang memuaskan dari kakak-kakak kelasnya, hingga tibalah… saat yang memalukan untuk Vawana sekaligus rekannya. Takkala Vawana bertugas menjadi pengibar bendera, benderanya terpasang terbalik meski dengan cepat bisa diperbaiki sebelum lagu Indonesia Raya habis dikumandangkan. Tidak tahu kenapa bisa seperi itu, padahal saat latihan dengan Lala semuanya lancar-lancar saja. Vawana bisa membayangkan betapa malunya Lala dengan Chiko saat itu. Ya Tuhan… Vawana benar-benar merasa terpukul. Itu bukan pertama kalinya ia bertugas menjadi pengibar bendera. Apakah kesalahan itu murni di tangannya atau ada di tangan kedua rekannya yang ada di kiri dan kanan..?? tapi setelah itu Vawana tidak pernah mendengar komplin dari Lala atau dari teman-teman yang lainnya, seolah menganggap kalau itu adalah insiden yang wajar namun bagi Vawana pribadi itu merupakan peristiwa yang amat sangat memalukan, sekaligus ia malu kepada Lala.
    Vawana semakin dekat dengan Lala dan gengnya yang berdomisili di dusun Muara Aman, Lala bahkan mengajak Vawana menginap di rumahnya. Kenal dengan adiknya serta ibunya. geng Lala ada lima orang kesemuanya sedusun tapi Vawana tidak merasa masuk ke dalam geng itu karena ia merasa hanya dekat dengan Lala tapi lama kelamaan secara tidak langsung Vawana menjadi bagian dari mereka namun tetap merasa paling dekat dengan Lala. Tak jarang setelah pulang sekolah mereka tidak langsung pulang ke rumah, mereka mampir di rumah seorang teman yang rumahnya paling dekat dari sekolah, namanya Yeyen dan itu tidak sekali dua kali bahkan sering, yang mereka lakukan tidak banyak, mereka menikmati film-film remaja di video, sering juga menyewa kaset video di rental. Tidak ada film yang aneh-aneh mereka tonton hanya film-film remaja pada umumnya dan tak jarang mereka ditemani oleh ibunya Yeyen, sambil nonton disediakan makanan. Vawana adalah anak yang rumahnya paling jauh sedang yang lainnya hanya pulang dengan berjalan kaki, sehingga sampai rumah Vawana seringkali diatas pukul dua siang bahkan pukul tiga sore, sedang keluar dari sekolah tetap pukul 12.15 WIB karena yang masuk siang mulai pukul 13.00 WIB.
*
    Vawana adalah gadis paling pendiam diantara yang lain, rambut panjang sepinggang tapi terkesan tomboi, pemalu ditambah kurang percaya diri. Kemungkinan besar semua itu karena ia berasal dari keluarga yang kurang mampu, tapi Vawana tetap bangga pada kedua orang tuanya yang sangat memperhatikan sekolah anak-anaknya karena di lingkungan Vawana tidak sedikit yang putus sekolah bahkan dorongan dari keluarga juga agak berkurang.
*
    Vawana suka mengikuti latihan bola voli dan basket dikala jam olahraga, ia menyukai kedua jenis permainan itu dan guru pun tidak melarangnya menekuni kedua-duanya. nah! Kalau disuruh gurunya mengikuti kegiatan marathon keliling pasar atas untuk pemanasan Vawana dan Lala kebanyakan jalan pelan saja sehingga paling belakang sampai di sekolah. Soalnya bukan tanpa alasan, kalau keseringan lari Vawana suka merasa keram di perut. Eh, giliran diminta untuk melakukan teori bola basket pada malas sehingga gurunya pun meninggalkan mereka untuk main sesukanya. Yah, anak muda kalau disuruh teori maunya langsung praktek, susah diatur! Tapi jangan salah, anak-anak cewek kelas dua biologi itu juara basket di sekolah itu bahkan lawannya di final anak kelas tiga pula. Bravo untuk anak-anak biologi, yang paling sering dibicarakan dalam hal prestasi.
    Seiring berjalannya waktu, Vawana senang melihat teman sekelasnya yang suka memegang gitar di teras rumah saat Vawana berada di atas mobil pas pulang dari sekolah ke dusunnya. Nama pria itu Rego, ia terlihat cool, pakaiannya selalu bersih kalau di sekolah. Tapi ketertarikan Vawana hanya sebatas itu, tidak lebih. Ada satu lagi seorang pria yang pendiam dan berjalan agak menunduk, ia anak dusun Muara Aman juga namanya Donni, ia jarang bicara dan sekalinya bicara selalu disertai dengan sebuah senyuman.
*
    Seorang guru yang mengajar pelajaran kimia, orangnya asyik berasal dari pulan Jawa. Kalau lagi serius sangat serius begitupun sebaliknya. Ia disegani sekaligus bisa menjadi teman anak-anak, tak jarang Vawana dan Lala berbicang dengannya baik di perpustakaan atau pun jam istirahat ia tidak segan-segan ikut duduk di bangku panjang yang ada di depan kelas. Dia itu bisa jadi pendengar yang baik kalau anak-anak cerita, sedangkan guru biologi setiap gajian selalu minta tolong Vawana dan Lala mengirimkan uang lewat wesel pos untuk keluarganya yang juga berada di pulau Jawa. Hohohoho guru-guru yang mengajar di SMAN1 Muara Aman memang kebanyakan dari pulau Jawa. Tapi ada juga yang dari Aceh, Padang, Lampung dan tidak sedikit yang asli orang Rejang juga. Seperti guru biologi kelas 1, guru PMP, guru Agama dan guru sejarah.
*
    Ada seorang guru bidang study bahasa Inggris, anak-anak memanggilnya dengan sebutan Se (Sir) punya senyuman yang sangat tulus tapi kalau mengajar jarang memperhatikan anak-anak yang sedang mengikuti pelajarannya. Dia paling senang menjelaskan pelajaran seolah asyik sendiri di depan kelas dengan memegang buku paket tanpa bertanya apakah anak-anak mengerti atau tidak. Anak-anak tidak pernah membeli buku paket, karena dipinjamkan dari perpustakaan sampai mereka tamat baru dikembalikan, tidak boleh rusak apalagi sampai hilang. karena itu milik negara. Vawana merasa bete di kelas dengan Se itu, ia memang menyukai pelajaran bahasa Inggris tapi kurang tertarik dengan cara mengajar gurunya. Lala ternyata menyadari apa yang dialami oleh Vawana ternyata tidak jauh berbeda darinya. Sehingga ia mengusulkan untuk keluar dari kelas dengan alasan pamit ke kamar kecil. Guru lain biasanya melarang anak-anak keluar berdua sekaligus tapi tidak berlaku untuk Se.
    “Aku itu sebenarnya dari tadi ingin keluar.” Ujar Lala saat sudah ada diluar kelas. “Tapi kasihan dengan Se.” terdengar tawa halus dari mulutnya. “Mau ke mana?” ia melirik Vawana yang juga tidak tahu harus ke mana.
    “Ke perpustakaan saja ya.” Usul Vawana dan diiyakan oleh Lala. Mereka pun jalan ke ruang perpustakaan, bukannya membaca malah duduk-duduk saja dan berbincang dengan penjaga perpustakaan, sebab Lab komputer belum ada. Taklama kemudian datang guru kimia yang notabene sering ngobrol dengan Lala dan Vawana.
    “Kalian ngapain di sini? Ini belum waktunya istirahat.” Ia bicara pelan namun mengandung nada marah. “Lagi pelajaran apa?” tambahnya.
    “Se, Pak.” Lala yang menjawab dan ia sudah pasti tahu kalau sebutan itu.
    “Masuk sana.”
    “Aduh, Pak. Bete, dan ngantuk di dalam.” Giliran Vawana yang menjawab.
    “Ya, sudah, kalau kalian tidak mau masuk berarti kalian juga tidak boleh masuk jam pelajaran saya.” Katanya dengan ancaman yang tidak main-main.
    “Yah, jangan gitu dong, Pak.” Kali ini suara Vawana dan Lala nyaris bersamaan karena merasa ngeri juga dengan ancaman beliau. Akhirnya kedua gadis itu menurut, saat masuk kelas kembali si Se tidak bertanya kenapa mereka pergi begitu lama. Atau mungkin ia sudah lupa siapa-siapa saja yang keluar dijam pelajarannya. Hadooh!
*
    Menjelang pulang alias jam terakhir, itu sedang ngantuk-ngantuknya karena perut sudah keroncongan sekaligus lelah. Dan lima belas menit terakhir guru kimia yang tahu pasti bagaimana membuat anak-anak tidak merasa bosan ia pun bercerita tentang hal-hal yang menarik. Tidak ada hubungannya dengan mata pelajaran beliau tapi masih terkait dengan pendidikan. Tapi Vawana bukannya memperhatikan sang guru yang bercerita sembari bersandar di mejanya, ia malah asyik menulis di buku tulisnya. sementara anak-anak yang lain terlihat santai dan sekali-kali terdengar tawa mereka kalau ada kata-kata lucu yang keluar dari mulut guru yang asyik itu. Sementara Vawana masih terus saja menulis tanpa peduli keadaan sekeliling meski tidak satu kata pun kata-kata sang guru terlewatkan olehnya. Melihat keasyikan Vawana memaksa Nelly teman sebangkunya menegurnya.
    “Va, kamu lagi ngapain sih? Orang tidak ada yang menulis kamu malah asyik sendiri.” Ujarnya seolah mengkhawatirkan Vawana. “Ingat masa depan kamu, kalau guru sedang bicara harus didengar baik-baik.” Tambahnya kini mengira Vawana tidak serius sekolah. Dan anehnya ia bicara tanpa melirik ke wajah Vawana.
    “Vawana……” suara itu datang dari depan, itu suara guru kimia. Vawana mengangkat wajahnya karena agak tersentak juga sedang sang guru masih santai bersandar di bibir mejanya. “Kamu lagi menulis apa? Menulis surat untuk saya, ya?” suara itu berubah jadi candaan sekaligus memperingati Vawana kalau ia tidak suka dengan sikap Vawana yang tidak memperhatikannya.
    Vawana hanya tersenyum, untung yang lain tidak menambahkan komentar yang aneh-aneh dan untungnya lagi guru itu tidak mendatangi bangku Vawana dan memeriksa apa yang Vawana tuliskan. Sebenarnya Vawana sedang menuliskan semua cerita sang guru di bukunya. Hihihiihi ada-ada saja!
*
    Geng anak Ujung Tanjung masih saja terlihat lebay, merasa sok cantik sehingga kecantikkannya yang alami membuat kebanyakkan orang merasa tidak respect baik cewek maupun cowok dan parahnya lagi jago banget nyontek. Tapi salah satu temannya terlihat agak alim tapi suka melihat orang dengan sebelah mata, hmmm… apa yang terjadi dengan mereka? Biarkanlah!
    Suatu ketika, kita sekelas diundang dari yang merasa sok keren ke ulang tahunnya untuk makan-makan di rumahnya. Dia itu sebenarnya kekasih dari salah satu guru kita, kita juga heran kenapa guru itu mau pacaran sama orang seperti dia, mungkin karena kecantikkan diluarnya itu, bisa jadi demikian. Tapi masa iya sih seorang guru tidak bisa melihat mana yang cantik dari dalam? Sekali lagi, biarkanlah!
    Dari sana kita bisa melihat siapa gadis itu sebenarnya, yang ternyata memang suka pamer meski tidak banyak yang bisa ia pamerkan karena pada dasarnya dia juga anak dari orang yang biasa-biasa saja. Hanya saja orangnya terlalu percaya diri.
*
    Vawana seringkali dikirimi uang SPP dari kakaknya yang sudah bekerja di Palembang, itu sangat membantu kedua orang tua mereka, tapi setiap kakaknya mengirim uang Vawana selalu memberitahukannya kepada ibu yang selalu ada di rumah. Pernah suatu hari Vawana mengajak Lala mengambil uang di kantor pos dan sepulangnya ia mengajak Lala makan bakso, warung bakso yang ada di bagian atas gedung sekolah yang selalu ramai karena terkadang sering juga teman-teman mengajak makan di sana. tempat itu adanya di luar kantin, untuk mencapai tempat itu kita melewati samping langgar yang sudah berdiri kokoh di sebelah barat halaman sekolah. Vawana dan Lala memang bisa dibilang agak dekat dari teman-teman yang lain, tak jarang Lala menceritakan kalau ia pernah menjalani operasi kelenjar di lehernya dan ia mengagumi dokter keren yang menanganinya. Vawana tersenyum saat itu. Anak-anak cewek kelas dua jarang naksir anak cowok sekelas, biasanya suka naksir kakak kelas. Sedang anak cowok kelas dua beraninya pacaran sama adik kelas, itu sepertinya sudah menjadi hukum yang tidak tertulis di sekolah-sekolah.
    Suatu hari Vawana mendadak datang bulan di sekolah pas jam terakhir dan setelah pelajaran bubar ternyata roknya sudah banyak noda, Lala yang melihat itu langsung meminjamkan tas selempangnya untuk menutupi itu karena Vawana jarang sekali membawa tas ke sekolah, ia lebih senang membawa beberapa lembar buku tulis dan buku paket. Vawana merasa malu sekali sekaligus risih, ah Lala memang sangat baik terhadap temannya. Meski demikian Vawana tidak pernah menceritakan hal-hal yang menyangkut pribadi kepada Lala. Bukannya dia tidak percaya tapi ia merasa tidak ada yang pantas untuk diceritakan dan menurutnya Lala itu terlalu sempurna sebagai seorang teman hingga kadang timbul rasa mindernya pada gadis itu.
    Saat penerimaan raport, ibu Vawana yang datang ke sekolah dan Vawana mengenalkan ibunya pada Lala. Setelah acara pembagian raport sang ibu pulang terlebih dahulu sebelumnya Lala berkomentar tentang ibu Vawana.
    “Va, pantes kamu begitu cantik, ternyata dari ibu kamu.” Itu pujian tulus dari seseorang yang sangat objetif. Vawana tidak berkomentar namun dalam hati ia memang mengakui kalau ibunya memang sangat cantik, kulit putih dan ramah. Meski demikian Vawana bukanlah anak yang memiliki IQ terlalu tinggi ia cendrung biasa-biasa saja. Walaupun demikian Vawana termasuk gadis yang paling jangkung diantara gadis seusianya di dusunya bahkan disekitar dusunnya sehingga tak jarang ia diolok-olok pria yang ada diatasnya. Dengan kata-kata yang tidak ia sukai ‘tuh… lihat, tiang listrik lewat!’ seringkali ia mendengar celetukkan semacam itu kalau sedang berjalan untuk menunggu angkutan sekolah. Tapi di sekolah, Vawana dan Lala memiliki postur tubuh yang nyaris sama hanya saja Lala memiliki badan yang lebih tegap dan berisi.
*
    Pria cool itu bertekuk lutut dengan Vawana, eh ternyata Lala kenal dengannya sehingga memperingati Vawana untuk berhati-hati menghadapi pria yang ia juluki buaya itu. yang menjadi pertanyaan Vawana, di mana Lala kenal pria itu……..???
*****
Embong Panjang tahun 1979-1981
    Gadis kecil itu terlihat biasa, rambutnya agak cepak, kulitnya putih, usianya sekitar enam tahun. Ia tinggal di rumah yang masih khas bangunannya, di belakang rumah ada banyak pohon bambu dan satu pohon kelapa yang lumayan tinggi dengan buah yang banyak. Itu bukan rumah pertama mereka, gadis kecil itu diajak kedua orang tuanya pindah saat ia usia dua tahun dari rumah kecil yang di belakang ruamh neneknya, kini rumah mereka sangat besar, terbuat dari papan dan kayu jati, ia dengan keempat kakaknya serta dua orang adiknya, yang paling kecil masih bayi. Gadis kecil itu masih teramat polos, belum mengerti uruan keluarga dan kesulitan yang dihadapi oleh kedua orang tuanya. Ia punya kakak tertua laki-laki yang masih duduk di bangku kelas 2 SMA, sedangkan kakak perempuannya tidak meneruskan sekolah ke SMP, ia pun tidak tahu mengapa bisa begitu. Yang ia tahu kakak perempuannya rajin sekali mengurus rumah, semua pekerjaan rumah seolah ada ditangannya. Suatu hari gadis kecil itu melihat kakaknya sedang menangis di sungai sembari mencuci piring, gadis kecil itu tidak tahu mengapa kakaknya menangis. Ia merasa sangat kasihan tapi tidak berani untuk bertanya.
    Sementara ibunya sedang sakit, dan lagi-lagi gadis kecil itu tidak tahu sakit apa yang diderita ibunya. Ia hanya bisa melihat kalau ibunya suka menangis bahkan terkadang berteriak. Gadis kecil itu semakin heran karena ibunya diikat di kamar tanpa bisa berbuat apa-apa. Tak jarang sang ibu meminta tolong kepada gadis kecil itu untuk mengambil sesuatu semisal cangkir atau benda dapur lainnya. Dengan patuh si gadis kecil menuruti printah ibunya, ia pun mengambil apa yang diminta lalu memberikannya ke tangan sang ibu dan detik itu juga sang ibu melemparkan apa yang sudah ada di tangannnya. Kejadian seperti itu seringkali terjadi, gadis kecil itu sering menemani ibunya yang terikat kakinya di kamar.
    Adik bayinya diasuh oleh kakak perempuannya, usia bayi itu sekitar tiga bulan. Bayi laki-laki yang tampan dan tidak merasakan kasih sayang dari ibunya tapi sang kakak berusaha menggantikan peran sang ibu. Gadis kecil itu belum bisa melakukan apa-apa, ia akan melakukan apa yang orang minta tanpa tahu apakah itu boleh dilakukan atau tidak.
    Pagi ia pergi ke sekolah, tanpa beralaskan kaki. Letak sekolahnya masih di lingkungan dusun Embong Panjang tapi berada di ujung dusun sehingga ia harus jalan kaki sekitar satu kilo meter lebih. Bukan hanya dia yang tidak mengenakan alas kaki, satu dua temannya juga seperti itu. Di sekolah para guru masih menggunakan bahasa daerah, karena kebanyakkan guru berasal dari daerah itu sendiri.
    Dengan berjalannya waktu, gadis kecil itu tidak lagi melihat ibunya diikat di kamar. Ibunya sudah bisa beraktifas seperti biasa, yaitu ke kebun, sawah dan juga masak untuk anak-anaknya.
*   
    Gadis kecil itu punya adik laki-laki lagi, ia terlahir di pondok yang ada di kebun karena kedua orang tuanya menginap di kebun menunggu kebun karet dan kebun kopi, ia tidak tahu apakah dukun beranak yang dibawa ke kebun untuk membantu persalinan ibunya atau bagaimana? Ia tidak tahu, yang ia lihat bapaknya siang itu sudah bersiap-siap kembali ke kebun dengan pakaian yang lebih banyak, dan ia tahu kalau adiknya sudah lahir.
    Bayi lelaki itu diberi nama Edward, sepertinya ia paling tampan diantara kakak-kakaknya. Gadis kecil itu merasa sangat senang memiliki adik lagi, karena sudah beranjak besar ia pun diberi tanggung jawab untuk menjaga adiknya. Apalagi saat adiknya sudah bisa berjalan dan bermain, maka gadis itu bersama adik perempuannya menjaga adiknya kalau ibu mereka pergi ke kebun dan pulang sore hari.
*
    Di belakang rumah si gadis ada sebuah sungai yang lumayan besar, airnya bersih dan hampir setiap sore mereka menceburkan diri di sungai itu, mandi sepuas-puasnya bahkan terjun dari atas pohon layaknya orang melakukan lompat indah saja. Kalau sudah berenang mereka suka lupa waktu, adik-adiknya pun tak pernah ketinggalan ikut mandi sampai kulit mereka berkerut, untuk urusan renang anak-anak yang ada di dusun itu paling jago. Suatu siang, si Edward berusia masih di bawah dua tahun ditaruh di pinggir sungai, di suruh duduk di atas batu sambil mandi juga sementara kakaknya si gadis yang kesehariannya menjaga Edward berenang agak ke tengah dan tidak menyadari kalau Edward sudah tidak ada di atas batu dalam waktu sekejap saja, saat gadis itu melirik ke arah adiknya namun sudah tidak menemukan Edward saat itu juga ia merasa jantungnya lepas, dengan secepat kilat ia langsung menoleh ke arus sungai dan benar, adiknya sudah dibawa arus. Laksana angin yang berhembus di atas air ia pun melesat menyusul adiknya sehingga menabrak batu-batu yang ada di dasar sungai. Dalam hitungan detik ia sudah memegang adiknya dan langsung menggendongnya ke atas, bersyukur ia karena sang adik masih bernapas dan ternyata masih hidup. Gadis itu masih merasa kalau dunianya baru saja selesai, berulang-ulang ia memeluk adiknya dengan ketakutan yang luar biasa. Ia tidak bisa membayangkan kalau adiknya tidak bisa ia temukan, dunia tidak akan memaafkan kelengahannya. terima kasih Tuhan, ujarnya berkali-kali di dalam hati.
    Tahun berikutinya si Edward meninggal pas usia dua tahun dan gadis itu tidak mengerti sakit apa yang diderita adiknya, ia tidak begitu paham apa yang menimpa adiknya. Rasa takut itu tidak sebesar saat ia merasa adiknya dibawa arus. Akhirnya ia tahu kalau adiknya meninggal karena penyakit cacar.
*
    Gadis kecil itu pindah sekolah ke SD baru yang tidak begitu jauh dari rumahnya, SDN03 Embong Panjang. Di gedung sekolah baru belum mencukupi bangku untuk anak-anak sehingga mereka harus mengangkut satu dua bangku dari SD lama. Gadis yang ikut membawa satu bangku itu tidak mengerti apakah itu bangku lebih atau memang bangku-bangku itu dititipkan dari kemarin di sana. Dia hanya merasa senang bisa sekolah lebih dekat, jalan kaki beberapa menit saja sudah sampai apalagi ia masih tidak mengenakan sepatu, tidak apa kalau di kelas dua ia masih masuk siang.
*
    Suatu siang, kakak tertua dari gadis itu membangunkan adiknya agar ia tidak terlambat datang ke sekolah. Gadis yang merasa takut terlambat itu buru-buru bangun dan langsung meluncur ke kali untuk mandi namun sayangnya sebelum ia mencapai kali ada sebuah benda tumpul mengenai kepala depan bagian kiri. Saat itulah dunia menjadi gelap.
    Ternyata dia tertimpa buah kelapa, seseorang sedang memetik kelapa orang tuanya. Hari itu dusunnya menjadi gempar, si pria yang tadinya memetik kelapa melarikan diri sejauh mungkin ke arah sawah, ia tidak bisa membayangkan kalau gadis itu mati di tempat, gadis kecil itu pingsan tidak sadarkan diri beberapa hari, ia diperiksa seorang dokter dan dilarang mengenakan bantal selama kurang lebih tiga bulan. Hari-hari pertama kesadarannya ia sering berhalusinasi.
    Gadis itu merasa kalau ia didatangi oleh temannya, anak tetangga sebelah yang seringkali mencemoohkannya dan hari-hari itu datang dengan senyuman dan mengajak gadis itu untuk bersahabat. Ia juga merasakan betapa banyak orang datang menjenguknya. Keluarga mereka tidak menuntut yang memetik kelapa karena memang ia diminta untuk memanen kelapa itu. Beberapa hari berikutnya setelah sembuh, disudut kiri mata bagian dalam gadis itu terlihat agak memerah itu pasti dampak dari buah kelapa yang nyaris saja merenggut nyawanya. Bersyukur karena Tuhan masih memberikannya kesempatan untuk hidup. Pohon kelapa yang tingginya tidak kurang dari dua puluh meter, bayangkan jika buah kelapa itu mengenai tengah kepalanya.
*
    Bulan berganti bulan, gadis itu sedang bermain dengan kedua adiknya di halaman rumahnya yang luas dan ditumbuhi rumput gajah meski pagarnya hanya terbuat dari bambu namun halaman rumah itu cukup luas. Di kiri kanan halaman pagar bambu sangat rapih dengan pintu berada pas di tengah-tengah, di sebelah kiri ada pohon kembang sepatu yang lumayan besar sehingga membentuk seperti payung besar, sedang dibawahnya dibuat semacam tempat duduk dari bambu dengan tiang kayu. Hampir setiap malam tempat itu selalu diduduki anak-anak apalagi kalau cuaca cerah.
    Bersama kedua adiknya ia asyik sekali seakan menulis sesuatu di tanah yang disela rumput gajah, sedang kakak perempuannya ke sawah mencari ikan untuk lauk, ia diminta oleh bapak mereka. Seorang ibu dari tetangga sebelah rumah bertanya kepada gadis itu.
    “Adik kamu sudah lahir?” sepertinya ibu itu tahu kalau ibunya Vawana sedang berjuang untuk melahirkan anaknya.
    “Belum, sekarang lagi diurut.” Jawab Vawana dengan polosnya. Ia mendengar kata-kata itu dari bapaknya yang mengatakan kalau Vawana harus mengajak adik-adiknya bermain di luar karena ibu mereka sedang diurut oleh yang akan membantu persalinan.
    Tak berapa lama, adik Vawana pun lahir berjenis kelamin perempuan. Vawana yang masih duduk di bangku SD sudah mulai memahami kalau ia harus menjadi bagian dari adik merahnya itu, setiap kelahiran adiknya ia merasa bahagia. Bayi yang masih merah itu dibedong dengan kain panjang dan Vawana pun diminta menyuapi adiknya dengan madu asli. Sedang ibunya masih lemah meski ia terlihat baik-baik saja.
    Bayi perempuan itu dinamai oleh kakak Vawana yang paling tua dengan nama yang cantik dan terkesan penuh harapan agar ia punya sifat baik dikemudian hari. Dua puluh hari setelah itu sang kakak pergi merantau ke Palembang.
****
   
Tahun 1990-1991
    Naik kelas tiga merupakan kebahagiaan tersendiri bagi Vawana, bagaimana tidak. Tinggal setahun lagi ia akan mengikuti kakaknya ke luar kota dan mengikuti berbagai kursus atau mencari pekerjaan di sana karena untuk melanjutkan ke perguruan tinggi rasanya mustahil karena ia masih memiliki beberapa orang adik yang harus menamatkan Sekolah Menengah Atas, itu sudah menjadi tekad kedua orang tuanya serta saudara-saudaranya.
    Menjadi anak kelas tiga di sekolah otomatis menjadi kakak tertua di sekolah, punya rasa ingin menunjukkan kepada adik-adik kelas bagaimana harus bersikap kepada guru-guru serta kakak-kakak kelas juga harus mempunyai tanggung jawab kepada sekolah, itu rasanya sudah menjadi kebanggaan yang tidak bisa dibayangkan.
    Kelaspun harus dirombak karena wali kelas juga sudah berganti maka kita memutuskan untuk menggantikan ketua kelas, dengan suara dominan para cewek memilihkan si Lala sebagai calon tunggal dan lebih dari separuh isi kelas pun setuju. Vawana yang sudah akrab dengan Lala tidak ada alasan untuk menolak, selain ia punya kredibilitas tinggi untuk itu ia juga seorang wanita yang tegas, bisa meng-handle teman-teman cowok sekaligus dekat dengan semua guru hingga bisa dengan cepat mengatasi hal apa pun.
*
    Subay datang ke rumah Vawana saat sore hari, kedua insan itu tidak seperti orang pacaran tidak ada janji-janji tidak juga memutuskan status hubungan mereka. mereka bicara sangat santai penuh canda dan kasih, saat itulah Subay mengatakan kalau ia akan meneruskan kuliah di Bengkulu dan tanpa rasa berat Vawana pun bisa melepas pria itu pergi untuk menutut ilmu tanpa berusaha menguatkan hubungan mereka dengan hal-hal yang menjurus ke pasangan sejati. Hmm itulah remaja yang sadar kalau perjalanan mereka masih sangat panjang dan berliku.
*
    Beberapa bulan sejak kepergian Subay hari-hari Vawana terasa biasa-biasa saja, ia bahkan merasa kalau Subay tidak pernah menjadi orang istimewa di dalam hidupnya. Ia tetap datang ke sekolah dan menjadi siswi paling rajin karena tidak pernah absen serta tetap bergabung dengan geng Lala. Namun akhir-akhir ini ia melihat ada geng orang daerah Tes dan sekitarnya, lebih kurang tiga orang cewek dari daerah itu dan satu cowok, yang cowok pulang pergi ke sekolah yang menempuh jarak lebih kurang tujuh kilo meter sedangkan yang cewek memilih untuk kos dengan teman-teman mereka di daerah dusun Muara Aman. Vawana juga bisa berteman dengan mereka kecuali jika ada yang anti dengannya ia pun tidak akan memaksakan diri untuk bergabung, pada prinsipnya Vawana itu orangnya netral.
**
    Malam minggu yang sangat cerah, bintang terlihat bertaburan laksana mutiara kerlap-kerlip di cakrawala. Remaja di dusun Vawana merasa amat sangat bahagia sebab yang sekolah seakan merasakan malam itu malam istimewa, tapi bagi Vawana setiap malam adalah istimewa. Satu dua teman pria yang berusaha mendekatinya ia hadapi dengan tenang dan tidak akan menerima mereka sebagai pacar kalau ia merasa tidak tertarik dengan hati, bukan ia tidak suka tapi ia merasa tidak clik saja. Berbagai alasan yang pria-pria itu lontarkan.
    Si Afian. “Aku sebenarnya dari dua tahun yang lalu suka sama kamu, Vawana, tapi agak segen sama kakak cowok kamu.”
    Si Usuf. “Aku dulu pernah bilang sama kakak kamu, kalau aku suka sama kamu tapi kakakmu tidak pernah memberi respon, tahu sendiri kan kalau dia itu salah satu temanku di sekolah.”
    Dari pernyataan-pernyataan itu Vawana jadi tahu kalau kakaknya punya wibawa yang tinggi dihadapan para teman-temannya, Vawana jadi tersenyum sendiri karena bangga pada beliau.
    Didin datang ke teras rumah Vawana di saat gadis itu sedang duduk santai di kursinya menikmati pemandangan malam yang indah di depan rumahnya. Vawana agak kaget melihat kemunculan pria tidak terlalu tinggi itu, usianya sekitar setahun di bawah Vawana. Rumahnya hanya dihalangi dua rumah dari rumah orang tua Vawana.
    “Hei, asyik benar duduk sendirian.” Sapa Didin dengan senyum mengembang di bibirnya.
    Vawana hanya tersesnyum. “Biasalah, ini tempat yang paling saya sukai.” Sahut Vawana apa adanya. “Tumben.” Tambah Vawana lagi.
    Pria itu tersenyum seakan punya kabar baik untuk Vawana dan ternyata benar. “Ada temanku yang ingin kenalan dengan kamu.” Ia melirik Vawana setelah duduk karena sudah dipersilahkan oleh Vawana. Permasalahannya apakah pria yang Didin maksud itu sudah pernah melihatnya atau belum? Dan itu sepertinya merupakan tantangan sendiri untuk Vawana.
    “Teman kamu?” tanya Vawana agak aneh karena ia tidak tahu siapa teman yang dimaksud itu sebab Didin jarang tinggal di rumahnya. Ia sekolah pun jauh dari rumah entah di dusun Tes atau di Muara Aman yang jelas Vawana tidak tahu. Di saat hati Vawana bertanya-tanya seorang pria pun muncul di halaman rumah Vawana. Vawana tidak pernah sebelumnya melihat ada pria yang nyaris sempurna seperti itu, tinggi dan memiliki postur tubuh yang atletis dengan rambut rapih meski agak keriting. Saat ia tersenyum membuat tubuh Vawana yang masih duduk di kursinya seakan tersihir hebat.
    “Selamat malam.” Sapanya dan ia disambut oleh Didin.
    “Sini.” Kata Didin hingga memaksa pria itu menaiki tangga teras rumah Vawana yang masih berdiam di tempatnya. Didin lalu melirik Vawana. “Ini temanku Vawana, namanya Anshari.” Tambah Didin ketika pria itu sudah mencapai teras dan langsung mengulurkan tanganya untuk Vawana disambut Vawana dengan santai.
    “Silahkan.” Ujar Vawana untuk bersikap tenang karena ia memang sudah bisa tenang. Kursi yang selalu tersedia di teras itu hanya dua dan ketika Vawana ingin mengambil kursi tambahan dari ruang tamunya Didin langsung berdiri dan bermaksud untuk pamit.
    “Oh ya, Vawana… aku harus ke rumah dulu, ada yang akan aku ambilkan.” Ia melirik Anshari. “Tunggu sebentar ya.” Katanya kepada pria itu, apakah ia sengaja meninggalkan Vawana bersama Anshari atau ia memang benar-benar sedang ada perlu? Yang jelas Vawana curiga kalau Didin sengaja meninggalkannya bersama pria itu. Dasar Mak comblang!
    “Boleh duduk?” tiba-tiba suara pria itu membuyarkan lamunan Vawana.
    “O, silahkan.” Sahut Vawana. Ketika pria itu duduk Vawana tetap memandang ke arah jalan raya sementara pria itu sedang mengamatinya dan jelas sekali Vawana merasa sedang diamati.
    “Ini kedatangan saya yang kedua kalinya ke dusun Didin.” Pria itu mulai membuka pembicaraan.
    “Oh.” Singkat dan hanya sekilas Vawana melirik pria cool itu.
    Singkat cerita, Vawana dan Anshari resmi pacaran. Setelah itu Didin menjelaskan sebelum bermaksud ingin mengenalkan temannya kepada Vawana ia ingin mengenalkannya kepada Erni gadis tetangga dusun berhubung gadis itu sudah punya pacar ia mengalihkan mengenalkan temannya kepada Vawana. Tapi tidak apa, semua sudah terlanjur. Dan anehnya, saat itu Didin sudah bicara pada Erni lantaran merasa temannya takut ditolak oleh Vawana yang cantik. Pandangan orang memang seringkali salah.
    “Er, aku ingin mengenalkan temanku padamu, mau ya?”
    Gadis yang rada jutek, agak angkuh dan sok kecantikan itu pun langsung menolak karena melihat pribadi Didin dan ia mengira Didin tidak mungkin punya teman sekelas tipenya. Si Erni itu kebanyakan orang mengatakan kalau dia gadis cantik nomor dua di sekitar dusun itu, di bawah Vawana. Vawana sendiri sempat kaget saat mendengar pernyataan itu dari mulut seorang wanita yang ia kenal. Vawana memang tidak pernah menyadari kalau ia adalah kembang di dusunnya bahkan di puluhan dusun sekelilingnya.
    “Nggak ah! Aku sudah punya pacar.” Jawabnya seolah mengatakan bukan masalah sudah punya pacar tapi ia tidak akan tertarik dengan teman Didin yang belum ia lihat langsung.
    Ho ho ho!
*
    Sejak menjadi pacarnya Anshari malam minggu Vawana tidak pernah sendiri, meski pun hujan Anshari tetap mendatanginya. Rumah Anshari tidak bisa dibilang dekat, ia selalu membawa motor kesayangannya ke rumah Vawana yang berjarak tidak kurang dari enam kilo meter dari rumah Anshari, dusun pria itu adanya di jalan Air Putih, yaitu di kampung Jawa. Disebut kampung Jawa karena penduduknya kebanyakkan pendatang dari pulau Jawa dengan berbagai profesi, dari guru bahkan pedagang. Kampung Jawa terletak lebih kurang dua kilo meter dari Muara Aman. Malam minggu itu seperti biasanya mereka berbincang di teras Vawana, terkadang juga di rumah Didin atau di teras rumah Didin sekedar memainkan gitar. Kedua insan itu selalu terlihat bahagia.
    Vawana melontarkan pertanyaan yang dari kemarin ingin ia tanya. “Kamu kenal dengan Didin di mana?” ujarnya dengan nada sekedar ingin tahu.
    “Didin itukan SMP-nya di Madrasah Muara Aman, kebetulan bapak kenal dengannya dan diajak tinggal di rumah setelah mengetahui kesulitan keluarganya. Bapak mengajar di Madrasah itu.” Jelas Anshari mengenai kronologi perkenalannya dengan Didin dan Vawana jadi tahu kalau bapak Anshari ternyata seorang guru. Kedua orang tuanya pun berasal dari Jawa Tengah, terlihat dengan jelas kalau Anshari bukan asli keturunan Rejang dari warna kulitnya yang hitam manis.
    “Oh, begitu. Terus kamu dulu sekolah di mana?” Vawana masih ingin tahu.
    “Di Curup, ambil PGA.”
    Vawana tahu kalau PGA itu semacam sekolah kejuruan untuk menjadi guru agama. PGA singkatan dari Guru Pendidikan Agama. Semakin hari kedua insan itu semakin lengket dan sepertinya semakin cinta satu sama yang lain, Anshari jarang menginap di rumah Didin karena ia selalu membawa motor dan pulang dengan motor kesayangannya dan mereka tidak pernah mengobrol lewat dari pukul sebelas malam. Terkadang Anshari mengajak teman dari dusunnya dan dikenalkan juga dengan Vawana.
    Dari pria itu Vawana sering mendapat informasi mengenai kelakukan Anshari tanpa Vawana minta. Ia mengatakan kalau ia tidak pernah melihat Anshari menjadi pria yang setia pada satu wanita dan kalau ia sedang kesal dengan pacarnya tak jarang ia meninggalkan wanita itu di jalan dan ia dengan santainya pulang sendiri. Keterlaluan dan Vawana tentu saja tidak percaya begitu saja, tapi setelah pria itu cerita di depan Vawana dan Anshari, pria itu hanya senyum-senyum tanpa membantahnya. Yakinlah Vawana kalau Anshari memang seperti itu.
*
    Di kesempatan hari minggu, Vawana jalan-jalan ke Air Putih bersama Anshari ditemani oleh Didin juga yang merangkap menjadi juru foto untuk Vawana dan Anshari. Tempat wisata Air Putih hanya berjarak tidak lebih dari sepuluh kilo meter dari Muara Aman. Vawana mengenakan celana jins krem dengan baju kemeja merah bergaris putih sedang Anshari memakai kaos dibalut jaket putih yang bagus juga celana jins. Mereka menikmati pemandangan air yang bersih dan mengambil beberapa foto di atas batu yang besar. Tak berapa lama setelah itu Didin menghilang entah ke mana, karena begitu ramainya tempat wisata itu membuatnya susah ditemui.
    Di siang hari, Anshari mengambil whudu untuk shalat zhuhur lalu merentangkan jaketnya di atas batu lebar lagi besar untuk shalat. Vawana menyimak pria itu yang membuatnya semakin kagum. Tempat mereka agak jauh dari keramaian, tapi tidak ada kontak fisik yang mereka lakukan apalagi mesra-mesraan seperti pasangan muda-mudi yang lainnya. Sebab Vawana punya prinsip yang mungkin sebagian orang menganggapnya kolot.
**
    Di sekolah, Vawana tetap menjadi gadis bersahaja. Anak-anak geng dari dusun Tes yang kebetulan satunya agak akrab dengan Vawana namanya Atik, orangnya rada slebor, ramah dan berani juga asyik. Siang itu waktu mereka istirahat si Atik mendekati Vawana.
    “Va, kamu pacaran dengan Anshari ya?” ia bertanya santai disertai senyum nakal. Vawana yang agak kaget jadi ikut-ikutan tersenyum.
    “Kamu, kamu tahu dari mana?” meski pertanyaan itu disertai senyuman namun masih diliputi rasa penasaran tinggi.
    “Anshari yang bilang, jangan bingung gitu. Aku kan kos ga jauh dari rumahnya. Waktu itu dia tanya, apakah aku sekelas dengan kamu? Aku bilang iya
lalu ia mengatakan kalau kamu adalah pacarnya. Cie cieeeee.” Belum juga Vawana mengiakan tapi gadis itu sudah menggodannya. Sejak itu sebagian besar teman Vawana yang cewek tahu kalau Vawana punya kekasih di luar. Dan itu agak membuat Lala jadi ikut bertanya kepada sahabatnya itu.
    Saat jam pelajaran bubar dan Lala berjalan pulang menyusuri teras sekolah bersama Vawana sedang yang lainnya ada di depan mereka. Lala nyeletuk dengan santainya.
    “Kamu dekat dengan Anshari?” ujarnya tanpa menoleh ke wajah Vawana yang berjalan di sebelahnya. Meski kaget kenapa Lala bertanya seperti itu dan lebih heran lagi sepertinya Lala kenal dengan pria itu. Tapi Vawana tetep tersenyum. “Dengar-dengar Anshari itu buaya lho!” itu semacam peringatan.
    Tapi Vawana tetap menanggapinya dengan tenang. “Sekali-kali bikin pria buaya bertekuk lutuk kan tidak ada salahnya.” Sahut Vawana yang masih dirundung tanya karena ia yakin dari pernyataan Lala itu bahwa ia kenal dengan sosok Anshari tapi Vawana tidak pernah berpikiran ke arah yang negatif. Ia tahu tempat tinggal Lala tidak terlalu jauh dari Anshari meski berseberangan arah. Kata-kata Vawana yang mengatakan ‘buaya bertekuk lutut’ bukan tanpa alasan karena setiap malam minggu tak sekalipun Anshari absen datang menemuinya.
    “O, begitu.” Hela Lala masih dengan santai.
*
    Nyaris semua teman cewek di kelas tahu kalau Vawana dekat dengan Anshari, tak ketinggalan si Lilis teman satu dusun Atik dan juga pernah satu kosan dengan gadis itu yang ternyata pernah dekat dengan Anshari.. apakah masih atau sudah berlalu? Vawana tidak tahu pasti, yang jelas ia sering mendengar kata-kata temannya.
    “Eh, si Lilis itu seringkali lho menyimak kamu, Va. Mungkin ia sedang mencari apa sih kelebihan kamu sehingga Anshari tertarik sama kamu. Yah, kalau dilihar sih, dia itu belum ada sekukunya kamu.” Ujar teman Vawana yang memiliki rambut panjang, rada ceriwis tapi asyik. Vawana tidak berkomentar apa pun mendengar aduan gadis itu, selain senyuman tipis seperti respon Lala dan juga yang lainnya. Tapi sejujurnya Vawana sendiri tidak pernah melihat secara langsung adanya tatapan kebencian dari mata Lilis. Vawana pun tidak mau menjadi gadis besar kepala, bagaimana pun ia tahu perasaan seorang wanita.
*
    Saat ia kembali bersama Anshari dan mendengar berbagai cerita Vawana bisa mengambil kesimpulan kalau pria itu belum pernah diputuskan sama cewek, tak sekalipun. Maka dari itu, Vawana yang notabene juga seperti itu maka ia mengambil inisiatif untuk berpisah dari Anshari. Anshari tentu saja merasa kaget dan tidak akan menerima keputusan sepihak dari Vawana. Apa pun alasannya ia tidak akan mau putus dengan Vawana, tapi Vawana punya dalil sendiri yang susah dimengerti oleh Anshari, dengan sekedar alasan klise mengatakan kalau mereka tidak cocok.
    Malam minggu berikutnya, Anshari tetap datang ke rumah temannya Didin. Ia meminta pria itu mengantarnya ke rumah Vawana tapi saat itu Vawana sedang duduk di teras rumah temannya. Terang bulan di langit terlihat sangat sempurna, Anshari pun bernyanyi-nyanyi di teras rumah sebelah. Lagunya asal-asalan seolah menggambarkan kalau ia masih mengharapkan Vawana kembali untuknya.
    Kejadian itu terulang lagi setelah dua kali minggu, kali ini Anshari benar-benar mendatangi Vawana. Tadinya ia tidak bertemu Vawana di rumah, ternyata gadis itu sedang berbincang dengan temannya, Deta.
    Deta itu tadinya akrab dengan adik Vawana yang perempuan karena mereka sepantaran di sekolah, sayangnya Deta tidak meneruskan ke sekolah SMA dikarenakan ia tidak naik kelas. Sekarang Deta lebih dekat dengan Vawana. Tak jarang mereka suka jalan-jalan berdua di malam hari menyusuri dusun mereka yang selalu ramai.
    Mengetahui Vawana di depan rumah Deta, Anshari dan Didin menghampiri mereka. Dan entah bagaimana ceritanya akhirnya kedua insan itu bisa berbincang bersama lagi seperti malam-malam minggu sebelumnya. Apakah karena bujukan Didin yang keras kepada Vawana atau Anshari yang bersiteguh untuk berdua dengan Vawana.
    Keduanya tak habis tersenyum karena merasa aneh dengan hubungan mereka. Vawana merasa punya satu alasan telah memutuskan Anshari karena Vawana pun belum pernah diputuskan pria. Ia tidak mau diputuskan oleh pria pertama kali apalagi Anshari yang melakukannya sebab ia mencintai pria itu. Anehnya Anshari tidak menyadari hal itu, dengan kembalinya Vawana menjadi kekasihnya pria itu terlihat lebih bahagia dari sebelum-sebelumnya.
**
    Danau Tes.
Saat datangnya hari lebaran idul fitri merupakan hari-hari yang menyenangkan bagi anak-anak seumat muslimin di dunia tak terkecuali Vawana, karena remaja seusia dia biasanya dari hari lebaran kedua merupakan waktu mereka untuk jalan-jalan ke tempat wisata bersama teman atau pun bersama pasangan dan tidak sedikit yang sudah berkeluarga mengajak anak-anak mereka seolah dalam tiga hari itu merupakan saat yang istimewa untuk piknik.
    Vawana dengan temannya Anshari serta si Atik bersama teman prianya, yang Vawana tahu Atik tidak pacaran dengan pria itu yang ternyata juga temannya Anshari. Pagi menjelang siang, keempat remaja itu yang persisnya seperti orang sedang double date menunggu mobil angkutan di terminal pasar Muara Aman untuk berangkat ke danau Tes yang tempatnya sekitar dua belas kilo meter dari Muara Aman.
    Tidak sedikit manusia yang ingin pergi ke tempat wisata hari itu, apalagi cuaca sangat mendukung. Bukan saja ke danau Tes, ada yang ingin pergi ke air terjun yang berlokasi di Embong Uram dan ke Air Putih. Vawana dengan ketiga temannya menunggu mobil yang akan ke Tes, mereka duduk-duduk menunggu giliran mobil yang ternyata seringkali rebutan. Apa mobilnya yang kurang atau manusianya yang hari itu memang membludak, hingga mereka harus menunggu cukup lama juga.
    Atik mendekati Vawana yang sedang duduk dengan tenang, gadis itu sedikit berbisik kepada Vawana sedang Anshari terlihat berbincang dengan Yanto, itu nama teman mereka. “Va, kamu coba lihat ke arah kiri deh.” Ujarnya dengan penuh kecurigaan. Vawana pun mengikuti apa yang diminta Atik yang masih meneruskan ucapannya. “Kamu lihat cewek yang mengenakan baju putih, duduk sendirian dengan postur tubuh
   
   ===
Bersambung.........>>>






Tidak ada komentar:

Posting Komentar