(Sebuah Novel Fiksi Remaja)
===
Muara Aman Tahun 1988
Sebuah kota kecil
yang ada di Kabupaten Rejang Lebong, provinsi Bengkulu. Pada tahun 1983 berdiri
sebuah Sekolah Menengah Atas Negeri pertama bernama SMAN 1 Muara Aman, sesuai
dengan nama kotanya. Kota Muara Aman dari Bengkulu pusat menempuh perjalanan darat
sekitar empat jam. Sedangkan dari dusun Embong Panjang sekitar empat kilo
meter.
Vawana nama gadis
itu, kurus, tinggi, hidung mancung dengan wajah oval dan rambut panjang yang lurus
dan usianya masih dibawah enam belas tahun. Ia datang ke gedung sekolah SMAN 1
Muara Aman untuk mendaftar ulang sebagai calon murid baru di sekolah itu tanpa
diantar oleh salah satu orang tuanya atau siapa pun, ia hanya datang bersama
para calon murid yang lain tanpa satu pun yang ia kenal, mereka datang dari
berbagai SMP yang ada disekitar lingkungan itu. Yang dari dusun Embong Panjang
hanya dia berhasil masuk ke SMAN 1 Muara Aman, sedang teman se-SMP-nya atau
teman-teman sedusunnya masuk ke sekolah swasta, ada yang ke SMEA, PGRI dan yang
sederajat lainya. Sebab sekolah itu hanya menerima nilai NEM diatas rata-rata
tanpa dites ulang.
Vawana disambut
oleh panitia penerima siswa baru, mereka adalah guru yang mengajar di sekolah
itu termasuk TU juga yang meminta Vawana untuk menulis persyaratan atau berkas
yang harus dikumpulkan.
Seorang pria
berusia sekitar tiga puluhan yang belakangan Vawana tahu kalau dia adalah TU di
sekolah. Ia menatap Vawana sejenak. “Silahkan isi buku tamu ini.” Ujarnya
karena ia duduk di barisan paling depan, di sebelahnya ada sekitar dua guru
lain yang terlihat sibuk melayani para calon murid baru. Posisi mereka pas di
sebelah kantor guru.
Vawana meraih
pulpen yang sudah tersedia di samping buku tamu yang telah terbuka. “Ya, Pak.”
Sahut Vawana.
“Kamu dari SMP
mana?” ia menatap Vawana sejenak membuat Vawana gugup karena pertanyaan pria
itu tidak bersahabat apalagi berwibawa. “Lha, ditanya dari SMP mana hidungnya
malah kembang kempes begitu.” Spontan ia menggoda Vawana yang semakin gugup.
Sambil menulis Vawana
akhirnya menjawab. “Dari SMP Negeri Talang Leak.”
“Oh, jauh juga.”
Jawabnya spontan lalu ia melirik teman-teman guru yang lain sembari tertawa
sedang Vawana tidak menghiraukannya lagi karena ingin buru-buru menulis namanya
di buku tamu itu. Setelah selesai Vawana pun buru-buru meninggalkan tempat itu,
senin besok ia sudah harus masuk sebagai siswi SMAN 1 Muara Aman.
*
Muara Aman adalah
nama sebuah perkampungan yang termasuk lumayan ramai karena ada pasar yang
merupakan pertemuan kampung-kampung yang lainnya. Intinya Muara Aman adalah
pusat dari semua kampung yang tidak kurang dari ratusan kampung yang ada di
daerah sekitar, dan bisa dibilang sebuah kota kecil. Ada terminal, pasar tradisional
sampai pasar pakaian dan tempat-tempat luar biasa lainnya.
Vawana jarang
sekali datang ke Muara Aman waktu mendaftar ulang saja ia baru dua kali
menginjakkan kakinya di daerah itu, ia harus naik mobil angkutan umum sejenis
angkot dengan ongkos seratus rupiah dengan jarak lebih kurang empat kilo meter
dari rumahnya. Di pasar Muara Aman belum ada ojek atau sejenisnya hanya ada
angkutan umum itu. Bentuknya berbeda dengan angkutan kota pada umumnya, besar
kendarannya sama tapi terbuka dibagian belakangnya dengan posisi tempat duduk
kiri kanan memanjang berhadapan, dengan muatan sekitar enam orang di kanan dan
enam orang di kiri.
**
Vawana dapat kelas
1-3 dan harus masuk siang hari karena sekolah masih kekurangan banyak kelas. Di
siang hari ternyata ada juga anak PGRI yang memakai gedung SMAN 1 Muara Aman,
sehingga Vawana tidak akan kesepian masuk siang karena anak-anak PGRI lengkap
dari kelas satu hingga kelas tiga. Dan pemandangan saat jam istirahat terakhir
adalah menonton anak kelas tiga yang prianya sering sekali bermain basket, itu
tontonan menarik apalagi ada kakak kandung Vawana salah satu diantara pria itu.
Tak jarang teman-teman pria kakak Vawana coba mendekati Vawana karena merasa
tertarik tapi merasa tidak enak, sehingga mereka hanya bisa bercanda saja dari
jauh tapi masih bisa didengar oleh pawana dan Vawana merasa tersanjung
sekaligus segan kepada kakaknya yang cool,
juga keren dalam segala hal, ia dijuluki Rano Karno di sekolah, wah senang
sekali Vawana mendengar kakaknya banyak disukai orang.
Suatu sore, Vawana
pulang dan mobil sudah tidak ada yang ke dusun Vawana karena mobil hanya
beroperasi hingga pukul 17.30 WIB saja sedang waktu itu hujan dan tempat menuju
mobil ngetem lumayan jauh, jalan kaki
sekitar sepuluh menit dari gedung sekolah. Sehingga Vawana terlambat karena
kelamaan meneduh, ia ditemani oleh kakaknya beserta teman kakaknya, ada yang
laki-laki ada juga yang perempuan dan akhirnya mereka memutuskan untuk pulang
dengan berjalan kaki. Hujan sudah berhenti hanya saja cuaca masih mendung. Vawana
dan kakaknya jarang bicara langsung tapi Vawana tahu kalau kakaknya sangat
melindungi dia dari sikap dan caranya itu membuat Vawana sangat menyayangi pria
itu. Disepanjang jalan mereka bercanda dan santai meski jalanan mulai gelap,
ada satu dusun namanya Para Datuk, itu masih setengah perjalanan menuju rumah Vawana,
tempat itu lumayan angker rumah penduduk hanya ada satu dan tidak ada lampu
jalan yang menerangi jalanan… dunia gelap karena malam sudah menyambut Vawana
beserta yang lainnya. Vawana dan teman-temannya hanya bisa berjalan dengan
mengira-ngira saja karena sama sekali tidak ada cahaya dari langit, benar-benar
gelap apalagi ada sedikit turun gerimis. Sempat membuat Vawana takut dan
gemetar, ia merasa bersyukur kepada Tuhan karena ada kakaknya di sana yang
menjadi pelindungnya hingga bisa melenyapkan rasa gemetar Vawana, di dalam
gelap terus berjalan hanya ditemani suara-suara teman yang sama sekali tidak
bisa kelihatan wajahnya, tempat gelap itu dilewati tidak kurang dari sepuluh
menit. Vawana sempat menahan napas dan bisa bernapas lega setelah menemukan
dusun yang sudah ada penghuninya ditambah cahaya lampu teras yang remang-remang
itu sudah cukup membuat rasa senang di hati Pawana mulai timbul lagi.. untuk
melanjutkan perjalanan menuju rumah, dan tiba di rumah sekitar pukul delapan
malam.
Dua hari setelah
itu, Vawana ketinggalan mobil lagi, tidak ada kakaknya karena tidak masuk
sekolah dan ia terpaksa diantar oleh seorang guru SMP Muara Aman. Pria itu
adalah pamannya Vawana yang sudah menikah dan tinggal di Muara Aman dengan cara
nge-kos. Beliau belum punya rumah pribadi sedang kedua orang tuanya tinggal di
Curup, ia sepupu dekat dari ibu Vawana. Dulu saat Vawana masih bayi ia ingin
mengadopsi untuk ia sekolahkan di sekolah perawat sekaligus dijadikan anak
angkatnya, sebab ia suka sekali melihat Vawana kecil yang imut dan menggemaskan.
Cerita itu pernah Vawana dengan dari ibunya langsung. Tapi sekarang ia sudah
menikah dan punya anak sendiri.
**
Karena sekolahnya
siang hari, setiap pagi Vawana harus ke kebun karet untuk membantu ibunya
menyadap karet ditemani kakak lelakinya itu. Kakak lelakinya mencari uang saku
sendiri dengan menyadap karet orang tua mereka. Seorang wanita yang masih usia
enam belasan menyadap karet di kebun yang pertama kali di dusun itu adalah Vawana.
Seringkali ia merasa risih dilihat orang-orang yang lewat di kebunnya sebab
kebun orang tua Vawana ada diperlintasan kebun orang lain. Tak jarang Vawana
sembunyi di balik pohon karet kalau ada yang kebetulan lewat, tapi semangat Vawana
tidak pernah surut karena ia melihat perjuangan ibunya yang tidak ada
henti-hentinya bekerja untuk membantu membiayai anak-anaknya yang tidak bisa
dibilang sedikit. Vawana punya empat orang adik, dua laki-laki dan dua
perempuan tapi laki-laki yang satunya sudah meninggal saat usia dua tahun
karena penyakit cacar. Sedangkan kakak, tiga perempuan dan tiga laki-laki tapi
laki-laki yang pas diatas Vawana meninggal saat usia 17 tahun karena mengalami
sakit yang cukup lama, deman tinggi dan tifus. Sedang kakak tertuanya yang
nomor dua perempuan meninggal saat usia 13 bulan akibat cacar, yang nomor empat
juga meninggal dengan penyakit yang sama diusia dua tahun. Setahu Vawana ia memiliki
sembilan orang saudara kandung ternyata ia salah, sebab ibunya mengatakan kalau
orang tuanya memiliki sebelas orang anak. Karena kedua kakak Pawana meninggal
saat Vawana belum lahir.
Sedang Bapak Vawana
jarang ada dirumah, ia kerja di luar sebagai tukang bangunan dan tak jarang ia
mengajak kenek dari dusun Vawana. Terkadang ia pulang tiga bulan sekali bahkan
lebih. Ia mengambil borongan yang tempatnya tidak bisa dibilang dekat dari
rumah, bahkan gedung kampus UNIB pun ia ikut andil membuatnya. Jadi yang ada di
rumah selalu ibu Vawana dan anak-anaknya.
Saat Vawana duduk
di bangku kelas satu SMA kakak lelakinya yang paling tua sudah lulus dari
sekolah dan memutuskan merantau ke luar kota, dan sekalinya pulang ia
membelikan beberapa kaleng susu untuk keluarga, adik-adiknya serta orang
tuanya. Ia menyadari kalau keluarganya jarang sekali menikmati minuman bergizi
seperti itu. Vawana menjadi terharu dan senang setiap kali kakaknya pulang.
Kakak perempuan Pawana tidak meneruskan sekolah, ia hanya tamat SD karena waktu
ingin melanjutkan sekolah semua sawah yang ada di kampung Vawana dilanda
serangan hama wereng membuat para
petani tidak bisa memetik hasil panen, termasuk sawah kedua orang tua Vawana.
Kakak Vawana itu tidak menyadap karet di kebun tapi ia mengurus rumah, urusan
masak dan mencuci pakaian Vawana dan adik-adiknya beres ditangannya. Ia
pastilah sangat ingin sekolah apalagi ia termasuk anak yang jenius, entah
mengapa Vawana benar-benar tidak mengerti apakah hanya karena kasus wereng itu ia tidak bisa sekolah atau
ada hal lainnya..?
Di tahun 1988 itu
juga kakak perempuan Vawana menikah diusia 24 tahun. Acara resepsi pun
dilaksanakan dengan meriah sekali.
**
Setelah semester
pertama anak kelas 1-3 mendapat giliran masuk pagi, meski sedih tidak bisa
bersama kakaknya lagi Vawana tetap semangat karena bergabung dengan semua
anak-anak siswa yang murni SMAN 1 Muara Aman tanpa sering kepanasan di kelas
saat menerima pelajaran diatas jam dua siang. Waktu keluar jam isirahat, Vawana
bersama teman sebangkunya ke kantin sekedar menikmati makanan yang hari itu
kebetulan ibunya memberi sedikit uang jajan dan itu jarang sekali terjadi,
karena terkadang uang untuk ongkos naik angkutan saja ibunya sering meminjamkan
dulu kepada warung sebelah rumah mereka dan akan mengembalikannya setelah
menjual hasil dari menyadap karet. Tapi Pawana tidak pernah minta uang jajan
kepada ibunya, apakah karena ia tahu ibunya tidak punya uang atau ia memang
tidak pernah meminta!? Yang pasti ia tahu bapaknya tidak ada di rumah, yang
rela meninggalkan rumah berbulan-bulan untuk menghidupi keluarga meski ibunya
juga tidak pernah berhenti membantu.
*
Suatu siang
setelah pulang dari sekolah Vawana jalan kaki menuju tempat untuk menunggu
mobil, seorang pria mengenakan baju pramuka duduk di salah satu ruko pasar, ia
memang menunggu giliran masuk sekolah setelah anak-anak negeri pulang. Vawana
tahu anak itu, dia anak PGRI kelas satu juga, rumahnya ada dilingkungan pasar
saat itu ia nyeletuk dengan polosnya. “Ya Tuhan.. bagaimana caranya Engkau
menciptakan mahluk seindah ini.” Ujarnya dan Vawana merasa yakin sekali kalau
yang pria itu maksudkan adalah dirinya, Vawana merasa malu dan untungnya tidak
ada yang mendengar sehingga Vawana yang tadinya menoleh sekilas langsung jalan
lagi, ngeri juga ia. Tapi dia yakin pria itu tidak akan melakukan hal konyol,
ia hanya mengangumi ciptaan Tuhan saja dengan caranya sendiri. Meski begitu
Vawana merasa tersanjung juga.
*
Saat masuk kantin mata Vawana sempat
bersirobok pada sosok pria yang sedang tersenyum padanya tapi Vawana tetap
melangkah seakan tidak menghiraukan pria yang ia tahu kakak kelasnya. Ia tidak
tahu namanya dan di mana dusunnya, sama sekali ia tidak tahu. Pria itu tidak
menegur Vawana dan tidak juga menyodorkan diri untuk berkenalan. Sedang Vawana
tetap melanjutkan keinginannya untuk menikmati makanan yang ada di kantin.
Keesokan harinya,
teman sebangku Vawana menyampaikan salam dari seorang pria untuk Vawana. “Va,
ada salam dari temanku, namanya Subay ia satu dusun denganku.” Jelas wanita
yang bernama Anne itu, ia berperawakan agak pendek tapi cantik dan ramah. Vawana
merasa cocok duduk sebangku dengannya.
“Teman satu dusun
dengan kamu? Kok namanya aneh?” sahut Vawana dengan wajah agak berlipat karena
heran.
“Ya, itu nama
panggilannya agak mendekati nama aslinya sih. Pokoknya orangnya keren deh.”
Kata Anne lagi agak bersemangat seolah mendukung pria yang menitipkan salam
itu, Vawana tidak tahu apa yang telah pria itu katakan kepada Anne sehingga ia ingin
sekali mengenalkan Vawana dengan temannya. Tapi Vawana tidak berkomentar lagi.
Hingga esok harinya diwaktu istirahat pertama Vawana menerima surat dari Anne.
“Ini surat dari Subay, untuk kamu. Ia memberikan ini padaku tadi. Kamu tahu
Subay, kan? Itu lho pria yang menatap kamu waktu kita ke kantin kemarin, ia
yang duduk bersama temannya itu. Dia itu yang satu kampung sama aku, coba kamu
baca saja suratnya.” Kata Anne setelah surat itu ada di tangan Vawana. Vawana
tidak langsung membuka surat itu, ia hanya menyimpannya di dalam kantong rok
abu-abunya.
“Nanti di rumah
saja aku baca.” Kata Vawana tidak ingin isi surat itu diketahui oleh Anne
karena merasa malu. Itu adalah surat pertama yang diterima Vawana dari seorang
pria, saat ia duduk di bangku kelas satu SMA.
Malam harinya, Vawana
baru memberanikan diri untuk membuka surat itu dan mulai membacanya dengan
perasaan tidak menentu..
Hai mama… salam kenal,
Aku memberanikan diri menulis surat ini
untuk mama dengan harapan,
Aku
ingin kamu menjadi pacarku, mama.
Aku tunggu jawaban mama ya.
Dari yang mencintaimu, Subay.
Vawana
sangat kaget dengan isi surat yang memanggilnya dengan sebutan ‘mama’ itu terdengar
aneh sekali, membuat Vawana langsung ingat wajah pria yang di kantin itu. Entah
tidak tahu ia tiba-tiba merasa tidak suka sebutan itu, terdengar tua dan tidak
romantis tapi wajah pria yang tersenyum itu mampu membuat hati Vawana berbunga sedikit.
Vawana tidak berminat untuk membalas surat itu, bukan ia tidak bisa menulis
surat balasannya tapi ia hanya merasa enggan saja.
Hari berikutnya Vawana
melihat Anne sedang berbincang-bincang dengan Subay di dekat pintu kelas dua
IPA, itu kelasnya Subay. Di mana muridnya tidak lebih dari tiga puluh orang
saja. hanya satu kelas, sedang anak IPS ada dua kelas. Vawana merasa yakin
kalau mereka sedang membicarakan dirinya, apalagi saat itu Subay yang kebetulan
menghadap ke arah Vawana melemparkan senyuman hingga memperlihatkan
gigi-giginya yang rapih dan putih tapi Vawana memalingkan pandangannya ke
tempat lain sebelum Anne menoleh kepadanya.
Beberapa saat
kemudian Anne sudah berdiri di hadapan Vawana. “Hei, tadi Subay tanya sama aku
mengenai surat itu, kok tidak ada balasan atau aku belum kasih surat itu ke
kamu? ia tanya seperti itu.” Jelas Anne yang kebetulan tadi tidak melihat kalau
Pawana menyimak ia bicara dengan Subay.
“Oh, itu? Tidak
mesti dijawab dengan surat juga, kan?” sahut Vawana dengan santainya. Vawana
benar-benar menempati kata-katanya dengan tidak pernah membalas surat cinta
dari Subay. Hingga dua hari berikutnya Subay mendatangi Vawana saat mereka
istirahat. Dengan senyum khasnya ia pun menegur Vawana dan membuat Vawana
sedikit gugup meski Subay tidak menampakkan wajah galak, ia berdiri tepat di
depan wajah Vawana hingga wajah putihnya terlihat semakin jelas oleh Vawana.
“Apa kabar, Vawana?”
kata Subay dengan suara lembut disertai senyum tipis membuat Vawana merasa
panas dingin bukan takut dipergoki sama teman-temannya atau guru kelasnya
karena ia merasa tidak berbuat apa-apa. “Kamu sudah baca surat dari aku, kan?”
kata-kata itu seakan menegaskan ‘kenapa kamu belum membalas suratku?’
“Sudah.” Sahut Vawana
singkat dan seolah tidak begitu paham dengan ucapan Subay tapi ia tidak peduli.
Tidak tahu
bagaimana ceritanya, Vawana dan Subay akhirnya jadian dan dalam kesempatan berdua di luar jam sekolah. Subay tidak
memanggil Vawana dengan sebutan ‘mama’ dan lebih sering menyebut ‘kamu’ “Vawana,
pertama melihat kamu, yang aku lihat adalah pelipis sebelah kiri kamu.” Ia
melirik ke arah pelipis Vawana sekilas. “Itu bekas luka, ya?”
Vawana meraba pelipis
sebelah kirinya di sana ada bekas luka kecil. “Ya, kata ibuku saat usiaku
kira-kira empat tahun aku jatuh dari kursi dan wajahku mengenai kunci lemari
yang ada di ruang tamu kami.” Pawana tersenyum karena ingat cerita ibu dan
diperkuat oleh kakak perempuannya yang mengatakan kalau saat itu Vawana sedang
berdiri di atas kursi dan melompat-lompat.
“O, tapi aku suka
bekas luka itu. Sepertinya punya daya tarik sendiri.” Kata Subay diluar dugaan
Vawana.
Vawana tersenyum.
“Masa sih?” ia merasa tidak percaya.
“Benar dan……..
satu lagi, aku suka gingsul kamu.” Kata Subay serius dan kembali membuat Vawana
tersenyum.
**
Malam minggu, Subay
datang ke dusun Vawana. Vawana kaget saat salah satu teman sekelas Subay
seorang pria yang rumahnya satu dusun dengan Vawana mengatakan Subay ingin
bertemu. Malam minggu yang sangat cerah, banyak muda-mudi terlihat hilir mudik
dan bercengkrama di jalan dengan kerabat mereka, serta anak-anak yang terlihat
asyik bermain di warung ditemani orang tua mereka yang kebetulan menikmati apa
yang tersaji di warung seperti pisang goreng atau jenis makanan lainnya,
intinya kalau cuaca cerah suasana pasti ramai, karena tidak semua rumah
memiliki televisi sehingga banyak yang menghabiskan waktunya di luar sembari
menunggu datangnya ngantuk tapi banyak juga yang menghabiskan waktu di rumah
atau di terasnya sendiri untuk melihat pemandangan di jalan. Tapi Vawana tidak
akan keluar rumah kalau bukan malam minggu, itu sudah menjadi peraturan yang ia
buat sendiri. Ia tidak seperti saudaranya yang lain, Vawana lebih senang
menghabiskan waktu di rumah atau duduk di terasnya yang luas. Terkadang teman
wanitanya yang datang untuk sekedar ngobrol di teras.
“Kamu kapan sampai
di dusunku?” tanya Vawana setelah ia bertemu dengan Subay sedang temanya sudah
pergi.
“Tadi sore, aku
sengaja datang ke sini dan akan menginap di rumah temanku itu.” Jelas Subay.
“Oh.” Vawana
sangat mengerti, sebab untuk datang ke dusunnya malam-malam tidak ada angkutan
umum apalagi rumah Subay lumayan jauh, sekitar tujuh kilo meter. Kedua sejoli
itu memilih untuk jalan-jalan malam itu tanpa bergandengan tangan tentunya.
Subay mengenakan celana panjang warna putih dengan kemeja lembut sedang Vawana
mengenakan celana jins dengan dipadu kaos. Akhirnya Vawana mengajak Subay duduk
di teras rumah neneknya, di sana mereka banyak bicara mengenai apa saja. Tanpa
ada kontak fisik, atau hal yang nyeleneh
lainya, meski jujur Vawana sebenarnya merasa sangat gugup, berdebar tidak
keruan tapi mereka terlihat bahagia setiap kata diwarnai dengan canda dan tawa
hingga tanpa terasa waktu sudah hampir menunjukkan pukul sepuluh malam itu, Vawana
memutuskan untuk pulang yang akhirnya diantar oleh Subay sampai di depan
halaman rumahnya.
“Lain kali main ke
rumahku, ya?” kata Subay serius diujung perpisahan malam itu. Vawana belum
menjawab karena masih ragu. “Nanti aku akan mengajak Anne, rumahku dengan
rumahnya tidak begitu jauh kok.” Tambah Subay setelah melihat keraguan Vawana.
Setiap hari ibu
Vawana berada di kebun dan sejak Vawana masuk pagi ia tidak bisa lagi menemani
ibunya hanya sang kakak saja karena anak PGRI selalu masuk siang karena mereka
belum memiliki gedung sekolah sendiri. Jadi Vawana hanya bisa membantunya di
hari minggu atau hari libur nasional, terkadang setelah pulang dari sekolah ia
masih sering menyempatkan diri membantu ibunya mengangkut kayu bakar atau
paling tidak jika ibunya menyadap karet sore hari ia baru bisa membantu.
Intinya sejak Vawana masuk sekolah pagi hari ia mulai jarang punya kesempatan
membantu pekerjaan ibunya, dan jika ibunya pulang dari kebun rumah harus sudah
beres, tidak ada piring kotor, makanan untuk sore ada alias sudah dimasak, air
minun tersedia dan rumah bersih. Dan itu bisa Vawana kerjakan setelah pulang
dari sekolah dibantu adik perempuannya.
**
Hari itu, Vawana
memenuhi ajakan Subay untuk main ke kampungnya dan ditemani Anne tentunya.
Pertama Vawana ke rumah Anne, rumahnya tidak begitu jauh dari sungai Uram,
airnya bersih hingga menyejukkan hari bagi yang melihatnya. Tak lama kemudian
Subay datang, ia mengajak Vawana dan Anne bermain ke tempat lumbung padinya. Orang
tua pria itu ternyata punya tempat penggilingan padi. Tanpa malu-malu Subay
membantu orang yang sedang menjemur padi tanpa bermaksud pamer sama Vawana,
sebab di dusun jika orang sudah memiliki penggilingan padi dan berhasil menarik
banyak orang menitipkan padinya di tempat mereka maka mereka sudah bisa di
sebut orang berada. Beberapa saat kemudian Subay mengajak Vawana main ke
rumahnya dan tetap didampingi oleh Anne. Di rumah itu Vawana tidak menemukan
kedua orang tua Subay selain kakak perempuannya. wanita itu terlihat tidak
bersahabat. Sekilas Subay mengisyaratkan kalau perempuan itu adalah kakaknya.
Tak sedikit pun wanita itu mengajak Vawana bicara dari dalam ia hanya lewat
saja seolah tidak melihat Vawana. Vawana diam saja dan dari Anne akhirnya
Vawana tahu kalau perempuan itu memang punya sifat seperti itu dan tak perlu
diambil hati.
Dan keesokannya,
Vawana satu mobil dengan kakak Subay, mereka duduk berhadapan tapi perempuan
itu tidak berada tepat di depan Vawana, Vawana menganggukkan sedikit kepalanya
sekedar sapaan hormatnya pada perempuan yang mengenakan seragam perawat itu.
Vawana tahu dari Subay kalau perempuan itu bekerja disalah satu rumah sakit di
kampung yang tidak begitu jauh dari kampungnya Vawana. Vawana kaget karena
melihat reaksi perempuan itu seolah tidak mengenalinya dan yang lebih membuat
Vawana kesal, ia melirik Vawana dari ujung kaki hingga kepala. Itu membuat
Vawana merasa dilecehkan. Tapi Vawana cuek
saja, bodoh amat. Pikirnya. Hal itu tidak Vawana ceritakan pada Subay, sebab ia
merasa tidak begitu penting untuk dibahas.
Meski demikian
hubungan Vawana dengan Subay tetap berjalan lancar, mereka pun pergi
jalan-jalan ke air terjun yang ada di Paliak bersama salah satu teman Subay
yang juga mengajak kekasihnya sehingga mereka terlihat
seperti double date, malam minggu Subay masih sering berkunjung ke tempat Vawana
bahkan jika ada kesempatan siang minggu pun ia datang dengan alasan sedang
bermain ke rumah temannya. Karena seringnya Subay datang ke rumah Vawana
beberapa tentangga Vawana jadi akrab dengannya tak terkecuali yang wanita
seusia Vawana.
**
Untuk pertama
kalinya Vawana menangis karena seorang pria, itu disebabkan oleh Subay. Malam
itu seorang wanita yang juga tetangga dengan Vawana menceritakan kalau ia kenal
dengan Subay dan ia juga kenal dengan pacar Subay.
“Kamu sudah lama
pacaran dengan Subay?” tanya wanita mungil yang rumahnya ada di depan rumah
Vawana, namanya Tea.
“Nggak juga sih, memangnya kenapa?” tanya
Vawana sekedar ingin tahu maksud dari pertanyaan Tea sebab ia tahu kalau si Tea
yang rada genit itu suka bolak-balik ke dusunnya Subay karena ia punya kakak
ipar yang tinggal di sana.
“Subay kan punya
pacar di dusunnya, dan malam minggu kemarin aku melihat Subay datang ke tempat
wanita itu, rumahnya dekat dengan rumah saudara iparku itu.” Jelas Tea dengan
santainya tapi cukup memancing rasa cemburu Vawana dengan hebatnya sebab
kebetulan malam minggu kemarin Subay memang tidak datang. Cemburu Vawana
semakin lengkap setelah mendengar ada kabar angin kalau Subay juga punya
kenalan seorang wanita yang tetangga dusun dengan Vawana.
Malam itu, cukup sudah alasanVawana menangis dan ia
merasakan rasa sakit yang amat sakit dihatinya yang paling dalam. Subay mungkin
cinta pertamanya tapi belum tentu Subay juga seperti itu. Siapa yang tidak
menyukai Subay yang punya tipikal cowok melengkapi sempurna sebagai pria di
sekolah, meski Vawana tahu ia bukanlah siswa jago basket atau juara umum dan
yang lainnya. Ia pria ramah pada siapa saja, putih, keren, suka humor dan punya
tubuh yang atletis.
“Kamu kenal dengan
cewek yang bernama Tea?” tanya Vawana suatu ketika saat mereka berdua.
“Maksud kamu Tea
yang punya saudara sedusun denganku?” sahut Subay santai. “Rumahnya di depan
rumah kamu, kan?” Subay melirik Vawana sekilas seolah memastikan kalau yang
Vawana maksud adalah cewek itu.
“Ya, katanya ia
sering menginap di tempat saudaranya itu.” Vawana berhenti sejenak untuk menghela
napas sebelum melanjutkan ucapannya. “Dia bilang malam minggu lalu ia ketemu
kamu di sana dan kamu… punya pacar juga di sana.” Kata Vawana akhirnya dan
berharap Subay membantahnya, seharusnya ia suka Subay bicara jujur.
Terdengar tawa
halus keluar dari mulut Subay dan Vawana tidak mengerti maksud dari tawa itu. “Tea
bicara seperti itu ya…” helanya tanpa menatap ke wajah Vawana ia pun
melanjutkan. “Tea itu sebenarnya terang-terangan ingin aku jadi pacarnya.” Kali
ini ia menatap Vawana. “Tapi…” lagi-lagi pria itu tertawa meski tidak bersuara.
“Aku tidak suka dengan cewek yang terlalu agresif dan di mataku dia itu masih
anak-anak.”
Tidak tahu kenapa
Vawana sangat mempercayai kata-kata Subay itu atau mungkin juga ia sangat
mengenali sifat Tea karena sering melihat
kesehariannya, tapi kenapa saat Tea mengatakan Subay punya
cewek lain ia langsung percaya?! Tapi sejak dapat kabar burung tentang Subay
punya affair dengan cewek yang
tinggal di sebelah dusunnya Vawana percaya, sebab secara kebetulan ia melihat
cewek itu pernah berbincang dengan teman Subay. Itu sudah cukup sebagai bukti
buat Vawana. Ia memang sakit hati tapi tidak sesakit saat Tea bercerita waktu
itu. Tanpa sadar Vawana merasakan perasaannya kepada Subay mulai memudar, kalau
pun Subay datang ia tak lagi merasakan perasaan yang menggebu-gebu seperti dulu
yang bahkan merasa gemetar bila dekat dengan pria itu. Ia tidak lagi pernah
bertanya tentang cewek lain, kalau pun mereka bertemu bicara apa saja bahkan
tidak ada yang menyangkut urusan perasaan apalagi pegang-pegang tangan. Tapi
mereka terlihat sangat rileks, bercanda bahkan tertawa bersama. Setiap kali
bertemu selalu seperti itu, tidak ada janji-janji cinta atau hal-hal serius
lainnya. Mereka bahkan lebih terlihat seperti teman saja meski Subay masih
sering datang ke tempat Vawana. Surat yang memanggil Vawana dengan sebutan
‘mama’ itu seolah tidak ada makna yang berarti lagi dan lama-lama mereka mulai
jarang bertemu.
*****
Anak-anak Biologi
Tahun 1988 sudah
lewat, Vawana naik kelas dua dan ia memilih jurusan A2 Biologi. Si Anne masuk
IPS yang disebut juga A3 mungkin nilainya tidak memungkinkan ia masuk IPA
Vawana juga tidak tahu pasti, tapi intinya bukan itu karena semuanya tergantung
selera masing-masing. Kalau anak IPA disebut A1, muridnya sekitar 21 orang. A2
sekitar empat puluhan sedangkan anak IPS ada dua kelas masing-masing lebih
kurang empat puluh orang perkelasnya.
*
Kakak Vawana sudah
lulus, meski ia juara umum di PGRI tapi ia tidak lulus masuk perguruan tinggi
negeri di UNIB. Vawana ingat saat mengikuti tes kakaknya belum begitu sembuh
dari patah tulang kakinya akibat cidera main bola voli waktu sparing di dusun
Vawana. Apakah itu berpengaruh saat ia menjalani ujian masuk perguruan tinggi? Dan
yang lebih anehnya Vawana bertanya-tanya sendiri mengapa kakaknya tidak menjadi
siswa undangan? Lagi-lagi Vawana tidak mengerti. Dan tak lama setelah kejadian
itu ia memutuskan untuk merantau ke Palembang, kakak laki-laki tertua Vawana ada
di kota itu juga.
