Senin, 01 Desember 2014

Satu Rumah Tujuh Lentera


1 RUMAH 7 LENTARA
( Helen, Razthi, Esty, Lexa, Liliana, Apbriel, Gendys, dan Elyana )
**
PERTEMUAN
   Jelang fajar, seorang perempuan ditemukan oleh pengurus rumahnya dalam keadaan tidak sadarkan diri tergeletak di depan pintu kamarnya. Di dalam genggaman tangannya ada secarik kertas yang bertuliskan ‘jika terjadi hal yang tidak diinignkan menimpa aku maka tolong hubungi ke tujuh nomor ponsel dibawah ini.’
   Seorang pengurus rumah yang panik bukannya menghubungi nomor-nomor yang tertera di kertas itu malah menghubungi sebuah ambulan agar perempuan itu dibawa ke rumah sakit karena melihat ada noda darah yang keluar dari kepalanya dan sebuah meja kecil yang terbuat dari kayu terlihat bergeser dari tempatnya.
   Tidak berapa lama kemudian ambulanpun datang dan membawa perempuan itu ke rumah sakit ditemani pengasuhnya yang setengah baya. Diruang tunggu ia terlihat panik dan bertanya-tanya sendiri mengapa perempuan itu bisa jatuh di depan pintu kamarnya tanpa ia dengar suara-suara sebelumnya.
   Seorang perawat datang menemui pengasuh karena perempuan yang pingsan itu akan segera ditangani oleh tim medis melalui prosedur tentunya.
   “Maaf Ibu, perempuan yang barusan dibawa itu anak, Ibu?” ujarnya ingin tahu dan perempuan setengah baya itu langsung berdiri.
   “Dia sudah saya anggap seperti anak sendiri.” Sahutnya dengan sangat cepat penuh kepanikan.
   “Oh, untuk menanganinya lebih lanjut maka Ibu harus membayar uang di depan dulu minimal tiga puluh persen dari perawatan.” Jelas perawat itu dan tanpa berpikir panjang lagi perempuan setengah baya itupun mengeluarkan kartu kreditnya dari dalam tas. ‘Bik, kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi terhadap kita nantinya maka sebagai perempuan yang tidak punya siapa-siapa dan jauh dari keluarga besar maka kita harus punya tabungan sendiri, setidaknya punya sebuah ATM yang siap dipakai dimanapun kita berada dan pastikan tabugan kita isi minimal setiap bulannya.’ Kata-kata itu terngiang ditelinga perempuan setengah baya itu dan mengertilah ia sekarang apa maksudnya. Ia tidak peduli ada berapa isi tabungannya yang penting perempuan kesayangannya itu ditangani dengan segera.
   Perempuan yang pingsan itu ditangani di UGD diperiksa luka dikepalanya tidak terlalu besar namun cukup membuatnya tidak sadarkan diri . setelah dicek keseluruhan, dijahit dan ditangani dengan maksimal namun tidak juga bisa membuat perempuan itu sadar. Dokterpun memutuskan kalau perempuan itu harus dirawat diruangan intensive. Mendengar keputusan itu membuat pengasuhnya tambah panik dan kertas yang tadinya ada di tangan perempuan itu kini sudah ada dalam genggamannya. Ia mengamati nomor-nomor itu dengan seksama tidak ada satupun nama di depan nomor-nomor tersebut. Perlahan ia mengambil ponselya yang hanya bisa menerima telepon dan mengirim pesan singkat. Lalu mulai mencatat satu demi satu nomor yang di kertas dan mulai meneleponnya.....
   “Haloooo, saya adalah pengasuhnya...... saya diminta menghubungi nomor ini oleh...... dan sekarang ia sedang ada di rumah sakit dan tidak sadarkan diri sejak tadi subuh, mohon datang ke rumah sakit ini dengan alamat.......”
   Begitulah isi telepon perempuan paruh baya itu kepada ke tujuh nomor yang ada di kertas tersebut tanpa bisa menebak apa yang akan terjadi. Si penerima telepon ada suara perempuan ada juga suara laki-laki..., ada yang panik bahkan ada yang memarahinya karena mungkin menganggap itu berita bohong belaka.... dari jam ke jam perempuan paruh baya itu menunggu namun tidak ada seorangpun yang muncul atau menghubunginya kembali sehingga ia menganggap kalau nomor-nomor itu hanya kekonyolan belaka namun menit berikutnya saat ia ingin pergi membeli sesuatu untuk mengisi perut sebuah panggilan masuk ke ponselnya.
   “Halo...?”
   “Ya, ini saya bicara dengan siapa ya? Soalnya saya sudah ada di rumah sakit.” Suara itu terdengar panik dan masih penuh tanya karena tadi ia mendapatkan telepon yang memberitahukan seseorang yang amat ia sayangi sedang dirawat tanpa bertanya lebih lanjut.
   “O, ya.., saya ini pengasuhnya....”
   “Oh, Bibik. di ruangan berapa?”
   “Masih di ICU.”
   ICU?
   Detik berikutnya perempuan itu pamit untuk mematikan telepon lalu buru-buru mencari ruangan ICU seperti yang ia dengar tadi. Sosoknya yang terlihat lembut, cepat panik dengan tubuh yang tidak terlalu tinggi, rambut sebahu, mengenakan kaos putih dipadu dengan rok panjang dan lebar, dia bernama Liliana. Liliana sudah ada di depan ruangan ICU dari kaca ia hanya bisa memandang dan makin panik saat melihat seorang perempuan terbaring di atas tempat tidur dalam kondisi tidak sadarkan diri. Selang infus terpasang dan jarumnya menempel di tangan kirinya ditambah perban terbalut di kepala. Ia lalu menoleh kepada perempuan paruh baya di sebelahnya yang  sudah ia kenal dalam tiga tahun belakangan ini.
   “Ehmm... Bibik, apa yang terjadi dengan dia? Siapa yang melakukannya? Apakah ia kecelakaan? Bagaimana kondisinya kata dokter?” pertanyaan beruntun itu meluncur dan tak satupun perempuan itu bisa menjawabnya.
   Berikutnya muncul seorang perempuan yang tinggi semampai, kulit putih, berjilbab dan lincah. Sosoknya terlihat berkelas dan meyakinkan setiap orang yang melihatnya. Dia bernama Gendys... dan taklama kemudian datang satu lagi perempuan bernama Esty dengan sosoknya yang terlihat santai, rambut nyaris cepak, single, dan kulit sawo matang meski keturunan Ambon yang lahir di Makasar dan besar di Depok. Esty sudah kenal dengan Gendys begitupun sebaliknya namun Esty tidak kenal dengan Liliana sedangkan Liliana dengan Gendys saling kenal. Liliana asli dari Trenggalek, Surabaya. Gendys juga asli dari Surabaya sedangkan Esty keturunan Ambon yang lahir di Jakarta.
   Keesokan harinya datang lagi empat orang perempuan yang nyaris bersamaan, bernama Razthi, Lexa, Apbriel, dan Elyana. Keempat perempuan itu tidak kenal dengan Liliana, Gendys dan Esty... namun Razthi kenal dengan Lexa meski  hanya kenal nama karena mereka pernah saling telepon dan berkirim pesan singkat lewat ponsel. Seperti halnya Liliana dengan Lexa juga seperti itu mereka kenal juga melalui perempuan yang sedang terbaring itu.
   Razthi perempuan ceria, tidak begitu tinggi, ekspresif rambut cepak, hidung mancung, tatapan mata tajam, senyumnya indah dan hitam manis. Lexa, tinggi bongsor, kulit putih rambut bak rambut Nurul Arifin, mandiri, single dan terlihat bijaksana, dan mempesona serta punya daya pikat tinggi. Apbriel, perempuan supel, bijaksana, berjilbab namun asllinya tomboy, pekerja keras, royal, setia, suka bercanda, tinggi, dan asyik. Elyana perempuan berprofesi sebagai pengajar di Sekolah Dasar, terihat tegas, galak namun berwibawa, tidak tinggi namun cantik.
*
   Meski ada laki-laki yang mengangkat telepon dari sang pengasuh namun kenyataannya yang hadir di rumah sakit itu adalah kesemuanya perempuan. Mereka semua kenal dengan perempuan yang hingga detik ini masih tidak sadarkan diri di ruangan ICU. Razthi, Esty, Lexa, Liliana, Apbriel, Elyana, dan Gendys, dari usia bisa dipastikan kalau mereka hanya berjarak lima atau sepuluh tahun berselang sekitar usia 37 tahun sampai 47 tahun. Ke tujuh perempuan itu saling berkenalan menyapa satu sama lain meski tidak saling akrab dengan kesemuanya namun mereka tahu kalau mereka semua adalah orang yang sangat mengenali perempuan yang kini sedang berjuang untuk hidup. Ketujuhnyapun masih terlihat khawatir dengan kondisi perempuan itu meski tidak bisa melakukan apa-apa selain berdoa dan diantara mereka yang tidak semuanya berduit namun berusaha membantu biaya rumah sakit walau mereka tahu kondisi keuangan perempuan itu tidak jelek namun posisinya sekarang yang menanganinya adalah seorang pengasuh yang mungkin keuangannya terbatas. Setiap mereka melontarkan pertanyaan yang sama seperti Liliana kepada sang pengasuh dan tetap saja pengasuh tidak bisa memberi jawaban jelas selain mengatakan ia sudah menemukan perempuan itu sudah dalam keadaan  tidak sadarkan diri menjelang fajar. Mereka memang terlihat punya kelas masing-masing dari tiap-tiap penampilan sehingga dari cara berpakaian merekapun memperlihatkan sifat mereka namun tak menghilangkan aura mereka yang terlihat dengan jelas kalau sebenarnya mereka sangat menyayangi satu perempuan yang masih tidak jelas nasibnya di dalam ruangan ICU. Satu dua dari mereka seringkali berdiri di depan kaca ruangan sekedar ingin memastikan kondisi perempuan itu selanjutnya.
   Lexa menekankan kepada semua yang ada di tempat itu untuk tidak membuat ‘status’ apapun di sosial media mengenai kondisinya baik melalui BB, Twitter, Facebook atau apapun itu namanya. karena dia tidak mau ada hal yang tidak dinginkan kembali terjadi, sebab semua masih abu-abu.
   Ada yang mengatakan kalau dari mereka terakhir kali kontak dengan perempuan itu sedang baik-baik saja dan tidak ada hal-hal aneh yang terjadi. Di antara mereka ada juga yang menyesali karena tidak membalas pesan dari perempuan itu bahkan tidak mengangkat teleponnya. Seandainya ia tidak bisa lagi berbicara dengan perempuan itu maka iapun akan menyesalinya  seumur hidup.
   Seorang dokter keluar dari ruangan ICU dan menghampiri ke arah ke tujuh perempuan yang sedang duduk di depan ruangan ICU ditambah satu orang pengasuh yang tidak pernah terlihat lelah. Semua perempuan itu nyaris bergerak bersamaan untuk menanyakan kondisi pasien sang dokter tersebut dan mungkin ada diantara mereka berharap kalau pasien itu sudah sadar dan menginginkan mereka masuk atau setidaknya memanggil nama salah satu diantara mereka. Tapi yang ada sang dokter malah terlihat aneh dengan perempuan-perempuan tersebut, aneh dalam arti berbeda. Ia belum pernah melihat ada seiktar delapan orang perempuan yang menunggu di tempat itu. salah satu perempuan yang lebih cepat maju dan bertanya.
   “Mm.. maaf Dok, bagaimana kondisinya? Saya Gendys... salah satu dari mereka..” sekilas ia melirik ke arah teman-teman di belakangnya.
   “Eummm... kondisinya stabil, mungkin tidak lama lagi akan dipindahkan ke ruangan perawatan, hanya saja ia belum sadarkan diri karena ada sebuah benda tumpul mengenai kepalanya dan menyebabkan luka. Kalian boleh masuk tapi  harus bergantian.” Ujarnya dan tidak menunjukkan siapa yang boleh masuk terlebih dahulu. Ia pergi setelah berkata seperti  itu namun di dalam masih ada seorang perawat. Gendys menoleh kepada semua yang ada di tempat itu seakan memberikan waktu siapa yang akan masuk terlebih dahulu. Mereka saling berpandangan satu sama yang lain lalu semua mata mereka tertuju kepada pengasuh. Akhirnya mereka merelakan pengasuh yang masuk meski sebenarnya semua ingin masuk.
   Sang pengasuh masuk dan langsung menghampiri perempuan empat puluhan itu dengan perasaan was-was karena tidak ada gerakan sedikitpun dari tubuhnya yang tergeletak tak berdaya seakan tinggal menunggu takdirnya. Ke tujuh perempuan diluarpun tak kalah was-wasnya seolah merasa tidak bisa lagi mendengar suara perempuan itu, tak bisa berbagi cerita, tak bisa bercanda dan tak bisa saling memuji juga saling memberi saran satu sama yang lainnya. Perempuan paruh baya itu mendekat dan ia masih ditemani seorang perawat lalu ia mengusap tangan perempuan yang ditusuk jarum infus itu dengan sangat hati-hati seakan ingin mengatakan ‘bangunlah.... ke tujuh nomor itu telah Bibik hubungi dan sekarang semuanya sudah ada di depan.. Bibik juga tidak tahu apa yang terjadi dan mengapa harus menelepon mereka? Bibik tidak kenal keseluruhannya namun bisa Bibik pastikan kalau mereka semua amat sangat menyayangimu, anakku.’ Gumannya lalu ia mengecup pipi perempuan itu dengan lembut.
   Perempuan itu benar-benar seperti tertidur dengan sangat pulasnya tanpa tahu ada beberapa orang  yang mengkhawatirkannya, sungguh itu semacam kisah seorang Aktris yang sengaja melakukan adegan memuakkan dan tidak bermutu demi sebuah sensasi belaka. Adegan konyol itu semakin lama dan berlanjut ke kamar perawatan, ke tujuh perempuan itu memutuskan membawanya ke kamar kelas satu dan menginginkan perawatan yang terbaik untuknya.
   Razthi merasa terpukul melihat kenyataan di depan matanya setelah mendapatkan telepon dan menemukan orang yang amat dikenalnya terbaring lemas, ia tak peduli siapa-siapa saja yang ada di tempat itu namun ia kenal perempuan yang kadang-kadang menyebalkan, kesan pertama bertemu  dengannya terlihat agak sombong dan terlihat tidak ingin berteman dengannya setelah berteman ternyata asyik, tidak bisa menangis, romantis, penyayang, egois, mengasikkan, supel, tidak gampang marah, tidak cemburuan, sedikit boros, agak tertutup, agak pendiam, bikin orang penasaran, tidak suka pujian, dan setia kawan. Ia tidak perlu mengkhawatirkan ke enam perempuan yang ada di sekitarnya karena siapapun mereka pastilah sangat mengenali perempuan yang ia sayangi dan ia merasa telah memiliki perempuan itu tak peduli berapa banyak orang disekitarnya.
   Esty mengenalinya sebagai sosok Abstrak, susah ditebak, baik, bikin penasaran, terkadang bikin orang nafsu. Pertama ketemu agak sombong, seperti nggak butuh teman, tidak mau cepat akrab, cuek dan setelah itu ternyata orangnya peduli, keras kepala, sayang dan asyik.
   Lexa menilai perempuan itu punya sifat  yang susah ditebak, sensitif, kurang tegas, banyak memandam, suka menghingdar, terbuka pada orang-orang tertentu, punya empati tinggi, suka berburuk sangka, tidak banyak omong, kadang gini kadang gitu, tidak bisa mengungkapkan hal jelek / buruk meski untuk membela diri, membiarkan orang menilai dari kaca mata masing-masing, dan kalau tidak suka masih berpura-pura suka.
   Sedangkan Gendys punya pandangan sendiri menilai perempuan itu memang tulus, apa adanya,  pendengar yang baik, suka membaca orang, seiring dengan waktu kedewasaan berkembang, mau belajar baik intern / external sehingga mau menerima kritik / saran, punya prinsip yang kuat, kadang jadi orang kaku tapi karena tambah usia / pengalaman jadi bisa agak flexible, tegas maskulin, tapi hatinya lembut namun keras, rendah hati, tidak mau disakiti makanya tidak mau menyakiti orang dan sekarang menjadi bijak dan pemaaf. Meski agak tertutup karena tidak mau tersakiti, yang belum kenal betul pasti sulit menebak, kalau tidak suka sesuatu terang-terangan / tidak suka basa-basi, karena prinsipnya kadang masih suka kaku, tukang tidur. Pertama ketemu pemalu dan tertutup, tidak asyik setelah dekat ternyata asyik banget.
   Liliana lain lagi, perempuan lembut itu menganggap perempuan itu adalah Sumber keceriaan.. karena siapapun orang yang dekat dengannya pasti akan selalu ceria, kreatif.. selalu punya ide-ide yang membuat dirinya tidak membosankan baik buat diri sendiri maupun orang lain, menarik.. tipe orang yang bisa menarik perhatian siapa saja yang melihat terutama kaum pria, romantis... mungkin itu kenapa ia banyak disukai orang, auranya memancarkan romantic women, ramah meski pada awalnya cuek, jutek dan menyebalkan namun dari banyak orang bilang kalau dia itu ramah dan tidak membeda-bedakan orang. Idealis, mandiri tidak mau tergantung pada orang lain meskipun itu pada orang terdekatnya sekalipun, suka memulai sesuatu namun enggan mengikutinya hingga akhir, suka menyenangkan orang lain, mengerti / memahami arti persahabatan, keras kepala, bisa menjadi teman baik, seorang kakak, dan sahabat sejati. Sahabat terbaik yang aku punya hingga detik ini, meski dulu awal bertemu sangat menyebalkan, cuek bebek kayak tidak peduli sama orang lain, tomboy sekali, tetapi setelah mengenalnya ternyata ia sangat feminin, baik yang tulus, menghargai orang dari kalangan apapun, membuat ia semakin menyayanginya karena ia selalu ada untukku baik duka maupun duka, namun satu hal yang tidak kumengerti karena ia punya hubungan dengan pria lain namun aku hargai semua itu meski aku sering protes.... terlalu banyak cinta hingga cintanya tak berlabuh di satu tempat, aku tidak mengerti jalan pikirannya tapi sekarang aku mulai memahaminya.
   Apbriel, satu-satunya perempuan yang berpandangan lain kepadanya dan melihat perempuan itu beda, awalnya feminin sekali namun pas ketemu lagi di masa sekarang menjadi tomboy sekali, tidak tertebak. Sempat curiga ubnormal dan su’uzon tapi itu cuma pas pertama bertemu. Namun sekarang beda dan perempuan itu satu-satunya yang bisa menerima ia apa adanya, itulah mengapa ia menyebutnya beda. Baik, peduli sama teman dan penyayang, pengkhayal tapi sejujurnya ia tidak bahagia, Itu membuatnya menarik napas panjang. Bukan perempuan nrimo tapi berusaha nrimo karena tidak mau menjadi pihak yang disalahkan lalu terjebak dalam norma atas nama baik keluarga, suka membiarkan hati mengembara. Dia orangnya bisa dipercaya, bisa bikin teman  merasa nyaman bercerita dalam segala hal, terkadang bisa menyanjung seseorang ke arah yang berlebihan karena sangat menyayangi sahabatnya. Orangnya baik sekali meski orang yang ia k enal itu tidak sebaik yang ia inginkan... namun yang pasti dia itu adalah perempuan pengembara.
   Elyana, pertama ia melihat perempuan itu tomboy, pemalu, terlalu biasa-biasa saja bahkan sempat tidak memandangnya namun setelah bertemu lagi selang sekitar puluhan tahun ia menjadi bangga dan tak mengira kalau perempuan yang dulu ia kenal biasa menjadi yang tak terduga, yaitu seorang  penulis novel namun bukan lantaran itu ia menyayanginya karena sekarang ia tahu kalau perempuan itu terlalu baik untuknya dan sangat nyaman diajak bicara apapun tak terkecuali masalah-masalah yang rumit sekalipun.
   Kesemua perempuan ditempat itu merasakan ada luka dihati melihat kondisi pasien yang tidak menunjukkan perkembangan yang berarti. Razthi berbisik di telinga perempuan itu.
   “Aku tidak suka tempat ini, bangunlah... ini bukan tempatmu dan orang-orang itu sepertinya mereka juga menyayangimu.” Guman Razthi dengan penuh rasa haru karena ia takut kehilangan perempuan itu.
   Lexa terlihat lebih terpukul, kini tangannya menggennggam erat tangan perempuan itu dengan agak gemetar lalu ia mencium lembut pipi perempuan itu kemudian berbisik amat pelan.
   “Hei... aku tidak mau peduli apa yang menimpamu kemarin karena yang kutahu kamu itu perempuan kuat dan apapun yang kamu alami bisa kamu lalui makanya aku bangga sama kamu. Kamu juga tahu kalau aku menyayangimu lebih dari yang kamu tahu. Bangunlah, maafkan kesalahanku selama ini, aku sayang kamu.” Bisiknya dengan nada agak bergetar dan tidak ada yang melihat kalau tangan peempuan itu sedikit bergerak di dalam genggaman tangan Lexa, hanya Lexa yang bisa merasakan respon itu dan membuat perasaan Lexa lebih baik. Terakhir mereka komunikasi adalah beberapa hari yang lalu melalui BBM.
   “Lex.......,”
   “Weiiii......”
   “Apa kabar sahabat...?” menanyakan kabar adalah menandakan kalau mereka sudah jarang komunikasi. “Apakah hingga detik ini aku masih asing buat kamu? Ah, ini pertanyaan bodoh sepertinya.”
   “Alhamdulillah sehat... jalan mulus memang membuat orang kerap tergelincir. Mungkin selama ini setiap lubang yang kita lalui mampu kita tambal. Disaat jalan itu ambruk kita tidak punya kekuatan banyak untuk memperbaikinya bukan tidak ingin tetapi tidak memiliki kemampuan, kemampuan kita terbatas. Kesamggupan tanpa kemampuan...., asing.... kata-kata untuk sesuatu yang baru jadi jangan pergunakan kata itu lagi. Tidak ada yang berubah, cuma butuh waktu untuk mempelajari hal-hal yang terasa aneh. Tapi semua pasti ada hikmahnya. Sekali lagi tidak ada yang berubah dan tidak ada yang asing.”
   Sejujurnya semua merasa terpukul mendapat musibah itu meski belum jelas penyebabnya. Sebagian mereka menebak kalau perempuan itu terpeleset di rumahnya sendiri karena menurut keterangan pengasuhnya tidak ada tanda-tanda orang masuk rumah karena pintu rumah masih terkunci dengan rapat. Tidak ada yang ingin meninggalkan tempat itu apalagi dengan Lexa, Apbriel, Elyana, dan Razthi yang datang dari luar kota, kalaupun harus pulang mereka akan ke rumah kediaman perempuan itu. meski sudah ada di dalam ruangan perawatan tetap tak membuat perempuan itu sadarkan diri. Seorang dokter kembali masuk karena sudah mendapatkan hasil rontgen dan memberitahukan kepada perempuan-perempuan itu kalau pasiennya juga mengalami keseleo yang cukup parah di pergelangan kaki kiri.
   “Sepertinya dia harus dibawa keluar dari rumah sakit ini karena kakinya harus dibawa ke tukang urut.” Celetuk Gendys setelah dokter berlalu dan berharap semua yang ada di sana setuju.
   “Tidak mungkin sekarang, sadar saja belum.” Sahut Apbriel dengan bijaksana.
   “Ya, kita harus menunggunya sadar dulu.” Tambah Elyana dan diiyakan oleh Esty juga Liliana sedangkan Razthi berharap bagaimana caranya perempuan itu segera siuman.
   Lexa yang melihat perempuan itu kembali menggerakkan tangannya segera meraih tangannya dan menggenggamnya erat sedang wajahnya langsung mendekat ke wajah perempuan itu. “Hei.... bangunlah.... aku di sini.” Gumannya dengan suara lagi-lagi bergetar karena tidak sabar mendengar suaranya langsung dan menatap matanya bukan tanpa alasan karena sudah tiga tahun ia tidak bertemu dengannya dan tidak lagi mendengar suaranya baik lewat telepon ataupun yang lainnya karena tiga tahun belakangan ini mereka mengalami kerenggangan hubungan disebabkan kesalahpahaman juga sebuah kejujuran yang menimbulkan rasa sakit hati yang begitu dalam.
   Dan benar, perempuan itu membuka matanya sedang dokter masih ada diantara mereka. Ruangan kelas VIP itu tak membatasi pengunjung yang mau datang kapan saja dan berapa saja dengan catatan tidak mengganggu waktu istirahat pasien.
   “Helen....... Helen......” panggil Lexa dengan wajah berbinar. “Alhamdulillah ya Allah.” Gumannya lagi karena mendapatkan sahabatnya telah siuman yang lain pun memanggil nama perempuan yang ternyata bernama Helen. si Helen belum menggerakkan kepalannya ke kiri ataupun ke kanan.
   “Halo Helen..... apa kabar? Bagaimana perasaanmu?” tanya sang dokter menyapanya. perempuan itu menatap dokter baik-baik lalu bertanya.
   “Helen.....? nama saya Helen.....?” ujarnya dengan penuh kebingungan dan kini mulai menggerakan kepalannya seolah ingin melihat semua yang hadir di ruangan itu satu persatu namun kenyataannya tidak ada satupun yang ia kenal.
   “Helen..... apa yang terjadi?” tanya Gendys tidak sabar.
   “Eee.... maaf Mbak, aku tidak tahu apa yang terjadi dan mengapa aku ada di sini dan kalian siapa? Apa benar namaku, Helen? Aku bukan Helen.” ia masih kebingungan lalu menatap dokter membuat pria itu menggeleng-gelengkan kepalanya dengan pelan seolah ingin mengatakan kalau perempuan itu mengalami trauma akibat benturan di kepalanya.
   “Jika namanya sendiri ia tidak ingat maka kemungkinan besar ia mengalami amnesia.” Jelasnya dan membuat semua yang ada di sana menjadi terdiam. Helen coba mengangkat tangan untuk memegang kepalanya yang terasa agak nyeri dan ia merasa ada perban yang melingkar di sana, namun ada yang terasa lebih nyeri disaat ia menggerakkan kaki kirinya sampai ia mengeluh pelan dengan kata ‘aww...’
   “Hati-hati Helen....” ujar Apbriel yang berdiri di sebelah kiri Helen. “Jangan banyak bergerak dulu ya.” Tambahnya. Helen mengamati perempuan manis di sampingnya dan perempuan itu mengukir senyum indah. Helen coba mencari sesuatu di wajah itu tapi ia tidak menemukannya bahkan ia tidak tahu apa yang ia cari, lalu ia mengalihkan pandangannya kepada yang lain dan wajah-wajah itu benar-benar asing di matanya sehingga ia memutuskan untuk memejamkan matanya dan berharap dalam hitungan detik orang-orang di tempat itu menghilang namun kepalanya terasa berat dan pusing lagi.
   “Semoga ia tidak benar-benar mengalami amnesia, kesadarannya pasti belum pulih benar.” Gendys coba memberi harapan kepada semua termasuk kepada dirinya sendiri sedangkan baru saja ia merasa tidak nyaman dipanggil ‘mbak’ oleh Helen.
   “Mengapa ia harus mengalami amnesia?” serobot sang pengasuh bertanya kepada siapa saja yang bisa menjelaskannya meski ia sudah tahu letak persoalannya. Ia akan merasa amat sedih kalau perempuan yang selama ini tinggal bersamanya namun tidak mengenalinya. Terlepas dari rasa yang dirasakan oleh pengasuh namun tak terbilang pedihnya rasa yang dialami oleh ke tujuh perempuan yang ada disekitar Helen. Ketika kita menyayangi seseorang lalu orang itu pergi atau tidak mengenali kita lagi maka tidak ada yang lebih sakit dari itu, kalau ia pergi tak kembali atau melupakan kita baik sengaja atau tidak maka rasa sakitnya tetap saja sama. Namun dalam kasus yang dialami oleh Helen haruskah sahabat-sahabatnya meninggalkannya?
   Dokter kembali mengecek pasiennya sehingga ia bisa memastikan kalau perempuan itu benar-benar dalam kondisi stabil dan setelah bisa mengambil keputusan iapun berpesan kepada suster yang mendampinginya kalau pasiennya tidak apa-apa hanya shock saja.
   “Dia tidak apa-apa hanya shock saja.. nanti kalau ia kembali sadar bertahu saja kepada kami.” ujar suster itu kepada semua perempuan di sana sebelum ia meninggalkan ruangan VIP itu. tinggal mereka yang harus berbuat apa? Apakah akan tetap di sana atau pulang terlebih dahulu?
   Esty harus kembali bekerja karena sudah dua hari ini ia tidak masuk kerja, Gendys memang harus pulang karena ada yang harus dia urus di rumah begitupun Liliana punya tanggung jawab di rumahnya. Meski punya tanggung jawab di rumah namun Razthi belum memutuskan untuk pulang karena ia masih ingin memastikan kondisi Helen, karena kalau ia sudah pulang maka sulit untuknya kembali lagi. Sedangkan Elyana tidak akan merasa terganggu dengan tugasnya sebagai PNS pendidik karena anak-anak sekolah dalam suasana libur tengah semester, begitupun dengan Apbriel yang punya usaha sendiri itu bisa mengatur waktunya dengan santai apalagi dengan Lexa yang bisa pergi kapan saja dan dalam waktu yang tidak dibatasi karena usahanya ada ditangannya sendiri.
   Ketiga perempuan itu memutuskan untuk pulang dulu dan dengan pasti mereka akan kembali secepatnya setelah memberikan nomor mereka yang bisa dihubungi kepada yang tinggal di rumah sakit. Lalu Lexa mendekati sang pengasuh.
   “Bibik sebaiknya pulang dulu dan istirahat, aku dan teman-teman yang lain akan menjaga Helen dan juga pasti banyak yang harus Bibik kerjakan di rumah dan sepertinya aku dan ke tiga teman yang lainnya akan menginap di rumah Helen untuk waktu yang tidak ditentukan.” Jelas Lexa yang sudah seringkali menginap di tempat Helen saat ia jalan-jalan ke Jakarta atau sekedar ingin membeli sesuatu.
   “Benar begitu? Baiklah... saya akan pulang dulu.” Ujarnya lalu mendekati Helen dan mengusap keningnya dengan lembut. “Bibik pulang dulu ya, Nak. Bibik titip kamu sama teman-temanmu... mereka sangat menyayangimu. Kamu harus cepat sembuh karena setelah pekerjaan rumah selesai Bibik akan kesini secepatnya.” ujar perempuan paruh baya itu meski ia tahu Helen tidak akan bisa menyahut kata-katanya namun ia yakin teman Helen yang bernama Lexa yang sudah ia kenal itu serta teman-temannya akan menjaga Helen dengan baik dan ia akan dengan senang hati menyediakan tempat untuk mereka di rumah Helen.
   Lexa menoleh kepada perempuan yang kini tinggal tiga dan empat dengan dirinya. “Kalau ada yang ingin makan biar aku yang menemani Helen dan aku yakinkan ia tidak akan apa-apa.” Helanya sembari kemudian menatap ke arah Helen yang ditutupi dengan selimut putih bersih.
   “Aku akan menemanimu di sini kalau yang lain mau makan tidak apa-apa.” Ujar Apbriel mengambil jalan tengah karena ia tidak akan meninggalkan Lexa sendirian menemani Helen yang belum sadar lagi.
   “Emm.... kalau begitu kita akan membeli makanan di luar dan makan di sini, Apbriel dan Lexa mau pesan apa?” tanya Elyana akhirnya dan memutuskan untuk keluar dengan Razthi.
   Setelah menyetujui usulan Elyana tinggal Lexa dengan Apbriel di sana, keduanya terdiam sejenak seolah memikirkan apa yang akan terjadi dengan sahabat mereka namun apapun yang terjadi mereka tidak akan tinggal diam. Tiba-tiba Apbriel buka suara.
   “Emm... setelah mendengar cerita Bibik apakah kamu yakin Helen tidak dipukul orang?”
   Lexa melirik ke Apbriel sekilas. “Maksud kamu?” sahutnya pelan.
   “Yah, semoga saja tidak ada orang ketiga dalam kasus ini.” Kata-kata Apbriel agak menggantung di telinga Lexa membuatnya kembali menatap wajah Helen dengan seksama. Bukan ia mengabaikan kata-kata perempuan itu tapi setidaknya ia merasa lebih lama mengenali Helen dibandingkan perempuan itu dan ia tahu pasti kalau Helen tidak pernah dimusuhi orang.
   “Aku tidak suka kata-kata kamu, Helen hanya mengalami insiden di dalam rumahnya sendiri dan dia tidak punya mus.......” kata-kata Lexa terhenti karena Helen bersuara nyaris seperti desahan kecil memaksa kedua perempuan itu fokus dengannya.
   “Helen......” suara itu keluar bersamaan dari mulut Lexa dan Apbriel. Helen membuka matanya, tangan Lexa di bahu Helen sembari mengusapnya pelan dan Apbriel menatap wajah pucat itu dengan cemas dan bercampur senang karena ia sudah sadar.
   “Jangan pingsan lagi, kita akan segera membawamu pulang dari sini karena di sini tidak enak.” Kata Apbriel dengan serius sedangkan Lexa masih diam karena ia masih ragu apakah Helen benar-benar amnesia atau karena tadi pengaruh obat yang diberikan dokter. Helen coba tersenyum namun anehnya itu bukan senyum yang kedua wanita itu kenal sebelumnya.
   “Pulang? Pulang ke mana? Dan kalian berdua ini siapa?” tegasnya.
   “Helen......” Lexa mulai tidak sabar mendengar nada agak menekan itu memaksa Helen menatap ke wajah Lexa. “Apa yang kamu pikirkan?”
   “Helen? Helen.... dari tadi kalian menyebut nama itu memangnya namaku Helen?”
   “Ya, kata dokter kamu mengalami amnesia karena luka di kepalamu.” Sahut Apbriel dan disambut tawa halus dari mulut Helen.
   “Amnesia? Itu lucu sekali, aku tidak amnesia! Kalian  berdua mungkin salah orang.” Ujarnya ketus bersamaan dengan munculnya Elyana dan Razthi dengan tentengan kantong di tangan. Mendengar penuturan Helen mengejutkan kedua perempuan itu.
   “Lihat mereka, apa kamu juga membantah kalau yang baru masuk itu juga bukan teman kamu?” ketus suara Lexa membuat Apbriel memegang tangannya agar perempuan itu bisa mengontrol dirinya. Lexa berdiri dan benar-benar merasa kacau dan tanpa diduga ia meninggalkan ruangan itu namun dengan cepat Razthi meraih tangannya karena hanya dia yang kenal dengan Lexa.
   “Aku mohon jangan pergi, kamu tidak akan ada di sini kalau tidak sayang sama Helen.” Pintanya. Lexa menarik tangannya dari tangan Razthi. Kekesalannya tidak kunjung reda, kalaupun benar Helen amnesia seharusnya ia tidak bersikap angkuh seperti itu dan kalau tidak maka ia tidak perlu menghukum Lexa dengan cara seolah tidak mengenalinya. Sikap Helen membuatnya merasa amat kesal sehingga tidak lagi memikirkan kalau perempuan itu sedang sakit.
**
RAZTHI
   Aku sedang duduk di teras rumah saat rombongan pengantin pria datang dari arah kiri jalan, tetangga depan rumahku sedang mengadakan hajatan menyambut pengantin pria dan dari pihak pengantin banyak sekali rombongan perempuan yang hadir dari anak-anak, ibu-ibu serta remaja putrinya dan salah satu dari rombongan itu terlihat seorang gadis muda sekitar usia 15 tahun. Rambutnya panjang, sederhana dan terlihat sangat ceria membuat aku bertanya-tanya sendiri apakah gadis itu termasuk salah satu keluarga dari pengantin pria? Entahlah. Tidak berhenti sampai di sana,  menjelang ulang tahun kemerdekaan Indonesia gadis itu terlihat lagi di malam hari saat remaja desa itu akan melaksanakan latihan vokal grup di sebuah sekretariat desa dan saat itu Helen datang bersama kakak laki-lakinya yang menjadi salah satu panitia pelaksana. Gadis berambut panjang itu selalu terlihat ceria di mataku, semangat, agak galak, dan akkrab dengan siapa saja seperti denganku yang baru dilihatnya langsung ia menyapaku hanya dengan sebuah senyuman biasa namun dalam hati kuberkata ‘ini cewek masih kecil tapi kok terlihat berani sekali dan akrab dengan seorang pria dan keakbraban itu nampak tidak biasa.’ Pikirnya. Namun aku tidak mau peduli  lebih jauh karena kepentinganku malam itu adalah melihat kegiatan kakaknya apalagi dengan gadis seperti itu. Aku tahu pasti kakakku itu amat sangat menjaganya dari segi apapun baik pergaulan, teman sekolah apalagi teman pria. Di sekretariat itulah aku bisa melihat kalau gadis itu bisa menyanyi meski  hanya bergabung dengan teman-temannya tapi dengan pasti ia tahu kalau dia tidak biasa.
   Tidak tahu pasti selang berapa waktu berikutnya aku melihat lagi gadis itu di Masjid saat sholat tarawih, ia duduk di depan Helen tapi jaraknya agak jauh, saat gadis itu menoleh ke belakang matanya tertuju kepadaku dan waktu aku juga melihatnya ia langsung melambaikan tangannya dengan sangat tinggi kepadaku. Aku hanya bisa tersenyum tak labih dari itu. keesokkan malamnya sekitar pukul sembilan malam gadis itu sedang lewat di depan rumahku bersama teman-temannya, saat itu aku sedang duduk di teras rumah dan melihat gadis itu berlalu tapi ia tidak tahu pasti apakah ia melihat aku atau tidak tapi anehya aku merasa hatiku ikut pergi bersama gadis  itu namun badannya masih tetap duduk di kursi teras. Kebiasaanku di malam minggu adalah duduk di teras rumahnya. Suasana desa di malam hari memang selalu ramai apalagi malam minggu banyak sekali remaja pria dan wanita bermain di teras rumah masing-masing juga teras tetangga karena acara-acara televisi tidak ada yang bagus.  Aku punya seorang teman tapi gadis itu sering meninggalkannya dan pergi bersama kekasihnya dan akhir-akhinr ini ia melihat temannya itu malah jadi akrab dengan adik perempuannya.Tanpa diduga olehku gadis itu mampir di rumahku saat aku sudah masuk ke dalam rumahnya. Aku keluar lagi mendengar suara memanggilnya dan ternyata gadis itu.
   “Hai.....?” kataku. “Cari siapa?” ia tahu kalau gadis itu kenal juga dengan kakak laki-lakinya karena teman prianya adalah teman kakakku juga.
   Gadis itu tertawa. “Ya, mau mampir saja sih, tadi aku melihat kamu duduk di teras saat lewat mengantar temanku ke rumah temannya.”
   “Oh....” ujarku sambil mataku mencari-cari teman gadis itu.
   “Mereka sudah jalan... tadi aku bilang ke mereka suruh jalan dulu karena aku mau mampir sebentar. Emmm... ya sudah... aku pulang ya.” Katanya kemudian dan detik berikutnya ia meluncur menyusul temannya yang mungkin saja belum begitu jauh. Tinggal aku yang bengong tidak tahu apa maksud gadis itu mampir di rumahku lalu pergi lagi tanpa menjelaskan apa tujuannya dan ia tahu pasti gadis itu tidak mungkin tertarik dengan kakak lelakiku karena gadis itu sudah punya pacar apalagi malam itu aku melihat gadis itu dekat sekali dengan teman kakakku. Hanya itu.
*
   Aku tidak tahu lagi kabar gadis itu karena saat duduk di  bangku kelas 3 SMA Aku lebih fokus belajar karena kakak iparku yang ada di luar kota menginginkan aku tinggal di rumahnya setelah aku menamatkan bangku SMA untuk meneruskan belajar ke jenjang berikutnya minimal kursus.  Satu dua pria mendekati aku tanggapi dengan biasa-biasa saja, namun ada dua pria yang membuatku tertarik satu kakak kelas yang ia taksir dari kelas satu dan satu lagi orang dari luar sekolahnya namun bagiku itu urusan nomor ke tiga belas karena yang ada di otakku adalah setelah menamatkan sekolah harus pergi kalau tidak bisa meneruskan kuliah yah minimal mencari kerja dan tekadnya yang paling utama adalah meninggalkan desa untuk mencari pengalaman. Sebagai anak ke 4 dari tujuh bersaudara dan terlahir dari kedua orang tua petani membuatku mengambil kesimpulan kalau kedua orang tuanya matian-matian menyekolahkanku selain untuk menuntut ilmu adalah untuk memperbaiki nasib keluarga dan setidaknya bagiku sendiri tidak mau menjadi seorang petani, cukup orang tuanya saja dan dia akan memanfaatkan ilmunya untuk masa depan yang lebih baik.
   Hem!  Aku telah menyelesaikan pendidikan SMA dan sesuai keinginannya maka sehari setelah mendapatkan ijazah akupun pergi ke luar kota karena untuk melanjutkan kuliah tidak ada biaya sebab kedua orang tuaku masih harus menyekolah adik-adikku minimal tamat SMA apalagi terakhir kalinya menerima surat dari kakak iparku agar aku segera datang ke rumahnya, ia berjanji akan memasukan aku untuk kursus apa saja sesuai keinginannya. Saat itu aku meninggalkan pria yang dekat denganku dan sepertinya serius namun bagiku yang baru menginjak usia delapan belas tahun tidak akan pernah berpikir ke arah serius. Masa depanku  masih sangat panjang, dunia luar telah membuka tangannya untuk merangkulku, jika ia pintar maka jalannya akan lurus-lurus saja.
   Impian memang indah namun kenyataan tak selalu indah, rencana matang yang ada di depan mata buyar entah ditelan apa. Aku naik bis ke rumah kakakku menempuh perjalanan darat sehari selamam. Di rumah kakak ipar aku hanya diam dan tinggal tanpa mendapatkan respon bagus, tak ada tawaran seperti dalam surat-surat itu. aku memang belum pandai membaca situasi, punya keponakan usia lima tahun jadi teman keseharianku. Menjaganya sekaligus merawatnya namun itu bukan masalah besar karena aku menyayangi anak manis itu. tak jarang aku mengantar anak itu pergi ke dokter gigi sampai kenal dekat dengan asisten dokter gigi seorang wanita ramah seusia denganku atau bahkan mungkin dua tahun diatasku. Suatu hari asisten dokter itu mengajak aku makan bakso karena saking akrabnya, waktu itu aku memang sengaja main ke klinik, aku dan gadis itu seperti kembar hanya saja rambut gadis bernama Rani itu sedikit lebih pendek dari rambutku.
   “Kita keluar yuk, kebetulan kamu datang pas jam istirahat siang.” Ujarnya. Ia mengajak aku ke sebuah toko souvenir yang bersebelahan dengan klinik namun hanya sekedar melihat-lihat lalu ke tenda bakso. Di sana kami menikmati makan bakso setelah habis tanpa dinyana Rani memesan lagi untuk porsi ke dua membuat aku kaget.
   “Kamu?” ia mengeryitkan keningnya.
   “Hehe... santai saja Helen, aku bisa sekali makan bakso dua porsi sekaligus dan ada kisah lucu dengan kebiasaan ini.”
   “Apa itu?” tanyaku serius ingin tahu.
   “Aku diputusin cowokku karena makan dua mangkuk bakso... hehehehe, dia nggak tahu kalau sudah makan bakso dua mangkuk aku bisa tidak makan nasi sampai dua hari.” Tutur Rani membuat Helen tertawa.
   “Ya jelas saja kamu diputusin karena tuh cowok takut bangkrut hihihi.” Aku malah menggoda Rani membuat Rani tambah senang.
   Minggu berikutnya tanpa diduga Rani main ke rumah kakakku untuk bertemu denganku, waktu itu dia memang iseng pernah bertanya di mana tempat tinggalku ternyata tidak begitu jauh dari kliniknya. Keponakanku  membangunkan aku karena ia melihat ada asisten dokter giginya ada di depan pintu rumah.
   “Bi.....” ia menggoyang-goyangkan tanganku memaksa aku bangun. “Di depan ada tante Rani.” Jelasnya membuat Helen sangat kaget sampai aku menyibak horden sedikit untuk memastikan apa benar apa yang dikatakan keponakanku. Benar, gadis itu sedang berdiri di depan pintu menunggu orang membukanya dengan tidak sabar. Aku buru-buru ke kamar mandi untuk cuci muka lalu langsung ke depan dan membuka pintu.
   “Hai......” seruku setengah tidak percaya sekaligus senang.
   “Halo....” balas Rani.
   “Ayo masuk......” Aku membawa Rani ke ruang tamu dan keponakannya menyalami gadis itu.
   “Hmm... bagaimana dengan gigimu adik manis?” sapanya dan gadis kecil itu hanya tersenyum malu-malu.
   “Bagaimana kamu bisa sampai ke sini?” tanyaku masih tidak percaya gadis itu ada di rumah kakakku. “Kamu tidak nyasar.’kan?”
   Gadis itu menggeleng. “Tidak, tadi turun di gang depan yang ada taman bacanya banyak koleksi novel di sana. Saat aku tanya nama kamu yang jaga di sana malah mengatakan kalau kamu ternyata menyumbang banyak novel di sana.”
   “Tidak banyak, hanya beberapa.” Ujarku karena benar kalau sudah membeli dan membaca novel aku meletakkannya di sana agar yang lain bisa ikut membaca. “Kamu... aku masih tidak percaya kamu bisa sampai ke sini.” Sekali lagi aku menanyakan hal itu.
   “Rumah keponakanmu kan tidak begitu jauh dari klinik tempat kerjaku, aku melihat alamat yang tertera di file ponakanmu makanya aku ke sini kebetulan baru pulang tugas. Karena kalau aku pulang dulu baru ke sini maka akan lebih jauh.” Tutur Rani menjelaskan dengan sangat masuk akal tinggal aku yang bingung karena tidak punya persiapan apa-apa kedatangan tamu yang tak diduga itu. namun saat mendengar suara penjual es krim aku langsung meminta keponakanku memanggil.
   “Ada es krim, panggil yaa.” Kataku dengan lembut dengan tidak menunggu lebih lama lagi gadis kecil itu langsung lari keluar seolah takut tukang es krim menghilang membuat kami tersenyum. “Itu es krim kesukaanku, es krim kacang merah. Semoga kamu juga nanti suka.” kataku kepada Rani disambut dengan senyum. Setelah tukang es krim muncul di depan rumah aku mengambil gelas dari dapur agar menggunakan gelas sendiri. Tiga gelas besar ditenteng keluar dan tidak lama kemudian es krim sudah ada di meja tamu untuk  dinikmati. Sore itu  memang terasa nikmat, setelah menikmati es krim sepertinya Rani masih betah berlama-lama denganku sampai aku mengajaknya ke teras samping kanan rumah di mana ada lapangan badminton milik kakakku di sana, kamipun bermain sambil bercanda.
   Begitulah caraku menikmati hari-hari dengan caraku sendiri, aku juga dekat dengan penyiar radio Candra Buana namanya Rose, setiap pukul tiga sore gadis itu selalu hadir di kamarku lewat suara indah dan nyaringnya membawakan acara remaja dengan selalu menerima kartu pos untuk dibaca setiap permintaan pemutaran lagu juga pesan-pesan dari pendengar setianya tak terkecuali aku. Saat itu aku memperkenalkan diri sebagai anggota baru dan diterima dengan senang hati oleh Rose bahkan mengundangku untuk datang ke studio, bukan itu saja karena sebagai penyiar yang sudah banyak digemari ternyata dia sudah punya anggota penggemar tetap dan dia akan selalu diundang kalau teman-temannya punya acara keluarga seperti ulang tahun, pernikahan atau yang lainnya. Salah satu teman  panitia acara hari ulang tahun kemerdekaan RI waktu itu ternyata sudah lama menjadi anggota pendengar setia Rose dan saat mendengar namaku disebut di radio iapun mendatangi aku dan mengajak bermain ke studio apalagi Rose sudah dengan ramahnya mengajak aku datang. Gadis itu ternyata sudah sering berkunjung ke radio dan kali itu ia membawa aku yang sudah sangat menyukai acara Rose.
   Hari itu pertama kalinya aku melihat studio radio dan tanpa ragu Rose yang ramah itu mengajak kami masuk dan melihat-lihat studio.  bisa Aku melihat koleksi kaset yang jumlahnya mungkin ribuan tersusun rapih di rak. Di sana juga banyak sekali foto Artis ibukota yang pastinya sudah pernah berkunjung. Namun sayangnya Rose tidak bisa lama karena setelah tugas ia harus berangkat karena ada acara yang harus ia datangi.
   Setelah kejadian itu semakin mendekatkan aku dengan Rose dan saat keponakanku ulang tahun aku juga menuliskan di kartun dan dengan tanda baca hanya kami berdua yang tahu kalau yang paling bawah cukup dibaca di dalam hati tidak perlu pendengar tahu. Aku mengundang Rose untuk datang ke acara ulang tahun keponakanku. Meski merasa kalau Rose tidak akan mungkin datang namun bagiku tidak ada salahnya memberitahukan kabar bahagia itu kepada Rose yang sudah kuanggap sebagai teman.
   Dan siang itu di hari minggu membuktikan kalau gadis itu benar-benar muncul bersama seorang gadis yang usianya mungkin jauh dibawahnya dan  ternyata ia membawa sepupunya. Lagi-lagi keponakanku yang sedang ulang tahun tahu kalau teman bibinya itu adalah seorang penyiar radio di kotanya, ia pernah mendengar nama itu dari radio yang sering didengar bibinya. Mendengar kabar kalau gadis itu adalah seorang penyiar radio maka Wak serta sepupunya termasuk ibunya sendiri merasa tidak enak sekaligus senang. Karena setelah puas menikmati hidangan ulang tahun gadis itu mengikuti aku ke belakang dan ikut mencuci piring, aku tidak tahu apakah Rose merasa tidak enak setelah makan langsung pergi atau ia memang masih ingin berbincang denganku sehingga mengikutinya sampai ke dapur.
   Kakak perempuan dari kakak iparku nyeletuk. “Waduh, dengar-dengar Rose ini seorang penyiar radio ya? Tidak usah ikut mencuci piring nanti ada kok yang bertugas melakukannya.... emm... jangan sampai besok saat siaran menceritakan hal ini ya.” Ucapan terakhir itu hanya bergurau saja dan Rose-pun menanggapinya dengan tersenyum lalu melirik aku yang juga tersenyum karena tadinya ia pun melarang keras Rose mengikutinya ke dapur. Tidak lama kemudian aku mengajak gadis itu ke depan dan kebetulan hari sudah mulai sore ia pun pamit pulang diantar olehku sampai ujung gang. Sambil jalan Rose masih terus saja berceloteh.
   “Kapan kamu mau main ke rumahku?” tawarnya dengan semangat. “Kita akan makan sate nanti karena tidak jauh dari rumahku ada warung tenda yang menjual sate yang sangat nikmat sekali.” Promosinya.
   “Yah kapan-kapan deh.” Sahutku tidak bisa memastikan namun sejujurnya aku ingin sekali main ke rumah Rose. “Tapi sebelumnya terima kasih banyak ya, nggak nyangka kamu bakal datang, ini sebuah kehormatan untuk kami khususnya aku.”
   Rose melirik aku sekilas. “Biasa aja, jangan berlebihan seperti itu. ngomong-ngomong tadi anak-anak remaja cewek itu kok begitu ya dengan salah satu pria itu?” Rose penasaran.
   “Pria yang mana?” kataku padahal ia tahu pasti siapa yang sedang dibahas oleh Rose.
   “Itu lho yang tadi...kamu pasti tahu kok karena tidak banyak remaja prianya di sana dan pasti itu ada hubungan keluarga dengan ponakanmu.” Tebaknya dan tebakan itu memang kena.
   “Oh, itu. biasalah bagi mereka pria itu termasuk tampan apalagi dengar-dengar ia sekolah di Jakarta.” Nama Jakarta seolah jadi patokan kesuksesan orang dan yang keren-keren lainnya.
   “Tampan?” terdengar tawa halus dari mulut Rose. “Menurutku biasa saja, kalau tampan itu saat pertama kali kita melihatnya pasti ada perasaan ‘nyeeees’ gitu di hati.” Kata Rose seakan membantah kalau pria itu tampan dan komplinnya membuat aku tertawa dan aku tidak perlu membenarkan ucapan Rose sebab aku juga tahu standar ketampanan itu seperti apa.
   Menunggu reaksi dari kakak ipar tidak ada sehingga aku memutuskan untuk mengurus KTP memang waktu KTP selesai aku diantar kakak mengambil ke kantor Camat. Setelah itu aku mengambil inisiatif untuk melamar kerja saja karena aku tidak lagi mendengar adanya tawaran untuk kursur sehingga aku harus melupakan itu tanpa punya keberanian untuk menagihnya. Saat menunggu kabar dari sebuah perusahaan aku menghabiskan waktunya bersama remaja di kota itu, teman-teman penggemar suara Radio, remaja aktif di Karang Taruna sampai menemani teman-teman ikut lomba vokal se-provinsi kota itu. acara itu disiarkan oleh televisi kota itu, saat latihan aku memiliki banyak sekali teman dari seorang model yang ikut memainkan gitar sampai seorang penyiar radio yang lumayan dikenal. Apalagi saat menjadi panitia acara pelaksana ulang tahun kemerdekaan RI, kala itu kakakku jadi ketua RT setempat. Acara yang akan dilaksanakan cukup besar sampai panitiapun membuat proposal untuk minta bantuan dana ke perusahaan-perusahaan di sekitar itu.
   Sebagai anggota panitia maka aku kebagian tugas untuk membawa proposal dan tempat pertama yang aku kunjungi adalah sebuah klinik dekat perempatan jalan ramai di mana ponakanku langganan periksa gigi di sana dan bertemu dengan temannya. Aku diboncengi seorang pria tinggi dan cukup keren namun entah mengapa ia tidak merasakan getaran aneh pada pria itu, karena aku ingat dengan pria yang kutinggalkan di desa, pria cool, tinggi bongsor dan ia menjalin hubungan lebih kurang setahun denganku namun tiga bulan berselang ia mendapat surat dari adikku kalau pria itu telah menikah. Anehnya aku tidak merasakan adanya rasa sakit hati yang berlebihan, waktu terus berjalan acara puncakpun tiba dengan dimeriahkan oleh band kota itu dan ternyata vokalisnya sering muncul di acara musik televisi. Aku memang selalu bisa akrab dengan orang-orang yang tak terduga, vokalis itu berbincang denganku di belakang panggung sambil duduk di kursi panitia padahal aku bukanlah cewek satu-satunya sebagai  panitia.
   “Mau menyanyikan lagu apa?” tanyaku sekedar ingin tahu dan wanita tidak terlalu tinggi dan memiliki rambut panjang itu menjawab dengan santai.
   “Mau dinyanyikan lagu apa?” ia malah balik bertanya membuat aku mengira ia bercanda. Aku tak langsung menjawab dan di panggung keponakanku sedang menari tarian daerah bersama ke tiga temannya yang lain. “Aku serius kamu suka lagu apa?” tambahnya lagi dan kali ini aku menjawab.
   “Gambaran cinta-nya Inka Christie.”
   “Oke.” Sahutnya dengan sangat singkat. Tak jauh dari tempat mereka terlihat beberapa mata memandang tidak suka denganku yang bisa akrab dengan penyanyi yang masih berstatus mahasiswi seni lukis itu terutama yang cewek tapi dengan pasti aku tidak menyukai orang yang terlalu mencari muka apapun alasannya. Aku menyukai kesederhanaan, tidak suka dengan perempuan pecicilan dan pria yang terlalu mengemis cinta. Hanya itu dan simple saja.
   Setelah usai tarian anak-anak wanita itu pamit untuk naik ke panggung dengan cara memegang bahuku sejenak. Tak lama kemudian terdengar intro lagu dari Inka Christie. Sepertinya ia benar-benar serius dengan ucapannya pikirku memaksanya tersenyum saat sang vokalis menatap ke arahku sehingga aku merasa kalau lagu itu dinyanyikan atas permintaanku. Aku merasakan perasaan yang luar biasa, seolah mendapatkan seorang teman baru  lagi selain asisten dokter gigi dan penyiar radio. Itu mungkin penyebabnya mengapa aku tidak terlalu memikirkan kehilangan kekasih yang menikah tanpa memberi, padahal sebelum kami berpisah pria itu sempat mengatakan ia akan sangat bersedih aku tinggalkan. Puiiihhh! Buaya.
   Detik-detik acara usai panitia mengajak anak-anak band makan malam di sebuah rumah yang tidak jauh dari panggung gembira. Sebelum berlalu untuk mengecek persiapan makan malam vocalis itu berpesan kepadaku.
   “Hmm... jangan lupa menonton acara musik di televisi rabu malam pukul setengah sepuluh.”
   “Oke.” Sahutku dan ia tidak pernah berpikir ada apa di acara musik itu. saat makan malam aku sedang ada di belakang untuk kembali mengecek apakah makanan masih banyak atau sudah dibawa ke depan semua tiba-tiba ia mendengar suara sang vokalis mencarinya.
   “Adik saya mana ya?” sepertinya ia melontarkan pertanyaan itu untuk semua yang ada di dalam ruangan itu. kuakui kalau gadis itu pasti lebih tua dariku meski ia masih jadi mahasisiwi karena aku sendiri masih usia delapan belas tahun.
   “Sudah pulang.” Terdengar sahutan dari suara yang kukenal betul yaitu seorang wanita dewasa yang belum menikah dan kabarnya wanita itu sempat menyukai kakakku yang kini sudah punya anak gadis mungil. Aku hanya tersenyum tipis dan menyadari kalau wanita itu tidak menyukaiku karena masa lalu. Orang lain memang sering kena imbas kekesalan seseorang yang merasa tidak terpuaskan meski tidak tahu apa masalahnya.
   Rabu malam aku tidak lupa dengan pesan sang Linda Alimas seorang penyanyi yang suaranya tidak diragukan lagi, ternyata malam itu di televisi ia juga membawakan lagu itu, apakah kebetulan atau memang ada hal lain? Hanya dia yang tahu. Ponakanku memanggil ibunya untuk menonton televisi dengan teriakan karena melihat Linda Alimas menyanyi dengan video klip yang indah. Aku memang selalu berusaha menikmati hidup baik suka maupun duka, sedangkan kakak iparku sibuk kursus menjahit dan ketika kursusnya sudah selesai sepertinya akan ada acara perpisahan dan dilaksanakan di tempat wisata, aku tidak tahu apa yang terjadi karena malam itu kakak iparnya meminta suaminya yaitu kakakku untuk membuat konsep pidato perpisahan. Hmm.... apakah sebagai kepala rombongan? Tidak tahulah. Tapi aku malah mendengar kakakku mengatakan hal yang tidak kuduga.
   “Suruh saja Helen yang buat, sepertinya ia suka menulis tuh.” Ujarnya enteng. aku ingat kalau kakaknya komplin saat malam itu mengetik di mesin tik paginya ia mengatakan hal yang tidak enak didengar. Aku memang salah karena telah mengganggu waktu istirahat orang seisi rumah dengan suara mesin tiknya dan mungkin juga kakakku tahu aku pernah membuatkan PR anak kakak iparnya, PR Bahasa Indonesia membuat sinopsis sebuah novel. Kakak iparku coba meminta pertolonganku untuk membuat draft tulisan, anehnya sama sekali aku merasa tidak keberatan dengan sok yakin bahkan tidak percaya apakah ia bisa atau tidak mengiyakan permintaan itu dengan mengatakan.
   “Tentang apa pidatonya?” tanyaku dengan tenang sok penulis naskah profesional padahal demi Tuhan aku itu sama sekali tidak tahu hal semacam itu.
   “Tentang perpisahaan grup karena sudah selesai tugas belajar.” Jelas kakak iparku.
   “Oh....., begitu, akan aku coba menulisnya.” Ia menyanggupinya dan perempuan itu juga tidak memperlihatkan hal meragukan kepadaku seolah ia juga merasa kalau aku benar-benar bisa membantunya. Malam itu aku menuliskan draft pidato itu di sebuah kertas polio tanpa membuat konsep terlebih dahulu dan tanpa terasa satu polio itupun penuh dengan tulisan tanganku. Tidak sampai hitungan jam aku sudah keluar dari kamar untuk menyerahkan tulisan kepada kakak iparku dan diterima tanpa ada komplin atau mungkin ia akan komplin setelah membacanya nanti pikirku.
   Namun apa yang terjadi minggu berikutnya? aku melihat sebuah foto yang diambil dari tempat wisata di mana terlihat kakak iparku memegang kertas polio yang di dalamnya ada tulisanku. Wanita itu terlihat berdiri dihadapan rekan-rekannya dengan tangan kiri memegang kertas polio dan tangan kanan sebuah mike. Yang membuatku tidak percaya mengapa wanita itu tidak mengubah draft itu karena aku tahu pasti polio itu sudah sangat penuh. Apakah ia mengatakan setiap detil kalimat di dalamnya? Entahlah hanya dia yang tahu.
   Akhirnya aku mendapatkan surat panggilan kerja dari perusahaan swasta dan kebetulan perusahan itu baru membuka cabang pertamanya di kota tersebut. Surat panggilan kerja tersebut diantar langsung ke rumah kebetulan aku sendiri yang menerimanya. Bukan dari pak pos tapi dari kurir langsung.
   “Ini surat panggilan kerja dan kemungkinan nanti treningnya di Jakarta selama tiga bulan setelah itu baru kembali ke sini untuk ditugaskan di cabang sini.” Jelas pria sekitar usia dua puluh tujuh tahun itu dengan sungguh-sungguh. Aku mengamati surat yang sudah ada di tanganku dan memang surat itu resmi karena di ujung amplopnya ada nama perusahaan lengkap dengan alamatnya di pusat kota.
   “Oke, terima kasih banyak ya.” Sahutku masih disela-sela tidak percaya kalau diterima di perusahaan itu. waktu itu aku melamar dan datang langsung ke bagian personalia bersama sepupu keponakannya kakakku iparku dan sepertinya perempuan itu tidak mendapat surat yang sama. Ia tidak diterima, pikirku.
   Sorenya aku mendengar kakak iparku memberitahukan kepada suaminya mengenai surat panggilan kerja itu dan dengan pasti kakakku memberi  komentar yang tidak diharapkan. Kalau saja ia mengatakan itu langsung kepadaku mungkin aku bisa menerima namun ia sengaja bicara di dalam rumah dan tahu pasti kalau di kamar  aku bisa mendengar apapun yang ia bicarakan.
   “Buat apa sih anak cewek bekerja.” Itu bukan pertanyaan bukan juga pernyataan tetapi larangan yang diberikan secara tidak langsung dan membuatku langsung drop mendengarnya. Mengertilah aku kalau selama ini semua yang aku lakukan tidak direstui oleh kakakku. Ditengah ketidakpastian itu aku menerima surat dari ibunda yang ditulis tangan dan inti dari isi surat itu mengatakan kabar dan rasa kangen yang mendalam seorang ibu kepada anaknya. Anak mana yang tidak tersentuh hatinya mendapatkan surat yang ditulis tangan langsung oleh ibundaku. Tanpa berpikir lagi aku-pun memutuskan untuk segera pulang ke Desa.
ADA APA INI....?
   Jaga dirimu baik-baik... sebab kamu perempuan cantik, tinggi semampai...pokoknya kamu itu menggoda. Jaga dirimu baik-baik...jangan sampai merusak nama baik keluarga.
   Jaga dirimu baik-baik... kalau sudah terjadi kamu akan menyesal seumur hidup. Jaga dirimu baik-baik.... seolah tidak ada kata-kata lain yang harus diucapkan!
   Kamu tahu mengapa mereka berkata seperti itu? karena mereka sayang denganmu, tetapi aku bosan mendengarnya karena aku sendiri tahu dan sangat mengenali diriku...tentu saja aku akan menjaga diriku lebih dari segalanya.
*
   Aku kembali dengan perasaan tanpa beban sedikitpun, Rani, Rose, Linda Alimas, Model itu, Hendra kakaknya sang Model serta pria yang memboncengku keliling kota untuk membawa proposal adalah beberapa teman yang mungkin tidak akan pernah bisa akulupakan seumur hidupku. setahun lebih aku tinggal di kota kakak ipar dan pernah merasakan berlebaran di kota orang jauh dari kedua orang tuaku, semua itu tidak perlu disesali karena apapun hal positif yang pernah dilakukan seseorang tidak akan pernah sia-sia kedepannya. Aku membawakan sedikit oleh-oleh dan seorang teman yang dulu bahkan sering dibilang kembar oleh orang-orang karena tinggi dan bentuk tubuh kami yang nyaris sama jadi akrab dengan adikku kini sudah ada di ruang tamu. Aku bisa melihat kalau gadis itu menyimpan rasa kangen yang tak bisa diungkapkan namun matanya tak bisa menyembunyikan itu dari pandanganku. Intinya sekarang gadis itu adalah teman baik adikku dan malam-malampun sering mereka habiskan bersama, bermain dan bercanda dengan terman-teman mereka yang lain. Aku sekarang sudah berubah tidak lagi seperti sebelum pergi,   lebih dewasa, rambut terawat dan masih panjang dan indah. Satu hal yang tidak pernah berubah yaitu kebiasaanku yaitu duduk di teras rumah dan itu sudah menjadi hobi yang paling  bisa kunikmati, tidak peduli hujan bahkan terang bulan sekalipun karena sejatinya aku bukanlah tipe gadis yang suka keluyuran malam. Kalaupun teman adikku mengajak pergi jalan aku tidak punya keingian sama sekali bahkan aku merasa kalau gadis itu telah memilih orang lain menjadi temannya.
YA SUDAHLAH....
   Aku pernah kehilanganmu namun pribadimu tidak bisa  membuatku melupakanmu, kamu terlalu baik untuk dilupakan. Kita pernah mengisi kekurangan masing-masing, kita pernah menanamkan keyakinan dan pengertian,  kita coba untuk menghilangkan kecurigaan dan suatu kesalahpahamann dengan coba mengingat pengalaman dan kenangan kita.
   Sahabat.... aku pernah  mencoba belajar dari pengalamanmu seperti yang pernah kamu lakukan, aku pernah berusaha bersikap tegar dihadapanmu, pernah kubercermin di wajahmu....namun aku tetaplah aku.
   Ketenangan langkah dan kasihmu membuat aku tersenyum kagum... tapi kau tidak jujur sahabat, itu cuma perasaanmu saja terhadapku... mengapa kamu begitu lambat memahami diriku? Padahal kita melangkah bersama, mengapa kamu masih menyimpan sesuatu hal yang tidak ada artinya untuk hubungan kita. Aku pernah coba mengerti keadaan dan perasaanmu.... namun kamu sendiri sepertinya tidak mau mengerti bagaimana perasaanku.
   Kau tidak pernah melihat kekuranganku... kamu cuma menilai aku sepintas... kamu tidak pernah berusaha memberi aku keyakinan untuk mengatakan siapa aku sebenarnya....
   Aku merasa sendirian dan benar-benar sendirian tidak ada yang bisa dilakukan dan yang lebih parahnya aku kembali merindukan mantan kekasih yang sudah menikah saat aku ada di luar kota. Kami tidak pernah ikrarkan kata putus ataupun janji-janji untuk saling menunggu namun makin hari aku merasa tidak bisa mengendalikan perasaan yang mendekati kegilaan. Setiap malam ada saja pria yang mendatangi terasku bahkan menjadi tamu di rumah namun tak satupun dari mereka yang bisa menggoyahkan hatiku dari pria itu. dari mereka ada yang mengatakan sudah lama ingin menjadi pacarku namun tidak berani dengan kakak cowokku yang memang banyak disegani kalangan remaja di desa kami. Aku memang mengakui wibawa kakak cowok keduaku itu, selain bijaksana, tidak banyak omong dan amat sangat melindungi adik-adiknya.
   Kekonyolanku kumat karena memanggil teman mantan kekasihku yang rumahnya berjarak hanya empat rumah dari rumahku sendiri dan pria itulah dulu yang mengenalkan aku dengan mantan kekasihku. Pria itu ternyata sudah tahu kalau aku pulang  sudah hampir dua minggu ini. Ia datang menemuiku yang duduk di  teras dan setelah basa-basi yang tidak penting aku langsung mengutarakan keinginannya kepada pria yang tingginya tidak lebih dariku.
   “Aku butuh bantuan kamu.” Ujarku tanpa basa-basi lagi,
   “Apa itu?”
   “Aku ingin bertemu dengannya...”
   “Apa? Apa aku tidak salah dengar?” pria itu kaget mendengar penuturanku yang diluar dugaannya. “Dia sudah menikah bahkan sekarang anak mereka sudah usia dua bulan.”
   “Aku tidak peduli dan asal kamu tahu aku tidak ingin merusak hubungan mereka. Aku ingin bertemu dengannya hanya untuk mengatakan kata putus, hanya itu.” tegasku dengan sungguh-sungguh.
   Mendengar itu membuat pria tersebut tertawa kecil dan aku tahu apa yang ada diotaknya. “Aku tidak menyangka kalau kalian sebenarnya belum putus, lalu apa arti pria-pria yang selama ini selalu duduk di tempat ini? nyaris setiap malam ada pria di sini menemani kamu, aku selalu melihatnya kadang dari rumah depan atau rumah sebelah.” Selidik pria dengan tubuh agak gempal itu.
   Aku tidak suka kata-kata itu tapi tidak apa itu artinya pria itu punya perhatian denganku apakah untuk sekedar memberi informasi kepada temannya  atau ada hal lain namun itu tidak penting bagiku.   
   “Yang selalu orang lihat tidak selalu sesuai dengan kenyataannya dan seperti saat ini mungkin ada orang yang mengira kita sedang pacaran atau apa... tidak penting.’kan?” tegasku membuat pria itu terdiam. “Kalau kamu tidak mau membantu aku menemuinya aku bisa menemuinya sendiri.”
   “Jangan Helen, akan aku usahakan.” Ujarnya seolah takut aku membuat keributan karena aku tahu pasti karakter dari istri temannya itu adalah pecemburu berat.
   “Oke.....” sahutku tanpa memberi limit kapan pria itu akan melakukan tugasnya karena waktu ia mengenalkan pria itu kepadaku dulu gigih sekali dan ketika pria itu menikah dengan orang lain dengan alasan bahwa aku jauh maka ia juga harus menyelesaikan masalahnya.
   Malam berikutnya gadis lincah itu lewat di depan rumahku dan setelah tahu ada aku duduk di teras ia langsung mampir dan agak berteriak senang.
   “Hai.... ternyata kamu sudah pulang.” Helanya saat menaiki teras rumah yang punya tiga tangga kayu. Aku tahu nama gadis itu adalah Razthi, selain lincah dan gesit tentu saja ia sangat manis dengan hidung mancung yang dipadu dengan rambut panjang serta kulit sawo matang namun yang paling menonjol adalah kelugasannya yang mengarah ke cerewet. “Aku baru tahu kalau selama ini kamu ada di luar kota.” Tambahnya setelah aku memberikannya tempat duduk.
   “Kok teman kamu tidak ikut mampir?” tanyaku yang dari tadi melihat Razthi tidak jalan sendirian.
   “Ada teman mereka di ujung jalan, sudah aku katakan kalau mereka tidak mau mampir biar pulang duluan juga tidak apa-apa.” Jelasnya tanpa ragu namun aku tahu teman-temannya tidak akan pernah meninggalkan gadis itu untuk pulang sendirian karena mereka pasti mampir dan bercanda dengan yang lain di ujung jalan sebab kalau cuaca cerah maka jalanan desa kami nyaris penuh anak remaja dan bapakku pernah mengatakan kepadaku ‘setiap malam selalu saja seperti itu, tidak tahu apa yang mereka cari dan entah apa yang membuat mereka selalu betah bergurau di pinggir jalan’
   Itu adalah awal kedekatanku dengan Razthi, setelah malam itu kami selalu terlihat bersama. Aku sering datang ke rumah Razthi begitupun sebailknya. Dari ibundanya Razthi ketahuan ternyata aku harus memanggil Razthi dengan sebutan Bibi, ternyata kami masih ada hubungan keluarga meski tidak bisa dibilang hubungan darah. Awalnya aku tidak setuju karena usia Razthi lebih muda dua tahun dibawahku apalagi Razthi terlahir sebagai anak bungsu. Tapi yang namanya adab maka aku tidak bisa mengelak apalagi Razthi sendiri marah kalau aku memanggil namanya dengan sebutan Razthi. Ia lebih suka aku memanggilnya Bibi dan sepertinya banyak remaja desa itu memanggil dengan sebutan sama, mungkin karena kedua orang tua Razthi yang dianggap lebih sepuh atau mungkin ada hal lain yang tidak aku mengerti. Namun yang membuat aku agak terkejut adalah ketika mengetahui gadis itu ternyata merokok di dalam rumahnya dan diketahui oleh kedua orang tuanya namun ia tidak pernah merokok di luar rumah.
   Kalau aku tidak ada di rumah sudah pasti ia ada di rumah Razthi yang masih duduk di bangku kelas 2 SMA sekolah yang sama tempatku menuntut ilmu dulu. Diluar pengetahuanku ternyata gadis teman adikku sering mengamati aku jalan dengan Razthi karena suatu ketika adikku mengatakan padaku.
   “Kak, waktu itu si Denta mengatakan begini, Helen tidak pernah kelihatan pasti ia main ke rumahnya Razthi.” Ujarnya namun aku tidak memberi komentar apa-apa karena kupikir gadis bernama Denta itu lebih nyaman berteman dengan adikku. Kalaupun gadis itu merasakan ada cemburu teman maka aku sendiri pernah merasakan hal itu, sakit memang namun bukannya bermaksud untuk balas dendam karena sesuatu yang sudah tidak nyaman lagi memang harus dilepaskan maka dia akan bahagia dengan yang lain. Malam itu setelah aku bertemu dengan teman mantan kekasihku, aku pernah melihat mantan kekasihku lewat di depan rumah dengan mengendarai sepeda motor tapi ia tidak berani mampir sedangkan aku-pun tidak pernah berpikir untuk datang ke rumah teman mantanku walau aku amat yakin kalau pria itu ada di sana. Bukannya aku tidak konsisten dengan kata-kataku namun kuberpikir kalau sudah datang mengapa tidak langsung saja dan juga kalau memang punya niat seharusnya ia berpesan kepada temannya untuk memberitahukan bahwa ia sudah datang namun tidak ada niat untuk itu. yah sudahlah!
BAK BERINGIN....
   Senyumnya nyaris dengan kepunyaan Dede Yusuf ditambah tubuh yang sangat atletis dan tegap serta tinggi. Teduh sekali rasanya jiwaku kalau sudah memandangmu. Aku memang sangat  bahagia kalau sudah berjalan di samping kamu, karena kamu adalah pria yang lembut dan sangat hangat dan penyayang. Dan... kamulah pria playboy yang berhasil setia bersamaku lebih kurang tiga tahun. Saat-saat bersamamu tiada bahagia yang terlewatkan....
   Namun demi cita-cita aku terpaksa pergi meninggalkanmu nyaris dua tahun sehingga membuatmu bimbang dan akhirnya kaupun berbalik arah.. aku tidak tahu apakah kamu menyesalinya?
   Terima kasih Tuhan.... semoga kamu selalu damai... Tuhan berikanlah kebahagiaan kepada semua orang yang aku cintai karena aku masih merindukan mereka.
   Malam itu aku memang datang ke rumah Razthi meski jarak rumah kami lumayan jauh sekitar empat ratusan meter aku jalan kaki sendirian karena malam itu cuaca terang dan jalanan ramai sekali dengan anak-anak yang bermain sehingga jalan kaki tidak akan terasa lelah atau merasa jauh. Saat masuk ke rumah Razthi yang ternyata ada dua orang tamu yaitu pria ditemani oleh Razthi, kakak perempuannya serta ibundanya. Aku agak kaget karena buku kecil kepunyaannya ada di tangan pria yang punya rambut agak gondrong dengan posisi duduk membelakangi pintu masuk. Itu buku biodata yang aku dititipkan kepada Razthi beberapa hari yang lalu sebab Razthi mengatakan ia juga ingin mengisinya dengan kata-kata indah semacam cita-cita, visi-misi ke depan, alamat lengkap, mengidolakan siapa dan seterusnya. Namun kini buku itu ada di tangan pria yang belum aku kenal membuatku agak tidak suka namun dengan santainya pria itu tersenyum ke arahku saat Razthi mengatakan.
   “Ini orangnya datang, panjang umur dia.” Ujar Razthi. “Sini, tadi aku lagi mau menulis di buku itu eh si Toby malah merebutnya.” Kata Razthi sekedar menjelaskan mengapa buku itu sekarang ada di tangan pria yang bernama Toby yang dari tadi senyum-senyum saja untukku sedangkan temannya terlihat kalem.
   “Oh, gitu.” Helaku mencoba santai dan sepertinya baru sadar kalau kedua pria itu bukanlah pria sembarangan karena ia ditemani oleh ibunda dan kakak perempuannya Razthi. Namun sejak aku diharuskan memanggil Razthi dengan sebutan Bibi maka sejak itu aku tidak pernah memanggil nama lagi. Tidak berapa lama kemudian ibundanya Razthi masuk ke dalam diikuti kakak Razthi. Malam itu aku berkenalan dengan Toby dan temannya, perkenalan biasa namun dengan jelas Razthi bisa melihat kalau Toby sudah tertarik denganku dan bohong kalau ada pria yang tidak tertarik melihatku sebab aku percaya dengan daya pikatku amat tinggi meski kadang aku tidak menyadarinya. Pernah saat menyisir rambut di depan kaca Razthi dan Razthi mengamatiku sembari berujar.
   “Helen kamu itu benar-benar cantik.” Pujinya dengan tulus, bagaimana tidak. Rambut panjang, kulit halus mendekati putih, hidung mancung, langsing dan tidak neko-neko padahal aku berasal dari keluarga kurang mampu, setiap pulang dari sekolah aku selalu ke kebun atau ke sawah untuk membantu kedua orang tuaku baik itu sekedar membawa kayu bakar atau untuk ikut mengurus ladang dan setiap hari libur sekolah aku akan memulai kegiatan itu dari pagi sampai sore karena urusan mengurus pakaian sekolah dan masak adalah kakak perempuanku. Bahkan aku adalah satu-satunya seorang perempuan di desa yang pertama kali melakukan pekerjaan yang orang anggap langka yaitu ikut orang tuaku menyadap karet di kebun kami namun sebagai anak yang ingin berbakti kepada orang tua Aku tidak merasa berat melakukan itu semua. Menjadi petani cukuplah di masa-masa kecil dan masa sekolah, hal itu masih kutanamkan di dalam benak.
   Keesokannya aku kembali lagi bermain ke rumah Razthi kebetulan hari minggu, sejak aku pulang dari luar kota tidak sekalipun ibunya mengajak ia ke ladang lagi apalagi ke kebun. Tidak tahu apa yang ada dipikiran ibundaku. Beliau mungkin berpikir cukuplah anak gadis mereka membantu dalam puluhan tahun belakangan, dan bersyukur karena anak itu sudah mau kembali dari luar kota melepas rasa kangennya selama ini, tidak masalah ia menikmati masa remaja dengan bersenang-senang karena kalau nanti ia menikah dengan seorang petani maka mau tidak mau ia harus kembali bertani tapi bukan itu harapannya, ia tentunya berharap anak gadisnya serta anak-anaknya yang lain menjadi lebih bahagia dan tercapai apa yang mereka inginkan. Aku adalah anak yang penurut dan tidak pernah menuntut apa-apa dan sadar betul standar keluarga besarku. Siang itu di rumah Razthi ternyata ada dua orang gadis yang tidak asing lagi olehku karena mereka masih satu desa sedang bermain di rumah Razthi dan usia mereka di atasku sekitar satu atau dua tahun. Di tengah-tengah senda gurau mereka sambil menikmati kopi dan makanan kecil si Toby datang. Apakah sekedar bertamu atau ada keperluan lain yang ia inginkan entahlah namun yang pasti Razthi tahu kebiasaan pria itu jarang bertandang kerumahnya di siang hari.
   Sepertinya bukan rahasia umum lagi kalau Toby menyukai Aku, ketiga remaja itu malam memilih untuk main di ruang tengah dan memutuskan untuk tinggal di ruang tamu bersama Toby. Razthi berteriak halus kepada temannya.
   “Dinda, buatkan kopi untuk Toby.” Gadis itu memang selalu membiarkan teman-temannya membuat kopi sendiri sesuai selera masing-masing. Dan gadis itupun melirik Toby.
   “Setahu aku kak Toby tidak minum kopi, mau aku bikinin kopi, Kak?” tanyanya membuat aku heran ternyata teman-teman Razthi memanggil Toby dengan sebutan kakak tetapi Toby sepertinya menyebut Razthi itu dengan Bibi juga namun pria itu tidak pernah menyebutnya, mungkin ia merasa Razthi masih terlalu muda untuk dipanggil Bibi.
   “Boleh....” jawab Toby dengan santai disertai senyuman indahnya dan ia lebih terlihat keren dengan rambut lurusnya yang agak gondrong. Setelah beberapa saat kemudian Dinda membawakan segelas kopi ke ruang tamu dan gadis itu kembali ke belakang bergabung dengan Razthi dan teman mereka yang satunya. Gerimispun turun, Toby ke teras dengan menenteng gelas kopinya dan tidak lupa mengajak aku. Usia Toby mungkin jauh diatasku dan satu hal yang pasti, Aku tidak menaruh rasa cinta kepada pria itu. di mataku ia terlihat dewasa, ramah dan murah senyum dan enak jadi teman ngobrol.
   Toby berlari kecil melewati gerimis menuju warung depan aku mengira kalau pria itu akan membeli sebungkus rokok namun kenyataannya ia membawa beberapa bungkus kacang goreng dan membukanya di depanku, akhirnya kami  menikmati kacang goreng bersama suara gerimis yang masih betah dengan aktiftasnya sendiri tidak tahu mengapa hari itu Toby seringkali terlihat tersenyum disela obrolannya, senyum yang seolah mengandung kegembiraan sendiri.
   “Maaf ya, malam itu aku telah membaca buku kecil kamu tapi satu hal yang aku dapat dari buku itu yaitu kalau aku harus hati-hati menghadapi kamu.” Ujarnya dan membuatku belum paham ke mana arah pembicaraan itu.
   “Maksud kamu....?” Aku tidak terbiasa memanggil pria itu dengan sebutan ‘kak’ seperti yang lain meski usia kami terlihat jauh berbeda, setidaknya tujuh atau delapan tahun.
   “Karena setelah membaca musik apa yang kamu sukai dan siapa penyanyi yang kamu gemari sepertinya kamu punya kelas tersendiri. Penyuka suara Nicky Astria, grup band Gun N’ Roses, Slank dan beberapa artis Malaysia lainya.” Ujar Toby dan aku hanya tersenyum karena ternyata pria itu mengamati kesukaanku dalam hal musik serta pengetahuannya. Banyak hal yang mereka bicarakan dan tidak ada satupun ke hal yang menjurus pribadi seperti ‘sudah punya pacar belum? Sedang dekat dengan siapa? Atau ke mana selama ini kok baru kelihatan?’ semua mengalir biasa-biasa saja terasa sederhana bagiku meski sekali lagi aku bisa merasakan kalau Toby adalah pria dewasa yang menyenangkan. Setelah merasa cukup pembicaraan hari itu aku masuk ke ruang tengah di mana ada Razthi, Dinda, satu temannya dan ibunda Razthi yang ternyata sedang tidur-tiduran bahkan ada yang tidur.
   “Hei..... mentang-mentang gerimis malah asyik-asyikan tidur di sini.” Kataku melihat keakraban mereka dan sepertinya mereka telah lebih dulu kenal dengan Razthi dan mungkin saat aku sedang bergelut di kota orang lain.
   “Yah, mau ngapain lagi kalau hujan begini... kalau tidak hujan kita bisa main ke sawah Bi Razthi dan mengambil kelapa muda atau sekedar memancing.” Sahut Dinda dan mereka masih malas-malasan di tempatnya. “Kak Toby mana? Pulang?”
   “Ada tuh, masih di depan.” Kataku sejujurnya. Keempat gadis itu sering berkumpul bersama di rumah Razthi kalau lagi cuaca cerah tak jarang mereka mengunjungi sawah orang tua Razthi yang tidak jauh dari pinggir jalan untuk sekedar duduk di pondok, mancing atau menikmati kelapa muda namun Toby selalu berusaha untuk ada di dekatku.
   Ketertarikan seseorang terkadang membuat orang itu ingin dekat terus dengan orang yang ditaksir, seperti halnya Toby yang terlihat sudah tidak sungkan-sungkan lagi mendekati aku dan memberanikan diri datang ke rumah, baik siang maupun malam dan malam kedua Toby akhirnya mengutarakan perasaannya.
   “Helen.... aku ingin bicara serius dengan kamu, ini bukan hal yang gegabah atau tidak dipikirkan dulu tapi beberapa hari ini aku merasa kamu itu berbeda dengan gadis yang pernah aku jumpai.. aku.... aku mencintai kamu.” Kata-kata terakhir itu bisa ditebak oleh Helen beberapa hari belakangan ini karena ia sudah bisa melihat cara Toby memperlakukannya. Namun tidaklah gampang menerima cinta seseorang untuk sekedar mengatakan ‘ya’ atau ‘tidak’
   Aku menatap Toby yang duduk tenang dihadapanku, ruang tamu malam itu terasa biasa-biasa saja dan tidak ada hal istimewa. Aku sudah sering mendengar kata-kata semacam itu, saat duduk di bangku kelas 1 SMA didekati seorang guru SD bahkan berusaha serius denganku tapi aku malah tertarik dengan kakak kelas yang saat itu mengirimkan surat cinta padaku sampai kamipun menjalin hubungan cukup lama sehingga aku merasa itulah cinta pertamaku sampai pria itu menghilang karena harus meneruskan study ke Universitas. Dan waktu duduk di bangku kelas 3 SMA seorang guru SMP melamar aku melelui tante dan serius ingin menikahiku, meski di desaku kedudukan sosial seseorang itu akan terlihat tinggi kalau mereka menjadi PNS namun entah mengapa aku tak begitu memikirkan itu dan kini ada seorang pria yang kukenal baru beberapa minggu lalu mengutarakan perasaannya sementara aku belum bisa melupakan seorang pria yang jelas-jelas sudah menjadi milik wanita lain.
   “Emm.. Toby..., aku minta maaf sebelumnya, aku menghargai perasaanmu sama aku tapi aku tidak ingin mengecewakan kamu. Aku belum bisa melupakan seseorang, kalaupun aku menerima cinta kamu maka akan sia-sia karena cintaku hanya tinggal puing-puingnya saja. Cintaku sudah sirna bersama orang lain.” Tuturku membuat Toby terpaksa menghela napas panjang sehingga ia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi dengan rasa berat dan kecewa yang dalam namun ia masih berusaha tersenyum meski getir.
   “Hebat sekali orang itu ya, seperti pahlawan dikenaaaaang terus.” Nada suara itu mengandung kecemburuan yang tinggi namun apa yang telah aku katakan  adalah kebenaran bukan hal yang mengada-ada. Aku belum bisa menyembuhkan lukaku meski setiap ingat pria itu menyebabkan hatiku sakit dan kecewa namun aku berharap pria itu dulu menikah secara baik-baik bukan karena insiden karena aku kenal dengan wanita yang mengejar-ngejar pria itu. meski tidak mendapatkan respon dariku tak mengurangi kebiasaan Toby mengunjungi rumahku, sampai adik-adikku menganggap aku menyukai seseorang dari kelas ketampanan dan ketenaran namun bapakku agak komplin setelah melihat anak gadisnya menerima tamu yang rada metal dan itu ia sampaikan kepadaku.
   “Siapa pria itu? rambut gondrong, lengan baju panjang tapi digulung.” Beliau menilai teman anaknya yang tidak biasa dari sebelum-sebelumnya rapih seperti guru dan sejenisnya namun aku tidak menanggapi karena apa yang dikatakan bapaknya itu tidak salah. Yang dikomplin beliau kusampaikan kepada Toby dengan caranya sendiri namun tidak bermaksud mengubah penampilan pria itu sedikitpun sebab apa yang Toby pakai aku menyukainya dan dengan rambut gondrong Toby sama sekali ia merasa tidak terganggu.
   Dan keesokkan harinya Toby datang dengan rapi meski tidak memotong rambutnya namun ia tidak menggulung lengan bajunya dan mengenakan sabuk dan baju kemejanya dimasukkan, dengan penampilan seperti itu bukannya terlihat keren namun terkesan aneh di mataku. Dan itupun aku sampaikan kepada Toby ditanggapi Toby dengan santai.
   “Bukannya bapak kamu tidak suka aku  terlihat urakan?” katanya dengan serius dan seperti ingin benar-benar berubah demi aku meski aku tidak mempermasalahkan hal itu dan ia sadar kalau Toby bukan siapa-siapanya aku. Aku tidak pernah meremehkan kehadiran Toby dihadapanku dan masih tetap menganggap Toby adalah pria yang luar biasa. Dan suatu ketika aku berkumpul dengan ibu-ibu di desa pada sebuah teras sedang terdengar sebuah lagu yang dilantunkan oleh Arie Lasso ‘Kangen’ sehingga seorang Ibu di sana nyeletuk.
   “Keren ya suaranya mirip dengan suaranya Toby.” Mendengar itu membuat aku bingung karena sama tidak mengerti ke mana arah kata-kata itu. setelah aku kembali ke rumah adik bungsuku yang usianya tidak lebih dari tiga belas tahun mengatakan hal yang sama dan menjelaskan siapa Toby itu sebenarnya.
   “Kakak tahu tidak? Kak Toby itu kalau sudah menyanyi suaranya luar biasa bagus dan penggemarnya banyak  sekali. Pernah suatu kali waktu ia mau manggung di satu acara orang kawinan dan sebelum magrib ia terlebih dahulu mengaji di Masjid dan suaranya tidak kalah indah waktu menyanyi, apalagi kalau ia sudah membawa lagu-lagu melayu dan lagu rock.” Ujar gadis kecil itu dengan nada penuh kekaguman, mengertilah aku apa profesi Toby selama ini dan itu sama sekali tidak pernah kudengar dari mulut Toby juga dari teman-temanku. Dan suatu ketika aku menyinggung masalah itu kepada Toby namun dengan santainya Toby berseloroh.
   “Saat kamu ada di luar kota aku mungkin lagi top-topnya.” Ujarnya setengah bercanda dan aku-pun tak begitu serius menanggapi hal itu karena siapapun Toby tidaklah penting namun yang menjadi prioritas utama dia baik dan enak diajak ngobrol meski penampilannya agak metal namun ia lembut dan suka humor.
   Suatu sore aku  diundang ke acara pernikahan dari keluarga ibundanku dan letak desanya sekitar delapan kilometer dari rumahku dan kebetulan sore itu aku bermaksud untuk menginap di rumah sepupuku yang rumahnya berdekatan dengan orang hajatan. Sore itu aku naik angkutan umum untuk menuju ke sana dan di dalam mobil ternyata sudah ada Toby berdua dengan temannya. Ia menyapa aku dan temannya hanya tersenyum saja.
   “Mau ke mana?” ia menyapa aku tidak lebih dari sekedar teman biasa meski bertemu di satu tempat yang tidak diduga sebelumnya.
   “Mau ke rumah saudara.” Sahutku tak kalah biasa. “Kamu?”
   “Ada acara musik dan kebetulan kami malam nanti akan ada di sana.” Temannya yang menjawab dan diiyakan oleh Toby. Spontan aku merasa kalau nanti Toby akan menjadi salah satu orang yang ditunggu di sana. Dan malam yang ditunggupun tiba, aku bersama dengan sepupuku yang kebetulan seusia denganku datang ke acara tersebut sesuai undangan. Diluar dugaanku ternyata sepupuku itu sudah kenal dengan Toby dan itu rasanya tidaklah aneh seperti halnya keterangan yang telah adik bungsuku sampaikan kemarin. Gadis itu mengatakan kepadaku kalau ia kenal dengan Toby saat aku menunjuk ke arah Toby yang sudah ada bersama teman-teman bandnya di panggung.
   “Ya, Toby memang sering main band.” Ujarnya singkat. Saat kami melihat ke arah Toby dan kebetulan pria itu juga sedang menoleh ke tempat duduk kedua kami dengan senyum khasnya ia seolah menyapa. Sepupuku menangkap kalau Toby ada hati denganku meski ada puluhan gadis di acara itu untuk mengikuti acara muda-mudi yang sedang mengikuti acara pesta pernikahan kerabat.
   Setelah acara ramah-tamah dari pengantin acara musikpun digelar terlebih dahulu pengantin yang menyanyi dan setelah itu baru anggota band pastinya akan menghibur semua yang hadir di tempat itu khususnya untuk kedua mempelai. Karena yang menjadi vocalisnya adalah Toby maka dialah yang tampil di depan.
   Suara Toby memang tidak diragukan lagi dan agak aneh terdengar kalau pria itu membawakan lagunya Iman S. Arifin yaiitu ‘dia lelaki aku lelaki’ sedangkan dari adikku mengatakan Toby tidak pernah menyanyikan lagu dangdut, tidak sampai di situ... lagu kedua membahana terdengar dari suara Toby melantunkan lagu Nicky Astria ‘Sirna’ dan lagunya SLANK membuatku merasa kalau lagu itu semua ada hubungannya pada malam di mana aku tidak bisa menerima cinta Toby lantaran aku masih memikirkan pria lain dan cintanya hanya tinggal puing-puing saja. Namun dibalik semua itu aku merasa ada yang tidak sesuai terutama diliriknya lagu dangdut itu yang inti  isinya kalau tidak salah bunyinya ‘dia punya cinta aku juga, tetapi kau memilihnya hanya karena ia punya harta’ huhuhu itu merendahkan sekali, sedangkan aku dengan Toby saja belum pacaran tapi Toby seolah mengatakan aku memilih pria kaya. aku merasa sakit hati yang luar biasa bercampur tersinggung namun perlahan rasa itu menguap dengan menimbulkan rasa lain, rasa yang selama ini tidak mungkin bisa ditebak olehku yang merasa ia tidak punya cinta lagi kepada pria manapun di dunia ini. Aku merasakan hatiku kosong seakan ada diruang hampa namun perlahan sosok lain muncul di benak, otak dan pikiranku yang selama ini sudah membeku. Namun setelah selesai menyanyi aku melihat Toby mengguyur tubuhnya dengan seember air sambil duduk di belakang panggung dan tidak jelas apa maksudnya, apakah karena kepanasan atau ada hal lain yang tidak dimengerti olehku.
   Diakhir acara panitia pelaksana pesta memanggil pasangan muda-mudi yang menjadi pemenang pakaian pantas, Raja dan Ratu dari tamu undangan, pasangan serasi, penyanyi terbaik dari tamu serta yang lainnya dan hal itu biasa dilakukan pada acara-acara seperti itu dan mereka biasanya akan dikasih kenang-kenangan oleh kedua mempelai. Malam itu ternyata aku terpilih menjadi Queen dan aku bersama yang lainnya dipanggil untuk datang mendekati kedua mempelai di dekat panggung yang sudah berdiri menunggu tamu pantasnya datang. Aku naik panggung dan secara otomatis bertemu dengan Toby yang selalu ada di panggung dan sepertinya pria itu sudah menggantikan pakaiannya. Dia tersenyum kepadaku sambil mengatakan.
   “Selamat sudah terpilih menjadi Queen malam ini.”
   “Terima kasih, kamu.... kenapa menyanyikan lagu-lagu itu?”
   “Yaaaa.... tapi pas semua.’kan.” sahutnya seolah merasa menang karena telah menyinggungku. Semakin kesal  hatiku rasanya namun aku tidak bisa berbuat apa-apa, apalagi saat pulang bersama sepupuku Toby ikut mengantar dan minta minum seakan ingin lebih lama bersamaku meski pesta sudah usai dan malam mulai larut namun aku tidak memberikannya waktu banyak karena  ingin tidur.
   Keesokkan harinya aku menemui Razthi, siang itu gadis itu baru saja pulang dari sekolah namun aku langsung menyampaikan maksud dari kedatanganku.
   “Bi, besok tolong Bibi bilang sama Toby kalau aku mau pacaran sama dia.” Ujar Helen tanpa tedeng aling-aling lagi namun gadis itu menanggapinya dengan santai.
   “Lagian kenapa juga kalian putus?” hela Razthi diluar dugaanku.
   “Apa? Putus? Jadi selama ini Bibi mengira aku sama Toby itu sudah pacaran?”
   “Lha memangnya nggak?” dia menatap aku dengan mimik masih tidak percaya karena selama ini dia sering melihat Toby selalu bersamaku dan kalaupun dia bertemu hanya aku yang dibicarakan oleh Toby bukan perempuan yang lain jadi aneh rasanya kalau mereka ternyata belum pacaran. Tapi bisa saja Toby yang selalu mendambakan aku sedangkan gadis itu hanya menganggapnya sebatas teman saja, tidak lebih. Tapi mengapa sekarang Helen ingin pacaran dengan Toby? Ada apa ini? Apa yang telah terjadi diluar pengetahuan Razthi namun bukan itu yang perlu dibahas sekarang.
   “Apakah selama ini Toby pernah menyanyikan lagu dangdut?” tanyaku penasaran.
   “Belum pernah sama sekali.” Tegas Razthi dan itu sudah cukup buatku sebagai bahan masukkan untuk mengetahui apa yang telah Toby lakukan kepadaku apalagi pria itu sudah mengatakan semua lagu yang ia nyanyikan malam itu untuk menyinggung aku.
   Dan sesuai permintaan akhirku setelah pulang dari sekolah Razthi terlebih dahulu mampir di rumah Toby yang letaknya tidak begitu jauh dari tempat ia menunggu mobil angkutan umum. Siang itu ia masuk ke rumah pria yang kebetulan semua keluarga sudah kenal dengan Razthi. Saat Razthi memanggil nama Toby ia tidak keluar sampai ibundanya meminta Razthi langsung masuk saja ke dalam untuk menemui Toby. Di dalam ternyata pria itu sedang makan siang, pantas saja... kalau sedang makan ia paling tidak mau diganggu oleh siapapun.
   “Aduh, saking nikmatnya makan sampai suara orang tidak kedengaran lagi. Ada pesan dari Helen, katanya dia ingin pacaran dengan kamu.” Kata Razthi tanpa merahasiakan apapun dengan Toby. Pria itu menoleh kepada Razthi seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
   Dan menjelang sore, Toby sudah tiba di rumahku dengan mengendarai sepeda saat aku sedang menonton acara musik di TVRI. Ia senyum-senyum saja seolah sedang mendapatkan sebuah lotre atau menganggap ada hal menggembirakan diluar dugaannya.
   “Kenapa senyum-senyum....?” kataku merasa tidak nyaman dengan senyum Toby yang dimataku terkesan melecehkan.
   “Tidak apa-apa... hanya saja merasa aneh dengan sikap kamu, merasa tidak percaya dengan apa yang dikatakan Razthi kemarin siang tapi setelah mendengar langsung dari kamu rasanya jadi..... kok bisa ya?” pria itu masih tidak percaya dengan apa yang sedang ia hadapi.
   “Yah, begitulah kenyataannya. Sama siapa ke sini?” aku memaklumi keraguannya yang seolah merasa dipermainkan sekaligus merasa bangga kalau itu benar terjadi.
   “Sama sepupu, gadis kecil tapi aku suruh dia menunggu di rumah Razthi.” Kata Toby yang ternyata bela-belain naik sepeda menuju rumahku hanya untuk buru-buru bertemu denganku. Pria itu kembali menatap aku. “Ada apa sebenarnya? Benar apa yang kamu katakan itu? kamu ingin menjadi pacarku?”
   “Apakah itu menjadi hal yang tidak lazim untuk kamu? Seorang perempuan mengatakan ingin pacaran kepada laki-laki?” ujarku merasa diremehkan  melihat sikap Toby yang masih meragukan pengakuanku.
   “Bukan, ini kasusnya beda. Aku sudah pernah mengatakan terlebih dahulu ingin pacaran dengan kamu tapi saat itu kamu mengatakan belum bisa melupakan seseorang dan tidak bisa menerima cintaku. Apakah sekarang kamu bisa melupakan orang tersebut?” ia membahasnya.
   “Entahlah.... saat kamu menyanyikan lagu-lagu malam itu aku memang sangat membenci kamu, tapi di sisi lain aku juga merasakan ada hal aneh yang menjalar di hatiku, apakah itu karena menghilangnya sosok pria itu atau munculnya benih cinta yang baru? Tapi yang pasti aku tidak suka dengan lagu dangdut itu seolah mengisahkan seorang perempuan memilih laki-laki hanya karena uangnya dan kesan dalam lagu itu, sang perempuan sudah menjadi pacar dari si laki-laki namun ia berpaling hanya karena ada laki-laki lain yang lebih mapan.” Jelasku, memang Toby tidak pernah menanyakan prihal pria yang tidak bisa dilupakan oleh aku namun saat ini ia merasa apa yang aku katakan itu memang benar adanya karena dia dengan aku belum pernah pacaran.
   “Yahh.... aku minta maaf, namanya juga lagu.” Kata Toby tapi ia tidak tahu apa yang sedang dirasakan olehku dan sore itu aku mentasbihkan sudah resmi pacaran dengan Toby apalagi melihat sikap Toby yang senyum-senyum bahagia.
*
   Bersama dengan keempat temanku yang lain kami mengikuti acara kemah tiga hari bersama anggota kosgoro menyambut menteri lingkungan hidup dalam program penanaman sejuta pohon di kecamatan daerahnya, diantara mereka ada juga Razthi yang masih duduk bangku kelas 2 SMA yang lainnya sudah menyelesaikan sekolah menengah atasnya. Di acara itu kami dikasih kaos seragam kosgoro serta sebuah topi, dalam waktu kemah tiga hari itu kami semua dikasih makanan mie serta yang lainnya. Pada acara puncak pas hari ke tiga itulah pak menteri datang disambut dengan meriah bahkan panggung gembirapun diadakan, penanaman sejuta pohon dilaksanakan secara simbolis. Di tempat itu juga aku bertemu dengan mantan adik kelasku yang dulu pernah menjadi juara kelas karena setiap juara diumumkan di lapangan dan disebutkan namanya satu persatu sebelum pembagian raport. Tidak ada yang istimewa karena anak muda itu hanya lewat di depan tenda kami dan membantu orang sebelah yang belum selesai mendirikan tenda. Tempat kemah yang ada dilingkungan irigasi dan danau itu memanjakan para peserta untuk bersenang-senang di danau dengan naik perahu. Kenangan itu menjadi sejarah sendiri bagiku bersama teman-temanku khususnya dengan Razthi.
   Menjadi kekasihnya Toby tidak seindah yang aku bayangkan karena seringkali pria itu manggung di luar kota, pindah dari kabupaten yang satu ke kabupaten yang lainnya sehingga seringkali aku menghabiskan malam minggu dengan rasa sepi dan kesendirian yang membosankan. Pernah saat aku mengatakan hal itu namun Toby menjelaskan kalau ia punya foto dan bisa melepaskan rasa rindunya dengan hanya menatap fotoku namun tidak demikian dengan aku yang tidak akan bisa melepaskan rasa kangen dengan hal seperti itu bahkan aku bisa menjadi lebih kangen kalau melihat foto kekasihku. Padahal kami itu pacaran tidak seperti remaja-remaja yang lain sebab aku punya prinsip ‘tidak ada yang boleh menciumku kecuali suamiku nanti.’ Toby pun tahu hal itu karena aku sudah menjelaskan saat pria itu ingin membuktikan kasih sayangnya dengan cara ingin mengecup pipiku namun dengan pelan dan penuh rasa penghargaan yang tinggi kucoba mengatakan hal itu dan sepertinya Toby menghargai prinsipku dan malam minggu itu saat aku duduk sendirian di teras dengan lampu dimatikan namun bias cahaya terang dari luar juga dari lampu tetangga masih jelas menerangi teras saat itu muncullah Toby sebelumnya sejenak ia menatap aku dengan rasa cinta yang dalam dan menyadari betapa aku membutuhkan kehadirannya. Iapun mengusap-usap kepalaku sekilas tanda betapa ia amat sangat menyayangiku. Bercerita banyak hal dalam masalah apa saja adalah cara kami menghabiskan waktu dan menyatukan hati karena besok Toby akan kembali pergi ke kota lain dengan begitu aku kembali menghabiskan waktu dengan Razthi, gadis yang supel sekaligus punya suara bagus kalau menyanyi. Namun anehnya adik-adikku tidak begitu menyukai gadis itu dengan alasan Razthi itu galak dan cerewet namun galaknya Razthi adalah demi kebaikkan orang-orang yang ia sayangi misalnya menyuruh mereka pulang ke rumah untuk belajar agar tidak bermain terus di jalan.
   Malam itu aku menginap di rumah Razthi karena kedua orang tuanya sedang menginap di ladang, kami tidak pernah kekurangan bahan untuk bercerita mengenai isi dunia ini. Obrolan itu terus saja mengalir sambil kami iseng menempelkan puluhan prangko di kertas karton. Razthi ternyata banyak juga menyimpan prangko karena ia rajin berkirim surat dengan kekasihnya yang ada di pusat kota, mereka bertemu hanya sekali dalam waktu enam bulan saja sehingga surat-menyurat adalah jalan satu-satunya yang mereka tempuh. Malam itu juga pertama kalinya Razthi melihat aku mengeluarkan air mata, tidak tahu mengapa bisa kejadian seperti itu.... air mataku menetes saat mengisahkan tentang Toby. Apakah karena rasa cintaku yang berlebihan atau karena aku sering kangen dengan pria itu, entahlah.
   “Pertama kalinya Bibi melihat aku menangis.” Ujarku namun tangisku hanya sejenak dan bukan tangis yang berlebihan namun itu tangis yang tidak bisa disepelekan karena Razthi tahu aku adalah gadis kuat. Menit berikutnya kami bisa tertawa lagi meski malam sudah sangat larut dan prangkopun sudah selesai ditempel dan menghasilkan karton lebar yang sudah dipenuhi tempelan prangko. Saat melihat jam dinding kamar ternyata sudah menunjukkan pukul tiga pagi dan ketika kami ingin minum namun ternyata tidak berani pergi ke dapur akhirnya hauspun ditahan sampai kami bisa tidur.
*
   Aku didatangi oleh pak kepala desa, pria itu meminta aku mengikuti acara Pelatihan Manajemen Karang Taruna di pusat kota yang diadakan oleh pemerintah pusat bidang sosial bersama 91 orang lainnya berasal dari berbagai kabupaten se-provinsi dan akan berkumpul di sebuah Hotel. Aku tidak tahu mengapa dipilih oleh kepala desa namun kujalani saja karena tidak ada ketentuan yang memberatkan disamping itu aku juga punya waktu luang untuk mengikuti kegiatan itu. Berangkatlah aku dengan mobil yang sudah ditunjuk oleh kepala desa, semua akomodasi ditanggung oleh pihak pelaksana. Perjalanan menuju tempat penataran itu akan ditempuh sekitar lima jam dengan naik angkutan umum. Di atas sebuah jembatan mobil terpaksa menepi karena pecah ban, aku tahu ada juga orang yang  kukenal di dalam mobil itu karena gadis itu desanya tidaklah jauh dari tempat aku dan sepertinya dia satu-satunya gadis yang satu grup denganku. Semua penumpang harus turun dari atas mobil untuk menggantikan ban baru termasuk aku yang turun agak belakangan, saat kakiku menginjak tanah dan mataku mengarah pada pinggiran jembatan di mana ada seorang pemuda berdiri di sana dengan posisi membelakangiku, punggung itu rasanya tidak asing di mataku tapi di mana aku pernah melihatnya? kucoba mendekati karena di bawah jembatan ada sebuah sungai yang mengalir menjadi pemandangan tersendiri. Saat aku dekat pemuda itupun menoleh ke arahku dan akhirnya kedua kami saling menyapa dan tersenyum seolah saling ingat satu sama yang lainnya.
   “Mm... ikut acara pelatihan juga?” tanyaku dan pria itu mengangguk. “Tapi aku kok tidak melihat kamu?”
   “Kamu kan duduknya di depan bagaimana bisa melihat aku? Waktu aku mau masuk mobil tadi sebenarnya aku sudah melihat kamu di samping sopir.” Jelas pria itu setengah menggoda. Adik kelasku tumbuh menjadi pria tampan yang tinggi besar dan benar-benar mempesona ditambah lagi caranya menghahadapi orang sangat lembut, aku khawatir akan terperangkap dengan pesonanya.
   Sampai di lokasi sudah siang, aku beserta beberapa anggota yang lain sudah berdatangan dan mereka diminta oleh panitia untuk mengisi formulir masing-masing tak terkecuali aku dan setelah selesai ia duduk di ruang tunggu menunggu instruksi berikutnya karena yang lain masih terus saja masuk. Tiba-tiba mataku melihat seorang gadis tomboy masuk dengan sangat santai dan cueknya dengan tas ransel di bahu kanannya. Gadis itu terlihat ramah kepada semua yang ada di ruangan itu dengan kaos merahnya yang menyala serta celana jeans. Kehadiran gadis itu sempat menyita waktuku sejenak lalu aku kembali ingat dengan anak muda tadi, di mana dia? Setelah menunggu beberapa saat panitia membagikan kamar untuk semua peserta agar mereka bisa isirahat karena nanti pukul tujuh malam sudah ada acara pertemuan di ruang auditorium.
   Aku ada dalam satu kamar bersama dengan tiga gadis lainnya, tidak ada gadis tomboy itu hanya ada tiga gadis yang sepertinya keturunan dari pulau Jawa. Saling kenal dan berbasa-basi sekedarnya dan bisa kulihat kalau ke tiga gadis iu sepertinya sudah lama saling kenal namun itu bukan alasan bagiku untuk kembali memikirkan gadis tomboy dengan rambut semi bob, terllihat ramah dan sangat menikmati hidup. Setelah maghrib aku coba keluar dari kamar untuk bergabung dengan peserta yang lain, ketika ia mau naik ke lantai dua ia terhalang dengan anak muda yang dari kemarin sudah mengganggu pikirannya.
   “Mau ke mana?” tanya pria itu dengan santai.
   “Hanya ingin melihat-lihat saja.” Sahutku apa adanya.
   “Oh, banyak peserta pria di atas.. mau aku antar?”
   “Mm... tidak jadi deh.” Aku mengurungkan niat untuk melihat-lihat situasi di lantai dua karena tidak lama lagi para panitia akan meminta mereka untuk berkumpul di ruang makan untuk makan malam dan setelah itu acara penataran pertama akan segera dimulai.
   Seusai acara makam malam semua peserta masuk ke ruangan yang sudah dipersiapkan untuk mendapatkan ilmu dari para narasumber, ruangan itu tidak ubahnya disulap seperti kelas yang anggotanya ternyata ada 91 orang terdiri dari 11 perempuan dan 80 laki-laki. Semua anggota mungkin baru mengetahui apa tujuan dari penataran itu, sebagai putra dan putri yang berdomisili di desanya masing-masing mereka dituntut untuk bisa membuka lapangan pekerjaan dan setidaknya bisa menjadi contoh untuk remaja lain untuk tidak berpangku tangan apalagi mereka semua mewakili dari Karang Taruna masing-masing dan banyak dari mereka sebenarnya menjabat sebagai ketua Karang Taruna di desanya. Malam itu juga diadakan pemilihan ketua dari anggota peserta penataran dan yang terpilih adalah seorang pria yang usianya sekitar tiga puluhan keturunan Padang yang sudah lama menetap di Provinsi itu dan kelihatannya dialah satu-satunya yang sudah matang dan telah lama menjadi ketua Karang Taruna di tempatnya dan ternyata ia sebenarnya pegawai PU.
   Malam berikutnya di kamarku penghuninya berubah ada gadis tomboy itu dan tidak tahu siapa yang pergi dari kamar itu sehingga gadis itu bisa masuk sungguh aku tidak ingat siapa yang menggantikan posisinya karena di ruangan itu ada tiga tempat tidur. Yang satunya besar muat untuk dua orang dan dua lainnya khusus untuk satu orang. Tapi apapun alasannya mengapa penghuni kamar itu bisa berganti tidak menjadi masalah buatku karena gantinya tidak mengecewakan. Tidak tahu siapa yang mulai karena dalam hitungan jam saja Aku dengan gadis itu sudah bisa terlihat sangat akrab. Acara sore selesai pukul lima dan gadis itu mengajak aku ke sebuah tempat yang ada di sebelah Hotel, ternyata sebuah warung karena ia ingin membelikan ‘sesuatu’ dan itu tidak membuatku terkejut sebab dalam hidupku sudah sering menemukan hal itu. Aku memilih hal lain yaitu sebuah Majalah remaja bulanan dan membeli beberapa kwaci. Setelah ada di satu kamar maka untuk duduk saat mengikuti seminarpun kami selalu berdampingan, seminar yang santai namun tidak mengurangi sedikitpun aktifitas semua anggota yang terlihat serius, narasumber yang kompeten dibidangnya serta remaja pilihan itu terlihat semangat menimba ilmu, meski aku dengan teman duduknya sering menikmati kwaci saat seminar berlangsung.
   Malamnya di kamar gadis tomboy itu menikmati apa yang tadi ia beli di warung dan sepertinya ketiga orang yang ada di sisi lain kamar terlihat tidak menyukai kebiasaan gadis itu terlihat sekali mereka bisik-bisik, aku memaklumi sikap mereka. Malam terus beranjak dan gadis itu masih saja menikmati hobinya yang tidak semua orang suka. Aku yang tiduran-tiduran di ranjang mengamati gadis itu karena dari tadi aku menemani gadis itu berbincang, malam makin larut namun aku bersama gadis itu masih saja berbincang meski tidak berani mengeluarkan nada keras karena ada dua orang yang sudah beranjak tidur. Kini aku turun dari ranjang dan duduk dihadapan gadis itu seolah kisah yang gadis itu ceritakan menjadi hal yang luar biasa untukku. Tidak tahu mengapa gadis itu mengutarakan semua hal yang dia alami selama ini, dari kisah asmara dan rasa sakit yang pernah ia alami sepanjang perjalanan hidupnya. aku semakin tertarik dan merasa makin sayang kepada gadis itu, sehingga tidak ada celah yang membuat kami berpisah. Setiap istirahat seminar baik siang, sore ataupun malam kami selalu terlihat bersama. Suatu sore kedua gadis itu keluar dari Hotel menuju sebuah barak polisi di tengah kota, gadis itu ingin bertemu dengan salah satu temannya anggota polisi di sana tapi sayangnya temannya sedang tidak ada di tempat. Akhirnya kami menuju tempat wisata yang ada dipinggir laut, kami naik ke atas Benteng lalu duduk diatas itu untuk menikmati pemandangan laut yang luar biasa menakjubkan. Aku memegang sebuah majalah dan sekali-kali membacanya disela gadis itu bercerita tentang kota yang selama ini sudah menjadi rumah kedua baginya. Aku tidak tahu apa kelebihan gadis itu di mataku sehingga aku betah ada didekatnya selain nyaman, seru juga tapi yang pasti aku menghargai gadis itu karena sudah mempercayai dirinku untuk bisa dekat dengannya diantara sembilan gadis yang lain.
   Minggu pagi dan siang tidak ada acara seminar kecuali malam nanti dan anak-anak bisa main keluar bahkan mengunjungi sanak saudara mereka kalau ada yang tinggal dekat dengan Hotel. Pagi itu anak muda sang mantan adik kelas mendekatiku dan bermaksud mengajak aku keluar dari Hotel untuk mengunjungi pantai. Lokasi Hotel memang tidak jauh dari pantai meski harus dua kali naik angkutan umum tapi jaraknya saling berdekatan. Tapi anehnya pria itu malah pamit dulu kepada gadis tomboy itu.
   “Aku ingin mengajak Helen keluar, boleh ya?”
   “Boleh-boleh saja dengan satu syarat tidak boleh lama-lama.” Ujarnya santai seolah menganggap aku itu adalah adiknya dan ia ingin menjagaku. Mendengar kata-kata gadis itu membuatku merasa senang karena merasa tidak sendiri di Hotel itu meski kebanyakan gadis lain tidak menyukainya gadis tomboy itu dalam arti lain, satu nilai tambah yang membuat aku suka sama gadis itu karena ia pandai bernyanyi sekaligus suaranya lumayan indah.
   “Kenapa meminta izin segala dengan gadis itu?” Aku ingin tahu mengapa anak muda itu meminta izin kepada temanku.
   “Karena saat ini dialah satu-satunya orang yang dekat dengan kamu. Terlihat dia menjaga kamu dan sangat menyayangi kamu.” Tuturnya agak berlebihan.
   Di Pantai, kami mengambil tempat duduk di bawah tenda yang tempat duduknya terbuat dari semen sekaligus ada meja permanennya. Sambil menikmati kacang kulit mereka bercerita tentang masa sekolah dulu, perhatian keluarga masing-masing dan ke mana mereka setelah tamat SMP. Tidak ada hal yang istimewa dibicarakan namun kami merasa sangat bahagia di sore hari itu bahkan sampai menikmati sunset.
   Di Hotel gadis tomboy itu merasa tidak tenang karena aku belum kembali juga padahal acara seminar malam sudah akan dimulai. Aku buru-buru mandi sebab waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Pria itu sepertinya masuk terlebih dahulu karena saat masuk aku mendengar suara gadis tomboy itu.
   “Hai, Helen di mana?” ujarnya dengan nada kekhawatiran sekaligus tidak senang dengan anak muda yang tidak memegang janjinya untuk tidak lama-lama membawaku.
   “Ada di belakang.” Sahut pria itu bersamaan dengan munculnya aku yang tidak jauh dari punggung pria itu dan langsung bergabung ke meja gadis tomboy itu setelah  minta maaf kepada pemberi materi yang baru saja berdiri di depan anggota seminar.
   “Hei...” Aku menyapa teman sebangku-ku.
   “Kok sampai malam?” sahut gadis itu sekedar ingin tahu.
   “Tanggung karena mau melihat sunset.” Jawabku dengan jujur.
   Makin hari acara seminar di Hotel itu makin mengasyikkan satu dengan yang lain makin akrab. Satu dua pria mulai memberanikan diri mengajakku bicara bahkan tak segan-segan menggoda meski dalam kesopanan. Namun aku hanya berbagi kisah dengan gadis tomboy itu karena aku melihat hanya gadis itu yang tulus. Yang paling mengagetkanku adalah saat sang ketua coba mendekati aku dan langsung saja gadis tomboy itu menjelaskan kalau ia kenal dengan pria itu yang ternyata sudah punya isteri, perkara ia sudah pisah atau belum itu bukan urusannya, intinya ia tahu kalau pria itu sudah punya isteri. Pria itu memang ramah tapi tentu saja bukan tipeku tentunya.
   Aku dan gadis tomboy itu jadi akrab dengan beberapa pria yang lain dan kami menjadi teman, gadis itu memberitahukan kepadaku kalau diantara mereka ada yang berulang tahun, sore itu kami pergi ke warung untuk membelikan hadiah ulang tahun untuk salah satu teman mereka. Dan gadis itu mengusulkan untuk membungkus kwaci dalam jumlah banyak dengan alasan karena mereka menyukai makanan kecil itu. lucu juga sih, sekaligus membuat kejutan yang sedang berulang tahun, mereka senang setelah membuka kado yang dibungkus dengan rapi itu. moment itupun diabadikan sebuah kamera karena kami memberi kejutan itu di ruang istirahat Hotel.
   Saat-saat terakhir anggota seminar diberi tugas keluar untuk melihat perkembangan desa-desa terdekat yang ada di lingkungan, mereka harus melakukan observasi langsung dan bertanya kepada warga mengenai manfaat lingkuangan dan tanah kosong yang ada di halaman rumah warga. Yang membagi kelompok mereka tentunya sang ketua dan pria itu memisahkan aku dengan gadis tomboy itu dan dia sendiri malah satu grup denganku bersama dengan sepuluh orang lainnya. Dari pagi kami mengadakan kunjungan ke sekretariat RT terdekat dan bertemu dengan pengurus RT, setelah mengadakan pertemuan itu kami langsung mendatangi ke rumah-rumah penduduk untuk sekedar mengetahui peran anak muda dalam keluarga. Setelah jelang siang dan tugas telah selesai maka sang ketua membawa rombongannya untuk jalan-jalan ke sebuah tempat wisata yang ada di pinggir laut. Di mana ada bangunan-bangunan bersejarah peninggalan Belanda. Dikesempatan itu sang ketua selalu menyempatkan diri untuk mengajak aku foto bersamanya. Kami menggunakan seragam yang disediakan oleh pelaksana.
   Malamnya anggota mengadakan diskusi mengenai hasil observasi tadi siang dan dalam diskusi itu aku melihat sang adik kelasku lebih dominan, entah dia sengaja eksis karena kemampuannya atau ingin memperlihatkan sisi lain dirinya kepadaku.
   Keesokannya adalah hari bebas karena lusa kami akan kembali ke desa masing-masing. Hari itu sang ketua meminta anak-anak mengumpulkan pas foto ukuran kecil  dan menyerahkan alamat lengkap untuk dibuatkan buku album yang nantinya akan diberikan kepada masing-masing peserta. Hmm... cukup kreatif!
   Malam itu adalah malam terakhir kami ada di Hotel, tidak ada penataran malam terakhir itu sehingga mereka menggunakan waktu dengan makan bersama di luar yaitu di tenda pinggir jalan. Aku dan teman-temanku memilih makan sate sambil menghabiskan malam untuk beberapa jam di luar bahkan duduk di pinggir jalan.
   Pagi itu setelah sarapan semua sudah siap untuk kembali ke Desa masing-masing, siap dengan barang-barang serta tas juga dengan album kenangan tentuya serta sebuah amplop yang isinya sekedar uang saku unrtuk anak-anak yang mungkin dikeluarkandari dinas sosial. Mini bus sudah menunggu di depan Hotel untuk mengangkut yang tempat tinggalnya jauh dari Hotel. Aku akan kembali ke Desaku dengan membawakan apa yang telah didapat di tempat itu dari beberapa orang pengajar yang kesemuanya berasal dari pusat. Di jalan saat mini bus itu berhenti agar anak-anak bisa makan di warung makan dan anak muda itu selalu berusaha dekat denganku sampai membantu aku membawakan tas dan ia juga coba membayar makan siangku di rumah makan itu. aku tidak mau terlalu cepat mengambil kesimpulan kalau pria itu menyukaiku meski kutahu waktu di tempat penataran banyak yang berusaha mendekatiku dan pelan-pelan mundur karena aku tak ingin memberi harapan kepada mereka meski ada satu dua yang kusukai namun sekedar teman biasa saja.
   Sebelum sampai di rumah orang tua aku terlebih dahulu mampir di rumah kakak perempuanku yang sudah menikah karena ia sudah membelikan sebuah jaket untuk keponakanannya yang berusia empat tahun. Setelah itu ia baru pulang, malamnya aku langsung menemui Razthi karena disamping kangen iapun akan bercerita banyak kepada gadis itu. meski sudah pacaran dengan Toby tetap saja pria itu jarang pulang karena sibuk dengan urusan band-nya. Saat mau berangkat Razthi memang sangat mendukungku dan saat aku pulang iadipun langsung bertanya apa yang didapatkan. Aku menjelaskan kalau aku dituntut untuk membagi apa yang telah dapat kepada semua teman remaja di Desa kami dan satu-satunya cara adalah dengan mengumpulkan mereka maka langkah pertama dilakukan adalah mengundang mereka untuk berkumpul di sekretariat Desa. Aku ditemani Razthi mendatangi satu persatu rumah anak remaja yang ada di Desa tersebut yang mungkin anak mudanya tidak kurang dari seratus orang.
   Saat malam yang ditentukan dan ternyata yang datang ke sekretariat Desa tidak lebih dari tiga puluh persen memenuhi undangan itu yang lainnya sibuk bersenda gurau di pinggir jalan bahkan sekedar santai dengan teman-temannya yang lain. Namun Helen harus menyampaikan niatnya kepada yang sudah hadir yaitu  untuk meningkatkan kegiatan Karang Taruna di Desa mereka yang selama ini nyaris tenggelam, tapi entah mengapa tanggapan mereka dingin-dingin saja membuat aku merasa tidak mendapatkan tantangan dari semua orang yang hadir malam itu.
   Razthi masih sibuk sekolah dan aku tetap saja menjalani kehidupanku yang belum jelas, sore itu sang anak muda datang ke rumahku dengan tenang dan penuh keyakinan akhirnya sore itu juga ia mengatakan kepadaku bahwa dia mencintai di depan adik bungsuku. Hmm... sudah banyak pria yang mengatakan perkatakan yang sama seperti itu namun pria yang satu itu teramat sopan dan terus terang juga sangat jantan saat mengatakannya meski usianya satu tahun dibawahku sehingga di mataku ia termasuk pria yang istimewa. Dengan hanya tersenyum aku menanggapi ucapannya karena dari acara pelatihan aku sebenarnya sudah bisa menebak perasaan pria itu namun tidak ingin gegabah karena sesungguhnya tidak ada yang benar-benar tahu isi hati seseorang. Kehadiran pria itu aku kenalkan juga kepada sahabatku Razthi dan juga menjelaskan kalau pria itu adalah adik kelasku yang juga ikut penataran waktu itu dan sudah bisa Razthi tebak kalau hubungan mereka tidak biasa. Aku memang disukai banyak pria tapi Razthi tahu perasaanku lebih berat kepada Toby meski Toby tak begitu banyak waktu untukku sehingg aku seringkali merasa sendirian meski ada Razthi yang selalu siap mendengar setiap keluh kesahku.
   Mulai sejak itu kebiasaan mencoret-coret di buku yang diberikan salah satu temanku mulai digemari lagi olehku untuk sekedar menumpahkan perasaan melalui tinta di kertas putih.
BALADA...
   Mentari menjelma, Aku gelisah tidak tahu mau ke mana harus melangkah. Angin senja menjemput duka..menyapu... dan aku tersiksa. Melamun...disiang hari waktu habis cuma tuk melamun Menyendiri dan sendiri... kucoba mencari kesibukan.. sia-sia. Mentari telah tertidur sang dewi malampun terjaga, tersenyum....Namun bathin tambah tersiksa....dalam penantian.
   Penantian?! Oh, aku tidak tahu apa sebenarnya yang aku nanti? Apakah cuma menanti muncul dan terbenamnya mentari dan rembulan?
   Apa ini? Mengapa tidak ada lagi perasaan rindu ini untuk kamu? Apakah karena aku terlalu yakin kau mencintaiku? Kau coba menjadi kekasih yang setia dan coba menjadikan aku juga sebagai kekasih setiamu Namun telah bersusah payah kubina kesetian itu akhirnya kau sia-siakan...
   Haruskah aku kecewa? Aku yakin dengan cinta dan ketulusanmu tapi hanya sebatas itu, karena kenyataannya kamu rela membiarkan aku sendirian tanpa mau tahu apa yang terjadi padaku.
   Aku terlena dengan kesetiaan yang telah sirna, Aku tidak bisa menyalahkan siapa-siapa...tetapi haruskah aku menyalahkan cinta? Atau barangkali cintaku yang sia-sia?
   Kau taburkan cinta dihatiku, kau siram dengan kasihmu, Walau akhirnya  kau juga yang membunuhnya. Mengapa harus terjadi? Perjalanan cintaku memang unik dan mengesankan..terkadang menyedihkan.
   Cinta memang pernah hilang, sepi jadi teman abadi, kau temukan cintaku bersama sosokku..tapi kini kau yang menghilang. Kau tinggalkan cintamu bersamaku. Kau berikan beban cinta...
   Aku pernah menikmati kekosongan...hidup hampa, tapi tak sepahit cinta tanpa kepastian. Laksana dewa penolong kau selamatkan  cintaku, tetapi setelah itu kau biarkan cinta itu bersemi sendiri...
   Kini muncul pria lain yang mencoba masuk ke dalam hatiku haruskah aku menepisnya? Apalagi aku merasa banyak sekali kesamaan di antara kami berdua. Siang itu aku sedang ada di rumah Razthi kebetulan ada tukang pos mampir di rumah itu membawakan surat untuk Razthi yang senang sekali berkirim surat dan iseng aku bertanya kepada tukang pos.
   “Ada buat saya tidak, Pak?”
   “Coba saya lihat dulu.” Ujarku. Pak pos memang sudah kenal dengan baik denganku karena  sering menerima surat dari kakakku y ang ada diluar kota dan tak jarang waktu sekolah aku sering mendapatkan wesel yang dikirim kakakku dan setiap kali menerima wesel kuberitahukan kepada kedua orang tuaku meski wesel itu untuk keperluan sekolahku dan juga adik-adikku. “Ada ini....” kata pria itu setelah menemukan surat yang ternyata tertulis untukku. Razthi yang mengira itu dari kekasihku yang ada di luar kota langsung meraih surat itu dari tangan pak pos sebelum sampai di tanganku.
   “Yaaahhhh dari perempuan.....” nadanya agak menyesal setelah melihat nama pengirimnya.
   “Sini...” Aku kaget mendengar nama perempuan. Setelah surat itu ada ditangan aku langsung mengukir senyum indah. “Apbriel.” Gumanku agak berseru karena kangen sekali dengan gadis itu. pria itu bisa melihat betapa sumringahnya aku saat mendapatkan surat dari Apbriel seorang gadis yang juga  dia kenal, ia juga seolah bisa merasakan kebahagiaanku sebab ia tahu betul betapa dekatnya aku dengan Apbriel.
   “Siapa Apbriel itu?” Razthi bertanya kepada pria itu yang dari tadi ikut melihat keasyikanku dengan
Razthi saat mengerumuni pak pos sedangkan ia sendiri hanya mampir karena melihat ada aku di depan rumah Razthi.
   “Temannya waktu seminar.”
   “Oh...”
   Pria itu siap-siap pergi namun sebelumnya ia menawarkan kepada kedua gadis itu. “Mau ikut tidak?”
   Aku menyimak mobil yang dibawa oleh pria itu dan menyadari hari sudah mulai sore aku menolak dengan halus. “Tidak, terima kasih. Hati-hati ya di jalan.” Sahutku dan sepertinya lebih tertarik untuk membaca surat dari Apbriel daripada ikut pria itu ke Pasar terus balik lagi tanpa tujuan yang jelas. Aku dan Razthi melepaskan pria itu lalu mereka berdua kembali masuk ke rumah. Melihat aku membawa surat membuat ibunda Razthi bertanya.
   “Surat dari siapa?”
   “Dari temannya, perempuan.” Razthi yang menjawab.
   “Yah, kirain dari pacarnya.” Goda nenek membuatku jadi agak bingung karena mereka tahu aku itu adalah pacarnya Toby tapi entah mengapa seolah mereka berharap aku punya kekasih yang lain.
   Saat membaca surat dari Apbriel tak lepas mulutku menciptakan senyum indahnya, gadis itu menanyakan kabarku dan bla....bla...bla...
   “Helen.... bikin kopi ya.... kita belum ngopi nih.” Razthi mengalihkan keasyikanku.
   “Oke.....” jawabku yang sudah selesai membaca surat dari Apbriel lalu meletakkan surat itu diatas meja yang ada di ruangan tengah itu di mana kami seringkali menghabiskan waktu bersama menikmati kopi juga tempat Razthi menikmati rokoknya. Pertama mengetahui gadis itu merokok membuatku rada kaget juga tapi itulah dia. Tidak tahu apakah saat aku ke dapur Razthi membaca surat itu atau tidak? aku tidak tahu tapi memang gadis itu mencuri melihat sekilas meski tidak begitu tertarik mengetahui isinya. Razthi bukan tipe orang yang cemburu kepada teman karena ia yakin aku adalah temannya seorang  namun tidak demikian denganku.
   “Hemmm.... baru kali ini kamu bisa membuat kopi yang benar-benar terasa nikmat.” Puji Razthi sesaat setelah ia mencicipi kopi buatanku karena selama ini kopi yang aku buat selalu saja ada yang salah, kalau tidak kemanisan ya kurang kopi padahal Razthi dan aku menyukai kopi agak pahit. Selama ini Razthi yang selalu membuat tapi lama-lama Razthi memintaku  yang membuat meski baru saat itu terasa pas.
   “Yah, kan sudah sering belajar... masa tidak bisa-bisa.” Balasku bangga.
   Aku masih saja merasa tidak betah ada di Desa oleh sebab itu kucoba menginap di rumah kakak perempuanku, jarak rumah itu sekitar satu setengah jam perjalanan naik mobil. Desa itu sangat dingin sehingga seringkali turun hujan, satu dua aku mulai akrab dengan remaja lingkungan itu baik laki-laki ataupun perempuannya.
   Suatu malam aku akan menghadiri acara pernikahan seorang tetangga kakakku dan perempuan itu sudah kenal dekat denganku. Tapi hari itu aku sedang ada ada di rumah orang tuaku namun besok malam harus ada di rumah kakakku tapi sebelum ke Pasar dulu untuk membelikan sebuah kado bagi kedua mempelai. Saat turun dari mobil tiba-tiba Toby menghampiriku tidak tahu kapan pria itu pulang dari luar kota. Aku tidak menanyakannya dan ia juga tidak memberitahukannya. Entah seperti apa hubungan kami? aku sebenarnya masih merindukan pria itu tapi Toby...? pria itu terlalu dewasa mungkin untukku, ia tahu apa yang ada di hatiku dan tak pernah sakalipun ia melarangku untuk dekat dengan siapa saja yang aku sukai. Meski masih hijau bagi Toby namun aku tidak akan memperlihatkan cintanku yang mungkin orang anggap berlebihan. Tidak bisa dipungkiri kalau kehadiran Toby yang mendekatiku mengundang tanya banyak orang disekelilingnya mempertanyakan apakah gadis itu kekasihnya Toby? Sebab pria seperti Toby tidak mungkin menyukai perempuan sembarangan, selain ia memang diidolakan ia juga terlahir dari keluarga terpandang. Kedua orang tua Toby juga sudah kenal denganku dan mereka sudah menganggap aku seperti anaknya sendiri karena setiap aku main ke rumah Toby mereka menyerahkan apapun yang aku inginkan dan membuatku merasa tidak enak hati.
   Di toko besar itu aku membelikan kado yang langsung dibungkus, pemilik toko melirik Toby yang di sebelahku dengan senyum-senyum menggoda Toby yang jarang sekali menggandeng perempuan apalagi di siang hari. Wanita keturunan China itu melihat kebahagian Toby bersama aku.
   “Mau ke undangan ya?” ia menatap aku lalu ke Toby.
   “Ya... Cik, tapi jauh....” aku-pun menyebutkan nama Desa yang dimaksud jauh itu.
   “Tidak jauh kok...” Toby malah menyebut tidak jauh sembari tersenyum kepada pemilik toko lalu menoleh padaku. Tidak ada di antara kami apakah akan pergi bersama atau Toby akan kembali bergabung dengan band-nya. Pria itu tidak pernah lagi memberitahukan kapan ia pulang dan pergi.
   Aku sudah ada di rumah kakak bersama adik perempuanku yang usianya pas dibawahku. Aku memiliki tiga orang adik, dibawahku perempuan lalu laki-laki terus perempuan lagi. Aku jarang sekali memakai rok namun malam itu ia menggunakan rok yang ia beli saat di luar kota. Pengantin perempuan kenal dengan aku namun tidak dengan yang pria. Selama dua puluh lima hari akuS tinggal di rumah kakak dan tidak sedikit yang kenal denganku termasuk salah satu pria Ir. Pertanian itu yang sejujurnya aku tidak suka karena sikapnya agak kekanak-kanakan.
   Bersama dengan adikku kami mengambil tempat duduk di tengah dan tidak terlalu belakang namun cukup jelas melihat kedua mempelai yang sedang berbahagia. Tidak disangka ternyata di depanku sudah ada Razthi, hmm.... memang benar-benar gadis penikmat pesta ternyata dia.  Tidak tahu mengapa sebelumnya aku tidak mengetahui gadis itu akan ada juga di tempat itu karena aku mengira kondisinya masih sebagai pelajar tidak mungkin akan menghadiri pesta sejauh itu. kalau sudah bertemu dengan Razthi maka aku akan lupa dengan orang-orang sekelilingku tapi tidak dengan pria yang jadi teman pengantin pria sebab pria itu puluhan kali lebih keren dari sang pengantin.
   “Wah, kayaknya pengantin salah pilih pendamping tuh ya, Bik.” Kataku dan langsung diiyakan oleh Razthi.
   “Ya..... jadinya orang pada melihat ke pria itu deh. Sudah tampangnya kayak bintang film gitu.”
   MC pria yang juga kenal baik denganku dan kakakku sebab dia masih ada hubungan dekat sekali dengan suami kakakku sudah membawakan acara dari tadi, mulai pengantin membawakan lagu kesayangan mereka dan penyanyi dari grup band itupun sudah membawakan lagu perdana mereka. Kini MC sudah ada dua dan yang satunya seorang perempuan kebetulan aku tidak kenal dengan perempuan itu, mungkin ia dari pihak pengantin pria.
   “Oke..... dari tadi kita sudah mendengar pengantin menyanyi dan anak-anak band juga sudah menyanyi maka sebelum masuk ke lagu dari Anda untuk Anda sebelumnya saya ingin memanggil adik saya yang datang dari jauh untuk membawakan sebuah lagu di atas panggung ini.”
   “Siapaakah diaaaa....?” MC perempuan menambahkan seolah ingin menghidupkan suasana karena sudah pasti rekannya telah memberitahukan siapa yang akan mereka panggil  berikutnya. Sedangkan aku merasa mulai gelisah karena kalau pria itu mengatakan adiknya maka tidak lain dan bukan maka akulah orangnnya karena hubungan mereka memang sudah seperti adik kakak lantaran pria itu adalah sepupunya kakak iparku.
   “Diaaaa..... adalah... Heeeeelleennn.”
   Tidak sedikit mata mencari orang yang bernama Helen di dalam ruangan yang penuh dengan muda-mudi itu apalagi band yang di pakai pengantin adalah band ternama juga sengaja dipanggil dari luar kota. Mungkin band itu termasuk saingan terberat dari band-nya Toby.
   “Gila tuh orang..... mengapa ia panggil aku ya, Bik?” tanyaku kepada Razthi yang tahu pasti kalau aku tidak pernah mau menyanyi di tempat semacam itu.
   “Sudaaah... cuek saja... sana cepat...” kata Razthi memberi semangat ketika MC kembali memanggil namaku untuk maju dan akhirnya aku-pun bangkit dari tempat duduk. Beberapa saat kemudian setelah aku sudah ada diatas panggung dan sebelumnya anak band mengiringku dengan intrumen klasik dengan gitar listrik yang seakan memecahkan gendang telinga.Aku bicara kepada salah satu gitaris dan pria itu mendekatkan telinganya ke arah bibirku untuk mendengarkan lagu apa yang akan dibawakan olehku dan setelah tahu ia memberiahukan kepada temannya yang lain. Aku menghadap ke arah depan dan luar biasa kagetnya karena ternyata panggung itu sangat tinggi dan penonton yang ada di lapangan ternyata sangat banyak meski hanya kepala dan wajah-wajah mereka saja yang terlihat. Belum lagi para tamu muda-mudi yang khusus mendapat undangan dari pengantin selain itu diluar tarup adalah manusia-manusia yang ada di desa itu ditambah para tetangga desa.
   Aku membawakan lagu yang dipopularkan oleh Yuni Shara tidak peduli apa pandangan orang dengan lagu tersebut dan merasa amat sangat santai membawakan lagu itu meski suara gitar listrik itu agak memekakkan telinga. Sungguh itu pertama kalinya aku menyanyi di depan umum, tidak tahu apa yang mendorongku untuk maju padahal aku tahu pasti banyak sekali yang jago menyanyi dengan suara yang bagus terutama Razthi namun aku bisa menyelesaikan lagunya dengan indah.
   Setelah selesai menyanyi aku melihat ada Toby yang masuk diantara para undangan yang lain, sang Insinyur terlihat tidak tenang dan gelisah mungkin ia ingin mendekati aku tapi tidak punya cukup keberanian untuk itu. Aku tahu pasti kalau Toby tadi mendengar aku menyanyi, ia datang makanya ia mengatakan tempat itu tidak jauh. Tidak tahu siapa yang memulai hingga aku bisa menghabiskan sisa waktu malam itu bersama Toby di rumah kakakku. Kami berbincang di ruang tamu yang otomatis terdengar semua siapa yang sedang menyanyi terutama saat Razthi menyanyikan lagu slow rock dan tidak sia-sia karena dipengunjung acara ia dinobatkan sebagai penyanyi terbaik. Malam terus beranjak tanpa terasa dua jam lebih Toby dan aku menghabiskan waktu bersama di rumah kakakku yang saat itu memang sedang ada di rumah juga.
   Setelah malam itu aku tidak pernah lagi bertemu dengan Toby dan anehnya malah pendampingnya pengantin pria itu jadi dekat denganku tapi itu tidak penting karena setiap kali ada orang keren yang mendekatiku komentar orang selalu sama yaitu Helen hanya mencintai pria karena tampangnya saja dan hal itu aku dengar sendiri dari adikku yang ternyata juga mendengar dari orang lain.
   Rasa tidak betahku makin memuncak saat orang-orang yang kukenal membohongiku karena mereka berjanji akan mengajak aku untuk ikut bekerja di Jakarta. Perempuan-perempuan itu meninggalkanku tanpa mengabarkan terlebih dahulu padahal semua mereka mengatakan mencari kerja di Jakarta itu gampang, mereka itu adalah kakak kelasku waktu masih di SMA yang sudah terlebih dahulu bekerja di Jakarta dengan bermodalkan ijazah SMA. Mendengar kegundahanku sang Bapak akhirnya ikut  bicara.
   “Kamu mau ke Jakarta? Gampang kok, di sana ada Tante kamu yang sudah puluhan tahun menetap dan sudah menjadi warga DKI.” Ujar pria bijak itu seolah tidak suka anaknya dibohongi orang, ia tidak akan menyuruh anaknya pergi dari rumah tapi kalau anaknya punya keinginan itu ia sangat mendukungnya sekalipun anaknya mau ke luar negeri.
   Kebetulan sang adik kelasku pernah bekerja di Jakarta selama lebih kurang enam  bulan dan ia akan kembali ke sana untuk meneruskan pekerjaannya dan kami  memang sudah menjadi sepasang kekasih.
   Menjadi kekasih Toby seperti tidak pacaran dekat dengan pria pendamping pengantin banyak yang tidak suka meski pria itu berusaha keras untuk serius denganku dan sang Insinyur mundur secara perlahan. Aku memang tidak bisa dekat dengan satu orang pria manapun, tidak pernah memberi janji atau harapan kepada mereka karena sejauh ini ia merasa perjalanannya masih sangat panjang jadi tidak ada satupun yang bisa menghalangiku untuk pergi.
   Dekat dengan si Anno, pria adik kelas itu diketahui oleh ibundaku tapi sang Bapak hanya mengetahui kalau pria itu masih ada hubungan keluarga dengan mereka meski bisa dibilang tidak ada hubungan darah. Namun bagiku saat bapak mengatakan kalau kami masih ada hubungan keluarga menjadi aneh rasanya.
   “Helen ini sebenarnya kamu panggil dia dengan Bibi.” Ujar sang Bapak karena kakeknya si Anno masih ada hubungan keluarga dengan beliau. Mendengar sebutan itu membuat Anno selalu menggodaku dengan sebutan Bibi...Bibi...dan Bibi namun ia merasa tidak rela kalau harus memanggil gadis yang dicintainya dengan sebutan semacam itu. pun dengan aku merasa tidak suka dan ia beranggapan kalau bapakku mengatakan hal itu supaya Anno bisa menjagaku diperjalanan ke Jakarta nanti. Hanya itu yang ada dipikiranku karena kami saling mencintai dan juga hubungan keluarga itu pastinya masih amat sangat jauh bukan satu buyut, bukan pula satu silsilah.
   Aku akan berangkat ke Jakarta dengan persiapan yang benar-benar sudah matang, dari surat pindah bahkan semua perlengkapan yang lainnya. Waktu mengunjungi rumah nenek yang anaknya tinggal di Jakarta aku mendapatkan sepucuk surat untuk diberikan kepada tante yang di Jakarta. Lupakan semua tentang segala jenis hubungan baik itu percintaan, pertemanan bahkan harus rela meninggalkan keluarga tercinta, aku merasa kepergiaannya kali ini tidak sama saat pergi ke rumah kakak karena aku merasa telah menggantungkan impian untuk menemukan sebuah mimpi indah. Saat aku mengatakan akan pergi ke Jakarta kepada Razthi lagi-lagi gadis itu memberi dukungan penuh. Tapi...... sebelumnya Razthi sempat bingung karena aku menanyakan satu hal...
   “Bi.... sang pendamping pengantin itu melamar aku setelah ia tahu aku mau berangkat ke Jakarta pakai membawa barang segala sebagai tanda. Bibi tahu kan kalau pria itu bekerja sebagai karyawan di sebuah bank swasta.”
   “Ya aku tahu kamu sudah pernah memberitahukannya... apa ada kabar dari Toby?”
   “Tidak, sama sekali tidak ada.” Nada suaraku mulai gamang karena langsung teringat dengan pria itu.
TUHAN.....
   Aku tidak ingin masalalu yang kualami terulang kembali, jalan yang panjang, gelap dan berliku  membuat aku terdampar dilembah duka, aku tidak ingin menikmati cinta ini hanya sebatas mimpi.
   Kasih, rindu dan rasaku padamu kuingin kau tidak hanya sebatas mengerti...berbuatlah...jangan biarkan aku menikmati sendiri rindu ini...aku tidak sanggup, terlalu berat rasanya.
   Keyakinanku terkadang sering goyah oleh sikapmu, berulangkali kucoba tuk mengerti kamu, terkadang aku merasa bersalah sendiri. Sering kudengar kata-kara sumbang tentangmu membuat aku coba memahami... apa sebenarnya semua ini?
   Terkadang perasaan membuat kuharus mengalah tak jarang membenci diri sendiri, kucoba mengerti posisimu dan posisiku... disinilah terkadang membuatku tak habis pikir dan akhirnya pasrah..
   Razthi tentunya tidak ingin melihat sahabatnya sakit hati, satu hal yang tidak pernah ia katakan kepadaku kalau dulu Toby pernah menjalin asmara dengan salah satu orang yang satu kelas dengan Razthi. Kalau saja aku tahu maka ia tidak akan pernah menerima Toby menjadi kekasihnya sebab selain punya prinsip tidak ada yang boleh menciumku juga punya prinsip tidak akan menjalin asmara kepada pria yang pernah pacaran dengan orang yang kukenal setidaknya aku tahu siapa orang itu meski tidak kenal dekat. Aku pantang pacaran dengan pria yang dulunya pernah dipacari orang yang bisa mengenalku. Meski persiapan sudah matang aku masih saja bertanya kepada Razthi.
   “Bi.... apa yang harus aku lakukan? Menerima lamaran itu atau pergi?”
   “Sungguh aku tidak tahu dan harus memberikan jawaban apa padamu, sebaiknya kamu tanya sama kakak perempuanku yang sudah menikah saja... ia pasti bisa memberikan jawaban yang kamu inginkan.” Meski aku memanggil gadis itu dengan sebutan bibi maka ia tentu saja tidak berani memberikan masukan yang mungkin nanti akan berakibat fatal untukku karena ia masih muda dua tahun dariku. Kalau ia menuruti kata hatinya ia tidak akan pernah mengizinkan aku pergi darinya dan kalaupun pergi harus menunggu ia selesai sekolah dan akan pergi sama-sama nanti.

>>>>

Bersambung :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar