KISAH TINA TITIN AFIYOKA
(Berdasarkan
kisah nyata)
*
Facebook
8
Oktober 2013 18:47
>Hy salam kenal au..
<Au...
samo2
>ko tun ipe?
<Embong
panjang
>Genku Tina, uku tun talang leak, tapi uku
uyo nak jkrta, uku kerjo tp uku kbur majikanku jahat.
<
Ko laher tahun kedau? Neak ipe ko tinggea uyo?
>Uku laher 1994, uku nak jakrta uku coa namen
dalen blek moy lebong, ko lok coa temulung uku?
<ipe
nomor hp nu? Kirim ngen uku... tapi beak gitei2 nomor.
>085920558xxx
>Uku minoi tlung ngen ko, uku kebiak indau ngen
tun tuaiku, sudo 5 thun uku coa temau ngen tun tuaiku.
>Demi allah, uku selalu d sikso majikanku uku
kabur tapi uku coa namen nomor hp kluargoku, pasti keluargoku meker uku sudo
matei.
>getaiko coa krim nmornu, men uku tlp ko,
uku lok cerito ngnko, bian uku mesoa kuat nak pesbook, uku temau ngen ko.
<oke
dio nomorku, 085714922xxx
>mokasiak au, ko lok ijai kuatku, uku nanyo
coagen kuat tun lebong, tip bilai baso indonesia, men uku nlpon ko au.
<ko
binikeak?
*
Facebook, salah satu akun paling digemari
oleh anak-anak Indonesia bahkan orang dewasa baik laki-laki maupun perempuan,
ada beberapa orang menjalani bisnis On-Line dari akun itu untuk menjual apa
saja. Tak dipungkiri kalau akun Facebook merupakan tempat yang paling banyak
sekali terjadi hal-hal diluar dugaan, dari penipuan dalam segala hal namun
tidak sedikit orang merasakan dampak positifnya. Dan aku adalah salah satu
orang yang banyak sekali menikmati hal positif dari akun itu setelah bergabung
sejak tahun 2009 silam. Ada beberapa
temanku berpendapat kalau orang-orang pengguna akun itu menandakan kalau ia
tidak punya pekerjaan atau pengangguran, semisal nenek-nenek yang mengisi
kekosongannya dengan membuka akun Facebook, anak-anak SD, SMA bahkan yang sudah
duduk di kantor dan yang lebih mengesankan lagi adalah ibu-ibu rumah tangga
yang mengisi waktu luangnya untuk sekedar chatting
di akun itu pada teman-temannya atau komunitas mereka. Mungkin temanku yang
tadi rada anti dengan Facebook tidak melihat hal positif dari pengguna akun
ajaib itu seperti beberapa ibu rumah tangga yang mengisi waktu luangnya untuk
berjualan barang keperluan rumah tangga sampai aksesoris, pakaian wanita sampai
gadget. mereka mendapatkan
penghasilan tambahan dari sana. Intinya
setiap kemajuan teknologi memang merupakan dilema untuk penggunanya. Yang ingin
menggunakan itu ke hal positif pasti akan merasakan kemudahan yang luar biasa
namun yang menyalahgunakan teknologi maka ia akan merusak orang lain bahkan
dirinya sendiri dan tidak jarang membawa penggunanya ke dalam jeruji besi.
Aku sendiri bisa menemukan kembali
sahabatku yang sudah 17 tahun tidak bertemu lewat akun Facebook, bisa
menyalurkan hobi menulisku lewat postingan tulisan di Facebook bahkan bisa
menghadiri seminar kepenulisan di kampus UI bersama Dosen Sastra melalui
undangan dari Facebook dan kali ini seorang gadis.... menemukan aku lewat akun
Facebook.
Meski tidak sedikit pesan masuk lewat
Facebookku baik dari orang luar negeri sana bahkan tidak sedikit dari negeri
sendiri mencoba melakukan hal yang tidak senonoh juga coba menipu, ada seorang
wanita yang mengaku tinggal di Amerika dan bercerita kalau ia isteri kedua
meminta aku untuk menyimpan uangnya karena khawatir suaminya kembali ke isteri
pertama dengan tabungan mereka. Sepertinya wanita itu meminta aku mengirim
nomor rekeningku tapi sebelum itu terjadi aku mengatakan ‘Hai, helooooo... Anda tidak kenal saya dengan begitu mudahnya percaya
sama saya, tapi saya tidak bisa begitu saja percaya dengan Anda.... jadi maaf.’
Akhirnya ketahuan belangnya dengan tidak membalas lagi pesanku menandakan
kalau ia penipu kelas tri. Itu salah satu dari banyak kasus yang aku alami di
akun Facebook.
Kejadian sejenis terjadi lagi lewat pesan
masuk di Facebook yang aku buat, pesan dari seorang wanita yang mengaku
dianiaya. ‘Hmm.... penipuan jenis apalagi
ini?’ pikirku.
8
Oktober 2013 18:47
>Hai salam kenal ya.
<Ya,
sama-sama.
>Kamu orang mana?
<Embong
pajang
>Namuku Tina, aku orang Talang Leak, tapi
sekarang aku ada di Jakarta, aku berkerja tapi aku kabur karena majikanku
jahat.
<
Kamu lahir tahun berapa? Tinggal di mana kamu sekarang?
>Aku lahir tahun 1994, aku sedang di Jakarta
aku tidak tahu jalan pulang ke Lebong , kamu mau menolong aku?
<Mana
nomor HP kamu? Kirim sama aku... tapi jangan ganti-ganti nomor.
>085920558xxx
>Aku minta tolong dengan kamu, aku kangen
sekali dengan kedua orang tuaku,
sudah lima tahun aku tidak bertemu
dengan orang tuaku.
>Demi Allah, Aku selalu disiksa oleh
majikanku, aku kabur tapi aku tidak tahu nomor HP keluargaku, pasti keluargaku
menyangka aku sudah meninggal.
>Kenapa kamu tidak mengirim nomor kamu, besok
aku telepon kamu, aku ingin bercerita dengan kamu sudah lama aku mencari teman
di Facebook, aku bertemu dengan kamu.
<Oke,
ini nomorku, 085714922xxx
>Terima kasih ya, kamu sudah mau menjadi
temanku, aku di sini tidak punya teman Tun Lebong. Setiap hari berbahasa
Indonesia. Besok aku telepon kamu ya.
<Kamu
sudah menikah?
*
Ditahnun 2013 adalah tahun yang paling
bahagia bagi Tina Rahel Amanda karena pada tahun itu ia baru berpikiran ingin
membuat akun Facebook, tapi ia belum
tahu bagaimana caranya. Ia minta diajarkan sama suaminya dan akhirnya ia bisa
setelah itu ia mulai mencari pertemanan dengan mencari alamat orang-orang
sekampung dengnnya, yaitu Rejang Lebong, Bengkulu tapi tidak ada hasil di dalam
pencarian, ia coba buka kota Curup dan mendapatkan hasil ada Rakyat Curup tapi
ia berpikir terlalu jauh untuk dijadikan teman akhirnya ia tutup akun Facebook karena setiap hari yang ia cari
tidak pernah bertemu.
Keesokan harinya saat sedang mencuci
pikirannya mulai melayang lagi ke Facebook
yang ada dibenaknya adalah mencoba mencari daerah Rejang Lebong. Dalam
pencarian itu ternyata banyak sekali foto orang Lebong tapi ia masih
bertanya-tanya sendiri alias masih belum begitu percaya apakah itu asli orang
Lebong? ia masih ragu untuk mengirim permintaan pertemanan kepada mereka. Ada
satu orang Kota Donok ia mengirimkan permintaan dan diterima, tapi ia ragu
untuk bercerita lalu coba mencari lagi dan lagi hingga akhirnya ia melihat ada
foto profil Helda Tunkeme Xwp, setelah melihat nama tengahnya menggunakan
bahasa daerahnya, ia baru yakin kalau wanita itu berasal dari Rejang Lebong.
Tanpa menunggu lagi ia langsung mengirimkan permintaan pertemanan dan
langsung diterima.
Tina langsung mengirim pesan pribadi
padaku dengan menahan untuk tidak menggunakan bahasa daerah. Ia coba bertanya,
apakah kamu mau membantuku? Aku menjawab
mau meski agak lama menjawabnya karena aku sendiri sedang berpikir jenis
penipuan apa lagi ini? Lalu ia bercerita tentang dirinya padaku. (Sejujurnya saat pertama kali menerima inbox
dari Tina aku berpikir ‘modus’ penipuan jenis apalagi ini? secara di Facebook
itu banyak sekali yang menyalahgunakan akun, apalagi nama pemilik akunnya pria
tanpa foto dan ternyata itu nama anaknya. Tapi saat mendengar kepolosan
suaranya di telepon aku sangat yakin kalau wanita itu memang ditipu orang.
Tadinya Tina mengira aku tinggal di Lebong dan berharap bisa menemui kedua
orang tuanya.)
Aku barangkali kurang memiliki rasa yang
peka atau lebih tepatnya berhati-hati dengan cerita orang yang sama sekali
tidak aku kenal. Meski demikan pertama kali yang aku lakukan adalah meminta
nomor teleponnya. Besoknya aku belum memutuskan untuk menghubungi Tina tapi aku
memberitahukan nomorku dengan harapan kalau ia serius pastilah ia yang
menghubungi aku, dan akhirnya ia menelepon lalu mengalirlah semua kisahnya
disela gemetar bibirnya yang sudah lama sekali tidak menggunakan bahasa Ibu.
Dari nada serta cara bicaranya membuat aku yakin lebih dari 100% kalau Tina
bicara apa adanya. Suaranya polos dan benar-benar terdengar jujur. Aku
menanyakan nama daerah asalnya, nama lengkapnya serta semuanya. Saat ia
memberitahukan nama kampung neneknya pikiranku langsung ke sosok seorang teman
yang berasal dari desa yang sama, karena desaku sendiri lumayan jauh dari sana.
Aku pun mengatakan kepada Tina untuk menghubungi orang itu.
“Nanti aku telepon orang yang satu desa
dengan nenek kamu.”
**
Rejang Lebong –
Jakarta
Rejang
Lebong, adalah sebuah kabupaten di provinsi Bengkulu, Indonesia. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 4.109,8 km². Ibukotanya
ialah Curup. Kabupaten ini
terletak di lereng pegunungan Bukit Barisan dan berjarak 85 km dari kota Bengkulu yang merupakan ibukota provinsi. Penduduk asli terdiri dari suku Rejang dan suku Lembak. Suku Rejang mendiami kecamatan Curup, Curup Utara, Curup Timur,
Curup Selatan, Curup Tengah, Bermani Ulu, Bermani Ulu Raya, dan sebagian Selupu
Rejang. Suku Lembak mendiami kecamatan Kota Padang, Padang Ulak Tanding,
Binduriang, Sindang Dataran, Sindang Beliti Ulu, Sindang Beliti Ilir dan
Sindang Kelingi.
Suku Rejang adalah
salah satu suku bangsa tertua di Sumatera, yang mempunyai garis keturunan yang
jelas, mempunyai daerah dan wilayah tempat yang diakui etnisnya, memiliki adat
istiadat dan tata cara yang tinggi diantara ratusan suku bangsa yang ada di
bumi nusantara ini. Hampir semua unsur-unsur budaya telah dimiliki oleh suku
Rejang. Seperti Sejarah, Bahasa, Aksara, Sistim pengetahuan, Sistim organisasi
sosial, Sistim peralatan hidup, Sistim religi dan kesenian.
Suku Rejang mendiami
sebagian besar wilayah provinsi Bengkulu, yaitu masyarakat yang tinggal dan
mendiami daerah Kabupaten Lebong. Kabupaten Rejang Lebong, Kabupaten Kepahyang,
Kabupaten Bengkulu Tengah, Kabupaten Bengkulu Utara, masyarakat yang tinggal
dan menetap di Tebing Tinggi dan Musi Rawas, Sumatera Selatan.
Dalam penelitian sebuah
LSM pada tahun 1999 orang Rejang 100% beragama islam. Menurut para ahli
sejarah, suku Rejang secara geografis digolongkan ke dalam kelompok suku bangsa
Melayu, sedangkan bahasa Rejang dihipotesiskan mempunyai kekerabatan dengan
bahasa Polynesia Purba di wilayah Pasifik.
Menurut sejarah, semua
orang Rejang yang bertebaran itu berasal dari Pinang Belapis, Renah Skalawi
yang kini disebut Lebong. Mereka adalah keturunan Rhe Jang Hyang bangsa Mongol,
Cina utara. Kira-kira 4100 tahun yang lalu atau sekitar tahun 2090 SM. Rhe Jang
Hyang bersama dengan kelompoknya mendarat di pantai Slolong daerah Bintunan Bengkulu Utara,
sekarang. Ketika itu Sumatera masih bernama Swarnadwiva.
