Bab.
ELYANA
ELYANA
Elyana mengunjungi
rumah kakaknya yang tidak begitu jauh dari tempat ia mengajar dan sebelumnya ia
menelepon anak tertuanya untuk memberitahukan ia pulang agak siang karena ada
keperluan di tempat keluarga. Elyana tidak pernah menduga setelah sampai di
tempat kakaknya seorang teman SMP-nya dulu datang menghampiri karena melihat
dia sedang berada di rumah sebelah yang sedang hajatan.
“Elyana?!
Hai..... kebetulan kamu datang.” Katanya dengan penuh semangat. Elyana hanya
tersenyum. Rumah perempuan itu tidak begitu jauh dari rumah kakak Elyana.
“Sudah lama aku ingin bertemu dengan kamu tapi aku malas datang ke sekolah.”
Lanjut perempuan itu. “Kamu ingat dengan Helen? Ia mencari kamu dan meminta
nomor kamu.”
“Apa?
Helen? Di mana dia?” mimik wajah Elyana langsung berbinar takkala menyebut nama
Helen. Tidak tahu mengapa ia begitu bersemangat mendengar nama salah satu teman
SMP-nya itu padahal ia pernah bertemu sebelumnya namun sudah cukup lama yaitu
sekitar 16 tahun yang lalu. Perempuan itu memberikan nomor ponsel Helen kepada
Elyana dan detik itu juga ia menghubungi Helen.
“Halo..........?”
“Ya,
Halo...?”
“Kurang
ajar lo, ya?!” wanita itu memaki Helen dengan sengaja menyebut ‘Lo’ karena tahu
ia tinggal di daerah Betawi.
Si
penerima telepon menjadi bingung karena nomor yang masuk tidak ia kenal dan
berani memakinya dan itu tidak pernah terjadi sebelumnya. “Maaf, ini siapa?
Anda mungkin salah sambung.” Kata penerima telepon mulai emosi dan tentu saja
sangat marah karena zaman sekarang tidak sedikit telepon perempuan nyasar dan
menghubungi nomor perempuan lain lantaran suami mereka punya hubungan diluar
rumah.
“Woi....
ini gw..... Elyana.”
“Ya
Tuhan...., E.....lo?! Sialan lo maki-maki orang ga jelas. Lo di mana?”
“Gw di
tempat kakak gw, barusan si Menul kasi nomor lo, tuh dia cenger-cengir melihat
gw telepon.” Ujar si Elyana dengan penuh semangat. “Mana novel buat gw? Kata
Menul lo mau kirim buat dia... gak nyangka ya lo jadi penulis novel.” Kali ini
nada suara Elyana terdengar penuh kekaguman sekaligus bercanda. Aku hanya
tersenyum karena masih ingat pertemuan terakhir dengan perempuan itu kala aku
hamil 6 bulan dan bertemu dengannya di pasar saat ia hendak pulang. Tidak ada yang istimewa kala itu, Elyana mengatakan
kalau ia tinggal di tempat terpencil dan menjadi guru SD. Ia pun mengatakan
kalau sudah pernah mencubit anak orang di kelas. Aku tentu saja bangga melihat
teman ada yang menjadi pendidik sebab aku sendiri hanya ibu rumah tangga biasa
dan anehnya saat itu Elyana tidak bertanya sama sekali kepadaku di mana aku
tinggal dan menikah sama orang mana padahal kami sedang ngobrol seperti halnya
aku tidak juga bertanya apakah dia sudah menikah atau belum. Semua itu menjadi
tidak penting lagi setelah Elyana menghubungiku karena sudah membuktikan kalau
dia kembali bermaksud menjalin
silaturrahim denganku.
“Ini
nomor lo kan? Biar gw simpan. Sekali lagi..... asal lo tahu ya, tidak ada orang
yang berani memaki gw ditelepon.” Ujar setengah bercanda.
“Hehee..
jangan marah shobat, itu gw lakukan karena gw merasa dekat dengan lo... hanya
orang terdekat yang berani memaki, bukankah begitu?” sahut Elyana mulai
bercanda dan itu adalah awal terjalinnya kembali hubungan persahabatan antara
aku dengan Elyana.
Nyaris
setiap malam kami berkomunikasi baik lewat telepon langsung ataupun pesan
singkat yang isinya tidak pernah singkat. Aku menanyakan apakah Elyana punya
akun Facebook dan akun-akun yang
lainnya? Dan ternyata tidak. Elyana sangat sulit ditelepon karena sinyal di
tempatnya payah. Ia mengatakan hanya segaris. Ditelepon dan kalau ia mengangkat
maka sinyal itu langsung menghilang dan sinyal segaris itu hanya bisa menerima
pesan masuk dan tak jarang pesan itu
lama sekali tertunda.
“Bagaimana mungkin gw membuat akun-akun yang lo maksud itu, setiap hari
gw disibukan kegiatan sekolah, mengurus ketiga anak gw apalagi tempat gw
mengajar agak jauh dari kota besar, sinyal susah. Mengaktifkan paket internet
pun percuma karena tidak dapat sinyal pun di sekolah masih susah. Kalau lo
punya akun tolong buatkan juga untuk gw ya.” Pintanya dengan nada serius.
“Sip,
ntar gw buatkan.” Janjiku dengan nada penuh kepastian.
Aku
membuat akun Facebook-nya dengan memakai nama dari tokoh di dalam novelku
karena Eyana sudah membacanya dan ia suka sehingga meminta nama itu.
Hubungan persahabatan kami semakin kuat dan
sudah mulai saling terbuka satu sama lainnya. Jika dua perempuan sudah saling
percaya satu sama yang lain maka tidak ada yang ditutup-tutupi dalam masalah
apapun tak terkecuali itu masalah yang paling rumit sekalipun dalam kehidupan
keduanya dan tentu saja menyangkut hubungan istimewa.
Semakin
hari komunikasi antara aku dengan Elyana semakin inten dan kami sama-sama ingin
sekali segera bertemu, disamping rasa kangen yang tak tertahankan juga karena
memiliki kesamaan yang tak pernah terduga selama ini. Kalau pulang dari sekolah yang terkadang sudah
menjelang sore tak jarang Elyana menggunakan untuk istirahat bahkan tidur dan
iapun berpesan kepada anak bungsunya.
“Nak,
nanti kalau ada teman Ibu mencari bilang saja ibu sedang tidur ya.”
“Oh,
begitu ya.. Bu? Tapi kalau tante Helen yang menelepon apa aku harus bilang juga
kalau Ibu sedang tidur?”
“Jangan.”
Sahut Elyana dengan sangat cepat. Pria kecil itu sudah tahu bagaimana senangnya
sang ibu kalau menerima pesan atau telepon dariku meski kami jarang sekali bisa
berbincang saat ia sudah sampai di rumah. Saat di sekolah aku hanya bisa
meneleponnya di jam istirahat karena aku tidak ingin mengganggu dia sedang
mengajar muridnya karena bukan saja dia yang terganggu muridnya juga dan aku
tidak akan tega melakukan itu.
Elyana
mengajar tak begitu jauh dari rumah Menul tapi Menul adalah wanita yang sangat
setia dengan suaminya bahkan ia rela dipukuli atau dibentak sang suami dan itu
bertolak belakang sekali dengan prinsipku dan Elyana. Menul bicara selalu
lurus-lurus saja dan datar, ia teman yang enak diajak bicara meski tak banyak
memiliki bahan. Cepat menilai orang dari luarnya saja. Dan setelah punya nomor
teleponku maka Elyana seolah menemukan sesuatu yang selama ini ia
tunggu-tunggu. Seorang teman yang bisa diajak bicara dari hati ke hati yang
memahami dirinya, profesinya serta semua tentangnya meski selama ini ia punya
seorang teman yang setiap saat bisa mendengarkan seluruh keluh kesahnya tapi telah
mengecewakannya karena tidak bisa menyimpan rahasia. Tanpa terasa dari hari ke
hari bahkan bulan kami sudah bicara banyak mengenai diri sendiri juga keluarga,
kesibukan masing-masing bahkan mengenai perasaan kepada suami masing-masing.
Aku sudah sangat terbuka kepada Elyana namun
aku merasa kalau Elyana masih ragu-ragu untuk bercerita. Semua memang butuh
waktu dan rasa percaya yang tinggi apalagi Elyana berprofesi sebagai pendidik.
Beberapa
hari setelah komunikasi dengan Elyana membuatku seringkali bermimpi ketemu
dengan perempuan itu dan hal itu aku kisahkan kepada dia dan anehnya ia
mengatakan ingin sekali bertemu denganku meski hanya dalam mimpi namun tidak
pernah. Ia tidak akan pernah tahu kalau mimpi itu menyakitkan. Aku pikir tidaklah
mudah untuk bertemu dengannya lantaran tahun kemarin baru saja aku pulang
kampung dan jadwalku pulang minimal dua tahun sekali. Berkali-kali Elyana
mengatakan kapan bisa bertemu? Dan sungguh membuatku sedikit tersiksa karena
itu.
Entah ini
takdir atau ada hal lain sehingga aku harus pulang kampung sendiri karena
ibundaku sakit, anak juga tidak bisa ikut karena belum libur sekolah dan suami
juga kerja. Aku memang harus pulang kampung lantaran waktu itu adik bungsuku
mengirim pesan yang amat menyentuh seolah-olah aku merasa tidak akan berjumpa
lagi dengan ibundaku. ‘kak.... aku nggak tahu ini bagaimana nasib ibu kita, aku
sendiri tidak tahu lagi harus ngomong apa.’ Saat itu ibu baru masuk ke rumah
sakit dan dengan seizin suami akupun pulang.
Di jalan
aku mengabarkan kepada Lexa kalau aku akan pulang untuk menemani ibu yang
sedang sakit. Ia hanya membalaskan dengan satu baris kalimat. ‘salam sama
beliau dan semoga lekas sembuh.’ Hanya itu dan aku tahu kalau Lexa tidak akan
pernah mengirimkan kata-kata lebih dari itu. dan Elyana yang posisinya ada satu
kabupaten di kampungku tentu saja aku mengabarinya meski itu bukan saat yang
tepat karena posisi ibuku sedang sakit namun tidak ada salahnya memberitahu.
Setelah
aku sampai betapa terkejutnya aku melihat kondisi ibuku yang sakitnya ternyata
diluar dugaanku, meski ia sudah dirawati di rumah dan dipasang infus di rumah
dengan ditangani dokter sendiri namun tak membuat aku puas. Empat malam
berturut-turut aku tidur menemani beliau, mengganti popok dan menyuapinya makan,
bangun tengah malam karena beliau minta makan dan minta ganti popok menjadi hal
yang tidak pernah aku pikirkan sebelumnya. Terkadang aku berpikir yang
tidak-tidak seolah sedang menghadapi maut astaghfirullah. Namun dengan
berjalannya waktu kondisi ibuku mulai membaik.
Minggu
berikutnya Elyana baru datang ke rumahku meski hari pertama aku pulang ia sudah
bermaksud mau datang namun tugasnya tidak memungkinkannya untuk pergi apalagi
posisinya sebagai kepada sekolah yang tidak bisa begitu saja pergi. Elyana
adalah tipe atasan yang memberi contoh dengan sikap bukan cuma bisa bicara. Aku
yang sudah kangen sekali dengan perempuan itu tentunya sangat gembira menyambut
kedatangannya di rumah orang tuaku.
Elyana
datang dengan mengenakan jaket karena ia mengendarai motor dan menenteng sebuah
bawaan untuk ibundaku yang sedang sakit. Di ruang tengah ia berdiri dan aku di
ruang bawah yang dibatasi oleh tangga. Oh betapa bahagia rasanya melihat sosok
yang beberapa minggu belakangan ini menjadi akrab denganku, kami saling dukung,
saling berbagi cerita dan saling rindu satu sama lain.
“Turunlah.” Kataku menyambut senyumnya dan ingin segera memeluknya. Kini
Elyana sudah pindah mengajar dan lebih dekat dengan rumahnya. Ia sudah pernah
menjadi kepala sekolah lalu mengundurkan diri dan kini kembali menjadi kepala
sekolah di tempat barunya.
“Kamu yang
naik.” Katanya dengan tak lepas tersenyum seolah mimpi melihat aku di
hadapannya. Selama ini ia kesal karena tidak pernah bisa bertemu aku di dalam
mimpi seperti aku yang seringkali bertemu dengannya di dalam mimpi. Aku
akhirnya mengalah, setelah naik ia langsung menarik tanganku dan menarik aku ke
dalam pelukakannya. Kami berpelukan sangat erat.
“Akhirnyaaaa.....” gumanku. Elyana mananyakan di mana ibuku dan akupun
membawanya ke kamar ibu. Kami akhirnya berbincang di sana di tengah-tengah
ibuku. Taklama kemudian si Menul juga datang diantar anak sulungnya. Mereka
ternyata sudah berjanji untuk datang sama-sama namun Elyana sampai terlebih
dahulu karena rumah mereka ada di posisi yang berlawanan. Adikku membuatkan
minuman untuk kami bertiga, tapi sayangnya Menul sedang puasa maka hanya aku
dan Elyana yang balapan menikmati kopi karena sama-sama penyuka kopi.
Hari itu
kami tak ubahnya sedang reuni kecil meski di tengah-tengah ibundaku, Elyana dan
Menul adalah sama-sama teman SMP-ku namun Elyana melanjutkan sekolah kejuruan
yaitu SPG sedang aku dan Menul menamatkan SMA di tempat yang sama.
Setelelah
hari itu Elyana datang lagi dan lagi, karena kami tmerasa tidak pernah ada
habisnya bahan untuk bercerita. Aku sebenarnya kasian dengan Elyana yang selalu
ke rumahku setiap kali ia pulang kerja namun aku tidak mungkin pergi karena
ibuku masih sakit dan misi utamaku pulang adalah untuk menemani dan merawat ibuku
meski ada adik bungsuku yang di rumah.
Apbril
juga tahu kalau ibundaku sedang sakit dan iapun menelepon tadinya ia ingin
datang ke rumah bersama keluarganya namun karena ada sesuatu hal mereka tidak
jadi datang, ditambah lagi jarak rumah Apbriel dari rumahku menempuh perjalanan
sekitar empat jam.
Suatu
malam aku sedang berbincang dengan adikku pesan dari Apriel masuk. “Helen....
sudah tidur?” hanya itu pesannya yang mengandung pertanyaan dan entah mengapa
perasaanku langsung tidak enak dan langsung membalas pesannya.
“Belum.”
Jawabku singkat. Kalaupun aku sudah tidur aku pasti akan menjawab belum karena
aku tahu kapan temanku sedang butuh atau sekedar ingin cerita biasa-biasa saja....
apalagi temanku jarang mengirim pesan malam-malam kalau tidak sedang ingin
sekali membahas suata masalah penting makanya aku selalu berusaha menjadi
pendengar yang baik untuk teman-temanku siapapun mereka.
“V mau
ngobrol.... sesek rasanya dadaku.” Balas Apbriel dan aku langsung meneleponnya.
Dan kamipun berbincang dari hati ke hati lebih kurang satu setengah jam sampai
kami merasa tidak ada ganjanlan dihati lagi, akupun bisa mendengar tawa Apbriel
lagi. Lega J
Gendys
juga mengirim salam untuk ibundaku yang sedang sakit semoga lekas sembuh,
Liliana juga demikian apalagi si Esty yang juga tahu dari sebelum aku pulang
kampung. Senang sekali rasanya mendapat doa dari orang-orang yang aku sayangi.
Razty
masih tinggal di luar kota juga tak ketinggalan mengirimkan doa, nanti dia akan
pindah ke kampung karena ada sesuatu hal dan sepertinya akan menetap di kampung
bersama keluarga besarnya.
Dalam
waktu dua minggu belakangan nyaris lima kali Elyana datang ke rumahku lantaran
aku tidak bisa pergi dikarenakan ibu sakit. Elyana adalah wanita yang suka
sekali berbincang seakan tidak ada habisnya ia mengisahkan tentang kisah
hidupnya sehingga aku sendiri merasa tidak punya celah untuk mengutarakan kisah
hidupku sendiri kepadanya sehingga aku pun memutuskan untuk selalu mendengar
dan mendengar saja apalagi melihat semangat Elyana yang menggebu saat berkisah
meski tak jarang matanya memperlihatkan kesenduan yang begitu dalam, kesedihan
yang seakan selama ini hanya ia sendiri nikmati. Ya Tuhan, entah mengapa aku
merasa ingin menggali lebih dalam apa yang disimpan Elyana selama ini. Karena
selama ini kami hanya berbincang di telepon dan SMS saja meski secara garis
besar Elyana sudah menjelaskan tentang dirinya kepadaku.
Hari itu
Elyana membawa suami dan anak bungsunya disanalah aku pertama kali bertemu
dengan suaminya dan entah mengapa kala mendengar suaranya aku teringat dengan
suara seseorang sehingga memaksaku membenci suara itu. karena akhir-akhir ini
suara itu sudah menjadi suara sombong dan benar-benar berubah 180 derajat.
Mengingatnya saja aku tidak suka.
Tak berapa
lama berselang suaminya minta pamit untuk mengunjungi seseorang dan ia membawa
anaknya seolah memberi celah untuk aku dengan Elyana agar lebih lama berbincang
dan dalam kesempatan itu sungguh kami tak menyia-nyiakan kesempatan untuk terus becerita hal-hal yang kami alami
selama ini baik dari hal besar hingga ke hal terkecilpun. Aku menemukan kisah
yang diluar dugaanku mengenai perjalanan karir Elyana selama mengajar dan juga
sejak menjadi isterinya Boby. Aku jadi terbawa suasana dengan kisahnya sehingga
tak sedikitpun aku memalingkan pandangan dari wajah Elyana dan menatap matanya
saat bercerita.
Dan kesan
suaminya bertemu aku mengatakan kalau aku orangnya ramah, enak diajak ngobrol..rendah
diri dan tidak memandang remeh orang lain... dan cepat akrab. Itu pengakuannya
kepada Elyana. Namun kesan pertamaku bertemu dengan pria itu terlihat ingin
dominan dan seolah tahu banyak hal meski aku tahu apa yang ia pikirkan.
Walaupun
sudah sering bertemu tak meninggalkan kebiasaan kami menulis pesan singkat di
waktu siang ataupun malam.
“Helen,
kapan lo main ke rumah gw?”
“Ya,
nantilah tunggu nyokap rada mendingan, gak enak juga gw pergi meninggalkan
nyokap yang sakit meski kita bukan untuk bersenang-senang. Gw juga ingin ke
rumah lo kok.”
“Ya, lo
cerita dong apa yang lo rasain sekarang? Gw sudah memberi lo waktu yang bergitu
banyak untuk bercerita namun lo masih saja tutup mulut sama gw.” Elyana minta
kau cerita banyak hal.
“Bukan
seperti itu El.., gw ga tahu darimana mesti gw mulai.. semuanya menjadi tidak
menentu buat gw. Apalagi kondisi nyokap lagi sakit membuat semua pikiran gw
tercurah untuk nyokap.”
“Ya, gw
ngerti masalah itu tapi gw selalu tunggu dan siap mendengar kisah lo.”
Pintanya.
“Helen...?”
perempuan itu mengirim pesan lagi.
“Ya..?”
“Hati gw
rasanya sakit banget.”
“Memangnya kenapa?”
“Si Bobi,
seharian ini kerjaannya ngomel-ngomel terus
dan kata-katanya kasar sekali.”
“Masalahnya apa?”
“Tidak
jelas.”
“Oh...”
sahutku cukup panjang dan aku yakin tidak ada yang tidak jelas di dunia ini
apalagi aku sudah tahu apa yang dialami Elyana selama ini. Kehidupan seorang
kepala sekolah dengan seorang pria yang bukan PNS seolah menjadi alasan bagi
pria untuk mencari celah ribut karena ketidakpercayaan dirinya pada diri
sendiri. Itu sudah bukan rahasia umum lagi di zaman sekarang ini karena sudah
banyak orang mengalami hal yang sama... zaman di mana sudah banyak perempuan
lebih cerdas dari pria yang sulit diterima kalangan pria. Saling cinta saja
tidak cukup karena harus disertai dengan saling pengertian.
Elyana
datang ke rumahku lagi dan kali ini ia membawa teman seprofesinya dengan masih
berseragam karena mereka pasti dari sekolah langsung ke rumah orang tuaku. Itu
bukan tanpa alasan karena kalau harus pulang ke rumah dulu maka mereka akan
kesorean di jalan. Aku menyambut mereka dan membuatkan minuman.
Hari itu
topik pembicaraan kami adalah tentang politik. Elyana punya jagoan sendiri
dalam urusan calon presiden di negeri ini dan itu bertentangan sekali dengan pandangan
politik dari teman perempuan di sempingnya karena perempuan itu berseberangan
pandangan dengan Elyana sedangkan aku menjadi pengamat saja mendengar kedua
guru yang sedang mengeluarkan pendapatnya masing-masing. Sejujurnya aku
mengidolakan Bung Karno dan merasa belum ada ganti sang bapak proklamator itu
di negeri ini. Elyana menyukai pemimpin yang tegas dan berwibawa dan apapun
alasannya sejatinya ia tidak menyukai cara kepemimpinan suaminya di rumah.
Tidak tegas, tergantung dengan istri dan sangat mengandalkan tenaga istri di
dalam urusan finansial, itu yang bisa ditangkap olehku melihat cara pandang Elyana
yang mendasar dan aku bisa memaklumi itu. Karena saat aku menanyakan apa alasannya
menyukai calon presiden yang satu itu tanpa mau tahu latar belakang sang calon
sama sekali.
*
Lima
belas hari keberadaanku di kampung halaman dan kondisi ibu juga sudah mulai
membaik aku memutuskan untuk datang ke rumah Elyana karena perempuan itu ingin
sekali aku main ke rumahnya supaya aku bisa melihat gubuknya, itu alasan Elyana
namun tidak demikian bagiku karena apapun bentuk tempat tinggal seseorang baik
itu istana atau gubuk yang penting nyaman bagi yang menempatinya. Aku berkomunikasi
dengan adikku yang ada di rumah orang tua kami dan ia sangat memahami kalau
kakaknya mau ke rumah Elyana sebab ia sudah menyaksikan sendiri kesetiaan Elyana
selama ini yang seakan tidak ada bosannya datang ke rumah kami. Melihat ibu
kami yang sudah membaik tidak ada alasan bagi adikku keberatan dengan kepergianku
untuk hari itu karena lima belas hari penuh aku tidak sedikitpun keluar dari
rumah.
Elyana
datang ke rumah untuk menjemput pukul sembilan pagi ia sudah muncul untuk
mengajak aku menuju ke rumahnya di tanah Tanai. Aku senang meski tetap saja ada
rasa tidak enak meninggalkan ibuku namun dukungan sang adik yang berjanji akan
menjaga ibu kami membuat aku sedikit tenang.
Elyana meminta
aku yang membawakan motor karena tidak pernah membonceng orang lain, jangankan
orang lain anaknya saja tidak pernah dibonceng sama dia. Pernah anaknya sakit
dan ia minta orang lain yang membawa motor, alasannya ia tidak bisa. Apakah
memang demikian? Aku memang masih penuh tanda tanya pada wanita yang satu itu,
dulu ia pernah bercerita bohong tentang seseorang yang ada di luar kota tapi
setelah dikonfirmasi ia beralasan untuk memberikan kejutan dan itu bisa aku
maklumi.
Aku memang
yang membawa motor dan tidak perlu cepat-cepat seperti di Jakarta meski di kampung
jalannya mulus tapi masih banyak sekali para pengendara yang tidak mau menggunakan
jalur sesuai peraturan apalagi anak-anak yang seharusnya tidak boleh membawa
kendaraan berkeliaran di jalan bahkan anak SD. Mengerikan dan tidak jarang aku
mendengar kecelakaan berujung maut dan malam-malam banyak sekali sepeda motor
yang menggunakan knalpot racing lewat di depan rumah kami sampai tengah malam,
beberapa hari pertama sempat membuatku tidak bisa tidur karena bising yang luar
biasa.
Aku tahu
pasar di kampung kami dan untuk menuju rumah Elyana melewati pasar itu dan aku
juga tahu arah menuju ke rumahnya namun hanya sebatas itu karena tidak seperti
yang kuduga. Jarak dari rumahku ke pasar sekitar 4 kilometer namun Elyana dulu
pernah mengatakan padaku kalau tempatnya mengajar dari rumahnya sekitar 14
kilometer namun aku yang selalu melihat spidometer setiap kali pergi tentunya
tidak bisa menyangkal kalau jarak rumah itu tidak kurang dari 19 kilometer.
Tadinya ia selalu komplin kalau tempat mengajarnya sangat jauh dan aku
mengatakan kalau 14 kilometer itu belum ada apa-apanya jika melihat perjalanan
orang Jakarta untuk menuju kantornya yang bahkan 25 kilometer sekali jalan.
Elyana berdalih ‘bedalah di sana suasananya ramai tidak seperti di kampung
sehingga perjalanan sejauh itu tidak akan terasa’ dan aku membalas ‘sama saja
kalau dihitung dengan macetnya bikin kesal juga’
Dan kini
baru aku mengerti mengapa Elyana mengatakan kalau rumahnya memang jauh dari
pasar, perjalanan yang kami tempuh dari pasar tidak kurang dari 11 kilometer
menuju rumah Elyana yang jalanannya masih seperti melewati jalan lintas Sumatra.
Berliku dan di sisi kiri kanan masih di kelilingi perkembunan kopi dan pohon
karet. Agak mengerikan memang apalagi kalau pulang sore sepertinya lebih
mengerikan lagi dan malam..... bisa aku bayangkan, aku sampai tidak tega membayangkan
Elyana tinggal di daerah itu. melewati jalanan itu disambut udara dingin seakan
menusuk tulang layaknya daerah Puncak Bogor.
“Lumayan
jauh tempat lo, shobat.” Gumanku dari depan dan disambut Elyana dengan tawa.
“Yah, kita
lihat saja nanti... biar lo tahu kalau
gw ngga pernah bohong sama lo.” Ujar Elyana memastikan dan aku merasakan
kehebatannya selama ini sudah puluhan tahun melewati tempat menyeramkan itu.
aku jadi angkat topi untuknya. Pas di simpang jalan Elyana mengatakan harus
belok kanan dan rumah kedua adalah rumahnya. Seteleh menepi aku melihat
spidometer, 15 kilometer dari rumahku berarti dari tempatnya bekerja selama ini
tidak kurang dari 19 kilometer karena sekolahnya jauh dari rumahku.
Aku
bertemu dengan ibunya Elyana di rumah itu, perempuan itu tidak lebih muda dari
ibuku namun ia masih terlihat sehat aku senang melihatnya dan ia juga ternyata
kenal dengan kakak ibuku sebab ia seusia wakku. Tidak ada anak Elyana di rumah mungkin
mereka sedang bermain di hari minggu itu. Elyana membuatkan kopi dan ibunya
memberikan goreng pisang yang ia goreng sendiri. Dulu saat sebelum bertemu
Elyana sering menggodaku mengatakan aku
tidak bisa menikmati kopi asli dari kampung kami dan ia berjanji akan mengajak
aku menikmati kopi bersama pisang goreng meski ibunya yang membuat karena
seorang ibu tidak pernah bisa diam.
Tak lama
kami berbincang si Boby pulang karena Elyana memberitahukan kalau aku sedang
bertamu ke rumah mereka. Tak berpengaruh juga sih kalau ia tidak pulang namun
pria itu berpendapat lain dan sangat masuk akal.
“El bilang
kamu mau ke sini makanya aku pulang,
masa ada orang main ke rumah saya malah di kebun...” candanya setelah aku
menyalaminya. Tidak tahu bagaimana menyebut pria itu apakah menyebutnya sebagai
‘kakak’ atau memanggil namanya? Akhirnya aku memanggil kakak karena Elyana dua
tahun di atasku. Pria itu tidak begitu bergabung dengan kami ia duduk di depan
televisi dan aku dengan Elyana di ruang tamu meski sekali-kali pria itu
menimpali obrolan kami dan tak jarang akupun bertanya padanya.
Aku
meletakkan ponsel di atas meja ruang tamu dan benar, tidak ada sinyal di rumah
itu kalau aku meletakkannya baru ada satu baris sinyal.
“Letakkan
saja di dekat vas bunga itu, di sana biasanya ada satu sinyal tapi kalau kamu angkat
maka akan kembali hilang. Aku tidak bohon Helen.....selama ini bukannya tidak
mau mengangkat teleponmu tapi beginilah kenyataannya.” Jelas Elyana kadang
bilang ‘aku’ kadang ‘gw’ dan aku hanya bisa tersenyum melihat kenyataan itu.
tidak percaya saja karena daerah itu letaknya tidak jauh dari kantor Bupati
yang mungkin hanya 4 kilometer saja dari kantor pemerintahan tapi itulah
kenyataannya meski sebelum masuk perkampungan Elyana sinyal full.
Tempat
Elyana tak perlu membuatnya merasa
minder seperti yang selama ini ia kisahkan padaku karena rumahnya lebih layak
dari rumahku sendiri. Elyana merasa minder lantaran aku pernah mengatakan
minder bila bertemu dengannya karena foto-fotonya yang aku lihat di akun
semuanya serba mengagumkan.
Saat
berada di rumah Elyana aku tak begitu menghiraukan panggilan-panggilan tidak
penting masuk ke ponselku. ketiga putra perempuan itu akhirnya aku bisa
mengenaliny, cukup repot bagi Elyana mengurus ketiga anaknya belum lagi
tugasnya sebagai kepala sekolah di sebuah SD yang kadang menuntutnya pulang
sore tapi itulah pilihan hidup dengan segala konsekuensinya harus diterima dan
di jalani sesuai jalurnya. Terkadang hubungan suami isteri itu tidak sesimple
yang dibayangkan. Sejatinyan seorang isteri mengurus rumah anak dan suaminya
namun kadang tidaklah bisa berjalan dengan apa yang ada di otak kita. Jika
perempuan sudah menempuh sekolah yang tinggi dan harus mengabadikan ilmunya
untuk orang banyak namun di sisi lain karena ingin membahagiakan kedua orang
tua yang sudah membesarkan dengan uang yang diterima dari hasil gaji lantaran
penghasilan suami jangankan untuk berbagi kepada kedua orang tua untuk
kebutuhan sehari-hari saja tidaklah cukup. Tak jarang memaksa kita harus hidup idealis,
namun dunia lagi-lagi akan menyalahkan perempuan bahkan kita sebagai perempuan
diminta balik lagi harus menjalani kodrat yang sudah ditentukan oleh yang maha
kuasa.
Banyaknya
perceraian terjadi di negeri ini bukan lantaran perempuan tidak memahami pria
namun pria jarang mau mengerti perempuan. Bukan perempuan tidak menyadari
posisinya terkadang pria seringkali memakai keegoisannya. Kalau saja semua
perempuan di muka bumi ini menjalani perannya sebagai ibu rumah tangga sejati
apa jadinya dunia ini? Tidak ada penyiar berita perempuan, penyanyi, para
menteri, pramugari bahkan model bisa kita bayangkan kalau yang kita lihat di
televisi sehari-hari adalah pria dan pria, apakah dunia ini akan berwarna?
Apakah seorang perempuan ingin mengikuti model terbaru harus melihat pria yang
memperagakan gaunnya meskipun itu pakaian muslim sekalipun? Jadi untuk apa
perjuangan R.A Kartini selama ini yang
menuntut emansipasi? Perempuan tidak menuntut lebih hanya ingin membalas budi
kedua orang tuanya meski itu bukan hal yang melulu dalam arti berlebihan, klise
memang kedengarannya kalau kita cukup mendoakan kesehatan, kebahagiaan dan yang
lainnya sejenis itu namun kembali lagi kita ini manusia biasa yang tak lepas
dari sisi kemanusiaan kita. Tidak semua pria yang bisa menyisihkan gajinya
untuk orang tua mereka maka disinilah peran seorang isteri membantu mencari
nafkah bahkan untuk mencukupi keluarga sendiri. Cukup dalam arti yang
sesungguhnya itu relatif, namun kembali lagi kita manusia yang hidup harus
bersosialisai yang bila datang ke undangan tidak melulu meminjam uang kepada
tetangga untuk sekedar mengisi amplop dibawa ke undangan.
Terlepas
dari semua itu kembali kepada orangnya masing-masing, perempuan bekerja bukan
untuk merendahkan kemampuan pria bukan juga untuk sok menjadi pahlawan dalam
keluarga dan perempuan yang benar-benar menyadari kalau ia perempuan adalah
yang bisa menempatkan posisinya di manapun ia berada baik di kantor maupun di
rumah. Tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini baik dia pria ataupun
perempuan maka dari itu yang terpenting dalam menjalani hidup berumah tangga
adalah saling mengerti, memahami, saling menghargai satu sama lain dan satu hal
yang terpenting adalah tunaikan dulu kewajiban lalu mintalah hak.
Sudah
banyak hal yang mengajarkan aku dalam menjalani hidup ini dan intinya manusia
tidak lepas dari kekurangan masing-masing kalau kita mau menyadari itu maka
tidak ada manusia sombong di dunia ini karena yang pantas sombong adalah Dia
sang penguasa alam. Menyedihkan sekali pada perempuan yang menceritakan semua
kelemahan kehidupan rumah tangganya kepada siapa saja yang ia jumpai, maksud
hati ingin melepas unek-unek namun ia tidak menyadari kalau dia sedang
mengeluarkan aibnya sendiri. Aku pernah mengatakan pada salah satu temanku
‘jangan pernah kamu ceritakan semua kehidupanmu kepada semua orang karena tidak
semua orang akan memandangmu luar biasa tapi mereka akan mengejekmu bahkan akan
kembali menceritakan itu kepada semua orang yang ia temui juga namun bila kamu
menjumpai orang yang berhati mulia maka ia akan resfect padamu dan memberimu nasihat yang baik.’
Aku akan
coba menghargai setiap teman yang dekat denganku dan memahami apa yang ia alami
dan menjadi pendengar untuknya setelah itu aku mengunci rahasianya di hatiku
yang paling dalam. Elyana adalah temanku yang akhir-akhir ini dekat denganku
meski baru bertemu kembali setelah puluhan tahun menikah. Banyak hal yang tidak
kita saling memahami namun dibalik semua
itu aku sangat menyayangi semua temanku tak terkecuali ia yang pernah menyakiti
hatiku namun kuanggap itu sebagai kehilafan belaka. Sudah terlalu banyak aku
kehilangan selama ini dan yang sudah melekat di hati aku usahakan tidak akan
pernah kulepas.
Aku pamit
dari rumah Elyana karena sudah mendekati pukul lima sore, kami sudah makan
siang bersama menikmati masakan Elyana yang pedasnya minta ampun meski aku juga
suka pedas namun tidak pernah membuat aku keselek saat menikmati ikan goreng
cabe rawit hijaunya. Mengesankan memang,
meski Elyana mengakui jarang masak namun demi Tuhan masakannya luar biasa sedap
dan Elyana mengatakan.
“Lo
beruntung karena gw jarang masak untuk orang lain dan gw sengaja masak ini
khusus karena lo mau datang.” Dan ucapan Elyana diiyakan oleh suaminya.
Ibunda
Elyana yang tahu ibuku sakit menitipkan doa semoga lekas sembuh dan nanti kalau
aku datang lagi maka bisa menginap di rumah anaknya. Aku mengamininya.atang ke
sini.”
kembali
Elyana ingin mengantar aku pulang dan kali ini dia yang harus membawa motor dan
aku akan duduk manis di belakangnya. Sebelum pamit aku menjabat tangan
ibundanya dan memberikan sedikit rezeki. Saat aku minta Elyana yang membawa
motor ia ngotot mengatakan tidak bisa namun aku merasa yakin ia bisa meski tahu
kalau ia berkata jujur.
“Gw nggak
bohong Helen.... coba lo tanya sama nyokap kalau tidak percaya.” Ujarnya
sembari melirik ke arah ibundanya yang masih berdiri di teras untuk melepas
kepergian kami.
“Dia
berkata benar Helen.... waktu anak bungsunya sakit saja yang membawa ke dokter
dia minta orang lain lantaran tidak pernah memboncengi orang.” Sahut ibundanya
saat aku menoleh ke teras namu aku tidak mau putus asa dan kembali meyakinkan
Elyana.
“Selalu
ada yang pertama, ayokkkk.” Pintaku
setengah memaksa dan aku melihat kepercayaan diri Elyana sehingga ia
mengiyakan.
“Oke...
baiklah.” Katanya dan langsung duduk di
depan membuatku tersenyum bahagia. Kamipun berlalu dan sudah kuduga kalau
Elyana tidaklah setakut yang aku bayangkan karena tidak ada keraguan sama
sekali saat ia membawaku dan bisa aku pastikan kalau ia telah membohongi aku.
“Hmm...
sudah gw duga kalau lo sedang membohongi
gw.”
“Nggak,
kapan sih gw pernah bohong sama lo? Lo sudah dengar sendirikan dari nyokap
kalau gw belum pernah bawa orang dan saat anak gw sakit dan bapaknya tidak ada
di rumah gw minta tolong orang lain membawanya ke dokter dan gw nyusul
dibelakang.” Kata Elyana dengan mengendarai motornya seolah tidak ada orang di
belakang punggungnya.
“Tapi
kenapa lo mau bonceng gw?” protes gw masih tidak percaya.
“Karena lo
lebih tinggi dari gw dan kalau gw oleng maka kaki lo pasti lebih dulu
menopang.” Alasannya membuat aku tersenyum meski masuk akal sih tapi lucu. “Gw
trauma kalau melewati tikungan kanan sebab dulu pernah hampir mati di senggol
sama truk dan gw terpaksa balik lagi ke rumah untuk mengganti seragam yang
sudah kena tanah becek.” Urai Elyana dan aku bisa melihat kalau jalan yang kami
lalui banyak tikungan tajam dan pelebaran jalan membuat jalan licin dan agak
mengerikan apalagi kalau musim hujan.
Saat aku mengatakan
ingin membelikan sesuatu untuk keluarga Elyana malah membelokkan motor ke arah
toko sejenis butik, saat ia masuk bisa aku pastikan kalau tempat itu adalah
langganannya selama ini. Ia melihat-lihat dan bertanya nama barang kepada
penjaga.
“Yang
punya sedang belanja ya?” ia bertanya pada perempuan tiga puluhan itu.
“Ya, dia
ke Jakarta kemarin.” Sahutnya dan tak lama kemudian Elyana menghubungi
seseorang untuk menanyakan nama-nama barang apa saja yang orang itu beli sementara
aku melihat beberapa koleksi yang ada di toko itu dan terakhir mataku melirik ke
sepatu, sejujurnya tidak ada yang lebih bagus
dari toko-toko yang ada di Jakarta.
“Lo pilih
yang mana?” tiba-tiba Elyana bertanya saat tanganku sedang memegang salah satu sepatu dan coba mengenakannya.
“Yah...,
buat lo gw suka yang ini, coba deh.” Kataku memperlihatkan benda itu pada Elyana.
“Bukan,
maksud gw buat lo... bagus itu di kaki lo. Ambil buat lo ya. Pleeeeease.”
“Maksud
lo?” kata gw bingung dan mata Elyana memperlihatkan keseriusan yang tidak bisa aku
mengerti. “Mm.. kalau gw tolak?” sungguh
aku tidak bisa menerima kebaikan Elyana itu.
“Berarti
lo memaksa gw tersinggung.” Sahutnya masih dengan nada memohon.
“Lo kenapa
sih, El? Seolah lo itu tidak mau berhutang budi sama siapapun.” Kata gw karena sudah
memberi dia novel dan hal-hal lainnya dan aku pikir Elyana ingin membalas semua
itu agar tidak ada lagi sangkut pautnya dengan benda apapun.
“Tidak ada
hubungannya sama sekali dengan hal semacam itu, gw orangnya memang seperti ini...
tolong jangan berpikiran macam-macam. Gw hanya ingin membeli buat lo dan tidak ada
niat yang lain.”
Aku tidak
bisa berkata apa-apalagi.
Elyana bermaksud
mengantar aku sampai ke rumah karena ia tidak ingin aku pulang naik ojek karena
jam-jam segitu tidak ada angkutan umum lagi yang beroperasi meski menunggu di
pasar. Aku mengkhawatirkannya membayangkan ia kembali ke rumahnya di waktu
senja tapi ia menyakinkan aku tidak akan ada apa-apa.
Kini ia meminta
giliran aku yang mengendarai motor.
Tiba di
rumahku menjelang setengah enam sore dan Elyana langsung pulang lagi dan aku
berpesan untuk hati-hati dan jangan lupa memberi kabar kalau sudah sampai
rumah. Aku jadi tersenyum sendiri karena tidak sampai dua puluh menit Elyana
sudah mengirim pesan mengatakan kalau ia sudah ada di rumah kembali. Ia pasti
ngebut pikirku padahal dulu ia mengatakan kalau membawa motor kecepatannya
tidak pernah melampaui 40 km/jam dasar Elyana selalu saja memberikan kejutan.
Kesehatan
ibundaku semakin hari makin membaik, teman-teman sekolah yang datang karena
diberitahukan oleh Lexa dan mereka
sempat marah karena tidak memberitahukan kalau aku ada di kampung dan aku pikir
tidak perlu memberitakan itu sebab aku pulang bukan untuk liburan namun tetap
saja mereka marah dengan alasan mereka juga ingin membesuk sang bunda, aku
merasa bersalah dan meminta maaf dan menyadari kalau mereka tidak hanya teman
bersenang-senang. Ada juga mantan guru MTK dan guru Bahasa Indonesia-ku yang
datang ke rumah. Mereka tidak berubah dan tetap baik, sang guru Matematika yang
kini sudah menjadi pengawas di bidangnya berjanji akan mengantar aku ke
perpustakaan daerah tapi tidak jadi lantaran Elyana tidak bisa datang dan ia
pastinya merasa risih kalau hanya
berdua denganku...aku memakluminya. Sedangkan guru Bahasa Indonesiaku pernah
membaca novel-novelku pernah mengatakan ingin memberi koreksi dan saat aku
tanyakan ia malah bilang lupa mau kasih masukan apa dan akhirnya hanya
mengatakan tetaplah berkarya dan ia tetap mendukung. Tadinya aku pikir mereka
sudah pensiun ternyata belum.
Aku yang
ingin sekali mengetahui tentang budaya di daerahku akhirnya menemui ketua Penilik Kebudayaan Kandep Diknas Kecamatan dan
sayangnya kehadiranku di sana tidak disambut ramah oleh isteri beliau dengan
alasan tidak ada yang gratis di dunia ini. Aku sangat memahami alasannya tapi
mengapa ia bersikap berlebihan seperti itu? sedangkan suaminya sangat baik dan
tanpa pamrih dengan tugasnya yang ingin melestarikan budaya daerah.
Selain itu
aku juga mengunjungi perpustakaan meski tidak ditemani oleh mantan guruku dan
diantar oleh adik iparku. Perpustakaan yang sudah bisa dibilang layak dan
memenuhi standar, bersih dan rapih serta rak-rak buku juga terlihat sangat
kokoh meski kurang pengunjung. Aku ingin meminjam buku tentang budaya daerahku
ternyata tidak ada, yang ada tentang budaya Jawa dan daerah lain membuat aku
sedih. Dari koleksi buku yang lebih kurang delapan ribu di tempat itu Aku tidak menemukan buku yang kucari dan akhirnya
meminjam buku lain meski tak kalah bagus dan bermutu. Pegawai perpustakaan
merekomendasikan aku untuk datang ke kantor Dinas Parawisata kebudayaan dan Perhubungan dan di sana aku hanya
menemukan buku setebal 51 halaman dan judul ‘Kumpulan Cerita Rakyat’ daerah
kami dan itupun tinggal satu-satunya karena sudah diedarkan ke berbagai sekolah,
mereka memberikan padaku dengan alasan akan diterbitkan kembali nanti, semoga.
Sebab bagaimana orang luar bisa mengetahui aset daerah kalau tidak ada buku
penuntun dan promosinya.
Tidak
sampai di situ saja karena aku selalu bertanya kepada kedua orang tuaku
mengenai sejarah dan legenda daerah kami terutama pada bapak yang lebih banyak
tahu karena ia suka bercerita padaku dan ia selalu tahu apa yang aku tanyakan.
Luar biasa.
Keberadaanku di kampung nyaris empat puluh hari dan itu adalah waktu
terlama aku di kampung setelah menikah.
Keberadaanku di kampung tak aku
sia-siakan begitu saja, aku merasa
semakin dekat dengan adik-adik dan kakakku yang menetap di kampung serta makin
memahami pribadi mereka masing-masing apalagi dengan kedua orang tua semakin
aku mengerti arti mereka bagiku dan untuk keluarga besar kami.
Aku dan
Elyana kembali bertemu dan kali itu ia membawa aku ke sebuah tempat wisata yang
dari dulu ingin aku kunjungi karena menyangkut tulisan yang sedang aku kerjakan.
Aku pernah mengunjungi tempat itu waktu kelas dua SMA sekarang kata beberapa
teman tempat itu sudah bagus aku jadi lebih penasaran. Meski cuaca gerimis tak
menyurutkan niat kami berkunjung ke sana karena selama ini aku hanya melihat
tempat itu dari internet dan itupun gambar yang lama tidak ada gambar terbaru,
setiap aku minta teman yang berkunjung ke sana mengambil gambar dan mengirim
padaku mereka selalu bilang lupa. Sampai di tempat itu membuat aku agak
terperangah meski sudah pernah mendapat gambaran kondisinya tetap saja
membuatku takjub. Lokasi tambang tradisional itu tempatnya tidak jauh dari
pasar dan berada di kaki bukit, untuk masuk ke dalam sudah dibuat tangga dari semen untuk para pengunjung lantaran
lokasinya menanjak sekali dan curam. Tadinya aku pikir tempat itu sudah steril
dari penambang ternyata masih ada satu dua pekerja di sana dan mesin pekerja
terdengar menyala sedangkan tak jauh dari tempat itu sudah dibangun gedung
sekolah baru dan jalan juga sudah bagus. Aku dan Elyana mengambil gambar dari
berbagai sudut dan kuceritakan padanya sama siapa dulu aku pertama kali ke
tempat itu. perempuan itu tersenyum dan memaklumi dan tak lupa kamipun selfie-an di sana.
Karena hari
masih siang kami memutuskan untuk mencari tempat istirahat untuk sekedar
menikmati kopi asli di warung.
“Dulu
waktu belum bertemu kita sering memimpikan untuk menikmati kopi dan bercerita
banyak hal di dunia ini dan gw rasa inilah saatnya. Bagaimana?” ujarku karena
saat menikmati kopi di rumah akan sangat berbeda rasanya jika duduk di luar
sembari menikmati pemandangan alam sekitar.
“Oke... gw
rasa juga inilah waktunya.” Dia mengiyakan dan lagi-lagi ia mengandalkan aku
yang membawa motor kalaupun dia yang membawa ditengah jalan juga pasti minta
ganti. “Kita masuk ke arah kiri melewati tempat sekolah SMA lo dulu, gw sudah
lama sekali tidak melewati tempat itu terakhir lewat sana waktu acara
pernikahan dari keluarga rekan kerja.”
“Baiklah,
siapa tahu kita akan sampai ke suatu tempat wisata air yang mengagumkan itu dan
apakah sekarang masih mengagumkan?” kataku penuh semangat dan tidak mungkin
juga kami akan ke sana karena tempat itu berselimutkan hutan nan berkabut kalau
musim hujan. Tanpa menunggu lagi kami meluncur dengan sepeda motor matic Elyana, untungnya sudah pernah
membawa motor jenis itu di Jakarta karena terbiasa dengan motor jenis lain.
Melewati jalan yang dulu bertahun-tahun aku lewati rasanya punya kesan
tersendiri karena masa-masa sekolah memang masa yang tidak akan pernah bisa
dilupakan dan saking asiknya menikmati jalan indah sore itu membuat aku lupa
melihat di mana tempat menikmati kopi yang enak. Melihat jembatan bagus di
depan memaksa aku berhenti dan aku ingat ada salah satu teman sekolah tinggal
di dekat jembatan itu namun aku tidak tahu di mana persisnya. Namun bukan itu
yang membuat aku ingin berhenti, air sungai yang besar membawaku untuk
menikmatinya dan aku menepikan motor membuat Elyana bertanya.
“Kenapa
berhenti di sini?”
“Sebentar
saja.” Kataku dengan pasti. Ia menurut dan ikut turun dari atas motor, sudah
kuduga kalau pemandangan di sekitar memang menakjubkan.... meski air sungainya
tidak bersih namun cukup besar dan aku tidak tahu apakah dalam? Sepertinya betul.
Jembatan kokoh itu membuat aku ingin mengambil gambarnya dan kamipun ber-selfie di sana. Aku tahu beberapa meter lagi adalah tempat
wisata air bersih dan cukup terkenal di
daerah tersebut membuat aku ingin melewatinya meski tidak mampir karena tempatnya berada agak menjorok
ke dalam. Akupun mengajak Elyana jalan lagi dan ia menyetujuinya namunkali ini
ia agak cerewet agar aku membawa motor agak cepat.
“Ngapain
sih cepat-cepat gw ingin sekali melihat-lihat jalanan ini dan lo tahu sudah
berapa tahun gw nggak melewati daerah ini?” sejujurnya empat tahun silam aku
melewati jalanan itu bersama keluarga besarku saat ibundaku masih sehat namun
bersama teman sehati rasanya sudah puluhan tahun atau mungkin seabad rasanya.
Aku bisa melihat jalan menuju air bersih yang sekaligus mengeluarkan asap kawah
dan sepertinya tidak ada yang menarik hati lewat di sana menjelang sore seperti
saat itu apalagi hanya aku dengan Elyana. Tempat itu untuk wisata keluarga
sekaligus tempat orang pacaran dan aku dengan Elyana punya tujuan lain yaitu
ingin menikmati kopi. Aku tidak menghentikan motor meski tempat itu terlihat
aman karena ada beberapa kendaraan polisi yang terparkir di jalan masuknya.
Kami terus
jalan ke depan sekitar satu kilometer dan menemukan tempat makan yang lumayan
dan sepertinya itu perbatasan kampung. Kami memutuskan untuk mampir menikmati
kopi dan Elyana sepertinya sudah lapar ia memesan soto meski tak ketinggalan
kopi sedang aku memesan kopi dan kue saja. Sore yang indah dan kami benar-benar
menikmatinya seakan tak ingin melewatinya sedetikpun. Tempat itu pernah menjadi
salah satu lokasi novel-ku sebelumnya. Bercerita dengan orang yang cocok dan
kita sayangi memang tidak akan pernah ada habisnya tapi kami harus pulang. Itu
adalah pertemuan terakhirku dengan
Elyana.
*
Dan
seperti halnya juga aku harus benar-benar pulang ke Jakarta karena ada tanggung
jawab di sana yang tidak bisa lama-lama aku tinggalkan. Dua hari lagi temanku
yang dari luar kota akan pindah rumah ke daerah asalnya dia adalah Razthi. Aku
akan pulang kalau sudah menemuinya dan itu janjiku. Dua tahun lalu aku bertemu
dengannya, setiap kali pulang kampung kami selalu janjian, ia memiliki tiga
orang anak putra dan putri. Aku mengatakan kepada Elyana akan pulang dalam
waktu tiga hari ke depan. Ia langsung menimpali.
“Kembali
gw sendirian di kampung ini.” Kata Elyana seolah lebay kata anak jaman sekarang.
“Jangan
bicara seperti itu, di sini lo banyak teman dan ratusan rekan kerja lo yang
bisa lo ajak bercanda dan berbincang banyak hal.”
“Helen,
biar lo kata ratusan manusia di sini gw jumpai setiap harinya kalau yang
namanya kecocokan itu tidak bisa dibuat-buat.”
Benar apa
yang dikatakan Elyana itu sebab bergaul dengan orang itu harus cocok dalam
segala hal, cocok dalam urusan makanan belum tentu cocok dalam urusan obrolan,
dalam cara memandang hidup dan cara memperlakukan orang.
Saat
terakhir ke rumah Elyana aku tidak membawa jaket dan ia memaksa aku mengenakan
jaketnya karena udara dingin dan sekarang aku ingin mengembalikan jaket mahal
itu tapi susah sekali bertemu dengan perempuan itu karena ia sudah mulai
seminar lagi khusus untuk para kepala sekolah. Setelah menerima raport aku
pikir ia terbebas dari urusan kesibukan sekolah ternyata tidak demikian adanya
sampai aku mengirim pesan.
“Gw merasa
aneh hehehe.”
“Aneh
kenapa dan mengapa lo tertawa?”
“Gw di
sini namun serasa di Jakarta sono, tidak bisa jumpa lagi dengan lo... makanya
gw bilang aneh, dekat namun tidak bisa menghilangkan rasa rindu. Gw sebentar
lagi akan kembali ke Jakarta dan kita belum bertemu lagi, gw ingin mengembalikan
jaket lo.”
“Jangan
sok gitu deh, kalau sekedar untuk mengembalikan jaket mending kita tidak usah
bertemu lagi.” Kali ini aku merasa isi pesan itu mengandung amarah meski bukan
itu inti dari kata-kataku namun aku memang harus mengembalikan jaket itu
ditambah lagi memang ingin sekali bertemu dengan Elyana sebelum aku pulang.
“Apa lo
pikir gw juga tidak merasa seperti itu? gw benci situasi seperti ini... di mana
semua guru yang sudah memberikan raport kepada muridnya sudah bersenang-senang
menikmati liburan dan seharusnya juga gw bisa ikut liburan ke Jakarta bersama
lo namun kenyataannya gw harus di sini mengikuti penataran dari pukul tujuh
pagi sampai pukul enam sore. Helen.... besok gw usahain datang ke rumah lo saat
jam makan siang ya, lo jangan marah sama gw... dulu gw berjanji setidaknya akan
mengantar lo ke bandara dan melihat lo terbang sampai pesawat terlihat sebesar
lalat tapi gw masih harus menyelesaikan seminar itu dan hari itu adalah hari
terakhir kami mengikutinya.”
Sejujurnya
aku tidak percaya dengan apa yang diutarakan Elyana itu, sungguh apakah itu
semacam alasan untuk tidak bertemu lagi atau apalah aku tidak tahu sama sekali.
Ada rasa sedih yang berlebihan aku rasa menyeruak di dadaku mendengar kata-kata
Elyana yang harus ikut penataran selama tiga hari. Tapi itu tidak penting lagi
sekarang karena apapun alasannya aku memang harus pergi ke arah rumahnya karena
temanku sudah ada di sana ia sudah datang kemarin, saat itu kakaknya minta aku
menginap di rumahnya dan menunggu ia di rumah yang baru mereka beli namun aku
tidak bisa melakukan itu karena ibuku masih kondisi sakit meski sudah
membaik dan aneh saja rasanya kalau aku
harus menginap di rumah orang sementara lusa aku sudah harus pulang dan pagi
ini aku akan menuju rumah mereka.
Dari rumah
aku naik angkutan umum setelah tiba di pasar aku naik motor sepupu yang tinggal
di pasar. Kepergianku hari itu sekalian ingin membeli oleh-oleh meski
kemarin-kemarin sudah membeli sebagian dan selain ingin mengembalikan jaket
akupun sudah menyediakan sesuatu untuk Elyana meski nilainya tidak seberapa
karena hanya sehelai kertas puisi dan kata-kata untuk seorang sahabat yang sudah
aku bingkai.
Aku menuju
ke rumah Razthi dengan mengendarai motor
menempuh perjalanan sekitar lima kilometer aku sudah sampai di tempat
meski sempat bertanya kepada orang yang lewat dan menemukan sebuah rumah yang
di depannya ada beberapa kendaraan dan terlihat dengan jelas kalau ada orang
baru pindah. Aku harus putar balik karena posisi rumah adanya di sebelah kanan
jalan yang tak begitu jauh dari kantor Bupati daerah. Tempat yang cukup
strategis untuk usaha katering yang akandigeluti Razti.
Aku
disambut dengan seperti biasanya
kebiaasaan Razti, setiap bertemu kami selalu berpelukan cukup lama lalu
dengan anak-anaknya serta suaminya yang aku panggil Om.
“Apa
kabar, Bi?” sapaku dengan nada yang sukar aku artikan sendiri karena tidak
menyangka kalau perempuan itu akan memutuskan untuk tinggal di kampung kembali
ke kota asal sedangkan aku sendiri belum tahu apa yang nanti terjadi dengan
keluargaku.
“Yah,
seperti inilah.. kami sekeluarga akan menetap di sini... perjalanan hidup tak
bisa kita tebak.” Kata Razthi dengan nada pasrah dan ia minta anak sulungnya
membuatkan minuman untukku. Banyak keluarga Razthi di tempat itu sepertinya
semalam memang sengaja menginap. Setelah bersilaturrahmi Razthi mengajak aku
melihat kondisi rumah serta halaman belakangnya yang masih luas. Setiap
keluarga yang pindah pasti setumpuk pekerjaan rumah yang menunggu dibereskan
baik pas mau pindah juga sudah sampai tempat baru, seperti rumah Razthi saat
ini barang-barang masih menumpuk di dalam kardus. Aku bisa membayangkan betapa
sibuknya perempuan itu untung ada beberapa kakak perempuannya yang ikut bantu
membereskan apalagi anak sulungnya juga seorang perempuan.
Setelah
beberapa saat aku di tempat itu aku mengirim pesan kepada Elyana menanyakan
apakah dia masih di sekolah atau akan pulang sebelum pukul empat sore, jika ia pulang maka kemungkinan aku akan ke
rumahnya.
“Helen....
aku masih ada di sekolah dan ini belum ada tanda-tanda selesai. Sebentar lagi
gw akan memberi presentasi.”
“Oh,
begitu? Di SD mana sih penatarannya?”
“Di SD
center.” Balas Elyana dan ia tidak akan menyangka kalau aku berpikir untuk
menemuinya di sana karena bagaimana mungkin aku tidak ke sana sedangkan besok
pagi-pagi aku sudah harus berangkat.
Aku
kembali berbaur dengan teman-teman dan keluarga Razti, aku suka berteman dengan
siapa saja terkadang aku tidak ingin diganggu dengan suara-suara yang bising
dan terlalu ramai karen tidak akan membuat aku betah. Seperti saat di rumah
Razthi... terlalu banyak orang di sana dan aku hanya mengamati orang-orang itu
dan sekali-kali menimpali obrolan ringan dan tentu saja aku berusaha membuat
diriku senyaman mungkin namun itu tetap tidak berhasil dan memaksa aku melirik
arloji yang sudah mendekati pukul empat sore dan aku harus segera meninggalkan
tempat itu, kebersamaanku dengan Razthi bukan milikku lagi, ia milik
keluarganya dan banyak orang tapi kami sudah bicara sejenak berdua tentang
hal-hal kecil dan aku pastikan akan kembali menghubunginya jika sudah kembali
ke Jakarta.
“Menginaplah.” Pinta Razthi saat aku ingin pamit.
“Tidak
bisa, Bik. Besok pagi sudah harus berangkat dan aku belum membereskan sesuatu.
Semoga kita selalu sehat dan diberi umur panjang agar aku bisa kembali bertemu
Bibi dan menginap di sini.” Ujarku dan saat itu aku kembali menemukan hal yang
sama setiap kali berpisah dengan Razthi, perempuan itu tetap memperlihatkan
reaksi yang tidak ingin aku pergi.
“Ya,
sudah. Hati-hati di jalan ya.” Katanya dengan nada kali ini semangat meskipun
terlihat sekali ia sedih. Aku menyelipkan uang untuknya dan entah mengapa
setiap kali bertemu dengannya aku tidak bisa tidak memberinya uang meski aku
tahu uangnya lebih banyak dari uangku. Aku memeluknya lalu berlalu. Cukup puas
juga melihat tempat tinggal baru Razthi dan aku berjanji pada diri sendiri
pasti akan mengunjunginya setiap kali aku pulang kampung nanti.
Aku
membawa motor menuruni jalan panjang dari rumah Razthi dan akan menemui
sahabatku yang satunya. Meski perempuan itu baru dekat lagi denganku namun aku
merasa sudah menjadi bagian dari hidupnya sekarang ini. Beberapa menit kemudian
aku sudah mengirim pesan lagi kepada Elyana. Terus terang aku masih sulit
mempercayai kalau perempuan itu mengikuti penataran dari pagi sampai jelang
pukul enam petang karena otomatis ia akan pulang kemalaman di jalan yang cukup
seram itu. apa mungkin? Atau perempuan itu telah membohongi aku?
“Elyana...
gw sudah ada di depan sekolah yang lo
maksud.” Pesan terkirim dan aku menunggu beberapa detik dengan posisi masih
duduk di atas motor. Di halaman sekolah terlihat banyak kendaraan roda dua dan
satu dua mobil meski demikian belum bisa memastikan pikiranku yang masih
penasaran. Namun detik berikutnya sosok itu muncul dari teras gedung sekolah
sebelah kiri, ia tersenyum kala melihat aku benar-benar sudah ada di seberang
jalan depan gedung sekolah. Aku langsung
turun dari atas motor dan menyeberang jalan untuk mendekatinya.
“Belum
selesai...” Elyana langsung berkomentar dan saat aku melirik jarum jam di
tangan sudah menunjukkan pukul 16.45 WIB.
Melihat
reaksiku Elyana seakan tidak bisa berbuat apa-apa lalu ia melirik ke arah
gedung sekolah sejenak dan sesaat berikutnya ia mengatakan.
“Tunggu
sebentar..” ia langsung meninggalkan aku entah tidak tahu apa yang akan ia
lakukan. Kini aku benar-benar menyadari kalau Elyana selalu jujur padaku
mengenai apa yang ia kerjakan dan apa yang sedang ia lakukan. Tak lama kemudian
ia keluar lagi dan menghampiri aku. “Gw barusan minta izin untuk pulang lebih
awal, soalnya kemarin saja selesai pukul enam padahal di dalam tidak ada
lampunya.” Elyana menjelaskan lalu terlihat seorang lagi keluar dan perempuan
itu langsung membawa motornya ke luar dari pagar sekolah. Ia rekan Elyana dan
saaat Elyana menyapanya perempuan itu ternyata harus pulang juga. Elyana
mengambil motornya, perempuan berjilbab dan
cantik itu mengajak aku meninggalkan tempat itu. “Kita harus pergi dari
sini.” Ajaknya. Sebenarnya aku sangat tidak menginginkan itu terjadi kalau dia
harus meninggalkan ruang seminar sebelum waktunya apalagi seminar itu untuk
meningkatkan kinerja guru dan aku merasa cukup bertemu dengannya untuk terakhir
kalinya, mengembalikan jaketnya, memberinya kenang-kenangan lalu memeluknya
namun Elyana punya pikiran lain.
“Mau ke
mana?” aku bingung.
“Ayolah,
gw harus beli oleh-oleh buat lo... dari kemarin kepikiran tapi belum sempat
juga membelinya. Lo harus bawa kopi hitam khas daerah kita.”
“Tapi gw
sudah beli El....” ujarku karena memang sudah membelinya beberapa hari lalu di
warung dekat rumah.
“Rumah
orang yang memproduksi kopi itu ada di dekat sini, kalau lo sudah beli tidak
masalah kita beli lagi itung-itung buat teman lo yang nanti datang ke rumah
kalau lo sudah pulang..” ia memberi alasan.
Kami
mengendarai motor masing-masing dan aku mengikuti Elyana dari belakang tapi pas
melewati rumah sepupu aku minta mampir untuk mengembalikan motor yang aku
pakai. Mengingat waktu yang sudah mendesak Elyana tidak turun sedangkan aku
hanya bertemu dengan sepupu perempuanku.
“Sudah mau
pulang?” ujar sepupuku. “Nanti naik apa? Sudah tidak ada angkutan umum lho.” Ia
mengkhawatirkan aku.
“Gampanglah,’kan banyak kendaraan lain. Aku harus pergi dan ada temanku
di sana kami mau ke rumah orang yang memproduksi kopi.” Jelasku.
Elyang
yang menunggu tidak kurang dari dua puluh meter dari rumah sepupuku sedang
menoleh ke arah kami dan tersenyum.
“Oh, Bu
guru itu....., aku kenal dia. Rumah yang kamu maksud tidak jauh kok dari sini.”
Ucap sepupuku setelah melihat wajah Elyana kini sudah menoleh ke arah lain.
“Ya,
oke.... aku pergi dulu ya. Terima kasih atas motornya dan salam untuk keluarga
yang lain.” Aku pamit setelah menyerahkan kunci motornya.
“Itu
sepupu lo?” kata Elyana setelah aku duduk di belakangnya dan ia sepertinya
kenal juga dengan sepupuku.
“Ya, ia
menikah dengan orang sini.... namanya Toby.” Aku tidak melanjutkan lagi karena
Elyana sudah tahu siapa itu Toby. Tidak sampai dua ratus meter kami sudah belok
ke arah rumah yang di cari. Ada beberapa pekerja perempuan di rumah itu, mereka
masih menggunakan alat tradisional. Tidak sampai lima menit mereka pulang
sepertinya jam kerja sampai pukul lima sore. Membeli sesuatu di tempatnya
langsung memang lebih murah 20% dari harga di luar, lumayan.
Aku dan
Elyana duduk di kursi teras yang punya rumah untuk beberapa saat dan dalam
kesempatan itu Elyana masih bersemangat cerita seolah ia tidak punya waktu lagi
untuk bersama dalam arti komunikasi lewat telepon. Aku setia mendengarkannya
sehingga tanpa sadar kami menghabiskan waktu beberapa menit di tempat itu dan
aku melirik jam mengingat Elyana akan pulang ke arah pegunungan.
“Kita
harus pergi....” kataku dan diiyakan Elyana.
“Iya.”
Eyana menghampiri yang punya usaha kecil di rukonya untuk membayar kopi. “Aku
bahkan hampir lupa membayar kopi.” Sepertinya ia membeli beberapa kilo bubuk
kopi yang sudah di bungkus plastik ukuran seperempat kilo satu bungkusnya.
“Ayo.” Kami meninggalkan tempat itu. “Temani aku makan... ya... kita harus
makan.” Ujar Elyana tanpa aku duga.
“Sudah
sore El....” kataku tidak ingin dia kemalaman.
“Tidak,
kita tidak akan kesorean... tempat makannya deket kok.” Nada Elyana setengah
memaksa membuat aku tidak tega menolaknya.
“Makan
apa?” Aku masih ragu dan tak pernah berpikir untuk makan bersama sore itu.
“Ikut
saja.” Ia menyalakan motor dan sepertinya ia berhenti di depan warung bakso
terbesar di tempat itu karena sebelumnya aku sudah sering masuk ke sana baik
bersama teman dan terakhir bersama keluarga besarku. Kami masuk dan mengambil
tempat yang paling belakang, aku mengeluarkan yang ingin kukasih ke Elyana tak
ketinggalan jaketnya meski ia sempat menolak dengan mengatakan aku genit pakai mengembalikan
benda itu segala namun aku tidak bisa menerimanya.
“Apa ini?”
kata Elyana setelah aku menyodorkan bingkai yang telah aku bungkus.
“Bukanya
di rumah saja nanti ya.” Kataku. Ia setuju dan kami memesan makanan, itu adalah
kedua kalinya kami makan bersama di luar. Setelah melewati beberapa menit kami harus berpisah
karena waktu terus berjalan yang tidak mungkin bisa dihentikan oleh siapapun.
Di parkiran
aku meminta Elyana pulang karena aku juga harus pulang, senja sudah menjelang petang.
“Pulanglah....”
kataku.
“Tidak.
Kamu.....?” ia tahu pasti sudah tidak ada angkutan meski ia sempat melihat kiri
kanan siapa tahu ada mobil yang lewat.
“Aku....”
mataku sejenak melirik ke arah ujung jalan pas di persimpangan di mana tempat tukang
ojek mangkal. “Aku akan naik ojek..”
“Helen......”
ujar Elyana tidak tega namun tidak bisa berbuat banyak.
“Tidak apa-apa....”
aku meyakinkannya agar ia merasa nyaman dan tidak merasa tidak enak seperti itu
apalagi sebentar lagi maghrib menjelang.
“Ya... sudah.”
Ia menyerah. Aku memeluknya.
“Maaf ya,
tidak bisa mengantar lo ke bandara karena besok adalah penutupan penataran. Pergilah....
gw nggak mau lo yang melihat punggung gw.” Kata Elyana. Aku melepaskan pelukannya
dan melirik ke arah tukang ojek yang sepertinya sudah mengerti kalau aku akan memanggil
salah satu dari mereka. Aku menatap wajah Elyana lagi.
“Pake jaketnya....
jalan ke rumah lo dingin.” Kataku dan mata Elyana sudah memerah menahan tangis sehingga
memaksaku memeluknya kembali.
“Nanti lebaran
pulang yaaa...” gumannya.
“Gw nggak
bisa berjanji.” Sahutku.