APBRIEL
Pulang dari kemping sekitar tiga hari atau
lebih setelahnya... Aku di minta sama pak kades untuk mengikuti acara pelatihan
kepemimpinan karang taruna untuk se-Provinsi yang akan diadakan di Hotel
ternama di kota kami untuk sepuluh hari. Entah kenapa aku tidak bisa menolak
saat pak kades datang sendiri ke rumahku.
Hotel tempat diadakannya seminar itu lumayan
jauh dari rumahku, menempuh perjalanan sekitar lima jam naik mini bus. Mini bus
yang akan membawa kami ternyata menjemput langsung ke rumah.
Aku duduk di bangku pas di belakang sopir.
Ada salah satu cewek yang berasal dari tentangga desaku. Orangnya ramai, lucu
tapi polos hingga tak jarang terkesan garing
candaannya, namun ia super PeDe dan
aku tahu usianya pasti sama denganku, karena kami selentingan di sekolah, hanya
saja dia anak SMEA aku SMA.
Mini bus pun terus melaju melewati beberapa
desa untuk menuju pusat kota. Tempat tinggalku sendiri adanya di Kabupaten yang
paling top dan orangnya terkenal cakep-cakep hehehe…
Sungguh aku tidak tahu ada berapa desa yang
harus aku lewati, kini mini bus sudah melewati tempat SMP-ku dulu dan kenangan
saat-saat SMP-pun menyeruak di benakku, di mana saat pertama kali aku menyukai
pria, pria yang cool, jenius dan calm…hmmm aku rasa aku jatuh cinta pada
pandangan pertama padanya tapi dia adalah adik kelasku. Dan waktu di tempat
kemah itu hanya sekilas melihat dia.. lalu menghilang dalam keramaian.
Hihihihi…jadi malu masa menyukai adik
kelas?! Bodohlah, namanya juga cinta jatuhnya,’kan tidak bisa diatur atau di
kira-kira. Mengingat semua itu aku pun jadi tersenyum simpul. Di mana pria itu
sekarang ya? Tanyaku dalam hati. Apa dia kuliah? Atau langsung mencari kerja
setelah lulus SMA?? Wajahnya masih terekam dengan sempurna di memoriku.
Mini bus masih melanjutkan perjalanannya aku
tidak begitu peduli dengan suara-suara yang ada di belakangku karena aku
sendiri sedang asik dengan pikiranku, mataku tak lepas memandangi pemandangan
jalan yang sempurna, terus terang aspal yang ada di daerahku semuanya licin
hingga tanpa aku sadari aku mengantuk berada di dalam mini bus yang terasa
menganyun-ayun tubuhku.
Beberapa jam pun telah dilewati oleh mini bus
dan aku tidak tahu pasti ada berapa penunpang yang ada di dalam mini bus itu
karena penumpangnya tidak dari anggota seminar semua, sebab mini bus itu
mengambil penumpang lain untuk setoran.
Tiba-tiba mini bus yang membawa kami mogok
di jalan, bannya kempes. Kami semua harus turun dan ternyata kami berada pas di
atas sebuah jembatan daerah Tengah.
Tujuan kami menuju hotel sekitar setengah
jam lagi. Hmmmm…….aku turun agak belakang dan setelah kakiku menginjak aspal
aku melihat ada sosok pria jangkung yang sedang berdiri di tepi jembatan
memegang pagarnya dan menghadap ke arah sungai yang ada di bawah jembatan.
Entah kenapa aku merasa tidak asing dengan sosok itu, dari samping rasanya aku
begitu mengenalinya….dan aku yakin dia adalah salah satu penumpang yang satu
bus sama aku karena tidak ada mobil lain di sekitar itu dan ia tidak terlihat
sedang lewat di jalan itu.
Seperti magnet yang menarik aku, akhirnya
kakiku berjalan ke arahnya. Sebelum aku sampai di dekatnya ia sudah berpaling
ke arahku.
Deeg……..!!!
Pria itu, dia adik kelasku, pertama kali aku
melihatnya saat dia duduk di kelas 2 SMP pas waktu dia menerima hadiah dari
guru karena mendapat juara kelas ( hmmm..waktu itu saat penerimaan raport,
semua yang menjadi juara kelas dari kelas 1 sampai kelas 3 dipanggil ke
lapangan dan diperlihatkan sama murid-murid yang lain.) aku tidak tahu pasti
apa tujuan guru kami melakukan hal itu hanya mereka yang tahu.
Aku tidak terlalu merasa seperti ABG yang tiba-tiba melonjak kegirangan
tapi jujur hatiku sempat menghilang sejenak dari tempatnya…hmmm, dia lebih
tampan dari waktu beberapa tahun silam dan mengapa waktu di tempat kemah saat
sekilas melihatnya tidak ada perasaan apa-apa. Apalagi saat senyumnya
mengembang untukku…hem oh Tuhan..apakah senyum itu untukku?
“Kamu? Kamu naik bus ini juga? Kok aku tidak
melihatmu?” sapaku dengan lembut dan aku melihat ada bias senang terpancar di
wajah imutnya itu. Hmmm sepertinya aku sedang Ge eR, dia mengangguk.
“Kamu duduk di depan, ya? Pasti, soalnya aku
masuk lewat pintu belakang. Apa kabar…?” ia mengulurkan tangannya untukku dan kusambut dengan berusaha sesantai
mungkin.
“Ya,
aku duduk pas di samping supir ikut pelatihan juga?” tanyaku yang sudah mulai
bisa mengontrol perasaanku yang tadi sempat terguncang cinta. Untung tidak ada
badai asmara, coba kalau badai itu lewat aku mungkin tidak jadi ikut ke acara
pelatihan. Heh…cinta memang sering merusak suasana. Aku tidak begitu peduli
dengan sopir dan keneknya yang sedang memasang ban pengganti dan juga
teman-teman yang lain sedang menikmati arus sungai yang mengalir entah di mana
muaranya. Aku hanya berharap kalau bus itu tidak buru-buru meninggalkan tempat
itu…hmm ada cinta bersemi di atas jembatan itu dan cinta itu masih terus
bercengkrama dengan indahnya, mungkin kalau ada lagu yang ingin kudengar saat
itu adalah lagunya Melly Goeslow ‘I just
wanna say I love you’ oh Melly…kamu pandai sekali bikin lagu, salut deh
buat kamu.
“Ya, tidak tahu nih sebenarnya apa yang akan
dibahas nanti di pelatihan itu. Gimana kabar kamu dan apa selama ini selalu ada
di kampung?”
“Begitulah, tiga hari yang lalu ada acara
penanaman seribu pohon aku ikut meramaikan dan kemping di dekat danau itu.”
Kataku sekedar bercerita.
“Ah,
yang benar? Aku juga ikut tapi kok tidak melihat kamu.” Kali ini wajahnya
terlihat sumringah.
“Oh,
ya?” kataku agak kaget juga padahal saat itu aku melihat dia. “Maklumlah pesertanya
kan ratusan bahkan lebih jadi harap dimaklumi kalau tidak ketemu.” Ucapanku
sepertinya klise sekali tapi aku yakin saat itu pesertanya mencapai lima
ratusan..mungkin lebih dan tentu saja pria itu tidak tahu kalau aku sempat
melihat dirinya.
Hmm…mini bus akan meneruskan perjalanan dan
kami buru-buru naik kembali dan tetap duduk di kursi semula. Pikiranku masih tertuju
pada si mantan adik kelas tapi ada amanah pak kades yang kuemban dan itu
membuatku ingat apa tujuanku berada di dalam mini bus itu.
Aku merasa tidak sampai satu jam kami pun
telah sampai di depan hotel. Mini bus mengantar kami sampai pintu hotel dan
menurunkan kami. Di gerbang ternyata kami telah ditunggu oleh kakak-kakak
panitia. Kamipun disuruh mendaftar dan mengisi selebaran...aku maju terlebih
dahulu.
“Apa nama Karang Taruna-nya?” kata kakak
panitia itu dengan nada agak galak.
“Dio Ba Keme.” Ujarku dengan pasti lalu pria
itu mencari nama yang barusan aku sebutkan dan setelah menemukannya ia
menatapku.
“Apa arti dari nama itu? sepertinya nama itu
punya arti tersendiri.”
“Inilah kami.” Aku menjelaskan arti nama
dari Karang Taruna yang aku emban yang membuat pria itu agak heran.
“Boleh saya bertanya lebih banyak lagi?”
“Tiga pertanyaan.” Sahutku sambil mengambil
kertas dari tangan pria tersebut.
“Kamu perempuan yang bonafide, baiklah...
yang pertama.... kamu dari daerah Utara,’kan? Kedua...sudah berapa lama kamu
memimpin Dio Ba Keme?” pria itu menatap ke arahku dengan pandangan yang susah
aku artikan sehingga memaksa aku malas menjawabnya.
“Bapak juga seorang yang bonafide...saya
targetkan tiga pertanyaan tapi Bapak hanya memberikan saya dua pertanyaan. Saya
hargai Pak, memang benar saya dari Utara.. saya bergabung dengan Dio Ba Keme
baru dua bulan yang lalu.” Jawabku apa adanya sembari mengisi formulir di
lembaran itu.
“Terima kasih Helen... semoga Karang Taruna
Dio Ba Keme menjadi Tauladan dan bisa menjadi percontohan.” Ujarnya menyebut
namaku setelah melihat lembaran yang sudah aku isi lengkap.
“Baru berkembang Pak, terima kasih atas
doanya.”
“Oh, ya. Bawa barang-barang kamu ke kamar
nomor satu.” Setelah itu ia memanggil anggota lain yang sudah ada di kursi
tunggu.
Aku dan beberapa teman yang satu bus tadi
ternyata bukan yang pertama datang, sebab sudah ada beberapa teman yang
terlihat duduk di lobi hotel, aku tidak tahu dari Kabupaten mana saja mereka.
Seorang pelayan Hotel membawa aku ke kamar
nomor 1. “Silahkan..”
“Terima kasih, Pak.” Sahutku dan setelah
pintu ditutup mataku menyapu seisi ruangan. Ada tiga tempat tidur yang dua
untuk satu orang dan yang satunya cukup untuk dua orang dan aku pastinya
memilih tempat tidur yang untuk satu orang. Aku meletakkan tasku di dekat
bantal. Sore itu kami berbagi kamar, aku satu kamar dengan tiga orang wanita
yang lainnya. Aku sempat mendengar peserta penataran itu ada 90 orang, 11 wanita
dan selebihnya pria yang datang dari berbagai desa di kota kami, khsususnya
yang berkecimpung dengan Karang Taruna. Terus-terang aku sendiri sebenarnya
bukanlah ketua Karang Taruna di desaku tapi entah kenapa pak kades mengirim aku
untuk mengikuti pelatihan itu. mungkin karena dia melihat aku wanita yang tidak
bisa diam dan suka ikut kegiatan apa saja di Desa ditambah lagi aku adalah
pengangguran tidak kuliah karena tidak ada biaya tidak juga bekerja..,
komplitlah penderitaanku. Pengangguran sejati.
Menjelang sore, kami saling berkenalan
dengan peserta yang lain. 90% usia kami sama sekitar 20 sampai 24 tahun. Aku 20
tahun kurang.
Ahaaa…….! Ada gadis tomboy yang muncul
menjelan petang, aku yakin dia adalah peserta yang datang paling belakang
dengan hanya membawa tas ransel. Dia tipikal gadis periang, jangkung, dan
sepertinya cerdas. Semoga! Ramainya sama seperti gadis tetangga desaku tapi dia
terlihat lebih smart dan omongannya
bermutu.. tidak asal.
Malam itu, tepat pukul tujuh malam kami
mengadakan kelas pertama di Ballroom Hotel. Pembicaranya seorang pria dari
dinas sosial katanya dari Jakarta. Yang dibicarakan adalah mengenai peran
pemuda di Desa dan cara memimpin teman-teman di lingkungan remaja. Intinya sama
persis dengan judul seminar ‘Pelatihan Manajemen Kepemimpinan’ di dalam Karang
Taruna. Aku suka sekali mengikuti acara itu hingga 2 jam pun dilewati tanpa
terasa. Sampai aku lupa di mana si adik kelasku itu duduk.
Kami diberi makan setiap jam makan tiga kali
sehari..sudah seperti peraturan minum obat saja…he. Tepat pukul 21.00 WIB kami
bubar tidak boleh keluar dari hotel kecuali ada alasan yang sangat tepat, tahu
sendiri remaja seusia kami mana bisa tidur di jam segitu. Tapi di malam pertama
itu kami coba menikmatinya sesantai mungkin ada yang saling kenal lebih
dekat..dan ada yang melawak dan si tomboy itu…hihihihi dia malah bernyanyi
dengan indahnya…’When you tell me that
you love me’ wew……itu lagunya Diana Rose…
lagu lawas euii! Tapi jujur aku suka
sekali suaranya. Si tomboy itu sepertinya benar-benar jenius, dia ketua Karang
Taruna dari desanya, KabupatenTengah. Hmm pantas saja dia telat datang.., orang
dekat sudah biasa datang belakangan. Kebiasaan yang tidak boleh ditiru.
Malam
itu aku memang agak kesulitan untuk tidur mau ngobrol sama teman sekamar tidak
cocok, mereka bertiga seperti berkelompok. Mungkin mereka berasal dari desa
yang berdekatan, entahlah. Aku tidak pernah menanyakannya. Oh, di mana si adik
kelasku itu? dia pasti ada di lantai atas karena para pria kebanyakan di
tempatkan di kamar lantai dua.
*
Pagi-pagi kami sarapan. Tepatnya bukan
sarapan tapi makan pagi. Dan pukul tujuh pagi kami harus mengikuti kelas lagi,
aku tidak tahu akan berlangsung berapa jam kalau siang. Aku duduk bersama si
tomboy apakah dia yang duduk duluan atau aku? Entahlah. Hohoho… saat menoleh ke
belakang bagian kanan aku menemukan sosok jangkung yang memiliki wajah baby face
itu. hatiku tidak terlalu bergejolak mungkin karena aku merasa kalau dia tidak
terlalu memperhatikan aku meski dia sempat tersenyum ke arahku. Aku hanya
menikmati senyum itu sejenak, hanya sejenak. Lalu kembali tekun menyimak ilmu
yang diberikan oleh sang pengajar, kali ini orangnya lain lagi. Bukan pria yang
semalam tetap dari dinas sosial dan lagi-lagi katanya datang jauh-jauh dari
Jakarta. Ia sampai mencatat namanya di whiteboard.
Aku percaya tidak satu pun di antara kami yang mencatat alamat beliau termasuk
aku. Ah, kami memang sama-sama tidak peka.
Ups…!
gadis tomboy yang di sampingku ternyata sedang asik menikmati kwaci, dia
langsung menawarkannya padaku. Aku tersenyum, dia asik menikmati makanan kecil
itu senikmat ia mengikuti apa yang dibicarakan oleh pria yang berdiri di depan
kami.
“Selamat pagi...” sapa pria yang baru masuk
dia bukan pria semalam namun yang pasti ia adalah salah satu tim dari Dinas
Sosial. Anak-anak menjawab sapaan itu dengan bersamaan. “Ternyata ketua-ketua
Karang Taruna di provinsi sini rata-rata
masih remaja, Bapak bangga sekali.” Katanya tulus. Sebelum kita melanjutkan ke
permasalahan yang akan kita bahas maka kalian harus lebih mengetahui dulu apa
itu maksud dari Karang Taruna, Karang Taruna adalah wadah di masyarakat
ditujukan kepada remaja Desa untuk memperlihatkan prestasi atau potensi dirinya.
Karang Taruna itu sendiri merupakan satu-satunya organisasi yang diperbolehkan oleh
pemerintah di Desa.
Acara itu berlanjut dan diselingi dengan
debat, kami diminta membahas permasalahan tentang usaha apa yang harus remaja
desa lakukan khususnya yang putus sekolah. Menarik…dan kami di bagi dalam tujuh
kelompok yang nantinya akan melakukan observasi di lapangan.
Kami memiliki ketua umum dan ketua umum
itu memilih aku masuk ke dalam kelompoknya dan aku terpisah dengan si tomboy.
Acara debat hari itu berakhir menjelang siang hari tepat pukul sebelas. Huh!
Padat juga acaranya. Kami istirahat untuk makan siang, sholat dan sepertinya
pukul satu siang akan di lanjutkan lagi.
Seperti rapat parlemen saja yaaa? Hehehe.
*
Malamnya aku tidak tahu bagaimana si
tomboy yang ramah itu bisa berada satu kamar denganku. Padahal beberapa hari
sebelumnya ia ada di kamar lain. Aku suka gayanya yang periang dan sepertinya
menyimpan sesuatu misteri yang membuat aku semakin menyukainya. Entah kenapa
aku merasa dia ingin cerita banyak hal padaku…dan malam itu kami pun bercerita
hingga larut malam, tepatnya aku menjadi pendengarnya. Huh……! Gadis yang luar
biasa, kuat dan pintar. Terkadang aku melihat ada tatapan kosong di matanya lalu
ia tersenyum, aku merasa seakan sudah mengenalinya begitu lama. Ia janji akan
mengajak aku keluar.
Di jam istirahat siang dia mengajak aku ke
samping hotel, ternyata ada toko buku di sana kami sempat membaca buku di
tempat itu untuk beberapa saat. Dan lagi-lagi ia membeli banyak kwaci di
sebelah toko buku. Ada lagi yang ia beli, Ups…itu
rahasia. Biarlah aku dan dia yang tahu. Ia pun sempat cerita dengan
kekonyolannya mengenai kebiasaa jeleknya itu.
Gadis yang unik. Malam itu aku merebahkan
tubuhku di atas tempat tidur tak merisaukan semua suara yang terdengar di depan
kamar. Tiga sekawan itu sepertinya sudah siap berangkat tidur meski masih
terdengar suara bisik-bisik dari arah mereka sedangkan gadis tomboy yang
bernama Apbriel itu sedang menikmati hobinya dan aku mulai merasakan ada
kekesalan dari ketiga perempuan di sana mengenai hobi Apbriel itu, Apbriel juga
pastinya merasakan hal yang sama ada ketidaknyamana dari sikap mereka.
“Ya ampun dia pegang itu persis seperti laki-laki...”
terdengar suara dari salah satu perempuan dari ranjang sebelah yang tadinya aku
pikir mereka sudah tidur. Apbriel hanya
diam namun aku tak begitu suka kata-kata yang menekan itu karena terdengar
sangat menghina. Apbriel tak mau begitu peduli dengan omongan yang menyindir
itu apalagi ia melihat aku membalikan badan untuk menghadap ke arahnya. Gadis
itu memang sedang duduk di sisi tempat tidurku dan akhirnya akupun turun untuk
duduk di depannya. Gadis itu tersenyum seolah mendapatkan lampu hijau kalau aku
akan menemaninya menghabiskan malam panjang bersama dan andaipun aku tidak
menemaninya dia akan tetap santai menikmati kebiasaannya tersebut seakan tak
peduli dengan siapapun tapi aku menyukainya dan ingin menjadi temannya.
“Kok belum tidur?” ia berguman.
“Belum ngantuk tapi tidak tahu apa yang akan
aku lakukan.” Aku melirik ke ranjang yang di ujung sepertinya gadis-gadis yang
ada di sana sudah masuk ke alam mimpi. Meski Apbriel menyukai apa yang ia
nikmati namun ia tidak menawarkannya padaku itu luar biasa sekali dan aku tidak
terganggu melihat kebiasaannya karena bagiku itu sudah biasa sebab bukan hanya
dia yang seperti itu, satu dua perempuan yang aku kenal selama ini memilik hobi
yang sama dengan Apbriel.
“Aku suka nama Karang Taruna-mu, Beauty Rose.”
Kataku dan gadis itu tersenyum disela menikmati hobinya.
“Helen... kamu tahu tidak? Aku pernah
tertipu.” Ia berkata takkala aku melirik benda itu sekilas namun tak bermaksud
mengkritiknya. Aku tersenyum seolah menunggu ceritanya dilanjutkan. “Waktu itu
aku sedang duduk di ruang tunggu dan salah satu teman pria-ku ingin ke toilet
dan menitipkan benda ini ke aku dalam keadaan menyala. Beberapa menit kemudian
pria itu kembali lalu saat ingin mengambil benda itu ia tersenyum sembari
menggelengkan kepalanya dengan lembut.
“Sudah kuduga ujarnya saat melihat benda itu
sedang berputar-putar di jemariku dengan begitu tidak asing dan cara aku
memegangnya seakan benda itu sudah sangat akrab dengan jariku.” Kata Apbriel
dengan santai dan merasa lucu karena temannya sudah menjebaknya. “Nyaris semua
temanku adalah pria.. aku suka naik gunung, di Karang Taruna tak ada yang sama
memanggilku, ada Ratu, V, Dodo kadang Apriel. Dipanggil Ratu karena aku
perempuan sendiri, Dodo itu nama panggilan untuk kakak di tempatku... meski
demikian tidak ada yang tahu kalau aku suka melakukan ini karena aku tidak
pernah melakukannya di depan mereka.” Tambahnya sejenak melirik benda di jarinya.
“Keren.” Sahutku namun aku sendiri belum
tahu yang mana jadi panggilan favoritku untuk namanya karena aku suka semuanya.
Apbriel kembali menyalakan benda itu karena yang di tangannya sudah habis.
“Aku pernah punya kekasih yang kehangatannya
seperti beringin, teduh dan sangat cool
tapi kami berpisah. Pernah suatu malam hujan dan aku di rumah seolah mendengar
ia memanggil namaku sampai aku membuka pintu lalu bengong di depan pintu karena
tidak melihat siapa-siapa selain titik hujan.” Apbriel tersenyum tipis seolah
kenangan itu sedang ia rasakan dan aku dapat merasakan apa yang ia alami saat
itu seolah begitu jelas di benakku apalagi aku melihat matanya ada bias bening
kristal yang mulai mengabut. Begitu banyak hal yang gadis itu ceritakan sama
aku dan aku sendiri tidak tahu mengapa ia bisa mengisahkan semuanya padahal
kami baru saja kenal beberapa hari.
Keesokannya kami tidak ada kelas.. dan si
adik kelasku mendekatiku. Hmm.. ternyata dia ingat juga sama aku. Oh Tuhan, dia
mangajak aku ke Pantai, berdua. Tuhan… ini mimpi apa musibah? Aku sempat tidak
percaya sama sekali. Pantai dari Hotel tidak terlalu jauh.., aku masih
berpikir, ikut atau tidak? Kutatap wajahnya dengan lekat-lekat…dan tidak
kutemukan adanya hal yang meragukan di wajah itu. dia terlihat baik dan tidak
memaksa, justru itu yang membuat aku luluh.
Kami pun pergi dan sebelumnya dia pamit
dengan Apbriel dan sempat aku dengar Apbriel menimpali.
“Jangan lama-lama ya.”
Aku tidak tahu bagaimana perasaanku saat
itu, dia, si adik kelasku waktu SMP mengajak aku jalan-jalan dan bodohnya aku
pun mengabulkannya.
Kami naik angkot sebanyak dua kali dengan
jarak yang tidak terlalu jauh dari angkot satu ke angkot berikutnya untuk
sampai di Pantai.
Hmmm…aku lupa, mungkin itu ketiga kalinya aku
menginjakkan kakiku di pantai itu.
Adik
kelasku itu namanya Anno, Kami duduk di bawah tenda, siang itu cuaca terlihat
indah dan bersahabat. Dia membelikan kacang dan minuman ringan. Kami menikmati
pemandangan laut yang bergejolak, cerita kami pun mengalir seperti sahabat lama
yang sudah lama tidak bertemu. Jujur aku sedang merasakan gejolak perasaan yang
sulit aku kendalikan dan detak jantungku pun terasa tidak normal, untung otakku
masih normal..
‘Wah
gawat ini.’ Makiku dalam hati.
“Sejujurnya aku berterima kasih sekali kamu
mau datang ke sini bersamaku.” Ucapnya kemudian. Aku hanya menatapnya sekilas.
“Kamu tahu nggak? Tadi sehabis sholat, aku berdo’a semoga kamu mau mengabulkan
permintaanku. Aku takut sekali kamu menolak.” Lanjutnya kemudian dengan muka
serius terlihat agak malu namun kata-katanya menyakinkan tidak terkesan nge-gombal! Entah kenapa aku merasa ia tidak
berbohong dan tidak berani membohongiku apa karena aku adalah kakak kelasnya?
Aku tidak tahu pasti yang aku lihat tuh anak rajin sholatnya.
‘Ah, masa segitunya?’ pikirku.
Dia melanjutkan lagi. “Dua hari ini aku
selalu memperhatikan kamu, ya di kelas, di Lobi juga melihatmu bersama
pria-pria yang coba mendekatimu, dalam hati aku berkata..’wah sepertinya
berat-berat nih saingan.’ Dan si Apbriel itu, dia satu-satunya yang aku lihat
cocok dengan kamu, dia baik dan sepertinya menghargai kamu makanya tadi aku
pamit sama dia untuk mengajak kamu ke sini.” Tuturnya panjang lebar.
Aku hanya tersenyum saat ia mengatakan si
Apbriel itu, dialah sahabatku satu-satunya di tempat itu. ‘Ah, kenapa aku tidak
mengajak dia, ya?’ tapi aku yakin si Anno tidak akan setuju kalau aku
mengajaknya. Pria, gitu lho!
Aku
merasa kalau Anno mulai bicara mengarah ke hal serius apalagi saat ia
mengatakan tentang saingan. Apakah ada yang ingin dia raih dariku? Terlalu
cepat rasanya. Tadinya aku mengharapkan hal itu tapi kini aku merasa kalau itu
adalah hal yang bukan luar biasa. Hari mulai menjelang sore, kami banyak cerita
masalah keluarga, tentang orang tua yang sangat menyayangi kami dan tentang
selera makan yang nyaris sama. Entah kenapa kami bisa bicara seleluasa itu dan
rasanya nyaman sekali. Tidak ada yang kami sembunyikan, cerita itu mengalir
dengan indahnya juga disertai tawa dan senyum yang seringkali mengembang dari
bibir kami.., sambil masih menikmati kacang kulit dan sesekali menikmati
luasnya hamparan laut. Aku rasa kami akan menunggu datangnya sunset.. itu baru luar biasa.
Kami juga membicarakan tentang pelatihan itu
yang menurut kami sangat baik dan sangat diperlukan oleh remaja-remaja seperti
kami. Dalam hati aku berjanji bahwa apa yang telah aku pelajari di pelatihan
itu akan aku terapkan di desaku kelak.
Tidak terasa, senja berubah menjadi petang
dan cerita kami sepertinya tidak akan pernah habis…hingga sunset menghentikan keberadaan kami di tempat itu, setelah
menikmati sunset kami pun bergegas
kembali ke Hotel dengan perasaan yang belum aku mengerti, seperti apa itu.
Huh!!! Kami terlambat meski hanya beberapa
menit saja.
Kelas
akan di mulai pukul tujuh malam. Aku buru-buru mandi beberapa menit berikutnya
masuk ke kelas namun Anno sudah lebih dulu masuk dan langsung si manis Apbriel
menyapanya.
“Helen mana?” kejarnya dengan nada agak
khawatir. Saat Anno melirik ke belakang aku sudah siap masuk. pas sedetik
setelah aku menghenyakkan pantat di kursi yang ada di sebelahnya Apbriel.
“Aku kan sudah bilang jangan lama-lama..”
aku tidak bisa menangkap makna kata-katanya apakah marah karena keterlambatanku
atau khawatir karena aku pulang agak kemalaman.
“Maaf, baru juga mulai, kan?” sahutku dengan
perasaan bersalah pada kakak yang sudah memberi materi juga pada sahabat baruku
itu. yang jelas aku merasa tidak enak pada kakak yang sudah ada di depan kami, dia
tidak marah justru itu membuat aku tambah merasa bersalah dan merasa tidak tahu
diri meski aku yakin dia sudah ada di tempat itu tidak kurang dari lima menit.
Aku bisa mengikuti materi dengan tenang dan
sahabatku tetap dengan kebiasaannya yaitu menikmati kwaci. Apa aku harus
memanggilnya dengan ‘gadis kwaci?’
Di sela-sela menikmati kwacinya ia
berceloteh tanpa peduli kalau kami duduk di kursi paling depan pojok kanan.
“Kamu tahu nggak? Waktu kamu di Pantai sama
Anno, aku seperti orang tolol di Hotel ini, aku akhirnya pergi ke toko buku
sebelah, gilanya lagi aku bilang pada penjaga toko itu kalau di sini tidak ada
yang asik kecuali kamu. Eh si penjaga toko malah bilang begini ‘Apakah dia
tomboy juga?’ tidak kataku tapi orangnya enak diajak ngomong dan nyambung.”
Katanya panjang lebar.
Aku
hanya meliriknya sekilas lalu kembali fokus pada pria yang ada di depan kami
dan tidak menyangkal sedikit pun kata-kata sahabatku karena apa yang ia katakan
itu memang benar. Aku hanya menanggapinya dengan seulas senyum tipis dan aku
yakin itu senyum termanisku.
Oh, Anno…! kamu telah membuat aku
meninggalkan sahabatku. Aku pasti akan menebusnya.
*
Dan benar, besoknya pas hari minggu kami
hanya ada kelas pagi setelah itu kami dapat acara bebas, yaitu boleh keluar
dari Hotel.
Gadis kwaci mengajak aku keliling kota
mengunjungi tempat temannya dan jalan-jalan ke pinggir Pantai, masih di
lingkungan Pantai tapi kami naik ke atas bangunan, duduk di sana menikmati
keindahan pantai dari atas, kami pun sempat tidur-tiduran sambil membaca
majalah remaja.
Pergi dengan sahabat dan dengan pria yang
kita sukai sangatlah berbeda namun punya keasyikan tersendiri dan itu tidak
kalah menariknya.
Gadis kwaci itu menceritakan banyak hal
denganku, ya tentang kisah cintanya dengan pria bak beringin karena teduh yang
pernah menghilang juga tentang perjalanan Karang Taruna yang diketuainya.
Semuanya menarik dan tidak membosankan. Ada yang tidak bisa lepas darinya selain
kwaci…ah, semoga saja nanti ia bisa menghilangkan kebiasaan itu tapi tetap saja
di mataku dia adalah gadis yang luar biasa punya wawasan luas, punya prinsip
hidup dan sepertinya sudah banyak makan asam garam kehidupan.., ternyata
usianya dua tahun di atasku. Tapi aku melihatnya lebih matang dari usianya yang
sesungguhnya. Aku menyanyanginya. Ia juga menjelaskan kalau ketua kami adalah
satu-satunya pria yang sudah menikah. Ups!
Dia menjelaskan hal itu karena merasa kalau
pria itu menaruh perhatian lebih sama aku.
*
Acara obsevasi ke lapangan pun kami jalani
di hari berikutnya. Kami datang ke balai desa yang sudah ditunjuk, kami
mengenakan jaket biru seragam yang di kasih panitia, di sana kelompok kami di
terima dengan sangat baik bahkan sudah disediakan tempat pertemuan kecil.. di
sana kami berbincang dengan kepala desa dan yang dibicarakan tidak lepas dari
lingkungan dan peran anak muda. Hmmm…menarik memang, aku menyukai pekerjaan
itu.. dan sangat menikmatinya, tidak hanya sampai di situ. Kami pun punya
jadwal harus mengunjungi rumah-rumah penduduk untuk menanyakan bagaimana peran
pemuda di tempat itu apakah pemuda berperan penting di dalam masyarakat?
Setelah mendapatkan hasil yang memuaskan dan
mencatatnya di buku, Kami merasa lega dan masih memiliki waktu yang lumayan
panjang untuk kembali ke hotel sebab malamnya kami akan mengikuti kelas lagi.
Dan kita memutuskan untuk mengunjungi Benteng peninggalan Inggris, tempat di mana
presiden Soekarno pernah diasingkan.
*
Si ketua kelompok yang aku rasa memilik
perhatian lebih sama aku, tidak pernah lepas dari kameranya sejak dari balai
desa dia selalu mendokumentasikan kegiatan kami dan di tempat wisata pun
begitu. ‘Dia sudah punya isteri.’ Kata-kata si gadis kwaci waktu itu terngiang
lagi.
Eh…dia minta foto berdua denganku. Aku
mengabulkannya dengan tidak ada maksud apa-apa.
Ah, di mana si Anno? Di kelompok berapa dia?
Dan di desa mana dia melakukan observasi? Dan si gadis kwaci, apakah dia satu
kelompok dengan Anno? Aku tidak tahu.
Malamnya kami diminta mendiskusikan hasil
observasi tadi siang. Seru dan si Anno terlihat sangat dominan dalam diskusi
itu, entah kenapa aku merasa seolah ia ingin memperlihatkan sesuatu padaku
kalau dia bisa seperti pria-pria lain yang ada di ruangan itu…dan ada lagi satu
pria yang coba dekat denganku, hmmm…dia cukup macho…, akrab denganku juga dengan gadis kwaci, kami pun sering
menikmati kwaci bersama-sama.
Dan aku dengan gadis kwaci tahu kalau besok
adalah ulang tahun pria itu.
Aku dan gadis kwaci harus memberinya kado
kecil dan kami memutuskan untuk membelinya di warung samping Hotel langganan
kami.. Hmmm….pasti seru. Lilin kecil pun tidak ketinggalan, kami membungkus
kado mungil itu dengan kertas kado warna biru dan putih.
Malam itu teman-teman kami terlihat masih
asik menikmati malam, aku tidak tahu apakah ada yang mengalami cinta lokasi
atau sekedar berteman. Di mana Anno? Lagi-lagi mataku mencari-cari sosoknya.
Semoga dia baik-baik saja.
Kami duduk di lobi bercanda dan bersenda
gurau.., aku merasa kalau kami sudah memiliki hubungan yang begitu dekat karena
sudah lebih dari seminggu kami tinggal bersama-sama di dalam ruangan itu. makan
bersama-sama dan melakukan banyak hal bersama. Yang tinggal di ruangan itu
sekitar lima orang yang lainnya mungkin sudah tidur atau sedang ngobrol di
kamar karena aku yakin banyak teman kami yang tidak tahu kalau ada di antara
anggota kami sedang berulang tahun.
Tepat pukul 00.00 WIB gadis kwaci
mengeluarkan kado kecil itu dan mendirikan lilin mungil di atasnya. Ia minta
teman kami yang lain menyalakan lilin itu dan yang berulang tahun ada di depan
kami. Dia tidak akan menyangka kalau ada di antara kami yang akan
menghadiahkannya sesuatu yang istimewa untuknya. Hihihi…hanya aku dan si gadis
kwaci yang tahu isi kado itu karena memang pilihan kita berdua untuk pria itu.
semoga saja dia suka.
Kami
menyanyikan lagu selamat ulang tahun, pria itu terharu dan kami merasakan
kebersamaan yang dalam. Dia meniup lilinnya lalu kami memintanya membuka kado
ajaib itu, tahu apa isinya? Yah…se-pack kwaci,
hehehe….
Pria itu terlihat sangat senang meski tidak
percaya kalau isinya adalah kwaci. Keterlaluan!!
“Maaf ya teman, hanya itu yang bisa kita
kasih.” Kata gadis kwaci. Pria itu tertawa dan mengucapkan terima kasih, pesta
kwaci pun terjadi malam itu. sebuah hadiah memang tidak perlu dilihat dari
besar kecil nilai dan harganya namun ketulusan dan rasa kebersamaan lebih
terasa bernilai dari apa pun.
*
Besok adalah hari terakhir kami ada di Hotel
itu. ketua meminta kami mengumpulkan foto dan alamat rumah untuk membuat album
kenangan. Itu tidaklah terlalu sulit tapi yang tersulit aku rasa nanti di saat
kami harus berpisah dengan teman-teman, waktu sepuluh hari yang kami lewati
bersama-sama berkumpul di bawah atap yang sama yang datang dari berbagai daerah
dan Kabupaten di Provinsi kami yang luas ini dan kami cintai tentunya.
Sejujurnya kami merasa seperti kelompok yang telah melakukan karantina tapi
karantina yang menyenangkan. Tidak ada persaingan tidak ada kompetisi untuk
mendapatkan piala satu atau semacamnya karena kedatangan kami hanya untuk
menuntut ilmu.., ilmu yang tidak pernah kami bayangkan sebelumnya.
Ilmu bagaimana cara memanfaatkan lahan
kosong yang efektif cara memimpin teman-teman cara mengambil keputusan di dalam
rapat dan bagaimana caranya menciptakan lahan pekerjaan dan masih banyak lagi.
Pokoknya pertemuan dalam sepuluh hari itu bukan saja mendapatkan kenalan dan
teman baru tapi mendapatkan sesuatu yang tidak akan kami lupakan untuk
selamanya.
Malam itu adalah malam terakhir untuk kami.
Acara perpisahan pada kakak-kakak pembina, kesan pesan dan entah apalagi aku
juga tidak ingat dengan pasti. Dan ada yang aneh di aula itu, masa ada
teman-teman yang minta bajunya di tandatangan sama teman yang lain. Seperti
anak sekolah yang baru lulus saja. Pakai coret-coret baju segala.
Tidak ada yang bisa menghindar dari acara
gila itu termasuk aku. Teman-teman memaksa untuk mencoret bajuku dan aku hanya
membatasi siapa saja yang boleh melakukannya. Pertama adalah si gadis kwaci,
lalu sang ketua, juga pria yang malam itu ulang tahun dan…ya Tuhan…, si adik
kelasku tidak menghampiriku bahkan aku kesulitan untuk menemukan di mana
sosoknya dan di mana batang hidungnya. Ah, kenapa aku tidak merindukannya? Apa
karena dia tidak peduli denganku? Tapi apa artinya sore di pantai itu?? apakah
tidak sedikitpun terkesan dalam ingatannya? Aku tidak mau tahu apa yang ia
rasakan saat ini…karena yang aku tahu dia tidak pernah sedikit pun berusaha
untuk bergabung denganku di malam perpisahan itu.
Acara perpisahan dengan kakak pembina pun usai
kami pun keluar dari Hotel tapi masih akan menginap untuk terakhir kalinya di
Hotel. Malam itu kami menghabiskan waktu untuk makan di warung tenda. Si gadis
kwaci tidak pernah semenitpun berpisah dariku. Kami sangat bahagia, makan
bersama, memesan sate dan yang lainnya. Ada beberapa pria yang bergabung dengan
kami dan lagi-lagi tidak ada adik kelasku. Entah bersama siapa dia makan….?!
Kami benar-benar menikmati malam itu hingga
mendekati tengah malam dan kembali ke Hotel untuk istirahat.
Di Hotel-pun kami tidak lantas langsung
tidur, aku dan gadis kwaci menikmati sisa malam dengan berbincang di tepi
tempat tidur sementara teman sekamar kami yang dua orang itu sudah beringsut
memasuki dunia mimpi indahnya atau mungkin karena sudah tidak sabar untuk
bertemu dengan keluarga disebabkan jarang berada jauh dari keluarga, aku dan
gadis kwaci sepertinya tidak perlu diragukan lagi karena kami sudah sama-sama
mandiri dan terntunya sudah pernah merantau hingga berada jauh dari keluarga
itu menjadi hal biasa bagi kami.
Seperti malam-malam sebelumnya gadis kwaci
memang sering bicara dan aku menjadi pendengar setianya, lagi. Sekali-kali ia
membahas kelanjutan hubunganku dengan adik kelasku itu aku tidak bisa
berkomentar banyak karena aku sendiri tidak tahu apa yang terjadi denganku dan
adik kelasku itu. tapi menurut gadis kwaci, aku dan adik kelasku itu cocok dan
ia menebak kalau pria itu mencintaiku. Aku hanya bisa memberinya senyuman tanda
jawaban tidak pasti dariku. ia juga mengatakan kalau dia lumayan tampan. Hmm
kalau yang itu memang benar dan tidak perlu diragukan lagi!
Saat aku bercerita tentang sebuah kota yang
pernah aku datangi gadis kwaci itu terlihat bersemangat, ternyata dia juga
pernah tinggal di sana dengan wajah berbinar dia mengajak aku mengunjungi kota
itu kapan-kapan.
Ya kapan-kapan. Lirihku dalam hati.
Ada kesamaan antara aku dengan gadis kwaci
yaitu sama-sama tidak menyukai orang yang menilai orang lain dari sisi luarnya
saja. Itu sering kali terjadi dikehidupan dan lingkungan kami.
Aku tidak melihat adanya kelelahan di wajah
itu terkadang ia terlihat seperti wonder
women, terkadang serupa anak kecil
yang minta direngkuh, ia seolah ingin menuangkan segala perjalanan hidupnya
padaku padahal kami baru saja dekat dalam satu minggu ini, tiga hari sebelumnya
tidak bisa di bilang dekat, baru tahap perkenalan namun entah kenapa aku merasa
kami sudah kenal dalam puluhan tahun, aneh memang. Tidak ada keraguan di antara
aku dan dirinya untuk membuka hati dalam kancah persahabatan, aku hanya bisa
berharap semoga tali kasih sayang kami tidak akan pernah putus hingga kami tua.
Jika pun harus berpisah oleh hal yang tidak kami inginkan setidaknya aku telah
meletakkan dia di sisi hatiku yang paling indah.
Ah!! Seorang sahabat sejati memang tidak
bisa ditemukan di sembarang tempat.
*
Pagi itu kami masih dapat makan. Ketua
membagikan album kenangan yang lumayan tebal. Dan kami juga mendapat uang saku
dari penyelenggara seminar itu…atau dari mana asalnya, aku juga tidak tahu
pasti mungkin dari Dinas Sosial tapi lumayan, Alhamdullilah, itu tidak pernah
terpikir sebelumnya dan aku menganggapnya sebagai bonus.
Hmmm….saatnya salam perpisahan dengan
teman-teman yang rumahnya dekat dengan Hotel akan pulang sendiri-sendiri dan
aku tentu saja akan pulang dengan rombongan yang ke Kabupatenku meski tidak
banyak dan mini bus akan datang menjemput kami. Ya Tuhan…..tanpa aku sadari
mini bus itu ternyata sudah ada di halaman parkir Hotel, entah kapan dia berada
di sana yang pasti aku tidak menyadarinya mungkin karena ramainya suara
anak-anak yang sibuk pamit dengan teman-teman.
Aku akan masuk mini bus itu dan meninggalkan
si gadis kwaci. Aku tidak akan melihat wajahnya untuk terakhir kali karena aku
yakin tidak akan sanggup. Aku sudah sering mengalami perpisahan dengan teman
dekatku dan itu menyakitkan rasanya aku tidak suka itu. sebelum aku diam-diam
untuk masuk ke mini bus aku sempat mendengar suaranya mencariku dan menanyakan
pada teman yang masih menunggu kerabat menjeput atau menunggu siapa..tidak
tahu, yang jelas masih ada banyak yang di dalam lobi itu. dua kali mungkin lebih
ia meneriakkan.
“Apakah ada yang melihat Helen?”
Aku sudah duduk di dalam mini bus tepat di
sisi kiri dekat kaca jendela. Mini bus itu belum ada tanda-tanda untuk segera
berangkat, mesin memang sudah dinyalakan tapi di mana sopirnya. Saat itu aku
yakin masih pagi tidak lebih dari pukul Sembilan. Aku berdiam di tempat dudukku
sembari mengambil napas dalam-dalam.
Sebuah suara memanggilku memaksa aku menoleh.
Gadis kwaci itu sudah ada di sisi luar mini bus, dia menghampiriku. Sungguh aku
tidak bisa menahan perasaan hingga aku memutuskan untuk turun.
Kami sudah bertatap muka begitu dekat, demi
Tuhan…saat itu aku melihat matanya berkaca-kaca, tas ransel menggantung di bahu
kanannya. Sosok jangkung itu mengenakan jins dan kaus merah, ia tak lepas
menatapku. Rambut lebatnya yang di potong pendek terlihat sangat serasi dengan
bentuk tubuhnya yang sintal. Gadis ketua Karang Taruna di Kecamatannya yang
memiliki pribadi yang mengagumkan, apakah aku bisa berpisah darinya? Dan
kehilangan kisah-kisahnya? Ya Tuhan…, aku hanya bisa berdoa semoga ini bisa
dilewati.
“Aku tadi di dalam mencarimu, ternyata kamu
sudah di mobil, oke….selamat jalan ya. Semoga kita bisa bertemu lagi suatu saat
nanti.”
Aku melihat dia berusaha kuat untuk menahan
agar tidak menangis tapi dadaku malah yang terasa sesak. Entah siapa yang
mulai, akhirnya kami berpelukan.
Huh…!!! Tidak ada yang menyukai situasi
seperti itu siapa pun itu tapi yang namanya pertemuan pasti ada perpisahan
namun yang aku yakini perpisahan hanyalah bumbu dari perjalanan hidup di mana
nanti kita akan mengenangnya dengan indah karena ada kisah luar biasa di awal perpisahan
itu.
‘Mini bus segera berangkat.’ ada suara yang
memintaku segera masuk. Aku menatap gadis kwaci lagi setelah pelukan kami
lepas.
“Kamu pulang sama siapa?” ujarku dengan nada
serak.
Dia tersenyum di antara sendu. “Gampanglah,
aku dekat kok. Setengah jam juga nyampe.”
Aku hanya mengangguk pelan dan lagi-lagi
terdengar suara reseh berteriak dari
dalam mini bus untuk memintaku segera masuk karena bus akan segera berangkat,
eh ternyata dia gadis tetangga desaku.
Terakhir kalinya aku hanya menyentuh
tangannya.., dan tidak berkata apa-apa lagi begitu pun dia, kami hanya
menciptakan senyuman, itu senyuman terakhirnya yang aku lihat.
Setelah aku duduk di tempat semula aku masih
sempat melihat dia belum beranjak dari tempatnya berdiri dan ia melambaikan
tangannya. Huh….!
Mobil telah membawaku perlahan semoga saja
gadis itu telah berlalu dan itu akan membuat hatiku sedikit tenang. Tapi aku
tiba-tiba terdiam dan membisu di tempatku seolah hanya ragaku yang ada di
tempat itu. Aku tak habis pikir kenapa ada orang yang mampu merusak suasana
hatiku dalam waktu yang begitu singkat.
“Sedih ya, kalau harus berpisah dengan seorang
teman.” Kudengar sebuah suara seperti memahami perasaanku bukan menggodaku atau
melecehkan.
Aku menoleh ke belakang dari arah datangnya
suara itu ternyata dia, si adik kelasku, ia duduk tepat di belakang kursiku. Ya
Tuhan…berarti dari tadi dia menyimak aku dengan gadis kwaci itu. aku tidak
mampu bicara apa pun hanya senyum yang menghias di bibirku dan aku yakin itu
senyum tidak ada indah-indahnya. Bodo’lah! hatiku kan masih sedih karena telah
berpisah dari sahabatku. Apakah ada seorang pria yang benar-benar memahami
situasi itu?
Mini bus telah melaju dengan kencang namun
hatiku masih tertinggal separuh di Hotel, aku kesulitan membawanya pulang.
Biarlah, tanpa bisa kupungkiri lembaran hidupku telah tertulis di sana meski
sebagian. Karena perjalan hidupku masih panjang masih banyak yang harus diisi.
Aku tidak banyak bicara di dalam mobil selain menikmati suasana hati menikmati
pemandangan di sela cerita-cerita dan candaan tawa temanku.
Sekali-kali adik kelasku bertanya dan
kujawab tanpa gairah dan pertanyaan pun tidak ada yang menjurus ke hal yang
penting. Aku pun malas berpikir tentang kisah di Pantai itu. itu hanya
segelintir kisah yang mengisi kisah di Hotel. Meski sejujurnya harus aku akui
saat itu kami merasa sangat dekat..dan kedekatan itu tidak kurasakan lagi, kini
seperti sunset yang seolah tenggelam
begitu saja.
*
Tiba di rumah makan mini bus berhenti dan
kami harus turun untuk makan siang..yang tidak ingin makan sepertinya memilih
untuk langsung ikut mini bus langsung sampai tujuan.
Banyak juga yang memilih untuk turun dan
berpisah di mini bus itu lalu memilih untuk pulang dengan menggunakan angkutan
lain termasuk aku. Aku bermaksud mengangkat tasku tapi langsung di sambar oleh
adik kelasku.
“Biar
aku saja yang membawanya.” Ujarnya pelan. Tas itu sudah ada di tangannya dan
aku hanya mampu menatapnya. Ia turun dan aku mengikutinya dari belakang. Kami
masuk ke rumah makan sederhana. Ia meletakkan tas itu di sampingku.., ada satu
dua temanku yang ikut makan di sana. “Habis ini langsung pulang, kan?”
pertanyaan itu seakan mengkhawatirkanku.
“Mmm..
tidak, ada yang harus aku cari.” Aku bermaksud membelikan sesuatu untuk
keponakan kecilku yang berusia sekitar 6 tahun.
“Oh..” sahutnya dengan hanya ‘Oh’ ia duduk
dan aku pun melakukan hal yang sama. Memesan makanan dan kami menikmati makan
siang bersama dengan yang lain, rumah makan yang cukup ramai. Beberapa saat
kemudian sebelum aku membayar makananku, dia sudah mendahuluinya. Lagi-lagi dia
mengatakan. “Biar aku saja…..” Kali ini dia tersenyum. Aku hanya membalasnya
sekilas dan berucap terima kasih.
Setelah makan kami mengambil jalan masing-masing.
Aku masuk ke sebuah pusat belanja dan aku tidak tahu apakah dia langsung pulang
atau ke tempat saudaranya. Ia pernah mengatakan kalau ia memiliki Bibi di kota
itu.
*
Setelah pulang dari Hotel aku melapor pada
pak Kades dan menyampaikan apa yang harus aku lakukan setelah itu aku tahu
pasti apa yang seharusnya….yaitu mengumpulkan teman-temanku dan mengajaknya
rapat di malam minggu nanti.
Dua hari berikutnya di siang hari itu…di
saat aku sudah melupakannya…, dia, si adik kelasku muncul di rumahku. Dia
datang sendirian..
Hari itu dia terlihat sangat percaya diri
dari sebelumnya, terlihat lebih akrab, lebih familiar dan aku tidak tahu apa
maksud dari kunjungannya itu. ia tidak pernah memberitahu waktu di rumah makan
kalau dia akan bertamu ke tempatku.
Hmmm…aku ngobrol dengannya di ruang tamu ditemani
adik bungsuku, usianya 13 tahun. Sekali-kali ia bercanda dengan adikku dan
bertanya di mana kedua orang tuaku, aku mengatakan kalau mereka sedang pergi ke
kebun.
Dia menatapku dengan seksama seolah tidak
menghadirkan adikku di antara kami. Ia duduk pas di depanku, kami hanya
dibatasi meja ruang tamu.
“Aku ingin mengatakan sesuatu sama kamu.”
“Apa?’
kataku dengan santai. Aku percaya kalau adikku sedang mengamati kami, ia tidak
pergi dari tempat itu dan aku memang tidak memintanya pergi.
“Aku
menyukai kamu dan aku mencintai kamu.” Katanya dengan sangat fasih. Sejujurnya
di usiaku yang menginjak 20 tahun belum ada pria yang mengatakan kata-kata
ajaib itu secara langsung dan disaksikan oleh adik kesayanganku. Yang aku alami
selama ini pria yang coba mendekatiku biasanya menyampaikan salam lewat temanku
atau lewat temannya yang kebetulan aku juga kenal bahkan ada yang melalui surat
cinta. Hmmm.. klasik sekali. Tapi dia, yang membuat aku agak terperangah, dia
itu adik kelasku, yang usianya pasti di bawahku, jikalau pun kami lahir di
tahun yang sama sudah pasti bulannya lebih banyak aku.
Aku
sempat tersenyum, apakah bahagia? Merasa aneh? Merasa tidak percaya? Atau…ah,
aku tidak mungkin mentertawai karena ke-Gantleman-annya
itu. itu adalah rasa respect sendiri
untuk dirinya.
“Kenapa kamu bisa berkata seperti itu? kita
kan baru kenal? Masa bisa jatuh cinta secepat itu?” sahutku berusaha tenang.
Sejujurnya aku salut dengan keberaniannya.
Adikku
sudah menghilang dari hadapan kami, dia sudah pergi main keluar rumah,
pastinya. Adik kelasku itu berusaha bersikap serius aku melihat dia terlihat
lebih dewasa dari kemarin-kemarin, kini dia seolah menjelma untuk menjadi
kekasih yang diimpikan setiap perempuan.
“Aku
berkata jujur, sebenarnya aku ingin mengatakannya di Pantai tapi….saat itu aku
takut akan merusak suasana cerita kita yang sudah mengalir. Sejak melihat kamu
di jembatan itu hatiku mengatakan kalau aku menginginkanmu. Sungguh.” Jelasnya
dengan pasti.
Aku
memang sudah pernah menjalin hubungan dengan pria lain dan dia tentulah bukan
pria pertama yang dekat denganku. Saat dia mengatakan cinta tidak ada getar
aneh di hatiku tidak juga adanya rasa bahagia yang melonjak, satu hal yang aku
rasa, anehkah…. Jika seorang adik kelas tepatnya mantan adik kelas mengatakan
cintanya pada perempuan yang lebih tua darinya? Itu memang pengalaman pertama
untukku. Aku tidak ingin menganggapnya serius meski dalam hati menerima
ungkapan perasaannya. Bukankah cinta itu urusan hati dan tidak ada sangkut
pautnya dengan usia?!?
Lumayan lama ia main di rumahku dan ia mulai
terlihat santai meski tidak mendapat jawaban langsung dariku…dan sepertinya
anak itu tahu kalau aku juga menyukainya. Tapi kami lebih bersikap
kekeluargaan. Dan aku yakin, dia punya jam terbang yang tidak bisa di bilang
sedikit untuk urusan yang satu itu.
*
Keesokannya, ia datang lagi. Kali ini ia
membawa mobil, hmmm entah mobil siapa yang ia bawa. Dan lagi-lagi yang ada di
rumah saat itu adalah aku dan adikku.
Penampilannya tidak berbeda dari kemarin,
santai, tenang dan percaya diri.. juga terlihat lebih gampang tersenyum. Ups….. dari kemarin-kemarin juga ia
memang suka tersenyum yaitu senyum tipis.
“Mau mengantar aku ke tempat cukur rambut?
Sepertinya rambutku sudah harus dirapikan.” Katanya tanpa beban.
Aku melirik ke rambut lebatnya sejenak
memang sudah agak panjang sih. Dan salon tempat cukur rambut yang dimaksudkannya
itu adanya di daerah yang tidak jauh dari sekolahku dulu, hanya di sana yang
bagus.. jaraknya dari rumahku sekitar empat kilometer.
Aku mengantarnya dan tetap bersama adikku,
dia tidak keberatan dan sepertinya juga menyayangi adikku. Di tempat cukur
rambut, ia menyerahkan padaku model apa yang aku sukai dan cocok untuknya.
Semakin hari aku merasa kalau kami semakin
dekat saja. Tidak peduli apa jenis hubungan yang kami jalani. Yang pasti aku
merasa semakin sayang sama dia…
*
Malam minggu pun tiba, sebelumnya aku sudah
mengabarkan pada teman-temanku kalau ada pertemuan di sekretariat Desa. Pukul
tujuh aku dan teman yang bisa di anggap dekat telah hadir duluan. Dia perempuan
yang lebih muda dariku ada juga pria yang mungkin 5 tahun di atasku. Aku
menganggapnya sebagai Pembina, dia baik dan berpendidikan…, dialah yang
membantu aku menyampaikan pesan pada yang lain kalau malam itu kami akan
mengadakan rapat.
Setengah jam pun berlalu dan remaja yang datang
ke sekretariat sekitar 35 % dari yang aku harapkan. Ke mana perginya
remaja-remaja di desaku itu? apakah aku telah salah memilih waktu? Dan malam
minggu adalah acara khusus untuk mereka mengunjungi pacarnya?? Mungkin juga.
Tapi aku tidak sependapat karena masih ada malam minggu berikutnya.
Meski yang datang tidak lebih dari separuh
dari yang aku harapkan rapat tetap berjalan. Kakak yang aku anggap Pembina itu
menyampaikan maksud dari undangan itu dan sekilas menjelaskan kalau aku yang
mengundang mereka dan ingin menjelaskan Sesuatu. Karena posisiku saat itu
bukanlah sebagai ketua Karang Taruna.
Setelah kakak itu menjelaskan pembukanya
baru aku yang bicara dan menyampaikan semua yang ingin aku sampaikan khsususnya
menyangkut hal yang aku dapat dari penataran di Hotel selama sepuluh hari.
Pertemuan itu berjalan lancar dan aku merasa tidak banyak respon positif yang
aku terima. Aku mulai mempelajari apa yang teman-temanku inginkan sebenarnya…???
Tidak gampang mengajak mereka khususnya remaja untuk melakukan hal yang
bersifat sosial…semua itu butuh tenaga dan harus kebal dengan suara-suara kiri
kanan.
*
Minggu berikutnya aku menerima balasan surat
dari gadis kwaci. Hohoho…aku merasa amat senang bahkan sangat senang karena aku
sudah rindu sekali dengannya.
Aku
akan membalas suratnya dan menceritakan kalau aku sudah berpacaran dengan pria
yang ia bilang tampan itu. aku tidak sabar ingin mendengar tanggapannya.
Tiga bulan berikutnya aku pamit dengan pak
kades karena ingin ke Jakarta dan sekaligus menyesal karena tidak bisa
melakukan apa yang diharapkannya padaku, aku juga tidak bisa menepati janjiku
sendiri karena aku benar-benar tidak betah tinggal di kampung tapi aku percaya
aku bukanlah orang yang tepat untuk melakukan semua itu. jiwa petualangku telah
memanggilku, aku bukan tipe orang yang betah berlama-lama terkungkung di
desaku. Aku merasa harus pergi selagi masih muda apalagi kedua orang tuaku
sangat mendukung.
Dan
adik kelasku yang sudah resmi menjadi kekasihku ternyata selama ini kerja di
Jakarta dan ingin melanjutkan kerjanya, selama ini dia hanya istirahat beberapa
bulan. Apakah itu semacam kebetulan? Entahlah.
Ibuku tahu kalau aku dan Anno pacaran
kecuali bapakku. Sehari sebelum berangkat kita bertemu dan ngobrol bertiga di
pondok yang ada di kebun kami.
Kami memang sengaja ke kebun sekaligus untuk
menikmati pemandangan alam. Setelah Anno menceritakan silsilah keluarganya
dengan rasa tidak percaya aku mendengar bapakku mengatakan kalau aku dengan Anno
masih ada hubungan keluarga bahkan bisa dibilang dekat..sangat dekat.
Oh
Tuhan, apakah itu artinya aku harus….? Saat itu aku merasa bahwa kami menjalin
hubungan terlarang. Oh…Tidak!
Jelas sekali kalau Anno pun menampik keras
pengakuan bapakku.
Aku pun terdiam!!!
Senja itu mendadak kelam.
Dan aku harus menceritkan samua itu kepada
Apbriel.
**
Lima belas tahun tanpamu,
Apbriel.
Terima kasih Facebook
Sekitar
awal Tahun 1994 aku bertemu dengannya disalah satu hotel ternama di Provinsiku.
Saat itu ada kegiatan pelatihan manajemen Karang Taruna se-provinsi . Aku, dia
dan ke 91 anggota lainnya harus tinggal di hotel itu selama kurang lebih
sepuluh hari.
Dia
adalah gadis yang berasal dari bagian Tengah Provinsiku , aku menyebutnya DARV
karena ia mengatakan namanya Apbriel dan terkadang dipanggil dengan DODO,
ABRIEL, RATU atau V. Aku tersenyum tipis saat ia mengatakan itu, dan nama-nama
itu bukan tanpa alasan…., DODO itu panggilan KAKAK untuk orang bagian tengah,
ABRIEL itu nama aslinya, dipanggil RATU lantaran ia suka berada ditengah-tengah
kaum pria, teman-temannya suka menyebutnya RATU. V? Ooo…mungkin sebutan singkat
dari APBRIEL itu sendiri.
Setelah
melewati waktu sepuluh hari kami pun harus berpisah…aku merasa dia adalah satu-satunya
teman yang aku anggap paling berkesan dan sempat akrab denganku. Aku kembali ke
Desaku, dia pulang ke Desa-nya. Seminggu kemudian aku mengirim surat kepada
Apbriel…
(Belum ada HP makanya masih pake
surat-suratan)
tapi aku suka surat-menyurat karena memiliki kesan tersendiri.
Setelah
itu aku berangkat ke Jakarta…dengan masih menyimpan alamat rumahnya. Saat
bulan-bulan pertama aku di Jakarta kami masih saling berkirim kabar masih
dengan surat dan terakhir aku ingat ia mengirimi aku 12 lembar sekali kirim.
Aku senang sekali karena ia menceritakan banyak hal. Ia berpetualang ke satu
gunung ke gunung lain yang ada di tanah air, (Pecinta Alam) hebat.. sembari
menggeluti tugasnya sebagai ketua Karang Taruna.
Di
Jakarta, aku mengalami beberapa kali pindah tugas dan pindah tempat kos juga…
aku tidak tahu dan tidak menyadari kalau alamat gadis itu ikut hilang.. (Aku
memang ceroboh) dan itu menyebabkan kami kehilangan kontak. Apakah ia mengirim
surat ke tempat lamaku? (Rumah Tanteku) tapi aku tidak mendapatkan kabar,
andaipun ada aku pasti dikabari. Untuk
mengirimkan surat ke rumahnya, aku tak lagi punya alamatnya. (Ah…!!! mengapa
aku tidak menghafal alamatnya ya?)
Pertengahan
tahun 2008 aku membuat akun Facebook,
tapi aku tutup karena merasa tidak ada gunanya, jelasnya belum tahu manfaatnya.
Awal tahun 2009 kembali aku membuat akun jejaring sosial itu, aku mulai
menelusuri dan mempelajari untuk apa akun facebook
itu dibuat. Tadinya hanya melihat-lihat status yang tidak jelas, lalu mulai pencarian…
Hahaiiii……..
otakku langsung ingat nama Desa itu, ada gadis itu disana. Apa kabar dia??
Dengan keyakinan penuh aku coba mengetik namanya ternyata tidak aku temukan.
Mesin pencari mungkin sudah memaki-maki aku ‘bodoh’ karena berulang-ulang
mengetik nama itu dan mesin menjawab, nama yang Anda cari tidak ditemukan… aku
mengetik nama-nama lain yang mungkin ia pakai tetap tidak ada. Huuhhh…….! aku
mulai mangkel. Mesinnya yang bodoh
atau aku yang kelewat bernafsu??!!
Akhirnya, setelah beberapa bulan
aku punya beberapa teman yang berasal dari Desa itu… aku tidtak menyia-nyiakan
kesempatan. Maka aku tanyakan pada mereka satu persatu ternyata mereka tidak
tahu alias tidak kenal. Aku mulai kesal, katanya Desa itu cukup dikenali tapi masa gadis seperti itu /
kembang desa mereka tidak kenal? Hehehe….
Eh…usut punya usut ternyata mereka
itu sudah lama sekali merantau ke Pulau Jawa dan akhirnya salah satu dari
mereka memberikan akun temannya yang menetap di Desa tersebut.. namanya HGG,
nama samaran, dengan pria baik hati itulah aku mulai berkomunikasi di Facebook lalu meneleponnya. Trus
langsung ke inti permasalahanku…
Aku meminta tolong sama dia untuk
menemui gadis itu dan minta nomor ponselnya.. dia menyanggupinya karena ia
merasa kenal dengan gadis itu sebab sudah menjadi teman istrinya. Huh! Sehari
dua hari aku menunggu kabar darinya dengan perasaan tak menentu, 15 tahun bo’ nggak
ketemu apalagi mendengar suaranya, ingatanku terus melayang pada sosoknya dan
candaannya… dua hari kemudian aku menerima pesan singkat dari HGG.
‘Kak,
0857xxxx……. Ini nomor Kak Apbriel. Selamat bernostalgia’
Aku langsung membeli kartu perdana sesuai provider yang dimiliki perempuan itu.
Hah….!!!!
Perasaanku langsung melayang tinggi dan buru-buru isi pulsa dan menelepon ke
nomor itu, huh!! Aku kecewa karena operator menjawab ‘Nomor yang Anda tuju
salah, nomor yang Anda tekan salah, coba cek kembali!’ Anjriiiitttt……….!!! Yang salah HGG? Operator atau yang memberi
nomor?
Aku
kembali menghubungi HGG untuk mengatakan kalau nomor yang ia kirim itu tidak
aktif dan dia langsung protes dengan mengatakan...
“Yuk, orang itu sendiri yang
memberikannya padaku, aku juga memperlihatkan foto profil yang ada di fb Kakak ke dia… saat itu ia hanya ketawa. Coba saja telepon
lagi. Nomor itu benar, kok.”
Terima
kasih Dik, aku akan meneleponnya lagi… terima kasih juga karena sudah menempuh
jarak 9 kilometer untuk menemuinya… kamu memang seorang guru yang benar-benar
baik hati tak akan aku lupa jasamu.
Aku
kembali meneleponnya dan kali ini tersambung dan dia sendiri yang
mengangkat……….wow………..!!!!
Ah,
ternyata ia sudah menikah telah menjadi Bunda dan memiliki anak-anak yang manis
dan telah menjadi seorang pengusaha meski kecil-kecilan namun itu usaha
sendiri. Terima kasih ya Allah, karena aku sudah bisa mendengar suara dan
cerita-ceritanya kembali…. tak lupa terima kasih pada Facebook juga teman-temanku yang sudah membantu… love you all.
Aku bisa menghubungi DARV...
***
Bersambunggg....>>> Helen bertemu kembali dengan Apbriel :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar