Jumat, 18 April 2014

Sebuah Rahasia Hati


     Kini AemeL menulis di buku yang dibeli oleh Julia, sebelumnya sejenak ia mengamati sahabatnya itu dengan hati yang sedih, karena sejujurnya ia takut sekali kehilangan Julia meski dokter mengatakan Julia akan baik-baik saja.
     ‘Tinta emas,... tidak tahu lagi apa yang akan aku lakukan saat ini, berdoa untuk kesembuhan sahabatku itu pasti. Tak sedikitpun aku menginginkan ia cidera apalagi sakit seperti saat ini. Tinta emas, tolong sampaikan kepada Tuhan betapa aku sangat menyayanginya. Jangan pernah pisahkan lagi kami dengan alasan-alasan sakit hati atau kesalahpahaman, kami satu jiwa, persahabatan kami tidak biasa, biar orang mengatakan hubungan darah persaudaraan lebih kuat dari apapun tapi aku merasa hubunganku dengan Julia lebih kental dari hubungan darah persaudaraan. Keluarga adalah segalanya bagiku, Teguh belahan jiwaku namun Julia.... aku tidak bisa menyebutnya sebagai apa tapi aku merasa rasa sayangku padanya tak bisa diungkapkan apalagi diumpamakan dengan apapun. Julia kembalilah, bangunlah... aku sangat menyayangimu....... sampai napas terakhirku.’

     Dengan perlahan AemeL menutup buku diary indah itu, lalu matanya beralih pada laptop di mana tulisan-tulisannya selalu setia menanti ia melanjutkan kisah dunia ini untuk dituangkan di sana. AemeL memiliki banyak cinta, cinta pada benda kesayangannya, cinta pada pekerjaannya dan entah berapa lagi cinta yang ia miliki namun ia gadis yang tidak gampang jatuh cinta pada lawan jenis kalau tidak benar-benar merasa klik. Detik ini AemeL tidak punya niat atau mood untuk melanjutkan kisah di dalam laptopnya karena pikirannya tertuju kepada Julia, ia kembali mendekati Julia mengusap kening Julia dan tidak boleh lagi ada air mata, ia meraih tangan Julia dan menggenggamnya dengan erat. Tangan yang dari kecil tidak pernah kena lumpur sawah karena ayah Julia tidak pernah membiarkan anak gadis mereka turun ke sawah berbeda dengan gadis Sumatera yang lain, mereka dari kecil dibiasakan membantu kegiatan kedua orang tua mereka di sawah ataupun di kebun. Julia, gadis tegas, punya tulisan tangan sangat indah, punya prinsip hidup yang kuat dan tidak segan-segan marah pada orang yang jelas salah, tidak takut ditinggal oleh orang yang ia cintai kalau ia merasa benar. Saat genggaman tangan AemeL ingin lepas ia merasakan gerakan dari tangan Julia membuat AemeL spontan menoleh pada tangan itu. Julia menggerakan tangannya seolah menyadari kalau Julia sudah sadar memaksa AemeL mendekati wajahnya ke wajah Julia.
     “Julia, Julia......” gumannya dengan pelan. “Kamu sudah... sudah sadar...? kamu bisa mendengarkan aku.......?” suara AemeL masih pelan dan detik berikutnya Julia membuka matanya dan mendapatkan AemeL di dekat wajahnya. Melihat mata Julia terbuka tanpa sadar mata AemeL berair seakan tuntas sudah penantiannya selama kurang lebih tujuh hari ini. Ia ingin memeluk gadis itu tapi ia takut menyakiti tubuh yang habis dioperasi itu. “Alhamdulillaha ya Allah Julia sudah sadar.” Hela AemeL sedangkan Julia menyimak situasi keliling dengan ekor matanya. Rumah sakit, pikirnya dan secara kilat pikirannya kembali merekam kejadian siang itu di jalan dan tiba-tiba matanya terpejam seolah kenangan itu tidak ingin ia ingat. “Julia...?” panggil AemeL setengah panik, suara itu jelas sekali terdengar di telinga Julia.
     “Ae......” suara Julia lembut setelah menatap wajah AemeL yang masih panik dihadapannya. AemeL menganggukan kepalanya seakan mengatakan kalau ia tidak akan ke mana-mana. Mata di wajah itu berkaca-kaca meski mimik wajahnya menyiratkan kebahagiaan karena Julia telah siuman. “Sejak kapan aku di sini...?”
     “Jangan banyak bicara dulu, aku panggilkan kak Juna ya, tadi ia di sini dan sekarang sedang istirahat.”
     “Kak Juna di sini?” giliran Julia panik kalau sudah ada kak Juna berarti urusan akan serius. Sebab pria itu tidak pernah ikut campur urusan Julia kalau bukan urusan serius. AemeL mengganggukan kepalanya dan ia buru-buru menahan tubuh Julia saat gadis itu hendak bangun. Julia segera sadar setelah merasakan beberapa alat kedokteran menempel di badannya. Ia tidak mungkin mengatakan saat itu kalau Julia mengalami patah tulang dan tulang rusuknya itu menembus ke paru-parunya. AemeL menghubungi Juna yang ternyata sudah melangkah ke arah kamar inap Julia.
     “Kak Juna, lihat.... Julia sudah sadar...” kata AemeL setengah berteriak. Pria itu mendekati adiknya dan langsung memegang kening Julia.
     “Syukurlah sayang... kakak tahu kalau kamu sangat kuat. Semuanya akan segera beres dan kamu segera pulih. Tetap kuat ya.” Ujar Juna meski sesungguhnya ia takut juga kehilangan adiknya. Setegar apa pun dia tetap punya kekhawatiran itu, Juna memang telah menggantikan sosok ayah untuk Julia dan adik-adiknya. “Lihat AemeL, tak sedikitpun ia ingin beranjak dari sisi kamu, kalian memang sahabat yang hebat sekaligus gila.” Kata terakhir disertai tawa dari mulut Juna membuat AemeL ikut tersenyum. Julia melirik ke AemeL yang tak ingin memperlihatkan rasa lelahnya di hadapan Julia. “Sudah tujuh hari kamu di sini, kakak belum mengabarkan keluarga di Palembang karena kakak percaya kamu akan baik-baik saja.” Tambah Juna.
     “Tujuh hari?” pertanyaan itu ditujukan kepada AemeL dan AemeL hanya bisa menganggukkan kepalanya dengan pelan. Julia melirik tangannya yang terpasang jarum infus karena Julia belum bisa menelan makanan langsung meskipun ia sudah sadar, sebab paru-parunya masih luka.
    AemeL tidak tahu di mana posisi Wowor saat ini, ia hanya mengirim BBM  pada pria itu untuk mengabarkan kalau Julia sudah sadar, pesan itu sudah terkirim dan belum dibaca.
     “Tunggu di sini ya, kakak mau ke ruangan dokter untuk membicarakan kondisi kamu.” Kata Juna kepada Julia sekalian pamit pada AemeL.
     Sepeninggal kak Juna, Julia langsung melirik pada AemeL yang sepertinya sudah siap dengan segala pertanyaan yang mungkin ditanyakan Julia padanya. Namun sebelumnya ia mendahului Julia. “Jangan banyak bicara dulu ya, kamu masih lemah.” Ia melirik ke arah perut Julia sekilas.
      Julia hanya mengukir senyuman tipis lalu berkata diluar dugaan AemeL. “Bagaimana keadaan kamu?”
     “Aku sangat baik, aku hanya mengkhawatirkan kamu.. cepat sembuh ya.” Sahutnya sembari mengusap lengan Julia. Sejujurnya AemeL ingin sekali segera bertanya bagaimana kejadian sebenarnya hingga menyebabkan Julia mengalami kecelakaan namun itu tidak memungkinkan karena kondisi Julia masih sangat lemah. AemeL harus menyimpan dulu rasa ingin tahunya walau secara simbolis ia sudah mendengar penjelasan dari Wowor.
     Wowor! Di mana pria itu? Mengapa ia tidak muncul? Apakah ia sudah kembali bekerja? Bukankah semalam ia masih di sini. Pikir AemeL, ia tidak berharap Julia menanyakan Wowor saat itu. Sudah seminggu ia menunggu Julia sadar dan sekarang ia tidak ingin kebersamaannya dengan Julia harus terganggu dengan pria yang bernama Wowor.
     Lagi-lagi diluar dugaan AemeL, dalam kondisi yang masih sangat lemah Julia menceritakan semua kejadian sebelum ia mengalami kecelakaan dan itu nyaris sama yang diceritakan oleh Wowor. Detik-detik setelah cerita kondisi Julia makin lemah dan saat itu Juna dan dokter masuk untuk mengecek kondisi Julia setelah siuman. Setelah semuanya kembali normal Wowor muncul dan kali ini ia membawa mami dan papinya tanpa diduga, pria itu melamar Julia di depan kakak dan sahabatnya. Julia sangat tidak menyukai situasi itu namun ia tidak bisa mencegah bahkan tak kuasa untuk mengeluarkan suaranya yang masih lemah. Saat matanya bertemu dengan mata papinya Wowor, ia melihat ada ketulusan dan keteguhan di sana yang membuat Julia makin tak kuasa karena ada senyum wibawa seakan meminta Julia untuk menjadi anaknya. Sebelum mata Julia ke wajah maminya Wowor terlebih dahulu ia menatap kak Juna. Pria itu hanya mengangkat kedua bahunya seolah semua keputusan ada di tangan Julia karena kebahagiaan Julia sudah pasti kebahagiaannya juga. Julia memahami kebijakan kakaknya, kini matanya mencari AemeL yang ternyata masih berdiri di sebelahnya. Gadis itu hanya tersenyum dan Julia tahu apa pun keputusannya nanti sudah pasti disetujui oleh AemeL meski demikian ia tidak mau mengambil keputusan tanpa diketahui oleh AemeL. Bersamaan dengan itu sebuah tangan menyentuh lengan Julia. Wanita paruh baya itu mengusap tangan Julia dan berkata lembut.
     “Lekas sembuh ya Julia, semua orang di ruangan ini sangat menyayangi kamu.” Itu adalah suara seorang wanita Jawa Tulen, lembut dan penuh kasih sayang. Wowor mengusap bahu maminya semacam ucapan terima kasih yang dalam pada wanita yang telah melahirkan dirinya ke dunia ini. Kemudian ia meraih tangan Julia yang ada jarum infusnya namun secara halus Julia menarik tangannya dari genggaman Wowor. Julia belum tahu bagaimana kondisinya setelah kecelakaan yang membuatnya tak sadarkan diri selama tujuh hari, apakah kakinya diamputasi atau ada luka parah  yang tidak bisa disembuhkan sehingga membuat semua orang di dalam ruangan itu menaruh rasa kasihan padanya. Julia tidak selemah perkiraan mereka kiranya itu terjadi. Wowor masih tidak percaya kalau gadis yang ia cintai itu masih menolaknya namun ia coba bersikap dewasa dan berusaha memahami psikis Julia setelah kecelakaan.
     “Tidak apa-apa sayang.... tidak sedikitpun ada paksaan di sini. Semua keputusan ada pada dirimu. Apa pun yang kamu putuskan semua bisa menerima, termasuk aku.” Ujar Wowor dan Julia bisa merasakan kalau pria itu tidak punya sisi yang disembunyikan lagi namun ia tetap harus hati-hati.
     Menit berikutnya Julia merasa harus ditinggal sendirian, meski AemeL khsususnya Wowor merasa berat namun mereka melakukan itu. Julia merasa harus punya ruang sendiri untuk beberapa saat. Ia merasa sulit bernapas menghadapi kenyataan hidup yang ia rasa tiba-tiba meski sangat sadar tidak ada yang serba kebetulan di dunia ini. Beberapa menit kemudian seorang suster masuk karena tidak ingin pasiennya lama-lama sendirian. Saat masuk ia melihat Julia baik-baik saja kemdian ia berbisik pada Julia.
     “Kamu tidak lagi menyentuh benda terkutuk itu, bukan?” celetuknya membuat Julia tersenyum. “Jaga paru-paru kamu jangan biarkan benda terkutuk itu membuatnya hitam. Hidupnya ini hanya sesaat sobat jangan sia-siakan.” Tambahnya membuat Julia seakan disadarkan banyak hal. Suster itu tahu kalau hasil operasi dari paru-paru Julia memperlihatkan hasil selama ini ia mengkonsumsi sigaret namun bukan itu yang membuat Julia tersenyum tapi sebutan itu sama persis dengan sebutan yang diciptakan oleh AemeL dan ia tahu pasti kalau AemeL tidak mungkin mengatakan pada orang lain kalau ia pernah merokok.
     “Ya, terima kasih banyak atas nasihatnya Sus.” Sahut Julia pada suster empat puluhan itu.
     “Oh, ya. Ngomong-ngomong.. kamu punya sahabat yang sangat luar biasa dan kekasih yang amat sangat mencintaimu. Tidak semua orang seberuntung kamu di dunia ini... dan sepertinya kamu akan lekas sembuh karena mereka semua sudah tidak sabar ingin melihat kamu sehat. Nanti kita akan melakukan cek ulang untuk melihat perkembangan tulang rusuk kamu.”
     Di ruanga tunggu. Wowor terlihat lesu di sampingnya AemeL duduk namun ia sudah terlihat ceria karena Julia sudah sadar. “Dia masih meragukan perasaanku.” Guman Wowor pada AemeL dan baru itu kali pertama AemeL mendengar suara Wowor tidak biasanya. Ada kesedihan tidak biasa di dalamnya. “Tapi tidak apa, kesembuhan Julia paling utama.” AemeL menatap Wowor saat pria itu menoleh padanya. “Ae, besok aku sudah harus masuk kerja. Selama aku tidak bisa ke sini, aku titip Julia sama kamu ya. Aku percaya sama kamu.”
     “Ya, tidak ada orang lain yang bisa kamu percaya selain aku sebab Julia adalah aku.” Balas AemeL dengan nada pasti agar pria itu tidak lagi menganggap seorang sahabat memakan sahabatnya sendiri.
      Wowor tersenyum manis seakan melupakan trauma yang pernah ia alami selama ini. Hidup memang indah, lain orang lain sifat. Lain padang lain belalang... itu kata pepatah lama.
~
     Julia menyandarkan tubuhnya di sebelah AemeL, pemandangan laut lepas yang indah namun menyimpan ribuan misteri di dalamnya. Suasa senja di tepi pantai sudah lama sekali tidak dinikmati oleh kedua sahabat itu. Kini di kursi kayu mereka duduk santai seolah ingin menghempaskan semua masalah hidup ke dalam air yang dalamnya tak terkira. Hari itu adalah ulang tahun Julia yang ke 28, di tangannya ada hadiah dari AemeL yaitu sebuah diary AemeLdengan tinta emasnya.
     “Aku baru tahu ternyata rasa sayang kamu sama aku melebihi dari perkiraanku.” Kata Julia tanpa menoleh pada AemeL. “Aku sering kesal dengan diriku karena terlalu menyayangimu, kesal karena berharap kamu juga menyayangi aku seperti aku menyayangimu.” Terdengar tawa lirih dari Julia. “Aku benci sekali kalau sudah kangen sama kamu, meski akhirnya kamu mengatakan kalau aku kangen kamu juga merasakan itu... dan kamu mengirimkan pesan dengan nada ledekan, kamu sengaja melakukan itu dan belakangan kamu bilang karena kamu benar merasakan hal yang sama. AemeL.. AemeL... dunia ini memang indah, dan selamat ya karena novel kamu sudah cetak ulang.”
     Kali ini AemeL melirik Julia. “Ya, selamat juga karena kamu sudah menerima lamaran dr. Wowor Vandeef. Aku bahagia, sepertinya kita harus menikah dengan tanggal yang sama.”
     Gemuruh suara ombak terdengar mengisi kisah-kisah bahagia kedua gadis itu. “Meski di Sumatera tidak ada pantangan untuk menikah dengan tanggal yang sama di dalam satu keluarga namun kita tidak mungkin bisa menikah berbarengan... sebab aku hanya ingin kamu yang mendampingi aku meuju pelaminan nanti.” Tutur Julia.
     “Kalau begitu, aku akan menikah setelah kamu bulan madu dengan Wowor... tidak apa-apa meski Teguh yang duluan melamar aku.” Usul AemeL dengan tawa halus. Ia akan melakukan apa pun untuk kebahagian Julia. “Dada kamu sudah tidak lagi terasa ngilu, kan?” ia masih saja mengkhawatirkan Julia.
     “Tidak, aku kan punya seorang dokter terbaik.” Guman Julia setengah bercanda. Padahal sejujurnya rasa ngilu itu terkadang masih terasa. “Aku sudah mengirim BBM ke Seema, karena besok barang dari Tanah Abang akan segera datang. Anak itu tidak pernah menanyakan di mana aku, yang ia tanya apakah aku baik-baik saja? Ia memang teman kerja yang bisa diandalkan.”
     “Syukurlah, emm.... kamu masih membenci Jakarta?”
      Kini Julia tersenyum. “Yang membuat kita menyukai seseorang terkadang bukan orangnya tapi sifatnya dan yang membuat kita tidak suka dengan salah satu kota ternyata bukan kotanya tapi orang-orang yang ada di dalamnya. Bukankah begitu sang penulis?” gurau Julia. AemeL mengusap bahu sahabatnya dengan penuh kasih sayang. Tak ada rahasia diantara kedua sahabat itu, AemeL sudah menceritakan semua yang ia tahu tentang Wowor  kepada Julia. Ia juga memberitahukan kisah keluarga Teguh dan ia sudah siap menerima lamaran Teguh bersama kakaknya untuk datang ke Palembang.
     Wanita paruh baya itu mengamati Julia dan AemeL dari dalam mobilnya yang terparkir di sisi pantai. Segelintir dari banyak kata-kata Juna terngiang di telingannya.. ‘.....Kata ayahku, kewajiban seorang anak laki-laki itu selain kepada isterinya, ia juga harus patuh kepada ibunya....’ Mengingat sosok Wowor yang sangat patuh padanya tanpa sadar air matanya mengalir, ia terharu. Januardi memang cinta sejatinya meski tak dapat ia miliki dan ia tidak akan membiarkan kejadian yang sama menimpa Wowor.
     Tidak semua orang dapat hidup dengan cinta sejatinya meski sangat ingin, Tuhan punya rencana yang lebih baik dari yang hamba-Nya ketahui. Semua yang manusia alami adalah pembelajaran, sebab tidak ada yang terjadi secara kebetulan di dunia ini. Bersyukur dan bersyukur adalah obat yang paling mujarab di dalam menjalani hidup yang tak pasti. Cinta akan terasa indah bila ia berada di pos yang tepat.....>>>
**
HTX

Tidak ada komentar:

Posting Komentar