BAB 1
Julia Collection
Julia sedang sibuk membantu rekan
kerjanya, wanita singel 27 tahun itu punya dua cabang toko di pasar dengan sewa
satu ruko lebih kurang dua puluh dua
juta pertahun. Ia menjalani bisnis itu dalam lima tahun belakangan, sebelumnya
ia bekerja di sebuah butik milik seorang pejabat daerah. Ada dua orang pegawai
disetiap satu toko, sedang Julia sendiri sering bolak-balik Jakarta-Palembang
untuk membeli isi tokonya, belum lagi harus melayani penjualan secara Online.
Hari itu setelah kembali dari tokonya yang
satu, tiba-tiba Julia ingat dengan sahabatnya. Wanita itu tersenyum karena
sebenarnya bukan hari itu saja ia ingat dengan AemeL bahkan nyaris setiap hari
tapi hari itu ia bukan saja ingat tapi ada rasa kangen yang sepertinya tidak
biasa. Julia menghela napas berat seolah ingin meringankan beban yang ia rasa
di rongga dadanya tiba-tiba terasa menyesakkan dada, ia tidak pernah menelepon
lagi AemeL karena percuma sebab wanita itu tidak akan pernah lagi mengangkat
telepon darinya, sekali-kali ia mengirim pesan jika ada hal yang penting sekali
dan itu jarang sekali dapat balasan, andaipun ada balasan tidak penting untuk
dibalas karena pesannya tidak minta dikonfirmasi. Tapi rasa itu akan perlahan
menghilang seiring kesibukannya membantu
anak buahnya melayani pembeli yang jarang sepi di tokonya. Sebuah BlackBerry selalu menemaninya untuk
bisnis online yang ia jalani dua
tahun belakangan.
“Kak, ini ada BBM dari pelanggan. Katanya
kiriman sudah sampai, barang yang datang juga sama persis dengan yang ia
pesan.” Pegawai yang sekitar usia dua puluh tiga tahun itu bicara pada Julia
disambut Julia dengan senyuman itu artinya pelanggannnya puas dengan pelayanan
mereka. Ruko yang tidak lebih besar dari lima kali lima meter itu berisi barang
dengan mutu bagus dan tidak terlalu memenuhi ruangan sehingga Julia bisa
meletakkan sebuah meja dengan dua kursi kecil di pojok bagian belakang ditambah
sebuah kipas angin kecil. Sebuah laptop ukuran 11 inch sedang terbuka di atas
meja, sekali-kali Julia asik menyimak layarnya untuk melihat perkembangan
bisnis di dunia internet. Ia sendiri telah mendaftarkan Julia Collection di
sana.
Seema wanita yang sekaligus orang
kepercayaan Julia itu mendekati bosnya. “Kak, biasanya sebulan sekali sudah
harus belanja ke Jakarta, tapi kali ini baru masuk minggu kedua toko ini sudah
harus kembali diisi, apa kali ini pesan saja dan minta dipaketin seperti bulan
kemarin?” ia bertanya karena isi toko sudah harus ditambah. Pikirnya apalagi
pesanam lewat online makin lancar.
Julia melirik Seema lalu berkata “Aku akan
ke Jakarta, kalau pesan rasanya kurang puas untuk memilih.” Ia memastikan. “Oya
Seema….” Julia berhenti bicara seakan sedang memikirkan sesuatu sedang wanita
itu menunggu Julia meneruskan kata-katanya tapi Julia hanya menatapnya seolah
lupa tadi ingin bicara apa. “Mungkin aku akan ke Jakarta dalam dua hari ini,
selama aku pergi kedua toko yang ada di Palembang ini adalah tanggung jawab
kamu.” Katanya kemudian. Tanpa dijelaskan Seema sebenarnya sudah tahu tanggung
jawabnya termasuk mengirimkan pesanan yang lewat internet.
“Oke, sip..” Seema tersenyum tanda setuju.
“Seema, baju kemeja dewasa ini harganya
berapa ya? Aku lupa?” rekan kerja Seema memperlihatkan sebuah kemeja lengan
panjang karena ia sedang ditunggu dua orang sepertinya pasangan kekasih yang
berminat dengan kemeja itu.
“Seratus lima puluh ribu, bisa kurang
kok.” Sahut Seema setelah melihat jenis kemeja yang diperlihatkan temannya dan
kalaupun bisa kurang tidak lebih dari sepuluh ribu rupiah karena barang yang
ada di toko Julia Collection sudah dikenal dengan mutunya jadi tidak ada yang
berani menawar rendah. Julia hanya mengamati mereka dari belakang mejanya lalu
kembali mengecek kiriman yang sudah terkirim di internet. Jasa pengiriman tak
jarang mengecewakan yang seharusnya sampai dalam waktu tiga hari malah dua
minggu baru sampai dan membuat si pengirim dan pemesan jadi sangat kecewa dan
anehnya tidak ada jaminan ganti rugi yang ada yang punya barang harus mengirim
ulang. Itulah dunia bisnis tidak selalu manis.
Setelah berkutat beberapa menit di dunia
internet Julia meraih BB-nya dan membukanya, tidak ada PIN BB sahabatnya yang
satu itu kecuali nomor ponsel yang sudah ia simpan lebih dari tujuh tahun.
Kembali ia menghela napas panjang karena teringat lagi dengan wanita satu itu.
Di bagian depan atas ruko ada tulisan
besar berbunyi ‘Julia Collection’ itulah satu-satunya usaha yang Julia jalani
sekarang, yang bisa menghidupi dirinya sekaligus membayar empat orang
karyawannya yang kesemuanya ia anggap keluarga sendiri. Bukan itu saja, selain
itu ia masih bisa sedikit-sedikit membantu keluarganya. Julia tidak memiliki
rumah pribadi, ia tinggal di tempat kos hanya ada satu kamar. Meski ada
beberapa kakaknya menawarkan untuk tinggal di rumah mereka tapi Julia memilih
untuk tinggal sendiri dibanding tinggal di rumah kakaknya yang kaya, punya
pembantu dan segala macam. Julia tidak suka mendengar gosip, tidak suka ikut
arisan keluarga juga tidak suka pergi-pergi yang tidak jelas. Ia punya banyak
teman dari berbagai kalangan, tua ataupun muda, pegawai bahkan kaki lima tapi
kini ia hanya dekat dengan wanita yang satu itu, wanita yang selama beberapa
bulan ini mengganggu pikirannya. Wanita yang ia anggap lebih dari keluarga
sendiri, tidak ada lagi rahasia yang ia simpan dari wanita itu. Semua sudah ia
buka dengan sangat jelas, ibarat sebuah buku tidak ada satupun halaman yang
wanita itu lewati mengenai kisah hidup Julia. Tapi sekarang wanita itu sedang
apa? Bagaimana perasaannya Julia tidak tahu.
Tak jarang Julia meneteskan airmata
mengingat persahabatan mereka yang tidak biasa. Julia yang merasa takut
kehilangan lantaran sudah banyak kehilangan di dalam hidupnya harus terpisah
darinya, rasanya tidak ada yang lebih sakit dari tidak tahu kabar dari seorang
sahabat yang sangat disayangi.
Hujan mulai turun dan dalam hitungan detik
saja sudah sangat deras, orang-orang yang berniat belanja jadi kalang kabut
mencari tempat berteduh tak terkecuali di depan teras Julia Collection. Julia
merasa hatinya beku dan saat itu ia ingin menuliskan pesan.
**
AL. Sadei
Gedung Gramedia dipenuhi pengunjung karena
ada jumpa penulis novel remaja di sana yaitu AL, Sadei. Seorang wanita usia
tidak lebih dari dua puluh tujuh tahun itu sedang dikerubuti oleh para
penggemar novelnya, agar novel yang mereka beli ditandatangi oleh penulis
kesayangan mereka. Tadi ada acara bedah buku sekalian peluncuran perdana novel
terbaru dengan judul ‘Rahasia Hati’ yang diterbitkan sebanyak 10.000 ekslempar
untuk seluruh Indonesia.
Tidak kurang dari dua jam acara itu
berlangsung, AL. Sadei hanya ditemani oleh pihak penerbit yang tadi memberikan
sedikit mukadimah tentang karya ke tujuh
yang ditulis AL. Sadei yang mereka terbitkan. Sebelumnya AL. Sadei telah
mengatakan kepada pengunjung kalau novel itu ia tulis dalam waktu dua bulan
saja. Bagi penulis senior itu mungkin bisa dibilang terlalu lama, tapi bagi AL.
Sadei ia menulis novel itu termasuk singkat, karena ia bisa menulis novel dalam
waktu tiga bulan bahkan lebih, ada juga bisa selesai dalam satu bulan untuk
ukuran 150-200 halaman. Tapi novel AL. Sadei bisa sampai empat bahkan tujuh
kali cetak ulang, tidak jarang juga hanya satu kali cetak dalam satu judul.
Beberapa pengunjung mendapat hadiah novel
karena berhasil menjawab beberapa pertanyaan yang disediakan oleh panitia dari
toko, dan mereka mendapat juga tanda tangan dari AL. Sadei sekaligus foto
bersama dengan sang penulisnya. Sebelum bubar AL. Sadei bicara kepada pimpinan
redaksi penerbitnya seolah candaan saja.
“Mitha, dalam beberapa minggu ke depan aku
ingin istirahat dulu.”
Wanita yang bernama Mitha itu melirik AL.
Sadei dengan mimik lucu. “Kenapa mau semedi cari ilham? Hehehe… kamu ini
ada-ada saja.”
“Ngapain cari ilham, ilham sih tidak usah
dicari kalau sudah datang ia akan datang sendiri seperti tamu tanpa diundang.
Ya sudah, aku mau pulang, kamu cepat sana… pacarmu sudah menunggu tuh.” Goda AL.
Sadei.
AL. Sadei telah menyelesaikan sesi acara
itu dan kini ia akan kembali ke tempat kosnya di kawasan Cinere. Dari lantai
tiga gedung Gramedia AL. Sadei sudah mengenakan kacamatanya ia turun
melewati lantai yang menjual berbagai
merek pakaian terkenal sebab toko Gramedia
itu ada di dalam sebuah mol
besar. Beberapa wartawan online sudah menulis apa yang AL. Sadei
bicarakan di acara tadi, dalam hitungan menit artikel mereka akan muncul di
dunia maya khusus untuk para manusia yang mencari berita di dunia yang saat ini
sudah melaju dengan pesat yang dulu beberapa orang memandangnya sebagai dunia
sesat.
Wanita dengan celana jins sekaligus kaus
lengan panjang itu sudah memasuki area parkir motor yang ada di lantai satu.
Sejenak ia memeriksa ponselnya yang ada dikantong celana jinsnya tanpa
mengeluarkannya dari dalam kantong. Ia mengenakan jaket kulitnya dan terakhir
memasang helmnya tanpa bisa menutupi rambut panjangnya yang ia ikat seperti
ekor kuda.
Melewati petugas parkir ia masih terlihat
tenang dan merasa lega karena acara bedah bukunya berjalan dengan lancar.
Setelah melewati halaman gedung mol itu ia merasa ada sesuatu menyapanya, rasa
kangen pada seseorang. Motor matic yang membawa tubuh semampai itu terliha
berjalan dengan stabil dengan kecepatan biasa namun rasa kangennya seperti meluncur pada kecepatan diatas seratus meter perjam. AL. Sadei menarik napas
beberapa kali, rasa benci dan kangen sepertinya sedang berperang hebat di dalam
dadanya. Tas ransel tipis menempel di punggungnya, meski isinya hanya sebuah
laptop dan beberapa surat seakan tidak terasa berat. Sebuah motor besar
tiba-tiba lewat di depan AL. Sadei dengan kecepatan tinggi untuk buru-buru
berbelok ke sebuah gang yang ada di kiri motor AL. Sadei, dan saat itu lampu sign belakang motor besar itu menyentuh
ban depan motor AL. Sadei bersamaan dengan bergetarnya ponsel di dalam kantong
celananya karena ada SMS masuk. Motor matic itu terlempar tanpa bisa
dikendalikan oleh pemiliknya, sedang yang punya motor besar itu sudah melesat
meninggalkan korbannya tanpa ada satupun yang bisa melihatnya dengan jelas. AL.
Sadei dengan tubuh jatuh sedang kepalanya yang terbungkus helm membentur
pembatas jalan dengan sangat keras. Beberapa orang berhenti melihat kecelakaan
itu dan sebuah mobil pikap yang ada dibelakang kerumunan orang menjadi sasaran
untuk membawa AL. Sadei ke rumah sakit terdekat. Sebelum diangkat ke atas pikap
orang melepaskan dulu helm yang masih membungkus kepala wanita malang itu,
tidak ada darah atau luka yang terlihat tapi wanita itu sama sekali tidak
sadarkan diri. Dua orang pria mengangkat tubuh AL. Sadei ke atas pikap dan
sekaligus ikut mengantar ke rumah sakit.
**
Best friend
Pihak rumah sakit tidak tahu
harus menghubungi siapa untuk menjaga pasien yang baru saja mereka rawat dan periksa.
Pasien itu mengalami gegar otak dan pergelangan kaki kirinya patah, sedang
kedua pria yang mengantarnya ke rumah sakit sudah pulang setelah mengatakan
kalau mereka hanya mengantar saja, bukan dari pihak keluarga dari wanita itu.
Kejadian semacam itu memang kerapkali terjadi di jalan. Pasien yang masih tidak
sadarkan diri itu di tempatkan di ruang intensive. Seorang dokter melihat ada
ponsel yang ada di kantong jins sebelah kiri pasien, tanpa berpikir panjang
lagi ia mengeluarkannya karena yakin ada petunjuk di sana, meski mereka sudah
memeriksa isi tas pasien tapi mereka tidak menemukan petunjuk yang bisa
dihubungi dengan cepat. Jam di dinding putih ruangan di intensive menunjukkan
pukul 15.07 WIB.
Dokter itu sudah memegang ponsel, ia
mengamatinya sejenak lalu melirik suster yang masih berdiri bingung di
sebelahnya.
“Pasti ada sesuatu di sini.” Ujar sang
dokter dengan nada pasti.
“Coba cek nomor kontaknya dok, cari nama
penting seperti ‘ayah, ibu atau kakak’ dari pasien.” Usul suster.
“Remaja sekarang jarang menulis nama seperti itu.” Kata dokter itu
sambil berusaha membuka ponsel itu dengan hati-hati. Beruntung ponsel itu tidak
memakai kata sandi. Dan pertama yang terlihat adalah pesan masuk dari nama yang
tertulis ‘bestfriend’
‘AemeL……’
Dokter itu tiba-tiba tersenyum. “Pesan kok
hanya satu kata.” Lirihnya lalu ia menatap pasien yang masih tidak sadar bahkan
bisa dibilang koma. “Pesan ini dikirim oleh bestfriend-nya,
aku harus menghubunginya.” Dokter memencet nomor itu tanpa menunggu reaksi dari
susternya.
Julia sedang menatap layar BB-nya menyala yang
memunculkan nama AemeL, sudah lama sekali nama itu tidak nongol di LCD itu
sehingga menimbulkan rasa deg-degan yang tidak keruan di hatinya. Setelah
membiarkannya beberapa detik akhirnya Julia memutuskan untuk mengangkat dan
rasa kagetnya bertambah setelah mendengar suara seorang pria.
“Halo……….?”
“Ya. Halo..” jawab Julia meski ragu-ragu.
“Maaf, siapapun nama Anda saya tidak
peduli.. tapi ini sangat penting, saya baru saja membuka ponsel seorang wanita
yang ternyata ada SMS Anda yang masuk dan bertuliskan dengan nama bestfriend, makanya saya menghubungi
Anda. Kami, dan khususnya saya telah membongkar tas pasien namun tidak satupun
menemukan yang bisa dihubungi selain di dompet ada SIM dan KTP atas nama Aemel
Baes. Wanita itu sekarang sedang berada di rumah sakit karena kecelakaan tabrak
lari.”
“Apa?” suara Julia agak tercekat tidak
percaya sekaligus cemas.
“Ini tidak main-main, kami di rumah sakit
Harapan Indah menunggu kedatangan Anda secepatnya.”
“Baik, saya akan segera ke sana.” Jawab
Julia dengan sangat cepat tanpa berpikir lagi apakah telepon itu sebuah
penipuan atau tidak.
Tadinya ia berpikir tidak tahu harus
bicara apa saat AemeL meneleponnya dan apa yang AemeL katakan, karena ia sudah
rindu sekali dengan suara itu.
Pihak rumah sakit, mencatat nama pasien
sesuai nama yang mereka lihat di kartu identitas sekaligus menulis semua hasil
lab dan sebab musabab kenapa ia sampai ke rumah sakit.
~ ~
Tepat pukul 20.47 WIB Julia tiba di rumah
sakit yang merawat AemeL Baes, setelah turun dari taksi ia langsung menuju
ruang informasi menanyakan apakah benar AemeL Baes berada di tempat itu. Dengan
tas punggung yang ditenteng, rambut semi bob, baju kaus serta celana jins dan
tanpa polesan make-up ia coba bertanya.
“Maaf Sus, saya ingin tanya… apakah ada
pasien yang bernama AemeL Baes dirawat di sini?” katanya pada wanita berseragam
perawat, disebelahnya ada dua orang lagi dan yang satunya seorang pria sedang
melihat-lihat daftar pasien. Perawat yang ditanya mengangkat wajahnya untuk
menatap Julia sedangkan seorang pria dengan pakaian dokter menatap Julia dengan
tatapan campur aduk.
“Saya cek dulu.” Sahut perawat itu
akhirnya dan langsung mengecek papan daftar pasien yang ada di
sebelahnya.
“Anda bestfriend??!”
kata dokter itu sebelum suster menemukan nama yang ditanyakan sang tamu atau orang
yang bermaksud besuk sanak saudaranya.
Julia mengalihkan pandangannya kepada orang
tersebut dan sebelum pria itu terlalu jauh mengamati wajahnya Julia mengajukan
pertanyaan.
“Anda mengenali saya?” katanya dengan nada
rendah.
“Ikuti saya…” kata sang dokter. Suster
yang melihat mereka sepertinya sadar kalau mereka sudah saling komunikasi
sehingga ia membiarkan wanita itu mengikuti printah sang dokter.
Julia sudah berjalan bersisian dengan
dokter muda itu dengan rasa was-was yang luar biasa.
“Hampir enam jam... Mengapa Anda begitu
lama datang? Sahabat macam apa Anda ini?” sergah sang dokter dengan nada tidak
enak terdengar di telinga Julia. “Semacet-macet kota ini tidak mungkin menjebak
Anda selama itu di jalanan.” Nadanya masih sama.
“Bagaimana keadaan AemeL?” Julia ingin
segera tahu kondisi sahabatnya tanpa mempedulikan ocehan sang dokter dan ia
merasa tidak perlu menjelaskan apa yang telah ia lewati selama kurang lebih
enam jam ini.
Dokter itu menghentikan langkahnya diikuti
oleh Julia, kedua orang itu saling tatap beberapa saat di lorong panjang teras
rumah sakit.
“AemeL Baes masih tidak sadarkan diri
hingga detik ini.” Kata dokter itu dengan nada tenang namun tidak demikian
dengan Julia.
“Apa maksud Anda? Dia koma?”
Dokter tidak mengangguk juga tidak
menggeleng, ia diam sejenak karena baru kali ini ada orang menyebutnya ‘Anda’
bukan ‘dokter’ “Ayo…” ia kembali mengajak Julia jalan. “Anda bukan saja
kelihatan cemas tapi juga terlihat sangat lelah. “Aku tidak menyebut AemeL
koma, hanya saja belum sadarkan diri. Ia mengalami tabrak lari.” Lanjutnya.
“Tabrak lari?”
“Ya, memangnya aneh? Ada ratusan kasus
tabrak lari di ibukota ini setiap harinya.” Mereka sudah tiba di ruang rawat
intensive. “Ini, AemeL ada di dalam, tunggu, biar saya panggil suster keluar
dulu.” Dokter membuka pintu lalu mengisyaratkan agar suster jaga keluar. Saat
keluar suster melirik sekilas pada Julia.
“Apa dia si bestfriend- itu?” ujarnya membuat Julia bingung.
“Sepertinya ya, semoga saja ia benar-benar
bestfriend sehingga kita tidak harus
menunggunya selama enam jam.” Sindir dokter.
“Maaf,.. “ Julia merasa mulai tidak sabar.
Ia langsung membuka pintu dan menerobos masuk untuk segera melihat kondisi
AemeL tanpa harus melayani dokter dan suster itu untuk berdebat. Namun di depan
pintu bagian dalam ia tertegun takkala melihat sosok seorang wanita yang
terbaring di tempat tidur pasien dengan kondisi memprihatinkan. Alat bantu
pernapasan terpasang di hidungnya. Julia menutup mulutnya dengan telapak
tangannya agar jeritannya tidak keluar saat itu pundaknya disentuh oleh sebuah
tangan dengan lembut seakan coba menguatkannya.
“Ia sudah menunggu kamu dari tadi, jika
saja ia bisa bicara maka ia akan marah sama
kamu.. kamu boleh
mendekatinya dengan catatan tidak boleh berbuat macam-macam.” Sang dokter
bicara karena merasa sudah yakin dialah bestfriend
itu.
Tas di bahu Julia sudah jatuh ke lantai
dan kakinya mendekati AemeL sedang dokter masih mengamati sosok itu, di matanya
sosok wanita itu terlihat sangat ideal.
“AemeL…..” lirih Julia memanggil nama
AemeL yang nyaris saja tidak bisa keluar dari mulutnya namun yang dipanggil
tetap diam membisu seolah ia sedang tidur dengan nyenyaknya tanpa menyadari
kalau sahabatnya yang datang dari luar kota telah berada disisinya. Julia
semakin dekat dan dengan gemetar tangannya coba menyentuh pipi AemeL. “Bangun
AemeL…….” Lagi-lagi suaranya terdengar lirih. Sang dokter masih tetap menyimak
Julia tanpa bergerak dari tempatnya semula berdiri. Lalu beberapa detik
berikutnya terdengar suara lembut dari mulut dokter yang sudah ada di sebelah
Julia.
“Pergelangan kaki kirinya patah.”
“Apa..? Anda bilang kakinya patah?” Julia
menoleh pada dokter.
“Pelankan suaramu.” Anjur dokter.
Julia merasa tidak kuat ia berbalik dan
bermaksud meninggalkan ruangan itu namun tangannya buru-buru diraih oleh
dokter. Tapi Julia malah marah kepada pria itu.
“Kenapa Anda menelepon saya kalau hanya
bermaksud menyampaikan berita seperti ini? Apa salah AemeL dan saya? Apa tidak
ada orang lain yang bisa Anda hubungi? Katakan….. apa Anda kira saya bisa
menghadapi kenyataan ini?” keluh Julia dengan mata berkaca-kaca.
“Ponsel AemeL mati, mungkin kehabisan
baterey setelah saya menelepon kamu. Apa kamu pikir hanya dia pasien di rumah
sakit ini perlu perhatian? Ribuan pasien di sini menunggu kesembuhan dan
kehadiran orang-orang terdekatnya. Jika kamu merasa dia benar-benar sahabatnya,
hubungi keluarganya dan temani dia di rumah sakit ini sebelum yang lain datang,
oke..?! saya masih banyak urusan.” Kali ini kata-kata dokter itu berubah jadi
kasar. Setelah berkata seperti itu pria itu keluar dan meninggalkan ruangan
AemeL dan Julia yang masih bingung, sedih dan tidak tahu harus bagaimana. Tidak
ada yang bisa ia lakukan selain kembali mendekati tempat AemeL dibaringkan.
Kali ini Julia benar-benar sudah menangis
dihadapan sosok AemeL yang masih tidak sadarkan diri. “AemeL…. Katakan apa yang
harus aku lakukan?” gumannya sambil memegang tangan AemeL dengan erat. “Sudah
beberapa bulan ini aku merindukan suaramu, bicaralah Ae…, aku tidak bisa
menghadapimu seperti ini, apakah ini hukuman untukku? Bangun Ae…. Aku kangen.”
Kini air mata Julia jatuh mengenai tangan AemeL namun sosok itu tetap tidak
bergeming.
Sejenak dokter itu masih menatap Julia
dari luar pintu sebelum benar-benar pergi meninggalkan kedua wanita yang tidak
ia kenal itu.
Julia tidak menghiraukan perutnya yang
mulai berteriak minta diisi, sepanjang perjalanan dari Palembang naik pesawat
pukul 17.27 WIB dan tiba di Bandara Soekarno-Hatta pukul 18.37 WIB. Perjalanan
dari Bandara sampai rumah sakit lebih kurang dua jam, dalam waktu nyaris enam
jam ia sama sekali belum menyentuh makanan. Kini dipikirannya ingin AemeL
segera siuman dan bicara padanya, harapan Julia memang terwujud AemeL sadar
setelah pukul sepuluh malam. Melihat kenyataan itu Julia tersenyum meski tak
bisa menyembunyikan rasa duka yang dalam melihat kondisi AemeL. Ia tidak peduli
kalau AemeL akan memarahinya, ia rela.
“Ae…..?” panggil Julia dengan nada penuh
rasa haru.
“Mmm.. kamu.” Suara AemeL masih
terbata-bata lalu dengan pelan ia melepas alat penutup hidungnya. “Kenapa saya
di sini? Kamu…. Kamu siapa……..?”
“Apa………?” Julia langsung shock karena AemeL tidak mengenalinya.
“Ya Tuhan……..”
AemeL tidak peduli dengan rasa kaget di
wajah Julia karena kepalanya masih terasa pusing dan ia kembali memejamkan
matanya beberapa kali. Julia hanya bisa menatap AemeL dengan pikiran tidak
menentu sekaligus sedih melebihi tadi.
~ ~
“Benturan di kepalanya menyebabkan ia lupa
ingatan dan mengalami amnesia.” Jelas dokter yang merawat AemeL. Julia masih
terdiam di depan meja dokter tanpa bisa bicara apa-apa. “Sebaiknya kamu hubungi
keluarganya.”
“Kapan ia bisa keluar dari rumah sakit
ini?”
“Untuk saat ini belum bisa dipastikan.”
Sahut dokter .
“Saya akan kembali ke ruangannya.” Hanya
itu yang keluar dari mulut Julia. AemeL kembali tertidur, bukan pingsan lagi
karena pengaruh obat. Itu kata dokternya pada Julia. Mengetahui AemeL mengalami
amnesia, Julia mematikan ponsel dan BB-nya. Ia memeriksa tas AemeL, sebuah
laptop entah masih berfungsi dengan baik atau ikut retak seperti isi otak AemeL
karena kecelakaan itu. Sebuah ponsel dalam kondisi mati dan dompet dengan isi
uang tidak lebih dari lima ratus ribu rupiah dan dua kartu ATM. Kedua kartu itu
Julia mengetahui PIN-nya dengan baik. Bukan itu saja, kata sandi twitter dan facebook AemeL juga ia tahu, karena dikasih tahu sama AemeL. Sekali
lagi Julia menatap sahabatnya yang sekarang bukan saja sakit dan patah tungkai
kaki kiri tapi mengalami lupa ingatan. Julia merasakan dadanya benar-benar
sesak.
Seorang suster masuk untuk memberikan obat
diikuti seorang wanita yang bertugas menyediakan makan malam untuk pasien. Ia
tidak peduli apakah nanti makanan itu akan dimakan atau tidak yang penting ia
sudah menyediakan sesuai intruksi dari dokter yang merawat pasien.
“Selamat malam.” Sapa suster pada Julia
yang duduk di samping AemeL. “Saya akan memeriksa Pasien, Anda keluarganya?” ia
melirik ke Julia sejenak.
“Ya, silahkan.” Sahut Julia dingin.
“O, ya. Anda diminta menemui bagian
administrasi.” Kata suster sembari mengecek kondisi AemeL.
“Tentu saja, tapi… apakah suster mau di sini
sebentar saat saya keluar menemui bagian administrasi?” pinta Julia karena
tidak ingin meninggalkan AemeL sendirian di ruangan itu.
~ ~
Di ruang administrasi Julia malah bertemu
dengan dokter yang tadi, apa dia tidak
punya kerjaan apa ya? Di ruang informasi
ada, di ruang administrasi juga ada atau jangan-jangan sebenarnya dia itu bukan
dokter. Pikir Julia mulai kesal.
“Selamat malam.” Sapa Julia karena melihat
ada petugas lain dalam ruangan itu.
“Ya, selamat malam.. silahkan masuk.”
Julia masuk tanpa mempedulikan pria yang
duduk di sebelah petugas, sepertinya ia sedang asik menyimak sesuatu. Bukannya
pria itu tidak tahu kalau Julia yang masuk tapi ia tidak mau ambil pusing
seolah sedang mengerjakan hal yang penting.
“Silahkan duduk.” Ucap petugas. Julia
menarik kursi dan duduk di depannya. Petugas langsung ke pokok permasalan. “Ini
mengenai pasien yang bernama AemeL Baes, kamu adalah satu-satunya orang yang
terdekatnya saat ini, apa kamu keluarganya? Atau kami bisa menghubungi
keluarganya?”
“Em.. kalau maksud suster mengenal biaya
perawatan AemeL selama di sini, semuanya adalah tanggung jawab saya.” Sahut
Julia yang sudah bisa membayangkan berapa besar biaya yang harus ia keluarkan.
Karena
tidak
sekali-duakali ia berurusan dengan rumah sakit.
Mendengar itu, dokter yang di sebelah
sekilas menoleh seakan terhenyak tapi sebelum Julia menyadarinya ia sudah
kembali dengan kesibukannya.
“Oke.” Pegawai rumah sakit itu
mengeluarkan kertas rincian biaya masuk AemeL . “Yang lainnya akan menyusul.”
Lanjutnya. Julia sangat mengerti, mengenai rincian biaya nginap semalam, obat,
biaya dokter dan yang lainnya.
“Terima kasih.” Kata Julia setelah
mengecek kertas yang sudah ada ditangannya. “Apa saya harus membayar ini
sekarang?” nadanya tidak mengundang rasa sombong sama sekali melainkan ingin
serius bertanya.
“Nanti saja, saat pasien akan keluar dari
sini.” Jelas petugas administrasi itu dengan ramah.
“Oke.. kalau begitu saya permisi dulu.”
Kata Julia sambil memegang kertas print
dari petugas administrasi lalu berlalu meninggalkan ruangan. Sekali lagi Julia
merasakan perutnya mulai memanggil, sebelum kembali ke ruangan AemeL, Julia
berbelok ke kantin untuk membelikan sesuatu. Di sana ia membeli beberapa buah,
roti dan air mineral.
Saat kembali jalan menuju ruangan perawatan
AemeL melintas bayangan dokter itu di pikiran Julia tanpa bisa ia kendalikan. Julia
kesal.
Ada yang harus ia katakan pada dokter muda
itu, sebab jika AemeL sudah kembali ke rumah pasti ada rutinitas untuk kontrol
dan kembali ke rumah sakit. Julia membuat perjanjian lisan pada sang dokter.
**
Ruang Hati yang Kosong
Julia dan AemeL sudah menempati sebuah
apartemen sederhana, meski kaki AemeL belum bisa dikatakan sembuh tapi
kepalanya sudah tidak sakit walau demikian tidak ada yang tahu kapan amnesianya bisa hilang. AemeL menggunakan kursi roda
untuk sementara, itu kata dokter. Barang-barang yang ada di tempat kos AemeL
bisa dikatakan tidak ada yang dibawa ke apartemen oleh Julia. Sehingga tidak
ada tanda-tanda kalau AemeL adalah seorang penulis. Motornya yang rusak masih
di kantor polisi, Julia merasa belum waktunya mengurus urusan motor,
selanjutnya tas punggung AemeL beserta isinya disimpan oleh Julia dalam rak dan
dikunci.
Tempat yang didapat Julia berada di lantai
tiga karena itu satu-satunya apartemen yang kosong. Dari taksi AemeL dibantu
oleh sopir untuk duduk di kursi rodanya. Setelah itu tugas Julia mendorong
kursi roda lalu masuk ke dalam lift, taklama kemudian tibalah mereka di lantai
tiga pintu nomor tujuh. Sejenak AemeL mengamati ruangan sederhana itu. Sebuah
ruang tamu yang bisa dibilang menyatu dengan dapur kecil.
“Kamarnya cuma satu.” Ujar Julia
memberitahu. AemeL mengambil tongkat lipatnya yang dijepit pada kursi roda dan
bermaksud berdiri. “Tunggu.” Julia langsung menahannya. “Biar aku bantu.”
“Tidak apa-apa, aku bisa.” Hela AemeL sambil
berusaha berdiri dengan menurunkan kaki kanannya terlebih dahulu. Julia
mengamatinya sejenak, susah payah AemeL untuk keluar dari kursi roda tapi tidak
berhasil juga. “Sial” ia menggerutu dan Julia langsung memegang tubuhnya dan
mengangkatnya pelan.
“Hati-hati.” Ujar Julia. AemeL sudah
berhasil berdiri tanpa berani meletakkan kaki kirinya pada lantai. Tongkat itu
menjadi pengganti kaki kirinya. “Langsung istirahat di kamar saja ya.” Tambah
Julia.
“Terima kasih, Jul.” kata AemeL setelah ia
duduk di atas tempat tidur. Julia menatap gadis itu, baru kali ini ia menyebut
nama Julia meski hanya sepotong. Waktu di rumah sakit ia hanya memanggil dengan
sebutan ‘Mbak’
“Em, ya. Sama-sama.”
“Kenapa saya harus tinggal di apartemen
ini? Dan kamu… apa benar, kamu adalah orang yang dikirim pak dokter untuk
merawat saya? Memangnya saya tidak punya keluarga? Dan… mengenai semua biaya
perawatan saya dibiayai oleh seseorang yang tidak ingin disebutkan namanya?
Apakah pak dokter itu yang melakukan semuanya? Tapi untuk apa ia melakukannya?
Apa mungkin yang menabrak saya itu masih ada hubungannya dengan pak dokter itu?
Kalau semua identitas saya hilang mengapa kamu dan dokter itu tahu nama saya?”
Mendengar pertanyaan yang menumpuk itu
membuat Julia menarik napas dalam-dalam. “Saya sudah menjelaskan semuanya yang
saya tahu, dan saya tidak tahu banyak mengenai hal itu. Sudahlah, tidak usah
berpikiran macam-macam, sejam lagi kamu harus minum obatmu kembali.”
“Jul…?” panggil AemeL saat Julia ingin
melangkah keluar dari kamar. Julia menoleh.
“Apa?”
“Aku…” AemeL ingin melontarkan lagi
beberapa pertanyaan tapi langsung distop oleh Julia.
“Sudahlah, istiharat saja. Saya harus
mandi dulu.” Potong Julia. AemeL hanya
bisa menggangguk meski masih begitu banyak yang ingin ia tanyakan pada Julia.
Di kamar mandi Julia menarik napas
dalam-dalam, kini ia baru menyadari kalau punya bisnis di Palembang tapi hati
kecilnya mengatakan, lupakan sejenak tentang hal itu karena kesembuhan AemeL
lebih utama. ‘AemeL, maafkan aku karena tidak memberitahukan siapa aku yang
sebernarnya, Tuhan.. ampuni segala salah dan dosa hambaMu ini.’ Guman Julia
dengan segala kekuatan dan titik lemahnya.
Beberapa saat kemudian Julia keluar dari
kamar mandi, ia ke dapur untuk mengambil sesuatu yang telah ia siapkan sehari
sebelum mengajak AemeL ke apartemen. Persediaan makanan di dalam lemari
pendingin yang harus ia hangatkan untuk AemeL.
Berikutnya ia ke kamar dengan bubur hangat
dan ternyata AemeL tidak tidur, ie setia menunggu Julia selesai menyelesaikan
mandinya.
“Kamu kok lama sekali.” Ujarnya saat
meliha Julia muncul seolah tidak ingin ditinggal lama-lama.
“Sudah lama tidak bisa mandi dengan
leluasa, makan ya abis itu minum obatmu.”
“Apa kamu juga sudah makan?” tanya AemeL.
“Gampanglah, yang penting kamu makan dulu
karena harus minum obat.” Ia duduk di bibir ranjang dan saat itu AemeL
bermaksud untuk duduk dan bersandar tapi saat ia menarik kakinya tiba-tiba tersangkut
dengan ujung selimut menyebabkan pergelangan kakinya terasa ketarik membuat
AemeL meringis.
“Auw…”
“Ae, kamu tidak apa-apa? Hati-hati.”
AemeL menggeleng tapi dalam hati ia
berusaha keras menahan rasa sakit yang luar biasa itu. ‘Ya Tuhan, mengapa
kakiku harus patah?’ sesaat mata AemeL terpejam seakan rasa sakit itu sedang
menusuk ulu hatinya. Julia menyimak gadis itu dengan seksama dan ia bisa
membaca kalau AemeL sedang menahan rasa sakit, itu membuatnya merasa tidak
tahan.
“Ae…” ia memegang bahu AemeL. “Kamu tidak
apa-apa?” ulangnya lagi dengan pelan. AemeL coba untuk tersenyum meski sangat
berat.
“Sini.” Ia meraih mangkuk makanan dari
tangan Julia. “Biar aku makan sendiri.”
“Yakin?”
“Ya.”
Julia membiarkan AemeL menikmati
makanannya sedang ia keluar dari kamar menuju ruang depan yang sekaligus
menjadi tempat serba guna. Peralatan dapur secara umum memang sudah disediakan
oleh pihak penyewa apartemen, hanya kompor satu tungku, wajan, penggorengan dan
ceret kecil untuk sekedar menyeduh air guna membuat teh atau kopi, tak
ketinggalan sebuah mesin cuci ukuran kecil serta lemari pendingin. Sepertinya
itu lebih dari lengkap.
AemeL di kamar sedang menyimak bubur
hangat dalam mangkuk, selera makannya sama besar dengan rasa sakit yang sedang
ia alami. Beberapa saat saja ia sudah menyelesaikan makanannya kemudian
meletakkan mangkuk di atas meja kecil di pinggir tempat tidur, ia melirik
bungkusan obat dan segelas air putih dan belum berminat untuk meraihnya.
Matanya menyimak ruangan tempat tidur yang mungkin tidak lebih besar dari empat
kali empat meter persegi. Di bagian ujung dipan ada sebuah lemari pakaian
berukuran sedang lalu di sampingnya ada kaca besar menempel di dinding, sebuah
jam dinding kecil menunjukkan waktu pukul 19.21 WIB. Sebuah lampu bohlam
menerangi ruangan itu dengan sinarnya yang lembut. Tidak ada televisi begitupun
di ruang depan, AemeL tidak melihat
adanya layar kaca. Tempat itu benar-benar asing di mata AemeL, tidak ada
satupun benda di ruangan itu yang pernah ia lihat sebelumnya. AemeL membenci
kondisinya yang mengalami lupa ingatan.
AemeL tidak menyadari kalau Julia sudah
berdiri di pintu beberapa saat dan mengamatinya dari tadi, saat sadar ia jadi
tersenyum dibalas dengan Julia dengan senyum tipis.
“Tidak ada yang bisa aku lakukan di sini.”
Helanya seolah menganggap tempat itu tidak ubahnya seperti rumah sakit.
“Ini memang tempat untuk kamu istirahat,
minum obatnya ya sebentar lagi aku akan ke lantai dua untuk membeli sesuatu di
bazzar.” Julia mengambil obat dan membukanya agar segera diminum oleh AemeL.
AemeL mengamati Julia dengan penuh kecurigaan.
“Kamu mau belanja di bazzar? Siapa lagi
yang memberi uang untuk membiayai hidupku? Jul…. kamu bukan perawat yang khusus
untuk menemani aku, kan? Dan tempat ini, sebenarnya punya siapa? Andai ada yang
menyewanya, siapa yang membayar sewanya? Aku tidak mau makan lagi dari uang
yang tidak aku tahu dari mana asalnya.” Kali ini nada AemeL terdengar
mengancam.
“Minumlah obat ini, kalau kamu sembuh
semuanya akan terjawab. Aku mohon jangan lagi menyinggung masalah itu, yang
harus kamu pikirkan sekarang adalah harus segera sembuh, tidak ada yang lain.”
Hela Julia. Kali ini AemeL meraih obat dari tangan Julia dengan kasar lalu
berkata.
“Aku
memang lupa ingatan Jul, tapi aku masih punya hati. Boleh saja aku tidak tahu
siapa kamu, siapa pak dokter itu dan siapa yang telah mengeluarkan semua uang
untukku? Sekarang aku mau bertanya sama kamu. Apa kamu kenal aku sebelumnya?”
Julia terdiam, kali ini ia benar-benar
tidak bisa langsung menjawab. ‘Kamu tahu
Julia, saat ini kamu telah menjadi sosok asing bagiku. Untuk mengenali kamu
seperti dulu aku merasa butuh waktu.’ Isi pesan beberapa
bulan lalu dari
AemeL terngiang kembali di otak Julia dan akhirnya ia pun menggeleng dengan
pasti.
“Aku harus turun untuk belanja, pastikan
obat itu kamu minum sebelum aku kembali.” Kata Julia akhirnya. Ia berbalik
tanpa menunggu reaksi lagi dari AemeL. AemeL kini yang terdiam, ia menyadari
tidak mungkin berasal dari keluarga kaya raya sehingga mampu membayar orang
untuk merawatnya atau yang menabraknya berasal dari keluarga punya pengaruh
dalam negeri ini sehingga rela melakukan apa saja agar ia tidak menuntut.
Terpikir oleh nya untuk bertanya kepada pak dokter siapa dirinya dan siapa
Julia, pasti akan ia tanyakan kalau bertemu nanti saat kontrol ke rumah sakit
untuk melihat perkembangan kakinya. Sekali lagi AemeL memejamkan matanya, rasa
sakit di kakinya kembali terasa membuatnya meraih gelas air putih lalu
menenggak obatnya. Saat menyadari Julia pergi AemeL merasa sangat kesepian,
bukan itu saja. Kini ia merasa takut sendirian.
Di bazzar, Julia membeli semua hal yang
disukai oleh AemeL, dari kopi kegemarannya, makanan kecil dan buah advocat
kesukaannya. Tidak lebih dari tiga puluh menit Julia sudah kembali dari lantai
dua, tapi Aemel telah tertidur dengan nyenyak karena pengaruh obat penenang dan
penahan rasa sakit. Julia membereskan hasil belanjaannya dan tak lama kemudian
seseorang mengetuk pintu depan. Julia melirik jam ditangannya. Pukul setengah
sembilan malam, ia beranjak ke pintu setelah pintu terbuka pria itu sudah
berdiri dengan gaya lain dari rumah sakit.
“Bagaimana kabarmu?”
“Tidak lebih baik dari rumah sakit.” Sahut
Julia. Pria itu melihat bias kelelahan dari wajah Julia yang tidak bisa gadis
itu sembunyikan.
“Maaf, aku akan sedikit mengambil waktu
istirahatmu.”
“Masuklah.” Ujar Julia.
Pria itu mengamati suasana ruangan. “Kamu
suka tempat ini? Di mana AemeL?”
“Dia
sedang tidur.” Mereka sudah duduk di ruangan sederhana dengan dua sofa yang
saling bersisian.
“Apa kalian bertengkar?”
“Sedikit, tapi jangan khawatir aku bisa
menanganinya.”
“Kamu harus menjaga kesehatanmu, AemeL
akan sangat sedih kalau kamu juga jatuh sakit. Aku membawakan beberapa vitamin.”
Kata pria itu sembari mengeluarkan beberapa vitamin yang harus dikonsumsi oleh
Julia. Kemudian sebuah ponsel. “Ini,
untuk kamu. Hanya ada nomorku di dalamnya, kamu bisa menghubungi aku kapan saja,
jangan pernah sungkan.”
“Ya, terima kasih untuk semuanya. Tanpa
bantuan Anda… saya tidak tahu apa yang terjadi dengan aku dan AemeL.”
“Bestfriend.”
Pria itu tersenyum membuat Julia ikut tersenyum simpul. “Minggu depan ia harus
ke rumah sakit, untuk kontrol lagi kepala dan kakinya.”
Julia mengangguk tanda setuju.
~ ~
Setiap hari Julia menemani AemeL bahkan
setiap mata AemeL terbuka, sore itu mereka duduk di bangku balkon menikmati
suasan sore yang tidak bisa dibilang cerah. AemeL duduk di kursi rodanya tanpa
menoleh pada Julia dan berkata.
“Kenapa tidak ada televisi di apartemen
ini?”
“Untuk apa? Acara sekarang jarang ada yang
bermutu, yang ada tentang para elit politik yang berdebat tidak jelas seperti
anak kecil, para istri-istri koruptor yang digiring ke gedung KPK untuk menjadi
saksi dengan senyum tidak tahu malu dengan menenteng tas-tas yang bermerek
serta gadget mahal. Kalaupun ada
berita artis paling-paling tentang sensasi mereka, sinetron-sinetron yang
isinya anak sekolah dengan lokasi sekolah tapi selalu bicara pacar.” Kata Julia
dengan nada sangat pelan membuat AemeL meliriknya sejenak. Sesaat ia takjub
dengan penuturan Julia. Tapi pada intinya Julia tidak mau AemeL melihat
seandainya ada orang atau penggemar AemeL yang tiba-tiba muncul di televisi
menanyakan keberadaan AemeL yang menghilang karena kecelakaan. Kalau di
jejaring sosial seperti di twitter
dan teman-teman facebook sedang
bertanya-tanya kemana AemeL karena mereka ingin mengomentari tentang novel baru
yang AemeL rilis pada hari naas itu. Tapi AemeL tidak akan tahu kalau sudah
banyak sekali komentar yang masuk tanpa AemeL buka satupun akunnya. Kalau ada
yang bertanya ke pihak penerbit maka si Metha hanya menjawab kalau AemeL sedang
istiharat atau berlibur beberapa minggu seperti yang AemeL jelaskan waktu itu.
Jadi tidak ada yang bertanya lagi.
“Apa kamu tidak bosan menemani aku?”
“Tidak pernah.” Julia menatap AemeL
sejenak.
“Tapi aku tidak ingin merepotkanmu, kamu
pasti punya kehidupan sendiri di luar sana yang harus kamu jalani tanpa harus
terbelenggu di sini dengan seorang wanita amnesia, mungkin akan lebih baik
andai saja aku langsung mati di jalanan waktu itu.”
“Ae! Kamu tidak perlu bicara seperti itu.”
Sergah Julia marah membuat AemeL menoleh pada wajah Julia tapi Julia malah
melanjutkan kata-katanya. “Apa kamu tahu terkadang aku punya pikirkan? Aku
bahkan suka berkhayal menjadi orang yang lupa ingatan, lupa segala-galanya
tentang masa lalu, tentang semua kesalahan dan tentang rasa sakit lalu hidup
dengan pikiran yang berawal lagi dari nol tanpa mengenali siapa-siapa di dunia
ini, lalu melakukan banyak hal yang positif. Mendapatkan teman baru dan semua
serba baru.”
Mendengar itu membuat AemeL terkekeh
lembut. “Apa yang kamu katakan Jul? tidak ada orang di dunia ini ingin
masalalunya hilang begitu saja, apalagi saat-saat indah. Kamu tahu apa yang
paling susah digapai di dunia ini? Yaitu masa lalu yang tidak akan mungkin lagi
kita raih, sehebat apa pun kita.” AemeL sedang berpikir keras untuk mengingat
semua masa lalunya, berkali-kali ia menarik napas dalam-dalam untuk itu tapi ia
malah merasakan kepalanya sakit luar biasa. AemeL lalu beranjak dari kursi
rodanya untuk belajar jalan namun kakinya kesandung dengan kusri rodanya sehingga
terjerembab membuat Julia berteriak.
“AemeL..!” Julia langsung turun dari
kursinya untuk memegang AemeL tapi gadis itu sudah pingsan. Lagi-lagi Julia
panik tanpa berpikir panjang lagi ia menghubungi nomor yang ada di ponsel
barunya.
Tidak sampai dua puluh menit AemeL sudah
ada di ruang perawatan sudah tenang dengan obat yang diberikan oleh dokter.
Pria itu sedang menatap Julia dan bertanya.
“Bagaimana dia bisa jatuh? Kakinya menjadi
agak terhambat untuk sembuh akibat jatuh itu.”
“Kami sedang ngobrol setelah itu ia
tiba-tiba beranjak dari kursi untuk berdiri saat itulah kakinya kesandung
dengan injakan kursi roda. Aku.. aku mohon Anda periksa lagi kepalanya, tolong…
aku tidak mau gara-gara benturan kecelakaan itu menyebabkan ada benjolan di dalam
yang memungkinkan menimbulkan gejala kanker otak.”
Pria itu tersenyum tipis ia tidak mengira
jalan pikiran Julia bisa sejauh itu meski ia tidak memungkiri akan adanya hal
semacam itu akan timbul. “Kamu tenang saja, tidak ada gejala seperti itu… akibat
pingsan itu juga karena ia terlalu keras mengajak otaknya berpikir tentang
masalalunya, ia hanya shock. Besok
juga ia bisa pulang lagi kok. Apa kamu kelelahan menghadapi AemeL?”
“Tidak.” Sahut Julia dengan sangat cepat
membuat pria itu kembali tersenyum.
“Oke, kalau begitu aku tinggal dulu.”
Julia pun berbalik tak ingin memandang
punggung pria itu, ia kembali ke ruangan AemeL tapi sampai di sana ia mendapati
suhu badan AemeL panas dan sekali lagi ia panik dan langsung memencet tombol merah
untuk memanggil suster jaga, detik berikutnya kembali ia menekan nomor yang ada
di ponselnya.
Hanya suster yang datang dan langsung
memeriksa suhu badan AemeL. Julia mengamatinya dengan masih was-was yang
tinggi. Menit berikutnya suster bicara pada Julia.
“Dia tidak apa-apa, hanya saja karena
pengaruh obat tadi… kamu tidak usah terlalu panik, ia sedang tidur kok.” Jelas suster dengan tenang.
“Ya, Sus.”
“Saya permisi dulu.. kalau ada apa-apa,
panggil saja saya.” Kata suster lagi dan Julia mengangguk meski ia agak kecewa pada
dokter yang satu itu tidak datang bahkan tidak mengangkat teleponnya. Julia
duduk di sisi AemeL dan memegang tangan AemeL.
“Ae, mengapa bisa seperti ini? Kamu
seharusnya sudah mendingan, seharusnya kamu lebih berhati-hati. Aku tidak bisa
melihatmu terus-terusan seperti ini.” Suara Julia tertahan, tapi ia tidak tahu
kalau seorang dokter sedang mengamatinya dari luar pintu melalui kaca kecil
yang ada dibagian atas pintu. Setelah beberapa detik ia berdiri di tempat itu
lalu kembali ke ruang kerjanya untuk melanjutkan tugas yang belum selesai ia
kerjakan. Seorang dokter wanita menyimak sikap pria itu akhir-akhirnya ini agak
berubah pendiam, meski penasaran ia tidak berani bertanya lebih jauh pada
dokter yang dikenal plamboyan dengan kekayaan kedua orang tuanya itu. Bukan
satu dua dokter wanita menaruh perhatian padanya tapi pria itu tak pernah
memberi harapan, ia ramah dalam urusan pekerjaan dan punya tanggung jawab yang
tinggi namun dingin dalam hal menghadapi wanita yang tidak begitu ia sukai.
Tak lama berselang seorang suster masuk
memberitahukan pada Julia kalau AemeL belum bisa pulang besok.
“Dokter Wowor mengatakan kalau pasien yang
bernama AemeL belum bisa pulang besok karena kakinya belum bisa digerakan,
tulangnya bergeser lagi.”
“Oh, dokter Wowor? Maksudnya dokter
ortopedi?”
“Bukan, dokter Wowor mendapat laporan dari
dokter bagian tulang. Dokter Wowor itu yang menangani pasien ini, ia dokter
ahli penyakit dalam dan bagian kanker juga.” Jelas suster membuat Julia
terdiam.
‘Wowor…’ gumannya dalam hati seolah baru
menyadari kalau pria itu bernama Wowor karena selama ini tak pernah ada nama di
baju dokternya. Julia kembali menatap AemeL yang ternyata belum bisa dibawa
pulang besok. Setelah kepergian suster itu Julia duduk lagi, ia mengamati sosok
AemeL yang tidak tahu dimana ia berada bahkan tidak tahu siapa dirinya. Julia
menghela napas panjang lalu mengambil ponsel yang diberikan oleh Wowor.
Diamatinya beberapa saat ponsel yang tidak bisa dibilang murahan itu meski
hanya ada satu nomor kontak dengan nama ‘Aku’. Ponsel Julia sendiri sudah ia
matikan sejak ia mengurus AemeL, detik berikutnya ia pun mematikan ponsel itu
dan meletakkanya di bawah bantal AemeL.
“Ae, kamu harus segera sembuh ya.. aku
akan merawatmu sampai kapanpun.” Ia mengusap kening AemeL dengan lembut. “Aku
tidak menyukai kota ini Ae, kalau kamu sembuh dan bisa ingat kembali aku baru
bisa kembali ke Palembang. Aku tidak mau semua orang terlalu lama kehilangan
kamu, meski aku senang berada di dekatmu tapi sungguh ini saat yang amat sangat
menyedihkan karena kondisimu. Aku ingin kita jalan-jalan lagi seperti
tahun-tahun kemarin, aku kangen kamu yang dulu, Ae.” Tanpa disadari mata Julia
telah meneteskan air mata. Gadis yang jarang sekali menangis itu akhirnya luluh
juga melihat kondisi AemeL, itu kedua kalinya ia menangis setelah AemeL mengalami
kecelakaan.
Ponsel sudah dimatikan, tapi dokter Wowor
tetap tidak muncul-muncul juga. Julia merasa bersyukur karena ia pikir tidak
ada gunanya juga memegang nomor pria itu. Sebagai seorang dokter ia mungkin
sangat sibuk dan Julia tidak ingin mengganggunya meski ia menangani AemeL. Di
sisi tempat tidur AemeL itulah Julia akhirnya tertidur karena kelelahan. Beberapa
menit berikutnya AemeL terjaga dan melihat Julia masih tertidur dengan
beralaskan satu tangan. AemeL coba menggapai kepalanya dengan usapan lembut.
“Jul…. bangun….” Kata AemeL sembari
berusaha mengangkat kepalanya dengan menyeret kedua kakinya ke arah depan agar
ia bisa duduk dan bersandar di bantal. Julia membuka matanya dan mengangkat
kepalanya lalu menemukan AemeL sudah dalam posisi setengah duduk.
“Ae, kamu sudah baikan? Tadi kamu pingsan
makanya aku bawa lagi ke sini.” Ujar Julia. AemeL pun mengamati suasana ruangan dan ia menyadari
kalau sedang berada di kamar rumah sakit dan ia langsung ingat kejadian sakit
dari kursi roda.
“Em… aku minta maaf karena lagi-lagi
merepotkanmu.” Ujar AemeL dengan penuh penyesalan karena
kekuranghati-hatiannya.
“Tidak apa-apa.. sekarang jangan banyak
pikiran dulu ya.”
AemeL malah tersenyum simpul seakan
melupakan rasa sakit di kakinya. “Orang lupa ingatan mana bisa banyak pikiran,
kamu ini ada-ada saja.” Sergahnya setengah bercanda.
“Terserahlah, pokoknya jangan berpikiran
macam-macam dulu, bagaimana dengan kakimu?” kedua gadis itu menatap ke arah
kaki AemeL bersamaan. AemeL coba menggerakkan kakinya dengan cara dimiringkan
kiri dan ke kanan.
“Tidak apa-apa, hanya sakit sedikit saja.”
Sahutnya meski tak bisa menyembunyikan kerutan di dahinya menahan rasa sakit.
Julia tahu kalau yang namanya patah itu lebih sakit dari luka yang menganga.
“Mungkin kita akan ada di rumah sakit
paling sedikitnya dua hari untuk terapi kakimu biar benar-benar bisa pulang ke
apartemen.” Kata Julia memastikan. AemeL tak membantah karena ia sudah pasrah
Julia mau membuat dirinya seperti apa pun ia tidak akan menolak meski secara
naluri ia masih ingin tahu siapa Julia itu sebenarnya yang rela tidak tidur dan
melakukan apa saja untuknya, jika benar ia orang yang dibayar rasanya jarang
menemukan orang
yang tulus seperti
itu.
Dokter Wowor masuk setelah mengetuk pintu
terlebih dahulu, Julia dan AemeL menoleh secara bersamaan, pria itu yang menegur
terlebih dahulu.
“Hei AemeL, kamu sudah bangun?” sapanya
dengan ramah sama pada pasien-pasien yang lainnya sebelum AemeL menjawab pria
itu melirik ke Julia sekilas ia penasaraan mengapa ponsel gadis itu tidak bisa
dihubungi.
“Sudah dok, em.. kapan saya bisa keluar
dari tempat ini?” tanya AemeL. Jujur ia merasa serba salah, di apartemen ia
bisa membuat Julia istirahat tapi kalau ia buru-buru pulang kakinya akan lama
sembuh.
Dokter Wowor sudah berdiri di sebelah
AemeL. “Keputusannya ada pada dokter tulang.” Ia coba meraba tumit AemeL yang sudah
diperbaiki balutannya dengan lebih kencang. AemeL diam saja padahal saat dokter
mengangkat sedikit kakinya terasa ngilu sekali. Julia hanya menyimak apa yang
dilakukan oleh pria itu sedang pria itu sekali-kali menoleh pada Julia dan itu
tidak luput dari pengamatan AemeL sehingga menimbulkan pertanyaan di hatinya
mengenai hubungan kedua insan itu. “Kepalamu gimana? Tidak ada rasa sakit, kan?
Kalau ada tolong jangan disembunyikan, ada seseorang yang begitu
mengkhawatirkan kondisi kepalamu.” Ujar pria itu dengan nada pemberitahuan dan
membuat Julia mengalihkan pandangannya ke arah lain dan saat itu Wowor pun
menatap ke Julia.
“Mm.. Jul…?” sergah AemeL setengah
memanggil. Julia menoleh. “Boleh aku bicara sebentar dengan pak dokter?” pintanya.
“Tentu saja.” Sahut Julia setelah diam
sejenak. “Aku ke kantin sebentar ya, saya titip AemeL pada Anda sebentar.”
Julia pun beranjak setelah pria itu menggangguk. Ia berjalan keluar ruangan
tanpa menoleh sekilas, ia percaya apa pun yang ditanyakan AemeL pada pria itu
Julia tidak ragu karena ia sudah memberikan janji dan ia yakin pria itu akan
memegang janjinya. Julia benar-benar ke kantin dan membelikan sesuatu yang
dibutuhkan dalam ruangan sanga menunggu AemeL.
“Pak dokter,…” kata AemeL setelah pria itu
duduk di kursi yang tadi ditempati oleh Julia. “Apakah Julia itu pacar atau
istri pak dokter?” tanya AemeL sangat ingin tahu.
Pria itu menggeleng. “Tidak, saya belum
punya istri dan juga tidak punya pacar.” Sahut pria itu setengah bercanda
membuat AemeL tertawa karena tidak percaya kalau pria sesempurna dia tidak
punya pacar. “Kenapa kamu bertanya seperti itu? Apakah ia kasar dalam
merawatmu?”
“Saya tidak suka sama dia, saya ingin
perawat yang lain, emm… sebelumnya maaf, bukannya saya tidak tahu diri..
sebenarnya saya ini tidak tahu siapa-siapa dan tidak kenal dengan siapapun,
mungkin saya ini anak yatim piatu yang ditabrak oleh orang kaya dan coba
memberikan sesuatu perawatan terbaik tapi sekali lagi apapun yang terjadi
dengan saya, saya tidak suka dengan gadis yang bernama Julia itu.”
“Tapi dia ingin sekali merawat kamu.”
“Siapa sebenarnya dia? Dan mengapa ia
ingin sekali merawat aku?”
“Jika ingatan kamu kembali maka kamu akan
tahu semuanya.”
“Itu jawaban yang sama diberikan oleh
Julia saat aku tanya siapa dia sebenarnya.” Rungut AemeL tidak puas. “Tapi satu
yang aku tangkap dari sikap dokter dengan Julia, pak dokter mencintai dia,
kan?” tebak AemeL membuat pria itu terperangah. Benarkah apa yang dikatakan
AemeL barusan? Apakah AemeL sudah melihat bias-bias aneh itu? AemeL mengamati
pria itu karena merasa tebakkannya mengenai sasaran. “Jika saya tahu kalau pak
dokter dan Julia ternyata adalah suami istri maka saya tidak akan memaafkan
kalian.”
“AemeL, mengapa kamu berpikiran seperti
itu.. sekarang kamu harus fokur dengan kakimu agar cepat sembuh, oke?” pria itu
melirik jam tangannya, sudah lebih dari sepuluh menit Julia pergi. Terpikir
olehnya untuk menelepon tapi dari tadi ponsel yang ia beri tidak aktif.
“Kalau dokter mau pergi tidak apa-apa,
sebentar lagi Julia juga pasti kembali.” AemeL tahu kegelisahan di wajah pria
itu.
“Tidak AemeL, aku tidak bisa pergi sebelum
Julia kembali.” Detik berikutnya Julia benar-benar muncul dengan menenteng
belanjaan dalam kantong kresek. “Oke,
sampai ketemu lagi.” Kata pria itu setelah melihat Julia datang.
“Terima kasih.” Sahut AemeL sembari
mengangguk.
“Terima kasih ya, sudah jaga AemeL.” Kata
Julia sebelum pria itu menghilang dari pintu.
Wowor menatap Julia sejenak setelah Julia
tidak lagi menghiraukannya, pengakuan AemeL mengatakan tidak menyukai Julia
membuat pria itu tidak rela Julia merawat AemeL. Jika saja bukan karena janji
itu sudah ia larang keras Julia merawatnya.
AemeL tidak bicara apa pun saat Julia
kembali dan mengeluarkan isi kantong belanjaannya. Julia menoleh sekilas pada
gadis itu.
“Akan aku buatkan kopi, semoga kamu suka.”
Ujarnya sambil mengeluarkan dua bungkus kopi instan lalu meraih gelas untuk
mengambil air panas dari freezer. Detik berikutnya ia mengaduk isi gelas
sehingga menimbulkan aroma nikmat kopi sejati membuat AemeL membiarkan udara
itu masuk ke dalam napasnya,
sepertinya ia
menyukai aroma itu. “Ini untukmu, rasanya sama dengan kopi kegemaranku, semoga
kamu suka.” Ujar Julia. Ia membelikan kopi yang paling digemari oleh AemeL.
Sebelum lupa ingatan AemeL bisa menghabiskan dua sampai tiga gelas kopi seperti
itu dalam sehari.
“Terima kasih.” Sahut AemeL. “Semoga saja
sesuai dengan seleraku. Pak dokter sudah cerita banyak hal padaku..” lanjut
AemeL.
“Tentang apa?” tanya Julia dengan cepat
karena saking penasarannya.
“Tapi tidak ada yang penting. Julia…..
apakah pak dokter itu………? Ah, sudahlah.” AemeL tidak melanjutkan kata-katanya
yang bermaksud menanyakan apakah dokter itu suaminya Julia.
“Apa?” Julia masih penasaran.
“Selama bersamaku, kamu belum pernah
pulang, mengapa?”
“Aku akan pulang kalau kamu sudah sembuh,
aku pernah bilang seperti itu, kan?”
“O, ya. Aku baru ingat. Maaf.”
Julia mengambil gelas kopi untuk AemeL agar
gadis itu mencicipinya dan diterima AemeL dengan senang hati. Ia coba menikmati
kopi spesial yang dibuat oleh Julia. Sesaat ia terlihat sangat menikmatinya,
Julia menyimaknya. Cara AemeL menikmati kopi tidak pernah berubah.
“Apa yang kalian bicarakan tadi?” Julia
masih saja ingin tahu apa yang ditanyakan AemeL pada dokter tadi.
“Sudah aku katakan tidak ada yang
penting…” AemeL menatap Julia dengan seksama. “Yang aku tahu pak dokter
mencintai kamu, hanya itu. Terlepas apakah dia suami kamu atau pacar aku tidak
tahu.”
“Apa…?” Julia nyaris saja tersedak saat
meneguk kopinya.
Sementara di ruangan lain, Wowor sedang
menatap layar ponselnya, pesan yang ia kirim ke nomor Julia belum ada laporan
terkirim membuatnya menarik napas dalam-dalam, sejak itu ia jarang datang ke
ruangan AemeL.
Keesokan paginya, AemeL menjalani terapi
berjalan di ruagan terapi didampingi dokter ortopedi dan Julia setia
menemaninya. Setelah makan siang terapi itu diulang lagi, dan sebelum istirahat
tidur terapi yang ketiga. Dokter mempercayakan Julia memegang tangan AemeL
sedang yang satunya memegang besi yang sudah disediakan kiri dan kanan untuk
pegangan pasien.
AemeL melirik Julia. “Biar aku coba
sendiri, siapa tahu bisa.” Pintanya untuk berjalan sendiri. Julia melirik
dokter yang mendampingi dan diperbolehkan dengan anggukan kepala. Julia pun
melepas tangan AemeL dan gadis itu memegang pagar besi yang memanjang di sini
kiri kanannya. AemeL memegang kedua batang besi itu dengan erat dan kaki
kirinya ia letakkan dengan pasti di atas lantai lalu coba berjalan. Selangkah
dua langkah dan selanjutnya ia seperti memaksakan sehingga secara reflek kaki
kirinya terangkat karena rasa sakit yang luar biasa, sehingga ia pun terduduk
di lantai. Julia buru-buru menghampiri AemeL yang tidak bergerak di lantai
dengan meringis, ia nyaris saja menangis.
“Ae, jangan dipaksakan, nanti malah makin
parah.” Kata Julia dengan nada cemas.
“Pergilah Julia, pergi! Tinggalkan aku!”
kata AemeL dengan nada tinggi, ia kecewa dengan kakinya dan marah pada diri
sendiri sehingga amarahnya tertumpah pada Julia. Dari sisi lain Wowor
menyaksikan Julia sedang diusir oleh AemeL.
Dokter mendekati pasienya. “Cukup untuk
hari ini, sudah saatnya istirahat. Besok kita lanjutkan, kasus seperti ini
tidak bisa dipaksakan, patah tulang akan sembuh dengan berjalannya waktu,
percayalah.” Kata dokter dengan bijaksana. Ia membantu Julia membangunkan tubuh
AemeL dari lantai.
“Itu benar Ae.” Tambah Julia. AemeL
menatap Julia sejenak, haruskah ia percaya dengan kata-kata Julia yang ia
yakini tidak jujur padanya!?
~ ~
Saat pulang dari rumah sakit, Julia tidak
melihat batang hidung Wowor, ia yakin pria itu tahu kalau AemeL pulang hari itu
karena dia adalah salah satu dokter yang menangani AemeL. Entah mengapa Julia
ingin sekali pria itu ada saat itu meski sekedar melepas kepulangannya bersama
AemeL ke apartemen. Sebelum naik ke lantai tiga AemeL minta mampir ke bazar
untuk membeli sesuatu.
“Jul, kamu punya uang?” tanyanya dengan
penuh harapan. Julia mengangguk dan berharap gadis itu mengatakan minta
dibelikan sesuatu hal yang sangat ingin dinikmatinya.
“Aku minta dibelikan sebuah buku tulis dan
ballpoint, tolong ya..”
“Untuk apa?” tanya Julia agak bingung.
“Ya, sekedar mengisi waktu luang.”
“O, baiklah. Tunggu di sini.” Kata Julia
meninggalkan AemeL di atas kursi rodanya sementara ia menghampiri tempat alat
tulis. Julia memilih sebuah buku sebentuk diary dan ballpoint dengan tinta
emas. Dari kursi rodanya AemeL mengamati Julia, ia berpikir apakah pak dokter
itu mengatakan kalau ia tidak suka dengan Julia? Kalau ya tapi mengapa gadis
itu masih saja seperti kemarin-kemarin. AemeL menghela napas berat.
“Terima kasih banyak.” Ujar AemeL setelah
menerima alat tulis dari tangan Julia. “Ini buku dan ballpoint istimewa. Sekali
lagi terima kasih.”
“Sama-sama.” Balas Julia sembari mendorong
kursi roda AemeL.
“Jul, apa pak dokter mengatakan sesuatu
hal sama kamu sebelum kita pulang?”
“Tidak.” Jangankan mengatakan sesuatu,
bertemu saja tidak. Lanjut Julia dalam hati. Sebuah ponsel yang masih dalam
kondisi mati tersimpan di kantong celana Julia.
Malam itu, Julia menyalakan ponselnya
karena penasaran apakah ada panggilan masuk atau pesan dari Wowor. Ternyata ada
dua kali panggilan masuk dan satu pesan.
‘Julia,
kalau kamu tidak kuat merawat AemeL, bicarlah padaku. Aku mohon.’
Julia mengernyitkan alisnya. ‘Urusan apa
dia bicara seperti itu?’ setelah memastikan cuma ada satu pesan kembali Julia
mematikan ponselnya tanpa membalas pesan itu.
“Kamu punya hape?” tanya AemeL saat melihat Julia meletakkan ponselnya di atas
rak piring.
Julia melirik AemeL. “Ya.”
“Boleh aku pinjam? Mmm.. tapi siapa yang
akan aku hubungi ya. Yah, tidak jadi deh.” AemeL membatalkan niatnya. “Apakah
aku selama ini punya benda seperti itu? Kalau iya, pasti ada orang yang
menghubungi aku, kasihan sekali kalau ada orang yang menghubungi aku dan tidak
tahu kabarku. Jul… apa aku punya pacar? Ya Tuhan… kamu kan sudah memberitahu
aku kalau kamu tidak kenal dengan aku, kalau pun aku punya pacar kamu pasti
tidak kenal dengannya.” AemeL tersenyum seakan mentertawakan dirinya sendiri.
“Atau… jangan-jangan aku sudah punya suami?” AemeL kembali berpikir keras untuk
mengembalikan ingatannya mengenai masa lalunya. Julia menghampiri AemeL dan
jongkok di depan kursi roda serta memegang kedua sandaran tangan kursi.
“Sebelum dompetmu dicuri orang di rumah
sakit, dokter sempat melihat KTP kamu, kamu masih single Ae.”
Lagi-lagi AemeL tersenyum. “Ya, ya…
syukurlah, berarti tidak ada yang menunggu aku di rumah.” AemeL memutar kursi
rodanya kebelakang membuat Julia melepaskan tangannya. “Aku ingin istirahat..
selamat malam Julia.” Helanya dengan nada tidak bersahabat.
“Selamat malam.” Julia bangun untuk
membantu AemeL naik ke atas tempat tidur.
“Aku bisa sendiri.” Selalu saja kata-kata seperti itu yang keluar setiap kali
Julia ingin membantunya. Keras kepalanya tidak pernah berubah. Pikir Julia.
Julia berjalan ke arah dapur, ia
mencuci gelas kotor, sebentar saja sudah
terdengar suara gelas jatuh dan pecah. Bukan sekali itu saja, kemarin-kemarin
AemeL mendengar suara piring pecah. Tapi saat gelas pecah terdengar suara Julia
yang meringis seperti orang kesakitan. Jempol tangan kiri Julia tergores ujung
gelas dan mengeluarkan darah segar.
“Julia…… kamu tidak apa-apa?” suara AemeL
dari kamar.
“Tidak apa-apa, kamu istirahat saja.”
Sahut Julia sambil menekan darah yang terus keluar dari jempolnya. Julia meraih
kotak P3K yang ada di sebelah rak piring. Dengan cepat ia meraih benda itu dan
mengeluarkan isinya sebelum AemeL tahu tangannya berdarah. Julia mengambil
betadine serta secarik kain kassa, dengan sangat lincah ia meneteskan obat cair
itu lalu menutup lukannya dengan kain kassa lalu membalutnya, terakhir
merekatkan plaster. Semua itu tidak lepas dari pengamatan AemeL yang bisa
melihat dapur dari kamar tidur. Kejadian itu membuat dirinya sedikit yakin
kalau Julia memang seorang perawat, bukan ahli dapur yang biasa mencuci piring
kotor. Mungkin gadis itu sangat membenci pekerjaan mencuci di dapur. Pikir
AemeL.
Setelah kejadian itu, AemeL tidak pernah
membiarkan lagi Julia mencuci gelas atau apa pun yang kotor di dapur. Ia bisa
melakukannya dari atas kursi roda.
~ ~
Wowor ingin sekali bertemu dengan Julia
bahkan setiap saat, di ruang kerjanya ia kelihatan gelisah. Ia sendiri tidak
tahu mengapa wanita yang satu itu bisa membuat pikirannya bercabang dari
pekerjaan. Wowor selalu serius dengan pekerjaannya, masalah kekayaan orang tua
bukan jadi andalannya karena menjadi dokter adalah keinginannya sejak kecil.
Dokter wanita menegurnya karena mengamati kegelisahan Wowor akhir-akhir ini.
“Selamat malam, dok. Ada tugas malam?”
sapanya sekedar ingin berbincang dengan Wowor. Wowor melirik wanita itu
sejenak.
“Ya, sebentar lagi ada operasi.” Jawab
Wowor seadanya.
“Sepertinya berat, atau jangan-jangan
dokter sedang memikirkan hal lain?” ia mulai masuk wilayah pribadi Wowor.
Wanita itu duduk di kursinya sebelah meja Wowor.
“Tidak juga, dokter sendiri mengapa belum
pulang?”
“Sebentar lagi, mau istirahat juga.
Tadinya saya kira dokter sudah mau pulang, saya pikir bisa sekalian bareng.”
Wanita itu mulai membuka peluang. Wowor hanya bisa senyum dan ia tidak
menjanjikan apa pun pada dokter itu. Dulu saja ia tidak bisa menjanjikan apa pun
pada wanita apalagi sekarang hatinya seolah sudah ada pada Julia. Wowor menatap
ponselnya, sejak ia menitipkan nomor pada Julia ia sering berharap Julia
menghubunginya.
Setelah selesai menyelesaikan operasi
sekitar tiga jam Wowor bukannya pulang tapi datang ke apartemen tempat Julia
dan AemeL tinggal untuk beberapa hari ini. Saat ia datang ke apartemen Julia
sedang menutup kaca jendela karena sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Julia
kaget melihat kemunculan Wowor saat menjelang tengah malam. Julia melirik ke
arah kamar di mana AemeL sudah ada di sana sejak sejam yang lalu. Ia pasti
sudah tidur pikirnya, jadi tidak enak mengajak pria itu masuk. Julia membuka
pintu sebelum Wowor mengetuk, ia mengamati pria yang mengenakan kemeja lengan
panjang itu.
“Ada apa?” ia langsung bertanya.
“Boleh aku masuk?”
“Tapi, AemeL sudah tidur.”
“Aku ingin bicara dengan kamu, Jul.
sebentar saja.”
Julia masih menimbang-nimbang, kalau ia
mengajak pria itu masuk ia tidak mau salah tingkah tapi tidak etis juga bicara
di depan pintu karena ia percaya pria itu tidak akan macam-macam. “Silahkan.”
“Terima kasih.” Pria itu merasa sangat
lega setelah Julia mengizinkannya masuk.
“Apa hape-mu
hilang?” tanya pria itu sambil duduk.
“Mhm… maaf, aku lupa men-charg-nya, dan tidak tahu charger-nya ada di mana.” Sahut Julia
coba tenang., ia tidak mau pria itu tahu titik lemahnya.
“O…”
Sedang di kamar, AemeL samar-samar
mendengar suara orang sedang berbincang tapi matanya tak bisa diajak kompromi.
“Mm.. kamu, maksudku… keluargamu tidak
mencarimu? Kalau kamu mau pulang, aku bisa minta orang menjaga AemeL sehari dan
kamu bisa kembali lagi ke sini.”
“Tidak.” Sahut Julia setelah duduk di
kursi satunya. Julia sangat yakin kalau anak buah dan keluarganya sedang
mencarinya apalagi ia tidak bisa dihubungi.
“M.. rumah kamu di mana?”
“Palembang.” Oh! Sial! Julia keceplosan,
sedikitpun tidak ada maksudnya untuk memberitahukan kalau dia tinggal di
Palembang.
“Palembang? Jadi…….. waktu aku menunggu
kamu selama kurang lebih enam jam itu kamu datang dari Palembang? Ya Tuhan…
pantas saja lama. Aku minta maaf.” Ujar Wowor karena sudah menghakimi Julia
datang terlambat. “Tapi…. kamu dan AemeL bisa fasih sekali menggunakan bahasa
Jakarta.”
Julia merasa tidak perlu menjelaskan apa
pun lagi pada pria itu, cukup itu saja, itupun karena keceplosan. “Mm..
sebenarnya, kamu ke sini mau bicara apa?” Julia coba membatasi waktu Wowor.
“Kamu waktu itu mengatakan kalau AemeL
adalah temanmu dari SMA, ternyata kamu dari Palembang dan pastinya AemeL juga
dari sana.”
“Em…” Julia melirik ke arah pintu kamar
khawatir AemeL terbangun. “Kamu tidak bicara apa-apa kan sama AemeL?”
“Lupakan masalah itu, aku ke sini ingin
bilang satu hal ke kamu. Aku.. suka sama kamu dari sejak pertama melihat kamu
berdiri di depan ruang informasi, setiap hari perasaan itu bertambah dan terus bertambah
dan aku rasa aku jatuh cinta sama kamu, andai kamu sudah menikah atau sudah
punya kekasih, aku minta maaf.” Kata Wowor dengan jujur dan nada yang sangat
menyakinkan. Matanya tidak lepas menatap Julia tapi Julia tidak mau meleleh
pada pria yang baru ia kenal beberapa minggu ini. Apakah pria itu pernah
mengatakan hal yang sama pada setiap dokter muda yang masih single di tempatnya bekerja?
Membayangkan hal itu membuat Julia tersenyum tipis.
“Maaf, mau minum apa?”
“Tidak Jul, terima kasih. Aku harus pulang
karena sudah terlalu malam.” Wowor tidak peduli Julia mau menjawab atau tidak
dengan pernyataannya tadi tapi ia lega karena sudah mengatakan semua isi
hatinya.
AemeL benar-benar sudah terjaga sesaat
sebelum Wowor pamit pulang.
“Ya…”
“Pegang ini.” Kalinya Wowor meletakkan
BB-nya di atas meja bukan ponsel. “Siapa tahu ada keperluan mendadak.” Ujar
pria itu sangat memohon.
“Tidak, tolong bawa lagi BB-nya.” Julia
merasa sangat tidak enak. Kalau mau ia bisa
menyalakan BB-nya sendiri tapi ia tidak mau ada teman atau keluarga yang
menghubunginya sebelum AemeL sembuh.
“Aku mohon, anggap saja ini permintaan
terakhirku. Aku pamit dulu, ya.” Wowor beranjak. “Semoga AemeL lekas sembuh.”
Tambahnya.
Julia menarik napas dalam-dalam, ia tidak
bisa memaksa Wowor membawa lagi BB itu, beberapa saat saja terdengar ada BBM
masuk dan Julia tidak mempedulikannya sama sekali, BB itu tergeletak saja di
atas meja hingga subuh menjelang.
Sebelum Julia bangun AemeL sudah bangun,
sejenak ia menyimak Julia yang masih terlelap. AemeL mengambil buku dan ballpoint-nya. Lalu mulai menulis.
Tinta emas,
Aku benar-benar tidak mengerti apa yang sedang terjadi di
tempat ini dan pada diriku?
Dan Julia, siapa pun dia… apakah dia seorang musuh, teman
atau saudara.. aku tidak peduli. Apakah saat ini aku benar-benar
membutuhkannya? Entahlah!
Tapi siapa pun dia, aku ingin sekali menjadi temannya.
AemeL menutup bukunya dan kembali
meletakkan buku itu di bawah tempat tidurnya. Setelah melirik ke Julia sejenak
ia bangkit dan berusaha jalan dengan menggunakan kedua tongkatnya untuk menuju
ruang dapur. Di sana ia coba membuat kopi, semua sudah tersedia di tempatnya…
apa pun yang diinginkan AemeL. Kopi yang ia sukai, bahkan kamar mandi yang
airnya sudah tersedia di bak mandi tanpa AemeL harus capek-capek menyalakan
kran. Sejenak AemeL menghela napas, terngiang kembali saat dokter itu pamit
semalam, ia merasa yakin kalau pria itu ada hubungan khusus dengan Julia.
AemeL menghirup kopi hangatnya sedang satu
gelas lagi ia letakkan di atas meja untuk Julia. AemeL mulai berpikir lagi. Ia
bisa menyimak semua hal yang ada pada Julia, dari jari, wajah hingga ujung
kakinya ia terlihat seperti orang kaya, atau setidaknya bukan orang susah,
mungkin seorang pengusaha muda. ‘Ya Tuhan, aku tidak bisa terus-terusan seperti
ini, Julia mungkin tidak akan meninggalkanku sebelum aku sembuh tapi sampai
kapan aku bisa ingat semuanya? Aku tidak ingin merusak hubungan pak dokter
dengan Julia.’ AemeL melirik kaki kirinya, sekali lagi ia mengesalkan kenapa
kakinya harus patah hingga menyusahkan dirinya bahkan orang lain. AemeL
mengesap lagi kopinya hingga tinggal separuh. Saat itu terdengar Julia keluar
dari kamar dan mencari-cari keberadaan AemeL.
“Ae, Ae…. Kamu di mana?” ia
mengkhawatirkan AemeL.
AemeL melirik ke pintu, Julia sudah
berdiri di sana sambil mengucek-ngucek matanya yang masih mengantuk. “Tidak
usah bersikap seperti itu, aku tidak suka.” Sahut AemeL tidak sehangat kopinya.
“Apa maksud kamu?” Julia sudah berdiri di
dekat kursi AemeL.
“Sudahlah Jul, aku sudah muak dengan semua
ini.” Sekilas AemeL melirik sebuah BB ada di atas meja yang sama sekali belum
disentuh oleh Julia. AemeL meraih tongkatnya. “Aku tidak suka sandiwara ini..
kamu dan pak dokter, siapa kalian sebenarnya? Kalian orang kaya? Yang bisa
membeli semua keperluanku, dari baju… perlengkapan serta tempat ini. Kalian
berdua pasti bukan orang yang berpura-pura baik padaku. Jika aku hanya pasien
lupa ingatan dan patah tulang, aku rasa ada ratusan pasien yang bernasib sama
denganku tapi mengapa hanya aku yang kalian istimewakan? Kenapa?” emosi AemeL
sudah mulai memuncak di pagi buta itu.
“Duduklah Ae.” Pinta Julia mulai khawatir.
“Tidak, aku tidak bisa seperti ini tanpa
penjelasan.”
“Bagaimana aku menjelaskannya sedangkan
kamu masih lupa ingatan.”
“Sekali lagi aku beritahu ya, Jul. aku
memang amnesia tapi masih punya hati yang bisa melihat dan
mendengar semua
yang ada di depan mataku sekarang ini. Apa susahnya kamu menjelaskan semuanya!
Apa aku ini seorang musuh yang tak termaafkan? Atau sebaliknya?!”
“Hentikan AemeL! Hentikan! Apa kamu sudah
ingat semuanya dan berpura-pura masih amnesia dan berharap aku jujur? Katakan!
Akan aku katakan semuanya, semua yang ingin kamu dengar? Oke!” sergah Julia tak
kalah emosi. Kedua gadis itu saling tatap beberapa saat seolah tidak tahu apa
yang harus dikatakan lagi, namun gemuruh amarah di dada sama-sama membara.
Detik berikutnya AemeL berjalan keluar dengan tongkat, Julia melihatnya dengan
masih terdiam seolah tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Tanpa ia sadari
AemeL sudah keluar dari apartemen sementara Julia masih mematung di tempatnya.
Di luar, AemeL bertemu dengan satpam lalu
bertanya. “Pak…?”
“Ya, Neng?”
“Apa Bapak pernah melihat saya sebelumnya?
Maksud saya, sebelum saya tinggal di
tempat ini?”
“Tidak Neng, memangnya kenapa? Neng mau
kemana?”
“O, tidak kenapa-napa. Saya hanya ingin
mengirup udara pagi, terima kasih ya, Pak.”
“Ya, hati-hati dan jangan jauh-jauh.”
Nasihat pria paruh baya itu lalu ia kembali ke tugasnya tanpa melihat lagi
kemana AemeL pergi.
Di dalam apartemen Julia masih bingung
memikirkan apakah AemeL sudah ingat semuanya atau belum? Terbayang dengan jelas
kemarahan di wajah AemeL tadi. Julia buru-buru bergerak dari tempatnya seolah
tersadar kalau AemeL masih dalam kondisi sakit. Julia berlari keluar tapi tidak
menemukan AemeL, ia ke ujung jalan tapi tetap tidak mendapatkan AemeL. Akhirnya
ia kembali lagi dengan kecemasan yang tinggi membuat pak satpam menegurnya.
“Ada apa, Neng?”
“M.. m.. anu Pak, lihat seorang wanita
lewat dengan menggunakan tongkat?”
“O, ya ya… tadi dia lewat sini. Katanya
mau menghirup udara pagi.”
“Bapak lihat dia jalan kemana?”
“Nggak tuh, soalnya tadi saya lagi ada
urusan. Ya paling-paling nanti juga balik lagi.” Pikir pria itu karena orang
jalan pincang tidak akan pergi jauh.
Mengingat kemarahan AemeL membuat Julia
yakin kalau gadis itu tidak akan kembali lagi. Mungkin ia sudah ingat semuanya.
Julia kembali ke apartemen setelah pamit pada Pak satpam, karena kalau AemeL
sudah ingat semuanya ia pasti akan mengunjungi tempat kosnya. Julia
menggantikan bajunya untuk menyusul AemeL ke sana dan tak lupa mengantongi BB
Wowor.
Beberapa saat kemudian Julia sudah tiba di
tempat kos AemeL selama ini, kenangan yang pernah ia lalui di tempat itu
langsung menyeruak di benaknya kala melihat pintu kayu itu. Nyaris setiap ke
Jakarta ia mampir di sana dan menginap bahkan beberapa hari lalu kembali ke
Palembang dengan belanjaan banyak sekali buat isi tokonya. Julia menghela napas
panjang, terpikir sejenak ia akan nasib tokonya selama ia tinggalkan tapi
keberadaan AemeL yang belum jelas membuyarkan semuanya. pintu kayu yang
diplitur itu masih tertutup sangat rapat dan tidak ada tanda-tanda orang datang
ke tempat itu. Seorang ibu muda menyapa Julia yang kebetulan sudah pernah
bertemu dengan Julia beberapa kali.
“Julia…. Kamu? AemeL sudah beberapa hari
tidak pulang, ada yang bilang ia keluar kota. Memangnya kamu tidak tahu?” ia
terlihat heran melihat kemunculan Julia ke tempat itu dengan tangan kosong.
“Em, ya Bu. Saya sedang menunggunya
mungkin sebentar lagi ia pulang.” Kata Julia yang hampir saja tidak bisa
bicara. Karena wanita itu tidak melihat kemunculan AemeL berarti AemeL tidak
pernah muncul di tempat itu. ‘Ya Tuhan kemana AemeL, lindungi dia Tuhan.’ Bisik
Julia dalam hati dengan napas yang nyaris saja sesak.
“O, ya sudah. Ibu ke belakang dulu ya.
Kalau ada keperluan apa-apa, panggil saya saja.” Kata wanita itu akhirnya.
“Ya, terima kasih, Bu.” Setelah wanita itu
menghilang Julia pun buru-buru meninggalkan tempat itu. Di jalan ia coba
menghubungi Wowor, karena jika ingatan AemeL sudah pulih ada kemungkinan ia
mencari Wowor di rumah sakit untuk minta penjelasan.
Julia memeriksa nomor yang masuk, dan
benar ada nomor atas nama aku mengirim
pesan, mungkin semalam Julia tidak berniat memeriksa jam berapa pesan itu
masuk, dan beberapa BBM yang sama sekali tidak ia buka. Ia memanggil dari nomor
pesan yang berisi dua kata, ‘ini aku.’ Sekali Julia panggil tidak diangkat, dua
kali, tiga kali bahkan hingga tujuh kali tetap tidak diangkat sementara nomor
yang dihubungi sedang tidak sibuk. Julia mulai kehilangan akal sehatnya, sekali
lagi ia menatap layar BB itu dan detik berikutnya ia melemparkan benda itu ke
jalanan hingga hancur berkeping-keping. ‘Sudah kuduga tidak ada perlunya kamu
menitipkan benda seperti ini padaku.’ Gerutu Julia. Orang-orang yang melihat
sikap Julia mengira ia sedang bertengkar dengan pacarnya atau telah diputuskan
cerai oleh suaminya hanya lewat telepon sehingga membuatnya emosi seperti itu.
Sedangkan Julia sama sekali tidak peduli dengan semua pandangan orang di jalan.
Ia menyetop taksi.
Di rumah sakit, Wowor baru saja keluar
dari ruang operasi, seorang dokter wanita menyapanya.
“Bagaimana operasinya dok, lancar?”
“Ya. Begitulah. Dari subuh baru selesai
jam segini.” Ia melirik arlojinya yang sudah menunjukkan pukul
delapan pagi. Lalu
ia mengeluarkan BB dari dalam kantong celananya. Melihat BB yang dipegang pria
itu
berbeda dari yang
kemarin membuat wanita itu bertanya lagi.
“Baru, dok? Yang kemarin dikemanain?”
‘pantes saja BBM-ku tidak dibaca.’ Guman wanita itu dalam hati.
“O, ada. tapi lagi pake yang ini.” Sahut
Wowor apa adanya. “Maaf aku ke kantor dulu ya.” Wowor menghindari wanita itu
yang selalu ingin tahu urusannya. Wanita itu hanya bisa mendengus kesal. Wowor
memeriksa ada tujuh panggilan dari Julia, karena khawatir ia langsung menelepon
balik, tapi nomor itu sudah tidak akitf. Wowor ke ruangannya untuk menggantikan
baju seragamnya setelah itu ia keluar dengan maksud mendatangi apartemen karena
perasaannya sedang tidak enak.
Di lorong rumah sakit langkah Wowor
terhenti karena melihat Julia sedang berjalan ke arahnya, saat itu juga ia
berlari mendekati Julia.
“Julia.” Ujarnya khawatir saat melihat
wajah Julia yang tidak kalah cemas bercampur emosi. “Barusan aku menghubungi
kamu tapi nomornya tidak aktif. Ada apa? Kamu tidak apa-apa? Dan AemeL?”
“BB Anda sudah aku buang, buat apa kalau
Anda juga tidak bisa dihubungi.” Gerutu Julia dengan nada kesal bercampur cemas.
“Jul, tadi nomorku sedang aku silent karena ada kerjaan.” Kata Wowor
masih cemas.
“Sudahlah, aku ke sini mencari AemeL.”
“Mencari AemeL? Memangnya AemeL kenapa?”
“Dia pergi dari apartemen.”
“Apa? Kalian bertengkar lagi?”
“AemeL ke sini tidak?!” suara Julia mulai
meninggi.
“Aku tidak melihatnya.” Sahut Wowor dengan
jujur.
“Ya
Tuhan… kemana dia?” Julia mulai putus asa.
“Kita akan mencarinya.” Kata Wowor dengan
cepat.
“Mencari kemana?” Julia seakan bertanya
pada diri sendiri. Dokter wanita yang menaruh perhatian pada Wowor melirik ke
arah kedua insan itu. Sepertinya ia akan berhenti berharap cinta dari Wowor.
“Apa ingatannya sudah pulih?” tanya Wowor.
“Aku tidak tahu.” Julia mulai berjalan
diikuti Wowor.
“Apa yang ia bicarakan saat terakhir kali
kalian bersama?”
“Ia mengatakan sudah muak, lalu pergi.”
Sahut Julia tidak bisa bicara panjang lebar. Wowor sedang membayangkan kalau
kedua gadis itu telah bertengkar hebat.
“Kita pasti akan menemukannya, dengan
kondisinya seperti itu ia tidak akan bisa pergi jauh. Ia tidak membawa kartu
ATM-nya, kan? Tentu saja, karena aku yakin ingatannya belum pulih.” Wowor
meraih tangan Julia dan membawa gadis itu ke tempat parkir menuju mobilnya.
Julia yang merasa sudah putus asa ikut saja dengan Wowor.
~ ~
Di tempat duduk sebuah halte bis AemeL
sedang duduk diam seperi patung, ia tidak menangis tidak juga terlihat sedang
risau. Kedua tongkatnya ia pegang dengan sangat erat tanpa peduli orang-orang
bergantian datang dan pergi dari tempat itu. Ingatannya masih tertuju pada
Julia, ia tidak bisa membedakan antara benci dan sayang pada gadis itu. Sebuah
motor besar tiba-tiba berhenti dan pengemudinya turun lalu mendekati sosok
AemeL yang masih dalam diamnya.
“Hei…” terdengar sapaan lembut. AemeL
mengangkat wajahnya sekilas dan seorang pria dengan jaket kulit dan sebuah helm
di tangan sedang tersenyum pada AemeL. “Kamu mau kemana?” ia melirik tongkat
lalu pada kaki kiri AemeL yang masih terbalut. “Kamu sedang menunggu seseorang
atau mau pergi kemana?” tanya pria itu peduli tapi AemeL tetap tak menjawab.
Pria itu melirik jam tangannya, sepertinya ia harus buru-buru pergi. “Ya,
sudah… semoga orang yang sedang kamu tunggu cepat tiba, saya permisi dulu.”
Kata pria itu dan akhirnya dijawab dengan anggukan kecil oleh AemeL dan itu
sempat membuat pria itu senang.
Di
perjalanan pria itu masih memikirkan gadis yang duduk di kursi halte bis dengan
sepasang tongkat seolah sedang menunggu pangerannya datang menjemput. Wajah itu
manis juga. Pikirnya hingga tanpa sadar terukir seulas senyum dari balik
helmnya.
Sementara Julia dan Wowor keliling mencari
AemeL nyaris seharian. Wowor yang belum istirahat dan Julia yang cemas.
Beberapa telepon masuk tidak ia angkat, sekarang mobil Wowor sedang terparkir
di ujung jalan seolah tidak tahu lagi harus kemana.
“Anda bilang akan menemukannya…” suara
Julia serak.
“Kita akan lapor polisi.” Usulnya.
“Tidak.” Tegas Julia. “Aku akan terus
mencarinya sampai ketemu.” Ia bermaksud membuka pintu mobil tapi tangannya
langsung ditarik oleh Wowor. “Kamu harus makan dulu, dari pagi kamu belum
makan.”
“Anda pikir aku bisa makan sebelum melihat
AemeL?”
“Ya, Tuhan. Julia…. Kamu boleh-boleh saja
memikirkan AemeL tapi kamu juga harus memikirkan kesehatan kamu.” Hela Wowor.
“Anda tidak akan mengerti, lepaskan tangan
saya.” Pintanya.
“Tidak. Aku tidak akan melepaskanmu.”
“Lepaskan!”
“Tidak!” Wowor bersikeras. Ia tahu gadis
itu sedang khawatir dan lelah juga lapar, Wowor juga tidak bisa menyembunyikan
kelelahannya membawa mobil di tengah-tengah kemacetan lalu lintas.
“Apa sih peduli Anda?!” Julia merasa
sedang ditahan.
Wowor melepaskan tangan Julia sambil
berkata. “Aku peduli sama kamu karena aku mencintai kamu, aku tidak ingin kamu
sakit. Puas kamu mendengar pengakuan itu?”
Julia terdiam, ia menurunkan tangannya
perlahan seolah tidak punya tenaga lagi, jangankan beranjak dari dalam mobil
mengangkat wajahnya saja ia tidak kuat lagi. Ia ingin sekali menangis, di sini
lain ia kehilangan AemeL dan di sini Wowor mengutarakan perasaanya. Julia tidak
bisa bicara apa-apa lagi karena kata-kata Wowor seakan menohok titik lemah di
hatinya. Wowor menunggu reaksi Julia agak lama dan detik berikutnya Julia
menatap pria itu dengan keberanian yang susah payah ia kumpulkan.
“Anda baru kenal saya beberapa minggu ini,
gampang sekali Anda mengucapkan kata-kata itu. Asal Anda tahu ya, saya rela
kehilangan Anda daripada AemeL. AemeL adalah sahabat saya sudah hampir puluhan
tahun, jadi…” Julia tidak bisa meneruskan kata-katanya. Wowor menarik napas
panjang.
~ ~
Pukul lima lebih, pria itu lewat lagi di
halte bis itu entah masih ingat gadis itu atau memang ia harus pulang melewati
jalan itu. Dan ia terkejut karena gadis itu masih berdiam di tempat ia duduk
tadi pagi. Pria itu buru-buru turun seakan menyadari ada yang tidak beres. Ia
memegang pundak AemeL.
“Kamu, apa dari tadi pagi kamu belum
beranjak dari tempat ini? Apa orang yang kamu tunggu belum juga datang?”
tanyanya dengan datar namun mengandung kecemasan yang tinggi karena melihat
kondisi tubuh gadis itu sudah sangat melemah dan bersandar pada sandaran kursi.
AemeL menatap pria itu tapi tidak bicara apa-apa. “Kamu… aduh, apa kamu lupa
jalan pulang?” ia mengira gadis itu tidak bisa bicara.
“Emmm… tidak, tapi aku… aku benci dia.”
Pria itu berpikir kalau wanita itu sedang
bertengkar dengan suaminya atau saudaranya. “Wajah kamu pucat sekali, dan…” ia
memegang tangan AemeL. “Tangan kamu dingin, kamu harus pulang, biar aku antar…”
“Tidak. Aku tidak mau pulang.” Suara AemeL
bergetar karena lemah, seharian ini ia tidak makan apa-apa.
“Kamu harus pulang, sehebat apa pun
pertengkaran dengan saudara atau pada orang tua, kamu tidak boleh seperti ini.
Mereka pasti mencari kamu. Ayo…. Aku antar, lihatlah sebentar lagi akan gelap.
Kota ini sangat kejam… aku tidak mau terjadi apa-apa pada dirimu.” Sebelum
membawa AemeL pulang pria itu membelikan sebotol susu coklat untuk memulihkan
tenaga AemeL yang lemah agar ia tidak jatuh dari boncengan motornya. Sebentar
saja AemeL sudah ada di belakang tubuh pria itu, tanpa sadar ia memeluk tubuh
pria itu dengan sangat erat karena takut jatuh dan sekaligus rasa dingin yang
tak tertahankan.
Tidak sampai sepuluh menit AemeL sudah
tiba di apartemen yang tidak dikunci oleh Julia waktu pergi. Pria itu membawa
AemeL ke dalam, sejenak ia mengamati suasana apartemen dan menurutnya sangat
nyaman sebagai tempat tinggal. Tubuh AemeL yang sudah sangat lemah apalagi
kondisi kakinya yang masih parah membuat pria itu menggendongnya ke atas tempat
tidur.
“Kamu di sini tinggal sama siapa?”
“Kakak saya.” Sahut AemeL dengan nada yang
seakan tenggelam oleh kelelahannya.
Pria itu meletakan tongkat AemeL di sini
tempat tidur. “Istirahatlah, aku akan di sini sampai kakakmu pulang.” Ujarnya.
“Terima kasih.” Kini pria itu hanya melihat
mulutnya yang terbuka tanpa bisa
mendengar suara AemeL yang sudah sangat
kecapean. Sejenak ia mengamati AemeL namun AemeL sudah memejamkan matanya.
Setelah menyelimuti tubuh AemeL ia keluar dari ruangan itu. Di ruang depan ia menyimak
semua sudut, tidak ada satupun foto yang terlihat atau sebagai tanda pemilik
apartemen. Ia melirik jam tangannya, sudah pukul enam lewat. Cepat sekali waktu
berlalu pikirnya. Pria itu bermaksud keluar untuk bertemu orang atau satpam
apartemen atau siapapun, karena ia harus pulang tapi ia tidak bisa meninggalkan
AemeL sendirian di dalam dengan kondisi sakit kaki dan lemah. Saat ia ingin
membuka pintu sudah keburu terbuka dari luar. Seorang wanita dan pria muncul
dari balik pintu.
“Kamu! Kamu siapa?” Julia langsung
bertanya.
“Mmm….” Sebelum pria itu menjawab Julia
sudah berlari ke kamar tidur dan melihat AemeL sudah tertidur. Ia lega tapi ia
harus bertanya pada pria yang di depan itu. Ia berbalik. Pria itu sudah duduk
di sofa bersama Wowor.
“Dia
yang menemukan AemeL.” Kata Wowor sebelum Julia melontarkan pertanyaan.
“Di mana?”
“Tidak penting dimananya? Yang penting
sekarang AemeL sudah kembali.” Wowor tidak menceritakan seperti yang pria itu
jelaskan tadi. Ia tidak ingin Julia tambah sedih.
“Terima kasih.” Ujar Julia akhirnya.
“Ya, sama-sama. Semoga kalau bertengkar
lagi dengan adik sendiri tidak sampai terulang lagi kejadian seperti hari ini.”
Tambah pria itu.
“Apa maksud Anda?”
“Sudahlah.” Wowor menengahi. “Kamu
istirahatlah, biar kami pulang.” Ia melirik pada pria baik yang sudah membawa
AemeL kembali ke apartemen. Pria itu mengerti apa yang harus ia lakukan,
sepertinya ada urusan keluarga yang belum selesai, pikirnya.
“Baiklah, sampaikan salam saya, kalau ia
sudah bangun nanti.” Ujarnya kemudian.
Julia lagi-lagi menghela napas lega
setelah kedua pria itu pergi dari apartemen, ia ke kamar mandi untuk
membersihkan dirinya karena seharian ini ia belum mandi. Beberapa menit
berikutnya ia ke depan untuk mengambil kunci pintu dan menyimpannya agar tidak
dapat dicari oleh AemeL, ia tidak ingin AemeL kembali pergi. Setelah merasa
semua beres baru ia kembali ke kamar di mana AemeL terlihat masih tertidur
dengan begitu pulasnya. Julia naik ke atas tempat tidur dan duduk di dekat
kepala AemeL. Ia mengusap kening AemeL dengan lembut.
“Ae, jangan pernah mengulang lagi seperti
kejadian hari ini, kamu membuat aku seperti orang gila karena seharian
mencarimu. Kamu tidak pernah mengerti kalau aku sangat menyayangimu, aku mohon
jadilah wanita baik dan seperti kata pria itu tadi, aku tidak mau menjadi kakak
atau adikmu sebab aku hanya ingin menjadi sahabatmu sampai aku mati.” Guman
Julia dengan pelan seolah takut membangunkan AemeL yang terlelap. Julia yang
merasa lelah akhirnya membaringkan tubuhnya, sejenak sosok Wowor melintas di
pikirannya tapi hanya sepintas sebab Julia sudah sangat mengantuk.
Sekitar pukul sebelas malam AemeL seperti
orang berguman dan berkali-kali memanggil-manggil nama Julia membuat Julia
membuka matanya. Saat Julia melihat AemeL ternyata gadis itu masih tidur dengan
mata tertutup sangat rapat tapi lagi-lagi ia memanggil nama Julia.
“Julia…. Julia…. Jangan meninggalkan aku,
jangan pernah meninggalkan aku.”
Ia mengigau pikir Julia. Kali ini gadis
itu menggerak-gerakkan tangannya dan tetap mengeluarkan kata-kata seperti itu,
dan Julia melihat ada air mata keluar dari sudut mata AemeL. Julia merasa ada
yang tidak beres, ia meraba kening AemeL dan sangat terkejut karena suhu badan AemeL
panas sangat tinggi.
“Ya Tuhan, dia demam.” Julia melompat dari
tempat tidur menuju lemari es untuk mengambil air dingin lalu sebuah mangkuk,
terakhir sebuah handuk kecil. Detik berikutnya ia sudah ada di sebelah AemeL
yang masih saja mengigau. Julia membasahi handuk kecil itu, memerasnya lalu
meletakkannya di atas kening AemeL. Belum sampai satu menit ia mengulangnya
lagi karena AemeL masih mengigau. Julia tidak bisa menahan air matanya karena
melihat ada air mata AemeL yang jatuh di sudut matanya, ia mengusap air mata
itu. “AemeL, jangan seperti ini. Aku tidak tahan melihatmu seperti ini.”
Gumannya lalu memeluk tubuh gadis itu, hawa panas dari badan AemeL terasa
seakan membakar hati Julia.
“Juliaaa…” kini suara itu terdengar sangat
melemah. Julia mengangkat tubuhnya untuk menatap AemeL yang ia kira sudah
terjaga namun gadis itu masih dengan mata terpejam. Sekali lagi Julia
mengompresnya, lalu ia menempelkan punggung tangannya pada leher AemeL setelah
itu ia menghela napas sedikit lega karena panas pada tubuh AemeL sudah jauh
menurun. Julia masih tetap terjaga dan sekali-kali tetap mengganti air kompres
agar AemeL benar-benar sembuh.
Sejenak Julia mengamati keadaan
sekeliling, tak pernah terbayangkan sebelumnya akan berada di tempat itu dan
menemani AemeL yang sakit terkadang membuat hatinya ketar-ketir karena takut
terjadi apa-apa pada gadis itu. Jarum jam di dinding sudah menunjukkan pukul
dua belas lewat. Kembali ia menoleh pada wajah AemeL, gadis itu kini sudah
terlihat lebih tenang. Tanpa bisa Julia pungkiri saat ini ia sangat merindukan
sosok Wowor ada di sisinya dan memberikan kekuatan pada dirinya. Julia akhirnya
berbaring dengan menghadap ke wajah AemeL karena ingin berjaga-jaga kalau-kalau
gadis itu panas lagi. Denting jarum jam terus berjalan seolah meninabobokan
Julia yang lelah hingga ia tertidur dalam posisi melingkar dan wajah tetap menghadap
ke arah AemeL.
Sebelum pagi AemeL terbangun karena merasa
sangat lapar, ia heran karena di keningnya ada handuk kecil yang masih lembab.
Ia melirik ke meja kecil di mana sebuah mangkuk berisi air masih di sana. Ia
melepaskan handuk dari atas keningnya. Di sebelahnya Julia tertidur seperti
kelelahan membuat AemeL menarik napas dalam-dalam, ia ingat kejadian seharian
kemarin dan pria yang tidak ia kenal membawanya pulang, setelah itu ia tidak
ingat apa-apa lagi. AemeL mengambil buku dari bawah tempat tidurnya, sebelumnya
ia menyelimuti Julia. AemeL mulai menuliskan sesuatu di bukunya..
Tinta
emas….
Sungguh aku masih tidak mengerti rahasia apa yang Julia
sembunyikan,
Tapi meskipun demikian, apa pun yang terjadi pada kami
sebelumnya… aku ingin sekali menjadi sahabatnya.
Tuhan… lindungilah Julia, sembuhkanlah ingatanku agar semua
teka-teki ini terjawab, amin.
Perut AemeL berbunyi dan AemeL kembali
meletakkan bukunya di bawah tempat tidurnya, ia ingat dari kemarin belum makan
apa-apa selain minum susu coklat yang diberi oleh pria asing itu, AemeL meraih
tongkat yang ada di sisi sebelah kirinya dan perlahan bangkit, ia berputar mengelilingi
tempat tidur untuk mendekati Julia, ia mendekati wajahnya pada Julia lalu
sekilas ia mencium pipi Julia begitu lembut seolah ingin mengucapkan terima
kasih pada gadis itu. Setelah selesai ia berguman.
“Maafkan semua kesalahanku, kondisi seperti
ini membuat aku seperti orang putus asa. Apa pun yang terjadi aku tidak akan
pernah pergi lagi, Julia.” Perlahan AemeL membawa kakinya keluar dari kamar
dengan terseok-seok ia mencari sesuatu di dalam lemari es. Ada dua sachet bumbu nasi goreng ia meraihnya
lalu melirik rice cooker, apakah ada nasi di dalam sana?
Pikirnya. Ternyata nasinya tidak lebih dari satu porsi saja tapi AemeL tetap
menggorengnya dan akan berbagi dengan Julia nanti.
Setelah selesai dan meletakkan hasil
pekerjaannya ke dalam dua piring kecil Julia muncul dari kamar dan tentu saja
kaget melihat AemeL sudah ada di sana. Ia langsung menghampiri gadis itu karena
semalam ia diserang demam tinggi, ia tidak ingin hal itu kembali menimpa AemeL.
“Maaf, aku terbangun karena lapar.” Kata
AemeL yang merasa Julia terbangun karena suara berisik yang ia timbulkan dari
dapur. AemeL mengangkat satu piring untuk ia bawa ke meja tapi langsung diambil
oleh Julia untuk membantunya membawa ke atas meja. AemeL diam dan tak menolak
Julia membantunya karena ia masih membutuhkan dua tongkat untuk berjalan
mendekati meja. Setelah duduk di kursi Julia langsung meraba kening AemeL sekilas
ternyata memang sudah tidak panas. AemeL menyimak Julia yang tidak mengeluarkan
satupatahkatapun. Berikutnya Julia mengambil gelas dan mengisinya dengan air
tawar lalu meletakkannya di meja untuk AemeL, selanjutnya ia membuat kopi dan
tidak sampai dalam hitungan menit ia sudah mengambil pakaian kotor untuk
dimasukkan ke dalam mesin cuci. Sedangkan AemeL sudah menikmati nasi gorengnya
karena perutnya sudah sangat lapar. Julia masih tidak bisa diam, ia kembali ke
kamar untuk merapikan tempat tidur lalu keluar lagi membuka jendela, udara
dingin masuk lewat jendela, di luar cahaya belum bisa dibilang terang. Semua
yang Julia lakukan tidak pernah lepas dari mata AemeL.
AemeL bergerak ke arah tempat cucian
piring saat Julia sudah berdiri di sana. “Biar aku saja.” Ujarnya.
“Jangan.” Tolak Julia.
AemeL melirik bekas luka di ibu jari Julia
lalu langsung mengambil gelas dari tangan Julia. “Sudah aku bilang, biar aku
saja. Aku bisa melakukannya karena aku bukan wanita lumpuh.” Tekannya membuat
Julia marah.
“Apa maksud kamu?” kata Julia.
“Aku tahu kamu bukan orang yang seperti
saat ini.” Sahut AemeL tanpa menoleh pada Julia. “Kamu berusaha menjadi orang
lain.” Mendengar ucapan AemeL membuat Julia menjatuhkan gelas dari tangannya ke
bak cucian memaksa AemeL menoleh dan menatap gadis itu. “Kenapa? Apa aku salah?
Kamu tidak bisa membohongi aku, Jul. aku tidak tahu apa profesi kamu tapi yang
jelas kamu bukan orang dapur yang terbiasa dengan bau asap, membilas gelas atau
piring kotor. Berapa pembantu kamu di
rumah? Dua? Tiga atau empat?” sergah AemeL. “Apa pun yang telah terjadi antara
kamu dan aku, aku tidak mau kamu mengubah karakter kamu, aku ingin kamu menjadi
diri sendiri. Apa kamu pikir aku suka dalam kondisi seperti ini? Ditemani orang
yang tidak aku kenal dan rela melakukan apa saja, yang mungkin tidak pernah ia
lakukan sebelumnya? Aku benci diriku dan juga kamu…..” kalimat terakhir itu
terdengar seperti penyesalan dan suaranya serak. “Aku benci kamu…….” Kali ini
tongkat AemeL terjatuh dan ia ikut merosot dan terduduk di lantai. Julia
mengikutinya ke lantai dan menatap wajah AemeL yang sudah menangis di sana.
Semua yang dikatakan AemeL memang benar adanya, Julia memang paling benci
dengan yang namanya pekerjaan yang ada di dapur apalagi mencuci segala
perabotan kotor. “Aku benci kamu.” Ulang AemeL nyaris terisak.
“Apa kamu pikir aku tidak benci kamu? Aku
bahkan sangat membenci kamu, tapi setiap kali rasa benci itu muncul rasa sayang
itu melebihi apa pun. Kamu…. Kamu…” Julia ikut menangis.
“Tapi kenapa kamu mau melakukan semua ini?
Kenapa?”
“Aku tidak tahu…” Julia
menggeleng-gelengkan kepala dengan suara ikut serak, keduanya sudah saling
menangis.
“Tinggalkan aku, Julia… tinggalkan aku….”
Kini suara AemeL seperti berteriak tapi tidak bisa keluar dengan keras karena
dadanya seakan terasa sangat sesak.
Julai memegang wajah AemeL yang sudah
basah dengan air mata seperti halnya dengan dirinya. “Tidak….. AemeL, aku tidak
akan meninggalkanmu.” dan akhirnya ia memeluk tubuh AemeL sangat erat karena
tidak bisa bicara apa-apa lagi dan kedua gadis itu menangis bersama sampai
sesunggukan. Beberapa saat kedua gadis itu menghabiskan waktu untuk saling
berbagi kehangatan, itu pertama kali mereka merasakan kasih sayang seorang
sahabat sejak AemeL lupa ingatan tapi tetap saja Julia belum bisa menjelaskan
siapa dirinya yang sebenarnya. Udara pagi menyegarkan ruangan apartemen mereka
meski sempat dihiasi dengan air mata namun telah hadir rasa saling peduli
diantara keduanya.
**
Cinta datang dari
Musuh
Sore itu, pria asing itu datang lagi ke
apartemen AemeL dan Julia. Ia bertemu dengan Julia karena AemeL sedang
istirahat di kamar, tidur karena habis minum obat.
“Aku tidak tahu apa yang membawa aku
kembali ke tempat ini?” katanya pada Julia setelah Julia meletakkan segelas
kopi di hadapannya.
“Tidak apa-apa, sekali lagi saya harus
mengucapkan terima kasih karena telah menemukan AemeL kemarin.” Ucap Julia
karena masih terbayang ia mencari AemeL kemana-mana, ia stres karena tidak
berhasil. “Silahkan diminum.” Lanjutnya.
“Terima kasih. Mm… apa dia adik kamu?”
selidiknya.
Julia menggeleng. “Dia sahabat saya.. tapi
dia sedang lupa ingatan.”
“Apa?” pria itu kaget sekali. Julia
mengangguk mengiyakan pernyataanya. “Dia masih kuliah atau bekerja?”
Julia merasa tidak pantas menceritakan hal
lebih jauh tentang sahabatnya pada pria asing itu dan dia memang tidak ingin
menjelaskan lebih dari itu.
“Kakinya cacat, apa dia pernah jatuh?”
tetap saja pria itu ingin tahu banyak. “Namanya AemeL, kan?”
“Silahkan diminum dulu kopinya, nanti
keburu dingin.” Julia coba mengalihkan topik pembicaraan. Pria itu mengikuti
apa yang diminta Julia dengan mencicipi kopi yang telah dihidangkan untuknya.
Sebenarnya pria itu ingin sekali bertemu dengan AemeL, sejak kemarin ia merasa
ada hal yang membuatnya tertarik dengan gadis itu.
“M… dia sudah lama tidur? Maksud saya, apa
dia tidak apa-apa?”
“Dia baik-baik saja, sekali lagi terima
kasih karena telah mengkhawatirkannya.” Ucap Julia karena ia memang sangat
berterima kasih pada pria itu. Pria itu mengangguk-anggukan kepalanya.
“Saya, nama saya Teguh, Teguh Tebolai.”
Akhirnya pria itu memperkenalkan dirinya. Julia mengangguk dan sepertinya ia
pernah melihat pria itu sebelumnya tapi ia tidak tahu di mana dan kapan. Julia
coba menepis dugaan itu, ia pasti berhalusinasi sebab banyak orang yang
memiliki wajah yang nyaris mirip, pikirnya. “Baiklah, saya permisi.” Ujarnya
karena sudah hampir maghrib.
Dan anehnya, keesokan harinya pria itu
datang lagi dan bertemu dengan Julia di parkiran apartemen sesaat setelah Julia
bertemu dengan pak satpam untuk mengatakan seandainya satpam melihat AemeL
pergi sendiri harus dicegah. Julia tidak membawa pria itu masuk dan mereka
hanya ngobrol di bangku yang ada dekat parkir. Julia menyimak motor besar pria
yang bernama Teguh itu, lampu sign
sebelah kirinya patah dan terkulai. Teguh mengikuti arah mata Julia.
“Masih bisa menyala, aku belum sempat
membawanya ke bengkel.” Jelas Teguh. “Tidak tahu kapan patahnya dan mengenai
apa.” Tambahnya. “Saat itu, tengah hari aku naik motor seperti orang gila….” Ia
berhenti sejenak seakan tidak ingin mengingat kejadian pahit hari itu. “Aku
anak bungsu dari dua bersaudara, hari itu ibuku meninggal dan aku tidak sempat
ada di sisinya saat terakhir ia menutup mata dan aku bahkan tidak memiliki
pesan terakhir darinya.” Nada bicara pria itu mulai terdengar lirih. Ia
terlihat masih sangat berduka. Julia terdiam lama, hening. Lalu sesaat kemudian
Julia seperti tersentak seolah ingat dengan kejadian naas itu.
“Kapan ibumu meninggal?”
“M… beberapa minggu yang lalu, belum juga
genap empat puluh hari.”
“Apakah hari itu adalah hari kamis?”
Teguh menatap Julia agak lama lalu. “Ya,
kenapa kamu bisa tahu?” helanya.
“Berarti, kamu… kamulah si penabrak itu.”
Julia langsung berdiri. Teguh mengikutinya dengan bingung.
“Apa maksud kamu, Julia?”
“Kamu pasti yang menabrak AemeL dan
mengakibatkan kakinya patah dan ia mengalami amnesia.” Kata Julia dengan nada
bergetar.
“Apa? Apa maksud kamu?” kata Teguh merasa
tidak melakukan itu, kata-kata Julia membuatnya kaget namun akhirnya ia terdiam
seolah menyadari sesuatu. Siang itu ia memang berbelok ke arah kiri tanpa
memikirkan ada orang lain di depannya. Ia menyalip lalu tancap gas ke kiri
sebelum melesat ia sempat merasakan motornya agak goyang. Ia menatap mata Julia
dengan seksama. “Em… apakah waktu itu AemeL mengendarai motor?” katanya
kemudian.
“Ternyata kamu… kamu orangnya.” Julia
menggeleng-gelengkan kepalanya menahan emosi. “Pergilah, kamu tidak perlu lagi
datang-datang ke sini. Aku mohon kamu pergi.” Ujar Julia yang sudah bisa
memastikan kalau Teguh-lah orang itu.
“Julia.” Teguh meraih tangan Julia yang
ingin berbalik meninggalkannya. “Aku mohon jangan bersikap seperti ini. Asal
kamu tahu bahwa tidak ada yang kebetulan di dunia ini, percayalah. Apa pun yang
telah terjadi aku minta maaf.” pintanya dengan sungguh-sungguh. “Aku akan
bertanggung jawab.”
“Kamu tidak perlu minta maaf sama aku, aku turut berduka cita atas
kepergian ibumu tapi kamu…., sekali lagi aku mohon jangan pernah lagi datang ke
sini dan menemui AemeL.” Kali ini Julia benar-benar meninggalkan Teguh di
tempat itu. Teguh hanya bisa menarik napas dalam-dalam lalu melirik arlojinya. Dia harus ke kantor.
Di perjalan tak henti-hentinya ia
memikirkan apa yang telah terjadi dan pengakuan Julia mengatakan kalau dia
adalah yang menabrak AemeL seperti orang pengecut atau disebut dengan tabrak
lari, tidak bertanggung jawab. Jika benar ia yang menabrak AemeL maka Teguh
tidak bisa memaafkan dirinya apalagi mengingat AemeL yang waktu itu duduk
seharian di halte bis, karena mengalami amnesia belum lagi kakinya patah. Teguh
meninju stang motornya karena kesal.
Di kantor Teguh mencari nama AemeL di
internet dan jejaring sosial apa saja.. beberapa menit ia telah menghabiskan
waktunya tapi tidak juga berhasil. Tidak ada satupun wanita yang bernama AemeL.
A… Ae.. tapi bukan AemeL, yang ada nama AL. Sadei. Ia meng-klik nama itu lalu muncullah profil lengkapnya. Seorang penulis
berbakat, lahir di Palembang dua puluh tujuh tahun yang lalu. Telah merilis
beberapa judul novel dan yang sedang beredar adalah novel dengan judul ‘Sebuah
Rahasia.’ Yang diterbitkan oleh penerbit besar dari Jawa Timur. Teguh menyimak
nomor telepon dari penerbit. Detik berikutnya ia menghubungi nomor tersebut dan
diangkat oleh seorang wanita.
“Ya, selamat pagi.”
“Penerbit Mandiri?” tanya Teguh.
“Ya, mau bicara sama siapa, ya?”
“M… saya mau tanya Mbak? Apa AL. Sadei
seorang penulis yang menerbitkan novel-novelnya di sana? Kalau boleh tahu,
apakah itu nama aslinya atau nama Pena?”
“Aduh, kami tidak bisa memberitahukan hal
itu karena itu permintaan dari klien kami. Kami menjalani semua sesuai
prosedur. Kalau boleh tahu ini siapa, ya?”
“Saya Teguh. Teguh Tebolai. Saya berharap
sekali kalau Mbak bisa bantu.”
“Teguh Tebolai? Seorang reporter di salah
satu televisi swasta itu?”
“Betul, Mbak.”
“O, tapi maaf Mas, kami tetap tidak bisa
bantu. Nanti kami akan mengkonfirmasi pada penulisnya, ya.”
“Oke. Terima kasih sebelumnya.”
‘Hmmm… AemeL Baes ternyata lama juga
semedinya sampai ada yang mencarinya ke sini.’ Guman Mitha yang ia tahu AemeL
sedang berlibur atau memang sedang tidak ingin diganggu.
Sekali lagi Teguh menelusuri profil AL.
Sadei. Semua foto yang tertera adalah foto penggemarnya, ada yang memegang
novel lalu beberapa komentar di bawahnya serta gambar-gambar cover novel. Teguh terhenti di foto yang satunya di mana seseorang
sedang berdiri dengan wanita itu yang memperlihatkan novel lagi. Wanita yang
satunya adalah AemeL Baes. ‘AemeL Baes adalah namanya.’ Guman Teguh. Ia mencari
nama itu di facebook tapi tidak
berhasil ditemukan. Lalu ia membuka akun Twitter,
menit berikutnya ia mendapatkan nama pemilik dengan nama tersebut. Teguh masih
sangat penasaran ia terus menelusuri, tidak satupun ia menemukan foto AemeL
Baes. Di profil tertulis nama. Pekerjaan free
lance, tinggal di Jakarta. Follower tidak lebih dari tujuh ratus
orang, mengikuti beberapa ratus antaranya novelis Indonesia, para motivator dan
beberapa artis.
Teguh kembali ke facebook AL. Sadei dan melihat statusnya, lajang tapi sedang
menjalin hubungan dengan seseorang, untuk beberapa detik Teguh kecewa. Saat itu
orang bagian staf mendatangi meja Teguh.
“Hai, Guh….?”
“Ya.” Teguh mengangkat wajahnya dari layar
laptopnya.
“Besok ada tugas keluar kota, siap ya?”
ujar wanita tiga puluhan itu. Dialah senior Teguh yang sangat peduli dengan
Teguh.
“Aduh, gimana ya?”
“Eit, sejak kapan kamu menolak tugas?”
ujar wanita itu dengan gaya dibuat-buat tegas.
“Aku akan keluar kota kalau sudah melewati
empat puluh hari, bagaimana?” Teguh minta pertimbangan.
“Kalau ada gantinya aku juga tidak akan
meminta kamu.” Jelas seniornya tidak punya pilihan. “Cuma empat hari, oke.” Ia
coba memaklumi dan tidak mau dianggap tak punya toleransi.
“Baiklah.” Teguh menyerah meski merasa
berat. Disamping karena ibunya ia juga ingin menemui AemeL dan mengatakan kalau
dia-lah yang telah membuatnya celaka.
~ ~
Julia tidak habis pikir kalau Teguh tidak
menyadari telah menyenggol motor orang dan mengakibatkan AemeL seperti saat
ini. Keterlaluan sekali! Gumannya.
Tanggung jawab seperti apa yang akan
diberikan Teguh sama AemeL? Jangankan ngotot untuk bertemu lagi, bahkan sudah
beberapa hari ini ia tidak ada kabarnya lagi. Julia merasa itulah orang
Jakarta, bicara selalu manis namun tidak pernah sesuai dengan prakteknya.
Sedangkan Wowor yang jelas-jelas sudah
mengatakan menyukai Julia tidak pernah ada kabarnya lagi. Ponsel yang satu
tidak pernah menyala lagi sedang BB sudah hancur berkeping-keping di tangan
Julia. Julia jadi tersenyum sendiri mengingat semua itu. ‘Maaf Wor, tidak ada
maksudku untu merugikanmu.’ Batinnya.
AemeL menjadi sangat pendiam sekarang, ia
bahkan tidak pernah mau memikirkan lagi siapa Julia. Ia hanya fokus dengan
kesembuhan kakinya agar bisa berjalan lagi tanpa menggunakan tongkat.
**
Julia oh Julia
Reema jadi
keteteran saat ditanyakan oleh anak buah Julia yang lain mengenai keberadaan
Julia. Kalau dengan urusan keluarga tidak begitu bermasalah sebab Julia itu
memang sudah hidup mandiri dan jarang juga bertemu dengan keluarga besar,
kadang sebulan sekali bahkan dua bulan sekali jadi mengenai kehilangan Julia
yang nyaris sebulan ini belum begitu heboh di dalam keluarga.
‘Reema,
aku harus pergi… untuk sementara semua urusan toko aku serahkan sama kamu. Aku
tidak bisa memberitahumu kemana aku pergi, nanti setelah pulang aku ceritakan
semuanya. aku percaya padamu. Terima kasih.’
Itu BBM yang masuk terakhir kali ke BB
Reema. Yang menjadi pertanyaan Reema, kemana gadis itu pergi? Sepertinya ia
tidak punya masalah serius yang harus dihindari. Julia juga tidak punya hutang
di bank apalagi pada rentenir tapi mengapa BB-nya tidak aktif? Berkali-kali
Reema memeras otaknya untuk mencari tahu di mana keberadaan bosnya itu. Sedang
barang di toko hanya tinggal satu dua saja karena nyaris dua bulan tidak diisi.
Reema hanya berpesan pada teman-temannya agar menjual semua barang yang ada di
toko dan uangnya dikumpulkan.
“Kita jual saja yang ada dulu, mungkin
seminggu ke depan toko ini bisa diisi dengan barang yang lebih banyak jadi kita
tidak selalu mengatakan pada pelanggan, ini habis, ini juga habis. Karena
kata-kata seperti itu paling tidak aku sukai. Julia sedang pergi karena ada
urusan yang tidak bisa ia tinggalkan dan aku tidak bisa memberitahukannya pada
kalian. Yang penting gaji kalian bulan ini tetap dibayar full.” Jelas Reema pada temannya saat mereka kumpul malam itu ti
toko utama. Reema sebenarnya tidak begitu yakin apakah bulan depan toko masih
bisa dibuka atau benar-benar tutup untuk selamanya.
‘Aduh, Julia Julia… kamu ke mana sih?’
~ ~
Wowor seringkali menjadi tidak fokus
bekerja sejak bertemu dengan Julia, gadis itu sudah menyerap sebagian ketenangan jiwanya. Yang tidak dia habis
pikir Julia itu agak emosional, suka meledak-ledak dan ponsel sepertinya bukan
barang penting baginya. Wowor menjadi tersenyum, bukan hal aneh kalau ada
wanita yang seringkali mengatakan perasaannya duluan padanya tapi Julia sangat
berbeda, terkadang tak sebelah matapun ia memandang Wowor, ia bahkan menyebut
Wowor dengan ‘Anda’
‘Dia memang berbeda, aku suka dia.’
**
Sahabat
‘Apakah aku salah?
Mengambil tindakan meninggalkanmu karena aku sangat menyayangimu. Setelah kau
mengatakan betapa sangat kecewanya dirimu atas penjelasan yang aku paparkan,
sedang kamu sendiri yang memintaku untuk berkata jujur. Menurutmu, bersahabat
itu harus saling terbuka… Tidak boleh
saling tersinggung, Saling mengerti, Saling jujur, menyangkut apa pun itu. Semua
kejujuran itu telah kau dengar dari mulutku, yang tadinya tidak sanggup aku
utarakan…. Tapi kau memaksaku sampai mengancam untuk bertanya pada orang lain…
padahal orang lain tidak tahu apa-apa. Sungguh aku tidak sanggup menyampaikannya
padamu, tapi kamu memaksa Dan kita telah berjanji sebelumnya bahwa tidak boleh
ada yang disembunyikan/rahasiakan dalam persahabatan kita. Hanya itu yang aku
ingat… Dengan tanpa berpikir panjang…. Kejujuran yang seharusnya tidak boleh
kau dengar itu terlontar juga… tadinya aku pikir itu semua demi kebaikanmu,
karena aku sayang kamu. Namun setelah mendengar semua itu, kamu berubah… Yang
selama ini setiap hari menyapa baik lewat telepon atau pun pesan singkat… namun
sejak itu tak lagi ada satu kata pun kudengar darimu, Hampir setiap hari aku
menyapamu ‘Say Hello’ tanya kabar atau memberi ucapan apa saja.. tapi aku tak
pernah mendapat respon lagi darimu. Itukah yang kamu sebut ‘persahabatan kita
sangat kuat, dan tidak akan hancur kalau kita berdua sama-sama tidak
menginginkannya hancur?’ Selama ini, aku masih bertahan…. Karena aku pikir
tidak akan hancur kalau hanya kamu yang menginginkannya hancur. Sekali lagi aku
mengatakan, Aku tidak tahan lagi
menikmati situasi yang tidak nikmat ini.. Dan…. saat itulah aku mendapat
jawaban darimu, Kamu menjelaskan semuanya, Mengatakan aku telah membuatmu
sangat kecewa.’
AemeL : “Sudahlah…
jangan terlalu dinikmati, aku hanya butuh waktu atas betapa kecewanya aku sama
kamu. aku kecewa sama orang yang menyampaikan itu sama kamu, tapi aku tahu
kekurangan dan kebodohan orang itu.. semua sudah tahu dia. Jadi aku sangat
memakluminya. Tapi kamu….?! Kenapa kamu lakukan itu? Itu namanya sayang…?
Itukah namanya menjaga? Itukah namanya menghargai? Bukan sama kamu saja dia
ceritakan hal itu, pada semua orang ia katakan hal yang sama… tapi semua orang
tahu dia dan aku. Jadi satupun tak ada yang nyampain ke aku. Tapi kamu………?!!
aku jadi makin ga paham sama kamu, aku jadi asing sendiri. Padahal aku tahu
omongan itu tanpa kamu sampein ke aku. Tapi saat kamu mengatakannya, aku bukan
sedih dengan penyampain ucapannya. aku kecewa sifat kamu, kenapa kamu begitu
tak bijaksana sih…? Mengapa kamu mendiskriminasi aku? Seharusnya kamu lindungi
sahabatmu. Kenapa aku beranggapan
seolah-olah kamu mendorong aku ke jurang tanpa bertanya apa kesalahanku.
aku cuma butuh waktu menerima kekuranganmu itu, tak ada benci di hati.”
Julia : “Oh, begitu?
Jadi di sini kebodohanku karena penyampaian itu? kamu yang maksa aku mengatakan
semua apa yang orang itu katakan. aku nggak bisa bohong sama kamu, karena diawal
persahabatan kita sudah berjanji tidak boleh ada yang disembunyikan apa pun
itu, karena sahabat yang baik tidak selalu mengiyakan kebaikan saja. Jika
kejujuran aku membuat kamu kecewa, meski aku nggak pernah bermaksud membuat
kamu kecewa. Aku memang ga bisa terima kata-kata orang itu, karena menurut aku
sangat tidak etis. Aku emosi. Jika kamu tahu semua apa yang orang itu katakan
sama aku, mengapa saat itu kamu marah besar saat aku gak mau cerita karena tidak
sanggup menyampaikannya sama kamu…??? Sampai kamu ngancam ke aku untuk bertanya
sama orang lain yang kamu kira aku cerita ke orang yang nyatanya tidak tahu
apa-apa. Aku nggak akan pernah maksa
kamu terima aku lagi sebagai sahabatmu, hanya saja aku butuh penjelasan.”
AemeL : “Ya kalo
kamu anggap itu hal benar, aku minta maaf… tak dapat memakluminya saat itu.
Jadi tak ada yang salah di sini. Dia
dengan sifat dasarnya aku maklumi, kamu yang jujur tak peduli dengan
akibatnya…., sedang aku yang berharap tidak mendengar ucapan yang gak ngenakin
dari orang yang aku sayangi. Aku paham atas semuanya. Sekali lagi, aku tak
membenci di sini, aku sudah paham.”
Julia : “Setelah
aku berpikir lagi…. aku hanya mo bilang, aku nggak akan membuatmu kecewa lagi, nggak akan menyakiti kamu lagi…
nggak akan pernah… karena aku nggak sanggup mendengar kamu KECEWA atas sifatku,
semua ini hanya satu alasan…. Karena aku SAYANG sama kamu, untuk TERAKHIR
kalinya aku mau bilang ‘Maaaaaf’kan aku.”
(Aku sayang sama kamu makanya aku akan
pergi dari hidupmu, agar kamu nggak akan pernah lagi kecewa sama aku)
‘Isi pesan yang meluluhlantakkan kisah
persahabatan.’
Julia menghela napas sangat dalam
mengingat hal itu ia merasa begitu down karena
sejak itu ia merasa kehilangan seorang sahabat yang mungkin dibilang terlalu ia
sayangi dan pertemuan berikutnya terjadi setelah AemeL mengalami amnesia.
Apakah ada yang lebih sakit dari itu? Tanpa sadar air mata Julia pun mengalir,
akhir-akhir ini ia menjadi orang cengeng. Julia tahu kalau ia tidak pernah
membiarkan siapa pun yang membuatnya mengeluarkan air mata tapi AemeL bisa
melakukan itu. AemeL bukanlah sahabat pertamanya, tapi mengapa ia bisa
meluluhlantakkan hati Julia, mampu membuat Julia melakukan apapun termasuk
meninggalkan bisnisnya.
“Julia…..?” itu suara AemeL memanggil
Julia yang mengambil jemuran di sudut balkon. Julia menoleh pada AemeL dan
wanita itu sedang menatap wajah Julia dengan seksama. “Ada yang ingin aku
bicarakan.” Lanjutnya.
Julia mendekati AemeL dan meletakkan baju
di atas sofa lalu duduk di sebelah AemeL. “Hmm, aku juga sebenarnya ingin
mengatakan satu hal sama kamu….” Suara Julia terhenti. ‘Ah, Tidak, aku tidak
boleh mengatakan itu, mengapa aku harus menyampaikan pada AemeL siapa yang
menabraknya sementara aku sendiri saja tidak bisa jujur pada AemeL. Itu sangat
tidak adil.’ “Mm.. kamu saja, mau bicara apa?”
AemeL meletakkan tongkatnya di sisi sofa
lalu terdengar tarikan napas panjang dari mulutnya kemudian terdengar tawa
halus. “Maafkan aku, Jul.” ia menatap Julia. “Aku sudah ingat semuanya, kita
harus keluar dari apartemen ini.” Ujar AemeL seolah tidak pernah terjadi
apa-apa sedangkan Julia terperangah bukan kepalang. Bukan ia tidak pernah
membayangkan kalau harus berhadapan lagi dengan AemeL yang akan ingat semuanya.
Julia menundukkan wajahnya seakan tidak bisa bicara apa-apa. “Sekali lagi aku
minta maaf karena telah merepotkanmu, aku tidak suka tempat ini. Kalau sisa
saldo di ATM-ku masih ada kita akan segera mencari tempat baru.”
“Aku tidak menggunakan ATM-mu.” Julia
menoleh pada AemeL.
“Ya, Tuhan. Jadi kamu telah menghabiskan
tabunganmu untuk semua ini dan biaya pengobatanku? Sudah berapa hari kita di
sini? Sebulan atau lebih?”
“Aku baru saja ingin menambah waktu sewa
apartemen ini.”
“Kalau kamu tidak menggunakan ATM-ku, maka
kita akan jalan-jalan ke Bali, seminggu atau sebulan. Aku benar-benar tidak
suka tempat ini.” AemeL mengulang lagi kata-kata terakhir itu. “Mm.. bagaimana
kabar pak dokter? Dia menyukaimu, aku bisa melihatnya.”
Julia berdiri, meski ia merasa sangat kaku
dengan kondisi AemeL yang sudah baikkan namun tak bisa ia pungkiri ia masih
kangen sekali dengan gadis itu.
“Duduklah kembali Jul, aku masih kangen.
Aku aku… maksudku tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini termasuk aku.”
“Apa aku masih asing di matamu?” ujar
Julia akhirnya dan AemeL menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Aku tidak ingin membahas masalah itu,
sedikitpun tidak. Aku ini sudah mengalami amnesia jadi anggap
saja, memoriku baru saja dimulai
lagi dari awal.” AemeL mengambil tongkatnya. “Kita ke tempat kosku yang
lama, setelah itu baru kita
pikirkan selanjutnya. Oya, tadi kamu mau bicara apa?”
Julia tidak langsung menjawab, ia diam
agak lama baru bisa menjelaskan. “Si Teguh.”
“Oh, pria itu? Kenapa dengan dia?”
“Ternyata dia yang menabrak kamu.. dan ia
tidak menyadarinya.” Julia menunggu reaksi AemeL tapi AemeL diam seperti
menunggu kelanjutan cerita Julia. “Katanya dia akan bertanggung jawab, tapi
setelah hampir satu minggu mengetahui kalau yang tertabrak itu adalah kamu,
sampai detik ini ia tidak muncul lagi.”
AemeL beranjak dari sofa diamati Julia
dengan tenang karena AemeL mulai lancar jalan dengan tongkatnya. “Oh, begitu…?
Jadi dia. Aneh juga kalau ia tidak menyadarinya dan pertemuan di halte itu,
apakah ada yang kebetulan di dunia ini? Sudahlah Jul, semua ini sudah diatur
sama Tuhan… yang penting sekarang aku senang bisa bersama kamu lagi. Aku
kangen, apa kamu tidak ingin memeluk aku? Ya kamu sudah peluk aku waktu di
pojok tempat cucian piring tapi itu bukan aku, kan?”
Julia tersenyum, perasaannya bercampur
aduk, merasa lucu juga terharu. AemeL sepertinya tak akan membiarkannya jadi
orang asing lalu dengan cepat ia menghampiri AemeL dan memeluk gadis itu dengan
erat. “Terima kasih Tuhan, untuk semua ini.”
“Jangan pernah bersikap konyol lagi ya,
kamu jelek sekali kalau lagi mencuci piring.”
“Sialan kamu, aku memang benci mencuci
piring tapi kan aku harus melalukannya.” Sahut Julia, AemeL mengusap punggung
Julia dengan penuh kasih sayang, tanpa Julia sadar kalau sebenarnya AemeL
menyanyangi Julia lebih dari yang Julia tahu.
Bel pintu terdengar sangat nyaring. AemeL
dan Julia berpandangan sesaat.
Julia bicara. “Kalau itu pak dokter, jangan
singgung-singgung tentang perasaanku sama dia, Oke.”
“Jadi benar kamu ada perasaan sama dia?
Hmmm sudah kuduga.” Goda AemeL.
“Aduh, Ae… apa sih yang bisa aku
sembunyikan dari kamu kalau kamu tidak amnesia. Biar aku buka pintu dulu.”
Kilah Julia.
“Tapi kalau itu si Teguh, tolong jangan
bicara apa-pun tentang aku, oke!?”
Julia mengacungkan jempolnya. “Siiip!” ia
mendekati pintu setelah terdengar suara bel kedua.
Teguh berdiri dengan sangat gagah di depan
pintu, tangannya memegang sebuah bungkusan kecil semacam kado. Ia tersenyum
pada Julia.
“Selamat sore Julia, apa kabar?... maaf
aku datang lagi. Aku mohon jangan usir aku.” Pintanya serius.
“Sangat baik.” Jawab Julia dengan santai.
‘Tumben ia nongol lagi setelah beberapa hari menghilang.’ Batin Julia.
“M… boleh aku masuk?”
“Silahkan.” Julia mempersilahkan pria itu
masuk ke ruang tamu di mana AemeL sudah duduk kembali di sofa dengan sebuah
majalah di tangan.
“Selamat sore AemeL….. bagaimana
kesehatanmu?”
AemeL mengangkat kepalanya. “Emmm… kamu?
Aku, aku sangat baik.”
“Silahkan duduk, Guh.” Kata Julia.
Teguh mengambil tempat duduk di sebelah
AemeL lalu ia menyerahkan bungkusan itu kepada AemeL. “Untuk kamu.” Ujarnya.
“Bukalah.” AemeL meraih bungkusan itu sedang Julia sudah duduk di sebelah
kanannya AemeL. Ternyata sebuah novel. “Tadi aku ke toko buku, ternyata ada
sebuah novel baru karya AL.Sadei. kamu pasti suka, dari sinopsisnya saja bagus
banget.”
Julia nyaris saja berujar kalau itu adalah
novel terbaru dari karya AemeL tapi mulutnya terkunci karena pesan AemeL tadi.
“Terima kasih, aku pasti suka. Sekali lagi
terima kasih ya.”
“Hmm… ada satu lagi Ae, aku… aku.” Teguh
masih ragu-ragu lalu ia menoleh pada Julia yang di sebelah AemeL. Julia
akhirnya menatap AemeL dan AemeL menunggu apa yang akan pria itu katakan. “Aku
menyukai kamu.” Ternyata yang dikatakan pria itu tidak seperti yang Julia duga
karena tadi ia pikir pria itu akan mengakui tentang insiden itu. “Aku….”
Sepertinya ia belum selesai. Ia melirik ke arah kaki AemeL. “Aku menyukaimu
bukan lantaran kakimu cidera karena aku, tapi aku memang benar-benar
menyukaimu. 4 hari lebih tugas di luar kota tak bisa seharipun aku tidak ingat
denganmu. Maafkan aku Ae, lancang dan telah membuatmu seperti ini. Maafkan
aku.” Pintanya tulus dan bukan lantaran atas dasar mengemis cinta gadis itu.
AemeL melirik ke Julia dan gadis itu hanya
mengangkat kedua bahunya lantaran tidak tahu harus bagaimana. Kemudian AemeL
menatap pada novel yang masih ditangannya.
“Ini, aku yang menulisnya dan terima kasih
sudah membelinya.” AemeL menoleh pada Teguh yang bengong. “Ingatanku sudah
pulih, jadi…. Lupakan tentang perasaan kamu itu. Aku memang menghargai
kata-kata kamu tapi untuk saat ini, aku hanya bisa bilang… terima kasih. Tidak
ada yang kebetulan di dunia ini. Waktu itu kamu sudah membawaku pulang dari
halte, untuk itu aku harap kamu jangan pernah merasa ada acara hutang budi
lantaran sudah menabrak motorku meski itu hanya kecelakaan sebab tidak ada satupun
orang menginginkan mengalami kecelakaan di jalan, kan?”
“Em, AemeL… bukan itu maksudku. Aduh….
Bagaimana menjelaskannya ya?”
Pesona pria itu memang tak bisa AemeL
pungkiri dan Julia tahu sekali pria tipe AemeL yang seperti Teguh itu. Kulit
sawo matang, punya cambang tipis, tinggi dan pintar. “Maaf Guh, bukannya
mengusir kamu tapi kami ada urusan yang belum selesai. Aku harap kamu mengerti
dan sekali lagi terima kasih novelnya.”
“Julia, tolong jelaskan.” Pria itu minta
dukungan dari Julia. “Aku serius tentang perasaanku sama AemeL.”
“Aku tidak bisa bilang apa-apa, Guh. Apa
yang dikatakan AemeL memang benar, karena masih ada urusan yang belum kami
selesaikan.” Julia sebenarnya tidak tahu mengapa AemeL bilang seperti itu, apa
dia ingin menghindar dari Teguh atau ada hal lain?
**
BAB 2
Julia Hilang
AemeL kembali ke kontrakannya yang lama
meski belum bisa dibilang sembuh dari pincang akibat kecelakaan. Kehilangan
Julia membuatnya lebih stres dari tak berhubungan baik selama ini. Di depan
laptopnya ia mengecek semua saldo tabungannya lewat internet banking dan
semuanya masih utuh dan rencananya untuk mengajak Julia berlibur ke Bali
tinggal impian sebab gadis itu telah menghilang entah kemana dan tidak mungkin
ia kembali ke Lampung tanpa memberitahunya sebab mereka sudah berbaikan yang
mana semua kegiatan selalu mereka beritahu. AemeL melirik sebuah buku harian
yang dibeli Julia waktu ia amnesia detik berikutnya ia meraih buku itu dan
membukanya. Deretan tulisan tangannya dengan tinta emas terlihat rapih dan
indah namun tak seindah isi dari tulisan tersebut.
Tinta
emas,
Cobaan apalagi
ini? Bulan lalu aku selalu bertanya tentang Julia pada-Mu namun setelah aku
menemukan jawabannya ia kembali pergi yang memunculkan ribuan pertanyaan lagi
dibenak ini! Jika ia benar sahabat sejatiku kembalikan ia padaku, Tuhan. Julia…
aku percaya dimanapun kamu berada kamu tetap baik-baik saja, baik-baik saja…
karena kamu adalah aku, kalau aku baik maka begitulah kondisimu, kita satu.
Tuhan tahu itu?
Di akhir kalimat terpaut tanda tanya
seakan AemeL sendiri ragu kalau Julia baik-baik saja meski demikian ia tetap
menanamkan keyakinan kalau sahabatnya tidak akan apa-apa. Berikutnya AemeL
membuka lembaran words dalam
laptopnya dan mengecek beberapa naskah yang belum selesai ia tulis namun
beberapa detik ia mengamati semua itu dan tidak ada satukatapun yang bisa ia
tulis hingga akhirnya ia kembali menutupnya. AemeL mengamati seisi ruangan
kontrakannya, tidak ada yang berubah.
Setengah jam berikutnya AemeL sudah ada di
depan ruangan kerja Wowor, pria itu menyambutnya dengan senyum seperti
kemarin-kemarin, tidak ada yang berubah sedikitpun begitupun dengan caranya
menyambut kedatangan AemeL.
“Hai, AemeL.. bagaimana kabarmu? Aku rasa
tidak ada jadwal kontrolmu hari ini, ternyata…”
“Memang tidak ada, aku kesini hanya ingin
bertanya yang mungkin kamu tahu jawabannya.”
“Tentu saja Ae, aku akan menjawab semua
hal yang aku tahu menyangkut pertanyaanmu kecuali tentang keberadaan Julia.”
Ujar Wowor penuh simpati namun membuat AemeL tertawa getir.
“Justru itulah yang ingin aku tanyakan,
apa ia tidak menghubungimu dalam beberapa hari ini?” tanya AemeL dengan nada
datar dan dimata Wowor itu pertanyaan sangat biasa tidak ada kekhawatiran sama
sekali.
“Untuk apa kamu mencarinya? Jika ia
memutuskan untuk pergi berarti ia tidak ingin dekat dengan kamu, bukankah
begitu? Ngomong-ngomong bagaimana kelanjutan hubungan kamu dengan sang reporter
itu?” tanya Wowor setelah AemeL duduk di depan meja kerjanya.
AemeL kembali tersenyum. “Bukannya aku
ingin mengalihkan omongan kamu, aku malah melihat kamu itu sangat perhatian
dengan Julia tapi mengapa saat ia menghilang seolah menghilang juga perasaan
kamu padanya? Selama amnesia aku bisa melihat yang terjadi antara kamu dengan
Julia.” Pancing AemeL setengah memvonis.
Wowor malah tertawa renyah. “Kamu pikir
seperti itu? Terserah apa penilaian kamu tapi yang aku lihat selama kamu
amnesia ia sangat memperhatikan kamu bahkan tidak menghiraukan kesehatannya
sendiri, aku pikir dialah satu-satunya sahabat setia di dunia ini tapi sekarang
apa yang terjadi? Ia pergi bahkan tanpa sepatahkatapun pesan untuk kamu. Apakah
itu masih bisa disebut seorang sahabat?” kata Wowor kemudian.
AemeL tiba-tiba merasa gerah dalam ruangan
ber-AC itu hingga memutuskan untuk pamit. “Kamu benar Wor, tidak ada yang
sejati di dunia ini, jadi buat apa aku mencarinya. Sekali lagi, kamu memang
benar.”
Wowor mengangguk-anggukan kepalanya dengan
pasti disertai senyuman tipis. ‘Tidak ada sahabat sejati, Ae. Jika ada yang
mempercayai itu, adalah orang bodoh!’
AemeL keluar dari ruangan Wowor dengan
perasaan sakit seolah menyakini ucapan pria itu kalau Julia
sengaja
meninggalkannya dan pergi tanpa pesan. Dalam perjalanan AemeL menerima pesan
dari salah satu temannya yang tidak bisa dibilang dekat tapi cukup akrab karena
mereka satu sekolah dulu.
“Hai, AemeL… apa kabar? Juga dengan Julia?
Apa dia pernah memberi kabar padamu? Anak itu sekarang sombong, terakhir aku
menghubunginya nomornya tidak aktif.”
“Aku baik-baik saja, dan Julia juga. Ia
mungkin sedang sibuk mengurus bisnisnya, terakhir aku ketemu dia karena ia
datang ke Jakarta, sebulan yang lalu.”
“Syukurlah kalau begitu, oh, ya… bagaimana
dengan tulisan-tulisan kamu? Tentunya masih eksis’kan? salam sama Julia ya
kalau kamu ketemu dia atau telepon dia.”
“Oke, Mei. Salam juga buat teman-teman
yang lain ya.”
‘Julia baik-baik saja!? Ini benar-benar
kebohongan terbesar yang pernah aku katakan pada dunia. Ya Tuhan, semoga
demikian… Julia masih baik-baik saja.’ AemeL menghela napas panjang. ‘Jika aku
bilang tidak tahu keberadaan Julia dan mengatakan kalau aku dan Julia tidak
saling kontak, maka teman-teman yang lain tahu kalau selama ini aku dengan
Julia tidak harmonis padahal sebelumnya mereka tahunya kami teman yang paling
dekat dan selalu memberitahukan apa pun tentang kejadian di dunia pertemanan,
maka tidak masuk akal kalau aku bilang Julia tidak pernah ada kabarnya lagi. Ya
Tuhan.. lindungi Julia dimanapun ia berada.’
Untuk menghilangkan kepenatan pikiran
AemeL mengunjungi sebuah toko buku terbesar, di sana ia bisa mengamati beberapa
nama penulis besar dan membelikan beberapa buku yang ia rasa perlu. Baginya
sebuah buku semacam makanan yang memiliki nutrisi paling dahsyat. Saat ia
berada di depan rak buku psikologi seorang wanita dua puluhan berbicara padanya
tanpa menatap AemeL dengan seksama.
“Mencari buku karya siapa, Mbak? Ada
banyak buku psikologi karya orang-orang kita di sini tapi aku sedang mencari
buku ‘Dunia Sophie’.” Ujarnya. AemeL melirik anak itu sekilas, sepertinya ia
mahasiswi psikologi pertengahan semester.
AemeL yang sudah membaca buku yang
disebutkan anak itu jadi tersenyum saja, karena buku yang tidak kurang dari
delapan ratus halaman itu telah ia lahap dengan sempurna. AemeL agak kaget saat
melihat sebuah novel dengan judul ‘Sebuah Rahasia’ di tangan gadis itu.
AemeL mengalihkan pandangannya karena
sudah menemukan buku yang bagus. “Oke, saya duluan.. semoga kamu cepat
menemukan buku ‘Dunia Sophie’ itu.” Ujar AemeL dan ia membawa kakinya yang
masih pincang menuju meja kasir. Sedang gadis itu hanya menatap AemeL pergi
dengan terpaku, entah mengapa seakan ia kenal dengan wanita itu.
~ ~
AemeL sudah duduk di bangku yang ada di
pinggiran rak buku, kalau sudah menghadapi sebuah buku ia bisa lupa dengan yang
lain meski hanya sejenak. Setelah beberapa menit dan melahap beberapa halaman
pertama ia pun mengangkat kepalanya disertai tarikan napas panjang. Menit berikutnya
ia mengeluarkan laptopnya tapi ia masukan kembali dan memutuskan untuk pulang
ke tempat kos karena tidak ada yang bisa ia tulis saat ini.
Saat di tempat kos ia sudah ditunggu oleh
Teguh, pria itu sedang duduk di bangku yang ada di teras dan kelihatannya ia
sudah terlalu lama di sana. Ia langsung bangun dari tempat duduknya setelah
melihat kemunculan AemeL dan AemeL tidak heran kalau pria itu bertahan di sana
sebab ia tidak memiliki nomor yang harus dihubungi. AemeL membuka pintu dan
mengajak pria itu duduk di ruang tamu dengan pintu terbuka lebar. Teguh masuk
dengan perasaan lega bercampur lelah dan itu terdengar dengan jelas di telinga
AemeL saat pria itu menghempaskan bokongnya di atas kursi. AemeL meletakkan
tasnya kemudian membawa minuman untuk Teguh.
“Maaf mengganggu kamu, kedatanganku hanya
ingin memastikan kalau kamu baik-baik saja. Bagaimana dengan motor kamu yang di
kantor polisi? Aku rasa kewajibanku untuk mengurus semuanya. tolong jangan
salah paham, ini semua salahku, kan?” ujar Teguh dengan perhatian penuh.
“Minumlah dulu.” Hela AemeL tanpa ingin
merepotkan pria itu, bagaimanapun ia punya kenalan seorang polisi yang bertugas
di sana. “Bukannya bermaksud tidak mengindahkan maksud baik kamu, tapi sudah
ada yang mengurus.” Tambah AemeL setelah Teguh meneguk minumannya.
“Siapa?” tanya Teguh dengan cepat karena
ia takut ada pria lain yang mengambil alih perannya.
“Seorang teman.”
Pastilah teman itu seorang pria, pikir
Teguh. “Mm… aku merasa tidak enak karena kamu masih sakit seperti itu.” Ia
melirik ke arah kaki AemeL sekilas. “Sekarang kamu jadi tidak bisa bawa motor
lagi untuk kemana-mana. Mm.. kalau kamu tidak keberatan, aku ingin sekali
mengantarmu jika kamu ingin pergi-pergi.” Sampai kapanpun Teguh tetap merasa
sangat bersalah.
“Nanti dikira tukang ojekku.” Kata AemeL
setengah bercanda membuat Teguh jadi tertawa.
“Kamu bisa saja.” Teguh bisa melihat kalau
AemeL ternyata bisa bergurau juga.
“Tidak apa-apa Guh, nanti juga aku bisa
bawa motor lagi kok.”
“Oh, ya. Aku dengar kabar kalau Julia
menghilang, kok bisa?” tanya Teguh dan membuat AemeL kaget juga mendengar Teguh
tahu berita itu. “Apa ia diculik? Jika hal itu benar, kami sebagai jurnalis mungkin
bisa coba mencari jejaknya.”
“Apa? Diculik? Tidak, masa Julia diculik!”
bantah AemeL dengan tegas dan sedetik berikutnya ia coba memahami kata diculik
itu. ‘Apa mungkin seorang gadis semulia dan sepintar Julia menjadi korban
penculikkan? Rasanya tidak mungkin, tapi bukankah tidak ada hal yang tidak
mungkin di dunia ini?’ “Julia telah kembali menjadi dirinya sebelum aku
amnesia.”
“Maksudnya?” Teguh mengeryitkan kedua
alisnya karena tidak mengerti sama sekali.
“Lupakan, aku kenal siapa Julia jadi…
sampai saat ini ia baik-baik saja.” Ujar AemeL karena tidak ingin pria itu tahu
bagaimana dilema persahabatannya dengan Julia. Cukup Wowor saja yang tahu
karena ia memang sudah terlanjur tahu sebab kondisi saat itu mengharuskan ia
tahu.
“Oh, ngomong-ngomong kamu sudah makan?”
kata Teguh setelah melirik arlojinya yang sudah menunjukkan pukul satu siang.
AemeL mengangguk meski ia sebenarnya belum makan. Teguh hanya tersenyum.
“Aku minta Pin BB kamu ya, besok malam aku
ingin mengajak kamu keluar. Aku mohon kamu tidak menolak jika tidak ada
kegiatan.” Itu ajakan kencan pertama yang keluar dari mulut Teguh. AemeL wanita
dua puluh tujuh tahun tak perlu mencerna kata-kata Teguh, apakah pria itu
sedang kosong? Tidak ada yang tahu,
apalagi AemeL yang nota bene baru kenal dengannya. AemeL tidak mau ada
embel-embel hutang budi diantara mereka.
AemeL menyebut pin BB-nya lalu berkata.
“Aku tidak bisa memastikan apakah besok malam ada kegiatan atau tidak.”
Sahutnya. Teguh memaklumi dan itu bukan kata-kata yang terdengar seperti jual
mahal atau gengsi dan sepertinya memang kata itu jujur apa adanya.
**
Sangkar cinta buta
Di dalam ruangan yang serba ada termasuk
televisi, Julia mengedarkan seluruh pandangannya ke semua sudut. Tidak ada yang
ia kenal, mungkin seperti itulah yang dialami oleh AemeL saat mengalami
amnesia. Pikirnya. Julia coba mencari remote televisi namun beberapa saat tidak
ia temukan, ia coba mendekati layar untuk menyalakannya namun tidak ada satupun
kabel yang terhubung ke benda yang bisa menghasilkan gambar hidup itu. Julia
menghela napas dengan berat, tadinya ia bermaksud menyalakan layar itu agar
tahu di mana posisinya karena dimanapun atau kota manapun akan menampilkan
siaran daerah masing-masing. Sudah beberapa hari ia berada di ruangan tertutup
tanpa bisa tahu di mana dan siapa yang membawanya ke tempat itu. Ia tidak
memegang ponsel atau satupun barang yang bisa dijadikan untuk berkomunikasi
keluar.
Terakhir yang Julia tahu ia dicegat oleh
orang tak ia kenal di depan apartemen, orang itu langsung menutup mulut dan matanya.
Bau harum yang menempel di mulutnya membuat ia jatuh pingsan saat dimasukkan ke
dalam sebuah mobil. Tidak tahu berapa menit atau bahkan berjam-jam lamanya,
setelah sadar ia sudah ada di tempat terkutuk itu. Julia pun menemukan barang
pribadinya yang ia bawa dari Lampung. Jika barang itu ada bersamanya berarti
orang itu sempat masuk ke apartemen dan juga mungkin menculik AemeL.
Membayangkan AemeL membuat Julia sedih, sebab kondisi gadis itu masih sakit.
Julia coba mencari pintu yang bisa dibuka dan berharap mendengar suara AemeL di
sebelah yang mungkin dikurung bersebelahan dengannya. Julia mendekati sebuah
pintu yang terlihat seperti pintu ruang tengah. Jangankan membuka, menggerakkan
sedikit saja tidak bisa. Pintu itu terlalu kokoh, dengan bahan kayu jati yang
tingginya mencapai dua setengah meter. Julia melirik ke belakang, ada pintu
dengan dua sisi yang tidak kalah kokoh dengan pintu ruanga tengah. Di
sekitarnya ada sofa mewah, karpet tebal berwarna hijau tua dan disini ruangan
ada sebuah lemari es berukuran besar dan sebuah rice cooker sedang. Di
kiri kanan ada jendela berukuran lebar dengan masing-masing dua sisi yang bisa
dibuka tapi dari sejak pertama jendela itu terkunci, sepertinya dikunci dari
luar. Jendela itu seperti jendela rumah tua karena dibagian bawahnya dibuat
pentilasi dari kayu, hingga berbentuk sebuah sisir besar. Di kanan Julia sebuah
kamar tidur berukuran besar, disanalah Julia tidur dan dikamar itu ada kamar
mandi sendiri, semua isi kamar mandi sangat mewah tidak kalah seperti kamar
mandi yang ada di hotel bintang lima tapi situasi kamar tidur sangat klasik
tapi entah mengapa Julia tidak merasa takut sama sekali berada di tempat itu,
ia hanya penasaran. Siapa yang membawanya ke tempat itu dan apa mau orang itu
darinya.
Julia memegang perutnya yang sudah mulai
keroncongan, jika tidak makan ia akan sakit tapi ia tidak ingin makan lagi dari
orang yang tidak ia kenal.
“Ya Tuhan, jika tempat ini adalah musibah
besar bagiku dan keluarga maka keluarkan aku dari penjara ini namun jika semua ini
kehendak-Mu yang akan menebus segala dosaku maka aku iklas berada di sini.”
Guman Julia dalam hati. Detik berikutnya pintu ruang tengah terbuka. Seorang
pria bertubuh binaragawan masuk dengan membawakan sebuah nampan berisikan lauk,
ayam bakar pedas. Ia meletakkan nampan itu di meja samping pintu. Dari kemarin
Julia mengajak pria itu bicara dan bertanya banyak hal tapi tak satupun kata
yang keluar dari mulutnya, ia mungkin gagu atau memang dikunci paksa oleh orang
yang punya rumah itu.
“Tolong keluarkan saya dari sini.” Pinta
Julia untuk kesekian kalinya. Dan lagi-lagi pria itu menggeleng seperti
kemarin. Itu menandakan kalau ia tidak punya hak mengeluarkan Julia. Julia
mendekati pria itu dan dengan secepat kilat pria itu menghalanginya agar Julia
menjaga jarak kalau tidak Julia akan celaka. Pria itu mengangkat telapak
tangannya yang terbuka mengisyaratkan agar Julia tetap berdiri di tempatnya.
Julia melihat ada sebuah senjata api di pinggang pria itu. “Aku mohon, aku
harus pergi. Temanku akan cemas kalau tidak dapat kabar dariku. Aku tidak butuh
lauk itu, aku hanya ingin pergi dari sini! Apa kamu yang membawa aku ke sini?” tanya
Julia meski ia bisa menebak kalau pria itu hanya suruhan. Dua kali kepala itu
terlihat menggeleng dengan pasti dan tandanya Julia tidak bisa memaksanya.
Detik berikutnya pintu kembali ditutup dengan rapat membuat Julia ingin
menangis.
‘Tidak! Aku tidak boleh menangis, orang
gila itu akan merasa menang kalau aku nangis. Tidak… aku harus mencari cara
bagaimana caranya bisa keluar dari sini, tapi kalau aku jatuh sakit bukannya
aku malah dibawa ke rumah sakit dan itu artinya aku keluar dari ruangan
terkutuk ini.’ Julia menarik napas dalam-dalam. ‘Tapi alangkah bodohnya jika
hanya untuk keluar aku mengorbankan kesehatanku., memangnya tidak ada pilihan
lain?’
Julia tidak menghiraukan lauk nikmat yang
ada diatas meja kecil di samping pintu, matanya melirik meja yang di dekat
galon frezer dimana tersedia beberapa
bungkus kopi instan dalam berbagai merek. Julia yang maniak kopi dari kemarin
belum satupun ia buka kopi itu meski air panas tersedia selalu. Mata Julia
mengamati setiap sudut ruangan dan kali ini yang ada dibagian atas kalau-kalau
ada kamera cctv yang dipasang tapi ia tidak menemukan satupun kamera kecil yang
ada pada setiap sudut ruangan. Suhu ruangan tidak bisa dibilang panas ataupun
dingin, Julia curiga kalau posisinya ada di sebuah pedesaan atau mungkin di
sebuah desa terpencil. Sekali lagi ia menarik napas panjang bersamaan dengan
sahutan perutnya yang minta diisi namun Julia tak menghiraukannya. Julia
kembali ke kamar, ada sebuah mukena di sana, zuhur sudah lewat membuat ia buru-buru
ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya meski tak ada satupun debu yang
menempel di kulitnya. Julia mengunci pintu kamar mandi dengan rapat sekali dan
ia pastikan tidak ada satupun kamera yang ada di kamar mandi mewah itu. Di
tempat perlengkapan sabun ada beberapa botol shampo wanita dari puluhan merek.
Ia memilih yang biasa ia pakai.
‘Apa maunya orang itu? Mentang-mentang ia
bisa menyediakan segalanya maka apa pun ia sediakan dalam berbagai merek. Jika
ia bisa memiliki segalanya untuk apa ia membawa aku ke sini sebagai tawanannya
atau mungkin akan ia jadikan tumbal? Ya Tuhan.. lindungi aku dari marabahaya,
Ibu.. doakan aku supaya tidak kenapa-napa.’ Pinta Julia dengan begitu ia bisa
sedikit tenang, karena ia yakin apa pun alasannya orang itu pasti punya niat
yang tidak bisa ia bayangkan. Julia tidak dapat menebak siapa orang yang
menyebabkan ia terkurung. Julia membasahi rambut dan seluruh tubuhnya, ia tidak
mandi menggunakan shower karena ia
lebih suka memakai gayung. Taklama kemudian Julia telah selesai mandi dan
menyelesaikan shalat zuhurnya dengan menentukan kiblat dari arah matahari yang
masuk ke dalam kisi-kisi kamar karena tidak ada petunjuk kiblat di dalam rumah
itu. Dan lagi-lagi perutnya bersuara membuat Julia mulai membenci suara itu.
Mata Julia
kembali mengamati seisi kamar dengan bangunan klasik, tempat tidur dari kayu
dengan kasur empuk, meja dan lemari semua terbuat dari kayu. Lemari hanya satu
pintu dan isinya hanya tas Julia sedang di meja kecil itu ada beberapa buku
tebal entah itu karya siapa Julia tak pernah tertarik untuk mendekatinya. Ada
tiga buah handuk yang masih terbungkus dengan plastik, sepertinya baru. Julia
tidak pernah menyentuhnya karena
dari Lampung ia membawa handuk meski ukurannya tidak bisa
dibilang besar.
**
Arjuna masa kini
Adakah wanita
yang menolaknya? Kedua pria itu sedang berbincang di sebuah kafe terbuka, zaman
sekarang melihat dua orang pria tampan dengan pekerjaan mapan sedang makan
berdua dengan pria juga akan mengundang tanya pada setiap orang, apakah mereka
pasangan kekasih? Oh, dunia ini memang cepat sekali menimbulkan
pertanyaan-pertanyaan yang menjurus ke hal negatif. Bukan tanpa alasan karena
dunia ini memang sudah rusak semua isinya dalam segala bidang dan setiap
hubungan. Orang tua ada yang merusak putrinya sendiri, saudara sekandung ada
yang membunuh saudaranya sendiri, para pejabat saling sikut di kursi kekuasaannya
yang hanya sementara itu. Tidak tahu lagi dimana mencari sebuah hubungan suci
di dunia ini seakan semuanya telah dinodai oleh nafsu orang yang kurang
beriman.
“Kamu tidak
merasa kehilangan dengan hilangnya Julia?” tanya pria yang berkemeja abu-abu,
dia adalah Teguh sang reporter ternama di sebuah stasiun televisi swasta. Ia
menatap pria yang ada dihadapannya yang sedang menikmati minuman ringannya. Dia
bernama dr. Wowor Vandeep.
“Mengapa aku
yang harus merasa kehilangan, dia adalah wanita yang baru aku kenal namanya
dalam sebulan belakangan. Diantara kami juga tidak ada hubungan apa-apa yang
terjalin.” Jawabnya dengan enteng. Teguh mengamati wajah pria itu sejenak lalu
mengalihkan pandangannya ke arah lain sambil berkata.
“Aku juga baru
mengenali AemeL tidak lebih dari sebulan, seandainya dia yang menghilang maka
aku akan mencarinya tak peduli ke ujung dunia sekalipun.”
“Berarti kamu
mencintai wanita itu melebihi apa pun di dunia ini, kasihan sekali. Apakah jika
kamu hilang ia akan peduli? Aku rasa tidak!” nada Wowor sinis bahkan mengandung
ejekan untuk Teguh. “Apa karena kamu telah mengakibatnya cacat sehingga
menimbulkan rasa kasihan? Cinta dan rasa kasihan itu dua hal yang berbeda,
Bung.” Tambahnya.
Teguh tertawa
halus dan menyadari kalau Wowor sedang mengejeknya. “Andai saja Anda mengerti
dan memahami misteri sebuah hati.” Ujar Teguh seakan berkata sendiri. Ia lalu
meneguk habis minumannya memaksa Wowor mengamatinya dan pria itu terdiam.
‘Tidak ada yang
lebih mengerti dengan misteri hati selain aku, cinta akan membuat Anda gila.’
Guman Wowor dalam hati. ‘… dan Anda tidak tahu betapa besar perasaanku pada
Julia.’
“Apa Anda yakin
kalau Julia benar-benar hilang?” kata Wowor kemudian. “Anda tidak akan pernah
tahu, siapa tahu ia kembali ke kampung halamannya.” Mereka bicara dengan
sebutan Anda dan terkadang kamu. “Zaman sekarang banyak hal yang dilakukan
orang yang tidak masuk akal. Hubungan Julia dengan AemeL itu tidak harmonis.”
“Apa maksud Anda
tidak harmonis?” tanya Teguh dengan nada sangat penasaran.
“Lupakan.” Jawab
Wowor yang sama persis seperti jawaban AemeL saat itu.
“Apa Anda
mencintai Julia?” pertanyaan yang menjurus menuduh.
“Saya tidak
seperti Anda bisa jatuh cinta pada wanita yang baru dikenal. Maaf, sepertinya
saya harus kembali ke kantor.” Kata Wowor yang bermaksud ingin kembali ke rumah
sakit. Bukannya ia tidak menghargai Teguh dan sok jadi orang penting tapi ia
tidak suka pria itu membicarakan tentang Julia.
Setelah Wowor
pergi Teguh menghubungi AemeL karena gadis itu telah memberikan nomon pin BB
sekaligus nomor teleponnya.
AemeL yang
sedang mengetik di kamar kosnya melirik nomor masuk di LCD BB-nya, setelah
beberapa detik baru ia angkat. “Ya, halo?”
“Halo Ae, ini
Teguh. Aku jemput pukul tujuh malam ini ya?” kata Teguh mencoba bicara apa
adanya, ia tidak mau terkesan mengemis meski ia sangat ingin melakukannya.
AemeL tidak bisa langsung menjawab, entah apa yang harus ia jawab padahal ia
tahu kalau Teguh akan meneleponnya. Seharusnya ia sudah menyediakan beberapa
jawaban baik itu menghindar ataupun mengiyakan. AemeL melirik jam weker di meja
kecilnya dan masih pukul empat sore.
“Maaf Guh, aku
sepertinya tidak bisa. Sekali lagi maaf.” Sahut AemeL tidak bermaksud mengecewakan
pria itu namun tetap saja pria itu kecewa, itu terdengar dari nada jawabannya.
“Oh, tidak ada
apa-apa. Baiklah…. Selamat berkatifitas ya.” Hela Teguh dengan nada lemah.
“Dan, jaga kesehatan. Selamat sore.” Ia mengakhiri telepon.
AemeL menghela
napas panjang hingga dua kali, ia melirik layar laptopnya dimana lembaran words-nya sedang menunggu. Ia memang
sedang asyik menulis tapi sekarang tidak berminat lagi. Telepon dari Teguh
telah membuyarkan semua isi cerita di dalam otaknya. AemeL merasa tidak pantas
pergi dengan Teguh sementara ia tidak tahu di mana keberadaan Julia sahabatnya,
apakah gadis itu baik-baik saja atau nyawanya sedang terancam?! Hanya Tuhan
yang tahu namun setiap saat AemeL selalu berdoa untuk keselamatan Julia meski
setiap ia coba menghubungi nomornya tetap tidak aktif.
Selepas maghrib,
Wowor mengunjungi AemeL di kediamannya. Yang melihat Teguh datang kemarin siang
pastilah mencap AemeL sebagai gadis menerima setiap pria yang datang ke tempat
kosnya. Bukannya AemeL tidak berpikir ke arah itu, tapi orang tidak akan tahu
apa yang ia kerjakan karena pada prinsipnya orang lain kebanyakkan akan
berpikiran negatif.
“Mengapa tidak
telepon dahulu?” kata AemeL setelah Wowor duduk di ruang tamunya.
“Mm.. maaf, apa
aku mengganggu acara kamu?” Wowor merasa tidak enak juga. “Bagaimana dengan
kakimu?” tanyanya dengan tulus.
AemeL mengusap
pergelangan kakinya sejenak. “Sudah tidak begitu sakit, tapi belum bisa naik
motor.” Ia terawa halus. “Aku sudah tidak apa-apa sih, hanya saja saat ini aku
tidak bisa tidak memikirkan Julia. Entah di mana ia berada sekarang.”
“Sudahlah, siapa
tahu ia sedang bersenang-senang dengan seseorang.” Timpal Wowor membuat AemeL
tersenyum.
“Ya ya, siapa
tahu kamu benar. Tidak ada pentingnya memikirkan orang yang tidak memikirkan
kita. Kalau ia peduli sama aku pasti ia pergi dengan baik-baik atau setidaknya
pamit.” Hela AemeL tapi Wowor tidak tahu kalau hati AemeL sedang hancur dan
sakit sekali memikirkan keselamatan Julia.
“Kalau kamu
ingin pergi kemana-mana jangan sungkan menelepon aku, aku siap mengantarmu..
karena saat ini kamu tidak bisa naik motor, kan? Jadi, anggap saja aku ini
pengganti temanmu yang sudah menghilang itu.”
AemeL mengamati
wajah Wowor dengan seksama. “Apa kamu tidak keberatan membantu aku mencari
keberadaan Julia?”
“Ah, itu lagi.
Bukankah kita sudah membahasnya?”
“Ya, siapa tahu
ia sedang bersama seseorang dan melupakan aku. Aku ini memang bodoh.” Senyum
AemeL mengembang dan di mata Wowor terlihat dengan jelas kalau AemeL tidak
merasa kehilangan. “Apa kamu tidak punya perasaan apa-apa dengannya? Bukan
tanpa alasan aku bicara demikian, karena selama ini aku melihat kamu menaruh
perhatian sama dia.”
“Yang orang
lihat terkadang tidak seperti kenyataannya.” Jawab Wowor dan AemeL menemukan
ada ketidakjelasan dari pengakuan itu. Wowor sedang bicara bohong, AemeL tahu
kalau pria itu menyukai sahabatnya begitupun sebaliknya. “Bahkan kamu mungkin
tidak tahu jika aku mengatakan kalau aku menyukai kamu. Apa kamu bisa percaya
itu?” tambah Wowor membuat AemeL agak terperangah. “Lupakan, aku pasti sedang
meracau.” Ralat Wowor sambil tertawa membuat AemeL ikut tertawa meski kehadiran
Wowor tak bisa mengubah perasaannya yang lagi kacau, ia tidak akan bisa tenang
sebelum tahu keberadaan Julia. Bagaimana pun Julia adalah seorang sahabat yang
amat sangat berarti baginya dan yang membuatnya tidak mengerti adalah,
bagaimana perasaan Wowor pada Julia? Waktu sebulan kebersamaan mereka ia selalu
bisa melihat kalau Wowor punya perasaan sayang pada Julia dan ia tahu Julia
punya rasa yang sama dengan Wowor dan saat ini adaketidakpedulian Wowor pada
Julia terlihat begitu nyata, apakah diantara mereka telah terjadi perjanjian
atau ada salah satu mereka merasa kecewa?
“Bagaimana kalau
kita keluar? Besok aku libur dan senin malam baru dinas.” Ajak Wowor seperti
seorang teman mengajak temannya keluar untuk sekedar menghirup udara segar.
Julia terlihat berpikir untuk beberapa saat hingga akhirnya mengiyakan setelah
mempertimbangkan banyak hal, diantaranya siapa tahu ia bisa mendapatkan
informasi tentang Julia.
Setelah
menikmati beberapa menit jalanan macet akhirnya Wowor dan AemeL bisa bernapas
lega di sebuah tempat makan istimewa. Saat mereka sudah duduk Wowor mengomentari
pakaian AemeL.
“Aku suka cara
berpakaianmu, terkesan sekali kalau kamu itu orangnya simpel dan pintar. Cara
berpakaian kamu dengan Julia sebenarnya tidak jauh beda.” Tutur Wowor dengan
penuh rasa simpati. AemeL tak merespon karena dari kata-kata Wowor ia bisa
menangkap kalau sebenarnya selama ini pria itu memperhatikan cara berpakaian
Julia.
“Bawaan dari
zaman sekolah.” Akhirnya AemeL bicara juga.
“Pakaian juga
mencerminkan pribadi seseorang. Oke, kamu mau pesan apa?” ia menyodorkan kertas
menu kehadapan AemeL dengan santai.
Sebelum meraih
lembaran menu itu AemeL sudah berkata lebih dulu. “Aku dan Julia sebenarnya
suka sekali dengan menu ikan bakar yang sangat pedas, tapi ayam bakar juga. Lalapannya
daun singkong muda direbus dan sambel ijo.” Ia mengamati suasana sekilas. “Tapi
di sini aku rasa tidak menyediakan menu seperti itu.”
“Lihat saja
dulu, menu kesukaan kalian itu seperti masakan Padang ya.” Ujar Wowor. “Nanti
kita akan mengunjungi tempat makan yang
menyediakan khusus menu seperti itu.”
AemeL hanya
tersenyum. “Tidak apa-apa, aku bisa makan apa saja yang penting sehat.” Ia
mengamati daftar menu yang tersedia. Nasi goreng, segala macam mie, sea food
serta segala macam minuman jus. “Makanan berat semua.” Ujar AemeL kemudian.
“Makan berat
waktu malam tidak masalah, asalkan tidak langsung tidur minimal dua jam dan
minuman jus bisa menetralisir kolestrol.” Wowor menatap AemeL sejenak. “Tolong
tulis pesananku sekalian, kepiting asam pedes tanpa nasi dan jus jeruk.”
AemeL pun
menulis pesanan Wowor dan ia pun memesan menu yang sama persis. “Julia paling
benci dengan makanan kepiting, alasannya makannya terlalu lama menghabiskan
waktu, ia suka makanan yang cepat mengenyangkan, lalu ia bisa bersantai setelah
itu sambil menikmati obrolan ringan dan menikmati kopi kegemarannya.”
“Begitu ya?”
“Ya, dia suka
pergi jalan-jalan dan yang pasti dengan orang-orang yang cocok dengannya. Dia
tidak suka orang pamer kekayaan, ia tidak suka disbanding-bandingkan dengan
orang lain, ia bisa terbuka sekali dengan orang yang ia anggap memahaminya tapi
ia paling benci pada orang yang tahu titik lemahnya. Dia tidak pandai memasak
tapi tahu hampir semua tempat makanan enak termasuk di Jakarta ini.” Tutur
AemeL seolah tidak sadar, karena ia sangat merindukan sahabatnya itu. Pesanan
mereka telah datang, sejenak mereka merapikan meja untuk mulai menyantap
hidangan. Wowor masih diam seolah masih ingin mendengar banyak tentang Julia
dari mulut orang yang ia anggap paling dekat dengan Julia.
Sambil meraih
sendok garpu AemeL bicara lagi. “Julia itu paling benci orang menikmati makanan
dengan tangan kiri. Hmmm… menurut aku, dia itu adalah gadis yang perfect sekali. Tidak suka bergosip tapi
suka memberi saran kepada semua teman-temannya, tapi…. kalau ada teman yang suka ngocol ia bisa
masuk dan menjadi lebih gila bercandanya, memang gadis serba bisa dia itu,
kecuali masak. Terbayangkan… bagaimana beratnya ia menjalani hidup satu bulan
lalu di apartemen? Ia mencuci piring, gelas dan masak meski hanya nasi goreng..”
AemeL terdiam dan Wowor masih menyimaknya, pria itu mendengar dengan sangat detil seolah cerita
AemeL lebih menarik dari kepiting yang ada dihadapannya. “Dia hanya butuh
seorang pria yang bisa mengayominya, bisa menjadi imamnya sekaligus punya ilmu
agama minimal satu level darinya.”
Mendengar itu
memaksa Wowor meneguk jus jeruknya, sedang AemeL mulai menikmati kepiting di
dalam piringnya. “Tidak ada manusia yang sempurna, kan? Sehebat-hebatnya Julia
dan sebaik-baiknya dia, tetap saja ia orang yang tidak tahu sopan santun karena
pergi tanpa berita.” Celetuk Wowor seakan cerita AemeL tidak berarti baginya.
Bersamaan dengan itu sebuah layar televisi yang ada disudut ruangan sedang
menyiarkan berita off air dan seorang
reporter tampan berdiri di tempat kumuh untuk menyajikan kondisi yang masih
memprihatikan di sisi lain Jakarta.
“Dia.” Kata
Wowor saat menyimak berita itu. “Dia suka sama kamu, mungkin lebih dari yang
kamu kira.” Ia
menunggu respon dari AemeL.
“Apa….?” AemeL
agak terperangah, mungkin bukan karena kata-kata Wowor tapi karena tadi sore
pria itu menelepon dan ingin mengajaknya pergi tapi ia malah bersama Wowor.
“Aku bicara
serius, ia sangat mencintai kamu. Aku jadi iri mendengar cintanya yang begitu
besar sama kamu.” Tambah Wowor. “Apakah cinta itu bisa muncul saat seseorang
merasa bersalah? Tapi aku merasa kamu beruntung Ae. Dia pria baik-baik, dua
tahun lalu kekasihnya meninggal karena kecelakaan saat meliput berita bencana
tanah longsor, ia berada terlalu dekat dengan lokasi hingga ikut tertimbun
karena waktu itu masih gerimis. Mereka satu profesi tapi tidak berjodoh.” Urai
Wowor dan membuat AemeL jadi merinding mendengarnya. Sosok Teguh sudah
menghilang dari layar kaca, AemeL menatap Wowor masih penuh tanya. “Teguh bukan
temanku, tapi kami pernah bertemu beberapa kali, ia banyak cerita tentang
dirinya dan kamu.”
“O…” hanya itu
kata yang keluar dari mulut AemeL dan ia coba membasahi tenggorokannya dengan
jus jeruk yang dingin tapi cerita Wowor masih menggema di otaknya.
“Kamu mencintai
Julia?” itu pertanyaan untuk kesekian kalinya AemeL lontarkan pada Wowor.
“Kamu mengira
demikian?”
“Aku sedang
bertanya.”
“Oke, nanti
kalau kamu sudah bertemu dengan Julia katakan juga pertanyaan seperti itu lalu
aku akan menjawab pertanyaanmu tanpa tahu apa jawaban Julia padamu.”
Mendengar itu
membuat AemeL tidak bisa menahan tawanya. “Kamu itu pandai sekali mengelak, apa
susahnya bilang iya atau tidak. Apa kita seumuran atau……..?”
“Aku sudah
kepala tiga.”
“O.” AemeL
mengangguk-angguk pelan karena ia sendiri baru masuk usia 27 tahun. “Usia
kepala tiga sepertinya sangat pas untuk menikah.
‘Aku akan
menikah hanya dengan Julia.’ Sahut Wowor dalam hati.
“Kamu sendiri?”
“Tadinya
menargetkan menikah usia 25 tapi sekarang malah tidak punya target lagi.”
Tidak ada yang
bicara lagi selain suara sendok terdengar pelan menemani mereka menghabiskan
malam itu bersama. Pertemanan itu sudah dimulai saat mereka mulai mengenali
diri masing-masing. Jika Wowor mengakui menyukai dan mencintai Julia itu tidak
salah, sebab Julia adalah gadis yang nyaris sempurna dambaan pria, tapi siapa
yang percaya kalau Wowor yang tampan, punya karir bagus diusia tiga puluhan
tidak punya pacar? Rasanya sangat tidak mungkin, AemeL tidak akan membiarkan
sahabatnya jatuh cinta dengan pria yang akan membuatnya patah hati.
‘Ah, apakah
menghilangnya Julia lantaran ia telah patah hati karena sudah mencintai Wowor
dan mengetahui kalau pria itu sudah punya calon istri? Dan tanpa memberitahu
aku karena ia benar-benar ingin menghilangkan jejaknya dari Wowor! Ya Tuhan,
apakah dugaanku ini benar?’ AemeL menghela napas berat. ‘Tidak, meski ia punya
tampang Arjuna tetap ia tidak pantas menyakiti hati Julia. Tapi yang lebih
susah adalah… jika Julia telah kembali menjadi dirinya sebelum aku amnesia,
baiklah Julia, aku akan mengikuti keinginanmu, kau berjalan di duniamu dan aku
juga begitu.’
AemeL sudah
berhenti memikirkan Julia, kini ia akan kembali fokus dengan dunia tulis-menulisnya
selain tetap berdoa semoga Julia baik-baik saja.
“Apa kamu sudah
bisa melupakan Julia?” suara Wowor tiba-tiba menghalau lamunan AemeL.
AemeL coba
tersenyum seindah mungkin dan setegar yang ia mampu. “Tentu saja, dan satu
lagi… jangan percaya dengan apa yang pernah saya ucapkan.” Tambah AemeL dengan
sangat yakin membuat pria itu tersenyum dengan penuh kemenangan meski tidak
begitu mengerti apa maksud dari kata-kata AemeL tersebut.
‘Kamu memang
benar Ae, tidak ada yang abadi di dunia ini, sabahat? Omong kosong dengan yang
namanya persahabatan!’ saat itu muncul kebencian di benak Wowor pada AemeL.
Entah mengapa kebencian itu ada.
AemeL tidak
menyadari kalau pria itu sudah membencinya hingga ke ubun-ubun, pesona AemeL
tidak mempan di pikiran Wowor serta segala macam kepintaran dan wawasannya. Di
perjalanan pulang tidak banyak yang mereka bicarakan. Wowor lebih banyak diam
begitupun AemeL. AemeL pun tidak tertarik sama sekali dengan pria matang yang
memiliki wajah indo itu, meski tidak sedikit wanita yang mendambakan cintanya
apalagi di kalangan rumah sakit tempat Wowor bernaung. AemeL tiba-tiba kangen
dengan Teguh, pria sawo matang, mandiri dan terkesan bisa melakukan apa saja.
Terpikir oleh AemeL untuk mengirim BBM pada Teguh tapi ia tidak suka kalau
Wowor menegurnya dan bertanya mengirim pesan untuk atau pada siapa. Itu
menandakan kalau ia sedang bosan duduk di samping Wowor. Detik menunggu mobil
sampai di depan kos AemeL rasanya lama sekali, lalu sebuah suara ping dan BB AemeL berdering tapi AemeL
membiarkannya, ia akan membukanya nanti di kos. Wowor melirik ke arah AemeL
sekilas.
“Terima kasih
ya, Ae.”
“Untuk?”
“Atas kesedian
kamu menemaniku makan malam.” Wowor sudah kembali mengamati jalanan.
“Oh, itu.
Sama-sama. Siapa tahu nanti-nanti aku tidak bisa menemani kamu lagi, kamu
seorang dokter yang punya jadwal sangat padat dan aku, kalau sedang punya
cerita bagus di otakku, kemanapun orang ajak pergi tidak akan bisa… karena
khawatir otakku akan meledak nanti.” Ujar AemeL seperti bercanda namun itu
serius sebab kalau ide cerita sudah memenuhi otaknya kalau tidak dituangkan
lewat tulisan maka ia tidak akan bisa fokus dengan apa pun yang ada di depannya
karena cerita itu akan berseliweran di otaknya, menguasai otaknya untuk diajak
keluar dengan sesegera mungkin.
Apapun yang
dikatakan AemeL tidak masuk di akal Wowor hingga ia pun hanya bisa tersenyum
simpul. Apalagi kebencian telah AemeL
tanam di otaknya, tadinya ia berharap bisa membawa AemeL datang ke rumahnya,
kenal dengan kedua orang tuanya namun
semua itu tidak penting lagi.
~ ~
Teguh merasa
harus menemui AemeL, cintanya pada gadis itu tidak main-main. Kedewasaan
pribadi membutuhkan sebuah kepastian di dalam menjalani hidup. Tidak ada lagi
pikiran memikirkan hal yang sudah-sudah, kekasih yang telah lama pergi tidak
bisa dijadikan sebagai bahan untuk selalu menikmati kesedihan yang
berkepanjangan. Tidak ada alasan untuk menjadi pribadi cengeng.
Di tempat kos
AemeL yang sepi dan Teguh mendapati gadis itu habis menangis, ia mungkin
menangis semalaman. Ingin sekali Teguh merengkuh tubuh itu seerat mungkin meski
tak dapat meringankan beban apa yang ia derita. Dan AemeL benci sekali kalau ia
kedapatan habis menangis apalagi di depan seorang pria.
“Aku mungkin
datang tidak diwaktu yang tepat.” Hela Teguh namun ditanggapi AemeL dengan
gelengan lembut.
“Aku tidak
apa-apa. Hanya saja sedang kangen sekali dengan Julia.” AemeL tidak bisa
menyembunyikan perasaan sedihnya pada Teguh, berbeda sekali dengan Wowor,
dengan pria itu AemeL bisa berpura-pura tidak memikirkan Julia.
“Apa kita perlu
melapor polisi?” Teguh tidak sanggup melihat gadis itu bersedih apalagi di depan
matanya.
Lagi-lagi AemeL
menggeleng karena ia tidak yakin Julia menghilang tapi gadis itu sengaja
menjauhinya, lagi. dan kali ini ia tidak tahu apa sebabnya, itu yang membuat
AemeL lebih sedih. Julia tidak pernah
tahu berapa waktu yang AemeL habiskan untuk memikirkannya.
“Apa kamu sedang
ingin sendiri?” lanjut Teguh. Kali ini AemeL diam, ia mengamati Teguh sejenak
dan andai pria itu tahu kalau AemeL sedang membutuhkan seseorang untuk
menemaninya. Namun di hati kecilnya tidak bisa menerima kalau keakraban mereka
karena insiden kecelakaan itu. AemeL pun tidak tahu jika ada seorang wanita
yang merasa tersakiti dengan keberadaan Teguh di tempat kosnya, perkara Wowor
pernah mengatakan Teguh sangat mencintainya dan ia telah kehilangan kekasihnya
dua tahun yang lalu tidak bisa ia percaya begitu saja. Dunia ini penuh tipu daya
sana sini, tak terkecuali dalam dunia asmara. AemeL tidak suka Teguh menguasai
suasana hatinya yang sedang lemah.
“Aku, sebenarnya
aku ingin pergi ke suatu tempat.”
“Aku antar.”
Sudah AemeL duga
kalau Teguh akan melontarkan tawaran itu, AemeL merasa telah menyesal mengatakannya.
“Hmm, tidak usah. Perginya juga nanti sore kok.” AemeL tidak berbohong karena
tadi pagi seorang teman sama-sama penulis mengajaknya bertemu di sebuah coffee shop.
“Hari ini aku
libur, Ae. Jam kerjaku nanti malam sampai besok siang. Maklum seorang reporter
jam kerjanya tidak menentu.” Jelas Teguh dan sepertinya AemeL memahami, kecuali
kalau reporter tetap di studio. AemeL tidak ingin menanyakan satu hal pun
tentang kehidupan pria itu, termasuk urusan wanitanya.
Sorenya, AemeL akhirnya
mengizinkan Teguh menemaninya bertemu dengan seorang kerabat yang sudah ia kenal dalam dua tahun ini lewat facebook, dan mereka sudah dua kali
bertemu. Di area parkir Teguh memarkir motor besarnya dan itu pertama kalinya
AemeL naik motor setelah kecelakaan. AemeL tidak lagi menggunakan tongkat
karena Teguh melarangnya dengan alasan ia bisa membantu sebisanya. Setelah
melepaskan jaketnya AemeL mengamati Teguh yang juga merapikan jaket dan
meletakkannya di atas stang motor.
“Apa temanmu sudah sampai atau kita
terlambat?”
“Itu pertanyaan
yang sama.” Hela AemeL sembari tersenyum. “Ia sudah di dalam beberapa menit
yang lalu.” Tambah AemeL dan ia bermaksud melangkah tapi segera diraih
tangannya oleh Teguh.
“Biar aku bantu.”
“Aku tidak
apa-apa, sudah sembuh ini kok.” Mereka melangkah bersama-sama karena Teguh tahu
AemeL belum sembuh seutuhnya. Dan itu memang benar karena AemeL masih sedikit
pincang untuk mengimbangi kakinya yang satu sebab ia tidak bisa membebani kaki
kirinya seperti sebelum patah.
AemeL tersenyum
melihat temannya yang sudah duduk di pojok kanan ruangan, dan saat gadis itu
melihat kemunculan AemeL bersama seorang pria yang belum ia kenal dan AemeL
tidak pernah menceritakan sebelumnya membuatnya agak kaget sebab pria itu
baginya bukan pria biasa. Meski tidak pernah bertemu langsung ia mengagumi pria
itu dari layar kaca, caranya membawakan berita, suaranya yang khas, senyumnya
menawan dan tubuhnya ternyata lebih atletis dari dekat, dan yang membuatnya
lebih menarik karena pria itu sangat lihat dan cerdas bila sedang berdialog
dengan sumber berita.
Ia menyambut
kedatangan AemeL dengan berdiri. “Hai, maaf aku datang kecepatan karena sudah
tidak sabar ingin cerita banyak hal.” Katanya karena ia tahu AemeL itu tidak
pernah terlambat bila membuat janji.
“Tidak, akunya
saja yang memang agak terlambat.” Sahut AemeL tidak ingin membuat temannya
merasa
bersalah. “Oya, kenalkan ini temanku… namanya……..”
“Teguh Tebolai.”
Potong gadis itu hafal betul dengan nama reporter favoritnya membuat pria itu
tertawa, ia akan merasa senang kalau gadis itu tahu namanya bukan dari AemeL
tapi dari kinerjanya selama ini. AemeL ikut senang karena temannya sudah tahu
nama Teguh.
“Senang bertemu
dengan kamu…..”
“Nurmala.”
Sambung gadis itu memberitahu namanya sendiri. Teguh tersenyum lalu melirik ke
AemeL diamati Nurmala dan ia berharap hubungan mereka tidak lebih dari teman
biasa.
Detik berikutnya
mereka duduk, memesan makanan lalu berbincang layaknya teman yang sudah sering sekali bertemu dan
AemeL senang sebab Teguh cepat sekali akrab dengan Nurnala. Sekilas AemeL dan
Nurmala mengakui kalau bertemanan mereka berawal dari chat di facebook dan
merasa akrab karena memiliki kesukaan yang sama yaitu menulis.
“Dunia internet
memang banyak sekali membantu kegiatan sehari-hari kita, teknologi memang luar
biasa,
Tapi teknologi akan merusak hidup jika kita tidak bisa
menggunakannya dengan baik.” Tutur Teguh lalu menikmati kopi cappuccinonya.
Diiakan Nurmala dengan anggukan lalu ia menatap AemeL.
“Ae, maksudku
mengajak kamu ketemu di sini ingin
menanyakan apakah benar ada penerbit yang mengambil hak kita?” ia bertanya
serius dan sebelumnya ia pernah melontarkan pertanyaan itu pada AemeL di
jejaring sosial. Teguh membiarkan kedua gadis itu bicara serius tanpa ingin
memotong pembicaraan.
“Nur, kita
sebenarnya sudah punya surat kontrak dan di sana tertulis dengan sangat jelas,
berapa tahun naskah kita dikontrak, akan dikeluarkan berapa eksemplar dalam
cetakan pertama dan berapa royaltinya sudah sesuai dengan kesepakatan pihak
pertama dan kedua, begitupun kalau ada cetakan kedua dan seterusnya. Jadi kalau
maksud kamu ada pihak penerbit yang diam-diam mencetak diluar kesepakatan itu
dan menjualnya dan mengambil keuntungan sendiri. Yah itu adalah tanggung jawab
mereka kepada Tuhan. Rezeki kita tidak akan pernah tertukar Nur.” Ujar AemeL.
“Ah, terkadang
surat MoU itu hanya formalitas saja, di dalamnya mereka bilang akan mencetak
ribuan eksemplar namun kenyataannya mereka mencetak lebih banyak dari itu, dan
royaltinya akan dibagi sesuai dengan yang habis seperti tertera di surat
kontrak padahal mereka telah membuatnya lebih banyak.” Gadis itu merasa belum
puas dengan keterangan dari AemeL.
“Sekarang begini
saja, kalau kamu merasa tidak nyaman dengan penerbit kamu sekarang mendingan
kamu cari penerbit baru, ada ratusan penerbit di tanah air ini dan jangan takut
tidak diterima selagi kamu merasa naskahmu layak untuk diterbitkan. Dalam kasus
kamu ini kita tidak bisa hanya menerka-nerka dan akan lebih mudah dibawa ke
ranah hukum jika kita punya bukti yang jelas, semisal ada pihak percetakan yang
tahu pasti berapa ribu buku kita dicetak, dan kita bisa membandingkannya dengan
jumlah yang ada di kontrak.” Tambah AemeL sedangkan Teguh hanya menikmati AemeL
yang bicara dan menurutnya AemeL adalah gadis yang luar biasa sehingga ia
merasa betah sekali berada di dekat AemeL.
“Ya juga sih,
tapikan kesel juga kalau itu benar. Itu namanya mereka telah mengambil
keuntungan sendiri.”
“Tidak usah
terlalu dirisaukan, tidak baik juga jika nanti kamu membuat status di jejaring
sosial mengenal hal ini sementara kamu sendiri tidak tahu pasti kebenarannya
sebab kadang yang orang beritakan itu belum tentu maksudnya baik untuk kita.
Dunia ini pernuh persaingan Nur, dan tidak banyak orang yang bisa bersaing
dengan jujur. Satu lagi, kalau kamu membuat kontrak baru pada satu penerbit
cantumkan juga, seandainya suatu ketika naskah kamu di-film-kan. Karena royalti
naskah film dengan buku itu tidak bisa disatukan. Jangan sampai keliru.” Kali
ini AemeL bicara seolah sedang memberikan kuliah pada mahasiswinya.
“Begitu ya.”
Kata gadis yang baru bergelut dalam dunia penerbit sejak empat tahun ini,
sedang AemeL sudah lebih dari tujuh tahun meski belum ada
novelnya yang difilmkan namun ia tahu banyak dengan dunia satu itu. Karena ia
sering menghadiri seminar, punya beberapa orang yang bergelut langsung dalam
dunia perfilmaan dan kali ini semoga saja Teguh bisa menjadi salah satu teman
baiknya. Nurmala menatap Teguh yang dari tadi hanya mendengar mereka bicara.
“Bagaimana menurut kamu, Guh?” ia ingin sekali mendengar pria itu bicara.
“Topik kalian
sangat bagus dan sedikit menambah wawasan saya dalam dunia yang kalian geluti,
meski bidangku juga masih ada hubungannya dengan dunia tulis-menulis. Kalau
menurut aku sih segala sesuatu itu tidak ada yang susah kalau kita punya bukti
yang kuat dan seperti yang disebutkan AemeL tadi… intinya jangan pernah
mengatakan sesuatu yang belum kita ketahui dengan pasti kebenarannya sebab itu
bisa menjadi bumerang untuk diri kita sendiri.” Tutur Teguh dengan santai. Tapi
kata-katanya yang sedikit membela dan menyinggung nama AemeL membuat Nurmala
merasa tidak suka. Namun AemeL tidak menyadari itu sebab ia tiba-tiba ingat
dengan Julia, kalau sudah ingat Julia ia sedih dan itu bisa langsung mendadak
menyerang ketenangan pikirannya. Entah tahu atau tidak dengan kegelisahan AemeL
sehingga tangan Teguh mendarat di tangan AemeL dan menggenggamnya dengan erat
membuat AemeL agak kaget dan untung Nurmala tidak melihatnya karena tangan
AemeL sedang ada di atas dengkulnya yang terhalang oleh meja namun tidak bisa
mencegah degupan jantung AemeL yang secara langsung berdetak lebih kencang.
‘Ya Tuhan,
laki-laki ini akan membuat wajahku memerah dihadapan Nurmala. Tolong lepaskan
tanganku.’ Bisik hati AemeL dan detik berikutnya ia menarik tangannya dari
genggaman tangan Teguh secara perlahan. Teguh dengan halus melepas genggamannya
sembari menatap AemeL dan menciptakan senyum yang sangat manis dan itu membuat
Nurmala yang duduk di depan mereka menjadi keki melihat tatapan mesra Teguh
untuk AemeL dan senyum manis itu meski dibalas serba-salah oleh AemeL tak
membuat Nurmala mengurungkan niatnya untuk segera pamit karena yang ingin ia
sampaikan pada AemeL sudah selesai. Sepertinya ia tidak bisa menjadi sahabat
AemeL sebab gadis itu adalah kekasih dari orang yang ia kagumi dan berharap
pria itu jadi
miliknya. AemeL dan Teguh melepaskan kepergian gadis yang
masih dibawah dua puluh lima tahun itu. Dari tadi AemeL bisa melihat kalau
Nurmala menyukai Teguh tapi tidak terlalu ia ambil pusing sebab perasaan AemeL
masih bercabang memikirkan Julia.
Entah senang
atau bimbang, AemeL akhirnya mengikuti ajakan Teguh membawanya ke suatu tempat
yang ia sendiri belum tahu. Dengan berboncengan dibelakang punggung Teguh ia
terlihat memegang pinggang Teguh seolah khawatir jatuh lagi dari motor dan
adegan itu sempat terlihat oleh Wowor yang sedang mengendarai mobilnya saat itu
ia disalip oleh Teguh. Wowor menjadi semakin kesal dengan AemeL dan itu mungkin
puncak kekesalannya pada gadis itu sehingga ia meninju setir mobilnya beberapa
kali.
Setelah menempuh
perjalanan beberapa menit, Teguh dan AemeL akhirnya tiba di Pantai Ancol. Motor
itu berhenti di dekat sebuah tenda. AemeL masih tidak habis pikir mengapa ia
bisa mengikuti pria itu sampai sejauh itu. Ia sadar kalau ia punya hati dengan
Teguh tapi kesannya ia murahan sekali jika mengikuti Teguh tanpa tujuan apalagi
hari sudah senja.
“Untungnya kita
tidak terlambat.” Kata Teguh akhirnya. Ia menatap AemeL yang turun dari motor
lalu buru-buru membantunya setelah sadar AemeL masih pincang. “Hati-hati.”
“Kenapa kita ada
di sini?” tanya AemeL kemudian. Ada rasa malu dihatinya mengingat tak mampu
menolak ajakan Teguh.
“Sudah lama
sekali aku tidak menikmati sunset, mari.” Ia membawa AemeL ke bawah tenda yang
ada tempat duduknya yang terbuat dari semen berbentuk melengkung, mereka duduk
di sana. Beberapa menit lagi matahari akan tenggelam dan Teguh tidak ingin
melewatkan kesempatan itu. Dan saat sunset terlihat ia berjongkok di hadapan
AemeL dengan sebuah kotak cincin di tangannya membuat AemeL sangat kaget, kaget
sekali. “AemeL Baes… maukah kamu menjadi istriku?”
AemeL sama
sekali tidak bisa menjawab pertanyaan konyol yang selama ini hanya ia lihat di televisi
atau di film-film roman dan ia mengganggapnya gombal, tidak masuk akal dan
aneh. Tapi saat ini ia benar-benar mengalaminya dan yang melakukan itu bukan
pacarnya atau orang yang ia kenal bertahun-tahun.
Sepasang kekasih
yang ada di tenda lain yang sedang menikmati sunset dan angin laut sempat
melihat adegan itu. Yang wanita berkomentar.
“Lihat, pria itu
sedang melamar kekasihnya.. hohohoho.. romatis sekali. Kapan ya kamu melakukan
hal seperti itu padaku?” ujarnya seperti bicara sendiri, sedang pasangannya
hanya diam entah tidak tahu apa yang sedang ia pikirkan melihat adegan itu.
“AemeL…….” Kata
Teguh melihat AemeL belum bisa menjawab permintaanya.
AemeL meraih
tangan Teguh. “Duduklah di atas, tidak baik berjongkok seperti itu.” Sahut
AemeL merasa Teguh tidak pantas berlutut di depannya. Bagaimanapun dia adalah
seorang pria yang dihargai di rumahnya, seorang anak yang sangat disayangi oleh
kedua orang tuanya, seorang kakak yang dihormati oleh adiknya bahkan seorang
adik yang mungkin jadi kesayangan di keluarga atau mungkin seorang rekan kerja
yang amat dihargai di kantor atas kinerjanya. AemeL menatap Teguh yang sudah
kembali duduk di sisinya. “Apa yang kamu pikirkan Teguh…?”
“Aku mencintai
kamu.”
“Jangan potong
dulu ucapanku, pertama kamu bilang mencintaiku dan itu belum juga sampai dua
bulan, aku tidak menjawab dan mungkin kamu sendiri bisa melihat bagaimana
sikapku ke kamu sehingga kamu bisa merasa kalau aku sebenarnya juga punya
perasaan yang sama ke kamu, dan hari ini…….. kamu coba melamarku untuk menjadi
istrimu, kamu pikir….”
“AemeL…….”
“Aku belum
selesai….” AemeL tak melepaskan tatapannya pada Teguh. “Kamu tidak kenal
denganku, begitupun sebaliknya. Apa kamu pikir melamar itu sebuah lelucon yang
bisa diucapkan kapan dan di mana saja? Apa kamu telah dikecewakan mantan
kekasihmu yang menikah dengan orang lain sehingga saat ketemu aku dengan
gampangnya kamu memutuskan untuk menikah sehingga terkesan kalau kamu juga bisa
menikah dengan segera? Wowor pernah bilang padaku kalau kamu telah kehilangan
kekasihmu dua tahun silam karena musibah di lokasi, tapi tetap saja aku tidak
kenal dengan kamu seutuhnya dan cerita yang dilontarkan orang lain
yang mungkin tidak sengaja tidak bisa aku jadi patokan. Dan
kini…..” AemeL melirik ke arah kakinya sekilas. “Apa karena kaki ini kamu
memutuskan untuk menjadikan aku istrimu…..?”
Teguh meraih
tangan AemeL dan kotak cincin itu sudah ia letakkan di sisinya sedangkan sunset
telah berlalu tanpa sempat mereka nikmati hanya sinarnya yang keemasan
menyinari wajah mereka beberapa saat. “Sudah cukup kamu bicara sayang… kini
giliranku. Yang diceritakan Wowor itu memang benar dan aku tidak pernah
memintanya menceritakan padamu, ia mungkin tahu kisah itu dari orang lain. Aku
membeli cincin ini sehari setelah bertemu dengan kamu di halte itu, jadi tidak
ada hubungannya dengan semua hal yang kamu sangka. Aku benar-benar menyukai
kamu dan tidak ada kaitannya dengan cidera kakimu. Kalau masalah kenal jauh,
yang mungkin semua orang juga tahu untuk sebuah hubungan itu butuh proses dan
mengenali keluarga masing-masing. Tidak ada gunanya pacaran setahun atau bahkan
sampai puluhan tahun, kalau Tuhan mengatakan tidak jodoh yah.. kita hanya bisa
sakit hati.”
“Teguh,
dengankan aku…”
“Tidak sayang,
jangan mempersulit hal yang sudah gampang. Kamu tinggal sendirian di Jakarta
ini, aku tidak mau kamu sakit dan sendirian di rumah. Kedua orang tuaku sudah
tidak ada, aku hanya punya seorang kakak perempuan yang sudah menikah dan
tinggal bersama anak dan suaminya di rumah mereka. Aku ingin kita hidup
bersama, tapi kalau kamu tidak menyukaiku.. itu lain lagi ceritanya, aku tidak
mungkin memaksa kamu.” Kata Teguh. AemeL menatap tangannya yang sedang di
pegang oleh Teguh, sejenak ia hanya bisa memandang itu. “Nanti aku akan
mengajak kamu kenalan dengan kakakku satu-satunya.
Detik beriktunya
AemeL menarik tangannya. “Tidak.” Ia menggeleng-geleng pelan.
“Kamu tidak suka
sama aku?” tanya Teguh tak kalah pelan.
“Bukan itu…….”
AemeL jadi bingung harus apa. Teguh mengangkat tangan kanan AemeL lalu mencium
punggungnya dengan lembut. “Kalau kamu tidak bisa bertemu dalam waktu dekat ini, minggu depan
juga tidak apa-apa. Setelah itu, aku ingin bertemu dengan keluarga besarmu yang
di Palembang.”
AemeL merasa
terpojok, ia tak bisa pungkiri kalau Teguh serius dengan kata-katanya. “Kamu
belum kenal dengan keluargaku, khsususnya aku… aku tidak mau nanti…..”
“Jangan punya pikiran seperti itu, intinya….
Kita akan segera menikah.” Tegas Teguh.
“Aku tidak akan
menikah sebelum bertemu dengan Julia.” AemeL tiba-tiba melontarkan kata-kata
itu.
“Julia?! Oh,
tentu saja……. Kita akan menemukannya.” Sahut Teguh dengan segera setelah
menyadari kalau Julia adalah seorang gadis yang punya peran penting dalam
hubungan mereka.
“Teguh?” panggil
AemeL.
“Ya?”
“Apa yang kamu
lihat dari aku?”
Teguh bukannya
menjawab tapi malah memeluk tubuh AemeL dengan sangat erat seakan ingin
mencurahkan semua rasa yang ia punya pada gadis itu. “Jangan pernah bertanya
seperti itu sayang, sebagai seorang penulis kamu pasti tahu kalau cinta tidak
butuh dijelaskan, kamu mampu membuat hatiku bergetar….. terima kasih.” Ucap
Teguh setengah berbisik. AemeL tidak bisa menjawab lagi meski selama ini ia
dikenal tidak bisa diam dalam hal bicara, cinta Teguh telah membuatnya terdiam
seribu bahasa. Semoga saja cinta Teguh benar-benar tulus. Hanya itu yang mampu
ia bisikkan di dalam hatinya sendiri.
~ ~
bersambung,..........>>>>