...................
Dari buku/naskah : SEJARAH DAN BUDAYA REJANG
Oleh : Zulman Hasan
*
Kejayaan
Kabupaten Lebong sebagai daerah yang memiliki potensi alam dan sumber daya
mineral sudah dikenal sejak jaman dahulu, semenjak kolonial Belanda ada di
Indonesia, bukti-bukti kejayaan tersebut sampai sekarang masih terlihat dari
sisa-sisa peninggalan tambang emas tua di Kabupaten Lebong. Beberapa sisa-sisa
peninggalan tambang emas tersebut sampai sekarang masih di manfaatkan oleh
masyarakat, dan diexplorasi oleh pihak swasta dengan izin dari Pemerintah
Kabupaten Lebong, seperti yang terdapat di tambang emas Lubang Kacamata
Pada masa revolusi, wilayah ini telah berkontribusi dalam pembangunan Monumen
Nasional, atau yang dikenal dengan nama MONAS di DKI Jakarta, pada puncaknya
terdapat emas, dan menurut sejarah sebagian emas tersebut dari Lebong. Untuk
mengenang hal ini di Lebong terdapat monumen replika MONAS untuk mengingatkan
bahwa emas MONAS yang ada di Jakarta berasal dari Kabupaten Lebong, bukti
tersebut berupa monumen jalan menuju Tambang Emas Lobang Kacamata, Muara Aman.
Tambang Emas tersebut masih diexplorasi sampai sekarang meski tidak banyak
lagi.
---------------------
Sumber tulisan : http://lebongconservation.wordpress.com/lebong-herritage/
Sumber tulisan : http://lebongconservation.wordpress.com/lebong-herritage/
*
Tak heran kalau
banyak orang dari luar kota Bengkulu berpendapat orang-orang Bengkulu itu
cakep-cakep khususnya anak Rejang asli, pengakuan itu aku dengar sendiri dari
beberapa teman yang aku temui di Jakarta. Dan Tina Rahel Amanda adalah salah
satu gadis keturuan Rejang asli daerah di mana aku berasal. Hmm... Rejang
Lebong, yang dikenal juga dengan hasil taninya seperti kopi, padi, karet dan
yang paling aku suka adalah buah duriannya. Ups! Ini yang terpenting, masakan
khas Rejang, yaitu Lemea, bahan bakunya dari rebung muda.
Pemandangan di daerah Lebong sangat indah
baik pada musim padi menguning ataupun
saat padi menghijau di sawah yang luasnya sejauh mata memandang. Gunungnya yang
termasuk bagian dari bukit barisan itu terlihat indah luar biasa menakjubkan
dan lerengnya seakan mengecup pinggiran ladang nan elok. Apalagi cuacanya yang
sejuk menambah lengkaplah semuanya.
Tina gadis yang berusia 13 tahun... duduk
di bangku kelas 2 SMP terlahir di keluarga sederhana bahkan sangat sederhana.
Anak ke empat dari lima bersaudara, satu laki-laki dan empat perempuan dari
seorang ibu bernama Putri Ningsih biasa dipanggil Upik dan ayah bernama Sairin.
Saat itu seorang wanita paruh baya
bernama I’a. datang ke rumah Tina dan bicara empat mata dengan anak itu.
“Kamu tidak usah meneruskan sekolah karena
orang tuamu susah, mendingan kamu ikut aku ke Jakarta di sana kamu bisa bekerja
dan mendapatkan uang tanpa harus kena lumpur sawah. Kamu bisa membantu kedua
orang tuamu serta adikmu.” Tutur wanita yang Tina panggil dengan sebutan nenek
meski usianya belum terlalu tua dengan nada menyakinkan menggunakan bahasa ibu.
Wanita itu memang sudah kenal dengan keluarga Tina serta sanak famili yang lain
karena ia memang asli satu kampung dengan neneknya Tina dan biasa datang pada
keluarga yang kurang mampu dan membawa dari anak-anak itu ke Jakarta bahkan
sampai ke negeri tetangga untuk mengubah nasib mereka. Dulu salah satu kakak
perempuan Tina pernah dibawa olehnya ke Malaysia namun sayangnya harus
dikembalikan karena kesehatannya tidak memungkinkan. Tina tidak begitu
menggubris tawaran wanita itu karena ia masih asik sekolah dan belum terpikir
ke arah sana meski hati kecilnya menyadari maksud dari kata-kata yang
mengandung impian tinggi itu. Tina tinggal di desa Tebo Nibung bersama orang
tua beserta saudaranya sedangkan rumah neneknya di Talang Leak dengan jarak
sekitar lima kilo meter. Rumah mungil yang mereka tempati yang mungkin lebih
layak disebut gubuk namun Tina merasa bahagia karena berkumpul dengan
keluarganya.
Beberapa hari berikutnya wanita yang
diketahui punya rumah juga di Lampung itu datang lagi dan kali ini ia menemui
ibunya Tina, ia coba membujuk wanita empat puluhan itu dengan nada santai.
“Tidak usahlah kamu menyekolahkan anakmu
si Tina itu karena hidup kalian sudah susah.” Ujar wanita itu dengan nada biasa
dan tak dipungkiri kalau kata-kata itu benar adanya namun membuat wanita yang
biasa dipanggil Upik itu trenyuh juga mengingat .kondisi keluarganya yang serba
kekurangan namun ia iklas membesarkan anak-anaknya.
Setelah Tina kelas tiga SMP dan usianya
baru menginjak 14 tahun, sebelum lulus wanita itu kembali datang untuk menembus
pertahanan Tina. “Kamu masih berpikir untuk melanjutkan sekolahmu ke tingkat
SMA? Kamu pikir orang tuamu mampu? Untuk makan sehari-hari saja kalian susah.”
kali ini ia nampak serius membuat Tina tertegun karena tertarik dan sepertinya
ia mulai goyah, bagaimana tidak! Ia bisa membantu keuangan keluarganya kalau
bekerja dan Jakarta, kapan lagi ke Jakarta kalau tidak sekarang sedangkan kota
itu menjadi impian banyak orang tak terkecuali dirinya yang mungkin akan sulit
ke sana jika tidak ada yang mengajak. Nada serius dan pelan itu seakan
mewajibkan Tina untuk memahaminya, atau mungkin kata-kata itu hanya omong
kosong karena kedua orang tua Tina juga belum membicarakan masalah kelanjutan
sekolahnya apalagi mengenai mampu atau tidak.
