Kini AemeL
menulis di buku yang dibeli oleh Julia, sebelumnya sejenak ia mengamati
sahabatnya itu dengan hati yang sedih, karena sejujurnya ia takut sekali
kehilangan Julia meski dokter mengatakan Julia akan baik-baik saja.
‘Tinta emas,... tidak tahu lagi
apa yang akan aku lakukan saat ini, berdoa untuk kesembuhan sahabatku itu
pasti. Tak sedikitpun aku menginginkan ia cidera apalagi sakit seperti saat
ini. Tinta emas, tolong sampaikan kepada Tuhan betapa aku sangat menyayanginya.
Jangan pernah pisahkan lagi kami dengan alasan-alasan sakit hati atau
kesalahpahaman, kami satu jiwa, persahabatan kami tidak biasa, biar orang
mengatakan hubungan darah persaudaraan lebih kuat dari apapun tapi aku merasa
hubunganku dengan Julia lebih kental dari hubungan darah persaudaraan. Keluarga
adalah segalanya bagiku, Teguh belahan jiwaku namun Julia.... aku tidak bisa
menyebutnya sebagai apa tapi aku merasa rasa sayangku padanya tak bisa
diungkapkan apalagi diumpamakan dengan apapun. Julia kembalilah, bangunlah...
aku sangat menyayangimu....... sampai napas terakhirku.’
Dengan
perlahan AemeL menutup buku diary indah itu, lalu matanya beralih pada laptop
di mana tulisan-tulisannya selalu setia menanti ia melanjutkan kisah dunia ini
untuk dituangkan di sana. AemeL memiliki banyak cinta, cinta pada benda
kesayangannya, cinta pada pekerjaannya dan entah berapa lagi cinta yang ia
miliki namun ia gadis yang tidak gampang jatuh cinta pada lawan jenis kalau
tidak benar-benar merasa klik. Detik ini AemeL tidak punya niat atau mood untuk melanjutkan kisah di dalam
laptopnya karena pikirannya tertuju kepada Julia, ia kembali mendekati Julia
mengusap kening Julia dan tidak boleh lagi ada air mata, ia meraih tangan Julia
dan menggenggamnya dengan erat. Tangan yang dari kecil tidak pernah kena lumpur
sawah karena ayah Julia tidak pernah membiarkan anak gadis mereka turun ke
sawah berbeda dengan gadis Sumatera yang lain, mereka dari kecil dibiasakan
membantu kegiatan kedua orang tua mereka di sawah ataupun di kebun. Julia, gadis
tegas, punya tulisan tangan sangat indah, punya prinsip hidup yang kuat dan
tidak segan-segan marah pada orang yang jelas salah, tidak takut ditinggal oleh
orang yang ia cintai kalau ia merasa benar. Saat genggaman tangan AemeL ingin
lepas ia merasakan gerakan dari tangan Julia membuat AemeL spontan menoleh pada
tangan itu. Julia menggerakan tangannya seolah menyadari kalau Julia sudah
sadar memaksa AemeL mendekati wajahnya ke wajah Julia.
“Julia,
Julia......” gumannya dengan pelan. “Kamu sudah... sudah sadar...? kamu bisa
mendengarkan aku.......?” suara AemeL masih pelan dan detik berikutnya Julia
membuka matanya dan mendapatkan AemeL di dekat wajahnya. Melihat mata Julia
terbuka tanpa sadar mata AemeL berair seakan tuntas sudah penantiannya selama
kurang lebih tujuh hari ini. Ia ingin memeluk gadis itu tapi ia takut menyakiti
tubuh yang habis dioperasi itu. “Alhamdulillaha ya Allah Julia sudah sadar.”
Hela AemeL sedangkan Julia menyimak situasi keliling dengan ekor matanya. Rumah
sakit, pikirnya dan secara kilat pikirannya kembali merekam kejadian siang itu
di jalan dan tiba-tiba matanya terpejam seolah kenangan itu tidak ingin ia
ingat. “Julia...?” panggil AemeL setengah panik, suara itu jelas sekali
terdengar di telinga Julia.
“Ae......”
suara Julia lembut setelah menatap wajah AemeL yang masih panik dihadapannya.
AemeL menganggukan kepalanya seakan mengatakan kalau ia tidak akan ke mana-mana.
Mata di wajah itu berkaca-kaca meski mimik wajahnya menyiratkan kebahagiaan
karena Julia telah siuman. “Sejak kapan aku di sini...?”
“Jangan banyak
bicara dulu, aku panggilkan kak Juna ya, tadi ia di sini dan sekarang sedang
istirahat.”
“Kak Juna di
sini?” giliran Julia panik kalau sudah ada kak Juna berarti urusan akan serius.
Sebab pria itu tidak pernah ikut campur urusan Julia kalau bukan urusan serius.
AemeL mengganggukan kepalanya dan ia buru-buru menahan tubuh Julia saat gadis
itu hendak bangun. Julia segera sadar setelah merasakan beberapa alat
kedokteran menempel di badannya. Ia tidak mungkin mengatakan saat itu kalau
Julia mengalami patah tulang dan tulang rusuknya itu menembus ke paru-parunya.
AemeL menghubungi Juna yang ternyata sudah melangkah ke arah kamar inap Julia.
“Kak Juna,
lihat.... Julia sudah sadar...” kata AemeL setengah berteriak. Pria itu
mendekati adiknya dan langsung memegang kening Julia.
“Syukurlah
sayang... kakak tahu kalau kamu sangat kuat. Semuanya akan segera beres dan
kamu segera pulih. Tetap kuat ya.” Ujar Juna meski sesungguhnya ia takut juga
kehilangan adiknya. Setegar apa pun dia tetap punya kekhawatiran itu, Juna
memang telah menggantikan sosok ayah untuk Julia dan adik-adiknya. “Lihat
AemeL, tak sedikitpun ia ingin beranjak dari sisi kamu, kalian memang sahabat
yang hebat sekaligus gila.” Kata terakhir disertai tawa dari mulut Juna membuat
AemeL ikut tersenyum. Julia melirik ke AemeL yang tak ingin memperlihatkan rasa
lelahnya di hadapan Julia. “Sudah tujuh hari kamu di sini, kakak belum
mengabarkan keluarga di Palembang karena kakak percaya kamu akan baik-baik
saja.” Tambah Juna.
“Tujuh hari?”
pertanyaan itu ditujukan kepada AemeL dan AemeL hanya bisa menganggukkan
kepalanya dengan pelan. Julia melirik tangannya yang terpasang jarum infus
karena Julia belum bisa menelan makanan langsung meskipun ia sudah sadar, sebab
paru-parunya masih luka.
AemeL tidak
tahu di mana posisi Wowor saat ini, ia hanya mengirim BBM pada pria itu untuk mengabarkan kalau Julia
sudah sadar, pesan itu sudah terkirim dan belum dibaca.
“Tunggu di
sini ya, kakak mau ke ruangan dokter untuk membicarakan kondisi kamu.” Kata
Juna kepada Julia sekalian pamit pada AemeL.
Sepeninggal
kak Juna, Julia langsung melirik pada AemeL yang sepertinya sudah siap dengan
segala pertanyaan yang mungkin ditanyakan Julia padanya. Namun sebelumnya ia
mendahului Julia. “Jangan banyak bicara dulu ya, kamu masih lemah.” Ia melirik
ke arah perut Julia sekilas.
Julia hanya
mengukir senyuman tipis lalu berkata diluar dugaan AemeL. “Bagaimana keadaan
kamu?”
“Aku sangat
baik, aku hanya mengkhawatirkan kamu.. cepat sembuh ya.” Sahutnya sembari
mengusap lengan Julia. Sejujurnya AemeL ingin sekali segera bertanya bagaimana
kejadian sebenarnya hingga menyebabkan Julia mengalami kecelakaan namun itu
tidak memungkinkan karena kondisi Julia masih sangat lemah. AemeL harus
menyimpan dulu rasa ingin tahunya walau secara simbolis ia sudah mendengar
penjelasan dari Wowor.
Wowor! Di mana
pria itu? Mengapa ia tidak muncul? Apakah ia sudah kembali bekerja? Bukankah
semalam ia masih di sini. Pikir AemeL, ia tidak berharap Julia menanyakan Wowor
saat itu. Sudah seminggu ia menunggu Julia sadar dan sekarang ia tidak ingin
kebersamaannya dengan Julia harus terganggu dengan pria yang bernama Wowor.
Lagi-lagi
diluar dugaan AemeL, dalam kondisi yang masih sangat lemah Julia menceritakan
semua kejadian sebelum ia mengalami kecelakaan dan itu nyaris sama yang
diceritakan oleh Wowor. Detik-detik setelah cerita kondisi Julia makin lemah
dan saat itu Juna dan dokter masuk untuk mengecek kondisi Julia setelah siuman.
Setelah semuanya kembali normal Wowor muncul dan kali ini ia membawa mami dan
papinya tanpa diduga, pria itu melamar Julia di depan kakak dan sahabatnya.
Julia sangat tidak menyukai situasi itu namun ia tidak bisa mencegah bahkan tak
kuasa untuk mengeluarkan suaranya yang masih lemah. Saat matanya bertemu dengan
mata papinya Wowor, ia melihat ada ketulusan dan keteguhan di sana yang membuat
Julia makin tak kuasa karena ada senyum wibawa seakan meminta Julia untuk
menjadi anaknya. Sebelum mata Julia ke wajah maminya Wowor terlebih dahulu ia
menatap kak Juna. Pria itu hanya mengangkat kedua bahunya seolah semua
keputusan ada di tangan Julia karena kebahagiaan Julia sudah pasti
kebahagiaannya juga. Julia memahami kebijakan kakaknya, kini matanya mencari
AemeL yang ternyata masih berdiri di sebelahnya. Gadis itu hanya tersenyum dan
Julia tahu apa pun keputusannya nanti sudah pasti disetujui oleh AemeL meski
demikian ia tidak mau mengambil keputusan tanpa diketahui oleh AemeL. Bersamaan
dengan itu sebuah tangan menyentuh lengan Julia. Wanita paruh baya itu mengusap
tangan Julia dan berkata lembut.
“Lekas sembuh
ya Julia, semua orang di ruangan ini sangat menyayangi kamu.” Itu adalah suara
seorang wanita Jawa Tulen, lembut dan penuh kasih sayang. Wowor mengusap bahu
maminya semacam ucapan terima kasih yang dalam pada wanita yang telah
melahirkan dirinya ke dunia ini. Kemudian ia meraih tangan Julia yang ada jarum
infusnya namun secara halus Julia menarik tangannya dari genggaman Wowor. Julia
belum tahu bagaimana kondisinya setelah kecelakaan yang membuatnya tak sadarkan
diri selama tujuh hari, apakah kakinya diamputasi atau ada luka parah yang tidak bisa disembuhkan sehingga membuat
semua orang di dalam ruangan itu menaruh rasa kasihan padanya. Julia tidak
selemah perkiraan mereka kiranya itu terjadi. Wowor masih tidak percaya kalau
gadis yang ia cintai itu masih menolaknya namun ia coba bersikap dewasa dan
berusaha memahami psikis Julia setelah kecelakaan.
“Tidak apa-apa
sayang.... tidak sedikitpun ada paksaan di sini. Semua keputusan ada pada
dirimu. Apa pun yang kamu putuskan semua bisa menerima, termasuk aku.” Ujar
Wowor dan Julia bisa merasakan kalau pria itu tidak punya sisi yang
disembunyikan lagi namun ia tetap harus hati-hati.
Menit
berikutnya Julia merasa harus ditinggal sendirian, meski AemeL khsususnya Wowor
merasa berat namun mereka melakukan itu. Julia merasa harus punya ruang sendiri
untuk beberapa saat. Ia merasa sulit bernapas menghadapi kenyataan hidup yang
ia rasa tiba-tiba meski sangat sadar tidak ada yang serba kebetulan di dunia
ini. Beberapa menit kemudian seorang suster masuk karena tidak ingin pasiennya
lama-lama sendirian. Saat masuk ia melihat Julia baik-baik saja kemdian ia
berbisik pada Julia.
“Kamu tidak
lagi menyentuh benda terkutuk itu, bukan?” celetuknya membuat Julia tersenyum.
“Jaga paru-paru kamu jangan biarkan benda terkutuk itu membuatnya hitam.
Hidupnya ini hanya sesaat sobat jangan sia-siakan.” Tambahnya membuat Julia
seakan disadarkan banyak hal. Suster itu tahu kalau hasil operasi dari
paru-paru Julia memperlihatkan hasil selama ini ia mengkonsumsi sigaret namun
bukan itu yang membuat Julia tersenyum tapi sebutan itu sama persis dengan
sebutan yang diciptakan oleh AemeL dan ia tahu pasti kalau AemeL tidak mungkin
mengatakan pada orang lain kalau ia pernah merokok.
“Ya, terima
kasih banyak atas nasihatnya Sus.” Sahut Julia pada suster empat puluhan itu.
“Oh, ya.
Ngomong-ngomong.. kamu punya sahabat yang sangat luar biasa dan kekasih yang
amat sangat mencintaimu. Tidak semua orang seberuntung kamu di dunia ini... dan
sepertinya kamu akan lekas sembuh karena mereka semua sudah tidak sabar ingin
melihat kamu sehat. Nanti kita akan melakukan cek ulang untuk melihat
perkembangan tulang rusuk kamu.”
Di ruanga
tunggu. Wowor terlihat lesu di sampingnya AemeL duduk namun ia sudah terlihat
ceria karena Julia sudah sadar. “Dia masih meragukan perasaanku.” Guman Wowor
pada AemeL dan baru itu kali pertama AemeL mendengar suara Wowor tidak
biasanya. Ada kesedihan tidak biasa di dalamnya. “Tapi tidak apa, kesembuhan
Julia paling utama.” AemeL menatap Wowor saat pria itu menoleh padanya. “Ae,
besok aku sudah harus masuk kerja. Selama aku tidak bisa ke sini, aku titip
Julia sama kamu ya. Aku percaya sama kamu.”
“Ya, tidak ada
orang lain yang bisa kamu percaya selain aku sebab Julia adalah aku.” Balas
AemeL dengan nada pasti agar pria itu tidak lagi menganggap seorang sahabat
memakan sahabatnya sendiri.
Wowor
tersenyum manis seakan melupakan trauma yang pernah ia alami selama ini. Hidup
memang indah, lain orang lain sifat. Lain padang lain belalang... itu kata
pepatah lama.
~
Julia
menyandarkan tubuhnya di sebelah AemeL, pemandangan laut lepas yang indah namun
menyimpan ribuan misteri di dalamnya. Suasa senja di tepi pantai sudah lama
sekali tidak dinikmati oleh kedua sahabat itu. Kini di kursi kayu mereka duduk
santai seolah ingin menghempaskan semua masalah hidup ke dalam air yang
dalamnya tak terkira. Hari itu adalah ulang tahun Julia yang ke 28, di
tangannya ada hadiah dari AemeL yaitu sebuah diary AemeLdengan tinta emasnya.
“Aku baru tahu
ternyata rasa sayang kamu sama aku melebihi dari perkiraanku.” Kata Julia tanpa
menoleh pada AemeL. “Aku sering kesal dengan diriku karena terlalu menyayangimu,
kesal karena berharap kamu juga menyayangi aku seperti aku menyayangimu.”
Terdengar tawa lirih dari Julia. “Aku benci sekali kalau sudah kangen sama
kamu, meski akhirnya kamu mengatakan kalau aku kangen kamu juga merasakan itu...
dan kamu mengirimkan pesan dengan nada ledekan, kamu sengaja melakukan itu dan
belakangan kamu bilang karena kamu benar merasakan hal yang sama. AemeL..
AemeL... dunia ini memang indah, dan selamat ya karena novel kamu sudah cetak
ulang.”
Kali ini AemeL
melirik Julia. “Ya, selamat juga karena kamu sudah menerima lamaran dr. Wowor
Vandeef. Aku bahagia, sepertinya kita harus menikah dengan tanggal yang sama.”
Gemuruh suara
ombak terdengar mengisi kisah-kisah bahagia kedua gadis itu. “Meski di Sumatera
tidak ada pantangan untuk menikah dengan tanggal yang sama di dalam satu
keluarga namun kita tidak mungkin bisa menikah berbarengan... sebab aku hanya
ingin kamu yang mendampingi aku meuju pelaminan nanti.” Tutur Julia.
“Kalau begitu,
aku akan menikah setelah kamu bulan madu dengan Wowor... tidak apa-apa meski
Teguh yang duluan melamar aku.” Usul AemeL dengan tawa halus. Ia akan melakukan
apa pun untuk kebahagian Julia. “Dada kamu sudah tidak lagi terasa ngilu, kan?”
ia masih saja mengkhawatirkan Julia.
“Tidak, aku
kan punya seorang dokter terbaik.” Guman Julia setengah bercanda. Padahal
sejujurnya rasa ngilu itu terkadang masih terasa. “Aku sudah mengirim BBM ke
Seema, karena besok barang dari Tanah Abang akan segera datang. Anak itu tidak
pernah menanyakan di mana aku, yang ia tanya apakah aku baik-baik saja? Ia memang
teman kerja yang bisa diandalkan.”
“Syukurlah,
emm.... kamu masih membenci Jakarta?”
Kini Julia
tersenyum. “Yang membuat kita menyukai seseorang terkadang bukan orangnya tapi
sifatnya dan yang membuat kita tidak suka dengan salah satu kota ternyata bukan
kotanya tapi orang-orang yang ada di dalamnya. Bukankah begitu sang penulis?”
gurau Julia. AemeL mengusap bahu sahabatnya dengan penuh kasih sayang. Tak ada
rahasia diantara kedua sahabat itu, AemeL sudah menceritakan semua yang ia tahu
tentang Wowor kepada Julia. Ia juga
memberitahukan kisah keluarga Teguh dan ia sudah siap menerima lamaran Teguh
bersama kakaknya untuk datang ke Palembang.
Wanita paruh
baya itu mengamati Julia dan AemeL dari dalam mobilnya yang terparkir di sisi
pantai. Segelintir dari banyak kata-kata Juna terngiang di telingannya.. ‘.....Kata ayahku, kewajiban seorang anak
laki-laki itu selain kepada isterinya, ia juga harus patuh kepada ibunya....’
Mengingat sosok Wowor yang sangat patuh padanya tanpa sadar air matanya
mengalir, ia terharu. Januardi memang cinta sejatinya meski tak dapat ia miliki
dan ia tidak akan membiarkan kejadian yang sama menimpa Wowor.
Tidak semua
orang dapat hidup dengan cinta sejatinya meski sangat ingin, Tuhan punya
rencana yang lebih baik dari yang hamba-Nya ketahui. Semua yang manusia alami
adalah pembelajaran, sebab tidak ada yang terjadi secara kebetulan di dunia
ini. Bersyukur dan bersyukur adalah obat yang paling mujarab di dalam menjalani
hidup yang tak pasti. Cinta akan terasa indah bila ia berada di pos yang tepat.....>>>
**
HTX
Tidak ada komentar:
Posting Komentar