( Helen, Razthi, Esty, Lexa, Liliana,
Apbriel, Gendys, dan Elyana )
**
PERTEMUAN
Jelang fajar, seorang perempuan ditemukan oleh
pengurus rumahnya dalam keadaan tidak sadarkan diri tergeletak di depan pintu
kamarnya. Di dalam genggaman tangannya ada secarik kertas yang bertuliskan ‘jika
terjadi hal yang tidak diinignkan menimpa aku maka tolong hubungi ketujuh nomor
ponsel dibawah ini.’
Seorang pengurus rumah yang panik bukannya
menghubungi nomor-nomor yang tertera di kertas itu malah menghubungi sebuah
ambulan agar perempuan itu dibawa ke rumah sakit karena melihat ada noda darah
yang keluar dari kepalanya dan sebuah meja kecil yang terbuat dari kayu terlihat
bergeser dari tempatnya.
Tidak berapa lama kemudian ambulanpun datang
dan membawa perempuan itu ke rumah sakit ditemani pengasuhnya yang setengah
baya. Diruang tunggu ia terlihat panik dan bertanya-tanya sendiri mengapa
perempuan itu bisa jatuh di depan pintu kamarnya tanpa ia dengar suara-suara
sebelumnya.
Seorang perawat datang menemui pengasuh
karena perempuan yang pingsan itu akan segera ditangani oleh tim medis melalui
prosedur tentunya.
“Maaf Ibu, perempuan yang barusan dibawa itu
anak, Ibu?” ujarnya ingin tahu dan perempuan setengah baya itu langsung
berdiri.
“Dia sudah saya anggap seperti anak
sendiri.” Sahutnya dengan sangat cepat penuh kepanikan.
“Oh, untuk menanganinya lebih lanjut maka Ibu
harus membayar uang di depan dulu minimal tiga puluh persen dari perawatan.”
Jelas perawat itu dan tanpa berpikir panjang lagi perempuan setengah baya
itupun mengeluarkan kartu kreditnya dari dalam tas. ‘Bik, kita tidak akan
pernah tahu apa yang akan terjadi terhadap kita nantinya maka sebagai perempuan
yang tidak punya siapa-siapa dan jauh dari keluarga besar maka kita harus punya
tabungan sendiri, setidaknya punya sebuah ATM yang siap dipakai dimanapun kita
berada dan pastikan tabugan kita isi minimal setiap bulannya.’ Kata-kata itu
terngiang ditelinga perempuan setengah baya itu dan mengertilah ia sekarang apa
maksudnya. Ia tidak peduli ada berapa isi tabungannya yang penting perempuan
kesayangannya itu ditangani dengan segera.
Perempuan yang pingsan itu ditangani di UGD
diperiksa luka dikepalanya tidak terlalu besar namun cukup membuatnya tidak
sadarkan diri . setelah dicek keseluruhan, dijahit dan ditangani dengan
maksimal namun tidak juga bisa membuat perempuan itu sadar. Dokterpun
memutuskan kalau perempuan itu harus dirawat diruangan intensive. Mendengar keputusan
itu membuat pengasuhnya tambah panik dan kertas yang tadinya ada di tangan
perempuan itu kini sudah ada dalam genggamannya. Ia mengamati nomor-nomor itu
dengan seksama tidak ada satupun nama di depan nomor-nomor tersebut. Perlahan ia
mengambil ponselya yang hanya bisa menerima telepon dan mengirim pesan singkat.
Lalu mulai mencatat satu demi satu nomor yang di kertas dan mulai meneleponnya.....
“Haloooo, saya adalah pengasuhnya...... saya
diminta menghubungi nomor ini oleh...... dan sekarang ia sedang ada di rumah
sakit dan tidak sadarkan diri sejak tadi subuh, mohon datang ke rumah sakit ini
dengan alamat.......”
Begitulah isi telepon perempuan paruh baya
itu kepada ke tujuh nomor yang ada di kertas tersebut tanpa bisa menebak apa
yang akan terjadi. Si penerima telepon ada suara perempuan ada juga suara
laki-laki..., ada yang panik bahkan ada yang memarahinya karena mungkin
menganggap itu berita bohong belaka.... dari jam ke jam perempuan paruh baya
itu menunggu namun tidak ada seorangpun yang muncul atau menghubunginya kembali
sehingga ia menganggap kalau nomor-nomor itu hanya kekonyolan belaka namun
menit berikutnya saat ia ingin pergi membeli sesuatu untuk mengisi perut sebuah
panggilan masuk ke ponselnya.
“Halo...?”
“Ya, ini saya bicara dengan siapa ya?
Soalnya saya sudah ada di rumah sakit.” Suara itu terdengar panik dan masih
penuh tanya karena tadi ia mendapatkan telepon yang memberitahukan seseorang
yang amat ia sayangi sedang dirawat tanpa bertanya lebih lanjut.
“O, ya.., saya ini pengasuhnya....”
“Oh, Bibi. di ruangan berapa?”
“Masih di ICU.”
ICU?
Detik berikutnya perempuan itu pamit untuk
mematikan telepon lalu buru-buru mencari ruangan ICU seperti yang ia dengar
tadi. Sosoknya yang terlihat lembut, cepat panik dengan tubuh yang tidak
terlalu tinggi, rambut sebahu, mengenakan kaos putih dipadu dengan rok panjang
dan lebar, dia bernama Liliana. Liliana sudah ada di depan ruangan ICU dari
kaca ia hanya bisa memandang dan makin panik saat melihat seorang perempuan
terbaring di atas tempat tidur dalam kondisi tidak sadarkan diri. Selang infus
terpasang dan jarumnya menempel di tangan kirinya ditambah perban terbalut di
kepala. Ia lalu menoleh kepada perempuan paruh baya di sebelahnya yang sudah ia kenal dalam tiga tahun belakangan
ini.
“Ehmm... Bibi, apa yang terjadi dengan dia?
Siapa yang melakukannya? Apakah ia kecelakaan? Bagaimana kondisinya kata
dokter?” pertanyaan beruntun itu meluncur dan tak satupun perempuan itu bisa
menjawabnya. Ia hanya bertanya-tanya
kapan perempuan itu ada di sini karena biasanya dia berada di Surabaya bersama
keluarganya.
Berikutnya muncul seorang perempuan yang
tinggi semampai, kulit putih, berjilbab dan lincah. Sosoknya terlihat berkelas
dan meyakinkan setiap orang yang melihatnya. Dia bernama Gendys... dan taklama kemudian
datang satu lagi perempuan bernama Esty dengan sosoknya yang terlihat santai,
rambut nyaris cepak, single, dan kulit
sawo matang meski keturunan Ambon yang lahir di Makasar dan besar di Depok.
Esty sudah kenal dengan Gendys begitupun sebaliknya namun Esty tidak kenal
dengan Liliana sedangkan Liliana dengan Gendys saling kenal. Liliana asli dari
Trenggalek, Surabaya. Gendys juga asli dari Surabaya sedangkan Esty keturunan
Ambon yang lahir di Jakarta.
Keesokan harinya datang lagi empat orang
perempuan yang nyaris bersamaan, bernama Razthi, Lexa, Apbriel, dan Elyana.
Keempat perempuan itu tidak kenal dengan Liliana, Gendys dan Esty... namun
Razthi kenal dengan Lexa meski hanya
kenal nama karena mereka pernah saling telepon dan berkirim pesan singkat lewat
ponsel. Seperti halnya Liliana dengan Lexa juga seringkali saling berkirim
pesan singkat di ponsel mereka kenal
juga melalui perempuan yang sedang terbaring itu. tapi Elyana pernah saling
berbincang dengan Apbriel kala itu ia sedang berlibur ke rumah perempuan itu
dan perempuan itu memberi kesempatan keduanya untuk saling berbicara di telepon
sedangkan saat perempuan itu menghubungi
Liliana teleponnya sedang tidak aktif.
Razthi perempuan ceria, tidak begitu tinggi,
ekspresif rambut cepak, hidung mancung, tatapan mata tajam, senyumnya indah dan
hitam manis. Lexa, tinggi bongsor, kulit putih rambut bak rambut Nurul Arifin,
mandiri, single dan terlihat
bijaksana, dan mempesona serta punya daya pikat tinggi. Apbriel, perempuan
supel, bijaksana, berjilbab namun asllinya tomboy, pekerja keras, royal, setia,
suka bercanda, tinggi, dan asyik. Elyana perempuan berprofesi sebagai pengajar
di Sekolah Dasar, terlihat tegas, galak namun berwibawa, tidak tinggi namun
cantik.
*
Meski ada laki-laki yang mengangkat telepon
dari sang pengasuh namun kenyataannya yang hadir di rumah sakit itu adalah
kesemuanya perempuan. Mereka semua kenal dengan perempuan yang hingga detik ini
masih tidak sadarkan diri di ruangan ICU. Razthi, Esty, Lexa, Liliana, Apbriel,
Elyana, dan Gendys, dari usia bisa dipastikan kalau mereka hanya berjarak lima
atau sepuluh tahun berselang sekitar usia 37 tahun sampai 47 tahun. Ke tujuh
perempuan itu saling berkenalan menyapa satu sama lain meski tidak saling akrab
dengan kesemuanya namun mereka tahu kalau mereka semua adalah orang yang sangat
mengenali perempuan yang kini sedang berjuang untuk hidup. Ketujuhnyapun masih
terlihat khawatir dengan kondisi perempuan itu meski tidak bisa melakukan
apa-apa selain berdoa dan diantara mereka yang tidak semuanya berduit namun
berusaha membantu biaya rumah sakit walau mereka tahu kondisi keuangan
perempuan itu tidak jelek namun posisinya sekarang yang menanganinya adalah
seorang pengasuh yang mungkin keuangannya terbatas. Setiap mereka melontarkan
pertanyaan yang sama seperti Liliana kepada sang pengasuh dan tetap saja
pengasuh tidak bisa memberi jawaban jelas selain mengatakan ia sudah menemukan
perempuan itu sudah dalam keadaan tidak
sadarkan diri menjelang fajar. Mereka memang terlihat punya kelas masing-masing
dari tiap-tiap penampilan sehingga dari cara berpakaian merekapun
memperlihatkan sifat mereka namun tak menghilangkan aura mereka yang terlihat
dengan jelas kalau sebenarnya mereka sangat menyayangi satu perempuan yang
masih tidak jelas nasibnya di dalam ruangan ICU. Satu dua dari mereka
seringkali berdiri di depan kaca ruangan sekedar ingin memastikan kondisi
perempuan itu selanjutnya.
Lexa menekankan kepada semua yang ada di
tempat itu untuk tidak membuat ‘status’ apapun di sosial media mengenai kondisinya
baik melalui BB, Twitter, Facebook atau
apapun itu namanya. karena dia tidak mau ada hal yang tidak dinginkan kembali
terjadi, sebab semua masih abu-abu.
Ada yang mengatakan kalau dari mereka
terakhir kali kontak dengan perempuan itu sedang baik-baik saja dan tidak ada
hal-hal aneh yang terjadi. Di antara mereka ada juga yang menyesali karena tidak
membalas pesan dari perempuan itu bahkan tidak mengangkat teleponnya.
Seandainya ia tidak bisa lagi berbicara dengan perempuan itu maka iapun akan
menyesalinya seumur hidup.
Seorang dokter keluar dari ruangan ICU dan
menghampiri ke arah ke tujuh perempuan yang sedang duduk di depan ruangan ICU
ditambah satu orang pengasuh yang tidak pernah terlihat lelah. Semua perempuan
itu nyaris bergerak bersamaan untuk menanyakan kondisi pasien sang dokter
tersebut dan mungkin ada diantara mereka berharap kalau pasien itu sudah sadar
dan menginginkan mereka masuk atau setidaknya memanggil nama salah satu
diantara mereka. Tapi yang ada sang dokter malah terlihat aneh dengan
perempuan-perempuan tersebut, aneh dalam arti berbeda. Ia belum pernah melihat ada
seiktar delapan orang perempuan yang menunggu di tempat itu. salah satu
perempuan yang lebih cepat maju dan bertanya.
“Mm.. maaf Dok, bagaimana kondisinya? Saya
Gendys... salah satu dari mereka..” sekilas ia melirik ke arah teman-teman di
belakangnya.
“Eummm... kondisinya stabil, mungkin tidak
lama lagi akan dipindahkan ke ruangan perawatan, hanya saja ia belum sadarkan
diri karena ada sebuah benda tumpul mengenai kepalanya dan menyebabkan luka.
Kalian boleh masuk tapi harus
bergantian.” Ujarnya dan tidak menunjukkan siapa yang boleh masuk terlebih
dahulu. Ia pergi setelah berkata seperti
itu namun di dalam masih ada seorang perawat. Gendys menoleh kepada
semua yang ada di tempat itu seakan memberikan waktu siapa yang akan masuk
terlebih dahulu. Mereka saling berpandangan satu sama yang lain lalu semua mata
mereka tertuju kepada pengasuh. Akhirnya mereka merelakan pengasuh yang masuk
meski sebenarnya semua ingin masuk.
Sang pengasuh masuk dan langsung menghampiri
perempuan empat puluhan itu dengan perasaan was-was karena tidak ada gerakan
sedikitpun dari tubuhnya yang tergeletak tak berdaya seakan tinggal menunggu
takdirnya. Ketujuh perempuan diluarpun tak kalah was-wasnya seolah merasa tidak
bisa lagi mendengar suara perempuan itu, tak bisa berbagi cerita, tak bisa bercanda
dan tak bisa saling memuji juga saling memberi saran satu sama yang lainnya.
Perempuan paruh baya itu mendekat dan ia masih ditemani seorang perawat lalu ia
mengusap tangan perempuan yang ditusuk jarum infus itu dengan sangat hati-hati
seakan ingin mengatakan ‘bangunlah.... ketujuh nomor itu telah Bibi hubungi dan
sekarang semuanya sudah ada di depan.. Bibi juga tidak tahu apa yang terjadi
dan mengapa harus menelepon mereka? Bibi tidak kenal keseluruhannya namun bisa
Bibi pastikan kalau mereka semua amat sangat menyayangimu, anakku.’ Gumannya
lalu ia mengecup pipi perempuan itu dengan lembut.
Perempuan itu benar-benar seperti tertidur
dengan sangat pulasnya tanpa tahu ada beberapa orang yang mengkhawatirkannya, sungguh itu semacam
kisah seorang Aktris yang sengaja melakukan adegan memuakkan dan tidak bermutu
demi sebuah sensasi belaka. Adegan konyol itu semakin lama dan berlanjut ke
kamar perawatan, ke tujuh perempuan itu memutuskan membawanya ke kamar kelas
satu dan menginginkan perawatan yang terbaik untuknya.
Razthi merasa terpukul melihat kenyataan di
depan matanya setelah mendapatkan telepon dan menemukan orang yang amat
dikenalnya terbaring lemas, ia tak peduli siapa-siapa saja yang ada di tempat
itu namun ia kenal perempuan yang kadang-kadang menyebalkan, kesan pertama bertemu dengannya terlihat agak sombong dan terlihat
tidak ingin berteman dengannya setelah berteman ternyata asyik, tidak bisa
menangis, romantis, penyayang, egois, mengasikkan, supel, tidak gampang marah,
tidak cemburuan, sedikit boros, agak tertutup, agak pendiam, bikin orang
penasaran, tidak suka pujian, dan setia kawan. Ia tidak perlu mengkhawatirkan
ke enam perempuan yang ada di sekitarnya karena siapapun mereka pastilah sangat
mengenali perempuan yang ia sayangi dan ia merasa telah memiliki perempuan itu
tak peduli berapa banyak orang disekitarnya.
Esty mengenalinya sebagai sosok Abstrak,
susah ditebak, baik, bikin penasaran, terkadang bikin orang nafsu. Pertama
ketemu agak sombong, seperti nggak butuh teman, tidak mau cepat akrab, cuek dan
setelah itu ternyata orangnya peduli, keras kepala, sayang dan asyik.
Lexa menilai perempuan itu punya sifat yang susah ditebak, sensitif, kurang tegas,
banyak memendam, suka menghingdar, terbuka pada orang-orang tertentu, punya
empati tinggi, suka berburuk sangka, tidak banyak omong, kadang gini kadang
gitu, tidak bisa mengungkapkan hal jelek / buruk meski untuk membela diri,
membiarkan orang menilai dari kaca mata masing-masing, dan kalau tidak suka
masih berpura-pura suka.
Sedangkan Gendys punya pandangan sendiri menilai
perempuan itu memang tulus, apa adanya,
pendengar yang baik, suka membaca orang, seiring dengan waktu kedewasaan
berkembang, mau belajar baik intern /
external sehingga mau menerima kritik
/ saran, punya prinsip yang kuat, kadang jadi orang kaku tapi karena tambah
usia / pengalaman jadi bisa agak flexible,
tegas maskulin, tapi hatinya lembut namun keras, rendah hati, tidak mau
disakiti makanya tidak mau menyakiti orang dan sekarang menjadi bijak dan
pemaaf. Meski agak tertutup karena tidak mau tersakiti, yang belum kenal betul pasti
sulit menebak, kalau tidak suka sesuatu terang-terangan / tidak suka basa-basi,
karena prinsipnya kadang masih suka kaku, tukang tidur. Pertama ketemu pemalu
dan tertutup, tidak asyik setelah dekat ternyata asyik banget.
Liliana lain lagi, perempuan lembut itu
menganggap perempuan itu adalah Sumber keceriaan.. karena siapapun orang yang
dekat dengannya pasti akan selalu ceria, kreatif.. selalu punya ide-ide yang
membuat dirinya tidak membosankan baik buat diri sendiri maupun orang lain,
menarik.. tipe orang yang bisa menarik perhatian siapa saja yang melihat
terutama kaum pria, romantis... mungkin itu kenapa ia banyak disukai orang, auranya
memancarkan romantic women, ramah
meski pada awalnya cuek, jutek dan
menyebalkan namun dari banyak orang bilang kalau dia itu ramah dan tidak
membeda-bedakan orang. Idealis, mandiri tidak mau tergantung pada orang lain
meskipun itu pada orang terdekatnya sekalipun, suka memulai sesuatu namun
enggan mengikutinya hingga akhir, suka menyenangkan orang lain, mengerti / memahami
arti persahabatan, keras kepala, bisa menjadi teman baik, seorang kakak, dan
sahabat sejati. Sahabat terbaik yang aku punya hingga detik ini, meski dulu
awal bertemu sangat menyebalkan, cuek
bebek kayak tidak peduli sama orang lain, tomboy sekali, tetapi setelah
mengenalnya ternyata ia sangat feminin, baik yang tulus, menghargai orang dari
kalangan apapun, membuat ia semakin menyayanginya karena ia selalu ada untukku
baik duka maupun duka, namun satu hal yang tidak kumengerti karena ia punya
hubungan dengan pria lain namun aku hargai semua itu meski aku sering
protes.... terlalu banyak cinta hingga cintanya tak berlabuh di satu tempat,
aku tidak mengerti jalan pikirannya tapi sekarang aku mulai memahaminya.
Apbriel, satu-satunya perempuan yang
berpandangan lain kepadanya dan melihat perempuan itu beda, awalnya feminin
sekali namun pas ketemu lagi di masa sekarang menjadi tomboy sekali, tidak
tertebak. Sempat curiga ubnormal dan su’uzon tapi itu cuma pas pertama bertemu.
Namun sekarang beda dan perempuan itu satu-satunya yang bisa menerima ia apa
adanya, itulah mengapa ia menyebutnya beda. Baik, peduli sama teman dan
penyayang, pengkhayal tapi sejujurnya ia tidak bahagia, Itu membuatnya menarik
napas panjang. Bukan perempuan nrimo tapi berusaha nrimo karena tidak mau menjadi pihak yang disalahkan lalu terjebak
dalam norma atas nama baik keluarga, suka membiarkan hati mengembara. Dia
orangnya bisa dipercaya, bisa bikin teman merasa nyaman bercerita dalam segala hal,
terkadang bisa menyanjung seseorang ke arah yang berlebihan karena sangat
menyayangi sahabatnya. Orangnya baik sekali meski orang yang ia k enal itu
tidak sebaik yang ia inginkan... namun yang pasti dia itu adalah perempuan
pengembara.
Elyana, pertama ia melihat perempuan itu
tomboy, pemalu, terlalu biasa-biasa saja bahkan sempat tidak memandangnya namun
setelah bertemu lagi selang sekitar puluhan tahun ia menjadi bangga dan tak
mengira kalau perempuan yang dulu ia kenal biasa menjadi yang tak terduga,
yaitu seorang penulis novel namun bukan
lantaran itu ia menyayanginya karena sekarang ia tahu kalau perempuan itu
terlalu baik untuknya dan sangat nyaman
diajak bicara apapun tak terkecuali masalah-masalah yang rumit sekalipun. Namun
tetap saja kesan pertama yang didapat oleh Elyana mengenai perempuan itu
setelah mereka berpisah dari SMP adalah acuh, apatis, cuek, transparan,
mengayomi, mendidik, dan supel. Acuh karena tidak begitu ingin
mengundang keakraban, siapa yang datang dilayani tapi tidak terkesan mengemis
teman. Cuek kalau mau berteman tidak memandang status sosial. Transparan
jujur dalam menilai teman. Mengayomi dapat melindungi teman
yang sedang dalam keterpurukan. Mendidik bisa menunjukkan arah yang
terbaik terhadap teman. Supel bisa menjadi saudara, teman,
kekasih bahkan bisa jadi lawan bila berbeda pendapat kalau sedang berdebat.
Kesemua perempuan ditempat itu merasakan ada
luka dihati melihat kondisi pasien yang tidak menunjukkan perkembangan yang be rarti. Razthi berbisik di telinga perempuan
itu.
“Aku tidak suka tempat ini, bangunlah... ini
bukan tempatmu dan orang-orang itu sepertinya mereka juga menyayangimu.” Guman
Razthi dengan penuh rasa haru karena ia takut kehilangan perempuan itu.
Lexa terlihat lebih terpukul, kini tangannya
menggennggam erat tangan perempuan itu dengan agak gemetar lalu ia mencium
lembut pipi perempuan itu kemudian berbisik amat pelan.
“Hei... aku tidak mau peduli apa yang
menimpamu kemarin karena yang kutahu kamu itu perempuan kuat dan apapun yang
kamu alami bisa kamu lalui makanya aku bangga sama kamu. Kamu jug a tahu kalau
aku menyayangimu lebih dari yang kamu tahu. Bangunlah, maafkan kesalahanku
selama ini, aku sayang kamu.” Bisiknya dengan nada agak bergetar dan tidak ada
yang melihat kalau tangan peempuan itu sedikit bergerak di dalam genggaman
tangan Lexa, hanya Lexa yang bisa merasakan respon itu dan membuat perasaan
Lexa lebih baik. Terakhir mereka komunikasi adalah beberapa hari yang lalu melalui
BBM.
“Lex.......,”
“Weiiii......”
“Apa kabar sahabat...?” menanyakan kabar
adalah menandakan kalau mereka sudah jarang komunikasi. “Apakah hingga detik
ini aku masih asing buat kamu? Ah, ini pertanyaan bodoh sepertinya.”
“Alhamdulillah sehat... jalan mulus memang
membuat orang kerap tergelincir. Mungkin selama ini setiap lubang yang kita
lalui mampu kita tambal. Disaat jalan itu ambruk kita tidak punya kekuatan
banyak untuk memperbaikinya bukan tidak ingin tetapi tidak memiliki kemampuan,
kemampuan kita terbatas. Kesamggupan tanpa kemampuan...., asing.... kata-kata
untuk sesuatu yang baru jadi jangan pergunakan kata itu lagi. Tidak ada yang
berubah, cuma butuh waktu untuk mempelajari hal-hal yang terasa aneh. Tapi
semua pasti ada hikmahnya. Sekali lagi tidak ada yang berubah dan tidak ada
yang asing.”
Sejujurnya semua merasa terpukul mendapat
musibah itu meski belum jelas penyebabnya. Sebagian mereka menebak kalau perempuan
itu terpeleset di rumahnya sendiri karena menurut keterangan pengasuhnya tidak
ada tanda-tanda orang masuk rumah karena pintu rumah masih terkunci dengan
rapat. Tidak ada yang ingin meninggalkan tempat itu apalagi dengan Lexa,
Apbriel, Elyana, dan Razthi yang datang dari luar kota, kalaupun harus pulang
mereka akan ke rumah kediaman perempuan itu. meski sudah ada di dalam ruangan
perawatan tetap tak membuat perempuan itu sadarkan diri. Seorang dokter kembali
masuk karena sudah mendapatkan hasil ronsen dan memberitahukan kepada
perempuan-perempuan itu kalau pasiennya juga mengalami keseleo yang cukup parah
di pergelangan kaki kiri.
“Sepertinya dia harus dibawa keluar dari
rumah sakit ini karena kakinya harus dibawa ke tukang urut.” Celetuk Gendys
setelah dokter berlalu dan berharap semua yang ada di sana setuju.
“Tidak mungkin sekarang, sadar saja belum.”
Sahut Apbriel dengan bijaksana.
“Ya, kita harus menunggunya sadar dulu.” Tambah
Elyana dan diiyakan oleh Esty juga Liliana sedangkan Razthi berharap bagaimana caranya
perempuan itu segera siuman. Sedangkan Gendys tahu pasti kalau terlambat diurut
maka kaki perempuan itu akan lama sembuhnya namun tidak memungkinkan juga kalau
ia diurut dalam kondisi sekarang.
Lexa yang melihat perempuan itu kembali
menggerakkan tangannya segera meraih tangannya dan menggenggamnya erat sedang
wajahnya langsung mendekat ke wajah perempuan itu. “Hei.... bangunlah.... aku
di sini.” Gumannya dengan suara lagi-lagi bergetar karena tidak sabar mendengar
suaranya langsung dan menatap matanya bukan tanpa alasan karena sudah tiga
tahun ia tidak bertemu dengannya dan tidak lagi mendengar suaranya baik lewat
telepon ataupun yang lainnya karena tiga tahun belakangan ini mereka mengalami
kerenggangan hubungan disebabkan kesalahpahaman juga sebuah kejujuran yang
menimbulkan rasa sakit hati yang begitu dalam.
Dan benar, perempuan itu membuka matanya
sedang dokter masih ada diantara mereka. Ruangan kelas VIP itu tak membatasi
pengunjung yang mau datang kapan saja dan berapa saja dengan catatan tidak
mengganggu waktu istirahat pasien.
“Helen....... Helen......” panggil Lexa
dengan wajah berbinar. “Alhamdulillah ya Allah.” Gumannya lagi karena mendapatkan
sahabatnya telah siuman yang lain pun memanggil nama perempuan yang ternyata
bernama Helen. Helen belum menggerakkan kepalannya ke kiri ataupun ke kanan.
“Halo Helen..... apa kabar? Bagaimana
perasaanmu?” tanya sang dokter menyapanya. perempuan itu menatap dokter
baik-baik lalu bertanya.
“Helen.....? nama saya Helen.....?” ujarnya
dengan penuh kebingungan dan kini mulai menggerakan kepalannya seolah ingin
melihat semua yang hadir di ruangan itu satu persatu namun kenyataannya tidak
ada satupun yang ia kenal.
“Helen..... apa yang terjadi?” tanya Gendys
tidak sabar diikuti yang lainnya merasa kaget.
“Eee.... maaf Mbak, aku tidak tahu apa yang
terjadi dan mengapa aku ada di sini dan kalian siapa? Apa benar namaku, Helen?
Aku bukan Helen.” ia masih kebingungan lalu menatap dokter membuat pria itu
menggeleng-gelengkan kepalanya dengan pelan seolah ingin mengatakan kalau
perempuan itu mengalami trauma akibat benturan di kepalanya.
“Jika namanya sendiri ia tidak ingat maka
kemungkinan besar ia mengalami amnesia.” Jelasnya dan membuat semua yang ada di
sana menjadi terdiam. Helen coba mengangkat tangan untuk memegang kepalanya
yang terasa agak nyeri dan ia merasa ada perban yang melingkar di sana, namun
ada yang terasa lebih nyeri disaat ia menggerakkan kaki kirinya sampai ia
mengeluh pelan dengan kata ‘aww...’
“Hati-hati Helen....” ujar Apbriel yang
berdiri di sebelah kiri Helen. “Jangan banyak bergerak dulu ya.” Tambahnya.
Helen mengamati perempuan manis di sampingnya dan perempuan itu mengukir senyum
indah. Helen coba mencari sesuatu di wajah itu tapi ia tidak menemukannya
bahkan ia tidak tahu apa yang ia cari, lalu ia mengalihkan pandangannya kepada
yang lain dan wajah-wajah itu benar-benar asing di matanya sehingga ia
memutuskan untuk memejamkan matanya dan berharap dalam hitungan detik
orang-orang di tempat itu menghilang namun kepalanya terasa berat dan pusing
lagi.
“Semoga ia tidak benar-benar mengalami
amnesia, kesadarannya pasti belum pulih benar.” Gendys coba memberi harapan
kepada semua termasuk kepada dirinya sendiri sedangkan baru saja ia merasa
tidak nyaman dipanggil ‘mbak’ oleh Helen.
“Mengapa ia harus mengalami amnesia?” serobot
sang pengasuh bertanya kepada siapa saja yang bisa menjelaskannya meski ia
sudah tahu letak persoalannya. Ia akan merasa amat sedih kalau perempuan yang
selama ini tinggal bersamanya namun tidak mengenalinya. Terlepas dari rasa yang
dirasakan oleh pengasuh namun tak terbilang pedihnya rasa yang dialami oleh ketujuh
perempuan yang ada disekitar Helen. Ketika kita menyayangi seseorang lalu orang
itu pergi atau tidak mengenali kita lagi maka tidak ada yang lebih sakit dari
itu, kalau ia pergi tak kembali atau melupakan kita baik sengaja atau tidak
maka rasa sakitnya tetap saja sama. Namun dalam kasus yang dialami oleh Helen
haruskah sahabat-sahabatnya meninggalkannya?
Dokter kembali mengecek pasiennya sehingga
ia bisa memastikan kalau perempuan itu benar-benar dalam kondisi stabil dan
setelah bisa mengambil keputusan iapun berpesan kepada suster yang
mendampinginya kalau pasiennya tidak apa-apa hanya shock saja.
“Dia tidak apa-apa hanya shock saja.. nanti kalau ia kembali
sadar bertahu saja kepada kami.” ujar suster itu kepada semua perempuan di sana
sebelum ia meninggalkan ruangan VIP itu. tinggal mereka yang harus berbuat apa?
Apakah akan tetap di sana atau pulang terlebih dahulu?
Esty harus kembali bekerja karena sudah dua
hari ini ia tidak masuk kerja, Gendys memang harus pulang karena ada yang harus
dia urus di rumah begitupun Liliana punya tanggung jawab di rumahnya. Meski
punya tanggung jawab di rumah namun Razthi belum memutuskan untuk pulang karena
ia masih ingin memastikan kondisi Helen, karena kalau ia sudah pulang maka
sulit untuknya kembali lagi. Sedangkan Elyana tidak akan merasa terganggu
dengan tugasnya sebagai PNS pendidik karena anak-anak sekolah dalam suasana
libur tengah semester, begitupun dengan Apbriel yang punya usaha sendiri itu
bisa mengatur waktunya dengan santai apalagi dengan Lexa yang bisa pergi kapan
saja dan dalam waktu yang tidak dibatasi karena usahanya ada ditangannya
sendiri.
Ketiga perempuan itu memutuskan untuk pulang
dulu dan dengan pasti mereka akan kembali secepatnya setelah memberikan nomor
mereka yang bisa dihubungi kepada yang tinggal di rumah sakit. Lalu Lexa
mendekati sang pengasuh.
“Bibi sebaiknya pulang dulu dan istirahat,
aku dan teman-teman yang lain akan menjaga Helen dan juga pasti banyak yang
harus Bibik kerjakan di rumah dan sepertinya aku dan ke tiga teman yang lainnya
akan menginap di rumah Helen untuk waktu yang tidak ditentukan.” Jelas Lexa
yang sudah seringkali menginap di tempat Helen saat ia jalan-jalan ke Jakarta
atau sekedar ingin membeli sesuatu.
“Benar begitu? Baiklah... saya akan pulang
dulu.” Ujarnya lalu mendekati Helen dan mengusap keningnya dengan lembut. “Bibi
pulang dulu ya, Nak. Bibi titip kamu sama teman-temanmu... mereka sangat
menyayangimu. Kamu harus cepat sembuh karena setelah pekerjaan rumah selesai
Bibi akan kesini secepatnya.” ujar perempuan paruh baya itu meski ia tahu Helen
tidak akan bisa menyahut kata-katanya namun ia yakin teman Helen yang bernama
Lexa yang sudah ia kenal itu serta teman-temannya akan menjaga Helen dengan
baik dan ia akan dengan senang hati menyediakan tempat untuk mereka di rumah
Helen.
Lexa menoleh kepada perempuan yang kini
tinggal tiga dan empat dengan dirinya. “Kalau ada yang ingin makan biar aku
yang menemani Helen dan aku yakinkan ia tidak akan apa-apa.” Helanya sembari
kemudian menatap ke arah Helen yang ditutupi dengan selimut putih bersih.
“Aku akan menemanimu di sini kalau yang lain
mau makan tidak apa-apa.” Ujar Apbriel mengambil jalan tengah karena ia tidak
akan meninggalkan Lexa sendirian menemani Helen yang belum sadar lagi.
“Emm.... kalau begitu kita akan membeli
makanan di luar dan makan di sini, Apbriel dan Lexa mau pesan apa?” tanya
Elyana akhirnya dan memutuskan untuk keluar dengan Razthi.
Setelah menyetujui usulan Elyana tinggal
Lexa dengan Apbriel di sana, keduanya terdiam sejenak seolah memikirkan apa
yang akan terjadi dengan sahabat mereka namun apapun yang terjadi mereka tidak
akan tinggal diam. Tiba-tiba Apbriel buka suara.
“Emm... setelah mendengar cerita Bibi apakah
kamu yakin Helen tidak dipukul orang?”
Lexa melirik ke Apbriel sekilas. “Maksud
kamu?” sahutnya pelan.
“Yah, semoga saja tidak ada orang ketiga
dalam kasus ini.” Kata-kata Apbriel agak menggantung di telinga Lexa membuatnya
kembali menatap wajah Helen dengan seksama. Bukan ia mengabaikan kata-kata
perempuan itu tapi setidaknya ia merasa lebih lama mengenali Helen dibandingkan
perempuan itu dan ia tahu pasti kalau Helen tidak pernah dimusuhi orang.
“Aku tidak suka kata-kata kamu, Helen hanya
mengalami insiden di dalam rumahnya sendiri dan dia tidak punya mus.......”
kata-kata Lexa terhenti karena Helen bersuara nyaris seperti desahan kecil
memaksa kedua perempuan itu fokus dengannya.
“Helen......” suara itu keluar bersamaan
dari mulut Lexa dan Apbriel. Helen membuka matanya, tangan Lexa di bahu Helen sembari
mengusapnya pelan dan Apbriel menatap wajah pucat itu dengan cemas dan bercampur
senang karena ia sudah sadar.
“Jangan pingsan lagi, kita akan segera
membawamu pulang dari sini karena di sini tidak enak.” Kata Apbriel dengan
serius sedangkan Lexa masih diam karena ia masih ragu apakah Helen benar-benar
amnesia atau karena tadi pengaruh obat yang diberikan dokter. Helen coba
tersenyum namun anehnya itu bukan senyum yang kedua wanita itu kenal
sebelumnya.
“Pulang? Pulang ke mana? Dan kalian berdua
ini siapa?” tegasnya.
“Helen......” Lexa mulai tidak sabar
mendengar nada agak menekan itu memaksa Helen menatap ke wajah Lexa. “Apa yang
kamu pikirkan?”
“Helen? Helen.... dari tadi kalian menyebut
nama itu memangnya namaku Helen?” ia berbicara dengan bahasa Indonesia.
“Ya, kata dokter kamu mengalami amnesia
karena luka di kepalamu.” Sahut Apbriel dan disambut tawa halus dari mulut
Helen.
“Amnesia? Itu lucu sekali, aku tidak amnesia!
Kalian berdua mungkin salah orang.”
Ujarnya ketus bersamaan dengan munculnya Elyana dan Razthi dengan tentengan
kantong di tangan. Mendengar penuturan Helen mengejutkan kedua perempuan itu.
“Lihat mereka, apa kamu juga membantah kalau
yang baru masuk itu juga bukan teman kamu?” ketus suara Lexa membuat Apbriel
memegang tangannya agar perempuan itu bisa mengontrol dirinya. Lexa berdiri dan
benar-benar merasa kacau dan tanpa diduga ia meninggalkan ruangan itu namun
dengan cepat Razthi meraih tangannya karena hanya dia yang kenal dengan Lexa.
“Aku mohon jangan pergi, kamu tidak akan ada
di sini kalau tidak sayang sama Helen.” Pintanya. Lexa menarik tangannya dari
tangan Razthi namun matanya melihat sebuah gelang kecil di tangan Razthi dan
sempat membuatnya agak kaget tapi untuk saat ini sepertinya tak perlu dibahas.
Kekesalannya tidak kunjung reda, kalaupun benar Helen amnesia seharusnya ia
tidak bersikap angkuh seperti itu dan kalau tidak maka ia tidak perlu menghukum
Lexa dengan cara seolah tidak mengenalinya. Sikap Helen membuatnya merasa amat
kesal sehingga tidak lagi memikirkan kalau perempuan itu sedang sakit.
+++++++++
++++++++++++++++
Tidak ada komentar:
Posting Komentar