Sabtu, 14 Februari 2015

1 Rumah 7 Lentera


( Helen, Razthi, Esty, Lexa, Liliana, Apbriel, Gendys, dan Elyana )
**
PERTEMUAN
   Jelang fajar, seorang perempuan ditemukan oleh pengurus rumahnya dalam keadaan tidak sadarkan diri tergeletak di depan pintu kamarnya. Di dalam genggaman tangannya ada secarik kertas yang bertuliskan ‘jika terjadi hal yang tidak diinignkan menimpa aku maka tolong hubungi ketujuh nomor ponsel dibawah ini.’
   Seorang pengurus rumah yang panik bukannya menghubungi nomor-nomor yang tertera di kertas itu malah menghubungi sebuah ambulan agar perempuan itu dibawa ke rumah sakit karena melihat ada noda darah yang keluar dari kepalanya dan sebuah meja kecil yang terbuat dari kayu terlihat bergeser dari tempatnya.
   Tidak berapa lama kemudian ambulanpun datang dan membawa perempuan itu ke rumah sakit ditemani pengasuhnya yang setengah baya. Diruang tunggu ia terlihat panik dan bertanya-tanya sendiri mengapa perempuan itu bisa jatuh di depan pintu kamarnya tanpa ia dengar suara-suara sebelumnya.
   Seorang perawat datang menemui pengasuh karena perempuan yang pingsan itu akan segera ditangani oleh tim medis melalui prosedur tentunya.
   “Maaf Ibu, perempuan yang barusan dibawa itu anak, Ibu?” ujarnya ingin tahu dan perempuan setengah baya itu langsung berdiri.
   “Dia sudah saya anggap seperti anak sendiri.” Sahutnya dengan sangat cepat penuh kepanikan.
   “Oh, untuk menanganinya lebih lanjut maka Ibu harus membayar uang di depan dulu minimal tiga puluh persen dari perawatan.” Jelas perawat itu dan tanpa berpikir panjang lagi perempuan setengah baya itupun mengeluarkan kartu kreditnya dari dalam tas. ‘Bik, kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi terhadap kita nantinya maka sebagai perempuan yang tidak punya siapa-siapa dan jauh dari keluarga besar maka kita harus punya tabungan sendiri, setidaknya punya sebuah ATM yang siap dipakai dimanapun kita berada dan pastikan tabugan kita isi minimal setiap bulannya.’ Kata-kata itu terngiang ditelinga perempuan setengah baya itu dan mengertilah ia sekarang apa maksudnya. Ia tidak peduli ada berapa isi tabungannya yang penting perempuan kesayangannya itu ditangani dengan segera.
   Perempuan yang pingsan itu ditangani di UGD diperiksa luka dikepalanya tidak terlalu besar namun cukup membuatnya tidak sadarkan diri . setelah dicek keseluruhan, dijahit dan ditangani dengan maksimal namun tidak juga bisa membuat perempuan itu sadar. Dokterpun memutuskan kalau perempuan itu harus dirawat diruangan intensive. Mendengar keputusan itu membuat pengasuhnya tambah panik dan kertas yang tadinya ada di tangan perempuan itu kini sudah ada dalam genggamannya. Ia mengamati nomor-nomor itu dengan seksama tidak ada satupun nama di depan nomor-nomor tersebut. Perlahan ia mengambil ponselya yang hanya bisa menerima telepon dan mengirim pesan singkat. Lalu mulai mencatat satu demi satu nomor yang di kertas dan mulai meneleponnya.....
   “Haloooo, saya adalah pengasuhnya...... saya diminta menghubungi nomor ini oleh...... dan sekarang ia sedang ada di rumah sakit dan tidak sadarkan diri sejak tadi subuh, mohon datang ke rumah sakit ini dengan alamat.......”
   Begitulah isi telepon perempuan paruh baya itu kepada ke tujuh nomor yang ada di kertas tersebut tanpa bisa menebak apa yang akan terjadi. Si penerima telepon ada suara perempuan ada juga suara laki-laki..., ada yang panik bahkan ada yang memarahinya karena mungkin menganggap itu berita bohong belaka.... dari jam ke jam perempuan paruh baya itu menunggu namun tidak ada seorangpun yang muncul atau menghubunginya kembali sehingga ia menganggap kalau nomor-nomor itu hanya kekonyolan belaka namun menit berikutnya saat ia ingin pergi membeli sesuatu untuk mengisi perut sebuah panggilan masuk ke ponselnya.
   “Halo...?”
   “Ya, ini saya bicara dengan siapa ya? Soalnya saya sudah ada di rumah sakit.” Suara itu terdengar panik dan masih penuh tanya karena tadi ia mendapatkan telepon yang memberitahukan seseorang yang amat ia sayangi sedang dirawat tanpa bertanya lebih lanjut.
   “O, ya.., saya ini pengasuhnya....”
   “Oh, Bibi. di ruangan berapa?”
   “Masih di ICU.”
   ICU?
   Detik berikutnya perempuan itu pamit untuk mematikan telepon lalu buru-buru mencari ruangan ICU seperti yang ia dengar tadi. Sosoknya yang terlihat lembut, cepat panik dengan tubuh yang tidak terlalu tinggi, rambut sebahu, mengenakan kaos putih dipadu dengan rok panjang dan lebar, dia bernama Liliana. Liliana sudah ada di depan ruangan ICU dari kaca ia hanya bisa memandang dan makin panik saat melihat seorang perempuan terbaring di atas tempat tidur dalam kondisi tidak sadarkan diri. Selang infus terpasang dan jarumnya menempel di tangan kirinya ditambah perban terbalut di kepala. Ia lalu menoleh kepada perempuan paruh baya di sebelahnya yang  sudah ia kenal dalam tiga tahun belakangan ini.
   “Ehmm... Bibi, apa yang terjadi dengan dia? Siapa yang melakukannya? Apakah ia kecelakaan? Bagaimana kondisinya kata dokter?” pertanyaan beruntun itu meluncur dan tak satupun perempuan itu bisa menjawabnya.  Ia hanya bertanya-tanya kapan perempuan itu ada di sini karena biasanya dia berada di Surabaya bersama keluarganya.
   Berikutnya muncul seorang perempuan yang tinggi semampai, kulit putih, berjilbab dan lincah. Sosoknya terlihat berkelas dan meyakinkan setiap orang yang melihatnya. Dia bernama Gendys... dan taklama kemudian datang satu lagi perempuan bernama Esty dengan sosoknya yang terlihat santai, rambut nyaris cepak, single, dan kulit sawo matang meski keturunan Ambon yang lahir di Makasar dan besar di Depok. Esty sudah kenal dengan Gendys begitupun sebaliknya namun Esty tidak kenal dengan Liliana sedangkan Liliana dengan Gendys saling kenal. Liliana asli dari Trenggalek, Surabaya. Gendys juga asli dari Surabaya sedangkan Esty keturunan Ambon yang lahir di Jakarta.
   Keesokan harinya datang lagi empat orang perempuan yang nyaris bersamaan, bernama Razthi, Lexa, Apbriel, dan Elyana. Keempat perempuan itu tidak kenal dengan Liliana, Gendys dan Esty... namun Razthi kenal dengan Lexa meski  hanya kenal nama karena mereka pernah saling telepon dan berkirim pesan singkat lewat ponsel. Seperti halnya Liliana dengan Lexa juga seringkali saling berkirim pesan singkat di ponsel  mereka kenal juga melalui perempuan yang sedang terbaring itu. tapi Elyana pernah saling berbincang dengan Apbriel kala itu ia sedang berlibur ke rumah perempuan itu dan perempuan itu memberi kesempatan keduanya untuk saling berbicara di telepon sedangkan saat perempuan itu  menghubungi Liliana teleponnya sedang tidak aktif.
   Razthi perempuan ceria, tidak begitu tinggi, ekspresif rambut cepak, hidung mancung, tatapan mata tajam, senyumnya indah dan hitam manis. Lexa, tinggi bongsor, kulit putih rambut bak rambut Nurul Arifin, mandiri, single dan terlihat bijaksana, dan mempesona serta punya daya pikat tinggi. Apbriel, perempuan supel, bijaksana, berjilbab namun asllinya tomboy, pekerja keras, royal, setia, suka bercanda, tinggi, dan asyik. Elyana perempuan berprofesi sebagai pengajar di Sekolah Dasar, terlihat tegas, galak namun berwibawa, tidak tinggi namun cantik.
*
   Meski ada laki-laki yang mengangkat telepon dari sang pengasuh namun kenyataannya yang hadir di rumah sakit itu adalah kesemuanya perempuan. Mereka semua kenal dengan perempuan yang hingga detik ini masih tidak sadarkan diri di ruangan ICU. Razthi, Esty, Lexa, Liliana, Apbriel, Elyana, dan Gendys, dari usia bisa dipastikan kalau mereka hanya berjarak lima atau sepuluh tahun berselang sekitar usia 37 tahun sampai 47 tahun. Ke tujuh perempuan itu saling berkenalan menyapa satu sama lain meski tidak saling akrab dengan kesemuanya namun mereka tahu kalau mereka semua adalah orang yang sangat mengenali perempuan yang kini sedang berjuang untuk hidup. Ketujuhnyapun masih terlihat khawatir dengan kondisi perempuan itu meski tidak bisa melakukan apa-apa selain berdoa dan diantara mereka yang tidak semuanya berduit namun berusaha membantu biaya rumah sakit walau mereka tahu kondisi keuangan perempuan itu tidak jelek namun posisinya sekarang yang menanganinya adalah seorang pengasuh yang mungkin keuangannya terbatas. Setiap mereka melontarkan pertanyaan yang sama seperti Liliana kepada sang pengasuh dan tetap saja pengasuh tidak bisa memberi jawaban jelas selain mengatakan ia sudah menemukan perempuan itu sudah dalam keadaan  tidak sadarkan diri menjelang fajar. Mereka memang terlihat punya kelas masing-masing dari tiap-tiap penampilan sehingga dari cara berpakaian merekapun memperlihatkan sifat mereka namun tak menghilangkan aura mereka yang terlihat dengan jelas kalau sebenarnya mereka sangat menyayangi satu perempuan yang masih tidak jelas nasibnya di dalam ruangan ICU. Satu dua dari mereka seringkali berdiri di depan kaca ruangan sekedar ingin memastikan kondisi perempuan itu selanjutnya.
   Lexa menekankan kepada semua yang ada di tempat itu untuk tidak membuat ‘status’ apapun di sosial media mengenai kondisinya baik melalui BB, Twitter, Facebook atau apapun itu namanya. karena dia tidak mau ada hal yang tidak dinginkan kembali terjadi, sebab semua masih abu-abu.
   Ada yang mengatakan kalau dari mereka terakhir kali kontak dengan perempuan itu sedang baik-baik saja dan tidak ada hal-hal aneh yang terjadi. Di antara mereka ada juga yang menyesali karena tidak membalas pesan dari perempuan itu bahkan tidak mengangkat teleponnya. Seandainya ia tidak bisa lagi berbicara dengan perempuan itu maka iapun akan menyesalinya  seumur hidup.
   Seorang dokter keluar dari ruangan ICU dan menghampiri ke arah ke tujuh perempuan yang sedang duduk di depan ruangan ICU ditambah satu orang pengasuh yang tidak pernah terlihat lelah. Semua perempuan itu nyaris bergerak bersamaan untuk menanyakan kondisi pasien sang dokter tersebut dan mungkin ada diantara mereka berharap kalau pasien itu sudah sadar dan menginginkan mereka masuk atau setidaknya memanggil nama salah satu diantara mereka. Tapi yang ada sang dokter malah terlihat aneh dengan perempuan-perempuan tersebut, aneh dalam arti berbeda. Ia belum pernah melihat ada seiktar delapan orang perempuan yang menunggu di tempat itu. salah satu perempuan yang lebih cepat maju dan bertanya.
   “Mm.. maaf Dok, bagaimana kondisinya? Saya Gendys... salah satu dari mereka..” sekilas ia melirik ke arah teman-teman di belakangnya.
   “Eummm... kondisinya stabil, mungkin tidak lama lagi akan dipindahkan ke ruangan perawatan, hanya saja ia belum sadarkan diri karena ada sebuah benda tumpul mengenai kepalanya dan menyebabkan luka. Kalian boleh masuk tapi  harus bergantian.” Ujarnya dan tidak menunjukkan siapa yang boleh masuk terlebih dahulu. Ia pergi setelah berkata seperti  itu namun di dalam masih ada seorang perawat. Gendys menoleh kepada semua yang ada di tempat itu seakan memberikan waktu siapa yang akan masuk terlebih dahulu. Mereka saling berpandangan satu sama yang lain lalu semua mata mereka tertuju kepada pengasuh. Akhirnya mereka merelakan pengasuh yang masuk meski sebenarnya semua ingin masuk.
   Sang pengasuh masuk dan langsung menghampiri perempuan empat puluhan itu dengan perasaan was-was karena tidak ada gerakan sedikitpun dari tubuhnya yang tergeletak tak berdaya seakan tinggal menunggu takdirnya. Ketujuh perempuan diluarpun tak kalah was-wasnya seolah merasa tidak bisa lagi mendengar suara perempuan itu, tak bisa berbagi cerita, tak bisa bercanda dan tak bisa saling memuji juga saling memberi saran satu sama yang lainnya. Perempuan paruh baya itu mendekat dan ia masih ditemani seorang perawat lalu ia mengusap tangan perempuan yang ditusuk jarum infus itu dengan sangat hati-hati seakan ingin mengatakan ‘bangunlah.... ketujuh nomor itu telah Bibi hubungi dan sekarang semuanya sudah ada di depan.. Bibi juga tidak tahu apa yang terjadi dan mengapa harus menelepon mereka? Bibi tidak kenal keseluruhannya namun bisa Bibi pastikan kalau mereka semua amat sangat menyayangimu, anakku.’ Gumannya lalu ia mengecup pipi perempuan itu dengan lembut.
   Perempuan itu benar-benar seperti tertidur dengan sangat pulasnya tanpa tahu ada beberapa orang  yang mengkhawatirkannya, sungguh itu semacam kisah seorang Aktris yang sengaja melakukan adegan memuakkan dan tidak bermutu demi sebuah sensasi belaka. Adegan konyol itu semakin lama dan berlanjut ke kamar perawatan, ke tujuh perempuan itu memutuskan membawanya ke kamar kelas satu dan menginginkan perawatan yang terbaik untuknya.
   Razthi merasa terpukul melihat kenyataan di depan matanya setelah mendapatkan telepon dan menemukan orang yang amat dikenalnya terbaring lemas, ia tak peduli siapa-siapa saja yang ada di tempat itu namun ia kenal perempuan yang kadang-kadang menyebalkan, kesan pertama bertemu  dengannya terlihat agak sombong dan terlihat tidak ingin berteman dengannya setelah berteman ternyata asyik, tidak bisa menangis, romantis, penyayang, egois, mengasikkan, supel, tidak gampang marah, tidak cemburuan, sedikit boros, agak tertutup, agak pendiam, bikin orang penasaran, tidak suka pujian, dan setia kawan. Ia tidak perlu mengkhawatirkan ke enam perempuan yang ada di sekitarnya karena siapapun mereka pastilah sangat mengenali perempuan yang ia sayangi dan ia merasa telah memiliki perempuan itu tak peduli berapa banyak orang disekitarnya.
   Esty mengenalinya sebagai sosok Abstrak, susah ditebak, baik, bikin penasaran, terkadang bikin orang nafsu. Pertama ketemu agak sombong, seperti nggak butuh teman, tidak mau cepat akrab, cuek dan setelah itu ternyata orangnya peduli, keras kepala, sayang dan asyik.
   Lexa menilai perempuan itu punya sifat  yang susah ditebak, sensitif, kurang tegas, banyak memendam, suka menghingdar, terbuka pada orang-orang tertentu, punya empati tinggi, suka berburuk sangka, tidak banyak omong, kadang gini kadang gitu, tidak bisa mengungkapkan hal jelek / buruk meski untuk membela diri, membiarkan orang menilai dari kaca mata masing-masing, dan kalau tidak suka masih berpura-pura suka.
   Sedangkan Gendys punya pandangan sendiri menilai perempuan itu memang tulus, apa adanya,  pendengar yang baik, suka membaca orang, seiring dengan waktu kedewasaan berkembang, mau belajar baik intern / external sehingga mau menerima kritik / saran, punya prinsip yang kuat, kadang jadi orang kaku tapi karena tambah usia / pengalaman jadi bisa agak flexible, tegas maskulin, tapi hatinya lembut namun keras, rendah hati, tidak mau disakiti makanya tidak mau menyakiti orang dan sekarang menjadi bijak dan pemaaf. Meski agak tertutup karena tidak mau tersakiti, yang belum kenal betul pasti sulit menebak, kalau tidak suka sesuatu terang-terangan / tidak suka basa-basi, karena prinsipnya kadang masih suka kaku, tukang tidur. Pertama ketemu pemalu dan tertutup, tidak asyik setelah dekat ternyata asyik banget.
   Liliana lain lagi, perempuan lembut itu menganggap perempuan itu adalah Sumber keceriaan.. karena siapapun orang yang dekat dengannya pasti akan selalu ceria, kreatif.. selalu punya ide-ide yang membuat dirinya tidak membosankan baik buat diri sendiri maupun orang lain, menarik.. tipe orang yang bisa menarik perhatian siapa saja yang melihat terutama kaum pria, romantis... mungkin itu kenapa ia banyak disukai orang, auranya memancarkan romantic women, ramah meski pada awalnya cuek, jutek dan menyebalkan namun dari banyak orang bilang kalau dia itu ramah dan tidak membeda-bedakan orang. Idealis, mandiri tidak mau tergantung pada orang lain meskipun itu pada orang terdekatnya sekalipun, suka memulai sesuatu namun enggan mengikutinya hingga akhir, suka menyenangkan orang lain, mengerti / memahami arti persahabatan, keras kepala, bisa menjadi teman baik, seorang kakak, dan sahabat sejati. Sahabat terbaik yang aku punya hingga detik ini, meski dulu awal bertemu sangat menyebalkan, cuek bebek kayak tidak peduli sama orang lain, tomboy sekali, tetapi setelah mengenalnya ternyata ia sangat feminin, baik yang tulus, menghargai orang dari kalangan apapun, membuat ia semakin menyayanginya karena ia selalu ada untukku baik duka maupun duka, namun satu hal yang tidak kumengerti karena ia punya hubungan dengan pria lain namun aku hargai semua itu meski aku sering protes.... terlalu banyak cinta hingga cintanya tak berlabuh di satu tempat, aku tidak mengerti jalan pikirannya tapi sekarang aku mulai memahaminya.
   Apbriel, satu-satunya perempuan yang berpandangan lain kepadanya dan melihat perempuan itu beda, awalnya feminin sekali namun pas ketemu lagi di masa sekarang menjadi tomboy sekali, tidak tertebak. Sempat curiga ubnormal dan su’uzon tapi itu cuma pas pertama bertemu. Namun sekarang beda dan perempuan itu satu-satunya yang bisa menerima ia apa adanya, itulah mengapa ia menyebutnya beda. Baik, peduli sama teman dan penyayang, pengkhayal tapi sejujurnya ia tidak bahagia, Itu membuatnya menarik napas panjang. Bukan perempuan nrimo tapi berusaha nrimo karena tidak mau menjadi pihak yang disalahkan lalu terjebak dalam norma atas nama baik keluarga, suka membiarkan hati mengembara. Dia orangnya bisa dipercaya, bisa bikin teman  merasa nyaman bercerita dalam segala hal, terkadang bisa menyanjung seseorang ke arah yang berlebihan karena sangat menyayangi sahabatnya. Orangnya baik sekali meski orang yang ia k enal itu tidak sebaik yang ia inginkan... namun yang pasti dia itu adalah perempuan pengembara.
   Elyana, pertama ia melihat perempuan itu tomboy, pemalu, terlalu biasa-biasa saja bahkan sempat tidak memandangnya namun setelah bertemu lagi selang sekitar puluhan tahun ia menjadi bangga dan tak mengira kalau perempuan yang dulu ia kenal biasa menjadi yang tak terduga, yaitu seorang  penulis novel namun bukan lantaran itu ia menyayanginya karena sekarang ia tahu kalau perempuan itu terlalu baik untuknya dan sangat  nyaman diajak bicara apapun tak terkecuali masalah-masalah yang rumit sekalipun. Namun tetap saja kesan pertama yang didapat oleh Elyana mengenai perempuan itu setelah mereka berpisah dari SMP adalah acuh, apatis, cuek, transparan, mengayomi, mendidik, dan supel. Acuh karena tidak begitu ingin mengundang keakraban, siapa yang datang dilayani tapi tidak terkesan mengemis teman. Cuek kalau mau berteman tidak memandang status sosial. Transparan jujur dalam menilai teman. Mengayomi dapat melindungi teman yang sedang dalam keterpurukan. Mendidik bisa menunjukkan arah yang terbaik terhadap teman. Supel bisa menjadi saudara, teman, kekasih bahkan bisa jadi lawan bila berbeda pendapat kalau sedang berdebat.  
   Kesemua perempuan ditempat itu merasakan ada luka dihati melihat kondisi pasien yang tidak menunjukkan perkembangan yang be  rarti. Razthi berbisik di telinga perempuan itu.
   “Aku tidak suka tempat ini, bangunlah... ini bukan tempatmu dan orang-orang itu sepertinya mereka juga menyayangimu.” Guman Razthi dengan penuh rasa haru karena ia takut kehilangan perempuan itu. 
   Lexa terlihat lebih terpukul, kini tangannya menggennggam erat tangan perempuan itu dengan agak gemetar lalu ia mencium lembut pipi perempuan itu kemudian berbisik amat pelan.
   “Hei... aku tidak mau peduli apa yang menimpamu kemarin karena yang kutahu kamu itu perempuan kuat dan apapun yang kamu alami bisa kamu lalui makanya aku bangga sama kamu. Kamu jug a tahu kalau aku menyayangimu lebih dari yang kamu tahu. Bangunlah, maafkan kesalahanku selama ini, aku sayang kamu.” Bisiknya dengan nada agak bergetar dan tidak ada yang melihat kalau tangan peempuan itu sedikit bergerak di dalam genggaman tangan Lexa, hanya Lexa yang bisa merasakan respon itu dan membuat perasaan Lexa lebih baik. Terakhir mereka komunikasi adalah beberapa hari yang lalu melalui BBM.
   “Lex.......,”
   “Weiiii......”
   “Apa kabar sahabat...?” menanyakan kabar adalah menandakan kalau mereka sudah jarang komunikasi. “Apakah hingga detik ini aku masih asing buat kamu? Ah, ini pertanyaan bodoh sepertinya.”
   “Alhamdulillah sehat... jalan mulus memang membuat orang kerap tergelincir. Mungkin selama ini setiap lubang yang kita lalui mampu kita tambal. Disaat jalan itu ambruk kita tidak punya kekuatan banyak untuk memperbaikinya bukan tidak ingin tetapi tidak memiliki kemampuan, kemampuan kita terbatas. Kesamggupan tanpa kemampuan...., asing.... kata-kata untuk sesuatu yang baru jadi jangan pergunakan kata itu lagi. Tidak ada yang berubah, cuma butuh waktu untuk mempelajari hal-hal yang terasa aneh. Tapi semua pasti ada hikmahnya. Sekali lagi tidak ada yang berubah dan tidak ada yang asing.”
   Sejujurnya semua merasa terpukul mendapat musibah itu meski belum jelas penyebabnya. Sebagian mereka menebak kalau perempuan itu terpeleset di rumahnya sendiri karena menurut keterangan pengasuhnya tidak ada tanda-tanda orang masuk rumah karena pintu rumah masih terkunci dengan rapat. Tidak ada yang ingin meninggalkan tempat itu apalagi dengan Lexa, Apbriel, Elyana, dan Razthi yang datang dari luar kota, kalaupun harus pulang mereka akan ke rumah kediaman perempuan itu. meski sudah ada di dalam ruangan perawatan tetap tak membuat perempuan itu sadarkan diri. Seorang dokter kembali masuk karena sudah mendapatkan hasil ronsen dan memberitahukan kepada perempuan-perempuan itu kalau pasiennya juga mengalami keseleo yang cukup parah di pergelangan kaki kiri.
   “Sepertinya dia harus dibawa keluar dari rumah sakit ini karena kakinya harus dibawa ke tukang urut.” Celetuk Gendys setelah dokter berlalu dan berharap semua yang ada di sana setuju.
   “Tidak mungkin sekarang, sadar saja belum.” Sahut Apbriel dengan bijaksana.
   “Ya, kita harus menunggunya sadar dulu.” Tambah Elyana dan diiyakan oleh Esty juga Liliana sedangkan Razthi berharap bagaimana caranya perempuan itu segera siuman. Sedangkan Gendys tahu pasti kalau terlambat diurut maka kaki perempuan itu akan lama sembuhnya namun tidak memungkinkan juga kalau ia diurut dalam kondisi sekarang.
   Lexa yang melihat perempuan itu kembali menggerakkan tangannya segera meraih tangannya dan menggenggamnya erat sedang wajahnya langsung mendekat ke wajah perempuan itu. “Hei.... bangunlah.... aku di sini.” Gumannya dengan suara lagi-lagi bergetar karena tidak sabar mendengar suaranya langsung dan menatap matanya bukan tanpa alasan karena sudah tiga tahun ia tidak bertemu dengannya dan tidak lagi mendengar suaranya baik lewat telepon ataupun yang lainnya karena tiga tahun belakangan ini mereka mengalami kerenggangan hubungan disebabkan kesalahpahaman juga sebuah kejujuran yang menimbulkan rasa sakit hati yang begitu dalam.
   Dan benar, perempuan itu membuka matanya sedang dokter masih ada diantara mereka. Ruangan kelas VIP itu tak membatasi pengunjung yang mau datang kapan saja dan berapa saja dengan catatan tidak mengganggu waktu istirahat pasien.
   “Helen....... Helen......” panggil Lexa dengan wajah berbinar. “Alhamdulillah ya Allah.” Gumannya lagi karena mendapatkan sahabatnya telah siuman yang lain pun memanggil nama perempuan yang ternyata bernama Helen. Helen belum menggerakkan kepalannya ke kiri ataupun ke kanan.
   “Halo Helen..... apa kabar? Bagaimana perasaanmu?” tanya sang dokter menyapanya. perempuan itu menatap dokter baik-baik lalu bertanya.
   “Helen.....? nama saya Helen.....?” ujarnya dengan penuh kebingungan dan kini mulai menggerakan kepalannya seolah ingin melihat semua yang hadir di ruangan itu satu persatu namun kenyataannya tidak ada satupun yang ia kenal.
   “Helen..... apa yang terjadi?” tanya Gendys tidak sabar diikuti yang lainnya merasa kaget.
   “Eee.... maaf Mbak, aku tidak tahu apa yang terjadi dan mengapa aku ada di sini dan kalian siapa? Apa benar namaku, Helen? Aku bukan Helen.” ia masih kebingungan lalu menatap dokter membuat pria itu menggeleng-gelengkan kepalanya dengan pelan seolah ingin mengatakan kalau perempuan itu mengalami trauma akibat benturan di kepalanya.
   “Jika namanya sendiri ia tidak ingat maka kemungkinan besar ia mengalami amnesia.” Jelasnya dan membuat semua yang ada di sana menjadi terdiam. Helen coba mengangkat tangan untuk memegang kepalanya yang terasa agak nyeri dan ia merasa ada perban yang melingkar di sana, namun ada yang terasa lebih nyeri disaat ia menggerakkan kaki kirinya sampai ia mengeluh pelan dengan kata ‘aww...’
   “Hati-hati Helen....” ujar Apbriel yang berdiri di sebelah kiri Helen. “Jangan banyak bergerak dulu ya.” Tambahnya. Helen mengamati perempuan manis di sampingnya dan perempuan itu mengukir senyum indah. Helen coba mencari sesuatu di wajah itu tapi ia tidak menemukannya bahkan ia tidak tahu apa yang ia cari, lalu ia mengalihkan pandangannya kepada yang lain dan wajah-wajah itu benar-benar asing di matanya sehingga ia memutuskan untuk memejamkan matanya dan berharap dalam hitungan detik orang-orang di tempat itu menghilang namun kepalanya terasa berat dan pusing lagi.
   “Semoga ia tidak benar-benar mengalami amnesia, kesadarannya pasti belum pulih benar.” Gendys coba memberi harapan kepada semua termasuk kepada dirinya sendiri sedangkan baru saja ia merasa tidak nyaman dipanggil ‘mbak’ oleh Helen.
   “Mengapa ia harus mengalami amnesia?” serobot sang pengasuh bertanya kepada siapa saja yang bisa menjelaskannya meski ia sudah tahu letak persoalannya. Ia akan merasa amat sedih kalau perempuan yang selama ini tinggal bersamanya namun tidak mengenalinya. Terlepas dari rasa yang dirasakan oleh pengasuh namun tak terbilang pedihnya rasa yang dialami oleh ketujuh perempuan yang ada disekitar Helen. Ketika kita menyayangi seseorang lalu orang itu pergi atau tidak mengenali kita lagi maka tidak ada yang lebih sakit dari itu, kalau ia pergi tak kembali atau melupakan kita baik sengaja atau tidak maka rasa sakitnya tetap saja sama. Namun dalam kasus yang dialami oleh Helen haruskah sahabat-sahabatnya meninggalkannya?
   Dokter kembali mengecek pasiennya sehingga ia bisa memastikan kalau perempuan itu benar-benar dalam kondisi stabil dan setelah bisa mengambil keputusan iapun berpesan kepada suster yang mendampinginya kalau pasiennya tidak apa-apa hanya shock saja.
   “Dia tidak apa-apa hanya shock saja.. nanti kalau ia kembali sadar bertahu saja kepada kami.” ujar suster itu kepada semua perempuan di sana sebelum ia meninggalkan ruangan VIP itu. tinggal mereka yang harus berbuat apa? Apakah akan tetap di sana atau pulang terlebih dahulu?
   Esty harus kembali bekerja karena sudah dua hari ini ia tidak masuk kerja, Gendys memang harus pulang karena ada yang harus dia urus di rumah begitupun Liliana punya tanggung jawab di rumahnya. Meski punya tanggung jawab di rumah namun Razthi belum memutuskan untuk pulang karena ia masih ingin memastikan kondisi Helen, karena kalau ia sudah pulang maka sulit untuknya kembali lagi. Sedangkan Elyana tidak akan merasa terganggu dengan tugasnya sebagai PNS pendidik karena anak-anak sekolah dalam suasana libur tengah semester, begitupun dengan Apbriel yang punya usaha sendiri itu bisa mengatur waktunya dengan santai apalagi dengan Lexa yang bisa pergi kapan saja dan dalam waktu yang tidak dibatasi karena usahanya ada ditangannya sendiri.
   Ketiga perempuan itu memutuskan untuk pulang dulu dan dengan pasti mereka akan kembali secepatnya setelah memberikan nomor mereka yang bisa dihubungi kepada yang tinggal di rumah sakit. Lalu Lexa mendekati sang pengasuh.
   “Bibi sebaiknya pulang dulu dan istirahat, aku dan teman-teman yang lain akan menjaga Helen dan juga pasti banyak yang harus Bibik kerjakan di rumah dan sepertinya aku dan ke tiga teman yang lainnya akan menginap di rumah Helen untuk waktu yang tidak ditentukan.” Jelas Lexa yang sudah seringkali menginap di tempat Helen saat ia jalan-jalan ke Jakarta atau sekedar ingin membeli sesuatu.
   “Benar begitu? Baiklah... saya akan pulang dulu.” Ujarnya lalu mendekati Helen dan mengusap keningnya dengan lembut. “Bibi pulang dulu ya, Nak. Bibi titip kamu sama teman-temanmu... mereka sangat menyayangimu. Kamu harus cepat sembuh karena setelah pekerjaan rumah selesai Bibi akan kesini secepatnya.” ujar perempuan paruh baya itu meski ia tahu Helen tidak akan bisa menyahut kata-katanya namun ia yakin teman Helen yang bernama Lexa yang sudah ia kenal itu serta teman-temannya akan menjaga Helen dengan baik dan ia akan dengan senang hati menyediakan tempat untuk mereka di rumah Helen.
   Lexa menoleh kepada perempuan yang kini tinggal tiga dan empat dengan dirinya. “Kalau ada yang ingin makan biar aku yang menemani Helen dan aku yakinkan ia tidak akan apa-apa.” Helanya sembari kemudian menatap ke arah Helen yang ditutupi dengan selimut putih bersih.
   “Aku akan menemanimu di sini kalau yang lain mau makan tidak apa-apa.” Ujar Apbriel mengambil jalan tengah karena ia tidak akan meninggalkan Lexa sendirian menemani Helen yang belum sadar lagi.
   “Emm.... kalau begitu kita akan membeli makanan di luar dan makan di sini, Apbriel dan Lexa mau pesan apa?” tanya Elyana akhirnya dan memutuskan untuk keluar dengan Razthi.
   Setelah menyetujui usulan Elyana tinggal Lexa dengan Apbriel di sana, keduanya terdiam sejenak seolah memikirkan apa yang akan terjadi dengan sahabat mereka namun apapun yang terjadi mereka tidak akan tinggal diam. Tiba-tiba Apbriel buka suara.
   “Emm... setelah mendengar cerita Bibi apakah kamu yakin Helen tidak dipukul orang?”
   Lexa melirik ke Apbriel sekilas. “Maksud kamu?” sahutnya pelan.
   “Yah, semoga saja tidak ada orang ketiga dalam kasus ini.” Kata-kata Apbriel agak menggantung di telinga Lexa membuatnya kembali menatap wajah Helen dengan seksama. Bukan ia mengabaikan kata-kata perempuan itu tapi setidaknya ia merasa lebih lama mengenali Helen dibandingkan perempuan itu dan ia tahu pasti kalau Helen tidak pernah dimusuhi orang.
   “Aku tidak suka kata-kata kamu, Helen hanya mengalami insiden di dalam rumahnya sendiri dan dia tidak punya mus.......” kata-kata Lexa terhenti karena Helen bersuara nyaris seperti desahan kecil memaksa kedua perempuan itu fokus dengannya.
   “Helen......” suara itu keluar bersamaan dari mulut Lexa dan Apbriel. Helen membuka matanya, tangan Lexa di bahu Helen sembari mengusapnya pelan dan Apbriel menatap wajah pucat itu dengan cemas dan bercampur senang karena ia sudah sadar.
   “Jangan pingsan lagi, kita akan segera membawamu pulang dari sini karena di sini tidak enak.” Kata Apbriel dengan serius sedangkan Lexa masih diam karena ia masih ragu apakah Helen benar-benar amnesia atau karena tadi pengaruh obat yang diberikan dokter. Helen coba tersenyum namun anehnya itu bukan senyum yang kedua wanita itu kenal sebelumnya.
   “Pulang? Pulang ke mana? Dan kalian berdua ini siapa?” tegasnya.
   “Helen......” Lexa mulai tidak sabar mendengar nada agak menekan itu memaksa Helen menatap ke wajah Lexa. “Apa yang kamu pikirkan?”
   “Helen? Helen.... dari tadi kalian menyebut nama itu memangnya namaku Helen?” ia berbicara dengan bahasa Indonesia.
   “Ya, kata dokter kamu mengalami amnesia karena luka di kepalamu.” Sahut Apbriel dan disambut tawa halus dari mulut Helen.
   “Amnesia? Itu lucu sekali, aku tidak amnesia! Kalian  berdua mungkin salah orang.” Ujarnya ketus bersamaan dengan munculnya Elyana dan Razthi dengan tentengan kantong di tangan. Mendengar penuturan Helen mengejutkan kedua perempuan itu.
   “Lihat mereka, apa kamu juga membantah kalau yang baru masuk itu juga bukan teman kamu?” ketus suara Lexa membuat Apbriel memegang tangannya agar perempuan itu bisa mengontrol dirinya. Lexa berdiri dan benar-benar merasa kacau dan tanpa diduga ia meninggalkan ruangan itu namun dengan cepat Razthi meraih tangannya karena hanya dia yang kenal dengan Lexa.
   “Aku mohon jangan pergi, kamu tidak akan ada di sini kalau tidak sayang sama Helen.” Pintanya. Lexa menarik tangannya dari tangan Razthi namun matanya melihat sebuah gelang kecil di tangan Razthi dan sempat membuatnya agak kaget tapi untuk saat ini sepertinya tak perlu dibahas. Kekesalannya tidak kunjung reda, kalaupun benar Helen amnesia seharusnya ia tidak bersikap angkuh seperti itu dan kalau tidak maka ia tidak perlu menghukum Lexa dengan cara seolah tidak mengenalinya. Sikap Helen membuatnya merasa amat kesal sehingga tidak lagi memikirkan kalau perempuan itu sedang sakit.
+++++++++
++++++++++++++++

Tidak ada komentar:

Posting Komentar