“Setamat SMP nanti....” lanjutnya. “Kamu
bisa ikut aku ke Jakarta dan bekerja di sana. Kerjanya tidak berat
dan kamu bisa dapat uang untuk membantu orang tua kamu. Kamu bisa pilih bekerja
di salon atau yang lainya. Kamu cantik dan gampang untuk diterima.” Kata-kata
terakhirnya belum dipahami Tina. Selama ini Tina kenal kalau wanita itu memang
sering membawa anak-anak remaja ke Jakarta dan membantu ekonomi keluarga yang
di kampung. Yang Tina dengar ia memang tinggal di Jakarta dan punya rumah juga
di Lampung. Memang yang ia bawa selama ini tidak pernah mendapat masalah atau
memang Tina tidak tahu? Wanita yang punya rumah sekampung dengan nenek Tina itu
sepertinya tidak putus harapan untuk membawa Tina. Apakah ia memang ingin
membantu orang kampung atau ia punya keuntungan sendiri? Itu yang belum
terpikirkan oleh Tina. Karena terbesit
di otak Tina ‘Jakarta?’ anak kampung mana yang tidak pernah tergoda mendengar
nama Jakarta. Di mana nyaris semua anak seusianya yang ada di pelosok negeri
ini ingin menginjakkan kakinya di Jakarta, melihat Monas dari dekat dan
menikmati permainan di taman impian. Wow! Dan pikiran itu mulai merendahkan
kemampuan kedua orang tuanya, kalau tidak pergi dengan orang lain rasanya tidak
mungkin kedua orang tuanya mampu mengajaknya ke Jakarta, sedang untuk makan
besok dicari hari ini. Disamping itu ia berpikir jika bekerja akan meringankan
beban kedua orang tua, bisa membantu biaya sekolah adiknya nanti dan mereka
tidak lagi harus mengeluarkan uang untuk biaya sekolahnya, meski berat karena
tidak pernah jauh dari kedua orang tua Tina menyerah.
Kedua orang tua Tina pun akhirrnya pasrah
meski dengan berat hati kecuali neneknya, wanita tua itu tidak rela melepaskan
kepergiaan cucunya, beliau hanya mengatakan.
“Ngapain sih pergi jauh-jauh sampai ke
Jakarta, mendingan di sini berkumpul dengan keluarga.” Itu kata hati seorang
nenek yang tidak ingin berpisah dari cucunya dan Tina yang sebelumnya tidak
pernah sama sekali berpisah dari keluarga tentunya akan merasa amat berat juga
namun keinginannya untuk meringankan beban hidup kedua orang tua ia menepis
rasa berat itu dengan satu keyakinan yaitu mengubah hidup menjadi lebih baik.
Setelah ujian selesai dan Tina lulus namun
sebelum ijazahnya keluar ia sudah pergi untuk ke Jakarta.
Tina berangkat dan ternyata selain wanita
yang membawanya ada lagi satu wanita bersamanya yang usianya bisa dipastikan
diatas Tina yaitu sekitar dua puluhan. Dan benar, wanita itu pernah bekerja di
Jambi sekitar satu tahun. Itu pengakuan wanita itu setelah Tina berbincang
sekilas dengannya. Tina sedikit terhibur dengan temannya meski ia tidak tahu
namanya dan ia yakin kalau wanita paruh baya yang membawanya tidak akan
menyia-nyiakan mereka sebab ada wanita lain yang sudah berpengalaman bersamanya.
Selain merasa lebih nyaman Tina merasa tenang dan ia pun tertidur di dalam bis
selama perjalanan setelah menahan kantuk padahal maksud hatinya ingin sekali
menikmati pemandangan di sisi jalan.
Wanita paruh baya itu aku panggil si A
saja. Si A memang menyarankan agar Tina dan temannya harus istirahat dan kalau
bisa tidur di bis tidak usah banyak bicara. Bis lintas Sumatera membawa tubuh
Tina meninggalkan kampung halamannya menuju dunia yang tidak ia pahami dan
bahkan bisa dibilang antahberantah untuk diri Tina.
Beberapa saat kemudian setelah matanya
terbuka bis telah berhenti di depan rumah makan, si A memberikan makan ala
kadarnya untuk Tina dan temannya meski perut Tina masih lapar ia tidak berani
meminta lebih. Beberapa jam kemudian saat menjelang tengah malam Tina dan
temannya tiba di Lampung, si A membawa mereka menginap di rumahnya yang di
Lampung. Di sana ada anak lelakinya yang sudah menikah tapi sudah berpisah
dengan istrinya selain itu ada anak pria itu, yaitu cucunya si A. Di rumahnya
si A kembali menyarankan Tina dan temanya untuk istirahat karena besok pagi
mereka akan berangkat ke Jakarta. Meski tidak lagi mengantuk Tina akhirnya
tertidur juga karena rasa lelah di perjalanan tadi.
Pagi-pagi buta, Tina dan temannya sudah
dibangunkan oleh si A untuk membereskan rumah dari mengepel sampai membersihkan
rumput di halaman rumahnya. Si A mengatakan kalau mereka harus terbiasa dengan
hal seperti itu dan tidak cengeng. Mereka menuruti saja apa yang dikatakan oleh
si A.
Pagi menjelang siang Tina dan temannya
sudah tiba di Kali Deres setelah dua jam menyeberang laut dengan menggunakan
kapal Perry. Setelah turun mereka sudah ditunggu oleh dua orang pria dengan
sosok seperti binaragawan. Tina tidak tahu apakah kedua pria itu memang
menjemput mereka atau pria-pria itu temannya si A. Mereka dibawa ke sebuah
tempat semacam rumah penampungan atau sejenis yayasan. Diminta untuk istirahat
di kamar tapi sebelumnya Tina melihat si A menerima sebuah amplop dari orang
yayasan dan ia yakin sekali isinya uang, tidak tahu dari mana Tina dapat
keyakinan itu dan amplop itu terlihat cukup tebal. Sebelum pergi si A berpesan
pada kami berdua.
“Tunggulah di sini minggu depan aku akan
datang ke sini, kalian tidak usah macam-macam atau mencari gara-gara. Nomor
keluarga kalian ada ditanganku. Baik-baik ya. Pokoknya minggu depan aku akan
melihat apakah kalian berkelakuan baik atau tidak, jika macam-macam kalian akan
tahu akibatnya.”
Entah mengapa Tina percaya sekali kalau si
A benar-benar akan datang lagi minggu depan meski saat melihat pemandangan tadi
perasaannya mulai tidak enak. KeesokkannyaTina dan temannya di foto dengan
alasan gambar mereka akan dikirim ke tempat mereka untuk bekerja, mungkin
supaya yang punya usaha melihat dulu wajah dari foto atau entahlah Tina
benar-benar tidak tahu.
**
Seperti di Penjara
Sebelum berangkat ke tempat kerja Tina
difoto dan ditannya nama, ia jawab Tina Rahel Amanda padahal nama aslinya Tina
Titin Afiyoka, memberi nama samaran karena takut nanti ada kejadian yang jelek
dilakukan oleh mereka. Sebelum berangkat disuruh beres-beres karena tukang ojek
sudah menunggu. Di perjalanan sungguh Tina merasa takut sama tukang ojek karena
ia tidak kenal dengan orang itu. ojek kiriman dari orang yang akan menerima
Tina bekerja dan sungguh Tina tahu di mana ia akan di tempatkan, apakah di
sebuah salon? Pabrik atau... entahlah! Sesampai disuatu rumah Tina diajak
masuk. Tina sendiri sudah dipisahkan dari temannya yang dari Lebong itu.
Setelah masuk bersama tukang ojek mereka menunggu di kursi, tak lama kemudian
datanglah wanita yang sngat cantik sekali, matanya sipit rambut panjang dan
kulitnya putih membuat Tina kagum melihatnya, dan mengertilah Tina ternyata
wanita itu adalah majikannya, namanya susan. Dia menanyakan nama dan dijawab
Tina Rahel Amanda, panggil Rahel saja katanya, Tina tidak peduli dan langsung
saja mengiyakan, kembali ia menanyakan umur dijawab 14 tahun, terus ia
menyodorkan sebuah kerta meminta Tina tanda tangan di sana, ternyta itu surat
kontrak kerja selama 2 tahun. Tak dikasih tahu berapa gaji perbulannya.
Belakangan Tina tahu kalau Susan itu
adalah menantu di rumah besar itu. Saat pertama menginjakkan kaki di rumah itu
Tina merasa tidak nyaman apalagi betah. Pertama Tina langsung disuruh bekerja,
mengelap lemari, kaca dan yang lainnya. Tina menyadari kalau ia di sana sebagai
pembersih rumah dengan kata lain pembantu rumah dan nama kerennya sekarang
adalah asisten rumah tangga. Mendapatkan semua hal yang diluar dugaannya hari
itu Tina menangis. Si A sudah tidak ada kabarnya lagi, janjinya untuk datang
sepertinya tidak akan pernah terjadi. Nomor keluarga di kampung semua dia yang
menyimpan. Saat menangis Tina mengatakan kepada Susan kalau ia ingin pulang
saja.
“Kalau kamu minta pulang nanti kamu akan
dimarahi sama ibu yayasan.” Kata Susan dan Tina kembali bekerja dan tidak tahu
sampai kapan.
Rumah majikan Tina terdiri dari tiga
lantai, mereka memiliki sebuah pakbrik yang letaknya tidak begitu jauh dari
rumah, punya beberapa hewan peliharaan, anjing yang lumayan besar-besar. Yang
menjadi orang seperti Tina di rumah itu ada empat orang, Tina lebih dekat
dengan wanita yang berasal dari Papua, dia baik dan tulus kepada Tina sekaligus
yang paling peduli pada Tina.
Keempat asisten rumah tangga itu dikasih
makan dari beras 1 liter untuk sehari, cukup tidak cukup harus cukup sedangkan
Tina tahu pasti kalau hewan peliharaan di rumah itu hidup mewah dan makan enak
yang mungkin lebih baik dari makanan mereka yang bekerja membanting tulang
nyaris 24 jam. Tina seringkali kelelahan dan suatu kali ia mengaku sakit agar diperbolehkan
pulang namun yang ia dapat adalah omelan majikannya bahkan sampai menelepon ke
yayasan. Sehingga ibu yayasan menelepon
aku lewat majikan.
“Kamu mau pulang? Kalau pulang bayar dulu
ganti rugi saya sebesar 30 juta. Kalau kamu bertindak maka aku akan nekat sama
kamu, ngerti?!”
Tina pun menangis, ia tidak mengerti apa
maksud ganti rugi 30 juta itu lalu ia kembali bekerja. Dan yang lebih
mengejutkan dan membuat stres adalah kedatangan majikan baru, judes dan
cerewet. Selama ini ia tinggal di Singapura namanya Dewi. Saat baru datang ia
langsung bertanya.
“Pembantu baru ya?”
“Ya.” Jawab Tina.
“Kerja yang benar.”
“Ya, Bu.”
“Bu? Panggil Nona!” teriaknya. Setiap hari
Nona Dewi memarahi para asisten rumahnya dan tidak segan-segan ia meminta
mereka mengepel sampai tiga kali dan mengulang lagi berkali-kali kalau ia masih
melihat sehelai debu saja di lantai. Tina seringkali menangis karena kecapean
juga kelaparan, badannya lemas sebab sudah pukul delapan malam belum mandi apalagi
makan.
Setelah dua bulan Tina di sana salah satu
temannya yang bernama Siti sudah habis kontrak dia pulang dan terbebaslah beban
beratnya selama ini. Pikir Tina. Tina sangat sedih melihat gadis itu pulang dan
ia pun menangis di kamar mandi. Selama
bekerja di rumah gedongan itu Tina tidak pernah menerima gaji karena kata
teman-temannya gaji akan keluar setelah mereka bekerja selama empat bulan.
Pekerjaan yang tidak bisa dibilang ringan, karena rumah itu bertingkat empat
walau lantai paling atas digunakan sebagai tempat masak sekaligus tempat serba
guna.
Esok adalah genap empat bulan Tina bekerja
di tempat neraka itu, minggu pagi Tina mengambil permen coklat kecil di dalam
kulkas, permen yang sangat kecil seharga sekitar lima ratus perak di warung-warung.
Majikannya yang bernama Dewi kebetulan melihat dan langsung menampar Tina.
“Tukang maling!” hentaknya. Bukan Dewi
saja, Tina dikelilingi oleh majikan yang lain. Ada Oma, nenek mereka, ada juga
yang pria yang suka bolak-balik singapura. Dipanggil tukang maling Tina merasa
sangat sedih. Ingin sekali ia mengadu ke ibunya yang di kampung tapi apa daya
ia tidak memiliki nomor telepon karena diambil si A. Entah kemana perginya
wanita durjana itu, jangankan datang menayakan kabar Tina saja tidak pernah. Ia
mungkin sudah memakan uang 30 juta dari hasil menjual Tina untuk dijadikan
budak di rumah itu.
Paginya, sekitar pukul delapan selesai
beres mengepel Tina membawa baskom lalu ia letakkan baskom itu di tangga karena
dipanggil oleh Susan. setelah itu terdengar suara nona Dewi yang kebetulan
lewat tangga.
“Tina...!” ia memanggil salah satu teman
Tina yang punya nama sama dengan Tina. Tapi di sana Tina dipanggil Rahel.
Mendengar panggilan keras itu membuat Tina buru-buru datang. “Siapa yang
menaruh baskom di tangga?” bentaknya.
“Hmm....
mungkin Rahel, Non.” Jawabnya dengan gugup. Detik berikutnya nama Rahel
yang menjadi sasaran terikan pagi itu. Tina langsung datang namun langsung
disambut dengan lemparan baskom dan mengenai tangannya, lagi-lagi Tina menangis
sambil dalam hati berkata ‘Aku harus kabur dari neraka ini!’
Pukul tiga dini hari Tina membereskan
tasnya meski hanya satu stel pakaian. Ia menaruhnya di bawah mobil yang ada di
teras lalu ia tidur lagi.
Setelah azan subuh, Tina buru-buru bangun
lalu pura-pura mengepel di lantai dua dan saat itu ia melihat salah satu
temannya membuka pintu gerbang. Ternyata dia disuruh oleh majikan membeli sesuatu di warung dan
sepertinya ia lupa mengunci pintu kembali dan itu tidak biasanya. Itulah
kesempatan yang tidak akan pernah datang untuk kedua kalinya bagi Tina untuk
kabur. Tina berhasil kabur lewat lantai satu tanpa memikirkan lagi soal gaji
yang seharusnya ia terima hari itu.
**
Di mana Tina?
Seminggu setelah kepergian Tina ke Jakarta
si A mengabarkan kepada keluarga lewat telepon kalau Tina hilang karena kabur
dari yayasan. Dengan memberi kabar seperti itu sepertinya lepas sudah tugasnya
tanpa memikirkan bagaimana efek keluarga yang mendapatkan berita yang diluar
dugaan itu. Dengan santainya si A mengatakan kalau Tina bandel dan berani kabur
dari yayasan. Upik ibunya Tina seperti orang kehilangan akal mendapat kabar
dari si A. Keluarga besar Tina pun bermaksud melaporkan si A ke polisi mendapat
info seperti itu si A bukannya takut malah menyelecehkan keluarga Tina dengan
mengatakan ‘Mana mungkin mereka berani melaporkan saya, orang miskin mau makan
saja susah.’ Mendapat kata-kata yang kurang ajar dari si A membuat keluarga
besar Tina berang. Paman Tina bermaksud untuk membakar rumah si A yang ada di
desa nenek Tina namun ayah Tina melarang dengan alasan bukan saja rumah itu
yang akan habis sebab tidak sedikit rumah orang lain di dekatnya. Itu sama saja
mereka membakar satu kampung.
Orang tua Tina ke kantor polisi melaporkan
kehilangan anak gadis mereka sebab si A juga sudah tidak bisa ditemukan lagi.
Tidak tahu di mana rimbanya wanita laknat itu. Setelah menjelaskan krologi
kehilangan Tina ke pak polisi mereka pun mencetak foto Tina sebanyak lima ratus
lembar dan disebarkan ke berbagai kantor polisi. Minggu pertama tidak ada titik
terang dari usaha pencarian Tina, minggu kedua, sebulan bahkan hingga
berbulan-bulan tidak ada hasil bahkan polisi di luar pulau Sumatera sudah
dikerahkan namun tetap nihil. Tidak ada yang melihat gadis yang bernama Tina
Titin Afiyoka. Keluarga merasa kalau Tina sudah meninggal atau dibunuh orang
mengingat ia masih belia dan tidak punya siapa-siapa di Jakarta. Para tetangga
juga berpendapat kalau Tina memang sudah tidak ada sebab salah satu tetangga
ada yang anaknya pergi ke kota dan tidak pernah pulang hingga sekarang dan
keluarganya pun sudah mengadakan acara tahlillan di rumahnya. Maka saat semua
orang beranggapan Tina sudah tiada wanita yang dipanggil Upik itu selalu
menanamkan keyakinan di dalam hatinya kalau anaknya masih hidup dan baik-baik
saja serta Tuhan masih melindunginya. Para tetangga yang mengusulkan untuk
mengadakan tahlillan atas meninggalnya Tina membuat ibunya stres dan tentu saja
tidak mau menerima usulan konyol itu. Setiap hari ia memikirkan anaknya meski
aktifitas kesehariannya tak pernah berhenti seperti ke kebun atau ke sawah.
Suatu hari ia berjalan bak orang linglung sehingga ia jatuh di jalan dan
kepalanya terbentur batu hingga berdarah. Sang ayah selalu memberi semangat
kepada isterinya walaupun dihati kecilnya juga sangat berharap Tina bisa
ditemukan lagi.
**
Perjalanan
Dengan uang sepuluh ribu rupiah Tina
meninggalkan rumah megah pemilik yang
tidak punya hati, pintar namun tidak bermoral, kaya namun namun tak berbudi.
Dunia ini memang milik orang yang berduit, banyak orang pintar namun tak sedikit
yang korup. Zaman ini sudah menjadi serba susah, susah menjadi orang idealis,
susah menjadi orang baik karena selalu diinjak-injak orang. Tak jarang uang
dijadikan tuhan bagi orang-orang yang menjadi budak mesin, otak mereka sudah
penuh dengan virus dunia, kebahagiaan sesaat bahkan demi ketenaran. Tak jarang
anak muda kehilangan harapan untuk mengubah negeri ini menjadi yang diinginkan
mereka sebab sistem jelek di negeri ini sudah berakar mungkin juga sudah
berkarat. Reformasi tidak menghasilkan apa-apa padahal sudah banyak memakan
korban. Lagi-lagi sistem negeri kembali pada semula, korupsi seakan sudah
menjadi budaya.
Tina mengganti bajunya di balik pohon
besar sebelum melanjutkan perjalanannya meski tidak punya tujuan. Bingung tidak
tahu harus melangkah ke mana. Di pinggir jalan Tina berdiri dan melihat
orang-orang masuk ke bawah jalan tol dan ia pun ikut melakukan hal yang sama
ternyata itu jalan untuk menyeberang jalan.
Tanpa tahu harus ke mana akhirnya Tina
menyadari ia berada di kawasan Cengkareng meski tidak tahu di mana itu. Tina
benar-benar seperti seekor kijang yang masuk kampung. Kini Tina ada di sebuah
pasar dan masih terus berpikir hendak jalan ke mana, ia tidak kenal satu orang
pun di tempat itu, tidak punya satu nomorpun untuk dihubungi. Tiba-tiba seorang
tukang ojek bertanya.
“Mau ke mana, Dik?”
“Tidak tahu bang.” Sahut Tina apa adanya
membuat tukang ojek itu bertanya lagi dan tanpa diminta Tina akhirnya bercerita
sejujurnya, untungnya tukan ojek itu baik dan membantu Tina. Ia mengatakan
kalau punya teman dan mengajak Tina ke rumah temannya. Tanpa berpikir panjang
Tina pun menurut sebab ia merasa kalau tukang ojek itu sungguh-sungguh
bermaksud menolong. Beruntungnya temannya itu juga baik, mereka sudah
berkeluarga nama isterinya Endang suaminya Iwan dan seorang anak kecil sekitar
usia 9 tahun namanya Putri. Tina disuruh mandi, dikasih pinjam baju dan dikasih
makan. Tina akhirnya tinggal bersama mereka.
Setelah beberapa hari di tempat mereka,
Tina akhirnya dicarikan pekerjaan oleh Endang di tempat burung walet dengan
gaji dua ratus ribu perminggu. Gaji pertama Tina kasih separuh kepada Endang
separuh lagi untuk keperluannya sehari-hari. Keluarga Endang tinggal di rumah
kontrakkan dengan satu kamar sehingga Tina harus tidur bersama mereka berempat
tapi Tina dan Putri tidur di atas ranjang sedangkan Endang dan suaminya di
bawah beralaskan karpet. Pada suatu malam Tina terjaga tanpa sengaja Tina
melihat sepasang suami isteri di kamar itu sudah melakukan hubungan suami isteri
membuat Tina memejamkan matanya, meski sudah selesai Tina bisa melihat dengan
sangat jelas karena lampu di kamar mereka tidak pernah mati. Untungnya Iwan
tidak sempat melihat Tina terjaga karena gadis itu langsung merebahkan tubuhnya
di tempat tidur lagi. Setelah kejadian itu Tina mulai merasa tidak nyaman
apalagi Iwan pernah coba menggodanya. Karena sudah bekerja dan mendapakan gaji
Tina berpikir harus meninggalkan keluarga itu untuk mengontrak sendiri. Niat
baik Tina pun dikabulkan oleh Endang bahkan ia sempat memberi nasihat agar Tina
jaga diri di luar sana. Wanita yang baik dan tidak akan pernah bisa Tina
lupakan meski sejujurnya yang menyebabkan Tina pergi karena ia takut sama Iwan.
Tina tidak akan menceritakan kejadian itu kepada Endang karena tidak ingin
wanita itu sakit hati, tersinggung apalagi sampai bertengkar.
Tina mendapatkan kontrakan di Rawa Bengkel
karena tempat itu tidak jauh dari lokasi tempatnya bekerja. Tina tinggal
sendiri dan itu membuatnya amat sangat sedih karena belum bisa mengabarkan
tentang dirinya kepada kedua orang tuanya di kampung. Tina punya banyak teman
kerja berasal dari Jawa mereka juga mengontrak di lokasi yang sama. Suatu hari
Tina main ke kontrakkan mereka, ternyata di sana ada banyak anak laki-laki dan
salah satunya laki-laki gondrong saat Tina lewat di depannya ia menggoda Tina
dengan mencolek bokong Tina membuat Tina marah besar. Tanpa disangka ternyata
laki-laki itu malah menitip salam pada salah satu temannya untuk Tina. Dengan
berjalannya waktu laki-laki itu memperlihatkan keseriusannya kepada Tina hingga
Tina pun mengatakan kalau ingin menjadi pacarnya harus potong rambut dan itu
dikabulkan oleh laki-laki yang ternyata bernama Bunawi.
Setelah hubungan mereka berjalan enam
bulan Bunawi mengenalkan Tina kepada kedua orang tuanya. Entah tidak tahu
mengapa Tina percaya sama Bunawi, Keseriusan dan ketulusan serta memperlihatkan
karakter apa adanya membuat Tina luluh dan mau dibawa ke rumah orang tuanya di
Cirebon. Di rumah Bunawi kedua orang tua pria itu menanyakan tentang Tina, asal
usul serta keberadaan orang tuanya. Tina mengatakan ia berasal dari Rejang
Lebong, Bengkulu. Ia merantau sudah empat tahun tidak pulang.
“Bunawi mengatakan kalau ia ingin
menikahimu.” Ujar ibunya Bunawi. “Jadi kamu harus menghubungi kedua orang tuamu
di kampung.”
“Aku tidak punya nomor keluargaku, sebab
waktu sampai di Jakarta aku kehilangan nomor mereka.” Kata Tina tidak tahu
mengapa ia bisa bicara seperti itu. Wanita yang punya anak tunggal itu melirik
suaminya yaitu ayahnya Bunawi. Bunawi memang sudah cerita sedikit mengenai
kondisi Tina kepada kedua orang tuanya. Melihat kedua remaja itu sudah sangat
dekat dan saling suka kedua orang tua Bunawi tidak bisa berbuat banyak.
Akhirnya ibu Bunawi mengatakan.
“Kalau begitu kamu menikah harus memakai
wali hakim, kamu mau pakai wali hakim?”
“Mau.” Jawab Tina karena tidak punya
pilihan. Ia tidak bisa menghubungi keluarganya bertahun-tahun dan yang pasti
tidak tahu bagaimana caranya pulang kampung. Jangankan pulang, jalan pulang ke
Lebong saja ia tidak tahu sebab waktu naik bis ia hanya tidur. Dari yayasan
langsung dibawa ke rumah majikan laknat itu dan sekarang ia bertemu dengan
seorang pria yang tulus mencintainya dan berniat menikahinya. Apakah ada
pilihan lain selain menerima lamarannya?
Tina akhirnya menikah dengan Bunawi dengan
perasaan sedih karena tanpa kehadiran kedua orang tuanya serta sanak
saudaranya.
**
Terima kasih Allah
Pertama kali mendengar suara Tina aku
menjadi trenyuh apalagi ceritanya yang selama ini sering aku lihat hanya
terjadi di televisi, mendengar dari cerita teman bahwa teman mereka yang
mengalami hal yang sama namun kali ini aku mendengar sendiri dari orang yang
mengalaminya langsung, sungguh rasanya tidak masuk akal apalagi yang mengalami
kejadian itu adalah orang yang berasal dari daerahku dan pelakunya juga dari
tempat yang sama. Astaghfirullah!
Tina mengisahkan semuanya padaku di
telepon lalu aku coba menenangkan dirinya karena saat ia cerita aku merasa
kalau yang mengalami itu adalah adikku sendiri.
“Kamu tenang saja Tin, aku punya teman
orang yang berasal dari desa nenek kamu. Nanti aku coba tanya ke dia atau
setidaknya coba meminta nomor telepon keluarga kamu agar kamu bisa menghubungi
mereka.” Kataku pagi itu saat menelepon Tina.
“Ya, Ayuk... tadinya aku pikir Ayuk
tinggal di Lebong dan langsung bisa datang ke rumah orang tuaku.”
“Tidak Tin, aku datang ke Jakarta sejak
tahun 1994 dan sudah punya anak satu. Pokoknya aku akan menghubungi Iwan karena
orang tuanya ada di kampung nenek kamu... semoga ia bisa menolong dan kamu bisa
bertemu dengan kedua orang tuamu kembali.”
“Ya, Ayuk... terima kasih sebelumnya.”
(Ayuk adalah panggilan untuk kakak perempuan di
Lebong)
Aku akhirnya menelepon Iwan, Iwan adalah
adik kelasku waktu SMP kebetulan ia berasal dari Pelabuhan Talang Leak dan
tinggal di daerah Jakarta Juga. Saat aku cerita reaksi Iwan sama waktu pertama
aku mendengar kisah Tina. Aku menganjurkan ia segera menghubungi Tina.
Iwan langsung menghubungi Tina dan
Tina menangis karena terharu tidak
menyangka bisa berbicara dengan orang yang satu desa dengan neneknya.
“Nama kamu siapa?” tanya Iwan.
“Tina Titin Afiyoka.”
“Siapa saudara kamu di Pelabuhan Talang
Leak?”
“Kak Damon anaknya Brahim.”
“Oh, aku tidak kenal Tin... sebab sejak
lulus SMA aku langsung merantau. Apa kamu kenal dengan Pawi?”
“Kenal Kak. Aku juga punya Wak namanya
Ujang dan nama anaknya Sakut.”
“O, Sakut? Aku kenal... baiklah, nanti aku
kirim nomor kamu ke orang tuaku biar beliau mencari tahu siapa saudara kamu di
Pelabuhan Talang Leak.” Ujar Iwan lalu ia mengakhiri pembicaraan dengan Tina
kemudian kembali menelepon aku.
“Hel, aku sudah bicara dengan Tina... ya
kamu benar. Anak itu memang sedang butuh bantuan, mendengar nada bicaranya ia
memang masih polos sekali... sepertinya tidak ada sedikitpun ada kebohongan di
ceritanya dan keluarganya yang di Talang Leak ada beberapa aku kenal dan aku
sudah menelepon bapak di kampung dan ternyata bapak bilang si A itu
pekerjaannya memang suka membawa anak-anak ke kota lalu menjualnya. Benar-benar
biadab itu orang.” Hela Iwan padaku dan aku memang membenarkan kata-kata Iwan
sebab tidak ada yang setuju anak gadisnya dijual dan dipekerjakan tidak jelas.
Untung saja Tina tidak dijadikan budak nafsu oleh orang-orang biadab itu.
Setelah menerima telepon dari Iwan aku
langsung menelepon Tina dan lagi-lagi anak itu menangis sementara aku hanya
bisa mengatakan tidak usah menangis lagi karena cepat atau lambat kamu akan
bertemu kembali dengan keluargamu. Tina hanya bisa mengatakan terima kasih yang
tidak henti-hentinya padaku dan Iwan.
Taklama kemudian di telepon Tina masuk nomor baru dengan pesan ‘Tina, dio Sakut (Tina, ini Sakut)’ provider
telepon Sakut berbeda dengan provider
yang Tina pakai sehingga ia buru-buru mengganti provider untuk segera bicara
dengan Sakut.
Bicara dengan Sakut membuat Tina menangis
sejadi-jadinya.
“Tina, benar ini kamu?”
“Ya, Kak.”
“Kamu masih hidup, Dek?”
“Ya Kak, bapak sama ibu mana?”
“Masih di kebun.”
“Aku ingin ngomong Kak.” Suara Tina masih
dalam tangis.
“Sabar ya, nanti dijemput.” Ujar Sakut dan
kali iniTina menangis haru karena tak kuasa menahan kebahagiaan yang selama ini
ia harapkan. Obrolan itu terputus karena pulsa Tina habis ia pun kembali
membeli pulsa untuk menelepon lagi dan kali ini bibinya yang bicara. “Bi... ibu
mana?”
“Sabar Tin.... masih dijemput.” Kata
bibinya dengan nada haru. Tina pun menunggu ibunya sampai di rumah sambil terus
cerita pada bibinya mengenai kisahnya selama ini. Tidak lama kemudian bibinya
mengatakan kalau ibunya Tina sudah datang. “Yuk, ini Tina yang telepon ternyata
ia masih hidup.” Tina mendengar suara bibinya bicara dengan ibunya dan ia
akhirnya mendengar juga kalau ibunya pingsan dari suara keluarga di sana.
Membayangkan kejadian itu Tina menangis lagi di telepon dan semuanya menangis.
Yang Tina tunggu akhirnya datang, ibunya sudah sadar dan bicara pada Tina.
“Kamu ke mana saja Tina......?” suara
wanita paruh baya itu tersendat-sendat, selama ini orang-orang menganggapnya
hilang akal karena menganggap Tina masih hidup. Tapi ia benar, sebab naluri
seorang itu itu tidak ada yang bisa menandingi. Tina pun bercerita lagi kisah
yang sama ia cerita ke Sakut, Iwan juga aku.
“Terus bagaimana kamu bisa dapat nomor
telepon kak Sakut?”
“Aku dapat nomor seorang perempuan di Facebook, dia mau menolong aku.”
“Siapa nama perempuan itu?”
“Namarnya Ayuk Helda, yang memberi
nomornya kak Sakut adalah kak Iwan dan dia temannya ayuk Helda.”
“Oh, Alhamdulillah... jangan lupa kamu
bilang terima kasih kepada mereka yang sebesar-besarnya semoga kebaikan mereka
dibalas oleh Allah SWT.”
“Amin...”
Bersambung...>>>
HTX
Bersambung...>>>
HTX