Rabu, 30 April 2014

KISAH NYATA


KISAH TINA TITIN AFIYOKA

(Berdasarkan kisah nyata)

*
Facebook

8 Oktober 2013 18:47

>Hy salam kenal au..
<Au... samo2
>ko tun ipe?
<Embong panjang
>Genku Tina, uku tun talang leak, tapi uku uyo nak jkrta, uku kerjo tp uku kbur majikanku jahat.
< Ko laher tahun kedau? Neak ipe ko tinggea uyo?
>Uku laher 1994, uku nak jakrta uku coa namen dalen blek moy lebong, ko lok coa temulung uku?
<ipe nomor hp nu? Kirim ngen uku... tapi beak gitei2 nomor.
>085920558xxx
>Uku minoi tlung ngen ko, uku kebiak indau ngen tun tuaiku, sudo 5 thun uku coa temau ngen tun tuaiku.
>Demi allah, uku selalu d sikso majikanku uku kabur tapi uku coa namen nomor hp kluargoku, pasti keluargoku meker uku sudo matei.
>getaiko coa krim nmornu, men uku tlp ko, uku lok cerito ngnko, bian uku mesoa kuat nak pesbook, uku temau ngen ko.
<oke dio nomorku, 085714922xxx
>mokasiak au, ko lok ijai kuatku, uku nanyo coagen kuat tun lebong, tip bilai baso indonesia, men uku nlpon ko au.
<ko binikeak?

*

     Facebook, salah satu akun paling digemari oleh anak-anak Indonesia bahkan orang dewasa baik laki-laki maupun perempuan, ada beberapa orang menjalani bisnis On-Line dari akun itu untuk menjual apa saja. Tak dipungkiri kalau akun Facebook merupakan tempat yang paling banyak sekali terjadi hal-hal diluar dugaan, dari penipuan dalam segala hal namun tidak sedikit orang merasakan dampak positifnya. Dan aku adalah salah satu orang yang banyak sekali menikmati hal positif dari akun itu setelah bergabung sejak tahun 2009 silam. Ada  beberapa temanku berpendapat kalau orang-orang pengguna akun itu menandakan kalau ia tidak punya pekerjaan atau pengangguran, semisal nenek-nenek yang mengisi kekosongannya dengan membuka akun Facebook, anak-anak SD, SMA bahkan yang sudah duduk di kantor dan yang lebih mengesankan lagi adalah ibu-ibu rumah tangga yang mengisi waktu luangnya untuk sekedar chatting di akun itu pada teman-temannya atau komunitas mereka. Mungkin temanku yang tadi rada anti dengan Facebook tidak melihat hal positif dari pengguna akun ajaib itu seperti beberapa ibu rumah tangga yang mengisi waktu luangnya untuk berjualan barang keperluan rumah tangga sampai aksesoris, pakaian wanita sampai gadget. mereka mendapatkan penghasilan tambahan dari sana. Intinya setiap kemajuan teknologi memang merupakan dilema untuk penggunanya. Yang ingin menggunakan itu ke hal positif pasti akan merasakan kemudahan yang luar biasa namun yang menyalahgunakan teknologi maka ia akan merusak orang lain bahkan dirinya sendiri dan tidak jarang membawa penggunanya ke dalam jeruji besi.
     Aku sendiri bisa menemukan kembali sahabatku yang sudah 17 tahun tidak bertemu lewat akun Facebook, bisa menyalurkan hobi menulisku lewat postingan tulisan di Facebook bahkan bisa menghadiri seminar kepenulisan di kampus UI bersama Dosen Sastra melalui undangan dari Facebook dan kali ini seorang gadis.... menemukan aku lewat akun Facebook.
     Meski tidak sedikit pesan masuk lewat Facebookku baik dari orang luar negeri sana bahkan tidak sedikit dari negeri sendiri mencoba melakukan hal yang tidak senonoh juga coba menipu, ada seorang wanita yang mengaku tinggal di Amerika dan bercerita kalau ia isteri kedua meminta aku untuk menyimpan uangnya karena khawatir suaminya kembali ke isteri pertama dengan tabungan mereka. Sepertinya wanita itu meminta aku mengirim nomor rekeningku tapi sebelum itu terjadi aku mengatakan ‘Hai, helooooo... Anda tidak kenal saya dengan begitu mudahnya percaya sama saya, tapi saya tidak bisa begitu saja percaya dengan Anda.... jadi maaf.’ Akhirnya ketahuan belangnya dengan tidak membalas lagi pesanku menandakan kalau ia penipu kelas tri. Itu salah satu dari banyak kasus yang aku alami di akun Facebook.
     Kejadian sejenis terjadi lagi lewat pesan masuk di Facebook yang aku buat, pesan dari seorang wanita yang mengaku dianiaya. ‘Hmm.... penipuan jenis apalagi ini?’ pikirku.

8 Oktober 2013 18:47
>Hai salam kenal ya.
<Ya, sama-sama.
>Kamu orang mana?
<Embong pajang
>Namuku Tina, aku orang Talang Leak, tapi sekarang aku ada di Jakarta, aku berkerja tapi aku kabur karena majikanku jahat.
< Kamu lahir tahun berapa? Tinggal di mana kamu sekarang?
>Aku lahir tahun 1994, aku sedang di Jakarta aku tidak tahu jalan pulang ke Lebong , kamu mau menolong aku?
<Mana nomor HP kamu? Kirim sama aku... tapi jangan ganti-ganti nomor.
>085920558xxx
>Aku minta tolong dengan kamu, aku kangen sekali dengan kedua orang tuaku, sudah lima tahun aku tidak  bertemu dengan orang tuaku.
>Demi Allah, Aku selalu disiksa oleh majikanku, aku kabur tapi aku tidak tahu nomor HP keluargaku, pasti keluargaku menyangka aku sudah meninggal.
>Kenapa kamu tidak mengirim nomor kamu, besok aku telepon kamu, aku ingin bercerita dengan kamu sudah lama aku mencari teman di Facebook, aku bertemu dengan kamu.
<Oke, ini nomorku, 085714922xxx
>Terima kasih ya, kamu sudah mau menjadi temanku, aku di sini tidak punya teman Tun Lebong. Setiap hari berbahasa Indonesia. Besok aku telepon kamu ya.
<Kamu sudah menikah?


*

     Ditahnun 2013 adalah tahun yang paling bahagia bagi Tina Rahel Amanda karena pada tahun itu ia baru berpikiran ingin membuat akun Facebook, tapi ia belum tahu bagaimana caranya. Ia minta diajarkan sama suaminya dan akhirnya ia bisa setelah itu ia mulai mencari pertemanan dengan mencari alamat orang-orang sekampung dengnnya, yaitu Rejang Lebong, Bengkulu tapi tidak ada hasil di dalam pencarian, ia coba buka kota Curup dan mendapatkan hasil ada Rakyat Curup tapi ia berpikir terlalu jauh untuk dijadikan teman akhirnya ia tutup akun Facebook karena setiap hari yang ia cari tidak pernah bertemu.
     Keesokan harinya saat sedang mencuci pikirannya mulai melayang lagi ke Facebook yang ada dibenaknya adalah mencoba mencari daerah Rejang Lebong. Dalam pencarian itu ternyata banyak sekali foto orang Lebong tapi ia masih bertanya-tanya sendiri alias masih belum begitu percaya apakah itu asli orang Lebong? ia masih ragu untuk mengirim permintaan pertemanan kepada mereka. Ada satu orang Kota Donok ia mengirimkan permintaan dan diterima, tapi ia ragu untuk bercerita lalu coba mencari lagi dan lagi hingga akhirnya ia melihat ada foto profil Helda Tunkeme Xwp, setelah melihat nama tengahnya menggunakan bahasa daerahnya, ia baru yakin kalau wanita itu berasal dari Rejang Lebong. Tanpa menunggu lagi ia langsung mengirimkan permintaan pertemanan dan langsung  diterima.
     Tina langsung mengirim pesan pribadi padaku dengan menahan untuk tidak menggunakan bahasa daerah. Ia coba bertanya, apakah  kamu mau membantuku? Aku menjawab mau meski agak lama menjawabnya karena aku sendiri sedang berpikir jenis penipuan apa lagi ini? Lalu ia bercerita tentang dirinya padaku. (Sejujurnya saat pertama kali menerima inbox dari Tina aku berpikir ‘modus’ penipuan jenis apalagi ini? secara di Facebook itu banyak sekali yang menyalahgunakan akun, apalagi nama pemilik akunnya pria tanpa foto dan ternyata itu nama anaknya. Tapi saat mendengar kepolosan suaranya di telepon aku sangat yakin kalau wanita itu memang ditipu orang. Tadinya Tina mengira aku tinggal di Lebong dan berharap bisa menemui kedua orang tuanya.)

     Aku barangkali kurang memiliki rasa yang peka atau lebih tepatnya berhati-hati dengan cerita orang yang sama sekali tidak aku kenal. Meski demikan pertama kali yang aku lakukan adalah meminta nomor teleponnya. Besoknya aku belum memutuskan untuk menghubungi Tina tapi aku memberitahukan nomorku dengan harapan kalau ia serius pastilah ia yang menghubungi aku, dan akhirnya ia menelepon lalu mengalirlah semua kisahnya disela gemetar bibirnya yang sudah lama sekali tidak menggunakan bahasa Ibu. Dari nada serta cara bicaranya membuat aku yakin lebih dari 100% kalau Tina bicara apa adanya. Suaranya polos dan benar-benar terdengar jujur. Aku menanyakan nama daerah asalnya, nama lengkapnya serta semuanya. Saat ia memberitahukan nama kampung neneknya pikiranku langsung ke sosok seorang teman yang berasal dari desa yang sama, karena desaku sendiri lumayan jauh dari sana. Aku pun mengatakan kepada Tina untuk menghubungi orang itu.
     “Nanti aku telepon orang yang satu desa dengan nenek kamu.”
    


**

Rejang Lebong – Jakarta

     Rejang Lebong, adalah sebuah kabupaten di provinsi Bengkulu, Indonesia. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 4.109,8 km². Ibukotanya ialah Curup. Kabupaten ini terletak di lereng pegunungan Bukit Barisan dan berjarak 85 km dari kota Bengkulu yang merupakan ibukota provinsi. Penduduk asli terdiri dari suku Rejang dan suku Lembak. Suku Rejang mendiami kecamatan Curup, Curup Utara, Curup Timur, Curup Selatan, Curup Tengah, Bermani Ulu, Bermani Ulu Raya, dan sebagian Selupu Rejang. Suku Lembak mendiami kecamatan Kota Padang, Padang Ulak Tanding, Binduriang, Sindang Dataran, Sindang Beliti Ulu, Sindang Beliti Ilir dan Sindang Kelingi.
      Suku Rejang adalah salah satu suku bangsa tertua di Sumatera, yang mempunyai garis keturunan yang jelas, mempunyai daerah dan wilayah tempat yang diakui etnisnya, memiliki adat istiadat dan tata cara yang tinggi diantara ratusan suku bangsa yang ada di bumi nusantara ini. Hampir semua unsur-unsur budaya telah dimiliki oleh suku Rejang. Seperti Sejarah, Bahasa, Aksara, Sistim pengetahuan, Sistim organisasi sosial, Sistim peralatan hidup, Sistim religi dan kesenian.
       Suku Rejang mendiami sebagian besar wilayah provinsi Bengkulu, yaitu masyarakat yang tinggal dan mendiami daerah Kabupaten Lebong. Kabupaten Rejang Lebong, Kabupaten Kepahyang, Kabupaten Bengkulu Tengah, Kabupaten Bengkulu Utara, masyarakat yang tinggal dan menetap di Tebing Tinggi dan Musi Rawas, Sumatera Selatan.
     Dalam penelitian sebuah LSM pada tahun 1999 orang Rejang 100% beragama islam. Menurut para ahli sejarah, suku Rejang secara geografis digolongkan ke dalam kelompok suku bangsa Melayu, sedangkan bahasa Rejang dihipotesiskan mempunyai kekerabatan dengan bahasa Polynesia Purba di wilayah Pasifik.
     Menurut sejarah, semua orang Rejang yang bertebaran itu berasal dari Pinang Belapis, Renah Skalawi yang kini disebut Lebong. Mereka adalah keturunan Rhe Jang Hyang bangsa Mongol, Cina utara. Kira-kira 4100 tahun yang lalu atau sekitar tahun 2090 SM. Rhe Jang Hyang bersama dengan kelompoknya mendarat di pantai  Slolong daerah Bintunan Bengkulu Utara, sekarang. Ketika itu Sumatera masih bernama Swarnadwiva.
...................
Dari buku/naskah : SEJARAH DAN BUDAYA REJANG
Oleh : Zulman Hasan
*
Kejayaan Kabupaten Lebong sebagai daerah yang memiliki potensi alam dan sumber daya mineral sudah dikenal sejak jaman dahulu, semenjak kolonial Belanda ada di Indonesia, bukti-bukti kejayaan tersebut sampai sekarang masih terlihat dari sisa-sisa peninggalan tambang emas tua di Kabupaten Lebong. Beberapa sisa-sisa peninggalan tambang emas tersebut sampai sekarang masih di manfaatkan oleh masyarakat, dan diexplorasi oleh pihak swasta dengan izin dari Pemerintah Kabupaten Lebong, seperti yang terdapat di  tambang emas Lubang Kacamata Pada masa revolusi, wilayah ini telah berkontribusi dalam pembangunan Monumen Nasional, atau yang dikenal dengan nama MONAS di DKI Jakarta, pada puncaknya terdapat emas, dan menurut sejarah sebagian emas tersebut dari Lebong. Untuk mengenang hal ini di Lebong terdapat monumen replika MONAS untuk mengingatkan bahwa emas MONAS yang ada di Jakarta berasal dari Kabupaten Lebong, bukti tersebut berupa monumen jalan menuju Tambang Emas Lobang Kacamata, Muara Aman. Tambang Emas tersebut masih diexplorasi sampai sekarang meski tidak banyak lagi.
---------------------
Sumber tulisan : http://lebongconservation.wordpress.com/lebong-herritage/

*
     Tak heran kalau banyak orang dari luar kota Bengkulu berpendapat orang-orang Bengkulu itu cakep-cakep khususnya anak Rejang asli, pengakuan itu aku dengar sendiri dari beberapa teman yang aku temui di Jakarta. Dan Tina Rahel Amanda adalah salah satu gadis keturuan Rejang asli daerah di mana aku berasal. Hmm... Rejang Lebong, yang dikenal juga dengan hasil taninya seperti kopi, padi, karet dan yang paling aku suka adalah buah duriannya. Ups! Ini yang terpenting, masakan khas Rejang, yaitu Lemea, bahan bakunya dari rebung muda.
     Pemandangan di daerah Lebong sangat indah baik  pada musim padi menguning ataupun saat padi menghijau di sawah yang luasnya sejauh mata memandang. Gunungnya yang termasuk bagian dari bukit barisan itu terlihat indah luar biasa menakjubkan dan lerengnya seakan mengecup pinggiran ladang nan elok. Apalagi cuacanya yang sejuk menambah lengkaplah semuanya.
     Tina gadis yang berusia 13 tahun... duduk di bangku kelas 2 SMP terlahir di keluarga sederhana bahkan sangat sederhana. Anak ke empat dari lima bersaudara, satu laki-laki dan empat perempuan dari seorang ibu bernama Putri Ningsih biasa dipanggil Upik dan ayah bernama Sairin. Saat itu seorang wanita paruh baya  bernama I’a. datang ke rumah Tina dan bicara empat mata dengan anak itu.
     “Kamu tidak usah meneruskan sekolah karena orang tuamu susah, mendingan kamu ikut aku ke Jakarta di sana kamu bisa bekerja dan mendapatkan uang tanpa harus kena lumpur sawah. Kamu bisa membantu kedua orang tuamu serta adikmu.” Tutur wanita yang Tina panggil dengan sebutan nenek meski usianya belum terlalu tua dengan nada menyakinkan menggunakan bahasa ibu. Wanita itu memang sudah kenal dengan keluarga Tina serta sanak famili yang lain karena ia memang asli satu kampung dengan neneknya Tina dan biasa datang pada keluarga yang kurang mampu dan membawa dari anak-anak itu ke Jakarta bahkan sampai ke negeri tetangga untuk mengubah nasib mereka. Dulu salah satu kakak perempuan Tina pernah dibawa olehnya ke Malaysia namun sayangnya harus dikembalikan karena kesehatannya tidak memungkinkan. Tina tidak begitu menggubris tawaran wanita itu karena ia masih asik sekolah dan belum terpikir ke arah sana meski hati kecilnya menyadari maksud dari kata-kata yang mengandung impian tinggi itu. Tina tinggal di desa Tebo Nibung bersama orang tua beserta saudaranya sedangkan rumah neneknya di Talang Leak dengan jarak sekitar lima kilo meter. Rumah mungil yang mereka tempati yang mungkin lebih layak disebut gubuk namun Tina merasa bahagia karena berkumpul dengan keluarganya.
     Beberapa hari berikutnya wanita yang diketahui punya rumah juga di Lampung itu datang lagi dan kali ini ia menemui ibunya Tina, ia coba membujuk wanita empat puluhan itu dengan nada santai.
     “Tidak usahlah kamu menyekolahkan anakmu si Tina itu karena hidup kalian sudah susah.” Ujar wanita itu dengan nada biasa dan tak dipungkiri kalau kata-kata itu benar adanya namun membuat wanita yang biasa dipanggil Upik itu trenyuh juga mengingat .kondisi keluarganya yang serba kekurangan namun ia iklas membesarkan anak-anaknya.
     Setelah Tina kelas tiga SMP dan usianya baru menginjak 14 tahun, sebelum lulus wanita itu kembali datang untuk menembus pertahanan Tina. “Kamu masih berpikir untuk melanjutkan sekolahmu ke tingkat SMA? Kamu pikir orang tuamu mampu? Untuk makan sehari-hari saja kalian susah.” kali ini ia nampak serius membuat Tina tertegun karena tertarik dan sepertinya ia mulai goyah, bagaimana tidak! Ia bisa membantu keuangan keluarganya kalau bekerja dan Jakarta, kapan lagi ke Jakarta kalau tidak sekarang sedangkan kota itu menjadi impian banyak orang tak terkecuali dirinya yang mungkin akan sulit ke sana jika tidak ada yang mengajak. Nada serius dan pelan itu seakan mewajibkan Tina untuk memahaminya, atau mungkin kata-kata itu hanya omong kosong karena kedua orang tua Tina juga belum membicarakan masalah kelanjutan sekolahnya apalagi mengenai mampu atau tidak.
     “Setamat SMP nanti....” lanjutnya. “Kamu bisa ikut aku ke Jakarta dan bekerja di sana. Kerjanya tidak berat dan kamu bisa dapat uang untuk membantu orang tua kamu. Kamu bisa pilih bekerja di salon atau yang lainya. Kamu cantik dan gampang untuk diterima.” Kata-kata terakhirnya belum dipahami Tina. Selama ini Tina kenal kalau wanita itu memang sering membawa anak-anak remaja ke Jakarta dan membantu ekonomi keluarga yang di kampung. Yang Tina dengar ia memang tinggal di Jakarta dan punya rumah juga di Lampung. Memang yang ia bawa selama ini tidak pernah mendapat masalah atau memang Tina tidak tahu? Wanita yang punya rumah sekampung dengan nenek Tina itu sepertinya tidak putus harapan untuk membawa Tina. Apakah ia memang ingin membantu orang kampung atau ia punya keuntungan sendiri? Itu yang belum terpikirkan oleh Tina.  Karena terbesit di otak Tina ‘Jakarta?’ anak kampung mana yang tidak pernah tergoda mendengar nama Jakarta. Di mana nyaris semua anak seusianya yang ada di pelosok negeri ini ingin menginjakkan kakinya di Jakarta, melihat Monas dari dekat dan menikmati permainan di taman impian. Wow! Dan pikiran itu mulai merendahkan kemampuan kedua orang tuanya, kalau tidak pergi dengan orang lain rasanya tidak mungkin kedua orang tuanya mampu mengajaknya ke Jakarta, sedang untuk makan besok dicari hari ini. Disamping itu ia berpikir jika bekerja akan meringankan beban kedua orang tua, bisa membantu biaya sekolah adiknya nanti dan mereka tidak lagi harus mengeluarkan uang untuk biaya sekolahnya, meski berat karena tidak pernah jauh dari kedua orang tua Tina menyerah.
     Kedua orang tua Tina pun akhirrnya pasrah meski dengan berat hati kecuali neneknya, wanita tua itu tidak rela melepaskan kepergiaan cucunya, beliau hanya mengatakan.
     “Ngapain sih pergi jauh-jauh sampai ke Jakarta, mendingan di sini berkumpul dengan keluarga.” Itu kata hati seorang nenek yang tidak ingin berpisah dari cucunya dan Tina yang sebelumnya tidak pernah sama sekali berpisah dari keluarga tentunya akan merasa amat berat juga namun keinginannya untuk meringankan beban hidup kedua orang tua ia menepis rasa berat itu dengan satu keyakinan yaitu mengubah hidup menjadi lebih baik.
     Setelah ujian selesai dan Tina lulus namun sebelum ijazahnya keluar ia sudah pergi untuk ke Jakarta.
     Tina berangkat dan ternyata selain wanita yang membawanya ada lagi satu wanita bersamanya yang usianya bisa dipastikan diatas Tina yaitu sekitar dua puluhan. Dan benar, wanita itu pernah bekerja di Jambi sekitar satu tahun. Itu pengakuan wanita itu setelah Tina berbincang sekilas dengannya. Tina sedikit terhibur dengan temannya meski ia tidak tahu namanya dan ia yakin kalau wanita paruh baya yang membawanya tidak akan menyia-nyiakan mereka sebab ada wanita lain yang sudah berpengalaman bersamanya. Selain merasa lebih nyaman Tina merasa tenang dan ia pun tertidur di dalam bis selama perjalanan setelah menahan kantuk padahal maksud hatinya ingin sekali menikmati pemandangan di sisi jalan.

     Wanita paruh baya itu aku panggil si A saja. Si A memang menyarankan agar Tina dan temannya harus istirahat dan kalau bisa tidur di bis tidak usah banyak bicara. Bis lintas Sumatera membawa tubuh Tina meninggalkan kampung halamannya menuju dunia yang tidak ia pahami dan bahkan bisa dibilang antahberantah untuk diri Tina.
     Beberapa saat kemudian setelah matanya terbuka bis telah berhenti di depan rumah makan, si A memberikan makan ala kadarnya untuk Tina dan temannya meski perut Tina masih lapar ia tidak berani meminta lebih. Beberapa jam kemudian saat menjelang tengah malam Tina dan temannya tiba di Lampung, si A membawa mereka menginap di rumahnya yang di Lampung. Di sana ada anak lelakinya yang sudah menikah tapi sudah berpisah dengan istrinya selain itu ada anak pria itu, yaitu cucunya si A. Di rumahnya si A kembali menyarankan Tina dan temanya untuk istirahat karena besok pagi mereka akan berangkat ke Jakarta. Meski tidak lagi mengantuk Tina akhirnya tertidur juga karena rasa lelah di perjalanan tadi.
     Pagi-pagi buta, Tina dan temannya sudah dibangunkan oleh si A untuk membereskan rumah dari mengepel sampai membersihkan rumput di halaman rumahnya. Si A mengatakan kalau mereka harus terbiasa dengan hal seperti itu dan tidak cengeng. Mereka menuruti saja apa yang dikatakan oleh si A.
     Pagi menjelang siang Tina dan temannya sudah tiba di Kali Deres setelah dua jam menyeberang laut dengan menggunakan kapal Perry. Setelah turun mereka sudah ditunggu oleh dua orang pria dengan sosok seperti binaragawan. Tina tidak tahu apakah kedua pria itu memang menjemput mereka atau pria-pria itu temannya si A. Mereka dibawa ke sebuah tempat semacam rumah penampungan atau sejenis yayasan. Diminta untuk istirahat di kamar tapi sebelumnya Tina melihat si A menerima sebuah amplop dari orang yayasan dan ia yakin sekali isinya uang, tidak tahu dari mana Tina dapat keyakinan itu dan amplop itu terlihat cukup tebal. Sebelum pergi si A berpesan pada kami berdua.
     “Tunggulah di sini minggu depan aku akan datang ke sini, kalian tidak usah macam-macam atau mencari gara-gara. Nomor keluarga kalian ada ditanganku. Baik-baik ya. Pokoknya minggu depan aku akan melihat apakah kalian berkelakuan baik atau tidak, jika macam-macam kalian akan tahu akibatnya.”
     Entah mengapa Tina percaya sekali kalau si A benar-benar akan datang lagi minggu depan meski saat melihat pemandangan tadi perasaannya mulai tidak enak. KeesokkannyaTina dan temannya di foto dengan alasan gambar mereka akan dikirim ke tempat mereka untuk bekerja, mungkin supaya yang punya usaha melihat dulu wajah dari foto atau entahlah Tina benar-benar tidak tahu.

**

Seperti di Penjara

     Sebelum berangkat ke tempat kerja Tina difoto dan ditannya nama, ia jawab Tina Rahel Amanda padahal nama aslinya Tina Titin Afiyoka, memberi nama samaran karena takut nanti ada kejadian yang jelek dilakukan oleh mereka. Sebelum berangkat disuruh beres-beres karena tukang ojek sudah menunggu. Di perjalanan sungguh Tina merasa takut sama tukang ojek karena ia tidak kenal dengan orang itu. ojek kiriman dari orang yang akan menerima Tina bekerja dan sungguh Tina tahu di mana ia akan di tempatkan, apakah di sebuah salon? Pabrik atau... entahlah! Sesampai disuatu rumah Tina diajak masuk. Tina sendiri sudah dipisahkan dari temannya yang dari Lebong itu. Setelah masuk bersama tukang ojek mereka menunggu di kursi, tak lama kemudian datanglah wanita yang sngat cantik sekali, matanya sipit rambut panjang dan kulitnya putih membuat Tina kagum melihatnya, dan mengertilah Tina ternyata wanita itu adalah majikannya, namanya susan. Dia menanyakan nama dan dijawab Tina Rahel Amanda, panggil Rahel saja katanya, Tina tidak peduli dan langsung saja mengiyakan, kembali ia menanyakan umur dijawab 14 tahun, terus ia menyodorkan sebuah kerta meminta Tina tanda tangan di sana, ternyta itu surat kontrak kerja selama 2 tahun. Tak dikasih tahu berapa gaji perbulannya.
     Belakangan Tina tahu kalau Susan itu adalah menantu di rumah besar itu. Saat pertama menginjakkan kaki di rumah itu Tina merasa tidak nyaman apalagi betah. Pertama Tina langsung disuruh bekerja, mengelap lemari, kaca dan yang lainnya. Tina menyadari kalau ia di sana sebagai pembersih rumah dengan kata lain pembantu rumah dan nama kerennya sekarang adalah asisten rumah tangga. Mendapatkan semua hal yang diluar dugaannya hari itu Tina menangis. Si A sudah tidak ada kabarnya lagi, janjinya untuk datang sepertinya tidak akan pernah terjadi. Nomor keluarga di kampung semua dia yang menyimpan. Saat menangis Tina mengatakan kepada Susan kalau ia ingin pulang saja.
     “Kalau kamu minta pulang nanti kamu akan dimarahi sama ibu yayasan.” Kata Susan dan Tina kembali bekerja dan tidak tahu sampai kapan.
     Rumah majikan Tina terdiri dari tiga lantai, mereka memiliki sebuah pakbrik yang letaknya tidak begitu jauh dari rumah, punya beberapa hewan peliharaan, anjing yang lumayan besar-besar. Yang menjadi orang seperti Tina di rumah itu ada empat orang, Tina lebih dekat dengan wanita yang berasal dari Papua, dia baik dan tulus kepada Tina sekaligus yang paling peduli pada Tina.
     Keempat asisten rumah tangga itu dikasih makan dari beras 1 liter untuk sehari, cukup tidak cukup harus cukup sedangkan Tina tahu pasti kalau hewan peliharaan di rumah itu hidup mewah dan makan enak yang mungkin lebih baik dari makanan mereka yang bekerja membanting tulang nyaris 24 jam. Tina seringkali kelelahan dan suatu kali ia mengaku sakit agar diperbolehkan pulang namun yang ia dapat adalah omelan majikannya bahkan sampai menelepon ke yayasan.  Sehingga ibu yayasan menelepon aku lewat majikan.
     “Kamu mau pulang? Kalau pulang bayar dulu ganti rugi saya sebesar 30 juta. Kalau kamu bertindak maka aku akan nekat sama kamu, ngerti?!”
     Tina pun menangis, ia tidak mengerti apa maksud ganti rugi 30 juta itu lalu ia kembali bekerja. Dan yang lebih mengejutkan dan membuat stres adalah kedatangan majikan baru, judes dan cerewet. Selama ini ia tinggal di Singapura namanya Dewi. Saat baru datang ia langsung bertanya.
     “Pembantu baru ya?”
     “Ya.” Jawab Tina.
     “Kerja yang benar.”
     “Ya, Bu.”
     “Bu? Panggil Nona!” teriaknya. Setiap hari Nona Dewi memarahi para asisten rumahnya dan tidak segan-segan ia meminta mereka mengepel sampai tiga kali dan mengulang lagi berkali-kali kalau ia masih melihat sehelai debu saja di lantai. Tina seringkali menangis karena kecapean juga kelaparan, badannya lemas sebab sudah pukul delapan malam belum mandi apalagi makan.
     Setelah dua bulan Tina di sana salah satu temannya yang bernama Siti sudah habis kontrak dia pulang dan terbebaslah beban beratnya selama ini. Pikir Tina. Tina sangat sedih melihat gadis itu pulang dan ia pun menangis di kamar mandi.  Selama bekerja di rumah gedongan itu Tina tidak pernah menerima gaji karena kata teman-temannya gaji akan keluar setelah mereka bekerja selama empat bulan. Pekerjaan yang tidak bisa dibilang ringan, karena rumah itu bertingkat empat walau lantai paling atas digunakan sebagai tempat masak sekaligus tempat serba guna.
     Esok adalah genap empat bulan Tina bekerja di tempat neraka itu, minggu pagi Tina mengambil permen coklat kecil di dalam kulkas, permen yang sangat kecil seharga sekitar lima ratus perak di warung-warung. Majikannya yang bernama Dewi kebetulan melihat dan langsung menampar Tina.
     “Tukang maling!” hentaknya. Bukan Dewi saja, Tina dikelilingi oleh majikan yang lain. Ada Oma, nenek mereka, ada juga yang pria yang suka bolak-balik singapura. Dipanggil tukang maling Tina merasa sangat sedih. Ingin sekali ia mengadu ke ibunya yang di kampung tapi apa daya ia tidak memiliki nomor telepon karena diambil si A. Entah kemana perginya wanita durjana itu, jangankan datang menayakan kabar Tina saja tidak pernah. Ia mungkin sudah memakan uang 30 juta dari hasil menjual Tina untuk dijadikan budak di rumah itu.
     Paginya, sekitar pukul delapan selesai beres mengepel Tina membawa baskom lalu ia letakkan baskom itu di tangga karena dipanggil oleh Susan. setelah itu terdengar suara nona Dewi yang kebetulan lewat tangga.
     “Tina...!” ia memanggil salah satu teman Tina yang punya nama sama dengan Tina. Tapi di sana Tina dipanggil Rahel. Mendengar panggilan keras itu membuat Tina buru-buru datang. “Siapa yang menaruh baskom di tangga?” bentaknya.
     “Hmm....  mungkin Rahel, Non.” Jawabnya dengan gugup. Detik berikutnya nama Rahel yang menjadi sasaran terikan pagi itu. Tina langsung datang namun langsung disambut dengan lemparan baskom dan mengenai tangannya, lagi-lagi Tina menangis sambil dalam hati berkata ‘Aku harus kabur dari neraka ini!’
     Pukul tiga dini hari Tina membereskan tasnya meski hanya satu stel pakaian. Ia menaruhnya di bawah mobil yang ada di teras lalu ia tidur lagi.
     Setelah azan subuh, Tina buru-buru bangun lalu pura-pura mengepel di lantai dua dan saat itu ia melihat salah satu temannya membuka pintu gerbang. Ternyata dia disuruh  oleh majikan membeli sesuatu di warung dan sepertinya ia lupa mengunci pintu kembali dan itu tidak biasanya. Itulah kesempatan yang tidak akan pernah datang untuk kedua kalinya bagi Tina untuk kabur. Tina berhasil kabur lewat lantai satu tanpa memikirkan lagi soal gaji yang seharusnya ia terima hari itu.

**

Di mana Tina?

     Seminggu setelah kepergian Tina ke Jakarta si A mengabarkan kepada keluarga lewat telepon kalau Tina hilang karena kabur dari yayasan. Dengan memberi kabar seperti itu sepertinya lepas sudah tugasnya tanpa memikirkan bagaimana efek keluarga yang mendapatkan berita yang diluar dugaan itu. Dengan santainya si A mengatakan kalau Tina bandel dan berani kabur dari yayasan. Upik ibunya Tina seperti orang kehilangan akal mendapat kabar dari si A. Keluarga besar Tina pun bermaksud melaporkan si A ke polisi mendapat info seperti itu si A bukannya takut malah menyelecehkan keluarga Tina dengan mengatakan ‘Mana mungkin mereka berani melaporkan saya, orang miskin mau makan saja susah.’ Mendapat kata-kata yang kurang ajar dari si A membuat keluarga besar Tina berang. Paman Tina bermaksud untuk membakar rumah si A yang ada di desa nenek Tina namun ayah Tina melarang dengan alasan bukan saja rumah itu yang akan habis sebab tidak sedikit rumah orang lain di dekatnya. Itu sama saja mereka membakar satu kampung.
     Orang tua Tina ke kantor polisi melaporkan kehilangan anak gadis mereka sebab si A juga sudah tidak bisa ditemukan lagi. Tidak tahu di mana rimbanya wanita laknat itu. Setelah menjelaskan krologi kehilangan Tina ke pak polisi mereka pun mencetak foto Tina sebanyak lima ratus lembar dan disebarkan ke berbagai kantor polisi. Minggu pertama tidak ada titik terang dari usaha pencarian Tina, minggu kedua, sebulan bahkan hingga berbulan-bulan tidak ada hasil bahkan polisi di luar pulau Sumatera sudah dikerahkan namun tetap nihil. Tidak ada yang melihat gadis yang bernama Tina Titin Afiyoka. Keluarga merasa kalau Tina sudah meninggal atau dibunuh orang mengingat ia masih belia dan tidak punya siapa-siapa di Jakarta. Para tetangga juga berpendapat kalau Tina memang sudah tidak ada sebab salah satu tetangga ada yang anaknya pergi ke kota dan tidak pernah pulang hingga sekarang dan keluarganya pun sudah mengadakan acara tahlillan di rumahnya. Maka saat semua orang beranggapan Tina sudah tiada wanita yang dipanggil Upik itu selalu menanamkan keyakinan di dalam hatinya kalau anaknya masih hidup dan baik-baik saja serta Tuhan masih melindunginya. Para tetangga yang mengusulkan untuk mengadakan tahlillan atas meninggalnya Tina membuat ibunya stres dan tentu saja tidak mau menerima usulan konyol itu. Setiap hari ia memikirkan anaknya meski aktifitas kesehariannya tak pernah berhenti seperti ke kebun atau ke sawah. Suatu hari ia berjalan bak orang linglung sehingga ia jatuh di jalan dan kepalanya terbentur batu hingga berdarah. Sang ayah selalu memberi semangat kepada isterinya walaupun dihati kecilnya juga sangat berharap Tina bisa ditemukan lagi.

**

Perjalanan

     Dengan uang sepuluh ribu rupiah Tina meninggalkan rumah megah  pemilik yang tidak punya hati, pintar namun tidak bermoral, kaya namun namun tak berbudi. Dunia ini memang milik orang yang berduit, banyak orang pintar namun tak sedikit yang korup. Zaman ini sudah menjadi serba susah, susah menjadi orang idealis, susah menjadi orang baik karena selalu diinjak-injak orang. Tak jarang uang dijadikan tuhan bagi orang-orang yang menjadi budak mesin, otak mereka sudah penuh dengan virus dunia, kebahagiaan sesaat bahkan demi ketenaran. Tak jarang anak muda kehilangan harapan untuk mengubah negeri ini menjadi yang diinginkan mereka sebab sistem jelek di negeri ini sudah berakar mungkin juga sudah berkarat. Reformasi tidak menghasilkan apa-apa padahal sudah banyak memakan korban. Lagi-lagi sistem negeri kembali pada semula, korupsi seakan sudah menjadi budaya.
     Tina mengganti bajunya di balik pohon besar sebelum melanjutkan perjalanannya meski tidak punya tujuan. Bingung tidak tahu harus melangkah ke mana. Di pinggir jalan Tina berdiri dan melihat orang-orang masuk ke bawah jalan tol dan ia pun ikut melakukan hal yang sama ternyata itu jalan untuk menyeberang jalan.
     Tanpa tahu harus ke mana akhirnya Tina menyadari ia berada di kawasan Cengkareng meski tidak tahu di mana itu. Tina benar-benar seperti seekor kijang yang masuk kampung. Kini Tina ada di sebuah pasar dan masih terus berpikir hendak jalan ke mana, ia tidak kenal satu orang pun di tempat itu, tidak punya satu nomorpun untuk dihubungi. Tiba-tiba seorang tukang ojek bertanya.
     “Mau ke mana, Dik?”
     “Tidak tahu bang.” Sahut Tina apa adanya membuat tukang ojek itu bertanya lagi dan tanpa diminta Tina akhirnya bercerita sejujurnya, untungnya tukan ojek itu baik dan membantu Tina. Ia mengatakan kalau punya teman dan mengajak Tina ke rumah temannya. Tanpa berpikir panjang Tina pun menurut sebab ia merasa kalau tukang ojek itu sungguh-sungguh bermaksud menolong. Beruntungnya temannya itu juga baik, mereka sudah berkeluarga nama isterinya Endang suaminya Iwan dan seorang anak kecil sekitar usia 9 tahun namanya Putri. Tina disuruh mandi, dikasih pinjam baju dan dikasih makan. Tina akhirnya tinggal bersama mereka.
     Setelah beberapa hari di tempat mereka, Tina akhirnya dicarikan pekerjaan oleh Endang di tempat burung walet dengan gaji dua ratus ribu perminggu. Gaji pertama Tina kasih separuh kepada Endang separuh lagi untuk keperluannya sehari-hari. Keluarga Endang tinggal di rumah kontrakkan dengan satu kamar sehingga Tina harus tidur bersama mereka berempat tapi Tina dan Putri tidur di atas ranjang sedangkan Endang dan suaminya di bawah beralaskan karpet. Pada suatu malam Tina terjaga tanpa sengaja Tina melihat sepasang suami isteri di kamar itu sudah melakukan hubungan suami isteri membuat Tina memejamkan matanya, meski sudah selesai Tina bisa melihat dengan sangat jelas karena lampu di kamar mereka tidak pernah mati. Untungnya Iwan tidak sempat melihat Tina terjaga karena gadis itu langsung merebahkan tubuhnya di tempat tidur lagi. Setelah kejadian itu Tina mulai merasa tidak nyaman apalagi Iwan pernah coba menggodanya. Karena sudah bekerja dan mendapakan gaji Tina berpikir harus meninggalkan keluarga itu untuk mengontrak sendiri. Niat baik Tina pun dikabulkan oleh Endang bahkan ia sempat memberi nasihat agar Tina jaga diri di luar sana. Wanita yang baik dan tidak akan pernah bisa Tina lupakan meski sejujurnya yang menyebabkan Tina pergi karena ia takut sama Iwan. Tina tidak akan menceritakan kejadian itu kepada Endang karena tidak ingin wanita itu sakit hati, tersinggung apalagi sampai bertengkar.
     Tina mendapatkan kontrakan di Rawa Bengkel karena tempat itu tidak jauh dari lokasi tempatnya bekerja. Tina tinggal sendiri dan itu membuatnya amat sangat sedih karena belum bisa mengabarkan tentang dirinya kepada kedua orang tuanya di kampung. Tina punya banyak teman kerja berasal dari Jawa mereka juga mengontrak di lokasi yang sama. Suatu hari Tina main ke kontrakkan mereka, ternyata di sana ada banyak anak laki-laki dan salah satunya laki-laki gondrong saat Tina lewat di depannya ia menggoda Tina dengan mencolek bokong Tina membuat Tina marah besar. Tanpa disangka ternyata laki-laki itu malah menitip salam pada salah satu temannya untuk Tina. Dengan berjalannya waktu laki-laki itu memperlihatkan keseriusannya kepada Tina hingga Tina pun mengatakan kalau ingin menjadi pacarnya harus potong rambut dan itu dikabulkan oleh laki-laki yang ternyata bernama Bunawi.
     Setelah hubungan mereka berjalan enam bulan Bunawi mengenalkan Tina kepada kedua orang tuanya. Entah tidak tahu mengapa Tina percaya sama Bunawi, Keseriusan dan ketulusan serta memperlihatkan karakter apa adanya membuat Tina luluh dan mau dibawa ke rumah orang tuanya di Cirebon. Di rumah Bunawi kedua orang tua pria itu menanyakan tentang Tina, asal usul serta keberadaan orang tuanya. Tina mengatakan ia berasal dari Rejang Lebong, Bengkulu. Ia merantau sudah empat tahun tidak pulang.
     “Bunawi mengatakan kalau ia ingin menikahimu.” Ujar ibunya Bunawi. “Jadi kamu harus menghubungi kedua orang tuamu di kampung.”
     “Aku tidak punya nomor keluargaku, sebab waktu sampai di Jakarta aku kehilangan nomor mereka.” Kata Tina tidak tahu mengapa ia bisa bicara seperti itu. Wanita yang punya anak tunggal itu melirik suaminya yaitu ayahnya Bunawi. Bunawi memang sudah cerita sedikit mengenai kondisi Tina kepada kedua orang tuanya. Melihat kedua remaja itu sudah sangat dekat dan saling suka kedua orang tua Bunawi tidak bisa berbuat banyak. Akhirnya ibu Bunawi mengatakan.
     “Kalau begitu kamu menikah harus memakai wali hakim, kamu mau pakai wali hakim?”
     “Mau.” Jawab Tina karena tidak punya pilihan. Ia tidak bisa menghubungi keluarganya bertahun-tahun dan yang pasti tidak tahu bagaimana caranya pulang kampung. Jangankan pulang, jalan pulang ke Lebong saja ia tidak tahu sebab waktu naik bis ia hanya tidur. Dari yayasan langsung dibawa ke rumah majikan laknat itu dan sekarang ia bertemu dengan seorang pria yang tulus mencintainya dan berniat menikahinya. Apakah ada pilihan lain selain menerima lamarannya?
     Tina akhirnya menikah dengan Bunawi dengan perasaan sedih karena tanpa kehadiran kedua orang tuanya serta sanak saudaranya.

**
Terima kasih Allah

     Pertama kali mendengar suara Tina aku menjadi trenyuh apalagi ceritanya yang selama ini sering aku lihat hanya terjadi di televisi, mendengar dari cerita teman bahwa teman mereka yang mengalami hal yang sama namun kali ini aku mendengar sendiri dari orang yang mengalaminya langsung, sungguh rasanya tidak masuk akal apalagi yang mengalami kejadian itu adalah orang yang berasal dari daerahku dan pelakunya juga dari tempat yang sama. Astaghfirullah!
     Tina mengisahkan semuanya padaku di telepon lalu aku coba menenangkan dirinya karena saat ia cerita aku merasa kalau yang mengalami itu adalah adikku sendiri.
     “Kamu tenang saja Tin, aku punya teman orang yang berasal dari desa nenek kamu. Nanti aku coba tanya ke dia atau setidaknya coba meminta nomor telepon keluarga kamu agar kamu bisa menghubungi mereka.” Kataku pagi itu saat menelepon Tina.
     “Ya, Ayuk... tadinya aku pikir Ayuk tinggal di Lebong dan langsung bisa datang ke rumah orang tuaku.”
     “Tidak Tin, aku datang ke Jakarta sejak tahun 1994 dan sudah punya anak satu. Pokoknya aku akan menghubungi Iwan karena orang tuanya ada di kampung nenek kamu... semoga ia bisa menolong dan kamu bisa bertemu dengan kedua orang tuamu kembali.”
     “Ya, Ayuk... terima kasih sebelumnya.” (Ayuk adalah panggilan untuk kakak perempuan di  Lebong)
     Aku akhirnya menelepon Iwan, Iwan adalah adik kelasku waktu SMP kebetulan ia berasal dari Pelabuhan Talang Leak dan tinggal di daerah Jakarta Juga. Saat aku cerita reaksi Iwan sama waktu pertama aku mendengar kisah Tina. Aku menganjurkan ia segera menghubungi Tina.
     Iwan langsung menghubungi Tina dan Tina  menangis karena terharu tidak menyangka bisa berbicara dengan orang yang satu desa dengan neneknya.
     “Nama kamu siapa?” tanya Iwan.
     “Tina Titin Afiyoka.”
     “Siapa saudara kamu di Pelabuhan Talang Leak?”
     “Kak Damon anaknya Brahim.”
     “Oh, aku tidak kenal Tin... sebab sejak lulus SMA aku langsung merantau. Apa kamu kenal dengan Pawi?”
     “Kenal Kak. Aku juga punya Wak namanya Ujang dan nama anaknya Sakut.”
     “O, Sakut? Aku kenal... baiklah, nanti aku kirim nomor kamu ke orang tuaku biar beliau mencari tahu siapa saudara kamu di Pelabuhan Talang Leak.” Ujar Iwan lalu ia mengakhiri pembicaraan dengan Tina kemudian kembali menelepon aku.
     “Hel, aku sudah bicara dengan Tina... ya kamu benar. Anak itu memang sedang butuh bantuan, mendengar nada bicaranya ia memang masih polos sekali... sepertinya tidak ada sedikitpun ada kebohongan di ceritanya dan keluarganya yang di Talang Leak ada beberapa aku kenal dan aku sudah menelepon bapak di kampung dan ternyata bapak bilang si A itu pekerjaannya memang suka membawa anak-anak ke kota lalu menjualnya. Benar-benar biadab itu orang.” Hela Iwan padaku dan aku memang membenarkan kata-kata Iwan sebab tidak ada yang setuju anak gadisnya dijual dan dipekerjakan tidak jelas. Untung saja Tina tidak dijadikan budak nafsu oleh orang-orang biadab itu.
     Setelah menerima telepon dari Iwan aku langsung menelepon Tina dan lagi-lagi anak itu menangis sementara aku hanya bisa mengatakan tidak usah menangis lagi karena cepat atau lambat kamu akan bertemu kembali dengan keluargamu. Tina hanya bisa mengatakan terima kasih yang tidak henti-hentinya padaku dan Iwan.
     Taklama kemudian di  telepon Tina masuk nomor baru dengan pesan ‘Tina, dio Sakut (Tina, ini Sakut)’  provider telepon Sakut berbeda dengan provider yang Tina pakai sehingga ia buru-buru mengganti provider untuk segera bicara dengan Sakut.
     Bicara dengan Sakut membuat Tina menangis sejadi-jadinya.
     “Tina, benar ini kamu?”
     “Ya, Kak.”
     “Kamu masih hidup, Dek?”
     “Ya Kak, bapak sama ibu mana?”
     “Masih di kebun.”
     “Aku ingin ngomong Kak.” Suara Tina masih dalam tangis.
     “Sabar ya, nanti dijemput.” Ujar Sakut dan kali iniTina menangis haru karena tak kuasa menahan kebahagiaan yang selama ini ia harapkan. Obrolan itu terputus karena pulsa Tina habis ia pun kembali membeli pulsa untuk menelepon lagi dan kali ini bibinya yang bicara. “Bi... ibu mana?”
     “Sabar Tin.... masih dijemput.” Kata bibinya dengan nada haru. Tina pun menunggu ibunya sampai di rumah sambil terus cerita pada bibinya mengenai kisahnya selama ini. Tidak lama kemudian bibinya mengatakan kalau ibunya Tina sudah datang. “Yuk, ini Tina yang telepon ternyata ia masih hidup.” Tina mendengar suara bibinya bicara dengan ibunya dan ia akhirnya mendengar juga kalau ibunya pingsan dari suara keluarga di sana. Membayangkan kejadian itu Tina menangis lagi di telepon dan semuanya menangis. Yang Tina tunggu akhirnya datang, ibunya sudah sadar dan bicara pada Tina.
     “Kamu ke mana saja Tina......?” suara wanita paruh baya itu tersendat-sendat, selama ini orang-orang menganggapnya hilang akal karena menganggap Tina masih hidup. Tapi ia benar, sebab naluri seorang itu itu tidak ada yang bisa menandingi. Tina pun bercerita lagi kisah yang sama ia cerita ke Sakut, Iwan juga aku.
     “Terus bagaimana kamu bisa dapat nomor telepon kak Sakut?”
     “Aku dapat nomor seorang perempuan di Facebook, dia mau menolong aku.”
     “Siapa nama perempuan itu?”
     “Namarnya Ayuk Helda, yang memberi nomornya kak Sakut adalah kak Iwan dan dia temannya ayuk Helda.”
     “Oh, Alhamdulillah... jangan lupa kamu bilang terima kasih kepada mereka yang sebesar-besarnya semoga kebaikan mereka dibalas oleh Allah SWT.”
     “Amin...”    

Bersambung...>>>


HTX

Jumat, 18 April 2014

Sebuah Rahasia Hati


     Kini AemeL menulis di buku yang dibeli oleh Julia, sebelumnya sejenak ia mengamati sahabatnya itu dengan hati yang sedih, karena sejujurnya ia takut sekali kehilangan Julia meski dokter mengatakan Julia akan baik-baik saja.
     ‘Tinta emas,... tidak tahu lagi apa yang akan aku lakukan saat ini, berdoa untuk kesembuhan sahabatku itu pasti. Tak sedikitpun aku menginginkan ia cidera apalagi sakit seperti saat ini. Tinta emas, tolong sampaikan kepada Tuhan betapa aku sangat menyayanginya. Jangan pernah pisahkan lagi kami dengan alasan-alasan sakit hati atau kesalahpahaman, kami satu jiwa, persahabatan kami tidak biasa, biar orang mengatakan hubungan darah persaudaraan lebih kuat dari apapun tapi aku merasa hubunganku dengan Julia lebih kental dari hubungan darah persaudaraan. Keluarga adalah segalanya bagiku, Teguh belahan jiwaku namun Julia.... aku tidak bisa menyebutnya sebagai apa tapi aku merasa rasa sayangku padanya tak bisa diungkapkan apalagi diumpamakan dengan apapun. Julia kembalilah, bangunlah... aku sangat menyayangimu....... sampai napas terakhirku.’

     Dengan perlahan AemeL menutup buku diary indah itu, lalu matanya beralih pada laptop di mana tulisan-tulisannya selalu setia menanti ia melanjutkan kisah dunia ini untuk dituangkan di sana. AemeL memiliki banyak cinta, cinta pada benda kesayangannya, cinta pada pekerjaannya dan entah berapa lagi cinta yang ia miliki namun ia gadis yang tidak gampang jatuh cinta pada lawan jenis kalau tidak benar-benar merasa klik. Detik ini AemeL tidak punya niat atau mood untuk melanjutkan kisah di dalam laptopnya karena pikirannya tertuju kepada Julia, ia kembali mendekati Julia mengusap kening Julia dan tidak boleh lagi ada air mata, ia meraih tangan Julia dan menggenggamnya dengan erat. Tangan yang dari kecil tidak pernah kena lumpur sawah karena ayah Julia tidak pernah membiarkan anak gadis mereka turun ke sawah berbeda dengan gadis Sumatera yang lain, mereka dari kecil dibiasakan membantu kegiatan kedua orang tua mereka di sawah ataupun di kebun. Julia, gadis tegas, punya tulisan tangan sangat indah, punya prinsip hidup yang kuat dan tidak segan-segan marah pada orang yang jelas salah, tidak takut ditinggal oleh orang yang ia cintai kalau ia merasa benar. Saat genggaman tangan AemeL ingin lepas ia merasakan gerakan dari tangan Julia membuat AemeL spontan menoleh pada tangan itu. Julia menggerakan tangannya seolah menyadari kalau Julia sudah sadar memaksa AemeL mendekati wajahnya ke wajah Julia.
     “Julia, Julia......” gumannya dengan pelan. “Kamu sudah... sudah sadar...? kamu bisa mendengarkan aku.......?” suara AemeL masih pelan dan detik berikutnya Julia membuka matanya dan mendapatkan AemeL di dekat wajahnya. Melihat mata Julia terbuka tanpa sadar mata AemeL berair seakan tuntas sudah penantiannya selama kurang lebih tujuh hari ini. Ia ingin memeluk gadis itu tapi ia takut menyakiti tubuh yang habis dioperasi itu. “Alhamdulillaha ya Allah Julia sudah sadar.” Hela AemeL sedangkan Julia menyimak situasi keliling dengan ekor matanya. Rumah sakit, pikirnya dan secara kilat pikirannya kembali merekam kejadian siang itu di jalan dan tiba-tiba matanya terpejam seolah kenangan itu tidak ingin ia ingat. “Julia...?” panggil AemeL setengah panik, suara itu jelas sekali terdengar di telinga Julia.
     “Ae......” suara Julia lembut setelah menatap wajah AemeL yang masih panik dihadapannya. AemeL menganggukan kepalanya seakan mengatakan kalau ia tidak akan ke mana-mana. Mata di wajah itu berkaca-kaca meski mimik wajahnya menyiratkan kebahagiaan karena Julia telah siuman. “Sejak kapan aku di sini...?”
     “Jangan banyak bicara dulu, aku panggilkan kak Juna ya, tadi ia di sini dan sekarang sedang istirahat.”
     “Kak Juna di sini?” giliran Julia panik kalau sudah ada kak Juna berarti urusan akan serius. Sebab pria itu tidak pernah ikut campur urusan Julia kalau bukan urusan serius. AemeL mengganggukan kepalanya dan ia buru-buru menahan tubuh Julia saat gadis itu hendak bangun. Julia segera sadar setelah merasakan beberapa alat kedokteran menempel di badannya. Ia tidak mungkin mengatakan saat itu kalau Julia mengalami patah tulang dan tulang rusuknya itu menembus ke paru-parunya. AemeL menghubungi Juna yang ternyata sudah melangkah ke arah kamar inap Julia.
     “Kak Juna, lihat.... Julia sudah sadar...” kata AemeL setengah berteriak. Pria itu mendekati adiknya dan langsung memegang kening Julia.
     “Syukurlah sayang... kakak tahu kalau kamu sangat kuat. Semuanya akan segera beres dan kamu segera pulih. Tetap kuat ya.” Ujar Juna meski sesungguhnya ia takut juga kehilangan adiknya. Setegar apa pun dia tetap punya kekhawatiran itu, Juna memang telah menggantikan sosok ayah untuk Julia dan adik-adiknya. “Lihat AemeL, tak sedikitpun ia ingin beranjak dari sisi kamu, kalian memang sahabat yang hebat sekaligus gila.” Kata terakhir disertai tawa dari mulut Juna membuat AemeL ikut tersenyum. Julia melirik ke AemeL yang tak ingin memperlihatkan rasa lelahnya di hadapan Julia. “Sudah tujuh hari kamu di sini, kakak belum mengabarkan keluarga di Palembang karena kakak percaya kamu akan baik-baik saja.” Tambah Juna.
     “Tujuh hari?” pertanyaan itu ditujukan kepada AemeL dan AemeL hanya bisa menganggukkan kepalanya dengan pelan. Julia melirik tangannya yang terpasang jarum infus karena Julia belum bisa menelan makanan langsung meskipun ia sudah sadar, sebab paru-parunya masih luka.
    AemeL tidak tahu di mana posisi Wowor saat ini, ia hanya mengirim BBM  pada pria itu untuk mengabarkan kalau Julia sudah sadar, pesan itu sudah terkirim dan belum dibaca.
     “Tunggu di sini ya, kakak mau ke ruangan dokter untuk membicarakan kondisi kamu.” Kata Juna kepada Julia sekalian pamit pada AemeL.
     Sepeninggal kak Juna, Julia langsung melirik pada AemeL yang sepertinya sudah siap dengan segala pertanyaan yang mungkin ditanyakan Julia padanya. Namun sebelumnya ia mendahului Julia. “Jangan banyak bicara dulu ya, kamu masih lemah.” Ia melirik ke arah perut Julia sekilas.
      Julia hanya mengukir senyuman tipis lalu berkata diluar dugaan AemeL. “Bagaimana keadaan kamu?”
     “Aku sangat baik, aku hanya mengkhawatirkan kamu.. cepat sembuh ya.” Sahutnya sembari mengusap lengan Julia. Sejujurnya AemeL ingin sekali segera bertanya bagaimana kejadian sebenarnya hingga menyebabkan Julia mengalami kecelakaan namun itu tidak memungkinkan karena kondisi Julia masih sangat lemah. AemeL harus menyimpan dulu rasa ingin tahunya walau secara simbolis ia sudah mendengar penjelasan dari Wowor.
     Wowor! Di mana pria itu? Mengapa ia tidak muncul? Apakah ia sudah kembali bekerja? Bukankah semalam ia masih di sini. Pikir AemeL, ia tidak berharap Julia menanyakan Wowor saat itu. Sudah seminggu ia menunggu Julia sadar dan sekarang ia tidak ingin kebersamaannya dengan Julia harus terganggu dengan pria yang bernama Wowor.
     Lagi-lagi diluar dugaan AemeL, dalam kondisi yang masih sangat lemah Julia menceritakan semua kejadian sebelum ia mengalami kecelakaan dan itu nyaris sama yang diceritakan oleh Wowor. Detik-detik setelah cerita kondisi Julia makin lemah dan saat itu Juna dan dokter masuk untuk mengecek kondisi Julia setelah siuman. Setelah semuanya kembali normal Wowor muncul dan kali ini ia membawa mami dan papinya tanpa diduga, pria itu melamar Julia di depan kakak dan sahabatnya. Julia sangat tidak menyukai situasi itu namun ia tidak bisa mencegah bahkan tak kuasa untuk mengeluarkan suaranya yang masih lemah. Saat matanya bertemu dengan mata papinya Wowor, ia melihat ada ketulusan dan keteguhan di sana yang membuat Julia makin tak kuasa karena ada senyum wibawa seakan meminta Julia untuk menjadi anaknya. Sebelum mata Julia ke wajah maminya Wowor terlebih dahulu ia menatap kak Juna. Pria itu hanya mengangkat kedua bahunya seolah semua keputusan ada di tangan Julia karena kebahagiaan Julia sudah pasti kebahagiaannya juga. Julia memahami kebijakan kakaknya, kini matanya mencari AemeL yang ternyata masih berdiri di sebelahnya. Gadis itu hanya tersenyum dan Julia tahu apa pun keputusannya nanti sudah pasti disetujui oleh AemeL meski demikian ia tidak mau mengambil keputusan tanpa diketahui oleh AemeL. Bersamaan dengan itu sebuah tangan menyentuh lengan Julia. Wanita paruh baya itu mengusap tangan Julia dan berkata lembut.
     “Lekas sembuh ya Julia, semua orang di ruangan ini sangat menyayangi kamu.” Itu adalah suara seorang wanita Jawa Tulen, lembut dan penuh kasih sayang. Wowor mengusap bahu maminya semacam ucapan terima kasih yang dalam pada wanita yang telah melahirkan dirinya ke dunia ini. Kemudian ia meraih tangan Julia yang ada jarum infusnya namun secara halus Julia menarik tangannya dari genggaman Wowor. Julia belum tahu bagaimana kondisinya setelah kecelakaan yang membuatnya tak sadarkan diri selama tujuh hari, apakah kakinya diamputasi atau ada luka parah  yang tidak bisa disembuhkan sehingga membuat semua orang di dalam ruangan itu menaruh rasa kasihan padanya. Julia tidak selemah perkiraan mereka kiranya itu terjadi. Wowor masih tidak percaya kalau gadis yang ia cintai itu masih menolaknya namun ia coba bersikap dewasa dan berusaha memahami psikis Julia setelah kecelakaan.
     “Tidak apa-apa sayang.... tidak sedikitpun ada paksaan di sini. Semua keputusan ada pada dirimu. Apa pun yang kamu putuskan semua bisa menerima, termasuk aku.” Ujar Wowor dan Julia bisa merasakan kalau pria itu tidak punya sisi yang disembunyikan lagi namun ia tetap harus hati-hati.
     Menit berikutnya Julia merasa harus ditinggal sendirian, meski AemeL khsususnya Wowor merasa berat namun mereka melakukan itu. Julia merasa harus punya ruang sendiri untuk beberapa saat. Ia merasa sulit bernapas menghadapi kenyataan hidup yang ia rasa tiba-tiba meski sangat sadar tidak ada yang serba kebetulan di dunia ini. Beberapa menit kemudian seorang suster masuk karena tidak ingin pasiennya lama-lama sendirian. Saat masuk ia melihat Julia baik-baik saja kemdian ia berbisik pada Julia.
     “Kamu tidak lagi menyentuh benda terkutuk itu, bukan?” celetuknya membuat Julia tersenyum. “Jaga paru-paru kamu jangan biarkan benda terkutuk itu membuatnya hitam. Hidupnya ini hanya sesaat sobat jangan sia-siakan.” Tambahnya membuat Julia seakan disadarkan banyak hal. Suster itu tahu kalau hasil operasi dari paru-paru Julia memperlihatkan hasil selama ini ia mengkonsumsi sigaret namun bukan itu yang membuat Julia tersenyum tapi sebutan itu sama persis dengan sebutan yang diciptakan oleh AemeL dan ia tahu pasti kalau AemeL tidak mungkin mengatakan pada orang lain kalau ia pernah merokok.
     “Ya, terima kasih banyak atas nasihatnya Sus.” Sahut Julia pada suster empat puluhan itu.
     “Oh, ya. Ngomong-ngomong.. kamu punya sahabat yang sangat luar biasa dan kekasih yang amat sangat mencintaimu. Tidak semua orang seberuntung kamu di dunia ini... dan sepertinya kamu akan lekas sembuh karena mereka semua sudah tidak sabar ingin melihat kamu sehat. Nanti kita akan melakukan cek ulang untuk melihat perkembangan tulang rusuk kamu.”
     Di ruanga tunggu. Wowor terlihat lesu di sampingnya AemeL duduk namun ia sudah terlihat ceria karena Julia sudah sadar. “Dia masih meragukan perasaanku.” Guman Wowor pada AemeL dan baru itu kali pertama AemeL mendengar suara Wowor tidak biasanya. Ada kesedihan tidak biasa di dalamnya. “Tapi tidak apa, kesembuhan Julia paling utama.” AemeL menatap Wowor saat pria itu menoleh padanya. “Ae, besok aku sudah harus masuk kerja. Selama aku tidak bisa ke sini, aku titip Julia sama kamu ya. Aku percaya sama kamu.”
     “Ya, tidak ada orang lain yang bisa kamu percaya selain aku sebab Julia adalah aku.” Balas AemeL dengan nada pasti agar pria itu tidak lagi menganggap seorang sahabat memakan sahabatnya sendiri.
      Wowor tersenyum manis seakan melupakan trauma yang pernah ia alami selama ini. Hidup memang indah, lain orang lain sifat. Lain padang lain belalang... itu kata pepatah lama.
~
     Julia menyandarkan tubuhnya di sebelah AemeL, pemandangan laut lepas yang indah namun menyimpan ribuan misteri di dalamnya. Suasa senja di tepi pantai sudah lama sekali tidak dinikmati oleh kedua sahabat itu. Kini di kursi kayu mereka duduk santai seolah ingin menghempaskan semua masalah hidup ke dalam air yang dalamnya tak terkira. Hari itu adalah ulang tahun Julia yang ke 28, di tangannya ada hadiah dari AemeL yaitu sebuah diary AemeLdengan tinta emasnya.
     “Aku baru tahu ternyata rasa sayang kamu sama aku melebihi dari perkiraanku.” Kata Julia tanpa menoleh pada AemeL. “Aku sering kesal dengan diriku karena terlalu menyayangimu, kesal karena berharap kamu juga menyayangi aku seperti aku menyayangimu.” Terdengar tawa lirih dari Julia. “Aku benci sekali kalau sudah kangen sama kamu, meski akhirnya kamu mengatakan kalau aku kangen kamu juga merasakan itu... dan kamu mengirimkan pesan dengan nada ledekan, kamu sengaja melakukan itu dan belakangan kamu bilang karena kamu benar merasakan hal yang sama. AemeL.. AemeL... dunia ini memang indah, dan selamat ya karena novel kamu sudah cetak ulang.”
     Kali ini AemeL melirik Julia. “Ya, selamat juga karena kamu sudah menerima lamaran dr. Wowor Vandeef. Aku bahagia, sepertinya kita harus menikah dengan tanggal yang sama.”
     Gemuruh suara ombak terdengar mengisi kisah-kisah bahagia kedua gadis itu. “Meski di Sumatera tidak ada pantangan untuk menikah dengan tanggal yang sama di dalam satu keluarga namun kita tidak mungkin bisa menikah berbarengan... sebab aku hanya ingin kamu yang mendampingi aku meuju pelaminan nanti.” Tutur Julia.
     “Kalau begitu, aku akan menikah setelah kamu bulan madu dengan Wowor... tidak apa-apa meski Teguh yang duluan melamar aku.” Usul AemeL dengan tawa halus. Ia akan melakukan apa pun untuk kebahagian Julia. “Dada kamu sudah tidak lagi terasa ngilu, kan?” ia masih saja mengkhawatirkan Julia.
     “Tidak, aku kan punya seorang dokter terbaik.” Guman Julia setengah bercanda. Padahal sejujurnya rasa ngilu itu terkadang masih terasa. “Aku sudah mengirim BBM ke Seema, karena besok barang dari Tanah Abang akan segera datang. Anak itu tidak pernah menanyakan di mana aku, yang ia tanya apakah aku baik-baik saja? Ia memang teman kerja yang bisa diandalkan.”
     “Syukurlah, emm.... kamu masih membenci Jakarta?”
      Kini Julia tersenyum. “Yang membuat kita menyukai seseorang terkadang bukan orangnya tapi sifatnya dan yang membuat kita tidak suka dengan salah satu kota ternyata bukan kotanya tapi orang-orang yang ada di dalamnya. Bukankah begitu sang penulis?” gurau Julia. AemeL mengusap bahu sahabatnya dengan penuh kasih sayang. Tak ada rahasia diantara kedua sahabat itu, AemeL sudah menceritakan semua yang ia tahu tentang Wowor  kepada Julia. Ia juga memberitahukan kisah keluarga Teguh dan ia sudah siap menerima lamaran Teguh bersama kakaknya untuk datang ke Palembang.
     Wanita paruh baya itu mengamati Julia dan AemeL dari dalam mobilnya yang terparkir di sisi pantai. Segelintir dari banyak kata-kata Juna terngiang di telingannya.. ‘.....Kata ayahku, kewajiban seorang anak laki-laki itu selain kepada isterinya, ia juga harus patuh kepada ibunya....’ Mengingat sosok Wowor yang sangat patuh padanya tanpa sadar air matanya mengalir, ia terharu. Januardi memang cinta sejatinya meski tak dapat ia miliki dan ia tidak akan membiarkan kejadian yang sama menimpa Wowor.
     Tidak semua orang dapat hidup dengan cinta sejatinya meski sangat ingin, Tuhan punya rencana yang lebih baik dari yang hamba-Nya ketahui. Semua yang manusia alami adalah pembelajaran, sebab tidak ada yang terjadi secara kebetulan di dunia ini. Bersyukur dan bersyukur adalah obat yang paling mujarab di dalam menjalani hidup yang tak pasti. Cinta akan terasa indah bila ia berada di pos yang tepat.....>>>
**
HTX