Acara resepsi pernikahan Randu dan Dio
diadakan di kediaman Randu Bintang. Putri satu-satunya dari pasangan almarhum
Damar Bintang dan Seruni Bintang itu berlangsung begitu meriah dan megah. Bagaimana tidak, Randu adalah seorang
pembalap yang sangat dikenal dan Dio seorang pengusaha Dept. Store ternama di
kota Metropolitan.
Acara pernikahan mereka merupakan
paling berkesan diakhir tahun itu. Kerabat Randu dan Dio ditambah dengan
teman-teman Rimba juga Arif menambah semarak suasana dan sempurnanya pesta,
yang telah dipersiapkan tiga bulan sebelumnya dan melibatkan ahli wedding planer terkenal. Ribuan orang memberi ucapan ‘semoga bahagia’
Setiap tamu yang datang seakan tidak
mau kalah dengan kecantikan Randu dan ketampanan Dio. Namun tak ada yang mampu
meredupkan pesona Randu yang berdampingan dengan Dio di malam yang bersejarah
itu.
*
Di pagi yang tidak begitu cerah, saat
terbangun Randu menemukan sosok Dio di sebelahnya. Pria itu telah menjadi
suaminya. Randu duduk bersandar lalu menarik napas panjang. Tidak banyak
kejadian yang bisa ia ingat, dan tidak ada juga yang luar biasa. Dio ikut
bangun dan mendapati Randu yang sudah duduk memeluk selimut dengan bahu
terbuka.
“Pagi sayang… sudah bangun dari tadi?”
Dio menciumi pipinya. Randu tersenyum karena pria itu sudah menjadi miliknya.
Tetapi apakah dia juga mencintai pria itu….??
Menjelang siang Randu membuka lemari
pakaiannya untuk ganti baju. Ia mengambil baju dalam lipatan. Saat menarik
bajunya, tiba-tiba sebuah benda jatuh ke lantai, mata Randu mengikuti benda
itu.
‘Jam
tangan? Ya Tuhan..’ Randu meraihnya. ’Lintang….?’ Panggil batinnya
spontan. Ia menggenggam jam itu sangat erat. Ada debar rindu di dadanya yang
paling dalam.
**
Bab 1
Lintang, kembali
Siang itu pula.....
Di Bandara Soekarno-Hatta keluar
seorang wanita dari pintu kedatangan luar negeri. Penampilannya begitu
mempesona bahkan lebih menarik dari setahun yang lalu. Dia mengenakan sepatu
hak tinggi dan kaca mata hitam serta celana jins dan baju kasual. Rambut
panjangnya digulung dan diikat ke atas seakan sengaja memperlihatkan bentuk
lehernya yang jenjang untuk dibelai oleh angin tropis. Ia menarik kopernya dan
berdiri sesaat untuk menghirup udara negeri kelahirannya.
‘Randu….’ Nama itu yang keluar pertama
kali dari mulutnya tak kala berdiam diri di tempatnya sejenak seakan ada magnet
yang begitu kuat di tempat tersebut. Ada peristiwa yang menghantam perasaannya
di lantai yang ia pijak tepat setahun silam. Ia coba menarik napas begitu dalam
lalu berjalan ke pinggiran Terminal. Taksi menghampirinya. Ia pun masuk ke
dalam taksi dan meninggalkan Bandara menuju Jakarta. Dalam waktu setahun Jakarta
di matanya tidak berubah dan yang lebih menyebalkan adalah tradisi macetnya
yang semakin hari semakin parah. Kendaraan umun terus menumpuk, kendaraan
pribadi terus bertambah dan kendaraan roda dua kian merajalela. Apa jadinya
Jakarta dalam sepuluh tahun mendatang? Kecelakaan terus terjadi, baik di darat
mau pun udara.
Taksi itu membawa penumpangnya ke
sebuah hotel yang berbintang 4 di kawasan Jakarta Selatan., wanita itu turun
dan akan menginap di sana untuk beberapa hari. Malamnya ia turun ke bar yang
ada di lantai dua hotel untuk sekedar menikmati minuman ringan. Sebenarnya ia
masih lelah dan seharusnya istirahat di kamar. Tapi ia tidak bisa melakukannya
karena memikirkan suatu hal yang terus saja mengganggu pikirannya. Sebab
berdiam diri akan membuat pikirannya bertambah lelah. Dia benci bila itu
terjadi dan harusnya ia mengunjungi orang itu supaya rasa penasarannya hilang.
Atau setidaknya meneleponnya untuk sekedar mengatakan kalau dia sudah ada di
Jakarta. Sebab sejak berada di dalam pesawat ia telah membayangkan sebuah
pertemuan yang indah namun kenyataannya ia hanya bisa membayangkan dan tidak
mampu untuk mewujudkannya. Payah!
Seorang pria yang dari tadi mengamatinya
kini menghampirinya, menyapa dan duduk di sebelahnya.
“Hello… Lintang…?” suara itu terdengar
ragu-ragu antara kenal dengan gadis itu atau takut salah.
Gadis itu menoleh dari tempat
duduknya. Sosok pria setengah baya itu sedang tersenyum untuknya. Dia sangat
mengenali pria itu.
“Pak Produser…” Katanya ikut
tersenyum.
Pria itu mengangsurkan tangannya,
mereka berjabat tangan. “Panggil saja Edgar, tanpa
embel-embel
Produser, ini bukan lokasi. Bagaimana kabar kamu? Setelah kecelakaan di samping
rumah Randu itu kamu menghilang. Semua orang jadi tahu kalau yang kecelakaan
itu adalah Rimba. Masyarakat sudah bisa menerima sebuah kenyataan kalau Rimba
harus berhenti dari dunia hiburan, namun ia tetap seorang bintang di dunianya
yang lain. Dia sekarang menjadi seorang penulis cerita yang bermutu.” Kata
Produser mereka dengan panjang lebar. Lintang tersenyum karena pria itu
ternyata masih mengenalinya tanpa rasa ragu lagi.
“Seorang bintang kalau sudah
ditakdirkan lahir sebagai bintang, maka apa pun yang menimpanya, maka dia akan
tetap terus berkilau.”
“Bagaimana dengan kamu sendiri?” itu
pertanyaan mengandung tantangan positif.
Lintang menyulut rokoknya dan menatap
Pak Edgar. Pria itu menunggu jawabannya. Luka di keningnya sudah benar-benar
menghilang tanpa bekas.
“Takdir saya berbeda..” Katanya pendek
tanpa bermaksud apa-apa.
“Lintang, bintang tetaplah bintang
tidak ada yang bisa mengubahnya. Takdir boleh saja berbeda tapi bintang tidak
akan pernah berpisah dari kilauannya.” Lintang tidak bisa memahami kata-kata
pria itu. Sesaat ia mengamati sekeliling bar, ia juga tidak memahami mengapa
Produser sekelas Pak Edgar berada di tempat seperti ini, apakah akan mencari
bakat-bakat terpendam yang dimiliki oleh pengunjung bar? Ia menatap pria itu
lagi. Pria itu tersenyum dan siap untuk pergi. ”Senang berjumpa dengan kamu
lagi, kemarin Randu menikah, kamu hadir, kan?” pria itu berdiri sebelum melihat
perubahan di wajah Lintang. ”Aku baru saja kembali dari luar kota, belum sempat
memberi ucapan selamat padanya. Tapi akan aku telepon dia, seandainya kamu
menemuinya sampaikan juga salamku. Kamu ingat dengan pertemuan pertama kita
waktu di Singapura? Aku harap ini pertemuan yang sama dengan tujuan yang sama
tapi jalan yang berbeda…” Dia menyentuh bahu Lintang sekilas. ”Kuharap kita
akan bertemu lagi, secepatnya.” Lintang melepas kepergian pria itu tak sepatah
pun ia menanggapi ucapannya.
‘Randu menikah kemarin.’ Hanya itu
yang terngiang di otaknya. Kata-kata itu seakan menghujam jantungnya hingga
hancur lebur. Ia meraih gelasnya, meneguk isinya hingga habis. Minuman dingin
itu seakan terasa amat pahit di tenggorokannya, di lidah dan sampai ke hati.
Setahun sudah ia pergi namun tak sehari pun ia bisa menepis bayangan wajah
Randu dari hidupnya. Dan saat ia kembali mendapati berita yang luar biasa
hebatnya, sehebat rasa sakit di hatinya saat ini.
‘Randu, kamu membuat hatiku sangat
sakit. Aku ingin sekali membencimu, ingin sekali!’ Lintang beranjak dari kursinya,
karena kepalanya mendadak sakit. Ia kembali ke kamar dan menyalakan TV. Seorang
wanita cantik sedang membacakan berita malam, mengenai anak-anak yang mengalami
busung lapar. Fenomena pemandangan yang memilukan, sepuluh detik berikutnya
berita otomotif. Lintang bermaksud memindahkan chanel tapi…
‘Seorang pembalap kenamaan negeri ini,
yang akhir-akhir ini kembali serius ke Sirkuit, kemarin malam mengadakan acara
resepsi pernikahannya di kediamaannya. Si Randu Bintang itu disunting oleh seorang
Pengusaha Departemen Store yaitu Dio Bano. Setelah berpacaran lebih kurang tiga
tahun…’ layar memperlihatkan acara resepsi itu, sangat meriah. Lintang tidak
terkesan dengan suasana pesta, ia mencari sosok Randu. Empat detik berikutnya
baru wajah sang pengantin diperlihatkan, di-shoot
dengan zoom, namun mata Lintang
tertuju kepada Randu seorang. Rasa rindunya semakin terasa membumbung tinggi,
sekaligus diikuti rasa benci.
‘Aku membencimu, ternyata aku bisa
juga membencimu!.’ Gumannya lirih.
Saat topik berita diganti, Lintang baru
menyadari kalau dia sudah meneteskan air mata. Ia
meraih
telepon di kamar hotel dan menelepon ke rumah Randu. Sesaat saja sudah
tersambung.
“Hallo…, kediaman Randu Bintang, dari
siapa?”
“Bi Ijah…?” Lintang agak kecewa tapi
masih bisa tersenyum tipis, tentu saja Bi Ijah yang mengangkat telepon. Sebab
Randu jarang sekali mengangkat telepon rumah.
“Iya…” Jawab wanita itu.
“Tolong bisa dengan Randunya, Bi…?”
“M.. boleh tahu dari siapa ya?” sahut
wanita baik hati itu.
“Temennya, bisa cepat, Bi?” nada itu
tidak sepenuhnya mengandung printah.
“M, iya. Tunggu sebentar.” Wanita itu
menemui Randu. Lintang menunggunya dengan perasaan tidak menentu. Berkali-kali ia
menarik napas panjang.
“Siapa, Bi?” Kata Randu setelah Bi
Ijah muncul di kamarnya. Kamar itu sudah diubah dengan sedemikian rupa. Hanya
ada sebuah tempat tidur hingga terkesan begitu luas. Dio sedang di depan
laptopnya.
“Katanya dari teman, Non.” Ia masih
memanggil Randu seperti itu.
“O,” Randu mendahului Bi Ijah setelah
terlebih dahulu menoleh ke Dio, pria itu hanya tersenyum. Bi Ijah sudah kembali
ke kamarnya. Randu menghampiri meja telepon dengan pakaian tidur yang sama seperti
sebelumnya. Kemeja panjang plus celana dalam. Ia tidak bisa menebak siapa yang
menelepon.
“Hallo…?”
“Randu…?” Suara itu agak bergetar.
“Iya, siapa…?” tanya Randu dengan
tenang.
“Aku…” Randu menunggu. Lintang kecewa
karena Randu tidak mengenali suaranya, tapi itu lebih baik. ”Aku… hanya
berharap semoga kamu bahagia…” Lintang menutup teleponnya dengan sangat
hati-hati setelah menyelesaikan kata-kata itu.
“Hallo…?” Kata Randu namun telepon
sudah terputus membuat Randu penasaran.
Lintang menarik napas panjang. Sementara Randu masih penasaran, ia
menekan tombol radial dan
menghubunginya kembali.
“Halloo.. selamat malam, Hotel
Rafflesia bisa di bantu?”
‘Hotel?’
“Halloo..?” Ulang suara dari seberang.
“O, maaf.. saya rasa saya salah.
Terima kasih, ya.” Randu menutup telepon dengan perasaan yang masih diliputi
rasa penasaran. ’Barangkali seseorang yang tidak sempat hadir di acara
resepsiku kemudian memberi ucapan lewat telepon, tapi siapa ya, kenapa ia tidak
menyebut namanya? tapi itu bukan ucapan dari hotel itu. Tadi Bi Ijah bilang
dari seorang teman. Dia seoarng wanita, siapa dia?’ Randu masih tidak bisa
menebak.
Sebenarnya Lintang tidak bermaksud membuat
Randu penasaran, tapi itu sudah terjadi.
*
Veldo sedang makan siang bersama
istrinya di kafe mewah yang bersebelahan dengan gedung apartemen Selatan
Jakarta. Ia sengaja menemani istrinya yang sedang hamil 4 bulan, yang ngidam
untuk makan es krim di tempat itu. Istri Veldo tidak bisa dibilang cantik tapi
begitu manis. Hidungnya kecil panjang, rambutnya lurus sebahu dan yang lebih
penting dia pandai memilih busana. Itu membuatnya punya nilai lebih.
Es krim yang dipesan Veldo bukannya
dihabiskan tapi dia malah asyik menikmati Veldo yang sedang menghabiskan makan
siangnya. Veldo menatap istrinya.
“Nggak nafsu makan, ya? Habisin dong
makanannya, masa cuma aku yang makan? Kan kasian dedeknya..”
Istrinya yang manis itu malah
tersenyum lalu mengangsurkan es krim ke Veldo. “Buat kamu saja, aku kan sudah
mencicipinya.”
“Mencicipi..?” Veldo mengeryitkan
alisnya seperti orang bingung.
“Iya, buat si kecil biar aku makan
yang lain saja..”
“Apa..?”
“Seperti yang kamu makan.” Ujar wanita
itu dengan santainya.
Veldo menoleh ke piringnya yang nyaris
kosong. Ia makan nasi goreng udang lalu menatap istrinya lagi.
“Ya sudah, biar aku pesan lagi.”
Ujarnya kemudian.
Wanita itu tersenyum dan sebelum Veldo
beranjak dari kursi, dia melihat sahabat suaminya yang baru masuk ke dalam
kafe, sendirian.
“Sayang tunggu.” Katanya membuat Veldo
menoleh. ”Ada Randu tuh..!”
“Jangan bercanda. Randu tidak menyukai
tempat makan seperti ini, aku dan Rahman sangat mengenali selera makannya.”
“Tapi itu buktinya…” wanita itu
menunjuk ke arah sosok yang masuk kafe.
Veldo mengikuti arah mata istrinya.
Wanita itu sedang menuju kursinya, seorang pelayan menghampirinya.
‘Lintang.’ Guman Veldo setelah sejenak
mengamati wanita itu, rambutnya dijepit.
“Apa masih mau mengatakan kalau kamu
sangat mengenali seleranya?” sindir istrinya.
“Tentu saja..” Kata Veldo dengan nada
pasti. ”Biar kupesan makananmu dulu, tunggu sebentar ya aku mau menyapanya.” Veldo
beranjak dari kursinya.
“Suruh gabung ke sini saja sekalian.”
Kata istrinya serius.
Veldo melambaikan tangannya ke arah
pelayan dan setelah memberi pesanan ia menuju meja Lintang yang sudah mengambil
tempat duduk.. Sebelum menyapa, Lintang sudah melihatnya terlebih dahulu.
“Veldo..?” sapa Lintang dengan nada
riang.
“Hai..” Veldo mengangsurkan tangannya.
Mereka berjabat tangan. ”Bagaimana kabar kamu?” meski membalas sapaan Lintang
dengan senang tapi Veldo tak bisa menyembunyikan keheranannya.
Lintang tersenyum. ”Tidak begitu
baik.” Ia tak begitu serius menjawab pertanyaan Veldo.
“Bagaimana jika aku undang kamu makan
di meja kami, akan aku perkenalkan kamu sama istriku.” Beritahu Veldo dan ia
bersyukur karena istrinya telah lebih dulu mengundangnya.
“Oh ya…? Ternyata..” Lintang tertawa bahagia
mendengar kabar Veldo sudah menikah, Veldo ikut tertawa dan Lintang pun setuju
untuk bergabung.
“Haloo Randu..” Sapa istri Veldo
menyambut Lintang. Veldo hanya tertawa kecil.
“Lintang…, kenalkan, ini Rossi, istri
saya.” Ujar Veldo dan tentu saja membuat Rossi heran karena suaminya menyebut
nama Lintang.
Lintang menyambut uluran tangan Rossi.
“Lintang…” ia memperkenalkan diri. “Senang berkenalan dengan kamu Rossi.” Ujar
Lintang. Rossi berdiri. Lintang melihat ke perut wanita itu. ”Ternyata kalian
akan menjadi calon Papa-Mama, selamat ya.” Tambah Lintang.
“Terima kasih.” Setelah menyambut
tangan wanita itu ia menatap suaminya. Veldo memahamni kebingungan istrinya.
”Silahkan duduk.” Katanya masih belum paham.
Veldo tidak bisa menjelaskan secara
detil tentang Lintang kepada Rossi. Dia mengajak berbincang hal-hal yang
biasa-biasa saja, karena ia merasa tidak enak dengan Lintang-nya sendiri, meski
merasa tidak nyaman dengan situasi itu. Hingga sampailah waktunya ia mengantar
istrinya karena harus kembali ke kantor.
Di mobil.
“Kamu kok gak menebak Lintang sebagai
Randu? Padahal dia kan lebih mirip ke Rimba.”
Kata Veldo setelah menjelaskan siapa Lintang secara singkat sangat
singkat.
“Ya tentu saja tidak, Rimba kan masih
agak pincang, sementara gadis itu? Jalannya saja
lebih
gagah. Kamu sama Rahman kok bisa ya berteman dengan Randu lalu bertemu dengan
Rimba yang mirip Randu, kemudian Lintang yang kamu bilang lebih sempurna
sebagai Rimba.”
Veldo melirik istrinya sekilas.
“Ceritanya sangat panjang sayang…”
“Iya aku tahu, tapi menurut aku,
wanita yang tadi itu agak sedikit misterius. Tadi dia bilang lagi mencari
apartemen untuk tempat tinggal. Memangnya selama ini ia tinggal di mana? Dan
apa pekerjaannya?”
“Pertanyaan kamu itu sulit sekali
menjawabnya sayang.. biar aku jawab lain kali saja ya?” Veldo menoleh ke Rossi
dan tersenyum untuk minta pengertiannya.
“Kamu itu kalau malas mikir selalu
jawabnya begitu.”
“Dari pada nanti aku salah jawab..”
Katanya jujur. Rossi hanya tersenyum. setelah mengantar Rossi pulang ia
langsung ke kantor dan menelepon Rahman yang masih betah menyendiri. Tiga kali ia
coba menghubungi dan baru diangkat.
“Man.., ke mana aja sih? Ponsel juga
gak aktif.” Nada suara Veldo seperti orang menagih hutang.
“Sorry,
baru kelar rapat. Ada apa, kayaknya penting banget?”
“Lintang Man, dia di Jakarta..”
“Di sini..? becanda lo?!”
“Sumpah! Waktu gue makan siang sama
Rossi, dia masuk ke kafe yang sama dan Rossi
mengenalinya
sebagai Randu. Barusan Man…, barusan.” Tegas Veldo.
“Tentu saja ia menebak Randu. Lintang’kan
tidak pincang.” Tandas Rahman.
“Kami makan di satu meja, gue undang
dia bergabung di meja kami.”
“Apa dia cerita kapan dia kembali?”
“Nggak, gue sama Lintang belum cerita
sejauh itu. Paham dong, lo? Rossi kan belum tahu apa-apa.” Jelas Veldo. Rahman
diam. kalau saja bukan Veldo yang telepon maka dia tidak akan percaya dengan
pendengarannya sendiri. ”Man…?”
“Ya.. gue ngerti. Tapi jangan cerita
apa pun dulu ke Randu ya? Gue harus makan dulu, sudah kelaperan nih, ntar gue
telepon balik.”
“Oke.”
*
Rimba sedang menulis, waktu Tante Didi
datang bersama Romi. Akhir-akhir ini Tante Didi menjalin hubungan serius dengan
Romi. Usia Romi sepuluh tahun di bawah Tante Didi. Hal itulah yang membuat
Rimba agak keberatan dengan hubungan mereka. Rimba keluar dari ruang kerjanya
menuju ruang tamu. Ia menyambut Tante dan memeluknya.
“Sayang… bagaimana keadaanmu?” Tanya
Tantenya.
“Baik.” Sebelum duduk ia menyalami
Romi. ”Apa kabar, Rom…?”
“Seperti yang kamu lihat.” Pria itu
tersenyum. Pengurus rumah membawakan minuman segar untuk tamu Rimba. Tante
menatap Rimba serius.
“Rimba, ada yang ingin Tante sampaikan
sama kamu..”
‘Kami ingin menikah.’ Pasti itu berita
yang akan Tante sampaikan. Kata Rimba dalam hati agak mengeluh.
“Tante akan pindah ke luar kota dalam
waktu dekat ini.”
“Apa…?” Ucap Rimba tak percaya. Tante
tersenyum lalu menoleh ke Romi. Pria bongsor yang menawan itu ikut tersenyum.
Tante kembali ke Rimba.
“Beberapa bulan yang lalu perusahaan
Ekspor-Impor milik Pak Damar membuka cabang di Batam, kamu juga tahu itu, kan?”
ucap Tante Didi pelan.
“Apa Randu yang meminta Tante ke
sana?”
“Tidak sayang, ini murni kemauan
Tante.”
“Bagaimana dengan Romi?” Rimba menatap
pria itu dan dengan jarak ia berharap mereka saling melupakan. Eh Romi malah
meraih tangan Tante dan menggenggamnya erat.
“Aku selalu menghormati apa pun
keputusan Didi dan aku sudah melamarnya, dia menerima, tinggal menunggu waktu
yang tepat.” Sahut pria itu dengan nada senang.
“Pekerjaan kamu bagaimana?” Rimba
berbicara seperti layaknya Ibu Didi.
“Sayang…” Tante tidak mau Rimba
terlalu ikut campur dengan hubungannya sama Romi.
“Aku kan bekerja di Dealer mobil ternama
dan kapan pun aku bisa pindah ke Batam. Kami punya beberapa cabang di sana.”
Tambah Romi tanpa bermaksud membela siapa pun.
“O…” Tetap saja Rimba tidak bisa
mempercayainya. ”Silahkan di minum Rom, Tan…”
ketika
Arif kembali, Rimba mengajak Tante ke ruang kerjanya. Mereka membiarkan Romi
berbincang dengan Arif. Beberapa saat berikutnya Tante mengamati ruangan kerja
Rimba yang lumayan luas. Yang dipenuhi peralatan laptop, mini compo, dan dua
buah kursi serta tumpukan kertas. Sebuah jendala besar yang selalu terbuka, di
luar terlihat pepohonan cemara yang indah. Tante akui, Rimba pandai menata
rumahnya.
”Maaf Tante.. kalau aku meragukan
kejujuran Romi.” Rimba merasa tidak enak. Tante melirik Rimba yang duduk di
kursinya lalu menarik satu kursinya. Ia menghela napas pelan.
“Alasan kamu hanya satu, kan?
Perbedaan usia kami. Romi hanya tua dua tahun dari kamu. Tante memahami itu
sayang….., tapi Romi tulus mencintai Tante.”
“Tante Didi, zaman sekarang banyak
cowok pecundang atau para petualang cinta yang memanfaatkan wanita matang dalam
arti materi..”
“Kamu terlalu banyak menulis atau berkhayal?
Bagaimana mungkin kamu bisa berkata begitu?” tante Didi tetap dengan
karakternya, bicara pelan dan tenang.
“Aku hanya tidak ingin cowok itu
melukai hati Tante, dan berharap Romi bukan termasuk tipe cowok semacam itu dan
mudah-mudahan dia pria sejati.” Rimba sengaja menekan di kata-kata ‘Cowok’ dan
juga di kata ‘Pria’
“Cowok dan Pria..?” Kata Tante.
“Iya.. karena cowok dan pria berbeda
180 derajat.”
Tante tersenyum menanggapi keseriusan
Rimba. Ia menoleh ke laptop lalu beranjak dari kursinya.
“Tante rasa sebaiknya kau teruskan
menulismu.”
“Tante…..?” Ujar Rimba lagi. Tante
menoleh. ”Pastikan Romi memiliki orangtua, saudara dan apa dia benar-benar
memiliki pekerjaan seperti yang ia ceritakan itu?”
Tante memeluk Rimba. Ia sangat
memahami maksud dari keponakannya itu.
“Tante pulang dulu ya.” Ia seakan menanamkan
keyakainan kepada Rimba kalau Romi adalah pilihannya yang tepat. Seperti
keyakinannya pada perbedaan antara PRIA dan COWOK.
**Pria akan jatuh cinta sepuluh persen pada
pandangan pertama dan akan terus meningkat.
Cowok jatuh cinta seratus persen pada pandangan pertama dan terus menurun.
Pria pada usia tiga puluh tahun sudah
banyak uang.
Cowok pada usia tiga puluh tahun banyak pengeluaran dari pada penghasilan.
Pria pada usia tujuh belas tahun bisa
berbicara seperti orang empat puluh tahun.
Cowok pada usia empat puluh tahun berbicara seperti orang tujuh belas tahun.
Pria bisa membuat wanita tenang.
Cowok bisa membuat wanita senang.
Pria setuju dengan Emansipasi tetapi tetap
membayar makanan wanita.
Cowok setuju Emansipasi tapi lebih suka wanitanya yang membayar makanannya sendiri.
Pria suka main golf, nonton CNN dan membaca
karya Chris Grisham.
Cowok suka main bilyar dan nonton Harry Potter.
Pria bila putus akan bersalaman dan bilang
’Kita memang tidak jodoh tapi masih bisa
berteman.’
Cowok bila putus akan bersalaman dan bilang ‘Tidak usah bertemu lagi.’
Pria lebih suka menyembunyikan pacarnya.
Cowok lebih suka memamerkan pacarnya karena ingin terlihat dewasa.
Pria lima tahun ke depan sudah tahu apa
yang harus dikerjakan.
Cowok lima menit ke depan tidak tahu apa yang harus terjadi.**(1)
Itulah salah satu voting acara
di Radio yang pernah Didi dengar beberapa waktu yang lalu. Yaitu perbedaan
mendasar dari jenis mahluk yang sama namun berbeda dalam arti pemikiran dan
sikap.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
(1)
By : Female Radio FM, Jakarta.
*
Lintang menemukan apartemen untuk
ditempati dalam satu tahun ke depan. Pak Edgar meneleponnya dan saat itulah ia
bertanya tentang sebuah pekerjaan untuknya.
“Sudah seminggu ini aku menunggu kamu
menyinggung masalah itu. Lama sekali kamu berpikirnya.” Tukas pria yang tahu
sekali dengan bakat akting Lintang.
“Maafkan saya, saat itu sebenarnya
saya baru pulang dan masih bingung..”
“Aku sempat dengar itu, kabarnya kamu
habis melanglang buana ke negeri orang, pastinya tidak ke Singapura, kan?”
Keduanya tertawa ringan. ”Pastikan telepon aku dulu sebelum kau memutuskan
untuk datang ke kantorku.”
“Pasti.”
Dua hari berikutnya. Lintang
mengunjungi kantor Edgar di daerah Slipi. Ia masuk ke kantor yang bisa disebut
standar itu, jauh dari kemewahan. Karyawannya terlihat serius namun santai.
Mereka menatap Lintang sebagai Rimba. Lintang sedang menyadari hal itu, karena
dia lebih mirip Rimba dibanding Randu. Namun ia tidak mau terganggu dengan hal
itu. Sebab saat ini dia bukan Rimba atau pun Randu. Bagaimanapun mereka sangatlah
berbeda. Ia mengetuk pintu ruangan Edgar setelah di telepon oleh sekretarisnya.
“Masuk.” Terdengar suara dari dalam.
Lintang memutar handle pintu lalu
mendorongnya
sedikit.
Edgar tersenyum.
“Pagi pak…”
“Pagi Lintang..” ia mengabaikan
komputernya. ”Silahkan duduk.” Sambutnya ramah.
“Terima kasih.” Lintang menarik kursi.
“Kamu tambah dewasa.. O ya.., apa ada
yang menyapa kamu seperti ’Rimba, atau Randu apa kabar?’ ada?” Lintang
menggeleng. ”Berarti itu kabar baik.”
“Maksudnya?” Lintang tidak mengerti.
“Aku punya tokoh yang harus kamu
perankan..”
“Tetapi saya tidak akan pernah lagi
berperan sebagai Rimba, apa pun alasannya.”
“O tidak, itu tidak mungkin. Publik
sudah tahu kalau Rimba telah meninggalkan dunia akting. Kamu tahu kenapa
karyawanku tidak menyapa kamu sebagai Rimba atau Randu? Karena Rimba masih agak
sedikit pincang dan Randu memiliki rambut sebahu. Lupakan dulu masalah yang
itu. Maksud aku begini, aku punya tokoh bagus buat kamu. Memerankan seorang
wanita dewasa yang sudah mapan dalam karir, tapi selalu bermasalah dalam urusan
asmara. Karena setiap pacarnya selalu beranggapan kalau si cewek ini selalu
mementingkan karir dari apa pun juga. Kurasa kau tidak butuh lebih dari
seminggu untutk observasi peran ini. Dan untuk film berikutnya ada cerita dari
tulisan Rimba yang menarik.”
“Rimba? Saya harus memerangkan tokoh
yang ditulis oleh Rimba? Maafkan saya Pak Edgar.” Mimik wajah gadis itu
jelas-jelas menolak dengan halus tokoh dari novel Rimba.
Pria itu tersenyum. ”Apa kamu
meembencinya?”
“Tidak. Sama sekali tidak.” Sahutnya
dengan sangat cepat.
“Baiklah, kita lupakan saja yang itu.
Kamu akan ditangani oleh Sutradara yang dulu, aku percaya kamu bisa bekerja
dengan sangat profesional .”
“Saya juga harap begitu..”
Edgar memang menyukai Lintang, gadis itu
memiliki kepribadian perpaduan antara Rimba dan Randu.
*
Belum seminggu.. Edgar, Sutradara dan
Artis pendudung film ‘Di antara banyak pilihan’ mengadakan jumpa pers singkat
untuk memberitahukan bahwa mereka akan membuat film dengan Artis pendatang baru
yang bernama Lintang. Yang akan berperan sebagai wanita karir, yang harus
memilih antara karir, calon pendamping, pandangan masyarakat, dorongan orang tua
serta banyak hal yang harus dipertimbangkan.
Di kantornya Randu, ia terpaku
menyaksikan wajah Lintang di layar kaca yang sedang tersenyum ke arah kamera.
‘Tuhan…., Lintang telah kembali. Dia di
Jakarta dan kembali bermain film? Kapan dia kembali? Kenapa dia tidak menemui
aku atau setidaknya menelepon aku? Menelepon?! Apakah malam itu telepon dari
dia? Ah, kenapa aku ini?’ Randu gelisah sendiri. Ia menatap tangannya yang
mengenakan jam pemberian dari Lintang. Memorinya menggelar kembali kenangan
bersama Lintang, dari sejak Lintang hadir di rumahnya sebagai Rimba.
Melanjutkan film Rimba, dan ia pun memperoleh piala Citra yang diwakili olehnya
untuk mengambil piala tersebut. Lalu Lintang kecelakaan ia merasa amat takut
kehilangan, kemudian Lintang pergi ke luar negeri ia mengantarnya ke Bandara
dan di Bandara…? ‘Ya Tuhan…, kenapa aku tidak pernah mampu untuk melupakan
kejadian itu?’
Randu menarik napas dalam-dalam,
lamunannya buyar oleh deringan telepon dari Dio. Ia mengangkat ponselnya.
“Hai…, jangan lupa makan siang ya?”
Randu tersenyum. ”Kamu juga.”
“Tentu saja sayang…, aku nanti mungkin
pulangnya agak malam soalnya ada sedikit masalah di Mall Tangerang. Jadi gak usah tunggu aku untuk makan malam, maafin
aku ya?”
“Nggak apa-apa..” Kata Randu datar.
“Oke, kalau begitu… I love you.. daaa…”
‘I love you.’
Kata itu membuat Randu spontan ingat saat Lintang mengucapkannya di Bandara. Ia
memang tidak dapat mendengar tapi ia bisa melihat dengan sangat jelas kala
mulut Lintang melapaskannya. Dia mengucapkannya sesaat setelah ia menyentuh
bibir Randu. Kata-kata itu memang tidak diteriakan oleh Lintang karena dia
memang sengaja mengatakannya hanya untuk Randu seorang.
*
Rahman coba menghubungi Randu tapi
ponselnya tidak aktif.
Rimba mencari Randu ke rumah, dan Bi
Ijah mengatakan kalau Randu pergi dari sore membawa mobil sportnya.
Tante Didi menelepon Rimba karena ia
baru saja melihat kemunculan Lintang di TV.
Veldo menelepon Rahman untuk
mengatakan kemungkinan Randu sudah tahu keberadaan Lintang di Jakarta.
Randu…! Di mana dia…???
Saat ini ia sedang menghabiskan
bensinnya di Sentul. Pikirannya sedang kacau. Keinginannya untuk menemui
Lintang begitu besar. Tapi yang menjadi pertanyaannya, keinginan seperti apa
itu..??? menyebalkan! Randu sangat kecewa dengan dirinya yang memikirkan
Lintang secara berlebihan sementara Lintang sendiri sudah melupakannya.
‘Aku benci kamu Lintang!’ gumannya
kesal.
Ia
kembali ke rumah hampir pukul sepuluh malam. Saat mengaktifkan ponselnya. Ada
beberapa pesan pendek yang masuk.
Dari Rahman ‘Ran… gue ingin ketemu.’
Dari Rimba ‘Randu… kamu di mana?’
Dari Dio ‘Sayang.. aku sudah menuju
rumah.’
Dari Om Bob ‘Kembaran ke tigamu telah
kembali.’
Tak satupun ia balas pesan-pesan itu.
‘Aku harus kembali ke dunia balap.’
Itu yang ada di otaknya saat itu. Randu membayangkan Sirkuit Spa Francorhamps, Belgia.
Lintang sudah menjalani shooting pertama di sebuah gedung, di
lantai 17-nya. Kantornya
di film ada di sana. Berperan sebagai eksekutif
muda, Lintang diharuskan berpakaian feminin, elegan dan glamour. Brillian dan
menarik, bergaul dengan kelas atas punya sopir pribadi dan olah raganya golf,
fitness dan ia digambarkan sebagai wanita karir yang memiliki pendirian yang
kokoh.
Pada dasarnya Lintang dan Randu
memiliki keinginan yang begitu kuat untuk bertemu, tapi tak ada satu pun di
antara mereka yang mampu untuk mewujudkannya. Randu memenuhi ajakan Rahman
untuk bertemu, apalagi pikirannya lagi buntu. Mereka bertemu waktu jam makan
siang di Burger kafe. Randu menghela napas panjang sesaat setelah duduk
dihadapan Rahman, Rahman menatapnya seraya tersenyum.
“Bagaimana…?”
“Apanya……..?” Kata Randu balik
bertanya.
“Yaa.. perasaan lo? Apa senang?
Bingung? Atau penasaran karena Lintang belum menghubungi lo? Atau apa..?”
“Tidak tahu, dan ada yang belum gue
cerita. Sehari semalam setelah pernikahan gue, ada seorang wanita menelepon ke
rumah. Dia bilang ‘Kuingin kamu bahagia.’ Dia tidak menyebut namanya.
Sebelumnya, waktu Bibi yang mengangkat telepon dia mengaku sama Bibi sebagai
teman gue. Saat telepon di tangan gue, gue gak mengenali suaranya dan waktu gue
telepon balik ternyata itu nomor Hotel Rafflesia.”
Rahman tertawa lalu diam Randu
mengamatinya, ia tidak tahu apa yang sedang dipikirkan Rahman.
“Siangnya, Veldo dan Rossi bertemu
dengan Lintang di kafe yang bersebelahan dengan hotel tersebut. Saat itu Veldo
mengajak istrinya makan dan Veldo akhirnya mengajak Lintang bergabung, makan
bersama.”
“Kok sekarang baru ngomong? Apa kalian
mencoba menyembunyikan kedatangan Lintang dari gue?”
Rahman coba menebak arti dari
pertanyaan Randu itu. Kecewakah dia? “Bagaimana kabar Dio dan bisnis kalian?”
“Baik.” Randu menyadari kalau Rahman
sedang mengalihkan topik pembicaraan. ”Gue akan kembali ke dunia balap.” Kata
Randu tanpa terduga.
“O, benarkah?” Rahman tersenyum lebar.
“Gue belum cerita ini sama siapa pun
dan ini baru rencana gue. Man…?”
“Apa….?”
“Gue harus ketemu dengan Lintang.”
“Untuk…?” Tanya Rahman sembari
menghabiskan sisa makan siangnya. Randu belum menjawab memaksa Rahman menatapnya
lagi dengan lebih seksama..
“Entahlah…” Kata Randu akhirnya.
“Randu, jangan bermain api. Gue kenal
banget sifat lo dan gue belum pernah melihat lo seperti ini.” Rahman mengamati
sahabatnya yang sedang bimbang dan bicara tanpa tujuan.
Randu menarik napas dalam-dalam dan
meneguk mimuman kalengnya.
“Kenapa lo gak marahin saja gue.”
Katanya pelan seakan pasrah dengan vonis Rahman. ”Padahal lo tahu niat gue.”
“Gue baru saja bilang ‘jangan bermain
api.’ Itu sudah jelas banget.”
Randu tertawa halus. Itu peringatan
pertama dari sahabatnya. Tapi Rahman tidak akan bisa memahami perasaannya meskipun
ia tidak pernah merahasiakan apa pun dari Rahman. Itulah rahasia hati yang
sulit untuk dipahami meski sudah dijelaskan. Sejatinya itulah yang disebut
dengan rahasia hati.
**
Pertemuan
Saat tidak ada jadwal shooting, Lintang mengunjungi Rimba.
Malam itu Arif pun sedang ada di rumah. Kalau mau jujur, Rimba mencoba merasa
senyaman mungkin mengahadapi sosok Lintang. Mereka saling bertanya kabar
masing-masing.
“Kepergian kamu lebih lama dari yang
aku perkirakan.” Kata Rimba yang duduk di sebelah Arif.
“Aku sempat magang di satu negara.”
“Kamu bukan tipe cewek yang betah
menganggur, baru kembali saja sudah sibuk. Apa sudah bertemu dengan Randu?”
Tanya Arif bijaksana.
‘Randu?’ Nama itu mengganggu pikiran
Lintang. Rimba menunggu jawabannya. Ia ingat saat Lintang meneleponnya waktu di
pulau kecil itu. ’Apa kau tahu hubungan apa yang dinamakan satu tingkat di atas
persahabatan?’
“Belum. Aku belum bertemu dengan
Randu.”
‘Apa dia jujur?’ Batin Rimba.
Obrolan mereka berlanjut ke meja
makan. Mereka makan malam bersama, Lintang tahu Rimba dan Arif menikah tak lama
setelah ia pergi. Sepertinya mereka belum dikaruniai seorang baby. Malahan Veldo yang sepertinya akan
mendahului mereka.
Setelah beberapa saat Lintang pergi
dari rumahnya, Rimba tidak bisa berhenti memikirkannya dan ia mengkhawatirkan
Randu karena apa pun bisa terjadi.
Sementara Randu sedang menemui Tante
Didi di dalam ruangannya. Wanita itu menerimanya sebagai teman, rekan kerja dan
sekaligus menganggapnya sebagai keponakan. Sebagai penanggungjawab perusahaan,
Randu memang sering menemui Tante Didi untuk minta nasihat hal yang menyangkut
urusan kantor.
“Kenapa…?” Kata Didi setelah Randu
duduk. Randu mengamati ruang kerja Didi sejenak. Ruangan itu selalu tertata
rapih.
“Tante, bagaimana kalau seandainya
Tante akan tetap di sini? Biar orang lain saja yang menangani kantor yang di
Batam.”
“Kamu ini bicara apa sih? Apa Rimba
yang mempengaruhimu? Jangan dengarkan dia.”
“Tidak. Dalam minggu ini aku bahkan
belum bertemu dengannya atau pun meneleponnya. Aku bermaksud kembali ke dunia
balapan.”
Didi menatap Randu tidak percaya. “Oh
ya? Kembali ke hobi awal?” Tanyanya. Randu tersenyum. ”Tapi bagaimana kalau
Tante tetap akan pindah?”
“Boleh saja, jika sudah benar-benar
yakin kalau ada oarng yang pas untuk menggantikan posisi Tante di sini.”
“Tentu saja sayang…” Katanya lembut
dan pasti. Dia tidak akan membiarkan perusahan itu dipegang oleh orang sembarangan.
Sebab ia merasa seakan sudah menyatu dengan perusahan itu. Dia sangat mencintai
pekerjaannya. Dan rasa resfect-nya kepada
Almarhum Pak Damar yang begitu tinggi membuatnya mampu bertahan dan berjanji
untuk memajukan perusahaan.
“Oh ya, bagaimana perkembangan
hubungan Tante dengan Romi?”
“Dia melamar Tante.”
“Benarkah….? Kalau begitu selamat untuk
Tante.” Randu memberikan ucapan selamat disertai senyum yang cemerlang.
“Terima kasih, tapi sepertinya Rimba
punya pandangan berbeda dengan kamu.”
Randu mengamati Didi dengan seksama.
Ia memahami kenapa Rimba tidak merespon hubungan Didi dengan Romi. Tapi ada
banyak hal yang orang tidak bisa mengerti. Apalagi kalau sudah menyangkut
urusan hati. Itu pasti menyakitkan.
“Yang terpenting kan, Romi dan Tante
saling mencintai.”
“Itu dukungan yang sangat berarti,
bukan maksud Tante untuk tidak memahami kekhawatiran Rimba, kekhawatirannya
terkadang berlebihan.”
Randu tersenyum untuk memahami banyak
hal, namun masih saja lebih banyak hal yang tidak bisa ia pahami.
Dan satu hal yang bisa Randu pahami
saat ini, yaitu memacu mobilnya menyusuri sirkuit yang sudah hampir 4 empat
tahun ini ia tinggalkan.
Menikah dengan Dio bukan berarti ia
tidak bahagia. Bulan madu pun mereka lewati di Bali selama seminggu. Dio pria
yang menarik, pengertian dan bisa menjadi pendengar yang baik untuk Randu.
*
Lintang menyadari kalau dia harus
bertemu dengan Randu. Ia mendatangi Veldo untuk bertemu Randu melalui veldo,
sahabatnya Randu. Ia minta Veldo mengatur pertemuannya dengan Randu nanti
malam. Dan atas rekomendasi Lintang mereka mengatur untuk bertemu di sebuah Coffee Shop. Veldo yang baik hati itu
menghubungi Randu. Entah atas dasar apa, Randu pun menyetujuinya meski sudah
berpikir tujuh belas keliling.
Veldo yang jarang berpikir dua kali,
akhirnya menelepon juga ke Rahman. Rahman terkejut dan nyaris saja ia memaki
Veldo. Tapi tidak ada gunanya lagi. Yang penting sekarang bagaimana caranya
untuk membatalkan pertemuan itu?
‘Rani. Rani pasti bisa membantu gue.’
Rani adalah seorang wanita yang
menarik. Akhir-akhir ini ia menaruh perhatian lebih kepada Rahman. Dia seorang
guru yang mengajar di SMU. Tinggal satu blok dari tempat Rahman. Mereka sudah
beberapa kali bertemu. Pertama kali berpapasan di jalan, kedua.. Rahman pernah
coba menawarkan untuk berangkat kerja bareng. Ketiga mereka bertemu di acara
resepsi pernikahan salah satu kerabat mereka.
Malam nanti Rahman akan mengajak Rani
mengunjungi rumah Randu. Dia harus sampai di rumah Randu sebelum Randu pergi
menemui Lintang. Dari kantornya ia menelepon Rani. Pukul lima belas biasanya
Rani sudah ada di rumah. Ia tinggal bersama orang tuanya dan ia punya kakak
cowok yang sudah menikah dan tinggal di pulau seberang.
“Hallo…?” Itu suara Rani.
“Hallo Rani, apa aku mengganggu tidur
siang kamu?”
“Rahman, ada apa? Kamu pasti masih di
kantor, kan?”
“Tepat sekali. Kamu punya acara gak
nanti malam?” ia mulai memasang jaringnya.
Rani diam, tak biasanya Rahman bicara
seperti itu. ‘Aku tidak boleh berpikiran macam-macam, Rahman memang baik,
menarik dan aku tahu dalam enam bulan ini, ia baru putus dengan pacarnya. Tidak
mungkin ia mengajak aku kencan.’
“Rani, aku hanya bertanya kok tidak dijawab?”
suaranya melambat seperti orang sedang memohon.
“Mhmm.. tidak, aku tidak ke
mana-mana.”
‘Yess…!’ Hampir saja Rahman berteriak
senang.
“Ya kalau begitu aku jemput kamu
sebelum jam tujuh.”
“Apa….?” Rani seakan tidak percaya
dengan apa yang baru saja ia dengar.
Rencara Rahman memang berjalan sangat
mulus. Ia dan Rani tiba di rumah Randu tepat sebelum Randu berangkat. Randu
tidak bisa meninggalkan Rahman walau pun sebelumnya ia sudah pamit sama Dio
untuk menemui seseorang. Rahman memperkenalakan Rani sebagai kekasihnya kepada
Randu dan Dio. Dan itu kejutan besar untuk Rani.
Rahman tahu, jika mereka tidak ada
perasaan apa- apa tidak mungkin Lintang ingin bertemu dengan Randu melalui
perantara segala, mereka itu sudah lama kenal dan Lintang sudah pernah tinggal
di rumah Randu hampir satu tahun, tidak masuk akal kalau Lintang tidak mau
langsung bertemu dengan Randu dengan datang langsung ke rumahnya. Semua sahabat
di dunia ini akan memahami itu, jika mereka benar-benar berteman.
“Kenapa tidak telepon dulu kalau mau
ke sini?” Kata Randu. Ia kecewa dengan Rahman, tapi Rahman tahu apa yang Randu
pikirkan.
“Randu benar, dengan begitu kita bisa
menyiapkan makan malam yang enak sebelumnya. Dan Randu tidak perlu bikin janji
untuk ketemu dengan temannya.” Tambah Dio dengan polosnya. Ia memang pria baik
hati dan selalu berpikiran positif kepada siapapun
Rahman tersenyum, ia melirik Rani dan
memegang tangannya.
“Tadinya tidak terpikir olehku,
soalnya takut Rani menolak ajakanku. Dan mengenai makanan lezat itu urusan
belakang yang terpenting bisa membawa Rani ke sini dan mengenalkannya sama
kalian, itu merupakan sebuah kebahagiaan tersendiri bagi kami.”
‘Rahman!! Kau bermain api. Memang
untuk menyelamatkan sahabatmu adalah niat yang baik, tapi kau melukai hati
wanita lain yang tidak tahu apa-apa, kau kejam!’ Di sebelah hati Rahman yang
lain sedang berbisik, bahkan memaki dirinya.
Randu hanya tersenyum. Sepertinya ia
menyukai pacar baru Rahman, walau pun Rahman
membawanya
di waktu yang tidak tepat. Randu gelisah, karena waktu tak bisa kompromi dan
Lintang sedang menantinya.
“Aduh Ran…, kita merasa jadi gak enak
nih.” Kata Rahman sok merasa bersalah. Karena menyadari kegelisahan Randu.
“Tapi kita akan segera pulang kok kalau ada orang penting yang nungguin lo”
Lagi-lagi Randu terseyum. Ia menatap
Rani. ”Nggak apa-apa, aku akan meneleponnya. Gue tinggal sebentar, ya?” Randu
beranjak dari ruang tamu, menuju sisi kolam renang. Rahman mengamatinya lalu
melirik ke Dio. Pria yang cool.
“Gue benar-benar merasa gak enak Dio.
Biar gue bicara sama Randu sebentar.” Ujarnya. Dio mengangguk. Rahman menyusul
Randu. Randu sedang melirik jam tangannya. Kemudian menatap ponselnya. Ia
merasa tidak mampu untuk menelepon. ”Kenapa Ran…? Terlambat untuk membatalkan
janji, ya? Gue minta maaf, ya.”
Randu menoleh ke Rahamn. ”Nggak
apa-apa kok.”
“Tapi kayaknya lo sangat gelisah?
Janji sama siapa sih? Biar nanti gue bantuin untuk minta maaf.”
“Bukan siapa-siapa.” Jawab Randu
dengan nada berat.
“Randu…, gue kenal banget sifat lo. Lo sedang
merahasiakan sesuatu dari gue, kan?”
“Sudahlah Man.., gue udah bilang bukan siapa-siapa. Lo berlebihan banget sih?!” Kata-kata Randu agak ketus. Ia kembali ke ruang tamu. Rahman menghela napas panjang. Ia kecewa, ternyata demi Lintang Randu rela berbohong kepada sahabat sejatinya. Belum pernah terjadi.......
“Sudahlah Man.., gue udah bilang bukan siapa-siapa. Lo berlebihan banget sih?!” Kata-kata Randu agak ketus. Ia kembali ke ruang tamu. Rahman menghela napas panjang. Ia kecewa, ternyata demi Lintang Randu rela berbohong kepada sahabat sejatinya. Belum pernah terjadi.......
=======
Tidak ada komentar:
Posting Komentar