*
Dan setiap bapak
Vawana pulang yang ia utamakan adalah melunasi uang SPP anak-anaknya setelah
itu baru urusan dapur. Setiap ada kesempatan berkumpul dengan keluarga ia
sering mengajarkan anak-anaknya mengaji, mengawasinya belajar dan ia paling
tidak suka melihat anak-anaknya berkeliaran di jalan malam-malam. Menurutnya
tidak ada yang menarik di sana dan setiap malamnya selalu saja pemandangannya
seperti itu. Ia mementingkan sekolah untuk anak-anaknya sedangkan ibu Vawana
tidak banyak bicara, ia selalu mencontohkan sikap yang baik kepada
anak-anaknya, kalau pun ada yang melenceng ia akan memberitahukannya sekali,
tinggal anak-anak yang berpikir dan yang paling menonjol adalah sifat sabarnya
itu tak ada bandingnya. Ia juga menyuruh anak-anaknya belajar mengaji pada guru
ngaji khusus di malam hari. Vawana sangat menyayangi kedua orang tuanya, tak
jarang Vawana minta bapaknya bercerita tentang sejarah asal usul dusun mereka
atau sejarah keseluruhan, terkadang bapaknya sampai cerita zaman Jepang,
Belanda dan G 30 S PKI, dengan lancar dan semangat beliau menceritakan apa saja
pernah ia alami. Tak jarang Vawana melihat mata bapaknya berbinar saking
antusiasnya. Sang bapak yang asli keturunan Padang itu sudah merantau ke Bengkulu
sejak usia muda, pekerja keras dan pernah menjadi tukang jahit di pasar Muara
Aman hingga bertemu dengan wanita cantik, putih dan baik hati asli keturunan Rejang
Lebong, Bengkulu.
*
Naik kelas dua Vawana
mendapatkan teman baru lagi yang satu jurusan dan itu rasanya lebih
mengasyikkan, Vawana adalah satu-satunya wanita yang berasal dari dusunnya
masuk jurusan itu, dan itu sudah tentu karena ia juga satu-satunya yang dapat
masuk ke sekolah negeri, ada seorang pria dari dusun Tanjung Bunga, ia dikenal
kocak tapi kurang pandai dalam hal berpakaian. Ia suka asal hingga terkadang
celananya terkesan kekecilan menambah kesan kekonyolannya. Tapi itu tidak
berpengaruh bagi Vawana, di kelas Vawana tidak dekat dengan pria mana pun. Ia
hanya dekat dengan teman sebangkunya yang bernama Nelly. Wanita ini berasal
dari pulau Jawa dan menetap di dusun Muara Aman, orangnya tidak neko-neko dan
baik hati tapi Vawana jarang bercerita tentang dirinya kepada si Nelly, ia
memang teman sebangku tapi jarang ngobrol jika sudah waktunya keluar bermain.
Vawana sudah kenal dengan semua teman sekelasnya, di mana dusun mereka dan
nama-nama mereka, meski ada yang belum pernah berbicara langsung setidaknya
Vawana sudah sering melihat mereka saat kelas satu, saat mereka pulang bersama
atau waktu Vawana masuk siang setidaknya pernah berpapasan di pintu gerbang
sekolah.
Ketua kelas
terpilih adalah pria yang berasal dari Tabah Seberang, namanya Amad. S lumayan
menawan dan bisa dibilang diatas rata-rata tapi sayangnya dia bukan tipe Vawana.
Lama-lama Vawana melihat teman-teman cewek di kelasnya memiliki tiga geng, geng pertama kumpulan cewek dari
dusun Muara Aman, kedua dari Ujung Tanjung dan ketiga berada ditengah-tengah
itu termasuk Vawana. Tak jarang Vawana mengamati mereka, cara bergaulnya, cara
belajarnya dan cara bersikap mereka kepada para pendidik. Geng dari kampung Muara Aman itu terlihat lebih dewasa dalam segala
hal, lebih jujur namun terkesan ingin dominan meski terkadang rada angkuh.
Sedang yang dari Ujung Tanjung agak terlihat lebay, punya otak tapi kurang jujur, meski ada satu dua yang
terlihat realistis namun yang paling dominan mereka itu agak sedikit over acting
terhadap guru pria, tidak bisa disalahkan juga karena diantara mereka ada yang
menjalin kasih dengan salah satu satu guru pria yang masih single.
Vawana duduk di
depan salah satu geng yang berasal
dari kampung Muara Aman, namanya Lala. Cewek yang satu ini bongsor, putih,
rambut sebahu dan terlihat paling bijaksana diantara teman-temannya. Vawana
sudah pernah bicara dengan cewek itu saat jam istirahat mereka duduk di bangku
panjang di antara teman-teman yang lain. Mereka tidak ke kantin hanya
berbincang saja sampai bel masuk berdering lagi.
Keesokan harinya,
Vawana terlihat agak gelisah namun ia tidak memperlihatkannya di depan
teman-temannya. Kegelisahan Vawana terbawa ke dalam kelas dan saat menerima
pelajaran pun Vawana masih diam seakan asyik di dunianya sendiri, guru yang
sedang menjelaskan pelajaran pun tak begitu ia perhatikan dan malah asyik
mencoret-coret tidak jelas di buku yang ada di atas mejanya. Tak lama kemudian
ia menerima selembar kertas yang sudah terisi tulisan dari Lala, yang
disodorkan dari belakang punggung Vawana. Melihat itu Vawana melirik ke Lala
sekilas dan gadis itu memberikan seulas senyum tipis yang tulus. Dan tanpa
menunggu lagi Vawana langsung membaca tulisan tangan itu.
‘Va, apa sih yang kamu pikirkan? Dari tadi
aku memperhatikanmu. Aku merasa ada kesamaan diantara kita berdua hanya saja
berbeda cara mengepresikannya. Jika kamu sedang punya masalah maka langsung
terlihat jelas di wajah kamu dan aku sebaliknya. Sebesar apa pun masalahku,
orang tidak akan bisa menebaknya karena aku simpan dalam-dalam. Tapi kamu…
entah kenapa aku merasa kamu sedang memikirkan sesuatu, jangan suka bengong ya,
tetap semangat.’
Vawana tersenyum
kecil setelah membaca tulisan itu, entah Lala merasa atau tidak tapi dampak
dari tulisannya telah berhasil membuat Vawana tersenyum. Vawana kembali melirik
ke arah Lala dan sepertinya gadis itu menunggu respon dari Vawana, tapi
sepertinya Lala hanya melihat senyum hambar dari sudut bibir Vawana. Sejak
peristiwa itu secara tidak langsung membawa Vawana dan Lala semakin dekat.
Beberapa hari
kemudian Lala terpilih sebagai wakil paskibra untuk mewakili siswi SMAN 1 Muara
Aman mengikuti seleksi ke provinsi Bengkulu, dan prianya terpilih dari
anak kelas 2-A1, si Chiko. Vawana tidak
tahu berapa hari mereka akan meninggalkan sekolah, mungkin tidak kurang dari
seminggu. Jika mereka lolos di provinsi mungkin akan dibawa ke ibukota, jika
tidak hanya sampai di tingkat provinsi saja. Sepertinya mereka berdua
melaksanakan upacara 17 Agustus di Bengkulu. Setelah pulang dari Bengkulu, baik
si Chiko maupun Lala secara tidak langsung ditugaskan sebagai pelatih anak-anak
yang akan bertugas setiap hari senin untuk melaksanakan upacara bendera. Dan
sepertinya mereka berdua bersaing dalam hal itu, jika minggu ini Lala yang
melatih maka minggu besoknya si Chiko dan mereka akan berlomba siapa yang
menghasilkan didikan yang terbaik.
Vawana ingat saat
ia kelas satu pernah mendapat pujian dari kakak kelasnya setelah ia bertugas
membacakan UUD 45, saat itu si Henny anak A2 pembina pramuka mengacungkan jempolnya
untuk Vawana setelah bertugas senin itu. Saat itu Vawana tersenyum bahagia, dan
saat mendapatkan tugas yang lain Vawana tetap mendapat respon yang memuaskan
dari kakak-kakak kelasnya, hingga tibalah… saat yang memalukan untuk Vawana
sekaligus rekannya. Takkala Vawana bertugas menjadi pengibar bendera,
benderanya terpasang terbalik meski dengan cepat bisa diperbaiki sebelum lagu
Indonesia Raya habis dikumandangkan. Tidak tahu kenapa bisa seperi itu, padahal
saat latihan dengan Lala semuanya lancar-lancar saja. Vawana bisa membayangkan
betapa malunya Lala dengan Chiko saat itu. Ya Tuhan… Vawana benar-benar merasa
terpukul. Itu bukan pertama kalinya ia bertugas menjadi pengibar bendera.
Apakah kesalahan itu murni di tangannya atau ada di tangan kedua rekannya yang
ada di kiri dan kanan..?? tapi setelah itu Vawana tidak pernah mendengar
komplin dari Lala atau dari teman-teman yang lainnya, seolah menganggap kalau
itu adalah insiden yang wajar namun bagi Vawana pribadi itu merupakan peristiwa
yang amat sangat memalukan, sekaligus ia malu kepada Lala.
Vawana semakin
dekat dengan Lala dan gengnya yang berdomisili di dusun Muara Aman, Lala bahkan
mengajak Vawana menginap di rumahnya. Kenal dengan adiknya serta ibunya. geng
Lala ada lima orang kesemuanya sedusun tapi Vawana tidak merasa masuk ke dalam
geng itu karena ia merasa hanya dekat dengan Lala tapi lama kelamaan secara
tidak langsung Vawana menjadi bagian dari mereka namun tetap merasa paling
dekat dengan Lala. Tak jarang setelah pulang sekolah mereka tidak langsung
pulang ke rumah, mereka mampir di rumah seorang teman yang rumahnya paling
dekat dari sekolah, namanya Yeyen dan itu tidak sekali dua kali bahkan sering,
yang mereka lakukan tidak banyak, mereka menikmati film-film remaja di video,
sering juga menyewa kaset video di rental. Tidak ada film yang aneh-aneh mereka
tonton hanya film-film remaja pada umumnya dan tak jarang mereka ditemani oleh
ibunya Yeyen, sambil nonton disediakan makanan. Vawana adalah anak yang
rumahnya paling jauh sedang yang lainnya hanya pulang dengan berjalan kaki,
sehingga sampai rumah Vawana seringkali diatas pukul dua siang bahkan pukul
tiga sore, sedang keluar dari sekolah tetap pukul 12.15 WIB karena yang masuk
siang mulai pukul 13.00 WIB.
*
Vawana adalah
gadis paling pendiam diantara yang lain, rambut panjang sepinggang tapi
terkesan tomboi, pemalu ditambah kurang percaya diri. Kemungkinan besar semua
itu karena ia berasal dari keluarga yang kurang mampu, tapi Vawana tetap bangga
pada kedua orang tuanya yang sangat memperhatikan sekolah anak-anaknya karena
di lingkungan Vawana tidak sedikit yang putus sekolah bahkan dorongan dari
keluarga juga agak berkurang.
*
Vawana suka
mengikuti latihan bola voli dan basket dikala jam olahraga, ia menyukai kedua
jenis permainan itu dan guru pun tidak melarangnya menekuni kedua-duanya. nah!
Kalau disuruh gurunya mengikuti kegiatan marathon keliling pasar atas untuk
pemanasan Vawana dan Lala kebanyakan jalan pelan saja sehingga paling belakang
sampai di sekolah. Soalnya bukan tanpa alasan, kalau keseringan lari Vawana
suka merasa keram di perut. Eh, giliran diminta untuk melakukan teori bola
basket pada malas sehingga gurunya pun meninggalkan mereka untuk main
sesukanya. Yah, anak muda kalau disuruh teori maunya langsung praktek, susah
diatur! Tapi jangan salah, anak-anak cewek kelas dua biologi itu juara basket
di sekolah itu bahkan lawannya di final
anak kelas tiga pula. Bravo untuk
anak-anak biologi, yang paling sering dibicarakan dalam hal prestasi.
Seiring berjalannya
waktu, Vawana senang melihat teman sekelasnya yang suka memegang gitar di teras
rumah saat Vawana berada di atas mobil pas pulang dari sekolah ke dusunnya.
Nama pria itu Rego, ia terlihat cool,
pakaiannya selalu bersih kalau di sekolah. Tapi ketertarikan Vawana hanya
sebatas itu, tidak lebih. Ada satu lagi seorang pria yang pendiam dan berjalan
agak menunduk, ia anak dusun Muara Aman juga namanya Donni, ia jarang bicara
dan sekalinya bicara selalu disertai dengan sebuah senyuman.
*
Seorang guru yang
mengajar pelajaran kimia, orangnya asyik berasal dari pulan Jawa. Kalau lagi
serius sangat serius begitupun sebaliknya. Ia disegani sekaligus bisa menjadi
teman anak-anak, tak jarang Vawana dan Lala berbicang dengannya baik di perpustakaan
atau pun jam istirahat ia tidak segan-segan ikut duduk di bangku panjang yang
ada di depan kelas. Dia itu bisa jadi pendengar yang baik kalau anak-anak
cerita, sedangkan guru biologi setiap gajian selalu minta tolong Vawana dan
Lala mengirimkan uang lewat wesel pos untuk keluarganya yang juga berada di
pulau Jawa. Hohohoho guru-guru yang mengajar di SMAN1 Muara Aman memang
kebanyakan dari pulau Jawa. Tapi ada juga yang dari Aceh, Padang, Lampung dan
tidak sedikit yang asli orang Rejang juga. Seperti guru biologi kelas 1, guru
PMP, guru Agama dan guru sejarah.
*
Ada seorang guru
bidang study bahasa Inggris, anak-anak memanggilnya dengan sebutan Se (Sir) punya senyuman yang sangat
tulus tapi kalau mengajar jarang memperhatikan anak-anak yang sedang mengikuti
pelajarannya. Dia paling senang menjelaskan pelajaran seolah asyik sendiri di
depan kelas dengan memegang buku paket tanpa bertanya apakah anak-anak mengerti
atau tidak. Anak-anak tidak pernah membeli buku paket, karena dipinjamkan dari
perpustakaan sampai mereka tamat baru dikembalikan, tidak boleh rusak apalagi
sampai hilang. karena itu milik negara. Vawana merasa bete di kelas dengan Se
itu, ia memang menyukai pelajaran bahasa Inggris tapi kurang tertarik dengan
cara mengajar gurunya. Lala ternyata menyadari apa yang dialami oleh Vawana
ternyata tidak jauh berbeda darinya. Sehingga ia mengusulkan untuk keluar dari
kelas dengan alasan pamit ke kamar kecil. Guru lain biasanya melarang anak-anak
keluar berdua sekaligus tapi tidak berlaku untuk Se.
“Aku itu
sebenarnya dari tadi ingin keluar.” Ujar Lala saat sudah ada diluar kelas.
“Tapi kasihan dengan Se.” terdengar
tawa halus dari mulutnya. “Mau ke mana?” ia melirik Vawana yang juga tidak tahu
harus ke mana.
“Ke perpustakaan
saja ya.” Usul Vawana dan diiyakan oleh Lala. Mereka pun jalan ke ruang
perpustakaan, bukannya membaca malah duduk-duduk saja dan berbincang dengan
penjaga perpustakaan, sebab Lab komputer belum ada. Taklama kemudian datang
guru kimia yang notabene sering ngobrol dengan Lala dan Vawana.
“Kalian ngapain di
sini? Ini belum waktunya istirahat.” Ia bicara pelan namun mengandung nada marah.
“Lagi pelajaran apa?” tambahnya.
“Se, Pak.” Lala yang menjawab dan ia
sudah pasti tahu kalau sebutan itu.
“Masuk sana.”
“Aduh, Pak. Bete, dan ngantuk di dalam.” Giliran
Vawana yang menjawab.
“Ya, sudah, kalau
kalian tidak mau masuk berarti kalian juga tidak boleh masuk jam pelajaran
saya.” Katanya dengan ancaman yang tidak main-main.
“Yah, jangan gitu
dong, Pak.” Kali ini suara Vawana dan Lala nyaris bersamaan karena merasa ngeri
juga dengan ancaman beliau. Akhirnya kedua gadis itu menurut, saat masuk kelas
kembali si Se tidak bertanya kenapa
mereka pergi begitu lama. Atau mungkin ia sudah lupa siapa-siapa saja yang
keluar dijam pelajarannya. Hadooh!
*
Menjelang pulang
alias jam terakhir, itu sedang ngantuk-ngantuknya karena perut sudah keroncongan sekaligus lelah. Dan lima
belas menit terakhir guru kimia yang tahu pasti bagaimana membuat anak-anak
tidak merasa bosan ia pun bercerita tentang hal-hal yang menarik. Tidak ada
hubungannya dengan mata pelajaran beliau tapi masih terkait dengan pendidikan.
Tapi Vawana bukannya memperhatikan sang guru yang bercerita sembari bersandar
di mejanya, ia malah asyik menulis di buku tulisnya. sementara anak-anak yang
lain terlihat santai dan sekali-kali terdengar tawa mereka kalau ada kata-kata
lucu yang keluar dari mulut guru yang asyik itu. Sementara Vawana masih terus
saja menulis tanpa peduli keadaan sekeliling meski tidak satu kata pun
kata-kata sang guru terlewatkan olehnya. Melihat keasyikan Vawana memaksa Nelly
teman sebangkunya menegurnya.
“Va, kamu lagi
ngapain sih? Orang tidak ada yang menulis kamu malah asyik sendiri.” Ujarnya
seolah mengkhawatirkan Vawana. “Ingat masa depan kamu, kalau guru sedang bicara
harus didengar baik-baik.” Tambahnya kini mengira Vawana tidak serius sekolah.
Dan anehnya ia bicara tanpa melirik ke wajah Vawana.
“Vawana……” suara
itu datang dari depan, itu suara guru kimia. Vawana mengangkat wajahnya karena
agak tersentak juga sedang sang guru masih santai bersandar di bibir mejanya.
“Kamu lagi menulis apa? Menulis surat untuk saya, ya?” suara itu berubah jadi
candaan sekaligus memperingati Vawana kalau ia tidak suka dengan sikap Vawana
yang tidak memperhatikannya.
Vawana hanya
tersenyum, untung yang lain tidak menambahkan komentar yang aneh-aneh dan
untungnya lagi guru itu tidak mendatangi bangku Vawana dan memeriksa apa yang
Vawana tuliskan. Sebenarnya Vawana sedang menuliskan semua cerita sang guru di
bukunya. Hihihiihi ada-ada saja!
*
Geng anak Ujung
Tanjung masih saja terlihat lebay,
merasa sok cantik sehingga kecantikkannya yang alami membuat kebanyakkan orang
merasa tidak respect baik cewek
maupun cowok dan parahnya lagi jago banget nyontek. Tapi salah satu temannya
terlihat agak alim tapi suka melihat orang dengan sebelah mata, hmmm… apa yang
terjadi dengan mereka? Biarkanlah!
Suatu ketika, kita
sekelas diundang dari yang merasa sok keren ke ulang tahunnya untuk makan-makan
di rumahnya. Dia itu sebenarnya kekasih dari salah satu guru kita, kita juga
heran kenapa guru itu mau pacaran sama orang seperti dia, mungkin karena
kecantikkan diluarnya itu, bisa jadi demikian. Tapi masa iya sih seorang guru
tidak bisa melihat mana yang cantik dari dalam? Sekali lagi, biarkanlah!
Dari sana kita
bisa melihat siapa gadis itu sebenarnya, yang ternyata memang suka pamer meski
tidak banyak yang bisa ia pamerkan karena pada dasarnya dia juga anak dari
orang yang biasa-biasa saja. Hanya saja orangnya terlalu percaya diri.
*
Vawana seringkali
dikirimi uang SPP dari kakaknya yang sudah bekerja di Palembang, itu sangat
membantu kedua orang tua mereka, tapi setiap kakaknya mengirim uang Vawana
selalu memberitahukannya kepada ibu yang selalu ada di rumah. Pernah suatu hari
Vawana mengajak Lala mengambil uang di kantor pos dan sepulangnya ia mengajak
Lala makan bakso, warung bakso yang ada di bagian atas gedung sekolah yang
selalu ramai karena terkadang sering juga teman-teman mengajak makan di sana.
tempat itu adanya di luar kantin, untuk mencapai tempat itu kita melewati
samping langgar yang sudah berdiri kokoh di sebelah barat halaman sekolah.
Vawana dan Lala memang bisa dibilang agak dekat dari teman-teman yang lain, tak
jarang Lala menceritakan kalau ia pernah menjalani operasi kelenjar di lehernya
dan ia mengagumi dokter keren yang menanganinya. Vawana tersenyum saat itu.
Anak-anak cewek kelas dua jarang naksir anak cowok sekelas, biasanya suka
naksir kakak kelas. Sedang anak cowok kelas dua beraninya pacaran sama adik kelas,
itu sepertinya sudah menjadi hukum yang tidak tertulis di sekolah-sekolah.
Suatu hari Vawana
mendadak datang bulan di sekolah pas jam terakhir dan setelah pelajaran bubar
ternyata roknya sudah banyak noda, Lala yang melihat itu langsung meminjamkan
tas selempangnya untuk menutupi itu karena Vawana jarang sekali membawa tas ke
sekolah, ia lebih senang membawa beberapa lembar buku tulis dan buku paket. Vawana
merasa malu sekali sekaligus risih, ah Lala memang sangat baik terhadap
temannya. Meski demikian Vawana tidak pernah menceritakan hal-hal yang
menyangkut pribadi kepada Lala. Bukannya dia tidak percaya tapi ia merasa tidak
ada yang pantas untuk diceritakan dan menurutnya Lala itu terlalu sempurna
sebagai seorang teman hingga kadang timbul rasa mindernya pada gadis itu.
Saat penerimaan
raport, ibu Vawana yang datang ke sekolah dan Vawana mengenalkan ibunya pada
Lala. Setelah acara pembagian raport sang ibu pulang terlebih dahulu sebelumnya
Lala berkomentar tentang ibu Vawana.
“Va, pantes kamu
begitu cantik, ternyata dari ibu kamu.” Itu pujian tulus dari seseorang yang
sangat objetif. Vawana tidak berkomentar namun dalam hati ia memang mengakui
kalau ibunya memang sangat cantik, kulit putih dan ramah. Meski demikian Vawana
bukanlah anak yang memiliki IQ terlalu tinggi ia cendrung biasa-biasa saja.
Walaupun demikian Vawana termasuk gadis yang paling jangkung diantara gadis
seusianya di dusunya bahkan disekitar dusunnya sehingga tak jarang ia
diolok-olok pria yang ada diatasnya. Dengan kata-kata yang tidak ia sukai ‘tuh…
lihat, tiang listrik lewat!’ seringkali ia mendengar celetukkan semacam itu
kalau sedang berjalan untuk menunggu angkutan sekolah. Tapi di sekolah, Vawana
dan Lala memiliki postur tubuh yang nyaris sama hanya saja Lala memiliki badan
yang lebih tegap dan berisi.
*
Pria cool itu bertekuk lutut dengan Vawana,
eh ternyata Lala kenal dengannya sehingga memperingati Vawana untuk
berhati-hati menghadapi pria yang ia juluki buaya itu. yang menjadi pertanyaan
Vawana, di mana Lala kenal pria itu……..???
*****
Embong Panjang
tahun 1979-1981
Gadis kecil itu terlihat biasa, rambutnya agak cepak, kulitnya putih, usianya sekitar
enam tahun. Ia tinggal di rumah yang masih khas bangunannya, di belakang rumah
ada banyak pohon bambu dan satu pohon kelapa yang lumayan tinggi dengan buah
yang banyak. Itu bukan rumah pertama mereka, gadis kecil itu diajak kedua orang
tuanya pindah saat ia usia dua tahun dari rumah kecil yang di belakang ruamh
neneknya, kini rumah mereka sangat besar, terbuat dari papan dan kayu jati, ia
dengan keempat kakaknya serta dua orang adiknya, yang paling kecil masih bayi.
Gadis kecil itu masih teramat polos, belum mengerti uruan keluarga dan
kesulitan yang dihadapi oleh kedua orang tuanya. Ia punya kakak tertua
laki-laki yang masih duduk di bangku kelas 2 SMA, sedangkan kakak perempuannya
tidak meneruskan sekolah ke SMP, ia pun tidak tahu mengapa bisa begitu. Yang ia
tahu kakak perempuannya rajin sekali mengurus rumah, semua pekerjaan rumah seolah
ada ditangannya. Suatu hari gadis kecil itu melihat kakaknya sedang menangis di
sungai sembari mencuci piring, gadis kecil itu tidak tahu mengapa kakaknya
menangis. Ia merasa sangat kasihan tapi tidak berani untuk bertanya.
Sementara ibunya
sedang sakit, dan lagi-lagi gadis kecil itu tidak tahu sakit apa yang diderita
ibunya. Ia hanya bisa melihat kalau ibunya suka menangis bahkan terkadang
berteriak. Gadis kecil itu semakin heran karena ibunya diikat di kamar tanpa
bisa berbuat apa-apa. Tak jarang sang ibu meminta tolong kepada gadis kecil itu
untuk mengambil sesuatu semisal cangkir atau benda dapur lainnya. Dengan patuh
si gadis kecil menuruti printah ibunya, ia pun mengambil apa yang diminta lalu
memberikannya ke tangan sang ibu dan detik itu juga sang ibu melemparkan apa
yang sudah ada di tangannnya. Kejadian seperti itu seringkali terjadi, gadis
kecil itu sering menemani ibunya yang terikat kakinya di kamar.
Adik bayinya
diasuh oleh kakak perempuannya, usia bayi itu sekitar tiga bulan. Bayi
laki-laki yang tampan dan tidak merasakan kasih sayang dari ibunya tapi sang
kakak berusaha menggantikan peran sang ibu. Gadis kecil itu belum bisa
melakukan apa-apa, ia akan melakukan apa yang orang minta tanpa tahu apakah itu
boleh dilakukan atau tidak.
Pagi ia pergi ke
sekolah, tanpa beralaskan kaki. Letak sekolahnya masih di lingkungan dusun
Embong Panjang tapi berada di ujung dusun sehingga ia harus jalan kaki sekitar
satu kilo meter lebih. Bukan hanya dia yang tidak mengenakan alas kaki, satu
dua temannya juga seperti itu. Di sekolah para guru masih menggunakan bahasa
daerah, karena kebanyakkan guru berasal dari daerah itu sendiri.
Dengan berjalannya
waktu, gadis kecil itu tidak lagi melihat ibunya diikat di kamar. Ibunya sudah
bisa beraktifas seperti biasa, yaitu ke kebun, sawah dan juga masak untuk
anak-anaknya.
*
Gadis kecil itu
punya adik laki-laki lagi, ia terlahir di pondok yang ada di kebun karena kedua
orang tuanya menginap di kebun menunggu kebun karet dan kebun kopi, ia tidak
tahu apakah dukun beranak yang dibawa ke kebun untuk membantu persalinan ibunya
atau bagaimana? Ia tidak tahu, yang ia lihat bapaknya siang itu sudah
bersiap-siap kembali ke kebun dengan pakaian yang lebih banyak, dan ia tahu
kalau adiknya sudah lahir.
Bayi lelaki itu
diberi nama Edward, sepertinya ia paling tampan diantara kakak-kakaknya. Gadis
kecil itu merasa sangat senang memiliki adik lagi, karena sudah beranjak besar
ia pun diberi tanggung jawab untuk menjaga adiknya. Apalagi saat adiknya sudah
bisa berjalan dan bermain, maka gadis itu bersama adik perempuannya menjaga
adiknya kalau ibu mereka pergi ke kebun dan pulang sore hari.
*
Di belakang rumah
si gadis ada sebuah sungai yang lumayan besar, airnya bersih dan hampir setiap
sore mereka menceburkan diri di sungai itu, mandi sepuas-puasnya bahkan terjun
dari atas pohon layaknya orang melakukan lompat indah saja. Kalau sudah berenang
mereka suka lupa waktu, adik-adiknya pun tak pernah ketinggalan ikut mandi
sampai kulit mereka berkerut, untuk urusan renang anak-anak yang ada di dusun
itu paling jago. Suatu siang, si Edward berusia masih di bawah dua tahun
ditaruh di pinggir sungai, di suruh duduk di atas batu sambil mandi juga
sementara kakaknya si gadis yang kesehariannya menjaga Edward berenang agak ke
tengah dan tidak menyadari kalau Edward sudah tidak ada di atas batu dalam
waktu sekejap saja, saat gadis itu melirik ke arah adiknya namun sudah tidak
menemukan Edward saat itu juga ia merasa jantungnya lepas, dengan secepat kilat
ia langsung menoleh ke arus sungai dan benar, adiknya sudah dibawa arus.
Laksana angin yang berhembus di atas air ia pun melesat menyusul adiknya
sehingga menabrak batu-batu yang ada di dasar sungai. Dalam hitungan detik ia
sudah memegang adiknya dan langsung menggendongnya ke atas, bersyukur ia karena
sang adik masih bernapas dan ternyata masih hidup. Gadis itu masih merasa kalau
dunianya baru saja selesai, berulang-ulang ia memeluk adiknya dengan ketakutan
yang luar biasa. Ia tidak bisa membayangkan kalau adiknya tidak bisa ia
temukan, dunia tidak akan memaafkan kelengahannya. terima kasih Tuhan, ujarnya
berkali-kali di dalam hati.
Tahun berikutinya
si Edward meninggal pas usia dua tahun dan gadis itu tidak mengerti sakit apa
yang diderita adiknya, ia tidak begitu paham apa yang menimpa adiknya. Rasa
takut itu tidak sebesar saat ia merasa adiknya dibawa arus. Akhirnya ia tahu kalau
adiknya meninggal karena penyakit cacar.
*
Gadis kecil itu
pindah sekolah ke SD baru yang tidak begitu jauh dari rumahnya, SDN03 Embong
Panjang. Di gedung sekolah baru belum mencukupi bangku untuk anak-anak sehingga
mereka harus mengangkut satu dua bangku dari SD lama. Gadis yang ikut membawa
satu bangku itu tidak mengerti apakah itu bangku lebih atau memang
bangku-bangku itu dititipkan dari kemarin di sana. Dia hanya merasa senang bisa
sekolah lebih dekat, jalan kaki beberapa menit saja sudah sampai apalagi ia
masih tidak mengenakan sepatu, tidak apa kalau di kelas dua ia masih masuk
siang.
*
Suatu siang, kakak
tertua dari gadis itu membangunkan adiknya agar ia tidak terlambat datang ke
sekolah. Gadis yang merasa takut terlambat itu buru-buru bangun dan langsung
meluncur ke kali untuk mandi namun sayangnya sebelum ia mencapai kali ada
sebuah benda tumpul mengenai kepala depan bagian kiri. Saat itulah dunia
menjadi gelap.
Ternyata dia
tertimpa buah kelapa, seseorang sedang memetik kelapa orang tuanya. Hari itu
dusunnya menjadi gempar, si pria yang tadinya memetik kelapa melarikan diri
sejauh mungkin ke arah sawah, ia tidak bisa membayangkan kalau gadis itu mati
di tempat, gadis kecil itu pingsan tidak sadarkan diri beberapa hari, ia
diperiksa seorang dokter dan dilarang mengenakan bantal selama kurang lebih
tiga bulan. Hari-hari pertama kesadarannya ia sering berhalusinasi.
Gadis itu merasa
kalau ia didatangi oleh temannya, anak tetangga sebelah yang seringkali
mencemoohkannya dan hari-hari itu datang dengan senyuman dan mengajak gadis itu
untuk bersahabat. Ia juga merasakan betapa banyak orang datang menjenguknya.
Keluarga mereka tidak menuntut yang memetik kelapa karena memang ia diminta untuk
memanen kelapa itu. Beberapa hari berikutnya setelah sembuh, disudut kiri mata
bagian dalam gadis itu terlihat agak memerah itu pasti dampak dari buah kelapa
yang nyaris saja merenggut nyawanya. Bersyukur karena Tuhan masih memberikannya
kesempatan untuk hidup. Pohon kelapa yang tingginya tidak kurang dari dua puluh
meter, bayangkan jika buah kelapa itu mengenai tengah kepalanya.
*
Bulan berganti
bulan, gadis itu sedang bermain dengan kedua adiknya di halaman rumahnya yang
luas dan ditumbuhi rumput gajah meski pagarnya hanya terbuat dari bambu namun
halaman rumah itu cukup luas. Di kiri kanan halaman pagar bambu sangat rapih
dengan pintu berada pas di tengah-tengah, di sebelah kiri ada pohon kembang
sepatu yang lumayan besar sehingga membentuk seperti payung besar, sedang
dibawahnya dibuat semacam tempat duduk dari bambu dengan tiang kayu. Hampir
setiap malam tempat itu selalu diduduki anak-anak apalagi kalau cuaca cerah.
Bersama kedua
adiknya ia asyik sekali seakan menulis sesuatu di tanah yang disela rumput
gajah, sedang kakak perempuannya ke sawah mencari ikan untuk lauk, ia diminta
oleh bapak mereka. Seorang ibu dari tetangga sebelah rumah bertanya kepada
gadis itu.
“Adik kamu sudah
lahir?” sepertinya ibu itu tahu kalau ibunya Vawana sedang berjuang untuk
melahirkan anaknya.
“Belum, sekarang
lagi diurut.” Jawab Vawana dengan polosnya. Ia mendengar kata-kata itu dari
bapaknya yang mengatakan kalau Vawana harus mengajak adik-adiknya bermain di
luar karena ibu mereka sedang diurut oleh yang akan membantu persalinan.
Tak berapa lama,
adik Vawana pun lahir berjenis kelamin perempuan. Vawana yang masih duduk di
bangku SD sudah mulai memahami kalau ia harus menjadi bagian dari adik merahnya
itu, setiap kelahiran adiknya ia merasa bahagia. Bayi yang masih merah itu
dibedong dengan kain panjang dan Vawana pun diminta menyuapi adiknya dengan
madu asli. Sedang ibunya masih lemah meski ia terlihat baik-baik saja.
Bayi perempuan itu
dinamai oleh kakak Vawana yang paling tua dengan nama yang cantik dan terkesan
penuh harapan agar ia punya sifat baik dikemudian hari. Dua puluh hari setelah
itu sang kakak pergi merantau ke Palembang.
****
Tahun 1990-1991
Naik kelas tiga
merupakan kebahagiaan tersendiri bagi Vawana, bagaimana tidak. Tinggal setahun
lagi ia akan mengikuti kakaknya ke luar kota dan mengikuti berbagai kursus atau
mencari pekerjaan di sana karena untuk melanjutkan ke perguruan tinggi rasanya
mustahil karena ia masih memiliki beberapa orang adik yang harus menamatkan
Sekolah Menengah Atas, itu sudah menjadi tekad kedua orang tuanya serta
saudara-saudaranya.
Menjadi anak kelas
tiga di sekolah otomatis menjadi kakak tertua di sekolah, punya rasa ingin
menunjukkan kepada adik-adik kelas bagaimana harus bersikap kepada guru-guru
serta kakak-kakak kelas juga harus mempunyai tanggung jawab kepada sekolah, itu
rasanya sudah menjadi kebanggaan yang tidak bisa dibayangkan.
Kelaspun harus
dirombak karena wali kelas juga sudah berganti maka kita memutuskan untuk
menggantikan ketua kelas, dengan suara dominan para cewek memilihkan si Lala
sebagai calon tunggal dan lebih dari separuh isi kelas pun setuju. Vawana yang
sudah akrab dengan Lala tidak ada alasan untuk menolak, selain ia punya
kredibilitas tinggi untuk itu ia juga seorang wanita yang tegas, bisa meng-handle teman-teman cowok sekaligus dekat
dengan semua guru hingga bisa dengan cepat mengatasi hal apa pun.
*
Subay datang ke
rumah Vawana saat sore hari, kedua insan itu tidak seperti orang pacaran tidak
ada janji-janji tidak juga memutuskan status hubungan mereka. mereka bicara
sangat santai penuh canda dan kasih, saat itulah Subay mengatakan kalau ia akan
meneruskan kuliah di Bengkulu dan tanpa rasa berat Vawana pun bisa melepas pria
itu pergi untuk menutut ilmu tanpa berusaha menguatkan hubungan mereka dengan
hal-hal yang menjurus ke pasangan sejati. Hmm itulah remaja yang sadar kalau
perjalanan mereka masih sangat panjang dan berliku.
*
Beberapa bulan
sejak kepergian Subay hari-hari Vawana terasa biasa-biasa saja, ia bahkan
merasa kalau Subay tidak pernah menjadi orang istimewa di dalam hidupnya. Ia
tetap datang ke sekolah dan menjadi siswi paling rajin karena tidak pernah
absen serta tetap bergabung dengan geng Lala. Namun akhir-akhir ini ia melihat
ada geng orang daerah Tes dan sekitarnya, lebih kurang tiga orang cewek dari
daerah itu dan satu cowok, yang cowok pulang pergi ke sekolah yang menempuh
jarak lebih kurang tujuh kilo meter sedangkan yang cewek memilih untuk kos
dengan teman-teman mereka di daerah dusun Muara Aman. Vawana juga bisa berteman
dengan mereka kecuali jika ada yang anti dengannya ia pun tidak akan memaksakan
diri untuk bergabung, pada prinsipnya Vawana itu orangnya netral.
**
Malam minggu yang
sangat cerah, bintang terlihat bertaburan laksana mutiara kerlap-kerlip di
cakrawala. Remaja di dusun Vawana merasa amat sangat bahagia sebab yang sekolah
seakan merasakan malam itu malam istimewa, tapi bagi Vawana setiap malam adalah
istimewa. Satu dua teman pria yang berusaha mendekatinya ia hadapi dengan
tenang dan tidak akan menerima mereka sebagai pacar kalau ia merasa tidak
tertarik dengan hati, bukan ia tidak suka tapi ia merasa tidak clik saja. Berbagai alasan yang
pria-pria itu lontarkan.
Si Afian. “Aku
sebenarnya dari dua tahun yang lalu suka sama kamu, Vawana, tapi agak segen sama kakak cowok kamu.”
Si Usuf. “Aku dulu
pernah bilang sama kakak kamu, kalau aku suka sama kamu tapi kakakmu tidak
pernah memberi respon, tahu sendiri kan kalau dia itu salah satu temanku di
sekolah.”
Dari
pernyataan-pernyataan itu Vawana jadi tahu kalau kakaknya punya wibawa yang
tinggi dihadapan para teman-temannya, Vawana jadi tersenyum sendiri karena
bangga pada beliau.
Didin datang ke
teras rumah Vawana di saat gadis itu sedang duduk santai di kursinya menikmati
pemandangan malam yang indah di depan rumahnya. Vawana agak kaget melihat
kemunculan pria tidak terlalu tinggi itu, usianya sekitar setahun di bawah
Vawana. Rumahnya hanya dihalangi dua rumah dari rumah orang tua Vawana.
“Hei, asyik benar
duduk sendirian.” Sapa Didin dengan senyum mengembang di bibirnya.
Vawana hanya
tersesnyum. “Biasalah, ini tempat yang paling saya sukai.” Sahut Vawana apa
adanya. “Tumben.” Tambah Vawana lagi.
Pria itu tersenyum
seakan punya kabar baik untuk Vawana dan ternyata benar. “Ada temanku yang
ingin kenalan dengan kamu.” Ia melirik Vawana setelah duduk karena sudah
dipersilahkan oleh Vawana. Permasalahannya apakah pria yang Didin maksud itu
sudah pernah melihatnya atau belum? Dan itu sepertinya merupakan tantangan
sendiri untuk Vawana.
“Teman kamu?”
tanya Vawana agak aneh karena ia tidak tahu siapa teman yang dimaksud itu sebab
Didin jarang tinggal di rumahnya. Ia sekolah pun jauh dari rumah entah di dusun
Tes atau di Muara Aman yang jelas Vawana tidak tahu. Di saat hati Vawana
bertanya-tanya seorang pria pun muncul di halaman rumah Vawana. Vawana tidak
pernah sebelumnya melihat ada pria yang nyaris sempurna seperti itu, tinggi dan
memiliki postur tubuh yang atletis dengan rambut rapih meski agak keriting.
Saat ia tersenyum membuat tubuh Vawana yang masih duduk di kursinya seakan
tersihir hebat.
“Selamat malam.”
Sapanya dan ia disambut oleh Didin.
“Sini.” Kata Didin
hingga memaksa pria itu menaiki tangga teras rumah Vawana yang masih berdiam di
tempatnya. Didin lalu melirik Vawana. “Ini temanku Vawana, namanya Anshari.”
Tambah Didin ketika pria itu sudah mencapai teras dan langsung mengulurkan
tanganya untuk Vawana disambut Vawana dengan santai.
“Silahkan.” Ujar
Vawana untuk bersikap tenang karena ia memang sudah bisa tenang. Kursi yang
selalu tersedia di teras itu hanya dua dan ketika Vawana ingin mengambil kursi
tambahan dari ruang tamunya Didin langsung berdiri dan bermaksud untuk pamit.
“Oh ya, Vawana…
aku harus ke rumah dulu, ada yang akan aku ambilkan.” Ia melirik Anshari.
“Tunggu sebentar ya.” Katanya kepada pria itu, apakah ia sengaja meninggalkan
Vawana bersama Anshari atau ia memang benar-benar sedang ada perlu? Yang jelas
Vawana curiga kalau Didin sengaja meninggalkannya bersama pria itu. Dasar Mak
comblang!
“Boleh duduk?”
tiba-tiba suara pria itu membuyarkan lamunan Vawana.
“O, silahkan.”
Sahut Vawana. Ketika pria itu duduk Vawana tetap memandang ke arah jalan raya
sementara pria itu sedang mengamatinya dan jelas sekali Vawana merasa sedang
diamati.
“Ini kedatangan
saya yang kedua kalinya ke dusun Didin.” Pria itu mulai membuka pembicaraan.
“Oh.” Singkat dan
hanya sekilas Vawana melirik pria cool
itu.
Singkat cerita,
Vawana dan Anshari resmi pacaran. Setelah itu Didin menjelaskan sebelum
bermaksud ingin mengenalkan temannya kepada Vawana ia ingin mengenalkannya
kepada Erni gadis tetangga dusun berhubung gadis itu sudah punya pacar ia
mengalihkan mengenalkan temannya kepada Vawana. Tapi tidak apa, semua sudah
terlanjur. Dan anehnya, saat itu Didin sudah bicara pada Erni lantaran merasa
temannya takut ditolak oleh Vawana yang cantik. Pandangan orang memang
seringkali salah.
“Er, aku ingin
mengenalkan temanku padamu, mau ya?”
Gadis yang rada
jutek, agak angkuh dan sok kecantikan itu pun langsung menolak karena melihat
pribadi Didin dan ia mengira Didin tidak mungkin punya teman sekelas tipenya.
Si Erni itu kebanyakan orang mengatakan kalau dia gadis cantik nomor dua di
sekitar dusun itu, di bawah Vawana. Vawana sendiri sempat kaget saat mendengar
pernyataan itu dari mulut seorang wanita yang ia kenal. Vawana memang tidak
pernah menyadari kalau ia adalah kembang di dusunnya bahkan di puluhan dusun
sekelilingnya.
“Nggak ah! Aku sudah punya pacar.”
Jawabnya seolah mengatakan bukan masalah sudah punya pacar tapi ia tidak akan
tertarik dengan teman Didin yang belum ia lihat langsung.
Ho ho ho!
*
Sejak menjadi
pacarnya Anshari malam minggu Vawana tidak pernah sendiri, meski pun hujan
Anshari tetap mendatanginya. Rumah Anshari tidak bisa dibilang dekat, ia selalu
membawa motor kesayangannya ke rumah Vawana yang berjarak tidak kurang dari
enam kilo meter dari rumah Anshari, dusun pria itu adanya di jalan Air Putih,
yaitu di kampung Jawa. Disebut kampung Jawa karena penduduknya kebanyakkan
pendatang dari pulau Jawa dengan berbagai profesi, dari guru bahkan pedagang.
Kampung Jawa terletak lebih kurang dua kilo meter dari Muara Aman. Malam minggu
itu seperti biasanya mereka berbincang di teras Vawana, terkadang juga di rumah
Didin atau di teras rumah Didin sekedar memainkan gitar. Kedua insan itu selalu
terlihat bahagia.
Vawana melontarkan
pertanyaan yang dari kemarin ingin ia tanya. “Kamu kenal dengan Didin di mana?”
ujarnya dengan nada sekedar ingin tahu.
“Didin itukan
SMP-nya di Madrasah Muara Aman, kebetulan bapak kenal dengannya dan diajak
tinggal di rumah setelah mengetahui kesulitan keluarganya. Bapak mengajar di
Madrasah itu.” Jelas Anshari mengenai kronologi perkenalannya dengan Didin dan
Vawana jadi tahu kalau bapak Anshari ternyata seorang guru. Kedua orang tuanya
pun berasal dari Jawa Tengah, terlihat dengan jelas kalau Anshari bukan asli
keturunan Rejang dari warna kulitnya yang hitam manis.
“Oh, begitu. Terus
kamu dulu sekolah di mana?” Vawana masih ingin tahu.
“Di Curup, ambil
PGA.”
Vawana tahu kalau
PGA itu semacam sekolah kejuruan untuk menjadi guru agama. PGA singkatan dari
Guru Pendidikan Agama. Semakin hari kedua insan itu semakin lengket dan
sepertinya semakin cinta satu sama yang lain, Anshari jarang menginap di rumah
Didin karena ia selalu membawa motor dan pulang dengan motor kesayangannya dan
mereka tidak pernah mengobrol lewat dari pukul sebelas malam. Terkadang Anshari
mengajak teman dari dusunnya dan dikenalkan juga dengan Vawana.
Dari pria itu
Vawana sering mendapat informasi mengenai kelakukan Anshari tanpa Vawana minta.
Ia mengatakan kalau ia tidak pernah melihat Anshari menjadi pria yang setia
pada satu wanita dan kalau ia sedang kesal dengan pacarnya tak jarang ia
meninggalkan wanita itu di jalan dan ia dengan santainya pulang sendiri.
Keterlaluan dan Vawana tentu saja tidak percaya begitu saja, tapi setelah pria
itu cerita di depan Vawana dan Anshari, pria itu hanya senyum-senyum tanpa
membantahnya. Yakinlah Vawana kalau Anshari memang seperti itu.
*
Di kesempatan hari
minggu, Vawana jalan-jalan ke Air Putih bersama Anshari ditemani oleh Didin
juga yang merangkap menjadi juru foto untuk Vawana dan Anshari. Tempat wisata
Air Putih hanya berjarak tidak lebih dari sepuluh kilo meter dari Muara Aman.
Vawana mengenakan celana jins krem dengan baju kemeja merah bergaris putih
sedang Anshari memakai kaos dibalut jaket putih yang bagus juga celana jins.
Mereka menikmati pemandangan air yang bersih dan mengambil beberapa foto di
atas batu yang besar. Tak berapa lama setelah itu Didin menghilang entah ke
mana, karena begitu ramainya tempat wisata itu membuatnya susah ditemui.
Di siang hari,
Anshari mengambil whudu untuk shalat zhuhur lalu merentangkan jaketnya di atas
batu lebar lagi besar untuk shalat. Vawana menyimak pria itu yang membuatnya
semakin kagum. Tempat mereka agak jauh dari keramaian, tapi tidak ada kontak
fisik yang mereka lakukan apalagi mesra-mesraan seperti pasangan muda-mudi yang
lainnya. Sebab Vawana punya prinsip yang mungkin sebagian orang menganggapnya
kolot.
**
Di sekolah, Vawana
tetap menjadi gadis bersahaja. Anak-anak geng dari dusun Tes yang kebetulan
satunya agak akrab dengan Vawana namanya Atik, orangnya rada slebor, ramah dan
berani juga asyik. Siang itu waktu mereka istirahat si Atik mendekati Vawana.
“Va, kamu pacaran
dengan Anshari ya?” ia bertanya santai disertai senyum nakal. Vawana yang agak
kaget jadi ikut-ikutan tersenyum.
“Kamu, kamu tahu
dari mana?” meski pertanyaan itu disertai senyuman namun masih diliputi rasa
penasaran tinggi.
“Anshari yang
bilang, jangan bingung gitu. Aku kan kos ga
jauh dari rumahnya. Waktu itu dia tanya, apakah aku sekelas dengan kamu? Aku
bilang iya
lalu ia mengatakan kalau kamu adalah pacarnya. Cie cieeeee.”
Belum juga Vawana mengiakan tapi gadis itu sudah menggodannya. Sejak itu
sebagian besar teman Vawana yang cewek tahu kalau Vawana punya kekasih di luar.
Dan itu agak membuat Lala jadi ikut bertanya kepada sahabatnya itu.
Saat jam pelajaran
bubar dan Lala berjalan pulang menyusuri teras sekolah bersama Vawana sedang
yang lainnya ada di depan mereka. Lala nyeletuk dengan santainya.
“Kamu dekat dengan
Anshari?” ujarnya tanpa menoleh ke wajah Vawana yang berjalan di sebelahnya.
Meski kaget kenapa Lala bertanya seperti itu dan lebih heran lagi sepertinya
Lala kenal dengan pria itu. Tapi Vawana tetep tersenyum. “Dengar-dengar Anshari
itu buaya lho!” itu semacam peringatan.
Tapi Vawana tetap
menanggapinya dengan tenang. “Sekali-kali bikin pria buaya bertekuk lutuk kan
tidak ada salahnya.” Sahut Vawana yang masih dirundung tanya karena ia yakin
dari pernyataan Lala itu bahwa ia kenal dengan sosok Anshari tapi Vawana tidak
pernah berpikiran ke arah yang negatif. Ia tahu tempat tinggal Lala tidak
terlalu jauh dari Anshari meski berseberangan arah. Kata-kata Vawana yang
mengatakan ‘buaya bertekuk lutut’ bukan tanpa alasan karena setiap malam minggu
tak sekalipun Anshari absen datang menemuinya.
“O, begitu.” Hela
Lala masih dengan santai.
*
Nyaris semua teman
cewek di kelas tahu kalau Vawana dekat dengan Anshari, tak ketinggalan si Lilis
teman satu dusun Atik dan juga pernah satu kosan dengan gadis itu yang ternyata
pernah dekat dengan Anshari.. apakah masih atau sudah berlalu? Vawana tidak
tahu pasti, yang jelas ia sering mendengar kata-kata temannya.
“Eh, si Lilis itu
seringkali lho menyimak kamu, Va. Mungkin ia sedang mencari apa sih kelebihan
kamu sehingga Anshari tertarik sama kamu. Yah, kalau dilihar sih, dia itu belum
ada sekukunya kamu.” Ujar teman Vawana yang memiliki rambut panjang, rada ceriwis tapi asyik. Vawana tidak
berkomentar apa pun mendengar aduan gadis itu, selain senyuman tipis seperti
respon Lala dan juga yang lainnya. Tapi sejujurnya Vawana sendiri tidak pernah
melihat secara langsung adanya tatapan kebencian dari mata Lilis. Vawana pun
tidak mau menjadi gadis besar kepala, bagaimana pun ia tahu perasaan seorang
wanita.
*
Saat ia kembali
bersama Anshari dan mendengar berbagai cerita Vawana bisa mengambil kesimpulan
kalau pria itu belum pernah diputuskan sama cewek, tak sekalipun. Maka dari
itu, Vawana yang notabene juga seperti itu maka ia mengambil inisiatif untuk
berpisah dari Anshari. Anshari tentu saja merasa kaget dan tidak akan menerima
keputusan sepihak dari Vawana. Apa pun alasannya ia tidak akan mau putus dengan
Vawana, tapi Vawana punya dalil sendiri yang susah dimengerti oleh Anshari,
dengan sekedar alasan klise mengatakan kalau mereka tidak cocok.
Malam minggu
berikutnya, Anshari tetap datang ke rumah temannya Didin. Ia meminta pria itu
mengantarnya ke rumah Vawana tapi saat itu Vawana sedang duduk di teras rumah
temannya. Terang bulan di langit terlihat sangat sempurna, Anshari pun
bernyanyi-nyanyi di teras rumah sebelah. Lagunya asal-asalan seolah
menggambarkan kalau ia masih mengharapkan Vawana kembali untuknya.
Kejadian itu
terulang lagi setelah dua kali minggu, kali ini Anshari benar-benar mendatangi
Vawana. Tadinya ia tidak bertemu Vawana di rumah, ternyata gadis itu sedang
berbincang dengan temannya, Deta.
Deta itu tadinya
akrab dengan adik Vawana yang perempuan karena mereka sepantaran di sekolah,
sayangnya Deta tidak meneruskan ke sekolah SMA dikarenakan ia tidak naik kelas.
Sekarang Deta lebih dekat dengan Vawana. Tak jarang mereka suka jalan-jalan
berdua di malam hari menyusuri dusun mereka yang selalu ramai.
Mengetahui Vawana
di depan rumah Deta, Anshari dan Didin menghampiri mereka. Dan entah bagaimana
ceritanya akhirnya kedua insan itu bisa berbincang bersama lagi seperti
malam-malam minggu sebelumnya. Apakah karena bujukan Didin yang keras kepada
Vawana atau Anshari yang bersiteguh untuk berdua dengan Vawana.
Keduanya tak habis
tersenyum karena merasa aneh dengan hubungan mereka. Vawana merasa punya satu
alasan telah memutuskan Anshari karena Vawana pun belum pernah diputuskan pria.
Ia tidak mau diputuskan oleh pria pertama kali apalagi Anshari yang melakukannya
sebab ia mencintai pria itu. Anehnya Anshari tidak menyadari hal itu, dengan
kembalinya Vawana menjadi kekasihnya pria itu terlihat lebih bahagia dari
sebelum-sebelumnya.
**
Danau Tes.
Saat datangnya hari lebaran idul fitri merupakan hari-hari
yang menyenangkan bagi anak-anak seumat muslimin di dunia tak terkecuali Vawana,
karena remaja seusia dia biasanya dari hari lebaran kedua merupakan waktu
mereka untuk jalan-jalan ke tempat wisata bersama teman atau pun bersama
pasangan dan tidak sedikit yang sudah berkeluarga mengajak anak-anak mereka
seolah dalam tiga hari itu merupakan saat yang istimewa untuk piknik.
Vawana dengan
temannya Anshari serta si Atik bersama teman prianya, yang Vawana tahu Atik
tidak pacaran dengan pria itu yang ternyata juga temannya Anshari. Pagi
menjelang siang, keempat remaja itu yang persisnya seperti orang sedang double date menunggu mobil angkutan di terminal pasar Muara Aman untuk
berangkat ke danau Tes yang tempatnya sekitar dua belas kilo meter dari Muara
Aman.
Tidak sedikit manusia yang ingin pergi ke
tempat wisata hari itu, apalagi cuaca sangat mendukung. Bukan saja ke danau
Tes, ada yang ingin pergi ke air terjun yang berlokasi di Embong Uram dan ke
Air Putih. Vawana dengan ketiga temannya menunggu mobil yang akan ke Tes,
mereka duduk-duduk menunggu giliran mobil yang ternyata seringkali rebutan. Apa
mobilnya yang kurang atau manusianya yang hari itu memang membludak, hingga
mereka harus menunggu cukup lama juga.
Atik mendekati
Vawana yang sedang duduk dengan tenang, gadis itu sedikit berbisik kepada
Vawana sedang Anshari terlihat berbincang dengan Yanto, itu nama teman mereka.
“Va, kamu coba lihat ke arah kiri deh.” Ujarnya dengan penuh kecurigaan. Vawana
pun mengikuti apa yang diminta Atik yang masih meneruskan ucapannya. “Kamu
lihat cewek yang mengenakan baju putih, duduk sendirian dengan postur tubuh
===
Bersambung.........>>>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar