Senin, 16 September 2013

“REJANG LEBONG”






Lambang Kabupaten Rejang Lebong
Motto: Pat Sepakat Lemo Seperno 
( Empat Sepakat Lima Sempurna)
Semboyan: Maro Ite Samo Bepegong Tangen 

( Mari Kita Bersama Berpegang Tangan)
                             


PENGANTAR PENYUSUN
    
Assalam’mualaikum, wr.wb
Salam sejahtera untuk kita semua, sebelumnya saya mohon maaf kalau di dalam artikel ini ada banyak kekukarangan, sebab semua isi artikel ini saya ambil dari berbagai sumber baik di internet, web juga dari Buletin Jang Pat Petulai.
     Tidak ada maksud apa-apa dalam menyusun buku ini selain untuk menambah pengetahuan saya sendiri dalam memahami tentang tanah kelahiran saya yaitu Rejang Lebong. Syukur-syukur ada manfaatnya bagi anak saya yang kebetulan lahir dan besar di Jakarta, semoga ia bisa membaca selain mendengar langsung dari saya dan Kakek, Neneknya.
     Di dalam artikel ini ada banyak sekali sejarah, kisah legenda yang saya sendiri masih agak bingung karena ada berbagai versi dari berbagai penulis. Di sini saya ingin sekali menerima masukan dari semua pihak terutama dari sesepuh khususnya orang Rejang asli. Bukan tanpa alasan, sebab saya mendengar sendiri dari Bapak saya yang kini sudah memasuki usia di atas 80 tahun. Di mana kata beliau bahwa kisah si ‘Pahit Lidah’ sebenarnya adalah legenda asli dari Rejang Lebong, yang mungkin anak-anak kita atau bahkan kita sendiri telah menonton kisah itu di film-film bahwa itu adalah kisah di Palembang, Sumatera Selatan.
     Bengkulu, khususnya Kabupaten Rejang Lebong yang punya banyak kisah-kisah menarik. Mungkin karena kebanyakan orang mengenal kalau Sumatera Selatan itu adalah Palembang, maka cerita-cerita rakyat yang diangkat dianggap berasal dari Palembang, bukan dari Rejang Lebong yang kebetulan berada di Sumatera Selatan juga.
     Untuk itulah saya tertarik sekali menyusun artikel-artikel yang bertebaran di dunia internet yang mungkin anak-anak kita tidak berminat untuk membuka situs itu, khsususnya tentang banyaknya teman-teman menulis berbagai kisah/sejarah Rejang Lebong. Agar mempermudah untuk dibaca atau setidaknya disimpan di dalam lemari untuk anak cucu kita nanti, supaya ia tidak buta dengan budaya tanah leluhurnya.
     Saya pribadi sebenarnya sudah lama tertarik untuk menyusun artikel ini, karena sebelumnya saya seringkali mem-posting catatan-catatan tentang Rejang Lebong di akun jejaring sosial saya dan mendapatkan bermacam-macam komentar, dan tidak sedikit yang memberi masukan untuk menambahkan cerita yang mungkin masih simpang siur, dan tidak sedikit juga yang menghujat mengatakan kalau saya adalah orang yang tidak tahu apa-apa, semua masukan dan kritik saya terima. Dengan maksud bukan mendapatkan ejekan semacam itu, sejujurnya hanya satu yang ingin saya dengar, yaitu tolong benarkan yang salah seandainya sanak keluarga yang tahu persis kisahnya, yang mungkin sepuh atau seusia saya yang kebetulan pernah tahu dari kedua orang tua atau nenek moyangnya.
    Demikianlah, artikel ini saya susun dengan tujuan untuk koleksi saya dan saya tidak akan pernah berhenti belajar dan bertanya pada yang tahu, bukan dengan orang yang sok tahu. Lebih dan kurang saya mohon maaf.

PENYUSUN

HELDA TUNKEME XWP





PAT PEGONG PAKIE TUN JANG

Cok ngen Tuk, Dang (Mamak), sengajo temulis su’et yo kerno ite ja’ang betemeu untuk sangeu nu idup nak denio. Jibeak coa tinget ngen PEGONG PAKIE Ite Tun Jang; Pertamo

AGAMO : pegong pakie ite petamo adeba agamo. Lem idup yo kadang ite rageuw ipe gi benea, ipe gi coa benea, dew tun ngakok siba gi benea, ataw ide pulo tun ngakok aweine si ba gi paling benea. Jibeak ragew kesoaba gi “benea” o lem agamo ite Islam. Idup yo siket, pegong baik-baik pegong pakie yo, tauhid nak lem atie, syariat nak lem lakeu. Insya Allah idupnu selamat denio akherat. Keduwei

ADAT : Adat ngen budayo adeba penan’do ite, jibeak coa tinget adat budayo ite lekat. Ite patut bangga ijei Tun Jang. Cuman amen ko gidong nak ratau ; isei adat o budei ngen lakeu. Jago budeinu, jago lakeunu. Ngen Tun gi tuwei hormat, ngen gi u’ei senayang, ngen gi somor kenuwat! Keteleu

BASO : Jano bae kelaknu gi baik, mesteiba ko semapie ngen baso gi baik pulo, baik lem tutur, jelas ngen te’ang lem pesenne. Amen ko pacak makie baso gi baik Insya Allah ko pacak tenimo nak ipe bae, bai ko nak Sadie atau nak ratau, baik lem pergaulan biaso atau lem usaho. Ke’epat

CA’O : Jano bae cito-cito atau usahonu, yakin ba mestei ade ca’o gi palin baik supayo pacak tewujud. Kerno’o jano bae kerjonu, kakokba ngen ca’o tebaik gi ko pacak. Tiep bilei semakin baik, semakin baik, Insya Allah jano bae cito-cito ngen usahonu sapie! Do’oba pegong pakie ite Tun Jang uyo, iso idew, iso jimat! Amen ko megong baik-baik, insya Allah selamat denio akherat! Dang (Mamak) Nak Ratau,

  

Sejarah Berdirinya Kabupaten Lebong

Written by hery sukoco on 12 November 2011.
Kabupaten Lebong secara historis memiliki sejarah yang cukup panjang dalam catatan sejarah  di Indonesia, catatan sejarah tersebut  merupakan saksi bahwa Kabupaten Lebong memiliki nilai  historis  yang cukup tinggi, Suku Rejang merupakan satu komunitas masyarakat di Kabupaten Lebong yang memiliki tata cara dan adat istiadat yang dipegang teguh sampai sekarang
Selain memegang teguh adapt, budaya Suku Rejang ini memiliki satu budaya yang unik dari kebiasaan dan tata cara hidup mereka sehari-hari, dari beberapa catatan sejarah yang membuktikan keunikan Suku  Rejang adalah sebagai berikut :
John Marsden, Residen Inggris di Lais (1775-1779), memberikan ketera-
ngan tentang adanya empat Petulai Rejang, yaitu Joorcalang (Jurukalang), Beremanni (Bermani), Selopo (selupu) dan Toobye (Tubay).
J.L.M Swaab, Kontrolir Belanda di Lais (1910-1915) mengatakan bahwa
jika Lebong di angap sebagai tempat asal usul bangsa Rejang, maka Merigi harus berasal dari Lebong. Karena orang-orang merigi memang berasal dari wilayah Lebong, karena orang-orang Merigi di wilayah Rejang (Marga Merigi
di Rejang) sebagai penghuni berasal dari Lebong, juga adanya larangan men-
ari antara Bujang dan Gadis di waktu Kejai karena mereka berasal dari satu keturunan yaitu Petulai Tubei.

Dr. J.W Van Royen dalam laporannya mengenai “Adat-Federatie in de Residentie’s Bengkoelen en Palembang” pada pasal bengsa Rejang mengatakan bahwa sebagai kesatuan Rejang yang paling murni, dimana marga-marga dapat dikatakan didiami hanya oleh orang-orang dari satu Bang dan harus diakui yaitu Rejang Lebong.
Pada mulanya suku bangsa Rejang dalam kelompok-kelompok kecil hidup mengembara di daerah Lebong yang luas, mereka hidup dari hasil-hasil Hutan dan sungai, pada masa ini suku bangsa Rejang hidup Nomaden (berpindah-pindah) dalam tatanan sejarah juga pada masa ini disebut dengan Meduro Kelam (Jahiliyah), dimana masyarakatnya sangat mengantungkan hidupnya dengan sumber daya alam dan lingkungan yang tersedia.

Barulah pada zaman Ajai mereka mulai hidup menetap terutama di Lembah-lembah di sepanjang sungai Ketahun, pada zaman ini suku bangsa Rejang sudah mengenai budi daya pertanian sederhadan serta pranata sosial dalam mengatur proses ruang pemerintahan adat bagi warga komunitasnya. Menurut riwayat yang tidak tertulis suku bangsa Rejang bersal dari Empat Petulai dan tiap-tiap Petulai di Pimpin oleh seorang Ajai. Ajai ini berasal dari Kata Majai yang mempunyai arti pemimpin suatu kumpulan masyarakat.
Dalam zaman Ajai ini daerah Lebong yang sekarang masih bernama Renah Sekalawi atau Pinang Belapis atau sering juga di sebut sebagai Kutai Belek Tebo. Pada masa Ajai masyarakat yang bekumpul sudah mulai menetap dan merupakan suatu masyarakat yang komunal didalam sisi sosial dan kehidupannya sistem Pemerinatahan komunial ini di sebut dengan Kutai. Keadaan ini ditunjukkan dengan adanya kesepakatan antara masyarakat tersebut terhadap hak kepemilikan secara komunal. Semua ketentuan dan praktek terhadap hak dan kepemilikan segala sesuatu
Dari referensi yang berhasil dihimpun maka ajai merupakan kelompok masyarakat yang terdiri bari beberapa kategori ajai, kategori ajai tersebut  merupakan satu komunitas yang hidup di beberapa lokasi atau tempat sebagai berikut :
  1. Ajai Bintang memimpin sekumpulan manusia yang menetap di Pelabai suatu tempat yang berada di Marga Suku IX Lebong
  2. Ajai Begelan Mato memimpin sekumpulan manusia yang menetap di Kutai Belek Tebo suatu tempat yang berada di Marga Suku VIII, Lebong
  3. Ajai Siang memimpin sekumpulan manusai yang menetap di Siang Lekat suatu tempat yang berada di Jurukalang yang sekarang.
  4. Ajai Malang memimpin sekumpulan manusia yang menetap di Bandar Agung/Atas Tebing yang termasuk kedalam wilayah Marga Suku IX sekarang.
Pada masa pimpinan Ajai inilah datang ke Renah Sekalawi empat orang Biku/Biksu masyarakat adat Rejang menyebutnya Bikau yaitu Bikau Sepanjang Jiwo, Bikau Bembo, Bikau Pejenggo dan Bikau Bermano. Dari beberapa pendapat
menyatakan bahwa para Bikau ini berasal dari Kerajaan Majapahit namun beberapa tokoh yang ada di Lebong berpendapat tidak semua Bikau ini bersal dari Majapahit.
Dari perjalan proses Bikau ini merupakan utusan dari golongan paderi Budha untuk mengembangkan pengaruh kebesaran Kerajaan Majapahit, dengan cara yang lebih elegan dan dengan jalan yang lebih arif serta mementingkan kepedulian sosial dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur budaya lokal.

Kota Tua Kabupaten Lebong
Sebutan kabupaten Lebong sebagai kota tua merupakan satu catatan sejarah berdirinya kota Lebong, dilihat dari struktur dan kondisi kota yang ada di Kabupaten Lebong saat ini terlihat jelas bahwa kabupaten  Lebong merupakan kota tua, seperti  adanya peninggalan penambangan emas dari zaman penjajahan Belanda, dan dari bentuk arsitektural bangunan di Kabupaten Lebong, selain itu pola tata ruang kota Lebong menunjukan kota tersebut hasil karya peninggalan konsep tata ruang bangsa Belanda.
Sejarang mengapa kabupaten Lebong merupakan kota tua, karena di Kabupaten Lebong ini terdapat sumber daya alam berupa tambang emas, dan tambang emas tersebut menjadikan ketertarikan  pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan kota di Lebong tepatnya di daerah Muaraaman.
Beberapa peninggalan tambang emas tua di Kabupaten Lebong sampai saat ini masih difungsikan dan di ekplorasi baik secara semi modern atau secara tradisional, namun sayang bangunan-bangunan sejarah seperti di desa Tambang Sawah tinggal puing saja yang merupakan saksi bisu bahwa Lebong merupakan kota tua.
Kejayaan Kabupaten Lebong sebagai daerah yang memiliki potensi alam dan sumber daya mineral sudah dikenal sejak jaman dahulu, semenjak kolonial Belanda ada di Indonesia, bukti-bukti kejayaan tersebut sampai sekarang    masih      terlihat dari sisa -  sisa peninggalan  tambang  emas tua di Kabupaten Lebong.  Beberapa sisa-sisa peninggalan tambang emas tersebut sampai sekarang masih di manfaatkan oleh masyarakat, dan diexplorasi oleh pihak swasta dengan izin dari Pemerintah Kabupaten Lebong, seperti yang terdapat di  tambang emas Lubang Kacamata
Pada masa revolusi, wilayah ini telah berkontribusi dalam pembangunan Monumen Nasional, atau yang dikenal dengan nama MONAS di DKI Jakarta, pada puncaknya terdapat emas, dan menurut sejarah sebagian emas tersebut dari Lebong. Untuk mengenang hal ini di Lebong terdapat monumen replika MONAS untuk mengingatkan bahwa emas MONAS  yang ada di Jakarta berasal dari Kabupaten Lebong,  bukti tersebut berupa monumen jalan menuju Tambang Emas Lobang Kacamata, Muaraaman. Tambang Emas tersebut masih diexplorasi sampai sekarang.
Kiranya Kabupaten Lebong sebagai kota tua yang memiliki aset budaya dan kekayaan alam yang cukup melimpah baik kekayaan hayati, mineral dan budaya wajib dijaga kelestarian.
Sumber : http://lebongconservation.wordpress.com/lebong-herritage/


  

SEJARAH ASAL USUL KOMUNITAS ADAT REJANG
Suku bangsa Rejang yang dewasa ini bertebaran tentunya mempunyai asal usul mula jadinya, dari cerita secara turun temurun dan beberapa karangan-karangan tertulis mengenai Rejang dapatlah dipastikan bahwa asal usul suku bangsa Rejang adalah di Lebong yang sekarang dan ini terbukti dari hal-hal berikut:

* John Marsden, Residen Inggris di Lais (1775-1779), memberikan keterangan tentang adanya empat Petulai Rejang, yaitu Joorcalang (Jurukalang), Beremanni (Bermani), Selopo (selupu) dan Toobye (Tubay).

* J.L.M Swaab, Kontrolir Belanda di Lais (1910-1915) mengatakan bahwa jika Lebong di angap sebagai tempat asal usul bangsa Rejang, maka Merigi harus berasal dari Lebong. Karena orang-orang merigi memang berasal dari wilayah Lebong, karena orang-orang Merigi di wilayah Rejang (Marga Merigi di Rejang) sebagai penghuni berasal dari Lebong, juga adanya larangan menari antara Bujang dan Gadis di waktu Kejai karena mereka berasal dari satu keturunan yaitu Petulai Tubei.

* Dr. J.W Van Royen dalam laporannya mengenai “Adat-Federatie in de Residentie’s Bengkoelen en Palembang” pada pasal bengsa Rejang mengatakan bahwa sebagai kesatuan Rejang yang paling murni, dimana marga-marga dapat dikatakan didiami hanya oleh orang-orang dari satu Bang dan harus diakui yaitu Rejang Lebong.

Pada mulanya suku bangsa Rejang dalam kelompok-kelompok kecil hidup mengembara di daerah Lebong yang luas, mereka hidup dari hasil-hasil Hutan dan sungai, pada masa ini suku bangsa Rejang hidup Nomaden (berpindah-pindah) dalam tatanan sejarah juga pada masa ini disebut dengan Meduro Kelam (Jahiliyah), dimana masyarakatnya sangat mengantungkan hidupnya dengan sumber daya alam dan lingkungan yang tersedia.

Barulah pada zaman Ajai mereka mulai hidup menetap terutama di Lembah-lembah di sepanjang sungai Ketahun, pada zaman ini suku bangsa Rejang sudah mengenai budi daya pertanian sederhadan serta pranata sosial dalam mengatur proses ruang pemerintahan adat bagi warga komunitasnya. Menurut riwayat yang tidak tertulis suku bangsa Rejang bersal dari Empat Petulai dan tiap-tiap Petulai di Pimpin oleh seorang Ajai. Ajai ini berasal dari Kata Majai yang mempunyai arti pemimpin suatu kumpulan manusia.

Dalam zaman Ajai ini daerah Lebong yang sekarang masih bernama Renah Sekalawi atau Pinang Belapis atau sering juga di sebut sebagai Kutai Belek Tebo. Pada masa Ajai masyarakat yang bekumpul sudah mulai menetap dan merupakan suatu masyarakat yang komunal didalam sisi sosial dan kehidupannya sistem Pemerinatahan komunial ini di sebut dengan Kutai. Keadaan ini ditunjukkan dengan adanya kesepakatan antara masyarakat tersebut terhadap hak kepemilikan secara komunal. Semua ketentuan dan praktek terhadap hak dan kepemilikan segala sesuatu yang menyangkut kepentingan masyarakat dipimpin oleh seorang Ajai. Walaupun sebenarnya dalam penerapan di masyarakat seorang Ajai dan masyarakat lainnya kedudukannya tidak dibedakan atau dipisahkan berdasarkan ukuran derajad atau strata.

Sungguhpun demikian pentingnya kedudukan Ajai tersebut dan di hormati oleh masyarakatnya, tetapi masih dianggap sebagai orang biasa dari masyarakat yang diberi tugas memimpin, ke empat Ajai tersebut adalah:

* Ajai Bintang memimpin sekumpulan manusia yang menetap di Pelabai suatu tempat yang berada di Marga Suku IX Lebong
* Ajai Begelan Mato memimpin sekumpulan manusia yang menetap di Kutai Belek Tebo suatu tempat yang berada di Marga Suku VIII, Lebong
* Ajai Siang memimpin sekumpulan manusai yang menetap di Siang Lekat suatu tempat yang berada di Jurukalang yang sekarang.
* Ajai Malang memimpin sekumpulan manusia yang menetap di Bandar Agung/Atas Tebing yang termasuk kedalam wilayah Marga Suku IX sekarang.

Pada masa pimpinan Ajai inilah datang ke Renah Sekalawi empat orang Biku/Biksu masyarakat adat Rejang menyebutnya Bikau yaitu Bikau Sepanjang Jiwo, Bikau Bembo, Bikau Pejenggo dan Bikau Bermano. Dari beberapa pendapat menyatakan bahwa para Bikau ini berasal dari Kerajaan Majapahit namun beberapa tokoh yang ada di Lebong berpendapat tidak semua Bikau ini bersal dari Majapahit. Dari perjalan proses Bikau ini merupakan utusan dari golongan paderi Budha untuk mengembangkan pengaruh kebesaran Kerajaan Majapahit, dengan cara yang lebih elegan dan dengan jalan yang lebih arif serta mementingkan kepedulian sosial dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur budaya lokal.

Melalui strategi para utusan Menteri Kerajaan seharusnya tidak lagi berusaha untuk menyebarkan kebudayaan serta bahasa Jawa. Oleh karena itu golongan paderi Budha yang memiliki tindakan yang tenang dan ramah tamah, dengan mudah dapat diterima dan masyarakat Rejang. Terbukti bahwa keempat Biku tersebut bukanlah mempunyai maksud merampas harta atau menerapkan upeti dan pajak terhadap Raja Majapahit, namun mereka hanya memperkenalkan kerajaan Majapahit yang tersohor itu dengan raja mudanya yang bernama Adityawarman. Sewaktu mereka sampai di Renah Sekalawi keempat Biku tersebut karena arif dan bijaksana, sakti, serta pengasih dan penyayang, maka mereka berempat tidak lama kemudian dipilih oleh keempat kelompok masyarakat (Petulai) dengan persetujuan penuh dari masyarakatnya sebagai pemimpin mereka masing-masing.



* Biku Sepanjang Jiwo menggantikan Ajai Bitang
* Biku Bembo menggantikan Ajai Siang
* Biku Bejenggo menggantikan Ajai Begelan Mato
* Biku Bermano menggantikan Ajai Malang



Setelah dipimpin oleh empat Biku, Renah Sekalawi berkembang menjadi daerah yang makmur dan mulai produktif pertaniannya sudah mulai bercocok tanam, berkebun dan berladang. Sehingga pada saat itulah kebudayaan mereka semakin jelas dan terkenal dengan adanya tulisan sendiri dengan abjad Ka-Ga-Nga (sampai sekarang masih lestari dan di klaim menjadi tulisan asli Bengkulu).

Setelah keempat Biku terpilih untuk memimpin kelompok masyarakat mendapat sebuah tantangan dalam bentuk bencana wabah penyakit yang menyerang masyarakat. Bencana itu terjadi kira-kira akhir abad ke XIII, wabah penyakit yang banyak merenggut jiwa masyarakat tanpa memandang umur dan jenis kelamin. Menurut ramalan para ahli nujum setempat yang menyebabkan datangnya musibah itu adalah seekor beruk putih yang bernama Benuang Sakti dan berdiam di atas sebuah pohon yang besar di tengah hutan.

Untuk mencari jalan keluar atas bencana yang terjadi, keempat Biku itu bersepakatlah untuk mencari pohon besar tersebut dan segera menebangnya dengan sebuah harapan setelah ditebang dapat mengakhiri wabah yang terjadi. Setelah membagi tugas masing-masing mereka berpencar ke segala penjuru hutan dan akhirnya rombongan Biku Bermano sampai dan menemukan pohon besar yang mereka cari, mereka kemudian segera untuk menebang pohon besar itu, namun usaha mereka tidak berhasil menebang pohon tersebut karena semakin ditebang oleh kapak, pohon tersebut semakin bertambah besar, kejadian yang sama terjadi, setelah rombongan dari Biku Sepanjang Jiwo sampai di tempat yang sama dan mencoba untuk menebang pohon besar itu, disusul rombongan dari Biku Bejenggo tetapi pohon itu pun tidak juga roboh. Pada saat itu munculah rombongan terakhir yaitu Biku Bembo dan kepada mereka diceritakan kejadian aneh yang mereka alami dalam menebang pohon besar yang tidak mau roboh setelah ditebang bahkan pohon itu bertamah besar.

“Riwayat saat bertemu rombongan pimpinan Biku Bembo bertemu dengan ketiga rombongan di tempat ditemukannya pohon besar yang di atasnya ada beruk putih bernama Benuang Sakti berada terlontarlah kata-kata dalam bahasa Rejang: pro pah kumu telebong yang berarti di sini kiranya saudara-saudar berada. Sejak peristiwa itu Renah Sekalawi bertukar nama menjadi Lebong”.


Setelah diceritakan kejadian yang terjadi kepada rombongan Biku Bembo, mereka bermusyawarah untuk mengatasi masalah yang terjadi itu dan bersepakat meminta petunjuk kepada Sang Hiang (Yang Maha Kuasa) supaya dapat mencari cara bagaimana menebang pohon besar itu supaya dapat ditebang. Cara yang dilakukan oleh keempat Biku itu adalah dengan betarak (bertapa), setelah betarak dilakukan mereka mendapat petunjuk pohon itu dapat ditebang kalau dibawahnya digalang/ditopang oleh tujuh orang gadis muda/remaja.

Setelah itu mereka bergegas menyiapkan segala sesuatu petunjuk yang didapat oleh Sang Hiyang termasuk bagaimana caranya mereka mencari akal supaya ketujuh gadis itu supaya tidak menjadi korban atau mati tertimpa oleh pohon besar yang akan dirobohkan. Selanjutnya mereka menggali parit untuk menyelamatkan ketujuh gadis penggalang itu. Setelah pekerjaan membuat parit dan ketujuh gadis siap untuk menggalang pohon yang akan dirobohkan, maka mulailah pohon besar itu ditebang dan sesungguhnya pohon itu roboh di atas tempat ketujuh gadis penggalang. Parit yang dibuat tepat di tempat rebahnya pohon besar yang telah ditebang telah menyelamatkan ke tujuh gadis dari maut dan terlindungi di dalam parit yang dibuat.

* “Peristiwa yang diriwayatkan di atas dijadikan awal dari pemberian nama bagi petulai-petulai mereka sesuai dengan pekerjaan rombongan pemimpin masing-masing dalam usaha menebang pohon besar dimana tempat bersemayam beruk putih Benuang Sakti”.
* Petulai Biku Sepanjang Jiwo diberi nama Tubeui atau Tubai, asal kata dari bahasa Rejang “berubeui-ubeui” yang berarti berduyun-duyun.
* Petulai Biku Bermano diberi nama Bermani, asal kata ini dari bahasa Rejang “beram manis” yang berarti tapai manis.


* Petulai Biku Bembo diberi nama jurukalang, asal kata dari bahasa Rejang “kalang” yang berarti galang.
* Petulai Biku Bejenggo diberi nama Selupuei asal kata dari bahasa Rejang “berupeui-uoeui” yang berarti bertumpuk-tumpuk.

Maka sejak saat itulah Renah Sekalawi bernama Lebong dan tercipta Rejang Empat petulai yang menjadi Intisari dan asal mula suku bangsa Rejang.



Kesepakatan yang di bangun setalah prosesi penebangan kayu Benuang Sakti ini semua rakyat di bawah pimpinan Bikau Sepanjang Jiwo di mana saja mereka berada di satukan di bawah kesatuan Tubey dan berpusat di Pelabai. Dengan kembalinya Bikau Sepanjang Jiwo ke Majapahit atau ada yang berpendapat ke bagian Majapahit Melayu yang berfusat di Pagar Ruyung, kepemimpinan Bikau ini kemudian di gantikan oleh Rajo Mengat atau Rajo Mudo Gunung Gedang yang kedatangannya dapat diperkirakan sekitar abad ke-15.

Baru setelah kepemimpinan Rajo Mengat ini yang digantikan oleh anaknya bernama Ki Karang Nio yang memakai gelar Sultan Abdullah akibat pertambahan jumlah penduduk dan kebutuhan untuk invansi wilayah, maka anak komunitas ini bertebaran dan membentuk komunitas-komunitas baru atas kesepakatan besar yang dilakukan di Lebong kemudian Petulai Tubey ini dipecahkan menjadi Marga Suku IX yang berkedudukan di Kutai Belau Saten, Marga Suku VIII di Muara Aman dan Merigi untuk pecahan Petulai Tubey di Luar wilayah Lebong.

Petulai Selupu tidak pecah dan tetap utuh walaupun anggota-anggotanya bertebaran ke mana-mana. Menurut riwayat Bikau Pejenggo yang mengantikan Ajai Malang ini berkedudukan di Batu Lebar di Kesambe yang merupakan wilayah Rejang, sedangkan Desa Administratif Atas Tebing include ke dalam wilayah adat Selupu Lebong yang merupakan wilayah desa yang berbatasan dengan wilayah adat Rejang Pesisir dan Desa Suka Datang berada dalam wilayah Marga Suku IX secara fisik berbatasan dengan wilayah Adat Bintunan Rejang Pesisir.

Sistem Kelembagaan Komunal/Adat

Dari resume yang ditulis di atas dapat diketahui bahwa asal usul suku bangsa Rejang dari Lebong dan berasal dari empat Petulai yaitu Jurukalang, Bermani, Selupu dan Tubey. Dari Tulisan Dr Hazairin dalam bukunya De Redjang yang mengutip tulisan dari Muhammad Husein Petulai di sebut juga dengan sebutan Mego.

Hal ini di perkuat juga dengan tulisan orang-orang inggris yang pernah di Bengkulu Marsden dan Raffles demikian juga dengan orang Belanda Ress dan Swaab menyebut juga perkataan Mego.

Petulai atau Mego ini adalah kesatuan kekeluargaan yang timbul dari sistem unilateral dengan sistem garis keturunan yang patrilinial dan perkawinan yang eksogami, sekalipun mereka terpencar dimana-mana. Sistem eksogami ini merupakan syarat mutlah timbulya Petulai/clan sedangkan sistem kekeluargaan yang patrilineal sangat mempengaruhi sistem kemasyarakatan dan akhirnya mempengaruhi bentuk kesatuan dan kekuasaan dalam masyarakat.

Pada zaman Bikau masyarakat di atur atas dasar sistem hukum yang di buat berdasarkan azas mufakat/musyawarah, keadaan ini melahirkan kesatuan masyarakat hukum adat yang disebut dengan Kutai yang dikepalai oleh Ketuai Kutai. Kutai ini bersal dari Bahasa dan perkataan Hindu Kuta yang difinisikan sebagai Dusun yang berdiri sendiri, sehingga pengertian Kutai ini adalah kesatuan masyarakat hukum adat tunggal yang geneologis dengan pemerintahan yang berdiri sendiri dan bersifat kekeluargaan.

Pada Zaman kolonial kemudian sistem kelembagaan dan pemerintahan adat ini oleh Assisten Residen Belanda J. Walland (1861-1865) kemudian mengadopsi sistem pemerintahan lokal yang ada di wilayah Palembang dengan menyebut Kutai atau Petulai ini dengan sebutan Marga yang dikepalai oleh Pesirah. Dengan bergantinya sistem pemerintahan ini Kutai di ganti dengan sebutan Dusun sebagai kesatuan masyarakat hukum adat secara teroterial di bawah kekuasaan seorang Kepala Marga yang bergelar Pesirah. (team AMARTA: Salim Senawar, Erwin S Basrin, Madian Sapani, Henderi S Basrin, Sugianto Bahanan, Hadiyanto Kamal, Riza Omami, Bambang Yuroto)




RHE JANG HYANG

       Suku Rejang adalah salah satu suku bangsa tertua di Sumatera, yang mempunyai garis keturunan yang jelas, mempunyai daerah dan wilayah tempat yang diakui etnisnya, memiliki adat istiadat dan tata cara yang tinggi diantara ratusan suku bangsa yang ada di bumi nusantara ini. Hampir semua unsur-unsur budaya telah dimiliki oleh suku Rejang. Seperti Sejarah, Bahasa, Aksara, Sistim pengetahuan, Sistim organisasi sosial, Sistim peralatan hidup, Sistim religi dan kesenian.
       Suku Rejang mendiami sebagian besar wilayah provinsi Bengkulu, yaitu masyarakat yang tinggal dan mendiami daerah Kabupaten Lebong. Kabupaten Rejang Lebong, Kabupaten Kepahyang, Kabupaten Bengkulu Tengah, Kabupaten Bengkulu Utara, masyarakat yang tinggal dan menetap di Tebing Tinggi dan Musi Rawas, Sumatera Selatan.
       Mengenai Suku Rejang sebenarnya lebih banyak kita ketahui dari buku-buku karangan ilmuan Inggris : William Marsden, Prof. M.A Japan. Dari ilmuan Prancis : Prof. Viktor T. King. Dari ilmuan Belanda : F.G Steck, W.A Van Rees, Volenhoven, Pink dan buku-buku karangan putra daerah, seperti  : Moehammad Hoesin, Mr. Hazairin, Prof. H.Abd Siddik dan H. Kadirman, SH M.Si.
       Bicara soal sejarah dan asal-usul leluhur suku Rejang dewasa ini masih simpang siur, ada yang mengatakan dari Pagarruyung, dari Mojopahit. Serawak, Sabah, ada juga yang mengatakan dari Suku Dayak, bahkan  ada yang lebih ektrim lagi mengatakan leluhur Suku Rejang berasal dari “Guguak” atau “Tun Smindang” yaitu orang yang tidak berbapak dan tidak beribu dan tidak berpusar.
       Dalam penggalian dan penelusuran kami yang dimulai sejak juli 2008 hingga agustus 2011 banyak cerita lama yang menarik yang dapat dihubungkan dengan fakta-fakta fisik yang masih ada, seperti ada yang mengatakan bahwa leluhur suku Rejang berasal dari Mongolia, Cina Utara.
       Sejarah suku Rejang dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu sejarah Rejang Purba dan Sejarah Rejang Modern. Sejarah Rejang Purba dimulai dari masa kedatangan kelompok bangsa Mongolia di Bintuhan Bengkulu Utara pada tahun 2090 SM hingga sebelum kedatangan para Ajai di pertengahan abad ke 14 Masehi. Sejarah Rejang Modern dimulai dari masa kedatangan “Ajai” di Renah Skalawi (1348) hingga sekarang.
Disebut Rejang purba karena dalam kurun waktu 2090 SM hingga pertengahan abad-14 M itu kehidupan suku Rejang masih sangat primitif, hidup yang selalu berpindah-pindah (nomaden) dari satu tempat ke tempat lain di mana tempat yang dapat memberi mereka kehidupan. Kemudian mereka mulai hidup menetap dalam kelompok masyarakat “Kumunal” di pedalaman hutan rimba yang tertutup dengan dunia luar, peralatan hidup dan teknologi yang masih sangat sederhana. Mereka menganut animisme.
       Dengan masuknya para Ajai (Sultan Gagu alias Ninik Bisu dan Zein Hadirsyah alias Tiea Keteko) pada pertengahan abad ke-14 yang membawa perubahan pada pola kehidupan masyarakat suku Rejang. Mereka mulai mengenal sistim pengetahuan, sistim organisasi sosial, sistim peralatan hidup dan sistim religi.
       Menurut sejarah, semua orang Rejang yang bertebaran itu berasal dari Pinang Belapis, Renah Skalawi yang kini disebut Lebong. Mereka adalah keturunan Rhe Jang Hyang bangsa Mongol, Cina utara. Kira-kira 4100 tahun yang lalu atau sekitar tahun 2090 SM. Rhe Jang Hyang bersama dengan kelompoknya mendarat di pantai  Slolong daerah Bintuhan Bengkulu Utara, sekarang. Ketika itu Sumatera masih bernama Swarnadwiva
       Setelah bertahun-tahun hidup merejang di dalam hutan, akhirnya mereka mulai hidup menetap dan mereka mulai mendirikan sebuah perkampungan yang diberi nama “Kutai Nuak”, di daerah Utara
Napalputih, perbatasan antara kabupaten Lebong dan Bengkulu Utara sekarang, tetapi masih merupakan kelompok masyarakat “Kumunual”, dalam arti setiap anggota belum mempunyai hak milik perorangan.
       Kutai Nuak hanya bertahan selama 5 “Masa” atau selama 50 tahun saja (2083-2033 SM), kemudian pada tahun 2032 SM Kutai Nuak dipindahkan oleh Rhe Jang Hyang ke Pinang Belapis, suatu daerah yang luas dan subur yang terletak antara Kabupaten Lebong dengan Kerinci, sekarang. Rhe Jang Hyang, yang masih mempunyai garis keturunan yang sama dengan leluhur Kubilang Khan itu melanjutkan kepimpinannya di Kutai Pinang Belapis selama 35 tahun. Beliau meninggal dunia (raib) pada tahun 1996 SM dalam usia 120 tahun.
       Suto Dae Eng, anak cucu Rhe Jang Hyang dari isteri kedua, diangkat menjadi ketua Pinang Belapis pada usia yang relatif muda, maka pada masa kepemimpinan Suto Dae Eng di Pinang Belapis banyak menjadi musibah, huruhara, dan ditambah dengan kebijakannya  yang dianggap keras, Suto Dae Eng tidak disukai oleh masyarakat Pinang Belapis dan Suto Dae Eng diminta untuk mengundurkan diri. Suto Dae Eng memimpin Kutai Pinang Belapis hanya selama 20 tahun (1925-1905 SM)
       Masa kepemimpinan 20 tahun itu dianggap terlalu singkat oleh Suto Dae Eng. Suto Dae Eng menjadi pemberontak, pemarah, dan dia tidak bisa diperlakukan seperti itu, dan akhirnya bersama kelompoknya beliau pergi meninggalkan Pinang Belapis dengan tujuan Kalimantan. Suto Dae Eng meninggal dunia tahun 1827 SM di Sulawesi Selatan, sekarang, dalam usia 123 tahun. Dengan disurh mundurnya Suto Dae Eng maka mulailah tumbuh benih-benih keretakan dalam masyarakt Rejang di Pinang Belapis.
       Selanjutnya, pada masa kepemimpinan Denay Kaey Lian, gelar Ratu Agung (338-410 SM) adalah merupakan masa kehancuran Kerajaan Pinang Belapis, karena rakyat Pinang Belapis mengalami krisis kepemimpinan, orang yang tepat untuk menggantikan Ratu Agung tidak ada, raja yang baru harus dipilih oleh rakyat Pinang Belapis sendiri.
       Oleh karena banyaknya orang yang ingin menjadi raja di Pinang Belapis maka terjadilah perselisihan pendapat dan kehendak. Untuk mengatasi perselisihan itu, maka diambillah kesepakan bersama bahwa mereka sama-sama harus  meninggalkan Pinang Belapis, dan masing-masing kelompok mencari daerah baru untuk dibukan dan dibangun sebagai perkampungan baru. Pada masa itu terjadi lagi perpecahan  masyarakat Rejang di Pinang Belapis, dan pada masa itu pula merupakan masa penyebaran orang-orang Rejang ke daerah lain di luar Renah Skalawi.
       Dengan kelompok masing- masing, mereka mencari daerah baru untuk dibangun perkampungan baru, diantaranya ada kelompok yang pindah  ke Skandau, suatu daerah di wilayah Tabah Atas sekarang, ada di Bandar Agung, dan Kutai Belek Tebo, suatu daerah di Lebong Tengah sekarang, ada ke hulu sungai Ketahun, Tapus sekarang,  ada ke Atas Tebing, ada ke hulu sungai Nge’ai, Semelako sekarang. Ada ke hulu sungai Musi, Cawang sekarang. Ada ke hulu sungai Rawas, Muara Kulam sekarang, ada ke hulu sungai Samben, Bintunan sekarang, dan ada ke hulu sungai Serut, Bengkulu sekarang.
       Di tempat-tempat baru ini mereka mulai lagi hidup berkelompok dan membangun perkampungan di dalam pigai, tetapi bentuk rumah mereka tidak bundar (dome) mereka membangun rumah panggung membentuk empat sudut.
       Pada masa kepemimpinan para Ajai (Sultan Gagu, Zein Hadirsyah) pada pertengahan abad ke -14, di setiap kampung di dalam pigai dibangun sebuah Musholah. Besar kemungkinan empat biku : Biku Sepanjang Jiwo, Biku Bejenggo, Biku Bermano dan Biku Bembo tidak dapat menyebarkan agama mereka karena kuatnya pengaruh Sultan Gagu, Zein Hadirsyah alias Tiea Keteko dan Rajo Megat sehingga dalam penelitian sebuah LSM pada tahun 1999 orang Rejang 100% beragama islam.
       Menurut para ahli sejarah, suku Rejang secara geografis digolongkan ke dalam kelompok suku bangsa Melayu, sedangkan bahasa Rejang dihipotesiskan mempunyai kekerabatan dengan bahasa Polynesia Purba di wilayah Pasifik.
       Dalam kenyataannya, orang-orang Rejang tidak pernah mengakui bahwa mereka itu adalah bagian dari suku Melayu, meskipun mereka tidak pernah menyangkal, tetapi setiap ditanya apakah Anda orang Malay?, tentu jawab mereka “tidak! kami orang huluan” yang dimaksud dengan orang huluan adalah orang yang berasal dari hulu sungai yaitu “Orang Rejang”.
       Jhon Marsden, Residen EIC di Lais (1775-1780) pernah bertemu dengan  Pangeran Muhammad Syah 1, Raja Bengkulu (1735-1755), Marsden mengira pangeran itu orang Melalyu, karena pengeran tersebut bukan saja sebagai orang muslim yang taat, beradab dan penuh sopan santun, tetapi juga seorang pangeran yang pandai menulis dan menguasai dua bahasa, yaitu bahasa Melayu dan bahasa Rejang. Tetapi alangkah terkejutnya Marsden waktu pangeran Muhammad Syah 1 mengatakan : “Melayu tidak sir, orang ulu betul sayo.” Begitu pula kalau ada orang bertanya :”Apakah Anda orang Cina?, jawab mereka, “Tidak, saya orang Rejang.”***
       Dari buku/naskah : SEJARAH DAN BUDAYA REJANG
Oleh : Zulman Hasan.




Lubang kaca mata

Bisa dibilang, sumber emas — di belantara Bengkulu, kaki cincin api gugusan Kerinci-Seblat— itu sudah di depan hidung William Marsden dan Thomas Stamfort Raffles. Tapi luput dari pengamatan dua pencatat hebat yang lama bermukim di Bencoolen (sekarang Bengkulu). Mereka lebih banyak membahas dataran tinggi minangkabau sebagai sumber emas Sumatra. Raffles bahkan mblusuk ke tambang-tambang emas di wilayah yang saat itu dikuasai kerajaan Pagaruyung.
Marsden si Irlandia, 8 tahun bermukim di Bengkulu (1771 – 1779). Kesukaannya mencatat kelak menjadi buku terpuji sebagai catatan mendalam pertama tentang Sumatra; History of Sumatra. Raffles sedikitnya 6 tahun menjabat sebagai orang pertama di Bengkulu. Antara 1818 hingga 1824. Selain mewariskan karya tulisnya yang gemilang, History of Java, Raffles banyak menuliskan catatan perjalanannya di Sumatra. Keduanya luput soal emas Lebong.
Memang emas di pedalaman Bengkulu itu baru dieksploitasi secara besar-besaran jauh setelah Raffles meninggalkan Bengkulu. Hampir tigaperempat abad sejak Bengkulu diberikan ke Belanda oleh Inggris, ditukar Singapura. Tapi hikayat penambangan emas di Lebong berkait dengan upaya kerajaan Pagaruyung —yang disambangi Raffles— mencari tambang emas baru.
Dikisahkan, sekitar abad ke-13, raja Pagaruyung Sultan Daulat Mahkota Alamsyah memerintahkan Tuanku Imbang Jaya untuk mencari daerah baru yang tanahnya mengandung emas di daerah Kerinci, Jambi. Setelah menemukan tambang emas di Kerinci, perburuan bijih emas pun dilanjutkan ke daerah lain. Hingga mencapai pedalaman Lebong, Bengkulu.
Tambang-tambang emas kuno itu kemudian berangsur sepi penambang. Gempa bumi yang meruntuhkan lubang-lubang tambang menjadi momok selain harimau. Kedua momok ini masih kerap muncul hingga kini. Beberapa tahun lalu, seorang kawan penggiat lingkungan di Bengkulu mengaku suatu kali tak berani membuat peta kawasan hutan dekat kawasan tambang itu. Musim harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae) masuk kampung, katanya.
Kawasan tambang kuno itu makin ditinggalkan setelah Inggris menguasai Bengkulu, pada abad ke-17. Penduduk Lebong lebih suka berkebun atau mengumpulkan hasil hutan yang banyak dicari Inggris, damar, rotan, pala, dll. Tapi kegiatan penambangan emas tetap dilakukan oleh sejumlah kecil penambang, yang kelak merangsang para pengusaha tambang Belanda mengejar urat emas di tambang-tambang kuno dan yang disebut-sebut dalam cerita-cerita rakyat.

Muara Aman
Singkat cerita, singgahlah saya ke Lebong diantar beberapa karib. Di kota Muara Aman. Tak jauh dari kawasan Taman Nasional Kerinci – Seblat. Kota ini kecil saja. Tak memberi kesan ia pernah menjadi kota terbesar kedua se-wilayah Bengkulu, sebagai pusat ekonomi penting pada awal abad ke-20.
Keramaian terpusat di pasar berpampilan sederhana. Tak beda dengan pasar-pasar lain di kawasan ulu sungai di Sumatra. Bangunan pertokoan masih sederhana, tak penuh ruko “kotak sabun” macam di kota-kota ilir sungai. Di ibukota kabupaten Lebong ini, pasar masih didominasi bangunan kayu satu lantai. Beratap seng yang sebagian besar dihitamkan karat.
Banyak toko emas perhiasan, sembako, pakaian, dan barang kelontong. Di satu toko kelontong tampak sebagian sisi luar penuh bergelantung sapu ijuk bertangkai kayu. Pasar juga menjadi tempat tumbuh kios-kios penjual keping CD film dan lagu. Mereka menambah perbendaharaan bunyi bagi para pelintas. Dari beberapa arah terdengar lagu-lagu pop yang sedang populer hingga irama “melayu kocok”, iramanya melayu musik penggiringnya lebih mirip bunyi cengat-cenget mesin.
Di pasar Muara Aman kami mendapat petunjuk arah ke satu titik tambang terdekat. Penanda tambang pun terlihat di sebuah toko di pinggir jalan yang menjual gelundung, silinder besi yang banyak dipakai dalam proses pengolahan bijih emas.
Sejurus kemudian tampak sebuah tugu berdiri di tengah jalan. Miniatur Monumen Nasional (Monas). Saya bersorak dalam hati karena teringat satu cerita. Emas yang di puncak Monas disebut-sebut berasal dari tanah Lebong. Entah benar tidaknya. Tapi sejarah juga mencatat bahwa 38 kg emas di puncak Monas adalah dari seorang Aceh kaya, Teuku Markam.
Tugu kecil penghadang jalan menjadi semacam penanda kawasan tambang, saya kira. Tapi kami pikir lebih baik bertanya lagi. Hendri, satu kawan, turun dari Mobil. Lalu, menyapa seorang ibu, “punteeen!”
Saya tergeli. Bisa-bisanya dia pakai bahasa Sunda di kawasan ulu sungai Musi ini. Kecil kemungkinan ada yang mengerti.
Si ibu paruh baya dengan riang menyambut. Pakai bahasa Indonesia. Tapi, logat Sunda kental, euy! Ia tampak gembira, mengira bertemu orang sedaerahnya. Untunglah Si Ibu pakai bahasa Indonesia. Kalau Sunda, kawan saya nyaho! Hendri hanya bisa meniru logat Sunda. Mungkin ia dapat dari pergaulannya, atau dari sinetron di tivi. Tapi, omong Sunda… Hendri teuk tiasa!


Akhirnya, tiba di desa Lebong Tambang atau juga disebut Lebong Donok. Dua kilometer saja dari kota Muara Aman. Di kiri jalan tampak dinding batu berwarna abu-abu kekuningan dengan gurat merah karat di sana-sini dipadu rona warna lumut. Dari kejauhan tampak sepasang lubang raksasa di sisi tebing. Sekilas mirip kacamata. Warga setempat menyebutnya lubang kacamata.
Inilah salah satu titik ziarah yang saya tuju!
Lubang kacamata berada di ketinggian 4 meter dari kaki bukit batu. Lubang buatan pada pertambangan emas yang dibuka Belanda sekitar tahun 1905 – 1913. Mungkin bergungsi sebagai pintu masuk, mungkin sebagai lubang udara (ventilasi). Di dalamnya berupa gua dengan bentuk tak beraturan dan bercabang-cabang. Beberapa bagian gua cukup luas. Bahkan ada ruangan selebar kurang lebih 4 meter dengan atap setinggi 2 – 3 meter. Ada beberapa cabang yang arahnya ke vertikal ke bawah. Menurut masyarakat kedalamannya mencapai 50 meter. Tidak terlalu dalam jika dibandingkan dengan lubang tambang di kawasan Lebong Tandai. Di sana, Mijnbouw Maatschappij Simau, perusahaan tambang Belanda, mengejar urat emas dengan menggali ke bawah hingga 16 level. Kedalaman 1 level kurang lebih 40 meter.
Lubang (tambang) kacamata merupakan salah satu jejak kegiatan tambang masa Hindia-Belanda. Pada masa kejayaan perusahaan tambang Belanda, dari sana bisa diraup emas sekitar 10 kilogram per hari. Pada tahun 1942 kegiatan penambangan oleh Belanda berhenti. Belanda pergi terusir kalah oleh Jepang. Selanjutnya penambangan dilakukan masyarakat. Hingga akhir dekade 1950-an, usaha penambangan rakyat masih bisa menghasilkan pada kisaran 2 – 10 gram bijih emas per hari.
Kini lubang kacamata lebih banyak dimanfaatkan sebagai tempat wisata. Kalau pun ditambang, hampir tidak ada hasilnya. Begitu kata warga setempat. Kebetulan ada dua lelaki melintas di jalan kecil depan lubang kacamata. Langkah mereka cepat, badan agak terbungkuk memanggul karung. Noda tanah basah rembes mewarnai luar luar karung. Isinya pasti batu galian emas.
Mereka memang baru pulang dari lubang tambang. Tempatnya jauh dari lubang kacamata. “Di atas bukit sana!” kata mereka sambil berusaha menoleh tak utuh ke arah berlawanan dengan langkah kaki.

Mengais kerak emas

Meski masyarakat tak lagi mengejar urat emas di kawasan dekat lubang kacamata, beberapa perusahaan tambang agaknya berpikir lain. Selang beberapa meter dari lubang kacamata, ada areal yang dipagari seng bercat biru. Portal besi dan pos penjaga diam di sana. Ada sebuah papan nama bertulis “Wilayah Kuasa Pertambangan Eksploitasi Bahan Galian Emas — PT. Tansri Madjid Energi”. Areal berpagar seng tidak terlalu luas. Tak genap 1 hektar. Di dalamnya ada satu lubang pintu masuk ke gua tambang tua. Masih tebal kah ‘kerak‘ emas di sana?
Areal itu dijaga Nurhasani, warga setempat. Umurnya 60-an. Nenek moyangnya asli Lebong. Dari tangannya yang kulit lengan sudah mengeriput, saya sambut 3 keping batu lempeng seukuran biskuit. Dikasih lihat. Mengandung emas, katanya. Kadar rendah. Sudah dua tahun eksplorasi dilakukan tapi belum ada kepastian bahwa perusahaan tempatnya bekerja akan membuka tambang di sana.
“Masih terus diteliti,” katanya pelan sambil memandangi batu mirip pualam putih susu dengan garis-garis halus warna gelap dan kehijauan. Sinar matanya meragukan kemasyhuran tambang emas di tanah kelahirannya itu akan kembali berkilau.
Sekitar tiga ratus meter dari lokasi yang dijaga Nurhasani, ada papan lain yang menerangkan proyek penyelidikan pendahuluan PT. Palapa Minerals. Ada logo hijau bertulis SCG berwarna emas dan tulisan Sumatra Copper and Gold Limited.
Di belakang papan nama ada sebuah rumah. Ada pondok sederhana di sebelahnya, tempat gelundung berputar pelan. Seorang lelaki usia 30-an tahun sibuk menyorong batu untuk ditumbuk oleh alu yang bergerak mekanis. Alu dan gelundung digerakkan turbin yang didorong air.


Lelaki itu bernama Iis. Sekali dalam tiga hari dia mengolah batu-batu yang mengandung emas. Batu ditumbuk hingga halus menyerupai butir pasir bercampur tepung batu. Material itu kemudian dimasukkan ke dalam gelundung melalui lubang yang dapat dikunci. Dimasukkan pula air kurang lebih setengah volume gelundung. Gelundung sebenarnya sebuah tabung ber-as sehingga dapat di putar. Pada bagian dalam tabung terdapat beberapa batangan besi, biasanya terbuat dari as mobil bekas. Para penambang menyebut batang-batang besi itu sebagai ‘pelor’. Fungsinya untuk menggerus material batu halus, hingga bijih emas mudah terpisah dari material batuan dan tanah. Kurang lebih tiga jam kemudian, air ditambah hingga tiga per empat volume gelundung. Dicampurkan pula merkuri untuk mengikat material emas dalam proses ekstraksi logam mulia ini. Sekitar tiga atau empat jam kemudian air berikut batuan yang sudah halus dikeluarkan dari gelundung dan ditampung dalam wadah yang biasanya berupa baskom.
Di dalam air biji emas punya bobot lebih berat ketimbang material batu, apalagi dibanding material tanah. Langkah selanjutnya adalah memisahkan material emas yang terikat merkuri dari ‘kotoran’ berupa material batuan dan tanah. Caranya dengan terus mengalirkan air ke dalam baskom secara perlahan hingga air meluap membawa hanyut material kotoran, dalam wujud air keruh. Bila air baskom berubah jernih, air ditiriskan untuk didapat larutan merkuri dan emas yang lalu ditampung di kain kemudian diperas. Dapatlah emas yang masih terselubung merkuri. Penambang bisa langsung menjualnya, bisa pula memurnikan emasnya terlebih dahulu. Lalu dijual ke pembeli, umumnya toko emas.
Rata-rata tiap tiga hari —dua hari mencari batu di lubang tambang dan satu hari mengolah batuan di gelundung— Iis dapat 3 gram emas. “Banyak itu,’ cetus saya. Di kepala saya muncul perkiraan harga pasaran logam mulia itu.
“Mutu emasnya rendah. Satu gram harganya tujuh puluh lima ribu,” sahut Iis datar. Nadanya biasa. Sekonyong-konyong seolah hendak menggunting kekaguman saya. “Kadang malah dapat (emas) kurang dari 3 gram.”
Saya pikir masih untung Iis tak keluar biaya untuk kebutuhan energi gelundung. Di beberapa lokasi tambang, beberapa kawan menggunakan tenaga listrik untuk memutar gelundung. Seribu Watt. Sekitar 30 % biaya operasional bisa habis cuma untuk listrik. Iis juga tak capek menumbuk batuan mengandung emas dengan palu seperti penambang yang saya temui di kawasan dalam Sukabumi, atau Purwokerto. Jika pun Iis memakai palu, pastinya sangat berat. Sebab, emas di kawasan Lebong macam yang diolah lelaki itu, lekat di batuan keras. Sedang pada beberapa lokasi tambang emas rakyat yang saya tahu, batuannya boleh dibilang lunak. Kadang didominasi tanah.
Iis juga punya sawah. Sepetak kecil. Persis di sebelah pondok tempat gelundung emas miliknya. Hasilnya kata Iis tak banyak. Saat saya bertandang ke sana, sawah itu sedang tidak digarap. Rumpun padi sisa disabit tampak coklat lapuk di antara rumput. Di satu sudut sawah ada lubang agak lebar, tapi dangkal. Semula saya pikir sumur air. Ternyata bukan! Tanah galian di sawah itu juga diproses di gelundung. Ada emasnya tapi kadarnya rendah sekali. “Lumayan untuk tambahan, terutama saat tak bisa mengambil batuan emas di lubang tambang yang letaknya jauh,” tutur Iis.
Iis juga berdarah Sunda. Keturunan penambang emas pula. Kata Iis, hampir semua penambang emas rakyat di desa Lebong Tambang berdarah Sunda. Saya teringat ibu penunjuk jalan di dekat miniatur tugu Monas yang juga berbicara dengan logat Sunda. Teringat pula pada kawan-kawan pemburu urat emas dari kampung-kampung dekat Cijapun —kebun kecil yang saya kelola— di pedalaman Selatan Sukabumi. Mereka sanggup menyeberang pulau bila dapat kabar tentang tempat penambangan baru. Ke Bombana Sulawesi Tenggara hingga beberapa tempat di Nusa Tenggara. Salah satu kawan yang ketika terakhir bertemu sedang sibuk membangun rumah dari hasil mengejar urat emas di Panyabungan, Mandailing Natal, Sumatra Utara… mengabarkan ia bersiap mengejar urat emas di satu pelosok Atjeh.


Anak-anak Lebong
Ternyata banyak penduduk Lebong yang berasal dari suku Sunda. Kedatangan mereka berhubungan erat dengan sejarah eksploitasi emas pada zaman kolonial Belanda. Dimulai sejak beroperasinya Perusahaan Tambang Redjang Lebong (Mijnbouw Maatschappij Redjang Lebong) setelah satu tahun melakukan eksplorasi. Perusahaan milik pengusaha Belanda ini mendatangkan orang Sunda dari Jawa Barat dan orang Cina Singapura untuk dijadikan kuli tambang. Tahun-tahun berikutnya bermunculan pula perusahaan tambang Belanda, baik milik pemerintah maupun swasta. Salah satunya Mijnbouw Maatschappij Simau atau Perusahaan Tambang Simau. Geliat tambang mendatangkan lebih banyak penduduk dari Pulau Jawa, baik suku Sunda maupun Jawa. Ditambah dengan program transmigrasi untuk kuli perkebunan di sekitar sana, makin banyaklah kampung orang Sunda dan Jawa tumbuh.
Tidak sukar menerka bagaimana keadaan di kawasan ini sebelum era pertambangan skala besar. Pastilah sepi. Kebanyakan kota di Sumatra tumbuh pada dua tempat saja. Di sisi laut atau dibelah sungai yang mudah untuk moda transportasi sungai. Selebihnya, kota-kota tumbuh karena aktifitas perkebunan atau pertambangan di era kolonialisasi. Muara Aman dan sekitarnya, tumbuh karena tambang. Lalu seperti kota tambang lainnya, macam Sawahlunto, ‘batavia kecil’ Tandai, dan beberapa titik lain di sepanjang cincin api. Bahan tambang habis kota (pelan-pelan) binasa.
Dari pedalaman Bengkulu ini memang tak semua perusahaan tambang Belanda beroleh untung. Tapi setidaknya dua perusahaan, Redjang Lebong dan Simau, berhasil meraup 130 ton emas selama berproduksi kurang dari setengah abad (1896-1941). Perusahaan pergi membawa hasil, penduduk mengais-ngais kerak emas tersisa.
Nasib kota-kota tambang, tak ubahnya kisah-kisah dalam roman percintaan yang berakhir tak bahagia pada banyak buku. Lebih dari cukup untuk pembelajaran bagi bangsa ini untuk menata-ulang pemahaman tentang pengelolaan hasil tambang. Sementara catatan ini saya rampungkan, beberapa kawan penggiat lingkungan di Bengkulu setengah menyesalkan kenapa saya tak sampai ke kawasan Lebong Tandai. Tempat paling monumental dan massif dalam sejarah pengerukan emas di belantara Bengkulu. Padahal, kata mereka, Lebong Tandai sudah tak jauh dari depan hidung saya saat itu. Aduh!
Teks dan foto: mays & abz
KOMPASIANA.




Kabupaten Lebong

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Kabupaten Lebong merupakan salah satu kabupaten di provinsi Bengkulu, Indonesia. Kabupaten Lebong beribukota di Muara Aman. Kabupaten Lebong dibentuk dari hasil pemekaran Kabupaten Rejang Lebong berdasarkan UU No.39 Tahun 2003.
Kabupaten ini terletak di posisi 105º-108º Bujur Timur dan 02º,65’-03º,60’ Lintang Selatan di sepanjang Bukit Barisan serta terklasifikasi sebagai daerah Bukit Range pada ketinggian 500-1.000 dpl. Secara Administratif kabupaten Lebong terdiri atas 13 Kecamatan dengan 11 kelurahan dan 100 desa. Luas wilayah keseluruhan 192.424 Ha (belum termasuk luas kecamatan Padang Bano yang masih bersengketa dengan Kabupaten Bengkulu Utara). Dari total tersebut 134.834,55 Ha adalah Kawasan Konservasi dengan peruntukan untuk Kawasan Taman Nasional Kerinci Sebelat 111.035,00 Ha, Hutan Lindung 20.777,40 Ha dan Cagar Alam 3.022,15 Ha.
Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No 736/Mentan/X/1982 kemudian dipekuat berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No 901/kpts-II/1999 sebagai kawasan konservasi dan di wilayah lain juga di kukuhkan sebagai kawasan Hutan Lindung Rimbo Pengadang Register 42 dan kawasan lindung Boven Lais yang awal pengukuhan kawasan ini ditetapkan sebagai hutan lindung oleh
Pemerintahan Kolonial Belanda sekitar tahun 1927 yang dikenal sebagai hutan batas Boszwezen (BW).





Bumey Pat Petulai

     Rejang Lebong adalah salah satu kabupaten di propinsi Bengkulu. Terletak di pegunungan Bukit Besar. Penduduk asli terdiri dari suku Rejang dan suku Lembak. Suku Rejang mendiami kecamatan Kota Padang, Padang Ulak Tanding, Sindang Kelingi. Kabupaten Rejang Lebong memiliki 15 buah kecamatan yang masih dalam pengembangan. Sebelah utara berbatas dengan Kota Lubuk Linggau dan Kabupaten Musi Rawas, sebelah Selatan dengan kabupaten Kepahiang, sebelah timur berbatas dengan kabupaten Lebong dan propinsi Jambi, sedangkan sebelah barat berbatas dengan kabupaten Lahat.

     Ibukota kabupaten ini di Curup. Terletak 85 km dari kota Bengkulu.
Mata pencarian penduduk adalah bertani, dagang, PNS dan lain-lain. Perkebunan rakyat adalah perkebunan kopi, karet. Sedangkan palawija banyak ditanam di lereng gunung Kaba. Sebagian lagi merupakan petani pembuat aren/gula merah.


LEGENDA REJANG
Sebei Sebkeu
     MASYARAKAT Redjang di daerah Lebong, terutama di sepanjang alur Air Ketahun atau masyarakat Redjang menyebutnya Bioa Ketawuen sudah sejak lama mengenal nama Sebei Sebkeu. Mereka mengartikan Sebei Sebkeu itu adalah sosok makhluk yang suka berdiam di sungai-sungai, terutama yang ada Lubuknya. (Suatu tempat air yang kedalamannya melebihi kedalaman di tempat-tempat lainnya).

Sebei berarti nenek. Maka, sebei sebkeu adalah seorang nenek yang menghuni lubuk-lubuk dalam pada sepanjang aliran air. Masyarakat Redjang menggambarkan sosok sebei sebkeu itu dengan memiliki rambut panjang terurai.

Kemunculannya tidak tentu. Namun, bila muncul masyarakat sering menceritakannya dengan sosok seorang wanita cantik yang sedang berjemur di bebatuan pada aliran Sungai ketahun.

Masyarakat di sepanjang aliran Sungai ketahun. Terutama di wilayah Desa Rimbo Pengadang, Talangratu, Kotadonok, Tes, Taba Anyar, Turun Tiging, Turan Lalang sangat terbiasa mendengar cerita sebei sebkeu itu. Cerita sebei sebkeu mulai memudar di kalangan anak-anak masyarakat Redjang di Lebong sekitar tahun 1980. sebelumnya, hampir semua anak-anak di daerah Lebong sangat mengetahui cerita ituSosok sebei sebkeu yang dapat berubah-rubah wujud kalau muncul di atas permukaan air sebenarnya tidak menakutkan bagi masyarakat sekitar tempat dia terlihat. Hanya, di kalangan anak-anak yang suka mandi di sungai. Sangat khawatir bila berada di dekat lokasi lubuk sungai.
Tempat-tempat yang menurut masyarakat Redjang, sebei sebkeu muncul antara lain di sungai-sungai di bawah jembatan, di lubuk-lubuk aliran sungai Ketahun. Terutama yang sekitar lubuk itu banyak terdapat batu-batu besar dengan aliran sungai yang deras.
Di masyarakat Kotadonok, sebei sebkeu itu digambarkan pernah mendiami Bioa Tiket, tepatnya di bawah jembatan Bioa Tiket (Air Tiket) dan Bioa Tamang. Perkiraan mereka itu didasarkan kepada keadaan di bawah jembatan tersebut ada lubuk yang punya kedalaman cukup bagi anak-anak berusia sekolah SD.
Namun, biasanya anak-anak tidak takut mandi di sekitar lubuk di bawah jembatan Bioa Tiket dan Bioa Tamang. Sepulangs ekolah banyak anak-anak memanfaatkan lokasi Bioa Tiket untuk dijadikan tempat bermain bersama sambil mencari ikan dengan jalan Nyeunyuk (sejenis panjing dengan tali senar pendek). Biasanya mereka mencari ikan Tiluk (sejnis ikan belut yang biasa diam di celah-celah bebatuan atau akar rerumputan di sungai-sungai yang dangkal.
Ikan tiluk bentuknya memang seperti belut, tetapi mulutnya agak runcing dan ukuran badannya tidak terlalu besar. Ukuran yang paling besar dan sering didapat adalah sebesar jari gajah.

Mengenai keberadaan sebei sebkeu dalam cerita legenda misteri masyarakat di sekitar Kotadonok, hingga saat ini masih dalam misteri. Namun, masyarakat sepanjang aliran Bioa Ketahun sangat mengenai cerita tersebut.

Sering ada anggota masyarakat menceritakan pernah melihat sebei sebkeu di sekitar Desa Talangratu di aliran Sungai ketahun dekat desa tersebut. Ceritanya, mereka mengatakan melihat sebei sebkeu sedang berjemur di atas bebatuan besar yang ada di aliran sungai itu.

Walaupun sebei sebkeu digambarkan sebagai sosok makhluk setengah manusia setengah makhluk halus yang serng tergambar merupakan sosok mengerikan. Sebab dapat berubah-rubah wujud ketika terlihat oleh manusia. Sosok sebei sebkeu tidak pernah menelan korban manusia.

Hanya ceritanya dikait-kaitkan dengan tenggelamnya seseorang di lubuk sungai atau nyaris tenggelamnya seorang anak kecil yang mandi di bawah jembatan dan sebagainya. Semuanya masih dalam batas cerita yang sangat memasyarakat.


@@@
Siamang Bioa
CERITA misteri setengah legenda masyarakat di sekitar Danau Tes (Kotadonok dan Tes) itu, gambarannya hampair sama dengan sosok sebei sebkeu. Hanya, dalam cerita Siamang Bioa (Siamang Air) itu lebih menakutkan ketimbang gambaran sosok sebei sebkeu
Keberadaan siamang Bioa dalam cerita masyarakat Kotadonok dan Tes adalah di tepi-tepi Danau Tes. Khususnya di sekitar muara air sungai yang masuk ke Danau Tes. Dan, daerah kemunculannya biasanya terdapat tanaman pohon peak (sejenis bambu yang hidup di rawa-rawa di aliran sungai dan danau.
Siamang Bioa bisa berubah-ubah wujud ketika tampil. Hanya saja penampilannya selalu ketika orang sedang lengah. Karena, Siamang Bioa suka menarik orang yang sedang naik perahu hingga orang tenggelam ke dasar sungai atau Danau Tes.

Ceritya Siamang Bioa lebih dekat di lokasi aliran Bioa Puak (Air Pauh) yang bermuara ke Danau Tes. Air Pauh itu sering juga disebut dengan nama Bioa Putiak yang berasal dari daerah Bukit Daun mengalir di Lembah Sawah Mangkurajo dan muaranya di Danau Tes.


Di kawasan aliran sungai Air Pauh di muaranya di Danau Tes, sering disebut-sebut tempat munculnya Siamang Bioa. Makhluk yang sering berujud dengan gambaran seperti siamang; hitam, berbulu lebat dan bermata tajam. Namun, tubuhnya mirip dengan manusia atau bisa mencapai sebesar manusia normal.

Sering menggangu anggota masyarakat yang sedang mendayung perahu. Biasanya, Siamang Bioa menarik seseorang yang lengah dari dalam air dari belakang, kemudian ditenggelamkannya ke dalam air.

Cerita tersebut, sepertinya tidak masuk akal. Namun, di kalangan masyarakat Desa Kota donok dan Tes, cerita itu sangat populer. Bahkan, mampu menghambat orang untuk membuka lahan sawah di sekitar Danau Tes yang lokasinya berawa-rawa.

Yang jelas, cerita Siamang Bioa sepanjang dikenal masyarakat redjang di Kotadonok, semua ceritanya sangat menakutkan. Walaupun Siamang Bioa itu sendiri kononnya sangat takut berhadapan langsung dengan manusia.

@@@
Semat Belkat
MAKHLUK yang disebut-sebut sebagai jelmaan iblis, setan atau hantu di kalangan masyarakat Redjang di Kotadonok itu, benar-benar menjadi cerita misteri di kalangan masyarakat. Karena, kata semat (setan, hantu, iblis atau makhluk halus) jika terlihat oleh seseorang. Maka, bentuk tubuhnya terus membesar dan meninggi hingga melewati tingginya pohon kelapa.
Konon kabarnya, semat belkat sangat mengerikan serta menakutkan. Baik rupa, tubuh dan pandangan matanya. Semat belkat sering muncul di malam hari. Kalau ia muncul, ia berdiri di tengah jalan dengan melihat ke semua arah di sekitar ia berdiri.

Diceritakan, semat belkat itu sering terlihat oleh anak-anak muda yang pulang dari rumah temannya atau pulang dari pacaran antara pukul 24.00 WIB sampai pukul 02.00 WIB pagi hari. Atau sering terlihat ketika anggota masyarakat pulang dari mencari ikan atau menyuluak.

Menurut ceritanya, semat belkat itu pernah menampakkan diri di daerah kuburan Desa Kotadonok, di daerah sekitar Pacua Telai (pacua = pancuran, Telai = nama air yang mengalir di tengah-tengah Desa Kotadonok) dan di jalan dekat Kubua Lai (kubua = kuburan, Lai = besar ) Kotadonok.

Diduga cerita misteri semat belkat di kalangan masyarakat Redjang itu memiliki hubungannya dengan makhluk penunggu kampung (desa), yang erat juga kaitannya dengan cerita turun temurun asal muasal suku bangsa Redjang.
Walaupun semat belkat digambarkan sebagai sosok yang mengerikan dan menakutkan. Namun, masyarakat tidak pernah khawatir tentang keberadaan makhluk itu. Sebab, jika benar kebaradaan dan kemunculannya itu ada, jelas makluk bernama semat belkat itu adalah sebangsa jenis jin, setan atau makhuk itu bisa jadi bukan sejenis makhluk yang dikenal dengan sebutan hantu di kalangan masyarakat luas.

Cerita semat belkat itu ada dalam riwayat perjalanan masa ke masa masyarakat redjang di Lebong. Mungkin akan tetap terkenal hingga kiamat kelak. Sebab, cerita itu berkaitan dengan makhluk halus. Hanya, dalam perkembangannya (mungkin) akan dimodifikasi sesuai dengan tingkat dan pola pikir masyarakat Redjang.
@@@

Jabolan
SALAH satu cerita yang cenderung sebagai legenda rakyat Redjang di Lebong adalah kisah petualangan orang misterius yang sering disebut dengan nama Jabolan. Cerita rakyat ini sepertinya cerita baru sesudah Indonesia merdeka. Namun, tidak ada satupun yang dapat menjelaskan secara nyata, siapa sebenarnya Jabolan itu. Sedikit kita mundur ke belakang cerita Jabolan, untuk menggambarkan sosok misterius seorang bernama Jabolan. Manusia bernama Jabolan itu memang manusia yang diidentikkan (disamakan) dengan seorang penjahat kelas kakap. Kejahatan yang dilakukannya hanya sejenis. Yaitu menculik orang atau anak-anak untuk dijadikan tumbal sesuatu bangunan. Sebut saja untuk membangun jembatan.

Konon khabarnya, pada zaman Hindia Belanda menanamkan kekuasaan jajahannya di tanah Renah Sekalawi (Lebong sekarang). Untuk membangun sebuah jembatan selalu dikaitkan dengan kepercayaan mistik. Maksudnya, agar jembatan kuat dan tanah lama, maka di bawah atau di dalam pondasi harus ditanam kepala manusia.

Nampaknya kepercayaan orang-orang Belanda zaman Hindia Belanda itu mengambil inti sari kehidupan masyarakat Redjang sebelumnya. Yang walau sudah menganut agama, khususnya Islam. Masih tetap percaya dengan mistik. Kemungkinan kepercayaan itu berasal dari asal muasal orang Redjang pada masa kejayaan Ajai-Ajai (Pemimpin suatu kelompok masyarakat di Redjang) dan masa Bikau. Bikau itu sendiri berasal dari kata Biku atau Bhiksu yang pada umumnya menganut agama Budha. Dari pengertian itu, besar kemungkinan para Bikau yang menggantikan kedudukan para Ajai-Ajai di Lebong (sekarang ini) adalah para penganut Budha yang terpelajar bahkan sudah menyandang status sebagai bhiksu.

Oleh karena itu, kepercayaan menanam kepala manusia sebelum membangun jembatan atau bangunan di tempat yang dianggap angker merupakan peninggalan nenek moyang orang Redjang. Walaupun sekarang kepercayaan itu sudah ditinggalkan. Zaman Orde Lama bahkan masuk ke zaman Orde Baru kepercayaan itu masih ada. Tetapi yang ditanam bukan kepala manusia, melainkan kepala kerbau.

Diperkirakan cerita tentang sosok misterius Jabolan berasal dari kepercayaan tersebut. Tugasnya adalah mencari kepala manusia. Tentu dilakukan dengan cara tersembunyi dan menyembunyikan prihal tentang dirinya.

Masyarakat Redjang di Lebong mayoritas penduduknya bermata pencaharian dari sektor pertanian dan perkebunan. Biasanya sepanjang hari berada di sawah, kebun atau di ladang. Bahkan, banyak dari keluarga orang Redjang itu sampai sebulan lebih berada di kebun atau sawah mereka.

Dengan demikian anak-anak mereka ditinggalkan di kampung atau disebut dengan dusun. Biasanya para orangtua selalu menasehati anak-anak mereka, agar hati-hati. Terutama jangan pergi ke pinggir hutan sendirian atau ke tempat yang sunyi secara sendirian. Biasanya nasihat itu ditambahkan menyebut nama Jabolan sebagai sosok orang yang sangat ditakuti.

Menurut ceritanya, pola kerja Jabolan nyaris sama dengan harimau yang mengintip mangsanya di tengah hutan. Jabolan selalu mengintip orang dari hutan-hutan di sekitar kampung hingga bertemu dengan anak-anak. Walaupun cerita Jabolan begitu populer sampai-sampai sekarang orangtua yang menyebut atau menjuluki anak-anak dan remaja yang nakal, juga dengan sebutan Jabolan.

Pertanyaannya sekarang, apakah betul kisah Jabolan itu nyata? Atau sekedar peringatan para orangtua kepada anak-anaknya saat ditinggalkan di kampung, agar tidak bermain jauh ke tengah hutan. Maklum kampung-kampung di Lebong pada umumnya tidak jauh dari hutan belantara.

Saya sendiri ketika masih sekolah di SDN 1 Kotadonok antara tahun 1966 sampai 1971 sangat kerap mendengar cerita aksi Jabolan dengan menyebut beberapa korbannya di beberapa kampung. Tapi, Jabolan tidak pernah tertangkap oleh masyarakat atau penegak hukum. Ataukah memang ia adalah agennya pemerintah (Zaman Hindia Belanda).

Belum diketahui persis, yang jelas mengidentikkan penjahat dengan Jabolan adalah sesuatu yang tepat. Sebab, predikat Jabolan itu adalah predikat yang diberikan kepada orang yang suka berbuat jahat kepada orang lain, yaitu pekerjaan yang dilakukan adalah menculik orang lain. Tentu, pekerjaan itu ada imbalannya.
Legenda Misteria
Masyarakat Lebong
Dibahasa tuliskan oleh : Naim Emel Prahana
Di dalam blog pribadinya.


 ========================================= 


Menapak Jejak Sejarah Suku Rejang
     Suku Rejang adalah salah satu suku tertua di pulau Sumatra selain suku bangsa Melayu.Suku Rejang menempati daerah Lebong,Rejang Lebong, Kepahiang, Bengkulu Utara dan sebagian menyebar ke wilayah Sumatera Selatan.Bila kita lihat dari dialek bahasa yang digunakan, sangat jelas perbedaan antara bahasa Melayu dan bahasa daerah di Sumatra lainnya dengan bahasa Rejang. Suku Rejang menempati Bengkulu Utara, Lebong dan di kabupaten Rejang Lebong.Suku ini merupakan terbesar di provinsi Bengkulu Jika mengacu pada sistem kelembagaan lokal atau local community masyarakat adat yang ada di Kabupaten Lebong adalah komunitas kampung yang di sebut dengan dengan istilah lokal Kutai atau Dusun yang berdiri sendiri yang merupakan kesatuan kekeluargaan yang timbul dari sistem unilateral dengan sistem garis keturunan yang patrilineal dan dengan cara perkawinan yang eksogami, aplikasi sistem lokal ini kemudian di terjemahkan dengan sistem kelembagaan Marga, sebuah sistem adopsi dari sistem pemerintahan Kesultanan Pelembang. Ada beberapa kesatuan kekeluargaan yang relatif masih tegas asal usul, wilayah tata aturan lokal di Kabupaten Lebong masing-masing kekeluargaan tersebut kemudian di sebut dengan Marga. John Marsden, Residen Inggris di Lais (1775-1779) menceritakan tentang adanya empat Petulai Rejang diantaranya Jekalang (Joorcalang), Selupuak (Selopoo), Manai (Beremani), Tubey (Tubay) di sisi lain Dr. J.W. Van Royen dalam Laporannya “adat-Federatie in de Residentie’s Bengkoelen en Palembang” menyatakan bahwa Marga-Marga tersebut merupakan kesatuan Rejang yang paling murni.



Perjalan untuk mendokumentasikan huruf-hurus kuno rejang (huruf ka ga nga) sebenarnya sudah lama saya lakukan yaitu pada bulan Januari-Febuari 2008. Bersama dengan teman-teman Gekko Studio kami berangkat ke Bengkulu. Dengan menggunakan mobil hiline long sasis yang kami beli di Bali pada bulan desember tahun lalu kami berangkat menuju Bengkulu, Tepatnya Bengkulu Utara kampung halamanku. Kami sengaja membeli mobil sendiri biar puas untuk muter-muter Bengkulu dan kedepannya jikalau ada perjalanan yang areanya masih sekitar jawa dan sumatera kami bisa menggunakan kendaraan sendiri biar lebih hemat. Hemat, belajar dari pengalaman disaat kita membuat sebuah film dokumenter tentang impact perkebunan sawit terhadap anak suku dalam di Jambi. Kami harus merental mobil hiline ini dengan harga 400 ribu perhari. Lumayankan kalo kita sewa selama 10 hari lebih plus BBM-nya.

Di Bengkulu selain membuat film dokumenter tentang keterancaman gajah sumatera yang ada di Bengkulu kami juga menyempatkan diri untuk berangkat ke Kabupaten Lebong dan Curup untuk survey mengenai keberadaan tulisan rejang (huruf ka ga nga) dan sejarahnya. Perjalanan ini juga merupakan perjalanan ritualku karena akan menelusuri sejarah persebarang suku rejang yaitu suku saya sendiri. Selama ini saya yang terlahirkan dari keturuanan asli rejang saya tidak pernah tahu sejarah persebarannya. Norak ngga ya :)

Tulisan ini adalah saya kembangkan dari hasil wawancara dengan Pak Salim, salah satu tokoh adat yang ada di Desa Topos, Kabupaten Lebong. Salah satu kampung tertua yang ada di Lebong yang terletak di hulu sungai ketahun. Karena saya terlebih dahulu harus mencatat hasil-hasil wawancaranya disela-sela rutinitas yang ada dan sekaligus mencoba untuk mentransletnya (berhubung wawancaranya menggunakan bahasa rejang), jadi yah beginilah jadi lama saya menulisnya ke blog ini. Hasil-hasil wawancara ini saya coba rangkai dan kembangkan agar enak dibaca. Mohon maaf jikalau nanti bahasanya masih ada yang kaku dan lompat-lompat serta ada beberapa bahasa yang tidak mampu saya terjemahkan.


Sejarah Rejang

Asal mula masyarakat rejang yang ada di Bengkulu menurut cerita nenek mamak atau orang-orang tua (Pak Salim dan Masyarakat Topos) adalah pertamanya ditemukan di Desa Siang, muara sungai ketahun. Pada masa itu pemimpin masyarakat rejang adalah Haji Siang. Dimana sebelum Haji Siang, lima tahap diatas Haji Siang orang rejang sudah ada. Pada masa haji ini ada emapat orang haji yaitu Haji Siang, Haji Bintang, haji Begalan Mato dan Haji Malang. Karena mereka berempat tidak bisa memimpin dalam satu daerah, akhirnya mereka membagi wilayah kepemimpinan. Haji Siang tinggal di Kerajaan Anak Mecer, Kepala Sungai Ketahun, Serdang Kuning. Haji Bintang ada di Banggo Permani, manai menurut istilah rejangnya yang sekarang terletak di Kecamatan Danau Tes. Haji Begalan Mato tinggal di Rendah Seklawi atau Seklawi Tanah Rendah. Kerajaan Haji Malang bertempat tinggal diatas tebing, sekarang namanya sudah menjadi Kecamatan Taba' Atas.

Dalam keempat kepemimpinan ini mereka ada sebuah falsafah hidup yang diterapkan yang itu pegong pakeui, adat cao beak nioa pinang yang berartikan adat yang berpusat ibarat beneu. Bertuntun ibarat jalai (jala ikan), menyebar ibarat jala, tuntunannya satu. Jika sudah berkembang biak asalnya rejang tetap satu. Kenapa ibarat beneu? beneu ini satu pohon, tapi didahan daunnya kait-mengait walaupun ada yang menyebar atau menjalar jauh. Walaupun pergi ketempat yang jauh tapi tahu akan jalinan/hubungan kekeluargaannya. Bisa kembali lagi darimana asal mereka berada.

Pegong pakeui juga mengajarkan bahwa kita sebagai manusia mempunyai hak yang sama. Jika kita sama-sama memiliki, maka kita membaginya sama rata. Jika kita menakar (membagi), misalnya membagi beras, kita menakarnya sama rata atau sama banyaknya. Jika kita melakukan timbangan, beratnya harus sama berat. Itulah pegong pakeui orang rejang. Amen bagiea' samo kedaou, ameun betimbang samo beneug, amen betakea samo rato. Artinya jika membagi sama banyak, jika menimbang sama berat, jika menakar sama rata). Itulah cara adat rejang.

Dengan persebaran dan berkembang biaknya dari empat kerjaan ini mereka mencari tempat-tempat di kepala air (hulu sungai) untuk dijadikan tempat tinggal. Seperti yang ada sekarang ini yaitu Rejang Aweus, Rejang Lubuk Kumbung yang ada didaerah Muaro Upit, Rejang Lembak (Lembok Likitieun, Lembok Pasinan) dan termasuk juga Rejang Kepala Curup. Dasar persebaran ini adalah dari Rio (belum jelas Rio ini siapa dan keturunan darimana). Dipercaya Rio berasal dari Desa Topos yang pecahan kebawahnya adalah Tuanku Rio Setagai Panjang. Rio Setagai Panjang ini memiliki tujuh orang bersaudara dan berpencar untuk mencari tempat tinggal. Diantara dari tujuh Rio tersebut dan persebarannya di Bengkulu adalah sebagai berikut:

1. Rio Tebuen ada di Desa Lubuk Puding, Pasema Air Keruh
2. Rio Penitis ada di Curup. daerah Selumpu Sape
3. Rio Mango' keturunannya sekarang mulai dari Pagar Jati sampai ke hulu nya yaitu Desa Gading, Padang Benar dan Taba Padang
4. Rio Mapai sekarang keturuanannya ada di Kecamatan Lais, itulah asal orang rejang yang terletak di bagian utara

Suku Rejang memiliki lima marga, yaitu Jekalang, Manai, Suku Delapan, Suku Sembilan dan Selumpu. Lima marga inilah sekarang yang ada di tanah rejang yang ada di Bengkulu. Jika ada yang pindah ketempat lain mereka akan tetap berdasarkan lima marga tersebut. Walaupun mungkin banyak orang-orang rejang yang ada di Bengkulu sudah tidak tahu lagi mereka masuk kedalam marga apa. Dikatakan oleh orang tua dahulu pecua' bia piting kundei tanea' ubeuat, pecua bia' piting kundei tanea' guao', istilah rejangnya mbon stokot, 'mbar-mbar ujung aseup, royot kundeui ujung stilai. Artinya masih ada asal usul yang menyangkut tanah lebong, walau dia berpencar kemanapun. Dari kepercayaan yang ada, mereka percaya asal mula rejang itu satu. Tidak ada bibitnya (asal usulnya) dari orang lain. Semuanya berasal dari Ruang Lebong atau Daerah Lebong yaitu dari Ruang Sembilan Sematang. Walaupun sekarang orang rejang atau suku-suku rejang sudah menyebar dipelosok nusantara ini ataupun diluar negeri sekalipun.



Cara Adat Rejang yang sudah menghilang


Seperti halnya dengan suku-suku lain yang ada di nusantara ini, suku rejang juga memiliki adat dan budaya dalam melakukan beberapa kegiatan ataupun upacara adat. Salah satunya adalah cara untuk menikahkan anak dan adat untuk membayar nazar jikalau kita ingin membayar nazar atau hutang. Cara yang dilakukan adalah memakai sesajen untuk berkomunikasi dengan pada arwah-arwah atau penghulu-penghulu kita yang sudah pergi. Kita memberi tahu jika kita ingin membayar nazar aatu ingin mengadakan pernikahan anak kita. Sesajen ini biasanya dengan menyertakan ayam yang dalam bahasa rejangnya disebut mono' biing.



Pada zaman dahulu, sebelum memakai benih untuk menanam harus mengundang benih terlebih dahulu, yang disebut bekejai binia'. Benih ini ditaroh didalam tadeu (sejenis keranjang yang terbuat dari rotan atau bambu). Ngekejai (belum jelas apa/siapa ngekejai) memanggil malaikat jibril, israfil, mikail dan juga para dewa. Jika jumlah benih yang ada didalem tadeu semakin banyak jumlahnya berarti ada harapan hasil panen akan banyak dan ada rezeki nantinya. Namun jika benihnya tidak bertambah banyak jumlahnya mungkin pertanda hasil ladang kita tidak akan maksimal hasilnya. Jika ingin memotong bambu itu bagi orang rejang ada pantangannya, begitu juga jika ingin membuka hutan. Jika kita ingin membuka hutan kita harus menabeues, menyatakan maksud kita kepada yang menjaganya. tanea' talai istilahnya, tukang ngembalo tanea' dunionyo (penjaga tanah di dunia ini). Tuhan tidak hanya menurunkan sesuatu ke bumi ini tanpa ada yang menjaganya. Jika kita ingin membuka lahan disuatu area tersebut kita tancapkan sebuah pancang. Jika diarea yang kita beri tanda tidak menyahut atau ada pertanda yaitu misalnya berupa binatang mati atau berupa darah, berarti kita harus membatalkan niat kita untuk membuka lahan disana dan pertanda bukan rezeki kita disana, melainkan tanda bala' yang memanggil kita.



Dalam menanam padi, jika terdapat hama dalam tanaman tersebut seperti hama pianggang, senangeuw, luyo atau luyang dalam bahasa rejannya, mereka membasmi dengan memakai daun sirih dengan cara menyemburkan air daun sirih tersebut sewaktu sore hari menjelang maqrib. Dalam tiga kali semburan dalam waktu senja hama itu bisa pergi. Dengan kekuasaan Tuhan mahkluk ini bisa pergi. Pada zaman itu tidak mengenal pestisida ataupun racun. Karena mereka percaya, jika niat kita jelek untuk membasmi mahkluk Tuhan, maka timbal baliknya adalah bencana. "Sebab niat kita mau membasmi mahkluk Tuhan, sedangkan cara adat itu di jampi, nidau kalo dalam bahasa rejang, disusur darimana asalnya, baliklah ke tempat asalnya" terang pak salim kepadaku karena sekarang sudah banyak yang menggunakan racun pestisida dalam membasmi hama.



Jika orang rejang ingin membuat rumah untuk tempat tinggal, terlebih dahulu mereka memilih jenis kayunya. Misalnya kayu meranti, kayu semalo, kayu medang. Cara untuk mengambil kayu tersebut pun ada aturan adatnya, yaitu jika tumbangnya mengarah ke kepala air atau mengarah mata air, atau menusuk ke leko' itu tidak boleh diambil. Itu tandanya celaka dalam arti kita sebagai orang rejang. Rumah yang sudah kita bangun dan setelah kita huni kita akan jatuh sakit ataupun meninggal dunia. Meninggal dalam artian bukan karena rumah tersebut, tapi karena celaka atau musibah, banyak masalah yang datang. Kemungkinan hidup kita akan susah setelah itu karena kayu yadi membawa bencana. Bagusnya dalam membangun rumah adalah jika kayu yang kita ambil tumbangnya mengarah ke desa atau kampung. "Inilah 100% sebagai tanda-tanda yang bagus untuk kita membangun rumah" ungkap pak salim.



Sebelum adanya masa orde baru atau Rezim Suharto, ditanah rejang masih dikenal dengan sistem kepemimpinan yang dipimpin oleh Kepalo Banggo (Kepala Marga) atau raja bagi masyarakat rejang. Kepala Marga memegang dua pernanan, yaitu menjalankan roda pemerintahan dan juga menjalankan sistem-sistem adat yang ada karena dialah raja dari adat. Antara tahun 1977-1978 kepala marga ditanah rejang dihapus dan digantikan dengan sistem pemerintahan yang ada yaitu camat, kepala desa dan turunannya. Kepala marga diganti dengan Camat. Setelah sistem kepala marga diganti, masyarakat adat seperti ayam kehilangan induknya. Banyak cara-cara adat yang sudah tidak diterapkan lagi dan budaya-budaya serta kearifan lokal perlahan memudar. Orang-orang pemerintahan tidak paham dan mengerti akan cara-cara adat. Dan disebutkan bahwa inilah awal dari kehancuran budaya dan adat istiadat rejang yang ada sekarang ini.



Hilangnya adat istiadat, hilangnya budaya asli rejang juga memudarkan sebuah ajaran rejang mengenai pegong pakeui. Saat ini berbagi sudah tidak mau lagi sama banyak, menimbang tidak mau sama berat, menakar sudah tidak mau lagi sama rata. Siapa yang berkuasa dan gagah itulah yang memegang kekuasaan. Manusia dalam berprilaku sudah tidak terkontrol lagi yang akhirnya mendatangkan bencana bagi manusia itu sendiri.



"Itulah penyebab yang mendatangkan banjir, karena manusia membabi buta dalam membuka hutan. Tidak mengikuti aturan lagi, tebing dibuat lahan, nah itulah barangkali hutannya bakal rusak. Kalau zaman saya hingga bapak saya keatas, zaman nenek saya tidak pernah rusak. Dijamin tidak ada yang rusak hutannya" tegas pak salim yang membuat saya kagum akan semua penjelasan beliau.


Lema Makanan Khas Suku Rejang



Lema adalah sebuah nama makanan khas Rejang. Komposisinya terdiri dari rebung yang dicincang-cincang dan dicampur ikan air tawar seperti ikan mujair, sepat, maupun ikan-ikan kecil yang hidup di air tawar. Setelah cincangan rebung yang dicampur dengan ikan tersebut diaduk-aduk, maka adonan tersebut disimpan ke dalam wadah yang dilapisi dengan daun pisang dan ditutup rapat-rapat. Proses pengeraman ini bisanya minimal membutuhkan waktu tiga hari. Setelah itu, baru adonan tadi dapat dijadikan gulai sebagai lauk yang dimakan dengan nasi.

Lema itu sendiri dimasak dengan cara yang tidak berbeda dengan tempoyak. Lema beraroma agak tidak sedap baunya. Itu merupakan efek dari pembusukan dari ikan yang dicampur dengan rebung. Meskipun baunya yang tidak sedap, tapi banyak yang menyukainya. Keunikan dari aroma dan cita rasa yang dihasilkan lema, menjadikan makanan ini bukan sekedar disukai suku bangsa Rejang. Lema lebih nikmat bila dimasak dengan campuran santan dan ditambahkan dengan ikan air tawar maupun ikan laut. Pada umumnya, lema dimasak dengan ditambah dengan ikan mas, tongkol, maupun ikan yang biasa dikonsumsi manusia pada umumnya.

Mengenai cita rasa yang dihasilkan lema, makanan ini termasuk dari selera khas Sumatera. Lema memiliki rasa asam dan pedas, serta aroma yang unik tapi gurih setelah dimasak. Setelah masak, lema biasanya dimakan sebagai lauk. Lema lebih nikmat dimakan dengan ditemani lalapan seperti kabau, jering, atau petai.

Lema juga telah menjadi komoditi ekspor ke Jepang, meskipun banyak juga suku bangsa Rejang yang tidak mengetahui hal itu. Lema dikemas secara modern ke dalam kaleng. Kemasannya tidak berbeda dengan kemasan kornet ataupun sarden yang biasa dijual di warung maupun toko-toko manisan modern lainnya. Lema telah dijadikan makanan pengganti dari tradisi orang Jepang yang biasa memakan ikan mentah yang telah terbukti penyebab penyakit Minamata di Jepang. Rasa lema yang sesuai dengan selera Jepang, menjadikan lema makanan favorit yang dikenal secara internasional di Jepang. Mengenai asal-usul lema, secara kentara tidak dipublikasikan bahwa makanan tersebut asal mulanya dari karya salah satu suku bangsa di Indonesia.

Sejarah Lagu Lalan Belek


Lalan belek adalah lagu tradisional suku rejang yang berarti Lalan Pulang (Balik)lagu ini masing masing daerah di tanah rejang memiliki bermacam-macam syair namun iramanya tetap sama. Ternyata ada kisah dibalik lagu lalan belek.

Oi lalan belek… oi lalan belek, lalan belek Oi lalan belek… oi lalan belek, lalan belek Kemak boloak si depeak, depeak nang au Kemak dawen si lipet duwei, lipet duwei Kunyeu depeloak etun, temegeak nang au Belek asen ite beduei, ite beduei Oi lalan belek… oi lalan belek, lalan belek Oi lalan belek… oi lalan belek, lalan belek Amen ku namen repie epet nang au Coa ku melapen eboak kedulo, eboak kedulo Amen ku namen idup yo peset nang au Coa ku lak tu’un mai dunio, tu’un mai dunio Oi lalan belek… oi lalan belek, lalan belek Oi lalan belek… oi lalan belek, lalan belek Amen ade seludang pinang nang au Jano guno ku upeak igei, ku upeak igei Amen ade bayang betunang nang au Jano guno bemadeak igei, bemadeak igei Oi lalan belek… oi lalan belek, lalan belek Oi lalan belek… oi lalan belek, lalan belek Bilei iyo temanem tebeu nang au Memen sebilei temanem seie, temanem seie Bilei iyo ite betemeu nang au Memn sebilei ite becei, ite becei Oi lalan belek… oi lalan belek, lalan belek Oi lalan belek… oi lalan belek,
itu adalah Syair dari lalan belek yang jika diartikan :

Oi Lalan pulang… oi lalan pulang, lalan pulang Oi Lalan pulang… oi lalan pulang, lalan pulang Ambil bambu sebelah-sebelah Ambil daun dilipat dua, lipat dua Biar sepuluh orang melarang Kembali rasa kita berdua Oi Lalan pulang… oi lalan pulang, lalan pulang Oi Lalan pulang… oi lalan pulang, lalan pulang Kalau kutahu buah Pare pahit Tidak kumasak buah kedula Kalau kutahu hidup ini sengsara Tidak kumau turun ke dunia Oi Lalan pulang… oi lalan pulang, lalan pulang Oi Lalan pulang… oi lalan pulang, lalan pulang Kalau ada pelepah pinang Apa guna ku upah lagi Kalau ada bayangan hendak bertunangan Apa guna berkata-kata lagi Oi Lalan pulang… oi lalan pulang, lalan pulang Oi Lalan pulang… oi lalan pulang, lalan pulang Hari ini menanam tebu Besok lusa menanam serai Hari ini kita bertemu Besok lusa kita bercerai Oi Lalan pulang… oi lalan pulang, lalan pulang Oi Lalan pulang… oi lalan pulang, lalan pulang

adapun kisah dibalik lagu lalan belek diantaranya :

Cerito rakyat yo bik ndaleak may kutei Jang kuleu kiseak cerito yo tentang indok dik ade anak smulen baes genne lalan anakne cak mratau oak, lak mesoa jerkei dik lebeak baik, an anak yo coa belek-belek, belek debat lak dem nong indok ne dik bik tuei, indok ne indew lut magea anak ne suang, indokne coa dik spasoak igei. Seleyen anak ne o. Sapie ketiko lalan sakit paeak di akhirne matie, nak sadienen. Indok ne gik blemet anak ne belek, indew ne menea awak ne sapie sakit. Tiep bilei indok ne gik blemet anak ne belek, indew ne menea awak ne sapie sakit. Tiep bilei indok ne blemet lalan nak adep pondok sambea liseak sakit kerno indew ngen anak. Indokne trus belemet sambea sakit si mnyanyi lagu dik Minai lalan Belek. Oi lalan belek… oi lalan belek, lalan belek Oi lalan belek… oi lalan belek, lalan belek Kemak boloak si depeak, depeak nang au Kemak dawen si lipet duwei, lipet duwei Kunyeu depeloak etun, temegeak nang au Belek asen ite beduei, ite beduei Oi lalan belek… oi lalan belek, lalan belek Oi lalan belek… oi lalan belek, lalan belek Amen ku namen repie epet nang au Coa ku melapen eboak kedulo, eboak kedulo Amen ku namen idup yo peset nang au Coa ku lak tu’un mai dunio, tu’un mai dunio Oi lalan belek… oi lalan belek, lalan belek Oi lalan belek… oi lalan belek, lalan belek Amen ade seludang pinang nang au Jano guno ku upeak igei, ku upeak igei Amen ade bayang betunang nang au Jano guno bemadeak igei, bemadeak igei Oi lalan belek… oi lalan belek, lalan belek Oi lalan belek… oi lalan belek, lalan belek Bilei iyo temanem tebeu nang au Memen sebilei temanem seie, temanem seie Bilei iyo ite betemeu nang au Memn sebilei ite becei, ite becei Oi lalan belek… oi lalan belek, lalan belek Oi lalan belek… oi lalan belek, lalan belek Kunai lenyet, lalan tem ngoa lagu indokne, coa sapie atie kemleak indokne indew si. Si lajeu tu un mai dunio. Keten kunai das lenget, lalan tuun kunai lenget ngen dewi-dewi di alep-alep. Indok ne yo ano te kejir kemleak lalan anak ne jijei dewi, hinggo si bepeker lalan bik matie sudoo jijei dewi.
Cerita rakyat ini telah mendarah daging pada keturunan masyarakat suku Rejang Bengkulu. Cerita ini berkisah tentang seorang ibu yang memiliki anak gadis yang sangat cantik bernama Lalan. Sang anak menginginkan dirinya merantau ke suatu tempat yang jauh, hendak mendapatkan nasib yang lebih baik. Lama sekali sang anak tidak pulang-pulang untuk sekedar menjenguk ibunya yang sudah tua. Ibunya merasa sangat merindukan anak satu-satunya itu. Sang ibu tidak memiliki sanak lagi selain anaknya si Lalan itu. Di suatu tempat, nampak si Lalan belum sampai mendapatkan nasib baik. Dia menjadi seorang pelayan di sebuah ladang milik saudagar cina. Baru bekerja beberapa hari, si Lalan tidak mendapatkan perlakuan yang baik dari majikannya. Saudagar cina tersebut sering membuat Lalan mendapatkan luka-luka di badan karena perlakuan kasarnya. Sampai pada suatu saat Lalan menderita sakit dan akhirnya dia mati. Di kejauhan, tepatnya di kampung halamannya, sang ibu masih menantikan kedatangan anak gadis satu-satunya itu. Betapa kerinduan sang ibu sampai dia merintih kesakitan. Tiap hari sang ibu menantikan kedatangan Lalan di depan gubuknya, tapi Lalan tak kunjung datang menjenguk juga. Suatu pagi yang tiada cerah-cerahnya bagi sang ibu, seperti biasanya dia tetap menanti Lalan di depan gubuknya sambil merintih menahan sakit karena kerinduan kepada anaknya. Sang ibu terus saja menunggu dan dia merintih menyanyikan suatu lagu yang menginginkan Lalan pulang. Oi Lalan pulang… oi lalan pulang, lalan pulang Oi Lalan pulang… oi lalan pulang, lalan pulang Ambil bambu sebelah-sebelah Ambil daun dilipat dua, lipat dua Biar sepuluh orang melarang Kembali rasa kita berdua Oi Lalan pulang… oi lalan pulang, lalan pulang Oi Lalan pulang… oi lalan pulang, lalan pulang Kalau kutahu buah Pare pahit Tidak kumasak buah kedula Kalau kutahu hidup ini sengsara Tidak kumau turun ke dunia Oi Lalan pulang… oi lalan pulang, lalan pulang Oi Lalan pulang… oi lalan pulang, lalan pulang Kalau ada pelepah pinang Apa guna ku upah lagi Kalau ada bayangan hendak bertunangan Apa guna berkata-kata lagi Oi Lalan pulang… oi lalan pulang, lalan pulang Oi Lalan pulang… oi lalan pulang, lalan pulang Hari ini menanam tebu Besok lusa menanam serai Hari ini kita bertemu Besok lusa kita bercerai Dari kahyangan, Lalan mendengar rintihan lagu ibunya. Tidak sampai hati melihat sang ibu terundung kerinduan pada dirinya, dia segera turun ke bumi. Tampak dari atas langit, si Lalan turun dari kahyangan bersama dewi-dewi yang cantik-cantik. Sang ibu sangat kaget karena melihat Lalan anaknya menjadi seorang dewi, sehingga dia berpikir bahwa Lalan telah mati dan menjadi seorang dewi.
Dengan melihat si Lalan, kerinduan sang ibu telah terobati. Sang ibu tersungkur di depan gubuknya. Kemudian dia mati dengan tersenyum tapi meneteskan air matanya. Konon, air mata sang ibu terus saja mengalir di depan gubuknya sampai menggenang dan menjadi sungai. Yang sekarang menjadi sungai Putih. Sampai sekarang oleh masyarakat suku Rejang, sungai Putih dianggap keramat. Masyarakat suku Rejang percaya bahwa Lalan yang telah menjadi dewi tersebut masih sering turun ke sungai Putih untuk mandi di air mata ibunya itu.

Deu versi di muncul kunai tiep lageu kutei jang. Karno coa dik sine tek tertulis tentang lageu daerah kutei jang dik tercipto kunai cerito rakyat kutei jang dewek…banyak versi yang muncul dari setiap lagu suku rejang, karena tidak adanya teks tertulis tentang lagu daerah suku Rejang yang tercipta dari cerita rakyat suku Rejang sendiri

warga suku Rejang mengungkapkan bahwa dalam sejarah suku Rejang, konon ada dewi atau biasa disebut seorang bidadari bernama Lalan yang selalu mandi di sungai Putih. Sehingga terkait dengan lagu dan jalan cerita yang melatar belakangi terciptanya lagu Lalan belek. Legenda sungai Putih dikaitkan dengan latar belakang lagu Lalan Belek, karena sungai Putih yang berlokasi di dusun Curup airnya putih dan bening, sebening air mata sang ibu Lalan

Kepercayoan tun kutei jang bahwa memain ade dikup bidadari genne lalan di galak keten mai mendei nak bioa puteak kerno si indew ngen indokne …kepercayaan warga suku Rejang bahwa memang ada seorang bidadari bernama Lalan yang sering datang untuk mandi di sungai Putih karena dia merindukan ibunya…

Isi dalam lagu Lalan Belek memiliki banyak ungkapan-ungkapan yang sarat makna. Dan oleh para leluhur atau orang tua suku rejang dipakai sebagai petuah atau nasehat kepada anak cucunya.
Legenda mengenai bioa puteak jijei saleak do latarblakang adene lageu lalan belek. Kepecayoan tun kutei jang tentang legenda bioa puteak di cenrito kunai latarbelakang terciptane lageu menea tun manggep legenda o benea-benea te jijei

legenda mengenai sungai Putih menjadi salah satu latar belakang terciptanya lagu Lalan Belek atau Lalan Pulang. Kepercayaan masyarakat Rejang tentang legenda sungai Putih yang diceritakan dari latar belakang terciptanya lagu tersebut membuat masyarakat menganggap legenda tersebut benar-benar terjadi. Versi Lainnya :

Meno o adé cerito tun tuei. Cerito ne awié yo. Adé nak debueak sadié diem tun bujang. Gén ne Bujang Kurung. Adé do bilei si aleu mai ngéwéa nak bioa, coa si oak kunai sadié ne. Si aleu in ne belas ngen silei. Si aleu menék matei bilei. Si
mai ngéwéa, nem beguték panuo. Coa an sapié si nak penan ne lak ngéwéa. Si mulai ngéwéa. uk kéwéa ne. Bilei bi lekat. Uléak coa dé si ne. Udo oCoa dé kan lak em adé nyut ne lak bélék. Wakteu si lak bélék tenngoa ne tun giag. Si tak ang ne. Si cengang kemléak adé tun alep-alep nien. Tobo o semulenmim mulen. Adé dikup di alep su'ang ne. Si di piset su'ang ne. Beguték Bujang Kurung ma'ak ne, coa tobo o namen. Bujang Kurung tak mak bajeu di ei, makié areak alat ne, kes nepiset su'ang o. Wakteu tobo o sudo men areak alat di piset o bi laput. Pasoak ne sudo makié areak alat ne lak bélék mai léngét. Tapi di piset nano coa nam tebang igei. Bajeu ne bi oi kulo kemléak asoak neoi si ke'an jano ne. Pasoak ne nginlaput. Ngin a di piset o su'ang.coa nam bélék igei. Jisanak ne aleu kete. Ting Kenléak Bujang Kurung o awié o. Tekjir si. Coa si sako do'o anak diwo. in melilei. Udo o BujangSi maik bajeu di nemak ne nano. Si tak em Kurung magea igei di piset nano. Si temnei bene si coa bélék mai léngét. Nadeak di piset o, bajeu ne laput. Udo o Bujang Kurung majak mai sadié ne. Lak di piset o. Tennei Bujang Kurung gén ne. Gén ne Lalan. Bi sapié in Bujang Kurung mai umeak ne. Diem banak sadié Bujang Kurung, nem Lalan nak di an bi ke'an. Bujang Kurung tujeu ngen Lalan. Lalan lak kulo cito kulo ngen Bujang Kurung. Coa an udo o napag tun sadié o tun beduei o. Abis cerito ku.
Dahulu ada cerita-cerita dari orang tua,ceritanya seperti ini, ada di suatu desa tinggallah seorang lelaki,namanya Bujang Kurung, suatu hari dia pergi memancing disungai yang tidak begitu jauh dari desanya, hanya berbekal nasi dan garam ia pergi mancing,sesampai di sungai tersebut dia mulai memancing tapi pada hari itu tidak satu pun ikan yang berhasil ia pancing,sehingga ia memutuskan untuk pulang,diperjalanan pulang tiba-tiba dia mendengar suara orang yang sedang bercakap-cakap,tiba-tiba saja muncul niatnya ingin tahu dari mana suara itu berasal.diikutinyalah suara itu sampai akhirnya dia terkejut karena suara-suara itu berasal dari para gadis-gadis yang sangat cantik yang tengah mandi disungai,ada satu gadis yang menarik perhatian bujang kurung karena gadis tersebut paling cantik diantara gadis-gadis lainnya.tanpa disadari oleh para gadis-gadis tersebut si bujang kurung mencuri salah satu pakaian dari mereka,sehingga sewaktu mereka selesai mandi salah satu dari mereka terkejut karena pakaiannya hilang,sibungsu mengangis sejadi-jadinya,melihat hal tersebut saudara sibungsu ikutan menangis,akhirnya saudara-saudara sibungsu itu pulang dan tinggallah sibungsu sendirian,sibujang kurung terkejut karena dia tidak menyangka kalau gadis-gadis yang mandi tersebut adalah para dewi-dewi.setelah sibungsu tinggal sendirian menangisi nasibnya yang tidak bisa pulang lagi kelangit, sibujang kurung tiba-tiba mendekati sibungsu tersebut dan bertanya kenapa kamu tidak pulang bersama saudara-saudaramu kelangit,sibungsu menjawab karena bajuku hilang,lalu sibujang kurung menanyakan nama gadis itu,gadis itu menjawab kalau namanya adalah lalan setelah itu bujang kurung mengajak sibungsu tersebut pulang ke desanya dan mereka akhirnya menikah.


Profil Sekolah SMAN 1 Muara Aman
Posted: Juli 28, 2010
SMA Negeri 1 Lebong Utara                                               
VISI dan MISI

Perkembangan dan tantangan masa depan seperti: perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; globalisasi yang sangat cepat; era informasi; dan berubahnya kesadaran masyarakat dan orang tua terhadap pendidikan memicu sekolah untuk merespon tantangan sekaligus peluang itu. SMA Negeri 1 Lebong Utara memiliki citra moral yang menggambarkan profil sekolah yang diinginkan di masa datang yang diwujudkan dalam Visi sekolah berikut:
VISI SMA NEGERI 1 LEBONG UTARA
TERWUJUDNYA SEKOLAH YANG UNGGUL DALAM PRESTASI, BERLANDASKAN KEIMANAN YANG KUAT
Visi tersebut di atas mencerminkan cita-cita sekolah yang berorientasi ke depan dengan memperhatikan potensi kekikinian, sesuai dengan norma dan harapan masayarakat.
Untuk mewujudkannya, Sekolah menentukan langkah-langkah strategis yang dinyatakan dalam Misi berikut :


MISI SMA NEGERI 1 LEBONG UTARA



1. Mengembangkan dan melaksanakan proses pembelajaran yang berkualitas
2. Meningkatkan prestasi dalam bidang ekstrakurikuler yang sesuai dengan potensi siswa
3. Menumbuhkembangkan semangat keunggulan kepada seluruh warga sekolah
4. Mengembangkan sekolah yang bernuansa religius
5. Meningkatkan Wawasan Tentang Teknologi dan Informasi

Lingkungan Sekolah
SMA Negeri 1 Lebong Utara terletak di kecamatan Lebong Utara, tepatnya di Kelurahan Pasar Muara Aman. Wilayahnya termasuk ke dalam Kabupaten Lebong Propinsi Bengkulu. Kabupaten Lebong adalah kabupaten konservasi yang terdapat pada lereng bukit barisan dengan kondisi lahan bergelombang, dengan ketinggian 100 s.d > 1.000 dpl, luas wilayah kabupaten Lebong adalah 192.924 Ha yang didominasi oleh kawasan hutan lindung seluas 137.859,15 Ha terdiri dari:
Hutan Suaka Alam dan Cagar Alam seluas 3.022,15 Ha;

Hutan Lindung seluas 21.325,00 Ha;
TNKS (Taman Nasional Kerinci Sebelat

Jumlah penduduk di Kabupaten Lebong adalah 86.892 jiwa (Sensus Penduduk tahun 2006), terdiri dari laki-laki 44.680 jiwa dan perempuan 42.212 jiwa. Dengan kepadatan penduduk 45 jiwa per km2, dan pertumbuhan penduduk 0,62 %.
Kabupaten Lebong awalnya terdiri dari 13 wilayah kecamatan yaitu :

1. Kecamatan Lebong Utara 8. Kecamatan Pelabi
2. Kecamatan Lebong Tengah 9. Kecamatan Uram Jaya
3. Kecamatan Lebong Atas 10. Kecamatan Pinang Belapis
4. Kecamatan Lebong Selatan 11. Kecamatan Bingin Kuning
5. Kecamatan Rimbo Pengadang 12. Kecamatan Tapus
6. Kecamatan Padang Bano 13. Kecamatan Lebong Sakti
7. Kecamatan Amen

Kabupaten Lebong memiliki banyak tempat pariwisata antara lain :

Wisata Alam : Air Putih, Air Picung, Paliak, Sungai Ketahun, Sumber Air Panas Karang Dapo, Sumber Air Panas Turang Lalang, Sumber Air Panas Desa Tes, Suban Gelegok, Goa Sriwijaya, dan Lobang Kacamata.
Air Terjun : Embong Uram, Semelako, Air Santan, Ketenong, Telon Buyuk, Bioa Baes, Tik Gumaceak, Siapang, Amen, Taman Peri dan Tebing Serai.
Wiasata Danau : Danau Tes, Danau Picung, Danau Lupang, dan Danau Blue Desa Mubai.

Sumber Peta Pemerintah Propinsi Bengkulu

Kabupaten Lebong beribukota di Tubei sebagai pusat pemerintahan, dan kota Muara Aman Kecamatan Lebong Utara merupakan pusat perekonomian. Masyarakat yang mendiami daerah ini sebagian besar dari suku Rejang, Minang, Jawa dan Batak. Tata tempat tinggal dan sanitasi kota Muara Aman cukup baik, sedang sarana dan prasarana yang ada cukup memadai dari Masjid, Gereja, pusat kesehatan, sekolah dan penginapan bagi pengunjung objek wisata.
Untuk pengembangan wilayah, transportasi memang sangat strategis dan dibutuhkan. Ojek, angkutan desa dan Becak motor (ojek gandeng) merupakan kendaraan umum yang dimiliki masyarakat.

Dalam bidang pendidikan sudah terdapat sekolah dari SD hingga SMA. Mutu pendidikan pada umumnya masih rendah. Rendahnya pendidikan ini berkaitan erat dengan mata pencaharian penduduk yang sebagian besar adalah petani (79 % dari jumlah penduduk).
Keadaan Sekolah

1. Sarana dan Prasarana.
a. Tanah dan Halaman
Tanah sekolah sepenuhnya milik negara. Luas areal seluruhnya 10.972 m2. Sekitar sekolah dikelilingi oleh pagar sepanjang 550 m.

Keadaan Tanah Sekolah SMA Negeri 1 Lebong Utara

Status : Milik Negara
Luas Tanah : 10.972 m2
Luas Bangunan : 2.775 m2
Pagar : 550 m

b. Gedung Sekolah

Bangunan sekolah pada umumnya dalam kondisi baik. Jumlah ruang kelas untuk menunjang kegiatan belajar memadai.
Keadaan Gedung Sekolah SMA Negeri 1 Lebong Utara
Luas Bangunan : 2.775 m2
Ruang Kepala Sekolah : 1 Baik
Ruang TU : 1 Baik
Ruang Guru : 1 Baik
Ruang Kelas : 16 Baik
Ruang Lab. Kimia : 1 Baik
Ruang Lab. Komputer : 1 Baik
Ruang Perpustakaan : 1 Baik
Ruang OSIS : 1 Baik
Ruang Bimbingan Konseling : 1 Baik
Ruang UKS : 1 Baik
Musholla : 1 Baik
Perumahan Guru : 3 Baik

C. Personil Sekolah

SMA Negeri 1 Lebong Utara didirikan pada tahun 1983. Pimpinan sekolah yang pernah bertugas di SMA Negeri 1 Lebong Utara sejak awal berdirinya (1983) adalah:

1. Sujadiyo, S.H. Tahun 1983 S/D 1985 (PLH)

2. Drs. Sanul Basrin Tahun 1985 s/d 1989
3. Drs. Suprapto Tahun 1989 s/d 1992
4. Drs. Lukmanul Hakim Tahun 1992 s/d 1995
5. Drs. Edi Suarna Tahun 1995 s/d 2004
6. Zainal Abidin, S.Pd. Tahun 2004 s/d 2006
7. Yudarman, S.Pd. Tahun 2006 (PLT)
8. Drs. Effendi Sinambela Tahun 2006 s/d 2008
9. Drs. Nusardi Tahun 2008 s/d Sekarang

Jumlah seluruh personil sekolah ada sebanyak 55 orang, terdiri atas guru 45 orang, karyawan tata usaha 7 orang, pustakawati 2 orang dan penjaga sekolah 1 orang.
Keadaan Personil Sekolah

1 Drs. Nusardi Kepala Sekolah Pegawai Negeri
2 Jafri G, S.Pdi Wakasek. Humas Pegawai Negeri
3 Drs. Amarullah Guru Pegawai Negeri
4 Dra. Hartati Guru BK Pegawai Negeri
5 Eny Rachmawati, S.Pd Guru Pegawai Negeri
6 Dra. Hj. Fauziah Djalili Wakasek. Kurikulum Pegawai Negeri
7 Sunardi, S.Pd Guru Pegawai Negeri
8 Rozena Eva, S.Pd Guru Pegawai Negeri
9 Dasmartuti, S.Pd Guru Pegawai Negeri
10 Ratna Wilis, S.Pd Guru Pegawai Negeri
11 Ermita, S.Pd Guru Pegawai Negeri
12 Yauman, S.Pd Guru Pegawai Negeri
13 Hekler Zopi, S.Pd Wakasek. Kesiswaan Pegawai Negeri
14 Miskon, S.Pd Guru Pegawai Negeri
15 Azwan Ansori, M.Pd Guru Pegawai Negeri
16 Evi Novianti, S.Pd Guru Pegawai Negeri
17 Lolita Hendriyati, S.Pd Guru BK Pegawai Negeri
18 Rukmiwati, S.Pd Guru Pegawai Negeri
19 Santy Ovriany, S.Pd Guru Pegawai Negeri
20 Irwin Joni Irawan, S.Pd Wakasek. Sarana Pegawai Negeri
21 Renal Paladas, S,Pd Guru Pegawai Negeri
22 Maya Rofa, S.Pd Guru Pegawai Negeri
23 Eka Susanti, S.Pd Guru Pegawai Negeri
24 R.Arief Prianto, S.Pd Guru Pegawai Negeri
25 Adang Parlindungan , SH Guru Pegawai Negeri
26 Khairunnisa, S.Sos Guru Pegawai Negeri
27 Aprianti, S.Pd Guru Pegawai Negeri
28 Ir. M. Mirza Guru Pegawai Negeri
29 Pemda Mustaqori, S.Pd Guru Pegawai Negeri
30 Jasmiah, S.Sos Guru Pegawai Negeri
31 Samsiah, S.Pd Guru Pegawai Negeri
32 Adita Martin W , S.Si Guru Pegawai Negeri
33 Mezi Arsisti, S.Pdi Guru Pegawai Negeri
34 Darmayanti, S.Sos Guru Pegawai Negeri
35 Sumantri, S.Sos Guru Pegawai Negeri
36 Jon Effendi, SE Guru Pegawai Negeri
37 Dra. Kamsiah, S.Pd Guru Pegawai Negeri
38 Rizki Widia H. S.Pd Guru Pegawai Negeri
39 Revi Sari Azianti, S.Pd Guru Pegawai Negeri
40 Doni Meirini, S.Pd Guru Pegawai Negeri
41 Rifki Yanofri, S.Pd Guru Pegawai Negeri
42 Suski Antoni, S.Pd.I Guru BK Pegawai Negeri
43 Dianti Elmiana, S.Pd Guru Pegawai Negeri
44 Nurmayuni, S.Pd.I Guru Pegawai Negeri
45 Reni Yunita, SP Guru Pegawai Honorer
46 Alfian Agus, S.IP Tenaga Administrasi Pegawai Negeri
47 Asep Iwan Susanto Tenaga Administrasi Pegawai Negeri
48 Syamsir Alamsyah Pemb. Staf TU PTT
49 Irma Suryani Pemb. Staf TU PTT
50 Fahreni Pemb. Staf TU PTT
51 Meiske Anggrina F. Pemb. Staf TU PTT
52 Mieke Arpianti Pustakawati PTT
53 Taufik Hidayat Penjaga Sekolah PTT
54 Y o g i Pemb. Staf TU PTT
55 Siti Fatma Utari Pustakawati PTT

Dari sejumlah guru, sebanyak 97 % yang berstatus guru Pegawai Negeri, sisanya 3 % guru honorer, dari sejumlah staf, hanya 20 % yang berstatus pegawai negeri dan sisanya 80 % PTT Honorer.
C. Tujuan Sekolah

Tujuan sekolah sebagai bagian dari tujuan pendidikan nasional adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.






Batas WIlayah

Batas Wilayah Kabupaten Lebong ialah
  • sebelah utara : berbatasan dengan Kab. Sarolangun – Jambi
  • sebelah timur : berbatasan dengan Kab. Musi Rawas
  • sebelah barat : berbatasan dengan Kab. Bengkuku Utara
  • sebelah selatan : berbatasan dengan Kab. Rejang Lebong dan Bengkulu Utara.

Latar Belakang Berdiri

Pada tahun 2003 berdasarkan UU RI Nomor 39 Tahun 2003 yang ditetapkan pada tanggal 18 Desember 2003 dibentuklah Kabupaten Lebong yang terdiri atas 5 Kecamatan yakni: Lebong Utara, Lebong Tengah, Lebong Selatan, Rimbo Pengadang dan Lebong Atas.

Letak Geografis

Kabupaten Lebong terletak pada 1010 sampai dengan 1020 bujur timur dan 02065’ sampai dengan 0306’ lintang selatan. Adapun wilayah Kabupaten Lebong berbatasan langsung dengan Propinsi Jambi disebelah utara, Propinsi Jambi dan Sumatera Selatan disebelah timur, Kabupaten Bengkulu Utara disebelah barat dan Kabupaten Rejang Lebong disebelah selatan.

Sejarah

Kabupaten Lebong secara historis memiliki sejarah yang cukup panjang dalam catatan sejarah di Indonesia, catatan sejarah tersebut merupakan saksi bahwa Kabupaten Lebong memiliki nilai historis yang cukup tinggi, Suku Rejang merupakan satu komunitas masyarakat di Kabupaten Lebong yang memiliki tata cara dan adat istiadat yang dipegang teguh sampai sekarang
Selain memegang teguh adapt, budaya Suku Rejang ini memiliki satu budaya yang unik dari kebiasaan dan tata cara hidup mereka sehari-hari, dari beberapa catatan sejarah yang membuktikan keunikan Suku Rejang adalah sebagai berikut :
John Marsden, Residen Inggris di Lais (1775-1779), memberikan keterangan tentang adanya empat Petulai Rejang, yaitu Joorcalang (Jurukalang), Beremanni (Bermani), Selopo (selupu) dan Toobye (Tubay). J.L.M Swaab, Kontrolir Belanda di Lais (1910-1915) mengatakan bahwa jika Lebong di angap sebagai tempat asal usul bangsa Rejang, maka Merigi harus berasal dari Lebong. Karena orang-orang merigi memang berasal dari wilayah Lebong, karena orang-orang Merigi di wilayah Rejang (Marga Merigi di Rejang) sebagai penghuni berasal dari Lebong, juga adanya larangan menari antara Bujang dan Gadis di waktu Kejai karena mereka berasal dari satu keturunan yaitu Petulai Tubei.
Dr. J.W Van Royen dalam laporannya mengenai “Adat-Federatie in de Residentie’s Bengkoelen en Palembang” pada pasal bengsa Rejang mengatakan bahwa sebagai kesatuan Rejang yang paling murni, dimana marga-marga dapat dikatakan didiami hanya oleh orang-orang dari satu Bang dan harus diakui yaitu Rejang Lebong.
Pada mulanya suku bangsa Rejang dalam kelompok-kelompok kecil hidup mengembara di daerah Lebong yang luas, mereka hidup dari hasil-hasil Hutan dan sungai, pada masa ini suku bangsa Rejang hidup Nomaden (berpindah-pindah) dalam tatanan sejarah juga pada masa ini disebut dengan Meduro Kelam (Jahiliyah), dimana masyarakatnya sangat mengantungkan hidupnya dengan sumber daya alam dan lingkungan yang tersedia.
Barulah pada zaman Ajai mereka mulai hidup menetap terutama di Lembah-lembah di sepanjang sungai Ketahun, pada zaman ini suku bangsa Rejang sudah mengenai budi daya pertanian sederhadan serta pranata sosial dalam mengatur proses ruang pemerintahan adat bagi warga komunitasnya. Menurut riwayat yang tidak tertulis suku bangsa Rejang bersal dari Empat Petulai dan tiap-tiap Petulai di Pimpin oleh seorang Ajai. Ajai ini berasal dari Kata Majai yang mempunyai arti pemimpin suatu kumpulan masyarakat. Dalam zaman Ajai ini daerah Lebong yang sekarang masih bernama Renah Sekalawi atau Pinang Belapis atau sering juga di sebut sebagai Kutai Belek Tebo. Pada masa Ajai masyarakat yang bekumpul sudah mulai menetap dan merupakan suatu masyarakat yang komunal didalam sisi sosial dan kehidupannya sistem Pemerinatahan komunial ini di sebut dengan Kutai. Keadaan ini ditunjukkan dengan adanya kesepakatan antara masyarakat tersebut terhadap hak kepemilikan secara komunal. Semua ketentuan dan praktek terhadap hak dan kepemilikan segala sesuatu.
Dari referensi yang berhasil dihimpun maka ajai merupakan kelompok masyarakat yang terdiri bari beberapa kategori ajai, kategori ajai tersebut merupakan satu komunitas yang hidup di beberapa lokasi atau tempat sebagai berikut :
  • Ajai Bintang memimpin sekumpulan manusia yang menetap di Pelabai suatu tempat yang berada di Marga Suku IX Lebong
  • Ajai Begelan Mato memimpin sekumpulan manusia yang menetap di Kutai Belek Tebo suatu tempat yang berada di Marga Suku VIII, Lebong
  • Ajai Siang memimpin sekumpulan manusai yang menetap di Siang Lekat suatu tempat yang berada di Jurukalang yang sekarang.
  • Ajai Malang memimpin sekumpulan manusia yang menetap di Bandar Agung/Atas Tebing yang termasuk kedalam wilayah Marga Suku IX sekarang.
  • Pada masa pimpinan Ajai inilah datang ke Renah Sekalawi empat orang Biku/Biksu masyarakat adat Rejang menyebutnya Bikau yaitu Bikau Sepanjang Jiwo, Bikau Bembo, Bikau Pejenggo dan Bikau Bermano. Dari beberapa pendapat menyatakan bahwa para Bikau ini berasal dari Kerajaan Majapahit namun beberapa tokoh yang ada di Lebong berpendapat tidak semua Bikau ini bersal dari Majapahit.
Dari perjalan proses Bikau ini merupakan utusan dari golongan paderi Budha untuk mengembangkan pengaruh kebesaran Kerajaan Majapahit, dengan cara yang lebih elegan dan dengan jalan yang lebih arif serta mementingkan kepedulian sosial dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur budaya lokal.

Kota Tua Lebong

Sebutan kabupaten Lebong sebagai kota tua merupakan satu catatan sejarah berdirinya kota Lebong, dilihat dari struktur dan kondisi kota yang ada di Kabupaten Lebong saat ini terlihat jelas bahwa kabupaten Lebong merupakan kota tua, seperti adanya peninggalan penambangan emas dari zaman penjajahan Belanda, dan dari bentuk arsitektural bangunan di Kabupaten Lebong, selain itu pola tata ruang kota Lebong menunjukan kota tersebut hasil karya peninggalan konsep tata ruang bangsa Belanda.
Sejarang mengapa kabupaten Lebong merupakan kota tua, karena di Kabupaten Lebong ini terdapat sumber daya alam berupa tambang emas, dan tambang emas tersebut menjadikan ketertarikan pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan kota di Lebong tepatnya di daerah Muaraaman.
Beberapa peninggalan tambang emas tua di Kabupaten Lebong sampai saat ini masih difungsikan dan di ekplorasi baik secara semi modern atau secara tradisional, namun sayang bangunan-bangunan sejarah seperti di desa Tambang Sawah tinggal puing saja yang merupakan saksi bisu bahwa Lebong merupakan kota tua.
Kejayaan Kabupaten Lebong sebagai daerah yang memiliki potensi alam dan sumber daya mineral sudah dikenal sejak jaman dahulu, semenjak kolonial Belanda ada di Indonesia, bukti-bukti kejayaan tersebut sampai sekarang masih terlihat dari sisa - sisa peninggalan tambang emas tua di Kabupaten Lebong. Beberapa sisa-sisa peninggalan tambang emas tersebut sampai sekarang masih di manfaatkan oleh masyarakat, dan diexplorasi oleh pihak swasta dengan izin dari Pemerintah Kabupaten Lebong, seperti yang terdapat di tambang emas Lubang Kacamata.

Demografi

Berdasarkan hasil pencacahan Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk Kabupaten Lebong (angka sementara) setelah dikurangi jumlah penduduk daerah sengketa antara Desa Padang Bano dengan Desa Renah Jaya (Kabupaten Bengkulu Utara) adalah 97.091 orang, yang terdiri atas 49.693 laki-laki dan 47.398 perempuan. Dari hasil SP2010 tersebut Kecamatan Lebong Utara, Lebong Selatan dan Lebong Tengah merupakan tiga kecamatan dengan jumlah terbanyak yaitu masing-masing berjumlah 15.296 orang, 13.406 orang dan 10.084 orang. Kecamatan dengan jumlah penduduk terkecil adalah Kecamatan Lebong Atas dengan jumlah penduduk 4.402 orang. Perbandingan laki-laki dan perempuan atau sex ratio di Kabupaten Lebong adalah sebesar 104,84%. Dari 13 kecamatan yang ada di Kabupaten Lebong hanya Kecamatan Uram Jaya yang sex ratio-nya kurang dari 100% yaitu sebesar 99,96%. Kecamatan dengan sex ratio tertinggi adalah Kecamatan Padang Bano yakni sebesar 133,97%.Dari hasil SP2010 diketahui laju pertumbuhan penduduk adalah sebesar 2,00% pertahun. Kecamatan dengan laju pertumbuhan penduduk tertinggi adalah Kecamatan Uram Jaya yakni 6,73% dan yang terendah adalah Kecamatan Pinang Belapis sebesar 0,67%. Dengan luas wilayah 2.427,31 yang didiami 97.091 orang sebesar 40 jiwa/Km . kecamatan yang paling tinggi tingkat kepadatannya adalah Kecamatan Lebong Utara sebesar 279 jiwa/Km sedangkan yang paling rendah adalah Kecamatan Padang Bano yakni 4 jiwa/km. [6]

Laju Pertumbuhan Penduduk

Jumlah penduduk hasil SP2010 di Kabupaten Lebong sebanyak 97.091 jiwa. Dengan jumlah penduduk hasil SP2000 sebesar 79.627 jiwa, maka laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Lebong per tahun selama sepuluh tahun terakhir yakni dari tahun 2000-2010 sebesar 2,00%.Jika dilihat laju pertumbuhan penduduk perkecamatan yang tertinggi adalah Kecamatan Uram Jaya sebesar 6,73% sedangkan yang terendah adalah Kecamatan Pinang belapis yaitu sebesar 0,67%. Sedang untuk Kecamatan Padang Bano tidak bisa dilihat laju pertumbuhannya karena Kecamatan Padang Bano merupakan daerah pemukiman baru, sehingga data jumlah penduduk pada tahun 2000 tidak ada.Tingginya laju pertumbuhan penduduk di Kecamatan Uram Jaya dikarenakan Kecamatan Uram Jaya dekat dengan pusat kota, selain itu wilayah yang tadinya rawa-rawa masih terus berkembang dan masih memungkinkan mengakomodir kebutuhan perumahan penduduk di sekitarnya. Laju pertumbuhan penduduk di Kecamatan Uram Jaya sejalan dengan tingginya laju pertumbuhan rumah tangga dan pertumbuhan bangunan tempat tinggal.Sedangkan laju pertumbuhan penduduk yang rendah di Kecamatan Pinang Belapis sebesar 0,67% dikarenakan kondisi wilayah Kecamatan Pinang Belapis yang tergolong sulit, selain itu kecamatan ini jauh dari pusat kota.

Keberadaan Taman Nasional di Kabupaten Lebong

Keberadaan Taman Nasional yang ada di kabupaten lebong adalah Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 736/Mentan/X/1982 kemudian diperkuat berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No 901/kpts-II/1999 sebagai kawasan konservasi dan di wilayah lain juga di kukuhkan sebagai kawasan Hutan Lindung Rimbo Pengadang Register 42 dan kawasan lindung Boven Lais yang awal pengukuhan kawasan ini ditetapkan sebagai hutan lindung oleh Pemerintahan Kolonial Belanda sekitar tahun 1927 yang dikenal sebagai hutan batas Boszwezen (BW).
Dari data yang ada total luas Taman Nasional Kerinci Seblat secara keseluruhan yang meliputi 4 (empat propinsi ) hasil tata batas ditetapkan seluas 1.368.000 Ha dengan perincian :
  • seluas 353.780 Ha (25,86%) terletak di Propinsi Sumatera Barat;
  • seluas 422.190 Ha (30,86%) terletak di Propinsi Jambi;
  • seluas 310.910 Ha (22,73%) terletak di Propinsi Bengkulu; dan
  • seluas 281.120 Ha (20,55%) terletak di Propinsi Sumatera Selatan.
Wilayah Taman Nasional Kerinci Seblat tersebar di 9 Kabupaten, 43 Kecamatan dan 134 Desa. Untuk kabupaten Lebong yang luasnya 192.924 hektar, hampir 70 % wilayah ini masuk pada kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat dengan luas 117.000 hektar
Dalam sejarah pembentukannya, taman nasional ini merupakan penyatuan dari kawasan-kawasan Cagar Alam Inderapura dan Bukit Tapan, Suaka Margasatwa Rawasa Huku Lakitan-Bukit Kayu embun dan Gedang Seblat, hutan lindung dan hutan produksi terbatas di sekitarnya yang berfungsi hidro orologis yang sangat vital bagi wilayah sekitarnya.
Temperatur Udara di sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat rata-rat berkisar 07° – 28° C dengag curah hujan Rata-rata 3.000 mm/tahun pada ketinggian Tempat 500 – 3.805 m dpl. Kelompok hutan tersebut merupakan Daerah Aliran Sungai (DAS) utama, yaitu DAS Batanghari, DAS Musi dan DAS wilayah pesisir bagian barat, DAS tersebut sangat vital peranannya terutama untuk memenuhi kebutuhan air bagi hidup dan kehidupan jutaan orang yang tinggal di daerah tersebut.
Mengingat pentingnya peranan kelompok hutan tersebut, maka pada tanggal 4 Oktober 1982, bertepatan dengan Kongres Taman Nasional Sedunia di Bali, gabungan kawasan tersebut diumumkan sebagai Taman Nasional Kerinci Seblat. Taman Nasional Kerinci Seblat merupakan perwakilan tipe ekosistem hutan hujan dataran rendah sam pai ekosistem sub alpin serta beberapa ekosistem yang khas (rawa gambut, rawa air tawar dan danau)
Hutan Taman Nasional Kerinci Seblat memiliki 4000 jenis tumbuhan yang didominasi oleh famili Dipterocarpaceae, dengan flora yang langka dan endemik yaitu pinus kerinci (Pinus merkusii strain Kerinci), kayu pacat (Harpulia alborera), bunga Rafflesia (Rafflesia arnoldi) dan bunga bangkai (Amorphophallus titanium dan A. decussilvae).

Potensi Flora dan Fauna

Taman Nasional Kerinci Seblat umumnya masih memiliki hutan primer dengan tipe vegetasi utama didominir oleh formasi :
  • Vegetasi dataran rendah (200 – 600 m dpl)
  • Vegetasi pegunungan/bukit (600 – 1.500 m dpl)
  • Vegetasi montana (1.500 – 2.500 m dpl)
  • Vegetasi belukar gleichenia/paku-pakuan (2.500 – 2.800 m dpl)
  • Vegetasi sub alpine (2.300 – 3.200 m dpl)
Tidak kurang dari 4.000 jenis flora (63 famili) terdapat di kawasan yang didominasi oleh famili Dipterocarpaceae, Leguminosae, Lauraceae, Myrtaceae, Bommacaceae, Moraceae, Anacardiaceae, Myristicaceae, Euphorbiaceae dan Meliaceae. Sedangkan pada ketinggian 500 m – 2000 m dpl. didominasi oleh famili Fagaceae, Erycaceae dan semak-semak sub alpin dari jenis Vaccinium dan Rhododendron
Beberapa jenis vegetasi yang khas di Taman Nasional Kerinci Seblat antara lain : Histiopteris insica (tumbuhan berpembuluh tertinggi) berada di dinding kawah Gunung Kerinci, berbagai jenis Nepenthes sp, Pinus mercusii strain Kerinci, Kayu pacat (Harpullia arborea), Bunga Raflesia (Rafflesia arnoldi), Agathis sp.
Hasil penelitian Biological Science Club (BScC) pada tahun 1993 di daerah buffer zone ditemukan 115 jenis vegetasi ethnobotanical yang banyak digunakan masyarakat setempat untuk berbagai keperluan seperti untuk obat-obatan, kosmetik, makanan, anti nyamuk dan keperluan rumah tangga.
Fauna yang tedapat dalam Taman Nasional Kerinci Seblat tercatat 42 jenis mammalia (19 famili), diantaranya : Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatrensis), Macan dahan (Neopholis nebulosa), Harimau Loreng Sumatera (Panthera tigris sumatrensis), Kucing emas (Felis termminnckii), Tapir (Tapirus indica), Kambing Hutan (Capricornis sumatrensis); 10 jenis reptilia; 6 jenis amphibia, antara lain: Katak Bertanduk (Mesophyrs nasuta), 6 jenis primata yaitu : Siamang (Sympalagus syndactylus) Ungko (Hylobates agilis), Wau-wau Hitam (Hylobates lar), Simpai (Presbytis melalobates), Beruk (Macaca nemestrina) dan Kera Ekor Panjang (Macaca fascicularis).
Di samping itu sudah tercatat 306 jenis burung (49 famili), diantaranya 8 jenis burung endemik seperti : Tiung Sumatera (Cochoa becari), Puyuh Gonggong (Arborophila rubirostris), Celepuk (Otus stresemanni), Burung Abang Pipi (Laphora inornata).

Program Carbon Conservation Lebong

Secara nyata kekayaan alam sector kehutanan di Kabupaten Lebong merupakan potensi yang cukup besar, dan memilik daya jual cukup tinggi, seperti halnya Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) merupakan asset sangat berharga, dengan luasan Taman Nasional Kerinci 134.834,55 Ha adalah Kawasan Konservasi dengan peruntukan untuk Kawasan Taman Nasional Kerinci Sebelat 111.035,00 Ha, Hutan Lindung 20.777,40 Ha dan Cagar Alam 3.022,15 Ha.
Akar permasalahan pada satu model kabupaten konservasi seperti di kabupaten Lebong ini adalah pengelolaan secara optimal, alasan tersebut wajar, karena keterbatasan biaya dalam pelaksanaan di lapangan, Kabupaten Lebong yang merupakan kabupaten baru, konsentrasi pembangunan saat ini terkonsentrasi pada dua sisi focus, yaitu perencanaan pembangunan dan pelaksanaan fisik pembangunan.
Sedangkan perencanaan untuk penetapan kawasan konservasi saat ini belum optimal, dan bersinergi dengan masyarakat, dan dampak yang paling buruk dari hal tersebut adalah munculnya beberapa pelanggaran terhadap kelestarian alam di kabupaten Lebong.
Berangkat dari akar permasalahan tersebut dapat disimpulkan pemberdayaan kawasan konservasi dimulai dari pemberdayaan masyarakat dan aparatur setempat, karena pengelolaan kawasan konservasi diperlukan SDM yang terampil.
Maka konsep carbon credit merupakan salah satu upaya untuk mendukung program kelestarian hutan di kabupaten Lebong, dengan konsep mendatangkan devisa tanpa menebang pohon satu batangpun.

Lokasi Perencanaan Kawasan Carbon Conservation

Kabupaten Lebong memiliki 13 kecamatan, yang memiliki pusat pemerintahan di Tubei, beberapa kecamatan tersebut memiliki wilayah hutan lindung, atau kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), yaitu kecamatan :
Kecamatan Rimbo Pengadang Kecamatan Topos Kecamatan Lebong Selatan Kecamatan Bungin Kuning Kecamatan Lebong Sakti Kecamatan Lebong Tengah Kecamatan Lebong Utara Kecamatan Amen Kecamatan Uram Jaya Kecamatan Pinang Belapis Kecamatan Lebong Atas Kecamatan Pelabai Kecamatan Padang Bano Penentuan kawasan Carbon Conservation ini pada kecamatan-kecamatan yang memiliki wilayah berdasarkan pada kawasan hutan lindung dan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), karena wilayah tersebut yang bersentuhan langsung dengan program Carbon Conservation, dengan luas yang akan di konservasikan seluas 60,2 % (119,612.9 ha)

Agraria

Pertanian

Produk pertanian yang menjadi unggulan berasal dari tanaman pangan, perikanan, dan perkebunan. Komoditas andalan dari tanaman pangan adalah padi. Sekitar 20.000 tenaga kerja menghabiskan sebagian besar waktu mereka di lahan persawahan. Dari luas panen sedikitnya 8.000 hektar, diperoleh 33.000 ton gabah kering giling. Selain untuk konsumsi lokal, padi juga dipasarkan ke Curup dan Kota Bengkulu. Sebagai produk unggulan, pertanian memberi kontribusi bagi pendapatan asli daerah (PAD) melalui retribusi.

Perkebunan

Perkebunan, yang menjadi primadona adalah nilam. Sekitar 4.000 pekerja menggarap lahan nilam seluas 575 hektar. Dari luas seluruhnya, terdapat tanaman menghasilkan seluas 171 hektar yang memproduksi 16,84 ton nilam. Dengan menggunakan kayu bakar, nilam mengalami proses penyulingan menjadi minyak nilam. Minyak ini kemudian dipasarkan ke Kota Medan di Sumatera Utara. Perkebunan, terutama kopi dan nilam, memberi kontribusi terhadap PAD. Pemkab Lebong tengah mencari cara baru untuk proses penyulingan minyak nilam. Selama ini masyarakat menyuling secara tradisional dengan bahan bakar kayu.

Perikanan

Di sektor perikanan, komoditi unggulan kabupaten ini adalah ikan mas. Untuk meningkatkan produksi ikan mas, yang merupakan primadona dari perikanan, Pemkab Lebong mengadakan balai benih ikan yang berfungsi sebagai penyedia bibit ikan. Usaha lainnya adalah memelihara jalan untuk memperlancar pengangkutan hasil ikan ke pasar.

Pertambangan

Di sektor pertambangan, Selain emas, tanah kabupaten ini mengandung berbagai macam bahan galian golongan C. Hasil galian yang masuk dalam golongan ini, seperti marmer, batu kapur, pasir kuarsa dan kaolin, juga sering disebut sebagai bahan galian industri. Penambangan bahan galian C tidak memerlukan teknologi canggih dan umumnya dilakukan secara tradisional sebagai tambang rakyat.



Lambang

Penjelasan

Lambang Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Lebong sesuai dengan Peraturan Daerah Tentang Lambang Daerah Kabupaten Lebong No. 28 Tahun 2005. Suku Rejang sangat mendambakan persatuan dan kesatuan, rasa senasib sepenanggungan berat sama dipikul ringan sama dijinjing, pahit sama-sama dibuang manis sama-sama dimakan. Merupakan salah satu makna isi Sumpah kesepakatan 4 Luak yakni : Luak Pesisir, Luak Lawang, Luak Musi Rawas dan Luak Jang Lebong.

Makna Lambang


Persegi Lima bermakna Suku Rejang memegang teguh Agama Islam dan terdiri dari 4 (empat) suku dan raja.

Dasar warna hijau melambangkan Kabupaten Lebong adalah daratan yang subur.
Di dalam persegi lima terdapat lukisan yang diartikan :
  • Padi dan kopi bermakna:
Sumber kehidupan masyarakat Kabupaten Lebong Ikatan lima menunjukkan Suku Rejang berasal Jang Raja dan Pembentukan Kabupaten Lebong pertama kali terdiri dari lima kecamatan. Padi berjumlah 17 butir tanggal Kemerdekaan Republik Indonesia. Kopi 13 daun menunjukkan tanggal peresmian / pelantikan Bupati pertama Kabupaten Lebong pada 07 Januari 2004.
  • Cerano menggambarkan masyarakat Kabupaten Lebong memegang teguh adat istiadat dalam budaya.
  • Gunung melambangkan bahwa Kabupaten Lebong ini dikelilingi oleh pegunungan dan hutan.
  • Bintang keemasan melambangkan Kabupaten Lebong adalah penghasil emas dan masyarakatnya mempunyai cita-cita yang tinggi.
  • Tulisan Kabupaten Lebong menunjukkan Wilayah Pemerintah Dalam Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  • Moto Swarang Patang Stumang memiliki pengertian Suku Rejang sangat mendambakan persatuan dan kesatuan, rasa senasib sepenanggungan berat sama dipikul ringan sama dijinjing, pahit sama-sama dibuang manis sama-sama dimakan.

 

 

Tempat Wisata

Wisata yang ada belum terlalu berkembang. Objek wisata Lebong antara lain
  • Air Putih
  • Danau Picung
  • Danau Tes, Danau Terbesar Di Bengkulu
  • Lebong Donok, Tambang Batu Mulia
  • Lobang Kacamata
  • PLTA Tes, PLTA Yang DiGerakan Oleh Air Danau Tes
==========================================================================


                                                                                                  

Batik “Ka Ga Nga” Ku Tak Lagi Megah dan Terancam Punah



SENI BATIK merupakan salah satu warisan budaya indonesia yang tak ternilai harganya, termasuk  juga seni batik Ka Ga Nga, ialah merupakan salah satu warisan budaya suku Rejang yang ada di Bumi Pat Petulai Rejang Lebong atau Kabupaten Rejang Lebong Propinsi Bengkulu.
Namun dengan perkembangan zaman dan teknologi tidak disangka dibalik makin maraknya motif  batik Ka Ga Nga yang sering digunakan oleh jajalan PNS dan pelajar di Kabupaten RL saat ini,  ternyata menyisahkan cerita tersendiri bagi masyarakat biasa dan pengrajin batik tulis dan batik cap Pei Ka Ga Nga yang saat ini tak lagi dirasakan megah dan terancam punah.
Mengapa demikian? koperasi pengrajin batik Pei Citra Daerah yang berada di jalan Basuki  Rahmat Kelurahan Dwi Tunggal Kecamatan Curup ini merupakan satu-satunya usaha yang  memproduksi batik tradisional Ka Ga Nga atau batik yang dibuat secara tradisional yaitu batik  tulis dan batik cap Ka Ga Nga.
Yang lebih menyisahkan ialah, jumlah pengrajin batik Pei Ka Ga Nga secara tradisional kini  hanya tinggal 3 orang, satu pengrajin dibidang batik cap dan pewarnaan, dan dua pengrajin  selanjutnya dibidang batik tulis.
“Yang bekerja disini hanya 3 orang, satu saya sebagai pengerja batik cam, dan dua orang lagi sebagai  pengrajin batik tulis,” Kata salah satu pengrajin batik Ka Ga Nga Emis 24 tahun
Kemudian untuk pengrajin batik tulis yang masih bisa bekerja produktif hanyalah satu orang  yaitu Linda 30 tahun warga Sumber bening Kecamatan Selupuh Rejang, sementara satulagi yaitu  Yuli 58  tahun  warga Kampung melayu kecamatan Bermani Ulu tidak bisa bekerja lebih optimal kembali dikarenakan paktor usia.
“Kalau pengrajin batik tulis ini, dia hanya diam dirumah, kalau ada pesanan baru ke sini, itu  kalau jumlah banyak, namuan kalau sedikit mereka sering mengerjakannya dirumah,” lanjut Emis
Kemudian untuk penjualan, Emis mengaku batik tulis dan batik cap Ka Ga Nga ini sangat jarang  perminatnya, hal ini dikarenakan harga batik yang ditawarkan cukup mahal yaitu berkisar Rp 380 ribu hingga 500 ribu per potong  untuk batik tulis yang terbuat dari sutra, dan 80 ribu  hingga 100 ribu per potong untuk batik cap.
“Satu potong itu dua meter, kalau bulan-bulan seperti ini, yang mebeli jarang, paling-paling  kalau ada tamu dari pemda atau tamu dari luar daerah, yang paling ramai itu sewaktu HUT Curup  saja,” kata Emis
Kendala lain terhadap kurangnya pembeli batik tradisional Ka Ga Nga ini ialah dikarenakan  semakin banyaknya kemunculan batik printing bermotif Ka Ga Nga dipasaran sekarang ini. dan  juga untuk harga yang ditawarkan lebih murah dibandingkan dengan harga batik tradisonal Ka Ga Nga
“Kalau printing Ka Ga Nga yang sering digunakan PNS ini harganya berkisar 32 ribu per meter,  sementara harga batik Ka Ga Nga yang sebenarnya diatas itu,” kata Emis sembari mengatakan  batik tulis Ka Ga Nga yang kami buat ini kalah dengan batik Ka Ga Nga Moderen
Tidak hanya itu, dibalik terancamnya produksi batik Ka Ga Nga secara tarisional, disisi lain, corak batik Ka Ga Nga dirasakan tidak semegah dahulu,  hal itu dikarenakan imbas dari keputusan pemerintah daerah yang membuat seragam baju PNS dan segaram sekolah SD, SLTP, dan SMA bermotif Ka Ga NGa, satu sisi batik Ka Ga Nga sangat membuming   di tanah Rejang, namun satu sisi beberapa masyarakat biasa mengaku tidak merasakan kemegahan seperti dahulu ketika mengenakan batik Ka Ga Nga Tersebut, malah mereka sedikit malu menggunakan batik tersebut, karena batik Ka Ga Nga seolah beralih pungsi seperti batik PNS dan pelajar bukan menjadi batik kebesaran daerah.
“Dulu batik Ka Ga Nga itu merupakan salah satu barang mahal, harganya mencapai 1 juta dan 2 juta,  dan juga barang cindra mata paling berharga, orang yang menggunakan batik Ka Ga Nga saat itu juga sangat merasakan kemegahan yang luar biasa, namun sekarang tidak, masyarakat kecil menggunakan batik Ka Ga Nga malu, karena tidak PNS nanti disangka gila PNS,”  Kata salah satu warga Rejang Lebong Irawan 56 tahun (**)


   

Suku bangsa Rejang yang dewasa ini bertebaran tentunya mempunyai asal usul mula jadinya, dari cerita secara turun temurun dan beberapa karangan-karangan tertulis mengenai Rejang dapatlah dipastikan bahwa asal usul suku bangsa Rejang adalah di Lebong yang sekarang dan ini terbukti dari hal-hal berikut:

* John Marsden, Residen Inggris di Lais (1775-1779), memberikan keterangan tentang adanya empat Petulai Rejang, yaitu Joorcalang (Jurukalang), Beremanni (Bermani), Selopo (selupu) dan Toobye (Tubay).

* J.L.M Swaab, Kontrolir Belanda di Lais (1910-1915) mengatakan bahwa jika Lebong di angap sebagai tempat asal usul bangsa Rejang, maka Merigi harus berasal dari Lebong. Karena orang-orang merigi memang berasal dari wilayah Lebong, karena orang-orang Merigi di wilayah Rejang (Marga Merigi di Rejang) sebagai penghuni berasal dari Lebong, juga adanya larangan menari antara Bujang dan Gadis di waktu Kejai karena mereka berasal dari satu keturunan yaitu Petulai Tubei.

* Dr. J.W Van Royen dalam laporannya mengenai “Adat-Federatie in de Residentie’s Bengkoelen en Palembang” pada pasal bengsa Rejang mengatakan bahwa sebagai kesatuan Rejang yang paling murni, dimana marga-marga dapat dikatakan didiami hanya oleh orang-orang dari satu Bang dan harus diakui yaitu Rejang Lebong.

Pada mulanya suku bangsa Rejang dalam kelompok-kelompok kecil hidup mengembara di daerah Lebong yang luas, mereka hidup dari hasil-hasil Hutan dan sungai, pada masa ini suku bangsa Rejang hidup Nomaden (berpindah-pindah) dalam tatanan sejarah juga pada masa ini disebut dengan Meduro Kelam (Jahiliyah), dimana masyarakatnya sangat mengantungkan hidupnya dengan sumber daya alam dan lingkungan yang tersedia.

Barulah pada zaman Ajai mereka mulai hidup menetap terutama di Lembah-lembah di sepanjang sungai Ketahun, pada zaman ini suku bangsa Rejang sudah mengenai budi daya pertanian sederhadan serta pranata sosial dalam mengatur proses ruang pemerintahan adat bagi warga komunitasnya. Menurut riwayat yang tidak tertulis suku bangsa Rejang bersal dari Empat Petulai dan tiap-tiap Petulai di Pimpin oleh seorang Ajai. Ajai ini berasal dari Kata Majai yang mempunyai arti pemimpin suatu kumpulan manusia.

Dalam zaman Ajai ini daerah Lebong yang sekarang masih bernama Renah Sekalawi atau Pinang Belapis atau sering juga di sebut sebagai Kutai Belek Tebo. Pada masa Ajai masyarakat yang bekumpul sudah mulai menetap dan merupakan suatu masyarakat yang komunal didalam sisi sosial dan kehidupannya sistem Pemerinatahan komunial ini di sebut dengan Kutai. Keadaan ini ditunjukkan dengan adanya kesepakatan antara masyarakat tersebut terhadap hak kepemilikan secara komunal. Semua ketentuan dan praktek terhadap hak dan kepemilikan segala sesuatu yang menyangkut kepentingan masyarakat dipimpin oleh seorang Ajai. Walaupun sebenarnya dalam penerapan di masyarakat seorang Ajai dan masyarakat lainnya kedudukannya tidak dibedakan atau dipisahkan berdasarkan ukuran derajad atau strata.

Sungguhpun demikian pentingnya kedudukan Ajai tersebut dan di hormati oleh masyarakatnya, tetapi masih dianggap sebagai orang biasa dari masyarakat yang diberi tugas memimpin, ke empat Ajai tersebut adalah:

* Ajai Bintang memimpin sekumpulan manusia yang menetap di Pelabai suatu tempat yang berada di Marga Suku IX Lebong

* Ajai Begelan Mato memimpin sekumpulan manusia yang menetap di Kutai Belek Tebo suatu tempat yang berada di Marga Suku VIII, Lebong

* Ajai Siang memimpin sekumpulan manusai yang menetap di Siang Lekat suatu tempat yang berada di Jurukalang yang sekarang.

* Ajai Malang memimpin sekumpulan manusia yang menetap di Bandar Agung/Atas Tebing yang termasuk kedalam wilayah Marga Suku IX sekarang.

Pada masa pimpinan Ajai inilah datang ke Renah Sekalawi empat orang Biku/Biksu masyarakat adat Rejang menyebutnya Bikau yaitu Bikau Sepanjang Jiwo, Bikau Bembo, Bikau Pejenggo dan Bikau Bermano. Dari beberapa pendapat menyatakan bahwa para Bikau ini berasal dari Kerajaan Majapahit namun beberapa tokoh yang ada di Lebong berpendapat tidak semua Bikau ini bersal dari Majapahit. Dari perjalan proses Bikau ini merupakan utusan dari golongan paderi Budha untuk mengembangkan pengaruh kebesaran Kerajaan Majapahit, dengan cara yang lebih elegan dan dengan jalan yang lebih arif serta mementingkan kepedulian sosial dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur budaya lokal.

Melalui strategi para utusan Menteri Kerajaan seharusnya tidak lagi berusaha untuk menyebarkan kebudayaan serta bahasa Jawa. Oleh karena itu golongan paderi Budha yang memiliki tindakan yang tenang dan ramah tamah, dengan mudah dapat diterima dan masyarakat Rejang. Terbukti bahwa keempat Biku tersebut bukanlah mempunyai maksud merampas harta atau menerapkan upeti dan pajak terhadap Raja Majapahit, namun mereka hanya memperkenalkan kerajaan Majapahit yang tersohor itu dengan raja mudanya yang bernama Adityawarman. Sewaktu mereka sampai di Renah Sekalawi keempat Biku tersebut karena arif dan bijaksana, sakti, serta pengasih dan penyayang, maka mereka berempat tidak lama kemudian dipilih oleh keempat kelompok masyarakat (Petulai) dengan persetujuan penuh dari masyarakatnya sebagai pemimpin mereka masing-masing.

* Biku Sepanjang Jiwo menggantikan Ajai Bitang
* Biku Bembo menggantikan Ajai Siang
* Biku Bejenggo menggantikan Ajai Begelan Mato
* Biku Bermano menggantikan Ajai Malang




Setelah dipimpin oleh empat Biku, Renah Sekalawi berkembang menjadi daerah yang makmur dan mulai produktif pertaniannya sudah mulai bercocok tanam, berkebun dan berladang. Sehingga pada saat itulah kebudayaan mereka semakin jelas dan terkenal dengan adanya tulisan sendiri dengan abjad Ka-Ga-Nga (sampai sekarang masih lestari dan di klaim menjadi tulisan asli Bengkulu).

Setelah keempat Biku terpilih untuk memimpin kelompok masyarakat mendapat sebuah tantangan dalam bentuk bencana wabah penyakit yang menyerang masyarakat. Bencana itu terjadi kira-kira akhir abad ke XIII, wabah penyakit yang banyak merenggut jiwa masyarakat tanpa memandang umur dan jenis kelamin. Menurut ramalan para ahli nujum setempat yang menyebabkan datangnya musibah itu adalah seekor beruk putih yang bernama Benuang Sakti dan berdiam di atas sebuah pohon yang besar di tengah hutan.

Untuk mencari jalan keluar atas bencana yang terjadi, keempat Biku itu bersepakatlah untuk mencari pohon besar tersebut dan segera menebangnya dengan sebuah harapan setelah ditebang dapat mengakhiri wabah yang terjadi. Setelah membagi tugas masing-masing mereka berpencar ke segala penjuru hutan dan akhirnya rombongan Biku Bermano sampai dan menemukan pohon besar yang mereka cari, mereka kemudian segera untuk menebang pohon besar itu, namun usaha mereka tidak berhasil menebang pohon tersebut karena semakin ditebang oleh kapak, pohon tersebut semakin bertambah besar, kejadian yang sama terjadi, setelah rombongan dari Biku Sepanjang Jiwo sampai di tempat yang sama dan mencoba untuk menebang pohon besar itu, disusul rombongan dari Biku Bejenggo tetapi pohon itu pun tidak juga roboh. Pada saat itu munculah rombongan terakhir yaitu Biku Bembo dan kepada mereka diceritakan kejadian aneh yang mereka alami dalam menebang pohon besar yang tidak mau roboh setelah ditebang bahkan pohon itu bertamah besar.

“Riwayat saat bertemu rombongan pimpinan Biku Bembo bertemu dengan ketiga rombongan di tempat ditemukannya pohon besar yang di atasnya ada beruk putih bernama Benuang Sakti berada terlontarlah kata-kata dalam bahasa Rejang: pro pah kumu telebong yang berarti di sini kiranya saudara-saudar berada. Sejak peristiwa itu Renah Sekalawi bertukar nama menjadi Lebong”.

Setelah diceritakan kejadian yang terjadi kepada rombongan Biku Bembo, mereka bermusyawarah untuk mengatasi masalah yang terjadi itu dan bersepakat meminta petunjuk kepada Sang Hiang (Yang Maha Kuasa) supaya dapat mencari cara bagaimana menebang pohon besar itu supaya dapat ditebang. Cara yang dilakukan oleh keempat Biku itu adalah dengan betarak (bertapa), setelah betarak dilakukan mereka mendapat petunjuk pohon itu dapat ditebang kalau dibawahnya digalang/ditopang oleh tujuh orang gadis muda/remaja.

Setelah itu mereka bergegas menyiapkan segala sesuatu petunjuk yang didapat oleh Sang Hiyang termasuk bagaimana caranya mereka mencari akal supaya ketujuh gadis itu supaya tidak menjadi korban atau mati tertimpa oleh pohon besar yang akan dirobohkan. Selanjutnya mereka menggali parit untuk menyelamatkan ketujuh gadis penggalang itu. Setelah pekerjaan membuat parit dan ketujuh gadis siap untuk menggalang pohon yang akan dirobohkan, maka mulailah pohon besar itu ditebang dan sesungguhnya pohon itu roboh di atas tempat ketujuh gadis penggalang. Parit yang dibuat tepat di tempat rebahnya pohon besar yang telah ditebang telah menyelamatkan ke tujuh gadis dari maut dan terlindungi di dalam parit yang dibuat.

* “Peristiwa yang diriwayatkan di atas dijadikan awal dari pemberian nama bagi petulai-petulai mereka sesuai dengan pekerjaan rombongan pemimpin masing-masing dalam usaha menebang pohon besar dimana tempat bersemayam beruk putih Benuang Sakti”.

* Petulai Biku Sepanjang Jiwo diberi nama Tubeui atau Tubai, asal kata dari bahasa Rejang “berubeui-ubeui” yang berarti berduyun-duyun.

* Petulai Biku Bermano diberi nama Bermani, asal kata ini dari bahasa Rejang “beram manis” yang berarti tapai manis.

* Petulai Biku Bembo diberi nama jurukalang, asal kata dari bahasa Rejang “kalang” yang berarti galang.

* Petulai Biku Bejenggo diberi nama Selupuei asal kata dari bahasa Rejang “berupeui-uoeui” yang berarti bertumpuk-tumpuk.

Maka sejak saat itulah Renah Sekalawi bernama Lebong dan tercipta Rejang Empat petulai yang menjadi Intisari dan asal mula suku bangsa Rejang.

Kesepakatan yang di bangun setalah prosesi penebangan kayu Benuang Sakti ini semua rakyat di bawah pimpinan Bikau Sepanjang Jiwo di mana saja mereka berada di satukan di bawah kesatuan Tubey dan berpusat di Pelabai. Dengan kembalinya Bikau Sepanjang Jiwo ke Majapahit atau ada yang berpendapat ke bagian Majapahit Melayu yang berfusat di Pagar Ruyung, kepemimpinan Bikau ini kemudian di gantikan oleh Rajo Mengat atau Rajo Mudo Gunung Gedang yang kedatangannya dapat diperkirakan sekitar abad ke-15.

Baru setelah kepemimpinan Rajo Mengat ini yang digantikan oleh anaknya bernama Ki Karang Nio yang memakai gelar Sultan Abdullah akibat pertambahan jumlah penduduk dan kebutuhan untuk invansi wilayah, maka anak komunitas ini bertebaran dan membentuk komunitas-komunitas baru atas kesepakatan besar yang dilakukan di Lebong kemudian Petulai Tubey ini dipecahkan menjadi Marga Suku IX yang berkedudukan di Kutai Belau Saten, Marga Suku VIII di Muara Aman dan Merigi untuk pecahan Petulai Tubey di Luar wilayah Lebong.

Petulai Selupu tidak pecah dan tetap utuh walaupun anggota-anggotanya bertebaran ke mana-mana. Menurut riwayat Bikau Pejenggo yang mengantikan Ajai Malang ini berkedudukan di Batu Lebar di Kesambe yang merupakan wilayah Rejang, sedangkan Desa Administratif Atas Tebing include ke dalam wilayah adat Selupu Lebong yang merupakan wilayah desa yang berbatasan dengan wilayah adat Rejang Pesisir dan Desa Suka Datang berada dalam wilayah Marga Suku IX secara fisik berbatasan dengan wilayah Adat Bintunan Rejang Pesisir.

Sistem Kelembagaan Komunal/Adat


Dari resume yang ditulis di atas dapat diketahui bahwa asal usul suku bangsa Rejang dari Lebong dan berasal dari empat Petulai yaitu Jurukalang, Bermani, Selupu dan Tubey. Dari Tulisan Dr Hazairin dalam bukunya De Redjang yang mengutip tulisan dari Muhammad Husein Petulai di sebut juga dengan sebutan Mego.


Hal ini di perkuat juga dengan tulisan orang-orang inggris yang pernah di Bengkulu Marsden dan Raffles demikian juga dengan orang Belanda Ress dan Swaab menyebut juga perkataan Mego.

Petulai atau Mego ini adalah kesatuan kekeluargaan yang timbul dari sistem unilateral dengan sistem garis keturunan yang patrilinial dan perkawinan yang eksogami, sekalipun mereka terpencar dimana-mana. Sistem eksogami ini merupakan syarat mutlah timbulya Petulai/clan sedangkan sistem kekeluargaan yang patrilineal sangat mempengaruhi sistem kemasyarakatan dan akhirnya mempengaruhi bentuk kesatuan dan kekuasaan dalam masyarakat.

Pada zaman Bikau masyarakat di atur atas dasar sistem hukum yang di buat berdasarkan azas mufakat/musyawarah, keadaan ini melahirkan kesatuan masyarakat hukum adat yang disebut dengan Kutai yang dikepalai oleh Ketuai Kutai. Kutai ini bersal dari Bahasa dan perkataan Hindu Kuta yang difinisikan sebagai Dusun yang berdiri sendiri, sehingga pengertian Kutai ini adalah kesatuan masyarakat hukum adat tunggal yang geneologis dengan pemerintahan yang berdiri sendiri dan bersifat kekeluargaan.

Pada Zaman kolonial kemudian sistem kelembagaan dan pemerintahan adat ini oleh Assisten Residen Belanda J. Walland (1861-1865) kemudian mengadopsi sistem pemerintahan lokal yang ada di wilayah Palembang dengan menyebut Kutai atau Petulai ini dengan sebutan Marga yang dikepalai oleh Pesirah. Dengan bergantinya sistem pemerintahan ini Kutai di ganti dengan sebutan Dusun sebagai kesatuan masyarakat hukum adat secara teroterial di bawah kekuasaan seorang Kepala Marga yang bergelar Pesirah. (team AMARTA: Salim Senawar, Erwin S Basrin, Madian Sapani, Henderi S Basrin, Sugianto Bahanan, Hadiyanto Kamal, Riza Omami, Bambang Yuroto)


Suku Rejang


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Rejang
Jumlah populasi
700.000 jiwa
Kawasan dengan jumlah penduduk yang signifikan
Kelompok etnis terdekat

Suku Rejang adalah salah satu suku tertua di pulau Sumatera selain suku bangsa Melayu. Suku Rejang menyebar sampai ke daerah Lebong, Kepahiang, Curup dan sampai di tepi sungai ulu musi di perbatasan dengan Sumatera Selatan. Suku Rejang terbanyak menempati kabupaten Rejang Lebong, kabupaten Kepahiang, dan kabupaten Lebong. Bila kita lihat dari dialek bahasa yang digunakan penutur bahasa Rejang, sangat jelas perbedaan antara bahasa Melayu dan bahasa daerah di Sumatera lainnya. Suku Rejang merupakan salah satu dari 18 lingkaran suku bangsa terbesar di Indonesia.



Sejarah

Sejarah asal-usul Rejang yang sebenarnya sudah sangat tidak memungkinkan diriwayatkan secara benar senyata fakta sebenarnya. Hal ini disebabkan beberapa faktor yang mengakibatkan sejarah asal-usul Rejang yang terhapus dan hilang ditelan ketidaktahuan generasi masa lalu. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
  • Suku Rejang belum memahami media yang berperan untuk dijadikan pedoman yang tepat untuk meriwayatkan sejarah, seperti kemampuan menggambar, menulis, memahat, maupun hal-hal lain yang dapat memungkinkan untuk terdeteksi oleh generasi yang akan datang untuk disejarahkan. Bukti-bukti arkeolog tersebut belum ditemukan keberadaannya hingga zaman sekarang.
  • Suku Rejang masih dipengaruhi oleh tradisi yang bersifat fiktif, sehingga hal-hal yang tidak masuk akal dimasukkan dalam kisah sejarah. Hal ini menjadikan sejarah asal-usul Rejang menjadi kisah fiktif yang validitas dan reliabilitasnya jauh dari patokan untuk meriwayatkan sejarah.

  • Suku Rejang tidak terlalu mempedulikan masa lampu, tapi menerima sejarah masa lalu yang diriwayatkan oleh para sejarawan dan cendikiawan asing yang berstatus penjajah. Hal ini juga dihubungkan dengan beberapa oknum suku Rejang yang terlalu percaya diri berpendapat menurut kemauannya sendiri, padahal kemampuan berbahasa Rejang dengan berbagai dialek Rejang yang ada tidak dikuasainya. Suku Rejang yang berpartisipasi dalam proyek tersebut juga bukan berstatus orang Rejang asli, apalagi menjalani kehidupan di komunitas suku Rejang yang masih asli.

  • Suku Rejang dengan sumber daya alam yang paling dieksploitasi oleh penjajah menjadi daerah yang dijadikan asal-usul suku Rejang. Ini disebabkan oleh rekayasa dari para penjajah yang memang memiliki kemampuan membaca dan menulis, sedangkan suku Rejang sangat dibodohkan. Sifat dari penjajah yang seperti ini sudah diketahui oleh para sejarawan Indonesia, yakni penjajah menjauhkan bangsa Indonesia untuk mengetahui ilmu pengetahuan modern. Pengetahuan modern seperti kemampuan ilmu bahasa, ilmu hitung, ilmu filsafat, maupun ilmu-ilmu modern yang lainnya belum didapatkan oleh suku Rejang yang merupakan suku bangsa di Indonesia. Ini terbukti dengan aksara kaganga yang konon merupakan tulisan asli suku Rejang, tapi pada kenyataan tidak mampu dipahami suku Rejang masa silam hingga masa sekarang. Hal ini juga menumbuhkan keraguan bahwa aksara tersebut adalah asli tulisan suku Rejang yang memang prakarsa suku Rejang itu sendiri.

  • Suku Rejang terlalu suka meniru secara tidak kreatif, ini terbukti dengan alat musik tradisional, tari tradisional, rumah adat, adat upacara pernikahan, dan bahkan pakaian adat yang ada semuanya imitasi dari suku bangsa terdekat dan pendatang yang ada di tanah Rejang. Fenomena ini secara kasat mata dapat langsung ditebak oleh setiap pengamatnya, meskipun pengamat tersebut adalah seorang amatir.
Dari beberapa faktor di atas, sulit sekali mendeteksi sejarah asal-usul suku Rejang. Meskipun demikian, masih ada satu peninggalan yang masih diwariskan secara nyata dan masih ada hingga sekarang. Warisan tersebut adalah bahasa Rejang, sebuah bahasa yang unik yang belum punah hingga sekarang. Walaupun bukti-bukti arkeologi belum ada terbukti keberadaannya secara fakta, tapi bahasa dapat dijadikan pedoman menelusuri sejarah Rejang. Hal ini membuktikan bahwa orang yang paling berperan untuk meriwayatkan Rejang adalah suku Rejang dengan kemampuan bahasa Rejang tingkat mahir atau penutur asli bahasa Rejang yang mampu berkomunikasi dengan orang-orang Rejang dengan kemampuan meriwayatkan kisah lampau secara ilmiah.

Budaya

Suku Rejang menempati kabupaten Rejang Lebong, kabupaten Kepahiang, kabupaten Bengkulu Utara, dan kabupaten Lebong. Suku ini merupakan suku dengan populasi terbesar di provinsi Bengkulu, namun secara sumber daya manusia, agaknya suku ini kurang begitu adaptif terhadap perkembangan di luar daerah. Ini dikarenakan kultur masyarakat Rejang yang sulit untuk menerima pendapat di luar dari pendapat kelaziman menurut pendapat mereka, dan masih rendahnya tingkat pendidikan. Hal ini menggambarkan bahwa pada umumnya sifat dan watak dari suku Rejang masih primitif. Karena mayoritas suku Rejang masih primitif, potensi SDM mereka relatif lamban dalam berkembang. Pada zaman sekarang, beberapa putra-putri suku Rejang telah menempuh pendidikan tinggi seperti ilmu pendidikan keguruan, ilmu kesehatan, ilmu hukum, ilmu ekonomi, sastra, dan lain lain. Banyak yang telah menekuni profesi sebagai pegawai negeri, pejabat teras, dokter, pegawai swasta, pengacara, polisi, dan berbagai profesi yang lebih tinggi statusnya ketimbang petani ataupun sekadar tukang ojek.

Bahasa

Suku Rejang memiliki perbedaan yang mencolok dalam dialek penuturan bahasa. Dialek Rejang Kepahiang memiliki perbedaan dengan dialek Rejang di Kabupaten Rejang Lebong yang dikenal dialek Rejang Curup, dialek Rejang Bengkulu Utara (identik dengan dialek Rejang Curup), dan dialek Rejang yang penduduknya di wilayah kabupaten Lebong. Secara kenyataan yang ada, dialek dominan Rejang terdiri tiga macam. Dialek tersebut adalah sebagai berikut:
  • Dialek Rejang Kepahiang
  • Dialek Rejang Curup
  • Dialek Rejang Lebong
Dari tiga pengelompokan dialek Rejang tersebut, saat ini Rejang terbagi menjadi Rejang Kepahiang, Rejang Curup, dan Rejang Lebong. Namun, meskipun dialek dari ketiga bahasa Rejang tersebut relatif berbeda, tapi setiap penutur asli bahasa Rejang dapat memahami perbedaan kosakata pada saat komunikasi berlangsung. Karena perbedaan tersebut seperti perbedaan dialek pada bahasa Inggris Amerika, bahasa Inggris Britania, dan bahasa Inggris Australia. Secara filosofis, perbedaan dialek bahasa Rejang terjadi karena faktor jarak, faktor sosial, dan faktor psikologis dari suku Rejang itu sendiri. Hal ini juga membuktikan bahwa tingkat persatuan dan kesatuan suku Rejang masih sangat rendah jika dibandingkan dengan suku bangsa terdekat lainnya suku Lembak, suku Serawai, dan suku Pasemah.

Bahasa Rejang

Bahasa Rejang adalah bahasa yang digunakan di kabupaten Rejang Lebong, kabupaten Bengkulu Utara, kabupaten Lebong, dan kabupaten Kepahiang; semuanya termasuk dalam wilayah Provinsi Bengkulu, Indonesia. Bahasa Rejang pernah memiliki aksara tersendiri yang dikenal sebagai aksara Kaganga. Aksara Kaganga menyerupai aksara yang ada pada aksara Batak dan aksara Lampung.
Bahasa Rejang terbagi dari tiga kelompok dialek, yakni dialek Rejang Curup, Rejang Kepahiang, dan Rejang Lebong. Dialek yang dituturkan di kabupaten Bengkulu Utara termasuk dialek Rejang Curup.
Kini bahasa Rejang dianggap satu bahasa yang membentuk kelompok tersendiri dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia.

Macam-macam dialek bahasa Rejang

Kosakata

Bahasa Rejang memiliki variasi ataupun perbedaan menurut dialek yang dimiliki berdasarkan tiga kelompok dialek Rejang. Di bawah ini adalah beberapa kosakata dalam bahasa Rejang yang memiliki perbedaan antar kelompok dialek Rejang.
Bahasa Indonesia
Dialek Lebong
Dialek Curup
Dialek Kepahiang
mau
lok
lak
lak
mei
mie
mea
betunok
betunak
betunak
jangan
jibeak
ji’beak
jikba
darat
da'et
da'et
dahet
banyak
dau
deu
deu
kepau
peu
kepeu
pergi
alau
aleu
aleu
lemea
lema
lema
dusun
sadei
sadie
sadea
marah
mengiak
mengeak
mengeah
ada
ade
ade
ade
sendiri
su'ang
su'ang
suhang
sarung
so'ong
so'ong
sohong
tak toi
tak tei
tak tea
ulau
uleu
uleu
awok
awak
awak
ji’ai
ji’ei
jihei
matai
matei
matei
ti'uk
ti'uk
tihuk
ka’gen
ka’gen
kahgen
dileak
dileak
dileah
labau
labeu
labeu
bea' gelpeak
bea' gelpeak
beah gelpeah
bahu
ba’au
ba’eu
baheu
bibia
bebea
bibih
selangkang
kerapang
cakak
cakak
tenai
tenei
tenea
puyok
asem
tepuyak
apa
jane
jano
ine
tedung
edung
nopoe
pujuak
pojoak
glamai
tudung
tudung
tuguk
lauk
lapen
lapen
gulea
semanai
semanei
sebong
selawie
selawei
bea

Perbedaan dialek bahasa Rejang

  1. Bahasa Rejang dialek Lebong membunyikan ai; Rejang Curup membunyikan ei; Rejang Kepahiang membunyikan hei. Contoh: Lebong mengucapkan ji’ai – Curup mengucapkan ji’ei – Kepahiang mengucapkan jihei.
  2. Bahasa Rejang dialek Lebong membunyikan eak; Rejang Curup membunyikan eak (sama dengan dialek Lebong); Rejang Kepahiang membunyikan eah. Contoh: Lebong mengucapkan seak – Curup mengucapkan seak – Kepahiang mengucapkan seah.
  3. Bahasa Rejang dialek Lebong membunyikan au; Rejang Curup membunyikan eu; Rejang Kepahiang membunyikan eu (sama dengan dialek Curup). Contoh: Lebong mengucapkan dau – Curup mengucapkan deu – Kepahiang mengucapkan deu.
  4. Bahasa Rejang dialek Lebong membunyikan ok; Rejang Curup membunyikan ak; Rejang Kepahiang membunyikan ak (sama dengan dialek Curup). Contoh: Lebong mengucapkan betunok – Curup mengucapkan betunak – Kepahiang mengucapkan betunak.
Perbedaan dialek juga terdapat dalam intonasi dalam berbicara. Bahasa Rejang Kepahiang terkesan keras dan kasar, bahasa Rejang Curup terkesan halus dan lembut, dan bahasa Rejang dialek Lebong terkesan lebih halus dan lebih lembut dari Rejang Curup. Dari warna dialek ketiga bahasa Rejang tersebut, secara nyata juga menggambarkan tradisi dan temperamen dari ketiga macam orang Rejang tersebut.

Aksara Kaganga

Huruf-huruf dasar dalam aksara Rejang.
Informasi
Bahasa
Periode
?–Abad ke-20
Arah penulisan
Kiri ke kanan
Silsilah
·         Abjad Fenisia
o    Abjad Aramaik
§  Aksara Kaganga
Aksara kerabat
Baris Unicode
Rjng, 363
Unicode alias
Rejang
Perhatian: Halaman ini mungkin memuat simbol-simbol fonetis IPA menggunakan Unicode.
Aksara Kaganga merupakan sebuah nama kumpulan beberapa aksara yang berkerabat di Sumatra sebelah selatan. Aksara-aksara yang termasuk kelompok ini adalah antara lain aksara Rejang, Lampung, Rencong dan lain-lain.
Nama kaganga ini merujuk pada ketiga aksara pertama dan mengingatkan kita kepada urutan aksara di India.
Istilah kaganga diciptakan oleh Mervyn A. Jaspan (1926-1975), antropolog di University of Hull (Inggris) dalam buku Folk literature of South Sumatra. Redjang Ka-Ga-Nga texts. Canberra, The Australian National University 1964. Istilah asli yang digunakan oleh masyarakat di Sumatra sebelah selatan adalah Surat Ulu.
Aksara Batak atau Surat Batak juga berkerabat dengan kelompok Surat Ulu akan tetapi urutannya berbeda. Diperkirakan zaman dahulu di seluruh pulau Sumatra dari Aceh di ujung utara sampai Lampung di ujung selatan, menggunakan aksara yang berkerabat dengan kelompok aksara Kaganga (Surat Ulu) ini. Tetapi di Aceh dan di daerah Sumatra Tengah (Minangkabau dan Riau), yang dipergunakan sejak lama adalah huruf Jawi.
Perbedaan utama antara aksara Surat Ulu dengan aksara Jawa ialah bahwa aksara Surat Ulu tidak memiliki pasangan sehingga jauh lebih sederhana daripada aksara Jawa, dan sangat mudah untuk dipelajari .
Aksara Surat Ulu diperkirakan berkembang dari aksara Pallawa dan aksara Kawi yang digunakan oleh kerajaan Sriwijaya di Sumatra Selatan.




Huruf Kaganga


... Indonesia. Bahasa Rejang pernah memiliki aksara tersendiri yang dikenal sebagai aksara Kaganga. Aksara Kaganga menyerupai aksara yang ada pada aksara Batak dan aksara Lampung.

Bahasa Rejang terbagi dari tiga kelompok dialek, yakni dialek Rejang Curup, Rejang Kepahiang, dan Rejang Lebong. Dialek yang dituturkan di kabupaten Bengkulu Utara termasuk dialek Rejang Curup.

Kini bahasa Rejang dianggap satu bahasa yang membentuk kelompok tersendiri dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia.


Si Pahit Lidah
Versi Palembang

     Tersebutlah kisah seorang pangeran dari daerah Sumidang bernama Serunting. Anak keturunan raksasa bernama Putri Tenggang ini, dikhabarkan berseteru dengan iparnya yang bernama Aria Tebing. Sebab permusuhan ini adalah rasa iri-hati Serunting terhadap Aria Tebing.
     Dikisahkan, mereka memiliki ladang padi bersebelahan yang dipisahkan oleh pepohonan. Dibawah pepohonan itu tumbuhlah cendawan. Cendawan yang menghadap kearah ladang Aria tebing tumbuh menjadi logam emas. Sedangkan jamur yang menghadap ladang Serunting tumbuh menjadi tanaman yang tidak berguna.Perseteruan itu, pada suatu hari telah berubah menjadi perkelahian. Menyadari bahwa Serunting lebih sakti, Arya Tebing menghentikan perkelahian tersebut. Ia berusaha mencari jalan lain untuk mengalahkan lawannya. Ia membujuk kakaknya (isteri dari Serunting) untuk memberitahukannya rahasia kesaktian Serunting.Menurut kakaknya Aria Tebing, kesaktian dari     Serunting berada pada tumbuhan ilalang yang bergetar (meskipun tidak ditiup angin). Bermodalkan informasi itu, Aria Tebing kembali menantang Serunting untuk berkelahi.Dengan sengaja ia menancapkan tombaknya pada ilalang yang bergetar itu. Serunting terjatuh, dan terluka parah. Merasa dikhianati isterinya, ia pergi mengembara.Serunting pergi bertapa ke Gunung Siguntang. Oleh Hyang Mahameru, ia dijanjikan kekuatan gaib. Syaratnya adalah ia harus bertapa di bawah pohon bambu hingga seluruh tubuhnya ditutupi oleh daun bambu. Setelah hampir dua tahun bersemedi, daun-daun itu sudah menutupi seluruh tubuhnya. Seperti yang dijanjikan, ia akhirnya menerima kekuatan gaib. Kesaktian itu adalah bahwa kalimat atau perkataan apapun yang keluar dari mulutnya akan berubah menjadi kutukan. Karena itu ia diberi julukan si Pahit Lidah. Ia berniat untuk kembali ke asalnya, daerah Sumidang. Dalam perjalanan pulang tersebut ia menguji kesaktiannya. Ditepian Danau Ranau, dijumpainya terhampar pohon-pohon tebu yang sudah menguning. Si Pahit Lidah pun berkata, "jadilah batu." Maka benarlah, tanaman itu berubah menjadi batu. Seterusnya, ia pun mengutuk setiap orang yang dijumpainya di tepian Sungai Jambi untuk menjadi batu.
Ia berniat untuk kembali ke asalnya, daerah Sumidang. Dalam perjalanan pulang tersebut ia menguji kesaktiannya. Ditepian Danau Ranau, dijumpainya terhampar pohon-pohon tebu yang sudah menguning. Si Pahit Lidah pun berkata, "jadilah batu." Maka benarlah, tanaman itu berubah menjadi batu. Seterusnya, ia pun mengutuk setiap orang yang dijumpainya di tepian Sungai Jambi untuk menjadi batu. Namun, ia pun punya maksud baik. Dikhabarkan, ia mengubah Bukit Serut yang gundul menjadi hutan kayu. Di Karang Agung, dikisahkan ia memenuhi keinginan pasangan tua yang sudah ompong untuk mempunyai anak bayi.
 (Diadaptasi secara bebas dari Ny. S.D.B. Aman,"Si Pahit Lidah," Folk Tales From Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1976, pp. 25-28).




Cerita Rakyat Si pahit lidah dan si empat mata
adalah cerita rakyat yang berasal dari Lampung dan merupakan salah satu cerita rakyat Indonesia yang popular di kalangan masyarakat Lampung. Cerita ini mengisahkan tentang dua orang yang sombong karena memiliki kelebihan dari orang lain. Pengajaran yang bisa di petik dari cerita ini adalah jangan menjadi orang yang sombong walaupun memiliki kelebihan dari orang lain. Berikut marilah kita simak bersama cerita rakyat dari Lampung yang berjudul Si Pahit Lidah dan Si Empat Mata.
     Serunting adalah orang yang sakti mandraguna. Dia berasal dari Majapahit yang kemudian diusir dari istana lalu berkelana ke Sumatera. Adik ipar Serunting yang bernama Arya Tebing merasa iri dengan kesaktian Serunting. Dia lalu memujuk kakaknya untuk memberitahu di mana letak kelemahan Serunting. Karena rasa sayang kepada adiknya akhirnya istri Serunting memberi tahu letak kelemahan Serunting.
Setelah mengetahuinya Arya Tebing mengajak Serunting untuk adu kekuatan. Mereka pun berkelahi, ketika itu Arya Tebing menusuk Serunting di tempat kelemahannya. Serunting terluka parah dan kemudian mengasingkan diri di Gunung Siguntang. Dalam pengasingannya Serunting mengobati lukanya dan tidak jemu berdoa pada Tuhan agar mengembalikan kesaktiannya. Karena ketekunan Serunting akhirnya dia diberi kelebihan bahwa apapun yang diucapkannya menjadi kenyataan.
Pada suatu hari Serunting sedang berjalan-jalan di sebuah kampung. Masyarakat kampung tersebut sedang menanam padi. Hamparan sawah yang menguning sangat indah di pandang mata. Namun Serunting malah mengatakan bahwa itu bukan sawah melainkan hamparan batu. Ketika itu tiba-tiba saja ucapan Serunting menjadi kenyataan. Melihat hal itu warga menjuluki Serunting dengan julukan Si Pahit Lidah. Masyarakat tidak ada yang berani melawan Si Pahit Lidah karena mereka takut terkena kutukannya. Si Pahit Lidah menjadi sombong dan kasar sehingga warga tidak menyukai dirinya.
Kesaktian Si Pahit Lidah terdengar oleh Si Empat Mata seorang yang juga memiliki kesaktian dari negeri India. Si Empat Mata merasa tersaingi kesaktiannya dan bermaksud untuk menantang Si Pahit Lidah. Kemudian dia berlayar menuju Sumatera untuk menemui Si Pahit Lidah. Ketika bertemu Si Empat Mata menantang Si Pahit Lidah untuk berkelahi. Berhari-hari mereka berkelahi dan mengeluarkan seluruh kesaktiannya namun tidak ada yang menang atau kalah.
Ketika itulah seorang tetua kampung mengajukan pertandingan untuk kedua orang tersebut. Meraka harus memakan buah aren yang tersedia. Si Pahit Lidah mendapat giliran pertama untuk memakan buah tersebut. Dengan sombong Si Pahit Lidah memakan buah aren itu sambil berfikir karena tidak mungkin dia akan mati dengan buah sekecil itu. Namun apa yang terjadi Si Pahit Lidah menggelepar lalu mati. Melihat Si Pahit Lidah mati Si Empat Mata merasa senang karena sekarang dialah orang yang paling sakti di negeri itu. Namun, Si Empat Mata merasa aneh karena Si Pahit Lidah bisa mati hanya dengan sebiji buah aren. Si Empat Mata lalu menimang-nimang buah aren sisa Si Pahit Lidah, dia memakan buah aren tersebut dan tidak lama kemudian Si Empat Mata menggelepar lalu mati. Akhirnya mereka berdua mati dengan kesombongan sendiri lalu keduanya di makamkan di Danau Ranau.
Cerita Rakyat Si Pahit Lidah dan Si Empat Mata menceritakan tentang kesombongan akan mengakibatkan celaka pada diri sendiri. Semua kekuatan tiadalah berguna jika diiringi dengan kesombongan.

Alkisah seorang pangeran dari daerah Sumidang bernama Serunting. Anak keturunan raksasa bernama Putri Tenggang ini, dikhabarkan berseteru dengan iparnya yang bernama Aria Tebing. Sebab permusuhan ini adalah rasa iri-hati Serunting terhadap Aria Tebing.
Dikisahkan, mereka memiliki ladang padi bersebelahan yang dipisahkan oleh pepohonan. Dibawah pepohonan itu tumbuhlah cendawan. Cendawan yang menghadap kearah ladang Aria teAbing tumbuh menjadi logam emas. Sedangkan jamur yang menghadap ladang Serunting tumbuh menjadi tanaman yang tidak berguna. 

Perseteruan itu, pada suatu hari telah berubah menjadi perkelahian. Menyadari bahwa Serunting lebih sakti, Arya Tebing menghentikan perkelahian tersebut. Ia berusaha mencari jalan lain untuk mengalahkan lawannya. Ia membujuk kakaknya (isteri dari Serunting) untuk memberitahukannya rahasia kesaktian Serunting. 
Menurut kakaknya Aria Tebing, kesaktian dari Serunting berada pada tumbuhan ilalang yang bergetar (meskipun tidak ditiup angin). Bermodalkan informasi itu, Aria Tebing kembali menantang Serunting untuk berkelahi. 

Dengan sengaja ia menancapkan tombaknya pada ilalang yang bergetar itu. Serunting terjatuh, dan terluka parah. Merasa dikhianati isterinya, ia pergi mengembara. Serunting pergi bertapa ke Gunung Siguntang. Oleh Hyang Mahameru, ia dijanjikan kekuatan gaib. Syaratnya adalah ia harus bertapa di bawah pohon bambu hingga seluruh tubuhnya ditutupi oleh daun bambu. Setelah hampir dua tahun bersemedi, daun-daun itu sudah menutupi seluruh tubuhnya. 
Seperti yang dijanjikan, ia akhirnya menerima kekuatan gaib. Kesaktian itu adalah bahwa kalimat atau perkataan apapun yang keluar dari mulutnya akan berubah menjadi kutukan. Karena itu ia diberi julukan si Pahit Lidah. 
Ia berniat untuk kembali ke asalnya, daerah Sumidang. Dalam perjalanan pulang tersebut ia menguji kesaktiannya. Ditepian Danau Ranau, dijumpainya terhampar pohon-pohon tebu yang sudah menguning. Si Pahit Lidah pun berkata, "jadilah batu." Maka benarlah, tanaman itu berubah menjadi batu. Seterusnya, ia pun mengutuk setiap orang yang dijumpainya di tepian Sungai Jambi untuk menjadi batu. 



Alkisah di tengah perjalanan si Pahit Lidah bertemu dengan si Mata Empat mereka adalah jawara yang sangat disegani oleh lawan-lawannya. Karena saling penasaran dengan kesaktian masing-masing, si Pahit Lidah dan si Mata Empat memutuskan untuk menguji kesaktian mencari siapa yang paling sakti.
Bukan dengan cara berantem bertanding, melainkan dengan cara tidur menelungkup dibawah rumpun bunga aren. siapa yang mampu menghindari terjangan bunga aren maka dialah yang akan menjadi pemenang. si Mata Empat menjadi yang pertama menjalani ujian. Dia tidur menelungkup dibawah rumpun bunga aren, dan si Pahit Lidah yang bertugas memotong bunga aren. Bunga aren pun deras berjatuhan ke bawah, namun semua dapat dihindari oleh si Mata Empat.

Si Mata Empat dengan mudah menghindari bunga aren yang berat dan lebat yang terus menghujam kebawah. Ini dikarenakan si Mata Empat memiliki dua mata tambahan di bagian belakang kepalanya. sehingga bukan perkara sulit untuk dia menghindari bunga aren.
Tibalah giliran si Pahit Lidah yang menelungkup tidur di bawah gugusan bunga aren, dan bergantian si Mata Empat yang memanjat pohon dan memotong bunga aren. Gugusan bunga yang berat itupun menghujam tubuh si Pahit Lidah. Ia pun tewas.

Sekarang kemenangan berada ditangan Si Mata Empat. Ia menjadi jawara yang paling sakti. Namun ia masih diliputi rasa penasaran. dibenaknya terus berfikir "benarkah si Pahit Lidah ini dijuluki begitu karena lidahnya pahit?". Atas rasa penasaran itu, si Mata Empat menyentuhkan jarinya ke mulut si Pahit Lidah sehingga mengenai liur si Pahit Lidah. Setelah itu si Mata Empat pun mengisap jarinya.
Ternyata rasa penasarannya tadi telah membawa dia ke kematian. Ya, karena ternyata air liur si Pahit Lidah mengandung racun. Duo jawara ini pun mati dalam waktu yang hampir berbarengan.


Kalau ada yang mau berkunjung ke makam si Pahit Lidah dan si Mata Empat masih ada kok, lokasinya di Danau Ranau, Kabupaten OKU (Ogan Komering Ulu) Propinsi Sumatera Selatan. Ceita ini pasti tidak asing bagi orang sumsel, kalau saya tidak salah di daerah Lahat juga ada patung yang menjadi korban dari sipahit lidah.

Rabial Kanada.
----

Kisah Si Pahit Lidah Mengutuk Pengantin Jadi Batu



Bukit Batu (Taufik Wijaya/detikTravel)



Ogan Komering Ilir - Desa Bukit Batu di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan memiliki destinasi wisata arkeologi dengan legenda yang memukau. Datang dan dengarkan sendiri kisah kutukan Si Pahit Lidah.

Di Sumatera Selatan, sangat dikenal legenda Si Pahit Lidah dan Si Mata Empat, dua tokoh sakti dari masa lalu. Khusus kesaktian Si Pahit Lidah, yakni dia mampu menyumpah apa pun menjadi batu, termasuk manusia.

Legenda ini muncul lantaran di Sumatera Selatan banyak sekali ditemukan batu andesit berwujud manusia atau hewan. Benda-benda ini dalam versi arkeologi, merupakan artefak hasil dari kebudayaan Dataran Tinggi Bukit Barisan Pasemah yang tumbuh sekitar 2.000 tahun SM.

Terlepas soal itu, legenda tentang kesaktian Si Pahit Lidah tetap tumbuh di masyarakat di Sumatera Selatan hingga saat ini. Salah satu hasil dari legenda itu yakni objek wisata Bukit Batu atau Batu Gajah di Desa Bukit Batu, Kecamatan Panglan Lampam, Kabupaten OKI.

"Lokasi ini sangat dijaga masyarakat, sebab masyarakat percaya jika lokasi itu dirusakan akan membawa malapetaka. Jelas sekali Bukit Batu merupakan wisata sejarah dengan background legenda yang memukau," kata Asisten II Pemkab OKI, Edward Candra, dalam perbincangan dengan detikTravel, Kamis (26/7/2012).

Konon kisahnya, Si Pahit Lidah yang juga dikenal dengan nama Serunting Sakti, berkunjung ke wilayah Pampangan dan Tulung Selapan dari seberang lebak atau rawa yang luas. Si Pahit Lidah mendengar ramai masyarakat yang sedang melaksanakan pesta perkawinan. Dia pun berniat buat melihat atau datang ke acara perkawinan tersebut, tetapi dia tidak memiliki perahu.

Dia pun berulang kali memanggil warga dan hewan yang ada diseberang agar dapat menyeberangkannya. Tapi tidak ada yang menggubrisnya. Di puncak kekesalannya Si Pahit Lidah menyumpah apa yang ada diseberang, baik tengah berjalan maupaun tidak berjalan, menjadi batu.

Maka jadilah semua yang ada di wilayah itu menjadi batu, seperti gajah, lesung, pengantin, payung, dan lainnya. Sampai saat ini, hasil sumpah Si Pahit Lidah ini tetap ada di Desa Bukit Batu, seperti batu lesung, batu pengantin, batu gajah.

Jarak lokasi Bukit Batu dengan Kota Palembang sekitar 70 kilometer, atau perjalanan sekitar 1,5 jam. Ke lokasi selain dapat menggunakan kendaraan pribadi juga bisa memakai kendaraan umum berupa bus, biayanya sekitar Rp 150 ribu per orang untuk pulang-pergi.

@@@@@

                                                                                      SI PAHIT LIDAH
Versi Lebong

                (Menurut cerita, si Pahit Lidah itu kalau lihat tidak apa-apa tapi kata-katanya yang pahit).

                Pahit Dileak atau si Pahit Lidah dan si Mata Empat bersaudara.  Si Mata Empat ini mempunyai dua buah mata yang lain di tengkuknya.  Tapi dari jauh, orang tidak bisa lihat matanya itu karena tertutup rambut.  Jadi kalau dia mau melihat, rambutnya diangkat.  Si Mata Empat ini menjadi raja di daerah Pagaruyung, yang sebenarnya jauh dari sini.  Demikianlah cerita tentang si Mata Empat. 
                Suatu hari, si Pahit Lidah ingin membuat Lebong menjadi laut.  Jadi dia mengangkut tanah dan diusungnya, tapi tanah itu jatuh berceceran dan menjadi gunung Bukit Barisan.  Di antara Bukit Barisan itu ada gunung yang bernama gunung Sepekul yang kalau di sini disebut bukit Kabes dengan bukit Tepuk.  Di puncak bukit Tepuk ini ada bekasnya mencari ikan (=mengail?) ketika dia mau membuat kolam/tebat di sungai Tunggang, hulu Du'es Tunggang.  Waktu dia sedang mengangkut tanah di gunung Sepikul tadi, ada yang datang dan mengatakan, "Hai, si Pahit Lidah, saya ada perlu denganmu.  Berhenti dulu!"
                "Kau perlu apa," tanya si Pahit Lidah?
                "Ini penting sekali," katanya.
                "Apa yang penting," kata si Pahit Lidah?
                "Saya disuruh orang memanggilmu, karena anakmu di rumah meninggal."
                "Ah, mana bisa anak saya meninggal, dan mengapa dia bisa meninggal?"
                "Betul, dia sudah tidak ada lagi."
                "Ah, tidak mungkin.  Dia tidak sakit, mengapa kau mengatakan bahwa dia sudah tidak ada?"  Mereka terus berdebat.  Si Pahit Lidah sudah tidak senang orang ini.  Tapi akhirnya dia mengatakan, "Anak saya betul-betul meninggal?"
                Jawab laki-laki itu, "Meninggal!"  Pulanglah Pahit Lidah ke rumahnya dan menemukan anaknya betul sudah meninggal.  Karena itulah gunung Sepikul itu tanahnya belum diangkut untuk menutupi sungai Tunggang, di hulu Ulau Du'es ini.  Karena itulah namanya gunung Sepikul yang tidak tertutup ataupun menjadi laut.  Kalau ditutupinya itu, dipenuhinya Lebong dan Curup ini, maka tempat ini tidak bisa dihuni oleh manusia karena telah menjadi laut.  Kepergiannya untuk melihat anaknya yang meninggal menyebabkan dia tidak jadi membuat laut di Lebong ini.  Buktinya ada yaitu di bukit Tepuk di gunung Sepikul ini ada tempat datar dan ada juga batu tempat duduknya si Pahit Lidah waktu dia mengail dengan bambu betung.  Dengan bambu betunglah dia mengail di bukit Tepuk di danau Tes.  Tempat itu jauh di sana, tidak tahu kita bagaimana mengatakan jauhnya tapi tempat itu keramat atau disebut orang juga 'berilmu'.  Jadi di sanalah dia mengail dulu, di bukit Tepuk di danau Tes dengan memakai bambu betung.  Itulah sebabnya sehingga tempat itu bernama Bukit Tepuk. 
                Pada suatu hari, si Mata Empat mendengar bahwa saudaranya si Pahit Lidah itu dipanggil orang si Pahit Lidah sebab apapun yang dikatakannya pasti jadi, kecuali menghidupkan orang mati.  Kalau dia menyumpahi orang menjadi batu maka orangpun menjadi batu, sehingga dia dijuluki si Pahit Lidah.  Akhirnya di dusun Tapos, kedua saudara itu bertemu untuk menguji kesaktian ilmu masing-masing.  Kedua saudara itu memang tinggi ilmunya.  Si Mata Empat ingin tahu mengapa si Pahit Lidah disebut si Pahit Lidah.  Jadi dia berkata, "Hai Pahit Lidah, kata orang kau pahit lidahnya.  Saya si Mata Empat juga jagoan.  Saya adalah raja di daerah Pagaruyung dan kau adalah raja daerah Rejang-Lebong.  Sekarang kita mencoba siapa yang lebih ampuh ilmunya.  Sekarang begini caranya," katanya.  "Salah satu dari kita memanjat pohon enau, yang lainnya di bawah kemudian memanjat bergantian.  Setibanya di atas pohon, dia terjun ke bawah di atas orang yang lagi tunggu itu," kata Mata Empat.
                Keduanya setuju dengan peraturan itu.  Si Pahit Lidah pun berkata, "Mata Empat, kau tidur dulu di bawah dan saya yang akan terjun dari atas pohon enau itu." Jadi si Mata Empat berbaring tertelungkup dan terjunlah si Pahit Lidah dari atas pohon.  Waktu si Pahit Lidah sudah terjun dan semasih dia melayang, si Mata Empat berguling menjauh sehingga si Pahit Lidah tidak jatuh di atasnya.  Kata si Mata Empat, "Kau terjun tidak kena saya, jadi kau kurang sakti.  Sekarang giliran saya untuk terjun di atasmu."  Sebenarnya si Mata Empat tidak kena karena dia bisa melihat dengan matanya yang di kuduknya itu.  Jadi dia tidak mati.  Sesudah itu gilirannya si Pahit Lidah.  Dia menelungkup lalu terjunlah si Mata Empat.  Si Pahit Lidah tidak dapat melihat si Mata Empat waktu dia terjun sehingga si Mata Empat dapat menginjak punggungnya tepat di tengah dan mengenai ulu hati dan jantungnya.  Jantungnya berpindah dan putuslah nyawanya.  Matilah si Pahit Lidah.
                Si Mata Empat tertawa terbahak-bahak karena dia yang menang, jadi dia yang lebih sakti.  Namun karena kebanggaannya itu dia mau mencicipi bagaimana rasanya lidah si Pahit Lidah.  Kata  orang lidahnya pahit, tapi apa betul-betul pahit dia, tidak tahu.  Kemudian dia membalik si Pahit Lidah dan mencoba menggigit ujung lidahnya sedikit.  Setelah tergigit, matilah si Mata Empat karena lidahnya pahit dan juga bertuah.  Jadi matilah keduanya. 
                Sekarang kuburannya kalau tidak salah di Tapos, tapi kata orang ada di Pagaruyung.  Saya tidak tahu betul tentang hal itu.  Begitulah ceritanya. 
Edited for spacing and paragraphing, Kepahiang 12-12-04.
augie suribory
4/29/88  *9:40 A.M.





Dari air putih sampai lubang kacamata



Ternyata lobang kaca mata itu adalah dua buah mulut gua di dinding bukit batu yang sekilas dari bawah mirip sekali seperti sepasang mata. Untuk mencapai mulut gua itu ada tangga yang sengaja dibuat sehingga kami tidak perlu mendaki bukit batu tersebut. Dinding goa itu berwarna putih yang jika terkena sinar matahari akan bercahaya, cantik sekali, gua itu tidak terjadi dengan sendirinya tapi sengaja dibuat untuk penambangan emas.



Sekarang setelah emas di daerah itu sudah semakin habis penambangan itu ditinggalkan begitu saja, tetapi masyarakat sekitar yang hidup sangat sederhana masih mencari sisa-sisa emas yang tersisa dengan melakukan penambangan secara tradisional hingga saat ini.



Asal Mula Danau Tes

Danau Tes merupakan danau terbesar di Provinsi Bengkulu, yang terbentang di antara Dusun Kutei Donok dan Tes, Kecamatan Lebong Selatan, Kabupaten Lebong. Danau yang memiliki panorama indah ini sangat melegenda di kalangan masyarakat Lebong, Bengkulu. Konon, Danau Tes ini dulunya merupakan aliran Sungai Air Ketahun. Namun, karena terjadi suatu peristiwa, aliran itu berubah menjadi danau. Peristiwa apakah sebenarnya yang terjadi hingga menyebabkan aliran Sungai Air Ketahun tersebut berubah menjadi danau? Untuk mengetahui jawabannya, ikuti kisahnya dalam cerita Asal Mula Danau Tes berikut ini.
     Alkisah, di Dusun Kutei Donok, Tanah Ranah Sekalawi (atau daerah Lebong sekarang ini), hidup seorang sakti bersama seorang anak laki-lakinya. Oleh masyarakat Kutei Donok, orang sakti itu dipanggil si Lidah Pahit. Ia dipanggil demikian, karena lidahnya memiliki kesaktian luar biasa. Apapun yang dikatakannya selalu menjadi kenyataan. Meski demikian, ia tidak asal mengucapkan sesuatu jika tidak ada alasan yang mendasarinya.
Pada suatu hari, si Lidah Pahit berniat untuk membuka lahan persawahan baru di daerah Baten Kawuk, yang terletak kurang lebih lima kilometer dari dusun tempat tinggalnya. Setelah menyampaikan niatnya kepada para tetangganya dan mendapat izin dari Tuai Adat Kutei Donok, ia pun segera menyiapkan segala peralatan yang akan dipergunakan untuk membuka lahan persawahan baru.
“Anakku, kamu di rumah saja! Ayah hendak pergi ke daerah Baten Kawuk untuk membuka lahan persawahan baru,” ujar si Lidah Pahit kepada anaknya.
“Baik, Ayah!” jawab anaknya.
Setelah berpamitan kepada anaknya, si Lidah Pahit pun berangkat dengan membawa kapak, parang, dan cangkul. Sesampainya di daerah Baten Kawuk, ia pun mulai menggarap sebuah lahan kosong yang terletak tidak jauh dari Sungai Air Ketahun. Si Lidah Pahit memulai pekerjaannya dengan menebangi pohon-pohon besar dengan kapak dan membabat semak belukar dengan parang. Setelah itu, ia pun segera mencangkul lahan kosong itu. Tanah-tanah cangkulannya ia buang ke Sungai Air Ketahun.
Setelah dua hari bekerja, si Lidah Pahit telah membuka lahan persawahan seluas kurang lebih setengah hektar. Bagi masyarakat Kutei Donok waktu itu, termasuk si Lidah Pahit, untuk membuka lahan persawahan seluas satu hektar dapat diselesaikan dalam waktu paling lama satu minggu, karena rata-rata mereka berbadan besar dan berotot. Alangkah senang hati si Lidah Pahit melihat hasil pekerjaannya itu.  
Pada hari ketiga, si Lidah Pahit kembali ke Baten Kawuk untuk melanjutkan pekerjaannya. Ia bekerja dengan penuh semangat. Ia tidak memikirkan hal-hal lain, kecuali menyelesaikan pekerjaannya agar dapat dengan segera menanam padi di lahan persawahannya yang baru itu.
Namun, tanpa disadari oleh si Lidah Pahit, para ketua adat dan pemuka masyarakat di kampungnya sedang membicarakan dirinya. Mereka membicarakan tentang pekerjaannya  yang selalu membuang tanah cangkulannya ke Sungai Air Ketahun, sehingga menyebabkan aliran air sungai itu tidak lancar. Kekhawatiran masyarakat Kutei Donok yang paling besar adalah jika si Lidah Pahit terus membuang tanah cangkulannya ke Sungai Air Ketahun akan menyumbat air sungai dan mengakibatkan air meluap, sehingga desa Kutei Donok akan tenggelam.
Melihat kondisi itu, ketua adat bersama tokoh-tokoh masyarakat Kutei Donok lainnya segera bermusyawarah untuk mencari alasan agar pekerjaan si Lidah Pahit dapat dihentikan. Setelah beberapa jam bermusyawarah, mereka pun menemukan sebuah alasan yang dapat menghentikan pekerjaan si Lidah Pahit. Maka diutuslah beberapa orang untuk menyampaikan alasan itu kepada si Lidah Pahit. Sesampainya di tempat si Lidah Pahit bekerja, mereka pun segera menghampiri si Lidah Pahit yang sedang asyik mencangkul.
“Maaf, Lidah Pahit! Kedatangan kami kemari untuk menyampaikan berita duka,” kata seorang utusan.
“Berita duka apa yang kalian bawa untukku?” tanya si Lidah Pahit.
“Pulanglah, Lidah Pahit! Anakmu meninggal dunia. Kepalanya pecah terbentur di batu saat ia terjatuh dari atas pohon,” jelas seorang utusan lainnya.
“Ah, saya tidak percaya. Tidak mungkin anakku mati,” jawab si Lidah Pahit dengan penuh keyakinan.
Beberapa kali para utusan tersebut berusaha untuk meyakinkannya, namun si Lidah Pahit tetap saja tidak percaya. Akhirnya, mereka pun kembali ke Dusun Kutei Donok tanpa membawa hasil.
“Maaf, Tuan! Kami tidak berhasil membujuk si Lidah Pahit untuk kembali ke kampung ini,” lapor seorang utusan kepada ketua adat.
“Iya, Tuan! Ia sama sekali tidak percaya dengan laporan kami,” tambah seorang utusan lainnya.
Mendengar keterangan itu, ketua adat segera menunjuk tokoh masyarakat lainnya untuk menyampaikan berita duka itu kepada si Lidah Pahit. Namun, lagi-lagi si Lidah Pahit tidak percaya jika anaknya telah mati. Ia terus saja mencangkul dan membuang tanah cangkulannya ke Sungai Air Ketahun.
Melihat keadaan itu, akhirnya ketua adat bersama beberapa pemuka adat lainnya memutuskan untuk menyampaikan langsung alasan itu kepada si Lidah Pahit. Maka berangkatlah mereka untuk menemui si Lidah Pahit di tempat kerjanya.
“Wahai si Lidah Pahit! Percayalah kepada kami! Anakmu benar-benar telah meninggal dunia,” kata ketua adat kepada si Lidah Pahit.
Oleh karena sangat menghormati ketua adat dan pemuka adat lainnya, si Lidah Pahit pun percaya kepada mereka.
“Baiklah! Karena Tuan-Tuan terhormat yang datang menyampaikan berita ini, maka saya sekarang percaya kalau anak saya telah meninggal dunia,” kata si Lidah Pahit dengan suara pelan.
“Kalau begitu, berhentilah bekerja dan kembalilah ke kampung melihat anakmu!” ujar ketua adat.
“Iya, Tuan! Saya akan menyelesaikan pekerjaan saya yang tinggal beberapa cangkul ini,” jawab si Lidah Pahit.
Mendengar jawaban itu, ketua adat beserta rombongannya berpamitan untuk kembali ke Dusun Kutei Donok. Setelah rombongan itu pergi, si Lidah Pahit baru menyadari akan ucapannya tadi. Dalam hati, ia yakin betul bahwa anaknya yang sebenarnya tidak meninggal kemudian menjadi meninggal akibat ucapannya sendiri. Maka dengan ucapan saktinya itu, anaknya pun benar-benar telah meninggal dunia.
Namun, apa hendak dibuat, nasi sudah menjadi bubur. Ucapan si Lidah Pahit tersebut tidak dapat ditarik kembali. Dengan perasaan kesal, ia pun melampiaskan kemarahannya pada tanah garapannya. Berkali-kali ia menghentakkan cangkulnya ke tanah, lalu membuang tanah cangkulannya ke Sungai Air Ketahun. Setelah itu, ia pun bergegas kembali ke Dusun Kutei Donok hendak melihat anaknya yang telah meninggal dunia. Sesampainya di rumah, ia mendapati anaknya benar-benar sudah tidak bernyawa lagi.
Konon, tanah-tanah yang dibuang si Lidah Pahit itu membendung aliran Sungai Air Ketahun dan akhirnya membentuk sebuah danau besar yang diberi nama Danau Tes.
* * *

Demikian cerita Asal Mula Danau Tes dari Provinsi Bengkulu. Hingga kini, Danau Tes menjadi sumber mata pencaharian penduduk Kota Donok dan airnya telah dimanfaatkan sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA).
Cerita di atas termasuk ke dalam kategori legenda yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah keburukan sifat mudah percaya pada omongan orang-orang yang berpangkat atau penguasa, karena tidak selamanya ucapan seorang penguasa selalu benar. Sifat ini tercermin pada sikap dan perilaku si Lidah Pahit yang mudah percaya dengan laporan ketua adat di kampungnya, sehingga mengakibatkan anak kesayangannya meninggal dunia. (Samsuni /sas/103/10-08)
Sumber:
·    Isi cerita diadaptasi dari Naim Emel Prahana. 1998. Cerita Rakyat Dari Bengkulu 2. Jakarta: Grasindo.
·    Anonim. “Wisata Alam”, http://www.bengkulu.info/wisata_alam.htm, diakses pada tanggal 12 Oktober 2008.
·    Anonim. “Kabupaten Lebong,” http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Lebong, diakses pada tanggal 12 Oktober 2008.
Kredit foto : riexx.multiply.com (foto Danau Tes)


******
DANAU tes merupakan salah satu aset wisata di Kabupaten Lebong. Sebelum dimekarkan menjadi bagian dari wilayah Kabupaten Lebong, danau ini masuk dalam wilayah Kabupaten Rejang Lebong. Jika Pemkab Lebong berupaya maksimal mengenalkan aset wisata ini, diyakini aset tersebut akan dapat menambah penghasilan bagi daerah. Setidaknya, memberikan dampak positif bagi masyarakat sekitar.

Potensi Danau Tes didukung dengan pemandangan di sekitar kawasan danau yang terletak di Kecamatan Lebong Selatan Kabupaten Lebong memang tak pernah habis sejauh mata memandang. Selain dikelilingi kawasan hutan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) Danau Tes juga menyimpan pesona alam yang tak kalah menariknya untuk dikunjungi.

Selain sebagai tempat wisata, Danau Tes juga merupakan pusat Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Bengkulu. Mungkin belum banyak masyarakat yang mengetahui, jika Danau Tes yang menjadi salah satu objek wisata andalan di Kabupaten Lebong adalah Danau yang terbesar yang ada di Provinsi Bengkulu. Danau yang terbentang dari Kutei Donok (Kota Donok, red) sampai ke Kelurahan Tes Kecamatan Lebong ini memiliki luas lebih kurang 750 hektar.

Untuk menempuh Danau Tes ini, dengan kemajuan Kabupaten Lebong sekarang sangat tidak sulit untuk dijangkau. Apalagi, dengan pembangunan yang dilakukan oleh Pemkab Lebong saat ini Danau Tes hanya berjarak lebih kurang 25 KM dari pusat kota (Muara Aman) dan dapat ditempuh dengan kendaraan roda empat baik angkutan umum maupun pribadi dan kendaraan roda.

Pembangunan yang dilakukan pemerintah juga tidak hanya pada sarana transportasi saja, namun pembangunan juga dilakukan terhadap beberapa sarana pendukung untuk liburan keluarga seperti rumah makan terapung yang menyajikan makanan khas Rejang yang diambil langsung dari Danau Tes.

Sayangnya, pembangunan sarana rumah makan terapung yang diharapkan mampu untuk menggenjot peningkatan wisatawan domestik bahkan manca negara ini, saat ini dalam kondisi yang sangat memperihatinkan karena tak terjaga dengan baik.
Sebagai danau terluas di Provinsi Bengkulu, Danau Tes bukan hanya menjadi kebanggaan bagi daerah. Terlebih bagi masyarakat di sekitar danau, keberadaan aset wisata ini diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi kehidupan mereka.

Selama ini, Danau Tes hanya ramai dikunjungi ketika hari libur. Namun banyak juga remaja yang tampak mangkal setiap sore hari untuk melepaskan jenuh. Berbagi bersama alam. Mungkin inilah kesan yang ingin didapat pengunjung. Didukung dengan pemandangan sejuk, Danau Tes memberikan daya tarik tersendiri untuk melepaskan penat.

Sebagai langkah memberdayakan potensi ini, Pemkab Lebong melalui Dinas Pariwisata, Budaya dan Perhubungan berencana akan mengembangkan aset ini. Tahun 2011 ini, pengembangan akan dilakukan guna meningkatkan pendapatan dari sektor pariwisata. Beberapa langkah yang saat ini sedang dirancang yakni mendirikan rumah makan terapung yang akan menyajikan makanan khas Rejang.
Selain itu, di Desa Kota Donok akan dibangun usaha rakyat yang akan menjual kerajinan tangan dan makanan khas. Bahkan Pemkab juga akan berupaya mengembangkan olahraga air di danau tersebut.
"Mudah-mudahan rencana kita ini akan terealisasi. Sehingga tak hanya memberikan pendapatan bagi daerah, tapi juga meningkatkan kesejahteraan bagi rakyat," ujar Kadisparbudhub Lebong Drs Yustin Hendri. (Debi Antoni)
**
Danau Tes
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Danau Tes adalah danau terbesar di Provinsi Bengkulu, terbentang antara dua buah dusun adat suku Rejang yaitu dusun adat Kutei Donok (Desa Tengah) dan dusun adat Tes. Danau ini letaknya di kecamatan Lebong Selatan, Lebong.[1] Danau Tes berada di lereng pegunungan Bukit Barisan dengan ketinggian 500 mdpl. Ditengah danau terletak persawahan penduduk yang spektakuler dan sebuah gunung pasir. Terletak pada posisi koordinat http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/5/55/WMA_button2b.png/17px-WMA_button2b.png3°1340S 102°2054E / 3.22778°LS 102.34833°BT / -3.22778; 102.34833.
Secara geografis topografi danau Tes adalah lereng perbukitan hal ini praktis menjadikan danau Tes memiliki cuaca yang sejuk dengan curah hujan yang banyak merata sepanjang tahun.

**

Danau Tes mempunyai kekayaan cerita rakyat berbentuk; legenda, mitos, kepercayaan dan sejarah nenek moyang orang lebong. Danau yang terletak di 2 (dua) wilayah kemasyarakatan (marga), yaitu Marga Jurukalang dan Marga Bermani itu—kemudian kedua marga itu digabungkan dalam satu marga (hingga sistem kemargaan dihilangkan) menjadi Marga Bermani Jurukalang. Wilayah Marga Bermani Jurukalang itu (salah satu asal suku Lebong) membawahi mulai dari Desa Tapus (Topos, desa tertua di Lebong) sampai Desa Turun Lalang. Sekarang secara administratif Marga Bermani Jurukalang terbagi ke dalam 2 (dua) wilayah Kecamatan, yaitu Kecamatan Rimbo Pengadang dan Kecamatan Lebong Selatan (awalnya hanya wilayah Kecamatan Lebong Selatan).
Danau Tes yang merupakan perut Bioa Ketawen (Air Ketahun) merupakan wilayah sumber mata pencarian penduduk sekitarnya, termasuk sepanjang Air Ketahun yang melintasi Kabupaten Lebong. Di danau itu, masyarakatnya dapat mencari ikan dengan pancing, jala, bubu, jaring, mengacea (mancing di air deras), tajua (pancing yang dipasang malam hari), menyuluak (mencari ikan di malam hari dengan peralatan lampu petromak, tombak ikan bermata tiga (trisula) dan menggunakan perahu) dan sebagainya alat penangkap ikan khusus masyarakat Kotadonok dan sekitarnya. Bila siang hari, ketika melintas di jalan raya di pinggir Danau Tes, dengan jelas dapat dilihat masyarakat mencari ikan di tengah Danau. Sedangkan yang mencari ikan dengan peralatan kecil, biasanya berada di pinggir-pinggir danau. Di sisi lain, Danau Tes merupakan sarana transportasi air bagi penduduk Kotadonok yang mengolah areal persawahan di kawasan sawah Baten (nama arean pertanian yang terletak diseberang Desa Tes, Taba Anyar, Mubai dan Turun Tiging). Alat transportasi penduduk ke sawah dengan jarak tempuh sekitar 4 km adalah menggunakan perahu kayu. Demikian juga, untuk mengangkut hasil panen, perahu adalah alat transportasi yang digunakan sejak zaman dahulu kala.
Di sepanjang jalan di tepi Danau Tes yang menghubungkan Desa Kotadonok dengan Ibukota Kecamatan Lebong Selatan, Tes sepanjang 5 km—yang jalannya adalah jalan utama di Kabupaten Lebong. Dapat disaksikan betapa indahnya panorama Danau Tes. Di sana ada tempat wisata bernama Pondok Lucuk (Pondok Runcing; karena bentuk bangunannya sejak zaman Kolonial adalah atapnya mengerucut ke atas dengan luas bangunan sekitar 6 X 6 meter. Lokasinya berada di sebelah kanan arah jalan dari Kotadonok ke Tes, tepat berada di pinggir Danau Tes.

 Fauna Khas

Fauna Khas danau Tes ini adalah Itik Tebet/burung Belibis, Belibis Merah, Bebek Mandarin, Ikan Selan dan Ikan Maruju
Menempuh Danau Tes ini, sekarang sangat tidak sulit untuk dijangkau. Danau Tes hanya berjarak lebih kurang 25 KM dari pusat kota (Muara Aman), 44 KM dari Curup dan 123 KM dari Ibukota Provinsi. Dan dapat ditempuh dengan kendaraan roda empat baik angkutan umum maupun pribadi dan kendaraan roda dua.
***
Butau Gesea Mitos Rakyat Rejang Di Lebong

Danau Tes dan sekitarnya serta masyarakat di Kota Donok, Lebong mempunyai cerita yang cukup banyak. Mulai dari legenda, mitologi, misteri dan peninggalan zaman purbakala, baik berupa megalitik maupun sisa-sisa sejarah masyarakat Rejang tempoe doeloe yang masih terbengkalai. Tapi, sangat diketahui oleh masyarakatnya. Salah satu adalah Butau Gesea (batu hampir atau nyaris, red). Kenapa dinamakan Butau Gesea?

****

Karena posisi batu yang permukaannya sekira lebar dan panjang satu meter kali dua meter itu sangat aneh. Batu yang besarnya (secara ukuran umum) mencapai sebesar mobil kijang kapsul lebih sedikit itu, kelihatannya hanya menempel sekian sentimeter saja bagiannya yang tertanam di tanah. Padahal, batu itu berada di lereng bukit yang terletak di Teluk Lem Danau Tes. Letak Butau Gesea berada beberapa meter di atas Srawung Dung Ulau Tujuak (gua ular kepala tujuh) yang terkenal itu. Letak persisnya bila di horizontalkan dari seberang Teluk Lem (Teluk Dalam) berada di seberang Pondok Lucuk (Rumah Runcing) tempat wisata di Kota Donok Kecamatan Lebong Selatan. Walaupun ukuran permukaan Butau Gesea itu tidak lebar dan normalnya hanya bisa muat sekitar maksimal enam orang duduk bersila. Tapi, kenyataannya permukaan batu itu mampu memuat lebih dari 20 orang di atasnya, tanpa berdesak-desakan. Itulah keanehan kalau tidak boleh kita menyebutkan suatu keajaiban. Biasanya, banyak orang berziarah ke Butau Gesea itu, terutama dari kalangan orang rejang yang tinggal di luar Lebong dan masyarakat dari etnis Tionghoa
.

Cerita persisnya memang tidak ada. Tapi, semua masyarakat di sekitar Danau Tes, baik di Kota Donok, Talang Ratu, Tapus, Talang Baru, Tanjung, Taba Anyar, Turan Tiging, Mubai, Turan Lalang dan lainnya sangat mengenal cerita Butau Gesea. Masyarakat di Kota Donok mempercayai kalau Butau Gesea itu bukan batu sembarangan dan mempunyai nilai magisnya, apalagi di bawahnya di Teluk Lem di Danau Tes itu terdapat gua ular kepala tujuh yang cerita mitos maupun legendanya sangat tersohor ke berbagai pelosok. Selain itu, ada cerita lain di Teluk Lem itu, yaitu sering munculnya ikan mas besar berukuran sekitar lebar dan panjang tikea purun (tikar, red). Menurut ceritanya, jika ikan itu muncul dan terlihat oleh seseorang atau beberapa orang, dipercayai alamatnya adalah Danau Tes minta korban atau ada orang yang akan meninggal dalam waktu dekat di sekitar danau itu. Bahkan, sering berubah wujud menjadi sebatang kayu besar tanpa ujung ( sangat panjang ), ada pula yang mempercayainya sebagai perubahan wujud dari ular kepala tujuh itu sendiri. Jika Butau gesea itu dikelola oleh pemerintah dan dijadikan salah satu objek wisata, akan mendatangkan pendapatan daerah yang cukup besar, terutama mendatangkan pendapatan bagi masyarakat sekitarnya. Sampai saat ini, belum ada yang berani mengambil foto Butau Gesea itu. Sehingga dokumen fotonya masih kosong. Butau gesea itu nyata keberadaannya, bisa dilihat dengan mata dan bisa diraba. Di lokasi lain, di Tempat Taukem (Keramat Rukam) dulunya diyakini sebagai pusat salah satu kerajaan di Lebong terdapat pula benda purbakala berupa meriam besi dan peluru besinya berbentuk bundar sebesar kelapa. Masyarakat di Lebong sangat percaya kalau anak hasil zina yang datang ke sana dan mencoba mengangkat peluru besi itu. Pasti tidak akan bisa mengangkatnya. Tapi, kalau orang biasa (bukan anak hasil zina,red), besi peluru itu dengan gampang bisa diangkat. Peninggalan itu, saat ini masih ada dan berada di bukit sebelah kiri jalan menuju tes dari Kota Donok yang sekarang sudah ditumbuhi hutan pinus yang lebat. Bioa Tebet di dalam kamus lisan masyarakat Rejang, nama Danau Tes jarang dipergunakan, bahkan masih asing di telinga warga masyarakat khususnya masyarakat di Topos, Talang Baru, Tanjung, Rimbo Pengadang, Air Dingin, Talang Rratu, Kota Donok, Tes, Taba Anyar, Turun Tiging, Mubai dan Turun Lalang.

Masyarakat Rejang di Lebong dan masyarakat Rejang di daerah lain hanya mengenal akrab nama Bioa Tebet. Nama Bioa Tebet (Bioa berarti air, sungai, kali dan tebet berarti dibendung, dam atau aliran sungai yang sengaja ditutup dengan maksud air aliran airnya bisa tergenang, kolam). Oleh karenanya, dalam bahasa Rejang mengenai ‘tebet’ ada tingkatannya. Misalnya tebet titik (bendungan atau kolam kecil), tebet lai (bendungan atau kolam besar). Tentang nama Bioa Tebet untuk Danau Tes dalam bahasa Indonesianya erat kaitannya cerita rakyat Rejang tentang Si Pahit Lidah (sering juga disebut dengan Si Lidah Pahit). Konon cerita, Bioa Tebet (Danau Tes) merupakan danau buatan secara sengaja dilakukan si Pahit Lidah dikarenakan kemarahannya atas tipu daya masyarakat Kota Donok terhadap dirinya. Sebenarnya masyarakat Kota Donok tidak menipu Si Pahit Lidah, melainkan untuk mencegah pekerjaan Si Pahit Lidah mencangkul kawasan di seberang Dusun Tes (dusun berarti desa dalam pemahaman orang Rejang). Kawasan yang dicangkul Si Pahit Lidah itu mulai dari Ujung Semapak pelabuhan perahu masyarakat Kota Donok dan kawasan wisata di Desa Kota Donok sampai Baten Daet seberang Tes, Taba Anyar dan Turun Tiging. Karena kekhawatiran masyarakat Kota Donok akan pekerjaan Si Pahit Lidah yang nantinya akan menenggelamkan desa mereka. Maka sepakatlah para anggota masyarakat dalam komunitas pengurus Kutei (Kutai, Desa) untuk bagaimana mencegah pekerjaan Si Pahit Lidah itu. Kalau dicegah dengan kasar, masyarakat takut akibatnya. Dicarilah solusi, sehingga Si Pahit Lidah mau menghentikan pekerjaannya itu. Solusi itu adalah dengan mengabarkan bahwa anak Si Pahit Lidah meninggal dunia.

Tentu saja kabar itu tidak dipercayai oleh Si Pahit Lidah. Akan tetapi, karena keuletan utusan dari masyarakat Kota Donok menyampaikan pesan kepada Si Pahit Lidah, akhirnya terucaplah kata dari mulutnya, “Anakku mati ya!”. Tentu saja, ucapan itu menjadi kenyataan dan sadar akan ucapannya yang pahit itu, Si Pahit Lidah marah kepada masyarakatnya. Kemarahannya itu ia lampiaskan dengan mengayunkan cangkulnya, lalu tanah yang ia cangkul dilemparkan ke aliran Bioa Tawen (Air Ketahun) di dekat Desa Tes. Tentu saja aliran sungai itu tertutup dan airnya tergenang. Itulah singkat cerita terjadinya Bioa Tebet (Danau Tes) yang merupakan danau terbesar di provinsi Bengkulu. Kawasan- Kawasan di Danau Tes Di Bioa Tebet itu, terdiri dari beberapa kawasan yang sangat dikenal oleh masyarakat Rejang. Kawasan- kawasan itu sebagai berikut: Pertama, Kawasan Teluk Lem Kawasan Teluk Lem oleh masyarakat dipercayai mempunyai cerita misteri yang angker. Karena, di situ ada gua yang konon dijadikan rumah Ular Kepala Tujuh. Letaknya berada di seberang areal wisata Pondok Lucuk. Di Teluk Lem, juga ada batu yang penuh keajaiban yang disebut dengan Butau Gesea (Batu hampir jatuh)


kedua, Jungut Benei Jungut Benei atau Tanjung Pasir merupakan pulau kecil dengan permukaannya hanya pasir. Pulau kecil itu tidak begitu besar dan letaknya berada di muara aliran Air Ketahun dengan Danau Tes (Bioa Tebet). Untuk mencapai Jungut Benei bisa dilakukan dengan naik perahu atau jalan kaki dari Tlang Macang terus ke Tanjung dan sampailah di Jungut Benei. Di Jungut Benei biasanya dimanfaatkan oleh satwa burung, seperti Blibis, dan burung sawah lainnya dan bagi masyarakat yang suka mencari ikan, Jungut Benei sering dijadikan tempat istirahat. Begitu pula bagi anak-anak atau remaja, dimanfaatkan untuk mencari ikan dan menjerat burung atau tempat bermain yang mengasyikkan. Apalagi di musim kemarau. Jungut Benei dikelilingi Bioa Tebet, Tawen Blau, dan Bioa Ketawen. Di daratannya ditumbuhi rumput selet (sejenis rumput yang tajam dan biasanya untuk makanan kerbau), pun dak (pohon dadak), peak (bambu air), bakung (enceng gondok) dan pun sagau (pohon rumbia). Dari Jungut Benei kita bisa memandang lepas ke arah Danau Tes sejauh mata memandang, dapat melihat bagaimana komposisi rumah- rumah penduduk di Desa Kota Donok dan Sukasari. Termasuk alam pegunungan di sekitarnya. Mengasyikkan sekali.

Ketiga, Bioa Tamang merupakan kawasan di muara Bioa Tamang yang berada di paling ujung rumah penduduk Desa Kota Donok (bukan ujung wilayah desa). Di kawasan ini, selain tempat masyarakat mencari ikan, ada jalan raya ke arah Tes yang mendaki. Seperti pendakian Tarahan di Lampung Selatan, Lampung. Daerah pendakian Bioa Tamang dulu terkenal angker, beberapa kejadian mobil yang terjun ke Danau Tes. Sekarang, nampaknya keangkeran daerah itu sudah jarang dibicarakan, karena, masyarakat di desa Kota Donok masih mempercayai bahwa kalau berada di sekitar Danau Tes jangan bicara Takabur. Keempat, Muara Bioa Putiak kawasan ini berada di wilayah Desa Tes yang terdiri dari hutan Peak (bambu air) dan rawa. Di daerah ini, juga sangat subur untuk lahan pertanian padi sawah. Jika melintasi kawasan ini, dapat dilihat areal persawahan penduduk Kotadonok dan Tes. Di muara Bioa Putiak itulah konon cerita adanya Siamang Bioa yang suka menganggu penduduk naik perahu di kawasan muara sungai tersebut.

Kelima, Jungut Mutung kawasan Jungut Mutung itu berada di seberang pulau pasit atau dikenal dengan Jungut Benei. Daerah itu masih menyatu dengan kawasan Teluk Buluak yang dianggap masih angker karena beberapa satwa liar yang berada di kawasan tersebut. Jungut Mutung merupakan pinggir Danau Tes yang sedikit menjorok ke tengah dan tanahnya terlihat merah. Pinggiran Jungut Mutung itu sering dimanfaatkan penduduk untuk mencari ikan, terutama di malam hari. Keenam, Tawen Blau Tawen Blau merupakan anak Danau Tes yang berada di kaki Desa Kotadonok. Air Tawen Blau selalu berwarna kuning, sekelilingnya dipenuhi tumbuhan rawa atau air seperti pohon peak, rumbia dan di Tawen Blau itu tempat bermuaranya beberapa anak sungai atau setidak-tidaknya empat anak Sungai, di antaranya Bioa Pacua Telai, Bioa Ujung Semapak dan lainnya (belum diketahui namanya, hanya orang menyebut bioa tik (air atau sungai kecil). Konon cerita di kawasan Tawen Blau ada seekor binatang yang menunggu, yaitu Buai Kotong (buaya yang ekornya putus). Buaya itu dipercayai bersarang di bawah pepohonan peak yang berada di kawasan kuburan umum desa Kotadonok. Ketujuh, Ujung Semapak Ujung Semapak boleh jadi sebagai kawasan pelabuhan (untuk perahu) masyarakat Kota Donok yang memanfaatkan potensi Danau Tes. Rumah-rumah penduduknya sebagian berada di atas permukaan air Danau Tes yang ada di pinggiran. Berupa rumah- rumah bertiang tinggi. Di Ujung Semapak itu setiap pagi atau sore dapat dilihat puluhan bahkan lebih perahu yang ditambatkan, juga jaring-jaring yang dijemur atau peralatan penagkapan ikan lainnya milik warga dijemur di pinggir air Danau Tes. (**)
Diposkan oleh rusmiadi

****

Sungai Ketahun merupakan satu dari 2 sungai besar di Lebong, yaitu sungai Ketahun dan Sebelat. hulunya di Tapus dan sekitar, menjadi Danau Tes dari Kota Donok sampai Tes, dan bermuara ke Samudra Hindia.
**
Kabupaten Lebong yang dibentuk berdasarkan ketetapan UU No. 39 Tahun 2003 merupakan kabupaten pemekaran dari Kabupaten Rejang Lebong. Kabupaten yang berbatasan dengan dua propinsi ini: Jambi dan Sumatera Selatan, memiliki luasan sekitar 192.924 ha dan sebagian besarnya merupakan daerah dengan kemiringan lebih dari 40%. Daerah dengan kemiringan >40% ini  mencapai 121.209 ha atau 62,8%-nya.
Kabupaten Lebong dilewati 2 sungai besar, Sungai Ketahun dan Sungai Sebelat, yang mengalir ke Kabupaten Bengkulu Utara dan bermuara ke Samudera Hindia. Salah satu sungai yang telah dimanfaatkan adalah Sungai Ketahun sebagai pembangkit PLTA Tes  yang dikelola oleh PLN.

Sungai-sungai kecil di Kabupaten Lebong merupakan DAS Sungai Ketahun dan Sungai Sebelat. Pada saat ini, sungai-sungai kecil tersebut sebagian telah dimanfaatkan masyarakat sebagai sumber irigasi dan air bersih.



Di Kabupaten Lebong juga terdapat beberapa Obyek Wisata Air yang dapat dikunjungi oleh para Wisatawan, antara lain adalah :


* Wisata Danau Tes : Danau Tes merupakan tempat wisata sekaligus menjadi Pusat Pembang-kit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Bengkulu. Tidak sama dengan tempat wisata lainnya, luas objek wisata Danau Tes + 750 Ha jarak tempuh-nya 25 km dari ibu kota kabupaten dapat di tempuh dengan ken-daraan umum, Danau Tes telah tersentuh oleh Penataan Pembangunan.


* Sumber Air Panas Desa Tes : Luas Areal 1 Ha belum dikembangkan.


* Air Terjun Telon Buyuk : Terletak di Desa Turan Lalang 11 Km dari Ibu Kota Kecamatan 24 Km dari Ibu Kota Kabupaten dapat ditempuh dengan kendaraan umum ketinggian ± 50 Meter, mempunyai keindahan Panorama Alam kesejukan dan Kebersihan Udara Luas Area Wisata 9, 5 Ha belum dikembangkan.


* Wisata Air Picung : Air Picung merupakan tempat Wisata Danau Alami, terletak disebelah Utara Kota Muara Aman dengan jarak ± 5 Km sama halnya dengan tempat Wisata Air Putih, Air Picung belum tersentuh oleh Penataan Pembangunan dan di kelola secara profesional.


* Objek Wisata Alam Lobang Kacamata : Terletak di Desa Lebong Tambang yang berada di Kecamatan Lebong Utara + 2 Km dari Pusat Kota Lobang Kacamata memiliki keunikan tersendiri yang mana terletak di dalam Bukit atau Dinding Bukit yang berbatu.


* Air Putih : Air Putih merupakan tempat wisata sumber air panas yang sangat menarik yang terletak ± 10 Km sebelah Timur dari Kota Muara Aman di Desa Air Kopras. Suasana Air Putih pada saat ini masih alami karena belum ada penataan pembangunan yang memadai.


* Objek Wisata Air Panas : Terletak didesa Karang Dapo Kecamatan Lebong Selatan ± 54 Km dari Ibu Kota Kabupaten, dapat ditempuh dengan kendaraan, ada kolam pemandian dengan keindahan Panorama Alam.


* Danau Lupang : Terletak di Kelurahan Mubai Kecamatan Lebong Selatan jarak tempuhnya 6 Km dari Ibu Kota Kecamatan, Sarana yang dimiliki jalan setapak mempunyai Panorama Alam yang indah luas Danau Lupang ± 5 Ha belum tersentuh pengembangan Pembangunan.


* Gunung Belerang : Terletak di Kelurahan Mubai ± 6 Km dari Ibu Kota Kelurahan ± 9 Km dari Ibu Kota Kecamatan mempunyai keindahan Panorama Alam. 


* Air Terjun Ketenong : Terletak di Desa Ketenong, masih alami dan belum dikembangkan diperlukan investor untuk pengem-bangan lebih lanjut .


* Sumber Air Panas Turan Lalang : Luas Area 0, 5 Ha masih alami terletak di Desa Turan Lalang.


* Objek Wisata Air Terjun Tes : Terletak di Desa Tes, Luas lahan 1,5 Km masih alami dengan keindahan Panorama Alam.


* Wisata Air Paliak (Lebong Utara) : Sama halnya dengan Sumber air panas Air Putih, Air Paliak merupakan tempat wisata alami yang sangat menarik . akan tetapi di Air Paliak suasana pegunungannya sangat terasa karena memang terdapat di Daerah Pegunungan.


* Danau Blue : Terletak di Desa Mubai Luasnya ± 2 Km belum dikembangkan mempunyai pemandangan yang indah dan alami, airnya jernih kebiru-biruan.


* Sungai Ketahun : Terletak disepanjang Desa Suka Sari dan Talang Leak mempunyai air yang sangat jernih, keindahan Panorama Alam dan Luasnya sungai sepanjang 20 Km.



. Ait Terjun Sapat Desa Tik Sirong Kec Topos. Dengan air terjun yang jernih di kelilingi pegunungan yang masih murni


. Air Terjun Ekor Kuda, Kec Topos. Di kelilingi pegunungan dan aliran sungai Tik Semulen



* Objek Wisata Lainnya : Diantaranya Goa Sriwijaya, Suban Gergok, Telaga Tujuh warna, Air Terjun Tik Gumaceak, Air Terjun Siapang, Air terjun Bio Baes, Air Terjun Taman Peri, Air Terjun Amen, Arum Jerang Air Ketahun dan Air Terjun Tebing Serai.

Situs/Benda Cagar Budaya Di Kabupaten Lebong

Nama Benda Cagar Budaya Lokasi Keterangan
Keramat Tebo Lai Semelako Kecamatan Lebong Tengah Rajo Megat
Keramat Tebo Sam Atas Tebing Kec. Lebong Atas Rajo Mawang
Keramat Ulau Dues Tunggang Kec. Lebong Utara Ki Karang Nio
Keramat Lebong Semelako Kec. Lebong Tengah Ki Pandan
Keramat Beringin Kuning Semelako Kec. Lebong Tengah Ki Pati
Keramat Topos Kec Topos Rio Setanggei Panjang
Situs Tepok Reginang Toposs Kec. Topos Dayang Reginang
Situs Tanah Majapahit Topos Kec. Topos Biku Bembo
Batu Balimo Desa Tik Sirong Kec Topos


Situs Malim Janggut Tl. Ratu kec.Rimbo Pengadang Malim Janggut
Keramat Tik Ukem Tes kec. Lebong Selatan Biku Bermano
Keramat Tubei Pelabi Kec. Lebong Atas Samang Alo
Keramat Daneu Daneu Kec. Lebong Atas Ajai Malang
Rumah Adat Tradisional Gunung Alam Kec. Lebong Atas Dilestarikan suku rejang

Jenis-jenis Kesenian Kabupaten Lebong
* Tarian Induk : Tari Kejai
* Tari Kereasi : Tari Uli, Tari Ejek, Tari Kipas, Tari Pisau, Tari Selendang, Tari Kemanten, Tari undang Biniak, Tari Lalan Belek, Tari Obor, Tari Samana, dan tari Ting Bedeting.

* Medula : Cerita Legenda yang dilagukan tanpa alat musik (hanya vocal). Mengisahkan tentang perjuangan kaum laki-laki.

* Geritan : Cerita pahlawan yang dilagukan dengan alat pengeras suara bambu (Gerigik).

* Sambei : Penyampaian ungkapan hati dengan Bahasa yang halus dan dilagukan.

* Rejung : Penyampaian perasaan hati dengan Bahasa yang halus dan dilagukan.

* Perbimbang : Penyampaian ungkapan hati dengan Pantun yang dilagukan.

* Seni Kerajinan : Menganyam dan sejenis kerajinan Tangan lainnya.

* Seni Arsitektur : Cara-cara pembuatan alat pendukung kerja (kehidupan) dalam pertanian, rumah tangga

* Seni Musik : Musik Kolintang, Musik Sedem, Musik Krilu, Musik Ketuk Kecitung, Musik Redap, Gendang, Musik Genggong, Musik suling, Musik Rebana, Musik Gitar Tunggal.






Bunga Bangkai VS Rafflesia Arnoldi

Kedua bunga ini mungkin sudah familiardi telinga kita. Malahan saking familiarnya, bisa jadi kita tertukaratau salah membedakan wujud asli bunga yang berbau kurang sedap ini.Supaya tidak salah lagi, ada baiknya kita mengenal kedua flora inilebih dekat lagi.  
Bunga Bangkai (Amorphpophallus titanium)
  • Bunga ini tumbuhnya menjulang tinggi ke atas bukan melebar. 
  • Warnanya krem pada bagian luar dan pada bagian yang menjulang, sedangkan mahkotanya berwarna merah keunguan. Jika diperhatikan, sekilas bentuknya seperti bunga terompet saat mekar.
  • Tingginya mencapai sekitar 4 meter dengan diameter sekitar 1,5 meter dan tumbuh di atas umbi sendiri.
  • Masa mekarnya sekitar 7 hari, setelah itu bunga ini akan layu dan berkembang lagi dengan sendirinya.
  • Bunga ini merupakan bunga resmi bagi provinsi Bengkulu.

Rafflesia Arnoldi (Puspa Langka)
  • Bentuknya melebar ke samping (bukan meninggi) dan berwarna merah.
  • Ketika mekar, diameternya mencapai 1 meter, tingginya 50 centimeter dengan berat sekitar 10 kilogram.
  • Rafflesia merupakan parasit pada tumbuhan rambat atau menumpang pada tumbuhan inang.
  • Tidak memiliki daun, tangkai dan akar. Bunga ini memiliki 5 mahkota bunga.
  • Rafflesia arnoldii tumbuh di hutan sumatera bagian selatan, terutama Bengkulu.
  • Masa pertumbuhannya mencapai 9 bulan, sedangkan masa mekarnya hanya 5-7 hari, kemudian akan layu dan mati. Mauito – Foto: Istimewa

**

Patma raksasa

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Padma Padma

Bunga Rafflesia Arnoldi di Bengkulu, Bunga terbesar di Dunia
Kerajaan:
Divisi:
Kelas:
Ordo:
Famili:
Genus:
Spesies:
R. arnoldii
Rafflesia arnoldii
R.Br.
Padma Raksasa (Rafflesia arnoldii) merupakan tumbuhan parasit obligat yang terkenal karena memiliki bunga berukuran sangat besar, bahkan merupakan bunga terbesar di dunia. Ia tumbuh di jaringan tumbuhan merambat (liana) Tetrastigma dan tidak memiliki daun sehingga tidak mampu berfotosintesis. Penamaan bunga raksasa ini tidak terlepas oleh sejarah penemuannya pertama kali pada tahun 1818 di hutan tropis Bengkulu (Sumatera) di suatu tempat dekat Sungai Manna, Lubuk Tapi, Kabupaten Bengkulu Selatan, sehingga Bengkulu dikenal di dunia sebagai The Land of Rafflesia atau Bumi Rafflesia. Seorang pemandu yang bekerja pada Dr. Joseph Arnold yang menemukan bunga raksasa ini pertama kali. Dr. Joseph Arnold sendiri saat itu tengah mengikuti ekspedisi yang dipimpin oleh Thomas Stamford Raffles. Jadi penamaan bunga Rafflesia arnoldii didasarkan dari gabungan nama Thomas Stamford Raffles sebagai pemimpin ekspedisi dan Dr. Joseph Arnold sebagai penemu bunga. Tumbuhan ini endemik di Pulau Sumatera, terutama bagian selatan (Bengkulu, Jambi, dan Sumatera Selatan). Taman Nasional Kerinci Seblat merupakan daerah konservasi utama spesies ini. Jenis ini, bersama-sama dengan anggota genus Rafflesia yang lainnya, terancam statusnya akibat penggundulan hutan yang dahsyat. Di Pulau Jawa tumbuh hanya satu jenis patma parasit, Rafflesia patma.
Bunga merupakan parasit tidak berakar, tidak berdaun, dan tidak bertangkai. Diameter bunga ketika sedang mekar bisa mencapai 1 meter dengan berat sekitar 11 kilogram. Bunga menghisap unsur anorganik dan organik dari tanaman inang Tetrastigma. Satu-satunya bagian yang bisa disebut sebagai "tanaman" adalah jaringan yang tumbuh di tumbuhan merambat Tetrastigma. Bunga mempunyai lima daun mahkota yang mengelilingi bagian yang terlihat seperti mulut gentong. Di dasar bunga terdapat bagian seperti piringan berduri, berisi benang sari atau putik bergantung pada jenis kelamin bunga, jantan atau betina. Hewan penyerbuk adalah lalat yang tertarik dengan bau busuk yang dikeluarkan bunga. Bunga hanya berumur sekitar satu minggu (5-7 hari) dan setelah itu layu dan mati. Persentase pembuahan sangat kecil, karena bunga jantan dan bunga betina sangat jarang bisa mekar bersamaan dalam satu minggu, itu pun kalau ada lalat yang datang membuahi.
***

TINTAPENA.COM, BENGKULU – Sebagian dari masyarakat Bengkulu mungkin menyayangkan bahwa bunga bangkai terbesar kebanggaan Provinsi Bengkulu bernama Rafflesia. Mengapa tidak diberi nama seperti layaknya nama asli Bengkulu. Mengapa pula harus Sir Stamford Raffles dan ahli botani Arnoldi penemunya. Sebagian orang berpikir, jika saja bunga ini dikenal dengan nama asli Bengkulu tentu akan berbeda imbasnya. Sehingga ketika bunga ini dikenal dunia, Bengkulu akan makin dikenal juga. Berikut ini, sebuah berita yang dikutip dari Radar Bengkulu tentang nama Rafflesia.
Mendokumentasikan kebanggaan dalam bingkai nama besar nilai sejarah dari nama penjajah sepertinya menjadi kebanggaan bagi masyarakat Bengkulu dalam memberikan nama, gelar, maupun simbol bagi berbagai segi. Seperti nama Rafflesia terkesan lebih identik dengan kebanggaan masyarakat Bengkulu terhadap nama penjajah dari bangsa Inggris, benarkah demikian?
Nama besar Bunga Rafflesia sebagai simbol bagi Provinsi Bengkulu hingga kini masih melekat di hati masyarakat Indonesia. Sebagai rasa bangga dan hormat kepada penemu sekaligus pencetus nama bunga tersebut, nama Sir Thomas Stamford Bingley Raffles selaku Gubernur Jenderal Hindia Belanda atau pernah menjabat sebagai Gubernur Sumatera pada 1800-an diabadikan menjadi nama bunga padma raksasa tersebut. Lantas, nama tersebut kian diagungkan oleh masyarakat Bengkulu, karena bunga Rafflesia merupakan khas tanaman Bengkulu dan merupakan tumbuhan langka. Karena bentuk dan ukurannya. “Bukan bangga dengan kebesaran terhadap nama penjajah, namun bangga atas kecirikhasan Bengkulu terhadap Bunga Rafflesia yang hanya ada di Bengkulu,” ujar tokoh Masyarakat Bengkulu, Prof. Drs. KH Djamaan Nur kepada RBI Kamis (28/6/2012).
Diceritakan Djamaan Nur, penamaan bunga raksasa ini tidak terlepas oleh sejarah penemuannya pertama kali pada tahun 1818 di hutan tropis Sumatera. Seorang pemandu yang bekerja pada Dr. Joseph Arnold yang menemukan bunga raksasa ini pertama kali. Sedangkan Joseph Arnold sendiri saat itu tengah mengikuti ekspedisi yang dipimpin oleh Thomas Stamford Bingley Raffles. Jadi penamaan bunga Rafflesia Arnoldii didasarkan dari gabungan nama Thomas Stamford Raffles sebagai pemimpin ekspedisi dan Dr. Joseph Arnold sebagai penemu bunga.
Disisi lain, terdapat sumber sejarah yang menyebutkan bahwa nama Rafflesia Arnoldi, merupakan sebuah nama dari Sejarah bunga Rafflesia Arnoldi. Penemuan bunga raksasa Rafflesia pada tahun 1930 di daerah Ulu Manna, Kabupaten Bengkulu Selatan oleh seorang ahli biologi dari belanda telah membawa nama harum bagi daerah yang mempunyai habitat Raflesia, yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Inggris ketika berada di Bengkulu.
Akhirnya, penemuan tersebut dipatenkan atas nama penemuannya, Arnoldi dan kemudian hari bunga raksasa itu lebih dikenal dengan nama Rafflesia Arnoldi. Penemuan pertama bunga tersebut di Bengkulu, setelah kemudian ditemukan bunga yang sama di daerah Palupuh di Nagari Koto Rantang Kecamatan Palupuh, Provinsi Sumatera Barat. “Terlepas dari itu, Rafflesia menjadi simbol Bengkulu. Sehingga acap kali dijadikan ciri khas dari Bengkulu,” ujar Djamaan Nur.
Pemakaian nama ketokohan bagi sebuah nilai sejarah acap kali digunakan setelah figur tersebut memiliki nilai ketokohan yang disesuaikan dengan profesi dan jabatan. Dan hal itu sudah diakui oleh kalangan masyarakat tentang kebesaran nama ketokohan dan dalam sejarahnya nilai ketokohannya tidaklah tercoreng. “Lantas apakah salah jika kita menggunakan nama ketokohan yang memiliki nilai sejarah sebagai bentuk penghargaan atas ketokohan, maupun mengabadikan dari nilai sejarah? Tentunya tidak,” ujar Djaman nur.
Terpisah, dosen Universitas Bengkulu yang juga ketua ikatan sejarawan Bengkulu, Agus Setiyanto, M.Hum mengatakan, kebesaran nama Rafflesia yang sering digunakan masyarakat Bengkulu bukanlah dilihat dari aspek yang memunculkan ketokohan Stamford Raffles yang dikatakan selaku penemu bunga tersebut. Hal ini ditandai dengan nama, simbol dan gambar yang dipakai masyarakat, lembaga maupun instansi dengan bentuk bunga Rafflesia. Sehingga gambar bentuk bunga Raflesia dijadikan ikon Bengkulu. “Dalam tataran nilai sejarah, nama Raffles tidak dilihat dari aktor penjajah, melainkan sebagai sosok seorang humanis dan pecinta lingkungan,” ujar Agus.
Hal itu ditandai dengan sebuah buku karangan istri Raffles yang berjudul “Memoar Sir Stamford Raffles” yang menceritakan jika kepribadian Raffles selain seorang ekspedisi juga hobby terhadap flora dan fauna serta melestarikan alam. Di Bengkulu sendiri, nama besar ketokohan dari kalangan pejuang, pelaku sejarah sangatlah banyak. Dan pemakaian nama besar tersebut telah banyak digunakan dalam beberapa nama sebagai bentuk penghargaan. Sebut saja ketokohan Putri Gading Cempaka, Ratu Samban, Pangeran Natadirja, Balai Buntar, Prof. Hazairin, Fatmawati dan beberapa nama besar lainnya. Nama-nama tersebut telah digunakan sesuai dengan profesi dan latar belakangnya.(**)
27 Jan 2009 by sofan79 in artikel Kaitkata:rejang+curup+bengkulu



  
Adat dalam pernikahan
rejangkeme.blogspot.com

Bagi suku Rejang perkawinan mempunyai beberapa tujuan. Tujuan suatu perkawinan adalah :
  • a. untuk mendapatkan teman hidup dan memperoleh keturunan, yang disebut Mesoa Kuat Temuun Juei;
  • b. untuk memenuhi kebutuhan biologis, hal dimaksudkan agar kaum muda dapat terhindar dari perbuatan tercela;
  • c. memperoleh status sosial ekonomi. Bagi suku Rejang bujang dan gadis belum merupakan orang kaya ( coa ade kayo ne) oleh karena itu mereka harus kawin, setelah kawin mereka akan bekerjasama untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga dan memupuk kekayaan bagi keluarga mereka sendir


Suku Rejang juga memiliki suatu pandangan mengenai perkawinan yang diinginkan (ideal). Perkawinan seperti ini kebanyakan diukur dari kondisi calon pengantin, baik laki maupun perempuan. Perempuan yang baik untuk menjadi isteri apabila dia memenuhi berbagai persyaratan, yang pada dasarnya menunjukkan perilaku yang baik dan pandai mengatur rumah tangga.
ersyaratan-persyaratan tersebut antara lain adalah : baik tutur katanya; pandai mengatur halaman rumah dan bunga-bunga di pekarangan; pandai menyusun/mengatur kayu api (semulung putung); bagus bumbung airnya (lesat beluak bioa); dan mempunyai sifat pembersih.
Sedangkan bagi kaum laki-laki, syarat-syarat yang harus dipenuhi menunjukkan bahwa ia adalah orang yang berilmu-pengetahuan dan berketerampilan. Syarat-syarat bagi laki-laki tersebut antara lain adalah : banyak ilmu batin dan pandai bersilat; pandai menebas dan menebang kayu; pandai membuat alat senjata dan alat-alat untuk bekerja. Selain itu dalam adat suku Rejang juga diatur larangan untuk kawin bagi anggota suku tersebut. Secara adat, orang Rejang dilarang kawin dengan saudara dekat, sebaiknya perkawinan itu dilakukan dengan orang lain (mok tun luyen). Perkawinan dengan saudara dekat dianggap merupakan suatu perkawinan sumbang, yang mereka sebut Kimok (memalukan/menggelikan). Perkawinan dengan sesama famili disebut kawin Sepasuak dan perkawinan dengan saudara yang berasal dari moyang bersaudara (semining) disebut Mecuak Kulak. Perkawinan Sepasuak dan Mecuak Kulak ini merupakan perkawinan yang dilarang, namun demikian apabila tidak dapat dihindarkan maka mereka yang kawin didenda secara adat berupa hewan peliharaan atau uang, denda seperti ini disebut Mecuak Kobon. Jenis perkawinan lainnya yang dilarang secara adat adalah perkawinan antara seorang pria atau wanita dengan bekas isteri atau suami dari saudaranya sendiri, apabila saudaranya tersebut masih hidup. Bentuk-bentuk perkawinan dalam adat suku Rejang berhubungan erat dengan peristiwa atau kejadian sebelum perkawinan tersebut dilaksanakan. Bentuk-bentuk perkawinan tersebut adalah : a. Perkawinan biasa, yakni perkawinan antara pria dan wanita yang didahului dengan acara beasen (bermufakat) antara kedua belah pihak. b. Perkawinan sumbang, yakni perkawinan yang dianggap memalukan. Misalnya karena sang gadis telah berbuat hal-hal yang memalukan (komok) sehingga menimbulkan celaan dari masyarakat atau perkawinan yang dilakukan oleh sesama saudara dekat. c. Perkawinan ganti tikar (Mengebalau), yaitu perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki yang isterinya telah meninggal dengan saudara perempuan isterinya, atau dengan perempuan yang berasal dari lingkungan keluarga isterinya yang telah meninggal tersebut.
Upacara perkawinan dalam adat suku rejang mencakup tiga kegiatan pokok, yaitu upacara sebelum perkawinan, upacara pelaksanaan perkawinan dan upacara setelah perkawinan. Oleh sebab itu, perkawinan dalam suku Rejang terdiri dari :
a. Upacara sebelum perkawinan, yang terdiri dari :
  • 1) Meletak Uang, yaitu upacara pemberian uang atau barang emas yang dilakukan oleh kedua calon mempelai di rumah si gadis, dengan disaksikan oleh keluarga kedua belah pihak. Maksud upacara ini adalah memberi tanda ikatan bahwa bujang dan gadis tersebut sudah sepakat untuk menikah.
  • 2) Mengasen, yaitu meminang yang dilakukan di rumah keluarga si gadis.
  • 3) Jemejai atau Semakup Asen, yaitu upacara terakhir dalam peminangan yang merupakan pembulatan kemufakatan antara kedua belah pihak. Tujuan upacara ini adalah untuk : meresmikan atau mengumumkan kepada masyarakat bahwa bujang dan gadis tersebut telah bertunangan dan akan segera menikah; mengantar uang antaran (mas kawin), dan menyampaikan kepada Ketua Adat mengenai kedudukan kedua mempelai itu nantinya setelah menikah.
b. Upacara Pelaksanaan Perkawinan, terdiri dari : Upacara pelaksanaan perkawinan pada suku Rejang pada umumnya terdiri dari dua macam upacara, yaitu Mengikeak dan kemudian diikuti dengan Uleak. Mengikeak adalah upacara akad nikah dan upacara Uleak adalah pesta keramaian perkawinan. Pelaksanaan Mengikeak biasanya dilaksanakan di tempat pihak yang mengadakan Uleak, namun demikian berdasarkan permufakatan bisa saja mengikeak dilaksanakan di rumah mempelai pria dan Uleak dilaksanakan di rumah mempelai wanita. Dalam permufakatan adat hal seperti ini disebut : Mengikeak keme, uleak udi artinya menikah kami merayakannya kamu. c. Upacara Sesudah Perkawinan, terdiri dari : Pada zaman sekarang berbagai upacara sesudah pelaksanaan perkawinan tidak begitu diperhatikan lagi. Pada zaman dahulu setelah upacara perkawinan, dilakukan pula berbagai upacara yaitu :
  • 1) Mengembalikan alat-alat yang dipinjam dari anggota dan masyarakat dusun.
  • 2) Pengantin mandi-mandian, melambangkan mandi terakhir bagi kedua mempelai dalam statusnya sebagai bujang (jejaka) dan gadis.
  • 3) Doa selamat.
  • 4) Cemucu Bioa, yaitu berziarah ke makam-makam para leluhur.
  • d. Adat Menetap Sesudah Perkawinan.
Apabila akad nikah dan upacara perkawinan telah dilakukan, maka kedua mempelai itu telah terikat oleh norma adat yang berlaku. Kebebasan bergaul seperti pada masa bujang dan gadis hilang, dan berganti ke dalam ikatan keluarga di mana mereka bertempat tinggal. Status tempat tinggal (Duduk Letok) mereka ditentukan oleh hasil permufakatan yang telah diputuskan dalam upacara Asen. Bagi suku bangsa Rejang ada dua macam Asen, yakni Asen Beleket dan Asen Semendo. Asen Beleket artinya mempelai perempuan masuk ke dalam keluarga pihak laki-laki, baik tempat tinggalnya maupun sistem kekerabatannya. Asen Beleket dibedakan lagi dalam dua macam Asen, yaitu Leket Putus dan Leket Coa Putus (tidak putus). Pada Leket Putus, hubungan mempelai perempuan dengan pihak keluarganya diputuskan sama sekali. mempelai perempuan tersebut sepenuhnya menjadi hak keluarga pihak laki-laki. Apabila suaminya meninggal terlebih dahulu, maka perempuan tersebut tetap tinggal di lingkungan keluarga suaminya. Biasanya ia dinikahkan dengan saudara suaminya atau sanak saudara suaminya yang lain, tanpa membayar uang apa-apa dan ia tidak boleh menolak. Pada Leket Coa Putus hubungan mempelai perempuan dengan keluarganya tidak terputus sama sekali. Pada Asen Semendo terdapat banyak variasi. Pada mulanya Asen Semendo merupakan lawan atau kebalikan dari Asen Beleket, yakni :
  • 1) Semendo Nyep Coa Binggur (hilang tidak terbatas), mempelai laki-laki masuk dan menjadi hak pihak keluarga perempuan sepenuhnya.
  • 2) Semendo Nyep/Tunakep (menangkap burung sedang terbang), mempelai laki-laki dianggap oleh keluarga pihak perempuan sebagai seorang yang datang tidak membawa apa-apa. Jika terjadi perceraian atau laki-laki tersebut meninggal terlebih dahulu maka semua hak warisnya jatuh kepada isterinya.
  • 3) Semendo Sementoro/Benggen (berbatas waktu), mempelai laki-laki pada awal kehidupan berkeluarga harus tinggal dalam lingkungan keluarga pihak mempelai perempuan, setelah itu dia bersama isterinya dapat tinggal dalam lingkungan keluarga asalnya atau membentuk lingkungan keluarganya sendiri.

  • 4) Semendo Rajo-Rajo, yaitu apabila kedua mempelai berasal dari dua keluarga yang sama kuat atau sederajat. Kedudukan dan tempat tinggal kedua mempelai setelah perkawinan diserahkan sepenuhnya kepada kedua mempelai untuk memutuskannya. 
 Helda Tunkeme Xwp

Tidak ada komentar:

Posting Komentar