Senin, 23 Februari 2015

Gerhana Cinta sang Bintang


        
          Acara resepsi pernikahan Randu dan Dio diadakan di kediaman Randu Bintang. Putri satu-satunya dari pasangan almarhum Damar Bintang dan Seruni Bintang itu berlangsung begitu meriah dan  megah. Bagaimana tidak, Randu adalah seorang pembalap yang sangat dikenal dan Dio seorang pengusaha Dept. Store ternama di kota Metropolitan.
         Acara pernikahan mereka merupakan paling berkesan diakhir tahun itu. Kerabat Randu dan Dio ditambah dengan teman-teman Rimba juga Arif menambah semarak suasana dan sempurnanya pesta, yang telah dipersiapkan tiga bulan sebelumnya dan melibatkan ahli wedding planer terkenal. Ribuan orang memberi ucapan ‘semoga bahagia’
         Setiap tamu yang datang seakan tidak mau kalah dengan kecantikan Randu dan ketampanan Dio. Namun tak ada yang mampu meredupkan pesona Randu yang berdampingan dengan Dio di malam yang bersejarah itu.
*
         Di pagi yang tidak begitu cerah, saat terbangun Randu menemukan sosok Dio di sebelahnya. Pria itu telah menjadi suaminya. Randu duduk bersandar lalu menarik napas panjang. Tidak banyak kejadian yang bisa ia ingat, dan tidak ada juga yang luar biasa. Dio ikut bangun dan mendapati Randu yang sudah duduk memeluk selimut dengan bahu terbuka.
         “Pagi sayang… sudah bangun dari tadi?” Dio menciumi pipinya. Randu tersenyum karena pria itu sudah menjadi miliknya. Tetapi apakah dia juga mencintai pria itu….??
         Menjelang siang Randu membuka lemari pakaiannya untuk ganti baju. Ia mengambil baju dalam lipatan. Saat menarik bajunya, tiba-tiba sebuah benda jatuh ke lantai, mata Randu mengikuti benda itu.
         ‘Jam  tangan? Ya Tuhan..’ Randu meraihnya. ’Lintang….?’ Panggil batinnya spontan. Ia menggenggam jam itu sangat erat. Ada debar rindu di dadanya yang paling dalam.
**
Bab 1
Lintang, kembali
         Siang itu pula.....
         Di Bandara Soekarno-Hatta keluar seorang wanita dari pintu kedatangan luar negeri. Penampilannya begitu mempesona bahkan lebih menarik dari setahun yang lalu. Dia mengenakan sepatu hak tinggi dan kaca mata hitam serta celana jins dan baju kasual. Rambut panjangnya digulung dan diikat ke atas seakan sengaja memperlihatkan bentuk lehernya yang jenjang untuk dibelai oleh angin tropis. Ia menarik kopernya dan berdiri sesaat untuk menghirup udara negeri kelahirannya.
         ‘Randu….’ Nama itu yang keluar pertama kali dari mulutnya tak kala berdiam diri di tempatnya sejenak seakan ada magnet yang begitu kuat di tempat tersebut. Ada peristiwa yang menghantam perasaannya di lantai yang ia pijak tepat setahun silam. Ia coba menarik napas begitu dalam lalu berjalan ke pinggiran Terminal. Taksi menghampirinya. Ia pun masuk ke dalam taksi dan meninggalkan Bandara menuju Jakarta. Dalam waktu setahun Jakarta di matanya tidak berubah dan yang lebih menyebalkan adalah tradisi macetnya yang semakin hari semakin parah. Kendaraan umun terus menumpuk, kendaraan pribadi terus bertambah dan kendaraan roda dua kian merajalela. Apa jadinya Jakarta dalam sepuluh tahun mendatang? Kecelakaan terus terjadi, baik di darat mau pun udara.
         Taksi itu membawa penumpangnya ke sebuah hotel yang berbintang 4 di kawasan Jakarta Selatan., wanita itu turun dan akan menginap di sana untuk beberapa hari. Malamnya ia turun ke bar yang ada di lantai dua hotel untuk sekedar menikmati minuman ringan. Sebenarnya ia masih lelah dan seharusnya istirahat di kamar. Tapi ia tidak bisa melakukannya karena memikirkan suatu hal yang terus saja mengganggu pikirannya. Sebab berdiam diri akan membuat pikirannya bertambah lelah. Dia benci bila itu terjadi dan harusnya ia mengunjungi orang itu supaya rasa penasarannya hilang. Atau setidaknya meneleponnya untuk sekedar mengatakan kalau dia sudah ada di Jakarta. Sebab sejak berada di dalam pesawat ia telah membayangkan sebuah pertemuan yang indah namun kenyataannya ia hanya bisa membayangkan dan tidak mampu untuk mewujudkannya. Payah!
         Seorang pria yang dari tadi mengamatinya kini menghampirinya, menyapa dan duduk di sebelahnya.
         “Hello… Lintang…?” suara itu terdengar ragu-ragu antara kenal dengan gadis itu atau takut salah.
         Gadis itu menoleh dari tempat duduknya. Sosok pria setengah baya itu sedang tersenyum untuknya. Dia sangat mengenali pria itu.
         “Pak Produser…” Katanya ikut tersenyum.
         Pria itu mengangsurkan tangannya, mereka berjabat tangan. “Panggil saja Edgar, tanpa
embel-embel Produser, ini bukan lokasi. Bagaimana kabar kamu? Setelah kecelakaan di samping rumah Randu itu kamu menghilang. Semua orang jadi tahu kalau yang kecelakaan itu adalah Rimba. Masyarakat sudah bisa menerima sebuah kenyataan kalau Rimba harus berhenti dari dunia hiburan, namun ia tetap seorang bintang di dunianya yang lain. Dia sekarang menjadi seorang penulis cerita yang bermutu.” Kata Produser mereka dengan panjang lebar. Lintang tersenyum karena pria itu ternyata masih mengenalinya tanpa rasa ragu lagi.
         “Seorang bintang kalau sudah ditakdirkan lahir sebagai bintang, maka apa pun yang menimpanya, maka dia akan tetap terus berkilau.”
         “Bagaimana dengan kamu sendiri?” itu pertanyaan mengandung tantangan positif.
         Lintang menyulut rokoknya dan menatap Pak Edgar. Pria itu menunggu jawabannya. Luka di keningnya sudah benar-benar menghilang tanpa bekas.
         “Takdir saya berbeda..” Katanya pendek tanpa bermaksud apa-apa.
         “Lintang, bintang tetaplah bintang tidak ada yang bisa mengubahnya. Takdir boleh saja berbeda tapi bintang tidak akan pernah berpisah dari kilauannya.” Lintang tidak bisa memahami kata-kata pria itu. Sesaat ia mengamati sekeliling bar, ia juga tidak memahami mengapa Produser sekelas Pak Edgar berada di tempat seperti ini, apakah akan mencari bakat-bakat terpendam yang dimiliki oleh pengunjung bar? Ia menatap pria itu lagi. Pria itu tersenyum dan siap untuk pergi. ”Senang berjumpa dengan kamu lagi, kemarin Randu menikah, kamu hadir, kan?” pria itu berdiri sebelum melihat perubahan di wajah Lintang. ”Aku baru saja kembali dari luar kota, belum sempat memberi ucapan selamat padanya. Tapi akan aku telepon dia, seandainya kamu menemuinya sampaikan juga salamku. Kamu ingat dengan pertemuan pertama kita waktu di Singapura? Aku harap ini pertemuan yang sama dengan tujuan yang sama tapi jalan yang berbeda…” Dia menyentuh bahu Lintang sekilas. ”Kuharap kita akan bertemu lagi, secepatnya.” Lintang melepas kepergian pria itu tak sepatah pun ia menanggapi ucapannya.
         ‘Randu menikah kemarin.’ Hanya itu yang terngiang di otaknya. Kata-kata itu seakan menghujam jantungnya hingga hancur lebur. Ia meraih gelasnya, meneguk isinya hingga habis. Minuman dingin itu seakan terasa amat pahit di tenggorokannya, di lidah dan sampai ke hati. Setahun sudah ia pergi namun tak sehari pun ia bisa menepis bayangan wajah Randu dari hidupnya. Dan saat ia kembali mendapati berita yang luar biasa hebatnya, sehebat rasa sakit di hatinya saat ini.
         ‘Randu, kamu membuat hatiku sangat sakit. Aku ingin sekali membencimu, ingin sekali!’ Lintang beranjak dari kursinya, karena kepalanya mendadak sakit. Ia kembali ke kamar dan menyalakan TV. Seorang wanita cantik sedang membacakan berita malam, mengenai anak-anak yang mengalami busung lapar. Fenomena pemandangan yang memilukan, sepuluh detik berikutnya berita otomotif. Lintang bermaksud memindahkan chanel tapi…
         ‘Seorang pembalap kenamaan negeri ini, yang akhir-akhir ini kembali serius ke Sirkuit, kemarin malam mengadakan acara resepsi pernikahannya di kediamaannya. Si Randu Bintang itu disunting oleh seorang Pengusaha Departemen Store yaitu Dio Bano. Setelah berpacaran lebih kurang tiga tahun…’ layar memperlihatkan acara resepsi itu, sangat meriah. Lintang tidak terkesan dengan suasana pesta, ia mencari sosok Randu. Empat detik berikutnya baru wajah sang pengantin diperlihatkan, di-shoot dengan zoom, namun mata Lintang tertuju kepada Randu seorang. Rasa rindunya semakin terasa membumbung tinggi, sekaligus diikuti rasa benci.
         ‘Aku membencimu, ternyata aku bisa juga membencimu!.’ Gumannya lirih.
         Saat topik berita diganti, Lintang baru menyadari kalau dia sudah meneteskan air mata. Ia
meraih telepon di kamar hotel dan menelepon ke rumah Randu. Sesaat saja sudah tersambung.
         “Hallo…, kediaman Randu Bintang, dari siapa?”
         “Bi Ijah…?” Lintang agak kecewa tapi masih bisa tersenyum tipis, tentu saja Bi Ijah yang mengangkat telepon. Sebab Randu jarang sekali mengangkat telepon rumah.
         “Iya…” Jawab wanita itu.
         “Tolong bisa dengan Randunya, Bi…?”
         “M.. boleh tahu dari siapa ya?” sahut wanita baik hati itu.
         “Temennya, bisa cepat, Bi?” nada itu tidak sepenuhnya mengandung printah.
         “M, iya. Tunggu sebentar.” Wanita itu menemui Randu. Lintang menunggunya dengan perasaan tidak menentu. Berkali-kali ia menarik napas panjang.
         “Siapa, Bi?” Kata Randu setelah Bi Ijah muncul di kamarnya. Kamar itu sudah diubah dengan sedemikian rupa. Hanya ada sebuah tempat tidur hingga terkesan begitu luas. Dio sedang di depan laptopnya.
         “Katanya dari teman, Non.” Ia masih memanggil Randu seperti itu.
         “O,” Randu mendahului Bi Ijah setelah terlebih dahulu menoleh ke Dio, pria itu hanya tersenyum. Bi Ijah sudah kembali ke kamarnya. Randu menghampiri meja telepon dengan pakaian tidur yang sama seperti sebelumnya. Kemeja panjang plus celana dalam. Ia tidak bisa menebak siapa yang menelepon.
         “Hallo…?”
         “Randu…?” Suara itu agak bergetar.
         “Iya, siapa…?” tanya Randu dengan tenang.
         “Aku…” Randu menunggu. Lintang kecewa karena Randu tidak mengenali suaranya, tapi itu lebih baik. ”Aku… hanya berharap semoga kamu bahagia…” Lintang menutup teleponnya dengan sangat hati-hati setelah menyelesaikan kata-kata itu.
         “Hallo…?” Kata Randu namun telepon sudah terputus membuat Randu penasaran.  Lintang menarik napas panjang. Sementara Randu masih penasaran, ia menekan tombol radial dan menghubunginya kembali.
         “Halloo.. selamat malam, Hotel Rafflesia bisa di bantu?”
         ‘Hotel?’
         “Halloo..?” Ulang suara dari seberang.
         “O, maaf.. saya rasa saya salah. Terima kasih, ya.” Randu menutup telepon dengan perasaan yang masih diliputi rasa penasaran. ’Barangkali seseorang yang tidak sempat hadir di acara resepsiku kemudian memberi ucapan lewat telepon, tapi siapa ya, kenapa ia tidak menyebut namanya? tapi itu bukan ucapan dari hotel itu. Tadi Bi Ijah bilang dari seorang teman. Dia seoarng wanita, siapa dia?’ Randu masih tidak bisa menebak.
         Sebenarnya Lintang tidak bermaksud membuat Randu penasaran, tapi itu sudah terjadi.
*
        
         Veldo sedang makan siang bersama istrinya di kafe mewah yang bersebelahan dengan gedung apartemen Selatan Jakarta. Ia sengaja menemani istrinya yang sedang hamil 4 bulan, yang ngidam untuk makan es krim di tempat itu. Istri Veldo tidak bisa dibilang cantik tapi begitu manis. Hidungnya kecil panjang, rambutnya lurus sebahu dan yang lebih penting dia pandai memilih busana. Itu membuatnya punya nilai lebih.
         Es krim yang dipesan Veldo bukannya dihabiskan tapi dia malah asyik menikmati Veldo yang sedang menghabiskan makan siangnya. Veldo menatap istrinya.
         “Nggak nafsu makan, ya? Habisin dong makanannya, masa cuma aku yang makan? Kan kasian dedeknya..”
         Istrinya yang manis itu malah tersenyum lalu mengangsurkan es krim ke Veldo. “Buat kamu saja, aku kan sudah mencicipinya.”
         “Mencicipi..?” Veldo mengeryitkan alisnya seperti orang bingung.
         “Iya, buat si kecil biar aku makan yang lain saja..”
         “Apa..?”
         “Seperti yang kamu makan.” Ujar wanita itu dengan santainya.
         Veldo menoleh ke piringnya yang nyaris kosong. Ia makan nasi goreng udang lalu menatap istrinya lagi.
         “Ya sudah, biar aku pesan lagi.” Ujarnya kemudian.
         Wanita itu tersenyum dan sebelum Veldo beranjak dari kursi, dia melihat sahabat suaminya yang baru masuk ke dalam kafe, sendirian.
         “Sayang tunggu.” Katanya membuat Veldo menoleh. ”Ada Randu tuh..!”
         “Jangan bercanda. Randu tidak menyukai tempat makan seperti ini, aku dan Rahman sangat mengenali selera makannya.”
         “Tapi itu buktinya…” wanita itu menunjuk ke arah sosok yang masuk kafe.
         Veldo mengikuti arah mata istrinya. Wanita itu sedang menuju kursinya, seorang pelayan menghampirinya.
         ‘Lintang.’ Guman Veldo setelah sejenak mengamati wanita itu, rambutnya dijepit.
         “Apa masih mau mengatakan kalau kamu sangat mengenali seleranya?” sindir istrinya.
         “Tentu saja..” Kata Veldo dengan nada pasti. ”Biar kupesan makananmu dulu, tunggu sebentar ya aku mau menyapanya.” Veldo beranjak dari kursinya.
         “Suruh gabung ke sini saja sekalian.” Kata istrinya serius.
         Veldo melambaikan tangannya ke arah pelayan dan setelah memberi pesanan ia menuju meja Lintang yang sudah mengambil tempat duduk.. Sebelum menyapa, Lintang sudah melihatnya terlebih dahulu.
         “Veldo..?” sapa Lintang dengan nada riang.
         “Hai..” Veldo mengangsurkan tangannya. Mereka berjabat tangan. ”Bagaimana kabar kamu?” meski membalas sapaan Lintang dengan senang tapi Veldo tak bisa menyembunyikan keheranannya.
         Lintang tersenyum. ”Tidak begitu baik.” Ia tak begitu serius menjawab pertanyaan Veldo.
         “Bagaimana jika aku undang kamu makan di meja kami, akan aku perkenalkan kamu sama istriku.” Beritahu Veldo dan ia bersyukur karena istrinya telah lebih dulu mengundangnya.
         “Oh ya…? Ternyata..” Lintang tertawa bahagia mendengar kabar Veldo sudah menikah, Veldo ikut tertawa dan Lintang pun setuju untuk bergabung.
         “Haloo Randu..” Sapa istri Veldo menyambut Lintang. Veldo hanya tertawa kecil.
         “Lintang…, kenalkan, ini Rossi, istri saya.” Ujar Veldo dan tentu saja membuat Rossi heran karena suaminya menyebut nama Lintang.
         Lintang menyambut uluran tangan Rossi. “Lintang…” ia memperkenalkan diri. “Senang berkenalan dengan kamu Rossi.” Ujar Lintang. Rossi berdiri. Lintang melihat ke perut wanita itu. ”Ternyata kalian akan menjadi calon Papa-Mama, selamat ya.” Tambah Lintang.
         “Terima kasih.” Setelah menyambut tangan wanita itu ia menatap suaminya. Veldo memahamni kebingungan istrinya. ”Silahkan duduk.” Katanya masih belum paham.
         Veldo tidak bisa menjelaskan secara detil tentang Lintang kepada Rossi. Dia mengajak berbincang hal-hal yang biasa-biasa saja, karena ia merasa tidak enak dengan Lintang-nya sendiri, meski merasa tidak nyaman dengan situasi itu. Hingga sampailah waktunya ia mengantar istrinya karena harus kembali ke kantor.
         Di mobil.
         “Kamu kok gak menebak Lintang sebagai Randu? Padahal dia kan lebih mirip ke Rimba.”  Kata Veldo setelah menjelaskan siapa Lintang secara singkat sangat singkat.
         “Ya tentu saja tidak, Rimba kan masih agak pincang, sementara gadis itu? Jalannya saja
lebih gagah. Kamu sama Rahman kok bisa ya berteman dengan Randu lalu bertemu dengan Rimba yang mirip Randu, kemudian Lintang yang kamu bilang lebih sempurna sebagai Rimba.”
         Veldo melirik istrinya sekilas.
         “Ceritanya sangat panjang sayang…”
         “Iya aku tahu, tapi menurut aku, wanita yang tadi itu agak sedikit misterius. Tadi dia bilang lagi mencari apartemen untuk tempat tinggal. Memangnya selama ini ia tinggal di mana? Dan apa pekerjaannya?”
         “Pertanyaan kamu itu sulit sekali menjawabnya sayang.. biar aku jawab lain kali saja ya?” Veldo menoleh ke Rossi dan tersenyum untuk minta pengertiannya.
         “Kamu itu kalau malas mikir selalu jawabnya begitu.”
         “Dari pada nanti aku salah jawab..” Katanya jujur. Rossi hanya tersenyum. setelah mengantar Rossi pulang ia langsung ke kantor dan menelepon Rahman yang masih betah menyendiri. Tiga kali ia coba menghubungi dan baru diangkat.
         “Man.., ke mana aja sih? Ponsel juga gak aktif.” Nada suara Veldo seperti orang menagih hutang.
         “Sorry, baru kelar rapat. Ada apa, kayaknya penting banget?”
         “Lintang Man, dia di Jakarta..”
         “Di sini..? becanda lo?!”
         “Sumpah! Waktu gue makan siang sama Rossi, dia masuk ke kafe yang sama dan Rossi
mengenalinya sebagai Randu. Barusan Man…, barusan.” Tegas Veldo.
         “Tentu saja ia menebak Randu. Lintang’kan tidak pincang.” Tandas Rahman.
         “Kami makan di satu meja, gue undang dia bergabung di meja kami.”
         “Apa dia cerita kapan dia kembali?”
         “Nggak, gue sama Lintang belum cerita sejauh itu. Paham dong, lo? Rossi kan belum tahu apa-apa.” Jelas Veldo. Rahman diam. kalau saja bukan Veldo yang telepon maka dia tidak akan percaya dengan pendengarannya sendiri. ”Man…?”
         “Ya.. gue ngerti. Tapi jangan cerita apa pun dulu ke Randu ya? Gue harus makan dulu, sudah kelaperan nih, ntar gue telepon balik.”
         “Oke.”
*
         Rimba sedang menulis, waktu Tante Didi datang bersama Romi. Akhir-akhir ini Tante Didi menjalin hubungan serius dengan Romi. Usia Romi sepuluh tahun di bawah Tante Didi. Hal itulah yang membuat Rimba agak keberatan dengan hubungan mereka. Rimba keluar dari ruang kerjanya menuju ruang tamu. Ia menyambut Tante dan memeluknya.
         “Sayang… bagaimana keadaanmu?” Tanya Tantenya.
         “Baik.” Sebelum duduk ia menyalami Romi. ”Apa kabar, Rom…?”
         “Seperti yang kamu lihat.” Pria itu tersenyum. Pengurus rumah membawakan minuman segar untuk tamu Rimba. Tante menatap Rimba serius.
         “Rimba, ada yang ingin Tante sampaikan sama kamu..”
         ‘Kami ingin menikah.’ Pasti itu berita yang akan Tante sampaikan. Kata Rimba dalam hati agak mengeluh.
         “Tante akan pindah ke luar kota dalam waktu dekat ini.”
         “Apa…?” Ucap Rimba tak percaya. Tante tersenyum lalu menoleh ke Romi. Pria bongsor yang menawan itu ikut tersenyum. Tante kembali ke Rimba.
         “Beberapa bulan yang lalu perusahaan Ekspor-Impor milik Pak Damar membuka cabang di Batam, kamu juga tahu itu, kan?” ucap Tante Didi pelan.
         “Apa Randu yang meminta Tante ke sana?”
         “Tidak sayang, ini murni kemauan Tante.”
         “Bagaimana dengan Romi?” Rimba menatap pria itu dan dengan jarak ia berharap mereka saling melupakan. Eh Romi malah meraih tangan Tante dan menggenggamnya erat.
         “Aku selalu menghormati apa pun keputusan Didi dan aku sudah melamarnya, dia menerima, tinggal menunggu waktu yang tepat.” Sahut pria itu dengan nada senang.
         “Pekerjaan kamu bagaimana?” Rimba berbicara seperti layaknya Ibu Didi.
         “Sayang…” Tante tidak mau Rimba terlalu ikut campur dengan hubungannya sama Romi.
         “Aku kan bekerja di Dealer mobil ternama dan kapan pun aku bisa pindah ke Batam. Kami punya beberapa cabang di sana.” Tambah Romi tanpa bermaksud membela siapa pun.
         “O…” Tetap saja Rimba tidak bisa mempercayainya. ”Silahkan di minum Rom, Tan…”
ketika Arif kembali, Rimba mengajak Tante ke ruang kerjanya. Mereka membiarkan Romi berbincang dengan Arif. Beberapa saat berikutnya Tante mengamati ruangan kerja Rimba yang lumayan luas. Yang dipenuhi peralatan laptop, mini compo, dan dua buah kursi serta tumpukan kertas. Sebuah jendala besar yang selalu terbuka, di luar terlihat pepohonan cemara yang indah. Tante akui, Rimba pandai menata rumahnya.
         ”Maaf Tante.. kalau aku meragukan kejujuran Romi.” Rimba merasa tidak enak. Tante melirik Rimba yang duduk di kursinya lalu menarik satu kursinya. Ia menghela napas pelan.
         “Alasan kamu hanya satu, kan? Perbedaan usia kami. Romi hanya tua dua tahun dari kamu. Tante memahami itu sayang….., tapi Romi tulus mencintai Tante.”
         “Tante Didi, zaman sekarang banyak cowok pecundang atau para petualang cinta yang memanfaatkan wanita matang dalam arti materi..”
         “Kamu terlalu banyak menulis atau berkhayal? Bagaimana mungkin kamu bisa berkata begitu?” tante Didi tetap dengan karakternya, bicara pelan dan tenang.
         “Aku hanya tidak ingin cowok itu melukai hati Tante, dan berharap Romi bukan termasuk tipe cowok semacam itu dan mudah-mudahan dia pria sejati.” Rimba sengaja menekan di kata-kata ‘Cowok’ dan juga di kata ‘Pria’
         “Cowok dan Pria..?” Kata Tante.
         “Iya.. karena cowok dan pria berbeda 180 derajat.”
         Tante tersenyum menanggapi keseriusan Rimba. Ia menoleh ke laptop lalu beranjak dari kursinya.
         “Tante rasa sebaiknya kau teruskan menulismu.”
         “Tante…..?” Ujar Rimba lagi. Tante menoleh. ”Pastikan Romi memiliki orangtua, saudara dan apa dia benar-benar memiliki pekerjaan seperti yang ia ceritakan itu?”
         Tante memeluk Rimba. Ia sangat memahami maksud dari keponakannya itu.
         “Tante pulang dulu ya.” Ia seakan menanamkan keyakainan kepada Rimba kalau Romi adalah pilihannya yang tepat. Seperti keyakinannya pada perbedaan antara PRIA dan COWOK.

**Pria akan jatuh cinta sepuluh persen pada pandangan pertama dan akan terus meningkat.
Cowok jatuh cinta seratus persen pada pandangan pertama dan terus menurun.
Pria pada usia tiga puluh tahun sudah banyak uang.
Cowok pada usia tiga puluh tahun banyak pengeluaran dari pada penghasilan.
Pria pada usia tujuh belas tahun bisa berbicara seperti orang empat puluh tahun.
Cowok pada usia empat puluh tahun berbicara seperti orang tujuh belas tahun.
Pria bisa membuat wanita tenang.
Cowok bisa membuat wanita senang.
Pria setuju dengan Emansipasi tetapi tetap membayar makanan wanita.
Cowok setuju Emansipasi tapi lebih suka wanitanya yang membayar makanannya sendiri.
Pria suka main golf, nonton CNN dan membaca karya Chris Grisham.
Cowok suka main bilyar dan nonton Harry Potter.
Pria bila putus akan bersalaman dan bilang ’Kita memang tidak jodoh tapi masih bisa
berteman.’
Cowok bila putus akan bersalaman dan bilangTidak usah bertemu lagi.’
Pria lebih suka menyembunyikan pacarnya.
Cowok lebih suka memamerkan pacarnya karena ingin terlihat dewasa.
Pria lima tahun ke depan sudah tahu apa yang harus dikerjakan.
Cowok lima menit ke depan tidak tahu apa yang harus terjadi.**(1)

         Itulah salah satu voting acara di Radio yang pernah Didi dengar beberapa waktu yang lalu. Yaitu perbedaan mendasar dari jenis mahluk yang sama namun berbeda dalam arti pemikiran dan sikap.






-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
(1)      By : Female Radio FM, Jakarta.                                                               

*
         Lintang menemukan apartemen untuk ditempati dalam satu tahun ke depan. Pak Edgar meneleponnya dan saat itulah ia bertanya tentang sebuah pekerjaan untuknya.
         “Sudah seminggu ini aku menunggu kamu menyinggung masalah itu. Lama sekali kamu berpikirnya.” Tukas pria yang tahu sekali dengan bakat akting Lintang.
         “Maafkan saya, saat itu sebenarnya saya baru pulang dan masih bingung..”
         “Aku sempat dengar itu, kabarnya kamu habis melanglang buana ke negeri orang, pastinya tidak ke Singapura, kan?” Keduanya tertawa ringan. ”Pastikan telepon aku dulu sebelum kau memutuskan untuk datang ke kantorku.”
         “Pasti.”
         Dua hari berikutnya. Lintang mengunjungi kantor Edgar di daerah Slipi. Ia masuk ke kantor yang bisa disebut standar itu, jauh dari kemewahan. Karyawannya terlihat serius namun santai. Mereka menatap Lintang sebagai Rimba. Lintang sedang menyadari hal itu, karena dia lebih mirip Rimba dibanding Randu. Namun ia tidak mau terganggu dengan hal itu. Sebab saat ini dia bukan Rimba atau pun Randu. Bagaimanapun mereka sangatlah berbeda. Ia mengetuk pintu ruangan Edgar setelah di telepon oleh sekretarisnya.
         “Masuk.” Terdengar suara dari dalam. Lintang memutar handle pintu lalu mendorongnya
sedikit. Edgar tersenyum.
         “Pagi pak…”
         “Pagi Lintang..” ia mengabaikan komputernya. ”Silahkan duduk.” Sambutnya ramah.
         “Terima kasih.” Lintang menarik kursi.
         “Kamu tambah dewasa.. O ya.., apa ada yang menyapa kamu seperti ’Rimba, atau Randu apa kabar?’ ada?” Lintang menggeleng. ”Berarti itu kabar baik.”
         “Maksudnya?” Lintang tidak mengerti.
         “Aku punya tokoh yang harus kamu perankan..”
         “Tetapi saya tidak akan pernah lagi berperan sebagai Rimba, apa pun alasannya.”
         “O tidak, itu tidak mungkin. Publik sudah tahu kalau Rimba telah meninggalkan dunia akting. Kamu tahu kenapa karyawanku tidak menyapa kamu sebagai Rimba atau Randu? Karena Rimba masih agak sedikit pincang dan Randu memiliki rambut sebahu. Lupakan dulu masalah yang itu. Maksud aku begini, aku punya tokoh bagus buat kamu. Memerankan seorang wanita dewasa yang sudah mapan dalam karir, tapi selalu bermasalah dalam urusan asmara. Karena setiap pacarnya selalu beranggapan kalau si cewek ini selalu mementingkan karir dari apa pun juga. Kurasa kau tidak butuh lebih dari seminggu untutk observasi peran ini. Dan untuk film berikutnya ada cerita dari tulisan Rimba yang menarik.”
         “Rimba? Saya harus memerangkan tokoh yang ditulis oleh Rimba? Maafkan saya Pak Edgar.” Mimik wajah gadis itu jelas-jelas menolak dengan halus tokoh dari novel Rimba.
         Pria itu tersenyum. ”Apa kamu meembencinya?”
         “Tidak. Sama sekali tidak.” Sahutnya dengan sangat cepat.
         “Baiklah, kita lupakan saja yang itu. Kamu akan ditangani oleh Sutradara yang dulu, aku percaya kamu bisa bekerja dengan sangat profesional .”
         “Saya juga harap begitu..”
         Edgar memang menyukai Lintang, gadis itu memiliki kepribadian perpaduan antara Rimba dan Randu.
*
         Belum seminggu.. Edgar, Sutradara dan Artis pendudung film ‘Di antara banyak pilihan’ mengadakan jumpa pers singkat untuk memberitahukan bahwa mereka akan membuat film dengan Artis pendatang baru yang bernama Lintang. Yang akan berperan sebagai wanita karir, yang harus memilih antara karir, calon pendamping, pandangan masyarakat, dorongan orang tua serta banyak hal yang harus dipertimbangkan.
         Di kantornya Randu, ia terpaku menyaksikan wajah Lintang di layar kaca yang sedang tersenyum ke arah kamera.
         ‘Tuhan…., Lintang telah kembali. Dia di Jakarta dan kembali bermain film? Kapan dia kembali? Kenapa dia tidak menemui aku atau setidaknya menelepon aku? Menelepon?! Apakah malam itu telepon dari dia? Ah, kenapa aku ini?’ Randu gelisah sendiri. Ia menatap tangannya yang mengenakan jam pemberian dari Lintang. Memorinya menggelar kembali kenangan bersama Lintang, dari sejak Lintang hadir di rumahnya sebagai Rimba. Melanjutkan film Rimba, dan ia pun memperoleh piala Citra yang diwakili olehnya untuk mengambil piala tersebut. Lalu Lintang kecelakaan ia merasa amat takut kehilangan, kemudian Lintang pergi ke luar negeri ia mengantarnya ke Bandara dan di Bandara…? ‘Ya Tuhan…, kenapa aku tidak pernah mampu untuk melupakan kejadian itu?’
         Randu menarik napas dalam-dalam, lamunannya buyar oleh deringan telepon dari Dio. Ia mengangkat ponselnya.
         “Hai…, jangan lupa makan siang ya?”
         Randu tersenyum. ”Kamu juga.”
         “Tentu saja sayang…, aku nanti mungkin pulangnya agak malam soalnya ada sedikit masalah di Mall Tangerang. Jadi gak usah tunggu aku untuk makan malam, maafin aku ya?”
         “Nggak apa-apa..” Kata Randu datar.
         “Oke, kalau begitu… I love you.. daaa…”
         ‘I love you.’ Kata itu membuat Randu spontan ingat saat Lintang mengucapkannya di Bandara. Ia memang tidak dapat mendengar tapi ia bisa melihat dengan sangat jelas kala mulut Lintang melapaskannya. Dia mengucapkannya sesaat setelah ia menyentuh bibir Randu. Kata-kata itu memang tidak diteriakan oleh Lintang karena dia memang sengaja mengatakannya hanya untuk Randu seorang.
*
         Rahman coba menghubungi Randu tapi ponselnya tidak aktif.
         Rimba mencari Randu ke rumah, dan Bi Ijah mengatakan kalau Randu pergi dari sore membawa mobil sportnya.
         Tante Didi menelepon Rimba karena ia baru saja melihat kemunculan Lintang di TV.
         Veldo menelepon Rahman untuk mengatakan kemungkinan Randu sudah tahu keberadaan Lintang di Jakarta.
         Randu…! Di mana dia…???
         Saat ini ia sedang menghabiskan bensinnya di Sentul. Pikirannya sedang kacau. Keinginannya untuk menemui Lintang begitu besar. Tapi yang menjadi pertanyaannya, keinginan seperti apa itu..??? menyebalkan! Randu sangat kecewa dengan dirinya yang memikirkan Lintang secara berlebihan sementara Lintang sendiri sudah melupakannya.
         ‘Aku benci kamu Lintang!’ gumannya kesal.
Ia kembali ke rumah hampir pukul sepuluh malam. Saat mengaktifkan ponselnya. Ada beberapa pesan pendek yang masuk.
         Dari Rahman ‘Ran… gue ingin ketemu.’
         Dari Rimba ‘Randu… kamu di mana?’
         Dari Dio ‘Sayang.. aku sudah menuju rumah.’
         Dari Om Bob ‘Kembaran ke tigamu telah kembali.’
         Tak satupun ia balas pesan-pesan itu.
         ‘Aku harus kembali ke dunia balap.’ Itu yang ada di otaknya saat itu. Randu membayangkan Sirkuit Spa Francorhamps, Belgia.
        
         Lintang sudah menjalani shooting pertama di sebuah gedung, di lantai 17-nya. Kantornya
di film ada di sana. Berperan sebagai eksekutif muda, Lintang diharuskan berpakaian feminin, elegan dan glamour. Brillian dan menarik, bergaul dengan kelas atas punya sopir pribadi dan olah raganya golf, fitness dan ia digambarkan sebagai wanita karir yang memiliki pendirian yang kokoh.
         Pada dasarnya Lintang dan Randu memiliki keinginan yang begitu kuat untuk bertemu, tapi tak ada satu pun di antara mereka yang mampu untuk mewujudkannya. Randu memenuhi ajakan Rahman untuk bertemu, apalagi pikirannya lagi buntu. Mereka bertemu waktu jam makan siang di Burger kafe. Randu menghela napas panjang sesaat setelah duduk dihadapan Rahman, Rahman menatapnya seraya tersenyum.
         “Bagaimana…?”
         “Apanya……..?” Kata Randu balik bertanya.
         “Yaa.. perasaan lo? Apa senang? Bingung? Atau penasaran karena Lintang belum menghubungi lo? Atau apa..?”
         “Tidak tahu, dan ada yang belum gue cerita. Sehari semalam setelah pernikahan gue, ada seorang wanita menelepon ke rumah. Dia bilang ‘Kuingin kamu bahagia.’ Dia tidak menyebut namanya. Sebelumnya, waktu Bibi yang mengangkat telepon dia mengaku sama Bibi sebagai teman gue. Saat telepon di tangan gue, gue gak mengenali suaranya dan waktu gue telepon balik ternyata itu nomor Hotel Rafflesia.”
         Rahman tertawa lalu diam Randu mengamatinya, ia tidak tahu apa yang sedang dipikirkan Rahman.
         “Siangnya, Veldo dan Rossi bertemu dengan Lintang di kafe yang bersebelahan dengan hotel tersebut. Saat itu Veldo mengajak istrinya makan dan Veldo akhirnya mengajak Lintang bergabung, makan bersama.”
         “Kok sekarang baru ngomong? Apa kalian mencoba menyembunyikan kedatangan Lintang dari gue?”
         Rahman coba menebak arti dari pertanyaan Randu itu. Kecewakah dia? “Bagaimana kabar Dio dan bisnis kalian?”
         “Baik.” Randu menyadari kalau Rahman sedang mengalihkan topik pembicaraan. ”Gue akan kembali ke dunia balap.” Kata Randu tanpa terduga.
         “O, benarkah?” Rahman tersenyum lebar.
         “Gue belum cerita ini sama siapa pun dan ini baru rencana gue. Man…?”
         “Apa….?”
         “Gue harus ketemu dengan Lintang.”
         “Untuk…?” Tanya Rahman sembari menghabiskan sisa makan siangnya. Randu belum menjawab memaksa Rahman menatapnya lagi dengan lebih seksama..
         “Entahlah…” Kata Randu akhirnya.
         “Randu, jangan bermain api. Gue kenal banget sifat lo dan gue belum pernah melihat lo seperti ini.” Rahman mengamati sahabatnya yang sedang bimbang dan bicara tanpa tujuan.
         Randu menarik napas dalam-dalam dan meneguk mimuman kalengnya.
         “Kenapa lo gak marahin saja gue.” Katanya pelan seakan pasrah dengan vonis Rahman. ”Padahal lo tahu niat gue.”
         “Gue baru saja bilang ‘jangan bermain api.’ Itu sudah jelas banget.”
         Randu tertawa halus. Itu peringatan pertama dari sahabatnya. Tapi Rahman tidak akan bisa memahami perasaannya meskipun ia tidak pernah merahasiakan apa pun dari Rahman. Itulah rahasia hati yang sulit untuk dipahami meski sudah dijelaskan. Sejatinya itulah yang disebut dengan rahasia hati.
**
Pertemuan
         Saat tidak ada jadwal shooting, Lintang mengunjungi Rimba. Malam itu Arif pun sedang ada di rumah. Kalau mau jujur, Rimba mencoba merasa senyaman mungkin mengahadapi sosok Lintang. Mereka saling bertanya kabar masing-masing.
         “Kepergian kamu lebih lama dari yang aku perkirakan.” Kata Rimba yang duduk di sebelah Arif.
         “Aku sempat magang di satu negara.”
         “Kamu bukan tipe cewek yang betah menganggur, baru kembali saja sudah sibuk. Apa sudah bertemu dengan Randu?” Tanya Arif bijaksana.
         ‘Randu?’ Nama itu mengganggu pikiran Lintang. Rimba menunggu jawabannya. Ia ingat saat Lintang meneleponnya waktu di pulau kecil itu. ’Apa kau tahu hubungan apa yang dinamakan satu tingkat di atas persahabatan?’
         “Belum. Aku belum bertemu dengan Randu.”
         ‘Apa dia jujur?’ Batin Rimba.
         Obrolan mereka berlanjut ke meja makan. Mereka makan malam bersama, Lintang tahu Rimba dan Arif menikah tak lama setelah ia pergi. Sepertinya mereka belum dikaruniai seorang baby. Malahan Veldo yang sepertinya akan mendahului mereka.
         Setelah beberapa saat Lintang pergi dari rumahnya, Rimba tidak bisa berhenti memikirkannya dan ia mengkhawatirkan Randu karena apa pun bisa terjadi.
         Sementara Randu sedang menemui Tante Didi di dalam ruangannya. Wanita itu menerimanya sebagai teman, rekan kerja dan sekaligus menganggapnya sebagai keponakan. Sebagai penanggungjawab perusahaan, Randu memang sering menemui Tante Didi untuk minta nasihat hal yang menyangkut urusan kantor.
         “Kenapa…?” Kata Didi setelah Randu duduk. Randu mengamati ruang kerja Didi sejenak. Ruangan itu selalu tertata rapih.
         “Tante, bagaimana kalau seandainya Tante akan tetap di sini? Biar orang lain saja yang menangani kantor yang di Batam.”
         “Kamu ini bicara apa sih? Apa Rimba yang mempengaruhimu? Jangan dengarkan dia.”
         “Tidak. Dalam minggu ini aku bahkan belum bertemu dengannya atau pun meneleponnya. Aku bermaksud kembali ke dunia balapan.”
         Didi menatap Randu tidak percaya. “Oh ya? Kembali ke hobi awal?” Tanyanya. Randu tersenyum. ”Tapi bagaimana kalau Tante tetap akan pindah?”
         “Boleh saja, jika sudah benar-benar yakin kalau ada oarng yang pas untuk menggantikan posisi Tante di sini.”
         “Tentu saja sayang…” Katanya lembut dan pasti. Dia tidak akan membiarkan perusahan itu dipegang oleh orang sembarangan. Sebab ia merasa seakan sudah menyatu dengan perusahan itu. Dia sangat mencintai pekerjaannya. Dan rasa resfect-nya kepada Almarhum Pak Damar yang begitu tinggi membuatnya mampu bertahan dan berjanji untuk memajukan perusahaan.
         “Oh ya, bagaimana perkembangan hubungan Tante dengan Romi?”
         “Dia melamar Tante.”
         “Benarkah….? Kalau begitu selamat untuk Tante.” Randu memberikan ucapan selamat disertai senyum yang cemerlang.
         “Terima kasih, tapi sepertinya Rimba punya pandangan berbeda dengan kamu.”
         Randu mengamati Didi dengan seksama. Ia memahami kenapa Rimba tidak merespon hubungan Didi dengan Romi. Tapi ada banyak hal yang orang tidak bisa mengerti. Apalagi kalau sudah menyangkut urusan hati. Itu pasti menyakitkan.
         “Yang terpenting kan, Romi dan Tante saling mencintai.”
         “Itu dukungan yang sangat berarti, bukan maksud Tante untuk tidak memahami kekhawatiran Rimba, kekhawatirannya terkadang berlebihan.”
         Randu tersenyum untuk memahami banyak hal, namun masih saja lebih banyak hal yang tidak bisa ia pahami.
         Dan satu hal yang bisa Randu pahami saat ini, yaitu memacu mobilnya menyusuri sirkuit yang sudah hampir 4 empat tahun ini ia tinggalkan.
         Menikah dengan Dio bukan berarti ia tidak bahagia. Bulan madu pun mereka lewati di Bali selama seminggu. Dio pria yang menarik, pengertian dan bisa menjadi pendengar yang baik untuk Randu.
*
        
         Lintang menyadari kalau dia harus bertemu dengan Randu. Ia mendatangi Veldo untuk bertemu Randu melalui veldo, sahabatnya Randu. Ia minta Veldo mengatur pertemuannya dengan Randu nanti malam. Dan atas rekomendasi Lintang mereka mengatur untuk bertemu di sebuah Coffee Shop. Veldo yang baik hati itu menghubungi Randu. Entah atas dasar apa, Randu pun menyetujuinya meski sudah berpikir tujuh belas keliling.
         Veldo yang jarang berpikir dua kali, akhirnya menelepon juga ke Rahman. Rahman terkejut dan nyaris saja ia memaki Veldo. Tapi tidak ada gunanya lagi. Yang penting sekarang bagaimana caranya untuk membatalkan pertemuan itu?
         ‘Rani. Rani pasti bisa membantu gue.’
         Rani adalah seorang wanita yang menarik. Akhir-akhir ini ia menaruh perhatian lebih kepada Rahman. Dia seorang guru yang mengajar di SMU. Tinggal satu blok dari tempat Rahman. Mereka sudah beberapa kali bertemu. Pertama kali berpapasan di jalan, kedua.. Rahman pernah coba menawarkan untuk berangkat kerja bareng. Ketiga mereka bertemu di acara resepsi pernikahan salah satu kerabat mereka.
         Malam nanti Rahman akan mengajak Rani mengunjungi rumah Randu. Dia harus sampai di rumah Randu sebelum Randu pergi menemui Lintang. Dari kantornya ia menelepon Rani. Pukul lima belas biasanya Rani sudah ada di rumah. Ia tinggal bersama orang tuanya dan ia punya kakak cowok yang sudah menikah dan tinggal di pulau seberang.
         “Hallo…?”  Itu suara Rani.
         “Hallo Rani, apa aku mengganggu tidur siang kamu?”
         “Rahman, ada apa? Kamu pasti masih di kantor, kan?”
         “Tepat sekali. Kamu punya acara gak nanti malam?” ia mulai memasang jaringnya.
         Rani diam, tak biasanya Rahman bicara seperti itu. ‘Aku tidak boleh berpikiran macam-macam, Rahman memang baik, menarik dan aku tahu dalam enam bulan ini, ia baru putus dengan pacarnya. Tidak mungkin ia mengajak aku kencan.’
         “Rani, aku hanya bertanya kok tidak dijawab?” suaranya melambat seperti orang sedang memohon.
         “Mhmm.. tidak, aku tidak ke mana-mana.”
         ‘Yess…!’ Hampir saja Rahman berteriak senang.
         “Ya kalau begitu aku jemput kamu sebelum jam tujuh.”
         “Apa….?” Rani seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
         Rencara Rahman memang berjalan sangat mulus. Ia dan Rani tiba di rumah Randu tepat sebelum Randu berangkat. Randu tidak bisa meninggalkan Rahman walau pun sebelumnya ia sudah pamit sama Dio untuk menemui seseorang. Rahman memperkenalakan Rani sebagai kekasihnya kepada Randu dan Dio. Dan itu kejutan besar untuk Rani.
         Rahman tahu, jika mereka tidak ada perasaan apa- apa tidak mungkin Lintang ingin bertemu dengan Randu melalui perantara segala, mereka itu sudah lama kenal dan Lintang sudah pernah tinggal di rumah Randu hampir satu tahun, tidak masuk akal kalau Lintang tidak mau langsung bertemu dengan Randu dengan datang langsung ke rumahnya. Semua sahabat di dunia ini akan memahami itu, jika mereka benar-benar berteman.
         “Kenapa tidak telepon dulu kalau mau ke sini?” Kata Randu. Ia kecewa dengan Rahman, tapi Rahman tahu apa yang Randu pikirkan.
         “Randu benar, dengan begitu kita bisa menyiapkan makan malam yang enak sebelumnya. Dan Randu tidak perlu bikin janji untuk ketemu dengan temannya.” Tambah Dio dengan polosnya. Ia memang pria baik hati dan selalu berpikiran positif kepada siapapun
         Rahman tersenyum, ia melirik Rani dan memegang tangannya.
         “Tadinya tidak terpikir olehku, soalnya takut Rani menolak ajakanku. Dan mengenai makanan lezat itu urusan belakang yang terpenting bisa membawa Rani ke sini dan mengenalkannya sama kalian, itu merupakan sebuah kebahagiaan tersendiri bagi kami.”
         ‘Rahman!! Kau bermain api. Memang untuk menyelamatkan sahabatmu adalah niat yang baik, tapi kau melukai hati wanita lain yang tidak tahu apa-apa, kau kejam!’ Di sebelah hati Rahman yang lain sedang berbisik, bahkan memaki dirinya.
         Randu hanya tersenyum. Sepertinya ia menyukai pacar baru Rahman, walau pun Rahman
membawanya di waktu yang tidak tepat. Randu gelisah, karena waktu tak bisa kompromi dan Lintang sedang menantinya.
         “Aduh Ran…, kita merasa jadi gak enak nih.” Kata Rahman sok merasa bersalah. Karena menyadari kegelisahan Randu. “Tapi kita akan segera pulang kok kalau ada orang penting yang nungguin lo”
         Lagi-lagi Randu terseyum. Ia menatap Rani. ”Nggak apa-apa, aku akan meneleponnya. Gue tinggal sebentar, ya?” Randu beranjak dari ruang tamu, menuju sisi kolam renang. Rahman mengamatinya lalu melirik ke Dio. Pria yang cool.
         “Gue benar-benar merasa gak enak Dio. Biar gue bicara sama Randu sebentar.” Ujarnya. Dio mengangguk. Rahman menyusul Randu. Randu sedang melirik jam tangannya. Kemudian menatap ponselnya. Ia merasa tidak mampu untuk menelepon. ”Kenapa Ran…? Terlambat untuk membatalkan janji, ya? Gue minta maaf, ya.”
         Randu menoleh ke Rahamn. ”Nggak apa-apa kok.”
         “Tapi kayaknya lo sangat gelisah? Janji sama siapa sih? Biar nanti gue bantuin untuk minta maaf.”
         “Bukan siapa-siapa.” Jawab Randu dengan nada berat.                 
         “Randu…, gue kenal banget sifat lo. Lo sedang merahasiakan sesuatu dari gue, kan?”
         “Sudahlah Man.., gue udah bilang bukan siapa-siapa. Lo berlebihan banget sih?!” Kata-kata Randu agak ketus. Ia kembali ke ruang tamu. Rahman menghela napas panjang. Ia kecewa, ternyata demi Lintang Randu rela berbohong kepada sahabat sejatinya. Belum pernah terjadi.......

=======