HELEN & HELEN
Helen sudah terlihat
sembuh meski belum bisa dibilang sempurna, hari itu ia mulai ikut sibuk dengan
urusan rumahnya dan bersikap enjoy dengan
kehadiran Elyana dan Lexa namun kedua perempuan itu sendiri tetaplah merasakan
adanya perbedaan yang tidak bisa dibilang nikmat.
“Aku tidak peduli siapa nama kembaranku yang
jelas namaku adalah Helen dan kalian
boleh saja memanggil dengan sebutan siapapun.” Ujar Helen dengan nada tanpa
beban dan santai. “Apa Bibi juga tahu kalau aku punya saudari kembar?” ia
menoleh kepada pengurus rumahnya diikuti mata Lexa dan Elyana.
“Ya Bi...... kata Helen dia punya saudari
kembar dan yang menghilang itulah teman kami, sekarang kita tidak tahu di mana
sekarang dia berada.” Jelas Elyana ikut santai sedangkan Lexa merasa ada
kekonyolan yang malas dia ikuti.
“Kembar....??” perempuan itu malah bingung
bahkan lebih bingung saat dokter mengatakan Helen mengalami lupa ingatan. “Masa
sih? Selama ini kalian tidak pernah cerita bahkan Helen sendiri tidak pernah
membicarakannya kalau punya saudari kembar, di mana dia tinggal selama ini?”
“Hanya Helen yang tahu, Bibi sendiri yang
selama ini hidup bersama Helen selama duapuluh empat jam saja tidak
mengetahuinya apalagi kita.” Lanjut Elyana lagi.
“Jadi...” dia melirik ke arah Helen seolah
menunjuk perempuan itu. “Dia ini adiknya Helen atau kakaknya?” dia mulai
terlihat serius. “Pantas saja...” Bibi mulai menyadarinya namun ia bukannya
senang malahan merasa khawatir bahkan mengira ada hal lain yang terjadi yang
tidak ia inginkan. Kegemaran minum teh itu dan keanehan lainnya bukan
disebabkan oleh amnesia tapi karena memang orangnya yang berbeda. Ia menoleh
kepada Elyana juga Lexa yang dari tadi duduk di ruang tengah seolah minta
pembenaran dari mereka apakah benar apa yang telah mereka katakan itu namun ia
tidak menemukan jawaban pasti apalagi dari Lexa yang tidak memperlihatkan
ekpresi sama sekali. Elyana masih menanggapinya dengan santai dengan
mengatakan.
“Sekali lagi mengenai hal pribadi seperti
itu hanya Helen yang tahu tapi Bibi jangn khawatir karena Helen dengan kembarannya
ini sama-sama baik... kita hanya bisa berdoa semoga Helen yang satu itu dalam
keadaan baik-baik saja di manapun ia berada.”
“Memangnya tidak ada yang tahu di mana dia sekarang?”
“Mungkin karena ada sesuatu hal yang terjadi
dengan Helen yang itu sehingga dia pergi atau
memang Helen yang ini menginginkannya pergi untuk sementara waktu atau
ada hal lain yang belum kita ketahui.”
“Hentikan Elyana.” Tukas Lexa sudah tidak
sabar lagi dengan semua ocehan yang tidak ia inginkan itu namun Helen yang mendengar
perkataan Elyana jadi tersenyum seolah mengiyakan semua yang diutarakannya.
“Bibi jangan khawatir karena aku tidak akan
berbuat macam-macam dan percayakan saja kalau Helen kalian itu tidak akan
apa-apa tapi dia sedang bersenang-senang.” Kata Helen dengan nada lebih konyol.
“Dan kalian berdua juga tentunya tidak masalah,’kan karena aku yang ada di sini?
Kerinduaan kalian akan terobati dengan adanya aku di sini.”
Lexa melirik Elyana .”Aku akan memesan tiket
pulang, ikut pulang?”
Elyana menggeleng. “Belum waktunya anak-anak
masuk sekolah.” Ia beralasan tapi sejujurnya ia masih ingin mengikuti permainan
yang dibuatkan oleh Helen. Helen coba menyimak apa yang dibicarakan kedua
sahabat itu dan sepertinya tidak begitu menarik perhatiaanya lalu ia ke kamar
dan membuka laptopnya.
Ia memeriksa semua file termasuk naskah-naskah novel yang ia tulis selama ini dan
tidak ada satupun yang hilang. Elyana dan Lexa masih duduk di tempatnya dengan
pikiran yang berbeda.
“Aku sudah tidak tahan di sini.” Kata Lexa.
“Jadi.... kamu menyerah? Menghadapi orang
amnesia harus kuat dan sabar, masa begitu saja mau pulang bukannya kamu bilang
akan di sini sampai Helen sembuh?”
“Aku tidak suka kepura-puraannya itu.”
“Aku juga tahu kalau dia sedang menguji kita
kenapa tidak kita hadapi saja, dia itu memang sedang amnesia namun dia coba
mengalihkannya dengan mengatakan kalau dia memiliki saudari kembar... seluruh
dunia juga tidak akan percaya dengan pengakuannya itu. Mana ada orang kembar
identik seratus persen sama. Kita mengenali Helen sudah lama dan tidak akan
tertipu dengan sabotase-nya. Kita ikuti saja permainananya dan percayalah ini
tidak akan lama.”
“Kamu saja yang mengikutinya karena aku
tidak suka.” Lexa bermaksud beranjak dari kursinya dan saat itu Helen datang
membawa laptopnya dan memperlihatkan tulisan-tulisan di dalamnya.
“Coba kalian lihat....” ujarnya sembari
senyum-senyum tipis. “Ternyata teman kalian itu romantis juga ya...
tulisan-tulisannya ini, cengeng dan agak berlebihan dalam hubungan dengan
sahabat-sahabatnya.”
“Emm.... jadi kamu ingat kata sandi laptop
itu? Maksudku kamu juga tahu kata sandinya?”
“Hei... kamu ini gimana sih.. meski kami itu
berjauhan tapi dekat di hati, tidak semua hal Helen rahasiakan padaku... satu
hal yang tidak aku paham darinya mengapa ia merahasiakan nama-nama sahabatnya
dariku? Aku baru tahu kalau dia punya sahabat-sahabat hebat seperti kalian,
mungkin dia takut aku iri karena aku tidak punya satupun teman di dunia ini.”
Perempuan itu tidak lagi mengamati laptop sedangkan Lexa tidak jadi beranjak
melihat sikap Helen yang mulai bicara serius dan sekarang perempuan itu
benar-benar telah menjadi Helen yang lain. “Buat aku tidak ada sahabat sejati
di dunia ini, semuanya pasti ada pamrih... saling membicarakan satu sama lain,
saling adu mulut, saling mencari kekurangan dan kalau bosan dengan yang satu
cari sahabat yang lain lagi. Apa dengan begitu kalian pikir ada sahabat sejati?
Kalian juga pasti tahu sahabat itu adalah musuh terbesar kalian di dunia ini..,
sahabat itu adalah satu kalau sahabat kalian lebih dari satu maka yang ketiga
adalah bukan rahasia lagi, yang ketiga adalah sumber kekurangan... tempat
saling mencela, saling mengadu dan tempat semua hal yang terjadi antara kalian
dan sahabat kalian itu... jadi.... kalian pikir sahabat itu masih penting dalam
pergaulan dan menjalani hidup ini? Sahabatku hanya Tuhan, Dia-lah yang paling
bisa di percaya, bisa pegang rahasia dan aku tidak akan bisa merahasiakan
apapun darinya tapi aku yakin Dia tidak akan memberitahukannya kepada siapapun
dan aku aman serta berterima kasih pada-Nya.”
“Jika tidak punya teman satupun di dunia ini
kamu tidak pantas berbicara apapun tentang sahabat karena kamu tidak tahu sama
sekali apa itu arti sahabat.”
“Jadi kamu pikir seperti itu Lexa? Aku rasa
tidak demikian, banyak orang di dunia ini bisa menulis tentang kisah rumah
tangga padahal ia sendiri belum berkeluarga, bicara tentang kekasih padahal ia
tidak punya kekasih, bicara menasehati hubungan suami istri padahal belum
menikah dan sebagainya dan sebagainya... jadi kenapa aku tidak bisa bicara
tentang hubungan persahabatan? Aku banyak baca dan melihat di sekelilingku
tentang semua itu.”
Elyana diam namun hatinya tersenyum seolah
membenarkan kalau ucapan perempuan itu ada benarnya.
“Kamu.. Lexa belum menikah,’kan? Sama
seperti aku dan kalian lihat apa yang terjadi dengan Helen? Dia bercerai dengan
suaminya... jadi untuk apa menikah kalau akhirnya bercerai.”
“Itu sama saja kamu mengatakan untuk apa
hidup kalau akhirnya mati.” Geram suara Lexa mendengar ocehan perempuan yang
ada di hadapan mereka.
Elyana menghela napas dengan berat karena
terpikir dengan kehidupan rumah tangganya sendiri yang telah ia uraikan
semuanya kepada Helen dan kini perempuan itu tidak mengenalinya.
“Mmm.... Elyana... kamu sudah menikah ya dan
punya tiga orang anak, “Heiapakah kamu bahagia?”
“Jaga ucapan kamu.” Kata Lexa sebelum Elyana
menjawab pertanyaan Helen.
“Hei.... itu pertanyaan biasa kawan... apa
kamu tahu kalau di dunia ini separuh pasangan bercerai dan separuhnya lagi 25%
bahagia dan selebihnya masih berpikir...? tapi kalau aku pribadi sih tidak mau
terlalu ambil pusing mengenai semua itu karena hidup ini adalah pilihan setiap
orang yang menjalaninya.
“Apakah untuk menggantikan posisi Helen juga
termasuk pilihan kamu?” Elyana menimpali.
“Itu pilihan Helen dan aku hanya mengikuti
saja... yaaah bisa di sebut jadi pilihanku juga untuk mengikutinya.” Kini ia
terkekeh. “Hei... kenapa kita tidak jalan-jalan? Siapa tahu kita akan lebih
akrab.”
“Ide bagus.” Sahut Elyana.
“Tidak.” Lexa memberi ketegasannya.
“Lex....” Elyana minta pengertian gadis itu
untuk mengikuti apa saja yang diinginkan oleh Helen dengan memasang mimik wajah
memohon sekali.
*
Ketiga perempuan itu sudah ada di sebuah
kafe menikmati makan siang dengan menu berbeda-beda. Lexa makan pizza keju
dengan lada hitam, Helen roti bakar rasa keju dan Elyana meski agak bingung
akhirnya menikmat kentang goreng dan es krim pilihannya.
“Rasanya sudah lama sekali tidak menikmati
makanan seperti ini.” Kata Helen dan Lexa tahu kalau perempuan itu menyukai
makanan yang berbau keju selain penikmat kopi meski kini ia memesan soft drink. “Habis dari sini kita
belanja ya? Soalnya kalau belanja dengan perut kosong jadinya tidak fokus.”
Helen tahu pasti banyak perempuan di dunia ini yang suka kalap kalau belanja
apalagi yang gila belanja.
“Memangnya kalau belanja harus fokus juga?”
goda Elyana namun Lexa hanya diam saja seolah mengingat masa-masa mereka sering
jalan berdua ke Tajur tempat produksi tas terbesar di Indonesia, ke Blok M, ke
Mangga Dua untuk jalan-jalan sambil membeli hal-hal yang dibutuhkan.
Waktu ke Kalimantan ia membelikan oleh-oleh
untuk Helen dua macam gelang dengan dua item,
satu item gelang agak besar dan item yang lainnya gelang kecil yang
terbuat dari kulit kura-kura sebanyak tiga buah.. sebenarnya Lexa membelinya
satu lusin namun ia memberikannya kepada Helen tiga dan untuknya sendiri tiga
padahal waktu itu keponakannya minta dengan merengek-rengek tapi tidak ia
berikan meski ponakannya seusia dengannya.
Waktu anak Helen juga minta ia mengatakan
kepada pria baru gede itu dengan
berbagai kisah yang ia karang. ‘Jangan, gelang ini dipakai tidak boleh
dibagi-bagi sebab kata yang membuatnya akan berakibat tidak baik, jadi bundamu
harus memakai tiga Tante juga harus memakai tiga.. sebab waktu membelinya Tante
bilang untuk dua orang saja, makanya hanya boleh membeli enam tidak boleh lebih
juga tidak boleh kurang.’ Saat itu pria itu hanya mengatakan ‘masa begitu sih,
‘Tan?’ ia tidak percaya meski masih ragu-ragu dengan kebenaran cerita Lexa
tersebut namun Lexa senang karena sepertinya pria kecil itu percaya dengan
kisahnya. Namun kini Lexa tidak lagi melihat gelang itu melingkar di tangan
Helen tapi ia melihat ada di tangan Razthi tapi cuma satu, ke mana dua lagi?
Lexa melirik tangan Helen yang ada di atas meja.
Helen mengikuti arah mata Lexa sehingga
menimbulkan pertanyaan. “Ada apa?” kali ini suara Helen terdengar lembut
memaksa Lexa berhenti menikmati makanannya.
“Mm... apa kepala dan kakimu sudah tidak
sakit lagi?” sahut Lexa.
“Aneh, matamu melirik tanganku tapi kamu
malah bertanya tentang kaki dan kepala.” Guman Helen lalu menyeruput minuman
dinginnya. “Mengenai itu kamu bisa melihat aku baik-baik saja karena kita sudah
ada di luar rumah.”
“Hei.... tidak usah terlalu serius, cepatlah
makan kalau mau belanja.” Ujar Elyana yang dari tahun kemarin ingin belanja
ditemani oleh Helen.
“Kamu benar Elyana, kita harus segera
menghabiskan makanan kita.”
“Mm.. Helen tidak suka belanja tapi dia suka
menghabiskan waktunya berjam-jam di toko gramedia atau di gedung bioskop.” Kata
Lexa dengan nada datar.
“Masa sih? Mana ada seorang perempuan tidak
suka belanja?” Helen tertawa dan Lexa menambahkan lagi.
“Ya, karena Helen itu adalah perempuan yang
berbeda.” ‘beda jauh dari kamu..’ tambah Lexa dalam hati. Lexa tidak
menghabiskan makanannya karena ia sudah tidak bernafsu untuk menikmatinya. Saat
Lexa bermakud beranjak dari kursi telepon dari Apbriel masuk.
“Sebentar ya, ada telepon masuk dari
Apbriel.” Katanya lalu mengangkat teleponnya. “Ya haloo... Apbriel ada apa?”
“Ya, bagaimana keadaan Helen,’Lex? Apa
teleponnya belum ketemu juga?”
“Mhmm.. sepertinya belum dan juga ia
kayaknya tidak tertarik dengan ponsel.. tapi kalau kondisi sih sudah bisa
dibilang baik dan sangat baik.. mm... satu hal yang harus kamu ketahui dan juga
untuk yang lain-lainnya... Helen yang saat ini ada bersamaku dan juga Elyana
adalah Helen yang berbeda dengan kata lain adalah saudara kembarnya Helen
sahabat kita itu, itu adalah pengakuannya.”
“Maksud kamu?”
“Yah seperti itu, kembar dan yang asli entah
ke mana... itu sih kata Helen yang ini.” Suara Lexa saat mengatakan kalimat
terakhir terdengar meminta Apbreil jangan percaya namun dia harus mengatakan
hal itu kepada Apbriel.
“Oh, seperti itukah?” kata tanya itu seolah
sangat memahami maksud dari ucapan Lexa yang maklum sekali karena sahabat
mereka sedang mengalami amnesia. Jadi mereka seakan memahami kalau Helen sedang
berhalusinasi.
“Em.. mau bicara dengan Helen?” tawar Lexa
sembari menoleh ke arah Helen namun saat itu Helen mengisyaratkan tidak sedang
ingin bicara dengan yang di seberang sana.
“Mm... tidak usah deh, nanti saja kalau
Helen sudah menemukan ponselnya aku akan menghubunginya langsung.”
“Oke...”
“Terima kasih ya Lex, salam sama Helen juga
Elyana.” Pembicarakanpun selesai.
“Aku akan meneleponnya kalau sudah punya
ponsel sendiri nanti.” Kata Helen.
“Apbriel juga mengatakan hal yang sama.”
Lexa mengantongi ponselnya. “Semoga ponselmu segera ditemukan.” Tambahnya
dengan nada pasti.
“Ditemukan? He... aku kan belum beli ponsel,
karena selama ini kupikir ponsel itu tidak ada gunanya di dalam hidupku karena
hanya membuang-buang waktu saja.”
“Kalau begitu kenapa tidak sekarang saja
kita membeli ponsel untukmu, karena mulai saat ini ponsel adalah benda wajib
yang harus kamu bawa ke mana-mana.” Ujar Elyana dengan semangat.
“Oke, mungkin Elyana ada benarnya juga.”
Sahut Helen dengan tak kalah semangat.
Beberapa menit berikutnya mereka sudah ada
di konter celluler yang menjual
ponsel canggih tapi Lexa mengingatkan agar tidak membeli yang terlalu mahal
karena jika ingatan Helen sudah kembali ia akan menemukan ponsel lamanya yang
sudah canggih itu. Namun sepertinya Helen tidak mau mendengar apa yang
dikatakan oleh Lexa karena ia memilih Smartphone
yang terbilang cukup mahal. Dan ia mengambil uang di ATM yang ada di lokasi
toko.
Lexa merasa seakan mengantar seorang anak
kecil yang masuk Mall dan membeli apa
saja yang ia inginkan sehingga membuat ia tambah tidak menyukai sosok Helen
meski perempuan itu sudah memasukkan semua nama dan kontak keeman perempuan
yang dikasih oleh Elyana termasuk nomor ponsel Bibi yang ada di rumahnya. Meski
Helen dengan Elyana masih ingin jalan-jalan Lexa memutuskan untuk kembali ke
rumah tapi Helen tetap akan ada di Mall
untuk waktu yang tidak di tentukan.
“Ayolah Lex hidup ini janganlah terlalu
serius nikmati saja...”
“Oke... sekarang aku mau tanya sama kamu,
sebenarnya kamu bekerja di mana?”
“Maksud kamu?”
“Yaaah seperti pengakuan kamu yang
mengatakan seorang single, tidak
punya teman dan tidak butuh siapapun jadi maksudku kita butuh pekerjaan untuk
mendapatkan uang sebagai kebutuhan kita sehari-hari. Kamu punya uang banyak di
Bank sementara aku tidak tahu apa pekerjaan kamu. Apa kamu seorang pengedar
narkoba?”
“Lex.... hentikan! Ini di tempat umum.” Ujar
Elyana melihat sikap Lexa yang belum juga bisa menerima penyamaran Helen
sebagai saudari kembar dari sahabat mereka.
“Aku muak! Sekarang silahkan saja kalian mau
pergi kemanapun aku tidak peduli.” Lexa membalikkan badannya untuk pergi namun
langsung tangannya di tahan oleh Helen.
“Lexa, mengapa kamu begitu tidak menyukai
aku? Apa salahku? Kita ini baru kenal dan kurasa tidak seharusnya kamu tahu
semua tentangku.. kamu lihat Elyana, dia tidak pernah memintaku untuk melakukan
ini dan itu... dia menerima aku apa adanya... apakah berteman denganmu harus
mengikuti semua yang kamu inginkan? Sahabat seperti apa itu? Jika semua orang
seperti kamu maka aku rela tidak akan punya teman di dunia ini seumur hidupku.”
Lexa menarik tangannya dengan kasar. “Jangan
pernah sebut tentang persahabatan lagi karena mulutmu tidak pantas
mengatakannnya.
“Kamu kasar.” Kata Helen dan matanya mulai
berkaca-kaca membuat Lexa kaget karena Helen paling tidak bisa menangis dan
kali ini perempuan itu sebentar lagi akan mengeluarkan air matanya bagaimana
mungkin Lexa tega melihatnya sehingga ia menarik napas dalam-dalam.
Elyana mendekati Lexa dan bicara pelan.
“Sudah aku bilang, ikuti saja apa maunya karena dia sedang amnesia.”
“Heh! Kamu sendiri yang mengakui kalau dia
adalah kembarannya Helen, anak manja, egois, sok tahu, cengeng dan menyebalkan!
Helen yang aku kenal bukan seperti itu.”
“Oke, sekarang apa? Pulang dengan melihat
kesedihan di wajahnya atau tetap jalan dan kamu akan melihat kebahagiannya..??”
kata Elyana tidak bisa melihat kesedihan di wajah perempuan yang sudah menjadi
sahabat karibnya dalam beberapa tahun belakangan ini. Lexa melirik ke wajah
Helen yang masih menunggu keputusannnya dan sangat berharap Lexa masih tetap
bersamanya tapi Lexa berpegang dengan keputusannya akan tetap pulang.
“Tidak. Aku akan tetap pulang.” Lexa tidak
peduli anggapan Helen palsu itu akan mengatakan dia kasar atau apa yang jelas
ia tidak bisa melakukan hal yang tidak ia sukai dan berpura-pura menikmati
jalan-jalan itu. Elyana tidak ingin jalan-jalan hanya berdua dengan Helen
kecuali kondisi Helen tidak seperti itu maka akan beda lagi ceritanya.
*
Elyana sudah memasukan semua nomor teman
Helen ke dalam ponsel baru itu dan kini ia mengirim pesan dan mem-forward-nya ke mereka dengan mengatakan
itu nomor baru Helen. Gendys langsung menelepon.
“Halo...?” Helen yang mengangkatnya
langsung. “Gendys ya?”
“Ya ini gw... sudah sehat lo? Sorry gw belum sempat ke rumah lo... ini
anak gw yang bontot rese’ banget
maunya diantar dan di jemput sama gw
aja. Ntar mungkin sore gw ke rumah lo... baik-baik ya,” kata Gendys dan
ia tahu kalau Helen belum pulih ingatannya dari Bibi yang ia telepon nyaris
setiap hari. Gendys bukannya tidak percaya dengan kedua perempuan yang ada
bersama Helen sekarang namun ia tidak ingin merepotkan mereka dengan
pertanyaannya dan ia merasa lebih dekat dengan Bibi.
Bukan Gendys saja yang menelepon tapi semua
temannya menghubungi namun Helen menanggapinya dengan dingin-dingin saja apalagi
ia sedang kesal dengan Lexa yang tidak mau menemaninya jalan-jalan.
Ia mengamati Lexa yang baru saja selesai
membersihkan mukanya lalu berkomentar yang masih ada hubungannya dengan urusan
mereka siang tadi.
“Kamu itu jadi perempuan kaku sekali, apa
kamu anggap dirimu disiplin? Peduli dan sayang sama teman? Kamu bilang semua
temanku sayang sama aku apalagi kamu... lalu apa buktinya? Menemani jalan saja
malas.” Omel Helen seperti anak kecil meski kadang ia sok tua. Lexa menoleh ke
arah Helen melihat perempuan itu masih kesal ia menyandarkan tubuhnya pada meja
lalu melipat kedua tangannya di dada dan menatap kuat kepada Helen.
“Sudah aku bilang... bahwa kamu tidak tahu
apa-apa tentang aku jadi tidak perlu berkomentar apapun, oke!?”
“Oke, aku tahu temanmu bukan aku tapi Helen
yang satunya tapi aku tidak suka sikapmu... mengerti?!” Helen menantang Lexa
dengan terang-terangan. “Kamu boleh mengakui sudah berteman dengan semua
kalangan, berpengetahuan luas, punya usaha sendiri, mapan dan mungkin
berpengaruh tapi akuu.... tidak akan berpengaruh sama kamu. Kasihan Helen yang
sudah jadi temanmu itu.” Terakhir nadanya sinis membuat Helen naik pitam
dibuatnya.
Ia mendekati Helen yang sedang duduk di
sofanya dan berdiri tepat di hadapan perempuan itu. “Helen.....! kamu
boleh-boleh saja membenciku dengan kekecawaanmu tapi kamu tidak tahu apa
masalahnya, selama ini kamu hanya memikirkan perasaan kamu dan kamu tidak akan
pernah bisa merasakan apa yang aku rasa dan bagaimana terpukulnya aku atas
kejadian itu di hadapan kakak-kakakku, sejak kata-kata yang keluar dari mulutmu
itu membuat hubunganku dengan keluargaku jadi tidak nyaman, apa kamu tahu itu?
Selama ini kamu hanya memikirkan perasaanmu yang suka berlebihan tapi kamu
pernah tidak berpikir sekali saja tentang hidupku?!” kata Lexa tidak bisa
menahan diri lagi.
“Hei.... kamu ini bicara apa? Aku tidak
mengerti apa yang kamu maksud.”
“Hentikan semua sandiwara konyol ini..!!”
“Heloooo.... ada apa ini ribut-ribut.?
Elyana baru muncul dari kamar mandi dan mendekati kedua sahabatnya di ruang
tengah. Ia memegang tangan Lexa. “Ada apa? Kok kamu marah-marah?” kali ini ia
mendengar kata-kata Lexa yang seolah melenking tinggi membentak Helen yang saat
itu tidak mengerti apa yang ia bicarakan dan Lexa mengatakan kalau dia sedang
bersandiwara.
“Bibi......?!!” Helen berteriak memanggil
Bibi sembari menutup kedua telinganya dengan kedua tangannya. Taklama kemudian
perempuan itu muncul dan kesigapannya bukan saja mendengar panggilan Helen tapi
ia sudah mendengar suara Lexa yang tadi setengah berteriak juga sehingga
membuatnya cepat berada di antara perempuan itu.
“Bi... tolong jaga Helen.” Kata Elyana dan
ia menarik tangan Lexa ke ruang tamu dan
membawa Lexa duduk ia sendiri pun duduk di sebelahnya. Lexa menghela
napas panjang seolah dadanya masih sesak. “Aku tahu kamu kecewa dengan kondisi
Helen dan sejujurnya aku juga seperti itu namun aku percaya ini tidak akan
lama.”
“Sampai kapan? Sampai Helen teman kita itu
pulang dan kembali hadir di sini?”
Elyana tersenyum. “Lexa.. Lexa... jadi kamu
percaya kalau aku mempercayai Helen rekayasa itu? Sama sekali tidak, tapi kita
harus mengikuti arus yang dia ciptakan demi kesembuhannya.”
“Bagaimana mungkin dia bisa cepat sembuh
dengan kita mengikuti arusnya.. dia akan terus terlena dan tak ada pancingan
untuk mengingat masa lalunya itu, semua ini akan membuatku tambah muak El.
“Aku tahu dan sepertinya kamu punya masalah
dengan kehidupan kalian sebelum kejadian Helen mengalami amnesia tapi setiap
aku tanya kamu tidak pernah mau membahasnya. Aku sadar kalau setiap masalah itu
tidak harus semua orang tahu tapi aku tidak ingin hal itu akan berdampak dengan
perkembangan jiwa Helen sendiri dan kamu... aku percaya apa yang kamu lakukan
pasti punya alasannya sendiri. Seperti aku misalnya.. semua masalahku Helen
mengetahuinya namun aku tidak berharap Helen menceritakannya kepada setiap
teman yang ia jumpai aku juga tahu kalau Helen tidak hanya akrab dengan kita.
Dia punya teman-teman di grup BB, di Facebook,
dan mungkin juga teman-teman penulisnya. Kita mengenali Helen tidak satu dua
hari tapi bertahun-tahun.. meski temannya banyak tapi aku yakin kalau kita
ber-tujuh adalah teman sejatinya karena ada nomor-kita yang ia tulis di kertas
sebelum ia mengalami kejadian naas itu.”
“Aku masih memikirkan kertas yang ada
nomor-nomor, entah tidak tahu aku masih meragukan tulisan itu.”
“Aku juga memikirkan itu, jika itu benar
pasti selama ini Helen pernah mengalami teror sehingga ia berpikir untuk
menulisnya.” Hela Elyana. Sejujurnya ia hanya ingin Helen dekat dengannya dan
yang lainnya hanyalah teman sekedarnya saja namun Helen adalah perempuan yang
bebas bisa berteman dengan siapa saja dan dia akan membagi kasih sayangnya
kepada teman yang ia anggap pantas jadi temannya dalam arti memberikan nilai
positif di dalam kehidupannya.
Lexa menatap Elyana. “Sekali lagi aku
katakan padamu kalau aku tidak bisa mengikuti arus yang diperankan oleh Helen
yang mengatakan mereka kembar, saat ini Helen berubah 360 derajat.”
“Aku tahu namun aku berharap sekali kamu
bisa mengendalikan diri memang tidak semudah yang kita bayangkan.”
“Sungguh menyebalkan dekat dengan orang yang
sama sekali tidak mengenali kita.”
“Memang.” Guman Elyang diikuti derai tawa
halusnya seakan merasa lucu juga menjengkelkan menghadapi situasi sekarang.
Helen sudah ada di kamarnya, teleponnya
terus berdering karena panggilan masuk dari kelima sahabatnya yang saat ini
tidak bersamanya namun tak satupun Helen angkat. Dia hanya menatap nama-nama
yang silih berganti tampil di LCD ponselnya. Dia coba mengingat nama itu satu
persatu sekaligus wajah mereka yang ia sempat lihat beberapa hari yang lalu
baik di rumah sakit juga di rumahnya. Lalu ia tersenyum simpul seolah
menganggap ia tidak pantas berteman dengan mereka. Helen mengamati seisi kamar
dari satu suduk ke sudut yang lain, tidak ada yang aneh. Dinding berwaran
putih, horden jendela warna pastel, seprai putih. Meja kerja dengan sebuah
laptop, jam kecil serta buku-buku yang entah tidak tahu buku apa saja itu ada
yang tebal sekali bahkan tipis seolah lengkap di samping meja kerjanya yang
sudah membentuk rak buku yang ada di perpustakaan.
Helen memang suka membaca tapi dia tidak
tahu kapan membeli buku-buku itu, kakinya bergerak dan mulai mendekati rak buku
lalu mengambilnya satu dan melihat isinya. Di halaman pertama ada tandatangan,
nama Helen dan tanggal membelinya di toko gramedia. Ia meletakkan buku itu
kembali lalu mengambil yang lain dan sepertinya setiap buku ada tandatangan
beserta tanggal pembeliannya.
Elyana dan Lexa masuk kamar dan mengamati
sikap Helen yang berdiri di depan rak bukunya. Mereka akhirnya duduk di sofa
panjang di ruangan itu seolah memang sedang ingin menonton Helen. Menyadari
kedatangan kedua perempuan itu membuat Helen meletakkan buku ke tempatnya
semula dan mendekati sofa lalu ikut duduk.
“Kamar ini sangat sejuk.” Guman Helen dengan
nada santai seolah baru menemukan tempat yang baru ia masuki dan matanya
kembali menyimak seisi kamar. “Tidak ada satupun foto di ruangan ini bahkan di
ruang tengah dan tamupun kosong. Apa yang terjadi dengan orang yang ada tinggal
di rumah ini? Dia itu seperti perempuan dingin yang seolah tidak membutuhkan
siapapun.” Helen melirik ke Elyana dan Lexa. “Perempuan seperti apa teman
kalian itu? Dia itu seolah memikirkan dirinya sendiri, tidak punya keluarga dan
mengaku menyayangi kalian namun tak satupun foto kalian ia simpan di sini. Dia
perempuan egois.” Tambahnya. Lexa dan Elyana mengambil sikap diam seolah masih
ingin mendengar Helen berceloteh karena saat ini suaranya tidak seperti
kemarin-kemarin, ia bicara lembut, pelan namun penuh penekanan untuk menilai
dirinya sendiri.
Helen kembali mengeluarkan suaranya. “Meski
rumah ini sejuk namun terkesan membosankan, aku tidak bisa membayangkan
bagaimana teman kalian bisa menghabiskan sisa hidupnya di dalam sini.” Ia
menoleh ke rak buku. “Dan buku-buku itu.... dia pasti menghabiskan waktu
berjam-jam bahkan mungkin separuh waktunya ia habiskan untuk membaca buku. Aku
juga suka membaca buku tapi jika sedang bepergian saja, apa sih yang membuat
kalian mau berteman dengan perempuan kaku seperti Helen itu? Aku tidak habis
pikir betapa membosankan hidupnya di sini.”
“Helen itu tidak seperti yang kamu pikir.”
Sahut Elyana coba menanggapi ucapan Helen. “Meski dia menyebalkan tapi dia
sangat menyayangi sahabat-sahabatnya, dia setia kawan. Kamu tidak mengenali
Helen dan kamu tidak bisa menilainya hanya dengan melihat tempat tinggalnya
saja. Dia selalu punya alasan setiap tindakan yang ia lakukan meskipun tanpa
sadar menyakiti hati sabahatnya namun kalau kita mau berpikiran jernih dan
kembali memikirkannya maka ia selalu punya niat baik walau kadang cara
penyampaiannya salah.”
Lexa agak terperangah mendengar penuturan
Elyana karena kata-kata itu seolah menohok hatinya. Ia menoleh kepada wajah
Elyana ‘apakah Helen menceritakan semua kepada Elyana?’ tanya hatinya.
“Aku benarkan, ‘Lex?” ia bertanya kepada
Lexa.
“Ya, Helen memang seperti itu.” Guman Lexa
dan rasa sakit itu kembali menyeruak di dadanya dan seandainya Elyana tahu apa
yang telah terjadi dengan dirinya bersama Helen maka hatinya bukan saja sakit
tapi berdarah dan malu. Lexa menghela napas dalam-dalam ‘ya Tuhan apakah aku
tidak bisa menerima kelemahan dan kekuranganku dan membenci kejujuran Helen?’
Ponsel Helen berdering lagi, kedua perempuan
itu menunggu Helen mengangkat namun sama sekali tidak ia gubris dan saat
terdengar lagi ia meraihnya tapi bukan menjawab telepon tapi mematikannya
ponsel itu dengan cara menonaktifkannya. Pasti diantara kelima teman mereka
yang menelepon karena hanya nomor-nomor mereka yang ada di ponsel itu. Melihat
sikap Helen memaksa Lexa membuka suara karena sikap Helen dianggap tidak sopan
apalagi yang menelepon adalah orang yang jelas-jelas ia tahu nama dan orangnya
sungguh Lexa geram.
“Helen tidak pernah mengabaikan sahabatnya
seperti itu.”
“Tapi mereka bukan sahabatku seperti halnya
kalian berdua juga bukan sahabatku..”
“Jika benar seperti itu maka kamu juga tidak
berhak ada di sini meski kamu bilang Helen itu adalah saudari kembarmu. Jika ia
tahu sifatmu semacam ini maka ia juga tidak akan rela rumahnya ditempati oleh
perempuan yang tidak menghargai sahabat-sahabatnya.”
“Lex.....” Elyana coba menenangkan Lexa.
“Aku pikir tidak seperti itu karena hubungan
darah itu lebih kental dari hubungan persahabatan seperti apapun di dunia ini.
Apapun alasannya Helen akan mengutamakan hubungan persaudaraan dari hubungan
persahabatan.”
Lexa keluar dari kamar dan menuju dapur
untuk mengambil minum dan ia menemukan Bibi yang belum istirahat juga.
“Non Lexa mau apa? Makan atau Bibi bikinkan
kopi?” sapanya.
“Tidak Bi, aku hanya mau ambil air putih
saja. Bibi kok belum istirahat ini sudah malam lho.” Kata Lexa menyadari kalau
saat itu sudah menjelang pukul sembilan malam.
“Sebentar lagi Non, takutnya Helen minta
diambilkan sesuatu.”
“Tidak usah pikirkan itu ada aku dan Elyana
bisa melakukan apapun yang ia inginkan lagian Helen juga sudah tidak sakit lagi
kok. Oh, ya. Maaf yang tadi ya Bi.. aku telah membuat Bibi kaget.” Lexa sudah
mengambil gelas dan menuangkan air yang ada di ceret yang di atas meja makan.
“Tidak apa-apa Non, Bibi juga maklum kok.”
Sahutnya. “Memang menghadapi sikap Helen agak membingungkan kita, harus lebih
bersabar lagi sepertinya.” kata perempuan itu penuh harap.
*
“Aku mau pergi.” Kata Helen pagi itu
sedangkan dua hari lagi Elyana sudah harus kembali ke rumahnya sebab sudah
harus masuk sekolah sementara Helen belum juga menunjukkan tanda-tanda akan
sembuh.
“Ke mana?” tanya Lexa.
“Ya, ke mana saja dan mungkin tidak akan
pernah kembali ke sini lagi. Bukankah kalian mengatakan aku tidak pantas ada di
rumah ini? Mungkin aku akan memanggil Helen untuk pulang dan menjumpai kalian
di sini juga teman-temannya yang lain. Aku mungkin jahat terhadap kalian,
kuakui kalian baik dan pantas saja Helen menyayangi kalian melebihi dirinya
sendiri tadinya aku pikir Helen itu bodoh.”
“Tidak, kamu tidak boleh pergi dari rumah
ini sebelum Helen benar-benar kembali ke sini bersama kami dan juga Bibi.”
Elyana menimpali.
“Hei, bukannya kalian muak denganku? Aku
tidak pantas di sini, tempat ini terlalu suci untukku.” Sekilas ia mengamati
seisi ruangan yang ada di rumah itu.
“Pokoknya kamu tidak boleh pergi.”
“Biarkan saja dia pergi.” Lexa menantangnya.
“Lex.... apa-apaan kamu ini?” lalu ia bicara
pelan dekat wajah Lexa. “Memangnya dia mau ke mana? Dia itu masih amnesia,
memangnya kamu mau dia keluar tidak tahu entah ke mana? Kamu mau mencarinya?
Jangan bercanda dengan kata-katamu. Aku tidak mau dia pergi dari sini, titik.”
“Aku tahu kalau Lexa tidak menyukai aku,
kamu tidak perlu mengatakan apapun kepadanya Elyana. Aku juga tahu kalau dia akan merasa sangat senang kalau
aku pergi dari sini dan kamu tidak perlu khawatir dengan Helen karena aku akan
mencarinya dan mengembalikannya ke rumah ini. Aku janji.”
“Hentikan semua rencana konyolmu itu dan
jangan pernah berjanji kalau kamu merasa tidak bisa menepatinya. Sekali lagi
aku katakan kalau kamu tidak boleh pergi dari rumah ini, siapapun dirimu...
apakah saudara kembarnya Helen atau apalah aku tidak peduli yang penting kamu
tetap di sini!”
“Kenapa sekarang kamu yang tidak suka dengan
apa yang akan aku lakukan? Bukankah kamu selalu mendukungku? Dan Lexa malah
sebaliknya. Ada apa dengan kalian berdua?” Helen tidak mengerti dengan
perubahan sikap mereka yang secara tiba-tiba.
“Lexa juga sebenarnya tidak akan setuju kamu
pergi dari sini.” Tegas Elyana sambil menoleh ke Lexa yang hanya memperlihatkan
wajah putus asa. “Ya,’kan?” sama sekali Lexa tidak menyahut membuat Elyana
semakin panik. Selama ini dia santai dan menerima apa saja yang akan dilakukan
oleh Helen namun kali ini sungguh ia tidak akan membiarkan perempuan itu
meninggalkan rumah. “Lex?!” sekali lagi ia menegaskan.
“Oke,
sekarang begini...” Lexa mulai mengatur strategi. “...sebenarnya kamu ingin
pergi ke mana? Aku akan setuju kalau kamu mengatakan tempatmu.”
“Lex....!?” Elyana tahu kalau Helen pasti
tidak tahu ke mana ia akan pergi karena kondisi ingatannya dan ia menganggap
pertanyaan Lexa itu hanya ngaco saja.
“Aku hanya ingin tahu saja kok.”
“Apa itu penting?” tanya Helen.
“Ya.” Tegas Elyana. “Ya sudah! Sekarang
begini saja, kalau kamu hanya ingin pergi dari sini kamu ikut aku saja ke
rumahku. Bagaimana?” Elyana tidak akan
membiarkan Helen mencari jati dirinya di luar dan menemukan orang-orang
yang sama sekali tidak ia kenal karena itu akan membuatnya lebih berbahaya.
“Aku tetap tidak setuju.” Tambah Lexa karena
kalau Helen ikut dengan Elyana itu sama saja artinya Helen pulang kampung dan
akan bertemu dengan orang-orang yang selama ini ia kenal termasuk keluarga
besarnya, adik, kakak dan kedua orang tuanya maka kasus Helen amnesia akan
menyebar apalagi banyak teman-teman SMA mereka yang tinggal di daerah itu.
Dengan anak dan mantan suaminya mereka berusaha menyimpan rahasia itu begitupun
dengan keluarga besarnya.
“Jadi bagaimana?”
“Aku akan ikut kemanapun Helen pergi.”
“Apa?” Helen kaget dengan usul Lexa. “Bagaimana
mungkin? Kita berdua tidak cocok jadi teman masa harus selalu bersama.” Helen
tertawa. Elyana tambah bingung ia melirik ke Lexa lalu ke Helen dan sepertinya
usul Lexa itu brillian juga. Pikirnya.
“Begini saja,” Elyana coba mengambil jalan
tengah. “Kalian boleh pergi besok pagi dan aku akan percepat kepulanganku,
dengan satu syarat.”
“Apa?” suara Helen dan Lexa bersamaan
keluar.
“Helen itu punya tujuh orang teman yang ia
sayang di dunia ini, jadi keputusan akan diambil dengan suara terbanyak...
tidak termasuk keputusanmu.” Kata Elyana dan akan menghitung suara mereka
bertujuh nanti.
Malamnya Elyana menghubungi teman Helen satu
persatu dan menyampaikan maksudnya menelepon mereka dan menjelaskan kepada
mereka kalau Helen ingin pergi meninggalkan rumahnya tapi dia dan Lexa tidak
setuju lantaran Helen masih amnesia.
Razthi tidak bisa membawa Helen ke rumahnya
dengan alasan yang sama yaitu karena tinggal satu daerah dengan Helen dan
Elyana juga tidak setuju kalau Helen di rumah Razthi dan otomatis akan setuju
kalau Helen ikut dengan Lexa.
Esty juga tidak bisa karena temannya sudah
banyak yang kenal dengan Helen karena Helen sering datang ke tempatnya bekerja.
Liliana sangat ingin mengajak Helen tinggal
di rumahnya dan berharap sekali perempuan itu datang ke rumahnya bahkan dari
dulu ia ingin Helen bisa berkunjung, tapi kondisinya tidak memungkinkan karena
nyaris setiap hari Liliana meninggalkan rumah untuk ke tempat kerja dan
pulangnya sore, kalau masuk siang maka ia akan pulang malam. Elyana, Lexa dan
yang lainnya tidak berharap Helen menjadi beban Liliana.
“Gendys masih tinggal satu komplek, itu
sepertinya tidak akan mengubah apapun.” Itu kata Elyana. Tinggal Apbriel,
Apbriel tidak keberatan mengajak Helen ke rumahnya tapi Apbriel punya kesibukan
seperti Razthi dan keempat anaknya sudah cukup menyita waktu Apbriel dan
suaminya sepertinya tidak pas kalau Helen di rumah Apbriel. Di tambah letak
rumah Apbriel satu provinsi dengan Helen.
Liliana setuju sekali kalau Helen bersama
Lexa sehingga ia tidak punya alasan apapun jika mereka bersama, ia tahu Helen
itu sebenarnya seringkali bercerita tentang Lexa. Meski mereka punya masalah
namun mereka berdua saling menyayangi bahkan Liliana merasa sering cemburu
dengan kasih sayang Helen terkadang ia rasa suka berlebihan untuk Lexa tapi ia
sadar kalau Helen terlebih dahulu kenal dengan Lexa dan ia berharap sekali
hubungan Lexa dengan Helen membaik. Sepertinya tidak ada yang keberatan Helen
ditemani oleh Lexa dan suara terbanyakpun di ambil.
*
Sesungguhnya
tidak ada yang berubah...
Tempat itu tidak bisa di sebut rumah biasa,
bukan villa bukan juga sebuah penginapan sebenarnya Helen tidak menyukai tempat
itu tapi Lexa yang memilihnya dan harus di sana. Karakter tempat itu terkesan
klasik, dengan satu ruang tamu, kamar tidak bisa di bilang besar namun memiliki
dua tempat tidur. Tidak ada televisi dan dapurnya kecil dan sederhana dengan
kompor gas satu tungku serta perabotan yang komplit namun tidak lebih dari tiga.
Dari sendok, garpu, gelas dan piring serba tiga. Keran air mengalir dengan
deras saat dibuka, airnya dingin seolah menusuk sampai ke tulang.
“Tempat apa ini?” kata Helen. “Apa kamu
tidak bisa mencari tempat yang ada di tengah kota? Sebuah apatemen misalnya
atau sebuah villa yang ada kolam renangnya? Kalau tahu akan ke sini aku tidak
akan ikut kamu dan aku mencari tempat tinggal sendiri yang aku sukai, di tengah
keramain ibukota misalnya.” Protes Helen setelah melihat-lihat.
Lexa tersenyum. “Lupakan semua tentang
khayalanmu itu sobat, tempat ini adalah yang terbaik di dunia dan kamu akan
menyukainya nanti.” Kata Lexa dan ia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur
yang tidak bisa dibilang empuk, karena Lexa tidak begitu menyukai kasur busa
yang empuk. “Istirahatlah perjalanan ke sini tadi sudah menguras tenaga meski
hanya dengan naik mini bus. Aku juga ingin memejamkan mata sejenak.” Setelah
berkata seperti itu Lexa memejamkan matanya tanpa menghiraukan apa yang Helen
inginkan atau yang ingin dilakukan.
‘Ada-ada saja perempuan ini, enak saja ia
langsung tidur tanpa peduli apakah pintu depan sudah di kunci atau belum
dan.... aku,’kan lapar, mana bisa tidur kalau perutku lapar.” Helen mengamati
barang bawaan Lexa dan ia tidak melihat ada sedikitpun camilan di tas yang
terbuka itu, tidak juga ada ponsel atau barang berharga lainnya. “Bukannya
orang mengatakan aku aneh karena tidak memiliki ponsel? Tapi kenapa perempuan
ini ikut-ikutan aneh seperti aku? Siapa dia sebenarnya? Dan apakah tempat ini
adalah kepunyaannya? Dia pasti mengaku-aku saja sahabatnya Helen. Tapi kalau
dia benar sahabatnya Helen kasihan sekali Helen punya sahabat dekat seperti
dia. Kalau aku bertemu dengan Helen akan kukatakan kalau perempuan ini tidak
pantas menjadi sahabatnya.’
Karena tidak mendengar suara Helen, Lexa
membuka matanya dan mendapatkan Helen sedang duduk termenung di atas tempat
tidur di depannya. “Hei... apa yang kamu pikirkan?”
“Apakah tidak ada yang bisa di makan di
tempat ini?”
Lexa melirik ke arah tas milik Helen yang
semalam sudah dirapikan oleh Bibi. “Coba kamu cek saja di tas itu siapa tahu
Bibi memasukan sesuatu di sana.”
“Apa maksud kamu? Kalaupun ada makanan di
dalam sana pasti sudah dingin. Aku mau yang panas karena di sini dingin
sekali.”
“Ya, gampang kalau mau yang panas karena di
dalam rak piring ada beberapa mi instan yang bisa kamu rebus dan kamu bisa
makan apapun yang kamu lihat di dapur.” Sahut Lexa lalu kembali memejamkan
matanya membuat Helen semakin tidak menyukainya. Helen melirik seisi kamar yang
hanya ada sebuah meja kecil tanpa kursi dan cermin menempel di dinding, satu sebuah
tempat handuk, dan tidak ada jam yang akan menunjukkan pukul berapa sekarang.
‘Perempuan ini benar-benar menyebalkan!’ lagi-lagi Helen berguman sendiri dan
akhirnya ia melangkah ke dapur untuk melihat apa yang ada di dalam rak piring
yang dimaksud itu.
Benar, di dalam rak piring kaca itu ada
beberapa bungkus mi instan baik yang rebus ataupun yang goreng. Ada juga
beberapa butir telur serta cabe rawit serta daun sawi hijaunya. Di bagian atas
ada saos sambel pedas dari merek ternama lengkap dengan kecap. Ada juga
beberapa sachet kopi mix. Dan di samping rak piring ada sebuah kulkas kecil
yang tadi luput dari pengamatan Helen. Ia membuka kulkas itu dan ternyata penuh
dengan minuman botol dengan rasa kopi, ada kue lapis dan beberapa kue lainnya
yang entah apa saja namanya Helen tidak begitu paham. Helen mengambil daun sawi
hijau dari rak piring lalu memindahkannya ke dalam kulkas dengan harapan tidak
segera layu dan busuk karena ia sudah tidak bernafsu untuk makan.
‘Tempat siapa ini? Dan semua isi kulkas ini
sepertinya baru dan yang di rak piring juga masih terlihar baru, daun sawi pun
masih segar.’
Helen tidak mau lagi banyak berpikir dan ia
meraih dua sachet kopi dan
mendidihkan air secukupnya di atas kompor setelah beberapa menit ia menuangkan
air panas ke dalam gelas yang sudah ia isi dengan kopi. Lalu ia mengambil kue
dari kulkas mengiris secukupnya lalu meletakkannya ke dalam piring dan
membawanya ke ruang tamu. Sebelum menikmati hidangannya ia menuju pintu yang
ternyata sudah di kunci. Ia membuka pintu dan menemukan halaman luas yang hijau
yang tadi pas mau masuk tidak terlalu ia hiraukan. Tempat itu hanya dipagari
dengan bambu seadanya, tidak tinggi tidak juga terlalu rapat. Di sebelah kiri
ada sebuah bangunan yang bentuknya tidak jauh berbeda dengan yang mereka
tempati, tapi jaraknya cukup jauh mungkin sekitar seratus meter begitupun di
samping kanan.
‘Ini bukan sebuah kampung, karena tidak ada
manusia yang terlihat tapi tempat ini semacam taman yang begitu indah.’ Di
ujung jalan ada tiang listrik yang bisa mengalirkan tegangan ke rumah-rumah
mungil yang ada di sekitar. Tidak ada tukang jualan nasi uduk atau tukang
pisang goreng apalagi tahu isi. ‘Tapi kue yang ada di kulkas itu, siapa yang
sudah meletakkannya di sana?’
“Hei... ternyata kamu membuat kopi untuk aku
juga, terima kasih ya. Harum bau kopinya membuat aku terbangun.” Suara Lexa
memaksa Helen menoleh ke dalam, ia mendekati Lexa yang sudah duduk di kursi bahkan
sudah memegang gelas kopi untuk menikmati kopinya.
“Kapan kita meninggalkan tempat ini? Aku
butuh refreshing dan tempatnya bukan
di sini. Aku tidak suka tempat yang sunyi dan sepi.”
Lexa sudah meletakkan kembali gelasnya. “Baru
juga sampai, tidak usahlah memikirkan hal itu dulu karena terkadang hal yang
kita inginkan bukan yang kita sukai.” Lexa beranjak dari kursinya. “Aku mohon
kamu tidak pergi ke mana-mana karena aku mau sholat ashar dulu.” Jelas Lexa
setelah Helen duduk. “Oh, ya. Sebaiknya kamu ikut sholat karena kata ibumu kamu
itu sholatnya kadang-kadang saja.”ka
“Ibu?” kata Helen balik tanya seolah ia
sudah cukup lama tidak menghubungi ibunya.
“Ya, kata ibumu... apa kamu juga melupakan
ibumu? Aku sudah tidak punya ibu jadi aku tahu bagaimana sakitnya kehilangan
seorang ibu.”
“Oh, begitu ya. Helen tidak pernah cerita
tentang ibu... padahal aku ingin sekali tahu bagaimana keadaannya. Selama ini
dia hanya cerita tentang mantan suaminya.” Suara Helen terdengar pelan dan sumbang.
“Aku tidak mengerti apa yang terjadi dengannya, katanya perempuan sempurna di
dunia ini kalau sudah punya suami dan memiliki anak tapi kenyataannya sekarang
apa? Dia bercerai dan berpisah dari anaknya. Apa sih sebenarnya yang dia cari?
Nama baiknya jadi hilang dan dia tidak dihargai lagi sama orang.”
“Kenapa bisa tidak dihargai orang?”
“Coba kamu pikir, dari kecil dia itu anak
yang penurut dan tidak pernah membangkang baik kepada saudaranya apalagi kepada
kedua orang tuanya setelah dewasa menikah dengan pria baik yang dikenal alim
tapi kenapa dia minta cerai? Kurasa semua orang akan berpikir jelek tentang
dia, dan kesalahan itu ada pada dirinya. Itu pasti dalam pemikiran semua
orang.”
“Termasuk kamu juga berpikir seperti itu?”
kata Lexa lalu menenggak lagi kopinya sedangkan Helen belum meminum sedikitpun
kopinya padahal dalam kamusnya menikmati kopi itu tidak boleh lewat dari
duapuluh menit apalagi sampai dingin, Helen tidak menyukai kopi yang sudah
dingin.
“Ya, pastilah. Jadi menurut aku untuk apa
menikah kalau akhirnya cerai juga. Status single
itu lebih baik daripada ‘janda’ meninggalkan anak dan suami memilih hidup
dengan pengasuh, sepi, jauh dari keluarga dan teman-temannya.”
“Jadi itu yang ada dalam pikiranmu? Helen
itu sudah pernah memiliki semuanya tapi kamu? Teman tidak punya dan tempat
tinggalmu juga tidak tahu entah di mana, apakah itu tidak lebih dari rasa sakit
yang Helen rasa selama ini?” Lexa malah meladeni ocehan Helen. “Tapi tidak.
Helen tidak merasakan sakit lagi, sekarang dia sudah menemukan apa yang tidak
ia dapat selama ini, karena aku pikir orang menikah itu tidak selamanya bahagia.
Helen menyukai suasana seperti tempat ini.” Sejenak Lexa menyimak suasana rumah
yang lengang.
“Jadi kamu memilih tempat ini karena Helen?
Kupikir kamu dengan Helen itu sama saja.”
“Ya, dan juga suka pantai.” Lexa beranjak
untuk melaksanakan tugasnya yang tadi sempat tertunda Helen mengamatinya
sekilas lalu meraih gelas kopinya dan meneguk separuh isi gelasnya.
‘Tempat ini? Jadi Helen menyukai tempat
senyap sepert ini? Aneh sekali! Seaneh sikap Lexa tapi apa dia pikir aku juga
suka tempat ini? Kita lihat saja nanti.’
Lexa mendoakan agar sahabatnya cepat kembali
dan dalam keadaan baik-baik saja semoga juga tidak ada yang berubah setelah ini.
Dalam ruangan dingin dengan udara sore yang mulai menyapa membuat Lexa betah
berada dalam mukenanya. Semalam Lexa menelepon temannya yang tinggal di daerah
Bogor untuk meminjamkan tempat sekarang ini. Saat mendapat telepon ia marah
karena Lexa tidak memberitahukan kalau sedang ada di Jakarta tapi Lexa
menjelaskan kalau sedang mengurus urusan temannya. Temannya menawarkan bantuan namun Lexa hanya minta dipinjamkan
tempat saja karena itu lebih dari cukup. Lexa punya teman seorang pria yang
sudah cukup lama, sudah menikah namun sudah menganggap Lexa lebih dari apapun
makanya pas Lexa mengatakan akan tinggal di tempat itu dalam waktu yang tidak
bisa ditentukan ia menyediakan semua keperluan mereka. Beliau tidak bisa
melihat Lexa susah sedikitpun dan selain menawarkan bantuan semacam itu ia juga
tidak pernah berkata tidak kalau Lexa bilang kurang uang, namun Lexa tidak
pernah menyalahgunakan pertemanan mereka. Disaat orang mengatakan tidak ada
seorang laki-laki yang bisa berteman dengan perempuan tapi Lexa sudah
membuktikannya bertahun-tahun. Disaat orang mengatakan Lexa tidak butuh teman
hidup dan tidak ingin menikah! Semua orang salah dan hanya Helen yang tahu
mengapa ia tidak juga bisa menikah... hanya Helen yang tidak pernah
mengeluarkan kata-kata ‘cepatlah menikah’ karena Helen tahu apa yang ia alami
dan rasa. Tanpa sadar Lexa menitikkan air matanya. ‘Ya Tuhan... berilah
petunjuk pada kami, bukalah hati dan pikiran Helen, dan jalan yang terbaik
untuk kami semua. Amiinnn.’
Helen duduk di teras dan cahaya senja
terlihat begitu indah di langit sedangkan Lexa ke dapur untuk masak nasi di rice cooker
untuk makan malam mereka. Untuk sayur dan lauk ia bisa masak tumis sawi dengan
kentang goreng sama sarden. Mendengar suara dari dapur Helen masuk dan tidak
lupa mengunci pintu depan.
Helen mendapati Lexa sedang sibuk
mengerjakan pekerjaan dapur. Ia melirik ke arah jari-jari Lexa yang putih dan
halus. “Apakah ini pertama kalinya kamu masak di dapur?”
Lexa menoleh ke Helen yang sudah berdiri di
sebelahnya. “Helen juga tahu kalau aku tidak suka masak tapi bukan berarti aku
tidak bisa masak.” Sahut Lexa sambil meneruskan pekerjaannya.
“Serpertinya kamu dekat sekali dengan Helen,
sayangnya perempuan itu tidak pernah menceritakan tentang kalian. Dia hanya
cerita tentang tulisan-tulisan dan impian konyolnya membuat aku selalu muak dan
menganggap otaknya sudah rusak dengan khayalan-khayalan yang tak pasti. Sampai
detik ini aku tidak tahu apa yang dia inginkan, dan satu lagi... aku rasa Helen
itu hanya mencintai dirinya sendiri, tidak keluarganya, suaminya, anaknya
apalagi kalian. Aku tidak mengerti mengapa kalian rela menghabiskan waktu dan
peduli dengan Helen yang tidak tahu diri itu... yang hanya memikirkan dirinya
dan hanya mencintai dirinya sendiri. Apa kalian pikir Helen pernah memikirkan
aku? Tentu saja tidak, keberadaanku saja tidak pernah ia cerita pada kalian
apalagi yang lainnya.” Helen terus saja berceloteh mengisahkan tentang
kejelekan-kejelekan saudari kembarnya yang ia maksud namun Lexa terus
meneruskan pekerjaannya tanpa minta di bantu apalagi Helen memang tidak berniat
membantunya. “Aku tidak suka pekerjaan dapur, yang aku lakukan di dapur hanya
dua, masak mi instan dan bikin kopi tidak untuk yang lain. Aku lebih suka makan
di warung padang atau yang lain. Aku rasa kau tidak perlu menghabiskan waktu
berjam-jam di sini dan kita bisa keluar mencari warung atau warteg misalnya.”
“Sebaiknya kamu istirahat saja dan jangan
pernah berpikir kita akan pergi dari
sini khususnya untuk malam ini nanti.”
“Oke, terserah kamu. Oh, ya? Apakah ini
rumahmu? Kalau ini rumahmu ketahuan kalau seleramu kurang bagus dan kalau bukan
rumahmu berarti pemilik rumah ini punya
selera sama tidak bagusnya denganmu.” Helen membalikkan tubuhnya dan
meninggalkan dapur, sepertinya ia sama tidak betahnya berada di rumahnya
sendiri. Lexa hanya menatap kepergian Helen, perempuan itu jadi sering sekali
berbicara dan ia mengatakan apapun yang ia sukai tanpa memikirkan orang yang
mendengarnya. Lexa jadi menarik napas panjang. Ia rindu sekali dengan Helen
yang dulu. Tidak banyak bicara kalaupun bicara itu hanya yang penting-penting
saja.. tapi kalau diajak SMS sampai pagipun ia tahan dan selalu punya bahan
untuk dibahas. Bicara selalu sederhana namun punya nilai tinggi juga mengandung
makna serta mengajak berpikir positif.
‘Helen, aku kangen...’ tanpa sadar Lexa
mengeluarkan kata-kata itu. Lexa benar-benar merasakan sepi yang amat sangat
meski tinggal dengan seorang sahabat yang ia sayangi. Dia sengaja tidak membawa
ponsel dengan maksud seluruh waktunya hanya untuk Helen tanpa harus diganggu
dengan suara ponsel tapi sampai kapan dan bisakah ia tetap bertahan? Helen
sedang menguji kesabaran Lexa.
Tak berapa lama kemudian Helen kembali lagi
ke dapur seolah masih ingin bicara dengan Lexa saat gadis itu menunggu lauknya
matang. Lexa merasakan kehadiran Helen memakasanya menoleh kepada Helen yang
menyandarkan tubuhnya di sisi pintu dan menatap Lexa dengan pandangan yang
susah Lexa artikan. Lama tak ada suara kecuali hanya tatapan yang selama ini
Lexa rindukan. ‘Apakah ingatan Helen sudah pulih? Kalau betul maka ia tidak
akan berdiam saja di sana hanya memandang tanpa memeluk aku.’
“Hei.... apa yang kamu pikirkan?” saat Lexa
ingin bertanya namun pertanyaan yang ada di hati Lexa sudah keluar dari mulut
Helen.
“Apa maksud kamu?”
“Yah... aku hanya ingin tahu apa yang ada di
otak kamu, Elyana dan juga teman-teman Helen yang lain? Saat aku ingin
pergi mereka semua seolah mengizinkan
tapi harus ada kamu, dan kamu membawa aku pergi dan tinggal di tempat seperti
ini. Apa rencana kalian sebenarnya?”
Lexa melipat kedua tanganya di dada dan mata
masih menatap fokus kepada Helen. “Sejujurnya.... kamu boleh saja pergi
kemanapun yang kamu inginkan asalkan kau sudah mengembalikan Helen kepada kami.
Hanya itu.”
Terdengar tawa halus yang mengandung meledek
dari mulut Helen. “Kalian ini aneh, mana aku tahu di mana Helen, aku memang
kembarannya tapi bukan bayangannya. Kalian saja yang mengaku dekat dan saling
berkirim kabar setiap hari tidak tahu di mana dia apalagi aku yang belum tentu
setahun sekali bertemu denganya.”
“Sebenarnya apa yang kamu inginkan?” itu
pertanyaan paling serius yang Lexa lontarkan sejak kejadian itu.
“Aku? Aku tidak pernah menginginkan apapun
dari Helen, juga dari kalian. Aku hanya ingin menikmati hidup seperti
hari-hariku sebelumnya.”
“Hidup seperti apa yang kamu maksud
sebelumnya itu?”
“Kamu seperti tidak tahu saja apa yang aku
sukai dan aku mau.” Kali ini Helen terlihat serius dan menuntut Lexa memahami
keinginannya.
“Bagaimana mungkin aku tahu keinginananmu
sedang kita baru saja kenal dalam dua minggu ini, dan kamu sangat berbeda sekali
dengan Helen yang aku kenal.”
“Nah! Itu kamu sudah dapat jawabannya,
berarti yang Helen suka tidak aku sukai.... gampangkan?! Lalu mengapa kamu
membawa aku ke sini? Apa hakmu membawaku ke tempat ini dan apa aku harus ada di
sini?”
“Ya, harus. Karena kamu tidak punya tujuan
untuk pergi.”
“Jadi.... tujuanmu harus aku ikuti?”
Lexa membalikan tubuhnya ke arah kompor
karena wangi lauk yang sudah menyengat dan kompornya sudah harus dimatikan.
“Aku sedang melihat kamu melakukan sesuatu
yang sebenarnya kamu benci.” Tambah Helen karena ia bisa melihat kalau Lexa
tidak menyukai dapur.
“Aku bukan Liliana.” Sahut Lexa dengan nada
santai. Helen mendekatinya dan ingin mencicipi masakan Helen yang belum
diangkat dari atas kompor.
“Oh, lumayan juga.” Katanya setelah
mencicipi sedikit namun Lexa tidak berkomentar apapun dengan pujian Helen
karena dia tahu sekali Helen itu pandai masak, kalau Helen yang tidak amnesia
mengatakan hal semacam itu ia akan merasa tersanjung.
“Makanlah, aku tahu kamu sudah lapar.”
“Oh, ya Lex. Aku ingin tanya sekali lagi,
rumah siapa yang kita tempati ini.”
“Itulah gunanya teman.”
“Kau menyinggungku? Teman kamu bilang? Heh?!”
Helen menjauhi Lexa yang sedang memindahkan lauk ke dalam mangkuk. “Teman itu
hanya ingin tahu semua hal tentang temannya, tanya ini dan itu.. lalu gosip ke
sana ke mari, datang jika sedang ada maunya saja dan yang lebih parah lagi
selingkuh dengan pasangan temannya.” Ia kembali berdiri di sisi pintu. “Seperti
itu yang kamu sebut gunanya teman? Makanya aku tidak butuh teman... kasihan
sekali kalian yang punya teman dan sudah berapa kali kalian disakiti oleh orang
yang kalian sebut teman itu?”
Lexa jadi tertawa mendengar ocehan Helen
yang seolah membenci siapapun di dunia ini. Ia mempersiapkan makan malam dan
sudah bisa di makan saat ini, meski belum bernafsu untuk makan Lexa duduk di
kursi dapur dan menatap Helen yang masih berdiri di tempatnya.
“Sebenarnya siapa yang kamu benci, yah
mengenai keingian dan kesukaanmu aku sudah tahu tapi sekarang aku ingin tahu
siapa yang kau benci..”
“Aku tidak pernah membenci siapapun meski
aku tahu kalau Helen itu hanya mencintai dirinya sendiri tapi aku tidak
demikian. Aku tidak membenci orang dan tidak juga mencintai orang tapi aku
hanya ingin menjadi diriku sendiri tanpa harus dipaksa untuk melakukkan hal
yang tidak aku sukai.”
“Memangnya siapa yang memaksa kamu?”
“Kau dan teman-temanmu itu.”
“Oh, mereka....? tapi satu hal yang harus
kamu tahu. Tidak ada orang lain yang menyayangi kamu selain kami. Tidak ada
yang rela meninggalkan keluarganya hanya untuk menemui kamu yang sedang sekarat
di rumah sakit, kamu tahu itu. Pun kamu tidak akan menulis nomor-nomor kami
kalau kamu tahu kami tidak peduli sama kamu.”
“So
sweet...” sahut Helen dengan nada
melecehkan. Lexa beranjak dari kursi sebelum pergi ia menutup dulu lauk yang
sudah ia letakan di atas meja makan. Lexa ke depan untuk menyalakan lampu teras
serta lampu-lampu yang lainnya sebab petang sebentar lagi akan berlalu diiringi
datangnya sang malam. Lexa coba tak ambil hati dengan kata-kata Helen yang
seringkali menguji kesabarannya.
“Lex.....?” panggil Helen seakan masih ingin
menyakit hati Lexa namun gadis itu tidak mempedulikannya malah mengambil sapu
untuk menyapu kamar meski sudah bersih. “Tidak apa malam ini kita tidur di sini
tapi besok aku ingin kita pergi setidaknya aku harus meninggalkan tempat ini.”
Suara Helen terdengar masuk ke kamar tempat Lexa sedang merapikan kamar lalu ia
mengambil handuk untuk mandi. Di ruang tengah ia bertemu dengan Helen yang
hendak masuk kamar.
“Habiskan kopimu di meja depan kalau belum
mau makan.” Kata Lexa sambil jalan ke kamar mandi. “Kalau nanti mau mandi, ada
handuk di dalam lemari masih di dalam plastik loundry.” Tambahnya.
Helen meraih tangan Lexa dengan kasar. “Aku
tidak suka sikapmu! Kesalahan apa yang telah aku lakukan sampai kamu benci
sekali sama aku.”
“Ada apa ini? Kau menyakiti tanganku.”
“Aku tahu kamu tidak menyukai aku, tapi
salahku apa? Aku memang tidak kenal denganmu dan juga Helen tidak pernah cerita
tentang kamu tapi mengapa kamu tidak suka denganku malahan membenciku.
Katakan!”
Lexa menarik tangannya tak kalah kasar. “Ya,
aku memang sangat tidak suka dengan sikapmu yang kekanak-kanakan, tadinya aku pikir
kamu dewasa, bisa memahami hatiku dan bisa menghargai perasaan seorang teman
tapi kenyataannya aku aku aku.... tidak
suka caramu melakukan sesuatu, apa kamu pikir caramu itu benar? Jika kau anggap
benar tapi aku tidak suka cara penyampaiannya. Seharusnya dengan kebersamaan
kita yang sudah tahunan kau tahu aku tapi kenyataannya tidak. Kau tidak kenal
denganku sama sekali Helen, aku sangat kecewa denganmu. Lakukan apa saja yang
kamu inginkan... apa kamu ingin sendiri atau pergi kemanapun kamu suka. Aku
tidak akan menahanmu, tidak akan! Berbuatlah sepuasmu... aku pikir kamu adalah
orang yang tepat untuk berbagi namun kenyataanya kau telah melemparku ke jurang
yang sangat dalam.”
“Hei.... apa kau punya masalah dengan
Helen?” kata-kata itu mengagetkan Lexa seolah ia telah bicara dengan Helen yang
tidak amnesia. Permpuan itu bisa melihat kemarahan Lexa yang tidak biasa. Ia
menatap Helen sejenak lalu meninggalkannya, detik berikutnya terdengar suara
pintu kamar ditutup. Helen menghela napas panjang seolah mulai bisa membaca
situasi yang dialami oleh Lexa. ‘apa benar dugaanku barusan? Jika benar, apakah
masalah mereka sudah selesai atau malah tambah rumit? Apa yang harus aku
lakukan?’
Helen berjalan ke ruang tamu, ia duduk dan
menghabiskan sisa kopinya. Kue yang ada di atas meja hanya ia tatap tanpa ingin
meraihnya sama sekali. Pikirannya mulai berjalan ke minggu-minggu terakhir
sejak dari rumah sakit dan perempuan-perempuan yang ia temui di sana bahkan
sampai ikut ke rumah lalu satu persatu pulang dengan alasan keluarga dan
kewajiban yang lain. ‘Helen itu sepertinya sangat berarti bagi mereka sampai
mereka menganggapnya sebagai kewajiban juga untuk melihat dan merawatnya. Tapi
sayangnya aku bukan Helen, mengapa mereka tidak mau mengerti juga. Apalagi
Lexa, ia mau menemani aku di tempat asing ini, sepi dan menyebalkan tapi ini
bukan pilihanku. Dia yang memilih tempat ini, tapi..... dia pasti punya alasan
sendiri. Ah! Aku tidak tahu apa maunya dia, pusing aku.’ Helen menyandarkan
tubuhnya di kursi. ‘jika maksud Lexa membawaku ke sini untuk menyembuhkan
ingatanku yang mereka bilang bermasalah maka Lexa salah besar. Dia tidak akan
menemukan itu apalagi dengan Helen yang sudah menghilang dan aku tidak bisa
menemukannya, aku sendiri juga tidak tahu di mana harus mencari perempuan itu,
apa dia telah pergi ke luar negeri atau sudah mati? Ya Tuhan, di mana kamu
Helen? Pulanglah agar masalah ini selesai.’ Helen memejamkan matanya rapat-rapat
seolah ingin melumat semua masalah yang ditimbulkan oleh kembarannya dan saat
ia membuka matanya ia masih tetap duduk di kursi lalu mengamati seisi ruangan
asing itu. ‘sampai kapan aku harus di sini? Apakah keberadaanku di sini untuk
menemani Lexa atau ada hal lain yang belum aku tahu?’ rasa lapar tidak lagi
menggugah keinginan Helen untuk makan meski wangi aroma sayur dan lauk yang di
masak Lexa tercium ke hidungnya. Meski lingkungan sekitar sepi tidak ada suara
jangkrik atau kodok yang terdengar. ‘aku tidak punya keinginan ataupun
cita-cita, aku tak membutuhkan teman, pasangan hidup atau yang lainnya, untuk
apa Tuhan membiarkan aku hidup? Apakah hanya karena takdir? Ada banyak
perempuan single di dunia ini dan
mereka punya alasan masing-masing mengapa mereka tidak menikah dan aku? Aku
tidak punya alasan sama sekali karena aku memang tidak ingin. Aku tidak mau
menikah hanya karena memikirkan penilaian orang lain, tidak juga demi nama baik
keluarga. Aku tidak pernah menyesal dengan keputusan yang kuambil. Hidupku
adalah milikku, Tuhan yang mengatur semua jalan yang kuambil dan aku tidak mau
mengeluh kepada Tuhan yang telah memberiku kehidupan.’
Tiba-tiba di depan rumah terdengar suara
mesin mobil berhenti dan sepertinya Lexa juga mendengar sehingga dia sudah
muncul juga di depan pintu saat Helen masih duduk di kursinya. Gadis itu
membuka pintu dan langsung keluar, di luar seorang pria keluar dari dalam mobil
dan berbicara dengan Lexa.
“Ini mobilnya Mbak, saya langsung pulang
saja dan kata bos seperti biasa.” Ujar pria itu. Seperti biasa dari bos itu
yang dimaksud adalah Lexa bisa memakai mobil itu sampai kapanpun tanpa harus
memikirkan kapan harus mengembalikannya dan nanti akan diambil oleh sopir
temannya itu.
“Terima kasih banyak ya, tolong sampaikan
kepada teman saya kalau saya sedang tidak menggunakan ponsel untuk waktu dekat
ini, dia tahu kok. Sampaikan juga salamku kepada Mbak Meiki.” Kata Lexa agar
pria itu menyampaikan juga salamnya kepada istri temannya yang juga sudah
menjadi temannya.
“Kamu pulang naik apa?”
“Di depan nanti ada ojek kok.”
Helen berdiri di pintu dan tidak mengerti
apa yang mereka bicarakan sampai pria itu pergi meninggalkan tempat itu. Di
tangan Lexa sudah ada kunci mobil mewah jenis sport.
“Siapa pria itu tadi?” suara Helen terdengar
curiga.
“Teman.” Jawab Lexa pendek. Helen tidak
menyangkan kalau Lexa ternyata punya banyak teman dari kaum pria juga. ‘Apakah
karena itu sebabnya ia tidak mau menikah? Punya banyak teman pria sehingga ia
sudah tahu di mana letak kelemahan pria? Alasan yang tidak masuk akal.’
Lexa masuk ke dapur untuk menikmati makan
sebelum gelap karena setelah maghrib ia punya rencana yang mungkin tidak akan
Helen duga. Ia membuka tudung saji lalu mengambil nasi dari rice cooker.
Helen mengikutinya dan ikut duduk di depan Lexa. Perempuan itu tidak melepaskan
matanya dari wajah Lexa dan apapun yang dilakukan Lexa tak lepas dari
pengamatannya.
“Kamu sebenarnya siapa?”
“Makanlah.... yang kenyang.” Kata Lexa
setelah nasinya siap di santap.
“Terima kasih sudah menyiapkan semuanya,
tapi jangan harap semua yang kamu lakukan ini membuat aku langsung berubah
pikrian. Aku tetap harus pergi dari sini.”
Lexa menikmati masakannya dan tak peduli lagi
apapun yang dikatakan oleh Helen karena sebentar lagi dia akan mengajak Helen
ke suatu tempat tidak peduli perempuan itu suka atau tidak. Dan Helen coba
menikmati masakan Lexa walau sejujurnya ia tidak begitu bernafsu namun rasa
lapar cukup memanggil sehingga tanpa disadari ia sudah menghabiskan sepiring
meski tidak penuh. Lexa cukup lega melihat Helen makan karena bagaimanapun ia
tidak mau perempuan itu sakit. Helen memang tidak menyadari siapa dia dan
dirinya sendiri tapi Lexa tahu kalau yang sedang duduk dihadapannya sekarang
ini adalah seorang sahabat yang sangat ia sayangi. Tak peduli kini semua hal
yang dilakukan perempuan itu tidak ia sukai, perempuan itu sedang ditutupi oleh
sesuatu yang disebut dengan amnesia. Jika saja hati Helen sedang berada pada
sosok orang yang paling dia bencipun harus dihadapi karena sejatinya sahabat
sejati itu tidak akan pernah berubah dalam bentuk apapun. Dunia boleh menilai,
boleh bicara apapun tentang dia dan mengambil kata-kata dari Oprah Winfrey ‘Fake
friends believe in rumors. Real friends believe in you’
Beberapa menit berikutnya Lexa menyerahkan
sebuah jaket bahan kaos kepada Helen agar dipakai sebelum mereka masuk ke dalam
mobil. Helen menerima tanpa bertanya karena ia juga melihat Lexa sudah
mengenakan pakaian yang sama. Kini mereka sudah ada di dalam mobil dan Lexa
duduk di belakang stir.
Helen sejenak menyimak rumah yang akan
mereka tinggalkan, teras yang diterangi oleh bohlam ala kadarnya dan halaman
yang dipenuhi bunga serta pagar berbentuk bunga. Mereka pasti akan kembali lagi
ke rumah itu karena Lexa tidak membawa tas mereka. Helen juga tidak berminat
untuk bertanya ke mana Lexa akan membawanya bersama malam menjemput. Kini Helen
hanya diam saja membuat Lexa jadi bertanya-tanya sendiri apakah perempuan itu
suka mengikutinya kali ini atau malah sebaliknya?
Mobil meluncur menyusuri jalan yang tidak
bisa dibilang terang bahkan cahaya langit lebih menerangi jalan yang mereka
lewati. Lexa menyetel lagu dari mobil detik berikutnya mengalun suara Roxette
‘Listen to Your Heart’ dengan volume yang nyaris tidak terdengar. Kini mobil
sudah masuk ke jalan raya namun masih jalan dengan tenang seolah Lexa tak ingin
segera sampai pada tujuannya. Sedangkah Helen hanya menyandarkan tubuhnya pada
sandaran jok mobil sambil matanya menatap ke arah sisi jalan seolah tidak
menganggap Lexa ada di sebelahnya. Helen sendiri tidak tahu apa yang ia rasakan,
apakah harus sedih atau sebaliknya tapi yang pasti hanya hampa meski di langit
terlihat bulan dan ribuan bintang yang menemani perjalanan mereka. Lexa menoleh
ke wajah Helen sejenak dan perempuan itu seolah memikirkan banyak hal namun
satupun tak bisa Lexa tebak apa yang sedang ada di dalam benaknya. Kini jalanan
mulai menanjak naik karena Lexa membawa mobil ke arah puncak dan lampu-lampu
yang ada di rumah-rumah di sisi jalan yang mananjak terlihat seakan ingin menyaingi
cahaya bintang di langit. Beberapa penjual jagung bakar sedang menyalakan api
untuk membakar jagung yang sudah ada di tenda mereka. Lexa tidak berhenti tidak
juga bicara kepada Helen. Menit terasa lambat sekali berjalan namun Lexa masih
terlihat santai sehingga akhirnya ia menepikan mobil pada sebuah tenda besar
yang ada tempat duduk kayunya.
“Aku mau minum kopi dan makan jagung bakar,
jika kamu berminat silahkan ikut turun.” Kata Lexa dengan nada biasa namun
Helen tidak menjawab tidak juga ikut turun. Ia hanya mengamati Lexa turun
sampai mengambil tempat duduk. Pedagang di tenda itu bertanya kepada Lexa apa
yang akan ia pesan.
“Dua gelas kopi mix dan jagung bakarnya yang
agak garing, empat.” Jawab Lexa kepada pria paruh baya pemilik tenda juga yang
menangani langsung pelanggannya. Lexa tidak meminta Helen kedua kalinya untuk
turun. Di ujung sebelah kiri tempat Lexa duduk ada dua pasang remaja yang
sedang menikmati santap malam mereka dengan jagung bakar juga serta minuman
yang bersoda. Mereka sempat melirik sekilas ke arah Lexa namun sedikitpun tak
Lexa peduli.
Helen menghampiri Lexa yang duduk sendiri di
pojok kanan ruangan dan bersandar pada dinding tenda. Tempat itu seperti
lesehan dan tepat sekali untuk orang beristirahat. Dari tempat itu mereka bisa
melihat pemandangan malam yang seperti surganya untuk para penikmat malam,
berbeda sekali dengan ruang disko atau suasana jalanan Jakarta dengan kerlap-kerlip
lampu jalan serta terangnya lampu dari gedung bertingkat namun tempat itu seakan
memiliki rahasia sendiri laksana perawan sedang menyimpan rahasia hatinya yang
tidak ingin diceritakan kepada siapapun namun dunia tahu semua rahasianya.
Helen duduk tepat di sebelah Lexa dan detik berikutnya dua gelas kopi datang
kehadapan mereka.
“Terima kasih, Pak.” Kata Lexa dan diiyakan
pria baik itu dan terlihat sekali kalau pria itu ikhlas sekali melayani
pelanggannya. Lexa meraih satu untuknya tanpa menawarkan kepada Helen karena
tanpa di kasih tahu pun Helen sudah tahu kalau yang satunya adalah untuknya.
Helen tidak mengeluarkan sepatahkatapun dari tadi dan Lexa memang sedang tidak
ingin mendengar perempuan itu berceloteh seolah menikmati kopi lebih baik dari
apa pun.
Helen melirik ke arah samping mereka di mana
terlihat ratusan cahaya lampu meski tak mampu menerangi daerah itu namun cukup
indah untuk dinikmati. Lexa menyeruput sedikit kopinya untuk menghilangkan rasa
dingin yang mulai menusuk kulit wajah, dan saat Helen ingin ikut menikmati juga
kopinya empat jagung bakar telah hadir dihadapan mereka. Jagung hangat itu
langsung menggugah selera siapa saja yang melihatnya. Kedua sahabat itu masih
saja berdiam diri tanpa kata seakan diam juga perlu dinikmati dan ternyata
indah. Namun gejolak hati tetap saja bergemuruh satu sama yang lain.
“Kau masih tidak menyukaiku?” keheningan itu
pecah juga oleh suara Helen. Lexa melirik Helen sekilas lalu menoleh kepada
remaja yang asik sekali dengan dunia mereka sampai tidak peduli dengan
lingkungannya. Ia kembali menatap Helen.
“Rasakanlah apa yang kamu pikir dan
nikmatilah apa yang bisa kamu nikmati.” Sahut Lexa lalu meraih satu buah jagung
yang ada di dalam piring.
“Kok jawabnya seperti itu?”
“Memangnya apa yang harus aku jawab? Karena
sebenarnya kamu tidak menginginkan jawaban apa pun dariku.”
“Kamu tidak mau memahami aku, tidak pernah
peduli dengan perasaanku.”
“Perasaan siapa yang harus aku tahu?
Perasaan Helen atau perasaan kamu yang sedang lupa ingatan?”
“Aku benci kamu.”
“Aku tahu.” Jawab Lexa setelah mengunyah
jagungnya. Helen tidak menyentuh jagung kecuali berkali-kali meminum kopinya.
“Kau tahu mengapa?”
“Karena aku menyayangi Helen, bukan kamu.
Tapi sudahlah aku tidak mau membahas itu lagi.”
Helen jadi tertawa pendek mendengar
penuturan Lexa yang ia anggap tidak beralasan. “Oke.. kita lupakan semua itu
sekarang anggap saja aku ini orang yang baru ingin dekat denganmu dan itupun
kalau kamu tidak keberatan.” Kata Helen dengan nada santai dan ia menoleh
sekilas pada Lexa yang menikmati jagung bakarnya. “Boleh aku tahu tentang kamu?
Dan tentang orang yang meminjamkan mobil dan rumah padamu itu.”
Lexa meletakkan jagung ke dalam piring lalu
menikmati lagi kopinya yang sudah mulai dingin. “Kamu boleh tahu apa saja
tentang diriku.” Sahut Lexa setelah gelas kembali ia letakkan. Ia tidak peduli
akan menjelaskan lagi tentang dirinya kepada Helen yang kini sedang lupa
ingatan, sebab ia tahu orang amnesia kalau sudah pulih ia akan ingat kembali
apa saja yang orang katakan.
“Terima kasih.” Kata Helen disertai senyum
manis dan ia mulai bisa menerima kehadiran Lexa di sininya mesti sebagai
kembaran Helen.
“Yang punya rumah dan mobil namanya si Boy,
temanku saat-saat dia masih single
dulu dan kini ia sudah menikah dan anaknya sudah besar. Keluarga besarnya ada
di kota tempat tinggalku. Punya usaha juga di kota ini, aku kenal baik juga dengan istrinya. Banyak orang tidak
suka dengan pertemanan kami termasuk kakakku sendiri dengan alasan macam-macam.
Padahal keluarganya sendiri saja tidak pernah mempermasalahkan. Boy sangat baik
dan sangat menghargai semua orang, sebenarnya ia ingin menemuiku tapi aku
mengatakan sedang ada urusan dengan temanku dan ia tidak pernah
mempermasalahkannya.”
“Temanmu? Maksudnya aku?” potong Helen.
“Menurutmu?”
“Oke, lupakan....! terus...?” tambah Helen
lalu ia mengambil jagung seolah siap mendengar kisah Lexa sambil menikmati
jagung bakar.
Lexa menyeruput lagi kopinya dan malam mulai
jauh merangkak rasa dinginnya udara puncak makin menusuk. Anak-anak remaja yang
di sebelah mereka beringsut mau meninggalkan tempat itu namun Lexa tetap
meneruskan ceritanya.
“kamu tahu Helen,’kan?”
“Yups.”
“Aku belum pernah punya seorang sahabat
seperti dia, dulu memang kami satu sekolah di SMA setelah itu kami berpisah,
dia ke kota lain aku juga pergi ke kota lain. Setelah tigabelas tahun baru
bertemu lagi dan anehnya setelah ngobrol beberapa jam dengannya, dan berpisah
lagi setelah itu dia seakan tahu semua apa yang aku rasakan dan inginkan. Saat
aku ceritakan masalah itu kepada salah satu temanku satu kota ia malah
mengatakan ‘yah... barangkali dia sudah mempelajari dirimu sejak tigabelas
tahun itu,’ katanya. Dan kupikir apakah itu benar? Helen memang berbeda dengan
yang lain sampai akupun tidak bisa merahasiakan apapun darinya...dan sampai
kejadian itu..” Lexa tidak meneruskan kata-katanya meski Helen menunggu dengan
tidak sabar. Lexa menikmati kopi terakhirnya dengan agak lama seolah ingin
menelan semua rasa pahit yang ia rasakan bersama Helen meski hanya ada satu
halaman saja dalam lembaran persahabatannya yang berlembar-lembar tapi mengapa
satu lembar itu rasanya merusak lembar-lembar yang lain.
“Kejadian apa...?” Helen ingin tahu. Lexa
menatap mata Helen yang juga sedang memandang wajah Lexa.
“Helen telah sangat mengecewakan aku, dia
sudah memvonisku tanpa bertanya dulu denganku. Dia mengatakan hal yang telah
kakakku kasih tahu sama dia, semua orang tahu karakter kakakku tapi Helen tidak
tahu siapa kakakku sebenarnya. Tega sekali Helen memasukkan aku ke dalam jurang
tanpa bertanya dulu padaku.”
“Kamu ini aneh, mana ada orang yang ingin
memasukan seseorang ke dalam jurang pake bicara dulu apakah orang itu mau atau
tidak? Ya nggaklah.”
“Aku serius.” Sahut Lexa melihat Helen
menganggapi ceritanya dengan berkata seperti itu.
“Ya aku tahu.... tapi apa masalahnya?
Bukankah sahabat yang baik itu tidak selalu meng’iya’kan perkataan sahabatnya?
Karena sahabat yang baik akan mengatakan baik dan akan mengatakan jelek kalau
jelek buat sahabatnya. Meski aku tidak punya sahabat aku tahu hal itu.”
“Kamu itu tetap saja baru bagi aku dan.....”
“Asing...?”
“Apa?” kata asing dari mulut Helen
menyentakkan hati Lexa.
Helen tertawa. “Ya, karena kita baru bertemu
dalam bulan ini, tentu saja kamu masih menganggap aku asing bagimu.” Kata Helen
dengan entengnya namun tidak demikian dengan Lexa karena kata-kata itu
seringkali diucapkan oleh Helen di dalam pesan singkatnya selama ini. Lexa tahu
kalau Helen sedang ingat dia berarti dia sedang kangen dan begitulah kontak
bathin mereka selama ini.
Mereka akhirnya meninggalkan tenda itu dan
meneruskan perjalanan menuju puncak pas, suasana di dalam mobil kembali menjadi
hening karena Helen asik menikmati perjalanan itu seolah dia belum pernah
keluar malam apalagi berada di dalam mobil malam-malam seperti saat ini dan ia
masih tidak tahu ke mana Lexa akan membawa diri mereka.
“Lex... apa kamu bahagia dengan hidup yang
kamu jalani sekarang?” suara Helen tiba-tiba memecah keheningan.
“Tentu saja.” Jawab Lexa dengan cepat tanpa
melirik ke arah Helen yang sedang santai duduk di sebelahnya.
“Kenapa kamu tidak membawa ponselmu? Apa
nanti tidak ada yang mencarimu? Aku juga lupa membawa punyaku.”
“Memangnya kamu mau mengangkat telepon dari
orang-orang yang menghubungimu? Kupikir buat kamu orang-orang itu tidak ada
pentingnya.”
“Yah, bagiku mungkin tapi kan bagi Helen
mereka pasti sangat penting kurasa.” Ujar Helen dengan nada masih santai. Lexa
membawa mobil agak cepat karena mereka sudah dekat dengan tujuan. Mobil
akhirnya berbelok ke arah jalanan besar dan datar, mereka sudah ada di puncak
pass. Lexa menghentikan mobil di halaman luas itu. Di kiri dan kanan ada satu
dua penjual souvenir namun Lexa tidak
tertarik sama sekali untuk melihat-lihat ke sana. Ia mematikan mesin mobil lalu
membuka kaca mobil separuh dan jok pun ia mundurkan sedikit lalu menurunkan
ketinggiannya agar ia bisa bersandar lebih santai.
“Apa kamu akan menghabiskan waktu di sini
semalam suntuk?” tanya Helen merasa mulai tidak nyaman.
“Mungkin.” Sahut Lexa ringan. “Kenapa? Kamu
tidak suka?” sepertinya Lexa tidak peduli apakah perempuan itu suka atau tidak
namun ia masih ingin berada di tempat itu tanpa keluar dari dalam mobil dan
memandang dunia malam di puncak pass. “Helen..... satu hal yang ingin aku kasih
tahu ke kamu, sejujurnya aku tidak pernah membenci kamu... karena pada
prinsipnya aku tidak pernah bisa membenci orang yang terlanjur aku sayang
terutama sahabatku. Kejadian yang pernah kita alami sebelum ini aku memang
berusaha untuk melupakannya, menguburnya dalam-dalam meski sulit sekali karena
mungkin luka ini sudah terlalu dalam sehingga sulit untuk mengobatinya. Seolah
telah menjadi dua sisi mata uang dalam kisah persahabatan kita.”
“Sepertinya pertengkaran kamu dengan Helen
memang parah dan rumit ya? Kenapa bisa seperti itu? Apa menurut kamu si Helen
masih menyayangi kamu?”
Lexa memiringkan badannya sehingga ia
menghadap ke wajah Helen. “Mengenai masalah itu aku tidak pernah meragukannya.
Tadinya aku pikir kami saling mengenal satu sama lain tapi sekarang aku lebih
mengenalinya lebih dari apa pun.”
“Bisa aku bayangkan punya teman laksana dua
sisi mata uang, tidak bisa menyatu juga tidak bisa dipisahkan.” Tutur Helen
seolah sangat memahami yang dirasakan Lexa dengan sahabatnya itu.
“Tapi sekali lagi aku katakan... aku tidak
pernah bisa membenci Helen, meski apa pun yang telah ia lakukan. Kamu harus
bisa membedakan kata benci dengan kecewa.”
“Sesayang apa sih kamu sama dia?”
“Hanya dia yang tahu sesayang apa aku sama
dia.” Lexa menghela napas panjang lalu memperbaiki lagi posisi duduknya namun
Helen masih menatapnya dengan serius entah tidak tahu mengapa ia merasa iri
dengan perasahabatan mereka. Ia jadi berubah pikiran ingin mencari sahabat
juga, tapi apakah ada persahabatan seindah itu? Itu yang Helen pikirkan
sekarang karena dia tidak ingin dikecewakan orang apalagi disakiti oleh sahabat
sendiri. Karena katanya orang-orang disakiti oleh sahabat sendiri itu rasanya
lebih sakit dari apa pun. Andai itu terjadi sepertinya Helen tidak akan sanggup
melewatinya.
“Aku.. maksudku saat melihat ada pertemenan
seperti kalian aku rasanya ingin sekali punya seorang teman. Tapi.....” Helen
menggantungkan kata-katanya untuk beberapa saat membuat Lexa meliriknya.
“Apakah ada orang yang ingin tulus berteman denganku?” pertanyaan mengandung
harapan itu memaksa Lexa tetap menatap perempuan itu dan kini keduanya saling
menatap seolah mencari jawaban dari pertanyaan semacam ungkapan hati itu. Tapi
tidak tahu siapa yang mulai akhirnya keduanya berpelukan untuk beberapa saat.
Itu pertama kalinya Lexa memeluk Helen setelah bertahun-tahun tidak memeluk
perempuan itu meski selama ini dia ingin sekali melakukannya tapi kondisinya
sangat berbeda. Lexa tidak ingin menangis meski ia sangat terharu, ada
kebahagiaan yang merasuki hatinya namun tiba-tiba rasa bahagia itu langsung
hilang saat menyadari kalau yang ia peluk bukan yang ia kenal. Ia melepaskan
pelukannya saat Helen mulai erat memeluknya.
“Emm... maaf kalau ternyata aku bukan
sahabatmu, tapi apakah aku tidak mungkin bisa jadi sahabatmu?”
“Sudahlah! Tidak usah bahas lagi masalah
sahabat itu.” Lexa memutar lagu di dalam mobil taklama kemudian terdengar
alunan lagu klasik. Suasana malam itu semakin tidak keruan Lexa ingin mendengar
cerita Helen tapi bukan tentang perasaannya yang sedang amnesia tapi itu tidak
mungkin rasanya. Lexa coba memejamkan matanya dan menyandarkan kepalanya di
jok, hembusan angin malam puncak pass menyapu lembut kulit pipinya yeng lembut.
Helen coba melakukan hal yang sama namun ia tidak tahu apa yang ia pikirkan.
Helen tidak bisa menebak apa yang sedang dipikirkan oleh Lexa saat ini, tidak
berapa lama Helen membuka matanya lalu membuka juga jendela mobil. Dilangit
terlihat ribuan bintang yang seakan bisa diraih dari dalam mobil oleh Helen.
Helen mulai resah dan merasakan sepi yang tidak terkira meski ada sosok manusia
di sebelahnya. Perempuan itu masih memejamkan matanya meski intrumen klasik
sudah berganti. Helen memutuskan untuk membuka pintu mobil dan keluar dari
dalam mobil. Lexa menyadari hal itu namun ia tidak peduli sama sekali. Helen
berjalan ke arah pagar yang dibuat sebagai keamanan agar pengunjung tidak jatuh
ke dalam jurang. Kedua tangan Helen memegang pagar dan tubuhnya bersandar di
pagar tersebut, matanya memandang jauh ke bawah di mana terlihat ratusan cahaya
lampu dan bisa ia pastikan kalau keindahan itu telah mengalahkan cahaya bintang
di atas sana. Lexa membuka matanya dan melihat Helen berdiri membelakangi mobil
ia membiarkan perempuan itu melakukan apa saja yang ia sukai.
‘Ya Tuhan.... apa yang aku cari di dunia
ini? Kebahagiaan? Kebahagiaan untuk siapa? Kekayaan? Untuk apa? Sungguh ini
sulit dijalani dan perempuan di dalam mobil itu... siapa dia sebenarnya? Aku
tidak mengerti apa yang dia mau dariku? Mana ada seorang sahabat yang bisa
melakukan apa saja untuk temannya.’
Tanpa disadari oleh Helen perempuan yang ia
ragukan itu sudah berdiri di sisinya dan terdengar tarikan napas panjangnya.
“Hidup ini seperti penyakit yang harus kita
jalani sesakit apa pun itu. Apa yang sedang kamu pikirkan?” kata Lexa tanpa
menoleh kepada Helen namun ikut mengamati pemandangan malam di bawah sana.
“Seandainya aku terjun ke jurang sana apa
yang akan kamu lakukan?” Helen melirik ke Lexa.
“Berarti rasa sakit itu tidak perlu kita
jalani lagi.”
“Itu artinya kamu akan ikut terjun?” tanya
Helen membuat Lexa menoleh ke arah Helen yang sedang serius menatapnya.
“Aku
menemani kamu pergi karena kamu berjanji untuk menemukan kembali sahabatku,
tapi apa yang aku dapat?”
“Kalau aku tidak menemukannya? Apa kamu akan
pergi? Silahkan. Apa kamu pikir Helen dengan aku ada bedanya? Tubuh kami
mungkin beda, pikiran kami juga barangkali berbeda, dan hati kami pun pasti
berbeda tapi apa kamu tahu kalau semua itu tidak ada gunanya? Kamu dan yang
lain sama egoisnya. Kalian hanya butuh Helen, menyayangi Helen dan peduli pada
perempuan itu walau sejatinya kalian tidak tahu kalau sebenarnya Helen itu
tidak pernah peduli kepada kalian semua, sudah aku katakan berkali-kali kalau
Helen hanya peduli pada dirinya dan mencintai dirinya sendiri. Kalian masih
saja mau melakukan hal yang tidak masuk akal untuknya, meninggalkan keluarga,
bahkan menyediakan waktu untuknya meski ia tidak butuh itu.”
“Kamu pikir seperti itu? Silahkan berpikir
apa saja untuk Helen karena itu adalah hak kamu. Setiap manusia boleh menilai
siapa pun yang ia lihat tapi sejatinya manusia tidak bisa menilai manusia lain sebelum
dia benar-benar mengenali luar dalamnya.”
“Berarti kita tidak boleh saling menilai
karena kita berdua belum saling mengenal.” Kata Helen sambil meninju pelan bahu
Lexa seakan menggodanya namun Lexa tidak merespon.
“Oke, sekarang aku yang tanya sama kamu...
seandainya aku yang terjun ke jurang sana apa yang akan kamu lakukan?” Lexa
balik bertanya.
“Yakin ingin tahu?” tantang Helen dengan
pasti.
“Kenapa tidak!?”
“Oke,
akan aku perlihatkan sama kamu.” Helen menarik tangan Lexa dan membawanya ke
dalam mobil. Tapi Helen memilih duduk di belakang stir dan Lexa duduk di tempat
Helen tadi. Helen menyalakan mesin mobil dan melirik ke Lexa sejenak.
“Apa yang akan kamu lakukan?” tanya Lexa
mulai curiga dan menduga yang tidak-tidak kalau Helen sampai membawa mobil
jatuh ke dalam jurang.
“Kamu selalu punya pikiran buruk terhadapku...”
Helen membawa mobil mundur lalu memutar ke arah jalan besar dan detik
berikutnya ia meluncur dengan kencang seolah ingin membelah malam. “Kamu tidak
takut mati kan, Lex? Aku juga... jadi apa yang harus aku lakukan mungkin sama
dengan yang akan kamu lakukan.”
“Berbuatlah sesukamu Helen dengan satu
syarat jangan sampai merugikan orang lain.” Kata Lexa dan ia sudah tidak mau
lagi memikirkan hal yang tidak-tidak dan Helen hanya tersenyum simpul mendengar
kata-kata Lexa. Ketika mobil berjalan sekitar lima menit dengan kecepatan
tinggi Helen tiba-tiba berhenti di pinggir jalan, ia membuka pintu mobil dan
keluar. Di pinggir jalan ia berdiri dan
berteriak kekuat tenaganya.
“Malam.......! langit.....! dan
Bumi...........! dengarkan kata-kataku... aku ini adalah Helen....... yang
tidak memiliki siapapun di dunia ini.... maka kalian tidak bisa mengambil
apa-apa dariku... maka kalau Tuhan ingin mengambil nyawaku ambillah Tuhan...
aku tidak bisa membahagiakan orang-orang yang dekat denganku......” teriak
Helen dengan kencang sehingga tanpa ia sadari ada dua orang pemuda telah
berdiri di sebelahnya dengan wajah menggunakan tutup kepada sejenis sebo.
“Hei.... orang gila! Kenapa berteriak...?
serahkan barang-barang berharga milikmu.” Ancam salah satu pria di antara
mereka namun tak membuat Helen gentar. Melihat kondisi itu membuat Lexa dengan
cepat keluar dari dalam mobil.
“Apa? Kalian mau barang berharga dariku?
Kalian pikir aku punya? Ho ho... jadi kalian mau begal aku?” Helen malah berseloroh.
“Jangan membantah, cepat....! serahkan!
Kalau tidak......?!” yang satunya malah mengeluarkan sebilah belati dari
belakang punggungnya bermaksud menusuk Helen namun Lexa malah memasang
badannya.
“Hei apa yang kamu lakukan?” kata temannya
marah karena rekannya terlalu cepat bertindak dan menyadari perempuan itu sudah
terluka kedua pria itu berlari meninggalkan mereka tanpa berpikir untuk
mengambil apa-apa lagi.
Lexa sempoyongan karena perutnya terluka
dalam, Helen langsung meraih tubuh Lexa sebelum jatuh ke tanah dan tangannya
langsung bersimbah darah segar dan itu milik Lexa. Ia menatap wajah Lexa yang
diterangi lampu mobil. Wajah itu pucat namun tidak ada sedikitpun ada ketakutan
di wajahnya, seolah gadis itu sudah rela pergi meninggalkan Helen saat itu
juga.
“Helen kamu pasti tahu kan? Apa itu artinya
sahabat buat aku....?”
“Tidak.... jangan katakan itu.....” Helen
menggeleng-gelengkan kepalanya.....
*
KEBERSAMAAN
Tidaaaak... tidaaakk.
Suara teriakan itu membuyarkan lamunan
ketujuh perempuan yang ada di ruangan dingin itu. Razthi, Esty, Gendys,
Liliana, Apbriel, Elyana dan satu lagi perempuan paruh baya. Mereka mendekati
seorang perempuan yang sudah tiga hari ini terbaring tidak sadarkan diri dan
kini ia mengeluarkan suaranya dengan mata masih tertutup lalu perlahan
membukanya dengan pasti.
“Helen.......?” suara itu nyaris keluar
bersamaan dari mulut ketujuh perempuan yang di dalam ruangan itu seolah
bersyukur melihat kondisi perempuan yang mereka sebut ‘Helen’
Perempuan yang bernama Helen sudah membuka
matanya dengan sempurna dia mengamati satu persatu orang yang ada di ruangan
itu dan ia kenal semua mereka, ruangan itu bisa ia pastikan ada di dalam rumah
sakit. Helen merasa ada yang kurang dan....
‘Oh, tidak! Di mana Lexa? Dia... dia...
apakah dia sudah.....’ Helen coba bangun dari tempat tidurnya ingin mencari
Lexa. Dia tidak bisa membayangkan kalau gadis itu tidak bisa ia temui lagi dan
benar-benar telah pergi untuk selamanya.
Bersamaan dengan itu terdengar suara pintu toilet dibuka, Lexa muncul
dari arah toilet dan ia melihat Helen sudah dalam posisi duduk di atas tempat
tidurnya dengan kepala dibalut perban.
“Helen...”
“Lex..... kamu.....?” lama keduanya saling
pandang walau Lexa sembari berjalan mendekati sahabatnya yang sudah
dikelililingi oleh yang lain.
“Hei...! akhirnya kamu sadar Helen.” Gendys.
“Kita semua di sini mengkhawatirkanmu.”
Liliana.
“Kamu kok bisa pingsan sampai tiga hari
Helen, ada apa?” Razthi.
“Kamu tidak apa-apa?” Esty.
“Syukurlah kamu sudah kembali bersama kami.”
Elyana.
“Helen...... apa yang terjadi denganmu
selama tiga hari ini?” Apbriel.
“Benar... tiga hari kita semua menunggu kamu
kembali.” Kembali Gendys mengeluarkan suaranya sedangkan Lexa dari tadi masih
terpaku melihat Helen seolah tidak percaya kalau perempuan itu sudah sadar
padahal dalam tiga hari ini ia tidak ke mana-mana dan saat ia ada di kamar
mandi perempuan itu malah siuman.
Helen mengamati sahabatnya satu persatu dan
mereka semua menciptakan senyum manis untuknya. Ia kangen dengan Razthi yang
belakangan ini menangis untuknya di telepon dan mengisahkan semua kondisi
keluarganya karena ia tidak kuat lagi lalu Helen mengatakan kalau semua itu
butuh proses jangan mengikuti jejaknya meski tidak diharamkan namun sangat
dibenci oleh Allah. Razthi akhirnya bisa mendengarkannya dan kini ia sudah bisa
menjalankan usahanya dengan pikiran tenang.
Elyana... perempuan cantik itu beberapa hari
belakangan berlibur di Jakarta dan mereka menghabiskan empat hari bersama untuk
mengunjungi tempat wisata meski bersama keluarganya namun Elyana merasa bahagia
begitupun dengan Helen meski belum begitu puas mengajak Elyana mengunjungi
semua tempat... namun dalam empat hari itu cukup menambah pengetahuan mereka
satu sama yang lain.
Gendys... perempuan bawel itu kini sudah
bekerja lagi di tempat baru, Helen senang karena dia punya kesibukan sehingga
tak lagi mengeluhkan kondisinya yang selalu saja kekurangan karena ingin tampil
perfect, masalah gaji adalah nomor
dua yang penting dia sudah punya kesibukan yang tidak membuatnya jenuh di rumah
apalagi anak-anaknya sudah cukup besar.
Liliana, perempuan kalem yang kini sudah
jadi chef yang cukup diandalkan di tempat kerjanya meski tidak pernah lepas
dari masalah kehidupan namun Helen yakin kalau sahabatnya yang satu itu punya
trik tersendiri untuk menanganinya meski terkadang ia tetap meminta solusi
kepada Helen, maklumlah karena dia masih sangat muda.
Esty.... perempuan yang satu itu masih betah
menjadi single walau kadang ia
memimpikan menjadi perempuan yang bisa dicintai pria baik-baik, Esty tidak
pernah menuntut apalagi dengan kesederhanaannya juga sifat kasihnya tanpa
pandang bulu membuatnya menjadi perempuan bijak namun yang namanya pasangan
tidak ada yang sempurna karena sejatinya manusia adalah mahluk yang tidak
pernah lepas dari kekurangan dan kesalahan.
Apbriel, perempuan itu lebih cantik dan jauh
sekali lebih bijak saat ia masih single
dulu. Senyumnya selalu membuat Helen kangen, suaranya di telepon terdengar
indah seperti seorang guru padahal waktu remaja penampilannya tomboy meski kini
usahanya ada di jalur feminin sekali. Dia selalu menyempatkan diri menemui
Helen setiap kali Helen pulang kampung meski jarak yang harus di tempuh cukup
jauh. Ia pernah berucap terima kasih karena Helen mencarinya meskipun hanya
lewat Facebook padahal dia sendiri
sudah menganggap Helen adalah bagian orang yang pernah ia kenal saja, tidak
lebih. Tapi bagi Helen pribadi... ia tidak akan pernah melepaskan orang yang ia
anggap penting apalagi orang itu amat ia sayangi. Apbriel selalu saja memberikan
sesuatu setiap kali mereka bertemu, Helen merasa tidak pernah bisa membalas
kebaikannya... tapi Tuhan tahu kalau dia sangat menyayangi Apbriel.
Bibi.... perempuan paruh baya yang menemani
Helen dalam tiga tahun belakangan ini. Sudah Helen anggap seperti kakak sendiri
karena kasih sayangnya tanpa pamrih meski ia digaji oleh Helen namun dia adalah
salah satu perempuan yang menjadi asisten rumah tangga yang hebat, trampil dan
punya skill yang tidak diragukan
lagi. Helen mendapatkannya dari seorang kenalan yang ada di Facebook yang juga punya profesi sebagai
penulis, dia adalah Vanny Chrisma W.
Kini Lexa sudah ada di sini kanan Helen dan
perempuan itu dari tadi tidak mengeluarkan kata-kata lagi selain satu kata tadi
yaitu menyebut nama Helen. Helen mengamatinya sejenak lalu ia memegang kakinya
ternyata kakinya tidak apa-apa saat ia menggerakkannya tidak ada rasa sakit
sedikitpun.
“Kakiku tidak keseleo parah.... dan...” ia
menoleh kepada Lexa. “Kamu.... kamu tidak apa-apa Lex....?”
“Sebaiknya kita panggil dokter untuk
memberitahukan kalau Helen sudah sadar.” Kata Gendys.
“Jangan...” kata Lexa sambil mengisyaratkan
dengan tangannya agar tidak ada yang boleh memanggil dokter. “Seharusnya kami
yang bertanya.... ke mana saja kamu dalam tiga hari ini? Lihatlah..... kami
semua di sini mengkhawatirkanmu. Tapi sekarang... alhamdulillah kamu sudah
kembali.”
“Tiga hari....?” guman Helen sembari
menurunkan kepalanya untuk bersandar di bantal karena masih terasa pusing.
“Kalian mengatakan aku pergi selama tiga hari....? aku pikir aku pergi sudah
berhari-hari bahkan bulan, tapi yang pergi bukan diriku..... dia orang lain...
orang yang tidak kalian kenal bahkan aku sendiri tidak mengenalinya.” Suara
Helen terdengar seperti orang yang sedang menceritakan dongeng kepada anak
kecil membuat semua yang ada di tempat itu saling pandang satu sama lain. Lexa
memegang kening Helen tapi tidak panas dan Helen tidak sedang demam apalagi
mengigau. “Tapi aku senang karena kamu tidak apa-apa Lex... tadinya aku pikir
akan kehilangan kamu dan untungnya aku segera kembali meski perempuan itu tidak
berhasil membawaku pulang, tapi kupikir ia sudah berusaha melakukan yang
terbaik. Aku harus mengucapkan terima kasih kepadanya.”
“Sudah.... jangan bicara lagi.” Kata Apbriel
yang tidak ingin sahabatnya berhalusinasi karena benturan di kepalanya.
“Oh, ya.... bagaimana bisa kamu menulis
pesan di secarik kertas itu?” tanya Liliana karena masih bingung.
“Secarik kertas....? aku tidak pernah
menulisnya.” Sahut Helen membuat semua menoleh kepada Bibi dan perempuan itu
sudah menghilangkan kertas tersebut.
“Kertasnya hilang dan tidak tahu jatuh di
mana..” sahutnya menyesali.
*
Perempuan-perempuan itu sudah ada di rumah
Helen, rumah sederhana dengan dua kamar tapi kamar yang satu cukup besar karena
disulap menjadi ruang kerja juga. Helen mencari ponselnya karena merasa sudah
lama tidak memegang benda itu.
Ruang tamu dihiasi dengan banyak foto anak
Helen, keluarganya dan di satu dinding
dihiasi dengan foto-foto ketujuh sahabatnya dalam ukuran besar, ada yang
sendiri ada juga yang bersama Helen. Di ujung ruang tamu ada rak buku yang
tersusun dengan rapih termasuk beberapa novel Helen yang sudah dirilis.
Helen
benar-benar bersyukur karena kakinya ternyata tidak pincang, dan ia kembali
bisa bersama Lexa karena selama ini hubungan mereka kurang baik. Sebelum Helen
masuk ke kamarnya Lexa memeluknya dan berbisik.”
“Terima kasih karena sudah kembali.” Ujarnya
namun Helen melirik sosok perempuan yang berdiri di pinggir meja kecil yang ada
di sebelah pintu masuk kamarnya dan perempuan itu sedang tersenyum kepada
Helen.
“Seharusnya kamu berterima kasih sama dia...
tapi aku.... maafkan sikapku selama ini dan aku tidak ada maksud untuk
mengecewakanmu....” guman Helen dengan suara bergetar.
“Sudahlah tidak usah bahas yang sudah
lewat....” balas Lexa dan ia menoleh pada arah mata Helen yang memandang ke
arah meja kecil yang telah membuat kepalanya terbentur hebat. Helen bisa
melihat dengan jelas kalau masih ada sosok perempuan yang mirip sekali
dengannya di sana berdiri dengan santainya namun yang lain tidak melihat sosok
itu. Karena perempuan itu adalah adik Helen yang telah meninggal saat usianya
empatpuluh hari dan mereka memang kembar, tidak satupun diantara mereka yang
tahu karena keluarga dan orang tua Helen tidak pernah menceritakan hal itu
kepada teman-teman Helen sebab ia meninggal saat mereka masih sangat kecil
namun Helen yakin kalau perempuan itulah yang menulis nomor-nomor itu... Helen
jatuh juga waktu subuh itu disebabkan kaget karena adiknya memang sering iseng
mengagetkannya.
‘Awas kalau kamu melakukannya lagi!’ ancam
Helen dengan suara lirih dan perempuan itu mengangguk pelan namun pasti sembari
mengangkat tangannya dengan memperlihatkan jari telunjuk dan jari tengahnya.
“Hei..... sekali lagi kita ingin tahu... sebelum
jatuh kamu kok sempat-sempatnya menulis nomor-nomor kita di secarik kertas
sih?” Elyana kali ini yang bertanya dan diiyakan oleh Apbriel yang juga ingin
tahu termasuk yang lain.
“Bukan aku yang membuatnya.” Sahut Helen dan
terdengar ia ingin mengalihkan omongan. “Sudahlah tidak usah membahas itu....
sekarang kita sudah berkumpul di sini di tempat ini, kehadiran kalian merupakan
anugrah buatku. Kalian semua memang is
the best..... kita akan makan bersama karena aku sudah meminta Bibi memasak
menu special untuk kita... dan Liliana....?” Helen melirik ke Liliana.
“Ya aku tahu.... kamu suka ikan mas
pecak,’kan? Tenang..... akan aku buatkan.” Sahut Liliana sembari mengacungkan
jempolnya.
++++++
Bersambung......>>>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar