Sabtu, 14 Februari 2015

1 Rumah 7 Lentera


HELEN & HELEN
   Helen sudah terlihat sembuh meski belum bisa dibilang sempurna, hari itu ia mulai ikut sibuk dengan urusan rumahnya dan bersikap enjoy dengan kehadiran Elyana dan Lexa namun kedua perempuan itu sendiri tetaplah merasakan adanya perbedaan yang tidak bisa dibilang nikmat.
   “Aku tidak peduli siapa nama kembaranku yang jelas  namaku adalah Helen dan kalian boleh saja memanggil dengan sebutan siapapun.” Ujar Helen dengan nada tanpa beban dan santai. “Apa Bibi juga tahu kalau aku punya saudari kembar?” ia menoleh kepada pengurus rumahnya diikuti mata Lexa dan Elyana.
   “Ya Bi...... kata Helen dia punya saudari kembar dan yang menghilang itulah teman kami, sekarang kita tidak tahu di mana sekarang dia berada.” Jelas Elyana ikut santai sedangkan Lexa merasa ada kekonyolan yang malas dia ikuti.
   “Kembar....??” perempuan itu malah bingung bahkan lebih bingung saat dokter mengatakan Helen mengalami lupa ingatan. “Masa sih? Selama ini kalian tidak pernah cerita bahkan Helen sendiri tidak pernah membicarakannya kalau punya saudari kembar, di mana dia tinggal selama ini?”
   “Hanya Helen yang tahu, Bibi sendiri yang selama ini hidup bersama Helen selama duapuluh empat jam saja tidak mengetahuinya apalagi kita.” Lanjut Elyana lagi.
   “Jadi...” dia melirik ke arah Helen seolah menunjuk perempuan itu. “Dia ini adiknya Helen atau kakaknya?” dia mulai terlihat serius. “Pantas saja...” Bibi mulai menyadarinya namun ia bukannya senang malahan merasa khawatir bahkan mengira ada hal lain yang terjadi yang tidak ia inginkan. Kegemaran minum teh itu dan keanehan lainnya bukan disebabkan oleh amnesia tapi karena memang orangnya yang berbeda. Ia menoleh kepada Elyana juga Lexa yang dari tadi duduk di ruang tengah seolah minta pembenaran dari mereka apakah benar apa yang telah mereka katakan itu namun ia tidak menemukan jawaban pasti apalagi dari Lexa yang tidak memperlihatkan ekpresi sama sekali. Elyana masih menanggapinya dengan santai dengan mengatakan.
   “Sekali lagi mengenai hal pribadi seperti itu hanya Helen yang tahu tapi Bibi jangn khawatir karena Helen dengan kembarannya ini sama-sama baik... kita hanya bisa berdoa semoga Helen yang satu itu dalam keadaan baik-baik saja di manapun ia berada.”
   “Memangnya tidak ada yang tahu di  mana dia sekarang?”
   “Mungkin karena ada sesuatu hal yang terjadi dengan Helen yang itu sehingga dia pergi atau  memang Helen yang ini menginginkannya pergi untuk sementara waktu atau ada hal lain yang belum kita ketahui.”
   “Hentikan Elyana.” Tukas Lexa sudah tidak sabar lagi dengan semua ocehan yang tidak ia inginkan itu namun Helen yang mendengar perkataan Elyana jadi tersenyum seolah mengiyakan semua yang diutarakannya.
   “Bibi jangan khawatir karena aku tidak akan berbuat macam-macam dan percayakan saja kalau Helen kalian itu tidak akan apa-apa tapi dia sedang bersenang-senang.” Kata Helen dengan nada lebih konyol. “Dan kalian berdua juga tentunya tidak masalah,’kan karena aku yang ada di sini? Kerinduaan kalian akan terobati dengan adanya aku di sini.”
   Lexa melirik Elyana .”Aku akan memesan tiket pulang, ikut pulang?”
   Elyana menggeleng. “Belum waktunya anak-anak masuk sekolah.” Ia beralasan tapi sejujurnya ia masih ingin mengikuti permainan yang dibuatkan oleh Helen. Helen coba menyimak apa yang dibicarakan kedua sahabat itu dan sepertinya tidak begitu menarik perhatiaanya lalu ia ke kamar dan membuka laptopnya.
   Ia memeriksa semua file termasuk naskah-naskah novel yang ia tulis selama ini dan tidak ada satupun yang hilang. Elyana dan Lexa masih duduk di tempatnya dengan pikiran yang berbeda.
   “Aku sudah tidak tahan di sini.” Kata Lexa.
   “Jadi.... kamu menyerah? Menghadapi orang amnesia harus kuat dan sabar, masa begitu saja mau pulang bukannya kamu bilang akan di sini sampai Helen sembuh?”
   “Aku tidak suka kepura-puraannya itu.”
   “Aku juga tahu kalau dia sedang menguji kita kenapa tidak kita hadapi saja, dia itu memang sedang amnesia namun dia coba mengalihkannya dengan mengatakan kalau dia memiliki saudari kembar... seluruh dunia juga tidak akan percaya dengan pengakuannya itu. Mana ada orang kembar identik seratus persen sama. Kita mengenali Helen sudah lama dan tidak akan tertipu dengan sabotase-nya. Kita ikuti saja permainananya dan percayalah ini tidak akan lama.”
   “Kamu saja yang mengikutinya karena aku tidak suka.” Lexa bermaksud beranjak dari kursinya dan saat itu Helen datang membawa laptopnya dan memperlihatkan tulisan-tulisan di dalamnya.
   “Coba kalian lihat....” ujarnya sembari senyum-senyum tipis. “Ternyata teman kalian itu romantis juga ya... tulisan-tulisannya ini, cengeng dan agak berlebihan dalam hubungan dengan sahabat-sahabatnya.”
   “Emm.... jadi kamu ingat kata sandi laptop itu? Maksudku kamu juga tahu kata sandinya?”
   “Hei... kamu ini gimana sih.. meski kami itu berjauhan tapi dekat di hati, tidak semua hal Helen rahasiakan padaku... satu hal yang tidak aku paham darinya mengapa ia merahasiakan nama-nama sahabatnya dariku? Aku baru tahu kalau dia punya sahabat-sahabat hebat seperti kalian, mungkin dia takut aku iri karena aku tidak punya satupun teman di dunia ini.” Perempuan itu tidak lagi mengamati laptop sedangkan Lexa tidak jadi beranjak melihat sikap Helen yang mulai bicara serius dan sekarang perempuan itu benar-benar telah menjadi Helen yang lain. “Buat aku tidak ada sahabat sejati di dunia ini, semuanya pasti ada pamrih... saling membicarakan satu sama lain, saling adu mulut, saling mencari kekurangan dan kalau bosan dengan yang satu cari sahabat yang lain lagi. Apa dengan begitu kalian pikir ada sahabat sejati? Kalian juga pasti tahu sahabat itu adalah musuh terbesar kalian di dunia ini.., sahabat itu adalah satu kalau sahabat kalian lebih dari satu maka yang ketiga adalah bukan rahasia lagi, yang ketiga adalah sumber kekurangan... tempat saling mencela, saling mengadu dan tempat semua hal yang terjadi antara kalian dan sahabat kalian itu... jadi.... kalian pikir sahabat itu masih penting dalam pergaulan dan menjalani hidup ini? Sahabatku hanya Tuhan, Dia-lah yang paling bisa di percaya, bisa pegang rahasia dan aku tidak akan bisa merahasiakan apapun darinya tapi aku yakin Dia tidak akan memberitahukannya kepada siapapun dan aku aman serta berterima kasih pada-Nya.”
   “Jika tidak punya teman satupun di dunia ini kamu tidak pantas berbicara apapun tentang sahabat karena kamu tidak tahu sama sekali apa itu arti sahabat.”
   “Jadi kamu pikir seperti itu Lexa? Aku rasa tidak demikian, banyak orang di dunia ini bisa menulis tentang kisah rumah tangga padahal ia sendiri belum berkeluarga, bicara tentang kekasih padahal ia tidak punya kekasih, bicara menasehati hubungan suami istri padahal belum menikah dan sebagainya dan sebagainya... jadi kenapa aku tidak bisa bicara tentang hubungan persahabatan? Aku banyak baca dan melihat di sekelilingku tentang semua itu.”
   Elyana diam namun hatinya tersenyum seolah membenarkan kalau ucapan perempuan itu ada benarnya.
   “Kamu.. Lexa belum menikah,’kan? Sama seperti aku dan kalian lihat apa yang terjadi dengan Helen? Dia bercerai dengan suaminya... jadi untuk apa menikah kalau akhirnya bercerai.”
   “Itu sama saja kamu mengatakan untuk apa hidup kalau akhirnya mati.” Geram suara Lexa mendengar ocehan perempuan yang ada di hadapan mereka.
   Elyana menghela napas dengan berat karena terpikir dengan kehidupan rumah tangganya sendiri yang telah ia uraikan semuanya kepada Helen dan kini perempuan itu tidak mengenalinya.
   “Mmm.... Elyana... kamu sudah menikah ya dan punya tiga orang anak, “Heiapakah kamu bahagia?”
   “Jaga ucapan kamu.” Kata Lexa sebelum Elyana menjawab pertanyaan Helen.
   “Hei.... itu pertanyaan biasa kawan... apa kamu tahu kalau di dunia ini separuh pasangan bercerai dan separuhnya lagi 25% bahagia dan selebihnya masih berpikir...? tapi kalau aku pribadi sih tidak mau terlalu ambil pusing mengenai semua itu karena hidup ini adalah pilihan setiap orang yang menjalaninya.
   “Apakah untuk menggantikan posisi Helen juga termasuk pilihan kamu?” Elyana menimpali.
   “Itu pilihan Helen dan aku hanya mengikuti saja... yaaah bisa di sebut jadi pilihanku juga untuk mengikutinya.” Kini ia terkekeh. “Hei... kenapa kita tidak jalan-jalan? Siapa tahu kita akan lebih akrab.”
   “Ide bagus.” Sahut Elyana.
   “Tidak.” Lexa memberi ketegasannya.
   “Lex....” Elyana minta pengertian gadis itu untuk mengikuti apa saja yang diinginkan oleh Helen dengan memasang mimik wajah memohon sekali.
*
   Ketiga perempuan itu sudah ada di sebuah kafe menikmati makan siang dengan menu berbeda-beda. Lexa makan pizza keju dengan lada hitam, Helen roti bakar rasa keju dan Elyana meski agak bingung akhirnya menikmat kentang goreng dan es krim pilihannya.
   “Rasanya sudah lama sekali tidak menikmati makanan seperti ini.” Kata Helen dan Lexa tahu kalau perempuan itu menyukai makanan yang berbau keju selain penikmat kopi meski kini ia memesan soft drink. “Habis dari sini kita belanja ya? Soalnya kalau belanja dengan perut kosong jadinya tidak fokus.” Helen tahu pasti banyak perempuan di dunia ini yang suka kalap kalau belanja apalagi yang gila belanja.
   “Memangnya kalau belanja harus fokus juga?” goda Elyana namun Lexa hanya diam saja seolah mengingat masa-masa mereka sering jalan berdua ke Tajur tempat produksi tas terbesar di Indonesia, ke Blok M, ke Mangga Dua untuk jalan-jalan sambil membeli hal-hal yang dibutuhkan.
   Waktu ke Kalimantan ia membelikan oleh-oleh untuk Helen dua macam gelang dengan dua item, satu item gelang agak besar dan item yang lainnya gelang kecil yang terbuat dari kulit kura-kura sebanyak tiga buah.. sebenarnya Lexa membelinya satu lusin namun ia memberikannya kepada Helen tiga dan untuknya sendiri tiga padahal waktu itu keponakannya minta dengan merengek-rengek tapi tidak ia berikan meski ponakannya seusia dengannya.
   Waktu anak Helen juga minta ia mengatakan kepada pria baru gede itu dengan berbagai kisah yang ia karang. ‘Jangan, gelang ini dipakai tidak boleh dibagi-bagi sebab kata yang membuatnya akan berakibat tidak baik, jadi bundamu harus memakai tiga Tante juga harus memakai tiga.. sebab waktu membelinya Tante bilang untuk dua orang saja, makanya hanya boleh membeli enam tidak boleh lebih juga tidak boleh kurang.’ Saat itu pria itu hanya mengatakan ‘masa begitu sih, ‘Tan?’ ia tidak percaya meski masih ragu-ragu dengan kebenaran cerita Lexa tersebut namun Lexa senang karena sepertinya pria kecil itu percaya dengan kisahnya. Namun kini Lexa tidak lagi melihat gelang itu melingkar di tangan Helen tapi ia melihat ada di tangan Razthi tapi cuma satu, ke mana dua lagi? Lexa melirik tangan Helen yang ada di atas meja.
   Helen mengikuti arah mata Lexa sehingga menimbulkan pertanyaan. “Ada apa?” kali ini suara Helen terdengar lembut memaksa Lexa berhenti menikmati makanannya.
   “Mm... apa kepala dan kakimu sudah tidak sakit lagi?” sahut Lexa.
   “Aneh, matamu melirik tanganku tapi kamu malah bertanya tentang kaki dan kepala.” Guman Helen lalu menyeruput minuman dinginnya. “Mengenai itu kamu bisa melihat aku baik-baik saja karena kita sudah ada di luar rumah.”
   “Hei.... tidak usah terlalu serius, cepatlah makan kalau mau belanja.” Ujar Elyana yang dari tahun kemarin ingin belanja ditemani oleh Helen.
   “Kamu benar Elyana, kita harus segera menghabiskan makanan kita.”
   “Mm.. Helen tidak suka belanja tapi dia suka menghabiskan waktunya berjam-jam di toko gramedia atau di gedung bioskop.” Kata Lexa dengan nada datar.
   “Masa sih? Mana ada seorang perempuan tidak suka belanja?” Helen tertawa dan Lexa menambahkan lagi.
   “Ya, karena Helen itu adalah perempuan yang berbeda.” ‘beda jauh dari kamu..’ tambah Lexa dalam hati. Lexa tidak menghabiskan makanannya karena ia sudah tidak bernafsu untuk menikmatinya. Saat Lexa bermakud beranjak dari kursi telepon dari Apbriel masuk.
   “Sebentar ya, ada telepon masuk dari Apbriel.” Katanya lalu mengangkat teleponnya. “Ya haloo... Apbriel ada apa?”
   “Ya, bagaimana keadaan Helen,’Lex? Apa teleponnya belum ketemu juga?”
   “Mhmm.. sepertinya belum dan juga ia kayaknya tidak tertarik dengan ponsel.. tapi kalau kondisi sih sudah bisa dibilang baik dan sangat baik.. mm... satu hal yang harus kamu ketahui dan juga untuk yang lain-lainnya... Helen yang saat ini ada bersamaku dan juga Elyana adalah Helen yang berbeda dengan kata lain adalah saudara kembarnya Helen sahabat kita itu, itu adalah pengakuannya.”
   “Maksud kamu?”
   “Yah seperti itu, kembar dan yang asli entah ke mana... itu sih kata Helen yang ini.” Suara Lexa saat mengatakan kalimat terakhir terdengar meminta Apbreil jangan percaya namun dia harus mengatakan hal itu kepada Apbriel.
   “Oh, seperti itukah?” kata tanya itu seolah sangat memahami maksud dari ucapan Lexa yang maklum sekali karena sahabat mereka sedang mengalami amnesia. Jadi mereka seakan memahami kalau Helen sedang berhalusinasi.
   “Em.. mau bicara dengan Helen?” tawar Lexa sembari menoleh ke arah Helen namun saat itu Helen mengisyaratkan tidak sedang ingin bicara dengan yang di seberang sana.
   “Mm... tidak usah deh, nanti saja kalau Helen sudah menemukan ponselnya aku akan menghubunginya langsung.”
   “Oke...”
   “Terima kasih ya Lex, salam sama Helen juga Elyana.” Pembicarakanpun selesai.
   “Aku akan meneleponnya kalau sudah punya ponsel sendiri nanti.” Kata Helen.
   “Apbriel juga mengatakan hal yang sama.” Lexa mengantongi ponselnya. “Semoga ponselmu segera ditemukan.” Tambahnya dengan nada pasti.
   “Ditemukan? He... aku kan belum beli ponsel, karena selama ini kupikir ponsel itu tidak ada gunanya di dalam hidupku karena hanya membuang-buang waktu saja.”
   “Kalau begitu kenapa tidak sekarang saja kita membeli ponsel untukmu, karena mulai saat ini ponsel adalah benda wajib yang harus kamu bawa ke mana-mana.” Ujar Elyana dengan semangat.
   “Oke, mungkin Elyana ada benarnya juga.” Sahut Helen dengan tak kalah semangat.
   Beberapa menit berikutnya mereka sudah ada di konter celluler yang menjual ponsel canggih tapi Lexa mengingatkan agar tidak membeli yang terlalu mahal karena jika ingatan Helen sudah kembali ia akan menemukan ponsel lamanya yang sudah canggih itu. Namun sepertinya Helen tidak mau mendengar apa yang dikatakan oleh Lexa karena ia memilih Smartphone yang terbilang cukup mahal. Dan ia mengambil uang di ATM yang ada di lokasi toko.
   Lexa merasa seakan mengantar seorang anak kecil yang masuk Mall dan membeli apa saja yang ia inginkan sehingga membuat ia tambah tidak menyukai sosok Helen meski perempuan itu sudah memasukkan semua nama dan kontak keeman perempuan yang dikasih oleh Elyana termasuk nomor ponsel Bibi yang ada di rumahnya. Meski Helen dengan Elyana masih ingin jalan-jalan Lexa memutuskan untuk kembali ke rumah tapi Helen tetap akan ada di Mall untuk waktu yang tidak di tentukan.
   “Ayolah Lex hidup ini janganlah terlalu serius nikmati saja...”
   “Oke... sekarang aku mau tanya sama kamu, sebenarnya kamu bekerja di mana?”
   “Maksud kamu?”
   “Yaaah seperti pengakuan kamu yang mengatakan seorang single, tidak punya teman dan tidak butuh siapapun jadi maksudku kita butuh pekerjaan untuk mendapatkan uang sebagai kebutuhan kita sehari-hari. Kamu punya uang banyak di Bank sementara aku tidak tahu apa pekerjaan kamu. Apa kamu seorang pengedar narkoba?”
   “Lex.... hentikan! Ini di tempat umum.” Ujar Elyana melihat sikap Lexa yang belum juga bisa menerima penyamaran Helen sebagai saudari kembar dari sahabat mereka.
   “Aku muak! Sekarang silahkan saja kalian mau pergi kemanapun aku tidak peduli.” Lexa membalikkan badannya untuk pergi namun langsung tangannya di tahan oleh Helen.
   “Lexa, mengapa kamu begitu tidak menyukai aku? Apa salahku? Kita ini baru kenal dan kurasa tidak seharusnya kamu tahu semua tentangku.. kamu lihat Elyana, dia tidak pernah memintaku untuk melakukan ini dan itu... dia menerima aku apa adanya... apakah berteman denganmu harus mengikuti semua yang kamu inginkan? Sahabat seperti apa itu? Jika semua orang seperti kamu maka aku rela tidak akan punya teman di dunia ini seumur hidupku.”
   Lexa menarik tangannya dengan kasar. “Jangan pernah sebut tentang persahabatan lagi karena mulutmu tidak pantas mengatakannnya.
   “Kamu kasar.” Kata Helen dan matanya mulai berkaca-kaca membuat Lexa kaget karena Helen paling tidak bisa menangis dan kali ini perempuan itu sebentar lagi akan mengeluarkan air matanya bagaimana mungkin Lexa tega melihatnya sehingga ia menarik napas dalam-dalam.
   Elyana mendekati Lexa dan bicara pelan. “Sudah aku bilang, ikuti saja apa maunya karena dia sedang amnesia.”
   “Heh! Kamu sendiri yang mengakui kalau dia adalah kembarannya Helen, anak manja, egois, sok tahu, cengeng dan menyebalkan! Helen yang aku kenal bukan seperti itu.”
   “Oke, sekarang apa? Pulang dengan melihat kesedihan di wajahnya atau tetap jalan dan kamu akan melihat kebahagiannya..??” kata Elyana tidak bisa melihat kesedihan di wajah perempuan yang sudah menjadi sahabat karibnya dalam beberapa tahun belakangan ini. Lexa melirik ke wajah Helen yang masih menunggu keputusannnya dan sangat berharap Lexa masih tetap bersamanya tapi Lexa berpegang dengan keputusannya akan tetap pulang.
   “Tidak. Aku akan tetap pulang.” Lexa tidak peduli anggapan Helen palsu itu akan mengatakan dia kasar atau apa yang jelas ia tidak bisa melakukan hal yang tidak ia sukai dan berpura-pura menikmati jalan-jalan itu. Elyana tidak ingin jalan-jalan hanya berdua dengan Helen kecuali kondisi Helen tidak seperti itu maka akan beda lagi ceritanya.
*
   Elyana sudah memasukan semua nomor teman Helen ke dalam ponsel baru itu dan kini ia mengirim pesan dan mem-forward-nya ke mereka dengan mengatakan itu nomor baru Helen. Gendys langsung menelepon.
   “Halo...?” Helen yang mengangkatnya langsung. “Gendys ya?”
   “Ya ini gw... sudah sehat lo? Sorry gw belum sempat ke rumah lo... ini anak gw yang bontot rese’ banget maunya diantar dan di jemput sama gw  aja. Ntar mungkin sore gw ke rumah lo... baik-baik ya,” kata Gendys dan ia tahu kalau Helen belum pulih ingatannya dari Bibi yang ia telepon nyaris setiap hari. Gendys bukannya tidak percaya dengan kedua perempuan yang ada bersama Helen sekarang namun ia tidak ingin merepotkan mereka dengan pertanyaannya dan ia merasa lebih dekat dengan Bibi.
   Bukan Gendys saja yang menelepon tapi semua temannya menghubungi namun Helen menanggapinya dengan dingin-dingin saja apalagi ia sedang kesal dengan Lexa yang tidak mau menemaninya jalan-jalan.
   Ia mengamati Lexa yang baru saja selesai membersihkan mukanya lalu berkomentar yang masih ada hubungannya dengan urusan mereka siang tadi.
   “Kamu itu jadi perempuan kaku sekali, apa kamu anggap dirimu disiplin? Peduli dan sayang sama teman? Kamu bilang semua temanku sayang sama aku apalagi kamu... lalu apa buktinya? Menemani jalan saja malas.” Omel Helen seperti anak kecil meski kadang ia sok tua. Lexa menoleh ke arah Helen melihat perempuan itu masih kesal ia menyandarkan tubuhnya pada meja lalu melipat kedua tangannya di dada dan menatap kuat kepada Helen.
   “Sudah aku bilang... bahwa kamu tidak tahu apa-apa tentang aku jadi tidak perlu berkomentar apapun, oke!?”
   “Oke, aku tahu temanmu bukan aku tapi Helen yang satunya tapi aku tidak suka sikapmu... mengerti?!” Helen menantang Lexa dengan terang-terangan. “Kamu boleh mengakui sudah berteman dengan semua kalangan, berpengetahuan luas, punya usaha sendiri, mapan dan mungkin berpengaruh tapi akuu.... tidak akan berpengaruh sama kamu. Kasihan Helen yang sudah jadi temanmu itu.” Terakhir nadanya sinis membuat Helen naik pitam dibuatnya.
   Ia mendekati Helen yang sedang duduk di sofanya dan berdiri tepat di hadapan perempuan itu. “Helen.....! kamu boleh-boleh saja membenciku dengan kekecawaanmu tapi kamu tidak tahu apa masalahnya, selama ini kamu hanya memikirkan perasaan kamu dan kamu tidak akan pernah bisa merasakan apa yang aku rasa dan bagaimana terpukulnya aku atas kejadian itu di hadapan kakak-kakakku, sejak kata-kata yang keluar dari mulutmu itu membuat hubunganku dengan keluargaku jadi tidak nyaman, apa kamu tahu itu? Selama ini kamu hanya memikirkan perasaanmu yang suka berlebihan tapi kamu pernah tidak berpikir sekali saja tentang hidupku?!” kata Lexa tidak bisa menahan diri lagi.
   “Hei.... kamu ini bicara apa? Aku tidak mengerti apa yang kamu maksud.”
   “Hentikan semua sandiwara konyol ini..!!”
   “Heloooo.... ada apa ini ribut-ribut.? Elyana baru muncul dari kamar mandi dan mendekati kedua sahabatnya di ruang tengah. Ia memegang tangan Lexa. “Ada apa? Kok kamu marah-marah?” kali ini ia mendengar kata-kata Lexa yang seolah melenking tinggi membentak Helen yang saat itu tidak mengerti apa yang ia bicarakan dan Lexa mengatakan kalau dia sedang bersandiwara.
   “Bibi......?!!” Helen berteriak memanggil Bibi sembari menutup kedua telinganya dengan kedua tangannya. Taklama kemudian perempuan itu muncul dan kesigapannya bukan saja mendengar panggilan Helen tapi ia sudah mendengar suara Lexa yang tadi setengah berteriak juga sehingga membuatnya cepat berada di antara perempuan itu.
   “Bi... tolong jaga Helen.” Kata Elyana dan ia menarik tangan Lexa ke ruang tamu dan  membawa Lexa duduk ia sendiri pun duduk di sebelahnya. Lexa menghela napas panjang seolah dadanya masih sesak. “Aku tahu kamu kecewa dengan kondisi Helen dan sejujurnya aku juga seperti itu namun aku percaya ini tidak akan lama.”
   “Sampai kapan? Sampai Helen teman kita itu pulang dan kembali hadir di sini?”
   Elyana tersenyum. “Lexa.. Lexa... jadi kamu percaya kalau aku mempercayai Helen rekayasa itu? Sama sekali tidak, tapi kita harus mengikuti arus yang dia ciptakan demi kesembuhannya.”
   “Bagaimana mungkin dia bisa cepat sembuh dengan kita mengikuti arusnya.. dia akan terus terlena dan tak ada pancingan untuk mengingat masa lalunya itu, semua ini akan membuatku tambah muak El.
   “Aku tahu dan sepertinya kamu punya masalah dengan kehidupan kalian sebelum kejadian Helen mengalami amnesia tapi setiap aku tanya kamu tidak pernah mau membahasnya. Aku sadar kalau setiap masalah itu tidak harus semua orang tahu tapi aku tidak ingin hal itu akan berdampak dengan perkembangan jiwa Helen sendiri dan kamu... aku percaya apa yang kamu lakukan pasti punya alasannya sendiri. Seperti aku misalnya.. semua masalahku Helen mengetahuinya namun aku tidak berharap Helen menceritakannya kepada setiap teman yang ia jumpai aku juga tahu kalau Helen tidak hanya akrab dengan kita. Dia punya teman-teman di grup BB, di Facebook, dan mungkin juga teman-teman penulisnya. Kita mengenali Helen tidak satu dua hari tapi bertahun-tahun.. meski temannya banyak tapi aku yakin kalau kita ber-tujuh adalah teman sejatinya karena ada nomor-kita yang ia tulis di kertas sebelum ia mengalami kejadian naas itu.”
   “Aku masih memikirkan kertas yang ada nomor-nomor, entah tidak tahu aku masih meragukan tulisan itu.”
   “Aku juga memikirkan itu, jika itu benar pasti selama ini Helen pernah mengalami teror sehingga ia berpikir untuk menulisnya.” Hela Elyana. Sejujurnya ia hanya ingin Helen dekat dengannya dan yang lainnya hanyalah teman sekedarnya saja namun Helen adalah perempuan yang bebas bisa berteman dengan siapa saja dan dia akan membagi kasih sayangnya kepada teman yang ia anggap pantas jadi temannya dalam arti memberikan nilai positif di dalam kehidupannya.
   Lexa menatap Elyana. “Sekali lagi aku katakan padamu kalau aku tidak bisa mengikuti arus yang diperankan oleh Helen yang mengatakan mereka kembar, saat ini Helen berubah 360 derajat.”
   “Aku tahu namun aku berharap sekali kamu bisa mengendalikan diri memang tidak semudah yang kita bayangkan.”
   “Sungguh menyebalkan dekat dengan orang yang sama sekali tidak mengenali kita.”
   “Memang.” Guman Elyang diikuti derai tawa halusnya seakan merasa lucu juga menjengkelkan menghadapi situasi sekarang.
   Helen sudah ada di kamarnya, teleponnya terus berdering karena panggilan masuk dari kelima sahabatnya yang saat ini tidak bersamanya namun tak satupun Helen angkat. Dia hanya menatap nama-nama yang silih berganti tampil di LCD ponselnya. Dia coba mengingat nama itu satu persatu sekaligus wajah mereka yang ia sempat lihat beberapa hari yang lalu baik di rumah sakit juga di rumahnya. Lalu ia tersenyum simpul seolah menganggap ia tidak pantas berteman dengan mereka. Helen mengamati seisi kamar dari satu suduk ke sudut yang lain, tidak ada yang aneh. Dinding berwaran putih, horden jendela warna pastel, seprai putih. Meja kerja dengan sebuah laptop, jam kecil serta buku-buku yang entah tidak tahu buku apa saja itu ada yang tebal sekali bahkan tipis seolah lengkap di samping meja kerjanya yang sudah membentuk rak buku yang ada di perpustakaan.
   Helen memang suka membaca tapi dia tidak tahu kapan membeli buku-buku itu, kakinya bergerak dan mulai mendekati rak buku lalu mengambilnya satu dan melihat isinya. Di halaman pertama ada tandatangan, nama Helen dan tanggal membelinya di toko gramedia. Ia meletakkan buku itu kembali lalu mengambil yang lain dan sepertinya setiap buku ada tandatangan beserta tanggal pembeliannya.
   Elyana dan Lexa masuk kamar dan mengamati sikap Helen yang berdiri di depan rak bukunya. Mereka akhirnya duduk di sofa panjang di ruangan itu seolah memang sedang ingin menonton Helen. Menyadari kedatangan kedua perempuan itu membuat Helen meletakkan buku ke tempatnya semula dan mendekati sofa lalu ikut duduk.
   “Kamar ini sangat sejuk.” Guman Helen dengan nada santai seolah baru menemukan tempat yang baru ia masuki dan matanya kembali menyimak seisi kamar. “Tidak ada satupun foto di ruangan ini bahkan di ruang tengah dan tamupun kosong. Apa yang terjadi dengan orang yang ada tinggal di rumah ini? Dia itu seperti perempuan dingin yang seolah tidak membutuhkan siapapun.” Helen melirik ke Elyana dan Lexa. “Perempuan seperti apa teman kalian itu? Dia itu seolah memikirkan dirinya sendiri, tidak punya keluarga dan mengaku menyayangi kalian namun tak satupun foto kalian ia simpan di sini. Dia perempuan egois.” Tambahnya. Lexa dan Elyana mengambil sikap diam seolah masih ingin mendengar Helen berceloteh karena saat ini suaranya tidak seperti kemarin-kemarin, ia bicara lembut, pelan namun penuh penekanan untuk menilai dirinya sendiri.
   Helen kembali mengeluarkan suaranya. “Meski rumah ini sejuk namun terkesan membosankan, aku tidak bisa membayangkan bagaimana teman kalian bisa menghabiskan sisa hidupnya di dalam sini.” Ia menoleh ke rak buku. “Dan buku-buku itu.... dia pasti menghabiskan waktu berjam-jam bahkan mungkin separuh waktunya ia habiskan untuk membaca buku. Aku juga suka membaca buku tapi jika sedang bepergian saja, apa sih yang membuat kalian mau berteman dengan perempuan kaku seperti Helen itu? Aku tidak habis pikir betapa membosankan hidupnya di sini.”
   “Helen itu tidak seperti yang kamu pikir.” Sahut Elyana coba menanggapi ucapan Helen. “Meski dia menyebalkan tapi dia sangat menyayangi sahabat-sahabatnya, dia setia kawan. Kamu tidak mengenali Helen dan kamu tidak bisa menilainya hanya dengan melihat tempat tinggalnya saja. Dia selalu punya alasan setiap tindakan yang ia lakukan meskipun tanpa sadar menyakiti hati sabahatnya namun kalau kita mau berpikiran jernih dan kembali memikirkannya maka ia selalu punya niat baik walau kadang cara penyampaiannya salah.”
   Lexa agak terperangah mendengar penuturan Elyana karena kata-kata itu seolah menohok hatinya. Ia menoleh kepada wajah Elyana ‘apakah Helen menceritakan semua kepada Elyana?’ tanya hatinya.
   “Aku benarkan, ‘Lex?” ia bertanya kepada Lexa.
   “Ya, Helen memang seperti itu.” Guman Lexa dan rasa sakit itu kembali menyeruak di dadanya dan seandainya Elyana tahu apa yang telah terjadi dengan dirinya bersama Helen maka hatinya bukan saja sakit tapi berdarah dan malu. Lexa menghela napas dalam-dalam ‘ya Tuhan apakah aku tidak bisa menerima kelemahan dan kekuranganku dan membenci kejujuran Helen?’
   Ponsel Helen berdering lagi, kedua perempuan itu menunggu Helen mengangkat namun sama sekali tidak ia gubris dan saat terdengar lagi ia meraihnya tapi bukan menjawab telepon tapi mematikannya ponsel itu dengan cara menonaktifkannya. Pasti diantara kelima teman mereka yang menelepon karena hanya nomor-nomor mereka yang ada di ponsel itu. Melihat sikap Helen memaksa Lexa membuka suara karena sikap Helen dianggap tidak sopan apalagi yang menelepon adalah orang yang jelas-jelas ia tahu nama dan orangnya sungguh Lexa geram.
   “Helen tidak pernah mengabaikan sahabatnya seperti itu.”
   “Tapi mereka bukan sahabatku seperti halnya kalian berdua juga bukan sahabatku..”
   “Jika benar seperti itu maka kamu juga tidak berhak ada di sini meski kamu bilang Helen itu adalah saudari kembarmu. Jika ia tahu sifatmu semacam ini maka ia juga tidak akan rela rumahnya ditempati oleh perempuan yang tidak menghargai sahabat-sahabatnya.”
   “Lex.....” Elyana coba menenangkan Lexa.
   “Aku pikir tidak seperti itu karena hubungan darah itu lebih kental dari hubungan persahabatan seperti apapun di dunia ini. Apapun alasannya Helen akan mengutamakan hubungan persaudaraan dari hubungan persahabatan.”
   Lexa keluar dari kamar dan menuju dapur untuk mengambil minum dan ia menemukan Bibi yang belum istirahat juga.
   “Non Lexa mau apa? Makan atau Bibi bikinkan kopi?” sapanya.
   “Tidak Bi, aku hanya mau ambil air putih saja. Bibi kok belum istirahat ini sudah malam lho.” Kata Lexa menyadari kalau saat itu sudah menjelang pukul sembilan malam.
   “Sebentar lagi Non, takutnya Helen minta diambilkan sesuatu.”
   “Tidak usah pikirkan itu ada aku dan Elyana bisa melakukan apapun yang ia inginkan lagian Helen juga sudah tidak sakit lagi kok. Oh, ya. Maaf yang tadi ya Bi.. aku telah membuat Bibi kaget.” Lexa sudah mengambil gelas dan menuangkan air yang ada di ceret yang di atas meja makan.
   “Tidak apa-apa Non, Bibi juga maklum kok.” Sahutnya. “Memang menghadapi sikap Helen agak membingungkan kita, harus lebih bersabar lagi sepertinya.” kata perempuan itu penuh harap.
*
   “Aku mau pergi.” Kata Helen pagi itu sedangkan dua hari lagi Elyana sudah harus kembali ke rumahnya sebab sudah harus masuk sekolah sementara Helen belum juga menunjukkan tanda-tanda akan sembuh.
   “Ke mana?” tanya Lexa.
   “Ya, ke mana saja dan mungkin tidak akan pernah kembali ke sini lagi. Bukankah kalian mengatakan aku tidak pantas ada di rumah ini? Mungkin aku akan memanggil Helen untuk pulang dan menjumpai kalian di sini juga teman-temannya yang lain. Aku mungkin jahat terhadap kalian, kuakui kalian baik dan pantas saja Helen menyayangi kalian melebihi dirinya sendiri tadinya aku pikir Helen itu bodoh.”
   “Tidak, kamu tidak boleh pergi dari rumah ini sebelum Helen benar-benar kembali ke sini bersama kami dan juga Bibi.” Elyana menimpali.
   “Hei, bukannya kalian muak denganku? Aku tidak pantas di sini, tempat ini terlalu suci untukku.” Sekilas ia mengamati seisi ruangan yang ada di rumah itu.
   “Pokoknya kamu tidak boleh pergi.”
   “Biarkan saja dia pergi.” Lexa menantangnya.
   “Lex.... apa-apaan kamu ini?” lalu ia bicara pelan dekat wajah Lexa. “Memangnya dia mau ke mana? Dia itu masih amnesia, memangnya kamu mau dia keluar tidak tahu entah ke mana? Kamu mau mencarinya? Jangan bercanda dengan kata-katamu. Aku tidak mau dia pergi dari sini, titik.”
   “Aku tahu kalau Lexa tidak menyukai aku, kamu tidak perlu mengatakan apapun kepadanya Elyana. Aku juga  tahu kalau dia akan merasa sangat senang kalau aku pergi dari sini dan kamu tidak perlu khawatir dengan Helen karena aku akan mencarinya dan mengembalikannya ke rumah ini. Aku janji.”
   “Hentikan semua rencana konyolmu itu dan jangan pernah berjanji kalau kamu merasa tidak bisa menepatinya. Sekali lagi aku katakan kalau kamu tidak boleh pergi dari rumah ini, siapapun dirimu... apakah saudara kembarnya Helen atau apalah aku tidak peduli yang penting kamu tetap di sini!”
   “Kenapa sekarang kamu yang tidak suka dengan apa yang akan aku lakukan? Bukankah kamu selalu mendukungku? Dan Lexa malah sebaliknya. Ada apa dengan kalian berdua?” Helen tidak mengerti dengan perubahan sikap mereka yang secara tiba-tiba.
   “Lexa juga sebenarnya tidak akan setuju kamu pergi dari sini.” Tegas Elyana sambil menoleh ke Lexa yang hanya memperlihatkan wajah putus asa. “Ya,’kan?” sama sekali Lexa tidak menyahut membuat Elyana semakin panik. Selama ini dia santai dan menerima apa saja yang akan dilakukan oleh Helen namun kali ini sungguh ia tidak akan membiarkan perempuan itu meninggalkan rumah. “Lex?!” sekali lagi ia menegaskan.
   “Oke, sekarang begini...” Lexa mulai mengatur strategi. “...sebenarnya kamu ingin pergi ke mana? Aku akan setuju kalau kamu mengatakan tempatmu.”
   “Lex....!?” Elyana tahu kalau Helen pasti tidak tahu ke mana ia akan pergi karena kondisi ingatannya dan ia menganggap pertanyaan Lexa itu hanya ngaco saja.
   “Aku hanya ingin tahu saja kok.”
   “Apa itu penting?” tanya Helen.
   “Ya.” Tegas Elyana. “Ya sudah! Sekarang begini saja, kalau kamu hanya ingin pergi dari sini kamu ikut aku saja ke rumahku. Bagaimana?” Elyana tidak akan  membiarkan Helen mencari jati dirinya di luar dan menemukan orang-orang yang sama sekali tidak ia kenal karena itu akan membuatnya lebih berbahaya.
   “Aku tetap tidak setuju.” Tambah Lexa karena kalau Helen ikut dengan Elyana itu sama saja artinya Helen pulang kampung dan akan bertemu dengan orang-orang yang selama ini ia kenal termasuk keluarga besarnya, adik, kakak dan kedua orang tuanya maka kasus Helen amnesia akan menyebar apalagi banyak teman-teman SMA mereka yang tinggal di daerah itu. Dengan anak dan mantan suaminya mereka berusaha menyimpan rahasia itu begitupun dengan keluarga besarnya.
   “Jadi bagaimana?”
   “Aku akan ikut kemanapun Helen pergi.”
   “Apa?” Helen kaget dengan usul Lexa. “Bagaimana mungkin? Kita berdua tidak cocok jadi teman masa harus selalu bersama.” Helen tertawa. Elyana tambah bingung ia melirik ke Lexa lalu ke Helen dan sepertinya usul Lexa itu brillian juga. Pikirnya.
   “Begini saja,” Elyana coba mengambil jalan tengah. “Kalian boleh pergi besok pagi dan aku akan percepat kepulanganku, dengan satu syarat.”
   “Apa?” suara Helen dan Lexa bersamaan keluar.
   “Helen itu punya tujuh orang teman yang ia sayang di dunia ini, jadi keputusan akan diambil dengan suara terbanyak... tidak termasuk keputusanmu.” Kata Elyana dan akan menghitung suara mereka bertujuh nanti.
   Malamnya Elyana menghubungi teman Helen satu persatu dan menyampaikan maksudnya menelepon mereka dan menjelaskan kepada mereka kalau Helen ingin pergi meninggalkan rumahnya tapi dia dan Lexa tidak setuju lantaran Helen masih amnesia.
   Razthi tidak bisa membawa Helen ke rumahnya dengan alasan yang sama yaitu karena tinggal satu daerah dengan Helen dan Elyana juga tidak setuju kalau Helen di rumah Razthi dan otomatis akan setuju kalau Helen ikut dengan Lexa.
   Esty juga tidak bisa karena temannya sudah banyak yang kenal dengan Helen karena Helen sering datang ke tempatnya bekerja.
   Liliana sangat ingin mengajak Helen tinggal di rumahnya dan berharap sekali perempuan itu datang ke rumahnya bahkan dari dulu ia ingin Helen bisa berkunjung, tapi kondisinya tidak memungkinkan karena nyaris setiap hari Liliana meninggalkan rumah untuk ke tempat kerja dan pulangnya sore, kalau masuk siang maka ia akan pulang malam. Elyana, Lexa dan yang lainnya tidak berharap Helen menjadi beban Liliana.
   “Gendys masih tinggal satu komplek, itu sepertinya tidak akan mengubah apapun.” Itu kata Elyana. Tinggal Apbriel, Apbriel tidak keberatan mengajak Helen ke rumahnya tapi Apbriel punya kesibukan seperti Razthi dan keempat anaknya sudah cukup menyita waktu Apbriel dan suaminya sepertinya tidak pas kalau Helen di rumah Apbriel. Di tambah letak rumah Apbriel satu provinsi dengan Helen.
   Liliana setuju sekali kalau Helen bersama Lexa sehingga ia tidak punya alasan apapun jika mereka bersama, ia tahu Helen itu sebenarnya seringkali bercerita tentang Lexa. Meski mereka punya masalah namun mereka berdua saling menyayangi bahkan Liliana merasa sering cemburu dengan kasih sayang Helen terkadang ia rasa suka berlebihan untuk Lexa tapi ia sadar kalau Helen terlebih dahulu kenal dengan Lexa dan ia berharap sekali hubungan Lexa dengan Helen membaik. Sepertinya tidak ada yang keberatan Helen ditemani oleh Lexa dan suara terbanyakpun di ambil.
*
Sesungguhnya tidak ada yang berubah...         
   Tempat itu tidak bisa di sebut rumah biasa, bukan villa bukan juga sebuah penginapan sebenarnya Helen tidak menyukai tempat itu tapi Lexa yang memilihnya dan harus di sana. Karakter tempat itu terkesan klasik, dengan satu ruang tamu, kamar tidak bisa di bilang besar namun memiliki dua tempat tidur. Tidak ada televisi dan dapurnya kecil dan sederhana dengan kompor gas satu tungku serta perabotan yang komplit namun tidak lebih dari tiga. Dari sendok, garpu, gelas dan piring serba tiga. Keran air mengalir dengan deras saat dibuka, airnya dingin seolah menusuk sampai ke tulang.
   “Tempat apa ini?” kata Helen. “Apa kamu tidak bisa mencari tempat yang ada di tengah kota? Sebuah apatemen misalnya atau sebuah villa yang ada kolam renangnya? Kalau tahu akan ke sini aku tidak akan ikut kamu dan aku mencari tempat tinggal sendiri yang aku sukai, di tengah keramain ibukota misalnya.” Protes Helen setelah melihat-lihat.
   Lexa tersenyum. “Lupakan semua tentang khayalanmu itu sobat, tempat ini adalah yang terbaik di dunia dan kamu akan menyukainya nanti.” Kata Lexa dan ia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur yang tidak bisa dibilang empuk, karena Lexa tidak begitu menyukai kasur busa yang empuk. “Istirahatlah perjalanan ke sini tadi sudah menguras tenaga meski hanya dengan naik mini bus. Aku juga ingin memejamkan mata sejenak.” Setelah berkata seperti itu Lexa memejamkan matanya tanpa menghiraukan apa yang Helen inginkan atau yang ingin dilakukan.
   ‘Ada-ada saja perempuan ini, enak saja ia langsung tidur tanpa peduli apakah pintu depan sudah di kunci atau belum dan.... aku,’kan lapar, mana bisa tidur kalau perutku lapar.” Helen mengamati barang bawaan Lexa dan ia tidak melihat ada sedikitpun camilan di tas yang terbuka itu, tidak juga ada ponsel atau barang berharga lainnya. “Bukannya orang mengatakan aku aneh karena tidak memiliki ponsel? Tapi kenapa perempuan ini ikut-ikutan aneh seperti aku? Siapa dia sebenarnya? Dan apakah tempat ini adalah kepunyaannya? Dia pasti mengaku-aku saja sahabatnya Helen. Tapi kalau dia benar sahabatnya Helen kasihan sekali Helen punya sahabat dekat seperti dia. Kalau aku bertemu dengan Helen akan kukatakan kalau perempuan ini tidak pantas menjadi sahabatnya.’
   Karena tidak mendengar suara Helen, Lexa membuka matanya dan mendapatkan Helen sedang duduk termenung di atas tempat tidur di depannya. “Hei... apa yang kamu pikirkan?”
   “Apakah tidak ada yang bisa di makan di tempat ini?”
   Lexa melirik ke arah tas milik Helen yang semalam sudah dirapikan oleh Bibi. “Coba kamu cek saja di tas itu siapa tahu Bibi memasukan sesuatu di sana.”
   “Apa maksud kamu? Kalaupun ada makanan di dalam sana pasti sudah dingin. Aku mau yang panas karena di sini dingin sekali.”
   “Ya, gampang kalau mau yang panas karena di dalam rak piring ada beberapa mi instan yang bisa kamu rebus dan kamu bisa makan apapun yang kamu lihat di dapur.” Sahut Lexa lalu kembali memejamkan matanya membuat Helen semakin tidak menyukainya. Helen melirik seisi kamar yang hanya ada sebuah meja kecil tanpa kursi dan cermin menempel di dinding, satu sebuah tempat handuk, dan tidak ada jam yang akan menunjukkan pukul berapa sekarang. ‘Perempuan ini benar-benar menyebalkan!’ lagi-lagi Helen berguman sendiri dan akhirnya ia melangkah ke dapur untuk melihat apa yang ada di dalam rak piring yang dimaksud itu.
   Benar, di dalam rak piring kaca itu ada beberapa bungkus mi instan baik yang rebus ataupun yang goreng. Ada juga beberapa butir telur serta cabe rawit serta daun sawi hijaunya. Di bagian atas ada saos sambel pedas dari merek ternama lengkap dengan kecap. Ada juga beberapa sachet kopi mix. Dan di samping rak piring ada sebuah kulkas kecil yang tadi luput dari pengamatan Helen. Ia membuka kulkas itu dan ternyata penuh dengan minuman botol dengan rasa kopi, ada kue lapis dan beberapa kue lainnya yang entah apa saja namanya Helen tidak begitu paham. Helen mengambil daun sawi hijau dari rak piring lalu memindahkannya ke dalam kulkas dengan harapan tidak segera layu dan busuk karena ia sudah tidak bernafsu untuk makan.
   ‘Tempat siapa ini? Dan semua isi kulkas ini sepertinya baru dan yang di rak piring juga masih terlihar baru, daun sawi pun masih segar.’
   Helen tidak mau lagi banyak berpikir dan ia meraih dua sachet kopi dan mendidihkan air secukupnya di atas kompor setelah beberapa menit ia menuangkan air panas ke dalam gelas yang sudah ia isi dengan kopi. Lalu ia mengambil kue dari kulkas mengiris secukupnya lalu meletakkannya ke dalam piring dan membawanya ke ruang tamu. Sebelum menikmati hidangannya ia menuju pintu yang ternyata sudah di kunci. Ia membuka pintu dan menemukan halaman luas yang hijau yang tadi pas mau masuk tidak terlalu ia hiraukan. Tempat itu hanya dipagari dengan bambu seadanya, tidak tinggi tidak juga terlalu rapat. Di sebelah kiri ada sebuah bangunan yang bentuknya tidak jauh berbeda dengan yang mereka tempati, tapi jaraknya cukup jauh mungkin sekitar seratus meter begitupun di samping kanan.
   ‘Ini bukan sebuah kampung, karena tidak ada manusia yang terlihat tapi tempat ini semacam taman yang begitu indah.’ Di ujung jalan ada tiang listrik yang bisa mengalirkan tegangan ke rumah-rumah mungil yang ada di sekitar. Tidak ada tukang jualan nasi uduk atau tukang pisang goreng apalagi tahu isi. ‘Tapi kue yang ada di kulkas itu, siapa yang sudah meletakkannya di sana?’
   “Hei... ternyata kamu membuat kopi untuk aku juga, terima kasih ya. Harum bau kopinya membuat aku terbangun.” Suara Lexa memaksa Helen menoleh ke dalam, ia mendekati Lexa yang sudah duduk di kursi bahkan sudah memegang gelas kopi untuk menikmati kopinya.
   “Kapan kita meninggalkan tempat ini? Aku butuh refreshing dan tempatnya bukan di sini. Aku tidak suka tempat yang sunyi dan sepi.”
   Lexa sudah meletakkan kembali gelasnya. “Baru juga sampai, tidak usahlah memikirkan hal itu dulu karena terkadang hal yang kita inginkan bukan yang kita sukai.” Lexa beranjak dari kursinya. “Aku mohon kamu tidak pergi ke mana-mana karena aku mau sholat ashar dulu.” Jelas Lexa setelah Helen duduk. “Oh, ya. Sebaiknya kamu ikut sholat karena kata ibumu kamu itu sholatnya kadang-kadang saja.”ka
   “Ibu?” kata Helen balik tanya seolah ia sudah cukup lama tidak menghubungi ibunya.
   “Ya, kata ibumu... apa kamu juga melupakan ibumu? Aku sudah tidak punya ibu jadi aku tahu bagaimana sakitnya kehilangan seorang ibu.”
   “Oh, begitu ya. Helen tidak pernah cerita tentang ibu... padahal aku ingin sekali tahu bagaimana keadaannya. Selama ini dia hanya cerita tentang mantan suaminya.” Suara Helen terdengar pelan dan sumbang. “Aku tidak mengerti apa yang terjadi dengannya, katanya perempuan sempurna di dunia ini kalau sudah punya suami dan memiliki anak tapi kenyataannya sekarang apa? Dia bercerai dan berpisah dari anaknya. Apa sih sebenarnya yang dia cari? Nama baiknya jadi hilang dan dia tidak dihargai lagi sama orang.”
   “Kenapa bisa tidak dihargai orang?”
   “Coba kamu pikir, dari kecil dia itu anak yang penurut dan tidak pernah membangkang baik kepada saudaranya apalagi kepada kedua orang tuanya setelah dewasa menikah dengan pria baik yang dikenal alim tapi kenapa dia minta cerai? Kurasa semua orang akan berpikir jelek tentang dia, dan kesalahan itu ada pada dirinya. Itu pasti dalam pemikiran semua orang.”
   “Termasuk kamu juga berpikir seperti itu?” kata Lexa lalu menenggak lagi kopinya sedangkan Helen belum meminum sedikitpun kopinya padahal dalam kamusnya menikmati kopi itu tidak boleh lewat dari duapuluh menit apalagi sampai dingin, Helen tidak menyukai kopi yang sudah dingin.
   “Ya, pastilah. Jadi menurut aku untuk apa menikah kalau akhirnya cerai juga. Status single itu lebih baik daripada ‘janda’ meninggalkan anak dan suami memilih hidup dengan pengasuh, sepi, jauh dari keluarga dan teman-temannya.”
   “Jadi itu yang ada dalam pikiranmu? Helen itu sudah pernah memiliki semuanya tapi kamu? Teman tidak punya dan tempat tinggalmu juga tidak tahu entah di mana, apakah itu tidak lebih dari rasa sakit yang Helen rasa selama ini?” Lexa malah meladeni ocehan Helen. “Tapi tidak. Helen tidak merasakan sakit lagi, sekarang dia sudah menemukan apa yang tidak ia dapat selama ini, karena aku pikir orang menikah itu tidak selamanya bahagia. Helen menyukai suasana seperti tempat ini.” Sejenak Lexa menyimak suasana rumah yang lengang.
   “Jadi kamu memilih tempat ini karena Helen? Kupikir kamu dengan Helen itu sama saja.”
   “Ya, dan juga suka pantai.” Lexa beranjak untuk melaksanakan tugasnya yang tadi sempat tertunda Helen mengamatinya sekilas lalu meraih gelas kopinya dan meneguk separuh isi gelasnya.
   ‘Tempat ini? Jadi Helen menyukai tempat senyap sepert ini? Aneh sekali! Seaneh sikap Lexa tapi apa dia pikir aku juga suka tempat ini? Kita lihat saja nanti.’
   Lexa mendoakan agar sahabatnya cepat kembali dan dalam keadaan baik-baik saja semoga juga tidak ada yang berubah setelah ini. Dalam ruangan dingin dengan udara sore yang mulai menyapa membuat Lexa betah berada dalam mukenanya. Semalam Lexa menelepon temannya yang tinggal di daerah Bogor untuk meminjamkan tempat sekarang ini. Saat mendapat telepon ia marah karena Lexa tidak memberitahukan kalau sedang ada di Jakarta tapi Lexa menjelaskan kalau sedang mengurus urusan temannya. Temannya menawarkan  bantuan namun Lexa hanya minta dipinjamkan tempat saja karena itu lebih dari cukup. Lexa punya teman seorang pria yang sudah cukup lama, sudah menikah namun sudah menganggap Lexa lebih dari apapun makanya pas Lexa mengatakan akan tinggal di tempat itu dalam waktu yang tidak bisa ditentukan ia menyediakan semua keperluan mereka. Beliau tidak bisa melihat Lexa susah sedikitpun dan selain menawarkan bantuan semacam itu ia juga tidak pernah berkata tidak kalau Lexa bilang kurang uang, namun Lexa tidak pernah menyalahgunakan pertemanan mereka. Disaat orang mengatakan tidak ada seorang laki-laki yang bisa berteman dengan perempuan tapi Lexa sudah membuktikannya bertahun-tahun. Disaat orang mengatakan Lexa tidak butuh teman hidup dan tidak ingin menikah! Semua orang salah dan hanya Helen yang tahu mengapa ia tidak juga bisa menikah... hanya Helen yang tidak pernah mengeluarkan kata-kata ‘cepatlah menikah’ karena Helen tahu apa yang ia alami dan rasa. Tanpa sadar Lexa menitikkan air matanya. ‘Ya Tuhan... berilah petunjuk pada kami, bukalah hati dan pikiran Helen, dan jalan yang terbaik untuk kami semua. Amiinnn.’
   Helen duduk di teras dan cahaya senja terlihat begitu indah di langit sedangkan Lexa ke dapur untuk masak nasi di rice cooker untuk makan malam mereka. Untuk sayur dan lauk ia bisa masak tumis sawi dengan kentang goreng sama sarden. Mendengar suara dari dapur Helen masuk dan tidak lupa mengunci pintu depan.
   Helen mendapati Lexa sedang sibuk mengerjakan pekerjaan dapur. Ia melirik ke arah jari-jari Lexa yang putih dan halus. “Apakah ini pertama kalinya kamu masak di dapur?”
   Lexa menoleh ke Helen yang sudah berdiri di sebelahnya. “Helen juga tahu kalau aku tidak suka masak tapi bukan berarti aku tidak bisa masak.” Sahut Lexa sambil meneruskan pekerjaannya.
   “Serpertinya kamu dekat sekali dengan Helen, sayangnya perempuan itu tidak pernah menceritakan tentang kalian. Dia hanya cerita tentang tulisan-tulisan dan impian konyolnya membuat aku selalu muak dan menganggap otaknya sudah rusak dengan khayalan-khayalan yang tak pasti. Sampai detik ini aku tidak tahu apa yang dia inginkan, dan satu lagi... aku rasa Helen itu hanya mencintai dirinya sendiri, tidak keluarganya, suaminya, anaknya apalagi kalian. Aku tidak mengerti mengapa kalian rela menghabiskan waktu dan peduli dengan Helen yang tidak tahu diri itu... yang hanya memikirkan dirinya dan hanya mencintai dirinya sendiri. Apa kalian pikir Helen pernah memikirkan aku? Tentu saja tidak, keberadaanku saja tidak pernah ia cerita pada kalian apalagi yang lainnya.” Helen terus saja berceloteh mengisahkan tentang kejelekan-kejelekan saudari kembarnya yang ia maksud namun Lexa terus meneruskan pekerjaannya tanpa minta di bantu apalagi Helen memang tidak berniat membantunya. “Aku tidak suka pekerjaan dapur, yang aku lakukan di dapur hanya dua, masak mi instan dan bikin kopi tidak untuk yang lain. Aku lebih suka makan di warung padang atau yang lain. Aku rasa kau tidak perlu menghabiskan waktu berjam-jam di sini dan kita bisa keluar mencari warung atau warteg misalnya.”
   “Sebaiknya kamu istirahat saja dan jangan pernah berpikir kita akan pergi dari  sini khususnya untuk malam ini nanti.”
   “Oke, terserah kamu. Oh, ya? Apakah ini rumahmu? Kalau ini rumahmu ketahuan kalau seleramu kurang bagus dan kalau bukan rumahmu  berarti pemilik rumah ini punya selera sama tidak bagusnya denganmu.” Helen membalikkan tubuhnya dan meninggalkan dapur, sepertinya ia sama tidak betahnya berada di rumahnya sendiri. Lexa hanya menatap kepergian Helen, perempuan itu jadi sering sekali berbicara dan ia mengatakan apapun yang ia sukai tanpa memikirkan orang yang mendengarnya. Lexa jadi menarik napas panjang. Ia rindu sekali dengan Helen yang dulu. Tidak banyak bicara kalaupun bicara itu hanya yang penting-penting saja.. tapi kalau diajak SMS sampai pagipun ia tahan dan selalu punya bahan untuk dibahas. Bicara selalu sederhana namun punya nilai tinggi juga mengandung makna serta mengajak berpikir positif.
   ‘Helen, aku kangen...’ tanpa sadar Lexa mengeluarkan kata-kata itu. Lexa benar-benar merasakan sepi yang amat sangat meski tinggal dengan seorang sahabat yang ia sayangi. Dia sengaja tidak membawa ponsel dengan maksud seluruh waktunya hanya untuk Helen tanpa harus diganggu dengan suara ponsel tapi sampai kapan dan bisakah ia tetap bertahan? Helen sedang menguji kesabaran Lexa.
   Tak berapa lama kemudian Helen kembali lagi ke dapur seolah masih ingin bicara dengan Lexa saat gadis itu menunggu lauknya matang. Lexa merasakan kehadiran Helen memakasanya menoleh kepada Helen yang menyandarkan tubuhnya di sisi pintu dan menatap Lexa dengan pandangan yang susah Lexa artikan. Lama tak ada suara kecuali hanya tatapan yang selama ini Lexa rindukan. ‘Apakah ingatan Helen sudah pulih? Kalau betul maka ia tidak akan berdiam saja di sana hanya memandang tanpa memeluk aku.’
   “Hei.... apa yang kamu pikirkan?” saat Lexa ingin bertanya namun pertanyaan yang ada di hati Lexa sudah keluar dari mulut Helen.
   “Apa maksud kamu?”
   “Yah... aku hanya ingin tahu apa yang ada di otak kamu, Elyana dan juga teman-teman Helen yang lain? Saat aku ingin pergi  mereka semua seolah mengizinkan tapi harus ada kamu, dan kamu membawa aku pergi dan tinggal di tempat seperti ini. Apa rencana kalian sebenarnya?”
   Lexa melipat kedua tanganya di dada dan mata masih menatap fokus kepada Helen. “Sejujurnya.... kamu boleh saja pergi kemanapun yang kamu inginkan asalkan kau sudah mengembalikan Helen kepada kami. Hanya itu.”
   Terdengar tawa halus yang mengandung meledek dari mulut Helen. “Kalian ini aneh, mana aku tahu di mana Helen, aku memang kembarannya tapi bukan bayangannya. Kalian saja yang mengaku dekat dan saling berkirim kabar setiap hari tidak tahu di mana dia apalagi aku yang belum tentu setahun sekali bertemu denganya.”
   “Sebenarnya apa yang kamu inginkan?” itu pertanyaan paling serius yang Lexa lontarkan sejak kejadian itu.
   “Aku? Aku tidak pernah menginginkan apapun dari Helen, juga dari kalian. Aku hanya ingin menikmati hidup seperti hari-hariku sebelumnya.”
   “Hidup seperti apa yang kamu maksud sebelumnya itu?”
   “Kamu seperti tidak tahu saja apa yang aku sukai dan aku mau.” Kali ini Helen terlihat serius dan menuntut Lexa memahami keinginannya.
   “Bagaimana mungkin aku tahu keinginananmu sedang kita baru saja kenal dalam dua minggu ini, dan kamu sangat berbeda sekali dengan Helen yang aku kenal.”
   “Nah! Itu kamu sudah dapat jawabannya, berarti yang Helen suka tidak aku sukai.... gampangkan?! Lalu mengapa kamu membawa aku ke sini? Apa hakmu membawaku ke tempat ini dan apa aku harus ada di sini?”
   “Ya, harus. Karena kamu tidak punya tujuan untuk pergi.”
   “Jadi.... tujuanmu harus aku ikuti?”                           
   Lexa membalikan tubuhnya ke arah kompor karena wangi lauk yang sudah menyengat dan kompornya sudah harus dimatikan.
   “Aku sedang melihat kamu melakukan sesuatu yang sebenarnya kamu benci.” Tambah Helen karena ia bisa melihat kalau Lexa tidak menyukai dapur.
   “Aku bukan Liliana.” Sahut Lexa dengan nada santai. Helen mendekatinya dan ingin mencicipi masakan Helen yang belum diangkat dari atas kompor.
   “Oh, lumayan juga.” Katanya setelah mencicipi sedikit namun Lexa tidak berkomentar apapun dengan pujian Helen karena dia tahu sekali Helen itu pandai masak, kalau Helen yang tidak amnesia mengatakan hal semacam itu ia akan merasa tersanjung.
   “Makanlah, aku tahu kamu sudah lapar.”
   “Oh, ya Lex. Aku ingin tanya sekali lagi, rumah siapa yang kita tempati ini.”
   “Itulah gunanya teman.”
   “Kau menyinggungku? Teman kamu bilang? Heh?!” Helen menjauhi Lexa yang sedang memindahkan lauk ke dalam mangkuk. “Teman itu hanya ingin tahu semua hal tentang temannya, tanya ini dan itu.. lalu gosip ke sana ke mari, datang jika sedang ada maunya saja dan yang lebih parah lagi selingkuh dengan pasangan temannya.” Ia kembali berdiri di sisi pintu. “Seperti itu yang kamu sebut gunanya teman? Makanya aku tidak butuh teman... kasihan sekali kalian yang punya teman dan sudah berapa kali kalian disakiti oleh orang yang kalian sebut teman itu?”
   Lexa jadi tertawa mendengar ocehan Helen yang seolah membenci siapapun di dunia ini. Ia mempersiapkan makan malam dan sudah bisa di makan saat ini, meski belum bernafsu untuk makan Lexa duduk di kursi dapur dan menatap Helen yang masih berdiri di tempatnya.
   “Sebenarnya siapa yang kamu benci, yah mengenai keingian dan kesukaanmu aku sudah tahu tapi sekarang aku ingin tahu siapa yang kau benci..”
   “Aku tidak pernah membenci siapapun meski aku tahu kalau Helen itu hanya mencintai dirinya sendiri tapi aku tidak demikian. Aku tidak membenci orang dan tidak juga mencintai orang tapi aku hanya ingin menjadi diriku sendiri tanpa harus dipaksa untuk melakukkan hal yang tidak aku sukai.”
   “Memangnya siapa yang memaksa kamu?”
   “Kau dan teman-temanmu itu.”
   “Oh, mereka....? tapi satu hal yang harus kamu tahu. Tidak ada orang lain yang menyayangi kamu selain kami. Tidak ada yang rela meninggalkan keluarganya hanya untuk menemui kamu yang sedang sekarat di rumah sakit, kamu tahu itu. Pun kamu tidak akan menulis nomor-nomor kami kalau kamu tahu kami tidak peduli sama kamu.”
   “So sweet...” sahut Helen dengan nada melecehkan. Lexa beranjak dari kursi sebelum pergi ia menutup dulu lauk yang sudah ia letakan di atas meja makan. Lexa ke depan untuk menyalakan lampu teras serta lampu-lampu yang lainnya sebab petang sebentar lagi akan berlalu diiringi datangnya sang malam. Lexa coba tak ambil hati dengan kata-kata Helen yang seringkali menguji kesabarannya.
   “Lex.....?” panggil Helen seakan masih ingin menyakit hati Lexa namun gadis itu tidak mempedulikannya malah mengambil sapu untuk menyapu kamar meski sudah bersih. “Tidak apa malam ini kita tidur di sini tapi besok aku ingin kita pergi setidaknya aku harus meninggalkan tempat ini.” Suara Helen terdengar masuk ke kamar tempat Lexa sedang merapikan kamar lalu ia mengambil handuk untuk mandi. Di ruang tengah ia bertemu dengan Helen yang hendak masuk kamar.
   “Habiskan kopimu di meja depan kalau belum mau makan.” Kata Lexa sambil jalan ke kamar mandi. “Kalau nanti mau mandi, ada handuk di dalam lemari masih di dalam plastik loundry.” Tambahnya.
   Helen meraih tangan Lexa dengan kasar. “Aku tidak suka sikapmu! Kesalahan apa yang telah aku lakukan sampai kamu benci sekali sama aku.”
   “Ada apa ini? Kau menyakiti tanganku.”
   “Aku tahu kamu tidak menyukai aku, tapi salahku apa? Aku memang tidak kenal denganmu dan juga Helen tidak pernah cerita tentang kamu tapi mengapa kamu tidak suka denganku malahan membenciku. Katakan!”
   Lexa menarik tangannya tak kalah kasar. “Ya, aku memang sangat tidak suka dengan sikapmu yang kekanak-kanakan, tadinya aku pikir kamu dewasa, bisa memahami hatiku dan bisa menghargai perasaan seorang teman tapi kenyataannya aku  aku aku.... tidak suka caramu melakukan sesuatu, apa kamu pikir caramu itu benar? Jika kau anggap benar tapi aku tidak suka cara penyampaiannya. Seharusnya dengan kebersamaan kita yang sudah tahunan kau tahu aku tapi kenyataannya tidak. Kau tidak kenal denganku sama sekali Helen, aku sangat kecewa denganmu. Lakukan apa saja yang kamu inginkan... apa kamu ingin sendiri atau pergi kemanapun kamu suka. Aku tidak akan menahanmu, tidak akan! Berbuatlah sepuasmu... aku pikir kamu adalah orang yang tepat untuk berbagi namun kenyataanya kau telah melemparku ke jurang yang sangat dalam.”
   “Hei.... apa kau punya masalah dengan Helen?” kata-kata itu mengagetkan Lexa seolah ia telah bicara dengan Helen yang tidak amnesia. Permpuan itu bisa melihat kemarahan Lexa yang tidak biasa. Ia menatap Helen sejenak lalu meninggalkannya, detik berikutnya terdengar suara pintu kamar ditutup. Helen menghela napas panjang seolah mulai bisa membaca situasi yang dialami oleh Lexa. ‘apa benar dugaanku barusan? Jika benar, apakah masalah mereka sudah selesai atau malah tambah rumit? Apa yang harus aku lakukan?’
   Helen berjalan ke ruang tamu, ia duduk dan menghabiskan sisa kopinya. Kue yang ada di atas meja hanya ia tatap tanpa ingin meraihnya sama sekali. Pikirannya mulai berjalan ke minggu-minggu terakhir sejak dari rumah sakit dan perempuan-perempuan yang ia temui di sana bahkan sampai ikut ke rumah lalu satu persatu pulang dengan alasan keluarga dan kewajiban yang lain. ‘Helen itu sepertinya sangat berarti bagi mereka sampai mereka menganggapnya sebagai kewajiban juga untuk melihat dan merawatnya. Tapi sayangnya aku bukan Helen, mengapa mereka tidak mau mengerti juga. Apalagi Lexa, ia mau menemani aku di tempat asing ini, sepi dan menyebalkan tapi ini bukan pilihanku. Dia yang memilih tempat ini, tapi..... dia pasti punya alasan sendiri. Ah! Aku tidak tahu apa maunya dia, pusing aku.’ Helen menyandarkan tubuhnya di kursi. ‘jika maksud Lexa membawaku ke sini untuk menyembuhkan ingatanku yang mereka bilang bermasalah maka Lexa salah besar. Dia tidak akan menemukan itu apalagi dengan Helen yang sudah menghilang dan aku tidak bisa menemukannya, aku sendiri juga tidak tahu di mana harus mencari perempuan itu, apa dia telah pergi ke luar negeri atau sudah mati? Ya Tuhan, di mana kamu Helen? Pulanglah agar masalah ini selesai.’ Helen memejamkan matanya rapat-rapat seolah ingin melumat semua masalah yang ditimbulkan oleh kembarannya dan saat ia membuka matanya ia masih tetap duduk di kursi lalu mengamati seisi ruangan asing itu. ‘sampai kapan aku harus di sini? Apakah keberadaanku di sini untuk menemani Lexa atau ada hal lain yang belum aku tahu?’ rasa lapar tidak lagi menggugah keinginan Helen untuk makan meski wangi aroma sayur dan lauk yang di masak Lexa tercium ke hidungnya. Meski lingkungan sekitar sepi tidak ada suara jangkrik atau kodok yang terdengar. ‘aku tidak punya keinginan ataupun cita-cita, aku tak membutuhkan teman, pasangan hidup atau yang lainnya, untuk apa Tuhan membiarkan aku hidup? Apakah hanya karena takdir? Ada banyak perempuan single di dunia ini dan mereka punya alasan masing-masing mengapa mereka tidak menikah dan aku? Aku tidak punya alasan sama sekali karena aku memang tidak ingin. Aku tidak mau menikah hanya karena memikirkan penilaian orang lain, tidak juga demi nama baik keluarga. Aku tidak pernah menyesal dengan keputusan yang kuambil. Hidupku adalah milikku, Tuhan yang mengatur semua jalan yang kuambil dan aku tidak mau mengeluh kepada Tuhan yang telah memberiku kehidupan.’
   Tiba-tiba di depan rumah terdengar suara mesin mobil berhenti dan sepertinya Lexa juga mendengar sehingga dia sudah muncul juga di depan pintu saat Helen masih duduk di kursinya. Gadis itu membuka pintu dan langsung keluar, di luar seorang pria keluar dari dalam mobil dan berbicara dengan Lexa.
   “Ini mobilnya Mbak, saya langsung pulang saja dan kata bos seperti biasa.” Ujar pria itu. Seperti biasa dari bos itu yang dimaksud adalah Lexa bisa memakai mobil itu sampai kapanpun tanpa harus memikirkan kapan harus mengembalikannya dan nanti akan diambil oleh sopir temannya itu.
   “Terima kasih banyak ya, tolong sampaikan kepada teman saya kalau saya sedang tidak menggunakan ponsel untuk waktu dekat ini, dia tahu kok. Sampaikan juga salamku kepada Mbak Meiki.” Kata Lexa agar pria itu menyampaikan juga salamnya kepada istri temannya yang juga sudah menjadi temannya.
   “Kamu pulang naik apa?”
   “Di depan nanti ada ojek kok.”
   Helen berdiri di pintu dan tidak mengerti apa yang mereka bicarakan sampai pria itu pergi meninggalkan tempat itu. Di tangan Lexa sudah ada kunci mobil mewah jenis sport.
   “Siapa pria itu tadi?” suara Helen terdengar curiga.
   “Teman.” Jawab Lexa pendek. Helen tidak menyangkan kalau Lexa ternyata punya banyak teman dari kaum pria juga. ‘Apakah karena itu sebabnya ia tidak mau menikah? Punya banyak teman pria sehingga ia sudah tahu di mana letak kelemahan pria? Alasan yang tidak masuk akal.’
   Lexa masuk ke dapur untuk menikmati makan sebelum gelap karena setelah maghrib ia punya rencana yang mungkin tidak akan Helen duga. Ia membuka tudung saji lalu mengambil nasi dari rice cooker. Helen mengikutinya dan ikut duduk di depan Lexa. Perempuan itu tidak melepaskan matanya dari wajah Lexa dan apapun yang dilakukan Lexa tak lepas dari pengamatannya.
   “Kamu sebenarnya siapa?”
   “Makanlah.... yang kenyang.” Kata Lexa setelah nasinya siap di santap.
   “Terima kasih sudah menyiapkan semuanya, tapi jangan harap semua yang kamu lakukan ini membuat aku langsung berubah pikrian. Aku tetap harus pergi dari sini.”
  Lexa menikmati masakannya dan tak peduli lagi apapun yang dikatakan oleh Helen karena sebentar lagi dia akan mengajak Helen ke suatu tempat tidak peduli perempuan itu suka atau tidak. Dan Helen coba menikmati masakan Lexa walau sejujurnya ia tidak begitu bernafsu namun rasa lapar cukup memanggil sehingga tanpa disadari ia sudah menghabiskan sepiring meski tidak penuh. Lexa cukup lega melihat Helen makan karena bagaimanapun ia tidak mau perempuan itu sakit. Helen memang tidak menyadari siapa dia dan dirinya sendiri tapi Lexa tahu kalau yang sedang duduk dihadapannya sekarang ini adalah seorang sahabat yang sangat ia sayangi. Tak peduli kini semua hal yang dilakukan perempuan itu tidak ia sukai, perempuan itu sedang ditutupi oleh sesuatu yang disebut dengan amnesia. Jika saja hati Helen sedang berada pada sosok orang yang paling dia bencipun harus dihadapi karena sejatinya sahabat sejati itu tidak akan pernah berubah dalam bentuk apapun. Dunia boleh menilai, boleh bicara apapun tentang dia dan mengambil kata-kata dari Oprah Winfrey ‘Fake  friends believe in rumors. Real friends believe in you’
   Beberapa menit berikutnya Lexa menyerahkan sebuah jaket bahan kaos kepada Helen agar dipakai sebelum mereka masuk ke dalam mobil. Helen menerima tanpa bertanya karena ia juga melihat Lexa sudah mengenakan pakaian yang sama. Kini mereka sudah ada di dalam mobil dan Lexa duduk di belakang stir.
   Helen sejenak menyimak rumah yang akan mereka tinggalkan, teras yang diterangi oleh bohlam ala kadarnya dan halaman yang dipenuhi bunga serta pagar berbentuk bunga. Mereka pasti akan kembali lagi ke rumah itu karena Lexa tidak membawa tas mereka. Helen juga tidak berminat untuk bertanya ke mana Lexa akan membawanya bersama malam menjemput. Kini Helen hanya diam saja membuat Lexa jadi bertanya-tanya sendiri apakah perempuan itu suka mengikutinya kali ini atau malah sebaliknya?
   Mobil meluncur menyusuri jalan yang tidak bisa dibilang terang bahkan cahaya langit lebih menerangi jalan yang mereka lewati. Lexa menyetel lagu dari mobil detik berikutnya mengalun suara Roxette ‘Listen to Your Heart’ dengan volume yang nyaris tidak terdengar. Kini mobil sudah masuk ke jalan raya namun masih jalan dengan tenang seolah Lexa tak ingin segera sampai pada tujuannya. Sedangkah Helen hanya menyandarkan tubuhnya pada sandaran jok mobil sambil matanya menatap ke arah sisi jalan seolah tidak menganggap Lexa ada di sebelahnya. Helen sendiri tidak tahu apa yang ia rasakan, apakah harus sedih atau sebaliknya tapi yang pasti hanya hampa meski di langit terlihat bulan dan ribuan bintang yang menemani perjalanan mereka. Lexa menoleh ke wajah Helen sejenak dan perempuan itu seolah memikirkan banyak hal namun satupun tak bisa Lexa tebak apa yang sedang ada di dalam benaknya. Kini jalanan mulai menanjak naik karena Lexa membawa mobil ke arah puncak dan lampu-lampu yang ada di rumah-rumah di sisi jalan yang mananjak terlihat seakan ingin menyaingi cahaya bintang di langit. Beberapa penjual jagung bakar sedang menyalakan api untuk membakar jagung yang sudah ada di tenda mereka. Lexa tidak berhenti tidak juga bicara kepada Helen. Menit terasa lambat sekali berjalan namun Lexa masih terlihat santai sehingga akhirnya ia menepikan mobil pada sebuah tenda besar yang ada tempat duduk kayunya.
   “Aku mau minum kopi dan makan jagung bakar, jika kamu berminat silahkan ikut turun.” Kata Lexa dengan nada biasa namun Helen tidak menjawab tidak juga ikut turun. Ia hanya mengamati Lexa turun sampai mengambil tempat duduk. Pedagang di tenda itu bertanya kepada Lexa apa yang akan ia pesan.
   “Dua gelas kopi mix dan jagung bakarnya yang agak garing, empat.” Jawab Lexa kepada pria paruh baya pemilik tenda juga yang menangani langsung pelanggannya. Lexa tidak meminta Helen kedua kalinya untuk turun. Di ujung sebelah kiri tempat Lexa duduk ada dua pasang remaja yang sedang menikmati santap malam mereka dengan jagung bakar juga serta minuman yang bersoda. Mereka sempat melirik sekilas ke arah Lexa namun sedikitpun tak Lexa peduli.
   Helen menghampiri Lexa yang duduk sendiri di pojok kanan ruangan dan bersandar pada dinding tenda. Tempat itu seperti lesehan dan tepat sekali untuk orang beristirahat. Dari tempat itu mereka bisa melihat pemandangan malam yang seperti surganya untuk para penikmat malam, berbeda sekali dengan ruang disko atau suasana jalanan Jakarta dengan kerlap-kerlip lampu jalan serta terangnya lampu dari gedung bertingkat namun tempat itu seakan memiliki rahasia sendiri laksana perawan sedang menyimpan rahasia hatinya yang tidak ingin diceritakan kepada siapapun namun dunia tahu semua rahasianya. Helen duduk tepat di sebelah Lexa dan detik berikutnya dua gelas kopi datang kehadapan mereka.
   “Terima kasih, Pak.” Kata Lexa dan diiyakan pria baik itu dan terlihat sekali kalau pria itu ikhlas sekali melayani pelanggannya. Lexa meraih satu untuknya tanpa menawarkan kepada Helen karena tanpa di kasih tahu pun Helen sudah tahu kalau yang satunya adalah untuknya. Helen tidak mengeluarkan sepatahkatapun dari tadi dan Lexa memang sedang tidak ingin mendengar perempuan itu berceloteh seolah menikmati kopi lebih baik dari apa pun.
  Helen melirik ke arah samping mereka di mana terlihat ratusan cahaya lampu meski tak mampu menerangi daerah itu namun cukup indah untuk dinikmati. Lexa menyeruput sedikit kopinya untuk menghilangkan rasa dingin yang mulai menusuk kulit wajah, dan saat Helen ingin ikut menikmati juga kopinya empat jagung bakar telah hadir dihadapan mereka. Jagung hangat itu langsung menggugah selera siapa saja yang melihatnya. Kedua sahabat itu masih saja berdiam diri tanpa kata seakan diam juga perlu dinikmati dan ternyata indah. Namun gejolak hati tetap saja bergemuruh satu sama yang lain.
   “Kau masih tidak menyukaiku?” keheningan itu pecah juga oleh suara Helen. Lexa melirik Helen sekilas lalu menoleh kepada remaja yang asik sekali dengan dunia mereka sampai tidak peduli dengan lingkungannya. Ia kembali menatap Helen.
   “Rasakanlah apa yang kamu pikir dan nikmatilah apa yang bisa kamu nikmati.” Sahut Lexa lalu meraih satu buah jagung yang ada di dalam piring.
   “Kok jawabnya seperti itu?”
   “Memangnya apa yang harus aku jawab? Karena sebenarnya kamu tidak menginginkan jawaban apa pun dariku.”
   “Kamu tidak mau memahami aku, tidak pernah peduli dengan perasaanku.”
   “Perasaan siapa yang harus aku tahu? Perasaan Helen atau perasaan kamu yang sedang lupa ingatan?”
   “Aku benci kamu.”
   “Aku tahu.” Jawab Lexa setelah mengunyah jagungnya. Helen tidak menyentuh jagung kecuali berkali-kali meminum kopinya.
   “Kau tahu mengapa?”
   “Karena aku menyayangi Helen, bukan kamu. Tapi sudahlah aku tidak mau membahas itu lagi.”
   Helen jadi tertawa pendek mendengar penuturan Lexa yang ia anggap tidak beralasan. “Oke.. kita lupakan semua itu sekarang anggap saja aku ini orang yang baru ingin dekat denganmu dan itupun kalau kamu tidak keberatan.” Kata Helen dengan nada santai dan ia menoleh sekilas pada Lexa yang menikmati jagung bakarnya. “Boleh aku tahu tentang kamu? Dan tentang orang yang meminjamkan mobil dan rumah padamu itu.”
   Lexa meletakkan jagung ke dalam piring lalu menikmati lagi kopinya yang sudah mulai dingin. “Kamu boleh tahu apa saja tentang diriku.” Sahut Lexa setelah gelas kembali ia letakkan. Ia tidak peduli akan menjelaskan lagi tentang dirinya kepada Helen yang kini sedang lupa ingatan, sebab ia tahu orang amnesia kalau sudah pulih ia akan ingat kembali apa saja yang orang katakan.
   “Terima kasih.” Kata Helen disertai senyum manis dan ia mulai bisa menerima kehadiran Lexa di sininya mesti sebagai kembaran Helen.
   “Yang punya rumah dan mobil namanya si Boy, temanku saat-saat dia masih single dulu dan kini ia sudah menikah dan anaknya sudah besar. Keluarga besarnya ada di kota tempat tinggalku. Punya usaha juga di kota ini, aku kenal  baik juga dengan istrinya. Banyak orang tidak suka dengan pertemanan kami termasuk kakakku sendiri dengan alasan macam-macam. Padahal keluarganya sendiri saja tidak pernah mempermasalahkan. Boy sangat baik dan sangat menghargai semua orang, sebenarnya ia ingin menemuiku tapi aku mengatakan sedang ada urusan dengan temanku dan ia tidak pernah mempermasalahkannya.”
   “Temanmu? Maksudnya aku?” potong Helen.
   “Menurutmu?”
   “Oke, lupakan....! terus...?” tambah Helen lalu ia mengambil jagung seolah siap mendengar kisah Lexa sambil menikmati jagung bakar.
   Lexa menyeruput lagi kopinya dan malam mulai jauh merangkak rasa dinginnya udara puncak makin menusuk. Anak-anak remaja yang di sebelah mereka beringsut mau meninggalkan tempat itu namun Lexa tetap meneruskan ceritanya.
   “kamu tahu Helen,’kan?”
   “Yups.”
   “Aku belum pernah punya seorang sahabat seperti dia, dulu memang kami satu sekolah di SMA setelah itu kami berpisah, dia ke kota lain aku juga pergi ke kota lain. Setelah tigabelas tahun baru bertemu lagi dan anehnya setelah ngobrol beberapa jam dengannya, dan berpisah lagi setelah itu dia seakan tahu semua apa yang aku rasakan dan inginkan. Saat aku ceritakan masalah itu kepada salah satu temanku satu kota ia malah mengatakan ‘yah... barangkali dia sudah mempelajari dirimu sejak tigabelas tahun itu,’ katanya. Dan kupikir apakah itu benar? Helen memang berbeda dengan yang lain sampai akupun tidak bisa merahasiakan apapun darinya...dan sampai kejadian itu..” Lexa tidak meneruskan kata-katanya meski Helen menunggu dengan tidak sabar. Lexa menikmati kopi terakhirnya dengan agak lama seolah ingin menelan semua rasa pahit yang ia rasakan bersama Helen meski hanya ada satu halaman saja dalam lembaran persahabatannya yang berlembar-lembar tapi mengapa satu lembar itu rasanya merusak lembar-lembar yang lain.
   “Kejadian apa...?” Helen ingin tahu. Lexa menatap mata Helen yang juga sedang memandang wajah Lexa.
   “Helen telah sangat mengecewakan aku, dia sudah memvonisku tanpa bertanya dulu denganku. Dia mengatakan hal yang telah kakakku kasih tahu sama dia, semua orang tahu karakter kakakku tapi Helen tidak tahu siapa kakakku sebenarnya. Tega sekali Helen memasukkan aku ke dalam jurang tanpa bertanya dulu padaku.”
   “Kamu ini aneh, mana ada orang yang ingin memasukan seseorang ke dalam jurang pake bicara dulu apakah orang itu mau atau tidak? Ya nggaklah.”
   “Aku serius.” Sahut Lexa melihat Helen menganggapi ceritanya dengan berkata seperti itu.
   “Ya aku tahu.... tapi apa masalahnya? Bukankah sahabat yang baik itu tidak selalu meng’iya’kan perkataan sahabatnya? Karena sahabat yang baik akan mengatakan baik dan akan mengatakan jelek kalau jelek buat sahabatnya. Meski aku tidak punya sahabat aku tahu hal itu.”
   “Kamu itu tetap saja baru bagi aku dan.....”
   “Asing...?”
   “Apa?” kata asing dari mulut Helen menyentakkan hati Lexa.
   Helen tertawa. “Ya, karena kita baru bertemu dalam bulan ini, tentu saja kamu masih menganggap aku asing bagimu.” Kata Helen dengan entengnya namun tidak demikian dengan Lexa karena kata-kata itu seringkali diucapkan oleh Helen di dalam pesan singkatnya selama ini. Lexa tahu kalau Helen sedang ingat dia berarti dia sedang kangen dan begitulah kontak bathin mereka selama ini.
   Mereka akhirnya meninggalkan tenda itu dan meneruskan perjalanan menuju puncak pas, suasana di dalam mobil kembali menjadi hening karena Helen asik menikmati perjalanan itu seolah dia belum pernah keluar malam apalagi berada di dalam mobil malam-malam seperti saat ini dan ia masih tidak tahu ke mana Lexa akan membawa diri mereka.
   “Lex... apa kamu bahagia dengan hidup yang kamu jalani sekarang?” suara Helen tiba-tiba memecah keheningan.
   “Tentu saja.” Jawab Lexa dengan cepat tanpa melirik ke arah Helen yang sedang santai duduk di sebelahnya.
   “Kenapa kamu tidak membawa ponselmu? Apa nanti tidak ada yang mencarimu? Aku juga lupa membawa punyaku.”
   “Memangnya kamu mau mengangkat telepon dari orang-orang yang menghubungimu? Kupikir buat kamu orang-orang itu tidak ada pentingnya.”
   “Yah, bagiku mungkin tapi kan bagi Helen mereka pasti sangat penting kurasa.” Ujar Helen dengan nada masih santai. Lexa membawa mobil agak cepat karena mereka sudah dekat dengan tujuan. Mobil akhirnya berbelok ke arah jalanan besar dan datar, mereka sudah ada di puncak pass. Lexa menghentikan mobil di halaman luas itu. Di kiri dan kanan ada satu dua penjual souvenir namun Lexa tidak tertarik sama sekali untuk melihat-lihat ke sana. Ia mematikan mesin mobil lalu membuka kaca mobil separuh dan jok pun ia mundurkan sedikit lalu menurunkan ketinggiannya agar ia bisa bersandar lebih santai.
   “Apa kamu akan menghabiskan waktu di sini semalam suntuk?” tanya Helen merasa mulai tidak nyaman.
   “Mungkin.” Sahut Lexa ringan. “Kenapa? Kamu tidak suka?” sepertinya Lexa tidak peduli apakah perempuan itu suka atau tidak namun ia masih ingin berada di tempat itu tanpa keluar dari dalam mobil dan memandang dunia malam di puncak pass. “Helen..... satu hal yang ingin aku kasih tahu ke kamu, sejujurnya aku tidak pernah membenci kamu... karena pada prinsipnya aku tidak pernah bisa membenci orang yang terlanjur aku sayang terutama sahabatku. Kejadian yang pernah kita alami sebelum ini aku memang berusaha untuk melupakannya, menguburnya dalam-dalam meski sulit sekali karena mungkin luka ini sudah terlalu dalam sehingga sulit untuk mengobatinya. Seolah telah menjadi dua sisi mata uang dalam kisah persahabatan kita.”
   “Sepertinya pertengkaran kamu dengan Helen memang parah dan rumit ya? Kenapa bisa seperti itu? Apa menurut kamu si Helen masih menyayangi kamu?”
   Lexa memiringkan badannya sehingga ia menghadap ke wajah Helen. “Mengenai masalah itu aku tidak pernah meragukannya. Tadinya aku pikir kami saling mengenal satu sama lain tapi sekarang aku lebih mengenalinya lebih dari apa pun.”
   “Bisa aku bayangkan punya teman laksana dua sisi mata uang, tidak bisa menyatu juga tidak bisa dipisahkan.” Tutur Helen seolah sangat memahami yang dirasakan Lexa dengan sahabatnya itu.
   “Tapi sekali lagi aku katakan... aku tidak pernah bisa membenci Helen, meski apa pun yang telah ia lakukan. Kamu harus bisa membedakan kata benci dengan kecewa.”
   “Sesayang apa sih kamu sama dia?”
   “Hanya dia yang tahu sesayang apa aku sama dia.” Lexa menghela napas panjang lalu memperbaiki lagi posisi duduknya namun Helen masih menatapnya dengan serius entah tidak tahu mengapa ia merasa iri dengan perasahabatan mereka. Ia jadi berubah pikiran ingin mencari sahabat juga, tapi apakah ada persahabatan seindah itu? Itu yang Helen pikirkan sekarang karena dia tidak ingin dikecewakan orang apalagi disakiti oleh sahabat sendiri. Karena katanya orang-orang disakiti oleh sahabat sendiri itu rasanya lebih sakit dari apa pun. Andai itu terjadi sepertinya Helen tidak akan sanggup melewatinya.
   “Aku.. maksudku saat melihat ada pertemenan seperti kalian aku rasanya ingin sekali punya seorang teman. Tapi.....” Helen menggantungkan kata-katanya untuk beberapa saat membuat Lexa meliriknya. “Apakah ada orang yang ingin tulus berteman denganku?” pertanyaan mengandung harapan itu memaksa Lexa tetap menatap perempuan itu dan kini keduanya saling menatap seolah mencari jawaban dari pertanyaan semacam ungkapan hati itu. Tapi tidak tahu siapa yang mulai akhirnya keduanya berpelukan untuk beberapa saat. Itu pertama kalinya Lexa memeluk Helen setelah bertahun-tahun tidak memeluk perempuan itu meski selama ini dia ingin sekali melakukannya tapi kondisinya sangat berbeda. Lexa tidak ingin menangis meski ia sangat terharu, ada kebahagiaan yang merasuki hatinya namun tiba-tiba rasa bahagia itu langsung hilang saat menyadari kalau yang ia peluk bukan yang ia kenal. Ia melepaskan pelukannya saat Helen mulai erat memeluknya.
   “Emm... maaf kalau ternyata aku bukan sahabatmu, tapi apakah aku tidak mungkin bisa jadi sahabatmu?”
   “Sudahlah! Tidak usah bahas lagi masalah sahabat itu.” Lexa memutar lagu di dalam mobil taklama kemudian terdengar alunan lagu klasik. Suasana malam itu semakin tidak keruan Lexa ingin mendengar cerita Helen tapi bukan tentang perasaannya yang sedang amnesia tapi itu tidak mungkin rasanya. Lexa coba memejamkan matanya dan menyandarkan kepalanya di jok, hembusan angin malam puncak pass menyapu lembut kulit pipinya yeng lembut. Helen coba melakukan hal yang sama namun ia tidak tahu apa yang ia pikirkan. Helen tidak bisa menebak apa yang sedang dipikirkan oleh Lexa saat ini, tidak berapa lama Helen membuka matanya lalu membuka juga jendela mobil. Dilangit terlihat ribuan bintang yang seakan bisa diraih dari dalam mobil oleh Helen. Helen mulai resah dan merasakan sepi yang tidak terkira meski ada sosok manusia di sebelahnya. Perempuan itu masih memejamkan matanya meski intrumen klasik sudah berganti. Helen memutuskan untuk membuka pintu mobil dan keluar dari dalam mobil. Lexa menyadari hal itu namun ia tidak peduli sama sekali. Helen berjalan ke arah pagar yang dibuat sebagai keamanan agar pengunjung tidak jatuh ke dalam jurang. Kedua tangan Helen memegang pagar dan tubuhnya bersandar di pagar tersebut, matanya memandang jauh ke bawah di mana terlihat ratusan cahaya lampu dan bisa ia pastikan kalau keindahan itu telah mengalahkan cahaya bintang di atas sana. Lexa membuka matanya dan melihat Helen berdiri membelakangi mobil ia membiarkan perempuan itu melakukan apa saja yang ia sukai.
   ‘Ya Tuhan.... apa yang aku cari di dunia ini? Kebahagiaan? Kebahagiaan untuk siapa? Kekayaan? Untuk apa? Sungguh ini sulit dijalani dan perempuan di dalam mobil itu... siapa dia sebenarnya? Aku tidak mengerti apa yang dia mau dariku? Mana ada seorang sahabat yang bisa melakukan apa saja untuk temannya.’
   Tanpa disadari oleh Helen perempuan yang ia ragukan itu sudah berdiri di sisinya dan terdengar tarikan napas panjangnya.
   “Hidup ini seperti penyakit yang harus kita jalani sesakit apa pun itu. Apa yang sedang kamu pikirkan?” kata Lexa tanpa menoleh kepada Helen namun ikut mengamati pemandangan malam di bawah sana.
   “Seandainya aku terjun ke jurang sana apa yang akan kamu lakukan?” Helen melirik ke Lexa.
   “Berarti rasa sakit itu tidak perlu kita jalani lagi.”
   “Itu artinya kamu akan ikut terjun?” tanya Helen membuat Lexa menoleh ke arah Helen yang sedang serius menatapnya.
   “Aku menemani kamu pergi karena kamu berjanji untuk menemukan kembali sahabatku, tapi apa yang aku dapat?”
   “Kalau aku tidak menemukannya? Apa kamu akan pergi? Silahkan. Apa kamu pikir Helen dengan aku ada bedanya? Tubuh kami mungkin beda, pikiran kami juga barangkali berbeda, dan hati kami pun pasti berbeda tapi apa kamu tahu kalau semua itu tidak ada gunanya? Kamu dan yang lain sama egoisnya. Kalian hanya butuh Helen, menyayangi Helen dan peduli pada perempuan itu walau sejatinya kalian tidak tahu kalau sebenarnya Helen itu tidak pernah peduli kepada kalian semua, sudah aku katakan berkali-kali kalau Helen hanya peduli pada dirinya dan mencintai dirinya sendiri. Kalian masih saja mau melakukan hal yang tidak masuk akal untuknya, meninggalkan keluarga, bahkan menyediakan waktu untuknya meski ia tidak butuh itu.”
   “Kamu pikir seperti itu? Silahkan berpikir apa saja untuk Helen karena itu adalah hak kamu. Setiap manusia boleh menilai siapa pun yang ia lihat tapi sejatinya manusia tidak bisa menilai manusia lain sebelum dia benar-benar mengenali luar dalamnya.”
   “Berarti kita tidak boleh saling menilai karena kita berdua belum saling mengenal.” Kata Helen sambil meninju pelan bahu Lexa seakan menggodanya namun Lexa tidak merespon.
   “Oke, sekarang aku yang tanya sama kamu... seandainya aku yang terjun ke jurang sana apa yang akan kamu lakukan?” Lexa balik bertanya.
   “Yakin ingin tahu?” tantang Helen dengan pasti.
   “Kenapa tidak!?”
   “Oke, akan aku perlihatkan sama kamu.” Helen menarik tangan Lexa dan membawanya ke dalam mobil. Tapi Helen memilih duduk di belakang stir dan Lexa duduk di tempat Helen tadi. Helen menyalakan mesin mobil dan melirik ke Lexa sejenak.
   “Apa yang akan kamu lakukan?” tanya Lexa mulai curiga dan menduga yang tidak-tidak kalau Helen sampai membawa mobil jatuh ke dalam jurang.
   “Kamu selalu punya pikiran buruk terhadapku...” Helen membawa mobil mundur lalu memutar ke arah jalan besar dan detik berikutnya ia meluncur dengan kencang seolah ingin membelah malam. “Kamu tidak takut mati kan, Lex? Aku juga... jadi apa yang harus aku lakukan mungkin sama dengan yang akan kamu lakukan.”
   “Berbuatlah sesukamu Helen dengan satu syarat jangan sampai merugikan orang lain.” Kata Lexa dan ia sudah tidak mau lagi memikirkan hal yang tidak-tidak dan Helen hanya tersenyum simpul mendengar kata-kata Lexa. Ketika mobil berjalan sekitar lima menit dengan kecepatan tinggi Helen tiba-tiba berhenti di pinggir jalan, ia membuka pintu mobil dan keluar. Di pinggir jalan ia  berdiri dan berteriak kekuat tenaganya.
   “Malam.......! langit.....! dan Bumi...........! dengarkan kata-kataku... aku ini adalah Helen....... yang tidak memiliki siapapun di dunia ini.... maka kalian tidak bisa mengambil apa-apa dariku... maka kalau Tuhan ingin mengambil nyawaku ambillah Tuhan... aku tidak bisa membahagiakan orang-orang yang dekat denganku......” teriak Helen dengan kencang sehingga tanpa ia sadari ada dua orang pemuda telah berdiri di sebelahnya dengan wajah menggunakan tutup kepada sejenis sebo.
   “Hei.... orang gila! Kenapa berteriak...? serahkan barang-barang berharga milikmu.” Ancam salah satu pria di antara mereka namun tak membuat Helen gentar. Melihat kondisi itu membuat Lexa dengan cepat keluar dari dalam mobil.
   “Apa? Kalian mau barang berharga dariku? Kalian pikir aku punya? Ho ho... jadi kalian mau begal aku?” Helen malah berseloroh.
   “Jangan membantah, cepat....! serahkan! Kalau tidak......?!” yang satunya malah mengeluarkan sebilah belati dari belakang punggungnya bermaksud menusuk Helen namun Lexa malah memasang badannya.
   “Hei apa yang kamu lakukan?” kata temannya marah karena rekannya terlalu cepat bertindak dan menyadari perempuan itu sudah terluka kedua pria itu berlari meninggalkan mereka tanpa berpikir untuk mengambil apa-apa lagi.
   Lexa sempoyongan karena perutnya terluka dalam, Helen langsung meraih tubuh Lexa sebelum jatuh ke tanah dan tangannya langsung bersimbah darah segar dan itu milik Lexa. Ia menatap wajah Lexa yang diterangi lampu mobil. Wajah itu pucat namun tidak ada sedikitpun ada ketakutan di wajahnya, seolah gadis itu sudah rela pergi meninggalkan Helen saat itu juga.
   “Helen kamu pasti tahu kan? Apa itu artinya sahabat buat aku....?”
   “Tidak.... jangan katakan itu.....” Helen menggeleng-gelengkan kepalanya.....
*

  
  



 
KEBERSAMAAN
   Tidaaaak... tidaaakk.
   Suara teriakan itu membuyarkan lamunan ketujuh perempuan yang ada di ruangan dingin itu. Razthi, Esty, Gendys, Liliana, Apbriel, Elyana dan satu lagi perempuan paruh baya. Mereka mendekati seorang perempuan yang sudah tiga hari ini terbaring tidak sadarkan diri dan kini ia mengeluarkan suaranya dengan mata masih tertutup lalu perlahan membukanya dengan pasti.
   “Helen.......?” suara itu nyaris keluar bersamaan dari mulut ketujuh perempuan yang di dalam ruangan itu seolah bersyukur melihat kondisi perempuan yang mereka sebut ‘Helen’
   Perempuan yang bernama Helen sudah membuka matanya dengan sempurna dia mengamati satu persatu orang yang ada di ruangan itu dan ia kenal semua mereka, ruangan itu bisa ia pastikan ada di dalam rumah sakit. Helen merasa ada yang kurang dan....
   ‘Oh, tidak! Di mana Lexa? Dia... dia... apakah dia sudah.....’ Helen coba bangun dari tempat tidurnya ingin mencari Lexa. Dia tidak bisa membayangkan kalau gadis itu tidak bisa ia temui lagi dan benar-benar telah pergi untuk selamanya.
   Bersamaan dengan itu terdengar suara pintu toilet dibuka, Lexa muncul dari arah toilet dan ia melihat Helen sudah dalam posisi duduk di atas tempat tidurnya dengan kepala dibalut perban.
   “Helen...”
   “Lex..... kamu.....?” lama keduanya saling pandang walau Lexa sembari berjalan mendekati sahabatnya yang sudah dikelililingi oleh yang lain.
   “Hei...! akhirnya kamu sadar Helen.” Gendys.
   “Kita semua di sini mengkhawatirkanmu.” Liliana.
   “Kamu kok bisa pingsan sampai tiga hari Helen, ada apa?” Razthi.
   “Kamu tidak apa-apa?” Esty.
   “Syukurlah kamu sudah kembali bersama kami.” Elyana.
   “Helen...... apa yang terjadi denganmu selama tiga hari ini?” Apbriel.
   “Benar... tiga hari kita semua menunggu kamu kembali.” Kembali Gendys mengeluarkan suaranya sedangkan Lexa dari tadi masih terpaku melihat Helen seolah tidak percaya kalau perempuan itu sudah sadar padahal dalam tiga hari ini ia tidak ke mana-mana dan saat ia ada di kamar mandi perempuan itu malah siuman.
   Helen mengamati sahabatnya satu persatu dan mereka semua menciptakan senyum manis untuknya. Ia kangen dengan Razthi yang belakangan ini menangis untuknya di telepon dan mengisahkan semua kondisi keluarganya karena ia tidak kuat lagi lalu Helen mengatakan kalau semua itu butuh proses jangan mengikuti jejaknya meski tidak diharamkan namun sangat dibenci oleh Allah. Razthi akhirnya bisa mendengarkannya dan kini ia sudah bisa menjalankan usahanya dengan pikiran tenang.
   Elyana... perempuan cantik itu beberapa hari belakangan berlibur di Jakarta dan mereka menghabiskan empat hari bersama untuk mengunjungi tempat wisata meski bersama keluarganya namun Elyana merasa bahagia begitupun dengan Helen meski belum begitu puas mengajak Elyana mengunjungi semua tempat... namun dalam empat hari itu cukup menambah pengetahuan mereka satu sama yang lain.
   Gendys... perempuan bawel itu kini sudah bekerja lagi di tempat baru, Helen senang karena dia punya kesibukan sehingga tak lagi mengeluhkan kondisinya yang selalu saja kekurangan karena ingin tampil perfect, masalah gaji adalah nomor dua yang penting dia sudah punya kesibukan yang tidak membuatnya jenuh di rumah apalagi anak-anaknya sudah cukup besar.
   Liliana, perempuan kalem yang kini sudah jadi chef yang cukup diandalkan di tempat kerjanya meski tidak pernah lepas dari masalah kehidupan namun Helen yakin kalau sahabatnya yang satu itu punya trik tersendiri untuk menanganinya meski terkadang ia tetap meminta solusi kepada Helen, maklumlah karena dia masih sangat muda.
   Esty.... perempuan yang satu itu masih betah menjadi single walau kadang ia memimpikan menjadi perempuan yang bisa dicintai pria baik-baik, Esty tidak pernah menuntut apalagi dengan kesederhanaannya juga sifat kasihnya tanpa pandang bulu membuatnya menjadi perempuan bijak namun yang namanya pasangan tidak ada yang sempurna karena sejatinya manusia adalah mahluk yang tidak pernah lepas dari kekurangan dan kesalahan.
   Apbriel, perempuan itu lebih cantik dan jauh sekali lebih bijak saat ia masih single dulu. Senyumnya selalu membuat Helen kangen, suaranya di telepon terdengar indah seperti seorang guru padahal waktu remaja penampilannya tomboy meski kini usahanya ada di jalur feminin sekali. Dia selalu menyempatkan diri menemui Helen setiap kali Helen pulang kampung meski jarak yang harus di tempuh cukup jauh. Ia pernah berucap terima kasih karena Helen mencarinya meskipun hanya lewat Facebook padahal dia sendiri sudah menganggap Helen adalah bagian orang yang pernah ia kenal saja, tidak lebih. Tapi bagi Helen pribadi... ia tidak akan pernah melepaskan orang yang ia anggap penting apalagi orang itu amat ia sayangi. Apbriel selalu saja memberikan sesuatu setiap kali mereka bertemu, Helen merasa tidak pernah bisa membalas kebaikannya... tapi Tuhan tahu kalau dia sangat menyayangi Apbriel.
   Bibi.... perempuan paruh baya yang menemani Helen dalam tiga tahun belakangan ini. Sudah Helen anggap seperti kakak sendiri karena kasih sayangnya tanpa pamrih meski ia digaji oleh Helen namun dia adalah salah satu perempuan yang menjadi asisten rumah tangga yang hebat, trampil dan punya skill yang tidak diragukan lagi. Helen mendapatkannya dari seorang kenalan yang ada di Facebook yang juga punya profesi sebagai penulis, dia adalah Vanny Chrisma W.
   Kini Lexa sudah ada di sini kanan Helen dan perempuan itu dari tadi tidak mengeluarkan kata-kata lagi selain satu kata tadi yaitu menyebut nama Helen. Helen mengamatinya sejenak lalu ia memegang kakinya ternyata kakinya tidak apa-apa saat ia menggerakkannya tidak ada rasa sakit sedikitpun.
   “Kakiku tidak keseleo parah.... dan...” ia menoleh kepada Lexa. “Kamu.... kamu tidak apa-apa Lex....?”
   “Sebaiknya kita panggil dokter untuk memberitahukan kalau Helen sudah sadar.” Kata Gendys.
   “Jangan...” kata Lexa sambil mengisyaratkan dengan tangannya agar tidak ada yang boleh memanggil dokter. “Seharusnya kami yang bertanya.... ke mana saja kamu dalam tiga hari ini? Lihatlah..... kami semua di sini mengkhawatirkanmu. Tapi sekarang... alhamdulillah kamu sudah kembali.”
   “Tiga hari....?” guman Helen sembari menurunkan kepalanya untuk bersandar di bantal karena masih terasa pusing. “Kalian mengatakan aku pergi selama tiga hari....? aku pikir aku pergi sudah berhari-hari bahkan bulan, tapi yang pergi bukan diriku..... dia orang lain... orang yang tidak kalian kenal bahkan aku sendiri tidak mengenalinya.” Suara Helen terdengar seperti orang yang sedang menceritakan dongeng kepada anak kecil membuat semua yang ada di tempat itu saling pandang satu sama lain. Lexa memegang kening Helen tapi tidak panas dan Helen tidak sedang demam apalagi mengigau. “Tapi aku senang karena kamu tidak apa-apa Lex... tadinya aku pikir akan kehilangan kamu dan untungnya aku segera kembali meski perempuan itu tidak berhasil membawaku pulang, tapi kupikir ia sudah berusaha melakukan yang terbaik. Aku harus mengucapkan terima kasih kepadanya.”
   “Sudah.... jangan bicara lagi.” Kata Apbriel yang tidak ingin sahabatnya berhalusinasi karena benturan di kepalanya.
   “Oh, ya.... bagaimana bisa kamu menulis pesan di secarik kertas itu?” tanya Liliana karena masih bingung.
   “Secarik kertas....? aku tidak pernah menulisnya.” Sahut Helen membuat semua menoleh kepada Bibi dan perempuan itu sudah menghilangkan kertas tersebut.
   “Kertasnya hilang dan tidak tahu jatuh di mana..” sahutnya menyesali.
*
   Perempuan-perempuan itu sudah ada di rumah Helen, rumah sederhana dengan dua kamar tapi kamar yang satu cukup besar karena disulap menjadi ruang kerja juga. Helen mencari ponselnya karena merasa sudah lama tidak memegang benda itu.
   Ruang tamu dihiasi dengan banyak foto anak Helen, keluarganya dan di satu dinding  dihiasi dengan foto-foto ketujuh sahabatnya dalam ukuran besar, ada yang sendiri ada juga yang bersama Helen. Di ujung ruang tamu ada rak buku yang tersusun dengan rapih termasuk beberapa novel Helen yang sudah dirilis.
   Helen benar-benar bersyukur karena kakinya ternyata tidak pincang, dan ia kembali bisa bersama Lexa karena selama ini hubungan mereka kurang baik. Sebelum Helen masuk ke kamarnya Lexa memeluknya dan berbisik.”
   “Terima kasih karena sudah kembali.” Ujarnya namun Helen melirik sosok perempuan yang berdiri di pinggir meja kecil yang ada di sebelah pintu masuk kamarnya dan perempuan itu sedang tersenyum kepada Helen.
   “Seharusnya kamu berterima kasih sama dia... tapi aku.... maafkan sikapku selama ini dan aku tidak ada maksud untuk mengecewakanmu....” guman Helen dengan suara bergetar.
   “Sudahlah tidak usah bahas yang sudah lewat....” balas Lexa dan ia menoleh pada arah mata Helen yang memandang ke arah meja kecil yang telah membuat kepalanya terbentur hebat. Helen bisa melihat dengan jelas kalau masih ada sosok perempuan yang mirip sekali dengannya di sana berdiri dengan santainya namun yang lain tidak melihat sosok itu. Karena perempuan itu adalah adik Helen yang telah meninggal saat usianya empatpuluh hari dan mereka memang kembar, tidak satupun diantara mereka yang tahu karena keluarga dan orang tua Helen tidak pernah menceritakan hal itu kepada teman-teman Helen sebab ia meninggal saat mereka masih sangat kecil namun Helen yakin kalau perempuan itulah yang menulis nomor-nomor itu... Helen jatuh juga waktu subuh itu disebabkan kaget karena adiknya memang sering iseng mengagetkannya.
   ‘Awas kalau kamu melakukannya lagi!’ ancam Helen dengan suara lirih dan perempuan itu mengangguk pelan namun pasti sembari mengangkat tangannya dengan memperlihatkan jari telunjuk dan jari tengahnya.
   “Hei..... sekali lagi kita ingin tahu... sebelum jatuh kamu kok sempat-sempatnya menulis nomor-nomor kita di secarik kertas sih?” Elyana kali ini yang bertanya dan diiyakan oleh Apbriel yang juga ingin tahu termasuk yang lain.
   “Bukan aku yang membuatnya.” Sahut Helen dan terdengar ia ingin mengalihkan omongan. “Sudahlah tidak usah membahas itu.... sekarang kita sudah berkumpul di sini di tempat ini, kehadiran kalian merupakan anugrah buatku. Kalian semua memang is the best..... kita akan makan bersama karena aku sudah meminta Bibi memasak menu special untuk kita... dan Liliana....?” Helen melirik ke Liliana.

   “Ya aku tahu.... kamu suka ikan mas pecak,’kan? Tenang..... akan aku buatkan.” Sahut Liliana sembari mengacungkan jempolnya.

++++++

Bersambung......>>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar