1 RUMAH 7 LENTARA
(
Helen, Razthi, Esty, Lexa, Liliana, Apbriel, Gendys, dan Elyana )
**
PERTEMUAN
Jelang
fajar, seorang perempuan ditemukan oleh pengurus rumahnya dalam keadaan tidak
sadarkan diri tergeletak di depan pintu kamarnya. Di dalam genggaman tangannya
ada secarik kertas yang bertuliskan ‘jika terjadi hal yang tidak diinignkan
menimpa aku maka tolong hubungi ke tujuh nomor ponsel dibawah ini.’
Seorang pengurus rumah yang panik bukannya menghubungi nomor-nomor yang
tertera di kertas itu malah menghubungi sebuah ambulan agar perempuan itu
dibawa ke rumah sakit karena melihat ada noda darah yang keluar dari kepalanya
dan sebuah meja kecil yang terbuat dari kayu terlihat bergeser dari tempatnya.
Tidak
berapa lama kemudian ambulanpun datang dan membawa perempuan itu ke rumah sakit
ditemani pengasuhnya yang setengah baya. Diruang tunggu ia terlihat panik dan
bertanya-tanya sendiri mengapa perempuan itu bisa jatuh di depan pintu kamarnya
tanpa ia dengar suara-suara sebelumnya.
Seorang perawat datang menemui pengasuh karena perempuan yang pingsan
itu akan segera ditangani oleh tim medis melalui prosedur tentunya.
“Maaf
Ibu, perempuan yang barusan dibawa itu anak, Ibu?” ujarnya ingin tahu dan
perempuan setengah baya itu langsung berdiri.
“Dia
sudah saya anggap seperti anak sendiri.” Sahutnya dengan sangat cepat penuh
kepanikan.
“Oh,
untuk menanganinya lebih lanjut maka Ibu harus membayar uang di depan dulu
minimal tiga puluh persen dari perawatan.” Jelas perawat itu dan tanpa berpikir
panjang lagi perempuan setengah baya itupun mengeluarkan kartu kreditnya dari
dalam tas. ‘Bik, kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi terhadap
kita nantinya maka sebagai perempuan yang tidak punya siapa-siapa dan jauh dari
keluarga besar maka kita harus punya tabungan sendiri, setidaknya punya sebuah
ATM yang siap dipakai dimanapun kita berada dan pastikan tabugan kita isi
minimal setiap bulannya.’ Kata-kata itu terngiang ditelinga perempuan setengah
baya itu dan mengertilah ia sekarang apa maksudnya. Ia tidak peduli ada berapa
isi tabungannya yang penting perempuan kesayangannya itu ditangani dengan
segera.
Perempuan
yang pingsan itu ditangani di UGD diperiksa luka dikepalanya tidak terlalu
besar namun cukup membuatnya tidak sadarkan diri . setelah dicek keseluruhan,
dijahit dan ditangani dengan maksimal namun tidak juga bisa membuat perempuan
itu sadar. Dokterpun memutuskan kalau perempuan itu harus dirawat diruangan
intensive. Mendengar keputusan itu membuat pengasuhnya tambah panik dan kertas
yang tadinya ada di tangan perempuan itu kini sudah ada dalam genggamannya. Ia
mengamati nomor-nomor itu dengan seksama tidak ada satupun nama di depan
nomor-nomor tersebut. Perlahan ia mengambil ponselya yang hanya bisa menerima
telepon dan mengirim pesan singkat. Lalu mulai mencatat satu demi satu nomor
yang di kertas dan mulai meneleponnya.....
“Haloooo, saya adalah pengasuhnya...... saya diminta menghubungi nomor
ini oleh...... dan sekarang ia sedang ada di rumah sakit dan tidak sadarkan
diri sejak tadi subuh, mohon datang ke rumah sakit ini dengan alamat.......”
Begitulah isi telepon perempuan paruh baya itu kepada ke tujuh nomor
yang ada di kertas tersebut tanpa bisa menebak apa yang akan terjadi. Si penerima
telepon ada suara perempuan ada juga suara laki-laki..., ada yang panik bahkan
ada yang memarahinya karena mungkin menganggap itu berita bohong belaka.... dari
jam ke jam perempuan paruh baya itu menunggu namun tidak ada seorangpun yang
muncul atau menghubunginya kembali sehingga ia menganggap kalau nomor-nomor itu
hanya kekonyolan belaka namun menit berikutnya saat ia ingin pergi membeli
sesuatu untuk mengisi perut sebuah panggilan masuk ke ponselnya.
“Halo...?”
“Ya,
ini saya bicara dengan siapa ya? Soalnya saya sudah ada di rumah sakit.” Suara
itu terdengar panik dan masih penuh tanya karena tadi ia mendapatkan telepon
yang memberitahukan seseorang yang amat ia sayangi sedang dirawat tanpa
bertanya lebih lanjut.
“O,
ya.., saya ini pengasuhnya....”
“Oh,
Bibik. di ruangan berapa?”
“Masih di ICU.”
ICU?
Detik
berikutnya perempuan itu pamit untuk mematikan telepon lalu buru-buru mencari
ruangan ICU seperti yang ia dengar tadi. Sosoknya yang terlihat lembut, cepat
panik dengan tubuh yang tidak terlalu tinggi, rambut sebahu, mengenakan kaos
putih dipadu dengan rok panjang dan lebar, dia bernama Liliana. Liliana sudah
ada di depan ruangan ICU dari kaca ia hanya bisa memandang dan makin panik saat
melihat seorang perempuan terbaring di atas tempat tidur dalam kondisi tidak
sadarkan diri. Selang infus terpasang dan jarumnya menempel di tangan kirinya
ditambah perban terbalut di kepala. Ia lalu menoleh kepada perempuan paruh baya
di sebelahnya yang sudah ia kenal dalam
tiga tahun belakangan ini.
“Ehmm... Bibik, apa yang terjadi dengan dia? Siapa yang melakukannya?
Apakah ia kecelakaan? Bagaimana kondisinya kata dokter?” pertanyaan beruntun
itu meluncur dan tak satupun perempuan itu bisa menjawabnya.
Berikutnya
muncul seorang perempuan yang tinggi semampai, kulit putih, berjilbab dan
lincah. Sosoknya terlihat berkelas dan meyakinkan setiap orang yang melihatnya.
Dia bernama Gendys... dan taklama kemudian datang satu lagi perempuan bernama
Esty dengan sosoknya yang terlihat santai, rambut nyaris cepak, single, dan kulit sawo matang meski
keturunan Ambon yang lahir di Makasar dan besar di Depok. Esty sudah kenal
dengan Gendys begitupun sebaliknya namun Esty tidak kenal dengan Liliana
sedangkan Liliana dengan Gendys saling kenal. Liliana asli dari Trenggalek,
Surabaya. Gendys juga asli dari Surabaya sedangkan Esty keturunan Ambon yang
lahir di Jakarta.
Keesokan harinya datang lagi empat orang perempuan yang nyaris bersamaan,
bernama Razthi, Lexa, Apbriel, dan Elyana. Keempat perempuan itu tidak kenal
dengan Liliana, Gendys dan Esty... namun Razthi kenal dengan Lexa meski hanya kenal nama karena mereka pernah saling
telepon dan berkirim pesan singkat lewat ponsel. Seperti halnya Liliana dengan
Lexa juga seperti itu mereka kenal juga melalui perempuan yang sedang terbaring
itu.
Razthi
perempuan ceria, tidak begitu tinggi, ekspresif rambut cepak, hidung mancung,
tatapan mata tajam, senyumnya indah dan hitam manis. Lexa, tinggi bongsor,
kulit putih rambut bak rambut Nurul Arifin, mandiri, single dan terlihat bijaksana, dan mempesona serta punya daya pikat
tinggi. Apbriel, perempuan supel, bijaksana, berjilbab namun asllinya tomboy,
pekerja keras, royal, setia, suka bercanda, tinggi, dan asyik. Elyana perempuan
berprofesi sebagai pengajar di Sekolah Dasar, terihat tegas, galak namun
berwibawa, tidak tinggi namun cantik.
*
Meski
ada laki-laki yang mengangkat telepon dari sang pengasuh namun kenyataannya
yang hadir di rumah sakit itu adalah kesemuanya perempuan. Mereka semua kenal
dengan perempuan yang hingga detik ini masih tidak sadarkan diri di ruangan ICU.
Razthi, Esty, Lexa, Liliana, Apbriel, Elyana, dan Gendys, dari usia bisa
dipastikan kalau mereka hanya berjarak lima atau sepuluh tahun berselang
sekitar usia 37 tahun sampai 47 tahun. Ke tujuh perempuan itu saling berkenalan
menyapa satu sama lain meski tidak saling akrab dengan kesemuanya namun mereka
tahu kalau mereka semua adalah orang yang sangat mengenali perempuan yang kini sedang
berjuang untuk hidup. Ketujuhnyapun masih terlihat khawatir dengan kondisi
perempuan itu meski tidak bisa melakukan apa-apa selain berdoa dan diantara
mereka yang tidak semuanya berduit namun berusaha membantu biaya rumah sakit
walau mereka tahu kondisi keuangan perempuan itu tidak jelek namun posisinya
sekarang yang menanganinya adalah seorang pengasuh yang mungkin keuangannya
terbatas. Setiap mereka melontarkan pertanyaan yang sama seperti Liliana kepada
sang pengasuh dan tetap saja pengasuh tidak bisa memberi jawaban jelas selain
mengatakan ia sudah menemukan perempuan itu sudah dalam keadaan tidak sadarkan diri menjelang fajar. Mereka memang
terlihat punya kelas masing-masing dari tiap-tiap penampilan sehingga dari cara
berpakaian merekapun memperlihatkan sifat mereka namun tak menghilangkan aura
mereka yang terlihat dengan jelas kalau sebenarnya mereka sangat menyayangi
satu perempuan yang masih tidak jelas nasibnya di dalam ruangan ICU. Satu dua
dari mereka seringkali berdiri di depan kaca ruangan sekedar ingin memastikan
kondisi perempuan itu selanjutnya.
Lexa
menekankan kepada semua yang ada di tempat itu untuk tidak membuat ‘status’
apapun di sosial media mengenai kondisinya baik melalui BB, Twitter, Facebook atau apapun itu namanya. karena
dia tidak mau ada hal yang tidak dinginkan kembali terjadi, sebab semua masih
abu-abu.
Ada
yang mengatakan kalau dari mereka terakhir kali kontak dengan perempuan itu sedang
baik-baik saja dan tidak ada hal-hal aneh yang terjadi. Di antara mereka ada
juga yang menyesali karena tidak membalas pesan dari perempuan itu bahkan tidak
mengangkat teleponnya. Seandainya ia tidak bisa lagi berbicara dengan perempuan
itu maka iapun akan menyesalinya seumur
hidup.
Seorang dokter keluar dari ruangan ICU dan menghampiri ke arah ke tujuh
perempuan yang sedang duduk di depan ruangan ICU ditambah satu orang pengasuh
yang tidak pernah terlihat lelah. Semua perempuan itu nyaris bergerak bersamaan
untuk menanyakan kondisi pasien sang dokter tersebut dan mungkin ada diantara
mereka berharap kalau pasien itu sudah sadar dan menginginkan mereka masuk atau
setidaknya memanggil nama salah satu diantara mereka. Tapi yang ada sang dokter
malah terlihat aneh dengan perempuan-perempuan tersebut, aneh dalam arti
berbeda. Ia belum pernah melihat ada seiktar delapan orang perempuan yang
menunggu di tempat itu. salah satu perempuan yang lebih cepat maju dan bertanya.
“Mm..
maaf Dok, bagaimana kondisinya? Saya Gendys... salah satu dari mereka..”
sekilas ia melirik ke arah teman-teman di belakangnya.
“Eummm...
kondisinya stabil, mungkin tidak lama lagi akan dipindahkan ke ruangan
perawatan, hanya saja ia belum sadarkan diri karena ada sebuah benda tumpul
mengenai kepalanya dan menyebabkan luka. Kalian boleh masuk tapi harus bergantian.” Ujarnya dan tidak
menunjukkan siapa yang boleh masuk terlebih dahulu. Ia pergi setelah berkata
seperti itu namun di dalam masih ada seorang
perawat. Gendys menoleh kepada semua yang ada di tempat itu seakan memberikan
waktu siapa yang akan masuk terlebih dahulu. Mereka saling berpandangan satu
sama yang lain lalu semua mata mereka tertuju kepada pengasuh. Akhirnya mereka
merelakan pengasuh yang masuk meski sebenarnya semua ingin masuk.
Sang
pengasuh masuk dan langsung menghampiri perempuan empat puluhan itu dengan
perasaan was-was karena tidak ada gerakan sedikitpun dari tubuhnya yang
tergeletak tak berdaya seakan tinggal menunggu takdirnya. Ke tujuh perempuan
diluarpun tak kalah was-wasnya seolah merasa tidak bisa lagi mendengar suara
perempuan itu, tak bisa berbagi cerita, tak bisa bercanda dan tak bisa saling
memuji juga saling memberi saran satu sama yang lainnya. Perempuan paruh baya
itu mendekat dan ia masih ditemani seorang perawat lalu ia mengusap tangan
perempuan yang ditusuk jarum infus itu dengan sangat hati-hati seakan ingin
mengatakan ‘bangunlah.... ke tujuh nomor itu telah Bibik hubungi dan sekarang
semuanya sudah ada di depan.. Bibik juga tidak tahu apa yang terjadi dan
mengapa harus menelepon mereka? Bibik tidak kenal keseluruhannya namun bisa
Bibik pastikan kalau mereka semua amat sangat menyayangimu, anakku.’ Gumannya
lalu ia mengecup pipi perempuan itu dengan lembut.
Perempuan
itu benar-benar seperti tertidur dengan sangat pulasnya tanpa tahu ada beberapa
orang yang mengkhawatirkannya, sungguh itu
semacam kisah seorang Aktris yang sengaja melakukan adegan memuakkan dan tidak
bermutu demi sebuah sensasi belaka. Adegan konyol itu semakin lama dan
berlanjut ke kamar perawatan, ke tujuh perempuan itu memutuskan membawanya ke
kamar kelas satu dan menginginkan perawatan yang terbaik untuknya.
Razthi
merasa terpukul melihat kenyataan di depan matanya setelah mendapatkan telepon
dan menemukan orang yang amat dikenalnya terbaring lemas, ia tak peduli
siapa-siapa saja yang ada di tempat itu namun ia kenal perempuan yang
kadang-kadang
menyebalkan, kesan pertama bertemu dengannya
terlihat agak sombong dan terlihat tidak ingin berteman dengannya setelah
berteman ternyata asyik, tidak bisa menangis, romantis, penyayang, egois,
mengasikkan, supel, tidak gampang marah, tidak cemburuan, sedikit boros, agak
tertutup, agak pendiam, bikin orang penasaran, tidak suka pujian, dan setia
kawan. Ia tidak perlu mengkhawatirkan ke enam perempuan yang ada di sekitarnya karena
siapapun mereka pastilah sangat mengenali perempuan yang ia sayangi dan ia
merasa telah memiliki perempuan itu tak peduli berapa banyak orang
disekitarnya.
Esty mengenalinya sebagai sosok Abstrak,
susah ditebak, baik, bikin penasaran, terkadang bikin orang nafsu. Pertama
ketemu agak sombong, seperti nggak butuh teman, tidak mau cepat akrab, cuek dan
setelah itu ternyata orangnya peduli, keras kepala, sayang dan asyik.
Lexa menilai perempuan itu punya sifat yang susah ditebak, sensitif, kurang tegas,
banyak memandam, suka menghingdar, terbuka pada orang-orang tertentu, punya
empati tinggi, suka berburuk sangka, tidak banyak omong, kadang gini kadang
gitu, tidak bisa mengungkapkan hal jelek / buruk meski untuk membela diri,
membiarkan orang menilai dari kaca mata masing-masing, dan kalau tidak suka
masih berpura-pura suka.
Sedangkan Gendys punya pandangan sendiri menilai
perempuan itu memang tulus, apa adanya,
pendengar yang baik, suka membaca orang, seiring dengan waktu kedewasaan
berkembang, mau belajar baik intern / external sehingga mau menerima kritik / saran,
punya prinsip yang kuat, kadang jadi orang kaku tapi karena tambah usia / pengalaman
jadi bisa agak flexible, tegas maskulin,
tapi hatinya lembut namun keras, rendah hati, tidak mau disakiti makanya tidak
mau menyakiti orang dan sekarang menjadi bijak dan pemaaf. Meski agak tertutup
karena tidak mau tersakiti, yang belum kenal betul pasti sulit menebak, kalau
tidak suka sesuatu terang-terangan / tidak suka basa-basi, karena prinsipnya
kadang masih suka kaku, tukang tidur. Pertama ketemu pemalu dan tertutup, tidak
asyik setelah dekat ternyata asyik banget.
Liliana lain lagi, perempuan lembut itu
menganggap perempuan itu adalah Sumber keceriaan.. karena siapapun orang yang
dekat dengannya pasti akan selalu ceria, kreatif.. selalu punya ide-ide yang
membuat dirinya tidak membosankan baik buat diri sendiri maupun orang lain,
menarik.. tipe orang yang bisa menarik perhatian siapa saja yang melihat
terutama kaum pria, romantis... mungkin itu kenapa ia banyak disukai orang,
auranya memancarkan romantic women,
ramah meski pada awalnya cuek, jutek dan menyebalkan namun dari banyak orang
bilang kalau dia itu ramah dan tidak membeda-bedakan orang. Idealis, mandiri
tidak mau tergantung pada orang lain meskipun itu pada orang terdekatnya
sekalipun, suka memulai sesuatu namun enggan mengikutinya hingga akhir, suka
menyenangkan orang lain, mengerti / memahami arti persahabatan, keras kepala,
bisa menjadi teman baik, seorang kakak, dan sahabat sejati. Sahabat terbaik
yang aku punya hingga detik ini, meski dulu awal bertemu sangat menyebalkan,
cuek bebek kayak tidak peduli sama orang lain, tomboy sekali, tetapi setelah
mengenalnya ternyata ia sangat feminin, baik yang tulus, menghargai orang dari
kalangan apapun, membuat ia semakin menyayanginya karena ia selalu ada untukku
baik duka maupun duka, namun satu hal yang tidak kumengerti karena ia punya
hubungan dengan pria lain namun aku hargai semua itu meski aku sering
protes.... terlalu banyak cinta hingga cintanya tak berlabuh di satu tempat,
aku tidak mengerti jalan pikirannya tapi sekarang aku mulai memahaminya.
Apbriel, satu-satunya perempuan yang
berpandangan lain kepadanya dan melihat perempuan itu beda, awalnya feminin
sekali namun pas ketemu lagi di masa sekarang menjadi tomboy sekali, tidak
tertebak. Sempat curiga ubnormal dan su’uzon tapi itu cuma pas pertama bertemu.
Namun sekarang beda dan perempuan itu satu-satunya yang bisa menerima ia apa
adanya, itulah mengapa ia menyebutnya beda. Baik, peduli sama teman dan
penyayang, pengkhayal tapi sejujurnya ia tidak bahagia, Itu membuatnya menarik
napas panjang. Bukan perempuan nrimo tapi berusaha nrimo karena tidak mau menjadi pihak yang disalahkan lalu terjebak
dalam norma atas nama baik keluarga, suka membiarkan hati mengembara. Dia
orangnya bisa dipercaya, bisa bikin teman merasa nyaman bercerita dalam segala hal,
terkadang bisa menyanjung seseorang ke arah yang berlebihan karena sangat
menyayangi sahabatnya. Orangnya baik sekali meski orang yang ia k enal itu
tidak sebaik yang ia inginkan... namun yang pasti dia itu adalah perempuan
pengembara.
Elyana, pertama ia melihat perempuan itu
tomboy, pemalu, terlalu biasa-biasa saja bahkan sempat tidak memandangnya namun
setelah bertemu lagi selang sekitar puluhan tahun ia menjadi bangga dan tak
mengira kalau perempuan yang dulu ia kenal biasa menjadi yang tak terduga,
yaitu seorang penulis novel namun bukan
lantaran itu ia menyayanginya karena sekarang ia tahu kalau perempuan itu
terlalu baik untuknya dan sangat nyaman diajak bicara apapun tak terkecuali
masalah-masalah yang rumit sekalipun.
Kesemua perempuan ditempat itu merasakan ada
luka dihati melihat kondisi pasien yang tidak menunjukkan perkembangan yang
berarti. Razthi berbisik di telinga perempuan itu.
“Aku tidak suka tempat ini, bangunlah... ini
bukan tempatmu dan orang-orang itu sepertinya mereka juga menyayangimu.” Guman
Razthi dengan penuh rasa haru karena ia takut kehilangan perempuan itu.
Lexa terlihat lebih terpukul, kini tangannya
menggennggam erat tangan perempuan itu dengan agak gemetar lalu ia mencium
lembut pipi perempuan itu kemudian berbisik amat pelan.
“Hei... aku tidak mau peduli apa yang
menimpamu kemarin karena yang kutahu kamu itu perempuan kuat dan apapun yang
kamu alami bisa kamu lalui makanya aku bangga sama kamu. Kamu juga tahu kalau
aku menyayangimu lebih dari yang kamu tahu. Bangunlah, maafkan kesalahanku
selama ini, aku sayang kamu.” Bisiknya dengan nada agak bergetar dan tidak ada
yang melihat kalau tangan peempuan itu sedikit bergerak di dalam genggaman
tangan Lexa, hanya Lexa yang bisa merasakan respon itu dan membuat perasaan
Lexa lebih baik. Terakhir mereka komunikasi adalah beberapa hari yang lalu melalui
BBM.
“Lex.......,”
“Weiiii......”
“Apa kabar sahabat...?” menanyakan kabar
adalah menandakan kalau mereka sudah jarang komunikasi. “Apakah hingga detik
ini aku masih asing buat kamu? Ah, ini pertanyaan bodoh sepertinya.”
“Alhamdulillah sehat... jalan mulus memang
membuat orang kerap tergelincir. Mungkin selama ini setiap lubang yang kita
lalui mampu kita tambal. Disaat jalan itu ambruk kita tidak punya kekuatan
banyak untuk memperbaikinya bukan tidak ingin tetapi tidak memiliki kemampuan,
kemampuan kita terbatas. Kesamggupan tanpa kemampuan...., asing.... kata-kata
untuk sesuatu yang baru jadi jangan pergunakan kata itu lagi. Tidak ada yang
berubah, cuma butuh waktu untuk mempelajari hal-hal yang terasa aneh. Tapi
semua pasti ada hikmahnya. Sekali lagi tidak ada yang berubah dan tidak ada
yang asing.”
Sejujurnya semua merasa terpukul mendapat
musibah itu meski belum jelas penyebabnya. Sebagian mereka menebak kalau perempuan
itu terpeleset di rumahnya sendiri karena menurut keterangan pengasuhnya tidak
ada tanda-tanda orang masuk rumah karena pintu rumah masih terkunci dengan
rapat. Tidak ada yang ingin meninggalkan tempat itu apalagi dengan Lexa,
Apbriel, Elyana, dan Razthi yang datang dari luar kota, kalaupun harus pulang
mereka akan ke rumah kediaman perempuan itu. meski sudah ada di dalam ruangan
perawatan tetap tak membuat perempuan itu sadarkan diri. Seorang dokter kembali
masuk karena sudah mendapatkan hasil rontgen dan memberitahukan kepada
perempuan-perempuan itu kalau pasiennya juga mengalami keseleo yang cukup parah
di pergelangan kaki kiri.
“Sepertinya dia harus dibawa keluar dari
rumah sakit ini karena kakinya harus dibawa ke tukang urut.” Celetuk Gendys
setelah dokter berlalu dan berharap semua yang ada di sana setuju.
“Tidak mungkin sekarang, sadar saja belum.”
Sahut Apbriel dengan bijaksana.
“Ya, kita harus menunggunya sadar dulu.” Tambah
Elyana dan diiyakan oleh Esty juga Liliana sedangkan Razthi berharap bagaimana
caranya perempuan itu segera siuman.
Lexa yang melihat perempuan itu kembali
menggerakkan tangannya segera meraih tangannya dan menggenggamnya erat sedang
wajahnya langsung mendekat ke wajah perempuan itu. “Hei.... bangunlah.... aku
di sini.” Gumannya dengan suara lagi-lagi bergetar karena tidak sabar mendengar
suaranya langsung dan menatap matanya bukan tanpa alasan karena sudah tiga
tahun ia tidak bertemu dengannya dan tidak lagi mendengar suaranya baik lewat
telepon ataupun yang lainnya karena tiga tahun belakangan ini mereka mengalami
kerenggangan hubungan disebabkan kesalahpahaman juga sebuah kejujuran yang
menimbulkan rasa sakit hati yang begitu dalam.
Dan benar, perempuan itu membuka matanya
sedang dokter masih ada diantara mereka. Ruangan kelas VIP itu tak membatasi
pengunjung yang mau datang kapan saja dan berapa saja dengan catatan tidak
mengganggu waktu istirahat pasien.
“Helen....... Helen......” panggil Lexa
dengan wajah berbinar. “Alhamdulillah ya Allah.” Gumannya lagi karena mendapatkan
sahabatnya telah siuman yang lain pun memanggil nama perempuan yang ternyata
bernama Helen. si Helen belum menggerakkan kepalannya ke kiri ataupun ke kanan.
“Halo Helen..... apa kabar? Bagaimana
perasaanmu?” tanya sang dokter menyapanya. perempuan itu menatap dokter
baik-baik lalu bertanya.
“Helen.....? nama saya Helen.....?” ujarnya
dengan penuh kebingungan dan kini mulai menggerakan kepalannya seolah ingin
melihat semua yang hadir di ruangan itu satu persatu namun kenyataannya tidak
ada satupun yang ia kenal.
“Helen..... apa yang terjadi?” tanya Gendys
tidak sabar.
“Eee.... maaf Mbak, aku tidak tahu apa yang
terjadi dan mengapa aku ada di sini dan kalian siapa? Apa benar namaku, Helen? Aku
bukan Helen.” ia masih kebingungan lalu menatap dokter membuat pria itu
menggeleng-gelengkan kepalanya dengan pelan seolah ingin mengatakan kalau
perempuan itu mengalami trauma akibat benturan di kepalanya.
“Jika namanya sendiri ia tidak ingat maka
kemungkinan besar ia mengalami amnesia.” Jelasnya dan membuat semua yang ada di
sana menjadi terdiam. Helen coba mengangkat tangan untuk memegang kepalanya
yang terasa agak nyeri dan ia merasa ada perban yang melingkar di sana, namun
ada yang terasa lebih nyeri disaat ia menggerakkan kaki kirinya sampai ia
mengeluh pelan dengan kata ‘aww...’
“Hati-hati Helen....” ujar Apbriel yang
berdiri di sebelah kiri Helen. “Jangan banyak bergerak dulu ya.” Tambahnya.
Helen mengamati perempuan manis di sampingnya dan perempuan itu mengukir senyum
indah. Helen coba mencari sesuatu di wajah itu tapi ia tidak menemukannya
bahkan ia tidak tahu apa yang ia cari, lalu ia mengalihkan pandangannya kepada
yang lain dan wajah-wajah itu benar-benar asing di matanya sehingga ia
memutuskan untuk memejamkan matanya dan berharap dalam hitungan detik
orang-orang di tempat itu menghilang namun kepalanya terasa berat dan pusing
lagi.
“Semoga ia tidak benar-benar mengalami
amnesia, kesadarannya pasti belum pulih benar.” Gendys coba memberi harapan
kepada semua termasuk kepada dirinya sendiri sedangkan baru saja ia merasa
tidak nyaman dipanggil ‘mbak’ oleh Helen.
“Mengapa ia harus mengalami amnesia?” serobot
sang pengasuh bertanya kepada siapa saja yang bisa menjelaskannya meski ia
sudah tahu letak persoalannya. Ia akan merasa amat sedih kalau perempuan yang
selama ini tinggal bersamanya namun tidak mengenalinya. Terlepas dari rasa yang
dirasakan oleh pengasuh namun tak terbilang pedihnya rasa yang dialami oleh ke
tujuh perempuan yang ada disekitar Helen. Ketika kita menyayangi seseorang lalu
orang itu pergi atau tidak mengenali kita lagi maka tidak ada yang lebih sakit
dari itu, kalau ia pergi tak kembali atau melupakan kita baik sengaja atau
tidak maka rasa sakitnya tetap saja sama. Namun dalam kasus yang dialami oleh
Helen haruskah sahabat-sahabatnya meninggalkannya?
Dokter kembali mengecek pasiennya sehingga
ia bisa memastikan kalau perempuan itu benar-benar dalam kondisi stabil dan
setelah bisa mengambil keputusan iapun berpesan kepada suster yang
mendampinginya kalau pasiennya tidak apa-apa hanya shock saja.
“Dia tidak apa-apa hanya shock saja.. nanti kalau ia kembali
sadar bertahu saja kepada kami.” ujar suster itu kepada semua perempuan di sana
sebelum ia meninggalkan ruangan VIP itu. tinggal mereka yang harus berbuat apa?
Apakah akan tetap di sana atau pulang terlebih dahulu?
Esty harus kembali bekerja karena sudah dua
hari ini ia tidak masuk kerja, Gendys memang harus pulang karena ada yang harus
dia urus di rumah begitupun Liliana punya tanggung jawab di rumahnya. Meski
punya tanggung jawab di rumah namun Razthi belum memutuskan untuk pulang karena
ia masih ingin memastikan kondisi Helen, karena kalau ia sudah pulang maka
sulit untuknya kembali lagi. Sedangkan Elyana tidak akan merasa terganggu
dengan tugasnya sebagai PNS pendidik karena anak-anak sekolah dalam suasana
libur tengah semester, begitupun dengan Apbriel yang punya usaha sendiri itu
bisa mengatur waktunya dengan santai apalagi dengan Lexa yang bisa pergi kapan
saja dan dalam waktu yang tidak dibatasi karena usahanya ada ditangannya
sendiri.
Ketiga perempuan itu memutuskan untuk pulang
dulu dan dengan pasti mereka akan kembali secepatnya setelah memberikan nomor
mereka yang bisa dihubungi kepada yang tinggal di rumah sakit. Lalu Lexa
mendekati sang pengasuh.
“Bibik sebaiknya pulang dulu dan istirahat,
aku dan teman-teman yang lain akan menjaga Helen dan juga pasti banyak yang
harus Bibik kerjakan di rumah dan sepertinya aku dan ke tiga teman yang lainnya
akan menginap di rumah Helen untuk waktu yang tidak ditentukan.” Jelas Lexa
yang sudah seringkali menginap di tempat Helen saat ia jalan-jalan ke Jakarta
atau sekedar ingin membeli sesuatu.
“Benar begitu? Baiklah... saya akan pulang
dulu.” Ujarnya lalu mendekati Helen dan mengusap keningnya dengan lembut.
“Bibik pulang dulu ya, Nak. Bibik titip kamu sama teman-temanmu... mereka
sangat menyayangimu. Kamu harus cepat sembuh karena setelah pekerjaan rumah
selesai Bibik akan kesini secepatnya.” ujar perempuan paruh baya itu meski ia
tahu Helen tidak akan bisa menyahut kata-katanya namun ia yakin teman Helen
yang bernama Lexa yang sudah ia kenal itu serta teman-temannya akan menjaga
Helen dengan baik dan ia akan dengan senang hati menyediakan tempat untuk
mereka di rumah Helen.
Lexa menoleh kepada perempuan yang kini
tinggal tiga dan empat dengan dirinya. “Kalau ada yang ingin makan biar aku
yang menemani Helen dan aku yakinkan ia tidak akan apa-apa.” Helanya sembari
kemudian menatap ke arah Helen yang ditutupi dengan selimut putih bersih.
“Aku akan menemanimu di sini kalau yang lain
mau makan tidak apa-apa.” Ujar Apbriel mengambil jalan tengah karena ia tidak
akan meninggalkan Lexa sendirian menemani Helen yang belum sadar lagi.
“Emm.... kalau begitu kita akan membeli
makanan di luar dan makan di sini, Apbriel dan Lexa mau pesan apa?” tanya
Elyana akhirnya dan memutuskan untuk keluar dengan Razthi.
Setelah menyetujui usulan Elyana tinggal
Lexa dengan Apbriel di sana, keduanya terdiam sejenak seolah memikirkan apa
yang akan terjadi dengan sahabat mereka namun apapun yang terjadi mereka tidak
akan tinggal diam. Tiba-tiba Apbriel buka suara.
“Emm... setelah mendengar cerita Bibik
apakah kamu yakin Helen tidak dipukul orang?”
Lexa melirik ke Apbriel sekilas. “Maksud
kamu?” sahutnya pelan.
“Yah, semoga saja tidak ada orang ketiga
dalam kasus ini.” Kata-kata Apbriel agak menggantung di telinga Lexa membuatnya
kembali menatap wajah Helen dengan seksama. Bukan ia mengabaikan kata-kata
perempuan itu tapi setidaknya ia merasa lebih lama mengenali Helen dibandingkan
perempuan itu dan ia tahu pasti kalau Helen tidak pernah dimusuhi orang.
“Aku tidak suka kata-kata kamu, Helen hanya
mengalami insiden di dalam rumahnya sendiri dan dia tidak punya mus.......”
kata-kata Lexa terhenti karena Helen bersuara nyaris seperti desahan kecil
memaksa kedua perempuan itu fokus dengannya.
“Helen......” suara itu keluar bersamaan
dari mulut Lexa dan Apbriel. Helen membuka matanya, tangan Lexa di bahu Helen sembari
mengusapnya pelan dan Apbriel menatap wajah pucat itu dengan cemas dan
bercampur senang karena ia sudah sadar.
“Jangan pingsan lagi, kita akan segera
membawamu pulang dari sini karena di sini tidak enak.” Kata Apbriel dengan
serius sedangkan Lexa masih diam karena ia masih ragu apakah Helen benar-benar
amnesia atau karena tadi pengaruh obat yang diberikan dokter. Helen coba
tersenyum namun anehnya itu bukan senyum yang kedua wanita itu kenal
sebelumnya.
“Pulang? Pulang ke mana? Dan kalian berdua ini
siapa?” tegasnya.
“Helen......” Lexa mulai tidak sabar
mendengar nada agak menekan itu memaksa Helen menatap ke wajah Lexa. “Apa yang
kamu pikirkan?”
“Helen? Helen.... dari tadi kalian menyebut
nama itu memangnya namaku Helen?”
“Ya, kata dokter kamu mengalami amnesia
karena luka di kepalamu.” Sahut Apbriel dan disambut tawa halus dari mulut
Helen.
“Amnesia? Itu lucu sekali, aku tidak amnesia!
Kalian berdua mungkin salah orang.”
Ujarnya ketus bersamaan dengan munculnya Elyana dan Razthi dengan tentengan
kantong di tangan. Mendengar penuturan Helen mengejutkan kedua perempuan itu.
“Lihat mereka, apa kamu juga membantah kalau
yang baru masuk itu juga bukan teman kamu?” ketus suara Lexa membuat Apbriel
memegang tangannya agar perempuan itu bisa mengontrol dirinya. Lexa berdiri dan
benar-benar merasa kacau dan tanpa diduga ia meninggalkan ruangan itu namun
dengan cepat Razthi meraih tangannya karena hanya dia yang kenal dengan Lexa.
“Aku mohon jangan pergi, kamu tidak akan ada
di sini kalau tidak sayang sama Helen.” Pintanya. Lexa menarik tangannya dari
tangan Razthi. Kekesalannya tidak kunjung reda, kalaupun benar Helen amnesia
seharusnya ia tidak bersikap angkuh seperti itu dan kalau tidak maka ia tidak
perlu menghukum Lexa dengan cara seolah tidak mengenalinya. Sikap Helen
membuatnya merasa amat kesal sehingga tidak lagi memikirkan kalau perempuan itu
sedang sakit.
**
RAZTHI
Aku sedang duduk di teras rumah saat
rombongan pengantin pria datang dari arah kiri jalan, tetangga depan rumahku
sedang mengadakan hajatan menyambut pengantin pria dan dari pihak pengantin
banyak sekali rombongan perempuan yang hadir dari anak-anak, ibu-ibu serta
remaja putrinya dan salah satu dari rombongan itu terlihat seorang gadis muda
sekitar usia 15 tahun. Rambutnya panjang, sederhana dan terlihat sangat ceria
membuat aku bertanya-tanya sendiri apakah gadis itu termasuk salah satu
keluarga dari pengantin pria? Entahlah. Tidak berhenti sampai di sana, menjelang ulang tahun kemerdekaan Indonesia
gadis itu terlihat lagi di malam hari saat remaja desa itu akan melaksanakan
latihan vokal grup di sebuah sekretariat desa dan saat itu Helen datang bersama
kakak laki-lakinya yang menjadi salah satu panitia pelaksana. Gadis berambut
panjang itu selalu terlihat ceria di mataku, semangat, agak galak, dan akkrab
dengan siapa saja seperti denganku yang baru dilihatnya langsung ia menyapaku
hanya dengan sebuah senyuman biasa namun dalam hati kuberkata ‘ini cewek masih
kecil tapi kok terlihat berani sekali dan akrab dengan seorang pria dan
keakbraban itu nampak tidak biasa.’ Pikirnya. Namun aku tidak mau peduli lebih jauh karena kepentinganku malam itu
adalah melihat kegiatan kakaknya apalagi dengan gadis seperti itu. Aku tahu
pasti kakakku itu amat sangat menjaganya dari segi apapun baik pergaulan, teman
sekolah apalagi teman pria. Di sekretariat itulah aku bisa melihat kalau gadis
itu bisa menyanyi meski hanya bergabung
dengan teman-temannya tapi dengan pasti ia tahu kalau dia tidak biasa.
Tidak tahu pasti selang berapa waktu
berikutnya aku melihat lagi gadis itu di Masjid saat sholat tarawih, ia duduk
di depan Helen tapi jaraknya agak jauh, saat gadis itu menoleh ke belakang
matanya tertuju kepadaku dan waktu aku juga melihatnya ia langsung melambaikan
tangannya dengan sangat tinggi kepadaku. Aku hanya bisa tersenyum tak labih
dari itu. keesokkan malamnya sekitar pukul sembilan malam gadis itu sedang
lewat di depan rumahku bersama teman-temannya, saat itu aku sedang duduk di teras
rumah dan melihat gadis itu berlalu tapi ia tidak tahu pasti apakah ia melihat
aku atau tidak tapi anehya aku merasa hatiku ikut pergi bersama gadis itu namun badannya masih tetap duduk di kursi
teras. Kebiasaanku di malam minggu adalah duduk di teras rumahnya. Suasana desa
di malam hari memang selalu ramai apalagi malam minggu banyak sekali remaja
pria dan wanita bermain di teras rumah masing-masing juga teras tetangga karena
acara-acara televisi tidak ada yang bagus. Aku punya seorang teman tapi gadis itu sering
meninggalkannya dan pergi bersama kekasihnya dan akhir-akhinr ini ia melihat
temannya itu malah jadi akrab dengan adik perempuannya.Tanpa diduga olehku
gadis itu mampir di rumahku saat aku sudah masuk ke dalam rumahnya. Aku keluar
lagi mendengar suara memanggilnya dan ternyata gadis itu.
“Hai.....?” kataku. “Cari siapa?” ia tahu
kalau gadis itu kenal juga dengan kakak laki-lakinya karena teman prianya
adalah teman kakakku juga.
Gadis itu tertawa. “Ya, mau mampir saja sih,
tadi aku melihat kamu duduk di teras saat lewat mengantar temanku ke rumah
temannya.”
“Oh....” ujarku sambil mataku mencari-cari
teman gadis itu.
“Mereka sudah jalan... tadi aku bilang ke
mereka suruh jalan dulu karena aku mau mampir sebentar. Emmm... ya sudah... aku
pulang ya.” Katanya kemudian dan detik berikutnya ia meluncur menyusul temannya
yang mungkin saja belum begitu jauh. Tinggal aku yang bengong tidak tahu apa
maksud gadis itu mampir di rumahku lalu pergi lagi tanpa menjelaskan apa
tujuannya dan ia tahu pasti gadis itu tidak mungkin tertarik dengan kakak
lelakiku karena gadis itu sudah punya pacar apalagi malam itu aku melihat gadis
itu dekat sekali dengan teman kakakku. Hanya itu.
*
Aku
tidak tahu lagi kabar gadis itu karena saat duduk di bangku kelas 3 SMA Aku lebih fokus belajar
karena kakak iparku yang ada di luar kota menginginkan aku tinggal di rumahnya
setelah aku menamatkan bangku SMA untuk meneruskan belajar ke jenjang
berikutnya minimal kursus. Satu dua pria
mendekati aku tanggapi dengan biasa-biasa saja, namun ada dua pria yang
membuatku tertarik satu kakak kelas yang ia taksir dari kelas satu dan satu
lagi orang dari luar sekolahnya namun bagiku itu urusan nomor ke tiga belas
karena yang ada di otakku adalah setelah menamatkan sekolah harus pergi kalau
tidak bisa meneruskan kuliah yah minimal mencari kerja dan tekadnya yang paling
utama adalah meninggalkan desa untuk mencari pengalaman. Sebagai anak ke 4 dari
tujuh bersaudara dan terlahir dari kedua orang tua petani membuatku mengambil
kesimpulan kalau kedua orang tuanya matian-matian menyekolahkanku selain untuk
menuntut ilmu adalah untuk memperbaiki nasib keluarga dan setidaknya bagiku
sendiri tidak mau menjadi seorang petani, cukup orang tuanya saja dan dia akan
memanfaatkan ilmunya untuk masa depan yang lebih baik.
Hem!
Aku telah menyelesaikan pendidikan SMA dan sesuai keinginannya maka sehari
setelah mendapatkan ijazah akupun pergi ke luar kota karena untuk melanjutkan
kuliah tidak ada biaya sebab kedua orang tuaku masih harus menyekolah
adik-adikku minimal tamat SMA apalagi terakhir kalinya menerima surat dari
kakak iparku agar aku segera datang ke rumahnya, ia berjanji akan memasukan aku
untuk kursus apa saja sesuai keinginannya. Saat itu aku meninggalkan pria yang
dekat denganku dan sepertinya serius namun bagiku yang baru menginjak usia
delapan belas tahun tidak akan pernah berpikir ke arah serius. Masa depanku masih sangat panjang, dunia luar telah membuka
tangannya untuk merangkulku, jika ia pintar maka jalannya akan lurus-lurus saja.
Impian memang indah namun kenyataan tak
selalu indah, rencana matang yang ada di depan mata buyar entah ditelan apa. Aku
naik bis ke rumah kakakku menempuh perjalanan darat sehari selamam. Di rumah
kakak ipar aku hanya diam dan tinggal tanpa mendapatkan respon bagus, tak ada
tawaran seperti dalam surat-surat itu. aku memang belum pandai membaca situasi,
punya keponakan usia lima tahun jadi teman keseharianku. Menjaganya sekaligus
merawatnya namun itu bukan masalah besar karena aku menyayangi anak manis itu.
tak jarang aku mengantar anak itu pergi ke dokter gigi sampai kenal dekat
dengan asisten dokter gigi seorang wanita ramah seusia denganku atau bahkan
mungkin dua tahun diatasku. Suatu hari asisten dokter itu mengajak aku makan
bakso karena saking akrabnya, waktu itu aku memang sengaja main ke klinik, aku
dan gadis itu seperti kembar hanya saja rambut gadis bernama Rani itu sedikit
lebih pendek dari rambutku.
“Kita keluar yuk, kebetulan kamu datang pas
jam istirahat siang.” Ujarnya. Ia mengajak aku ke sebuah toko souvenir yang bersebelahan dengan klinik
namun hanya sekedar melihat-lihat lalu ke tenda bakso. Di sana kami menikmati
makan bakso setelah habis tanpa dinyana Rani memesan lagi untuk porsi ke dua
membuat aku kaget.
“Kamu?” ia mengeryitkan keningnya.
“Hehe... santai saja Helen, aku bisa sekali
makan bakso dua porsi sekaligus dan ada kisah lucu dengan kebiasaan ini.”
“Apa itu?” tanyaku serius ingin tahu.
“Aku diputusin cowokku karena makan dua
mangkuk bakso... hehehehe, dia nggak tahu kalau sudah makan bakso dua mangkuk
aku bisa tidak makan nasi sampai dua hari.” Tutur Rani membuat Helen tertawa.
“Ya jelas saja kamu diputusin karena tuh
cowok takut bangkrut hihihi.” Aku malah menggoda Rani membuat Rani tambah
senang.
Minggu berikutnya tanpa diduga Rani main ke
rumah kakakku untuk bertemu denganku, waktu itu dia memang iseng pernah bertanya
di mana tempat tinggalku ternyata tidak begitu jauh dari kliniknya. Keponakanku
membangunkan aku karena ia melihat ada
asisten dokter giginya ada di depan pintu rumah.
“Bi.....” ia menggoyang-goyangkan tanganku
memaksa aku bangun. “Di depan ada tante Rani.” Jelasnya membuat Helen sangat
kaget sampai aku menyibak horden sedikit untuk memastikan apa benar apa yang
dikatakan keponakanku. Benar, gadis itu sedang berdiri di depan pintu menunggu
orang membukanya dengan tidak sabar. Aku buru-buru ke kamar mandi untuk cuci
muka lalu langsung ke depan dan membuka pintu.
“Hai......” seruku setengah tidak percaya
sekaligus senang.
“Halo....” balas Rani.
“Ayo masuk......” Aku membawa Rani ke ruang
tamu dan keponakannya menyalami gadis itu.
“Hmm... bagaimana dengan gigimu adik manis?”
sapanya dan gadis kecil itu hanya tersenyum malu-malu.
“Bagaimana kamu bisa sampai ke sini?”
tanyaku masih tidak percaya gadis itu ada di rumah kakakku. “Kamu tidak nyasar.’kan?”
Gadis itu menggeleng. “Tidak, tadi turun di
gang depan yang ada taman bacanya banyak koleksi novel di sana. Saat aku tanya
nama kamu yang jaga di sana malah mengatakan kalau kamu ternyata menyumbang
banyak novel di sana.”
“Tidak banyak, hanya beberapa.” Ujarku
karena benar kalau sudah membeli dan membaca novel aku meletakkannya di sana
agar yang lain bisa ikut membaca. “Kamu... aku masih tidak percaya kamu bisa
sampai ke sini.” Sekali lagi aku menanyakan hal itu.
“Rumah keponakanmu kan tidak begitu jauh
dari klinik tempat kerjaku, aku melihat alamat yang tertera di file ponakanmu
makanya aku ke sini kebetulan baru pulang tugas. Karena kalau aku pulang dulu
baru ke sini maka akan lebih jauh.” Tutur Rani menjelaskan dengan sangat masuk
akal tinggal aku yang bingung karena tidak punya persiapan apa-apa kedatangan
tamu yang tak diduga itu. namun saat mendengar suara penjual es krim aku
langsung meminta keponakanku memanggil.
“Ada es krim, panggil yaa.” Kataku dengan
lembut dengan tidak menunggu lebih lama lagi gadis kecil itu langsung lari
keluar seolah takut tukang es krim menghilang membuat kami tersenyum. “Itu es
krim kesukaanku, es krim kacang merah. Semoga kamu juga nanti suka.” kataku
kepada Rani disambut dengan senyum. Setelah tukang es krim muncul di depan
rumah aku mengambil gelas dari dapur agar menggunakan gelas sendiri. Tiga gelas
besar ditenteng keluar dan tidak lama kemudian es krim sudah ada di meja tamu
untuk dinikmati. Sore itu memang terasa nikmat, setelah menikmati es
krim sepertinya Rani masih betah berlama-lama denganku sampai aku mengajaknya
ke teras samping kanan rumah di mana ada lapangan badminton milik kakakku di
sana, kamipun bermain sambil bercanda.
Begitulah caraku menikmati hari-hari dengan
caraku sendiri, aku juga dekat dengan penyiar radio Candra Buana namanya Rose,
setiap pukul tiga sore gadis itu selalu hadir di kamarku lewat suara indah dan
nyaringnya membawakan acara remaja dengan selalu menerima kartu pos untuk
dibaca setiap permintaan pemutaran lagu juga pesan-pesan dari pendengar setianya
tak terkecuali aku. Saat itu aku memperkenalkan diri sebagai anggota baru dan
diterima dengan senang hati oleh Rose bahkan mengundangku untuk datang ke
studio, bukan itu saja karena sebagai penyiar yang sudah banyak digemari
ternyata dia sudah punya anggota penggemar tetap dan dia akan selalu diundang
kalau teman-temannya punya acara keluarga seperti ulang tahun, pernikahan atau
yang lainnya. Salah satu teman panitia
acara hari ulang tahun kemerdekaan RI waktu itu ternyata sudah lama menjadi
anggota pendengar setia Rose dan saat mendengar namaku disebut di radio iapun
mendatangi aku dan mengajak bermain ke studio apalagi Rose sudah dengan
ramahnya mengajak aku datang. Gadis itu ternyata sudah sering berkunjung ke radio
dan kali itu ia membawa aku yang sudah sangat menyukai acara Rose.
Hari
itu pertama kalinya aku melihat studio radio dan tanpa ragu Rose yang ramah itu
mengajak kami masuk dan melihat-lihat studio. bisa Aku melihat koleksi kaset yang jumlahnya
mungkin ribuan tersusun rapih di rak. Di sana juga banyak sekali foto Artis
ibukota yang pastinya sudah pernah berkunjung. Namun sayangnya Rose tidak bisa
lama karena setelah tugas ia harus berangkat karena ada acara yang harus ia
datangi.
Setelah kejadian itu semakin mendekatkan aku
dengan Rose dan saat keponakanku ulang tahun aku juga menuliskan di kartun dan
dengan tanda baca hanya kami berdua yang tahu kalau yang paling bawah cukup
dibaca di dalam hati tidak perlu pendengar tahu. Aku mengundang Rose untuk
datang ke acara ulang tahun keponakanku. Meski merasa kalau Rose tidak akan
mungkin datang namun bagiku tidak ada salahnya memberitahukan kabar bahagia itu
kepada Rose yang sudah kuanggap sebagai teman.
Dan siang itu di hari minggu membuktikan
kalau gadis itu benar-benar muncul bersama seorang gadis yang usianya mungkin
jauh dibawahnya dan ternyata ia membawa
sepupunya. Lagi-lagi keponakanku yang sedang ulang tahun tahu kalau teman bibinya
itu adalah seorang penyiar radio di kotanya, ia pernah mendengar nama itu dari
radio yang sering didengar bibinya. Mendengar kabar kalau gadis itu adalah
seorang penyiar radio maka Wak serta sepupunya termasuk ibunya sendiri merasa
tidak enak sekaligus senang. Karena setelah puas menikmati hidangan ulang tahun
gadis itu mengikuti aku ke belakang dan ikut mencuci piring, aku tidak tahu
apakah Rose merasa tidak enak setelah makan langsung pergi atau ia memang masih
ingin berbincang denganku sehingga mengikutinya sampai ke dapur.
Kakak
perempuan dari kakak iparku nyeletuk. “Waduh, dengar-dengar Rose ini seorang
penyiar radio ya? Tidak usah ikut mencuci piring nanti ada kok yang bertugas
melakukannya.... emm... jangan sampai besok saat siaran menceritakan hal ini
ya.” Ucapan terakhir itu hanya bergurau saja dan Rose-pun menanggapinya dengan
tersenyum lalu melirik aku yang juga tersenyum karena tadinya ia pun melarang
keras Rose mengikutinya ke dapur. Tidak lama kemudian aku mengajak gadis itu ke
depan dan kebetulan hari sudah mulai sore ia pun pamit pulang diantar olehku
sampai ujung gang. Sambil jalan Rose masih terus saja berceloteh.
“Kapan kamu mau main ke rumahku?” tawarnya
dengan semangat. “Kita akan makan sate nanti karena tidak jauh dari rumahku ada
warung tenda yang menjual sate yang sangat nikmat sekali.” Promosinya.
“Yah kapan-kapan deh.” Sahutku tidak bisa memastikan
namun sejujurnya aku ingin sekali main ke rumah Rose. “Tapi sebelumnya terima
kasih banyak ya, nggak nyangka kamu bakal datang, ini sebuah kehormatan untuk
kami khususnya aku.”
Rose melirik aku sekilas. “Biasa aja, jangan
berlebihan seperti itu. ngomong-ngomong tadi anak-anak remaja cewek itu kok
begitu ya dengan salah satu pria itu?” Rose penasaran.
“Pria yang mana?” kataku padahal ia tahu
pasti siapa yang sedang dibahas oleh Rose.
“Itu lho yang tadi...kamu pasti tahu kok
karena tidak banyak remaja prianya di sana dan pasti itu ada hubungan keluarga
dengan ponakanmu.” Tebaknya dan tebakan itu memang kena.
“Oh, itu. biasalah bagi mereka pria itu
termasuk tampan apalagi dengar-dengar ia sekolah di Jakarta.” Nama Jakarta seolah
jadi patokan kesuksesan orang dan yang keren-keren lainnya.
“Tampan?” terdengar tawa halus dari mulut
Rose. “Menurutku biasa saja, kalau tampan itu saat pertama kali kita melihatnya
pasti ada perasaan ‘nyeeees’ gitu di hati.” Kata Rose seakan membantah kalau
pria itu tampan dan komplinnya membuat aku tertawa dan aku tidak perlu
membenarkan ucapan Rose sebab aku juga tahu standar ketampanan itu seperti apa.
Menunggu reaksi dari kakak ipar tidak ada
sehingga aku memutuskan untuk mengurus KTP memang waktu KTP selesai aku diantar
kakak mengambil ke kantor Camat. Setelah itu aku mengambil inisiatif untuk
melamar kerja saja karena aku tidak lagi mendengar adanya tawaran untuk kursur
sehingga aku harus melupakan itu tanpa punya keberanian untuk menagihnya. Saat
menunggu kabar dari sebuah perusahaan aku menghabiskan waktunya bersama remaja
di kota itu, teman-teman penggemar suara Radio, remaja aktif di Karang Taruna
sampai menemani teman-teman ikut lomba vokal se-provinsi kota itu. acara itu disiarkan
oleh televisi kota itu, saat latihan aku memiliki banyak sekali teman dari
seorang model yang ikut memainkan gitar sampai seorang penyiar radio yang
lumayan dikenal. Apalagi saat menjadi panitia acara pelaksana ulang tahun
kemerdekaan RI, kala itu kakakku jadi ketua RT setempat. Acara yang akan
dilaksanakan cukup besar sampai panitiapun membuat proposal untuk minta bantuan
dana ke perusahaan-perusahaan di sekitar itu.
Sebagai anggota panitia maka aku kebagian
tugas untuk membawa proposal dan tempat pertama yang aku kunjungi adalah sebuah
klinik dekat perempatan jalan ramai di mana ponakanku langganan periksa gigi di
sana dan bertemu dengan temannya. Aku diboncengi seorang pria tinggi dan cukup
keren namun entah mengapa ia tidak merasakan getaran aneh pada pria itu, karena
aku ingat dengan pria yang kutinggalkan di desa, pria cool, tinggi bongsor dan ia menjalin hubungan lebih kurang setahun
denganku namun tiga bulan berselang ia mendapat surat dari adikku kalau pria
itu telah menikah. Anehnya aku tidak merasakan adanya rasa sakit hati yang
berlebihan, waktu terus berjalan acara puncakpun tiba dengan dimeriahkan oleh
band kota itu dan ternyata vokalisnya sering muncul di acara musik televisi.
Aku memang selalu bisa akrab dengan orang-orang yang tak terduga, vokalis itu
berbincang denganku di belakang panggung sambil duduk di kursi panitia padahal
aku bukanlah cewek satu-satunya sebagai
panitia.
“Mau menyanyikan lagu apa?” tanyaku sekedar
ingin tahu dan wanita tidak terlalu tinggi dan memiliki rambut panjang itu
menjawab dengan santai.
“Mau dinyanyikan lagu apa?” ia malah balik
bertanya membuat aku mengira ia bercanda. Aku tak langsung menjawab dan di
panggung keponakanku sedang menari tarian daerah bersama ke tiga temannya yang
lain. “Aku serius kamu suka lagu apa?” tambahnya lagi dan kali ini aku
menjawab.
“Gambaran cinta-nya Inka Christie.”
“Oke.” Sahutnya dengan sangat singkat. Tak
jauh dari tempat mereka terlihat beberapa mata memandang tidak suka denganku yang
bisa akrab dengan penyanyi yang masih berstatus mahasiswi seni lukis itu terutama
yang cewek tapi dengan pasti aku tidak menyukai orang yang terlalu mencari muka
apapun alasannya. Aku menyukai kesederhanaan, tidak suka dengan perempuan pecicilan dan pria yang terlalu mengemis
cinta. Hanya itu dan simple saja.
Setelah usai tarian anak-anak wanita itu
pamit untuk naik ke panggung dengan cara memegang bahuku sejenak. Tak lama
kemudian terdengar intro lagu dari Inka Christie. Sepertinya ia benar-benar
serius dengan ucapannya pikirku memaksanya tersenyum saat sang vokalis menatap
ke arahku sehingga aku merasa kalau lagu itu dinyanyikan atas permintaanku. Aku
merasakan perasaan yang luar biasa, seolah mendapatkan seorang teman baru lagi selain asisten dokter gigi dan penyiar
radio. Itu mungkin penyebabnya mengapa aku tidak terlalu memikirkan kehilangan
kekasih yang menikah tanpa memberi, padahal sebelum kami berpisah pria itu
sempat mengatakan ia akan sangat bersedih aku tinggalkan. Puiiihhh! Buaya.
Detik-detik acara usai panitia mengajak
anak-anak band makan malam di sebuah rumah yang tidak jauh dari panggung
gembira. Sebelum berlalu untuk mengecek persiapan makan malam vocalis itu
berpesan kepadaku.
“Hmm... jangan lupa menonton acara musik di
televisi rabu malam pukul setengah sepuluh.”
“Oke.” Sahutku dan ia tidak pernah berpikir
ada apa di acara musik itu. saat makan malam aku sedang ada di belakang untuk
kembali mengecek apakah makanan masih banyak atau sudah dibawa ke depan semua
tiba-tiba ia mendengar suara sang vokalis mencarinya.
“Adik saya mana ya?” sepertinya ia
melontarkan pertanyaan itu untuk semua yang ada di dalam ruangan itu. kuakui
kalau gadis itu pasti lebih tua dariku meski ia masih jadi mahasisiwi karena
aku sendiri masih usia delapan belas tahun.
“Sudah pulang.” Terdengar sahutan dari suara
yang kukenal betul yaitu seorang wanita dewasa yang belum menikah dan kabarnya
wanita itu sempat menyukai kakakku yang kini sudah punya anak gadis mungil. Aku
hanya tersenyum tipis dan menyadari kalau wanita itu tidak menyukaiku karena
masa lalu. Orang lain memang sering kena imbas kekesalan seseorang yang merasa
tidak terpuaskan meski tidak tahu apa masalahnya.
Rabu malam aku tidak lupa dengan pesan sang
Linda Alimas seorang penyanyi yang suaranya tidak diragukan lagi, ternyata malam
itu di televisi ia juga membawakan lagu itu, apakah kebetulan atau memang ada
hal lain? Hanya dia yang tahu. Ponakanku memanggil ibunya untuk menonton
televisi dengan teriakan karena melihat Linda Alimas menyanyi dengan video klip
yang indah. Aku memang selalu berusaha menikmati hidup baik suka maupun duka,
sedangkan kakak iparku sibuk kursus menjahit dan ketika kursusnya sudah selesai
sepertinya akan ada acara perpisahan dan dilaksanakan di tempat wisata, aku
tidak tahu apa yang terjadi karena malam itu kakak iparnya meminta suaminya
yaitu kakakku untuk membuat konsep pidato perpisahan. Hmm.... apakah sebagai
kepala rombongan? Tidak tahulah. Tapi aku malah mendengar kakakku mengatakan
hal yang tidak kuduga.
“Suruh saja Helen yang buat, sepertinya ia
suka menulis tuh.” Ujarnya enteng. aku ingat kalau kakaknya komplin saat malam
itu mengetik di mesin tik paginya ia mengatakan hal yang tidak enak didengar.
Aku memang salah karena telah mengganggu waktu istirahat orang seisi rumah
dengan suara mesin tiknya dan mungkin juga kakakku tahu aku pernah membuatkan
PR anak kakak iparnya, PR Bahasa Indonesia membuat sinopsis sebuah novel. Kakak
iparku coba meminta pertolonganku untuk membuat draft tulisan, anehnya sama sekali
aku merasa tidak keberatan dengan sok yakin bahkan tidak percaya apakah ia bisa
atau tidak mengiyakan permintaan itu dengan mengatakan.
“Tentang apa pidatonya?” tanyaku dengan
tenang sok penulis naskah profesional padahal demi Tuhan aku itu sama sekali
tidak tahu hal semacam itu.
“Tentang perpisahaan grup karena sudah
selesai tugas belajar.” Jelas kakak iparku.
“Oh....., begitu, akan aku coba menulisnya.”
Ia menyanggupinya dan perempuan itu juga tidak memperlihatkan hal meragukan
kepadaku seolah ia juga merasa kalau aku benar-benar bisa membantunya. Malam
itu aku menuliskan draft pidato itu di sebuah kertas polio tanpa membuat konsep
terlebih dahulu dan tanpa terasa satu polio itupun penuh dengan tulisan tanganku.
Tidak sampai hitungan jam aku sudah keluar dari kamar untuk menyerahkan tulisan
kepada kakak iparku dan diterima tanpa ada komplin atau mungkin ia akan komplin
setelah membacanya nanti pikirku.
Namun apa yang terjadi minggu berikutnya?
aku melihat sebuah foto yang diambil dari tempat wisata di mana terlihat kakak
iparku memegang kertas polio yang di dalamnya ada tulisanku. Wanita itu
terlihat berdiri dihadapan rekan-rekannya dengan tangan kiri memegang kertas
polio dan tangan kanan sebuah mike. Yang membuatku tidak percaya mengapa wanita
itu tidak mengubah draft itu karena aku tahu pasti polio itu sudah sangat penuh.
Apakah ia mengatakan setiap detil kalimat di dalamnya? Entahlah hanya dia yang
tahu.
Akhirnya aku mendapatkan surat panggilan
kerja dari perusahaan swasta dan kebetulan perusahan itu baru membuka cabang
pertamanya di kota tersebut. Surat panggilan kerja tersebut diantar langsung ke
rumah kebetulan aku sendiri yang menerimanya. Bukan dari pak pos tapi dari
kurir langsung.
“Ini
surat panggilan kerja dan kemungkinan nanti treningnya di Jakarta selama tiga
bulan setelah itu baru kembali ke sini untuk ditugaskan di cabang sini.” Jelas
pria sekitar usia dua puluh tujuh tahun itu dengan sungguh-sungguh. Aku
mengamati surat yang sudah ada di tanganku dan memang surat itu resmi karena di
ujung amplopnya ada nama perusahaan lengkap dengan alamatnya di pusat kota.
“Oke, terima kasih banyak ya.” Sahutku masih
disela-sela tidak percaya kalau diterima di perusahaan itu. waktu itu aku
melamar dan datang langsung ke bagian personalia bersama sepupu keponakannya kakakku
iparku dan sepertinya perempuan itu tidak mendapat surat yang sama. Ia tidak
diterima, pikirku.
Sorenya aku mendengar kakak iparku
memberitahukan kepada suaminya mengenai surat panggilan kerja itu dan dengan
pasti kakakku memberi komentar yang
tidak diharapkan. Kalau saja ia mengatakan itu langsung kepadaku mungkin aku
bisa menerima namun ia sengaja bicara di dalam rumah dan tahu pasti kalau di
kamar aku bisa mendengar apapun yang ia
bicarakan.
“Buat apa sih anak cewek bekerja.” Itu bukan
pertanyaan bukan juga pernyataan tetapi larangan yang diberikan secara tidak
langsung dan membuatku langsung drop
mendengarnya. Mengertilah aku kalau selama ini semua yang aku lakukan tidak
direstui oleh kakakku. Ditengah ketidakpastian itu aku menerima surat dari ibunda
yang ditulis tangan dan inti dari isi surat itu mengatakan kabar dan rasa
kangen yang mendalam seorang ibu kepada anaknya. Anak mana yang tidak tersentuh
hatinya mendapatkan surat yang ditulis tangan langsung oleh ibundaku. Tanpa
berpikir lagi aku-pun memutuskan untuk segera pulang ke Desa.
ADA APA INI....?
Jaga
dirimu baik-baik... sebab kamu perempuan cantik, tinggi semampai...pokoknya
kamu itu menggoda. Jaga dirimu baik-baik...jangan sampai merusak nama baik
keluarga.
Jaga
dirimu baik-baik... kalau sudah terjadi kamu akan menyesal seumur hidup. Jaga
dirimu baik-baik.... seolah tidak ada kata-kata lain yang harus diucapkan!
Kamu
tahu mengapa mereka berkata seperti itu? karena mereka sayang denganmu, tetapi
aku bosan mendengarnya karena aku sendiri tahu dan sangat mengenali diriku...tentu
saja aku akan menjaga diriku lebih dari segalanya.
*
Aku kembali dengan perasaan tanpa beban
sedikitpun, Rani, Rose, Linda Alimas, Model itu, Hendra kakaknya sang Model
serta pria yang memboncengku keliling kota untuk membawa proposal adalah
beberapa teman yang mungkin tidak akan pernah bisa akulupakan seumur hidupku. setahun
lebih aku tinggal di kota kakak ipar dan pernah merasakan berlebaran di kota orang
jauh dari kedua orang tuaku, semua itu tidak perlu disesali karena apapun hal
positif yang pernah dilakukan seseorang tidak akan pernah sia-sia kedepannya.
Aku membawakan sedikit oleh-oleh dan seorang teman yang dulu bahkan sering dibilang
kembar oleh orang-orang karena tinggi dan bentuk tubuh kami yang nyaris sama jadi
akrab dengan adikku kini sudah ada di ruang tamu. Aku bisa melihat kalau gadis
itu menyimpan rasa kangen yang tak bisa diungkapkan namun matanya tak bisa
menyembunyikan itu dari pandanganku. Intinya sekarang gadis itu adalah teman
baik adikku dan malam-malampun sering mereka habiskan bersama, bermain dan
bercanda dengan terman-teman mereka yang lain. Aku sekarang sudah berubah tidak
lagi seperti sebelum pergi, lebih dewasa, rambut terawat dan masih panjang
dan indah. Satu hal yang tidak pernah berubah yaitu kebiasaanku yaitu duduk di
teras rumah dan itu sudah menjadi hobi yang paling bisa kunikmati, tidak peduli hujan bahkan
terang bulan sekalipun karena sejatinya aku bukanlah tipe gadis yang suka
keluyuran malam. Kalaupun teman adikku mengajak pergi jalan aku tidak punya
keingian sama sekali bahkan aku merasa kalau gadis itu telah memilih orang lain
menjadi temannya.
YA SUDAHLAH....
Aku pernah
kehilanganmu namun pribadimu tidak bisa
membuatku melupakanmu, kamu terlalu baik untuk dilupakan. Kita pernah
mengisi kekurangan masing-masing, kita pernah menanamkan keyakinan dan
pengertian, kita coba untuk
menghilangkan kecurigaan dan suatu kesalahpahamann dengan coba mengingat
pengalaman dan kenangan kita.
Sahabat....
aku pernah mencoba belajar dari
pengalamanmu seperti yang pernah kamu lakukan, aku pernah berusaha bersikap
tegar dihadapanmu, pernah kubercermin di wajahmu....namun aku tetaplah aku.
Ketenangan
langkah dan kasihmu membuat aku tersenyum kagum... tapi kau tidak jujur sahabat,
itu cuma perasaanmu saja terhadapku... mengapa kamu begitu lambat memahami
diriku? Padahal kita melangkah bersama, mengapa kamu masih menyimpan sesuatu
hal yang tidak ada artinya untuk hubungan kita. Aku pernah coba mengerti
keadaan dan perasaanmu.... namun kamu sendiri sepertinya tidak mau mengerti
bagaimana perasaanku.
Kau tidak
pernah melihat kekuranganku... kamu cuma menilai aku sepintas... kamu tidak
pernah berusaha memberi aku keyakinan untuk mengatakan siapa aku sebenarnya....
Aku merasa sendirian dan benar-benar
sendirian tidak ada yang bisa dilakukan dan yang lebih parahnya aku kembali
merindukan mantan kekasih yang sudah menikah saat aku ada di luar kota. Kami
tidak pernah ikrarkan kata putus ataupun janji-janji untuk saling menunggu
namun makin hari aku merasa tidak bisa mengendalikan perasaan yang mendekati
kegilaan. Setiap malam ada saja pria yang mendatangi terasku bahkan menjadi
tamu di rumah namun tak satupun dari mereka yang bisa menggoyahkan hatiku dari
pria itu. dari mereka ada yang mengatakan sudah lama ingin menjadi pacarku
namun tidak berani dengan kakak cowokku yang memang banyak disegani kalangan
remaja di desa kami. Aku memang mengakui wibawa kakak cowok keduaku itu, selain
bijaksana, tidak banyak omong dan amat sangat melindungi adik-adiknya.
Kekonyolanku kumat karena memanggil teman
mantan kekasihku yang rumahnya berjarak hanya empat rumah dari rumahku sendiri
dan pria itulah dulu yang mengenalkan aku dengan mantan kekasihku. Pria itu
ternyata sudah tahu kalau aku pulang sudah hampir dua minggu ini. Ia datang
menemuiku yang duduk di teras dan
setelah basa-basi yang tidak penting aku langsung mengutarakan keinginannya
kepada pria yang tingginya tidak lebih dariku.
“Aku butuh bantuan kamu.” Ujarku tanpa
basa-basi lagi,
“Apa itu?”
“Aku ingin bertemu dengannya...”
“Apa? Apa aku tidak salah dengar?” pria itu
kaget mendengar penuturanku yang diluar dugaannya. “Dia sudah menikah bahkan
sekarang anak mereka sudah usia dua bulan.”
“Aku tidak peduli dan asal kamu tahu aku
tidak ingin merusak hubungan mereka. Aku ingin bertemu dengannya hanya untuk
mengatakan kata putus, hanya itu.” tegasku dengan sungguh-sungguh.
Mendengar itu membuat pria tersebut tertawa
kecil dan aku tahu apa yang ada diotaknya. “Aku tidak menyangka kalau kalian
sebenarnya belum putus, lalu apa arti pria-pria yang selama ini selalu duduk di
tempat ini? nyaris setiap malam ada pria di sini menemani kamu, aku selalu
melihatnya kadang dari rumah depan atau rumah sebelah.” Selidik pria dengan
tubuh agak gempal itu.
Aku tidak suka kata-kata itu tapi tidak apa
itu artinya pria itu punya perhatian denganku apakah untuk sekedar memberi
informasi kepada temannya atau ada hal
lain namun itu tidak penting bagiku.
“Yang selalu orang lihat tidak selalu sesuai
dengan kenyataannya dan seperti saat ini mungkin ada orang yang mengira kita
sedang pacaran atau apa... tidak penting.’kan?” tegasku membuat pria itu
terdiam. “Kalau kamu tidak mau membantu aku menemuinya aku bisa menemuinya
sendiri.”
“Jangan Helen, akan aku usahakan.” Ujarnya
seolah takut aku membuat keributan karena aku tahu pasti karakter dari istri
temannya itu adalah pecemburu berat.
“Oke.....” sahutku tanpa memberi limit kapan
pria itu akan melakukan tugasnya karena waktu ia mengenalkan pria itu kepadaku
dulu gigih sekali dan ketika pria itu menikah dengan orang lain dengan alasan
bahwa aku jauh maka ia juga harus menyelesaikan masalahnya.
Malam berikutnya gadis lincah itu lewat di
depan rumahku dan setelah tahu ada aku duduk di teras ia langsung mampir dan
agak berteriak senang.
“Hai.... ternyata kamu sudah pulang.”
Helanya saat menaiki teras rumah yang punya tiga tangga kayu. Aku tahu nama
gadis itu adalah Razthi, selain lincah dan gesit tentu saja ia sangat manis
dengan hidung mancung yang dipadu dengan rambut panjang serta kulit sawo matang
namun yang paling menonjol adalah kelugasannya yang mengarah ke cerewet. “Aku
baru tahu kalau selama ini kamu ada di luar kota.” Tambahnya setelah aku memberikannya
tempat duduk.
“Kok teman kamu tidak ikut mampir?” tanyaku
yang dari tadi melihat Razthi tidak jalan sendirian.
“Ada teman mereka di ujung jalan, sudah aku
katakan kalau mereka tidak mau mampir biar pulang duluan juga tidak apa-apa.”
Jelasnya tanpa ragu namun aku tahu teman-temannya tidak akan pernah
meninggalkan gadis itu untuk pulang sendirian karena mereka pasti mampir dan
bercanda dengan yang lain di ujung jalan sebab kalau cuaca cerah maka jalanan
desa kami nyaris penuh anak remaja dan bapakku pernah mengatakan kepadaku ‘setiap
malam selalu saja seperti itu, tidak tahu apa yang mereka cari dan entah apa
yang membuat mereka selalu betah bergurau di pinggir jalan’
Itu
adalah awal kedekatanku dengan Razthi, setelah malam itu kami selalu terlihat
bersama. Aku sering datang ke rumah Razthi begitupun sebailknya. Dari ibundanya
Razthi ketahuan ternyata aku harus memanggil Razthi dengan sebutan Bibi,
ternyata kami masih ada hubungan keluarga meski tidak bisa dibilang hubungan
darah. Awalnya aku tidak setuju karena usia Razthi lebih muda dua tahun
dibawahku apalagi Razthi terlahir sebagai anak bungsu. Tapi yang namanya adab
maka aku tidak bisa mengelak apalagi Razthi sendiri marah kalau aku memanggil
namanya dengan sebutan Razthi. Ia lebih suka aku memanggilnya Bibi dan
sepertinya banyak remaja desa itu memanggil dengan sebutan sama, mungkin karena
kedua orang tua Razthi yang dianggap lebih sepuh atau mungkin ada hal lain yang
tidak aku mengerti. Namun yang membuat aku agak terkejut adalah ketika
mengetahui gadis itu ternyata merokok di dalam rumahnya dan diketahui oleh
kedua orang tuanya namun ia tidak pernah merokok di luar rumah.
Kalau aku tidak ada di rumah sudah pasti ia
ada di rumah Razthi yang masih duduk di bangku kelas 2 SMA sekolah yang sama
tempatku menuntut ilmu dulu. Diluar pengetahuanku ternyata gadis teman adikku
sering mengamati aku jalan dengan Razthi karena suatu ketika adikku mengatakan
padaku.
“Kak, waktu itu si Denta mengatakan begini,
Helen tidak pernah kelihatan pasti ia main ke rumahnya Razthi.” Ujarnya namun
aku tidak memberi komentar apa-apa karena kupikir gadis bernama Denta itu lebih
nyaman berteman dengan adikku. Kalaupun gadis itu merasakan ada cemburu teman
maka aku sendiri pernah merasakan hal itu, sakit memang namun bukannya
bermaksud untuk balas dendam karena sesuatu yang sudah tidak nyaman lagi memang
harus dilepaskan maka dia akan bahagia dengan yang lain. Malam itu setelah aku
bertemu dengan teman mantan kekasihku, aku pernah melihat mantan kekasihku
lewat di depan rumah dengan mengendarai sepeda motor tapi ia tidak berani
mampir sedangkan aku-pun tidak pernah berpikir untuk datang ke rumah teman
mantanku walau aku amat yakin kalau pria itu ada di sana. Bukannya aku tidak
konsisten dengan kata-kataku namun kuberpikir kalau sudah datang mengapa tidak
langsung saja dan juga kalau memang punya niat seharusnya ia berpesan kepada
temannya untuk memberitahukan bahwa ia sudah datang namun tidak ada niat untuk
itu. yah sudahlah!
BAK BERINGIN....
Senyumnya
nyaris dengan kepunyaan Dede Yusuf ditambah tubuh yang sangat atletis dan tegap
serta tinggi. Teduh sekali rasanya jiwaku kalau sudah memandangmu. Aku memang
sangat bahagia kalau sudah berjalan di
samping kamu, karena kamu adalah pria yang lembut dan sangat hangat dan
penyayang. Dan... kamulah pria playboy yang berhasil setia bersamaku lebih
kurang tiga tahun. Saat-saat bersamamu tiada bahagia yang terlewatkan....
Namun demi
cita-cita aku terpaksa pergi meninggalkanmu nyaris dua tahun sehingga membuatmu
bimbang dan akhirnya kaupun berbalik arah.. aku tidak tahu apakah kamu
menyesalinya?
Terima
kasih Tuhan.... semoga kamu selalu damai... Tuhan berikanlah kebahagiaan kepada
semua orang yang aku cintai karena aku masih merindukan mereka.
Malam itu aku memang datang ke rumah Razthi
meski jarak rumah kami lumayan jauh sekitar empat ratusan meter aku jalan kaki
sendirian karena malam itu cuaca terang dan jalanan ramai sekali dengan
anak-anak yang bermain sehingga jalan kaki tidak akan terasa lelah atau merasa
jauh. Saat masuk ke rumah Razthi yang ternyata ada dua orang tamu yaitu pria
ditemani oleh Razthi, kakak perempuannya serta ibundanya. Aku agak kaget karena
buku kecil kepunyaannya ada di tangan pria yang punya rambut agak gondrong
dengan posisi duduk membelakangi pintu masuk. Itu buku biodata yang aku
dititipkan kepada Razthi beberapa hari yang lalu sebab Razthi mengatakan ia
juga ingin mengisinya dengan kata-kata indah semacam cita-cita, visi-misi ke
depan, alamat lengkap, mengidolakan siapa dan seterusnya. Namun kini buku itu
ada di tangan pria yang belum aku kenal membuatku agak tidak suka namun dengan
santainya pria itu tersenyum ke arahku saat Razthi mengatakan.
“Ini orangnya datang, panjang umur dia.”
Ujar Razthi. “Sini, tadi aku lagi mau menulis di buku itu eh si Toby malah
merebutnya.” Kata Razthi sekedar menjelaskan mengapa buku itu sekarang ada di tangan
pria yang bernama Toby yang dari tadi senyum-senyum saja untukku sedangkan
temannya terlihat kalem.
“Oh, gitu.” Helaku mencoba santai dan
sepertinya baru sadar kalau kedua pria itu bukanlah pria sembarangan karena ia
ditemani oleh ibunda dan kakak perempuannya Razthi. Namun sejak aku diharuskan
memanggil Razthi dengan sebutan Bibi maka sejak itu aku tidak pernah memanggil
nama lagi. Tidak berapa lama kemudian ibundanya Razthi masuk ke dalam diikuti
kakak Razthi. Malam itu aku berkenalan dengan Toby dan temannya, perkenalan
biasa namun dengan jelas Razthi bisa melihat kalau Toby sudah tertarik denganku
dan bohong kalau ada pria yang tidak tertarik melihatku sebab aku percaya
dengan daya pikatku amat tinggi meski kadang aku tidak menyadarinya. Pernah
saat menyisir rambut di depan kaca Razthi dan Razthi mengamatiku sembari
berujar.
“Helen kamu itu benar-benar cantik.” Pujinya
dengan tulus, bagaimana tidak. Rambut panjang, kulit halus mendekati putih,
hidung mancung, langsing dan tidak neko-neko padahal aku berasal dari keluarga
kurang mampu, setiap pulang dari sekolah aku selalu ke kebun atau ke sawah untuk
membantu kedua orang tuaku baik itu sekedar membawa kayu bakar atau untuk ikut
mengurus ladang dan setiap hari libur sekolah aku akan memulai kegiatan itu
dari pagi sampai sore karena urusan mengurus pakaian sekolah dan masak adalah
kakak perempuanku. Bahkan aku adalah satu-satunya seorang perempuan di desa yang
pertama kali melakukan pekerjaan yang orang anggap langka yaitu ikut orang
tuaku menyadap karet di kebun kami namun sebagai anak yang ingin berbakti
kepada orang tua Aku tidak merasa berat melakukan itu semua. Menjadi petani
cukuplah di masa-masa kecil dan masa sekolah, hal itu masih kutanamkan di dalam
benak.
Keesokannya aku kembali lagi bermain ke
rumah Razthi kebetulan hari minggu, sejak aku pulang dari luar kota tidak
sekalipun ibunya mengajak ia ke ladang lagi apalagi ke kebun. Tidak tahu apa yang
ada dipikiran ibundaku. Beliau mungkin berpikir cukuplah anak gadis mereka
membantu dalam puluhan tahun belakangan, dan bersyukur karena anak itu sudah
mau kembali dari luar kota melepas rasa kangennya selama ini, tidak masalah ia
menikmati masa remaja dengan bersenang-senang karena kalau nanti ia menikah
dengan seorang petani maka mau tidak mau ia harus kembali bertani tapi bukan
itu harapannya, ia tentunya berharap anak gadisnya serta anak-anaknya yang lain
menjadi lebih bahagia dan tercapai apa yang mereka inginkan. Aku adalah anak
yang penurut dan tidak pernah menuntut apa-apa dan sadar betul standar keluarga
besarku. Siang itu di rumah Razthi ternyata ada dua orang gadis yang tidak
asing lagi olehku karena mereka masih satu desa sedang bermain di rumah Razthi
dan usia mereka di atasku sekitar satu atau dua tahun. Di tengah-tengah senda
gurau mereka sambil menikmati kopi dan makanan kecil si Toby datang. Apakah
sekedar bertamu atau ada keperluan lain yang ia inginkan entahlah namun yang
pasti Razthi tahu kebiasaan pria itu jarang bertandang kerumahnya di siang
hari.
Sepertinya bukan rahasia umum lagi kalau
Toby menyukai Aku, ketiga remaja itu malam memilih untuk main di ruang tengah
dan memutuskan untuk tinggal di ruang tamu bersama Toby. Razthi berteriak halus
kepada temannya.
“Dinda, buatkan kopi untuk Toby.” Gadis itu
memang selalu membiarkan teman-temannya membuat kopi sendiri sesuai selera
masing-masing. Dan gadis itupun melirik Toby.
“Setahu aku kak Toby tidak minum kopi, mau
aku bikinin kopi, Kak?” tanyanya membuat aku heran ternyata teman-teman Razthi
memanggil Toby dengan sebutan kakak tetapi Toby sepertinya menyebut Razthi itu
dengan Bibi juga namun pria itu tidak pernah menyebutnya, mungkin ia merasa
Razthi masih terlalu muda untuk dipanggil Bibi.
“Boleh....” jawab Toby dengan santai
disertai senyuman indahnya dan ia lebih terlihat keren dengan rambut lurusnya
yang agak gondrong. Setelah beberapa saat kemudian Dinda membawakan segelas
kopi ke ruang tamu dan gadis itu kembali ke belakang bergabung dengan Razthi
dan teman mereka yang satunya. Gerimispun turun, Toby ke teras dengan menenteng
gelas kopinya dan tidak lupa mengajak aku. Usia Toby mungkin jauh diatasku dan
satu hal yang pasti, Aku tidak menaruh rasa cinta kepada pria itu. di mataku ia
terlihat dewasa, ramah dan murah senyum dan enak jadi teman ngobrol.
Toby berlari kecil melewati gerimis menuju
warung depan aku mengira kalau pria itu akan membeli sebungkus rokok namun
kenyataannya ia membawa beberapa bungkus kacang goreng dan membukanya di
depanku, akhirnya kami menikmati kacang
goreng bersama suara gerimis yang masih betah dengan aktiftasnya sendiri tidak
tahu mengapa hari itu Toby seringkali terlihat tersenyum disela obrolannya,
senyum yang seolah mengandung kegembiraan sendiri.
“Maaf ya, malam itu aku telah membaca buku
kecil kamu tapi satu hal yang aku dapat dari buku itu yaitu kalau aku harus
hati-hati menghadapi kamu.” Ujarnya dan membuatku belum paham ke mana arah
pembicaraan itu.
“Maksud kamu....?” Aku tidak terbiasa
memanggil pria itu dengan sebutan ‘kak’ seperti yang lain meski usia kami
terlihat jauh berbeda, setidaknya tujuh atau delapan tahun.
“Karena setelah membaca musik apa yang kamu
sukai dan siapa penyanyi yang kamu gemari sepertinya kamu punya kelas
tersendiri. Penyuka suara Nicky Astria, grup band Gun N’ Roses, Slank dan
beberapa artis Malaysia lainya.” Ujar Toby dan aku hanya tersenyum karena
ternyata pria itu mengamati kesukaanku dalam hal musik serta pengetahuannya.
Banyak hal yang mereka bicarakan dan tidak ada satupun ke hal yang menjurus
pribadi seperti ‘sudah punya pacar belum? Sedang dekat dengan siapa? Atau ke
mana selama ini kok baru kelihatan?’ semua mengalir biasa-biasa saja terasa
sederhana bagiku meski sekali lagi aku bisa merasakan kalau Toby adalah pria dewasa
yang menyenangkan. Setelah merasa cukup pembicaraan hari itu aku masuk ke ruang
tengah di mana ada Razthi, Dinda, satu temannya dan ibunda Razthi yang ternyata
sedang tidur-tiduran bahkan ada yang tidur.
“Hei..... mentang-mentang gerimis malah asyik-asyikan
tidur di sini.” Kataku melihat keakraban mereka dan sepertinya mereka telah
lebih dulu kenal dengan Razthi dan mungkin saat aku sedang bergelut di kota
orang lain.
“Yah, mau ngapain lagi kalau hujan begini...
kalau tidak hujan kita bisa main ke sawah Bi Razthi dan mengambil kelapa muda
atau sekedar memancing.” Sahut Dinda dan mereka masih malas-malasan di
tempatnya. “Kak Toby mana? Pulang?”
“Ada tuh, masih di depan.” Kataku sejujurnya.
Keempat gadis itu sering berkumpul bersama di rumah Razthi kalau lagi cuaca
cerah tak jarang mereka mengunjungi sawah orang tua Razthi yang tidak jauh dari
pinggir jalan untuk sekedar duduk di pondok, mancing atau menikmati kelapa muda
namun Toby selalu berusaha untuk ada di dekatku.
Ketertarikan seseorang terkadang membuat
orang itu ingin dekat terus dengan orang yang ditaksir, seperti halnya Toby
yang terlihat sudah tidak sungkan-sungkan lagi mendekati aku dan memberanikan
diri datang ke rumah, baik siang maupun malam dan malam kedua Toby akhirnya
mengutarakan perasaannya.
“Helen.... aku ingin bicara serius dengan
kamu, ini bukan hal yang gegabah atau tidak dipikirkan dulu tapi beberapa hari
ini aku merasa kamu itu berbeda dengan gadis yang pernah aku jumpai.. aku....
aku mencintai kamu.” Kata-kata terakhir itu bisa ditebak oleh Helen beberapa
hari belakangan ini karena ia sudah bisa melihat cara Toby memperlakukannya.
Namun tidaklah gampang menerima cinta seseorang untuk sekedar mengatakan ‘ya’
atau ‘tidak’
Aku menatap Toby yang duduk tenang dihadapanku,
ruang tamu malam itu terasa biasa-biasa saja dan tidak ada hal istimewa. Aku
sudah sering mendengar kata-kata semacam itu, saat duduk di bangku kelas 1 SMA
didekati seorang guru SD bahkan berusaha serius denganku tapi aku malah
tertarik dengan kakak kelas yang saat itu mengirimkan surat cinta padaku sampai
kamipun menjalin hubungan cukup lama sehingga aku merasa itulah cinta pertamaku
sampai pria itu menghilang karena harus meneruskan study ke Universitas. Dan
waktu duduk di bangku kelas 3 SMA seorang guru SMP melamar aku melelui tante
dan serius ingin menikahiku, meski di desaku kedudukan sosial seseorang itu
akan terlihat tinggi kalau mereka menjadi PNS namun entah mengapa aku tak
begitu memikirkan itu dan kini ada seorang pria yang kukenal baru beberapa
minggu lalu mengutarakan perasaannya sementara aku belum bisa melupakan seorang
pria yang jelas-jelas sudah menjadi milik wanita lain.
“Emm.. Toby..., aku minta maaf sebelumnya,
aku menghargai perasaanmu sama aku tapi aku tidak ingin mengecewakan kamu. Aku
belum bisa melupakan seseorang, kalaupun aku menerima cinta kamu maka akan
sia-sia karena cintaku hanya tinggal puing-puingnya saja. Cintaku sudah sirna
bersama orang lain.” Tuturku membuat Toby terpaksa menghela napas panjang
sehingga ia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi dengan rasa berat dan
kecewa yang dalam namun ia masih berusaha tersenyum meski getir.
“Hebat sekali orang itu ya, seperti pahlawan
dikenaaaaang terus.” Nada suara itu mengandung kecemburuan yang tinggi namun
apa yang telah aku katakan adalah
kebenaran bukan hal yang mengada-ada. Aku belum bisa menyembuhkan lukaku meski
setiap ingat pria itu menyebabkan hatiku sakit dan kecewa namun aku berharap
pria itu dulu menikah secara baik-baik bukan karena insiden karena aku kenal
dengan wanita yang mengejar-ngejar pria itu. meski tidak mendapatkan respon
dariku tak mengurangi kebiasaan Toby mengunjungi rumahku, sampai adik-adikku menganggap
aku menyukai seseorang dari kelas ketampanan dan ketenaran namun bapakku agak
komplin setelah melihat anak gadisnya menerima tamu yang rada metal dan itu ia
sampaikan kepadaku.
“Siapa pria itu? rambut gondrong, lengan
baju panjang tapi digulung.” Beliau menilai teman anaknya yang tidak biasa dari
sebelum-sebelumnya rapih seperti guru dan sejenisnya namun aku tidak menanggapi
karena apa yang dikatakan bapaknya itu tidak salah. Yang dikomplin beliau kusampaikan
kepada Toby dengan caranya sendiri namun tidak bermaksud mengubah penampilan
pria itu sedikitpun sebab apa yang Toby pakai aku menyukainya dan dengan rambut
gondrong Toby sama sekali ia merasa tidak terganggu.
Dan keesokkan harinya Toby datang dengan
rapi meski tidak memotong rambutnya namun ia tidak menggulung lengan bajunya
dan mengenakan sabuk dan baju kemejanya dimasukkan, dengan penampilan seperti
itu bukannya terlihat keren namun terkesan aneh di mataku. Dan itupun aku
sampaikan kepada Toby ditanggapi Toby dengan santai.
“Bukannya bapak kamu tidak suka aku terlihat urakan?” katanya dengan serius dan
seperti ingin benar-benar berubah demi aku meski aku tidak mempermasalahkan hal
itu dan ia sadar kalau Toby bukan siapa-siapanya aku. Aku tidak pernah meremehkan
kehadiran Toby dihadapanku dan masih tetap menganggap Toby adalah pria yang
luar biasa. Dan suatu ketika aku berkumpul dengan ibu-ibu di desa pada sebuah
teras sedang terdengar sebuah lagu yang dilantunkan oleh Arie Lasso ‘Kangen’
sehingga seorang Ibu di sana nyeletuk.
“Keren ya suaranya mirip dengan suaranya
Toby.” Mendengar itu membuat aku bingung karena sama tidak mengerti ke mana
arah kata-kata itu. setelah aku kembali ke rumah adik bungsuku yang usianya
tidak lebih dari tiga belas tahun mengatakan hal yang sama dan menjelaskan
siapa Toby itu sebenarnya.
“Kakak tahu tidak? Kak Toby itu kalau sudah
menyanyi suaranya luar biasa bagus dan penggemarnya banyak sekali. Pernah suatu kali waktu ia mau
manggung di satu acara orang kawinan dan sebelum magrib ia terlebih dahulu
mengaji di Masjid dan suaranya tidak kalah indah waktu menyanyi, apalagi kalau
ia sudah membawa lagu-lagu melayu dan lagu rock.” Ujar gadis kecil itu dengan
nada penuh kekaguman, mengertilah aku apa profesi Toby selama ini dan itu sama
sekali tidak pernah kudengar dari mulut Toby juga dari teman-temanku. Dan suatu
ketika aku menyinggung masalah itu kepada Toby namun dengan santainya Toby
berseloroh.
“Saat kamu ada di luar kota aku mungkin lagi
top-topnya.” Ujarnya setengah bercanda dan aku-pun tak begitu serius menanggapi
hal itu karena siapapun Toby tidaklah penting namun yang menjadi prioritas
utama dia baik dan enak diajak ngobrol meski penampilannya agak metal namun ia
lembut dan suka humor.
Suatu sore aku diundang ke acara pernikahan dari keluarga
ibundanku dan letak desanya sekitar delapan kilometer dari rumahku dan
kebetulan sore itu aku bermaksud untuk menginap di rumah sepupuku yang rumahnya
berdekatan dengan orang hajatan. Sore itu aku naik angkutan umum untuk menuju
ke sana dan di dalam mobil ternyata sudah ada Toby berdua dengan temannya. Ia
menyapa aku dan temannya hanya tersenyum saja.
“Mau
ke mana?” ia menyapa aku tidak lebih dari sekedar teman biasa meski bertemu di
satu tempat yang tidak diduga sebelumnya.
“Mau ke rumah saudara.” Sahutku tak kalah
biasa. “Kamu?”
“Ada acara musik dan kebetulan kami malam
nanti akan ada di sana.” Temannya yang menjawab dan diiyakan oleh Toby. Spontan
aku merasa kalau nanti Toby akan menjadi salah satu orang yang ditunggu di sana.
Dan malam yang ditunggupun tiba, aku bersama dengan sepupuku yang kebetulan
seusia denganku datang ke acara tersebut sesuai undangan. Diluar dugaanku
ternyata sepupuku itu sudah kenal dengan Toby dan itu rasanya tidaklah aneh
seperti halnya keterangan yang telah adik bungsuku sampaikan kemarin. Gadis itu
mengatakan kepadaku kalau ia kenal dengan Toby saat aku menunjuk ke arah Toby
yang sudah ada bersama teman-teman bandnya di panggung.
“Ya, Toby memang sering main band.” Ujarnya
singkat. Saat kami melihat ke arah Toby dan kebetulan pria itu juga sedang
menoleh ke tempat duduk kedua kami dengan senyum khasnya ia seolah menyapa. Sepupuku
menangkap kalau Toby ada hati denganku meski ada puluhan gadis di acara itu
untuk mengikuti acara muda-mudi yang sedang mengikuti acara pesta pernikahan
kerabat.
Setelah acara ramah-tamah dari pengantin
acara musikpun digelar terlebih dahulu pengantin yang menyanyi dan setelah itu baru
anggota band pastinya akan menghibur semua yang hadir di tempat itu khususnya
untuk kedua mempelai. Karena yang menjadi vocalisnya adalah Toby maka dialah
yang tampil di depan.
Suara Toby memang tidak diragukan lagi dan
agak aneh terdengar kalau pria itu membawakan lagunya Iman S. Arifin yaiitu
‘dia lelaki aku lelaki’ sedangkan dari adikku mengatakan Toby tidak pernah
menyanyikan lagu dangdut, tidak sampai di situ... lagu kedua membahana terdengar
dari suara Toby melantunkan lagu Nicky Astria ‘Sirna’ dan lagunya SLANK
membuatku merasa kalau lagu itu semua ada hubungannya pada malam di mana aku
tidak bisa menerima cinta Toby lantaran aku masih memikirkan pria lain dan
cintanya hanya tinggal puing-puing saja. Namun dibalik semua itu aku merasa ada
yang tidak sesuai terutama diliriknya lagu dangdut itu yang inti isinya kalau tidak salah bunyinya ‘dia punya
cinta aku juga, tetapi kau memilihnya hanya karena ia punya harta’ huhuhu itu merendahkan
sekali, sedangkan aku dengan Toby saja belum pacaran tapi Toby seolah
mengatakan aku memilih pria kaya. aku merasa sakit hati yang luar biasa
bercampur tersinggung namun perlahan rasa itu menguap dengan menimbulkan rasa
lain, rasa yang selama ini tidak mungkin bisa ditebak olehku yang merasa ia
tidak punya cinta lagi kepada pria manapun di dunia ini. Aku merasakan hatiku
kosong seakan ada diruang hampa namun perlahan sosok lain muncul di benak, otak
dan pikiranku yang selama ini sudah membeku. Namun setelah selesai menyanyi aku
melihat Toby mengguyur tubuhnya dengan seember air sambil duduk di belakang
panggung dan tidak jelas apa maksudnya, apakah karena kepanasan atau ada hal
lain yang tidak dimengerti olehku.
Diakhir acara panitia pelaksana pesta
memanggil pasangan muda-mudi yang menjadi pemenang pakaian pantas, Raja dan
Ratu dari tamu undangan, pasangan serasi, penyanyi terbaik dari tamu serta yang
lainnya dan hal itu biasa dilakukan pada acara-acara seperti itu dan mereka
biasanya akan dikasih kenang-kenangan oleh kedua mempelai. Malam itu ternyata aku
terpilih menjadi Queen dan aku
bersama yang lainnya dipanggil untuk datang mendekati kedua mempelai di dekat
panggung yang sudah berdiri menunggu tamu pantasnya datang. Aku naik panggung
dan secara otomatis bertemu dengan Toby yang selalu ada di panggung dan
sepertinya pria itu sudah menggantikan pakaiannya. Dia tersenyum kepadaku
sambil mengatakan.
“Selamat sudah terpilih menjadi Queen malam ini.”
“Terima kasih, kamu.... kenapa menyanyikan
lagu-lagu itu?”
“Yaaaa.... tapi pas semua.’kan.” sahutnya
seolah merasa menang karena telah menyinggungku. Semakin kesal hatiku rasanya namun aku tidak bisa berbuat
apa-apa, apalagi saat pulang bersama sepupuku Toby ikut mengantar dan minta
minum seakan ingin lebih lama bersamaku meski pesta sudah usai dan malam mulai
larut namun aku tidak memberikannya waktu banyak karena ingin tidur.
Keesokkan harinya aku menemui Razthi, siang
itu gadis itu baru saja pulang dari sekolah namun aku langsung menyampaikan
maksud dari kedatanganku.
“Bi, besok tolong Bibi bilang sama Toby
kalau aku mau pacaran sama dia.” Ujar Helen tanpa tedeng aling-aling lagi namun
gadis itu menanggapinya dengan santai.
“Lagian kenapa juga kalian putus?” hela
Razthi diluar dugaanku.
“Apa? Putus? Jadi selama ini Bibi mengira
aku sama Toby itu sudah pacaran?”
“Lha memangnya nggak?” dia menatap aku
dengan mimik masih tidak percaya karena selama ini dia sering melihat Toby
selalu bersamaku dan kalaupun dia bertemu hanya aku yang dibicarakan oleh Toby bukan
perempuan yang lain jadi aneh rasanya kalau mereka ternyata belum pacaran. Tapi
bisa saja Toby yang selalu mendambakan aku sedangkan gadis itu hanya
menganggapnya sebatas teman saja, tidak lebih. Tapi mengapa sekarang Helen
ingin pacaran dengan Toby? Ada apa ini? Apa yang telah terjadi diluar
pengetahuan Razthi namun bukan itu yang perlu dibahas sekarang.
“Apakah selama ini Toby pernah menyanyikan
lagu dangdut?” tanyaku penasaran.
“Belum pernah sama sekali.” Tegas Razthi dan
itu sudah cukup buatku sebagai bahan masukkan untuk mengetahui apa yang telah
Toby lakukan kepadaku apalagi pria itu sudah mengatakan semua lagu yang ia
nyanyikan malam itu untuk menyinggung aku.
Dan sesuai permintaan akhirku setelah pulang
dari sekolah Razthi terlebih dahulu mampir di rumah Toby yang letaknya tidak
begitu jauh dari tempat ia menunggu mobil angkutan umum. Siang itu ia masuk ke
rumah pria yang kebetulan semua keluarga sudah kenal dengan Razthi. Saat Razthi
memanggil nama Toby ia tidak keluar sampai ibundanya meminta Razthi langsung
masuk saja ke dalam untuk menemui Toby. Di dalam ternyata pria itu sedang makan
siang, pantas saja... kalau sedang makan ia paling tidak mau diganggu oleh
siapapun.
“Aduh, saking nikmatnya makan sampai suara
orang tidak kedengaran lagi. Ada pesan dari Helen, katanya dia ingin pacaran
dengan kamu.” Kata Razthi tanpa merahasiakan apapun dengan Toby. Pria itu
menoleh kepada Razthi seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
Dan menjelang sore, Toby sudah tiba di rumahku
dengan mengendarai sepeda saat aku sedang menonton acara musik di TVRI. Ia
senyum-senyum saja seolah sedang mendapatkan sebuah lotre atau menganggap ada
hal menggembirakan diluar dugaannya.
“Kenapa senyum-senyum....?” kataku merasa
tidak nyaman dengan senyum Toby yang dimataku terkesan melecehkan.
“Tidak apa-apa... hanya saja merasa aneh
dengan sikap kamu, merasa tidak percaya dengan apa yang dikatakan Razthi
kemarin siang tapi setelah mendengar langsung dari kamu rasanya jadi..... kok
bisa ya?” pria itu masih tidak percaya dengan apa yang sedang ia hadapi.
“Yah, begitulah kenyataannya. Sama siapa ke
sini?” aku memaklumi keraguannya yang seolah merasa dipermainkan sekaligus
merasa bangga kalau itu benar terjadi.
“Sama sepupu, gadis kecil tapi aku suruh dia
menunggu di rumah Razthi.” Kata Toby yang ternyata bela-belain naik sepeda menuju
rumahku hanya untuk buru-buru bertemu denganku. Pria itu kembali menatap aku.
“Ada apa sebenarnya? Benar apa yang kamu katakan itu? kamu ingin menjadi
pacarku?”
“Apakah itu menjadi hal yang tidak lazim
untuk kamu? Seorang perempuan mengatakan ingin pacaran kepada laki-laki?”
ujarku merasa diremehkan melihat sikap
Toby yang masih meragukan pengakuanku.
“Bukan, ini kasusnya beda. Aku sudah pernah
mengatakan terlebih dahulu ingin pacaran dengan kamu tapi saat itu kamu mengatakan
belum bisa melupakan seseorang dan tidak bisa menerima cintaku. Apakah sekarang
kamu bisa melupakan orang tersebut?” ia membahasnya.
“Entahlah.... saat kamu menyanyikan
lagu-lagu malam itu aku memang sangat membenci kamu, tapi di sisi lain aku juga
merasakan ada hal aneh yang menjalar di hatiku, apakah itu karena menghilangnya
sosok pria itu atau munculnya benih cinta yang baru? Tapi yang pasti aku tidak
suka dengan lagu dangdut itu seolah mengisahkan seorang perempuan memilih
laki-laki hanya karena uangnya dan kesan dalam lagu itu, sang perempuan sudah
menjadi pacar dari si laki-laki namun ia berpaling hanya karena ada laki-laki
lain yang lebih mapan.” Jelasku, memang Toby tidak pernah menanyakan prihal
pria yang tidak bisa dilupakan oleh aku namun saat ini ia merasa apa yang aku
katakan itu memang benar adanya karena dia dengan aku belum pernah pacaran.
“Yahh.... aku minta maaf, namanya juga
lagu.” Kata Toby tapi ia tidak tahu apa yang sedang dirasakan olehku dan sore
itu aku mentasbihkan sudah resmi pacaran dengan Toby apalagi melihat sikap Toby
yang senyum-senyum bahagia.
*
Bersama dengan keempat temanku yang lain kami
mengikuti acara kemah tiga hari bersama anggota kosgoro menyambut menteri
lingkungan hidup dalam program penanaman sejuta pohon di kecamatan daerahnya,
diantara mereka ada juga Razthi yang masih duduk bangku kelas 2 SMA yang
lainnya sudah menyelesaikan sekolah menengah atasnya. Di acara itu kami dikasih
kaos seragam kosgoro serta sebuah topi, dalam waktu kemah tiga hari itu kami
semua dikasih makanan mie serta yang lainnya. Pada acara puncak pas hari ke
tiga itulah pak menteri datang disambut dengan meriah bahkan panggung
gembirapun diadakan, penanaman sejuta pohon dilaksanakan secara simbolis. Di
tempat itu juga aku bertemu dengan mantan adik kelasku yang dulu pernah menjadi
juara kelas karena setiap juara diumumkan di lapangan dan disebutkan namanya
satu persatu sebelum pembagian raport. Tidak ada yang istimewa karena anak muda
itu hanya lewat di depan tenda kami dan membantu orang sebelah yang belum
selesai mendirikan tenda. Tempat kemah yang ada dilingkungan irigasi dan danau
itu memanjakan para peserta untuk bersenang-senang di danau dengan naik perahu.
Kenangan itu menjadi sejarah sendiri bagiku bersama teman-temanku khususnya
dengan Razthi.
Menjadi kekasihnya Toby tidak seindah yang
aku bayangkan karena seringkali pria itu manggung di luar kota, pindah dari
kabupaten yang satu ke kabupaten yang lainnya sehingga seringkali aku
menghabiskan malam minggu dengan rasa sepi dan kesendirian yang membosankan.
Pernah saat aku mengatakan hal itu namun Toby menjelaskan kalau ia punya foto
dan bisa melepaskan rasa rindunya dengan hanya menatap fotoku namun tidak demikian
dengan aku yang tidak akan bisa melepaskan rasa kangen dengan hal seperti itu
bahkan aku bisa menjadi lebih kangen kalau melihat foto kekasihku. Padahal kami
itu pacaran tidak seperti remaja-remaja yang lain sebab aku punya prinsip ‘tidak
ada yang boleh menciumku kecuali suamiku nanti.’ Toby pun tahu hal itu karena
aku sudah menjelaskan saat pria itu ingin membuktikan kasih sayangnya dengan
cara ingin mengecup pipiku namun dengan pelan dan penuh rasa penghargaan yang
tinggi kucoba mengatakan hal itu dan sepertinya Toby menghargai prinsipku dan
malam minggu itu saat aku duduk sendirian di teras dengan lampu dimatikan namun
bias cahaya terang dari luar juga dari lampu tetangga masih jelas menerangi
teras saat itu muncullah Toby sebelumnya sejenak ia menatap aku dengan rasa
cinta yang dalam dan menyadari betapa aku membutuhkan kehadirannya. Iapun
mengusap-usap kepalaku sekilas tanda betapa ia amat sangat menyayangiku. Bercerita
banyak hal dalam masalah apa saja adalah cara kami menghabiskan waktu dan menyatukan
hati karena besok Toby akan kembali pergi ke kota lain dengan begitu aku
kembali menghabiskan waktu dengan Razthi, gadis yang supel sekaligus punya
suara bagus kalau menyanyi. Namun anehnya adik-adikku tidak begitu menyukai
gadis itu dengan alasan Razthi itu galak dan cerewet namun galaknya Razthi
adalah demi kebaikkan orang-orang yang ia sayangi misalnya menyuruh mereka
pulang ke rumah untuk belajar agar tidak bermain terus di jalan.
Malam itu aku menginap di rumah Razthi
karena kedua orang tuanya sedang menginap di ladang, kami tidak pernah
kekurangan bahan untuk bercerita mengenai isi dunia ini. Obrolan itu terus saja
mengalir sambil kami iseng menempelkan puluhan prangko di kertas karton. Razthi
ternyata banyak juga menyimpan prangko karena ia rajin berkirim surat dengan
kekasihnya yang ada di pusat kota, mereka bertemu hanya sekali dalam waktu enam
bulan saja sehingga surat-menyurat adalah jalan satu-satunya yang mereka
tempuh. Malam itu juga pertama kalinya Razthi melihat aku mengeluarkan air
mata, tidak tahu mengapa bisa kejadian seperti itu.... air mataku menetes saat mengisahkan
tentang Toby. Apakah karena rasa cintaku yang berlebihan atau karena aku sering
kangen dengan pria itu, entahlah.
“Pertama kalinya Bibi melihat aku menangis.”
Ujarku namun tangisku hanya sejenak dan bukan tangis yang berlebihan namun itu
tangis yang tidak bisa disepelekan karena Razthi tahu aku adalah gadis kuat.
Menit berikutnya kami bisa tertawa lagi meski malam sudah sangat larut dan
prangkopun sudah selesai ditempel dan menghasilkan karton lebar yang sudah
dipenuhi tempelan prangko. Saat melihat jam dinding kamar ternyata sudah
menunjukkan pukul tiga pagi dan ketika kami ingin minum namun ternyata tidak
berani pergi ke dapur akhirnya hauspun ditahan sampai kami bisa tidur.
*
Aku didatangi oleh pak kepala desa, pria itu
meminta aku mengikuti acara Pelatihan Manajemen Karang Taruna di pusat kota
yang diadakan oleh pemerintah pusat bidang sosial bersama 91 orang lainnya
berasal dari berbagai kabupaten se-provinsi dan akan berkumpul di sebuah Hotel.
Aku tidak tahu mengapa dipilih oleh kepala desa namun kujalani saja karena
tidak ada ketentuan yang memberatkan disamping itu aku juga punya waktu luang
untuk mengikuti kegiatan itu. Berangkatlah aku dengan mobil yang sudah ditunjuk
oleh kepala desa, semua akomodasi ditanggung oleh pihak pelaksana. Perjalanan
menuju tempat penataran itu akan ditempuh sekitar lima jam dengan naik angkutan
umum. Di atas sebuah jembatan mobil terpaksa menepi karena pecah ban, aku tahu
ada juga orang yang kukenal di dalam
mobil itu karena gadis itu desanya tidaklah jauh dari tempat aku dan sepertinya
dia satu-satunya gadis yang satu grup denganku. Semua penumpang harus turun
dari atas mobil untuk menggantikan ban baru termasuk aku yang turun agak
belakangan, saat kakiku menginjak tanah dan mataku mengarah pada pinggiran
jembatan di mana ada seorang pemuda berdiri di sana dengan posisi
membelakangiku, punggung itu rasanya tidak asing di mataku tapi di mana aku
pernah melihatnya? kucoba mendekati karena di bawah jembatan ada sebuah sungai
yang mengalir menjadi pemandangan tersendiri. Saat aku dekat pemuda itupun
menoleh ke arahku dan akhirnya kedua kami saling menyapa dan tersenyum seolah
saling ingat satu sama yang lainnya.
“Mm... ikut acara pelatihan juga?” tanyaku dan
pria itu mengangguk. “Tapi aku kok tidak melihat kamu?”
“Kamu kan duduknya di depan bagaimana bisa
melihat aku? Waktu aku mau masuk mobil tadi sebenarnya aku sudah melihat kamu
di samping sopir.” Jelas pria itu setengah menggoda. Adik kelasku tumbuh
menjadi pria tampan yang tinggi besar dan benar-benar mempesona ditambah lagi
caranya menghahadapi orang sangat lembut, aku khawatir akan terperangkap dengan
pesonanya.
Sampai di lokasi sudah siang, aku beserta
beberapa anggota yang lain sudah berdatangan dan mereka diminta oleh panitia
untuk mengisi formulir masing-masing tak terkecuali aku dan setelah selesai ia
duduk di ruang tunggu menunggu instruksi berikutnya karena yang lain masih
terus saja masuk. Tiba-tiba mataku melihat seorang gadis tomboy masuk dengan
sangat santai dan cueknya dengan tas ransel di bahu kanannya. Gadis itu
terlihat ramah kepada semua yang ada di ruangan itu dengan kaos merahnya yang
menyala serta celana jeans. Kehadiran gadis itu sempat menyita waktuku sejenak
lalu aku kembali ingat dengan anak muda tadi, di mana dia? Setelah menunggu
beberapa saat panitia membagikan kamar untuk semua peserta agar mereka bisa
isirahat karena nanti pukul tujuh malam sudah ada acara pertemuan di ruang
auditorium.
Aku ada dalam satu kamar bersama dengan tiga
gadis lainnya, tidak ada gadis tomboy itu hanya ada tiga gadis yang sepertinya
keturunan dari pulau Jawa. Saling kenal dan berbasa-basi sekedarnya dan bisa kulihat
kalau ke tiga gadis iu sepertinya sudah lama saling kenal namun itu bukan
alasan bagiku untuk kembali memikirkan gadis tomboy dengan rambut semi bob,
terllihat ramah dan sangat menikmati hidup. Setelah maghrib aku coba keluar
dari kamar untuk bergabung dengan peserta yang lain, ketika ia mau naik ke
lantai dua ia terhalang dengan anak muda yang dari kemarin sudah mengganggu
pikirannya.
“Mau ke mana?” tanya pria itu dengan santai.
“Hanya ingin melihat-lihat saja.” Sahutku
apa adanya.
“Oh, banyak peserta pria di atas.. mau aku
antar?”
“Mm... tidak jadi deh.” Aku mengurungkan
niat untuk melihat-lihat situasi di lantai dua karena tidak lama lagi para
panitia akan meminta mereka untuk berkumpul di ruang makan untuk makan malam
dan setelah itu acara penataran pertama akan segera dimulai.
Seusai acara makam malam semua peserta masuk
ke ruangan yang sudah dipersiapkan untuk mendapatkan ilmu dari para narasumber,
ruangan itu tidak ubahnya disulap seperti kelas yang anggotanya ternyata ada 91
orang terdiri dari 11 perempuan dan 80 laki-laki. Semua anggota mungkin baru
mengetahui apa tujuan dari penataran itu, sebagai putra dan putri yang
berdomisili di desanya masing-masing mereka dituntut untuk bisa membuka
lapangan pekerjaan dan setidaknya bisa menjadi contoh untuk remaja lain untuk
tidak berpangku tangan apalagi mereka semua mewakili dari Karang Taruna
masing-masing dan banyak dari mereka sebenarnya menjabat sebagai ketua Karang
Taruna di desanya. Malam itu juga diadakan pemilihan ketua dari anggota peserta
penataran dan yang terpilih adalah seorang pria yang usianya sekitar tiga
puluhan keturunan Padang yang sudah lama menetap di Provinsi itu dan
kelihatannya dialah satu-satunya yang sudah matang dan telah lama menjadi ketua
Karang Taruna di tempatnya dan ternyata ia sebenarnya pegawai PU.
Malam berikutnya di kamarku penghuninya
berubah ada gadis tomboy itu dan tidak tahu siapa yang pergi dari kamar itu
sehingga gadis itu bisa masuk sungguh aku tidak ingat siapa yang menggantikan
posisinya karena di ruangan itu ada tiga tempat tidur. Yang satunya besar muat
untuk dua orang dan dua lainnya khusus untuk satu orang. Tapi apapun alasannya
mengapa penghuni kamar itu bisa berganti tidak menjadi masalah buatku karena
gantinya tidak mengecewakan. Tidak tahu siapa yang mulai karena dalam hitungan
jam saja Aku dengan gadis itu sudah bisa terlihat sangat akrab. Acara sore
selesai pukul lima dan gadis itu mengajak aku ke sebuah tempat yang ada di
sebelah Hotel, ternyata sebuah warung karena ia ingin membelikan ‘sesuatu’ dan
itu tidak membuatku terkejut sebab dalam hidupku sudah sering menemukan hal itu.
Aku memilih hal lain yaitu sebuah Majalah remaja bulanan dan membeli beberapa
kwaci. Setelah ada di satu kamar maka untuk duduk saat mengikuti seminarpun kami
selalu berdampingan, seminar yang santai namun tidak mengurangi sedikitpun
aktifitas semua anggota yang terlihat serius, narasumber yang kompeten
dibidangnya serta remaja pilihan itu terlihat semangat menimba ilmu, meski aku
dengan teman duduknya sering menikmati kwaci saat seminar berlangsung.
Malamnya di kamar gadis tomboy itu menikmati
apa yang tadi ia beli di warung dan sepertinya ketiga orang yang ada di sisi
lain kamar terlihat tidak menyukai kebiasaan gadis itu terlihat sekali mereka
bisik-bisik, aku memaklumi sikap mereka. Malam terus beranjak dan gadis itu
masih saja menikmati hobinya yang tidak semua orang suka. Aku yang tiduran-tiduran
di ranjang mengamati gadis itu karena dari tadi aku menemani gadis itu
berbincang, malam makin larut namun aku bersama gadis itu masih saja berbincang
meski tidak berani mengeluarkan nada keras karena ada dua orang yang sudah
beranjak tidur. Kini aku turun dari ranjang dan duduk dihadapan gadis itu
seolah kisah yang gadis itu ceritakan menjadi hal yang luar biasa untukku.
Tidak tahu mengapa gadis itu mengutarakan semua hal yang dia alami selama ini,
dari kisah asmara dan rasa sakit yang pernah ia alami sepanjang perjalanan
hidupnya. aku semakin tertarik dan merasa makin sayang kepada gadis itu,
sehingga tidak ada celah yang membuat kami berpisah. Setiap istirahat seminar
baik siang, sore ataupun malam kami selalu terlihat bersama. Suatu sore kedua
gadis itu keluar dari Hotel menuju sebuah barak polisi di tengah kota, gadis
itu ingin bertemu dengan salah satu temannya anggota polisi di sana tapi
sayangnya temannya sedang tidak ada di tempat. Akhirnya kami menuju tempat
wisata yang ada dipinggir laut, kami naik ke atas Benteng lalu duduk diatas itu
untuk menikmati pemandangan laut yang luar biasa menakjubkan. Aku memegang
sebuah majalah dan sekali-kali membacanya disela gadis itu bercerita tentang
kota yang selama ini sudah menjadi rumah kedua baginya. Aku tidak tahu apa
kelebihan gadis itu di mataku sehingga aku betah ada didekatnya selain nyaman,
seru juga tapi yang pasti aku menghargai gadis itu karena sudah mempercayai
dirinku untuk bisa dekat dengannya diantara sembilan gadis yang lain.
Minggu pagi dan siang tidak ada acara
seminar kecuali malam nanti dan anak-anak bisa main keluar bahkan mengunjungi
sanak saudara mereka kalau ada yang tinggal dekat dengan Hotel. Pagi itu anak
muda sang mantan adik kelas mendekatiku dan bermaksud mengajak aku keluar dari
Hotel untuk mengunjungi pantai. Lokasi Hotel memang tidak jauh dari pantai
meski harus dua kali naik angkutan umum tapi jaraknya saling berdekatan. Tapi
anehnya pria itu malah pamit dulu kepada gadis tomboy itu.
“Aku ingin mengajak Helen keluar, boleh ya?”
“Boleh-boleh saja dengan satu syarat tidak
boleh lama-lama.” Ujarnya santai seolah menganggap aku itu adalah adiknya dan
ia ingin menjagaku. Mendengar kata-kata gadis itu membuatku merasa senang
karena merasa tidak sendiri di Hotel itu meski kebanyakan gadis lain tidak
menyukainya gadis tomboy itu dalam arti lain, satu nilai tambah yang membuat
aku suka sama gadis itu karena ia pandai bernyanyi sekaligus suaranya lumayan
indah.
“Kenapa meminta izin segala dengan gadis
itu?” Aku ingin tahu mengapa anak muda itu meminta izin kepada temanku.
“Karena saat ini dialah satu-satunya orang
yang dekat dengan kamu. Terlihat dia menjaga kamu dan sangat menyayangi kamu.”
Tuturnya agak berlebihan.
Di Pantai, kami mengambil tempat duduk di
bawah tenda yang tempat duduknya terbuat dari semen sekaligus ada meja
permanennya. Sambil menikmati kacang kulit mereka bercerita tentang masa
sekolah dulu, perhatian keluarga masing-masing dan ke mana mereka setelah tamat
SMP. Tidak ada hal yang istimewa dibicarakan namun kami merasa sangat bahagia
di sore hari itu bahkan sampai menikmati sunset.
Di Hotel gadis tomboy itu merasa tidak
tenang karena aku belum kembali juga padahal acara seminar malam sudah akan
dimulai. Aku buru-buru mandi sebab waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam.
Pria itu sepertinya masuk terlebih dahulu karena saat masuk aku mendengar suara
gadis tomboy itu.
“Hai, Helen di mana?” ujarnya dengan nada
kekhawatiran sekaligus tidak senang dengan anak muda yang tidak memegang
janjinya untuk tidak lama-lama membawaku.
“Ada di belakang.” Sahut pria itu bersamaan
dengan munculnya aku yang tidak jauh dari punggung pria itu dan langsung
bergabung ke meja gadis tomboy itu setelah
minta maaf kepada pemberi materi yang baru saja berdiri di depan anggota
seminar.
“Hei...” Aku menyapa teman sebangku-ku.
“Kok sampai malam?” sahut gadis itu sekedar
ingin tahu.
“Tanggung karena mau melihat sunset.” Jawabku dengan jujur.
Makin hari acara seminar di Hotel itu makin
mengasyikkan satu dengan yang lain makin akrab. Satu dua pria mulai
memberanikan diri mengajakku bicara bahkan tak segan-segan menggoda meski dalam
kesopanan. Namun aku hanya berbagi kisah dengan gadis tomboy itu karena aku
melihat hanya gadis itu yang tulus. Yang paling mengagetkanku adalah saat sang
ketua coba mendekati aku dan langsung saja gadis tomboy itu menjelaskan kalau
ia kenal dengan pria itu yang ternyata sudah punya isteri, perkara ia sudah
pisah atau belum itu bukan urusannya, intinya ia tahu kalau pria itu sudah
punya isteri. Pria itu memang ramah tapi tentu saja bukan tipeku tentunya.
Aku dan gadis tomboy itu jadi akrab dengan beberapa
pria yang lain dan kami menjadi teman, gadis itu memberitahukan kepadaku kalau
diantara mereka ada yang berulang tahun, sore itu kami pergi ke warung untuk
membelikan hadiah ulang tahun untuk salah satu teman mereka. Dan gadis itu
mengusulkan untuk membungkus kwaci dalam jumlah banyak dengan alasan karena
mereka menyukai makanan kecil itu. lucu juga sih, sekaligus membuat kejutan
yang sedang berulang tahun, mereka senang setelah membuka kado yang dibungkus
dengan rapi itu. moment itupun diabadikan sebuah kamera karena kami memberi
kejutan itu di ruang istirahat Hotel.
Saat-saat terakhir anggota seminar diberi
tugas keluar untuk melihat perkembangan desa-desa terdekat yang ada di
lingkungan, mereka harus melakukan observasi langsung dan bertanya kepada warga
mengenai manfaat lingkuangan dan tanah kosong yang ada di halaman rumah warga.
Yang membagi kelompok mereka tentunya sang ketua dan pria itu memisahkan aku
dengan gadis tomboy itu dan dia sendiri malah satu grup denganku bersama dengan
sepuluh orang lainnya. Dari pagi kami mengadakan kunjungan ke sekretariat RT
terdekat dan bertemu dengan pengurus RT, setelah mengadakan pertemuan itu kami
langsung mendatangi ke rumah-rumah penduduk untuk sekedar mengetahui peran anak
muda dalam keluarga. Setelah jelang siang dan tugas telah selesai maka sang ketua
membawa rombongannya untuk jalan-jalan ke sebuah tempat wisata yang ada di
pinggir laut. Di mana ada bangunan-bangunan bersejarah peninggalan Belanda.
Dikesempatan itu sang ketua selalu menyempatkan diri untuk mengajak aku foto
bersamanya. Kami menggunakan seragam yang disediakan oleh pelaksana.
Malamnya anggota mengadakan diskusi mengenai
hasil observasi tadi siang dan dalam diskusi itu aku melihat sang adik kelasku
lebih dominan, entah dia sengaja eksis karena kemampuannya atau ingin
memperlihatkan sisi lain dirinya kepadaku.
Keesokannya adalah hari bebas karena lusa
kami akan kembali ke desa masing-masing. Hari itu sang ketua meminta anak-anak
mengumpulkan pas foto ukuran kecil dan
menyerahkan alamat lengkap untuk dibuatkan buku album yang nantinya akan
diberikan kepada masing-masing peserta. Hmm... cukup kreatif!
Malam itu adalah malam terakhir kami ada di
Hotel, tidak ada penataran malam terakhir itu sehingga mereka menggunakan waktu
dengan makan bersama di luar yaitu di tenda pinggir jalan. Aku dan teman-temanku
memilih makan sate sambil menghabiskan malam untuk beberapa jam di luar bahkan
duduk di pinggir jalan.
Pagi itu setelah sarapan semua sudah siap
untuk kembali ke Desa masing-masing, siap dengan barang-barang serta tas juga
dengan album kenangan tentuya serta sebuah amplop yang isinya sekedar uang saku
unrtuk anak-anak yang mungkin dikeluarkandari dinas sosial. Mini bus sudah
menunggu di depan Hotel untuk mengangkut yang tempat tinggalnya jauh dari
Hotel. Aku akan kembali ke Desaku dengan membawakan apa yang telah didapat di
tempat itu dari beberapa orang pengajar yang kesemuanya berasal dari pusat. Di
jalan saat mini bus itu berhenti agar anak-anak bisa makan di warung makan dan
anak muda itu selalu berusaha dekat denganku sampai membantu aku membawakan tas
dan ia juga coba membayar makan siangku di rumah makan itu. aku tidak mau
terlalu cepat mengambil kesimpulan kalau pria itu menyukaiku meski kutahu waktu
di tempat penataran banyak yang berusaha mendekatiku dan pelan-pelan mundur
karena aku tak ingin memberi harapan kepada mereka meski ada satu dua yang kusukai
namun sekedar teman biasa saja.
Sebelum sampai di rumah orang tua aku
terlebih dahulu mampir di rumah kakak perempuanku yang sudah menikah karena ia
sudah membelikan sebuah jaket untuk keponakanannya yang berusia empat tahun.
Setelah itu ia baru pulang, malamnya aku langsung menemui Razthi karena
disamping kangen iapun akan bercerita banyak kepada gadis itu. meski sudah
pacaran dengan Toby tetap saja pria itu jarang pulang karena sibuk dengan
urusan band-nya. Saat mau berangkat Razthi memang sangat mendukungku dan saat
aku pulang iadipun langsung bertanya apa yang didapatkan. Aku menjelaskan kalau
aku dituntut untuk membagi apa yang telah dapat kepada semua teman remaja di Desa
kami dan satu-satunya cara adalah dengan mengumpulkan mereka maka langkah
pertama dilakukan adalah mengundang mereka untuk berkumpul di sekretariat Desa.
Aku ditemani Razthi mendatangi satu persatu rumah anak remaja yang ada di Desa
tersebut yang mungkin anak mudanya tidak kurang dari seratus orang.
Saat malam yang ditentukan dan ternyata yang
datang ke sekretariat Desa tidak lebih dari tiga puluh persen memenuhi undangan
itu yang lainnya sibuk bersenda gurau di pinggir jalan bahkan sekedar santai
dengan teman-temannya yang lain. Namun Helen harus menyampaikan niatnya kepada
yang sudah hadir yaitu untuk
meningkatkan kegiatan Karang Taruna di Desa mereka yang selama ini nyaris
tenggelam, tapi entah mengapa tanggapan mereka dingin-dingin saja membuat aku
merasa tidak mendapatkan tantangan dari semua orang yang hadir malam itu.
Razthi masih sibuk sekolah dan aku tetap
saja menjalani kehidupanku yang belum jelas, sore itu sang anak muda datang ke
rumahku dengan tenang dan penuh keyakinan akhirnya sore itu juga ia mengatakan
kepadaku bahwa dia mencintai di depan adik bungsuku. Hmm... sudah banyak pria
yang mengatakan perkatakan yang sama seperti itu namun pria yang satu itu
teramat sopan dan terus terang juga sangat jantan saat mengatakannya meski usianya
satu tahun dibawahku sehingga di mataku ia termasuk pria yang istimewa. Dengan
hanya tersenyum aku menanggapi ucapannya karena dari acara pelatihan aku
sebenarnya sudah bisa menebak perasaan pria itu namun tidak ingin gegabah
karena sesungguhnya tidak ada yang benar-benar tahu isi hati seseorang.
Kehadiran pria itu aku kenalkan juga kepada sahabatku Razthi dan juga
menjelaskan kalau pria itu adalah adik kelasku yang juga ikut penataran waktu
itu dan sudah bisa Razthi tebak kalau hubungan mereka tidak biasa. Aku memang
disukai banyak pria tapi Razthi tahu perasaanku lebih berat kepada Toby meski
Toby tak begitu banyak waktu untukku sehingg aku seringkali merasa sendirian
meski ada Razthi yang selalu siap mendengar setiap keluh kesahku.
Mulai sejak itu kebiasaan mencoret-coret di
buku yang diberikan salah satu temanku mulai digemari lagi olehku untuk sekedar
menumpahkan perasaan melalui tinta di kertas putih.
BALADA...
Mentari
menjelma, Aku gelisah tidak tahu mau ke mana harus melangkah. Angin senja menjemput
duka..menyapu... dan aku tersiksa. Melamun...disiang hari waktu habis cuma tuk
melamun Menyendiri dan sendiri... kucoba mencari kesibukan.. sia-sia. Mentari
telah tertidur sang dewi malampun terjaga, tersenyum....Namun bathin tambah
tersiksa....dalam penantian.
Penantian?!
Oh, aku tidak tahu apa sebenarnya yang aku nanti? Apakah cuma menanti muncul
dan terbenamnya mentari dan rembulan?
Apa
ini? Mengapa tidak ada lagi perasaan rindu ini untuk kamu? Apakah karena aku
terlalu yakin kau mencintaiku? Kau coba menjadi kekasih yang setia dan coba
menjadikan aku juga sebagai kekasih setiamu Namun telah bersusah payah kubina
kesetian itu akhirnya kau sia-siakan...
Haruskah
aku kecewa? Aku yakin dengan cinta dan ketulusanmu tapi hanya sebatas itu,
karena kenyataannya kamu rela membiarkan aku sendirian tanpa mau tahu apa yang
terjadi padaku.
Aku
terlena dengan kesetiaan yang telah sirna, Aku tidak bisa menyalahkan
siapa-siapa...tetapi haruskah aku menyalahkan cinta? Atau barangkali cintaku
yang sia-sia?
Kau
taburkan cinta dihatiku, kau siram dengan kasihmu, Walau akhirnya kau juga yang membunuhnya. Mengapa harus
terjadi? Perjalanan cintaku memang unik dan mengesankan..terkadang menyedihkan.
Cinta
memang pernah hilang, sepi jadi teman abadi, kau temukan cintaku bersama
sosokku..tapi kini kau yang menghilang. Kau tinggalkan cintamu bersamaku. Kau
berikan beban cinta...
Aku
pernah menikmati kekosongan...hidup hampa, tapi tak sepahit cinta tanpa
kepastian. Laksana dewa penolong kau selamatkan cintaku, tetapi setelah itu kau biarkan cinta
itu bersemi sendiri...
Kini muncul pria lain yang mencoba masuk ke
dalam hatiku haruskah aku menepisnya? Apalagi aku merasa banyak sekali kesamaan
di antara kami berdua. Siang itu aku sedang ada di rumah Razthi kebetulan ada
tukang pos mampir di rumah itu membawakan surat untuk Razthi yang senang sekali
berkirim surat dan iseng aku bertanya kepada tukang pos.
“Ada buat saya tidak, Pak?”
“Coba saya lihat dulu.” Ujarku. Pak pos
memang sudah kenal dengan baik denganku karena sering menerima surat dari kakakku y ang ada
diluar kota dan tak jarang waktu sekolah aku sering mendapatkan wesel yang
dikirim kakakku dan setiap kali menerima wesel kuberitahukan kepada kedua orang
tuaku meski wesel itu untuk keperluan sekolahku dan juga adik-adikku. “Ada
ini....” kata pria itu setelah menemukan surat yang ternyata tertulis untukku.
Razthi yang mengira itu dari kekasihku yang ada di luar kota langsung meraih
surat itu dari tangan pak pos sebelum sampai di tanganku.
“Yaaahhhh dari perempuan.....” nadanya agak
menyesal setelah melihat nama pengirimnya.
“Sini...” Aku kaget mendengar nama perempuan.
Setelah surat itu ada ditangan aku langsung mengukir senyum indah. “Apbriel.”
Gumanku agak berseru karena kangen sekali dengan gadis itu. pria itu bisa melihat
betapa sumringahnya aku saat mendapatkan surat dari Apbriel seorang gadis yang
juga dia kenal, ia juga seolah bisa
merasakan kebahagiaanku sebab ia tahu betul betapa dekatnya aku dengan Apbriel.
“Siapa Apbriel itu?” Razthi bertanya kepada
pria itu yang dari tadi ikut melihat keasyikanku dengan
Razthi saat
mengerumuni pak pos sedangkan ia sendiri hanya mampir karena melihat ada aku di
depan rumah Razthi.
“Temannya waktu seminar.”
“Oh...”
Pria itu siap-siap pergi namun sebelumnya ia
menawarkan kepada kedua gadis itu. “Mau ikut tidak?”
Aku menyimak mobil yang dibawa oleh pria itu
dan menyadari hari sudah mulai sore aku menolak dengan halus. “Tidak, terima
kasih. Hati-hati ya di jalan.” Sahutku dan sepertinya lebih tertarik untuk
membaca surat dari Apbriel daripada ikut pria itu ke Pasar terus balik lagi
tanpa tujuan yang jelas. Aku dan Razthi melepaskan pria itu lalu mereka berdua
kembali masuk ke rumah. Melihat aku membawa surat membuat ibunda Razthi
bertanya.
“Surat dari siapa?”
“Dari temannya, perempuan.” Razthi yang
menjawab.
“Yah, kirain dari pacarnya.” Goda nenek
membuatku jadi agak bingung karena mereka tahu aku itu adalah pacarnya Toby
tapi entah mengapa seolah mereka berharap aku punya kekasih yang lain.
Saat membaca surat dari Apbriel tak lepas
mulutku menciptakan senyum indahnya, gadis itu menanyakan kabarku dan
bla....bla...bla...
“Helen.... bikin kopi ya.... kita belum
ngopi nih.” Razthi mengalihkan keasyikanku.
“Oke.....” jawabku yang sudah selesai membaca
surat dari Apbriel lalu meletakkan surat itu diatas meja yang ada di ruangan
tengah itu di mana kami seringkali menghabiskan waktu bersama menikmati kopi
juga tempat Razthi menikmati rokoknya. Pertama mengetahui gadis itu merokok
membuatku rada kaget juga tapi itulah dia. Tidak tahu apakah saat aku ke dapur
Razthi membaca surat itu atau tidak? aku tidak tahu tapi memang gadis itu
mencuri melihat sekilas meski tidak begitu tertarik mengetahui isinya. Razthi
bukan tipe orang yang cemburu kepada teman karena ia yakin aku adalah temannya
seorang namun tidak demikian denganku.
“Hemmm.... baru kali ini kamu bisa membuat
kopi yang benar-benar terasa nikmat.” Puji Razthi sesaat setelah ia mencicipi
kopi buatanku karena selama ini kopi yang aku buat selalu saja ada yang salah,
kalau tidak kemanisan ya kurang kopi padahal Razthi dan aku menyukai kopi agak
pahit. Selama ini Razthi yang selalu membuat tapi lama-lama Razthi memintaku yang membuat meski baru saat itu terasa pas.
“Yah, kan sudah sering belajar... masa tidak
bisa-bisa.” Balasku bangga.
Aku masih saja merasa tidak betah ada di
Desa oleh sebab itu kucoba menginap di rumah kakak perempuanku, jarak rumah itu
sekitar satu setengah jam perjalanan naik mobil. Desa itu sangat dingin
sehingga seringkali turun hujan, satu dua aku mulai akrab dengan remaja
lingkungan itu baik laki-laki ataupun perempuannya.
Suatu malam aku akan menghadiri acara pernikahan
seorang tetangga kakakku dan perempuan itu sudah kenal dekat denganku. Tapi
hari itu aku sedang ada ada di rumah orang tuaku namun besok malam harus ada di
rumah kakakku tapi sebelum ke Pasar dulu untuk membelikan sebuah kado bagi kedua
mempelai. Saat turun dari mobil tiba-tiba Toby menghampiriku tidak tahu kapan
pria itu pulang dari luar kota. Aku tidak menanyakannya dan ia juga tidak
memberitahukannya. Entah seperti apa hubungan kami? aku sebenarnya masih
merindukan pria itu tapi Toby...? pria itu terlalu dewasa mungkin untukku, ia
tahu apa yang ada di hatiku dan tak pernah sakalipun ia melarangku untuk dekat
dengan siapa saja yang aku sukai. Meski masih hijau bagi Toby namun aku tidak
akan memperlihatkan cintanku yang mungkin orang anggap berlebihan. Tidak bisa
dipungkiri kalau kehadiran Toby yang mendekatiku mengundang tanya banyak orang
disekelilingnya mempertanyakan apakah gadis itu kekasihnya Toby? Sebab pria
seperti Toby tidak mungkin menyukai perempuan sembarangan, selain ia memang
diidolakan ia juga terlahir dari keluarga terpandang. Kedua orang tua Toby juga
sudah kenal denganku dan mereka sudah menganggap aku seperti anaknya sendiri
karena setiap aku main ke rumah Toby mereka menyerahkan apapun yang aku
inginkan dan membuatku merasa tidak enak hati.
Di toko besar itu aku membelikan kado yang
langsung dibungkus, pemilik toko melirik Toby yang di sebelahku dengan
senyum-senyum menggoda Toby yang jarang sekali menggandeng perempuan apalagi di
siang hari. Wanita keturunan China itu melihat kebahagian Toby bersama aku.
“Mau ke undangan ya?” ia menatap aku lalu ke
Toby.
“Ya... Cik, tapi jauh....” aku-pun
menyebutkan nama Desa yang dimaksud jauh itu.
“Tidak jauh kok...” Toby malah menyebut
tidak jauh sembari tersenyum kepada pemilik toko lalu menoleh padaku. Tidak ada
di antara kami apakah akan pergi bersama atau Toby akan kembali bergabung
dengan band-nya. Pria itu tidak pernah lagi memberitahukan kapan ia pulang dan
pergi.
Aku sudah ada di rumah kakak bersama adik
perempuanku yang usianya pas dibawahku. Aku memiliki tiga orang adik, dibawahku
perempuan lalu laki-laki terus perempuan lagi. Aku jarang sekali memakai rok
namun malam itu ia menggunakan rok yang ia beli saat di luar kota. Pengantin
perempuan kenal dengan aku namun tidak dengan yang pria. Selama dua puluh lima
hari akuS tinggal di rumah kakak dan tidak sedikit yang kenal denganku termasuk
salah satu pria Ir. Pertanian itu yang sejujurnya aku tidak suka karena
sikapnya agak kekanak-kanakan.
Bersama dengan adikku kami mengambil tempat
duduk di tengah dan tidak terlalu belakang namun cukup jelas melihat kedua
mempelai yang sedang berbahagia. Tidak disangka ternyata di depanku sudah ada
Razthi, hmm.... memang benar-benar gadis penikmat pesta ternyata dia. Tidak tahu mengapa sebelumnya aku tidak
mengetahui gadis itu akan ada juga di tempat itu karena aku mengira kondisinya
masih sebagai pelajar tidak mungkin akan menghadiri pesta sejauh itu. kalau
sudah bertemu dengan Razthi maka aku akan lupa dengan orang-orang sekelilingku
tapi tidak dengan pria yang jadi teman pengantin pria sebab pria itu puluhan
kali lebih keren dari sang pengantin.
“Wah, kayaknya pengantin salah pilih
pendamping tuh ya, Bik.” Kataku dan langsung diiyakan oleh Razthi.
“Ya..... jadinya orang pada melihat ke pria
itu deh. Sudah tampangnya kayak bintang film gitu.”
MC pria yang juga kenal baik denganku dan
kakakku sebab dia masih ada hubungan dekat sekali dengan suami kakakku sudah
membawakan acara dari tadi, mulai pengantin membawakan lagu kesayangan mereka
dan penyanyi dari grup band itupun sudah membawakan lagu perdana mereka. Kini
MC sudah ada dua dan yang satunya seorang perempuan kebetulan aku tidak kenal
dengan perempuan itu, mungkin ia dari pihak pengantin pria.
“Oke..... dari tadi kita sudah mendengar
pengantin menyanyi dan anak-anak band juga sudah menyanyi maka sebelum masuk ke
lagu dari Anda untuk Anda sebelumnya saya ingin memanggil adik saya yang datang
dari jauh untuk membawakan sebuah lagu di atas panggung ini.”
“Siapaakah diaaaa....?” MC perempuan
menambahkan seolah ingin menghidupkan suasana karena sudah pasti rekannya telah
memberitahukan siapa yang akan mereka panggil
berikutnya. Sedangkan aku merasa mulai gelisah karena kalau pria itu
mengatakan adiknya maka tidak lain dan bukan maka akulah orangnnya karena
hubungan mereka memang sudah seperti adik kakak lantaran pria itu adalah sepupunya
kakak iparku.
“Diaaaa..... adalah... Heeeeelleennn.”
Tidak sedikit mata mencari orang yang
bernama Helen di dalam ruangan yang penuh dengan muda-mudi itu apalagi band
yang di pakai pengantin adalah band ternama juga sengaja dipanggil dari luar
kota. Mungkin band itu termasuk saingan terberat dari band-nya Toby.
“Gila tuh orang..... mengapa ia panggil aku
ya, Bik?” tanyaku kepada Razthi yang tahu pasti kalau aku tidak pernah mau
menyanyi di tempat semacam itu.
“Sudaaah... cuek saja... sana cepat...” kata
Razthi memberi semangat ketika MC kembali memanggil namaku untuk maju dan
akhirnya aku-pun bangkit dari tempat duduk. Beberapa saat kemudian setelah aku
sudah ada diatas panggung dan sebelumnya anak band mengiringku dengan intrumen
klasik dengan gitar listrik yang seakan memecahkan gendang telinga.Aku bicara
kepada salah satu gitaris dan pria itu mendekatkan telinganya ke arah bibirku
untuk mendengarkan lagu apa yang akan dibawakan olehku dan setelah tahu ia
memberiahukan kepada temannya yang lain. Aku menghadap ke arah depan dan luar
biasa kagetnya karena ternyata panggung itu sangat tinggi dan penonton yang ada
di lapangan ternyata sangat banyak meski hanya kepala dan wajah-wajah mereka
saja yang terlihat. Belum lagi para tamu muda-mudi yang khusus mendapat
undangan dari pengantin selain itu diluar tarup adalah manusia-manusia yang ada
di desa itu ditambah para tetangga desa.
Aku membawakan lagu yang dipopularkan oleh
Yuni Shara tidak peduli apa pandangan orang dengan lagu tersebut dan merasa
amat sangat santai membawakan lagu itu meski suara gitar listrik itu agak
memekakkan telinga. Sungguh itu pertama kalinya aku menyanyi di depan umum,
tidak tahu apa yang mendorongku untuk maju padahal aku tahu pasti banyak sekali
yang jago menyanyi dengan suara yang bagus terutama Razthi namun aku bisa
menyelesaikan lagunya dengan indah.
Setelah selesai menyanyi aku melihat ada Toby yang masuk diantara para
undangan yang lain, sang Insinyur terlihat tidak tenang dan gelisah mungkin ia
ingin mendekati aku tapi tidak punya cukup keberanian untuk itu. Aku tahu pasti
kalau Toby tadi mendengar aku menyanyi, ia datang makanya ia mengatakan tempat
itu tidak jauh. Tidak tahu siapa yang memulai hingga aku bisa menghabiskan sisa
waktu malam itu bersama Toby di rumah kakakku. Kami berbincang di ruang tamu
yang otomatis terdengar semua siapa yang sedang menyanyi terutama saat Razthi
menyanyikan lagu slow rock dan tidak sia-sia karena
dipengunjung acara ia dinobatkan sebagai penyanyi terbaik. Malam terus beranjak
tanpa terasa dua jam lebih Toby dan aku menghabiskan waktu bersama di rumah
kakakku yang saat itu memang sedang ada di rumah juga.
Setelah malam itu aku tidak pernah lagi
bertemu dengan Toby dan anehnya malah pendampingnya pengantin pria itu jadi dekat
denganku tapi itu tidak penting karena setiap kali ada orang keren yang
mendekatiku komentar orang selalu sama yaitu Helen hanya mencintai pria karena
tampangnya saja dan hal itu aku dengar sendiri dari adikku yang ternyata juga
mendengar dari orang lain.
Rasa tidak betahku makin memuncak saat
orang-orang yang kukenal membohongiku karena mereka berjanji akan mengajak aku
untuk ikut bekerja di Jakarta. Perempuan-perempuan itu meninggalkanku tanpa
mengabarkan terlebih dahulu padahal semua mereka mengatakan mencari kerja di
Jakarta itu gampang, mereka itu adalah kakak kelasku waktu masih di SMA yang
sudah terlebih dahulu bekerja di Jakarta dengan bermodalkan ijazah SMA.
Mendengar kegundahanku sang Bapak akhirnya ikut bicara.
“Kamu mau ke Jakarta? Gampang kok, di sana
ada Tante kamu yang sudah puluhan tahun menetap dan sudah menjadi warga DKI.”
Ujar pria bijak itu seolah tidak suka anaknya dibohongi orang, ia tidak akan
menyuruh anaknya pergi dari rumah tapi kalau anaknya punya keinginan itu ia
sangat mendukungnya sekalipun anaknya mau ke luar negeri.
Kebetulan sang adik kelasku pernah bekerja di
Jakarta selama lebih kurang enam bulan
dan ia akan kembali ke sana untuk meneruskan pekerjaannya dan kami memang sudah menjadi sepasang kekasih.
Menjadi kekasih Toby seperti tidak pacaran
dekat dengan pria pendamping pengantin banyak yang tidak suka meski pria itu
berusaha keras untuk serius denganku dan sang Insinyur mundur secara perlahan.
Aku memang tidak bisa dekat dengan satu orang pria manapun, tidak pernah
memberi janji atau harapan kepada mereka karena sejauh ini ia merasa
perjalanannya masih sangat panjang jadi tidak ada satupun yang bisa
menghalangiku untuk pergi.
Dekat dengan si Anno, pria adik kelas itu
diketahui oleh ibundaku tapi sang Bapak hanya mengetahui kalau pria itu masih
ada hubungan keluarga dengan mereka meski bisa dibilang tidak ada hubungan
darah. Namun bagiku saat bapak mengatakan kalau kami masih ada hubungan
keluarga menjadi aneh rasanya.
“Helen ini sebenarnya kamu panggil dia
dengan Bibi.” Ujar sang Bapak karena kakeknya si Anno masih ada hubungan
keluarga dengan beliau. Mendengar sebutan itu membuat Anno selalu menggodaku
dengan sebutan Bibi...Bibi...dan Bibi namun ia merasa tidak rela kalau harus
memanggil gadis yang dicintainya dengan sebutan semacam itu. pun dengan aku
merasa tidak suka dan ia beranggapan kalau bapakku mengatakan hal itu supaya
Anno bisa menjagaku diperjalanan ke Jakarta nanti. Hanya itu yang ada dipikiranku
karena kami saling mencintai dan juga hubungan keluarga itu pastinya masih amat
sangat jauh bukan satu buyut, bukan pula satu silsilah.
Aku akan berangkat ke Jakarta dengan
persiapan yang benar-benar sudah matang, dari surat pindah bahkan semua
perlengkapan yang lainnya. Waktu mengunjungi rumah nenek yang anaknya tinggal
di Jakarta aku mendapatkan sepucuk surat untuk diberikan kepada tante yang di
Jakarta. Lupakan semua tentang segala jenis hubungan baik itu percintaan,
pertemanan bahkan harus rela meninggalkan keluarga tercinta, aku merasa kepergiaannya
kali ini tidak sama saat pergi ke rumah kakak karena aku merasa telah
menggantungkan impian untuk menemukan sebuah mimpi indah. Saat aku mengatakan
akan pergi ke Jakarta kepada Razthi lagi-lagi gadis itu memberi dukungan penuh.
Tapi...... sebelumnya Razthi sempat bingung karena aku menanyakan satu hal...
“Bi.... sang pendamping pengantin itu
melamar aku setelah ia tahu aku mau berangkat ke Jakarta pakai membawa barang
segala sebagai tanda. Bibi tahu kan kalau pria itu bekerja sebagai karyawan di
sebuah bank swasta.”
“Ya aku tahu kamu sudah pernah
memberitahukannya... apa ada kabar dari Toby?”
“Tidak, sama sekali tidak ada.” Nada suaraku
mulai gamang karena langsung teringat dengan pria itu.
TUHAN.....
Aku
tidak ingin masalalu yang kualami terulang kembali, jalan yang panjang, gelap
dan berliku membuat aku terdampar
dilembah duka, aku tidak ingin menikmati cinta ini hanya sebatas mimpi.
Kasih,
rindu dan rasaku padamu kuingin kau tidak hanya sebatas mengerti...berbuatlah...jangan
biarkan aku menikmati sendiri rindu ini...aku tidak sanggup, terlalu berat
rasanya.
Keyakinanku
terkadang sering goyah oleh sikapmu, berulangkali kucoba tuk mengerti kamu,
terkadang aku merasa bersalah sendiri. Sering kudengar kata-kara sumbang
tentangmu membuat aku coba memahami... apa sebenarnya semua ini?
Terkadang
perasaan membuat kuharus mengalah tak jarang membenci diri sendiri, kucoba
mengerti posisimu dan posisiku... disinilah terkadang membuatku tak habis pikir
dan akhirnya pasrah..
Razthi tentunya tidak ingin melihat
sahabatnya sakit hati, satu hal yang tidak pernah ia katakan kepadaku kalau
dulu Toby pernah menjalin asmara dengan salah satu orang yang satu kelas dengan
Razthi. Kalau saja aku tahu maka ia tidak akan pernah menerima Toby menjadi
kekasihnya sebab selain punya prinsip tidak ada yang boleh menciumku juga punya
prinsip tidak akan menjalin asmara kepada pria yang pernah pacaran dengan orang
yang kukenal setidaknya aku tahu siapa orang itu meski tidak kenal dekat. Aku
pantang pacaran dengan pria yang dulunya pernah dipacari orang yang bisa
mengenalku. Meski persiapan sudah matang aku masih saja bertanya kepada Razthi.
“Bi.... apa yang harus aku lakukan? Menerima
lamaran itu atau pergi?”
“Sungguh aku tidak tahu dan harus memberikan
jawaban apa padamu, sebaiknya kamu tanya sama kakak perempuanku yang sudah
menikah saja... ia pasti bisa memberikan jawaban yang kamu inginkan.” Meski aku
memanggil gadis itu dengan sebutan bibi maka ia tentu saja tidak berani
memberikan masukan yang mungkin nanti akan berakibat fatal untukku karena ia
masih muda dua tahun dariku. Kalau ia menuruti kata hatinya ia tidak akan
pernah mengizinkan aku pergi darinya dan kalaupun pergi harus menunggu ia
selesai sekolah dan akan pergi sama-sama nanti.
>>>>
Bersambung :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar