Rabu, 02 April 2014

Arjuna masa Kini


Arjuna masa kini
     Adakah wanita yang menolaknya? Dua orang pria sedang berbincang di sebuah kafe terbuka, zaman sekarang melihat dua orang pria tampan dengan pekerjaan mapan sedang makan berdua dengan pria juga akan mengundang tanya pada setiap orang, apakah mereka pasangan kekasih? Oh, dunia ini memang cepat sekali menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang menjurus ke hal negatif. Bukan tanpa alasan karena dunia ini memang sudah rusak semua isinya dalam segala bidang dan setiap hubungan. Orang tua ada yang merusak putrinya sendiri, saudara sekandung ada yang membunuh saudaranya sendiri, para pejabat saling sikut di kursi kekuasaannya yang hanya sementara itu. Tidak tahu lagi dimana mencari sebuah hubungan suci di dunia ini seakan semuanya telah dinodai oleh nafsu orang yang kurang beriman.
     “Kamu tidak merasa kehilangan dengan hilangnya Julia?” tanya pria yang berkemeja abu-abu, dia adalah Teguh sang reporter ternama di sebuah stasiun televisi swasta. Ia menatap pria yang ada dihadapannya yang sedang menikmati minuman ringannya. Dia bernama dr. Wowor Vandeep.
     “Mengapa aku yang harus merasa kehilangan? dia adalah wanita yang baru aku kenal namanya dalam sebulan belakangan. Diantara kami juga tidak ada hubungan apa-apa yang terjalin.” Jawabnya dengan enteng. Teguh mengamati wajah pria itu sejenak lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain sambil berkata.
     “Aku juga baru mengenali AemeL tidak lebih dari sebulan, seandainya dia yang menghilang maka aku akan mencarinya tak peduli ke ujung dunia sekalipun.”
     “Berarti kamu mencintai wanita itu melebihi apa pun di dunia ini, kasihan sekali. Apakah jika kamu hilang ia akan peduli? Aku rasa tidak!” nada Wowor sinis bahkan mengandung ejekan untuk Teguh. “Apa karena kamu telah mengakibatnya cacat sehingga menimbulkan rasa kasihan? Cinta dan rasa kasihan itu dua hal yang berbeda, Bung.” Tambahnya.
     Teguh tertawa halus dan menyadari kalau Wowor sedang mengejeknya. “Andai saja Anda mengerti dan memahami misteri sebuah hati.” Ujar Teguh seakan berkata sendiri. Ia lalu meneguk habis minumannya memaksa Wowor mengamatinya dan pria itu terdiam.
     ‘Tidak ada yang lebih mengerti dengan misteri hati selain aku, cinta akan membuat Anda gila.’ Guman Wowor dalam hati. ‘… dan Anda tidak tahu betapa besar perasaanku pada Julia.’
     “Apa Anda yakin kalau Julia benar-benar hilang?” kata Wowor kemudian. “Anda tidak akan pernah tahu, siapa tahu ia kembali ke kampung halamannya.” Mereka bicara dengan sebutan Anda dan terkadang kamu. “Zaman sekarang banyak hal yang dilakukan orang yang tidak masuk akal. Hubungan Julia dengan AemeL itu tidak harmonis.”
     “Apa maksud Anda tidak harmonis?” tanya Teguh dengan nada sangat penasaran.
     “Lupakan.” Jawab Wowor yang sama persis seperti jawaban AemeL saat itu.
     “Apa Anda mencintai Julia?” pertanyaan yang menjurus menuduh.
     “Saya tidak seperti Anda bisa jatuh cinta pada wanita yang baru dikenal. Maaf, sepertinya saya harus kembali ke kantor.” Kata Wowor yang bermaksud ingin kembali ke rumah sakit. Bukannya ia tidak menghargai Teguh dan sok jadi orang penting tapi ia tidak suka pria itu membicarakan tentang Julia.
     Setelah Wowor pergi Teguh menghubungi AemeL karena gadis itu telah memberikan nomon pin BB sekaligus nomor teleponnya.
     AemeL yang sedang mengetik di kamar kosnya melirik nomor masuk di LCD BB-nya, setelah beberapa detik baru ia angkat. “Ya, halo?”
     “Halo Ae, ini Teguh. Aku jemput pukul tujuh malam ini ya?” kata Teguh mencoba bicara apa adanya, ia tidak mau terkesan mengemis meski ia sangat ingin melakukannya. AemeL tidak bisa langsung menjawab, entah apa yang harus ia jawab padahal ia tahu kalau Teguh akan meneleponnya. Seharusnya ia sudah menyediakan beberapa jawaban baik itu menghindar ataupun mengiyakan. AemeL melirik jam weker di meja kecilnya dan masih pukul empat sore.
     “Maaf Guh, aku sepertinya tidak bisa. Sekali lagi maaf.” Sahut AemeL tidak bermaksud mengecewakan pria itu namun tetap saja Teguh kecewa, itu terdengar dari nada jawabannya.
     “Oh, tidak apa-apa. Baiklah…. Selamat berkatifitas ya.” Hela Teguh dengan nada lemah. “Dan, jaga kesehatan. Selamat sore.” Ia mengakhiri telepon.
     AemeL menghela napas panjang hingga dua kali, ia melirik layar laptopnya dimana lembaran words-nya sedang menunggu. Ia memang sedang asyik menulis tapi sekarang tidak berminat lagi. Telepon dari Teguh telah membuyarkan semua isi cerita di dalam otaknya. AemeL merasa tidak pantas pergi dengan Teguh sementara ia tidak tahu di mana keberadaan Julia sahabatnya, apakah gadis itu baik-baik saja atau nyawanya sedang terancam?! Hanya Tuhan yang tahu namun setiap saat AemeL selalu berdoa untuk keselamatan Julia meski setiap ia coba menghubungi nomornya tetap tidak aktif.
     Selepas maghrib, Wowor mengunjungi AemeL di kediamannya. Yang melihat Teguh datang kemarin siang pastilah mencap AemeL sebagai gadis menerima setiap pria yang datang ke tempat kosnya. Bukannya AemeL tidak berpikir ke arah itu, tapi orang tidak akan tahu apa yang ia kerjakan karena pada prinsipnya orang lain kebanyakkan akan berpikiran negatif.
     “Mengapa tidak telepon dahulu?” kata AemeL setelah Wowor duduk di ruang tamunya.
     “Mm.. maaf, apa aku mengganggu acara kamu?” Wowor merasa tidak enak juga. “Bagaimana dengan kakimu?” tanyanya dengan tulus.
     AemeL mengusap pergelangan kakinya sejenak. “Sudah tidak begitu sakit, tapi belum bisa naik motor.” Ia tertawa halus. “Aku sudah tidak apa-apa sih, hanya saja saat ini aku tidak bisa tidak memikirkan Julia. Entah di mana ia berada sekarang.”
     “Sudahlah, siapa tahu ia sedang bersenang-senang dengan seseorang.” Timpal Wowor membuat AemeL tersenyum.
     “Ya ya, siapa tahu kamu benar. Tidak ada pentingnya memikirkan orang yang tidak memikirkan kita. Kalau ia peduli sama aku pasti ia pergi dengan baik-baik atau setidaknya pamit.” Hela AemeL tapi Wowor tidak tahu kalau hati AemeL sedang hancur dan sakit sekali memikirkan keselamatan Julia.
     “Kalau kamu ingin pergi kemana-mana jangan sungkan menelepon aku, aku siap mengantarmu.. karena saat ini kamu tidak bisa naik motor, kan? Jadi, anggap saja aku ini pengganti temanmu yang sudah menghilang itu.”
     AemeL mengamati wajah Wowor dengan seksama. “Apa kamu tidak keberatan membantu aku mencari keberadaan Julia?”
     “Ah, itu lagi. Bukankah kita sudah membahasnya?”
     “Ya, siapa tahu ia sedang bersama seseorang dan melupakan aku. Aku ini memang bodoh.” Senyum AemeL mengembang dan di mata Wowor terlihat dengan jelas kalau AemeL tidak merasa kehilangan. “Apa kamu tidak punya perasaan apa-apa dengannya? Bukan tanpa alasan aku bicara demikian, karena selama ini aku melihat kamu menaruh perhatian sama dia.”
     “Yang orang lihat terkadang tidak seperti kenyataannya.” Jawab Wowor dan AemeL menemukan ada ketidakjelasan dari pengakuan itu. Wowor sedang bicara bohong, karena AemeL tahu kalau pria itu menyukai sahabatnya begitupun sebaliknya. “Bahkan kamu mungkin tidak tahu jika aku mengatakan kalau aku menyukai kamu. Apa kamu bisa percaya itu?” tambah Wowor membuat AemeL agak terperangah. “Lupakan, aku pasti sedang meracau.” Ralat Wowor sambil tertawa membuat AemeL ikut tertawa meski kehadiran Wowor tak bisa mengubah perasaannya yang lagi kacau, ia tidak akan bisa tenang sebelum tahu keberadaan Julia. Bagaimana pun Julia adalah seorang sahabat yang amat sangat berarti baginya dan yang membuatnya tidak mengerti adalah, bagaimana perasaan Wowor pada Julia? Waktu sebulan kebersamaan mereka ia selalu bisa melihat kalau Wowor punya perasaan sayang pada Julia dan ia tahu Julia punya rasa yang sama dengan Wowor dan saat ini ada ketidakpedulian Wowor pada Julia terlihat begitu nyata, apakah diantara mereka telah terjadi perjanjian atau ada salah satu mereka merasa kecewa?
     “Bagaimana kalau kita keluar? Besok aku libur dan senin malam baru dinas.” Ajak Wowor seperti seorang teman mengajak temannya keluar untuk sekedar menghirup udara segar. Julia terlihat berpikir untuk beberapa saat hingga akhirnya mengiyakan setelah mempertimbangkan banyak hal, diantaranya siapa tahu ia bisa mendapatkan informasi tentang Julia.
     Setelah menikmati beberapa menit jalanan macet akhirnya Wowor dan AemeL bisa bernapas lega di sebuah tempat makan istimewa. Saat mereka sudah duduk Wowor mengomentari pakaian AemeL.
     “Aku suka cara berpakaianmu, terkesan sekali kalau kamu itu orangnya simpel dan pintar. Cara berpakaian kamu dengan Julia sebenarnya tidak jauh beda.” Tutur Wowor dengan penuh rasa simpati. AemeL tak merespon karena dari kata-kata Wowor ia bisa menangkap kalau sebenarnya selama ini pria itu memperhatikan cara berpakaian Julia.
     “Bawaan dari zaman sekolah.” Akhirnya AemeL bicara juga.
     “Pakaian juga mencerminkan pribadi seseorang. Oke, kamu mau pesan apa?” ia menyodorkan kertas menu kehadapan AemeL dengan santai.
     Sebelum meraih lembaran menu AemeL sudah berkata lebih dulu. “Aku dan Julia sebenarnya suka sekali dengan menu ikan bakar yang sangat pedas, tapi ayam bakar juga. Lalapannya daun singkong muda direbus dan sambel ijo.” Ia mengamati suasana sekilas. “Tapi di sini aku rasa tidak menyediakan menu seperti itu.”
     “Lihat saja dulu, menu kesukaan kalian itu seperti masakan Padang ya.” Ujar Wowor. “Nanti kita akan mengunjungi tempat makan  yang menyediakan khusus menu seperti itu.”
     AemeL hanya tersenyum. “Tidak apa-apa, aku bisa makan apa saja yang penting sehat.” Ia mengamati daftar menu yang tersedia. Nasi goreng, segala macam mie, sea food serta segala macam minuman jus. “Makanan berat semua.” Ujar AemeL kemudian.
     “Makan berat waktu malam tidak masalah, asalkan tidak langsung tidur minimal dua jam dan minuman jus bisa menetralisir kolestrol.” Wowor menatap AemeL sejenak. “Tolong tulis pesananku sekalian, kepiting asam pedes tanpa nasi dan jus jeruk.”
     AemeL pun menulis pesanan Wowor dan ia pun memesan menu yang sama persis. “Julia paling benci dengan makanan kepiting, alasannya makannya terlalu lama menghabiskan waktu, ia suka makanan yang cepat mengenyangkan, lalu ia bisa bersantai setelah itu sambil menikmati obrolan ringan dan menikmati kopi kegemarannya.”
     “Begitu ya?”
     “Ya, dia suka pergi jalan-jalan dan yang pasti dengan orang-orang yang cocok dengannya. Dia tidak suka orang pamer kekayaan, ia tidak suka dibanding-bandingkan dengan orang lain, ia bisa terbuka sekali dengan orang yang ia anggap memahaminya tapi ia paling benci pada orang yang tahu titik lemahnya. Dia tidak pandai memasak tapi tahu hampir semua tempat makanan enak termasuk di Jakarta ini.” Tutur AemeL seolah tidak sadar, karena ia sangat merindukan sahabatnya itu. Pesanan mereka telah datang, sejenak mereka merapikan meja untuk mulai menyantap hidangan. Wowor masih diam seolah masih ingin mendengar banyak tentang Julia dari mulut orang yang ia anggap paling dekat dengan Julia.
     Sambil meraih sendok garpu AemeL bicara lagi. “Julia itu paling benci orang menikmati makanan dengan tangan kiri. Hmmm… menurut aku, dia itu adalah gadis yang perfect sekali. Tidak suka bergosip tapi suka memberi saran kepada semua teman-temannya, tapi….  kalau ada teman yang suka ngocol ia bisa masuk dan menjadi lebih gila bercandanya, memang gadis serba bisa dia itu, kecuali masak. Terbayangkan… bagaimana beratnya ia menjalani hidup satu bulan lalu di apartemen? Ia mencuci piring, gelas dan masak meski hanya nasi goreng..” AemeL terdiam dan Wowor masih menyimaknya, pria itu  mendengar dengan sangat detil seolah cerita AemeL lebih menarik dari kepiting yang ada dihadapannya. “Dia hanya butuh seorang pria yang bisa mengayominya, bisa menjadi imamnya sekaligus punya ilmu agama minimal satu level darinya.”
     Mendengar itu memaksa Wowor meneguk jus jeruknya, sedang AemeL mulai menikmati kepiting di dalam piringnya. “Tidak ada manusia yang sempurna, kan? Sehebat-hebatnya Julia dan sebaik-baiknya dia, tetap saja ia orang yang tidak tahu sopan santun karena pergi tanpa berita.” Celetuk Wowor seakan cerita AemeL tidak berarti baginya. Bersamaan dengan itu sebuah layar televisi yang ada disudut ruangan sedang menyiarkan berita off air dan seorang reporter tampan berdiri di tempat kumuh untuk menyajikan kondisi yang masih memprihatinkan di sisi lain Jakarta.
     “Dia.” Kata Wowor saat menyimak berita itu. “Dia suka sama kamu, mungkin lebih dari yang kamu kira.” Ia menunggu respon dari AemeL.
     “Apa….?” AemeL agak terperangah, mungkin bukan karena kata-kata Wowor tapi karena tadi sore pria itu menelepon dan ingin mengajaknya pergi tapi ia malah bersama Wowor.
     “Aku bicara serius, ia sangat mencintai kamu. Aku jadi iri mendengar cintanya yang begitu besar sama kamu.” Tambah Wowor. “Apakah cinta itu bisa muncul saat seseorang merasa bersalah? Tapi aku merasa kamu beruntung Ae. Dia pria baik-baik, dua tahun lalu kekasihnya meninggal karena kecelakaan saat meliput berita bencana tanah longsor, ia berada terlalu dekat dengan lokasi hingga ikut tertimbun karena waktu itu masih gerimis. Mereka satu profesi tapi tidak berjodoh.” Urai Wowor dan membuat AemeL jadi merinding mendengarnya. Sosok Teguh sudah menghilang dari layar kaca, AemeL menatap Wowor masih penuh tanya. “Teguh bukan temanku, tapi kami pernah bertemu beberapa kali, ia
banyak cerita tentang dirinya dan kamu.”
     “O…” hanya itu kata yang keluar dari mulut AemeL dan ia coba membasahi tenggorokannya dengan jus jeruk yang dingin tapi cerita Wowor masih menggema di otaknya.
     “Kamu mencintai Julia?” itu pertanyaan untuk kesekian kalinya AemeL lontarkan pada Wowor.
     “Kamu mengira demikian?”
     “Aku sedang bertanya.”
     “Oke, nanti kalau kamu sudah bertemu dengan Julia katakan juga pertanyaan seperti itu lalu aku akan menjawab pertanyaanmu tanpa tahu apa jawaban Julia padamu.”
     Mendengar itu membuat AemeL tidak bisa menahan tawanya. “Kamu itu pandai sekali mengelak, apa susahnya bilang iya atau tidak. Apa kita seumuran atau……..?”
     “Aku sudah kepala tiga.”
     “O.” AemeL mengangguk-angguk pelan karena ia sendiri baru masuk usia 27 tahun. “Usia kepala tiga sepertinya sangat pas untuk menikah.
     ‘Aku akan menikah hanya dengan Julia.’ Sahut Wowor dalam hati.
     “Kamu sendiri?”
     “Tadinya menargetkan menikah usia 25 tapi sekarang malah tidak punya target lagi.”
     Tidak ada yang bicara lagi selain suara sendok terdengar pelan menemani mereka menghabiskan malam itu bersama. Pertemanan itu sudah dimulai saat mereka mulai mengenali diri masing-masing. Jika Wowor mengakui menyukai dan mencintai Julia itu tidak salah, sebab Julia adalah gadis yang nyaris sempurna dambaan pria, tapi siapa yang percaya kalau Wowor yang tampan, punya karir bagus diusia tiga puluhan tidak punya pacar? Rasanya sangat tidak mungkin, AemeL tidak akan membiarkan sahabatnya jatuh cinta dengan pria yang akan membuatnya patah hati.
     ‘Ah, apakah menghilangnya Julia lantaran ia telah patah hati karena sudah mencintai Wowor dan mengetahui kalau pria itu sudah punya calon istri? Dan tanpa memberitahu aku karena ia benar-benar ingin menghilangkan jejaknya dari Wowor! Ya Tuhan, apakah dugaanku ini benar?’ AemeL menghela napas berat. ‘Tidak, meski ia punya tampang Arjuna tetap ia tidak pantas menyakiti hati Julia. Tapi yang lebih susah adalah… jika Julia telah kembali menjadi dirinya sebelum aku amnesia, baiklah Julia, aku akan mengikuti keinginanmu, kau berjalan di duniamu dan aku juga begitu.’
     AemeL sudah berhenti memikirkan Julia, kini ia akan kembali fokus dengan dunia tulis-menulisnya selain tetap berdoa semoga Julia baik-baik saja.
     “Apa kamu sudah bisa melupakan Julia?” suara Wowor tiba-tiba menghalau lamunan AemeL.
     AemeL coba tersenyum seindah mungkin dan setegar yang ia mampu. “Tentu saja, dan satu lagi… jangan percaya dengan apa yang pernah saya ucapkan.” Tambah AemeL dengan sangat yakin membuat pria itu tersenyum dengan penuh kemenangan meski tidak begitu mengerti apa maksud dari kata-kata AemeL tersebut.
     ‘Kamu memang benar Ae, tidak ada yang abadi di dunia ini, sabahat? Omong kosong dengan yang namanya persahabatan!’ saat itu muncul kebencian di benak Wowor pada AemeL. Entah mengapa kebencian itu ada.
     AemeL tidak menyadari kalau pria itu sudah membencinya hingga ke ubun-ubun, pesona AemeL tidak mempan dipikiran Wowor serta segala macam kepintaran dan wawasannya. Di perjalanan pulang tidak banyak yang mereka bicarakan. Wowor lebih banyak diam begitupun AemeL. AemeL pun tidak tertarik sama sekali dengan pria matang yang memiliki wajah indo itu, meski tidak sedikit wanita yang mendambakan cintanya apalagi di kalangan rumah sakit tempat Wowor bernaung. AemeL tiba-tiba kangen dengan Teguh, pria sawo matang, mandiri dan terkesan bisa melakukan apa saja. Terpikir oleh AemeL untuk mengirim BBM pada Teguh tapi ia tidak suka kalau Wowor menegurnya dan bertanya mengirim pesan untuk atau pada siapa. Itu menandakan kalau ia sedang bosan duduk di samping Wowor. Detik-detik menunggu mobil sampai di depan kos AemeL rasanya lama sekali, lalu sebuah suara ping dan BB AemeL berdering tapi AemeL membiarkannya, ia akan membukanya nanti di Kos. Wowor melirik ke arah AemeL sekilas.
     “Terima kasih ya, Ae.”
     “Untuk?”
     “Atas kesediaan kamu menemaniku makan malam.” Wowor sudah kembali mengamati jalanan.
     “Oh, itu. Sama-sama. Siapa tahu nanti-nanti aku tidak bisa menemani kamu lagi, kamu seorang dokter yang punya jadwal sangat padat dan aku, kalau sedang punya cerita bagus di otakku, kemanapun orang ajak pergi tidak akan bisa… karena khawatir otakku akan meledak nanti.” Ujar AemeL seperti bercanda namun itu serius sebab kalau ide cerita sudah memenuhi otaknya kalau tidak dituangkan lewat tulisan maka ia tidak akan bisa fokus dengan apa pun yang ada di depannya karena cerita itu akan berseliweran di otaknya, menguasai otaknya untuk diajak keluar dengan sesegera mungkin.
     Apapun yang dikatakan AemeL tidak masuk di akal Wowor hingga ia pun hanya bisa tersenyum simpul. Apalagi kebencian  telah AemeL tanam di otaknya, tadinya ia berharap bisa membawa AemeL datang ke rumahnya, kenal dengan kedua orang  tuanya namun semua itu tidak penting lagi.   
~
 
     Teguh merasa harus menemui AemeL, cintanya pada gadis itu tidak main-main. Kedewasaan pribadi membutuhkan sebuah kepastian di dalam menjalani hidup. Tidak ada lagi pikiran memikirkan hal yang sudah-sudah, kekasih yang telah lama pergi tidak bisa dijadikan sebagai bahan untuk selalu menikmati kesedihan yang berkepanjangan. Tidak ada alasan untuk menjadi pribadi cengeng.
     Di tempat kos AemeL yang sepi dan Teguh mendapati gadis itu habis menangis, ia mungkin menangis semalaman. Ingin sekali Teguh merengkuh tubuh itu seerat mungkin meski tak dapat meringankan beban apa yang ia derita. Dan AemeL benci sekali kalau ia kedapatan habis menangis apalagi di depan seorang pria.
     “Aku mungkin datang tidak diwaktu yang tepat.” Hela Teguh namun ditanggapi AemeL dengan gelengan lembut.
     “Aku tidak apa-apa. Hanya saja sedang kangen sekali dengan Julia.” AemeL tidak bisa menyembunyikan perasaan sedihnya pada Teguh, berbeda sekali dengan Wowor, dengan pria itu AemeL bisa berpura-pura tidak memikirkan Julia.
     “Apa kita perlu melapor polisi?” Teguh tidak sanggup melihat gadis itu bersedih apalagi di depan matanya.
     Lagi-lagi AemeL menggeleng karena ia tidak yakin Julia menghilang tapi gadis itu sengaja menjauhinya, lagi. dan kali ini ia tidak tahu apa sebabnya, itu yang membuat AemeL lebih sedih.  Julia tidak pernah tahu berapa waktu yang AemeL habiskan untuk memikirkannya.
     “Apa kamu sedang ingin sendiri?” lanjut Teguh. Kali ini AemeL diam, ia mengamati Teguh sejenak dan andai pria itu tahu kalau AemeL sedang membutuhkan seseorang untuk menemaninya. Namun di hati kecilnya tidak bisa menerima kalau keakraban mereka karena insiden kecelakaan itu. AemeL pun tidak tahu jika ada seorang wanita yang merasa tersakiti dengan keberadaan Teguh di tempat kosnya, perkara Wowor pernah mengatakan Teguh sangat mencintainya dan ia telah kehilangan kekasihnya dua tahun yang lalu tidak bisa ia percaya begitu saja. Dunia ini penuh tipu daya sana sini, tak terkecuali dalam dunia asmara. AemeL tidak suka Teguh menguasai suasana hatinya yang sedang lemah.
     “Aku, sebenarnya aku ingin pergi ke suatu tempat.”
     “Aku antar.”
     Sudah AemeL duga kalau Teguh akan melontarkan tawaran itu,  AemeL merasa telah menyesal mengatakannya. “Hmm, tidak usah. Perginya juga nanti sore kok.” AemeL tidak berbohong karena tadi pagi seorang teman sama-sama penulis mengajaknya bertemu di sebuah coffee shop.
     “Hari ini aku libur, Ae. Jam kerjaku nanti malam sampai besok siang. Maklum seorang reporter jam kerjanya tidak menentu.” Jelas Teguh dan sepertinya AemeL memahami, kecuali kalau reporter tetap di studio. AemeL tidak ingin menanyakan satu hal pun tentang kehidupan pria itu, termasuk urusan wanitanya.
     Sorenya, AemeL akhirnya mengizinkan Teguh menemaninya bertemu dengan seorang kerabat yang  sudah ia kenal dalam dua tahun ini lewat Facebook, dan mereka sudah dua kali bertemu. Di area parkir Teguh memarkir motor besarnya dan itu pertama kalinya AemeL naik motor setelah kecelakaan. AemeL tidak lagi menggunakan tongkat karena Teguh melarangnya dengan alasan ia bisa membantu sebisanya. Setelah melepaskan jaketnya AemeL mengamati Teguh yang juga merapikan jaket dan meletakkannya di atas stang motor.
     “Apa temanmu sudah sampai atau kita terlambat?”
     “Itu pertanyaan yang sama.” Hela AemeL sembari tersenyum. “Ia sudah di dalam beberapa menit yang lalu.” Tambah AemeL dan ia bermaksud melangkah tapi segera diraih tangannya oleh Teguh.
     “Biar aku bantu.”
     “Aku tidak apa-apa, sudah sembuh ini kok.” Mereka melangkah bersama-sama karena Teguh tahu AemeL belum sembuh seutuhnya. Dan itu memang benar karena AemeL masih sedikit pincang untuk mengimbangi kakinya yang satu sebab ia tidak bisa membebani kaki kirinya seperti sebelum patah.
     AemeL tersenyum melihat temannya yang sudah duduk di pojok kanan ruangan, dan saat gadis itu melihat kemunculan AemeL bersama seorang pria yang belum ia kenal dan AemeL tidak pernah menceritakan sebelumnya membuatnya agak kaget sebab pria itu baginya bukan pria biasa. Meski tidak pernah bertemu langsung ia mengagumi pria itu dari layar kaca, caranya membawakan berita, suaranya yang khas, senyumnya menawan dan tubuhnya ternyata lebih atletis dari dekat, dan yang membuatnya lebih menarik karena pria itu sangat lihat dan cerdas bila sedang berdialog dengan sumber berita.
     Ia menyambut kedatangan AemeL dengan berdiri. “Hai, maaf aku datang kecepatan karena sudah tidak sabar ingin cerita banyak hal.” Katanya karena ia tahu AemeL itu tidak pernah terlambat bila membuat janji.
     “Tidak, akunya saja yang memang agak terlambat.” Sahut AemeL tidak ingin membuat temannya merasa bersalah. “Oya, kenalkan ini temanku… namanya……..”
     “Teguh Tebolai.” Potong gadis itu hafal betul dengan nama reporter favoritnya membuat pria itu tertawa, ia akan merasa senang kalau gadis itu tahu namanya bukan dari AemeL tapi dari kinerjanya selama ini. AemeL ikut senang karena temannya sudah tahu nama Teguh.
     “Senang bertemu dengan kamu…..”
     “Nurmala.” Sambung gadis itu memberitahu namanya sendiri. Teguh tersenyum lalu melirik ke AemeL diamati Nurmala dan ia berharap hubungan mereka tidak lebih dari teman biasa.
     Detik berikutnya mereka duduk, memesan makanan lalu berbincang layaknya  teman yang sudah seringkali bertemu dan AemeL senang sebab Teguh cepat sekali akrab dengan Nurnala. Sekilas AemeL dan Nurmala mengakui kalau bertemanan mereka berawal dari chat di facebook dan merasa akrab karena memiliki kesukaan yang sama yaitu menulis.
     “Dunia internet memang banyak sekali membantu kegiatan sehari-hari kita, teknologi memang luar biasa, Tapi teknologi akan merusak hidup jika kita tidak bisa menggunakannya dengan baik.” Tutur Teguh lalu menikmati kopi cappuccinonya. Diiyakan Nurmala dengan anggukan lalu ia menatap AemeL.
      “Ae, maksudku mengajak kamu  ketemu di sini ingin menanyakan apakah benar ada penerbit yang mengambil hak kita?” ia bertanya serius dan sebelumnya ia pernah melontarkan pertanyaan itu pada AemeL di jejaring sosial. Teguh membiarkan kedua gadis itu bicara serius tanpa ingin memotong pembicaraan.
     “Nur, kita sebenarnya sudah punya surat kontrak dan di sana tertulis dengan sangat jelas, berapa tahun naskah kita dikontrak, akan dikeluarkan berapa eksemplar dalam cetakan pertama dan berapa royaltinya sudah sesuai dengan kesepakatan pihak pertama dan kedua, begitupun kalau ada cetakan kedua dan seterusnya. Jadi kalau maksud kamu ada pihak penerbit yang diam-diam mencetak diluar kesepakatan itu dan menjualnya lalu mengambil keuntungan sendiri. Yah itu adalah tanggung jawab mereka kepada Tuhan. Rezeki kita tidak akan pernah tertukar Nur.” Ujar AemeL.
     “Ah, terkadang surat MoU itu hanya formalitas saja, di dalamnya mereka bilang akan mencetak ribuan eksemplar namun kenyataannya mereka mencetak lebih banyak dari itu, dan royaltinya akan dibagi sesuai dengan yang habis seperti tertera di surat kontrak padahal mereka telah membuatnya lebih banyak.” Gadis itu merasa belum puas dengan keterangan dari AemeL.
     “Sekarang begini saja, kalau kamu merasa tidak nyaman dengan penerbit kamu sekarang mendingan kamu cari penerbit baru, ada ratusan penerbit di tanah air ini dan jangan takut tidak diterima selagi kamu merasa naskahmu layak untuk diterbitkan. Dalam kasus kamu ini kita tidak bisa hanya menerka-nerka dan akan lebih mudah dibawa ke ranah hukum jika kita punya bukti yang jelas, semisal ada pihak percetakan yang tahu pasti berapa ribu buku kita dicetak, dan kita bisa membandingkannya dengan jumlah yang ada di kontrak.” Tambah AemeL sedangkan Teguh hanya menikmati AemeL yang bicara dan menurutnya AemeL
adalah gadis yang luar biasa sehingga ia merasa betah sekali berada di dekat AemeL.
     “Ya juga sih, tapikan kesel juga kalau itu benar. Itu namanya mereka telah mengambil keuntungan sendiri.”
     “Tidak usah terlalu dirisaukan, tidak baik juga jika nanti kamu membuat status di jejaring sosial mengenal hal ini sementara kamu sendiri tidak tahu pasti kebenarannya sebab kadang yang orang beritakan itu belum tentu maksudnya baik untuk kita. Dunia ini pernuh persaingan Nur, dan tidak banyak orang yang bisa bersaing dengan jujur. Satu lagi, kalau kamu membuat kontrak baru pada satu penerbit cantumkan juga, seandainya suatu ketika naskah kamu di-film-kan. Karena royalti naskah film dengan buku itu tidak bisa disatukan. Jangan sampai keliru.” Kali ini AemeL bicara seolah sedang memberikan kuliah pada mahasiswinya.
     “Begitu ya.” Kata gadis yang baru bergelut dalam dunia penerbit sejak empat tahun ini, sedang AemeL sudah lebih dari tujuh tahun meski belum ada novelnya yang difilmkan namun ia tahu banyak dengan dunia satu itu. Karena ia sering menghadiri seminar, punya beberapa orang yang bergelut langsung dalam dunia perfilmaan dan kali ini semoga saja Teguh bisa menjadi salah satu teman baiknya. Nurmala menatap Teguh yang dari tadi hanya mendengar mereka bicara. “Bagaimana menurut kamu, Guh?” ia ingin sekali mendengar pria itu bicara.
     “Topik kalian sangat bagus dan sedikit menambah wawasan saya dalam dunia yang kalian geluti, meski bidangku juga masih ada hubungannya dengan dunia tulis-menulis. Kalau menurut aku sih segala sesuatu itu tidak ada yang susah kalau kita punya bukti yang kuat dan seperti yang disebutkan AemeL tadi… intinya jangan pernah mengatakan sesuatu yang belum kita ketahui dengan pasti kebenarannya sebab itu bisa menjadi bumerang untuk diri kita sendiri.” Tutur Teguh dengan santai. Tapi kata-katanya yang sedikit membela dan menyinggung nama AemeL membuat Nurmala merasa tidak suka. Namun AemeL tidak menyadari itu sebab ia tiba-tiba ingat dengan Julia, kalau sudah ingat Julia ia sedih dan itu bisa langsung mendadak menyerang ketenangan pikirannya. Entah tahu atau tidak dengan kegelisahan AemeL sehingga tangan Teguh mendarat di tangan AemeL dan menggenggamnya dengan erat membuat AemeL agak kaget dan untung Nurmala tidak melihatnya karena tangan AemeL sedang ada di atas dengkulnya yang terhalang oleh meja namun tidak bisa mencegah degupan jantung AemeL yang secara langsung berdetak lebih kencang.
     ‘Ya Tuhan, laki-laki ini akan membuat wajahku memerah dihadapan Nurmala. Tolong lepaskan tanganku.’ Bisik hati AemeL dan detik berikutnya ia menarik tangannya dari genggaman tangan Teguh secara perlahan. Teguh dengan halus melepas genggamannya sembari menatap AemeL dan menciptakan senyum yang sangat manis dan itu membuat Nurmala yang duduk di depan mereka menjadi keki melihat tatapan mesra Teguh untuk AemeL dan senyum manis itu meski dibalas serba-salah oleh AemeL tak membuat Nurmala mengurungkan niatnya untuk segera pamit karena yang ingin ia sampaikan pada AemeL sudah selesai. Sepertinya ia tidak bisa menjadi sahabat AemeL sebab gadis itu adalah kekasih dari orang yang ia kagumi dan berharap pria itu jadi miliknya. AemeL dan Teguh melepaskan kepergian gadis yang masih dibawah dua puluh lima tahun itu. Dari tadi AemeL bisa melihat kalau Nurmala menyukai Teguh tapi tidak terlalu ia ambil pusing sebab perasaan AemeL masih bercabang memikirkan Julia.
     Entah senang atau bimbang, AemeL akhirnya mengikuti ajakan Teguh membawanya ke suatu tempat yang ia sendiri belum tahu. Dengan berboncengan dibelakang punggung Teguh ia terlihat memegang pinggang Teguh seolah khawatir jatuh lagi dari motor dan adegan itu sempat terlihat oleh Wowor yang sedang mengendarai mobilnya saat itu ia disalip oleh Teguh. Wowor menjadi semakin kesal dengan AemeL dan itu mungkin puncak kekesalannya pada gadis itu sehingga ia meninju setir mobilnya beberapa kali.
     Setelah menempuh perjalanan beberapa menit, Teguh dan AemeL akhirnya tiba di Pantai Ancol. Motor itu berhenti di dekat sebuah tenda. AemeL masih tidak habis pikir mengapa ia bisa mengikuti pria itu sampai sejauh itu. Ia sadar kalau ia punya hati dengan Teguh tapi kesannya ia murahan sekali jika mengikuti Teguh tanpa tujuan apalagi hari sudah senja.
     “Untungnya kita tidak terlambat.” Kata Teguh akhirnya. Ia menatap AemeL yang turun dari motor lalu buru-buru membantunya setelah sadar AemeL masih pincang. “Hati-hati.”
     “Kenapa kita ada di sini?” tanya AemeL kemudian. Ada rasa malu dihatinya mengingat tak mampu menolak ajakan Teguh.
     “Sudah lama sekali aku tidak menikmati sunset, mari.” Ia membawa AemeL ke bawah tenda yang ada tempat duduknya yang terbuat dari semen berbentuk melengkung, mereka duduk di sana. Beberapa menit lagi matahari akan tenggelam dan Teguh tidak ingin melewatkan kesempatan itu. Dan saat sunset terlihat ia berjongkok di hadapan AemeL dengan sebuah kotak cincin di tangannya membuat AemeL sangat kaget, kaget sekali. “AemeL Baes… maukah kamu menjadi istriku?”
     AemeL sama sekali tidak bisa menjawab pertanyaan konyol yang selama ini hanya ia lihat di televisi atau di film-film roman dan ia mengganggapnya gombal, tidak masuk akal dan aneh. Tapi saat ini ia benar-benar mengalaminya dan yang melakukan itu bukan pacarnya atau orang yang ia kenal bertahun-tahun.
     Sepasang kekasih yang ada di tenda lain yang sedang menikmati sunset dan angin laut sempat melihat adegan itu. Yang wanita berkomentar.
    “Lihat, pria itu sedang melamar kekasihnya.. hohohoho.. romatis sekali. Kapan ya kamu melakukan hal seperti itu padaku?” ujarnya seperti bicara sendiri, sedang pasangannya hanya diam entah tidak tahu apa yang sedang ia pikirkan melihat adegan itu.
     “AemeL…….” Kata Teguh melihat AemeL belum bisa menjawab permintaanya.
      AemeL meraih tangan Teguh. “Duduklah di atas, tidak baik berjongkok seperti itu.”
Sahut AemeL merasa Teguh tidak pantas berlutut di depannya. Bagaimanapun dia adalah seorang pria yang dihargai di rumahnya, seorang anak yang sangat disayangi oleh kedua orang tuanya, seorang kakak yang dihormati oleh adiknya bahkan seorang adik yang mungkin jadi kesayangan di keluarga atau mungkin seorang rekan kerja yang amat dihargai di kantor atas kinerjanya. AemeL menatap Teguh yang sudah kembali duduk di sisinya. “Apa yang kamu pikirkan Teguh…?”
     “Aku mencintai kamu.”
     “Jangan potong dulu ucapanku, pertama kamu bilang mencintaiku dan itu belum juga sampai dua bulan, aku tidak menjawab dan mungkin kamu sendiri bisa melihat bagaimana sikapku ke kamu sehingga kamu bisa merasa kalau aku sebenarnya juga punya perasaan yang sama ke kamu, dan hari ini…….. kamu coba melamarku untuk menjadi istrimu, kamu pikir….”
     “AemeL…….”
     “Aku belum selesai….” AemeL tak melepaskan tatapannya pada Teguh. “Kamu tidak kenal denganku, begitupun sebaliknya. Apa kamu pikir melamar itu sebuah lelucon yang bisa diucapkan kapan dan di mana saja? Apa kamu telah dikecewakan mantan kekasihmu yang menikah dengan orang lain sehingga saat ketemu aku dengan gampangnya kamu memutuskan untuk menikah sehingga terkesan kalau kamu juga bisa menikah dengan segera? Wowor pernah bilang padaku kalau kamu telah kehilangan kekasihmu dua tahun silam karena musibah di lokasi, tapi tetap saja aku tidak kenal dengan kamu seutuhnya dan cerita yang dilontarkan orang lain mungkin tidak sengaja tidak bisa aku jadi patokan. Dan kini…..” AemeL melirik ke arah kakinya sekilas. “Apa karena kaki ini kamu memutuskan untuk menjadikan aku istrimu…..? aku coba menghargai kamu Guh, tanpa memikirkan berapa juta uang yang telah dikeluarkan oleh Julia di rumah sakit karena musibah itu dan kini aku kehilangan dia. Apa kamu berpikir dengan cacat seperti ini aku tidak bisa bekerja dan dijauhi
oleh pria sehingga kamu mengambil alih?
     Teguh meraih tangan AemeL dan kotak cincin itu sudah ia letakkan di sisinya sedangkan sunset telah berlalu tanpa sempat mereka nikmati hanya sinarnya yang keemasan menyinari wajah mereka beberapa saat. “Sudah cukup kamu bicara sayang… kini giliranku. Yang diceritakan Wowor itu memang benar dan aku tidak pernah memintanya menceritakan padamu, ia mungkin tahu kisah itu dari orang lain. Aku membeli cincin ini sehari setelah bertemu dengan kamu di halte itu, jadi tidak ada hubungannya dengan semua hal yang kamu sangka. Aku benar-benar menyukai kamu dan tidak ada kaitannya dengan cidera kakimu. Kalau masalah kenal jauh, yang mungkin semua orang juga tahu untuk sebuah hubungan itu butuh proses dan mengenali keluarga masing-masing. Tidak ada gunanya pacaran setahun atau bahkan sampai puluhan tahun, kalau Tuhan mengatakan tidak jodoh yah.. kita hanya bisa sakit hati.”
     “Teguh, dengarkan aku…”
     “Tidak sayang, jangan mempersulit hal yang sudah gampang. Kamu tinggal sendirian di Jakarta ini, aku tidak mau kamu sakit dan sendirian di rumah. Kedua orang tuaku sudah tidak ada, aku hanya punya seorang kakak perempuan yang sudah menikah dan tinggal bersama anak dan suaminya di rumah mereka. Aku ingin kita hidup bersama, tapi kalau kamu tidak menyukaiku.. itu lain lagi ceritanya, aku tidak mungkin memaksa kamu.” Kata Teguh. AemeL menatap tangannya yang sedang dipegang oleh Teguh, sejenak ia hanya bisa memandang itu. “Nanti aku akan mengajak kamu kenalan dengan kakakku satu-satunya.
     Detik beriktunya AemeL menarik tangannya. “Tidak.” Ia menggeleng-geleng pelan.
     “Kamu tidak suka sama aku?” tanya Teguh tak kalah pelan.
     “Bukan itu…….” AemeL jadi bingung harus apa. Teguh mengangkat tangan kanan AemeL lalu mencium punggungnya dengan lembut. “Kalau kamu tidak bisa  bertemu dalam waktu dekat ini, minggu depan juga tidak apa-apa. Setelah itu, aku ingin bertemu dengan
keluarga besarmu yang di Palembang.”
     AemeL merasa terpojok, ia tak bisa pungkiri kalau Teguh serius dengan kata-katanya. “Kamu belum kenal dengan keluargaku, khsususnya aku… aku tidak mau nanti…..”
     “Jangan punya pikiran seperti itu, intinya…. Kita akan segera menikah.” Tegas Teguh.
     “Aku tidak akan menikah sebelum bertemu dengan Julia.” AemeL tiba-tiba melontarkan kata-kata itu. Apakah itu sebuah penolakan atau memang kata-kata AemeL serius? Teguh masih bingung.
     “Julia?! Oh, tentu saja……. Kita akan menemukannya.” Sahut Teguh dengan segera setelah menyadari kalau Julia adalah seorang gadis yang punya peran penting dalam hubungan mereka.
     “Teguh?” panggil AemeL.
     “Ya?”
     “Apa yang kamu lihat dari aku?”
     Teguh bukannya menjawab tapi malah memeluk tubuh AemeL dengan sangat erat seakan ingin mencurahkan semua rasa yang ia punya pada gadis itu. “Jangan pernah bertanya seperti itu sayang, sebagai seorang penulis kamu pasti tahu kalau cinta tidak butuh dijelaskan, kamu mampu membuat hatiku bergetar….. terima kasih.” Ucap Teguh setengah berbisik. AemeL tidak bisa menjawab lagi meski selama ini ia dikenal tidak bisa diam dalam hal bicara, cinta Teguh telah membuatnya terdiam seribu bahasa. Semoga saja cinta Teguh benar-benar tulus. Hanya itu yang mampu ia bisikkan di dalam hatinya sendiri.
~
     Wowor sedang berbincang berdua dengan Maminya di kursi taman samping rumah mereka. Wanita keturunan Jawa kental itu sedang mendengarkan putra tunggalnya bercerita tentang seorang gadis idamannya. Tak biasanya ia bersikap seperti itu karena selama ini ia di mata Wowor adalah seorang Ibu yang otoriter sekali apalagi dalam menentukan calon istri
untuk Wowor.
     “Dia bukan seperti wanita pada umumnya, Mi.” kata Wowor lagi dan berharap kali ini Maminya memberikan sesuatu respon lebih jauh supaya ia bisa memberikan alasan-alasan sesuai pikirannya.
     “Tidak apa-apa sayang….”
     “Dia tidak bisa masak, bukan wanita yang feminin, wanita yang biasa bekerja di luar rumah dan dia berasal dari Sumatera.” Tambah Wowor yang sudah siap mendengar segala bentuk protes Maminya yang akan mengatakan semua hal tentang watak orang sumatera yang ia anggap  kasar, tidak sopan dan bicara sesukanya dan berbagai cap jelek lagi lainnya. Wowor bukan anak mami yang harus disediakan segala urusannya oleh maminya. Ia pria mandiri meski demikian maminya mau anaknya diurus oleh wanita yang tepat, yang menyanyanginya bukan lantaran hartanya atau kedudukan papinya di kantor. Ia ingin Wowor menemukan wanita yang mencintai dan dicintainya. Karena kedua itu merupakan modal yang kuat, seiman dan saling menghargai. Sejatinya bukan dari suku mana asal manusianya tapi sikap yang diajarkan di dalam keluarga itu merupakan tonggak awal pembentukan watak seseorang.
    Wanita itu menatap anaknya dengan seksama dan ia tidak ingin melihat anaknya yang sudah kepala tiga itu untuk terus hidup tanpa pasangan lantaran kekerasan hatinya memilih pilihan untuk anaknya sementara banyak teman-temannya sudah menimang cucu,  bahkan ada cucu temannya yang sudah masuk sekolah SMP. Ia merasa kesepian di rumah sementara suaminya masih sibuk menjalani bisnis, mengurus perusahaan. Andai saja Wowor menjadi bisnismen penerus Papinya mungkin suaminya itu sudah pensiun dan duduk manis di rumah tapi Wowor memilih hidup dalam bidang yang ia sukai.
     “Tidak apa-apa sayang, intinya kalau wanita itu mencintai kamu begitupun sebaliknya itu sudah cukup buat Mami. Kapan kamu mengenalkannya sama Mami dan Papi…?” ujarnya ingin buru-buru Wowor membawa wanita itu kehadapannya dan meminangnya untuk menjadi menantu.
     “Secepatnya Mi.” sahut Wowor penuh semangat.
~
    
 
       Teguh dan AemeL sudah duduk di ruang keluarga seorang wanita yang amat sangat menyayangi Teguh, yakni Riza Tebolai kakak kandung Teguh Tebolai yang sudah memiliki dua orang putra dan putri dan suaminya seorang anggota legislatif. Riza sendiri seorang Pegawai Negeri Sipil yang sudah lima belas tahun mengabdikan dirinya di dinas pendidikan. Ia mengamati AemeL sejenak sebab ia tahu tidak sopan terlalu lama menatap seseorang karena dianggap tidak sopan dan yang ditatap tentunya akan merasa risih apalagi orang baru. Ia pun merasa ikut berdosa atas kecelakaan yang menimpa AemeL namun yang ia lihat kehadiran AemeL membuat adiknya berbeda dari kemarin khususnya dua tahun yang lalu setelah kekasihnya meninggal. Ia bisa melihat Teguh seolah menemukan kembali getaran hatinya yang selama ini diam membeku. Ia bisa melihat betapa sederhananya gadis yang bernama AemeL itu, meski demikian tak bisa dipungkiri kalau gadis itu punya otak cemerlang. Tak bisa dibohongi juga kalau ia berasal dari keluarga baik-baik. Tak perlu banyak cerita atau menanyakan hal-hal yang sudah dianggap basi.
     AemeL bisa merasakan betapa kentalnya hubungan kakak dan adik antara Teguh dan Riza, tak terlihat adanya kebohongan atau hal yang disembunyikan di antara mereka. Rumah Riza yang sederhana dengan dua orang anak, satu asisten rumah tangga terasa begitu nyaman. Sekali duduk saja AemeL sudah bisa merasakan kenyamanan di rumah itu. AemeL seakan bisa membayangkan bagaimana kedua orang tua mereka membesarkan dan mendidik mereka, dan hasil itu terlihat jelas di pembawaan Riza untuk adiknya dan Teguh adalah seorang adik
yang sangat menghargai kakaknya.
     “Di sinilah keluarga Teguh satu-satunya.” Ujar Riza dengan nada santai. “Tapi saat ini Teguh menempati rumah peninggalan kedua orang tua kami. Hmm.... semoga pertemuan berikutnya kakak harap kita membahas hal yang lebih jauh, seperti keinginan Teguh melamar kamu pada kedua orang tuamu...” wanita itu tersenyum sejenak melihat keheranan di wajah AemeL. “Teguh sudah menceritakan semua tentang kamu yang ia ketahui.”
     AemeL menoleh pada Teguh karena keputusan yang Teguh ambil sangat buru-buru tapi pria itu malah bertanya. “Kapan kita akan bertemu dengan kedua orang tuamu di kampung?”
     AemeL kembali pada sosok Riza sebab ia masih canggung pada wanita itu. “Mm... kok jadi membahas masalah serius sih, Kak?”
     “Tidak apa-apa.... bukannya kalian sudah saling menyukai?” sahutnya pendek, meski suara itu manis di dengar namun tetap saja membuat AemeL tidak enak. Ia merasa malu tapi setelah melihat kesungguhan Teguh membuatnya serba salah. Apakah itu yang disebut jodoh? Kenal dalam hitungan bulan namun sudah akan melangkah ke jenjang yang lebih jauh dan serius. Sosok Teguh adalah pria yang dicari sekaligus pria idaman meskipun begitu AemeL tidak mau terjebak. Ia tidak tahu pasti sedalam apa perasaan Teguh kepadanya.
~
 
     Dalam pergaulan remaja akhir, seorang pria pastinya menginginkan seorang pendamping yang sempurna dalam arti yang sesungguhnya. Bisa masak, mengerti segala hal dan enak diajak berdiskusi dari masalah harga sayur hingga ke harga saham. Sedangkan wanita menginginkan pria yang bisa membimbingnya, mapam dalam finansial dan setia. Yang idaman belum tentu yang dicari begitupun sebaliknya. Yang asik sebagai teman belum tentu cocok sebagai teman hidup.
     Dalam kehidupan sehari-hari di rumah tangga tak jarang seorang suami yang terlihat baik di rumah dan terkesan sebagai suami yang takut istri namun kenyataan di luar berbanding terbalik. Itulah warna dalam rumah tangga yang sudah menjadi rahasia umum. Ada juga pasangan yang baik bahkan sangat menyayangi pasangannya, menjalani semua aturan-aturan rumah tangga sesuai agama dan hukum negara tapi tetap saja si pasangan mencari di luar. Apa sebab? Ah, mungkin kurang bersyukur atau kurangnya iman. Entahlah. Semua orang punya alasan masing-masing.
~
 
     Wowor Vandeep, seorang dokter plamboyan terlahir dari keluarga terhormat dari seorang ibu Jawa tulen dan ayah Belanda. Anak tunggal yang agak susah jatuh cinta alias agak pilih-pilih pasangan. Mungkin karena ibunya termasuk orang yang selektif, bukan tanpa alasan karena Wowor adalah harapan mereka satu-satunya orang tua manapun pasti menginginkan pasangan terbaik buat anak-anaknya bahkan bukan saja pemilik anak tunggal. Tak jarang ada yang melontarkan kata-kata kasar  kepada orang yang tidak mereka sukai dan membuat orang sakit hati bahkan dendam. Semoga tidak ada lagi yang seperti itu.
~
     Wowor muncul di hadapan Julia, hal itu tidak pernah disangka oleh Julia sebelumnya sehingga memaksa gadis itu menarik napas dalam-dalam karena sangat tidak mengerti apa maksud pria itu sebenarnya. Ia berdiri sendiri dihadapan Julia tanpa pria kemarin yang seperti seorang pengawal. Julia geleng-geleng kepala namun ditanggapi dengan santai oleh Wowor.
      “Maafkan aku atas ketidaknyamanan kamu di sini. Semua ini aku lakukan untuk kamu.” Ungkap Wowor dan Julia sungguh tidak mengerti ke mana arah kata-kata itu.
     Julia menghela napas berat. “Apapun motif dan alasan Anda melakukan hal ini, sungguh Anda sudah sangat mengecewakan saya.” Tekan Julia sangat marah tapi Wowor masih
terlihat santai dan dengan entengnya ia menyerahkan tas Julia.
     “Semua barang-barang kamu ada di sini.”
     Julia meraih tasnya tanpa mengalihkan matanya dari wajah Wowor, ia masih tidak mengerti apa yang ada di otak pria itu. Saat ia ingin membuka  tasnya Wowor bicara lagi.
     “Kamu tidak usah menghubungi AemeL karena dia bukan teman yang baik untuk kamu.” Ucapan itu membuat Julia menghentikan niatnya yang sebenarnya tadi memang ingin menelepon AemeL karena ia yakin sahabatnya pasti kalang kabut mencarinya. Julia menatap Wowor dengan seksama dan menimbulkan berbagai macam praduga, apakah selama ini AemeL tidak pernah menanyakan  keberadaannya kepada Wowor? Atau Wowor tidak pernah menceritakan keberadaannya. Kali ini Julia menghela napas panjang. Ia tidak mungkin mempercayai Wowor yang baru ia kenal dibandingkan dengan AemeL sudah bertahun-tahun. Pasti ada yang tidak beres. Wowor melanjutkan kata-katanya. “AemaL sedang bersenang-senang dengan kekasih barunya si jurnalis itu, bagaimana mungkin ia bisa mengingat kamu yang selami ini merawat dia. Ia bahkan tidak peduli dengan kehilangan kamu.” Tambah Wowor membuat kepala Julia mulai berdenyut.  Julia tidak jadi membuka tasnya dan mengenai kata-kata kehilangan itu memaksa Julia angkat kaki dari hadapan Wowor yang kini ia pikir memang punya dua kepribadian dan tempat itu sudah ingin sekali ia tinggalkan. “Tunggu.” Wowor meraih tangan Julia. “Kita akan pergi sama-sama dari tempat ini.” Ujarnya kemudian. Julia tiba-tiba berubah pikiran yang tadinya ingin pergi jauh dari Wowor dan menemui AemeL di tempat kosnya. Ia akan mengikuti pria itu dan mencari tahu apa sebenarnya yang Wowor inginkan darinya dan AemeL. Ia tidak takut lagi apa yang dilakukan pria itu terhadap dirinya, akan ia lalui karena sudah terlanjur disekap. Jadi untuk mengetahui siapa Wowor sesungguhnya ia akan mengikuti apa yang akan pria itu lakukan.
     Menit berikutnya Julia dan Wowor sudah ada di dalam mobil yang disetir oleh Wowor. Julia tidak bertanya kemana Wowor akan membawanya. Saat keluar dari dalam rumah mewah sejenis vila itu Julia tidak mengeluarkan suara. Ia sekilas melirik ke belakang untuk sekedar tahu seperti apa tempat yang ia tempati beberapa hari ini. Tidak di daerah Puncak bukan juga tempat yang pernah ia lihat selama pernah ke Jakarta. Hanya beberapa menit mereka sudah melewati jalan raya, di samping kiri jalan terlihat nama sebuah komplek perumahan mewah. Julia sudah bisa menyimpulkan kalau tempat itu adalah sebuah komplek besar dengan halaman setiap rumahnya sangat luas bahkan semacam kebun. Sepertinya memang tempat orang-orang kaya menginfestasikan uang mereka.
     Julia masih diam, ia bersandar di jok samping Wowor dengan memeluk tasnya sedang Wowor sekali-kali meliriknya, lalu ia mengeluarkan suaranya.
     “Mengapa kamu tidak bertanya kemana kita akan pergi?” tanya Wowor.
     “Anda pasti lebih tahu apa yang terbaik buat saya, bukankah begitu?” sahut Julia membuat Wowor tak bisa meneruskan kata-katanya. Ia memang harus hati-hati pada gadis yang sudah merampas hatinya itu. Sejujurnya Wowor lebih menderita dari Julia. Tapi ia tidak ingin memperlihatkannya pada Julia. Wowor menghela napas panjang.
     “Aku sebenarnya ingin mempertemukan kamu dengan mami dan papiku.”
     “Terserah apa yang Anda inginkan dan lakukanlah.”
     “Aku serius.” Tambah Wowor sembari menyetir dengan santai. Ia tidak khawatir gadis itu akan keluar atau memaksa turun dari dalam mobilnya. Ia seakan tahu apa yang ada di dalam kepala Julia, gadis seperti Julia memiliki karakter pantang menyerah, tulus bahkan agak keras kepala. Dan paling benci jika diremehkan. Ia tidak peduli pada wanita atau pria yang melecehkannnya maka ia akan mengambil sikap dan itu sering diluar dugaan orang. Sekali lagi Wowor coba memahami pribadi Julia yang tidak akan silau dengan kebendaan. Ia bukan tipe perempuan yang rela dinikahi pria kaya yangusianya sudah mendekati kepala enam dan bukan juga perempuan yang rela dipoligami hmm. Pikiran Wowor sedang berkecamuk tak kalah dengan Julia yang penasaran dengan maksud Wowor.
     “Julia, sekali lagi aku ingin mengatakan kalau aku menyukai kamu sejak pertama bertemu di rumah sakit. Jika ada orang yang tidak percaya dengan cinta pada pandangan pertama, maka mereka salah. Bagaimana menurut kamu sendiri?” ia melirik ke wajah Julia sejenak namun gadis itu tidak mengeluarkan suara. Wowor tidak mengerti kalau ia sedang teringat dengan AemeL. Apa pun yang dikatakan Wowor sepertinya bukan masalah besar sebab siapa pun punya pendapat sendiri dengan cinta. Tidak peduli apakah ada yang mau menganggapnya nyata atau abstak. Tapi menurut Julia, cinta tetaplah cinta yang akan bertengger  pada posisinya sendiri. Cinta tidak egois, tidak menuntut, tidak kekanak-kanakan jika ada selain itu maka itu cinta buta.
     Mobil mewah itu berbelok ke kiri jalan memasuki kawasan Serpong lalu menuju perumahan elit yang tidak begitu jauh dari pusat perbelanjaan. Hari menjelang sore saat mobil berhenti di salah satu halaman rumah yang bercat coklat tua mendekati warna kayu.
     “Ini tempat tinggal kedua orang tuaku dan aku. Ayo kita turun karena aku ingin mengenalkan kamu dengan mereka.” Ujar Wowor. Julia hanya menghela napas sesaat dan matanya menatap sekilas ke rumah besar yang terlihat sepi. Jangankan penghuni rumah suara pengurus rumahpun tidak terdengar apalagi terlihat wujudnya. Apakah rumah itu sama seperti tempat Julia disekap atau benar rumah yang berpenghuni!?
     Wowor sudah turun dan kini ia membuka pintu untuk Julia. “Ayo... turun.” Ia meraih tangan Julia dengan lembut dan sopan. Julia tidak suka diperlakukan seperti sang putri hanya saja ia memang enggan untuk  turun. Tanpa paksaan akhirnya Julia melangkahkan kakinya dari dalam mobil dengan tas tidak lepas dari tangannya. Saat itu keluar seorang wanita paruh baya, cantik dan terlihat enegik. Ia melebarkan senyuman indah dan salam perkenalan kepada Julia.
     “Halo... selamat datang sayang...” ia menyongsong Julia  dan secara naluri Julia mengulurkan tangan pada wanita yang terkesan diktator. Sekilas saja Julia bisa merasa kalau wanita yang ada dihadapannya itu adalah wanita keras, disiplin dan agak berkelas juga sedikit egois yang mungkin mendekati nge-bos-i. Diluar pengetahuan Julia sesungguhnya wanita itu sedang menilai Julia yang tadinya ia berpikir akan dikenalkan oleh Wowor pada seorang gadis yang menenteng tas bermerek, berhak tinggi dengan bulu mata bak selebriti atau sejenisnya.  Namun kenyataannya Julia hanya memeluk tas gendong tipis, dengan mengenakan t-shirt bermerek  dengan pasangan celana jins berbahan lembut serta sandal kulit yang tipis.
     “Inilah Julia yang aku maksud Mi.” Kata Wowor setelah mencium punggung tangan maminya. Julia hanya melihat adegan itu sekilas lalu wanita itu berkata.
     “Ajaklah masuk sayang, tapi papi kamu belum pulang karena masih ada urusan tapi ia janji akan segera pulang untuk kalian.” Jelasnya sembari melirik ke Julia. Julia mulai tidak suka dengan suasana formal namun ia ikuti saja sejauh mana Wowor akan membawanya ke dalam kehidupan mereka.
     Wanita itu mengajak Julia masuk lewat pintu depan, tak sedikipun Julia merasa canggung. Ia tidak peduli apa tujuan mereka mengajaknya ke rumah itu, untuk pamer harta, ataukah untuk hal yang lain. Yang menjadi keinginan  Julia saat ini adalah mengetahui siapa Wowor sebenarnya? Apalagi dengan kejadian di rumah kosong itu, seolah ia punya tantangan sendiri untuk lebih tahu apa rencana Wowor selanjutnya. Menit berikutnya keluar asisten rumah tangga yang membawakan makanan kecil dan kopi kesukaan Julia juga dua gelas kopi yang sama dengan kepunyaan Julia. Apakah itu untuk menghargai tamu atau mereka memang juga penyuka kopi. Entahlah.
     “Mi, seperti yang sudah pernah aku ceritakan ke Mami kalau aku kenal dengan Julia waktu di rumah sakit, saat dia menemui sahabatnya.” Kata Wowor setelah asisten rumah kembali masuk.
     “Silahkan diminum sayang. Kata Wowor kamu suka minum kopi, Tante juga suka kopi tapi bukan kopi tertentu.” Katanya pada Julia setelah itu menatap anaknya. “Kamu sudah cerita semuanya tentang Julia sayang bahkan berkali-kali termasuk tentang di rumah kita yang satunya.” Ujar wanita itu dengan santainya namun membuat Julia sedikit kaget. Apakah kedua ibu dan anak ini tidak pernah punya rahasia? Masalahnya bukan itu yang ingin diketahui oleh Julia tapi apa motif Wowor menyekapnya? Dan apakah itu juga diketahui oleh maminya? Itu akan segera diketahui oleh Julia. Ia menyeruput kopinya dengan santai lalu melirik ke mami Wowor.
     “Terima kasih dan sepertinya saya sudah harus segera pergi sebab ada urusan yang belum selesai.” Kata Julia dengan serius dan masih dengan mimik santai namun pengakuan itu sempat membuat he-
ran maminya Wowor juga anaknya.
     “Emm.... sayang... ada apa ini?” ia melirik anaknya.
     “Em ya, Julia memang masih ada urusan Mi. Aku akan mengantarnya ke suatu tempat.” Wowor coba bersikap wajar.
     “Tidak, terima kasih untuk semuanya. Saya harus pergi sendiri.”  Potong Julia dengan cepat sambil beranjak dari tempat duduknya.
     “Tapi kamu belum bertemu dengan papinya Wowor sayang...” tambah wanita itu berusaha menahan kepergian Julia.
     “Em, maaf Tante... bertemu dengan Tante saja saya sudah bersyukur, apa pun yang terjadi hari ini pasti sudah direncankan oleh Tuhan dan selanjutnya hanya Dia yang tahu. Permisi..” Julia tidak menemukan apa-apa lagi yang bermakna dalam pembicaraan itu. “Dan satu hal..., apakah Tante tahu kalau saya telah dibawa dari apartemen teman saya dengan cara yang tidak wajar?”
     Wanita itu mengerutkan kedua alisnya dengan rasa kaget yang luar biasa saat ia melirik Wowor pria itu langsung berkata.
     “E, maaf untuk yang satu itu Mi.. aku belum sempat cerita.” Ujar Wowor merasa amat sangat bersalah. Julia melangkah tanpa bisa menahan diri lagi sedangkan Wowor menyusulnya. Wanita itu hanya bisa melihat kedua insan itu meninggalkan ruang tamu rumahnya. Di depan Wowor menahan tangan Julia.
     “Tolong dengarkan saya dulu.” Pintanya. Julia menatap pria itu.
     “Tolong lepaskan tangan saya, Anda sudah berhasil mengajak saya sampai sejauh ini dan sekarang saya ingin pergi sendiri dan jangan mengganggu saya, oke!.”
     “Julia.. aku lakukan semua ini semata-mata karena kamu.. karena aku sangat sayang sama kamu. Kamu pasti mau ke tempat AemeL’kan? Untuk apa kamu mencarinya, dia tidak pernah memikirkan kamu selama ini. Percayalah sama aku.”
     Julia menarik tangannya dari genggaman tangan Wowor. “Anda tidak tahu apa-apa, jadi jangan bicara hal yang tidak Anda tahu.”
     “Aku hanya ingin menyelamatkan kamu supaya kamu tidak kecewa, hanya itu.”
     “Hanya itu? Yakin hanya itu?!!” Julia akhirnya berbalik dan sebelumnya ia sempat mengamati sejenak sebuah rumah yang berdiri kokoh laksana istana sang koruptor. Apakah Wowor ingin
mempertontonkan padanya kalau mereka punya rumah semegah itu? Masa bodoh!
     “Julia, aku mohon biarkan aku mengantarmu kemanapun kamu mau pergi. Aku tidak bisa membiarkanmu pergi sendiri.”
     “Kenapa memangnya?”
     “Karena aku sayang sama kamu.”
     “Oke, kalau begitu biarkan saya pergi sendirian. Itu sudah cukup membuktikan kalau Anda peduli.”
     “Ya, ampun.” Wowor tidak bisa menahan Julia dan tidak berhasil mengantar gadis itu untuk pergi namun ia tidak tahu pasti apakah Julia akan ke tempat kos AemeL atau kembali ke Palembang? Hanya Julia yang tahu.
     Wowor kembali ke dalam di mana maminya masih menunggu di kursi mewahnya. Ia pikir Julia akan kembali masuk namun kenyataannya hanya Wowor yang muncul.
     “Mana gadis itu?” katanya tanpa ekspresi yang berarti. “Dia pergi? Apakah ia seperti gadis Sumatera yang lain?”
     “Tidak Mi, Julia itu berbeda.” Tegas Wowor.
     “Apa maksud gadis itu bilang ia dibawa paksa ke rumah kita yang satunya?” wanita itu ingin tahu apa yang telah dilakukan anaknya.
     “O, itu. Aku hanya ingin memberitahukan padanya kalau sahabatnya itu tidak sebaik yang ia kira Mi. Ingat tentang sahabatku yang mengkhianati aku beberapa tahun lalu?” ujar Wowor dan langsung membuat maminya paham.
~
 
     AemeL tidak memaksa Teguh untuk menggantikan biaya berobat yang telah dibayar Julia tetapi pria itu merasa harus melakukannya karena itu jenis tanggung jawabnya selepas ia yang menyebabkan kecelakaan itu.
     “Tidak sayang, aku lakukan itu bukan hanya lantaran Julia itu sahabat kamu tapi ini murni tanggung jawabku sebagai orang yang menyebabkan musibah itu. Aku mohon kamu mengerti dan kalau aku kasih ke kamu lalu Julia marah dan tidak mau menerimanya aku akan transfer ke rekeningnya Julia. Aku juga sudah menanyakan dari pihak rumah sakit berapa semua biaya yang telah dikeluarkan termasuk biaya apartemen. Kamu jangan khawatir, bagaimanapun caranya aku harus melunaskan semua itu.”
     “Yeah, terserah kamulah.” AemeL menyerah. Ia memang tahu nomor rekening Julia tapi yang membuatnya pusing  di mana gadis itu sekarang.
     Dan saat AemeL dan Teguh hendak keluar dari gang tempat kontrakkan AemeL, Julia muncul namun ia buru-buru menghindar. Wowor mungkin benar kalau selama ini AemeL tidak pernah memikirkannya apalagi mencarinya. Melihat kenyataan betapa bahagianya AemeL bersama Teguh membuat Julia merasakan rasa sesak di dalam dadanya mendadak ia merasa susah bernapas.
     ‘Jika kenyataannya seperti ini maka aku harus pulang ke Palembang sesegera mungkin.’ Julia coba menghela napas panjang lalu tanpa berpikir lagi mencari taksi untuk pergi ke suatu tempat. Beberapa saat kemudian ia sudah berada di dalam taksi menuju kawasan Tanah Abang, di sana ia punya beberapa tempat yang sudah ia kenal yaitu tempat menginap satu malam bila mana ia membeli barang dagangannnya namun tidak bisa pulang dalam hari itu juga, tidak jarang Julia lakukan bila sedang tidak bersama AemeL, murah juga aman. Terbayang lagi dipikirannya ke sosok AemeL dan Teguh, sekali lagi benar apa kata Wowor bahwa mereka sudah jadian dan bahagia. Bertemu dengan pria idamannya membuat AemeL melupakan sahabatnya sendiri. Mengingat itu memaksa Julia tersenyum getir. ‘Ya Tuhan, mengapa ini bisa terjadi? Apakah AemeL setega itu? Ah, apakah yang aku lihat itu sama seperti kenyataan atau hanya perasaanku saja? Tapi yang aku lihat mereka berdua memang sedang bahagia-bahagianya. Aku tidak akan mengganggu kamu lagi AemeL. Kita berjalan pada jalan kita masing-masing, mungkin akan lebih baik jika kita seperti kemarin-kemarin lagi. Aku memang masih asing di mata kamu. Selamat tinggal sahabat.’ Tanpa terasa air mata Julia mengalir lembut melewati pipinya yang putih bersih. Taksi masih berjalan menembus jalanan Jakarta yang ramai siang dan malam tiada bedanya. Setengah jam berikutnya taksi berhenti Julia keluar dan membawa dirinya ke tempat penginapan yang kebanyakan para pelanggan yang datang dari berbagai kota di tanah air, rata-rata mereka punya usaha jualan
atau membuka toko sendiri di daerahnya.
     Julia merebahkan tubuhnya diatas tempat tidur sederhana sejenak untuk menghilangkan penat lalu terpikir olehnya untuk mengaktifkan BB-nya. Sebentar saja muncul beberapa BBM juga SMS masuk kebanyakan dari AemeL. Diantaranya...
     ‘Julia, aku sudah tidak tahu lagi ke mana mencari kamu. Tolong hubungi aku.’ Ada debaran yang susah Julia artikan saat membaca BBM itu. Julia coba menenangkan hatinya sejenak, tak lama berikutnya ada pesan masuk dari salah satu bank swasta kalau ada seseorang telah menstranfer uang ke rekeningnya. Julia mengecek jumlah saldonya dan ternyata uang itu banyak sekali melebihi uang yang telah ia pakai untuk membayar semua biaya pengobatan AemeL di rumah sakit.
     ‘Hmm... AemeL telah mengisi rekeningku, apakah ia merasa telah berhutang padaku? Atau karena kami tidak jadi jalan-jalan ke Bali. Aduh AemeL... apa maksud semua ini.’
     Keesokan harinya Julia ke bank untuk mengecek siapa yang telah menstranfer uang sebanyak itu ke nomor rekeningnya. Apakah benar AemeL atau ada orang lain semisal Wowor atau Teguh? Dan ternyata si Teguh.
     AemeL yang sudah bangun saat mengecek BB-nya dan melihat kalau BBM-nya sudah dibaca oleh Julia langsung ia pencet nomor Julia. Saat itu Julia masih di bank. Tujuh detik Julia membiarkan teleponnya menyala kemudian mengangkatnya.
     “Julia..” teriak AemeL dengan nada tertahan. “Kamu di mana? Kamu sehat?”
     “Ya, ada apa?” jawab Julia dengan singkat tanpa ada gejolak yang berarti seperti tekanan nada suara AemeL yang masuk ke telinganya.
     “Ya, Allah. Julia apa yang terjadi dengan kamu? Kamu sudah di Palembang ya? Kamu kok tega banget sih? Pergi tanpa pamit.. mungkin benar yang dikatakan oleh Wowor kalau kamu memang sengaja meninggalkan aku.” AemeL tidak melanjutkan kata-katanya seakan minta Julia bicara namun Julia tidak bicara, ia mengedarkan pandangannya ke ruang tunggu di mana para nasabah menunggu nomor antrian. Lalu pikirannya ke sosok Wowor yang mungkin selama ini sering bertemu dengan AemeL. “Julia....?” lanjut AemeL.
     “Em, siapa yang mengisi saldo di rekeningku?” tanya Julia dengan pelan.
     “Aku sudah menjelaskan padanya tapi ia tetap ngotot untuk menggantikan semua biaya itu termasuk uang  sewa apartemen. Ia bilang sebagai tanggung jawabnya karena telah menyebabkan kecelakaan itu. Julia, kamu di mana? Aku ingin ketemu.” Tambah AemeL.
     “Aku, nantilah aku kabarin lagi. Sudah ya.. aku tutup dulu teleponnya.” Kata Julia tanpa
memberitahukan keberadaannya kepada AemeL.
     AemeL coba menghubungi Julia lagi namun gadis itu tidak menggubrisnya. Terpikir olahnya untuk menelepon ke Seema yang di Palembang namun urung karena khawatir mereka tambah bingung kalau AemeL mencari sahabatnya.
     Siang itu Julia belanja untuk mengisi tokonya di Palembang setelah sebelumnya menghubungi Seema dan mengabarkan kalau ia akan kembali ke Palembang siang nanti. Julia tidak menanyakan apapaun pada AemeL tentang Wowor ataupun Teguh, terpikir olehnya tentang Teguh yang menggantikan semua uang itu. Pria itu pastinya sudah menguras isi tabungannya. Julia tahu pasti berapa gaji seorang jurnalis yang bekerja di televisi kecuali ia punya pekerjaan sampingan. Meski ia sadar kalau memang sudah seharusnya Teguh mempertanggung jawabkan kejadian itu namun kini Julia jadi kasihan sama AemeL karena ia tahu tipe pria seperti apa idaman gadis itu. Ah, tapi sepertinya AemeL bahagia apalagi ia tahu Teguh juga mencintai AemeL.
~
 
     Siang itu, Wowor masih membahas tentang Julia bersama maminya sebab wanita itu masih meragukan Julia untuk menjadi pendamping anaknya. Namun Wowor berusaha meyakinkan  mamikalau Julia adalah wanita yang tepat untuknya.
     “Mi, kenapa sih masih membeda-bedakan suku dan ras dalam hidup ini?”
     “Bukan seperti itu Wor, buktinya mami sendiri menikah dengan papi kamu dari orang luar sono tapi ini kasusnya berbeda. Mami sudah lihat sendiri teman mami punya mantu dari luar pulau Jawa, terbukti mamtunya itu tidak bisa apa-apa, wataknya kasar kemauannya semaunya saja.”
     “Mami jangan menyamaratakan sifat orang seperti itu.”
     “Tapi umum nya seperti itu. Oke, begini saja... kamu bilang saja ke Julia kalau kamu akan menikahinya tapi kalau ia tidak ingin menikah dalam beberapa bulan ini berarti ia tidak serius dengan kamu.” Tantang wanita itu meski sejujurnya ia menyukai penampilan Julia meski apa adanya namun terlihat cerdas serta punya ketulusan. Wowor pun mengiyakan kata-kata maminya.
     Langkah pertama yang harus ia lakukan adalah menghubungi Julia, meski tidak gampang namun ia coba berkali-kali menekan nomor kontak Julia dan sayangnya tidak sekalipun Julia angkat. Langkah selanjutnya ialah mendatangi tempat AemeL. Kembali Wowor kecewa karena AeemeL juga tidak mengetahui keberadaan gadis impian Wowor tersebut. AemeL sejujurnya kaget saat Wowor mencari keberadaan Julia.
     “Sejujurnya aku tidak tahu keberadaan Julia.” Katanya dengan nada serius. “Sudah lama aku mencarinya dan kamu tahu itu’kan? Bahkan selama ini aku selalu bertanya sama  kamu tentang Julia selalu kamu jawab ‘untuk apa? Ngapain mencari dia? Ia tidak akan pernah memikirkanmu, ia mungkin sudah pulang ke kampungnya tanpa pamit sama kamu.’ Dan anehnya aku selalu percaya kata-kata kamu itu. Tapi sekarang untuk apa kamu mencarinya?” AemeL mulai curiga sama dokter kalem itu walaupun sesungguhnya keyakinannya datang dari kondisi persahabatan mereka yang memang dari beberapa bulan yang lalu kurang harmonis dengan Julia.
     Wowor menatap sendu pada AemeL seolah tidak bisa menyembunyikan kerinduannya pada Julia. “Ae, kamu tahu sendiri’kan kalau aku sangat mencintai dan menyayangi Julia. Aku ingin membuat pengakuan sama kamu..” ujar Wowor dengan sungguh-sungguh dan membuat AemeL berdebar menunggu pengakuannya karena kemarin-kemarin ia seakan tidak peduli pada Julia dan mengapa sekarang ia ketakutan kehilangan Julia. “Selama ini aku membawa Julia ke rumah mmm... bisa disebut vila kami tanpa sepengetahuan kamu, Julia dan juga kedua orang tuaku.”
     “Kamu.....!?” sergah AemeL dengan cepat, bukan debaran lagi tapi kemarahan yang memuncak.
     “Dengar dulu Ae, aku belum selesai.” Kata Wowor coba meredam emosi AemeL walau ia sadar kesalahannya sangat besar. “Aku lakukan semua itu karena aku sangat menyayangi Julia, aku tidak ingin ia disakiti.”
     “Disakiti sama siapa?” AemeL semakin tidak sabar. Kali ini Wowor agak kesulitan untuk menjelaskannya.
     “Em.. aku hanya khawatir kalau ada orang yang tidak tulus menyayanginya.”
     “Maksud kamu apa? Aku tidak mengerti.”
     Wowor menghela napas panjang lalu dengan hati-hati ia mulai menjelaskan apa yang ia maksud. “Aku mungkin sangat menyayangi Julia sehingga melupakan kalau kamu juga menyayanginya. Dulu.. aku pernah disakiti dan dikhianati oleh sahabatku sendiri. Maafkan aku Ae. Kemarin sore aku mengajak Julia ke rumah dan bertemu dengan mamiku, aku ingin menikahinya tapi sekarang aku
tidak tahu di mana keberadaaannya. Ia tidak angkat telepon dariku sejak pergi dari rumah.”
     “Aku belum paham dengan kata-katamu yang mengajak Julia ke vila tanpa pengetahuan Julia, apa maksudnya kamu telah menculik Julia?” AemeL masih penasaran.
     “Begini Ae, sebenarnya aku hanya ingin mengetes kamu.” Kata Wowor Jujur.
     “Maksud kamu?”
     “Begini, aku hanya ingin tahu sejauh mana kamu mengkhawatirkannya... dan aku pura-pura tidak tahu di mana Julia saat kamu datang padaku untuk bertanya tentang keberadaan Julia dan yang aku lihat kamu sebenarnya biasa-biasa saja. Jadi kupikir kamu tidak menyayangi Julia seperti Julia menyayangi kamu.”
     “Hehm... kamu itu tahu apa sih tentang kedekatanku dengan Julia.” Sindir AemeL merasa tidak suka cara Wowor memperlakukan Julia. “Sudahlah... sebaiknya kamu cari tahu sendiri keberadaannya dan aku sungguh tidak tahu di mana dia.”
     “Aku minta alamatnya yang di Palembang.” Lanjut Wowor.
     “Apa.......? O, jangan dulu sebelum aku tahu perkembangan selanjutnya.” Tegas AemeL tidak ingin terjadi hal yang tidak diinginkan terhadap Julia. Kali ini AemeL melihat Wowor lebih khawatir dari dirinya mengenai Julia. Semoga pria itu tidak bersandirawa. Pikirnya. Seandainya Wowor punya motif lain maka AemeL tidak akan pernah memaafkannya. ‘ya Tuhan apa yang harus aku lakukan?’
     Sepeninggalan Wowor,  AemeL mengirim pesan kepada Julia. Entah gadis itu mau membaca atau tidak yang penting ia harus mengabarkan.
     Julia, kamu tahu..? aku ingin sekali bicara sama kamu. Tolong jangan seperti ini.”
Pesan itu terkirim dan telah dibaca oleh Julia namun beberapa lama AemeL menunggu tidak ada respon, untuk menulis pesan rasanya terlalu lama membuang waktu meski demikian tetap saja tidak tuntas apa yang akan dibicarakan. Tujuh belas menit berikutnya balasan pesan itu masuk.
     Nanti aku telepon, jangan sekarang.”
     AemeL hanya bisa menghela napas panjang karena ia tidak bisa berbuat apa-apa kalau Julia sudah bilang seperti itu.
**
Julia Gadis Sumatera
     Apa kita bisa memilih untuk lahir di mana? Baik Julia atau gadis manapun tidak bisa meminta kepada ibu dan bapaknya untuk lahir sebagai anak Jawa, Kalimantan, Papua bahkan di negara Eropa sana. Karena kita sudah dipilih oleh Tuhan lahir sebagai anak siapa dan tinggal di suku mana, semua sudah jadi ketentuan yang maha Kuasa. Bukan tanpa sebab Julia memutuskan untuk pergi karena ia bisa melihat kalau mami Wowor memandangnya berbeda apalagi setelah menerima pesan dari Wowor yang tanpa sengaja mengatakan maminya memang agak lain menilai gadis Sumatera. Dan dengan jelas Julia bisa memastikan bagaimana orang diluar sana menilai gadis Sumatera. Julia di Palembang juga punya banyak kenalan yang bisa dibilang dekat dengan orang-orang dari berbagai suku yang ada di nusantara ini. Bagaimana detilnya Julia menjelaskan kalau gadis Sumatera itu punya cara sendiri dan prinsip hidup yang tidak akan pernah mereka mengerti sebagaimana mungkin juga tidak bisa dimengerti suku ibunya jika Julia menjelaskan cara hidup atau pandangan hidup orang luar pulau Sumatera tetap saja ibu Julia sulit memahaminya.
     Puluhan tahun silam para pemuda dan pemudi nusantara telah membuat sumpah yang dinamakan Sumpah Pemuda tanggal 28 oktober 1928 yang berbunyi,

1.      Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.
2.      Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
3.      Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Jadi apa yang tertera diatas tidak ada sedikitpun harus diragukan kalau kita anak nusantara boleh dibeda-bedakan baik suku, bahasa juga yang lainnya. Untuk apa mempermasalahkan dia suku Batak, Betawi, Bugis, Rejang, Minang atau apapun itu yang penting dia orang Indonesia. Bukan itu saja, di zaman sekarang bahkan dari zaman moyang Julia sudah ada yang menikah dengan orang Belanda, Jepang bahkan Arab. Intinya Tuhan menciptakan manusia itu sama jadi mengapa dipermasalahkan. Perkara orangnya kasar atau apalah itu tidak bisa disebut karena ia berasal dari suku tertentu, sifat seseorang tidak bisa dikategorikan persuku tapi itu sudah jadi sifat individunya masing-masing.  
     Julia adalah Julia yang sudah dipilih oleh Tuhan lahir sebagai anak Sumatera, punya usaha, punya hati, punya keluarga yang sangat mencintainya dan teman-teman yang baik. Akan sakit hati jika ada yang mengatakan kalau gadis Sumatera itu kasar, keras kepala sok kuasa atau sok dalam segala hal. Anak-anak Sumatera yang sudah merantau atau menyeberang laut datang ke Jakarta atau ke kota manapun yang ada di tanah air ini punya kemauan keras untuk maju sehingga mereka tidak takut mati, mempertahankan harga diri dan menjunjung tinggi nama baik tanah kelahirannya di kampung. Bukan itu saja, sekali bilang ‘ya’ tetap ‘ya’ begitupun sebaliknya. Jadi apa masalahnya? Apakah itu salah? Julia tidak pernah menyesal terlahir sebagai gadis Sumatera meski ada yang mengatakan orang Sumatera itu begini dan begitu.
     Setelah menyelesaikan semua urusan toko dan dibantu teman-teman, Julia kini sedang berdiam dia tempat kosnya. Sudah saatnya ia menghubungi AemeL meski lelah pulang dari Jakarta membawa barang untuk isi toko.
     Sesaat saja telepon terhubung. “Halo..”
     “Julia, ceritakan tentang semua, aku kangen sekali dan ingin tahu di mana kamu sekarang?”
     “Ya.” Suara Julia santai sesantai ia bersandar di tempat tidurnya meski hatinya dipenuhi rasa tidak tenang dengan berbagai kejadian selama ini. “Aku sekarang di Palembang dan baik-baik saja. Aku harap kamu juga begitu dan satu hal yang ingin aku katakan padamu, semoga kamu sama Teguh bahagia.” Ujar Julia dan membuat jantung AemeL agak berdegup kencang lalu terhenti. Belum sempat AemeL membantah Julia sudah melanjutkan ucapannya. “Satu lagi, semoga kamu tidak bertemu dengan Wowor.”
     “Bagaimana mungkin, ada apa dengan kamu dan Wowor? Kemarin Wowor datang ke tempatku.” Jelas AemeL dan tentu saja Julia tidak kaget.
     “Dia tidak mendesak kamu? Baiklah, akan aku ceritakan sedikit.” Ujar Julia karena tidak ingin menyusahkan AemeL dengan sikap Wowor yang belum ia pahami. Julia tak mau peduli apakah yang pernah dikatakan Wowor tentang diri AemeL benar atau tidak. Beberapa saat setelah mendengar cerita Julia memaksa AemeL menghela napas panjang.
     “Kenapa sih Jul, kamu harus percaya sama orang lain? Bukannya dari dulu kita sudah berjanji apapun yang pernah terjadi diluar sana atau dalam individu kita masing-masing tidak perlau bertanya sama orang lain. Sejujurnya aku kecewa dengan kamu yang pulang tanpa memberitahu aku. Kamu tersinggung dengan sikapku selama ini? Dulu kita juga pernah membahas masalah itu, kalau persahabatan kita tidak boleh yang namanya punya rasa seperati itu. Tapi kamu...?”
     “Ae, mengapa kamu memojokkan aku? Kamu tidak tahu kalau aku...?”
     “Aku tahu bagaimana perasaan kamu saat Wowor menyekapmu tapi kamu tidak boleh pulang begitu saja setelah melihat aku dengan Teguh, kalau kamu tidak tanya langsung kamu tidak akan tahu apa yang kami lakukan, aku mencari kamu seperti orang gila Julia.” Suara AemeL mulai serak. “Tidak perlu aku meragukan perasaan sayang kamu ke aku’kan?” saat AemeL mulai mempertanyakan rasa peduli dan sayangnya pada sahabatnya itu membuat Julia kesal dan melempar BB-nya ke atas kasur dan membiarkan gadis itu menjerit memanggilnya.
     AemeL yang menyadari kata-katanya hanya mampu menatap layar BB-nya. Kalau sudah begitu ia tahu apa yang sedang Julia lakukan akhirnya ia memutuskan sambungan telepon ke nomor Julia. Ia menghela napas berat lalu mengambil buku yang dibeli Julia dan menulis
menggunakan bollpoint tinta emasnya.
     ‘Tinta emas, maafkan aku. Julia mungkin tidak tahu kalau aku sangat menyayanginya. Kadang aku sadar kalau ia juga teramat menyayangi aku dengan kecemasannya, dengan rasa kangennya yang suka berbarengan denganku dan juga dengan perhatiannya yang suka berlebihan namun entah mengapa aku seringkali merasa ia tak peduli denganku. Maafkan aku Julia... apa pun yang terjadi di dunia ini sering membuat aku tak bisa melupakanmu dan seperti sekarang ini kamu tidak tahu kalau aku ingin sekali ada kamu di sini, bersamaku.’
     AemeL mengakhiri tulisan di buku indah itu, banyak sekali suka duka yang telah ia jalani bersama Julia selama ini. Sejenak AemeL mengukir senyum manis kala ingat kebersamaannya saat di daerah Bogor dan Jakarta kala ia mengantar AemeL belanja atau sekedar jalan-jalan. Makan es krim bersama, duduk berjam-jam di tempat makan membicarakan isi dunia ini tak ketinggalan tentang teman-teman sekolah dulu. Tak sedikit teman pria yang menyukainya dan banyak juga yang mengatakan langsung kepada AemeL agar mereka dicomblangi kepada Julia. Hmmm... AemeL tidak akan rela jika ada salah satu temannya yang coba menyakiti Julia apalagi dengan sengaja melakukannya. Dan sekarang Wowor mendekati Julia, apakah ia tulus mencintai Julia atau sekedar observasi? AemeL ingin sekali mengetahuinya. Sikap pria itu saat AemeL amnesia dengan sekarang ini agak berbeda. Apalagi setelah Julia menjelaskan kalau ibunya Wowor agak-agak ‘alergi’ dengan gadis Sumatera. Pasti ada sebab mengapa ia seperti itu. Julia adalah gadis yang pantang menyerah, pantang diremehkan. Apa jadinya kalau gadis itu masuk ke dalam keluarga Wowor. Pikir AemeL.
     Julia kembali mengambil BB-nya yang dari tadi tergeletak di atas tempat tidur dan pastinya sudah tidak tersambung lagi dengan AemeL. Tidak ada BBM masuk dari AemeL sudah Julia duga karena mereka sebenarnya sudah mengenali karakter masing-masing meski masih saja suka salam paham.
     “Julia, aku akan mencarimu ke Palembang meski AemeL tidak mau memberitahukan alamat kamu.” Pesan itu membuat Julia agak marah karena lebih terdengar mengancam daripada memberitahu. Julia berusaha tidak menghiraukan BBM dari Wowor yang hanya membuatnya naik darah saja.  Dan dengan perasaan pasti akhirnya Julia memutuskan untuk kembali ke Jakarta guna menyelesaikan permasalahannya dengan Wowor. Seolah bisa membaca apa yang akan dilakukan Wowor karena ia tidak ingin ada keributan di tempat kosnya ataupun di Palembang. Intinya ia tidak ingin mempermalukan pria itu.
~
     Julia mengabarkan pada AemeL jika ia kembali ke Jakarta namun ia tidak mengatakan pada AemeL kalau ia akan bertemu dengan Wowor terlebih dahulu. Di rumah sakit Julia menemui Wowor dan tentu saja pria itu merasa teramat bahagia. Artinya Julia akan menerima cintanya dan ia akan segera menikah seperti janjinya pada maminya.
     Di tempat makan siang. “Aku senang sekali kamu bisa ke sini. Habis dari sini kita langsung ke rumahku ya.” Ujar Wowor dijawab Julia hanya dengan tatapan penuh tanya. “Julia, bicaralah.. apa kamu benar dari Palembang atau sengaja bersembunyi di tempat kos AemeL?” setidaknya Wowor merasa bahagia karena Julia menemuinya sebelum ketemu AemeL, itu artinya Julia lebih mementingkan dirinya daripada sahabatnya. Apakah Julia lebih kangen dengan Wowor dibanding AemeL?
     “Kamu tidak kenal aku juga AemeL, jadi janganlah menuduh yang  bukan-bukan. Kedatanganku ke sini hanya ingin menyelesaikan urusan kita.” Sahut Julia coba mencari keseriusan Wowor, ia lebih suka pria itu menyayanginya daripada mencintainya.
     “Maafkan aku Julia.. aku peduli sekali sama kamu. Aku bisa melakukan apa saja untuk kamu.”
     ‘Hmm.... signal tidak baik.’ Pikir Julia. Jika ada seorang pria berkata semacam itu pertanda bahaya karena bukan tidak mungkin ia menyakiti orang lain demi mendapatkan orang yang diinginkannya. Tak peduli apakah itu ibunya sendiri atau orang-orang terdekat si wanita. Bahkan ia bisa membunuh orang yang diinginkannya dengan kata lain, jika ia tidak bisa memiliki maka orang lainpun tidak. Menyeramkan! Julia menghela napas panjang. Apakah pria yang ada dihadapannya sekarang ini punya cinta atau obsesi? Dua hal yang sangat berbeda.
     “Apa yang kamu inginkan dariku?” suara Julia lembut namun penuh keberanian.
     “Kamu pikir aku bisa menjelaskannya?” hela Wowor dengan nada putus asa. “Aku ingin dekat dengan kamu Jul, selalu. Apakah itu karena perasaan cinta atau yang lainnya? Aku tidak tahu. Ada rasa sakit di sini kalau jauh dari kamu.” Tambah wowor menunjuk dada kirinya.
     “Jika aku jauh dari kamu tapi aku bahagia, apakah kamu masih merasa sakit?” entah mengapa Julia tidak lagi menyebut Wowor dengan ‘anda’ dan itu tidak disadari oleh Wowor.
     “Pertanyaan yang sangat sulit dijawab. Apa yang harus aku katakan andai bersamaku tapi kamu tidak bahagia... tolong jelaskan padaku apa yang mesti aku lakukan?” julia tidak menjawab pertanyaan balik dari Wowor selain meneruskan menikmati makanannya yang sempat tertunda. Sedang wowor hanya menatap gadis itu. Dan terkadang terlihat cuek, penuh perhatian, bicara penuh wibawa juga bermutu tinggi isi obrolannya. Bagaimana ia tidak sakit hati jika jauh dari gadis seperti Julia. Jarang bahkan ia tidak pernah bertemu dengan gadis se-tipe dengan Julia. Ah, wowor belum bertemu saja dengan yang lain.
     “Apa rencana kamu selanjutknya?” tanya Julia diluar dugaan wowor. Kedua insan itu saling tatap.
     “Jika aku ingin menikah dengan kamu apakah itu berlebihan?”
     “Atas dasar apa ingin menikahiku?” Julia tidak bermaksud pria itu menganggapnya jual mahal karena dia bukan barang dagangan yang ada di tokonya bukannya juga bermaksud meremehkan Wowor. Sebelum Wowor menjawab Julia tersenyum simpul. Sejujurnya tidak ada bahkan belum ada wanita yang berani bicara seperti cara bicara Julia yang Wowor temui. Lagi-lagi gadis itu memperlihatkan mutunya dihadapan Wowor.
     “Kamu semakin membuatku penasaran Julia. Satu pertanyaanku padamu, apa kamu mau menikah denganku?” tanya Wowor penuh harap karena ia tidak tahu apa yang akan dijawab oleh Julia. Sejenak Julia mengamati kondisi tempat makan mewah itu dan cukup ramai dengan macam-macam bentuk dan corak manusia. Ia tidak menyangka kalau Wowor akan melamarnya di tempat itu. Kembali ia menatap Wowor. Ia tidak akan mengatakan mau jika maksudnya hanya untuk coba-coba karena sebenarnya ia pun masih meragukan perasaannya pada Wowor.
     “Tidak.” Jawab Julia akhirnya dengan nada pelan seakan tidak ingin menyakiti perasaan Wowor. Jawaban itu membuat Wowor tersenyum getir dan sudah ia duga sebenarnya meski tidak pasti sebab ia juga tidak yakin sepenuhnya kalau Julia akan menolak lamarannya. Jawaban itu tanpa tedeng aling-aling dengan kata lain ‘beri aku waktu untuk berpikir atau sejenisnya.’ Itu jawaban yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Julia sengaja menatap Wowor untuk menunggu reaksinya. Ia berharap urusannya dengan Wowor selesai sampai di situ. “Apa pun yang telah terjadi selama ini, aku anggap selesai Wor.” Ia tidak ingin mengupas lagi tentang penyekapan itu atau yang lainnya.
     “Kesalahanku mungkin terlalu fatal ya? Tapi aku tidak ingin hubungan kita berakhir Julia. Satu hal yang ingin aku beritahu ke kamu lagi.. tolong buktikan pada mamiku kalau gadis Sumatera ataupun orang Sumatera itu tidak seperti yang ada dipikrannya.”
     “Maksud kamu?” Julia belum mengerti ke mana arah kata-kata itu.
     “Menikahlah denganku.” Wowor meminta dengan sopan.
     O o, apakah tidak ada cara lain? Kalau Julia menolak apakah tidak ada orang lain yang bisa membuktikan itu? Gejolak dalam diri Julia mulai berkecamuk antara harga diri, nama baik orang Sumatera dan pertaruhan dirinya dengan mami Wowor. Julia pikir bertemu dengan Wowor akan menyelesaikan masalahnya dan sepertinya baru saja dimulai.
**
 
AemeL Baes dan Julia Aurora
     AemeL Baes tentu saja merasa dinomor duakan setelah mengetahui Julia  memilih bertemu dengan Wowor, itu tidak biasanya. Rasa kangen AemeL pada Julia dibumbui kekecewaan yang dalam.
     “Jangan seperti anak kecil.” Ujar Julia saat mereka berpelukan di tempat kos AemeL. Meski tak menjawab AemeL belum bisa menerima kenyataan itu. Apapun alasannya ia ingin Julia menemuinya terlebih dahulu lalu mereka akan bertemu dengan Wowor berdua. Julia sudah menjelaskan mengapa ia memutuskan untuk bertemu dengan Wowor dulu.
     “Tetap saja pria itu besar kepala.”
     “Sudahlah, aku mina maaf sekarang beri aku mimun.. aku kangen dengan kopi buatanmu.” Julia coba menenangkan AemeL.
     AemeL tersenyum dan entah mengapa ia merasa ada kecemburuan teman di dalam persahabatan itu. Dari dulu AemeL memang selalu mendapat kabar paling pertama apapun dari Julia. Ia di mana, sama siapa, dan mau pergi ke mana. Dan aneh rasanya jika Julia mengabaikan hal itu.
     “Kita ke Bali....!” seru AemeL saat membawakan dua gelas kopi untuk mereka.
     “Tidak. Aku hanya ingin menikmati tempat yang dekat, nyaman dan sejuk.” Sekilas ia menyimak kaki AemeL yang belum sembuh total tapi AemeL mengabaikannya walau terkadang masih suka terasa ngilu kalau lelah.
     “Ke danau. Tempatnya tidak begitu jauh.” Sahut AemeL merasa Julia punya alasan sendiri untuk tidak pergi jauh karena Julia adalah penyuka traveling.
     Lima belas menit berikutnya kedua gadis itu sudah ada di tepi danau yang tenang di daerah Cinere, Julia yang mengendarai motor AemeL memutuskan untuk cerita tentang Wowor di tempat itu. Di bawah pondok yang teduh mereka hanya ditemani minuman es kelapa muda.
     “Apakah Wowor menjelaskan mengapa ia mengurung kamu di rumah kosongnya?” tanya AemeL tidak sabar.
     “Tidak begitu jelas apa alasannya.” Julia menyeruput es kelapanya.
     “Ia bilang sama aku kejadian itu lantaran ia tidak ingin kamu kecewa. Khususnya terhadapku. Aku tidak begitu paham apa maksudnya.” Kata AemeL. Julia melirik ke AemeL.
     “Wowor berkali-kali mengatakan kalau kamu tidak pernah peduli sama aku, apakah aku hilang, mati atau apalah namanya, saat aku ingin pergi dari rumahnya pertama yang ia katakan tidak usah menghubungi kamu karena kamu sedang berbahagia dengan Teguh. Dan keyakinanku yang tak tergoyahkan hancur saat melihat kamu keluar berdua dengan Teguh dari tempat kos kamu dan pikiranku mengatakan kalau aku memang tetap asing di matamu. Malam itu aku ingin ke tempatmu dan mengatakan kalau aku baik-baik saja agar kamu tidak khawatir tapi ternyata aku salah. Malam itu juga aku ke Tanah Abang mencari penginapan dan paginya belanja setelah itu pulang ke Palembang karena sudah cukup membuat Seema khawatir selama ini.”
     “Julia, Julia...” hela AemeL dengan napas sesak. Ia melemparkan pandangannya ke arah danau yang tenang. Di jam kerja suasana danau menjadi lengang seakan membuat napas AemeL tambah sunyi meski ada sahabaat yang paling ia sayangi disampingnya. Julia mungkin tidak akan percaya kalau ia telah mencarinya seperti orang gila.
     “Aku datang ke Jakarta berharap urusanku dengan Wowor selesai nyatanya tidak. Ia malah menantangku agar menikah dengannya.” Tambah Julia menghilangkan keheningan yang panjang diantara mereka. Kali ini AemeL menatapnya dengan seksama.
     “Menantang bagaimana, maksudnya?”
     “Ibunya mengatakan kalau gadis Sumatera itu beda, beda dalam arti yang tidak baik dan punya sifat yang tidak umum. Seperti kasar dan keras kepala.”
     “Oh, jadi? Maksudnya kamu merasa tertantang? Untuk apa? Untuk membuktikan pada dunia kalau gadis Sumatera tidak seperti itu? Ngapain?” kata AemeL merasa mulai kesal mendengar hal itu. Ia tidak menyangka keluarga Wowor seperti itu khususnya ibunya. “Tapi Wowornya tidak seperti itu’kan?”
     “Kamu pikir kalau Wowor tidak seperti itu, aku bisa tenang?”
     “Ya aku tahu.” Jawab AemeL dengan cepat. “Emm... ngomong-ngomong mengapa kita harus jatuh cinta dengan orang di luar pulau Sumatera ya?” tambahnya seolah untuk dirinya sendiri.
     “Kita? Lo aja kali....” canda Julia dengan gaya anak Jakarta membuat AemeL senewen.
     “Itukan karena kita hidup di pulau ini.”
     “Kamu saja yang hidup di pulau ini, aku sih masih di Palembang dan hanya sekali-kali saja datang itupun untuk membeli barang daganganku.”
     “Huuuu...” AemeL memukul bahu Julia dengan lembut. Dengan begitu Julia tahu manja anak itu mulai keluar. Entah mengapa ia suka menggoda AemeL dan jika AemeL mulai marah ia baru bicara serius.
     “Kenapa kamu kasih nomor rekeningku dengan Teguh?” mata Julia menatap ke danau yang mungkin tidak akan pernah tahu dari mana saja orang datang untuk melihat keindahannya.
      “Kamu pikir aku punya pilihan?”
     “Kamu mencintainya?”
     “Kau tahu pria seperti apa yang aku idamkan, apalagi orangnya serius.”
     “Sepertinya kamu tidak punya pilihan lagi.” Goda Julia lalu menoleh ke arah kaki AemeL. “Sepertinya sudah membaik.” Diikuti oleh mata AemeL lalu ia mengangkat sedikit kakinya. “  
     “Sejujurnya masih sering sakit.” Jawab AemeL. Pikiran Julia langsung melayang pada peristiwa di mana AemeL terbaring di rumah sakit dan tidak sadarkan diri, setelah sadar tahu-tahunya tidak ingat dengan dirinya. Julia merasa sedih. “Kamu kenapa sih, kok diam?”
     “Apa kamu masih menganggap aku asing di matamu Ae?” tanya Julia diluar dugaan AemeL membuat AemeL mengalihkan pandangannya ke danau. Sekali-kali ia menghela napas berat. Karena setiap kali ingat itu dadanya terasa sakit. Ia tidak membenci Julia dan mana mungkin ia mampu membenci karena setiap kali rasa benci itu muncul puluhan kali rasa kangennya menyeruak dan Julia tidak pernah tahu itu.
      “Sejujurnya aku sangat sedih dengan esemes kamu yang terakhir dengan alasan tidak ingin mengecewakanku dan memutuskan untuk pergi.” Kata AemeL dengan pandangan masih ke hamparan danau.
     “Apa kamu pikir aku punya pilihan waktu itu?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar