Selasa, 17 September 2013

Rahasia Sebuah Hati




(Sebuah Novel Fiksi Remaja ‘Persahabatan’)

**

BAB 1

Julia Collection

     Julia sedang sibuk membantu rekan kerjanya, wanita singel 27 tahun itu punya dua cabang toko di pasar dengan sewa satu  ruko lebih kurang dua puluh dua juta pertahun. Ia menjalani bisnis itu dalam lima tahun belakangan, sebelumnya ia bekerja di sebuah butik milik seorang pejabat daerah. Ada dua orang pegawai disetiap satu toko, sedang Julia sendiri sering bolak-balik Jakarta-Palembang untuk membeli isi tokonya, belum lagi harus melayani penjualan secara Online.
     Hari itu setelah kembali dari tokonya yang satu, tiba-tiba Julia ingat dengan sahabatnya. Wanita itu tersenyum karena sebenarnya bukan hari itu saja ia ingat dengan AemeL bahkan nyaris setiap hari tapi hari itu ia bukan saja ingat tapi ada rasa kangen yang sepertinya tidak biasa. Julia menghela napas berat seolah ingin meringankan beban yang ia rasa di rongga dadanya tiba-tiba terasa menyesakkan dada, ia tidak pernah menelepon lagi AemeL karena percuma sebab wanita itu tidak akan pernah lagi mengangkat telepon darinya, sekali-kali ia mengirim pesan jika ada hal yang penting sekali dan itu jarang sekali dapat balasan, andaipun ada balasan tidak penting untuk dibalas karena pesannya tidak minta dikonfirmasi. Tapi rasa itu akan perlahan menghilang seiring kesibukannya  membantu anak buahnya melayani pembeli yang jarang sepi di tokonya. Sebuah BlackBerry selalu menemaninya untuk bisnis online yang ia jalani dua tahun belakangan.
     “Kak, ini ada BBM dari pelanggan. Katanya kiriman sudah sampai, barang yang datang juga sama persis dengan yang ia pesan.” Pegawai yang sekitar usia dua puluh tiga tahun itu bicara pada Julia disambut Julia dengan senyuman itu artinya pelanggannnya puas dengan pelayanan mereka. Ruko yang tidak lebih besar dari lima kali lima meter itu berisi barang dengan mutu bagus dan tidak terlalu memenuhi ruangan sehingga Julia bisa meletakkan sebuah meja dengan dua kursi kecil di pojok bagian belakang ditambah sebuah kipas angin kecil. Sebuah laptop ukuran 11 inch sedang terbuka di atas meja, sekali-kali Julia asik menyimak layarnya untuk melihat perkembangan bisnis di dunia internet. Ia sendiri telah mendaftarkan Julia Collection di sana.
      Seema wanita yang sekaligus orang kepercayaan Julia itu mendekati bosnya. “Kak, biasanya sebulan sekali sudah harus belanja ke Jakarta, tapi kali ini baru masuk minggu kedua toko ini sudah harus kembali diisi, apa kali ini pesan saja dan minta dipaketin seperti bulan kemarin?” ia bertanya karena isi toko sudah harus ditambah. Pikirnya apalagi pesanam lewat online makin lancar.
     Julia melirik Seema lalu berkata “Aku akan ke Jakarta, kalau pesan rasanya kurang puas untuk memilih.” Ia memastikan. “Oya Seema….” Julia berhenti bicara seakan sedang memikirkan sesuatu sedang wanita itu menunggu Julia meneruskan kata-katanya tapi Julia hanya menatapnya seolah lupa tadi ingin bicara apa. “Mungkin aku akan ke Jakarta dalam dua hari ini, selama aku pergi kedua toko yang ada di Palembang ini adalah tanggung jawab kamu.” Katanya kemudian. Tanpa dijelaskan Seema sebenarnya sudah tahu tanggung jawabnya termasuk mengirimkan pesanan yang  lewat internet.
     “Oke, sip..” Seema tersenyum tanda setuju.
     “Seema, baju kemeja dewasa ini harganya berapa ya? Aku lupa?” rekan kerja Seema memperlihatkan sebuah kemeja lengan panjang karena ia sedang ditunggu dua orang sepertinya pasangan kekasih yang berminat dengan kemeja itu.
     “Seratus lima puluh ribu, bisa kurang kok.” Sahut Seema setelah melihat jenis kemeja yang diperlihatkan temannya dan kalaupun bisa kurang tidak lebih dari sepuluh ribu rupiah karena barang yang ada di toko Julia Collection sudah dikenal dengan mutunya jadi tidak ada yang berani menawar rendah. Julia hanya mengamati mereka dari belakang mejanya lalu kembali mengecek kiriman yang sudah terkirim di internet. Jasa pengiriman tak jarang mengecewakan yang seharusnya sampai dalam waktu tiga hari malah dua minggu baru sampai dan membuat si pengirim dan pemesan jadi sangat kecewa dan anehnya tidak ada jaminan ganti rugi yang ada yang punya barang harus mengirim ulang. Itulah dunia bisnis tidak selalu manis.
     Setelah berkutat beberapa menit di dunia internet Julia meraih BB-nya dan membukanya, tidak ada PIN BB sahabatnya yang satu itu kecuali nomor ponsel yang sudah ia simpan lebih dari tujuh tahun. Kembali ia menghela napas panjang karena teringat lagi dengan wanita satu itu.
     Di bagian depan atas ruko ada tulisan besar berbunyi ‘Julia Collection’ itulah satu-satunya usaha yang Julia jalani sekarang, yang bisa menghidupi dirinya sekaligus membayar empat orang karyawannya yang kesemuanya ia anggap keluarga sendiri. Bukan itu saja, selain itu ia masih bisa sedikit-sedikit membantu keluarganya. Julia tidak memiliki rumah pribadi, ia tinggal di tempat kos hanya ada satu kamar. Meski ada beberapa kakaknya menawarkan untuk tinggal di rumah mereka tapi Julia memilih untuk tinggal sendiri dibanding tinggal di rumah kakaknya yang kaya, punya pembantu dan segala macam. Julia tidak suka mendengar gosip, tidak suka ikut arisan keluarga juga tidak suka pergi-pergi yang tidak jelas. Ia punya banyak teman dari berbagai kalangan, tua ataupun muda, pegawai bahkan kaki lima tapi kini ia hanya dekat dengan wanita yang satu itu, wanita yang selama beberapa bulan ini mengganggu pikirannya. Wanita yang ia anggap lebih dari keluarga sendiri, tidak ada lagi rahasia yang ia simpan dari wanita itu. Semua sudah ia buka dengan sangat jelas, ibarat sebuah buku tidak ada satupun halaman yang wanita itu lewati mengenai kisah hidup Julia. Tapi sekarang wanita itu sedang apa? Bagaimana perasaannya Julia tidak tahu.
     Tak jarang Julia meneteskan airmata mengingat persahabatan mereka yang tidak biasa. Julia yang merasa takut kehilangan lantaran sudah banyak kehilangan di dalam hidupnya harus terpisah darinya, rasanya tidak ada yang lebih sakit dari tidak tahu kabar dari seorang sahabat yang sangat disayangi.
     Hujan mulai turun dan dalam hitungan detik saja sudah sangat deras, orang-orang yang berniat belanja jadi kalang kabut mencari tempat berteduh tak terkecuali di depan teras Julia Collection. Julia merasa hatinya beku dan saat itu ia ingin menuliskan pesan.

**

AL. Sadei

     Gedung Gramedia dipenuhi pengunjung karena ada jumpa penulis novel remaja di sana yaitu AL, Sadei. Seorang wanita usia tidak lebih dari dua puluh tujuh tahun itu sedang dikerubuti oleh para penggemar novelnya, agar novel yang mereka beli ditandatangi oleh penulis kesayangan mereka. Tadi ada acara bedah buku sekalian peluncuran perdana novel terbaru dengan judul ‘Rahasia Hati’ yang diterbitkan sebanyak 10.000 ekslempar untuk seluruh Indonesia.
     Tidak kurang dari dua jam acara itu berlangsung, AL. Sadei hanya ditemani oleh pihak penerbit yang tadi memberikan sedikit mukadimah tentang karya ke tujuh  yang ditulis AL. Sadei yang mereka terbitkan. Sebelumnya AL. Sadei telah mengatakan kepada pengunjung kalau novel itu ia tulis dalam waktu dua bulan saja. Bagi penulis senior itu mungkin bisa dibilang terlalu lama, tapi bagi AL. Sadei ia menulis novel itu termasuk singkat, karena ia bisa menulis novel dalam waktu tiga bulan bahkan lebih, ada juga bisa selesai dalam satu bulan untuk ukuran 150-200 halaman. Tapi novel AL. Sadei bisa sampai empat bahkan tujuh kali cetak ulang, tidak jarang juga hanya satu kali cetak dalam satu judul.
     Beberapa pengunjung mendapat hadiah novel karena berhasil menjawab beberapa pertanyaan yang disediakan oleh panitia dari toko, dan mereka mendapat juga tanda tangan dari AL. Sadei sekaligus foto bersama dengan sang penulisnya. Sebelum bubar AL. Sadei bicara kepada pimpinan redaksi  penerbitnya seolah candaan saja.
     “Mitha, dalam beberapa minggu ke depan aku ingin istirahat dulu.”
     Wanita yang bernama Mitha itu melirik AL. Sadei dengan mimik lucu. “Kenapa mau semedi cari ilham? Hehehe… kamu ini ada-ada saja.”
     “Ngapain cari ilham, ilham sih tidak usah dicari kalau sudah datang ia akan datang sendiri seperti tamu tanpa diundang. Ya sudah, aku mau pulang, kamu cepat sana… pacarmu sudah menunggu tuh.” Goda AL. Sadei.
     AL. Sadei telah menyelesaikan sesi acara itu dan kini ia akan kembali ke tempat kosnya di kawasan Cinere. Dari lantai tiga gedung Gramedia AL. Sadei sudah mengenakan kacamatanya ia turun melewati  lantai yang menjual berbagai merek  pakaian terkenal sebab toko Gramedia itu ada di dalam sebuah mol
besar. Beberapa wartawan online sudah menulis apa yang AL. Sadei bicarakan di acara tadi, dalam hitungan menit artikel mereka akan muncul di dunia maya khusus untuk para manusia yang mencari berita di dunia yang saat ini sudah melaju dengan pesat yang dulu beberapa orang memandangnya sebagai dunia sesat.
     Wanita dengan celana jins sekaligus kaus lengan panjang itu sudah memasuki area parkir motor yang ada di lantai satu. Sejenak ia memeriksa ponselnya yang ada dikantong celana jinsnya tanpa mengeluarkannya dari dalam kantong. Ia mengenakan jaket kulitnya dan terakhir memasang helmnya tanpa bisa menutupi rambut panjangnya yang ia ikat seperti ekor kuda.
     Melewati petugas parkir ia masih terlihat tenang dan merasa lega karena acara bedah bukunya berjalan dengan lancar. Setelah melewati halaman gedung mol itu ia merasa ada sesuatu menyapanya, rasa kangen pada seseorang. Motor matic yang membawa tubuh semampai itu terliha berjalan dengan stabil dengan kecepatan biasa namun rasa kangennya seperti  meluncur pada kecepatan diatas  seratus meter perjam. AL. Sadei menarik napas beberapa kali, rasa benci dan kangen sepertinya sedang berperang hebat di dalam dadanya. Tas ransel tipis menempel di punggungnya, meski isinya hanya sebuah laptop dan beberapa surat seakan tidak terasa berat. Sebuah motor besar tiba-tiba lewat di depan AL. Sadei dengan kecepatan tinggi untuk buru-buru berbelok ke sebuah gang yang ada di kiri motor AL. Sadei, dan saat itu lampu sign belakang motor besar itu menyentuh ban depan motor AL. Sadei bersamaan dengan bergetarnya ponsel di dalam kantong celananya karena ada SMS masuk. Motor matic itu terlempar tanpa bisa dikendalikan oleh pemiliknya, sedang yang punya motor besar itu sudah melesat meninggalkan korbannya tanpa ada satupun yang bisa melihatnya dengan jelas. AL. Sadei dengan tubuh jatuh sedang kepalanya yang terbungkus helm membentur pembatas jalan dengan sangat keras. Beberapa orang berhenti melihat kecelakaan itu dan sebuah mobil pikap yang ada dibelakang kerumunan orang menjadi sasaran untuk membawa AL. Sadei ke rumah sakit terdekat. Sebelum diangkat ke atas pikap orang melepaskan dulu helm yang masih membungkus kepala wanita malang itu, tidak ada darah atau luka yang terlihat tapi wanita itu sama sekali tidak sadarkan diri. Dua orang pria mengangkat tubuh AL. Sadei ke atas pikap dan sekaligus ikut mengantar ke rumah sakit.

**

Bestfriend

     Pihak rumah sakit tidak tahu harus menghubungi siapa untuk menjaga pasien yang baru saja mereka rawat dan periksa. Pasien itu mengalami gegar otak dan pergelangan kaki kirinya patah, sedang kedua pria yang mengantarnya ke rumah sakit sudah pulang setelah mengatakan kalau mereka hanya mengantar saja, bukan dari pihak keluarga dari wanita itu. Kejadian semacam itu memang kerapkali terjadi di jalan. Pasien yang masih tidak sadarkan diri itu di tempatkan di ruang intensive. Seorang dokter melihat ada ponsel yang ada di kantong jins sebelah kiri pasien, tanpa berpikir panjang lagi ia mengeluarkannya karena yakin ada petunjuk di sana, meski mereka sudah memeriksa isi tas pasien tapi mereka tidak menemukan petunjuk yang bisa dihubungi dengan cepat. Jam di dinding putih ruangan di intensive menunjukkan pukul 15.07 WIB.
     Dokter itu sudah memegang ponsel, ia mengamatinya sejenak lalu melirik suster yang masih berdiri bingung di sebelahnya.
     “Pasti ada sesuatu di sini.” Ujar sang dokter dengan nada pasti.
     “Coba cek nomor kontaknya dok, cari nama penting seperti ‘ayah, ibu atau kakak’ dari pasien.” Usul  suster.
     “Remaja sekarang jarang menulis nama seperti itu.” Kata dokter itu sambil berusaha membuka ponsel itu dengan hati-hati. Beruntung ponsel itu tidak memakai kata sandi. Dan pertama yang terlihat adalah pesan masuk dari nama yang tertulis ‘bestfriend’
     ‘AemeL……’
     Dokter itu tiba-tiba tersenyum. “Pesan kok hanya satu kata.” Lirihnya lalu ia menatap pasien yang masih tidak sadar bahkan bisa dibilang koma. “Pesan ini dikirim oleh bestfriend-nya, aku harus menghubunginya.” Dokter memencet nomor itu tanpa menunggu reaksi dari susternya.
     Julia sedang menatap layar BB-nya menyala yang memunculkan nama AemeL, sudah lama sekali nama itu tidak nongol di LCD itu sehingga menimbulkan rasa deg-degan yang tidak keruan di hatinya. Setelah membiarkannya beberapa detik akhirnya Julia memutuskan untuk mengangkat dan rasa kagetnya bertambah setelah mendengar suara seorang pria.
     “Halo……….?”
     “Ya. Halo..” jawab Julia meski ragu-ragu.
     “Maaf, siapapun nama Anda saya tidak peduli.. tapi ini sangat penting, saya baru saja membuka ponsel seorang wanita yang ternyata ada SMS Anda yang masuk dan bertuliskan dengan nama bestfriend, makanya saya menghubungi Anda. Kami, dan khususnya saya telah membongkar tas pasien namun tidak satupun menemukan yang bisa dihubungi selain di dompet ada SIM dan KTP atas nama Aemel Baes. Wanita itu sekarang sedang berada di rumah sakit karena kecelakaan tabrak lari.”
     “Apa?” suara Julia agak tercekat tidak percaya sekaligus cemas.
     “Ini tidak main-main, kami di rumah sakit Harapan Indah menunggu kedatangan Anda secepatnya.”
     “Baik, saya akan segera ke sana.” Jawab Julia dengan sangat cepat tanpa berpikir lagi apakah telepon itu sebuah penipuan atau tidak.
     Tadinya ia berpikir tidak tahu harus bicara apa saat AemeL meneleponnya dan apa yang AemeL katakan, karena ia sudah rindu sekali dengan suara itu.
     Pihak rumah sakit, mencatat nama pasien sesuai nama yang mereka lihat di kartu identitas sekaligus menulis semua hasil lab dan sebab musabab kenapa ia sampai ke rumah sakit.

~ ~

     Tepat pukul 20.47 WIB Julia tiba di rumah sakit yang merawat AemeL Baes, setelah turun dari taksi ia langsung menuju ruang informasi menanyakan apakah benar AemeL Baes berada di tempat itu. Dengan tas punggung yang ditenteng, rambut semi bob, baju kaus serta celana jins dan tanpa polesan make-up ia coba bertanya.
     “Maaf Sus, saya ingin tanya… apakah ada pasien yang bernama AemeL Baes dirawat di sini?” katanya pada wanita berseragam perawat, disebelahnya ada dua orang lagi dan yang satunya seorang pria sedang melihat-lihat daftar pasien. Perawat yang ditanya mengangkat wajahnya untuk menatap Julia sedangkan seorang pria dengan pakaian dokter menatap Julia dengan tatapan campur aduk.
     “Saya cek dulu.” Sahut perawat itu akhirnya dan langsung mengecek papan daftar pasien yang ada di
sebelahnya.
     “Anda bestfriend??!” kata dokter itu sebelum suster menemukan nama yang ditanyakan sang tamu atau orang yang bermaksud besuk sanak saudaranya.
     Julia mengalihkan pandangannya kepada orang tersebut dan sebelum pria itu terlalu jauh mengamati wajahnya Julia mengajukan pertanyaan.
     “Anda mengenali saya?” katanya dengan nada rendah.
     “Ikuti saya…” kata sang dokter. Suster yang melihat mereka sepertinya sadar kalau mereka sudah saling komunikasi sehingga ia membiarkan wanita itu mengikuti printah sang dokter.
     Julia sudah berjalan bersisian dengan dokter muda itu dengan rasa was-was yang luar biasa.
     “Hampir enam jam... Mengapa Anda begitu lama datang? Sahabat macam apa Anda ini?” sergah sang dokter dengan nada tidak enak terdengar di telinga Julia. “Semacet-macet kota ini tidak mungkin menjebak Anda selama itu di jalanan.” Nadanya masih sama.
     “Bagaimana keadaan AemeL?” Julia ingin segera tahu kondisi sahabatnya tanpa mempedulikan ocehan sang dokter dan ia merasa tidak perlu menjelaskan apa yang telah ia lewati selama kurang lebih enam jam ini.
     Dokter itu menghentikan langkahnya diikuti oleh Julia, kedua orang itu saling tatap beberapa saat di lorong panjang teras rumah sakit.
     “AemeL Baes masih tidak sadarkan diri hingga detik ini.” Kata dokter itu dengan nada tenang namun tidak demikian dengan Julia.
     “Apa maksud Anda? Dia koma?”
     Dokter tidak mengangguk juga tidak menggeleng, ia diam sejenak karena baru kali ini ada orang menyebutnya ‘Anda’ bukan ‘dokter’ “Ayo…” ia kembali mengajak Julia jalan. “Anda bukan saja kelihatan cemas tapi juga terlihat sangat lelah. “Aku tidak menyebut AemeL koma, hanya saja belum sadarkan diri. Ia mengalami tabrak lari.” Lanjutnya.
     “Tabrak lari?”
     “Ya, memangnya aneh? Ada ratusan kasus tabrak lari di ibukota ini setiap harinya.” Mereka sudah tiba di ruang rawat intensive. “Ini, AemeL ada di dalam, tunggu, biar saya panggil suster keluar dulu.” Dokter membuka pintu lalu mengisyaratkan agar suster jaga keluar. Saat keluar suster melirik sekilas pada Julia.
     “Apa dia si bestfriend- itu?” ujarnya membuat Julia bingung.
     “Sepertinya ya, semoga saja ia benar-benar bestfriend sehingga kita tidak harus menunggunya selama enam jam.” Sindir dokter.
     “Maaf,.. “ Julia merasa mulai tidak sabar. Ia langsung membuka pintu dan menerobos masuk untuk segera melihat kondisi AemeL tanpa harus melayani dokter dan suster itu untuk berdebat. Namun di depan pintu bagian dalam ia tertegun takkala melihat sosok seorang wanita yang terbaring di tempat tidur pasien dengan kondisi memprihatinkan. Alat bantu pernapasan terpasang di hidungnya. Julia menutup mulutnya dengan telapak tangannya agar jeritannya tidak keluar saat itu pundaknya disentuh oleh sebuah tangan dengan lembut seakan coba menguatkannya.
     “Ia sudah menunggu kamu dari tadi, jika saja ia bisa bicara maka ia akan marah sama kamu.. kamu boleh mendekatinya dengan catatan tidak boleh berbuat macam-macam.” Sang dokter bicara karena merasa sudah yakin dialah bestfriend itu.
     Tas di bahu Julia sudah jatuh ke lantai dan kakinya mendekati AemeL sedang dokter masih mengamati sosok itu, di matanya sosok wanita itu terlihat sangat ideal.
     “AemeL…..” lirih Julia memanggil nama AemeL yang nyaris saja tidak bisa keluar dari mulutnya namun yang dipanggil tetap diam membisu seolah ia sedang tidur dengan nyenyaknya tanpa menyadari kalau sahabatnya yang datang dari luar kota telah berada disisinya. Julia semakin dekat dan dengan gemetar tangannya coba menyentuh pipi AemeL. “Bangun AemeL…….” Lagi-lagi suaranya terdengar lirih. Sang dokter masih tetap menyimak Julia tanpa bergerak dari tempatnya semula berdiri. Lalu beberapa detik berikutnya terdengar suara lembut dari mulut dokter yang sudah ada di sebelah Julia.
     “Pergelangan kaki kirinya patah.”
     “Apa..? Anda bilang kakinya patah?” Julia menoleh pada dokter.
     “Pelankan suaramu.” Anjur dokter.
     Julia merasa tidak kuat ia berbalik dan bermaksud meninggalkan ruangan itu namun tangannya buru-buru diraih oleh dokter. Tapi Julia malah marah kepada pria itu.
     “Kenapa Anda menelepon saya kalau hanya bermaksud menyampaikan berita seperti ini? Apa salah AemeL dan saya? Apa tidak ada orang lain yang bisa Anda hubungi? Katakan….. apa Anda kira saya bisa menghadapi kenyataan ini?” keluh Julia dengan mata berkaca-kaca.
     “Ponsel AemeL mati, mungkin kehabisan baterey setelah saya menelepon kamu. Apa kamu pikir hanya dia pasien di rumah sakit ini perlu perhatian? Ribuan pasien di sini menunggu kesembuhan dan kehadiran orang-orang terdekatnya. Jika kamu merasa dia benar-benar sahabatnya, hubungi keluarganya dan temani dia di rumah sakit ini sebelum yang lain datang, oke..?! saya masih banyak urusan.” Kali ini kata-kata dokter itu berubah jadi kasar. Setelah berkata seperti itu pria itu keluar dan meninggalkan ruangan AemeL dan Julia yang masih bingung, sedih dan tidak tahu harus bagaimana. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain kembali mendekati tempat AemeL dibaringkan.
     Kali ini Julia benar-benar sudah menangis dihadapan sosok AemeL yang masih tidak sadarkan diri. “AemeL…. Katakan apa yang harus aku lakukan?” gumannya sambil memegang tangan AemeL dengan erat. “Sudah beberapa bulan ini aku merindukan suaramu, bicaralah Ae…, aku tidak bisa menghadapimu seperti ini, apakah ini hukuman untukku? Bangun Ae…. Aku kangen.” Kini air mata Julia jatuh mengenai tangan AemeL namun sosok itu tetap tidak bergeming.
     Sejenak dokter itu masih menatap Julia dari luar pintu sebelum benar-benar pergi meninggalkan kedua wanita yang tidak ia kenal itu.
     Julia tidak menghiraukan perutnya yang mulai berteriak minta diisi, sepanjang perjalanan dari Palembang naik pesawat pukul 17.27 WIB dan tiba di Bandara Soekarno-Hatta pukul 18.37 WIB. Perjalanan dari Bandara sampai rumah sakit lebih kurang dua jam, dalam waktu nyaris enam jam ia sama sekali belum menyentuh makanan. Kini dipikirannya ingin AemeL segera siuman dan bicara padanya, harapan Julia memang terwujud AemeL sadar setelah pukul sepuluh malam. Melihat kenyataan itu Julia tersenyum meski tak bisa menyembunyikan rasa duka yang dalam melihat kondisi AemeL. Ia tidak peduli kalau AemeL akan memarahinya, ia rela.
     “Ae…..?” panggil Julia dengan nada penuh rasa haru.
     “Mmm.. kamu.” Suara AemeL masih terbata-bata lalu dengan pelan ia melepas alat penutup hidungnya. “Kenapa saya di sini? Kamu…. Kamu siapa……..?”
     “Apa………?” Julia langsung shock karena AemeL tidak mengenalinya. “Ya Tuhan……..”
     AemeL tidak peduli dengan rasa kaget di wajah Julia karena kepalanya masih terasa pusing dan ia kembali memejamkan matanya beberapa kali. Julia hanya bisa menatap AemeL dengan pikiran tidak menentu sekaligus sedih melebihi tadi.
~ ~

     “Benturan di kepalanya menyebabkan ia lupa ingatan dan mengalami amnesia.” Jelas dokter yang merawat AemeL. Julia masih terdiam di depan meja dokter tanpa bisa bicara apa-apa. “Sebaiknya kamu hubungi keluarganya.”
     “Kapan ia bisa keluar dari rumah sakit ini?”
     “Untuk saat ini belum bisa dipastikan.” Sahut dokter .
     “Saya akan kembali ke ruangannya.” Hanya itu yang keluar dari mulut Julia. AemeL kembali tertidur, bukan pingsan lagi karena pengaruh obat. Itu kata dokternya pada Julia. Mengetahui AemeL mengalami amnesia, Julia mematikan ponsel dan BB-nya. Ia memeriksa tas AemeL, sebuah laptop entah masih berfungsi dengan baik atau ikut retak seperti isi otak AemeL karena kecelakaan itu. Sebuah ponsel dalam kondisi mati dan dompet dengan isi uang tidak lebih dari lima ratus ribu rupiah dan dua kartu ATM. Kedua kartu itu Julia mengetahui PIN-nya dengan baik. Bukan itu saja, kata sandi twitter dan facebook AemeL juga ia tahu, karena dikasih tahu sama AemeL. Sekali lagi Julia menatap sahabatnya yang sekarang bukan saja sakit dan patah tungkai kaki kiri tapi mengalami lupa ingatan. Julia merasakan dadanya benar-benar sesak.
     Seorang suster masuk untuk memberikan obat diikuti seorang wanita yang bertugas menyediakan makan malam untuk pasien. Ia tidak peduli apakah nanti makanan itu akan dimakan atau tidak yang penting ia sudah menyediakan sesuai intruksi dari dokter yang merawat pasien.
     “Selamat malam.” Sapa suster pada Julia yang duduk di samping AemeL. “Saya akan memeriksa Pasien, Anda keluarganya?” ia melirik ke Julia sejenak.
     “Ya, silahkan.” Sahut Julia dingin.
     “O, ya. Anda diminta menemui bagian administrasi.” Kata suster sembari mengecek kondisi AemeL.
     “Tentu saja, tapi… apakah suster mau di sini sebentar saat saya keluar menemui bagian administrasi?” pinta Julia karena tidak ingin meninggalkan AemeL sendirian di ruangan itu.
~ ~

     Di ruang administrasi Julia malah bertemu dengan dokter yang  tadi, apa dia tidak punya kerjaan  apa ya? Di ruang informasi ada, di ruang administrasi juga ada atau jangan-jangan sebenarnya dia itu bukan dokter. Pikir Julia mulai kesal.
     “Selamat malam.” Sapa Julia karena melihat ada petugas lain dalam ruangan itu.
     “Ya, selamat malam.. silahkan masuk.”
     Julia masuk tanpa mempedulikan pria yang duduk di sebelah petugas, sepertinya ia sedang asik menyimak sesuatu. Bukannya pria itu tidak tahu kalau Julia yang masuk tapi ia tidak mau ambil pusing seolah sedang mengerjakan hal yang penting.
     “Silahkan duduk.” Ucap petugas. Julia menarik kursi dan duduk di depannya. Petugas langsung ke pokok permasalan. “Ini mengenai pasien yang bernama AemeL Baes, kamu adalah satu-satunya orang yang terdekatnya saat ini, apa kamu keluarganya? Atau kami bisa menghubungi keluarganya?”
     “Em.. kalau maksud suster mengenal biaya perawatan AemeL selama di sini, semuanya adalah tanggung jawab saya.” Sahut Julia yang sudah bisa membayangkan berapa besar biaya yang harus ia keluarkan. Karena
tidak sekali-duakali ia berurusan dengan rumah sakit.
      Mendengar itu, dokter yang di sebelah sekilas menoleh seakan terhenyak tapi sebelum Julia menyadarinya ia sudah kembali dengan kesibukannya.
     “Oke.” Pegawai rumah sakit itu mengeluarkan kertas rincian biaya masuk AemeL . “Yang lainnya akan menyusul.” Lanjutnya. Julia sangat mengerti, mengenai rincian biaya nginap semalam, obat, biaya dokter dan yang lainnya.
     “Terima kasih.” Kata Julia setelah mengecek kertas yang sudah ada ditangannya. “Apa saya harus membayar ini sekarang?” nadanya tidak mengundang rasa sombong sama sekali melainkan ingin serius bertanya.
     “Nanti saja, saat pasien akan keluar dari sini.” Jelas petugas administrasi itu dengan ramah.
     “Oke.. kalau begitu saya permisi dulu.” Kata Julia sambil memegang kertas print dari petugas administrasi lalu berlalu meninggalkan ruangan. Sekali lagi Julia merasakan perutnya mulai memanggil, sebelum kembali ke ruangan AemeL, Julia berbelok ke kantin untuk membelikan sesuatu. Di sana ia membeli beberapa buah, roti dan air mineral.
     Saat kembali jalan menuju ruangan perawatan AemeL melintas bayangan dokter itu di pikiran Julia tanpa bisa ia kendalikan. Julia kesal.
     Ada yang harus ia katakan pada dokter muda itu, sebab jika AemeL sudah kembali ke rumah pasti ada rutinitas untuk kontrol dan kembali ke rumah sakit. Julia membuat perjanjian lisan pada sang dokter.

**

Ruang Hati yang Kosong

     Julia dan AemeL sudah menempati sebuah apartemen sederhana, meski kaki AemeL belum bisa dikatakan sembuh tapi kepalanya sudah tidak sakit walau demikian tidak ada yang tahu kapan amnesianya  bisa hilang. AemeL menggunakan kursi roda untuk sementara, itu kata dokter. Barang-barang yang ada di tempat kos AemeL bisa dikatakan tidak ada yang dibawa ke apartemen oleh Julia. Sehingga tidak ada tanda-tanda kalau AemeL adalah seorang penulis. Motornya yang rusak masih di kantor polisi, Julia merasa belum waktunya mengurus urusan motor, selanjutnya tas punggung AemeL beserta isinya disimpan oleh Julia dalam rak dan dikunci.
     Tempat yang didapat Julia berada di lantai tiga karena itu satu-satunya apartemen yang kosong. Dari taksi AemeL dibantu oleh sopir untuk duduk di kursi rodanya. Setelah itu tugas Julia mendorong kursi roda lalu masuk ke dalam lift, taklama kemudian tibalah mereka di lantai tiga pintu nomor tujuh. Sejenak AemeL mengamati ruangan sederhana itu. Sebuah ruang tamu yang bisa dibilang menyatu dengan dapur kecil.
     “Kamarnya cuma satu.” Ujar Julia memberitahu. AemeL mengambil tongkat lipatnya yang dijepit pada kursi roda dan bermaksud berdiri. “Tunggu.” Julia langsung menahannya. “Biar aku bantu.”
     “Tidak apa-apa, aku bisa.” Hela AemeL sambil berusaha berdiri dengan menurunkan kaki kanannya terlebih dahulu. Julia mengamatinya sejenak, susah payah AemeL untuk keluar dari kursi roda tapi tidak berhasil juga. “Sial” ia menggerutu dan Julia langsung memegang tubuhnya dan mengangkatnya pelan.
     “Hati-hati.” Ujar Julia. AemeL sudah berhasil berdiri tanpa berani meletakkan kaki kirinya pada lantai. Tongkat itu menjadi pengganti kaki kirinya. “Langsung istirahat di kamar saja ya.” Tambah Julia.
     “Terima kasih, Jul.” kata AemeL setelah ia duduk di atas tempat tidur. Julia menatap gadis itu, baru kali ini ia menyebut nama Julia meski hanya sepotong. Waktu di rumah sakit ia hanya memanggil dengan sebutan ‘Mbak’
     “Em, ya. Sama-sama.”
     “Kenapa saya harus tinggal di apartemen ini? Dan kamu… apa benar, kamu adalah orang yang dikirim pak dokter untuk merawat saya? Memangnya saya tidak punya keluarga? Dan… mengenai semua biaya perawatan saya dibiayai oleh seseorang yang tidak ingin disebutkan namanya? Apakah pak dokter itu yang melakukan semuanya? Tapi untuk apa ia melakukannya? Apa mungkin yang menabrak saya itu masih ada hubungannya dengan pak dokter itu? Kalau semua identitas saya hilang mengapa kamu dan dokter itu tahu nama saya?”
     Mendengar pertanyaan yang menumpuk itu membuat Julia menarik napas dalam-dalam. “Saya sudah menjelaskan semuanya yang saya tahu, dan saya tidak tahu banyak mengenai hal itu. Sudahlah, tidak usah berpikiran macam-macam, sejam lagi kamu harus minum obatmu kembali.”
     “Jul…?” panggil AemeL saat Julia ingin melangkah keluar dari kamar. Julia menoleh.
     “Apa?”
     “Aku…” AemeL ingin melontarkan lagi beberapa pertanyaan tapi langsung distop oleh Julia.
     “Sudahlah, istiharat saja. Saya harus mandi dulu.” Potong Julia. AemeL  hanya bisa menggangguk meski masih begitu banyak yang ingin ia tanyakan pada Julia.
     Di kamar mandi Julia menarik napas dalam-dalam, kini ia baru menyadari kalau punya bisnis di Palembang tapi hati kecilnya mengatakan, lupakan sejenak tentang hal itu karena kesembuhan AemeL lebih utama. ‘AemeL, maafkan aku karena tidak memberitahukan siapa aku yang sebernarnya, Tuhan.. ampuni segala salah dan dosa hambaMu ini.’ Guman Julia dengan segala kekuatan dan titik lemahnya.
     Beberapa saat kemudian Julia keluar dari kamar mandi, ia ke dapur untuk mengambil sesuatu yang telah ia siapkan sehari sebelum mengajak AemeL ke apartemen. Persediaan makanan di dalam lemari pendingin yang harus ia hangatkan untuk AemeL.
     Berikutnya ia ke kamar dengan bubur hangat dan ternyata AemeL tidak tidur, ie setia menunggu Julia selesai menyelesaikan mandinya.
     “Kamu kok lama sekali.” Ujarnya saat meliha Julia muncul seolah tidak ingin ditinggal lama-lama.
     “Sudah lama tidak bisa mandi dengan leluasa, makan ya abis itu minum obatmu.”
     “Apa kamu juga sudah makan?” tanya AemeL.
     “Gampanglah, yang penting kamu makan dulu karena harus minum obat.” Ia duduk di bibir ranjang dan saat itu AemeL bermaksud untuk duduk dan bersandar tapi saat ia menarik kakinya tiba-tiba tersangkut dengan ujung selimut menyebabkan pergelangan kakinya terasa ketarik membuat AemeL meringis.
     “Auw…”
     “Ae, kamu tidak apa-apa? Hati-hati.”
     AemeL menggeleng tapi dalam hati ia berusaha keras menahan rasa sakit yang luar biasa itu. ‘Ya Tuhan, mengapa kakiku harus patah?’ sesaat mata AemeL terpejam seakan rasa sakit itu sedang menusuk ulu hatinya. Julia menyimak gadis itu dengan seksama dan ia bisa membaca kalau AemeL sedang menahan rasa sakit, itu membuatnya merasa tidak tahan.
     “Ae…” ia memegang bahu AemeL. “Kamu tidak apa-apa?” ulangnya lagi dengan pelan. AemeL coba untuk tersenyum meski sangat berat.
     “Sini.” Ia meraih mangkuk makanan dari tangan Julia. “Biar aku makan sendiri.”
     “Yakin?”
     “Ya.”
     Julia membiarkan AemeL menikmati makanannya sedang ia keluar dari kamar menuju ruang depan yang sekaligus menjadi tempat serba guna. Peralatan dapur secara umum memang sudah disediakan oleh pihak penyewa apartemen, hanya kompor satu tungku, wajan, penggorengan dan ceret kecil untuk sekedar menyeduh air guna membuat teh atau kopi, tak ketinggalan sebuah mesin cuci ukuran kecil serta lemari pendingin. Sepertinya itu lebih dari lengkap.
     AemeL di kamar sedang menyimak bubur hangat dalam mangkuk, selera makannya sama besar dengan rasa sakit yang sedang ia alami. Beberapa saat saja ia sudah menyelesaikan makanannya kemudian meletakkan mangkuk di atas meja kecil di pinggir tempat tidur, ia melirik bungkusan obat dan segelas air putih dan belum berminat untuk meraihnya. Matanya menyimak ruangan tempat tidur yang mungkin tidak lebih besar dari empat kali empat meter persegi. Di bagian ujung dipan ada sebuah lemari pakaian berukuran sedang lalu di sampingnya ada kaca besar menempel di dinding, sebuah jam dinding kecil menunjukkan waktu pukul 19.21 WIB. Sebuah lampu bohlam menerangi ruangan itu dengan sinarnya yang lembut. Tidak ada televisi begitupun di ruang depan,  AemeL tidak melihat adanya layar kaca. Tempat itu benar-benar asing di mata AemeL, tidak ada satupun benda di ruangan itu yang pernah ia lihat sebelumnya. AemeL membenci kondisinya yang mengalami lupa ingatan.
     AemeL tidak menyadari kalau Julia sudah berdiri di pintu beberapa saat dan mengamatinya dari tadi, saat sadar ia jadi tersenyum dibalas dengan Julia dengan senyum tipis.
     “Tidak ada yang bisa aku lakukan di sini.” Helanya seolah menganggap tempat itu tidak ubahnya seperti rumah sakit.
     “Ini memang tempat untuk kamu istirahat, minum obatnya ya sebentar lagi aku akan ke lantai dua untuk membeli sesuatu di bazzar.” Julia mengambil obat dan membukanya agar segera diminum oleh AemeL. AemeL mengamati Julia dengan penuh kecurigaan.
     “Kamu mau belanja di bazzar? Siapa lagi yang memberi uang untuk membiayai hidupku? Jul…. kamu bukan perawat yang khusus untuk menemani aku, kan? Dan tempat ini, sebenarnya punya siapa? Andai ada yang menyewanya, siapa yang membayar sewanya? Aku tidak mau makan lagi dari uang yang tidak aku tahu dari mana asalnya.” Kali ini nada AemeL terdengar mengancam.
     “Minumlah obat ini, kalau kamu sembuh semuanya akan terjawab. Aku mohon jangan lagi menyinggung masalah itu, yang harus kamu pikirkan sekarang adalah harus segera sembuh, tidak ada yang lain.” Hela Julia. Kali ini AemeL meraih obat dari tangan Julia dengan kasar lalu berkata.
     “Aku memang lupa ingatan Jul, tapi aku masih punya hati. Boleh saja aku tidak tahu siapa kamu, siapa pak dokter itu dan siapa yang telah mengeluarkan semua uang untukku? Sekarang aku mau bertanya sama kamu. Apa kamu kenal aku sebelumnya?”
     Julia terdiam, kali ini ia benar-benar tidak bisa langsung menjawab. ‘Kamu tahu Julia, saat ini kamu telah menjadi sosok asing bagiku. Untuk mengenali kamu seperti dulu aku merasa butuh waktu.’ Isi pesan beberapa
bulan lalu dari AemeL terngiang kembali di otak Julia dan akhirnya ia pun menggeleng dengan pasti.
     “Aku harus turun untuk belanja, pastikan obat itu kamu minum sebelum aku kembali.” Kata Julia akhirnya. Ia berbalik tanpa menunggu reaksi lagi dari AemeL. AemeL kini yang terdiam, ia menyadari tidak mungkin berasal dari keluarga kaya raya sehingga mampu membayar orang untuk merawatnya atau yang menabraknya berasal dari keluarga punya pengaruh dalam negeri ini sehingga rela melakukan apa saja agar ia tidak menuntut. Terpikir oleh nya untuk bertanya kepada pak dokter siapa dirinya dan siapa Julia, pasti akan ia tanyakan kalau bertemu nanti saat kontrol ke rumah sakit untuk melihat perkembangan kakinya. Sekali lagi AemeL memejamkan matanya, rasa sakit di kakinya kembali terasa membuatnya meraih gelas air putih lalu menenggak obatnya. Saat menyadari Julia pergi AemeL merasa sangat kesepian, bukan itu saja. Kini ia merasa takut sendirian.
     Di bazzar, Julia membeli semua hal yang disukai oleh AemeL, dari kopi kegemarannya, makanan kecil dan buah advocat kesukaannya. Tidak lebih dari tiga puluh menit Julia sudah kembali dari lantai dua, tapi Aemel telah tertidur dengan nyenyak karena pengaruh obat penenang dan penahan rasa sakit. Julia membereskan hasil belanjaannya dan tak lama kemudian seseorang mengetuk pintu depan. Julia melirik jam ditangannya. Pukul setengah sembilan malam, ia beranjak ke pintu setelah pintu terbuka pria itu sudah berdiri dengan gaya lain dari rumah sakit.
     “Bagaimana kabarmu?”
     “Tidak lebih baik dari rumah sakit.” Sahut Julia. Pria itu melihat bias kelelahan dari wajah Julia yang tidak bisa gadis itu sembunyikan.
     “Maaf, aku akan sedikit mengambil waktu istirahatmu.”
     “Masuklah.” Ujar Julia.
     Pria itu mengamati suasana ruangan. “Kamu suka tempat ini? Di mana AemeL?”
     “Dia sedang tidur.” Mereka sudah duduk di ruangan sederhana dengan dua sofa yang saling bersisian.
     “Apa kalian bertengkar?”
     “Sedikit, tapi jangan khawatir aku bisa menanganinya.”
     “Kamu harus menjaga kesehatanmu, AemeL akan sangat sedih kalau kamu juga jatuh sakit. Aku membawakan beberapa vitamin.” Kata pria itu sembari mengeluarkan beberapa vitamin yang harus dikonsumsi oleh Julia.  Kemudian sebuah ponsel. “Ini, untuk kamu. Hanya ada nomorku di dalamnya, kamu bisa menghubungi aku kapan saja, jangan pernah sungkan.”
     “Ya, terima kasih untuk semuanya. Tanpa bantuan Anda… saya tidak tahu apa yang terjadi dengan aku dan AemeL.”
     “Bestfriend.” Pria itu tersenyum membuat Julia ikut tersenyum simpul. “Minggu depan ia harus ke rumah sakit, untuk kontrol lagi kepala dan kakinya.”
     Julia mengangguk tanda setuju.

~ ~

     Setiap hari Julia menemani AemeL bahkan setiap mata AemeL terbuka, sore itu mereka duduk di bangku balkon menikmati suasan sore yang tidak bisa dibilang cerah. AemeL duduk di kursi rodanya tanpa menoleh pada Julia dan berkata.
     “Kenapa tidak ada televisi di apartemen ini?”
     “Untuk apa? Acara sekarang jarang ada yang bermutu, yang ada tentang para elit politik yang berdebat tidak jelas seperti anak kecil, para istri-istri koruptor yang digiring ke gedung KPK untuk menjadi saksi dengan senyum tidak tahu malu dengan menenteng tas-tas yang bermerek serta gadget mahal. Kalaupun ada berita artis paling-paling tentang sensasi mereka, sinetron-sinetron yang isinya anak sekolah dengan lokasi sekolah tapi selalu bicara pacar.” Kata Julia dengan nada sangat pelan membuat AemeL meliriknya sejenak. Sesaat ia takjub dengan penuturan Julia. Tapi pada intinya Julia tidak mau AemeL melihat seandainya ada orang atau penggemar AemeL yang tiba-tiba muncul di televisi menanyakan keberadaan AemeL yang menghilang karena kecelakaan. Kalau di jejaring sosial seperti di twitter dan teman-teman facebook sedang bertanya-tanya kemana AemeL karena mereka ingin mengomentari tentang novel baru yang AemeL rilis pada hari naas itu. Tapi AemeL tidak akan tahu kalau sudah banyak sekali komentar yang masuk tanpa AemeL buka satupun akunnya. Kalau ada yang bertanya ke pihak penerbit maka si Metha hanya menjawab kalau AemeL sedang istiharat atau berlibur beberapa minggu seperti yang AemeL jelaskan waktu itu. Jadi tidak ada yang bertanya lagi.
     “Apa kamu tidak bosan menemani aku?”
     “Tidak pernah.” Julia menatap AemeL sejenak.
    “Tapi aku tidak ingin merepotkanmu, kamu pasti punya kehidupan sendiri di luar sana yang harus kamu jalani tanpa harus terbelenggu di sini dengan seorang wanita amnesia, mungkin akan lebih baik andai saja aku langsung mati di jalanan waktu itu.”
     “Ae! Kamu tidak perlu bicara seperti itu.” Sergah Julia marah membuat AemeL menoleh pada wajah Julia tapi Julia malah melanjutkan kata-katanya. “Apa kamu tahu terkadang aku punya pikirkan? Aku bahkan suka berkhayal menjadi orang yang lupa ingatan, lupa segala-galanya tentang masa lalu, tentang semua kesalahan dan tentang rasa sakit lalu hidup dengan pikiran yang berawal lagi dari nol tanpa mengenali siapa-siapa di dunia ini, lalu melakukan banyak hal yang positif. Mendapatkan teman baru dan semua serba baru.”
     Mendengar itu membuat AemeL terkekeh lembut. “Apa yang kamu katakan Jul? tidak ada orang di dunia ini ingin masalalunya hilang begitu saja, apalagi saat-saat indah. Kamu tahu apa yang paling susah digapai di dunia ini? Yaitu masa lalu yang tidak akan mungkin lagi kita raih, sehebat apa pun kita.” AemeL sedang berpikir keras untuk mengingat semua masa lalunya, berkali-kali ia menarik napas dalam-dalam untuk itu tapi ia malah merasakan kepalanya sakit luar biasa. AemeL lalu beranjak dari kursi rodanya untuk belajar jalan namun kakinya kesandung dengan kusri rodanya sehingga terjerembab membuat Julia berteriak.
     “AemeL..!” Julia langsung turun dari kursinya untuk memegang AemeL tapi gadis itu sudah pingsan. Lagi-lagi Julia panik tanpa berpikir panjang lagi ia menghubungi nomor yang ada di ponsel barunya.
     Tidak sampai dua puluh menit AemeL sudah ada di ruang perawatan sudah tenang dengan obat yang diberikan oleh dokter. Pria itu sedang menatap Julia dan bertanya.
     “Bagaimana dia bisa jatuh? Kakinya menjadi agak terhambat untuk sembuh akibat jatuh itu.”
     “Kami sedang ngobrol setelah itu ia tiba-tiba beranjak dari kursi untuk berdiri saat itulah kakinya kesandung dengan injakan kursi roda. Aku.. aku mohon Anda periksa lagi kepalanya, tolong… aku tidak mau gara-gara benturan kecelakaan itu menyebabkan ada benjolan di dalam yang memungkinkan menimbulkan gejala kanker otak.”
     Pria itu tersenyum tipis ia tidak mengira jalan pikiran Julia bisa sejauh itu meski ia tidak memungkiri akan adanya hal semacam itu akan timbul. “Kamu tenang saja, tidak ada gejala seperti itu… akibat pingsan itu juga karena ia terlalu keras mengajak otaknya berpikir tentang masalalunya, ia hanya shock. Besok juga ia bisa pulang lagi kok. Apa kamu kelelahan menghadapi AemeL?”
     “Tidak.” Sahut Julia dengan sangat cepat membuat pria itu kembali tersenyum.
     “Oke, kalau begitu aku tinggal dulu.”
      Julia pun berbalik tak ingin memandang punggung pria itu, ia kembali ke ruangan AemeL tapi sampai di sana ia mendapati suhu badan AemeL panas dan sekali lagi ia panik dan langsung memencet tombol merah untuk memanggil suster jaga, detik berikutnya kembali ia menekan nomor yang ada di ponselnya.
     Hanya suster yang datang dan langsung memeriksa suhu badan AemeL. Julia mengamatinya dengan masih was-was yang tinggi. Menit berikutnya suster bicara pada Julia.
     “Dia tidak apa-apa, hanya saja karena pengaruh obat tadi… kamu tidak usah terlalu panik, ia sedang tidur kok.”  Jelas suster dengan tenang.
     “Ya, Sus.”
     “Saya permisi dulu.. kalau ada apa-apa, panggil saja saya.” Kata suster lagi dan Julia mengangguk meski ia agak kecewa pada dokter yang satu itu tidak datang bahkan tidak mengangkat teleponnya. Julia duduk di sisi AemeL dan memegang tangan AemeL.
     “Ae, mengapa bisa seperti ini? Kamu seharusnya sudah mendingan, seharusnya kamu lebih berhati-hati. Aku tidak bisa melihatmu terus-terusan seperti ini.” Suara Julia tertahan, tapi ia tidak tahu kalau seorang dokter sedang mengamatinya dari luar pintu melalui kaca kecil yang ada dibagian atas pintu. Setelah beberapa detik ia berdiri di tempat itu lalu kembali ke ruang kerjanya untuk melanjutkan tugas yang belum selesai ia kerjakan. Seorang dokter wanita menyimak sikap pria itu akhir-akhirnya ini agak berubah pendiam, meski penasaran ia tidak berani bertanya lebih jauh pada dokter yang dikenal plamboyan dengan kekayaan kedua orang tuanya itu. Bukan satu dua dokter wanita menaruh perhatian padanya tapi pria itu tak pernah memberi harapan, ia ramah dalam urusan pekerjaan dan punya tanggung jawab yang tinggi namun dingin dalam hal menghadapi wanita yang tidak begitu ia sukai.
     Tak lama berselang seorang suster masuk memberitahukan pada Julia kalau AemeL belum bisa pulang besok.
     “Dokter Wowor mengatakan kalau pasien yang bernama AemeL belum bisa pulang besok karena kakinya belum bisa digerakan, tulangnya bergeser lagi.”
     “Oh, dokter Wowor? Maksudnya dokter ortopedi?”
     “Bukan, dokter Wowor mendapat laporan dari dokter bagian tulang. Dokter Wowor itu yang menangani pasien ini, ia dokter ahli penyakit dalam dan bagian kanker juga.” Jelas suster membuat Julia terdiam.
     ‘Wowor…’ gumannya dalam hati seolah baru menyadari kalau pria itu bernama Wowor karena selama ini tak pernah ada nama di baju dokternya. Julia kembali menatap AemeL yang ternyata belum bisa dibawa pulang besok. Setelah kepergian suster itu Julia duduk lagi, ia mengamati sosok AemeL yang tidak tahu dimana ia berada bahkan tidak tahu siapa dirinya. Julia menghela napas panjang lalu mengambil ponsel yang diberikan oleh Wowor. Diamatinya beberapa saat ponsel yang tidak bisa dibilang murahan itu meski hanya ada satu nomor kontak dengan nama ‘Aku’. Ponsel Julia sendiri sudah ia matikan sejak ia mengurus AemeL, detik berikutnya ia pun mematikan ponsel itu dan meletakkanya di bawah bantal AemeL.
     “Ae, kamu harus segera sembuh ya.. aku akan merawatmu sampai kapanpun.” Ia mengusap kening AemeL dengan lembut. “Aku tidak menyukai kota ini Ae, kalau kamu sembuh dan bisa ingat kembali aku baru bisa kembali ke Palembang. Aku tidak mau semua orang terlalu lama kehilangan kamu, meski aku senang berada di dekatmu tapi sungguh ini saat yang amat sangat menyedihkan karena kondisimu. Aku ingin kita jalan-jalan lagi seperti tahun-tahun kemarin, aku kangen kamu yang dulu, Ae.” Tanpa disadari mata Julia telah meneteskan air mata. Gadis yang jarang sekali menangis itu akhirnya luluh juga melihat kondisi AemeL, itu kedua kalinya ia menangis setelah AemeL mengalami kecelakaan.
     Ponsel sudah dimatikan, tapi dokter Wowor tetap tidak muncul-muncul juga. Julia merasa bersyukur karena ia pikir tidak ada gunanya juga memegang nomor pria itu. Sebagai seorang dokter ia mungkin sangat sibuk dan Julia tidak ingin mengganggunya meski ia menangani AemeL. Di sisi tempat tidur AemeL itulah Julia akhirnya tertidur karena kelelahan. Beberapa menit berikutnya AemeL terjaga dan melihat Julia masih tertidur dengan beralaskan satu tangan. AemeL coba menggapai kepalanya dengan usapan lembut.
     “Jul…. bangun….” Kata AemeL sembari berusaha mengangkat kepalanya dengan menyeret kedua kakinya ke arah depan agar ia bisa duduk dan bersandar di bantal. Julia membuka matanya dan mengangkat kepalanya lalu menemukan AemeL sudah dalam posisi setengah duduk.
     “Ae, kamu sudah baikan? Tadi kamu pingsan makanya aku bawa lagi ke sini.” Ujar Julia. AemeL pun  mengamati suasana ruangan dan ia menyadari kalau sedang berada di kamar rumah sakit dan ia langsung ingat kejadian sakit dari kursi roda.
     “Em… aku minta maaf karena lagi-lagi merepotkanmu.” Ujar AemeL dengan penuh penyesalan karena kekuranghati-hatiannya.
     “Tidak apa-apa.. sekarang jangan banyak pikiran dulu ya.”
     AemeL malah tersenyum simpul seakan melupakan rasa sakit di kakinya. “Orang lupa ingatan mana bisa banyak pikiran, kamu ini ada-ada saja.” Sergahnya setengah bercanda.
     “Terserahlah, pokoknya jangan berpikiran macam-macam dulu, bagaimana dengan kakimu?” kedua gadis itu menatap ke arah kaki AemeL bersamaan. AemeL coba menggerakkan kakinya dengan cara dimiringkan kiri dan ke kanan.
     “Tidak apa-apa, hanya sakit sedikit saja.” Sahutnya meski tak bisa menyembunyikan kerutan di dahinya menahan rasa sakit. Julia tahu kalau yang namanya patah itu lebih sakit dari luka yang menganga.
     “Mungkin kita akan ada di rumah sakit paling sedikitnya dua hari untuk terapi kakimu biar benar-benar bisa pulang ke apartemen.” Kata Julia memastikan. AemeL tak membantah karena ia sudah pasrah Julia mau membuat dirinya seperti apa pun ia tidak akan menolak meski secara naluri ia masih ingin tahu siapa Julia itu sebenarnya yang rela tidak tidur dan melakukan apa saja untuknya, jika benar ia orang yang dibayar rasanya jarang menemukan orang
yang tulus seperti itu.
     Dokter Wowor masuk setelah mengetuk pintu terlebih dahulu, Julia dan AemeL menoleh secara bersamaan, pria itu yang menegur terlebih dahulu.
     “Hei AemeL, kamu sudah bangun?” sapanya dengan ramah sama pada pasien-pasien yang lainnya sebelum AemeL menjawab pria itu melirik ke Julia sekilas ia penasaraan mengapa ponsel gadis itu tidak bisa dihubungi.
     “Sudah dok, em.. kapan saya bisa keluar dari tempat ini?” tanya AemeL. Jujur ia merasa serba salah, di apartemen ia bisa membuat Julia istirahat tapi kalau ia buru-buru pulang kakinya akan lama sembuh.
     Dokter Wowor sudah berdiri di sebelah AemeL. “Keputusannya ada pada dokter tulang.” Ia coba meraba tumit AemeL yang sudah diperbaiki balutannya dengan lebih kencang. AemeL diam saja padahal saat dokter mengangkat sedikit kakinya terasa ngilu sekali. Julia hanya menyimak apa yang dilakukan oleh pria itu sedang pria itu sekali-kali menoleh pada Julia dan itu tidak luput dari pengamatan AemeL sehingga menimbulkan pertanyaan di hatinya mengenai hubungan kedua insan itu. “Kepalamu gimana? Tidak ada rasa sakit, kan? Kalau ada tolong jangan disembunyikan, ada seseorang yang begitu mengkhawatirkan kondisi kepalamu.” Ujar pria itu dengan nada pemberitahuan dan membuat Julia mengalihkan pandangannya ke arah lain dan saat itu Wowor pun menatap ke Julia.
     “Mm.. Jul…?” sergah AemeL setengah memanggil. Julia menoleh. “Boleh aku bicara sebentar dengan pak dokter?” pintanya.
     “Tentu saja.” Sahut Julia setelah diam sejenak. “Aku ke kantin sebentar ya, saya titip AemeL pada Anda sebentar.” Julia pun beranjak setelah pria itu menggangguk. Ia berjalan keluar ruangan tanpa menoleh sekilas, ia percaya apa pun yang ditanyakan AemeL pada pria itu Julia tidak ragu karena ia sudah memberikan janji dan ia yakin pria itu akan memegang janjinya. Julia benar-benar ke kantin dan membelikan sesuatu yang dibutuhkan dalam ruangan sanga menunggu AemeL.
     “Pak dokter,…” kata AemeL setelah pria itu duduk di kursi yang tadi ditempati oleh Julia. “Apakah Julia itu pacar atau istri pak dokter?” tanya AemeL sangat ingin tahu.
     Pria itu menggeleng. “Tidak, saya belum punya istri dan juga tidak punya pacar.” Sahut pria itu setengah bercanda membuat AemeL tertawa karena tidak percaya kalau pria sesempurna dia tidak punya pacar. “Kenapa kamu bertanya seperti itu? Apakah ia kasar dalam merawatmu?”
     “Saya tidak suka sama dia, saya ingin perawat yang lain, emm… sebelumnya maaf, bukannya saya tidak tahu diri.. sebenarnya saya ini tidak tahu siapa-siapa dan tidak kenal dengan siapapun, mungkin saya ini anak yatim piatu yang ditabrak oleh orang kaya dan coba memberikan sesuatu perawatan terbaik tapi sekali lagi apapun yang terjadi dengan saya, saya tidak suka dengan gadis yang bernama Julia itu.”
     “Tapi dia ingin sekali merawat kamu.”
     “Siapa sebenarnya dia? Dan mengapa ia ingin sekali merawat aku?”
     “Jika ingatan kamu kembali maka kamu akan tahu semuanya.”
     “Itu jawaban yang sama diberikan oleh Julia saat aku tanya siapa dia sebenarnya.” Rungut AemeL tidak puas. “Tapi satu yang aku tangkap dari sikap dokter dengan Julia, pak dokter mencintai dia, kan?” tebak AemeL membuat pria itu terperangah. Benarkah apa yang dikatakan AemeL barusan? Apakah AemeL sudah melihat bias-bias aneh itu? AemeL mengamati pria itu karena merasa tebakkannya mengenai sasaran. “Jika saya tahu kalau pak dokter dan Julia ternyata adalah suami istri maka saya tidak akan memaafkan kalian.”
     “AemeL, mengapa kamu berpikiran seperti itu.. sekarang kamu harus fokur dengan kakimu agar cepat sembuh, oke?” pria itu melirik jam tangannya, sudah lebih dari sepuluh menit Julia pergi. Terpikir olehnya untuk menelepon tapi dari tadi ponsel yang ia beri tidak aktif.
     “Kalau dokter mau pergi tidak apa-apa, sebentar lagi Julia juga pasti kembali.” AemeL tahu kegelisahan di wajah pria itu.
     “Tidak AemeL, aku tidak bisa pergi sebelum Julia kembali.” Detik berikutnya Julia benar-benar muncul dengan menenteng belanjaan dalam  kantong kresek. “Oke, sampai ketemu lagi.” Kata pria itu setelah melihat Julia datang.
     “Terima kasih.” Sahut AemeL sembari mengangguk.
     “Terima kasih ya, sudah jaga AemeL.” Kata Julia sebelum pria itu menghilang dari pintu.
     Wowor menatap Julia sejenak setelah Julia tidak lagi menghiraukannya, pengakuan AemeL mengatakan tidak menyukai Julia membuat pria itu tidak rela Julia merawat AemeL. Jika saja bukan karena janji itu sudah ia larang keras Julia merawatnya.
     AemeL tidak bicara apa pun saat Julia kembali dan mengeluarkan isi kantong belanjaannya. Julia menoleh sekilas pada gadis itu.
     “Akan aku buatkan kopi, semoga kamu suka.” Ujarnya sambil mengeluarkan dua bungkus kopi instan lalu meraih gelas untuk mengambil air panas dari freezer. Detik berikutnya ia mengaduk isi gelas sehingga menimbulkan aroma nikmat kopi sejati membuat AemeL membiarkan udara itu masuk ke dalam napasnya,
sepertinya ia menyukai aroma itu. “Ini untukmu, rasanya sama dengan kopi kegemaranku, semoga kamu suka.” Ujar Julia. Ia membelikan kopi yang paling digemari oleh AemeL. Sebelum lupa ingatan AemeL bisa menghabiskan dua sampai tiga gelas kopi seperti itu dalam sehari.
     “Terima kasih.” Sahut AemeL. “Semoga saja sesuai dengan seleraku. Pak dokter sudah cerita banyak hal padaku..” lanjut AemeL.
     “Tentang apa?” tanya Julia dengan cepat karena saking penasarannya.
     “Tapi tidak ada yang penting. Julia….. apakah pak dokter itu………? Ah, sudahlah.” AemeL tidak melanjutkan kata-katanya yang bermaksud menanyakan apakah dokter itu suaminya Julia.
     “Apa?” Julia masih penasaran.
     “Selama bersamaku, kamu belum pernah pulang, mengapa?”
     “Aku akan pulang kalau kamu sudah sembuh, aku pernah bilang seperti itu, kan?”
     “O, ya. Aku baru ingat. Maaf.”
     Julia mengambil gelas kopi untuk AemeL agar gadis itu mencicipinya dan diterima AemeL dengan senang hati. Ia coba menikmati kopi spesial yang dibuat oleh Julia. Sesaat ia terlihat sangat menikmatinya, Julia menyimaknya. Cara AemeL menikmati kopi tidak pernah berubah.
     “Apa yang kalian bicarakan tadi?” Julia masih saja ingin tahu apa yang ditanyakan AemeL pada dokter tadi.
     “Sudah aku katakan tidak ada yang penting…” AemeL menatap Julia dengan seksama. “Yang aku tahu pak dokter mencintai kamu, hanya itu. Terlepas apakah dia suami kamu atau pacar aku tidak tahu.”
     “Apa…?” Julia nyaris saja tersedak saat meneguk kopinya.
     Sementara di ruangan lain, Wowor sedang menatap layar ponselnya, pesan yang ia kirim ke nomor Julia belum ada laporan terkirim membuatnya menarik napas dalam-dalam, sejak itu ia jarang datang ke ruangan AemeL.
     Keesokan paginya, AemeL menjalani terapi berjalan di ruagan terapi didampingi dokter ortopedi dan Julia setia menemaninya. Setelah makan siang terapi itu diulang lagi, dan sebelum istirahat tidur terapi yang ketiga. Dokter mempercayakan Julia memegang tangan AemeL sedang yang satunya memegang besi yang sudah disediakan kiri dan kanan untuk pegangan pasien.
     AemeL melirik Julia. “Biar aku coba sendiri, siapa tahu bisa.” Pintanya untuk berjalan sendiri. Julia melirik dokter yang mendampingi dan diperbolehkan dengan anggukan kepala. Julia pun melepas tangan AemeL dan gadis itu memegang pagar besi yang memanjang di sini kiri kanannya. AemeL memegang kedua batang besi itu dengan erat dan kaki kirinya ia letakkan dengan pasti di atas lantai lalu coba berjalan. Selangkah dua langkah dan selanjutnya ia seperti memaksakan sehingga secara reflek kaki kirinya terangkat karena rasa sakit yang luar biasa, sehingga ia pun terduduk di lantai. Julia buru-buru menghampiri AemeL yang tidak bergerak di lantai dengan meringis, ia nyaris saja menangis.
     “Ae, jangan dipaksakan, nanti malah makin parah.” Kata Julia dengan nada cemas.
     “Pergilah Julia, pergi! Tinggalkan aku!” kata AemeL dengan nada tinggi, ia kecewa dengan kakinya dan marah pada diri sendiri sehingga amarahnya tertumpah pada Julia. Dari sisi lain Wowor menyaksikan Julia sedang diusir oleh AemeL.
     Dokter mendekati pasienya. “Cukup untuk hari ini, sudah saatnya istirahat. Besok kita lanjutkan, kasus seperti ini tidak bisa dipaksakan, patah tulang akan sembuh dengan berjalannya waktu, percayalah.” Kata dokter dengan bijaksana. Ia membantu Julia membangunkan tubuh AemeL dari lantai.
     “Itu benar Ae.” Tambah Julia. AemeL menatap Julia sejenak, haruskah ia percaya dengan kata-kata Julia yang ia yakini tidak jujur padanya!?

~ ~

     Saat pulang dari rumah sakit, Julia tidak melihat batang hidung Wowor, ia yakin pria itu tahu kalau AemeL pulang hari itu karena dia adalah salah satu dokter yang menangani AemeL. Entah mengapa Julia ingin sekali pria itu ada saat itu meski sekedar melepas kepulangannya bersama AemeL ke apartemen. Sebelum naik ke lantai tiga AemeL minta mampir ke bazar untuk membeli sesuatu.
     “Jul, kamu punya uang?” tanyanya dengan penuh harapan. Julia mengangguk dan berharap gadis itu mengatakan minta dibelikan sesuatu hal yang sangat ingin dinikmatinya.
     “Aku minta dibelikan sebuah buku tulis dan ballpoint, tolong ya..”
     “Untuk apa?” tanya Julia agak bingung.
     “Ya, sekedar mengisi waktu luang.”
     “O, baiklah. Tunggu di sini.” Kata Julia meninggalkan AemeL di atas kursi rodanya sementara ia menghampiri tempat alat tulis. Julia memilih sebuah buku sebentuk diary dan ballpoint dengan tinta emas. Dari kursi rodanya AemeL mengamati Julia, ia berpikir apakah pak dokter itu mengatakan kalau ia tidak suka dengan Julia? Kalau ya tapi mengapa gadis itu masih saja seperti kemarin-kemarin. AemeL menghela napas berat.
     “Terima kasih banyak.” Ujar AemeL setelah menerima alat tulis dari tangan Julia. “Ini buku dan ballpoint istimewa. Sekali lagi terima kasih.”
     “Sama-sama.” Balas Julia sembari mendorong kursi roda AemeL.
     “Jul, apa pak dokter mengatakan sesuatu hal sama kamu sebelum kita pulang?”
     “Tidak.” Jangankan mengatakan sesuatu, bertemu saja tidak. Lanjut Julia dalam hati. Sebuah ponsel yang masih dalam kondisi mati tersimpan di kantong celana Julia.
     Malam itu, Julia menyalakan ponselnya karena penasaran apakah ada panggilan masuk atau pesan dari Wowor. Ternyata ada dua kali panggilan masuk dan satu pesan.
     ‘Julia, kalau kamu tidak kuat merawat AemeL, bicarlah padaku. Aku mohon.’
     Julia mengernyitkan alisnya. ‘Urusan apa dia bicara seperti itu?’ setelah memastikan cuma ada satu pesan kembali Julia mematikan ponselnya tanpa membalas pesan itu.
     “Kamu punya hape?” tanya AemeL saat melihat Julia meletakkan ponselnya di atas rak piring.
     Julia melirik AemeL. “Ya.”
     “Boleh aku pinjam? Mmm.. tapi siapa yang akan aku hubungi ya. Yah, tidak jadi deh.” AemeL membatalkan niatnya. “Apakah aku selama ini punya benda seperti itu? Kalau iya, pasti ada orang yang menghubungi aku, kasihan sekali kalau ada orang yang menghubungi aku dan tidak tahu kabarku. Jul… apa aku punya pacar? Ya Tuhan… kamu kan sudah memberitahu aku kalau kamu tidak kenal dengan aku, kalau pun aku punya pacar kamu pasti tidak kenal dengannya.” AemeL tersenyum seakan mentertawakan dirinya sendiri. “Atau… jangan-jangan aku sudah punya suami?” AemeL kembali berpikir keras untuk mengembalikan ingatannya mengenai masa lalunya. Julia menghampiri AemeL dan jongkok di depan kursi roda serta memegang kedua sandaran tangan kursi.
     “Sebelum dompetmu dicuri orang di rumah sakit, dokter sempat melihat KTP kamu, kamu masih single Ae.”
     Lagi-lagi AemeL tersenyum. “Ya, ya… syukurlah, berarti tidak ada yang menunggu aku di rumah.” AemeL memutar kursi rodanya kebelakang membuat Julia melepaskan tangannya. “Aku ingin istirahat.. selamat malam Julia.” Helanya dengan nada tidak bersahabat.
     “Selamat malam.” Julia bangun untuk membantu AemeL naik ke atas tempat tidur.
     “Aku bisa sendiri.” Selalu saja  kata-kata seperti itu yang keluar setiap kali Julia ingin membantunya. Keras kepalanya tidak pernah berubah. Pikir Julia.
     Julia berjalan ke arah dapur, ia mencuci  gelas kotor, sebentar saja sudah terdengar suara gelas jatuh dan pecah. Bukan sekali itu saja, kemarin-kemarin AemeL mendengar suara piring pecah. Tapi saat gelas pecah terdengar suara Julia yang meringis seperti orang kesakitan. Jempol tangan kiri Julia tergores ujung gelas dan mengeluarkan darah segar.
     “Julia…… kamu tidak apa-apa?” suara AemeL dari kamar.
     “Tidak apa-apa, kamu istirahat saja.” Sahut Julia sambil menekan darah yang terus keluar dari jempolnya. Julia meraih kotak P3K yang ada di sebelah rak piring. Dengan cepat ia meraih benda itu dan mengeluarkan isinya sebelum AemeL tahu tangannya berdarah. Julia mengambil betadine serta secarik kain kassa, dengan sangat lincah ia meneteskan obat cair itu lalu menutup lukannya dengan kain kassa lalu membalutnya, terakhir merekatkan plaster. Semua itu tidak lepas dari pengamatan AemeL yang bisa melihat dapur dari kamar tidur. Kejadian itu membuat dirinya sedikit yakin kalau Julia memang seorang perawat, bukan ahli dapur yang biasa mencuci piring kotor. Mungkin gadis itu sangat membenci pekerjaan mencuci di dapur. Pikir AemeL.
     Setelah kejadian itu, AemeL tidak pernah membiarkan lagi Julia mencuci gelas atau apa pun yang kotor di dapur. Ia bisa melakukannya dari atas kursi roda.
~ ~

     Wowor ingin sekali bertemu dengan Julia bahkan setiap saat, di ruang kerjanya ia kelihatan gelisah. Ia sendiri tidak tahu mengapa wanita yang satu itu bisa membuat pikirannya bercabang dari pekerjaan. Wowor selalu serius dengan pekerjaannya, masalah kekayaan orang tua bukan jadi andalannya karena menjadi dokter adalah keinginannya sejak kecil. Dokter wanita menegurnya karena mengamati kegelisahan Wowor akhir-akhir ini.
     “Selamat malam, dok. Ada tugas malam?” sapanya sekedar ingin berbincang dengan Wowor. Wowor melirik wanita itu sejenak.
     “Ya, sebentar lagi ada operasi.” Jawab Wowor seadanya.
     “Sepertinya berat, atau jangan-jangan dokter sedang memikirkan hal lain?” ia mulai masuk wilayah pribadi Wowor. Wanita itu duduk di kursinya sebelah meja Wowor.
     “Tidak juga, dokter sendiri mengapa belum pulang?”
     “Sebentar lagi, mau istirahat juga. Tadinya saya kira dokter sudah mau pulang, saya pikir bisa sekalian bareng.” Wanita itu mulai membuka peluang. Wowor hanya bisa senyum dan ia tidak menjanjikan apa pun pada dokter itu. Dulu saja ia tidak bisa menjanjikan apa pun pada wanita apalagi sekarang hatinya seolah sudah ada pada Julia. Wowor menatap ponselnya, sejak ia menitipkan nomor pada Julia ia sering berharap Julia menghubunginya.
     Setelah selesai menyelesaikan operasi sekitar tiga jam Wowor bukannya pulang tapi datang ke apartemen tempat Julia dan AemeL tinggal untuk beberapa hari ini. Saat ia datang ke apartemen Julia sedang menutup kaca jendela karena sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Julia kaget melihat kemunculan Wowor saat menjelang tengah malam. Julia melirik ke arah kamar di mana AemeL sudah ada di sana sejak sejam yang lalu. Ia pasti sudah tidur pikirnya, jadi tidak enak mengajak pria itu masuk. Julia membuka pintu sebelum Wowor mengetuk, ia mengamati pria yang mengenakan kemeja lengan panjang itu.
     “Ada apa?” ia langsung bertanya.
     “Boleh aku masuk?”
     “Tapi, AemeL sudah tidur.”
     “Aku ingin bicara dengan kamu, Jul. sebentar saja.”
     Julia masih menimbang-nimbang, kalau ia mengajak pria itu masuk ia tidak mau salah tingkah tapi tidak etis juga bicara di depan pintu karena ia percaya pria itu tidak akan macam-macam. “Silahkan.”
     “Terima kasih.” Pria itu merasa sangat lega setelah Julia mengizinkannya masuk.
     “Apa hape-mu hilang?” tanya pria itu sambil duduk.
     “Mhm… maaf, aku lupa men-charg-nya, dan tidak tahu charger-nya ada di mana.” Sahut Julia coba tenang., ia tidak mau pria itu tahu titik lemahnya.
     “O…”
     Sedang di kamar, AemeL samar-samar mendengar suara orang sedang berbincang tapi matanya tak bisa diajak kompromi.
     “Mm.. kamu, maksudku… keluargamu tidak mencarimu? Kalau kamu mau pulang, aku bisa minta orang menjaga AemeL sehari dan kamu bisa kembali lagi ke sini.”
     “Tidak.” Sahut Julia setelah duduk di kursi satunya. Julia sangat yakin kalau anak buah dan keluarganya sedang mencarinya apalagi ia tidak bisa dihubungi.
     “M.. rumah kamu di mana?”
     “Palembang.” Oh! Sial! Julia keceplosan, sedikitpun tidak ada maksudnya untuk memberitahukan kalau dia tinggal di Palembang.
     “Palembang? Jadi…….. waktu aku menunggu kamu selama kurang lebih enam jam itu kamu datang dari Palembang? Ya Tuhan… pantas saja lama. Aku minta maaf.” Ujar Wowor karena sudah menghakimi Julia datang terlambat. “Tapi…. kamu dan AemeL bisa fasih sekali menggunakan bahasa Jakarta.”
     Julia merasa tidak perlu menjelaskan apa pun lagi pada pria itu, cukup itu saja, itupun karena keceplosan. “Mm.. sebenarnya, kamu ke sini mau bicara apa?” Julia coba membatasi waktu Wowor.
     “Kamu waktu itu mengatakan kalau AemeL adalah temanmu dari SMA, ternyata kamu dari Palembang dan pastinya AemeL juga dari sana.”
     “Em…” Julia melirik ke arah pintu kamar khawatir AemeL terbangun. “Kamu tidak bicara apa-apa kan sama AemeL?”
     “Lupakan masalah itu, aku ke sini ingin bilang satu hal ke kamu. Aku.. suka sama kamu dari sejak pertama melihat kamu berdiri di depan ruang informasi, setiap hari perasaan itu bertambah dan terus bertambah dan aku rasa aku jatuh cinta sama kamu, andai kamu sudah menikah atau sudah punya kekasih, aku minta maaf.” Kata Wowor dengan jujur dan nada yang sangat menyakinkan. Matanya tidak lepas menatap Julia tapi Julia tidak mau meleleh pada pria yang baru ia kenal beberapa minggu ini. Apakah pria itu pernah mengatakan hal yang sama pada setiap dokter muda yang masih single di tempatnya bekerja? Membayangkan hal itu membuat Julia tersenyum tipis.
     “Maaf, mau minum apa?”
     “Tidak Jul, terima kasih. Aku harus pulang karena sudah terlalu malam.” Wowor tidak peduli Julia mau menjawab atau tidak dengan pernyataannya tadi tapi ia lega karena sudah mengatakan semua isi hatinya.
     AemeL benar-benar sudah terjaga sesaat sebelum Wowor pamit pulang.
     “Ya…”
     “Pegang ini.” Kalinya Wowor meletakkan BB-nya di atas meja bukan ponsel. “Siapa tahu ada keperluan mendadak.” Ujar pria itu sangat memohon.
     “Tidak, tolong bawa lagi BB-nya.” Julia merasa sangat tidak enak. Kalau  mau ia bisa menyalakan BB-nya sendiri tapi ia tidak mau ada teman atau keluarga yang menghubunginya sebelum AemeL sembuh.
     “Aku mohon, anggap saja ini permintaan terakhirku. Aku pamit dulu, ya.” Wowor beranjak. “Semoga AemeL lekas sembuh.” Tambahnya.
     Julia menarik napas dalam-dalam, ia tidak bisa memaksa Wowor membawa lagi BB itu, beberapa saat saja terdengar ada BBM masuk dan Julia tidak mempedulikannya sama sekali, BB itu tergeletak saja di atas meja hingga subuh menjelang.
     Sebelum Julia bangun AemeL sudah bangun, sejenak ia menyimak Julia yang masih terlelap. AemeL mengambil buku dan ballpoint-nya. Lalu mulai menulis.

Tinta emas,
Aku benar-benar tidak mengerti apa yang sedang terjadi di tempat ini dan pada diriku?
Dan Julia, siapa pun dia… apakah dia seorang musuh, teman atau saudara.. aku tidak peduli. Apakah saat ini aku benar-benar membutuhkannya? Entahlah!
Tapi siapa pun dia, aku ingin sekali menjadi temannya.

     AemeL menutup bukunya dan kembali meletakkan buku itu di bawah tempat tidurnya. Setelah melirik ke Julia sejenak ia bangkit dan berusaha jalan dengan menggunakan kedua tongkatnya untuk menuju ruang dapur. Di sana ia coba membuat kopi, semua sudah tersedia di tempatnya… apa pun yang diinginkan AemeL. Kopi yang ia sukai, bahkan kamar mandi yang airnya sudah tersedia di bak mandi tanpa AemeL harus capek-capek menyalakan kran. Sejenak AemeL menghela napas, terngiang kembali saat dokter itu pamit semalam, ia merasa yakin kalau pria itu ada hubungan khusus dengan Julia.
     AemeL menghirup kopi hangatnya sedang satu gelas lagi ia letakkan di atas meja untuk Julia. AemeL mulai berpikir lagi. Ia bisa menyimak semua hal yang ada pada Julia, dari jari, wajah hingga ujung kakinya ia terlihat seperti orang kaya, atau setidaknya bukan orang susah, mungkin seorang pengusaha muda. ‘Ya Tuhan, aku tidak bisa terus-terusan seperti ini, Julia mungkin tidak akan meninggalkanku sebelum aku sembuh tapi sampai kapan aku bisa ingat semuanya? Aku tidak ingin merusak hubungan pak dokter dengan Julia.’ AemeL melirik kaki kirinya, sekali lagi ia mengesalkan kenapa kakinya harus patah hingga menyusahkan dirinya bahkan orang lain. AemeL mengesap lagi kopinya hingga tinggal separuh. Saat itu terdengar Julia keluar dari kamar dan mencari-cari keberadaan AemeL.
     “Ae, Ae…. Kamu di mana?” ia mengkhawatirkan AemeL.
     AemeL melirik ke pintu, Julia sudah berdiri di sana sambil mengucek-ngucek matanya yang masih mengantuk. “Tidak usah bersikap seperti itu, aku tidak suka.” Sahut AemeL tidak sehangat kopinya.
     “Apa maksud kamu?” Julia sudah berdiri di dekat kursi AemeL.
     “Sudahlah Jul, aku sudah muak dengan semua ini.” Sekilas AemeL melirik sebuah BB ada di atas meja yang sama sekali belum disentuh oleh Julia. AemeL meraih tongkatnya. “Aku tidak suka sandiwara ini.. kamu dan pak dokter, siapa kalian sebenarnya? Kalian orang kaya? Yang bisa membeli semua keperluanku, dari baju… perlengkapan serta tempat ini. Kalian berdua pasti bukan orang yang berpura-pura baik padaku. Jika aku hanya pasien lupa ingatan dan patah tulang, aku rasa ada ratusan pasien yang bernasib sama denganku tapi mengapa hanya aku yang kalian istimewakan? Kenapa?” emosi AemeL sudah mulai memuncak di pagi buta itu.
     “Duduklah Ae.” Pinta Julia mulai khawatir.
     “Tidak, aku tidak bisa seperti ini tanpa penjelasan.”
     “Bagaimana aku menjelaskannya sedangkan kamu masih lupa ingatan.”
     “Sekali lagi aku beritahu ya, Jul. aku memang amnesia tapi masih punya hati yang bisa melihat dan mendengar semua yang ada di depan mataku sekarang ini. Apa susahnya kamu menjelaskan semuanya! Apa aku ini seorang musuh yang tak termaafkan? Atau sebaliknya?!”
     “Hentikan AemeL! Hentikan! Apa kamu sudah ingat semuanya dan berpura-pura masih amnesia dan berharap aku jujur? Katakan! Akan aku katakan semuanya, semua yang ingin kamu dengar? Oke!” sergah Julia tak kalah emosi. Kedua gadis itu saling tatap beberapa saat seolah tidak tahu apa yang harus dikatakan lagi, namun gemuruh amarah di dada sama-sama membara. Detik berikutnya AemeL berjalan keluar dengan tongkat, Julia melihatnya dengan masih terdiam seolah tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Tanpa ia sadari AemeL sudah keluar dari apartemen sementara Julia masih mematung di tempatnya.
     Di luar, AemeL bertemu dengan satpam lalu bertanya. “Pak…?”
     “Ya, Neng?”
     “Apa Bapak pernah melihat saya sebelumnya? Maksud saya,  sebelum saya tinggal di tempat ini?”
     “Tidak Neng, memangnya kenapa? Neng mau kemana?”
     “O, tidak kenapa-napa. Saya hanya ingin mengirup udara pagi, terima kasih ya, Pak.”
     “Ya, hati-hati dan jangan jauh-jauh.” Nasihat pria paruh baya itu lalu ia kembali ke tugasnya tanpa melihat lagi kemana AemeL pergi.
     Di dalam apartemen Julia masih bingung memikirkan apakah AemeL sudah ingat semuanya atau belum? Terbayang dengan jelas kemarahan di wajah AemeL tadi. Julia buru-buru bergerak dari tempatnya seolah tersadar kalau AemeL masih dalam kondisi sakit. Julia berlari keluar tapi tidak menemukan AemeL, ia ke ujung jalan tapi tetap tidak mendapatkan AemeL. Akhirnya ia kembali lagi dengan kecemasan yang tinggi membuat pak satpam menegurnya.
     “Ada apa, Neng?”
     “M.. m.. anu Pak, lihat seorang wanita lewat dengan menggunakan tongkat?”
     “O, ya ya… tadi dia lewat sini. Katanya mau menghirup udara pagi.”
     “Bapak lihat dia jalan kemana?”
     “Nggak tuh, soalnya tadi saya lagi ada urusan. Ya paling-paling nanti juga balik lagi.” Pikir pria itu karena orang jalan pincang tidak akan pergi jauh.
     Mengingat kemarahan AemeL membuat Julia yakin kalau gadis itu tidak akan kembali lagi. Mungkin ia sudah ingat semuanya. Julia kembali ke apartemen setelah pamit pada Pak satpam, karena kalau AemeL sudah ingat semuanya ia pasti akan mengunjungi tempat kosnya. Julia menggantikan bajunya untuk menyusul AemeL ke sana dan tak lupa mengantongi BB Wowor.
     Beberapa saat kemudian Julia sudah tiba di tempat kos AemeL selama ini, kenangan yang pernah ia lalui di tempat itu langsung menyeruak di benaknya kala melihat pintu kayu itu. Nyaris setiap ke Jakarta ia mampir di sana dan menginap bahkan beberapa hari lalu kembali ke Palembang dengan belanjaan banyak sekali buat isi tokonya. Julia menghela napas panjang, terpikir sejenak ia akan nasib tokonya selama ia tinggalkan tapi keberadaan AemeL yang belum jelas membuyarkan semuanya. pintu kayu yang diplitur itu masih tertutup sangat rapat dan tidak ada tanda-tanda orang datang ke tempat itu. Seorang ibu muda menyapa Julia yang kebetulan sudah pernah bertemu dengan Julia beberapa kali.
     “Julia…. Kamu? AemeL sudah beberapa hari tidak pulang, ada yang bilang ia keluar kota. Memangnya kamu tidak tahu?” ia terlihat heran melihat kemunculan Julia ke tempat itu dengan tangan kosong.
     “Em, ya Bu. Saya sedang menunggunya mungkin sebentar lagi ia pulang.” Kata Julia yang hampir saja tidak bisa bicara. Karena wanita itu tidak melihat kemunculan AemeL berarti AemeL tidak pernah muncul di tempat itu. ‘Ya Tuhan kemana AemeL, lindungi dia Tuhan.’ Bisik Julia dalam hati dengan napas yang nyaris saja sesak.
     “O, ya sudah. Ibu ke belakang dulu ya. Kalau ada keperluan apa-apa, panggil saya saja.” Kata wanita itu akhirnya.
     “Ya, terima kasih, Bu.” Setelah wanita itu menghilang Julia pun buru-buru meninggalkan tempat itu. Di jalan ia coba menghubungi Wowor, karena jika ingatan AemeL sudah pulih ada kemungkinan ia mencari Wowor di rumah sakit untuk minta penjelasan.
     Julia memeriksa nomor yang masuk, dan benar ada nomor atas nama aku mengirim pesan, mungkin semalam Julia tidak berniat memeriksa jam berapa pesan itu masuk, dan beberapa BBM yang sama sekali tidak ia buka. Ia memanggil dari nomor pesan yang berisi dua kata, ‘ini aku.’ Sekali Julia panggil tidak diangkat, dua kali, tiga kali bahkan hingga tujuh kali tetap tidak diangkat sementara nomor yang dihubungi sedang tidak sibuk. Julia mulai kehilangan akal sehatnya, sekali lagi ia menatap layar BB itu dan detik berikutnya ia melemparkan benda itu ke jalanan hingga hancur berkeping-keping. ‘Sudah kuduga tidak ada perlunya kamu menitipkan benda seperti ini padaku.’ Gerutu Julia. Orang-orang yang melihat sikap Julia mengira ia sedang bertengkar dengan pacarnya atau telah diputuskan cerai oleh suaminya hanya lewat telepon sehingga membuatnya emosi seperti itu. Sedangkan Julia sama sekali tidak peduli dengan semua pandangan orang di jalan. Ia menyetop taksi.
     Di rumah sakit, Wowor baru saja keluar dari ruang operasi, seorang dokter wanita menyapanya.
     “Bagaimana operasinya dok, lancar?”
     “Ya. Begitulah. Dari subuh baru selesai jam segini.” Ia melirik arlojinya yang sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Lalu ia mengeluarkan BB dari dalam kantong celananya. Melihat BB yang dipegang pria itu berbeda dari yang kemarin membuat wanita itu bertanya lagi.
     “Baru, dok? Yang kemarin dikemanain?” ‘pantes saja BBM-ku tidak dibaca.’ Guman wanita itu dalam hati.
     “O, ada. tapi lagi pake yang ini.” Sahut Wowor apa adanya. “Maaf aku ke kantor dulu ya.” Wowor menghindari wanita itu yang selalu ingin tahu urusannya. Wanita itu hanya bisa mendengus kesal. Wowor memeriksa ada tujuh panggilan dari Julia, karena khawatir ia langsung menelepon balik, tapi nomor itu sudah tidak akitf. Wowor ke ruangannya untuk menggantikan baju seragamnya setelah itu ia keluar dengan maksud mendatangi apartemen karena perasaannya sedang tidak enak.
     Di lorong rumah sakit langkah Wowor terhenti karena melihat Julia sedang berjalan ke arahnya, saat itu juga ia berlari mendekati Julia.
     “Julia.” Ujarnya khawatir saat melihat wajah Julia yang tidak kalah cemas bercampur emosi. “Barusan aku menghubungi kamu tapi nomornya tidak aktif. Ada apa? Kamu tidak apa-apa? Dan AemeL?”
     “BB Anda sudah aku buang, buat apa kalau Anda juga tidak bisa dihubungi.” Gerutu Julia dengan nada kesal bercampur cemas.
     “Jul, tadi nomorku sedang aku silent karena ada kerjaan.” Kata Wowor masih cemas.
     “Sudahlah, aku ke sini mencari AemeL.”
     “Mencari AemeL? Memangnya AemeL kenapa?”
     “Dia pergi dari apartemen.”
     “Apa? Kalian bertengkar lagi?”
     “AemeL ke sini tidak?!” suara Julia mulai meninggi.
     “Aku tidak melihatnya.” Sahut Wowor dengan jujur.
     “Ya Tuhan… kemana dia?” Julia mulai putus asa.
     “Kita akan mencarinya.” Kata Wowor dengan cepat.
     “Mencari kemana?” Julia seakan bertanya pada diri sendiri. Dokter wanita yang menaruh perhatian pada Wowor melirik ke arah kedua insan itu. Sepertinya ia akan berhenti berharap cinta dari Wowor.
     “Apa ingatannya sudah pulih?” tanya Wowor.
     “Aku tidak tahu.” Julia mulai berjalan diikuti Wowor.
     “Apa yang ia bicarakan saat terakhir kali kalian bersama?”
     “Ia mengatakan sudah muak, lalu pergi.” Sahut Julia tidak bisa bicara panjang lebar. Wowor sedang membayangkan kalau kedua gadis itu telah bertengkar hebat.
     “Kita pasti akan menemukannya, dengan kondisinya seperti itu ia tidak akan bisa pergi jauh. Ia tidak membawa kartu ATM-nya, kan? Tentu saja, karena aku yakin ingatannya belum pulih.” Wowor meraih tangan Julia dan membawa gadis itu ke tempat parkir menuju mobilnya. Julia yang merasa sudah putus asa ikut saja dengan Wowor.

~ ~

     Di tempat duduk sebuah halte bis AemeL sedang duduk diam seperi patung, ia tidak menangis tidak juga terlihat sedang risau. Kedua tongkatnya ia pegang dengan sangat erat tanpa peduli orang-orang bergantian datang dan pergi dari tempat itu. Ingatannya masih tertuju pada Julia, ia tidak bisa membedakan antara benci dan sayang pada gadis itu. Sebuah motor besar tiba-tiba berhenti dan pengemudinya turun lalu mendekati sosok AemeL yang masih dalam diamnya.
     “Hei…” terdengar sapaan lembut. AemeL mengangkat wajahnya sekilas dan seorang pria dengan jaket kulit dan sebuah helm di tangan sedang tersenyum pada AemeL. “Kamu mau kemana?” ia melirik tongkat lalu pada kaki kiri AemeL yang masih terbalut. “Kamu sedang menunggu seseorang atau mau pergi kemana?” tanya pria itu peduli tapi AemeL tetap tak menjawab. Pria itu melirik jam tangannya, sepertinya ia harus buru-buru pergi. “Ya, sudah… semoga orang yang sedang kamu tunggu cepat tiba, saya permisi dulu.” Kata pria itu dan akhirnya dijawab dengan anggukan kecil oleh AemeL dan itu sempat membuat pria itu senang.
     Di perjalanan pria itu masih memikirkan gadis yang duduk di kursi halte bis dengan sepasang tongkat seolah sedang menunggu pangerannya datang menjemput. Wajah itu manis juga. Pikirnya hingga tanpa sadar terukir seulas senyum dari balik helmnya.
     Sementara Julia dan Wowor keliling mencari AemeL nyaris seharian. Wowor yang belum istirahat dan Julia yang cemas. Beberapa telepon masuk tidak ia angkat, sekarang mobil Wowor sedang terparkir di ujung jalan seolah tidak tahu lagi harus kemana.
     “Anda bilang akan menemukannya…” suara Julia serak.
     “Kita akan lapor polisi.” Usulnya.
     “Tidak.” Tegas Julia. “Aku akan terus mencarinya sampai ketemu.” Ia bermaksud membuka pintu mobil tapi tangannya langsung ditarik oleh Wowor. “Kamu harus makan dulu, dari pagi kamu belum makan.”
     “Anda pikir aku bisa makan sebelum melihat AemeL?”
     “Ya, Tuhan. Julia…. Kamu boleh-boleh saja memikirkan AemeL tapi kamu juga harus memikirkan kesehatan kamu.” Hela Wowor.
     “Anda tidak akan mengerti, lepaskan tangan saya.” Pintanya.
     “Tidak. Aku tidak akan melepaskanmu.”
     “Lepaskan!”
     “Tidak!” Wowor bersikeras. Ia tahu gadis itu sedang khawatir dan lelah juga lapar, Wowor juga tidak bisa menyembunyikan kelelahannya membawa mobil di tengah-tengah kemacetan lalu lintas.
     “Apa sih peduli Anda?!” Julia merasa sedang ditahan.
     Wowor melepaskan tangan Julia sambil berkata. “Aku peduli sama kamu karena aku mencintai kamu, aku tidak ingin kamu sakit. Puas kamu mendengar pengakuan itu?”
     Julia terdiam, ia menurunkan tangannya perlahan seolah tidak punya tenaga lagi, jangankan beranjak dari dalam mobil mengangkat wajahnya saja ia tidak kuat lagi. Ia ingin sekali menangis, di sini lain ia kehilangan AemeL dan di sini Wowor mengutarakan perasaanya. Julia tidak bisa bicara apa-apa lagi karena kata-kata Wowor seakan menohok titik lemah di hatinya. Wowor menunggu reaksi Julia agak lama dan detik berikutnya Julia menatap pria itu dengan keberanian yang susah payah ia kumpulkan.
     “Anda baru kenal saya beberapa minggu ini, gampang sekali Anda mengucapkan kata-kata itu. Asal Anda tahu ya, saya rela kehilangan Anda daripada AemeL. AemeL adalah sahabat saya sudah hampir puluhan tahun, jadi…” Julia tidak bisa meneruskan kata-katanya. Wowor menarik napas panjang.

~ ~

     Pukul lima lebih, pria itu lewat lagi di halte bis itu entah masih ingat gadis itu atau memang ia harus pulang melewati jalan itu. Dan ia terkejut karena gadis itu masih berdiam di tempat ia duduk tadi pagi. Pria itu buru-buru turun seakan menyadari ada yang tidak beres. Ia memegang pundak AemeL.
     “Kamu, apa dari tadi pagi kamu belum beranjak dari tempat ini? Apa orang yang kamu tunggu belum juga datang?” tanyanya dengan datar namun mengandung kecemasan yang tinggi karena melihat kondisi tubuh gadis itu sudah sangat melemah dan bersandar pada sandaran kursi. AemeL menatap pria itu tapi tidak bicara apa-apa. “Kamu… aduh, apa kamu lupa jalan pulang?” ia mengira gadis itu tidak bisa bicara.
     “Emmm… tidak, tapi aku… aku benci dia.”
     Pria itu berpikir kalau wanita itu sedang bertengkar dengan suaminya atau saudaranya. “Wajah kamu pucat sekali, dan…” ia memegang tangan AemeL. “Tangan kamu dingin, kamu harus pulang, biar aku antar…”
     “Tidak. Aku tidak mau pulang.” Suara AemeL bergetar karena lemah, seharian ini ia tidak makan apa-apa.
     “Kamu harus pulang, sehebat apa pun pertengkaran dengan saudara atau pada orang tua, kamu tidak boleh seperti ini. Mereka pasti mencari kamu. Ayo…. Aku antar, lihatlah sebentar lagi akan gelap. Kota ini sangat kejam… aku tidak mau terjadi apa-apa pada dirimu.” Sebelum membawa AemeL pulang pria itu membelikan sebotol susu coklat untuk memulihkan tenaga AemeL yang lemah agar ia tidak jatuh dari boncengan motornya. Sebentar saja AemeL sudah ada di belakang tubuh pria itu, tanpa sadar ia memeluk tubuh pria itu dengan sangat erat karena takut jatuh dan sekaligus rasa dingin yang tak tertahankan.
     Tidak sampai sepuluh menit AemeL sudah tiba di apartemen yang tidak dikunci oleh Julia waktu pergi. Pria itu membawa AemeL ke dalam, sejenak ia mengamati suasana apartemen dan menurutnya sangat nyaman sebagai tempat tinggal. Tubuh AemeL yang sudah sangat lemah apalagi kondisi kakinya yang masih parah membuat pria itu menggendongnya ke atas tempat tidur.
     “Kamu di sini tinggal sama siapa?”
     “Kakak saya.” Sahut AemeL dengan nada yang seakan tenggelam oleh kelelahannya.
     Pria itu meletakan tongkat AemeL di sini tempat tidur. “Istirahatlah, aku akan di sini sampai kakakmu pulang.” Ujarnya.
     “Terima kasih.” Kini pria itu hanya melihat mulutnya yang terbuka tanpa  bisa mendengar suara AemeL  yang sudah sangat kecapean. Sejenak ia mengamati AemeL namun AemeL sudah memejamkan matanya. Setelah menyelimuti tubuh AemeL ia keluar dari ruangan itu. Di ruang depan ia menyimak semua sudut, tidak ada satupun foto yang terlihat atau sebagai tanda pemilik apartemen. Ia melirik jam tangannya, sudah pukul enam lewat. Cepat sekali waktu berlalu pikirnya. Pria itu bermaksud keluar untuk bertemu orang atau satpam apartemen atau siapapun, karena ia harus pulang tapi ia tidak bisa meninggalkan AemeL sendirian di dalam dengan kondisi sakit kaki dan lemah. Saat ia ingin membuka pintu sudah keburu terbuka dari luar. Seorang wanita dan pria muncul dari balik pintu.
     “Kamu! Kamu siapa?” Julia langsung bertanya.
     “Mmm….” Sebelum pria itu menjawab Julia sudah berlari ke kamar tidur dan melihat AemeL sudah tertidur. Ia lega tapi ia harus bertanya pada pria yang di depan itu. Ia berbalik. Pria itu sudah duduk di sofa bersama Wowor.
     “Dia yang menemukan AemeL.” Kata Wowor sebelum Julia melontarkan pertanyaan.
     “Di mana?”
     “Tidak penting dimananya? Yang penting sekarang AemeL sudah kembali.” Wowor tidak menceritakan seperti yang pria itu jelaskan tadi. Ia tidak ingin Julia tambah sedih.
     “Terima kasih.” Ujar Julia akhirnya.
     “Ya, sama-sama. Semoga kalau bertengkar lagi dengan adik sendiri tidak sampai terulang lagi kejadian seperti hari ini.” Tambah pria itu.
     “Apa maksud Anda?”
     “Sudahlah.” Wowor menengahi. “Kamu istirahatlah, biar kami pulang.” Ia melirik pada pria baik yang sudah membawa AemeL kembali ke apartemen. Pria itu mengerti apa yang harus ia lakukan, sepertinya ada urusan keluarga yang belum selesai, pikirnya.
     “Baiklah, sampaikan salam saya, kalau ia sudah bangun nanti.” Ujarnya kemudian.
     Julia lagi-lagi menghela napas lega setelah kedua pria itu pergi dari apartemen, ia ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya karena seharian ini ia belum mandi. Beberapa menit berikutnya ia ke depan untuk mengambil kunci pintu dan menyimpannya agar tidak dapat dicari oleh AemeL, ia tidak ingin AemeL kembali pergi. Setelah merasa semua beres baru ia kembali ke kamar di mana AemeL terlihat masih tertidur dengan begitu pulasnya. Julia naik ke atas tempat tidur dan duduk di dekat kepala AemeL. Ia mengusap kening AemeL dengan lembut.
     “Ae, jangan pernah mengulang lagi seperti kejadian hari ini, kamu membuat aku seperti orang gila karena seharian mencarimu. Kamu tidak pernah mengerti kalau aku sangat menyayangimu, aku mohon jadilah wanita baik dan seperti kata pria itu tadi, aku tidak mau menjadi kakak atau adikmu sebab aku hanya ingin menjadi sahabatmu sampai aku mati.” Guman Julia dengan pelan seolah takut membangunkan AemeL yang terlelap. Julia yang merasa lelah akhirnya membaringkan tubuhnya, sejenak sosok Wowor melintas di pikirannya tapi hanya sepintas sebab Julia sudah sangat mengantuk.
     Sekitar pukul sebelas malam AemeL seperti orang berguman dan berkali-kali memanggil-manggil nama Julia membuat Julia membuka matanya. Saat Julia melihat AemeL ternyata gadis itu masih tidur dengan mata tertutup sangat rapat tapi lagi-lagi ia memanggil nama Julia.
     “Julia…. Julia…. Jangan meninggalkan aku, jangan pernah meninggalkan aku.”
     Ia mengigau pikir Julia. Kali ini gadis itu menggerak-gerakkan tangannya dan tetap mengeluarkan kata-kata seperti itu, dan Julia melihat ada air mata keluar dari sudut mata AemeL. Julia merasa ada yang tidak beres, ia meraba kening AemeL dan sangat terkejut karena suhu badan AemeL panas sangat tinggi.
     “Ya Tuhan, dia demam.” Julia melompat dari tempat tidur menuju lemari es untuk mengambil air dingin lalu sebuah mangkuk, terakhir sebuah handuk kecil. Detik berikutnya ia sudah ada di sebelah AemeL yang masih saja mengigau. Julia membasahi handuk kecil itu, memerasnya lalu meletakkannya di atas kening AemeL. Belum sampai satu menit ia mengulangnya lagi karena AemeL masih mengigau. Julia tidak bisa menahan air matanya karena melihat ada air mata AemeL yang jatuh di sudut matanya, ia mengusap air mata itu. “AemeL, jangan seperti ini. Aku tidak tahan melihatmu seperti ini.” Gumannya lalu memeluk tubuh gadis itu, hawa panas dari badan AemeL terasa seakan membakar hati Julia.
     “Juliaaa…” kini suara itu terdengar sangat melemah. Julia mengangkat tubuhnya untuk menatap AemeL yang ia kira sudah terjaga namun gadis itu masih dengan mata terpejam. Sekali lagi Julia mengompresnya, lalu ia menempelkan punggung tangannya pada leher AemeL setelah itu ia menghela napas sedikit lega karena panas pada tubuh AemeL sudah jauh menurun. Julia masih tetap terjaga dan sekali-kali tetap mengganti air kompres agar AemeL benar-benar sembuh.
     Sejenak Julia mengamati keadaan sekeliling, tak pernah terbayangkan sebelumnya akan berada di tempat itu dan menemani AemeL yang sakit terkadang membuat hatinya ketar-ketir karena takut terjadi apa-apa pada gadis itu. Jarum jam di dinding sudah menunjukkan pukul dua belas lewat. Kembali ia menoleh pada wajah AemeL, gadis itu kini sudah terlihat lebih tenang. Tanpa bisa Julia pungkiri saat ini ia sangat merindukan sosok Wowor ada di sisinya dan memberikan kekuatan pada dirinya. Julia akhirnya berbaring dengan menghadap ke wajah AemeL karena ingin berjaga-jaga kalau-kalau gadis itu panas lagi. Denting jarum jam terus berjalan seolah meninabobokan Julia yang lelah hingga ia tertidur dalam posisi melingkar dan wajah tetap menghadap ke arah AemeL.
     Sebelum pagi AemeL terbangun karena merasa sangat lapar, ia heran karena di keningnya ada handuk kecil yang masih lembab. Ia melirik ke meja kecil di mana sebuah mangkuk berisi air masih di sana. Ia melepaskan handuk dari atas keningnya. Di sebelahnya Julia tertidur seperti kelelahan membuat AemeL menarik napas dalam-dalam, ia ingat kejadian seharian kemarin dan pria yang tidak ia kenal membawanya pulang, setelah itu ia tidak ingat apa-apa lagi. AemeL mengambil buku dari bawah tempat tidurnya, sebelumnya ia menyelimuti Julia. AemeL mulai menuliskan sesuatu di
bukunya..

     Tinta emas….
Sungguh aku masih tidak mengerti rahasia apa yang Julia sembunyikan,
Tapi meskipun demikian, apa pun yang terjadi pada kami sebelumnya… aku ingin sekali menjadi sahabatnya.
Tuhan… lindungilah Julia, sembuhkanlah ingatanku agar semua teka-teki ini terjawab, amin.

     Perut AemeL berbunyi dan AemeL kembali meletakkan bukunya di bawah tempat tidurnya, ia ingat dari kemarin belum makan apa-apa selain minum susu coklat yang diberi oleh pria asing itu, AemeL meraih tongkat yang ada di sisi sebelah kirinya dan perlahan bangkit, ia berputar mengelilingi tempat tidur untuk mendekati Julia, ia mendekati wajahnya pada Julia lalu sekilas ia mencium pipi Julia begitu lembut seolah ingin mengucapkan terima kasih pada gadis itu. Setelah selesai ia berguman.
     “Maafkan semua kesalahanku, kondisi seperti ini membuat aku seperti orang putus asa. Apa pun yang terjadi aku tidak akan pernah pergi lagi, Julia.” Perlahan AemeL membawa kakinya keluar dari kamar dengan terseok-seok ia mencari sesuatu di dalam lemari es. Ada dua sachet bumbu nasi goreng ia meraihnya lalu melirik rice cooker, apakah ada nasi di dalam sana? Pikirnya. Ternyata nasinya tidak lebih dari satu porsi saja tapi AemeL tetap menggorengnya dan akan berbagi dengan Julia nanti.
     Setelah selesai dan meletakkan hasil pekerjaannya ke dalam dua piring kecil Julia muncul dari kamar dan tentu saja kaget melihat AemeL sudah ada di sana. Ia langsung menghampiri gadis itu karena semalam ia diserang demam tinggi, ia tidak ingin hal itu kembali menimpa AemeL.
     “Maaf, aku terbangun karena lapar.” Kata AemeL yang merasa Julia terbangun karena suara berisik yang ia timbulkan dari dapur. AemeL mengangkat satu piring untuk ia bawa ke meja tapi langsung diambil oleh Julia untuk membantunya membawa ke atas meja. AemeL diam dan tak menolak Julia membantunya karena ia masih membutuhkan dua tongkat untuk berjalan mendekati meja. Setelah duduk di kursi Julia langsung meraba kening AemeL sekilas ternyata memang sudah tidak panas. AemeL menyimak Julia yang tidak mengeluarkan satupatahkatapun. Berikutnya Julia mengambil gelas dan mengisinya dengan air tawar lalu meletakkannya di meja untuk AemeL, selanjutnya ia membuat kopi dan tidak sampai dalam hitungan menit ia sudah mengambil pakaian kotor untuk dimasukkan ke dalam mesin cuci. Sedangkan AemeL sudah menikmati nasi gorengnya karena perutnya sudah sangat lapar. Julia masih tidak bisa diam, ia kembali ke kamar untuk merapikan tempat tidur lalu keluar lagi membuka jendela, udara dingin masuk lewat jendela, di luar cahaya belum bisa dibilang terang. Semua yang Julia lakukan tidak pernah lepas dari mata AemeL.
     AemeL bergerak ke arah tempat cucian piring saat Julia sudah berdiri di sana. “Biar aku saja.” Ujarnya.
     “Jangan.” Tolak Julia.
     AemeL melirik bekas luka di ibu jari Julia lalu langsung mengambil gelas dari tangan Julia. “Sudah aku bilang, biar aku saja. Aku bisa melakukannya karena aku bukan wanita lumpuh.” Tekannya membuat Julia marah.
     “Apa maksud kamu?” kata Julia.
     “Aku tahu kamu bukan orang yang seperti saat ini.” Sahut AemeL tanpa menoleh pada Julia. “Kamu berusaha menjadi orang lain.” Mendengar ucapan AemeL membuat Julia menjatuhkan gelas dari tangannya ke bak cucian memaksa AemeL menoleh dan menatap gadis itu. “Kenapa? Apa aku salah? Kamu tidak bisa membohongi aku, Jul. aku tidak tahu apa profesi kamu tapi yang jelas kamu bukan orang dapur yang terbiasa dengan bau asap, membilas gelas atau piring kotor. Berapa pembantu kamu  di rumah? Dua? Tiga atau empat?” sergah AemeL. “Apa pun yang telah terjadi antara kamu dan aku, aku tidak mau kamu mengubah karakter kamu, aku ingin kamu menjadi diri sendiri. Apa kamu pikir aku suka dalam kondisi seperti ini? Ditemani orang yang tidak aku kenal dan rela melakukan apa saja, yang mungkin tidak pernah ia lakukan sebelumnya? Aku benci diriku dan juga kamu…..” kalimat terakhir itu terdengar seperti penyesalan dan suaranya serak. “Aku benci kamu…….” Kali ini tongkat AemeL terjatuh dan ia ikut merosot dan terduduk di lantai. Julia mengikutinya ke lantai dan menatap wajah AemeL yang sudah menangis di sana. Semua yang dikatakan AemeL memang benar adanya, Julia memang paling benci dengan yang namanya pekerjaan yang ada di dapur apalagi mencuci segala perabotan kotor. “Aku benci kamu.” Ulang AemeL nyaris terisak.
     “Apa kamu pikir aku tidak benci kamu? Aku bahkan sangat membenci kamu, tapi setiap kali rasa benci itu muncul rasa sayang itu melebihi apa pun. Kamu…. Kamu…” Julia ikut menangis.
     “Tapi kenapa kamu mau melakukan semua ini? Kenapa?”
     “Aku tidak tahu…” Julia menggeleng-gelengkan kepala dengan suara ikut serak, keduanya sudah saling menangis.
     “Tinggalkan aku, Julia… tinggalkan aku….” Kini suara AemeL seperti berteriak tapi tidak bisa keluar dengan keras karena dadanya seakan terasa sangat sesak.
     Julai memegang wajah AemeL yang sudah basah dengan air mata seperti halnya dengan dirinya. “Tidak….. AemeL, aku tidak akan meninggalkanmu.” dan akhirnya ia memeluk tubuh AemeL sangat erat karena tidak bisa bicara apa-apa lagi dan kedua gadis itu menangis bersama sampai sesunggukan. Beberapa saat kedua gadis itu menghabiskan waktu untuk saling berbagi kehangatan, itu pertama kali mereka merasakan kasih sayang seorang sahabat sejak AemeL lupa ingatan tapi tetap saja Julia belum bisa menjelaskan siapa dirinya yang sebenarnya. Udara pagi menyegarkan ruangan apartemen mereka meski sempat dihiasi dengan air mata namun telah hadir rasa saling peduli diantara keduanya.

**


Cinta datang dari Musuh

     Sore itu, pria asing itu datang lagi ke apartemen AemeL dan Julia. Ia bertemu dengan Julia karena AemeL sedang istirahat di kamar, tidur karena habis minum obat.
     “Aku tidak tahu apa yang membawa aku kembali ke tempat ini?” katanya pada Julia setelah Julia meletakkan segelas kopi di hadapannya.
     “Tidak apa-apa, sekali lagi saya harus mengucapkan terima kasih karena telah menemukan AemeL kemarin.” Ucap Julia karena masih terbayang ia mencari AemeL kemana-mana, ia stres karena tidak berhasil. “Silahkan diminum.” Lanjutnya.
     “Terima kasih. Mm… apa dia adik kamu?” selidiknya.
     Julia menggeleng. “Dia sahabat saya.. tapi dia sedang lupa ingatan.”
     “Apa?” pria itu kaget sekali. Julia mengangguk mengiyakan pernyataanya. “Dia masih kuliah atau bekerja?”
     Julia merasa tidak pantas menceritakan hal lebih jauh tentang sahabatnya pada pria asing itu dan dia memang tidak ingin menjelaskan lebih dari itu.
     “Kakinya cacat, apa dia pernah jatuh?” tetap saja pria itu ingin tahu banyak. “Namanya AemeL, kan?”
     “Silahkan diminum dulu kopinya, nanti keburu dingin.” Julia coba mengalihkan topik pembicaraan. Pria itu mengikuti apa yang diminta Julia dengan mencicipi kopi yang telah dihidangkan untuknya. Sebenarnya pria itu ingin sekali bertemu dengan AemeL, sejak kemarin ia merasa ada hal yang membuatnya tertarik dengan gadis itu.
     “M… dia sudah lama tidur? Maksud saya, apa dia tidak apa-apa?”
     “Dia baik-baik saja, sekali lagi terima kasih karena telah mengkhawatirkannya.” Ucap Julia karena ia memang sangat berterima kasih pada pria itu. Pria itu mengangguk-anggukan kepalanya.
     “Saya, nama saya Teguh, Teguh Tebolai.” Akhirnya pria itu memperkenalkan dirinya. Julia mengangguk dan sepertinya ia pernah melihat pria itu sebelumnya tapi ia tidak tahu di mana dan kapan. Julia coba menepis dugaan itu, ia pasti berhalusinasi sebab banyak orang yang memiliki wajah yang nyaris mirip, pikirnya. “Baiklah, saya permisi.” Ujarnya karena sudah hampir maghrib.
     Dan anehnya, keesokan harinya pria itu datang lagi dan bertemu dengan Julia di parkiran apartemen sesaat setelah Julia bertemu dengan pak satpam untuk mengatakan seandainya satpam melihat AemeL pergi sendiri harus dicegah. Julia tidak membawa pria itu masuk dan mereka hanya ngobrol di bangku yang ada dekat parkir. Julia menyimak motor besar pria yang bernama Teguh itu, lampu sign sebelah kirinya patah dan terkulai. Teguh mengikuti arah mata Julia.
     “Masih bisa menyala, aku belum sempat membawanya ke bengkel.” Jelas Teguh. “Tidak tahu kapan patahnya dan mengenai apa.” Tambahnya. “Saat itu, tengah hari aku naik motor seperti orang gila….” Ia berhenti sejenak seakan tidak ingin mengingat kejadian pahit hari itu. “Aku anak bungsu dari dua bersaudara, hari itu ibuku meninggal dan aku tidak sempat ada di sisinya saat terakhir ia menutup mata dan aku bahkan tidak memiliki pesan terakhir darinya.” Nada bicara pria itu mulai terdengar lirih. Ia terlihat masih sangat berduka. Julia terdiam lama, hening. Lalu sesaat kemudian Julia seperti tersentak seolah ingat dengan kejadian naas itu.
     “Kapan ibumu meninggal?”
     “M… beberapa minggu yang lalu, belum juga genap empat puluh hari.”
     “Apakah hari itu adalah hari kamis?”
     Teguh menatap Julia agak lama lalu. “Ya, kenapa kamu bisa tahu?” helanya.
     “Berarti, kamu… kamulah si penabrak itu.” Julia langsung berdiri. Teguh mengikutinya dengan bingung.
     “Apa maksud kamu, Julia?”
     “Kamu pasti yang menabrak AemeL dan mengakibatkan kakinya patah dan ia mengalami amnesia.” Kata Julia dengan nada bergetar.
     “Apa? Apa maksud kamu?” kata Teguh merasa tidak melakukan itu, kata-kata Julia membuatnya kaget namun akhirnya ia terdiam seolah menyadari sesuatu. Siang itu ia memang berbelok ke arah kiri tanpa memikirkan ada orang lain di depannya. Ia menyalip lalu tancap gas ke kiri sebelum melesat ia sempat merasakan motornya agak goyang. Ia menatap mata Julia dengan seksama. “Em… apakah waktu itu AemeL mengendarai motor?” katanya kemudian.
     “Ternyata kamu… kamu orangnya.” Julia menggeleng-gelengkan kepalanya menahan emosi. “Pergilah, kamu tidak perlu lagi datang-datang ke sini. Aku mohon kamu pergi.” Ujar Julia yang sudah bisa memastikan kalau Teguh-lah orang itu.
     “Julia.” Teguh meraih tangan Julia yang ingin berbalik meninggalkannya. “Aku mohon jangan bersikap seperti ini. Asal kamu tahu bahwa tidak ada yang kebetulan di dunia ini, percayalah. Apa pun yang telah terjadi aku minta maaf.” pintanya dengan sungguh-sungguh. “Aku akan bertanggung jawab.”
     “Kamu tidak perlu minta maaf  sama aku, aku turut berduka cita atas kepergian ibumu tapi kamu…., sekali lagi aku mohon jangan pernah lagi datang ke sini dan menemui AemeL.” Kali ini Julia benar-benar meninggalkan Teguh di tempat itu. Teguh hanya bisa menarik napas dalam-dalam  lalu melirik arlojinya. Dia harus ke kantor.
     Di perjalan tak henti-hentinya ia memikirkan apa yang telah terjadi dan pengakuan Julia mengatakan kalau dia adalah yang menabrak AemeL seperti orang pengecut atau disebut dengan tabrak lari, tidak bertanggung jawab. Jika benar ia yang menabrak AemeL maka Teguh tidak bisa memaafkan dirinya apalagi mengingat AemeL yang waktu itu duduk seharian di halte bis, karena mengalami amnesia belum lagi kakinya patah. Teguh meninju stang motornya karena kesal.
     Di kantor Teguh mencari nama AemeL di internet dan jejaring sosial apa saja.. beberapa menit ia telah menghabiskan waktunya tapi tidak juga berhasil. Tidak ada satupun wanita yang bernama AemeL. A… Ae.. tapi bukan AemeL, yang ada nama AL. Sadei. Ia meng-klik nama itu lalu muncullah profil lengkapnya. Seorang penulis berbakat, lahir di Palembang dua puluh tujuh tahun yang lalu. Telah merilis beberapa judul novel dan yang sedang beredar adalah novel dengan judul ‘Sebuah Rahasia.’ Yang diterbitkan oleh penerbit besar dari Jawa Timur. Teguh menyimak nomor telepon dari penerbit. Detik berikutnya ia menghubungi nomor tersebut dan diangkat oleh seorang wanita.
     “Ya, selamat pagi.”
     “Penerbit Mandiri?” tanya Teguh.
     “Ya, mau bicara sama siapa, ya?”
     “M… saya mau tanya Mbak? Apa AL. Sadei seorang penulis yang menerbitkan novel-novelnya di sana? Kalau boleh tahu, apakah itu nama aslinya atau nama Pena?”
     “Aduh, kami tidak bisa memberitahukan hal itu karena itu permintaan dari klien kami. Kami menjalani semua sesuai prosedur. Kalau boleh tahu ini siapa, ya?”
     “Saya Teguh. Teguh Tebolai. Saya berharap sekali kalau Mbak bisa bantu.”
     “Teguh Tebolai? Seorang reporter di salah satu televisi swasta itu?”
     “Betul, Mbak.”
     “O, tapi maaf Mas, kami tetap tidak bisa bantu. Nanti kami akan mengkonfirmasi pada penulisnya, ya.”
     “Oke. Terima kasih sebelumnya.”
     ‘Hmmm… AemeL Baes ternyata lama juga semedinya sampai ada yang mencarinya ke sini.’ Guman Mitha yang ia tahu AemeL sedang berlibur atau memang sedang tidak ingin diganggu.
     Sekali lagi Teguh menelusuri profil AL. Sadei. Semua foto yang tertera adalah foto penggemarnya, ada yang memegang novel lalu beberapa komentar di bawahnya serta gambar-gambar cover novel.  Teguh terhenti di foto yang satunya di mana seseorang sedang berdiri dengan wanita itu yang memperlihatkan novel lagi. Wanita yang satunya adalah AemeL Baes. ‘AemeL Baes adalah namanya.’ Guman Teguh. Ia mencari nama itu di facebook tapi tidak berhasil ditemukan. Lalu ia membuka akun Twitter, menit berikutnya ia mendapatkan nama pemilik dengan nama tersebut. Teguh masih sangat penasaran ia terus menelusuri, tidak satupun ia menemukan foto AemeL Baes. Di profil tertulis nama. Pekerjaan free lance, tinggal di Jakarta. Follower tidak lebih dari tujuh ratus orang, mengikuti beberapa ratus antaranya novelis Indonesia, para motivator dan beberapa artis.
     Teguh kembali ke facebook AL. Sadei dan melihat statusnya, lajang tapi sedang menjalin hubungan dengan seseorang, untuk beberapa detik Teguh kecewa. Saat itu orang bagian staf mendatangi meja Teguh.
     “Hai, Guh….?”
     “Ya.” Teguh mengangkat wajahnya dari layar laptopnya.
     “Besok ada tugas keluar kota, siap ya?” ujar wanita tiga puluhan itu. Dialah senior Teguh yang sangat peduli dengan Teguh.
     “Aduh, gimana ya?”
     “Eit, sejak kapan kamu menolak tugas?” ujar wanita itu dengan gaya dibuat-buat tegas.
     “Aku akan keluar kota kalau sudah melewati empat puluh hari, bagaimana?” Teguh minta pertimbangan.
     “Kalau ada gantinya aku juga tidak akan meminta kamu.” Jelas seniornya tidak punya pilihan. “Cuma empat hari, oke.” Ia coba memaklumi dan tidak mau dianggap tak punya toleransi.
     “Baiklah.” Teguh menyerah meski merasa berat. Disamping karena ibunya ia juga ingin menemui AemeL dan mengatakan kalau dia-lah yang telah membuatnya celaka.
~ ~

     Julia tidak habis pikir kalau Teguh tidak menyadari telah menyenggol motor orang dan mengakibatkan AemeL seperti saat ini. Keterlaluan sekali! Gumannya.
     Tanggung jawab seperti apa yang akan diberikan Teguh sama AemeL? Jangankan ngotot untuk bertemu lagi, bahkan sudah beberapa hari ini ia tidak ada kabarnya lagi. Julia merasa itulah orang Jakarta, bicara selalu manis namun tidak pernah sesuai dengan prakteknya.
     Sedangkan Wowor yang jelas-jelas sudah mengatakan menyukai Julia tidak pernah ada kabarnya lagi. Ponsel yang satu tidak pernah menyala lagi sedang BB sudah hancur berkeping-keping di tangan Julia. Julia jadi tersenyum sendiri mengingat semua itu. ‘Maaf Wor, tidak ada maksudku untu merugikanmu.’ Batinnya.
     AemeL menjadi sangat pendiam sekarang, ia bahkan tidak pernah mau memikirkan lagi siapa Julia. Ia hanya fokus dengan kesembuhan kakinya agar bisa berjalan lagi tanpa menggunakan tongkat.
***

Julia oh Julia

     Reema jadi keteteran saat ditanyakan oleh anak buah Julia yang lain mengenai keberadaan Julia. Kalau dengan urusan keluarga tidak begitu bermasalah sebab Julia itu memang sudah hidup mandiri dan jarang juga bertemu dengan keluarga besar, kadang sebulan sekali bahkan dua bulan sekali jadi mengenai kehilangan Julia yang nyaris sebulan ini belum begitu heboh di dalam keluarga.
     ‘Reema, aku harus pergi… untuk sementara semua urusan toko aku serahkan sama kamu. Aku tidak bisa memberitahumu kemana aku pergi, nanti setelah pulang aku ceritakan semuanya. aku percaya padamu. Terima kasih.’
     Itu BBM yang masuk terakhir kali ke BB Reema. Yang menjadi pertanyaan Reema, kemana gadis itu pergi? Sepertinya ia tidak punya masalah serius yang harus dihindari. Julia juga tidak punya hutang di bank apalagi pada rentenir tapi mengapa BB-nya tidak aktif? Berkali-kali Reema memeras otaknya untuk mencari tahu di mana keberadaan bosnya itu. Sedang barang di toko hanya tinggal satu dua saja karena nyaris dua bulan tidak diisi. Reema hanya berpesan pada teman-temannya agar menjual semua barang yang ada di toko dan uangnya dikumpulkan.
     “Kita jual saja yang ada dulu, mungkin seminggu ke depan toko ini bisa diisi dengan barang yang lebih banyak jadi kita tidak selalu mengatakan pada pelanggan, ini habis, ini juga habis. Karena kata-kata seperti itu paling tidak aku sukai. Julia sedang pergi karena ada urusan yang tidak bisa ia tinggalkan dan aku tidak bisa memberitahukannya pada kalian. Yang penting gaji kalian bulan ini tetap dibayar full.” Jelas Reema pada temannya saat mereka kumpul malam itu ti toko utama. Reema sebenarnya tidak begitu yakin apakah bulan depan toko masih bisa dibuka atau benar-benar tutup untuk selamanya.
     ‘Aduh, Julia Julia… kamu ke mana sih?’

~ ~

     Wowor seringkali menjadi tidak fokus bekerja sejak bertemu dengan Julia, gadis itu sudah menyerap sebagian  ketenangan jiwanya. Yang tidak dia habis pikir Julia itu agak emosional, suka meledak-ledak dan ponsel sepertinya bukan barang penting baginya. Wowor menjadi tersenyum, bukan hal aneh kalau ada wanita yang seringkali mengatakan perasaannya duluan padanya tapi Julia sangat berbeda, terkadang tak sebelah matapun ia memandang Wowor, ia bahkan menyebut Wowor dengan  ‘Anda’
     ‘Dia memang berbeda, aku suka dia.’
      
***
Sahabat

‘Apakah aku salah? Mengambil tindakan meninggalkanmu karena aku sangat menyayangimu. Setelah kau mengatakan betapa sangat kecewanya dirimu atas penjelasan yang aku paparkan, sedang kamu sendiri yang memintaku untuk berkata jujur. Menurutmu, bersahabat itu harus saling terbuka…  Tidak boleh saling tersinggung, Saling mengerti, Saling jujur, menyangkut apa pun itu. Semua kejujuran itu telah kau dengar dari mulutku, yang tadinya tidak sanggup aku utarakan…. Tapi kau memaksaku sampai mengancam untuk bertanya pada orang lain… padahal orang lain tidak tahu apa-apa. Sungguh aku tidak sanggup menyampaikannya padamu, tapi kamu memaksa Dan kita telah berjanji sebelumnya bahwa tidak boleh ada yang disembunyikan/rahasiakan dalam persahabatan kita. Hanya itu yang aku ingat… Dengan tanpa berpikir panjang…. Kejujuran yang seharusnya tidak boleh kau dengar itu terlontar juga… tadinya aku pikir itu semua demi kebaikanmu, karena aku sayang kamu. Namun setelah mendengar semua itu, kamu berubah… Yang selama ini setiap hari menyapa baik lewat telepon atau pun pesan singkat… namun sejak itu tak lagi ada satu kata pun kudengar darimu, Hampir setiap hari aku menyapamu ‘Say Hello’ tanya kabar atau memberi ucapan apa saja.. tapi aku tak pernah mendapat respon lagi darimu. Itukah yang kamu sebut ‘persahabatan kita sangat kuat, dan tidak akan hancur kalau kita berdua sama-sama tidak menginginkannya hancur?’ Selama ini, aku masih bertahan…. Karena aku pikir tidak akan hancur kalau hanya kamu yang menginginkannya hancur. Sekali lagi aku mengatakan, Aku tidak tahan lagi menikmati situasi yang tidak nikmat ini.. Dan…. saat itulah aku mendapat jawaban darimu, Kamu menjelaskan semuanya, Mengatakan aku telah membuatmu sangat kecewa.’

AemeL : “Sudahlah… jangan terlalu dinikmati, aku hanya butuh waktu atas betapa kecewanya aku sama kamu. aku kecewa sama orang yang menyampaikan itu sama kamu, tapi aku tahu kekurangan dan kebodohan orang itu.. semua sudah tahu dia. Jadi aku sangat memakluminya. Tapi kamu….?! Kenapa kamu lakukan itu? Itu namanya sayang…? Itukah namanya menjaga? Itukah namanya menghargai? Bukan sama kamu saja dia ceritakan hal itu, pada semua orang ia katakan hal yang sama… tapi semua orang tahu dia dan aku. Jadi satupun tak ada yang nyampain ke aku. Tapi kamu………?!! aku jadi makin ga paham sama kamu, aku jadi asing sendiri. Padahal aku tahu omongan itu tanpa kamu sampein ke aku. Tapi saat kamu mengatakannya, aku bukan sedih dengan penyampain ucapannya. aku kecewa sifat kamu, kenapa kamu begitu tak bijaksana sih…? Mengapa kamu mendiskriminasi aku? Seharusnya kamu lindungi sahabatmu. Kenapa aku beranggapan  seolah-olah kamu mendorong aku ke jurang tanpa bertanya apa kesalahanku. aku cuma butuh waktu menerima kekuranganmu itu, tak ada benci di hati.”

Julia : “Oh, begitu? Jadi di sini kebodohanku karena penyampaian itu? kamu yang maksa aku mengatakan semua apa yang orang itu katakan. aku nggak bisa bohong sama kamu, karena diawal persahabatan kita sudah berjanji tidak boleh ada yang disembunyikan apa pun itu, karena sahabat yang baik tidak selalu mengiyakan kebaikan saja. Jika kejujuran aku membuat kamu kecewa, meski aku nggak pernah bermaksud membuat kamu kecewa. Aku memang ga bisa terima kata-kata orang itu, karena menurut aku sangat tidak etis. Aku emosi. Jika kamu tahu semua apa yang orang itu katakan sama aku, mengapa saat itu kamu marah besar saat aku gak mau cerita karena tidak sanggup menyampaikannya sama kamu…??? Sampai kamu ngancam ke aku untuk bertanya sama orang lain yang kamu kira aku cerita ke orang yang nyatanya tidak tahu apa-apa. Aku nggak akan pernah maksa kamu terima aku lagi sebagai sahabatmu, hanya saja aku butuh penjelasan.”

AemeL : “Ya kalo kamu anggap itu hal benar, aku minta maaf… tak dapat memakluminya saat itu. Jadi tak ada yang salah di sini. Dia dengan sifat dasarnya aku maklumi, kamu yang jujur tak peduli dengan akibatnya…., sedang aku yang berharap tidak mendengar ucapan yang gak ngenakin dari orang yang aku sayangi. Aku paham atas semuanya. Sekali lagi, aku tak membenci di sini, aku sudah paham.”

Julia : “Setelah aku berpikir lagi…. aku hanya mo bilang, aku nggak akan membuatmu  kecewa lagi, nggak akan menyakiti kamu lagi… nggak akan pernah… karena aku nggak sanggup mendengar kamu KECEWA atas sifatku, semua ini hanya satu alasan…. Karena aku SAYANG sama kamu, untuk TERAKHIR kalinya aku mau bilang ‘Maaaaaf’kan aku.”

     (Aku sayang sama kamu makanya aku akan pergi dari hidupmu, agar kamu nggak akan pernah lagi kecewa sama aku)

     ‘Isi pesan yang meluluhlantakkan kisah persahabatan.’
     Julia menghela napas sangat dalam mengingat hal itu ia merasa begitu down karena sejak itu ia merasa kehilangan seorang sahabat yang mungkin dibilang terlalu ia sayangi dan pertemuan berikutnya terjadi setelah AemeL mengalami amnesia. Apakah ada yang lebih sakit dari itu? Tanpa sadar air mata Julia pun mengalir, akhir-akhir ini ia menjadi orang cengeng. Julia tahu kalau ia tidak pernah membiarkan siapa pun yang membuatnya mengeluarkan air mata tapi AemeL bisa melakukan itu. AemeL bukanlah sahabat pertamanya, tapi mengapa ia bisa meluluhlantakkan hati Julia, mampu membuat Julia melakukan apapun termasuk meninggalkan bisnisnya.
     “Julia…..?” itu suara AemeL memanggil Julia yang mengambil jemuran di sudut balkon. Julia menoleh pada AemeL dan wanita itu sedang menatap wajah Julia dengan seksama. “Ada yang ingin aku bicarakan.” Lanjutnya.
     Julia mendekati AemeL dan meletakkan baju di atas sofa lalu duduk di sebelah AemeL. “Hmm, aku juga sebenarnya ingin mengatakan satu hal sama kamu….” Suara Julia terhenti. ‘Ah, Tidak, aku tidak boleh mengatakan itu, mengapa aku harus menyampaikan pada AemeL siapa yang menabraknya sementara aku sendiri saja tidak bisa jujur pada AemeL. Itu sangat tidak adil.’ “Mm.. kamu saja, mau bicara apa?”
     AemeL meletakkan tongkatnya di sisi sofa lalu terdengar tarikan napas panjang dari mulutnya kemudian terdengar tawa halus. “Maafkan aku, Jul.” ia menatap Julia. “Aku sudah ingat semuanya, kita harus keluar dari apartemen ini.” Ujar AemeL seolah tidak pernah terjadi apa-apa sedangkan Julia terperangah bukan kepalang. Bukan ia tidak pernah membayangkan kalau harus berhadapan lagi dengan AemeL yang akan ingat semuanya. Julia menundukkan wajahnya seakan tidak bisa bicara apa-apa. “Sekali lagi aku minta maaf karena telah merepotkanmu, aku tidak suka tempat ini. Kalau sisa saldo di ATM-ku masih ada kita akan segera mencari tempat baru.”
     “Aku tidak menggunakan ATM-mu.” Julia menoleh pada AemeL.
     “Ya, Tuhan. Jadi kamu telah menghabiskan tabunganmu untuk semua ini dan biaya pengobatanku? Sudah berapa hari kita di sini? Sebulan atau lebih?”
     “Aku baru saja ingin menambah waktu sewa apartemen ini.”
     “Kalau kamu tidak menggunakan ATM-ku, maka kita akan jalan-jalan ke Bali, seminggu atau sebulan. Aku benar-benar tidak suka tempat ini.” AemeL mengulang lagi kata-kata terakhir itu. “Mm.. bagaimana kabar pak dokter? Dia menyukaimu, aku bisa melihatnya.”
     Julia berdiri, meski ia merasa sangat kaku dengan kondisi AemeL yang sudah baikkan namun tak bisa ia pungkiri ia masih kangen sekali dengan gadis itu.
     “Duduklah kembali Jul, aku masih kangen. Aku aku… maksudku tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini termasuk aku.”
     “Apa aku masih asing di matamu?” ujar Julia akhirnya dan AemeL menggeleng-gelengkan kepalanya.
     “Aku tidak ingin membahas masalah itu, sedikitpun tidak. Aku ini sudah mengalami amnesia jadi anggap saja, memoriku baru saja dimulai lagi dari awal.” AemeL mengambil tongkatnya. “Kita ke tempat kosku yang lama, setelah itu baru kita pikirkan selanjutnya. Oya, tadi kamu mau bicara apa?”
     Julia tidak langsung menjawab, ia diam agak lama baru bisa menjelaskan. “Si Teguh.”
     “Oh, pria itu? Kenapa dengan dia?”
     “Ternyata dia yang menabrak kamu.. dan ia tidak menyadarinya.” Julia menunggu reaksi AemeL tapi AemeL diam seperti menunggu kelanjutan cerita Julia. “Katanya dia akan bertanggung jawab, tapi setelah hampir satu minggu mengetahui kalau yang tertabrak itu adalah kamu, sampai detik ini ia tidak muncul lagi.”
     AemeL beranjak dari sofa diamati Julia dengan tenang karena AemeL mulai lancar jalan dengan tongkatnya. “Oh, begitu…? Jadi dia. Aneh juga kalau ia tidak menyadarinya dan pertemuan di halte itu, apakah ada yang kebetulan di dunia ini? Sudahlah Jul, semua ini sudah diatur sama Tuhan… yang penting sekarang aku senang bisa bersama kamu lagi. Aku kangen, apa kamu tidak ingin memeluk aku? Ya kamu sudah peluk aku waktu di pojok tempat cucian piring tapi itu bukan aku, kan?”
     Julia tersenyum, perasaannya bercampur aduk, merasa lucu juga terharu. AemeL sepertinya tak akan membiarkannya jadi orang asing lalu dengan cepat ia menghampiri AemeL dan memeluk gadis itu dengan erat. “Terima kasih Tuhan, untuk semua ini.”
     “Jangan pernah bersikap konyol lagi ya, kamu jelek sekali kalau lagi mencuci piring.”
     “Sialan kamu, aku memang benci mencuci piring tapi kan aku harus melalukannya.” Sahut Julia, AemeL mengusap punggung Julia dengan penuh kasih sayang, tanpa Julia sadar kalau sebenarnya AemeL menyanyangi Julia lebih dari yang Julia tahu.
     Bel pintu terdengar sangat nyaring. AemeL dan Julia berpandangan sesaat.
     Julia bicara. “Kalau itu pak dokter, jangan singgung-singgung tentang perasaanku sama dia, Oke.”
     “Jadi benar kamu ada perasaan sama dia? Hmmm sudah kuduga.” Goda AemeL.
     “Aduh, Ae… apa sih yang bisa aku sembunyikan dari kamu kalau kamu tidak amnesia. Biar aku buka pintu dulu.” Kilah Julia.
     “Tapi kalau itu si Teguh, tolong jangan bicara apa-pun tentang aku, oke!?”
     Julia mengacungkan jempolnya. “Siiip!” ia mendekati pintu setelah terdengar suara bel kedua.
     Teguh berdiri dengan sangat gagah di depan pintu, tangannya memegang sebuah bungkusan kecil semacam kado. Ia tersenyum pada Julia.
     “Selamat sore Julia, apa kabar?... maaf aku datang lagi. Aku mohon jangan usir aku.” Pintanya serius.
     “Sangat baik.” Jawab Julia dengan santai. ‘Tumben ia nongol lagi setelah beberapa hari menghilang.’ Batin Julia.
     “M… boleh aku masuk?”
     “Silahkan.” Julia mempersilahkan pria itu masuk ke ruang tamu di mana AemeL sudah duduk kembali di sofa dengan sebuah majalah di tangan.
     “Selamat sore AemeL….. bagaimana kesehatanmu?”
     AemeL mengangkat kepalanya. “Emmm… kamu? Aku, aku sangat baik.”
     “Silahkan duduk, Guh.” Kata Julia.
     Teguh mengambil tempat duduk di sebelah AemeL lalu ia menyerahkan bungkusan itu kepada AemeL. “Untuk kamu.” Ujarnya. “Bukalah.” AemeL meraih bungkusan itu sedang Julia sudah duduk di sebelah kanannya AemeL. Ternyata sebuah novel. “Tadi aku ke toko buku, ternyata ada sebuah novel baru karya AL.Sadei. kamu pasti suka, dari sinopsisnya saja bagus banget.”
     Julia nyaris saja berujar kalau itu adalah novel terbaru dari karya AemeL tapi mulutnya terkunci karena pesan AemeL tadi.
     “Terima kasih, aku pasti suka. Sekali lagi terima kasih ya.”
     “Hmm… ada satu lagi Ae, aku… aku.” Teguh masih ragu-ragu lalu ia menoleh pada Julia yang di sebelah AemeL. Julia akhirnya menatap AemeL dan AemeL menunggu apa yang akan pria itu katakan. “Aku menyukai kamu.” Ternyata yang dikatakan pria itu tidak seperti yang Julia duga karena tadi ia pikir pria itu akan mengakui tentang insiden itu. “Aku….” Sepertinya ia belum selesai. Ia melirik ke arah kaki AemeL. “Aku menyukaimu bukan lantaran kakimu cidera karena aku, tapi aku memang benar-benar menyukaimu. 4 hari lebih tugas di luar kota tak bisa seharipun aku tidak ingat denganmu. Maafkan aku Ae, lancang dan telah membuatmu seperti ini. Maafkan aku.” Pintanya tulus dan bukan lantaran atas dasar mengemis cinta gadis itu.
     AemeL melirik ke Julia dan gadis itu hanya mengangkat kedua bahunya lantaran tidak tahu harus bagaimana. Kemudian AemeL menatap pada novel yang masih ditangannya.
     “Ini, aku yang menulisnya dan terima kasih sudah membelinya.” AemeL menoleh pada Teguh yang bengong. “Ingatanku sudah pulih, jadi…. Lupakan tentang perasaan kamu itu. Aku memang menghargai kata-kata kamu tapi untuk saat ini, aku hanya bisa bilang… terima kasih. Tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Waktu itu kamu sudah membawaku pulang dari halte, untuk itu aku harap kamu jangan pernah merasa ada acara hutang budi lantaran sudah menabrak motorku meski itu hanya kecelakaan sebab tidak ada satupun orang menginginkan mengalami kecelakaan di jalan, kan?”
     “Em, AemeL… bukan itu maksudku. Aduh…. Bagaimana menjelaskannya ya?”
     Pesona pria itu memang tak bisa AemeL pungkiri dan Julia tahu sekali pria tipe AemeL yang seperti Teguh itu. Kulit sawo matang, punya cambang tipis, tinggi dan pintar. “Maaf Guh, bukannya mengusir kamu tapi kami ada urusan yang belum selesai. Aku harap kamu mengerti dan sekali lagi terima kasih novelnya.”
     “Julia, tolong jelaskan.” Pria itu minta dukungan dari Julia. “Aku serius tentang perasaanku sama AemeL.”
     “Aku tidak bisa bilang apa-apa, Guh. Apa yang dikatakan AemeL memang benar, karena masih ada urusan yang belum kami selesaikan.” Julia sebenarnya tidak tahu mengapa AemeL bilang seperti itu, apa dia ingin menghindar dari Teguh atau ada hal lain?
***

BAB 2
Julia Hilang
     AemeL kembali ke kontrakannya yang lama meski belum bisa dibilang sembuh dari pincang akibat kecelakaan. Kehilangan Julia membuatnya lebih stres dari tak berhubungan baik selama ini. Di depan laptopnya ia mengecek semua saldo tabungannya lewat internet banking dan semuanya masih utuh dan rencananya untuk mengajak Julia berlibur ke Bali tinggal impian sebab gadis itu telah menghilang entah kemana dan tidak mungkin ia kembali ke Lampung tanpa memberitahunya sebab mereka sudah berbaikan yang mana semua kegiatan selalu mereka beritahu. AemeL melirik sebuah buku harian yang dibeli Julia waktu ia amnesia detik berikutnya ia meraih buku itu dan membukanya. Deretan tulisan tangannya dengan tinta emas terlihat rapih dan indah namun tak seindah isi dari tulisan tersebut.
     Tinta emas,
     Cobaan apalagi ini? Bulan lalu aku selalu bertanya tentang Julia pada-Mu namun setelah aku menemukan jawabannya ia kembali pergi yang memunculkan ribuan pertanyaan lagi dibenak ini! Jika ia benar sahabat sejatiku kembalikan ia padaku, Tuhan. Julia… aku percaya dimanapun kamu berada kamu tetap baik-baik saja, baik-baik saja… karena kamu adalah aku, kalau aku baik maka begitulah kondisimu, kita satu. Tuhan tahu itu?
     Di akhir kalimat terpaut tanda tanya seakan AemeL sendiri ragu kalau Julia baik-baik saja meski demikian ia tetap menanamkan keyakinan kalau sahabatnya tidak akan apa-apa. Berikutnya AemeL membuka lembaran words dalam laptopnya dan mengecek beberapa naskah yang belum selesai ia tulis namun beberapa detik ia mengamati semua itu dan tidak ada satukatapun yang bisa ia tulis hingga akhirnya ia kembali menutupnya. AemeL mengamati seisi ruangan kontrakannya, tidak ada yang berubah.
     Setengah jam berikutnya AemeL sudah ada di depan ruangan kerja Wowor, pria itu menyambutnya dengan senyum seperti kemarin-kemarin, tidak ada yang berubah sedikitpun begitupun dengan caranya menyambut kedatangan AemeL.
     “Hai, AemeL.. bagaimana kabarmu? Aku rasa tidak ada jadwal kontrolmu hari ini, ternyata…”
     “Memang tidak ada, aku kesini hanya ingin bertanya yang mungkin kamu tahu jawabannya.”
     “Tentu saja Ae, aku akan menjawab semua hal yang aku tahu menyangkut pertanyaanmu kecuali tentang keberadaan Julia.” Ujar Wowor penuh simpati namun membuat AemeL tertawa getir.
     “Justru itulah yang ingin aku tanyakan, apa ia tidak menghubungimu dalam beberapa hari ini?” tanya AemeL dengan nada datar dan dimata Wowor itu pertanyaan sangat biasa tidak ada kekhawatiran sama sekali.
     “Untuk apa kamu mencarinya? Jika ia memutuskan untuk pergi berarti ia tidak ingin dekat dengan kamu, bukankah begitu? Ngomong-ngomong bagaimana kelanjutan hubungan kamu dengan sang reporter itu?” tanya Wowor setelah AemeL duduk di depan meja kerjanya.
    AemeL kembali tersenyum. “Bukannya aku ingin mengalihkan omongan kamu, aku malah melihat kamu itu sangat perhatian dengan Julia tapi mengapa saat ia menghilang seolah menghilang juga perasaan kamu padanya? Selama amnesia aku bisa melihat yang terjadi antara kamu dengan Julia.” Pancing AemeL setengah memvonis.
     Wowor malah tertawa renyah. “Kamu pikir seperti itu? Terserah apa penilaian kamu tapi yang aku lihat selama kamu amnesia ia sangat memperhatikan kamu bahkan tidak menghiraukan kesehatannya sendiri, aku pikir dialah satu-satunya sahabat setia di dunia ini tapi sekarang apa yang terjadi? Ia pergi bahkan tanpa sepatahkatapun pesan untuk kamu. Apakah itu masih bisa disebut seorang sahabat?” kata Wowor kemudian.
     AemeL tiba-tiba merasa gerah dalam ruangan ber-AC itu hingga memutuskan untuk pamit. “Kamu benar Wor, tidak ada yang sejati di dunia ini, jadi buat apa aku mencarinya. Sekali lagi, kamu memang benar.”
     Wowor mengangguk-anggukan kepalanya dengan pasti disertai senyuman tipis. ‘Tidak ada sahabat sejati, Ae. Jika ada yang mempercayai itu, adalah orang bodoh!’
     AemeL keluar dari ruangan Wowor dengan perasaan sakit seolah menyakini ucapan pria itu kalau Julia sengaja meninggalkannya dan pergi tanpa pesan. Dalam perjalanan AemeL menerima pesan dari salah satu temannya yang tidak bisa dibilang dekat tapi cukup akrab karena mereka satu sekolah dulu.
     “Hai, AemeL… apa kabar? Juga dengan Julia? Apa dia pernah memberi kabar padamu? Anak itu sekarang sombong, terakhir aku menghubunginya nomornya tidak aktif.”
     “Aku baik-baik saja, dan Julia juga. Ia mungkin sedang sibuk mengurus bisnisnya, terakhir aku ketemu dia karena ia datang ke Jakarta, sebulan yang lalu.”
     “Syukurlah kalau begitu, oh, ya… bagaimana dengan tulisan-tulisan kamu? Tentunya masih eksis’kan? salam sama Julia ya kalau kamu ketemu dia atau telepon dia.”
     “Oke, Mei. Salam juga buat teman-teman yang lain ya.”
     ‘Julia baik-baik saja!? Ini benar-benar kebohongan terbesar yang pernah aku katakan pada dunia. Ya Tuhan, semoga demikian… Julia masih baik-baik saja.’ AemeL menghela napas panjang. ‘Jika aku bilang tidak tahu keberadaan Julia dan mengatakan kalau aku dan Julia tidak saling kontak, maka teman-teman yang lain tahu kalau selama ini aku dengan Julia tidak harmonis padahal sebelumnya mereka tahunya kami teman yang paling dekat dan selalu memberitahukan apa pun tentang kejadian di dunia pertemanan, maka tidak masuk akal kalau aku bilang Julia tidak pernah ada kabarnya lagi. Ya Tuhan.. lindungi Julia dimanapun ia berada.’
     Untuk menghilangkan kepenatan pikiran AemeL mengunjungi sebuah toko buku terbesar, di sana ia bisa mengamati beberapa nama penulis besar dan membelikan beberapa buku yang ia rasa perlu. Baginya sebuah buku semacam makanan yang memiliki nutrisi paling dahsyat. Saat ia berada di depan rak buku psikologi seorang wanita dua puluhan berbicara padanya tanpa menatap AemeL dengan seksama.
     “Mencari buku karya siapa, Mbak? Ada banyak buku psikologi karya orang-orang kita di sini tapi aku sedang mencari buku ‘Dunia Sophie’.” Ujarnya. AemeL melirik anak itu sekilas, sepertinya ia mahasiswi psikologi pertengahan semester.
      AemeL yang sudah membaca buku yang disebutkan anak itu jadi tersenyum saja, karena buku yang tidak kurang dari delapan ratus halaman itu telah ia lahap dengan sempurna. AemeL agak kaget saat melihat sebuah novel dengan judul ‘Sebuah Rahasia’ di tangan gadis itu.
     AemeL mengalihkan pandangannya karena sudah menemukan buku yang bagus. “Oke, saya duluan.. semoga kamu cepat menemukan buku ‘Dunia Sophie’ itu.” Ujar AemeL dan ia membawa kakinya yang masih pincang menuju meja kasir. Sedang gadis itu hanya menatap AemeL pergi dengan terpaku, entah mengapa seakan ia kenal dengan wanita itu.
===

HTX

Tidak ada komentar:

Posting Komentar