Senin, 16 September 2013

JANG PAT PETULAI



Danau Picung, by : HTX

(ASAL USUL PENAMAAN PETULAI SUKU BANGSA REJANG)
     Asal mulanya nama-nama kesatuan di atas menurut riwayat orang-orang suku bangsa Rejang, adalah seperti berikut:

     Pada suatu masa dalam pemerintahan Empat Biku terjadilah suatu bencarna, suatu malapetaka yang hebat. Rakyat mereka banyak yang jatuh sakit dan meninggal. Segala ikhtiar telah dijalankan untuk menangkis malapetaka itu, tetapi semuanya tidak berhasil. Maka dimintalah ramalan ahli nujum.

     Menurut ramalan ahli nujum, yang menyebabkan kedatangan marabahaya itu adalah seekor beruk putih yang berdiam di atas sebuah pohon yang besar, yang bernama Benuang Sakti. Apabila beruk itu berbunyi, ke mana arahnya menghadap, maka negeri-negeri bagian yang dihadapinya itu mendapat malapetaka yang seperti yang telah mereka alami dan derita pada masa lalu.

     Atas permufakatan keempat petulai suku bangsa Rejang, batang Benuang Sakti tempat kediaman beruk putih harus dicari sampai dapat dan ditebang.
     Usaha mencari batang atau pohong Benuang itu, tidaklah dilakukan secara bersama-sama hanya ke satu arah. Tetapi tiap-tiap petulai berpencar untuk mencarinya dan menemukan pohon Benuang yang diramalkan itu.

     Jadi ada yang menuju ke arah timur, ada yang ke barat, ada yang ke selatan, dan ada pula yang ke utara. Hasilnya ialah, yang pertama-tama menemukan  pohon yang dicari itu adalah anak buah pimpinan  Biku Bermano. Mereka segera menebang pohon itu, tetapi bagaimanapun kuatnya mereka berusaha menebang pohon tersebut, pohon itu tidak juga roboh, ya malahan sebagai meminjam kata-kata riwayat : ‘segumpal runtuh kubalnya, dua gumpal bertambah.’  Demikianlah pohon itu semakin dikapak, semakin bertambah besar.

     Dalam pada itu muncullah anak buah pimpinan Biku Sepanjang Jiwo, sambil berkata dalam bahasa Rejang : ‘bi pues keme beu- beui-ubei mesoa, uyo mako temau.’  Yang artinya : aduhai, telah puas kami berduyun-duyun bersama mencari, sekaranglah baru menemukannya.’
     Maka dikerahkanlah tenaga baru itu dan bersama-sama mereka semua mulai berusaha merobohkan pohon itu, tetapi jerih payah mereka itu juga tidak ada berhasil.
     Kemudian muncul pula anak buah pimpinan Biku Bejenggo dan mereka pun segera turut membantu menebang pohon, tetapi pohon itu tidak juga roboh, malahan bukan makin berkurang dagingnya, sebaliknya batangnya bertambah besar.

     Maka berkatalah anak buah pimpinan Biku Bermano dalam bahasa Rejang : ‘Keme yo kerjo cigai ade manai neigai, anok buaek bikau sepanjang jiwo bi beubeu-ubei kulo, anok bueak bejenggo bigupuak kulo kerjo tapi ati kune kiyeu yo lok ubuk, berangkalai anok buaek bikau Bembo alang neigai mako si lok ubuak kiyeu yo,’  yang artinya seperti berikut : ‘kami telah bekerja hingga tiada berdaya lagi, anak buah Biku Sepangjan Jiwo telah bersama-sama pula bekerja dan anak buah Biku Bejenggo pun turut bersama-sama bekerja, tetapi pohon ini tiada juga hendak rebah, barangkali anak buah Biku Bembo yang menjadi penghalangnya.’
     Kebetulan pada waktu itu muncul anak buah pimpinan Biku Bembo dan karena kegirangan  mereka menemukan  bukan saja pohon yang dicari, tetapi juga orang-orang dari ketiga petulai yang telah berkumpul di situ, maka terlontarlah kata-kata dalam bahasa Rejang : ‘Pio ba kumu te lebong.’  Yang berarti : ‘Disinlah kiranya saudara-saudara berkumpul.’ Dan sejak peristiwa yang bersejarah itu berkata riwayat, wilayat Renah Sekalawi bertukar nama menjadi LEBONG.

     Kepada Biku Bembo dan anak buahnya diceritakanlah oleh Biku Bermano segala usaha mereka bertiga dalam menebang pohon Benuang Sakti yang tidak mau roboh-roboh itu. Maka mereka bermusyawarah mengenai peristiwa yang aneh ini dan sebagai hasil dari musyawarah itu ialah : mereka akan bertarak (Bertapa) meminta petunjuk dari Sang Hiang, bagaimana cara menebang pohon itu supaya roboh.

     Hasil dari bertarak yang mereka lakukan itu ialah, bahwa pohon itu menurut Sang Hiang akan rebah, kalau dibawahnya digalang oleh tujuh orang gadis muda remaja.
     Oleh karena anak buah Biku Bembo terkemudian sekali tiba di tempat pohon itu, dan belum pula sempat bekerja, maka ditugaskanlah kepada mereka untuk mencari tujuh gadis, yang dikehendaki sebagai penggalang.
     Setelah ketujuh gadis itu didapati, mereka bermusyawarah lagi untuk mencari jalan keluar, agar ketujuh gadis itu sebagai penggalang tidak akan menjadi korban atau mati ditimpa oleh pohon besar yang dirobohkan itu.
     Dalam musyarawah itu ditetapkan, bahwa mereka hendaklah menggali parit yang besar untuk melindungi gadis-gadis penggalang itu. Maka digalilah parit sembilan hasta dalamnya dan sembilan hasta lebar sedang bagian atas parit itu digalang pula dengan pelupuh.

     Pekerjaan menggali parit dilakukan bersama-sama secara gotong royong dan dibagi-bagi sebagai berikut : ada yang semata-mata menggali parit, ada yang membuat penggalang, ada yang mencari penutup parit dan ada pula yang menyediakan makanan bagi orang-orang yang bekerja.

     Setelah pekerja membuat parit selesai dan ketujuh gadis itu dijadikan penggalang, maka mulailah pohon Benuang itu ditebang dan sesungguhnyalah dan pohon besar itu roboh di atas tempat ketujuh gadis itu berlindung. Dengan adanya parit tersebut, maka terhindarlah ketujuh gadis penggalang itu dari maut dan beruk putih yang berdiam di pohon itu pun menghilanglah.

     Seterusnya, menurut riwayat, sejak peristiwa di atas, maka mulailah petulai-petulai mereka diberi nama menurut pekerjaan anak pimpinan masing-masing, dalam usaha bersama menebang pohon Benuang Sakti itu.
1.     Petulai Biku Sepanjang Jiwo diberi nama Tubeui. Asal kata ini dari bahasa Rejang ‘berubeui-ubeui yang berarti : berduyun-duyun.
2.     Petulai Biku Bermano diberimana Bermani. Asal kata ini dari bahasa Rejang ‘beram manis’ yang berarti : tapai manis.
3.     Petulai Biku Bembo diberi nama Jurukalang, asal kata ini dari bahasa Rejang ‘kalang’ yang berarti : galang.
4.     Petulai Biku Bejenggo diberi nama Selupuei. Asal kata ini dari bahasa Rejang ‘selupuei. Asal kata ini dari bahasa Rejang ‘berupeui-upeui’ yang berarti : bertumpuk-tumpuk.

     Maka sejak itu pula Renah Sekalawi bernama : LEBONG dan tercipta REJANG EMPAT PETULAI yang menjadi intisari dari sukubangsa Rejang.
     Baik dari asal mula adat bayar bangun maupun dari riwayat asal mula nama Lebong dan Rejang Empat Petulai, nyata terlihat pengaruh  kebudayaan Hindu dalam perkembangan adat berlaku pada zaman itu.
     Seterusnya menurut riwayat, Biku Sepanjang Jiwo tidak menetap di Lebong, karena beliau kembali ke Mojopahit, sebenarnya ke Pagar-Ruyung dengan tiada meninggalkan turunannya. Sebagai pengganti beliau adalah Rajo Megat yang dikirim dari Pagar Ruyung.
     Ditinjau dari sudut sejarah, peristiwa ini harus terjadi sekitar tahun 1337 dan 1389, yaitu sesudah hancurnya kerajaan Sriwijaya dan sebelumnya wafat Raja Hayam Huruk.
====


Dikutip : dari buku Prof. DR. Haji Abdullah Siddik, “Hukum Adat Rejang” PN Balai Pustaka, Jakarta, 1980. Hal. 41-45.


Helda Tunkeme Xwp



Tidak ada komentar:

Posting Komentar