Arjuna masa kini
Adakah wanita yang
menolaknya? Dua orang pria sedang berbincang di sebuah kafe terbuka, zaman sekarang
melihat dua orang pria tampan dengan pekerjaan mapan sedang makan berdua dengan
pria juga akan mengundang tanya pada setiap orang, apakah mereka pasangan
kekasih? Oh, dunia ini memang cepat sekali menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang
menjurus ke hal negatif. Bukan tanpa alasan karena dunia ini memang sudah rusak
semua isinya dalam segala bidang dan setiap hubungan. Orang tua ada yang
merusak putrinya sendiri, saudara sekandung ada yang membunuh saudaranya
sendiri, para pejabat saling sikut di kursi kekuasaannya yang hanya sementara
itu. Tidak tahu lagi dimana mencari sebuah hubungan suci di dunia ini seakan
semuanya telah dinodai oleh nafsu orang yang kurang beriman.
“Kamu tidak merasa
kehilangan dengan hilangnya Julia?” tanya pria yang berkemeja abu-abu, dia
adalah Teguh sang reporter ternama di sebuah stasiun televisi swasta. Ia
menatap pria yang ada dihadapannya yang sedang menikmati minuman ringannya. Dia
bernama dr. Wowor Vandeep.
“Mengapa aku yang
harus merasa kehilangan? dia adalah wanita yang baru aku kenal namanya dalam sebulan
belakangan. Diantara kami juga tidak ada hubungan apa-apa yang terjalin.”
Jawabnya dengan enteng. Teguh mengamati wajah pria itu sejenak lalu mengalihkan
pandangannya ke arah lain sambil berkata.
“Aku juga baru
mengenali AemeL tidak lebih dari sebulan, seandainya dia yang menghilang maka
aku akan mencarinya tak peduli ke ujung dunia sekalipun.”
“Berarti kamu
mencintai wanita itu melebihi apa pun di dunia ini, kasihan sekali. Apakah jika
kamu hilang ia akan peduli? Aku rasa tidak!” nada Wowor sinis bahkan mengandung
ejekan untuk Teguh. “Apa karena kamu telah mengakibatnya cacat sehingga
menimbulkan rasa kasihan? Cinta dan rasa kasihan itu dua hal yang berbeda,
Bung.” Tambahnya.
Teguh tertawa halus
dan menyadari kalau Wowor sedang mengejeknya. “Andai saja Anda mengerti dan
memahami misteri sebuah hati.” Ujar Teguh seakan berkata sendiri. Ia lalu
meneguk habis minumannya memaksa Wowor mengamatinya dan pria itu terdiam.
‘Tidak ada yang lebih
mengerti dengan misteri hati selain aku, cinta akan membuat Anda gila.’ Guman
Wowor dalam hati. ‘… dan Anda tidak tahu betapa besar perasaanku pada Julia.’
“Apa Anda yakin kalau
Julia benar-benar hilang?” kata Wowor kemudian. “Anda tidak akan pernah tahu,
siapa tahu ia kembali ke kampung halamannya.” Mereka bicara dengan sebutan Anda
dan terkadang kamu. “Zaman sekarang banyak hal yang dilakukan orang yang tidak
masuk akal. Hubungan Julia dengan AemeL itu tidak harmonis.”
“Apa maksud Anda tidak harmonis?” tanya Teguh
dengan nada sangat penasaran.
“Lupakan.” Jawab
Wowor yang sama persis seperti jawaban AemeL saat itu.
“Apa Anda mencintai
Julia?” pertanyaan yang menjurus menuduh.
“Saya tidak seperti
Anda bisa jatuh cinta pada wanita yang baru dikenal. Maaf, sepertinya saya
harus kembali ke kantor.” Kata Wowor yang bermaksud ingin kembali ke rumah
sakit. Bukannya ia tidak menghargai Teguh dan sok jadi orang penting tapi ia
tidak suka pria itu membicarakan tentang Julia.
Setelah Wowor pergi
Teguh menghubungi AemeL karena gadis itu telah memberikan nomon pin BB
sekaligus nomor teleponnya.
AemeL yang sedang
mengetik di kamar kosnya melirik nomor masuk di LCD BB-nya, setelah beberapa
detik baru ia angkat. “Ya, halo?”
“Halo Ae, ini Teguh.
Aku jemput pukul tujuh malam ini ya?” kata Teguh mencoba bicara apa adanya, ia
tidak mau terkesan mengemis meski ia sangat ingin melakukannya. AemeL tidak
bisa langsung menjawab, entah apa yang harus ia jawab padahal ia tahu kalau
Teguh akan meneleponnya. Seharusnya ia sudah menyediakan beberapa jawaban baik
itu menghindar ataupun mengiyakan. AemeL melirik jam weker di meja kecilnya dan
masih pukul empat sore.
“Maaf Guh, aku
sepertinya tidak bisa. Sekali lagi maaf.” Sahut AemeL tidak bermaksud
mengecewakan pria itu namun tetap saja Teguh kecewa,
itu terdengar dari nada jawabannya.
“Oh, tidak apa-apa.
Baiklah…. Selamat berkatifitas ya.” Hela Teguh dengan nada lemah. “Dan, jaga
kesehatan. Selamat sore.” Ia mengakhiri telepon.
AemeL menghela napas
panjang hingga dua kali, ia melirik layar laptopnya dimana lembaran words-nya sedang menunggu. Ia memang
sedang asyik menulis tapi sekarang tidak berminat lagi. Telepon dari Teguh
telah membuyarkan semua isi cerita di dalam otaknya. AemeL merasa tidak pantas
pergi dengan Teguh sementara ia tidak tahu di mana keberadaan Julia sahabatnya,
apakah gadis itu baik-baik saja atau nyawanya sedang terancam?! Hanya Tuhan
yang tahu namun setiap saat AemeL selalu berdoa untuk keselamatan Julia meski
setiap ia coba menghubungi nomornya tetap tidak aktif.
Selepas maghrib,
Wowor mengunjungi AemeL di kediamannya. Yang melihat Teguh datang kemarin siang
pastilah mencap AemeL sebagai gadis menerima setiap pria yang datang ke tempat
kosnya. Bukannya AemeL tidak berpikir ke arah itu, tapi orang tidak akan tahu
apa yang ia kerjakan karena pada prinsipnya orang lain kebanyakkan akan
berpikiran negatif.
“Mengapa tidak
telepon dahulu?” kata AemeL setelah Wowor duduk di ruang tamunya.
“Mm.. maaf, apa aku
mengganggu acara kamu?” Wowor merasa tidak enak juga. “Bagaimana dengan
kakimu?” tanyanya dengan tulus.
AemeL mengusap
pergelangan kakinya sejenak. “Sudah tidak begitu sakit, tapi belum bisa naik
motor.” Ia tertawa halus. “Aku sudah tidak apa-apa sih, hanya saja saat ini aku
tidak bisa tidak memikirkan Julia. Entah di mana ia berada sekarang.”
“Sudahlah, siapa tahu
ia sedang bersenang-senang dengan seseorang.” Timpal Wowor membuat AemeL
tersenyum.
“Ya ya, siapa tahu
kamu benar. Tidak ada pentingnya memikirkan orang yang tidak memikirkan kita.
Kalau ia peduli sama aku pasti ia pergi dengan baik-baik atau setidaknya
pamit.” Hela AemeL tapi Wowor tidak tahu kalau hati AemeL sedang hancur dan
sakit sekali memikirkan keselamatan Julia.
“Kalau kamu ingin
pergi kemana-mana jangan sungkan menelepon aku, aku siap mengantarmu.. karena
saat ini kamu tidak bisa naik motor, kan? Jadi, anggap saja aku ini pengganti
temanmu yang sudah menghilang itu.”
AemeL mengamati wajah
Wowor dengan seksama. “Apa kamu tidak keberatan membantu aku mencari keberadaan
Julia?”
“Ah, itu lagi.
Bukankah kita sudah membahasnya?”
“Ya, siapa tahu ia
sedang bersama seseorang dan melupakan aku. Aku ini memang bodoh.” Senyum AemeL
mengembang dan di mata Wowor terlihat dengan jelas kalau AemeL tidak merasa
kehilangan. “Apa kamu tidak punya perasaan apa-apa dengannya? Bukan tanpa alasan
aku bicara demikian, karena selama ini aku melihat kamu menaruh perhatian sama
dia.”
“Yang orang lihat
terkadang tidak seperti kenyataannya.” Jawab Wowor dan AemeL menemukan ada
ketidakjelasan dari pengakuan itu. Wowor sedang bicara bohong, karena AemeL tahu kalau pria itu menyukai sahabatnya begitupun
sebaliknya. “Bahkan kamu mungkin tidak tahu jika aku mengatakan kalau aku
menyukai kamu. Apa kamu bisa percaya itu?” tambah Wowor membuat AemeL agak
terperangah. “Lupakan, aku pasti sedang meracau.” Ralat Wowor sambil tertawa
membuat AemeL ikut tertawa meski kehadiran Wowor tak bisa mengubah perasaannya
yang lagi kacau, ia tidak akan bisa tenang sebelum tahu keberadaan Julia.
Bagaimana pun Julia adalah seorang sahabat yang amat sangat berarti baginya dan
yang membuatnya tidak mengerti adalah, bagaimana perasaan Wowor pada Julia?
Waktu sebulan kebersamaan mereka ia selalu bisa melihat kalau Wowor punya
perasaan sayang pada Julia dan ia tahu Julia punya rasa yang sama dengan Wowor
dan saat ini ada ketidakpedulian Wowor pada
Julia terlihat begitu nyata, apakah diantara mereka telah terjadi perjanjian
atau ada salah satu mereka merasa kecewa?
“Bagaimana kalau kita
keluar? Besok aku libur dan senin malam baru dinas.” Ajak Wowor seperti seorang
teman mengajak temannya keluar untuk sekedar menghirup udara segar. Julia
terlihat berpikir untuk beberapa saat hingga akhirnya mengiyakan setelah
mempertimbangkan banyak hal, diantaranya siapa tahu ia bisa mendapatkan
informasi tentang Julia.
Setelah menikmati
beberapa menit jalanan macet akhirnya Wowor dan AemeL bisa bernapas lega di
sebuah tempat makan istimewa. Saat mereka sudah duduk Wowor mengomentari
pakaian AemeL.
“Aku suka cara
berpakaianmu, terkesan sekali kalau kamu itu orangnya simpel dan pintar. Cara
berpakaian kamu dengan Julia sebenarnya tidak jauh beda.” Tutur Wowor dengan
penuh rasa simpati. AemeL tak merespon karena dari kata-kata Wowor ia bisa
menangkap kalau sebenarnya selama ini pria itu memperhatikan cara berpakaian
Julia.
“Bawaan dari zaman
sekolah.” Akhirnya AemeL bicara juga.
“Pakaian juga
mencerminkan pribadi seseorang. Oke, kamu mau pesan apa?” ia menyodorkan kertas
menu kehadapan AemeL dengan santai.
Sebelum meraih
lembaran menu AemeL sudah berkata lebih dulu. “Aku dan Julia sebenarnya suka
sekali dengan menu ikan bakar yang sangat pedas, tapi ayam bakar juga. Lalapannya
daun singkong muda direbus dan sambel ijo.” Ia mengamati suasana sekilas. “Tapi
di sini aku rasa tidak menyediakan menu seperti itu.”
“Lihat saja dulu, menu
kesukaan kalian itu seperti masakan Padang ya.” Ujar Wowor. “Nanti kita akan
mengunjungi tempat makan yang
menyediakan khusus menu seperti itu.”
AemeL hanya
tersenyum. “Tidak apa-apa, aku bisa makan apa saja yang penting sehat.” Ia
mengamati daftar menu yang tersedia. Nasi goreng, segala macam mie, sea food
serta segala macam minuman jus. “Makanan berat semua.” Ujar AemeL kemudian.
“Makan berat waktu
malam tidak masalah, asalkan tidak langsung tidur minimal dua jam dan minuman
jus bisa menetralisir kolestrol.” Wowor menatap AemeL sejenak. “Tolong tulis
pesananku sekalian, kepiting asam pedes tanpa nasi dan jus jeruk.”
AemeL pun menulis
pesanan Wowor dan ia pun memesan menu yang sama persis. “Julia paling benci
dengan makanan kepiting, alasannya makannya terlalu lama menghabiskan waktu, ia
suka makanan yang cepat mengenyangkan, lalu ia bisa bersantai setelah itu
sambil menikmati obrolan ringan dan menikmati kopi kegemarannya.”
“Begitu ya?”
“Ya, dia suka pergi
jalan-jalan dan yang pasti dengan orang-orang yang cocok dengannya. Dia tidak
suka orang pamer kekayaan, ia tidak suka dibanding-bandingkan dengan orang
lain, ia bisa terbuka sekali dengan orang yang ia anggap memahaminya tapi ia
paling benci pada orang yang tahu titik lemahnya. Dia tidak pandai memasak tapi
tahu hampir semua tempat makanan enak termasuk di Jakarta ini.” Tutur AemeL
seolah tidak sadar, karena ia sangat merindukan sahabatnya itu. Pesanan mereka
telah datang, sejenak mereka merapikan meja untuk mulai menyantap hidangan.
Wowor masih diam seolah masih ingin mendengar banyak tentang Julia dari mulut
orang yang ia anggap paling dekat dengan Julia.
Sambil meraih sendok
garpu AemeL bicara lagi. “Julia itu paling benci orang menikmati makanan dengan
tangan kiri. Hmmm… menurut aku, dia itu adalah gadis yang perfect sekali. Tidak suka bergosip tapi suka memberi saran kepada
semua teman-temannya, tapi…. kalau ada
teman yang suka ngocol ia bisa masuk dan menjadi lebih gila bercandanya, memang
gadis serba bisa dia itu, kecuali masak. Terbayangkan… bagaimana beratnya ia
menjalani hidup satu bulan lalu di apartemen? Ia mencuci piring, gelas dan
masak meski hanya nasi goreng..” AemeL terdiam dan Wowor masih menyimaknya,
pria itu mendengar dengan sangat detil
seolah cerita AemeL lebih menarik dari kepiting yang ada dihadapannya. “Dia
hanya butuh seorang pria yang bisa mengayominya, bisa menjadi imamnya sekaligus
punya ilmu agama minimal satu level darinya.”
Mendengar itu memaksa
Wowor meneguk jus jeruknya, sedang AemeL mulai menikmati kepiting di dalam
piringnya. “Tidak ada manusia yang sempurna, kan? Sehebat-hebatnya Julia dan
sebaik-baiknya dia, tetap saja ia orang yang tidak tahu sopan santun karena
pergi tanpa berita.” Celetuk Wowor seakan cerita AemeL tidak berarti baginya.
Bersamaan dengan itu sebuah layar televisi yang ada disudut ruangan sedang
menyiarkan berita off air dan seorang
reporter tampan berdiri di tempat kumuh untuk menyajikan kondisi yang masih
memprihatinkan di sisi lain Jakarta.
“Dia.” Kata Wowor
saat menyimak berita itu. “Dia suka sama kamu, mungkin lebih dari yang kamu
kira.” Ia menunggu respon dari AemeL.
“Apa….?” AemeL agak
terperangah, mungkin bukan karena kata-kata Wowor tapi karena tadi sore pria
itu menelepon dan ingin mengajaknya pergi tapi ia malah bersama Wowor.
“Aku bicara serius,
ia sangat mencintai kamu. Aku jadi iri mendengar cintanya yang begitu besar
sama kamu.” Tambah Wowor. “Apakah cinta itu bisa muncul saat seseorang merasa
bersalah? Tapi aku merasa kamu beruntung Ae. Dia pria baik-baik, dua tahun lalu
kekasihnya meninggal karena kecelakaan saat meliput berita bencana tanah longsor,
ia berada terlalu dekat dengan lokasi hingga ikut tertimbun karena waktu itu
masih gerimis. Mereka satu profesi tapi tidak berjodoh.” Urai Wowor dan membuat
AemeL jadi merinding mendengarnya. Sosok Teguh sudah menghilang dari layar
kaca, AemeL menatap Wowor masih penuh tanya. “Teguh bukan temanku, tapi kami
pernah bertemu beberapa kali, ia
banyak cerita tentang dirinya dan kamu.”
“O…” hanya itu kata
yang keluar dari mulut AemeL dan ia coba membasahi tenggorokannya dengan jus
jeruk yang dingin tapi cerita Wowor masih menggema di otaknya.
“Kamu mencintai
Julia?” itu pertanyaan untuk kesekian kalinya AemeL lontarkan pada Wowor.
“Kamu mengira
demikian?”
“Aku sedang
bertanya.”
“Oke, nanti kalau
kamu sudah bertemu dengan Julia katakan juga pertanyaan seperti itu lalu aku
akan menjawab pertanyaanmu tanpa tahu apa jawaban Julia padamu.”
Mendengar itu membuat
AemeL tidak bisa menahan tawanya. “Kamu itu pandai sekali mengelak, apa
susahnya bilang iya atau tidak. Apa kita seumuran atau……..?”
“Aku sudah kepala
tiga.”
“O.” AemeL
mengangguk-angguk pelan karena ia sendiri baru masuk usia 27 tahun. “Usia
kepala tiga sepertinya sangat pas untuk menikah.”
‘Aku akan menikah
hanya dengan Julia.’ Sahut Wowor dalam hati.
“Kamu sendiri?”
“Tadinya menargetkan
menikah usia 25 tapi sekarang malah tidak punya target lagi.”
Tidak ada yang bicara
lagi selain suara sendok terdengar pelan menemani mereka menghabiskan malam itu
bersama. Pertemanan itu sudah dimulai saat mereka mulai mengenali diri
masing-masing. Jika Wowor mengakui menyukai dan mencintai Julia itu tidak salah,
sebab Julia adalah gadis yang nyaris sempurna dambaan pria, tapi siapa yang
percaya kalau Wowor yang tampan, punya karir bagus diusia tiga puluhan tidak
punya pacar? Rasanya sangat tidak mungkin, AemeL tidak akan membiarkan
sahabatnya jatuh cinta dengan pria yang akan membuatnya patah hati.
‘Ah, apakah
menghilangnya Julia lantaran ia telah patah hati karena sudah mencintai Wowor
dan mengetahui kalau pria itu sudah punya calon istri? Dan tanpa memberitahu
aku karena ia benar-benar ingin menghilangkan jejaknya dari Wowor! Ya Tuhan,
apakah dugaanku ini benar?’ AemeL menghela napas berat. ‘Tidak, meski ia punya
tampang Arjuna tetap ia tidak pantas menyakiti hati Julia. Tapi yang lebih
susah adalah… jika Julia telah kembali menjadi dirinya sebelum aku amnesia,
baiklah Julia, aku akan mengikuti keinginanmu, kau berjalan di duniamu dan aku
juga begitu.’
AemeL sudah berhenti
memikirkan Julia, kini ia akan kembali fokus dengan dunia tulis-menulisnya
selain tetap berdoa semoga Julia baik-baik saja.
“Apa kamu sudah bisa
melupakan Julia?” suara Wowor tiba-tiba menghalau lamunan AemeL.
AemeL coba tersenyum
seindah mungkin dan setegar yang ia mampu. “Tentu saja, dan satu lagi… jangan
percaya dengan apa yang pernah saya ucapkan.” Tambah AemeL dengan sangat yakin
membuat pria itu tersenyum dengan penuh kemenangan meski tidak begitu mengerti
apa maksud dari kata-kata AemeL tersebut.
‘Kamu memang benar
Ae, tidak ada yang abadi di dunia ini, sabahat? Omong kosong dengan yang
namanya persahabatan!’ saat itu muncul kebencian di benak Wowor pada AemeL.
Entah mengapa kebencian itu ada.
AemeL tidak menyadari
kalau pria itu sudah membencinya hingga ke ubun-ubun, pesona AemeL tidak mempan
dipikiran Wowor serta segala macam kepintaran dan wawasannya. Di perjalanan
pulang tidak banyak yang mereka bicarakan. Wowor lebih banyak diam begitupun
AemeL. AemeL pun tidak tertarik sama sekali dengan pria matang yang memiliki
wajah indo itu, meski tidak sedikit wanita yang mendambakan cintanya apalagi di
kalangan rumah sakit tempat Wowor bernaung. AemeL tiba-tiba kangen dengan
Teguh, pria sawo matang, mandiri dan terkesan bisa melakukan apa saja. Terpikir
oleh AemeL untuk mengirim BBM pada Teguh tapi ia tidak suka kalau Wowor
menegurnya dan bertanya mengirim pesan untuk atau pada siapa. Itu menandakan
kalau ia sedang bosan duduk di samping Wowor. Detik-detik menunggu mobil sampai di depan kos AemeL rasanya lama sekali,
lalu sebuah suara ping dan BB AemeL
berdering tapi AemeL membiarkannya, ia akan membukanya nanti di Kos.
Wowor melirik ke arah AemeL sekilas.
“Terima kasih ya,
Ae.”
“Untuk?”
“Atas kesediaan
kamu menemaniku makan malam.” Wowor sudah kembali mengamati jalanan.
“Oh, itu. Sama-sama.
Siapa tahu nanti-nanti aku tidak bisa menemani kamu lagi, kamu seorang dokter
yang punya jadwal sangat padat dan aku, kalau sedang punya cerita bagus di
otakku, kemanapun orang ajak pergi tidak akan bisa… karena khawatir otakku akan
meledak nanti.” Ujar AemeL seperti bercanda namun itu serius sebab kalau ide
cerita sudah memenuhi otaknya kalau tidak dituangkan lewat tulisan maka ia
tidak akan bisa fokus dengan apa pun yang ada di depannya karena cerita itu
akan berseliweran di otaknya, menguasai otaknya untuk diajak keluar dengan
sesegera mungkin.
Apapun yang dikatakan
AemeL tidak masuk di akal Wowor hingga ia pun hanya bisa tersenyum simpul.
Apalagi kebencian telah AemeL tanam di
otaknya, tadinya ia berharap bisa membawa AemeL datang ke rumahnya, kenal
dengan kedua orang tuanya namun semua
itu tidak penting lagi.
~
Teguh merasa harus
menemui AemeL, cintanya pada gadis itu tidak main-main. Kedewasaan pribadi
membutuhkan sebuah kepastian di dalam menjalani hidup. Tidak ada lagi pikiran
memikirkan hal yang sudah-sudah, kekasih yang telah lama pergi tidak bisa
dijadikan sebagai bahan untuk selalu menikmati kesedihan yang berkepanjangan.
Tidak ada alasan untuk menjadi pribadi cengeng.
Di tempat kos AemeL
yang sepi dan Teguh mendapati gadis itu habis menangis, ia mungkin menangis
semalaman. Ingin sekali Teguh merengkuh tubuh itu seerat mungkin meski tak
dapat meringankan beban apa yang ia derita. Dan AemeL benci sekali kalau ia
kedapatan habis menangis apalagi di depan seorang pria.
“Aku mungkin datang
tidak diwaktu yang tepat.” Hela Teguh namun ditanggapi AemeL dengan gelengan
lembut.
“Aku tidak apa-apa.
Hanya saja sedang kangen sekali dengan Julia.” AemeL tidak bisa menyembunyikan
perasaan sedihnya pada Teguh, berbeda sekali dengan Wowor, dengan pria itu
AemeL bisa berpura-pura tidak memikirkan Julia.
“Apa kita perlu
melapor polisi?” Teguh tidak sanggup melihat gadis itu bersedih apalagi di depan
matanya.
Lagi-lagi AemeL
menggeleng karena ia tidak yakin Julia menghilang tapi gadis itu sengaja
menjauhinya, lagi. dan kali ini ia tidak tahu apa sebabnya, itu yang membuat
AemeL lebih sedih. Julia tidak pernah
tahu berapa waktu yang AemeL habiskan untuk memikirkannya.
“Apa kamu sedang
ingin sendiri?” lanjut Teguh. Kali ini AemeL diam, ia mengamati Teguh sejenak
dan andai pria itu tahu kalau AemeL sedang membutuhkan seseorang untuk
menemaninya. Namun di hati kecilnya tidak bisa menerima kalau keakraban mereka
karena insiden kecelakaan itu. AemeL pun tidak tahu jika ada seorang wanita
yang merasa tersakiti dengan keberadaan Teguh di tempat kosnya, perkara Wowor
pernah mengatakan Teguh sangat mencintainya dan ia telah kehilangan kekasihnya
dua tahun yang lalu tidak bisa ia percaya begitu saja. Dunia ini penuh tipu
daya sana sini, tak terkecuali dalam dunia asmara. AemeL tidak suka Teguh
menguasai suasana hatinya yang sedang lemah.
“Aku, sebenarnya aku
ingin pergi ke suatu tempat.”
“Aku antar.”
Sudah AemeL duga
kalau Teguh akan melontarkan tawaran itu, AemeL merasa telah menyesal mengatakannya.
“Hmm, tidak usah. Perginya juga nanti sore kok.” AemeL tidak berbohong karena
tadi pagi seorang teman sama-sama penulis mengajaknya bertemu di sebuah coffee shop.
“Hari ini aku libur,
Ae. Jam kerjaku nanti malam sampai besok siang. Maklum seorang reporter jam
kerjanya tidak menentu.” Jelas Teguh dan sepertinya AemeL memahami, kecuali
kalau reporter tetap di studio. AemeL tidak ingin menanyakan satu hal pun
tentang kehidupan pria itu, termasuk urusan wanitanya.
Sorenya, AemeL akhirnya
mengizinkan Teguh menemaninya bertemu dengan seorang kerabat yang sudah ia kenal dalam dua tahun ini lewat Facebook, dan
mereka sudah dua kali bertemu. Di area parkir Teguh memarkir motor besarnya dan
itu pertama kalinya AemeL naik motor setelah kecelakaan. AemeL tidak lagi
menggunakan tongkat karena Teguh melarangnya dengan alasan ia bisa membantu
sebisanya. Setelah melepaskan jaketnya AemeL mengamati Teguh yang juga
merapikan jaket dan meletakkannya di atas stang motor.
“Apa temanmu sudah
sampai atau kita terlambat?”
“Itu pertanyaan yang
sama.” Hela AemeL sembari tersenyum. “Ia sudah di dalam beberapa menit yang
lalu.” Tambah AemeL dan ia bermaksud melangkah tapi segera diraih tangannya
oleh Teguh.
“Biar aku bantu.”
“Aku tidak apa-apa,
sudah sembuh ini kok.” Mereka melangkah bersama-sama karena Teguh tahu AemeL
belum sembuh seutuhnya. Dan itu memang benar karena AemeL masih sedikit pincang
untuk mengimbangi kakinya yang satu sebab ia tidak bisa membebani kaki kirinya
seperti sebelum patah.
AemeL tersenyum
melihat temannya yang sudah duduk di pojok kanan ruangan, dan saat gadis itu
melihat kemunculan AemeL bersama seorang pria yang belum ia kenal dan AemeL
tidak pernah menceritakan sebelumnya membuatnya agak kaget sebab pria itu
baginya bukan pria biasa. Meski tidak pernah bertemu langsung ia mengagumi pria
itu dari layar kaca, caranya membawakan berita, suaranya yang khas, senyumnya
menawan dan tubuhnya ternyata lebih atletis dari dekat, dan yang membuatnya lebih
menarik karena pria itu sangat lihat dan cerdas bila sedang berdialog dengan sumber
berita.
Ia menyambut
kedatangan AemeL dengan berdiri. “Hai, maaf aku datang kecepatan karena sudah
tidak sabar ingin cerita banyak hal.” Katanya karena ia tahu AemeL itu tidak
pernah terlambat bila membuat janji.
“Tidak, akunya saja
yang memang agak terlambat.” Sahut AemeL tidak ingin membuat temannya merasa
bersalah. “Oya, kenalkan ini temanku… namanya……..”
“Teguh Tebolai.”
Potong gadis itu hafal betul dengan nama reporter favoritnya membuat pria itu
tertawa, ia akan merasa senang kalau gadis itu tahu namanya bukan dari AemeL
tapi dari kinerjanya selama ini. AemeL ikut senang karena temannya sudah tahu
nama Teguh.
“Senang bertemu
dengan kamu…..”
“Nurmala.” Sambung
gadis itu memberitahu namanya sendiri. Teguh tersenyum lalu melirik ke AemeL
diamati Nurmala dan ia berharap hubungan mereka tidak lebih dari teman biasa.
Detik berikutnya
mereka duduk, memesan makanan lalu berbincang layaknya teman yang sudah seringkali bertemu dan AemeL
senang sebab Teguh cepat sekali akrab dengan Nurnala. Sekilas AemeL dan Nurmala
mengakui kalau bertemanan mereka berawal dari chat di facebook dan
merasa akrab karena memiliki kesukaan yang sama yaitu menulis.
“Dunia internet
memang banyak sekali membantu kegiatan sehari-hari kita, teknologi memang luar
biasa, Tapi teknologi akan merusak hidup jika kita tidak bisa
menggunakannya dengan baik.” Tutur Teguh lalu menikmati kopi cappuccinonya. Diiyakan
Nurmala dengan anggukan lalu ia menatap AemeL.
“Ae, maksudku
mengajak kamu ketemu di sini ingin
menanyakan apakah benar ada penerbit yang mengambil hak kita?” ia bertanya
serius dan sebelumnya ia pernah melontarkan pertanyaan itu pada AemeL di
jejaring sosial. Teguh membiarkan kedua gadis itu bicara serius tanpa ingin
memotong pembicaraan.
“Nur, kita sebenarnya
sudah punya surat kontrak dan di sana tertulis dengan sangat jelas, berapa
tahun naskah kita dikontrak, akan dikeluarkan berapa eksemplar dalam cetakan
pertama dan berapa royaltinya sudah sesuai dengan kesepakatan pihak pertama dan
kedua, begitupun kalau ada cetakan kedua dan seterusnya. Jadi kalau maksud kamu
ada pihak penerbit yang diam-diam mencetak diluar kesepakatan itu dan
menjualnya lalu mengambil keuntungan sendiri. Yah itu adalah tanggung jawab
mereka kepada Tuhan. Rezeki kita tidak akan pernah tertukar Nur.” Ujar AemeL.
“Ah, terkadang surat
MoU itu hanya formalitas saja, di dalamnya mereka bilang akan mencetak ribuan
eksemplar namun kenyataannya mereka mencetak lebih banyak dari itu, dan
royaltinya akan dibagi sesuai dengan yang habis seperti tertera di surat
kontrak padahal mereka telah membuatnya lebih banyak.” Gadis itu merasa belum
puas dengan keterangan dari AemeL.
“Sekarang begini
saja, kalau kamu merasa tidak nyaman dengan penerbit kamu sekarang mendingan kamu
cari penerbit baru, ada ratusan penerbit di tanah air ini dan jangan takut
tidak diterima selagi kamu merasa naskahmu layak untuk diterbitkan. Dalam kasus
kamu ini kita tidak bisa hanya menerka-nerka dan akan lebih mudah dibawa ke
ranah hukum jika kita punya bukti yang jelas, semisal ada pihak percetakan yang
tahu pasti berapa ribu buku kita dicetak, dan kita bisa membandingkannya dengan
jumlah yang ada di kontrak.” Tambah AemeL sedangkan Teguh hanya menikmati AemeL
yang bicara dan menurutnya AemeL
adalah gadis yang luar biasa sehingga ia merasa betah sekali
berada di dekat AemeL.
“Ya juga sih, tapikan
kesel juga kalau itu benar. Itu namanya mereka telah mengambil keuntungan
sendiri.”
“Tidak usah terlalu
dirisaukan, tidak baik juga jika nanti kamu membuat status di jejaring sosial
mengenal hal ini sementara kamu sendiri tidak tahu pasti kebenarannya sebab
kadang yang orang beritakan itu belum tentu maksudnya baik untuk kita. Dunia
ini pernuh persaingan Nur, dan tidak banyak orang yang bisa bersaing dengan
jujur. Satu lagi, kalau kamu membuat kontrak baru pada satu penerbit cantumkan
juga, seandainya suatu ketika naskah kamu di-film-kan. Karena royalti naskah
film dengan buku itu tidak bisa disatukan. Jangan sampai keliru.” Kali ini
AemeL bicara seolah sedang memberikan kuliah pada mahasiswinya.
“Begitu ya.” Kata
gadis yang baru bergelut dalam dunia penerbit sejak empat tahun ini, sedang
AemeL sudah lebih dari tujuh tahun meski belum ada novelnya yang difilmkan
namun ia tahu banyak dengan dunia satu itu. Karena ia sering menghadiri
seminar, punya beberapa orang yang bergelut langsung dalam dunia perfilmaan dan
kali ini semoga saja Teguh bisa menjadi salah satu teman baiknya. Nurmala
menatap Teguh yang dari tadi hanya mendengar mereka bicara. “Bagaimana menurut
kamu, Guh?” ia ingin sekali mendengar pria itu bicara.
“Topik kalian sangat
bagus dan sedikit menambah wawasan saya dalam dunia yang kalian geluti, meski
bidangku juga masih ada hubungannya dengan dunia tulis-menulis. Kalau menurut
aku sih segala sesuatu itu tidak ada yang susah kalau kita punya bukti yang
kuat dan seperti yang disebutkan AemeL tadi… intinya jangan pernah mengatakan
sesuatu yang belum kita ketahui dengan pasti kebenarannya sebab itu bisa
menjadi bumerang untuk diri kita sendiri.” Tutur Teguh dengan santai. Tapi
kata-katanya yang sedikit membela dan menyinggung nama AemeL membuat Nurmala
merasa tidak suka. Namun AemeL tidak menyadari itu sebab ia tiba-tiba ingat
dengan Julia, kalau sudah ingat Julia ia sedih dan itu bisa langsung mendadak
menyerang ketenangan pikirannya. Entah tahu atau tidak dengan kegelisahan AemeL
sehingga tangan Teguh mendarat di tangan AemeL dan menggenggamnya dengan erat
membuat AemeL agak kaget dan untung Nurmala tidak melihatnya karena tangan
AemeL sedang ada di atas dengkulnya yang terhalang oleh meja namun tidak bisa
mencegah degupan jantung AemeL yang secara langsung berdetak lebih kencang.
‘Ya Tuhan, laki-laki
ini akan membuat wajahku memerah dihadapan Nurmala. Tolong lepaskan tanganku.’
Bisik hati AemeL dan detik berikutnya ia menarik tangannya dari genggaman
tangan Teguh secara perlahan. Teguh dengan halus melepas genggamannya sembari
menatap AemeL dan menciptakan senyum yang sangat manis dan itu membuat Nurmala
yang duduk di depan mereka menjadi keki melihat tatapan mesra Teguh untuk AemeL
dan senyum manis itu meski dibalas serba-salah oleh AemeL tak membuat Nurmala
mengurungkan niatnya untuk segera pamit karena yang ingin ia sampaikan pada
AemeL sudah selesai. Sepertinya ia tidak bisa menjadi sahabat AemeL sebab gadis
itu adalah kekasih dari orang yang ia kagumi dan berharap pria itu jadi miliknya.
AemeL dan Teguh melepaskan kepergian gadis yang masih dibawah dua puluh lima
tahun itu. Dari tadi AemeL bisa melihat kalau Nurmala menyukai Teguh tapi tidak
terlalu ia ambil pusing sebab perasaan AemeL masih bercabang memikirkan Julia.
Entah senang atau
bimbang, AemeL akhirnya mengikuti ajakan Teguh membawanya ke suatu tempat yang
ia sendiri belum tahu. Dengan berboncengan dibelakang punggung Teguh ia
terlihat memegang pinggang Teguh seolah khawatir jatuh lagi dari motor dan
adegan itu sempat terlihat oleh Wowor yang sedang mengendarai mobilnya saat itu
ia disalip oleh Teguh. Wowor menjadi semakin kesal dengan AemeL dan itu mungkin
puncak kekesalannya pada gadis itu sehingga ia meninju setir mobilnya beberapa
kali.
Setelah menempuh
perjalanan beberapa menit, Teguh dan AemeL akhirnya tiba di Pantai Ancol. Motor
itu berhenti di dekat sebuah tenda. AemeL masih tidak habis pikir mengapa ia
bisa mengikuti pria itu sampai sejauh itu. Ia sadar kalau ia punya hati dengan
Teguh tapi kesannya ia murahan sekali jika mengikuti Teguh tanpa tujuan apalagi
hari sudah senja.
“Untungnya kita tidak
terlambat.” Kata Teguh akhirnya. Ia menatap AemeL yang turun dari motor lalu
buru-buru membantunya setelah sadar AemeL masih pincang. “Hati-hati.”
“Kenapa kita ada di
sini?” tanya AemeL kemudian. Ada rasa malu dihatinya mengingat tak mampu
menolak ajakan Teguh.
“Sudah lama sekali
aku tidak menikmati sunset, mari.” Ia membawa AemeL ke bawah tenda yang ada
tempat duduknya yang terbuat dari semen berbentuk melengkung, mereka duduk di
sana. Beberapa menit lagi matahari akan tenggelam dan Teguh tidak ingin
melewatkan kesempatan itu. Dan saat sunset terlihat ia berjongkok di hadapan
AemeL dengan sebuah kotak cincin di tangannya membuat AemeL sangat kaget, kaget
sekali. “AemeL Baes… maukah kamu menjadi istriku?”
AemeL sama sekali
tidak bisa menjawab pertanyaan konyol yang selama ini hanya ia lihat di televisi
atau di film-film roman dan ia mengganggapnya gombal, tidak masuk akal dan
aneh. Tapi saat ini ia benar-benar mengalaminya dan yang melakukan itu bukan
pacarnya atau orang yang ia kenal bertahun-tahun.
Sepasang kekasih yang
ada di tenda lain yang sedang menikmati sunset dan angin laut sempat melihat
adegan itu. Yang wanita berkomentar.
“Lihat, pria itu sedang
melamar kekasihnya.. hohohoho.. romatis sekali. Kapan ya kamu melakukan hal
seperti itu padaku?” ujarnya seperti bicara sendiri, sedang pasangannya hanya
diam entah tidak tahu apa yang sedang ia pikirkan melihat adegan itu.
“AemeL…….” Kata Teguh
melihat AemeL belum bisa menjawab permintaanya.
AemeL meraih tangan
Teguh. “Duduklah di atas, tidak baik berjongkok seperti itu.”
Sahut AemeL merasa Teguh tidak pantas berlutut di depannya.
Bagaimanapun dia adalah seorang pria yang dihargai di rumahnya, seorang anak
yang sangat disayangi oleh kedua orang tuanya, seorang kakak yang dihormati
oleh adiknya bahkan seorang adik yang mungkin jadi kesayangan di keluarga atau
mungkin seorang rekan kerja yang amat dihargai di kantor atas kinerjanya. AemeL
menatap Teguh yang sudah kembali duduk di sisinya. “Apa yang kamu pikirkan
Teguh…?”
“Aku mencintai kamu.”
“Jangan potong dulu
ucapanku, pertama kamu bilang mencintaiku dan itu belum juga sampai dua bulan,
aku tidak menjawab dan mungkin kamu sendiri bisa melihat bagaimana sikapku ke
kamu sehingga kamu bisa merasa kalau aku sebenarnya juga punya perasaan yang
sama ke kamu, dan hari ini…….. kamu coba melamarku untuk menjadi istrimu, kamu
pikir….”
“AemeL…….”
“Aku belum selesai….”
AemeL tak melepaskan tatapannya pada Teguh. “Kamu tidak kenal denganku,
begitupun sebaliknya. Apa kamu pikir melamar itu sebuah lelucon yang bisa
diucapkan kapan dan di mana saja? Apa kamu telah dikecewakan mantan kekasihmu
yang menikah dengan orang lain sehingga saat ketemu aku dengan gampangnya kamu
memutuskan untuk menikah sehingga terkesan kalau kamu juga bisa menikah dengan
segera? Wowor pernah bilang padaku kalau kamu telah kehilangan kekasihmu dua
tahun silam karena musibah di lokasi, tapi tetap saja aku tidak kenal dengan
kamu seutuhnya dan cerita yang dilontarkan orang lain mungkin
tidak sengaja tidak bisa aku jadi patokan. Dan kini…..” AemeL melirik ke arah
kakinya sekilas. “Apa karena kaki ini kamu memutuskan untuk menjadikan aku
istrimu…..? aku coba
menghargai kamu Guh, tanpa memikirkan berapa juta uang yang telah dikeluarkan
oleh Julia di rumah sakit karena musibah itu dan kini aku kehilangan dia. Apa
kamu berpikir dengan cacat seperti ini aku tidak bisa bekerja dan dijauhi
oleh pria sehingga kamu mengambil alih?”
Teguh meraih tangan
AemeL dan kotak cincin itu sudah ia letakkan di sisinya sedangkan sunset telah
berlalu tanpa sempat mereka nikmati hanya sinarnya yang keemasan menyinari
wajah mereka beberapa saat. “Sudah cukup kamu bicara sayang… kini giliranku.
Yang diceritakan Wowor itu memang benar dan aku tidak pernah memintanya
menceritakan padamu, ia mungkin tahu kisah itu dari orang lain. Aku membeli
cincin ini sehari setelah bertemu dengan kamu di halte itu, jadi tidak ada
hubungannya dengan semua hal yang kamu sangka. Aku benar-benar menyukai kamu
dan tidak ada kaitannya dengan cidera kakimu. Kalau masalah kenal jauh, yang
mungkin semua orang juga tahu untuk sebuah hubungan itu butuh proses dan
mengenali keluarga masing-masing. Tidak ada gunanya pacaran setahun atau bahkan
sampai puluhan tahun, kalau Tuhan mengatakan tidak jodoh yah.. kita hanya bisa
sakit hati.”
“Teguh, dengarkan
aku…”
“Tidak sayang, jangan
mempersulit hal yang sudah gampang. Kamu tinggal sendirian di Jakarta ini, aku
tidak mau kamu sakit dan sendirian di rumah. Kedua orang tuaku sudah tidak ada,
aku hanya punya seorang kakak perempuan yang sudah menikah dan tinggal bersama
anak dan suaminya di rumah mereka. Aku ingin kita hidup bersama, tapi kalau
kamu tidak menyukaiku.. itu lain lagi ceritanya, aku tidak mungkin memaksa
kamu.” Kata Teguh. AemeL menatap tangannya yang sedang dipegang oleh Teguh,
sejenak ia hanya bisa memandang itu. “Nanti aku akan mengajak kamu kenalan
dengan kakakku satu-satunya.
Detik beriktunya
AemeL menarik tangannya. “Tidak.” Ia menggeleng-geleng pelan.
“Kamu tidak suka sama
aku?” tanya Teguh tak kalah pelan.
“Bukan itu…….” AemeL
jadi bingung harus apa. Teguh mengangkat tangan kanan AemeL lalu mencium
punggungnya dengan lembut. “Kalau kamu tidak bisa bertemu dalam waktu dekat ini, minggu depan
juga tidak apa-apa. Setelah itu, aku ingin bertemu dengan
keluarga besarmu yang di Palembang.”
AemeL merasa
terpojok, ia tak bisa pungkiri kalau Teguh serius dengan kata-katanya. “Kamu
belum kenal dengan keluargaku, khsususnya aku… aku tidak mau nanti…..”
“Jangan punya pikiran
seperti itu, intinya…. Kita akan segera menikah.” Tegas Teguh.
“Aku tidak akan
menikah sebelum bertemu dengan Julia.” AemeL tiba-tiba melontarkan kata-kata
itu. Apakah itu sebuah penolakan atau memang
kata-kata AemeL serius? Teguh masih bingung.
“Julia?! Oh, tentu
saja……. Kita akan menemukannya.” Sahut Teguh dengan segera setelah menyadari
kalau Julia adalah seorang gadis yang punya peran penting dalam hubungan
mereka.
“Teguh?” panggil
AemeL.
“Ya?”
“Apa yang kamu lihat
dari aku?”
Teguh bukannya
menjawab tapi malah memeluk tubuh AemeL dengan sangat erat seakan ingin
mencurahkan semua rasa yang ia punya pada gadis itu. “Jangan pernah bertanya
seperti itu sayang, sebagai seorang penulis kamu pasti tahu kalau cinta tidak
butuh dijelaskan, kamu mampu membuat hatiku bergetar….. terima kasih.” Ucap
Teguh setengah berbisik. AemeL tidak bisa menjawab lagi meski selama ini ia
dikenal tidak bisa diam dalam hal bicara, cinta Teguh telah membuatnya terdiam
seribu bahasa. Semoga saja cinta Teguh benar-benar tulus. Hanya itu yang mampu
ia bisikkan di dalam hatinya sendiri.
~
Wowor sedang
berbincang berdua dengan Maminya di kursi taman samping rumah mereka. Wanita
keturunan Jawa kental itu sedang mendengarkan putra tunggalnya bercerita
tentang seorang gadis idamannya. Tak biasanya ia bersikap seperti itu karena
selama ini ia di mata Wowor adalah seorang Ibu yang otoriter sekali apalagi
dalam menentukan calon istri
untuk Wowor.
“Dia bukan seperti
wanita pada umumnya, Mi.” kata Wowor lagi dan berharap kali ini Maminya
memberikan sesuatu respon lebih jauh supaya ia bisa memberikan alasan-alasan
sesuai pikirannya.
“Tidak apa-apa
sayang….”
“Dia tidak bisa
masak, bukan wanita yang feminin, wanita yang biasa bekerja di luar rumah dan
dia berasal dari Sumatera.” Tambah Wowor yang sudah siap mendengar segala bentuk protes
Maminya yang akan mengatakan semua hal tentang watak orang sumatera
yang ia anggap kasar, tidak sopan dan
bicara sesukanya dan
berbagai cap jelek lagi lainnya. Wowor bukan anak mami yang harus
disediakan segala urusannya oleh maminya. Ia pria mandiri meski demikian
maminya mau anaknya diurus oleh wanita yang tepat, yang menyanyanginya bukan
lantaran hartanya atau kedudukan papinya di kantor. Ia ingin Wowor menemukan
wanita yang mencintai dan dicintainya. Karena kedua itu merupakan modal yang
kuat, seiman dan saling menghargai. Sejatinya bukan dari suku mana asal
manusianya tapi sikap yang diajarkan di dalam keluarga itu merupakan tonggak
awal pembentukan watak seseorang.
Wanita itu menatap
anaknya dengan seksama dan ia tidak ingin melihat anaknya yang sudah kepala
tiga itu untuk terus hidup tanpa pasangan lantaran kekerasan hatinya memilih
pilihan untuk anaknya sementara banyak teman-temannya
sudah menimang cucu, bahkan ada cucu
temannya yang sudah masuk sekolah SMP. Ia merasa kesepian di rumah sementara
suaminya masih sibuk menjalani bisnis, mengurus perusahaan. Andai saja Wowor
menjadi bisnismen penerus Papinya mungkin suaminya itu sudah pensiun dan duduk
manis di rumah tapi Wowor memilih hidup dalam bidang yang ia sukai.
“Tidak apa-apa
sayang, intinya kalau wanita itu mencintai kamu begitupun sebaliknya itu sudah
cukup buat Mami. Kapan kamu mengenalkannya sama Mami dan Papi…?” ujarnya ingin
buru-buru Wowor membawa wanita itu kehadapannya dan meminangnya untuk menjadi menantu.
“Secepatnya Mi.”
sahut Wowor penuh semangat.
~
Teguh dan AemeL sudah duduk di ruang keluarga seorang wanita yang amat
sangat menyayangi Teguh, yakni Riza Tebolai kakak kandung Teguh Tebolai yang
sudah memiliki dua orang putra dan putri dan suaminya seorang anggota
legislatif. Riza sendiri seorang Pegawai Negeri Sipil yang sudah lima belas
tahun mengabdikan dirinya di dinas pendidikan. Ia mengamati AemeL sejenak sebab
ia tahu tidak sopan terlalu lama menatap seseorang karena dianggap tidak sopan
dan yang ditatap tentunya akan merasa risih apalagi orang baru. Ia pun merasa
ikut berdosa atas kecelakaan yang menimpa AemeL namun yang ia lihat kehadiran
AemeL membuat adiknya berbeda dari kemarin khususnya dua tahun yang lalu
setelah kekasihnya meninggal. Ia bisa melihat Teguh seolah menemukan kembali
getaran hatinya yang selama ini diam membeku. Ia bisa melihat betapa
sederhananya gadis yang bernama AemeL itu, meski demikian tak bisa dipungkiri
kalau gadis itu punya otak cemerlang. Tak bisa dibohongi juga kalau ia berasal
dari keluarga baik-baik. Tak perlu banyak cerita atau menanyakan hal-hal yang
sudah dianggap basi.
AemeL bisa merasakan betapa kentalnya hubungan kakak dan adik antara
Teguh dan Riza, tak terlihat adanya kebohongan atau hal yang disembunyikan di
antara mereka. Rumah Riza yang sederhana dengan dua orang anak, satu asisten
rumah tangga terasa begitu nyaman. Sekali duduk saja AemeL sudah bisa merasakan
kenyamanan di rumah itu. AemeL seakan bisa membayangkan bagaimana kedua orang
tua mereka membesarkan dan mendidik mereka, dan hasil itu terlihat jelas di
pembawaan Riza untuk adiknya dan Teguh adalah seorang adik
yang sangat menghargai kakaknya.
“Di sinilah keluarga Teguh satu-satunya.” Ujar Riza dengan nada santai.
“Tapi saat ini Teguh menempati rumah peninggalan kedua orang tua kami. Hmm....
semoga pertemuan berikutnya kakak harap kita membahas hal yang lebih jauh,
seperti keinginan Teguh melamar kamu pada kedua orang tuamu...” wanita itu
tersenyum sejenak melihat keheranan di wajah AemeL. “Teguh sudah menceritakan
semua tentang kamu yang ia ketahui.”
AemeL menoleh pada Teguh karena keputusan yang Teguh ambil sangat
buru-buru tapi pria itu malah bertanya. “Kapan kita akan bertemu dengan kedua
orang tuamu di kampung?”
AemeL kembali pada sosok Riza sebab ia masih canggung pada wanita itu.
“Mm... kok jadi membahas masalah serius sih, Kak?”
“Tidak apa-apa.... bukannya kalian sudah saling menyukai?” sahutnya
pendek, meski suara itu manis di dengar namun tetap saja membuat AemeL tidak
enak. Ia merasa malu tapi setelah melihat kesungguhan Teguh membuatnya serba
salah. Apakah itu yang disebut jodoh? Kenal dalam hitungan bulan namun sudah
akan melangkah ke jenjang yang lebih jauh dan serius. Sosok Teguh adalah pria
yang dicari sekaligus pria idaman meskipun begitu AemeL tidak mau terjebak. Ia
tidak tahu pasti sedalam apa perasaan Teguh kepadanya.
~
Dalam pergaulan remaja akhir, seorang pria pastinya menginginkan seorang
pendamping yang sempurna dalam arti yang sesungguhnya. Bisa masak, mengerti
segala hal dan enak diajak berdiskusi dari masalah harga sayur hingga ke harga
saham. Sedangkan wanita menginginkan pria yang bisa membimbingnya, mapam dalam
finansial dan setia. Yang idaman belum tentu yang dicari begitupun sebaliknya.
Yang asik sebagai teman belum tentu cocok sebagai teman hidup.
Dalam kehidupan sehari-hari di rumah tangga tak jarang seorang suami
yang terlihat baik di rumah dan terkesan sebagai suami yang takut istri namun
kenyataan di luar berbanding terbalik. Itulah warna dalam rumah tangga yang
sudah menjadi rahasia umum. Ada juga pasangan yang baik bahkan sangat
menyayangi pasangannya, menjalani semua aturan-aturan rumah tangga sesuai agama
dan hukum negara tapi tetap saja si pasangan mencari di luar. Apa sebab? Ah,
mungkin kurang bersyukur atau kurangnya iman. Entahlah. Semua orang punya
alasan masing-masing.
~
Wowor Vandeep, seorang dokter plamboyan terlahir dari keluarga terhormat
dari seorang ibu Jawa tulen dan ayah Belanda. Anak tunggal yang agak susah
jatuh cinta alias agak pilih-pilih pasangan. Mungkin karena ibunya termasuk
orang yang selektif, bukan tanpa alasan karena Wowor adalah harapan mereka
satu-satunya orang tua manapun pasti menginginkan pasangan terbaik buat
anak-anaknya bahkan bukan saja pemilik anak tunggal. Tak jarang ada yang
melontarkan kata-kata kasar kepada orang
yang tidak mereka sukai dan membuat orang sakit hati bahkan dendam. Semoga
tidak ada lagi yang seperti itu.
~
Wowor
muncul di hadapan Julia, hal itu tidak pernah disangka oleh Julia sebelumnya
sehingga memaksa gadis itu menarik napas dalam-dalam karena sangat tidak
mengerti apa maksud pria itu sebenarnya. Ia berdiri sendiri dihadapan Julia
tanpa pria kemarin yang seperti seorang pengawal. Julia geleng-geleng kepala
namun ditanggapi dengan santai oleh Wowor.
“Maafkan aku atas ketidaknyamanan kamu di sini. Semua ini aku lakukan
untuk kamu.” Ungkap Wowor dan Julia sungguh tidak mengerti ke mana arah
kata-kata itu.
Julia menghela napas berat. “Apapun motif dan alasan Anda melakukan hal
ini, sungguh Anda sudah sangat mengecewakan saya.” Tekan Julia sangat marah tapi
Wowor masih
terlihat santai dan dengan entengnya ia
menyerahkan tas Julia.
“Semua barang-barang kamu ada di sini.”
Julia meraih tasnya tanpa mengalihkan matanya dari wajah Wowor, ia masih
tidak mengerti apa yang ada di otak pria itu. Saat ia ingin membuka tasnya Wowor bicara lagi.
“Kamu tidak usah menghubungi AemeL karena dia bukan teman yang baik
untuk kamu.” Ucapan itu membuat Julia menghentikan niatnya yang sebenarnya tadi
memang ingin menelepon AemeL karena ia yakin sahabatnya pasti kalang kabut
mencarinya. Julia menatap Wowor dengan seksama dan menimbulkan berbagai macam
praduga, apakah selama ini AemeL tidak pernah menanyakan keberadaannya kepada Wowor? Atau Wowor tidak
pernah menceritakan keberadaannya. Kali ini Julia menghela napas panjang. Ia
tidak mungkin mempercayai Wowor yang baru ia kenal dibandingkan dengan AemeL
sudah bertahun-tahun. Pasti ada yang tidak beres. Wowor melanjutkan
kata-katanya. “AemaL sedang bersenang-senang dengan kekasih barunya si jurnalis
itu, bagaimana mungkin ia bisa mengingat kamu yang selami ini merawat dia. Ia
bahkan tidak peduli dengan kehilangan kamu.” Tambah Wowor membuat kepala Julia
mulai berdenyut. Julia tidak jadi
membuka tasnya dan mengenai kata-kata kehilangan itu memaksa Julia angkat kaki
dari hadapan Wowor yang kini ia pikir memang punya dua kepribadian dan tempat
itu sudah ingin sekali ia tinggalkan. “Tunggu.” Wowor meraih tangan Julia.
“Kita akan pergi sama-sama dari tempat ini.” Ujarnya kemudian. Julia tiba-tiba
berubah pikiran yang tadinya ingin pergi jauh dari Wowor dan menemui AemeL di
tempat kosnya. Ia akan mengikuti pria itu dan mencari tahu apa sebenarnya yang
Wowor inginkan darinya dan AemeL. Ia tidak takut lagi apa yang dilakukan pria
itu terhadap dirinya, akan ia lalui karena sudah terlanjur disekap. Jadi untuk
mengetahui siapa Wowor sesungguhnya ia akan mengikuti apa yang akan pria itu
lakukan.
Menit berikutnya Julia dan Wowor sudah ada di dalam mobil yang disetir
oleh Wowor. Julia tidak bertanya kemana Wowor akan membawanya. Saat keluar dari
dalam rumah mewah sejenis vila itu Julia tidak mengeluarkan suara. Ia sekilas
melirik ke belakang untuk sekedar tahu seperti apa tempat yang ia tempati
beberapa hari ini. Tidak di daerah Puncak bukan juga tempat yang pernah ia
lihat selama pernah ke Jakarta. Hanya beberapa menit mereka sudah melewati
jalan raya, di samping kiri jalan terlihat nama sebuah komplek perumahan mewah.
Julia sudah bisa menyimpulkan kalau tempat itu adalah sebuah komplek besar
dengan halaman setiap rumahnya sangat luas bahkan semacam kebun. Sepertinya
memang tempat orang-orang kaya menginfestasikan uang mereka.
Julia masih diam, ia bersandar di jok samping Wowor dengan memeluk
tasnya sedang Wowor sekali-kali meliriknya, lalu ia mengeluarkan suaranya.
“Mengapa kamu tidak bertanya kemana kita akan pergi?” tanya Wowor.
“Anda pasti lebih tahu apa yang terbaik buat saya, bukankah begitu?”
sahut Julia membuat Wowor tak bisa meneruskan kata-katanya. Ia memang harus
hati-hati pada gadis yang sudah merampas hatinya itu. Sejujurnya Wowor lebih
menderita dari Julia. Tapi ia tidak ingin memperlihatkannya pada Julia. Wowor
menghela napas panjang.
“Aku sebenarnya ingin mempertemukan kamu dengan mami dan papiku.”
“Terserah apa yang Anda inginkan dan lakukanlah.”
“Aku serius.” Tambah Wowor sembari menyetir dengan santai. Ia tidak
khawatir gadis itu akan keluar atau memaksa turun dari dalam mobilnya. Ia
seakan tahu apa yang ada di dalam kepala Julia, gadis seperti Julia memiliki
karakter pantang menyerah, tulus bahkan agak keras kepala. Dan paling benci
jika diremehkan. Ia tidak peduli pada wanita atau pria yang melecehkannnya maka
ia akan mengambil sikap dan itu sering diluar dugaan orang. Sekali lagi Wowor
coba memahami pribadi Julia yang tidak akan silau dengan kebendaan. Ia bukan
tipe perempuan yang rela dinikahi pria kaya yangusianya sudah mendekati kepala
enam dan bukan juga perempuan yang rela dipoligami hmm. Pikiran Wowor sedang
berkecamuk tak kalah dengan Julia yang penasaran dengan maksud Wowor.
“Julia, sekali lagi aku ingin mengatakan kalau aku menyukai kamu sejak
pertama bertemu di rumah sakit. Jika ada orang yang tidak percaya dengan cinta
pada pandangan pertama, maka mereka salah. Bagaimana menurut kamu sendiri?” ia
melirik ke wajah Julia sejenak namun gadis itu tidak mengeluarkan suara. Wowor
tidak mengerti kalau ia sedang teringat dengan AemeL. Apa pun yang dikatakan
Wowor sepertinya bukan masalah besar sebab siapa pun punya pendapat sendiri
dengan cinta. Tidak peduli apakah ada yang mau menganggapnya nyata atau abstak.
Tapi menurut Julia, cinta tetaplah cinta yang akan bertengger pada posisinya sendiri. Cinta tidak egois,
tidak menuntut, tidak kekanak-kanakan jika ada selain itu maka itu cinta buta.
Mobil mewah itu berbelok ke kiri jalan memasuki kawasan Serpong lalu
menuju perumahan elit yang tidak begitu jauh dari pusat perbelanjaan. Hari
menjelang sore saat mobil berhenti di salah satu halaman rumah yang bercat
coklat tua mendekati warna kayu.
“Ini tempat tinggal kedua orang tuaku dan aku. Ayo kita turun karena aku
ingin mengenalkan kamu dengan mereka.” Ujar Wowor. Julia hanya menghela napas
sesaat dan matanya menatap sekilas ke rumah besar yang terlihat sepi. Jangankan
penghuni rumah suara pengurus rumahpun tidak terdengar apalagi terlihat
wujudnya. Apakah rumah itu sama seperti tempat Julia disekap atau benar rumah
yang berpenghuni!?
Wowor sudah turun dan kini ia membuka pintu untuk Julia. “Ayo... turun.”
Ia meraih tangan Julia dengan lembut dan sopan. Julia tidak suka diperlakukan
seperti sang putri hanya saja ia memang enggan untuk turun. Tanpa paksaan akhirnya Julia
melangkahkan kakinya dari dalam mobil dengan tas tidak lepas dari tangannya.
Saat itu keluar seorang wanita paruh baya, cantik dan terlihat enegik. Ia
melebarkan senyuman indah dan salam perkenalan kepada Julia.
“Halo... selamat datang sayang...” ia menyongsong Julia dan secara naluri Julia mengulurkan tangan
pada wanita yang terkesan diktator. Sekilas saja Julia bisa merasa kalau wanita
yang ada dihadapannya itu adalah wanita keras, disiplin dan agak berkelas juga
sedikit egois yang mungkin mendekati nge-bos-i.
Diluar pengetahuan Julia sesungguhnya wanita itu sedang menilai Julia yang
tadinya ia berpikir akan dikenalkan oleh Wowor pada seorang gadis yang
menenteng tas bermerek, berhak tinggi dengan bulu mata bak selebriti atau
sejenisnya. Namun kenyataannya Julia
hanya memeluk tas gendong tipis, dengan mengenakan t-shirt bermerek dengan pasangan celana jins berbahan lembut serta
sandal kulit yang tipis.
“Inilah Julia yang aku maksud Mi.” Kata Wowor setelah mencium punggung
tangan maminya. Julia hanya melihat adegan itu sekilas lalu wanita itu berkata.
“Ajaklah masuk sayang, tapi papi kamu belum pulang karena masih ada
urusan tapi ia janji akan segera pulang untuk kalian.” Jelasnya sembari melirik
ke Julia. Julia mulai tidak suka dengan suasana formal namun ia ikuti saja
sejauh mana Wowor akan membawanya ke dalam kehidupan mereka.
Wanita itu mengajak Julia masuk lewat pintu depan, tak sedikipun Julia
merasa canggung. Ia tidak peduli apa tujuan mereka mengajaknya ke rumah itu,
untuk pamer harta, ataukah untuk hal yang lain. Yang menjadi keinginan Julia saat ini adalah mengetahui siapa Wowor
sebenarnya? Apalagi dengan kejadian di rumah kosong itu, seolah ia punya
tantangan sendiri untuk lebih tahu apa rencana Wowor selanjutnya. Menit
berikutnya keluar asisten rumah tangga yang membawakan makanan kecil dan kopi
kesukaan Julia juga dua gelas kopi yang sama dengan kepunyaan Julia. Apakah itu
untuk menghargai tamu atau mereka memang juga penyuka kopi. Entahlah.
“Mi, seperti yang sudah pernah aku ceritakan ke Mami kalau aku kenal
dengan Julia waktu di rumah sakit, saat dia menemui sahabatnya.” Kata Wowor
setelah asisten rumah kembali masuk.
“Silahkan diminum sayang. Kata Wowor kamu suka minum kopi, Tante juga
suka kopi tapi bukan kopi tertentu.” Katanya pada Julia setelah itu menatap
anaknya. “Kamu sudah cerita semuanya tentang Julia sayang bahkan berkali-kali
termasuk tentang di rumah kita yang satunya.” Ujar wanita itu dengan santainya
namun membuat Julia sedikit kaget. Apakah kedua ibu dan anak ini tidak pernah
punya rahasia? Masalahnya bukan itu yang ingin diketahui oleh Julia tapi apa
motif Wowor menyekapnya? Dan apakah itu juga diketahui oleh maminya? Itu akan
segera diketahui oleh Julia. Ia menyeruput kopinya dengan santai lalu melirik ke
mami Wowor.
“Terima kasih dan sepertinya saya sudah harus
segera pergi sebab ada urusan yang belum selesai.” Kata Julia dengan serius dan
masih dengan mimik santai namun pengakuan itu sempat membuat he-
ran maminya Wowor juga anaknya.
“Emm....
sayang... ada apa ini?” ia melirik anaknya.
“Em ya, Julia
memang masih ada urusan Mi. Aku akan mengantarnya ke suatu tempat.” Wowor coba
bersikap wajar.
“Tidak, terima
kasih untuk semuanya. Saya harus pergi sendiri.” Potong Julia dengan cepat sambil beranjak
dari tempat duduknya.
“Tapi kamu
belum bertemu dengan papinya Wowor sayang...” tambah wanita itu berusaha
menahan kepergian Julia.
“Em, maaf
Tante... bertemu dengan Tante saja saya sudah bersyukur, apa pun yang terjadi
hari ini pasti sudah direncankan oleh Tuhan dan selanjutnya hanya Dia yang
tahu. Permisi..” Julia tidak menemukan apa-apa lagi yang bermakna dalam
pembicaraan itu. “Dan satu hal..., apakah Tante tahu kalau saya telah dibawa
dari apartemen teman saya dengan cara yang tidak wajar?”
Wanita itu
mengerutkan kedua alisnya dengan rasa kaget yang luar biasa saat ia melirik
Wowor pria itu langsung berkata.
“E, maaf untuk
yang satu itu Mi.. aku belum sempat cerita.” Ujar Wowor merasa amat sangat
bersalah. Julia melangkah tanpa bisa menahan diri lagi sedangkan Wowor
menyusulnya. Wanita itu hanya bisa melihat kedua insan itu meninggalkan ruang
tamu rumahnya. Di depan Wowor menahan tangan Julia.
“Tolong
dengarkan saya dulu.” Pintanya. Julia menatap pria itu.
“Tolong
lepaskan tangan saya, Anda sudah berhasil mengajak saya sampai sejauh ini dan
sekarang saya ingin pergi sendiri dan jangan mengganggu saya, oke!.”
“Julia.. aku
lakukan semua ini semata-mata karena kamu.. karena aku sangat sayang sama kamu.
Kamu pasti mau ke tempat AemeL’kan? Untuk apa kamu mencarinya, dia tidak pernah
memikirkan kamu selama ini. Percayalah sama aku.”
Julia menarik
tangannya dari genggaman tangan Wowor. “Anda tidak tahu apa-apa, jadi jangan
bicara hal yang tidak Anda tahu.”
“Aku hanya
ingin menyelamatkan kamu supaya kamu tidak kecewa, hanya itu.”
“Hanya itu?
Yakin hanya itu?!!” Julia akhirnya berbalik dan sebelumnya ia sempat mengamati
sejenak sebuah rumah yang berdiri kokoh laksana istana sang koruptor. Apakah
Wowor ingin
mempertontonkan padanya kalau mereka punya rumah semegah
itu? Masa bodoh!
“Julia, aku
mohon biarkan aku mengantarmu kemanapun kamu mau pergi. Aku tidak bisa
membiarkanmu pergi sendiri.”
“Kenapa
memangnya?”
“Karena aku
sayang sama kamu.”
“Oke, kalau
begitu biarkan saya pergi sendirian. Itu sudah cukup membuktikan kalau Anda
peduli.”
“Ya, ampun.”
Wowor tidak bisa menahan Julia dan tidak berhasil mengantar gadis itu untuk
pergi namun ia tidak tahu pasti apakah Julia akan ke tempat kos AemeL atau
kembali ke Palembang? Hanya Julia yang tahu.
Wowor kembali
ke dalam di mana maminya masih menunggu di kursi mewahnya. Ia pikir Julia akan
kembali masuk namun kenyataannya hanya Wowor yang muncul.
“Mana gadis
itu?” katanya tanpa ekspresi yang berarti. “Dia pergi? Apakah ia seperti gadis
Sumatera yang lain?”
“Tidak Mi,
Julia itu berbeda.” Tegas Wowor.
“Apa maksud
gadis itu bilang ia dibawa paksa ke rumah kita yang satunya?” wanita itu ingin
tahu apa yang telah dilakukan anaknya.
“O, itu. Aku
hanya ingin memberitahukan padanya kalau sahabatnya itu tidak sebaik yang ia
kira Mi. Ingat tentang sahabatku yang mengkhianati aku beberapa tahun lalu?”
ujar Wowor dan langsung membuat maminya paham.
~
AemeL tidak
memaksa Teguh untuk menggantikan biaya berobat yang telah dibayar Julia tetapi
pria itu merasa harus melakukannya karena itu jenis tanggung jawabnya selepas
ia yang menyebabkan kecelakaan itu.
“Tidak sayang,
aku lakukan itu bukan hanya lantaran Julia itu sahabat kamu tapi ini murni
tanggung jawabku sebagai orang yang menyebabkan musibah itu. Aku mohon kamu
mengerti dan kalau aku kasih ke kamu lalu Julia marah dan tidak mau menerimanya
aku akan transfer ke rekeningnya Julia. Aku juga sudah menanyakan dari pihak
rumah sakit berapa semua biaya yang telah dikeluarkan termasuk biaya apartemen.
Kamu jangan khawatir, bagaimanapun caranya aku harus melunaskan semua itu.”
“Yeah,
terserah kamulah.” AemeL menyerah. Ia memang tahu nomor rekening Julia tapi
yang membuatnya pusing di mana gadis itu
sekarang.
Dan saat AemeL
dan Teguh hendak keluar dari gang tempat kontrakkan AemeL, Julia muncul namun
ia buru-buru menghindar. Wowor mungkin benar kalau selama ini AemeL tidak
pernah memikirkannya apalagi mencarinya. Melihat kenyataan betapa bahagianya
AemeL bersama Teguh membuat Julia merasakan rasa sesak di dalam dadanya
mendadak ia merasa susah bernapas.
‘Jika
kenyataannya seperti ini maka aku harus pulang ke Palembang sesegera mungkin.’
Julia coba menghela napas panjang lalu tanpa berpikir lagi mencari taksi untuk
pergi ke suatu tempat. Beberapa saat kemudian ia sudah berada di dalam taksi
menuju kawasan Tanah Abang, di sana ia punya beberapa tempat yang sudah ia
kenal yaitu tempat menginap satu malam bila mana ia membeli barang dagangannnya
namun tidak bisa pulang dalam hari itu juga, tidak jarang Julia lakukan bila
sedang tidak bersama AemeL, murah juga aman. Terbayang lagi dipikirannya ke
sosok AemeL dan Teguh, sekali lagi benar apa kata Wowor bahwa mereka sudah
jadian dan bahagia. Bertemu dengan pria idamannya membuat AemeL melupakan
sahabatnya sendiri. Mengingat itu memaksa Julia tersenyum getir. ‘Ya Tuhan,
mengapa ini bisa terjadi? Apakah AemeL setega itu? Ah, apakah yang aku lihat
itu sama seperti kenyataan atau hanya perasaanku saja? Tapi yang aku lihat
mereka berdua memang sedang bahagia-bahagianya. Aku tidak akan mengganggu kamu
lagi AemeL. Kita berjalan pada jalan kita masing-masing, mungkin akan lebih
baik jika kita seperti kemarin-kemarin lagi. Aku memang masih asing di mata
kamu. Selamat tinggal sahabat.’ Tanpa terasa air mata Julia mengalir lembut
melewati pipinya yang putih bersih. Taksi masih berjalan menembus jalanan
Jakarta yang ramai siang dan malam tiada bedanya. Setengah jam berikutnya taksi
berhenti Julia keluar dan membawa dirinya ke tempat penginapan yang kebanyakan
para pelanggan yang datang dari berbagai kota di tanah air, rata-rata mereka
punya usaha jualan
atau membuka toko sendiri di daerahnya.
Julia
merebahkan tubuhnya diatas tempat tidur sederhana sejenak untuk menghilangkan
penat lalu terpikir olehnya untuk mengaktifkan BB-nya. Sebentar saja muncul
beberapa BBM juga SMS masuk kebanyakan dari AemeL. Diantaranya...
‘Julia, aku
sudah tidak tahu lagi ke mana mencari kamu. Tolong hubungi aku.’ Ada debaran
yang susah Julia artikan saat membaca BBM itu. Julia coba menenangkan hatinya
sejenak, tak lama berikutnya ada pesan masuk dari salah satu bank swasta kalau
ada seseorang telah menstranfer uang ke rekeningnya. Julia mengecek jumlah
saldonya dan ternyata uang itu banyak sekali melebihi uang yang telah ia pakai
untuk membayar semua biaya pengobatan AemeL di rumah sakit.
‘Hmm... AemeL
telah mengisi rekeningku, apakah ia merasa telah berhutang padaku? Atau karena
kami tidak jadi jalan-jalan ke Bali. Aduh AemeL... apa maksud semua ini.’
Keesokan
harinya Julia ke bank untuk mengecek siapa yang telah menstranfer uang sebanyak
itu ke nomor rekeningnya. Apakah benar AemeL atau ada orang lain semisal Wowor
atau Teguh? Dan ternyata si Teguh.
AemeL yang
sudah bangun saat mengecek BB-nya dan melihat kalau BBM-nya sudah dibaca oleh
Julia langsung ia pencet nomor Julia. Saat itu Julia masih di bank. Tujuh detik
Julia membiarkan teleponnya menyala kemudian mengangkatnya.
“Julia..”
teriak AemeL dengan nada tertahan. “Kamu di mana? Kamu sehat?”
“Ya, ada apa?”
jawab Julia dengan singkat tanpa ada gejolak yang berarti seperti tekanan nada
suara AemeL yang masuk ke telinganya.
“Ya, Allah. Julia
apa yang terjadi dengan kamu? Kamu sudah di Palembang ya? Kamu kok tega banget
sih? Pergi tanpa pamit.. mungkin benar yang dikatakan oleh Wowor kalau kamu
memang sengaja meninggalkan aku.” AemeL tidak melanjutkan kata-katanya seakan
minta Julia bicara namun Julia tidak bicara, ia mengedarkan pandangannya ke
ruang tunggu di mana para nasabah menunggu nomor antrian. Lalu pikirannya ke
sosok Wowor yang mungkin selama ini sering bertemu dengan AemeL. “Julia....?”
lanjut AemeL.
“Em, siapa
yang mengisi saldo di rekeningku?” tanya Julia dengan pelan.
“Aku sudah
menjelaskan padanya tapi ia tetap ngotot untuk menggantikan semua biaya itu
termasuk uang sewa apartemen. Ia bilang
sebagai tanggung jawabnya karena telah menyebabkan kecelakaan itu. Julia, kamu
di mana? Aku ingin ketemu.” Tambah AemeL.
“Aku, nantilah aku kabarin lagi. Sudah ya..
aku tutup dulu teleponnya.” Kata Julia tanpa
memberitahukan keberadaannya kepada AemeL.
AemeL coba
menghubungi Julia lagi namun gadis itu tidak menggubrisnya. Terpikir olahnya
untuk menelepon ke Seema yang di Palembang namun urung karena khawatir mereka
tambah bingung kalau AemeL mencari sahabatnya.
Siang itu
Julia belanja untuk mengisi tokonya di Palembang setelah sebelumnya menghubungi
Seema dan mengabarkan kalau ia akan kembali ke Palembang siang nanti. Julia
tidak menanyakan apapaun pada AemeL tentang Wowor ataupun Teguh, terpikir
olehnya tentang Teguh yang menggantikan semua uang itu. Pria itu pastinya sudah
menguras isi tabungannya. Julia tahu pasti berapa gaji seorang jurnalis yang
bekerja di televisi kecuali ia punya pekerjaan sampingan. Meski ia sadar kalau
memang sudah seharusnya Teguh mempertanggung jawabkan kejadian itu namun kini
Julia jadi kasihan sama AemeL karena ia tahu tipe pria seperti apa idaman gadis
itu. Ah, tapi sepertinya AemeL bahagia apalagi ia tahu Teguh juga mencintai
AemeL.
~
Siang itu,
Wowor masih membahas tentang Julia bersama maminya sebab wanita itu masih
meragukan Julia untuk menjadi pendamping anaknya. Namun Wowor berusaha
meyakinkan mamikalau Julia adalah wanita
yang tepat untuknya.
“Mi, kenapa
sih masih membeda-bedakan suku dan ras dalam hidup ini?”
“Bukan seperti
itu Wor, buktinya mami sendiri menikah dengan papi kamu dari orang luar sono
tapi ini kasusnya berbeda. Mami sudah lihat sendiri teman mami punya mantu dari
luar pulau Jawa, terbukti mamtunya itu tidak bisa apa-apa, wataknya kasar kemauannya
semaunya saja.”
“Mami jangan
menyamaratakan sifat orang seperti itu.”
“Tapi umum nya
seperti itu. Oke, begini saja... kamu bilang saja ke Julia kalau kamu akan
menikahinya tapi kalau ia tidak ingin menikah dalam beberapa bulan ini berarti
ia tidak serius dengan kamu.” Tantang wanita itu meski sejujurnya ia menyukai
penampilan Julia meski apa adanya namun terlihat cerdas serta punya ketulusan.
Wowor pun mengiyakan kata-kata maminya.
Langkah
pertama yang harus ia lakukan adalah menghubungi Julia, meski tidak gampang
namun ia coba berkali-kali menekan nomor kontak Julia dan sayangnya tidak
sekalipun Julia angkat. Langkah selanjutnya ialah mendatangi tempat AemeL.
Kembali Wowor kecewa karena AeemeL juga tidak mengetahui keberadaan gadis
impian Wowor tersebut. AemeL sejujurnya kaget saat Wowor mencari keberadaan
Julia.
“Sejujurnya
aku tidak tahu keberadaan Julia.” Katanya dengan nada serius. “Sudah lama aku
mencarinya dan kamu tahu itu’kan? Bahkan selama ini aku selalu bertanya
sama kamu tentang Julia selalu kamu
jawab ‘untuk apa? Ngapain mencari dia? Ia tidak akan pernah memikirkanmu, ia
mungkin sudah pulang ke kampungnya tanpa pamit sama kamu.’ Dan anehnya aku
selalu percaya kata-kata kamu itu. Tapi sekarang untuk apa kamu mencarinya?”
AemeL mulai curiga sama dokter kalem itu walaupun sesungguhnya keyakinannya datang
dari kondisi persahabatan mereka yang memang dari beberapa bulan yang lalu
kurang harmonis dengan Julia.
Wowor menatap
sendu pada AemeL seolah tidak bisa menyembunyikan kerinduannya pada Julia. “Ae,
kamu tahu sendiri’kan kalau aku sangat mencintai dan menyayangi Julia. Aku
ingin membuat pengakuan sama kamu..” ujar Wowor dengan sungguh-sungguh dan
membuat AemeL berdebar menunggu pengakuannya karena kemarin-kemarin ia seakan
tidak peduli pada Julia dan mengapa sekarang ia ketakutan kehilangan Julia. “Selama
ini aku membawa Julia ke rumah mmm... bisa disebut vila kami tanpa
sepengetahuan kamu, Julia dan juga kedua orang tuaku.”
“Kamu.....!?”
sergah AemeL dengan cepat, bukan debaran lagi tapi kemarahan yang memuncak.
“Dengar dulu
Ae, aku belum selesai.” Kata Wowor coba meredam emosi AemeL walau ia sadar
kesalahannya sangat besar. “Aku lakukan semua itu karena aku sangat menyayangi
Julia, aku tidak ingin ia disakiti.”
“Disakiti sama
siapa?” AemeL semakin tidak sabar. Kali ini Wowor agak kesulitan untuk
menjelaskannya.
“Em.. aku
hanya khawatir kalau ada orang yang tidak tulus menyayanginya.”
“Maksud kamu
apa? Aku tidak mengerti.”
Wowor menghela
napas panjang lalu dengan hati-hati ia mulai menjelaskan apa yang ia maksud.
“Aku mungkin sangat menyayangi Julia sehingga melupakan kalau kamu juga
menyayanginya. Dulu.. aku pernah disakiti dan dikhianati oleh sahabatku
sendiri. Maafkan aku Ae. Kemarin sore aku mengajak Julia ke rumah dan bertemu
dengan mamiku, aku ingin menikahinya tapi sekarang aku
tidak tahu di mana keberadaaannya. Ia tidak angkat
telepon dariku sejak pergi dari rumah.”
“Aku belum
paham dengan kata-katamu yang mengajak Julia ke vila tanpa pengetahuan Julia,
apa maksudnya kamu telah menculik Julia?” AemeL masih penasaran.
“Begini Ae,
sebenarnya aku hanya ingin mengetes kamu.” Kata Wowor Jujur.
“Maksud kamu?”
“Begini, aku
hanya ingin tahu sejauh mana kamu mengkhawatirkannya... dan aku pura-pura tidak
tahu di mana Julia saat kamu datang padaku untuk bertanya tentang keberadaan
Julia dan yang aku lihat kamu sebenarnya biasa-biasa saja. Jadi kupikir kamu
tidak menyayangi Julia seperti Julia menyayangi kamu.”
“Hehm... kamu
itu tahu apa sih tentang kedekatanku dengan Julia.” Sindir AemeL merasa tidak
suka cara Wowor memperlakukan Julia. “Sudahlah... sebaiknya kamu cari tahu
sendiri keberadaannya dan aku sungguh tidak tahu di mana dia.”
“Aku minta
alamatnya yang di Palembang.” Lanjut Wowor.
“Apa.......? O,
jangan dulu sebelum aku tahu perkembangan selanjutnya.” Tegas AemeL tidak ingin
terjadi hal yang tidak diinginkan terhadap Julia. Kali ini AemeL melihat Wowor
lebih khawatir dari dirinya mengenai Julia. Semoga pria itu tidak bersandirawa.
Pikirnya. Seandainya Wowor punya motif lain maka AemeL tidak akan pernah
memaafkannya. ‘ya Tuhan apa yang harus aku lakukan?’
Sepeninggalan
Wowor, AemeL mengirim pesan kepada
Julia. Entah gadis itu mau membaca atau tidak yang penting ia harus
mengabarkan.
“Julia, kamu tahu..? aku ingin sekali bicara
sama kamu. Tolong jangan seperti ini.”
Pesan itu terkirim dan telah dibaca oleh Julia namun
beberapa lama AemeL menunggu tidak ada respon, untuk menulis pesan rasanya
terlalu lama membuang waktu meski demikian tetap saja tidak tuntas apa yang
akan dibicarakan. Tujuh belas menit berikutnya balasan pesan itu masuk.
“Nanti aku telepon, jangan sekarang.”
AemeL hanya
bisa menghela napas panjang karena ia tidak bisa berbuat apa-apa kalau Julia
sudah bilang seperti itu.
**
Julia Gadis
Sumatera
Apa kita bisa memilih untuk lahir di mana? Baik Julia
atau gadis manapun tidak bisa meminta kepada ibu dan bapaknya untuk lahir
sebagai anak Jawa, Kalimantan, Papua bahkan di negara Eropa sana. Karena kita
sudah dipilih oleh Tuhan lahir sebagai anak siapa dan tinggal di suku mana,
semua sudah jadi ketentuan yang maha Kuasa. Bukan tanpa sebab Julia memutuskan
untuk pergi karena ia bisa melihat kalau mami Wowor memandangnya berbeda
apalagi setelah menerima pesan dari Wowor yang tanpa sengaja mengatakan maminya
memang agak lain menilai gadis Sumatera. Dan dengan jelas Julia bisa memastikan
bagaimana orang diluar sana menilai gadis Sumatera. Julia di Palembang juga
punya banyak kenalan yang bisa dibilang dekat dengan orang-orang dari berbagai
suku yang ada di nusantara ini. Bagaimana detilnya Julia menjelaskan kalau
gadis Sumatera itu punya cara sendiri dan prinsip hidup yang tidak akan pernah
mereka mengerti sebagaimana mungkin juga tidak bisa dimengerti suku ibunya jika
Julia menjelaskan cara hidup atau pandangan hidup orang luar pulau Sumatera
tetap saja ibu Julia sulit memahaminya.
Puluhan tahun silam
para pemuda dan pemudi nusantara telah membuat sumpah yang dinamakan Sumpah
Pemuda tanggal 28 oktober 1928 yang berbunyi,
1.
Kami
putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air
Indonesia.
2.
Kami
putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
3.
Kami
putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Jadi apa yang tertera diatas tidak ada sedikitpun harus
diragukan kalau kita anak nusantara boleh dibeda-bedakan baik suku, bahasa juga
yang lainnya. Untuk apa mempermasalahkan dia suku Batak, Betawi, Bugis, Rejang,
Minang atau apapun itu yang penting dia orang Indonesia. Bukan itu saja, di
zaman sekarang bahkan dari zaman moyang Julia sudah ada yang menikah dengan
orang Belanda, Jepang bahkan Arab. Intinya Tuhan menciptakan manusia itu sama
jadi mengapa dipermasalahkan. Perkara orangnya kasar atau apalah itu tidak bisa
disebut karena ia berasal dari suku tertentu, sifat seseorang tidak bisa
dikategorikan persuku tapi itu sudah jadi sifat individunya masing-masing.
Julia adalah
Julia yang sudah dipilih oleh Tuhan lahir sebagai anak Sumatera, punya usaha,
punya hati, punya keluarga yang sangat mencintainya dan teman-teman yang baik.
Akan sakit hati jika ada yang mengatakan kalau gadis Sumatera itu kasar, keras
kepala sok kuasa atau sok dalam segala hal. Anak-anak Sumatera yang sudah merantau
atau menyeberang laut datang ke Jakarta atau ke kota manapun yang ada di tanah
air ini punya kemauan keras untuk maju sehingga mereka tidak takut mati,
mempertahankan harga diri dan menjunjung tinggi nama baik tanah kelahirannya di
kampung. Bukan itu saja, sekali bilang ‘ya’ tetap ‘ya’ begitupun sebaliknya.
Jadi apa masalahnya? Apakah itu salah? Julia tidak pernah menyesal terlahir
sebagai gadis Sumatera meski ada yang mengatakan orang Sumatera itu begini dan
begitu.
Setelah
menyelesaikan semua urusan toko dan dibantu teman-teman, Julia kini sedang berdiam
dia tempat kosnya. Sudah saatnya ia menghubungi AemeL meski lelah pulang dari
Jakarta membawa barang untuk isi toko.
Sesaat saja
telepon terhubung. “Halo..”
“Julia,
ceritakan tentang semua, aku kangen sekali dan ingin tahu di mana kamu
sekarang?”
“Ya.” Suara
Julia santai sesantai ia bersandar di tempat tidurnya meski hatinya dipenuhi
rasa tidak tenang dengan berbagai kejadian selama ini. “Aku sekarang di
Palembang dan baik-baik saja. Aku harap kamu juga begitu dan satu hal yang
ingin aku katakan padamu, semoga kamu sama Teguh bahagia.” Ujar Julia dan
membuat jantung AemeL agak berdegup kencang lalu terhenti. Belum sempat AemeL
membantah Julia sudah melanjutkan ucapannya. “Satu lagi, semoga kamu tidak
bertemu dengan Wowor.”
“Bagaimana
mungkin, ada apa dengan kamu dan Wowor? Kemarin Wowor datang ke tempatku.”
Jelas AemeL dan tentu saja Julia tidak kaget.
“Dia tidak
mendesak kamu? Baiklah, akan aku ceritakan sedikit.” Ujar Julia karena tidak
ingin menyusahkan AemeL dengan sikap Wowor yang belum ia pahami. Julia tak mau
peduli apakah yang pernah dikatakan Wowor tentang diri AemeL benar atau tidak.
Beberapa saat setelah mendengar cerita Julia memaksa AemeL menghela napas
panjang.
“Kenapa sih
Jul, kamu harus percaya sama orang lain? Bukannya dari dulu kita sudah berjanji
apapun yang pernah terjadi diluar sana atau dalam individu kita masing-masing
tidak perlau bertanya sama orang lain. Sejujurnya aku kecewa dengan kamu yang
pulang tanpa memberitahu aku. Kamu tersinggung dengan sikapku selama ini? Dulu
kita juga pernah membahas masalah itu, kalau persahabatan kita tidak boleh yang
namanya punya rasa seperati itu. Tapi kamu...?”
“Ae, mengapa
kamu memojokkan aku? Kamu tidak tahu kalau aku...?”
“Aku tahu
bagaimana perasaan kamu saat Wowor menyekapmu tapi kamu tidak boleh pulang
begitu saja setelah melihat aku dengan Teguh, kalau kamu tidak tanya langsung
kamu tidak akan tahu apa yang kami lakukan, aku mencari kamu seperti orang gila
Julia.” Suara AemeL mulai serak. “Tidak perlu aku meragukan perasaan sayang
kamu ke aku’kan?” saat AemeL mulai mempertanyakan rasa peduli dan sayangnya
pada sahabatnya itu membuat Julia kesal dan melempar BB-nya ke atas kasur dan
membiarkan gadis itu menjerit memanggilnya.
AemeL yang
menyadari kata-katanya hanya mampu menatap layar BB-nya. Kalau sudah begitu ia
tahu apa yang sedang Julia lakukan akhirnya ia memutuskan sambungan telepon ke
nomor Julia. Ia menghela napas berat lalu mengambil buku yang dibeli Julia dan
menulis
menggunakan bollpoint tinta emasnya.
‘Tinta emas, maafkan aku. Julia
mungkin tidak tahu kalau aku sangat menyayanginya. Kadang aku sadar kalau ia
juga teramat menyayangi aku dengan kecemasannya, dengan rasa kangennya yang
suka berbarengan denganku dan juga dengan perhatiannya yang suka berlebihan
namun entah mengapa aku seringkali merasa ia tak peduli denganku. Maafkan aku
Julia... apa pun yang terjadi di dunia ini sering membuat aku tak bisa
melupakanmu dan seperti sekarang ini kamu tidak tahu kalau aku ingin sekali ada
kamu di sini, bersamaku.’
AemeL
mengakhiri tulisan di buku indah itu, banyak sekali suka duka yang telah ia
jalani bersama Julia selama ini. Sejenak AemeL mengukir senyum manis kala ingat
kebersamaannya saat di daerah Bogor dan Jakarta kala ia mengantar AemeL belanja
atau sekedar jalan-jalan. Makan es krim bersama, duduk berjam-jam di tempat
makan membicarakan isi dunia ini tak ketinggalan tentang teman-teman sekolah
dulu. Tak sedikit teman pria yang menyukainya dan banyak juga yang mengatakan
langsung kepada AemeL agar mereka dicomblangi kepada Julia. Hmmm... AemeL tidak
akan rela jika ada salah satu temannya yang coba menyakiti Julia apalagi dengan
sengaja melakukannya. Dan sekarang Wowor mendekati Julia, apakah ia tulus
mencintai Julia atau sekedar observasi? AemeL ingin sekali mengetahuinya. Sikap
pria itu saat AemeL amnesia dengan sekarang ini agak berbeda. Apalagi setelah
Julia menjelaskan kalau ibunya Wowor agak-agak ‘alergi’ dengan gadis Sumatera.
Pasti ada sebab mengapa ia seperti itu. Julia adalah gadis yang pantang
menyerah, pantang diremehkan. Apa jadinya kalau gadis itu masuk ke dalam
keluarga Wowor. Pikir AemeL.
Julia kembali
mengambil BB-nya yang dari tadi tergeletak di atas tempat tidur dan pastinya
sudah tidak tersambung lagi dengan AemeL. Tidak ada BBM masuk dari AemeL sudah
Julia duga karena mereka sebenarnya sudah mengenali karakter masing-masing
meski masih saja suka salam paham.
“Julia, aku
akan mencarimu ke Palembang meski AemeL tidak mau memberitahukan alamat kamu.”
Pesan itu membuat Julia agak marah karena lebih terdengar mengancam daripada
memberitahu. Julia berusaha tidak menghiraukan BBM dari Wowor yang hanya
membuatnya naik darah saja. Dan dengan
perasaan pasti akhirnya Julia memutuskan untuk kembali ke Jakarta guna
menyelesaikan permasalahannya dengan Wowor. Seolah bisa membaca apa yang akan
dilakukan Wowor karena ia tidak ingin ada keributan di tempat kosnya ataupun di
Palembang. Intinya ia tidak ingin mempermalukan pria itu.
~
Julia
mengabarkan pada AemeL jika ia kembali ke Jakarta namun ia tidak mengatakan
pada AemeL kalau ia akan bertemu dengan Wowor terlebih dahulu. Di rumah sakit
Julia menemui Wowor dan tentu saja pria itu merasa teramat bahagia. Artinya
Julia akan menerima cintanya dan ia akan segera menikah seperti janjinya pada
maminya.
Di tempat
makan siang. “Aku senang sekali kamu bisa ke sini. Habis dari sini kita
langsung ke rumahku ya.” Ujar Wowor dijawab Julia hanya dengan tatapan penuh
tanya. “Julia, bicaralah.. apa kamu benar dari Palembang atau sengaja
bersembunyi di tempat kos AemeL?” setidaknya Wowor merasa bahagia karena Julia
menemuinya sebelum ketemu AemeL, itu artinya Julia lebih mementingkan dirinya
daripada sahabatnya. Apakah Julia lebih kangen dengan Wowor dibanding AemeL?
“Kamu tidak
kenal aku juga AemeL, jadi janganlah menuduh yang bukan-bukan. Kedatanganku ke sini hanya ingin
menyelesaikan urusan kita.” Sahut Julia coba mencari keseriusan Wowor, ia lebih
suka pria itu menyayanginya daripada mencintainya.
“Maafkan aku
Julia.. aku peduli sekali sama kamu. Aku bisa melakukan apa saja untuk kamu.”
‘Hmm.... signal tidak baik.’ Pikir Julia. Jika
ada seorang pria berkata semacam itu pertanda bahaya karena bukan tidak mungkin
ia menyakiti orang lain demi mendapatkan orang yang diinginkannya. Tak peduli
apakah itu ibunya sendiri atau orang-orang terdekat si wanita. Bahkan ia bisa
membunuh orang yang diinginkannya dengan kata lain, jika ia tidak bisa memiliki
maka orang lainpun tidak. Menyeramkan! Julia menghela napas panjang. Apakah
pria yang ada dihadapannya sekarang ini punya cinta atau obsesi? Dua hal yang
sangat berbeda.
“Apa yang kamu
inginkan dariku?” suara Julia lembut namun penuh keberanian.
“Kamu pikir
aku bisa menjelaskannya?” hela Wowor dengan nada putus asa. “Aku ingin dekat
dengan kamu Jul, selalu. Apakah itu karena perasaan cinta atau yang lainnya?
Aku tidak tahu. Ada rasa sakit di sini kalau jauh dari kamu.” Tambah wowor
menunjuk dada kirinya.
“Jika aku jauh
dari kamu tapi aku bahagia, apakah kamu masih merasa sakit?” entah mengapa
Julia tidak lagi menyebut Wowor dengan ‘anda’ dan itu tidak disadari oleh
Wowor.
“Pertanyaan
yang sangat sulit dijawab. Apa yang harus aku katakan andai bersamaku tapi kamu
tidak bahagia... tolong jelaskan padaku apa yang mesti aku lakukan?” julia
tidak menjawab pertanyaan balik dari Wowor selain meneruskan menikmati
makanannya yang sempat tertunda. Sedang wowor hanya menatap gadis itu. Dan
terkadang terlihat cuek, penuh perhatian, bicara penuh wibawa juga bermutu
tinggi isi obrolannya. Bagaimana ia tidak sakit hati jika jauh dari gadis
seperti Julia. Jarang bahkan ia tidak pernah bertemu dengan gadis se-tipe
dengan Julia. Ah, wowor belum bertemu saja dengan yang lain.
“Apa rencana
kamu selanjutknya?” tanya Julia diluar dugaan wowor. Kedua insan itu saling
tatap.
“Jika aku
ingin menikah dengan kamu apakah itu berlebihan?”
“Atas dasar
apa ingin menikahiku?” Julia tidak bermaksud pria itu menganggapnya jual mahal
karena dia bukan barang dagangan yang ada di tokonya bukannya juga bermaksud
meremehkan Wowor. Sebelum Wowor menjawab Julia tersenyum simpul. Sejujurnya
tidak ada bahkan belum ada wanita yang berani bicara seperti cara bicara Julia
yang Wowor temui. Lagi-lagi gadis itu memperlihatkan mutunya dihadapan Wowor.
“Kamu semakin
membuatku penasaran Julia. Satu pertanyaanku padamu, apa kamu mau menikah
denganku?” tanya Wowor penuh harap karena ia tidak tahu apa yang akan dijawab
oleh Julia. Sejenak Julia mengamati kondisi tempat makan mewah itu dan cukup
ramai dengan macam-macam bentuk dan corak manusia. Ia tidak menyangka kalau
Wowor akan melamarnya di tempat itu. Kembali ia menatap Wowor. Ia tidak akan
mengatakan mau jika maksudnya hanya untuk coba-coba karena sebenarnya ia pun
masih meragukan perasaannya pada Wowor.
“Tidak.” Jawab
Julia akhirnya dengan nada pelan seakan tidak ingin menyakiti perasaan Wowor.
Jawaban itu membuat Wowor tersenyum getir dan sudah ia duga sebenarnya meski
tidak pasti sebab ia juga tidak yakin sepenuhnya kalau Julia akan menolak
lamarannya. Jawaban itu tanpa tedeng aling-aling dengan kata lain ‘beri aku
waktu untuk berpikir atau sejenisnya.’ Itu jawaban yang tidak bisa
ditawar-tawar lagi. Julia sengaja menatap Wowor untuk menunggu reaksinya. Ia
berharap urusannya dengan Wowor selesai sampai di situ. “Apa pun yang telah
terjadi selama ini, aku anggap selesai Wor.” Ia tidak ingin mengupas lagi
tentang penyekapan itu atau yang lainnya.
“Kesalahanku
mungkin terlalu fatal ya? Tapi aku tidak ingin hubungan kita berakhir Julia.
Satu hal yang ingin aku beritahu ke kamu lagi.. tolong buktikan pada mamiku
kalau gadis Sumatera ataupun orang Sumatera itu tidak seperti yang ada
dipikrannya.”
“Maksud kamu?”
Julia belum mengerti ke mana arah kata-kata itu.
“Menikahlah
denganku.” Wowor meminta dengan sopan.
O o, apakah
tidak ada cara lain? Kalau Julia menolak apakah tidak ada orang lain yang bisa
membuktikan itu? Gejolak dalam diri Julia mulai berkecamuk antara harga diri,
nama baik orang Sumatera dan pertaruhan dirinya dengan mami Wowor. Julia pikir
bertemu dengan Wowor akan menyelesaikan masalahnya dan sepertinya baru saja
dimulai.
**
AemeL Baes dan
Julia Aurora
AemeL Baes
tentu saja merasa dinomor duakan setelah mengetahui Julia memilih bertemu dengan Wowor, itu tidak
biasanya. Rasa kangen AemeL pada Julia dibumbui kekecewaan yang dalam.
“Jangan
seperti anak kecil.” Ujar Julia saat mereka berpelukan di tempat kos AemeL.
Meski tak menjawab AemeL belum bisa menerima kenyataan itu. Apapun alasannya ia
ingin Julia menemuinya terlebih dahulu lalu mereka akan bertemu dengan Wowor
berdua. Julia sudah menjelaskan mengapa ia memutuskan untuk bertemu dengan
Wowor dulu.
“Tetap saja pria itu besar kepala.”
“Sudahlah, aku
mina maaf sekarang beri aku mimun.. aku kangen dengan kopi buatanmu.” Julia
coba menenangkan AemeL.
AemeL
tersenyum dan entah mengapa ia merasa ada kecemburuan teman di dalam
persahabatan itu. Dari dulu AemeL memang selalu mendapat kabar paling pertama
apapun dari Julia. Ia di mana, sama siapa, dan mau pergi ke mana. Dan aneh
rasanya jika Julia mengabaikan hal itu.
“Kita ke
Bali....!” seru AemeL saat membawakan dua gelas kopi untuk mereka.
“Tidak. Aku
hanya ingin menikmati tempat yang dekat, nyaman dan sejuk.” Sekilas ia menyimak
kaki AemeL yang belum sembuh total tapi AemeL mengabaikannya walau terkadang
masih suka terasa ngilu kalau lelah.
“Ke danau.
Tempatnya tidak begitu jauh.” Sahut AemeL merasa Julia punya alasan sendiri
untuk tidak pergi jauh karena Julia adalah penyuka traveling.
Lima belas
menit berikutnya kedua gadis itu sudah ada di tepi danau yang tenang di daerah
Cinere, Julia yang mengendarai motor AemeL memutuskan untuk cerita tentang
Wowor di tempat itu. Di bawah pondok yang teduh mereka hanya ditemani minuman
es kelapa muda.
“Apakah Wowor
menjelaskan mengapa ia mengurung kamu di rumah kosongnya?” tanya AemeL tidak
sabar.
“Tidak begitu
jelas apa alasannya.” Julia menyeruput es kelapanya.
“Ia bilang
sama aku kejadian itu lantaran ia tidak ingin kamu kecewa. Khususnya
terhadapku. Aku tidak begitu paham apa maksudnya.” Kata AemeL. Julia melirik ke
AemeL.
“Wowor berkali-kali
mengatakan kalau kamu tidak pernah peduli sama aku, apakah aku hilang, mati
atau apalah namanya, saat aku ingin pergi dari rumahnya pertama yang ia katakan
tidak usah menghubungi kamu karena kamu sedang berbahagia dengan Teguh. Dan
keyakinanku yang tak tergoyahkan hancur saat melihat kamu keluar berdua dengan
Teguh dari tempat kos kamu dan pikiranku mengatakan kalau aku memang tetap
asing di matamu. Malam itu aku ingin ke tempatmu dan mengatakan kalau aku
baik-baik saja agar kamu tidak khawatir tapi ternyata aku salah. Malam itu juga
aku ke Tanah Abang mencari penginapan dan paginya belanja setelah itu pulang ke
Palembang karena sudah cukup membuat Seema khawatir selama ini.”
“Julia,
Julia...” hela AemeL dengan napas sesak. Ia melemparkan pandangannya ke arah
danau yang tenang. Di jam kerja suasana danau menjadi lengang seakan membuat
napas AemeL tambah sunyi meski ada sahabaat yang paling ia sayangi
disampingnya. Julia mungkin tidak akan percaya kalau ia telah mencarinya seperti
orang gila.
“Aku datang ke
Jakarta berharap urusanku dengan Wowor selesai nyatanya tidak. Ia malah
menantangku agar menikah dengannya.” Tambah Julia menghilangkan keheningan yang
panjang diantara mereka. Kali ini AemeL menatapnya dengan seksama.
“Menantang
bagaimana, maksudnya?”
“Ibunya
mengatakan kalau gadis Sumatera itu beda, beda dalam arti yang tidak baik dan
punya sifat yang tidak umum. Seperti kasar dan keras kepala.”
“Oh, jadi?
Maksudnya kamu merasa tertantang? Untuk apa? Untuk membuktikan pada dunia kalau
gadis Sumatera tidak seperti itu? Ngapain?” kata AemeL merasa mulai kesal
mendengar hal itu. Ia tidak menyangka keluarga Wowor seperti itu khususnya
ibunya. “Tapi Wowornya tidak seperti itu’kan?”
“Kamu pikir
kalau Wowor tidak seperti itu, aku bisa tenang?”
“Ya aku tahu.”
Jawab AemeL dengan cepat. “Emm... ngomong-ngomong mengapa kita harus jatuh
cinta dengan orang di luar pulau Sumatera ya?” tambahnya seolah untuk dirinya
sendiri.
“Kita? Lo aja
kali....” canda Julia dengan gaya anak Jakarta membuat AemeL senewen.
“Itukan karena
kita hidup di pulau ini.”
“Kamu saja
yang hidup di pulau ini, aku sih masih di Palembang dan hanya sekali-kali saja
datang itupun untuk membeli barang daganganku.”
“Huuuu...”
AemeL memukul bahu Julia dengan lembut. Dengan begitu Julia tahu manja anak itu
mulai keluar. Entah mengapa ia suka menggoda AemeL dan jika AemeL mulai marah
ia baru bicara serius.
“Kenapa kamu
kasih nomor rekeningku dengan Teguh?” mata Julia menatap ke danau yang mungkin
tidak akan pernah tahu dari mana saja orang datang untuk melihat keindahannya.
“Kamu pikir
aku punya pilihan?”
“Kamu
mencintainya?”
“Kau tahu pria
seperti apa yang aku idamkan, apalagi orangnya serius.”
“Sepertinya
kamu tidak punya pilihan lagi.” Goda Julia lalu menoleh ke arah kaki AemeL.
“Sepertinya sudah membaik.” Diikuti oleh mata AemeL lalu ia mengangkat sedikit
kakinya. “
“Sejujurnya
masih sering sakit.” Jawab AemeL. Pikiran Julia langsung melayang pada
peristiwa di mana AemeL terbaring di rumah sakit dan tidak sadarkan diri,
setelah sadar tahu-tahunya tidak ingat dengan dirinya. Julia merasa sedih.
“Kamu kenapa sih, kok diam?”
“Apa kamu
masih menganggap aku asing di matamu Ae?” tanya Julia diluar dugaan AemeL
membuat AemeL mengalihkan pandangannya ke danau. Sekali-kali ia menghela napas
berat. Karena setiap kali ingat itu dadanya terasa sakit. Ia tidak membenci
Julia dan mana mungkin ia mampu membenci karena setiap kali rasa benci itu
muncul puluhan kali rasa kangennya menyeruak dan Julia tidak pernah tahu itu.
“Sejujurnya
aku sangat sedih dengan esemes kamu
yang terakhir dengan alasan tidak ingin mengecewakanku dan memutuskan untuk
pergi.” Kata AemeL dengan pandangan masih ke hamparan danau.
“Apa kamu
pikir aku punya pilihan waktu itu?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar