Selasa, 02 Desember 2014

1R7L


APBRIEL     
   Pulang dari kemping sekitar tiga hari atau lebih setelahnya... Aku di minta sama pak kades untuk mengikuti acara pelatihan kepemimpinan karang taruna untuk se-Provinsi yang akan diadakan di Hotel ternama di kota kami untuk sepuluh hari. Entah kenapa aku tidak bisa menolak saat pak kades datang sendiri ke rumahku.
   Hotel tempat diadakannya seminar itu lumayan jauh dari rumahku, menempuh perjalanan sekitar lima jam naik mini bus. Mini bus yang akan membawa kami ternyata menjemput langsung ke rumah.
   Aku duduk di bangku pas di belakang sopir. Ada salah satu cewek yang berasal dari tentangga desaku. Orangnya ramai, lucu tapi polos hingga tak jarang terkesan garing candaannya, namun ia super PeDe dan aku tahu usianya pasti sama denganku, karena kami selentingan di sekolah, hanya saja dia anak SMEA aku SMA.
   Mini bus pun terus melaju melewati beberapa desa untuk menuju pusat kota. Tempat tinggalku sendiri adanya di Kabupaten yang paling top dan orangnya terkenal cakep-cakep hehehe…
   Sungguh aku tidak tahu ada berapa desa yang harus aku lewati, kini mini bus sudah melewati tempat SMP-ku dulu dan kenangan saat-saat SMP-pun menyeruak di benakku, di mana saat pertama kali aku menyukai pria, pria yang cool, jenius dan calm…hmmm aku rasa aku jatuh cinta pada pandangan pertama padanya tapi dia adalah adik kelasku. Dan waktu di tempat kemah itu hanya sekilas melihat dia.. lalu menghilang dalam keramaian.
   Hihihihi…jadi malu masa menyukai adik kelas?! Bodohlah, namanya juga cinta jatuhnya,’kan tidak bisa diatur atau di kira-kira. Mengingat semua itu aku pun jadi tersenyum simpul. Di mana pria itu sekarang ya? Tanyaku dalam hati. Apa dia kuliah? Atau langsung mencari kerja setelah lulus SMA?? Wajahnya masih terekam dengan sempurna di memoriku.
   Mini bus masih melanjutkan perjalanannya aku tidak begitu peduli dengan suara-suara yang ada di belakangku karena aku sendiri sedang asik dengan pikiranku, mataku tak lepas memandangi pemandangan jalan yang sempurna, terus terang aspal yang ada di daerahku semuanya licin hingga tanpa aku sadari aku mengantuk berada di dalam mini bus yang terasa menganyun-ayun tubuhku.
    Beberapa jam pun telah dilewati oleh mini bus dan aku tidak tahu pasti ada berapa penunpang yang ada di dalam mini bus itu karena penumpangnya tidak dari anggota seminar semua, sebab mini bus itu mengambil penumpang lain untuk setoran.
   Tiba-tiba mini bus yang membawa kami mogok di jalan, bannya kempes. Kami semua harus turun dan ternyata kami berada pas di atas sebuah jembatan daerah Tengah.
   Tujuan kami menuju hotel sekitar setengah jam lagi. Hmmmm…….aku turun agak belakang dan setelah kakiku menginjak aspal aku melihat ada sosok pria jangkung yang sedang berdiri di tepi jembatan memegang pagarnya dan menghadap ke arah sungai yang ada di bawah jembatan. Entah kenapa aku merasa tidak asing dengan sosok itu, dari samping rasanya aku begitu mengenalinya….dan aku yakin dia adalah salah satu penumpang yang satu bus sama aku karena tidak ada mobil lain di sekitar itu dan ia tidak terlihat sedang lewat di jalan itu.
   Seperti magnet yang menarik aku, akhirnya kakiku berjalan ke arahnya. Sebelum aku sampai di dekatnya ia sudah berpaling ke arahku.
   Deeg……..!!!
   Pria itu, dia adik kelasku, pertama kali aku melihatnya saat dia duduk di kelas 2 SMP pas waktu dia menerima hadiah dari guru karena mendapat juara kelas ( hmmm..waktu itu saat penerimaan raport, semua yang menjadi juara kelas dari kelas 1 sampai kelas 3 dipanggil ke lapangan dan diperlihatkan sama murid-murid yang lain.) aku tidak tahu pasti apa tujuan guru kami melakukan hal itu hanya mereka yang tahu.
    Aku tidak terlalu merasa seperti ABG yang tiba-tiba melonjak kegirangan tapi jujur hatiku sempat menghilang sejenak dari tempatnya…hmmm, dia lebih tampan dari waktu beberapa tahun silam dan mengapa waktu di tempat kemah saat sekilas melihatnya tidak ada perasaan apa-apa. Apalagi saat senyumnya mengembang untukku…hem oh Tuhan..apakah senyum itu untukku?
   “Kamu? Kamu naik bus ini juga? Kok aku tidak melihatmu?” sapaku dengan lembut dan aku melihat ada bias senang terpancar di wajah imutnya itu. Hmmm sepertinya aku sedang Ge eR, dia mengangguk.
   “Kamu duduk di depan, ya? Pasti, soalnya aku masuk lewat pintu belakang. Apa kabar…?” ia mengulurkan tangannya  untukku dan kusambut dengan berusaha sesantai mungkin.
   “Ya, aku duduk pas di samping supir ikut pelatihan juga?” tanyaku yang sudah mulai bisa mengontrol perasaanku yang tadi sempat terguncang cinta. Untung tidak ada badai asmara, coba kalau badai itu lewat aku mungkin tidak jadi ikut ke acara pelatihan. Heh…cinta memang sering merusak suasana. Aku tidak begitu peduli dengan sopir dan keneknya yang sedang memasang ban pengganti dan juga teman-teman yang lain sedang menikmati arus sungai yang mengalir entah di mana muaranya. Aku hanya berharap kalau bus itu tidak buru-buru meninggalkan tempat itu…hmm ada cinta bersemi di atas jembatan itu dan cinta itu masih terus bercengkrama dengan indahnya, mungkin kalau ada lagu yang ingin kudengar saat itu adalah lagunya Melly Goeslow ‘I just wanna say I love you’ oh Melly…kamu pandai sekali bikin lagu, salut deh buat kamu.
   “Ya, tidak tahu nih sebenarnya apa yang akan dibahas nanti di pelatihan itu. Gimana kabar kamu dan apa selama ini selalu ada di kampung?”
   “Begitulah, tiga hari yang lalu ada acara penanaman seribu pohon aku ikut meramaikan dan kemping di dekat danau itu.” Kataku sekedar bercerita.
   “Ah, yang benar? Aku juga ikut tapi kok tidak melihat kamu.” Kali ini wajahnya terlihat sumringah.
   “Oh, ya?” kataku agak kaget juga padahal saat itu aku melihat dia. “Maklumlah pesertanya kan ratusan bahkan lebih jadi harap dimaklumi kalau tidak ketemu.” Ucapanku sepertinya klise sekali tapi aku yakin saat itu pesertanya mencapai lima ratusan..mungkin lebih dan tentu saja pria itu tidak tahu kalau aku sempat melihat dirinya.
   Hmm…mini bus akan meneruskan perjalanan dan kami buru-buru naik kembali dan tetap duduk di kursi semula. Pikiranku masih tertuju pada si mantan adik kelas tapi ada amanah pak kades yang kuemban dan itu membuatku ingat apa tujuanku berada di dalam mini bus itu.
   Aku merasa tidak sampai satu jam kami pun telah sampai di depan hotel. Mini bus mengantar kami sampai pintu hotel dan menurunkan kami. Di gerbang ternyata kami telah ditunggu oleh kakak-kakak panitia. Kamipun disuruh mendaftar dan mengisi selebaran...aku maju terlebih dahulu.
   “Apa nama Karang Taruna-nya?” kata kakak panitia itu dengan nada agak galak.
   “Dio Ba Keme.” Ujarku dengan pasti lalu pria itu mencari nama yang barusan aku sebutkan dan setelah menemukannya ia menatapku.
   “Apa arti dari nama itu? sepertinya nama itu punya arti tersendiri.”
   “Inilah kami.” Aku menjelaskan arti nama dari Karang Taruna yang aku emban yang membuat pria itu agak heran.
   “Boleh saya bertanya lebih banyak lagi?”
   “Tiga pertanyaan.” Sahutku sambil mengambil kertas dari tangan pria tersebut.
   “Kamu perempuan yang bonafide, baiklah... yang pertama.... kamu dari daerah Utara,’kan? Kedua...sudah berapa lama kamu memimpin Dio Ba Keme?” pria itu menatap ke arahku dengan pandangan yang susah aku artikan sehingga memaksa aku malas menjawabnya.
   “Bapak juga seorang yang bonafide...saya targetkan tiga pertanyaan tapi Bapak hanya memberikan saya dua pertanyaan. Saya hargai Pak, memang benar saya dari Utara.. saya bergabung dengan Dio Ba Keme baru dua bulan yang lalu.” Jawabku apa adanya sembari mengisi formulir di lembaran itu.
   “Terima kasih Helen... semoga Karang Taruna Dio Ba Keme menjadi Tauladan dan bisa menjadi percontohan.” Ujarnya menyebut namaku setelah melihat lembaran yang sudah aku isi lengkap.
   “Baru berkembang Pak, terima kasih atas doanya.”
   “Oh, ya. Bawa barang-barang kamu ke kamar nomor satu.” Setelah itu ia memanggil anggota lain yang sudah ada di kursi tunggu.
   Aku dan beberapa teman yang satu bus tadi ternyata bukan yang pertama datang, sebab sudah ada beberapa teman yang terlihat duduk di lobi hotel, aku tidak tahu dari Kabupaten mana saja mereka.
    Seorang pelayan Hotel membawa aku ke kamar nomor 1. “Silahkan..”
   “Terima kasih, Pak.” Sahutku dan setelah pintu ditutup mataku menyapu seisi ruangan. Ada tiga tempat tidur yang dua untuk satu orang dan yang satunya cukup untuk dua orang dan aku pastinya memilih tempat tidur yang untuk satu orang. Aku meletakkan tasku di dekat bantal. Sore itu kami berbagi kamar, aku satu kamar dengan tiga orang wanita yang lainnya. Aku sempat mendengar peserta penataran itu ada 90 orang, 11 wanita dan selebihnya pria yang datang dari berbagai desa di kota kami, khsususnya yang berkecimpung dengan Karang Taruna. Terus-terang aku sendiri sebenarnya bukanlah ketua Karang Taruna di desaku tapi entah kenapa pak kades mengirim aku untuk mengikuti pelatihan itu. mungkin karena dia melihat aku wanita yang tidak bisa diam dan suka ikut kegiatan apa saja di Desa ditambah lagi aku adalah pengangguran tidak kuliah karena tidak ada biaya tidak juga bekerja.., komplitlah penderitaanku. Pengangguran sejati.
   Menjelang sore, kami saling berkenalan dengan peserta yang lain. 90% usia kami sama sekitar 20 sampai 24 tahun. Aku 20 tahun kurang.
      Ahaaa…….! Ada gadis tomboy yang muncul menjelan petang, aku yakin dia adalah peserta yang datang paling belakang dengan hanya membawa tas ransel. Dia tipikal gadis periang, jangkung, dan sepertinya cerdas. Semoga! Ramainya sama seperti gadis tetangga desaku tapi dia terlihat lebih smart dan omongannya bermutu.. tidak asal.
  Malam itu, tepat pukul tujuh malam kami mengadakan kelas pertama di Ballroom Hotel. Pembicaranya seorang pria dari dinas sosial katanya dari Jakarta. Yang dibicarakan adalah mengenai peran pemuda di Desa dan cara memimpin teman-teman di lingkungan remaja. Intinya sama persis dengan judul seminar ‘Pelatihan Manajemen Kepemimpinan’ di dalam Karang Taruna. Aku suka sekali mengikuti acara itu hingga 2 jam pun dilewati tanpa terasa. Sampai aku lupa di mana si adik kelasku itu duduk.
   Kami diberi makan setiap jam makan tiga kali sehari..sudah seperti peraturan minum obat saja…he. Tepat pukul 21.00 WIB kami bubar tidak boleh keluar dari hotel kecuali ada alasan yang sangat tepat, tahu sendiri remaja seusia kami mana bisa tidur di jam segitu. Tapi di malam pertama itu kami coba menikmatinya sesantai mungkin ada yang saling kenal lebih dekat..dan ada yang melawak dan si tomboy itu…hihihihi dia malah bernyanyi dengan indahnya…’When you tell me that you love me’ wew……itu lagunya Diana Rose… lagu lawas euii!  Tapi jujur aku suka sekali suaranya. Si tomboy itu sepertinya benar-benar jenius, dia ketua Karang Taruna dari desanya, KabupatenTengah. Hmm pantas saja dia telat datang.., orang dekat sudah biasa datang belakangan. Kebiasaan yang tidak boleh ditiru.
   Malam itu aku memang agak kesulitan untuk tidur mau ngobrol sama teman sekamar tidak cocok, mereka bertiga seperti berkelompok. Mungkin mereka berasal dari desa yang berdekatan, entahlah. Aku tidak pernah menanyakannya. Oh, di mana si adik kelasku itu? dia pasti ada di lantai atas karena para pria kebanyakan di tempatkan di kamar lantai dua.
*
    Pagi-pagi kami sarapan. Tepatnya bukan sarapan tapi makan pagi. Dan pukul tujuh pagi kami harus mengikuti kelas lagi, aku tidak tahu akan berlangsung berapa jam kalau siang. Aku duduk bersama si tomboy apakah dia yang duduk duluan atau aku? Entahlah. Hohoho… saat menoleh ke belakang bagian kanan aku menemukan sosok jangkung yang memiliki wajah baby face itu. hatiku tidak terlalu bergejolak mungkin karena aku merasa kalau dia tidak terlalu memperhatikan aku meski dia sempat tersenyum ke arahku. Aku hanya menikmati senyum itu sejenak, hanya sejenak. Lalu kembali tekun menyimak ilmu yang diberikan oleh sang pengajar, kali ini orangnya lain lagi. Bukan pria yang semalam tetap dari dinas sosial dan lagi-lagi katanya datang jauh-jauh dari Jakarta. Ia sampai mencatat namanya di whiteboard. Aku percaya tidak satu pun di antara kami yang mencatat alamat beliau termasuk aku. Ah, kami memang sama-sama tidak peka.
    Ups…! gadis tomboy yang di sampingku ternyata sedang asik menikmati kwaci, dia langsung menawarkannya padaku. Aku tersenyum, dia asik menikmati makanan kecil itu senikmat ia mengikuti apa yang dibicarakan oleh pria yang berdiri di depan kami.
   “Selamat pagi...” sapa pria yang baru masuk dia bukan pria semalam namun yang pasti ia adalah salah satu tim dari Dinas Sosial. Anak-anak menjawab sapaan itu dengan bersamaan. “Ternyata ketua-ketua Karang Taruna di provinsi sini  rata-rata masih remaja, Bapak bangga sekali.” Katanya tulus. Sebelum kita melanjutkan ke permasalahan yang akan kita bahas maka kalian harus lebih mengetahui dulu apa itu maksud dari Karang Taruna, Karang Taruna adalah wadah di masyarakat ditujukan kepada remaja Desa untuk memperlihatkan prestasi atau potensi dirinya. Karang Taruna itu sendiri merupakan satu-satunya organisasi yang diperbolehkan oleh pemerintah di Desa.
       Acara itu berlanjut dan diselingi dengan debat, kami diminta membahas permasalahan tentang usaha apa yang harus remaja desa lakukan khususnya yang putus sekolah. Menarik…dan kami di bagi dalam tujuh kelompok yang nantinya akan melakukan observasi di lapangan.
       Kami memiliki ketua umum dan ketua umum itu memilih aku masuk ke dalam kelompoknya dan aku terpisah dengan si tomboy. Acara debat hari itu berakhir menjelang siang hari tepat pukul sebelas. Huh! Padat juga acaranya. Kami istirahat untuk makan siang, sholat dan sepertinya pukul satu siang akan di lanjutkan lagi.
       Seperti rapat  parlemen saja yaaa? Hehehe.
*
       Malamnya aku tidak tahu bagaimana si tomboy yang ramah itu bisa berada satu kamar denganku. Padahal beberapa hari sebelumnya ia ada di kamar lain. Aku suka gayanya yang periang dan sepertinya menyimpan sesuatu misteri yang membuat aku semakin menyukainya. Entah kenapa aku merasa dia ingin cerita banyak hal padaku…dan malam itu kami pun bercerita hingga larut malam, tepatnya aku menjadi pendengarnya. Huh……! Gadis yang luar biasa, kuat dan pintar. Terkadang aku melihat ada tatapan kosong di matanya lalu ia tersenyum, aku merasa seakan sudah mengenalinya begitu lama. Ia janji akan mengajak aku keluar.
   Di jam istirahat siang dia mengajak aku ke samping hotel, ternyata ada toko buku di sana kami sempat membaca buku di tempat itu untuk beberapa saat. Dan lagi-lagi ia membeli banyak kwaci di sebelah toko buku. Ada lagi yang ia beli, Ups…itu rahasia. Biarlah aku dan dia yang tahu. Ia pun sempat cerita dengan kekonyolannya mengenai kebiasaa jeleknya itu.
   Gadis yang unik. Malam itu aku merebahkan tubuhku di atas tempat tidur tak merisaukan semua suara yang terdengar di depan kamar. Tiga sekawan itu sepertinya sudah siap berangkat tidur meski masih terdengar suara bisik-bisik dari arah mereka sedangkan gadis tomboy yang bernama Apbriel itu sedang menikmati hobinya dan aku mulai merasakan ada kekesalan dari ketiga perempuan di sana mengenai hobi Apbriel itu, Apbriel juga pastinya merasakan hal yang sama ada ketidaknyamana dari sikap mereka.
   “Ya ampun dia pegang itu persis seperti laki-laki...” terdengar suara dari salah satu perempuan dari ranjang sebelah yang tadinya aku pikir mereka sudah tidur.  Apbriel hanya diam namun aku tak begitu suka kata-kata yang menekan itu karena terdengar sangat menghina. Apbriel tak mau begitu peduli dengan omongan yang menyindir itu apalagi ia melihat aku membalikan badan untuk menghadap ke arahnya. Gadis itu memang sedang duduk di sisi tempat tidurku dan akhirnya akupun turun untuk duduk di depannya. Gadis itu tersenyum seolah mendapatkan lampu hijau kalau aku akan menemaninya menghabiskan malam panjang bersama dan andaipun aku tidak menemaninya dia akan tetap santai menikmati kebiasaannya tersebut seakan tak peduli dengan siapapun tapi aku menyukainya dan ingin menjadi temannya.
   “Kok belum tidur?” ia berguman.
   “Belum ngantuk tapi tidak tahu apa yang akan aku lakukan.” Aku melirik ke ranjang yang di ujung sepertinya gadis-gadis yang ada di sana sudah masuk ke alam mimpi. Meski Apbriel menyukai apa yang ia nikmati namun ia tidak menawarkannya padaku itu luar biasa sekali dan aku tidak terganggu melihat kebiasaannya karena bagiku itu sudah biasa sebab bukan hanya dia yang seperti itu, satu dua perempuan yang aku kenal selama ini memilik hobi yang sama dengan Apbriel.
   “Aku suka nama Karang Taruna-mu, Beauty Rose.” Kataku dan gadis itu tersenyum disela menikmati hobinya.
   “Helen... kamu tahu tidak? Aku pernah tertipu.” Ia berkata takkala aku melirik benda itu sekilas namun tak bermaksud mengkritiknya. Aku tersenyum seolah menunggu ceritanya dilanjutkan. “Waktu itu aku sedang duduk di ruang tunggu dan salah satu teman pria-ku ingin ke toilet dan menitipkan benda ini ke aku dalam keadaan menyala. Beberapa menit kemudian pria itu kembali lalu saat ingin mengambil benda itu ia tersenyum sembari menggelengkan kepalanya dengan lembut.
   “Sudah kuduga ujarnya saat melihat benda itu sedang berputar-putar di jemariku dengan begitu tidak asing dan cara aku memegangnya seakan benda itu sudah sangat akrab dengan jariku.” Kata Apbriel dengan santai dan merasa lucu karena temannya sudah menjebaknya. “Nyaris semua temanku adalah pria.. aku suka naik gunung, di Karang Taruna tak ada yang sama memanggilku, ada Ratu, V, Dodo kadang Apriel. Dipanggil Ratu karena aku perempuan sendiri, Dodo itu nama panggilan untuk kakak di tempatku... meski demikian tidak ada yang tahu kalau aku suka melakukan ini karena aku tidak pernah melakukannya di depan mereka.” Tambahnya sejenak melirik  benda di jarinya.
   “Keren.” Sahutku namun aku sendiri belum tahu yang mana jadi panggilan favoritku untuk namanya karena aku suka semuanya. Apbriel kembali menyalakan benda itu karena yang di tangannya sudah habis.
   “Aku pernah punya kekasih yang kehangatannya seperti beringin, teduh dan sangat cool tapi kami berpisah. Pernah suatu malam hujan dan aku di rumah seolah mendengar ia memanggil namaku sampai aku membuka pintu lalu bengong di depan pintu karena tidak melihat siapa-siapa selain titik hujan.” Apbriel tersenyum tipis seolah kenangan itu sedang ia rasakan dan aku dapat merasakan apa yang ia alami saat itu seolah begitu jelas di benakku apalagi aku melihat matanya ada bias bening kristal yang mulai mengabut. Begitu banyak hal yang gadis itu ceritakan sama aku dan aku sendiri tidak tahu mengapa ia bisa mengisahkan semuanya padahal kami baru saja kenal beberapa hari.
   Keesokannya kami tidak ada kelas.. dan si adik kelasku mendekatiku. Hmm.. ternyata dia ingat juga sama aku. Oh Tuhan, dia mangajak aku ke Pantai, berdua. Tuhan… ini mimpi apa musibah? Aku sempat tidak percaya sama sekali. Pantai dari Hotel tidak terlalu jauh.., aku masih berpikir, ikut atau tidak? Kutatap wajahnya dengan lekat-lekat…dan tidak kutemukan adanya hal yang meragukan di wajah itu. dia terlihat baik dan tidak memaksa, justru itu yang membuat aku luluh.
    Kami pun pergi dan sebelumnya dia pamit dengan Apbriel dan sempat aku dengar Apbriel menimpali.
    “Jangan lama-lama ya.”
   Aku tidak tahu bagaimana perasaanku saat itu, dia, si adik kelasku waktu SMP mengajak aku jalan-jalan dan bodohnya aku pun mengabulkannya.
   Kami naik angkot sebanyak dua kali dengan jarak yang tidak terlalu jauh dari angkot satu ke angkot berikutnya untuk sampai di Pantai.
   Hmmm…aku lupa, mungkin itu ketiga kalinya aku menginjakkan kakiku di pantai itu.
   Adik kelasku itu namanya Anno, Kami duduk di bawah tenda, siang itu cuaca terlihat indah dan bersahabat. Dia membelikan kacang dan minuman ringan. Kami menikmati pemandangan laut yang bergejolak, cerita kami pun mengalir seperti sahabat lama yang sudah lama tidak bertemu. Jujur aku sedang merasakan gejolak perasaan yang sulit aku kendalikan dan detak jantungku pun terasa tidak normal, untung otakku masih normal..
   ‘Wah gawat ini.’ Makiku dalam hati.
   “Sejujurnya aku berterima kasih sekali kamu mau datang ke sini bersamaku.” Ucapnya kemudian. Aku hanya menatapnya sekilas. “Kamu tahu nggak? Tadi sehabis sholat, aku berdo’a semoga kamu mau mengabulkan permintaanku. Aku takut sekali kamu menolak.” Lanjutnya kemudian dengan muka serius terlihat agak malu namun kata-katanya menyakinkan tidak terkesan nge-gombal! Entah kenapa aku merasa ia tidak berbohong dan tidak berani membohongiku apa karena aku adalah kakak kelasnya? Aku tidak tahu pasti yang aku lihat tuh anak rajin sholatnya.
   ‘Ah, masa segitunya?’ pikirku.
   Dia melanjutkan lagi. “Dua hari ini aku selalu memperhatikan kamu, ya di kelas, di Lobi juga melihatmu bersama pria-pria yang coba mendekatimu, dalam hati aku berkata..’wah sepertinya berat-berat nih saingan.’ Dan si Apbriel itu, dia satu-satunya yang aku lihat cocok dengan kamu, dia baik dan sepertinya menghargai kamu makanya tadi aku pamit sama dia untuk mengajak kamu ke sini.” Tuturnya panjang lebar.
   Aku hanya tersenyum saat ia mengatakan si Apbriel itu, dialah sahabatku satu-satunya di tempat itu. ‘Ah, kenapa aku tidak mengajak dia, ya?’ tapi aku yakin si Anno tidak akan setuju kalau aku mengajaknya. Pria, gitu lho!
   Aku merasa kalau Anno mulai bicara mengarah ke hal serius apalagi saat ia mengatakan tentang saingan. Apakah ada yang ingin dia raih dariku? Terlalu cepat rasanya. Tadinya aku mengharapkan hal itu tapi kini aku merasa kalau itu adalah hal yang bukan luar biasa. Hari mulai menjelang sore, kami banyak cerita masalah keluarga, tentang orang tua yang sangat menyayangi kami dan tentang selera makan yang nyaris sama. Entah kenapa kami bisa bicara seleluasa itu dan rasanya nyaman sekali. Tidak ada yang kami sembunyikan, cerita itu mengalir dengan indahnya juga disertai tawa dan senyum yang seringkali mengembang dari bibir kami.., sambil masih menikmati kacang kulit dan sesekali menikmati luasnya hamparan laut. Aku rasa kami akan menunggu datangnya sunset.. itu baru luar biasa.
   Kami juga membicarakan tentang pelatihan itu yang menurut kami sangat baik dan sangat diperlukan oleh remaja-remaja seperti kami. Dalam hati aku berjanji bahwa apa yang telah aku pelajari di pelatihan itu akan aku terapkan di desaku kelak.
   Tidak terasa, senja berubah menjadi petang dan cerita kami sepertinya tidak akan pernah habis…hingga sunset menghentikan keberadaan kami di tempat itu, setelah menikmati sunset kami pun bergegas kembali ke Hotel dengan perasaan yang belum aku mengerti, seperti apa itu.
   Huh!!! Kami terlambat meski hanya beberapa menit saja.
   Kelas akan di mulai pukul tujuh malam. Aku buru-buru mandi beberapa menit berikutnya masuk ke kelas namun Anno sudah lebih dulu masuk dan langsung si manis Apbriel menyapanya.
   “Helen mana?” kejarnya dengan nada agak khawatir. Saat Anno melirik ke belakang aku sudah siap masuk. pas sedetik setelah aku menghenyakkan pantat di kursi yang ada di sebelahnya Apbriel.
   “Aku kan sudah bilang jangan lama-lama..” aku tidak bisa menangkap makna kata-katanya apakah marah karena keterlambatanku atau khawatir karena aku pulang agak kemalaman.
   “Maaf, baru juga mulai, kan?” sahutku dengan perasaan bersalah pada kakak yang sudah memberi materi juga pada sahabat baruku itu. yang jelas aku merasa tidak enak pada kakak yang sudah ada di depan kami, dia tidak marah justru itu membuat aku tambah merasa bersalah dan merasa tidak tahu diri meski aku yakin dia sudah ada di tempat itu tidak kurang dari lima menit.
   Aku bisa mengikuti materi dengan tenang dan sahabatku tetap dengan kebiasaannya yaitu menikmati kwaci. Apa aku harus memanggilnya dengan ‘gadis kwaci?’
   Di sela-sela menikmati kwacinya ia berceloteh tanpa peduli kalau kami duduk di kursi paling depan pojok kanan.
   “Kamu tahu nggak? Waktu kamu di Pantai sama Anno, aku seperti orang tolol di Hotel ini, aku akhirnya pergi ke toko buku sebelah, gilanya lagi aku bilang pada penjaga toko itu kalau di sini tidak ada yang asik kecuali kamu. Eh si penjaga toko malah bilang begini ‘Apakah dia tomboy juga?’ tidak kataku tapi orangnya enak diajak ngomong dan nyambung.” Katanya panjang lebar.
   Aku hanya meliriknya sekilas lalu kembali fokus pada pria yang ada di depan kami dan tidak menyangkal sedikit pun kata-kata sahabatku karena apa yang ia katakan itu memang benar. Aku hanya menanggapinya dengan seulas senyum tipis dan aku yakin itu senyum termanisku.
   Oh, Anno…! kamu telah membuat aku meninggalkan sahabatku. Aku pasti akan menebusnya.
*
   Dan benar, besoknya pas hari minggu kami hanya ada kelas pagi setelah itu kami dapat acara bebas, yaitu boleh keluar dari Hotel.
    Gadis kwaci mengajak aku keliling kota mengunjungi tempat temannya dan jalan-jalan ke pinggir Pantai, masih di lingkungan Pantai tapi kami naik ke atas bangunan, duduk di sana menikmati keindahan pantai dari atas, kami pun sempat tidur-tiduran sambil membaca majalah remaja.
   Pergi dengan sahabat dan dengan pria yang kita sukai sangatlah berbeda namun punya keasyikan tersendiri dan itu tidak kalah menariknya.
   Gadis kwaci itu menceritakan banyak hal denganku, ya tentang kisah cintanya dengan pria bak beringin karena teduh yang pernah menghilang juga tentang perjalanan Karang Taruna yang diketuainya. Semuanya menarik dan tidak membosankan. Ada yang tidak bisa lepas darinya selain kwaci…ah, semoga saja nanti ia bisa menghilangkan kebiasaan itu tapi tetap saja di mataku dia adalah gadis yang luar biasa punya wawasan luas, punya prinsip hidup dan sepertinya sudah banyak makan asam garam kehidupan.., ternyata usianya dua tahun di atasku. Tapi aku melihatnya lebih matang dari usianya yang sesungguhnya. Aku menyanyanginya. Ia juga menjelaskan kalau ketua kami adalah satu-satunya pria yang sudah menikah. Ups!
   Dia menjelaskan hal itu karena merasa kalau pria itu menaruh perhatian lebih sama aku.
*

   Acara obsevasi ke lapangan pun kami jalani di hari berikutnya. Kami datang ke balai desa yang sudah ditunjuk, kami mengenakan jaket biru seragam yang di kasih panitia, di sana kelompok kami di terima dengan sangat baik bahkan sudah disediakan tempat pertemuan kecil.. di sana kami berbincang dengan kepala desa dan yang dibicarakan tidak lepas dari lingkungan dan peran anak muda. Hmmm…menarik memang, aku menyukai pekerjaan itu.. dan sangat menikmatinya, tidak hanya sampai di situ. Kami pun punya jadwal harus mengunjungi rumah-rumah penduduk untuk menanyakan bagaimana peran pemuda di tempat itu apakah pemuda berperan penting di dalam masyarakat?
   Setelah mendapatkan hasil yang memuaskan dan mencatatnya di buku, Kami merasa lega dan masih memiliki waktu yang lumayan panjang untuk kembali ke hotel sebab malamnya kami akan mengikuti kelas lagi. Dan kita memutuskan untuk mengunjungi Benteng peninggalan Inggris, tempat di mana presiden Soekarno pernah diasingkan.
*
   Si ketua kelompok yang aku rasa memilik perhatian lebih sama aku, tidak pernah lepas dari kameranya sejak dari balai desa dia selalu mendokumentasikan kegiatan kami dan di tempat wisata pun begitu. ‘Dia sudah punya isteri.’ Kata-kata si gadis kwaci waktu itu terngiang lagi.
    Eh…dia minta foto berdua denganku. Aku mengabulkannya dengan tidak ada maksud apa-apa.
   Ah, di mana si Anno? Di kelompok berapa dia? Dan di desa mana dia melakukan observasi? Dan si gadis kwaci, apakah dia satu kelompok dengan Anno? Aku tidak tahu.
   Malamnya kami diminta mendiskusikan hasil observasi tadi siang. Seru dan si Anno terlihat sangat dominan dalam diskusi itu, entah kenapa aku merasa seolah ia ingin memperlihatkan sesuatu padaku kalau dia bisa seperti pria-pria lain yang ada di ruangan itu…dan ada lagi satu pria yang coba dekat denganku, hmmm…dia cukup macho…, akrab denganku juga dengan gadis kwaci, kami pun sering menikmati kwaci bersama-sama.
   Dan aku dengan gadis kwaci tahu kalau besok adalah ulang tahun pria itu.
  Aku dan gadis kwaci harus memberinya kado kecil dan kami memutuskan untuk membelinya di warung samping Hotel langganan kami.. Hmmm….pasti seru. Lilin kecil pun tidak ketinggalan, kami membungkus kado mungil itu dengan kertas kado warna biru dan putih.
  Malam itu teman-teman kami terlihat masih asik menikmati malam, aku tidak tahu apakah ada yang mengalami cinta lokasi atau sekedar berteman. Di mana Anno? Lagi-lagi mataku mencari-cari sosoknya. Semoga dia baik-baik saja.
   Kami duduk di lobi bercanda dan bersenda gurau.., aku merasa kalau kami sudah memiliki hubungan yang begitu dekat karena sudah lebih dari seminggu kami tinggal bersama-sama di dalam ruangan itu. makan bersama-sama dan melakukan banyak hal bersama. Yang tinggal di ruangan itu sekitar lima orang yang lainnya mungkin sudah tidur atau sedang ngobrol di kamar karena aku yakin banyak teman kami yang tidak tahu kalau ada di antara anggota kami sedang berulang tahun.
   Tepat pukul 00.00 WIB gadis kwaci mengeluarkan kado kecil itu dan mendirikan lilin mungil di atasnya. Ia minta teman kami yang lain menyalakan lilin itu dan yang berulang tahun ada di depan kami. Dia tidak akan menyangka kalau ada di antara kami yang akan menghadiahkannya sesuatu yang istimewa untuknya. Hihihi…hanya aku dan si gadis kwaci yang tahu isi kado itu karena memang pilihan kita berdua untuk pria itu. semoga saja dia suka.
   Kami menyanyikan lagu selamat ulang tahun, pria itu terharu dan kami merasakan kebersamaan yang dalam. Dia meniup lilinnya lalu kami memintanya membuka kado ajaib itu, tahu apa isinya? Yah…se-pack kwaci, hehehe….
   Pria itu terlihat sangat senang meski tidak percaya kalau isinya adalah kwaci. Keterlaluan!!
   “Maaf ya teman, hanya itu yang bisa kita kasih.” Kata gadis kwaci. Pria itu tertawa dan mengucapkan terima kasih, pesta kwaci pun terjadi malam itu. sebuah hadiah memang tidak perlu dilihat dari besar kecil nilai dan harganya namun ketulusan dan rasa kebersamaan lebih terasa bernilai dari apa pun.
*
   Besok adalah hari terakhir kami ada di Hotel itu. ketua meminta kami mengumpulkan foto dan alamat rumah untuk membuat album kenangan. Itu tidaklah terlalu sulit tapi yang tersulit aku rasa nanti di saat kami harus berpisah dengan teman-teman, waktu sepuluh hari yang kami lewati bersama-sama berkumpul di bawah atap yang sama yang datang dari berbagai daerah dan Kabupaten di Provinsi kami yang luas ini dan kami cintai tentunya. Sejujurnya kami merasa seperti kelompok yang telah melakukan karantina tapi karantina yang menyenangkan. Tidak ada persaingan tidak ada kompetisi untuk mendapatkan piala satu atau semacamnya karena kedatangan kami hanya untuk menuntut ilmu.., ilmu yang tidak pernah kami bayangkan sebelumnya.
   Ilmu bagaimana cara memanfaatkan lahan kosong yang efektif cara memimpin teman-teman cara mengambil keputusan di dalam rapat dan bagaimana caranya menciptakan lahan pekerjaan dan masih banyak lagi. Pokoknya pertemuan dalam sepuluh hari itu bukan saja mendapatkan kenalan dan teman baru tapi mendapatkan sesuatu yang tidak akan kami lupakan untuk selamanya.
   Malam itu adalah malam terakhir untuk kami. Acara perpisahan pada kakak-kakak pembina, kesan pesan dan entah apalagi aku juga tidak ingat dengan pasti. Dan ada yang aneh di aula itu, masa ada teman-teman yang minta bajunya di tandatangan sama teman yang lain. Seperti anak sekolah yang baru lulus saja. Pakai coret-coret baju segala.
   Tidak ada yang bisa menghindar dari acara gila itu termasuk aku. Teman-teman memaksa untuk mencoret bajuku dan aku hanya membatasi siapa saja yang boleh melakukannya. Pertama adalah si gadis kwaci, lalu sang ketua, juga pria yang malam itu ulang tahun dan…ya Tuhan…, si adik kelasku tidak menghampiriku bahkan aku kesulitan untuk menemukan di mana sosoknya dan di mana batang hidungnya. Ah, kenapa aku tidak merindukannya? Apa karena dia tidak peduli denganku? Tapi apa artinya sore di pantai itu?? apakah tidak sedikitpun terkesan dalam ingatannya? Aku tidak mau tahu apa yang ia rasakan saat ini…karena yang aku tahu dia tidak pernah sedikit pun berusaha untuk bergabung denganku di malam perpisahan itu.
   Acara perpisahan dengan kakak pembina pun usai kami pun keluar dari Hotel tapi masih akan menginap untuk terakhir kalinya di Hotel. Malam itu kami menghabiskan waktu untuk makan di warung tenda. Si gadis kwaci tidak pernah semenitpun berpisah dariku. Kami sangat bahagia, makan bersama, memesan sate dan yang lainnya. Ada beberapa pria yang bergabung dengan kami dan lagi-lagi tidak ada adik kelasku. Entah bersama siapa dia makan….?!
    Kami benar-benar menikmati malam itu hingga mendekati tengah malam dan kembali ke Hotel untuk istirahat.
    Di Hotel-pun kami tidak lantas langsung tidur, aku dan gadis kwaci menikmati sisa malam dengan berbincang di tepi tempat tidur sementara teman sekamar kami yang dua orang itu sudah beringsut memasuki dunia mimpi indahnya atau mungkin karena sudah tidak sabar untuk bertemu dengan keluarga disebabkan jarang berada jauh dari keluarga, aku dan gadis kwaci sepertinya tidak perlu diragukan lagi karena kami sudah sama-sama mandiri dan terntunya sudah pernah merantau hingga berada jauh dari keluarga itu menjadi hal biasa bagi kami.
   Seperti malam-malam sebelumnya gadis kwaci memang sering bicara dan aku menjadi pendengar setianya, lagi. Sekali-kali ia membahas kelanjutan hubunganku dengan adik kelasku itu aku tidak bisa berkomentar banyak karena aku sendiri tidak tahu apa yang terjadi denganku dan adik kelasku itu. tapi menurut gadis kwaci, aku dan adik kelasku itu cocok dan ia menebak kalau pria itu mencintaiku. Aku hanya bisa memberinya senyuman tanda jawaban tidak pasti dariku. ia juga mengatakan kalau dia lumayan tampan. Hmm kalau yang itu memang benar dan tidak perlu diragukan lagi!
   Saat aku bercerita tentang sebuah kota yang pernah aku datangi gadis kwaci itu terlihat bersemangat, ternyata dia juga pernah tinggal di sana dengan wajah berbinar dia mengajak aku mengunjungi kota itu kapan-kapan.
   Ya kapan-kapan. Lirihku dalam hati.
   Ada kesamaan antara aku dengan gadis kwaci yaitu sama-sama tidak menyukai orang yang menilai orang lain dari sisi luarnya saja. Itu sering kali terjadi dikehidupan dan lingkungan kami.
   Aku tidak melihat adanya kelelahan di wajah itu terkadang ia terlihat seperti wonder women, terkadang serupa anak kecil yang minta direngkuh, ia seolah ingin menuangkan segala perjalanan hidupnya padaku padahal kami baru saja dekat dalam satu minggu ini, tiga hari sebelumnya tidak bisa di bilang dekat, baru tahap perkenalan namun entah kenapa aku merasa kami sudah kenal dalam puluhan tahun, aneh memang. Tidak ada keraguan di antara aku dan dirinya untuk membuka hati dalam kancah persahabatan, aku hanya bisa berharap semoga tali kasih sayang kami tidak akan pernah putus hingga kami tua. Jika pun harus berpisah oleh hal yang tidak kami inginkan setidaknya aku telah meletakkan dia di sisi hatiku yang paling indah.  
   Ah!! Seorang sahabat sejati memang tidak bisa ditemukan di sembarang tempat.
*
   Pagi itu kami masih dapat makan. Ketua membagikan album kenangan yang lumayan tebal. Dan kami juga mendapat uang saku dari penyelenggara seminar itu…atau dari mana asalnya, aku juga tidak tahu pasti mungkin dari Dinas Sosial tapi lumayan, Alhamdullilah, itu tidak pernah terpikir sebelumnya dan aku menganggapnya sebagai bonus.
   Hmmm….saatnya salam perpisahan dengan teman-teman yang rumahnya dekat dengan Hotel akan pulang sendiri-sendiri dan aku tentu saja akan pulang dengan rombongan yang ke Kabupatenku meski tidak banyak dan mini bus akan datang menjemput kami. Ya Tuhan…..tanpa aku sadari mini bus itu ternyata sudah ada di halaman parkir Hotel, entah kapan dia berada di sana yang pasti aku tidak menyadarinya mungkin karena ramainya suara anak-anak yang sibuk pamit dengan teman-teman.
   Aku akan masuk mini bus itu dan meninggalkan si gadis kwaci. Aku tidak akan melihat wajahnya untuk terakhir kali karena aku yakin tidak akan sanggup. Aku sudah sering mengalami perpisahan dengan teman dekatku dan itu menyakitkan rasanya aku tidak suka itu. sebelum aku diam-diam untuk masuk ke mini bus aku sempat mendengar suaranya mencariku dan menanyakan pada teman yang masih menunggu kerabat menjeput atau menunggu siapa..tidak tahu, yang jelas masih ada banyak yang di dalam lobi itu. dua kali mungkin lebih ia meneriakkan.
   “Apakah ada yang melihat Helen?”
   Aku sudah duduk di dalam mini bus tepat di sisi kiri dekat kaca jendela. Mini bus itu belum ada tanda-tanda untuk segera berangkat, mesin memang sudah dinyalakan tapi di mana sopirnya. Saat itu aku yakin masih pagi tidak lebih dari pukul Sembilan. Aku berdiam di tempat dudukku sembari mengambil napas dalam-dalam.
  Sebuah suara memanggilku memaksa aku menoleh. Gadis kwaci itu sudah ada di sisi luar mini bus, dia menghampiriku. Sungguh aku tidak bisa menahan perasaan hingga aku memutuskan untuk turun. 
   Kami sudah bertatap muka begitu dekat, demi Tuhan…saat itu aku melihat matanya berkaca-kaca, tas ransel menggantung di bahu kanannya. Sosok jangkung itu mengenakan jins dan kaus merah, ia tak lepas menatapku. Rambut lebatnya yang di potong pendek terlihat sangat serasi dengan bentuk tubuhnya yang sintal. Gadis ketua Karang Taruna di Kecamatannya yang memiliki pribadi yang mengagumkan, apakah aku bisa berpisah darinya? Dan kehilangan kisah-kisahnya? Ya Tuhan…, aku hanya bisa berdoa semoga ini bisa dilewati.
   “Aku tadi di dalam mencarimu, ternyata kamu sudah di mobil, oke….selamat jalan ya. Semoga kita bisa bertemu lagi suatu saat nanti.”
   Aku melihat dia berusaha kuat untuk menahan agar tidak menangis tapi dadaku malah yang terasa sesak. Entah siapa yang mulai, akhirnya kami berpelukan.
   Huh…!!! Tidak ada yang menyukai situasi seperti itu siapa pun itu tapi yang namanya pertemuan pasti ada perpisahan namun yang aku yakini perpisahan hanyalah bumbu dari perjalanan hidup di mana nanti kita akan mengenangnya dengan indah karena ada kisah luar biasa di awal perpisahan itu.
   ‘Mini bus segera berangkat.’ ada suara yang memintaku segera masuk. Aku menatap gadis kwaci lagi setelah pelukan kami lepas.
   “Kamu pulang sama siapa?” ujarku dengan nada serak.
   Dia tersenyum di antara sendu. “Gampanglah, aku dekat kok. Setengah jam juga nyampe.”
   Aku hanya mengangguk pelan dan lagi-lagi terdengar suara reseh berteriak dari dalam mini bus untuk memintaku segera masuk karena bus akan segera berangkat, eh ternyata dia gadis tetangga desaku.
   Terakhir kalinya aku hanya menyentuh tangannya.., dan tidak berkata apa-apa lagi begitu pun dia, kami hanya menciptakan senyuman, itu senyuman terakhirnya yang aku lihat.
   Setelah aku duduk di tempat semula aku masih sempat melihat dia belum beranjak dari tempatnya berdiri dan ia melambaikan tangannya. Huh….!
   Mobil telah membawaku perlahan semoga saja gadis itu telah berlalu dan itu akan membuat hatiku sedikit tenang. Tapi aku tiba-tiba terdiam dan membisu di tempatku seolah hanya ragaku yang ada di tempat itu. Aku tak habis pikir kenapa ada orang yang mampu merusak suasana hatiku dalam waktu yang begitu singkat.
    “Sedih ya, kalau harus berpisah dengan seorang teman.” Kudengar sebuah suara seperti memahami perasaanku bukan menggodaku atau melecehkan.
   Aku menoleh ke belakang dari arah datangnya suara itu ternyata dia, si adik kelasku, ia duduk tepat di belakang kursiku. Ya Tuhan…berarti dari tadi dia menyimak aku dengan gadis kwaci itu. aku tidak mampu bicara apa pun hanya senyum yang menghias di bibirku dan aku yakin itu senyum tidak ada indah-indahnya. Bodo’lah! hatiku kan masih sedih karena telah berpisah dari sahabatku. Apakah ada seorang pria yang benar-benar memahami situasi itu?
   Mini bus telah melaju dengan kencang namun hatiku masih tertinggal separuh di Hotel, aku kesulitan membawanya pulang. Biarlah, tanpa bisa kupungkiri lembaran hidupku telah tertulis di sana meski sebagian. Karena perjalan hidupku masih panjang masih banyak yang harus diisi. Aku tidak banyak bicara di dalam mobil selain menikmati suasana hati menikmati pemandangan di sela cerita-cerita dan candaan tawa temanku.
   Sekali-kali adik kelasku bertanya dan kujawab tanpa gairah dan pertanyaan pun tidak ada yang menjurus ke hal yang penting. Aku pun malas berpikir tentang kisah di Pantai itu. itu hanya segelintir kisah yang mengisi kisah di Hotel. Meski sejujurnya harus aku akui saat itu kami merasa sangat dekat..dan kedekatan itu tidak kurasakan lagi, kini seperti sunset yang seolah tenggelam begitu saja.
*
   Tiba di rumah makan mini bus berhenti dan kami harus turun untuk makan siang..yang tidak ingin makan sepertinya memilih untuk langsung ikut mini bus langsung sampai tujuan.
   Banyak juga yang memilih untuk turun dan berpisah di mini bus itu lalu memilih untuk pulang dengan menggunakan angkutan lain termasuk aku. Aku bermaksud mengangkat tasku tapi langsung di sambar oleh adik kelasku.
   “Biar aku saja yang membawanya.” Ujarnya pelan. Tas itu sudah ada di tangannya dan aku hanya mampu menatapnya. Ia turun dan aku mengikutinya dari belakang. Kami masuk ke rumah makan sederhana. Ia meletakkan tas itu di sampingku.., ada satu dua temanku yang ikut makan di sana. “Habis ini langsung pulang, kan?” pertanyaan itu seakan mengkhawatirkanku.
   “Mmm.. tidak, ada yang harus aku cari.” Aku bermaksud membelikan sesuatu untuk keponakan kecilku yang berusia sekitar 6 tahun.
   “Oh..” sahutnya dengan hanya ‘Oh’ ia duduk dan aku pun melakukan hal yang sama. Memesan makanan dan kami menikmati makan siang bersama dengan yang lain, rumah makan yang cukup ramai. Beberapa saat kemudian sebelum aku membayar makananku, dia sudah mendahuluinya. Lagi-lagi dia mengatakan. “Biar aku saja…..” Kali ini dia tersenyum. Aku hanya membalasnya sekilas dan berucap terima kasih.
   Setelah makan kami mengambil jalan masing-masing. Aku masuk ke sebuah pusat belanja dan aku tidak tahu apakah dia langsung pulang atau ke tempat saudaranya. Ia pernah mengatakan kalau ia memiliki Bibi di kota itu.
*
   Setelah pulang dari Hotel aku melapor pada pak Kades dan menyampaikan apa yang harus aku lakukan setelah itu aku tahu pasti apa yang seharusnya….yaitu mengumpulkan teman-temanku dan mengajaknya rapat di malam minggu nanti.
   Dua hari berikutnya di siang hari itu…di saat aku sudah melupakannya…, dia, si adik kelasku muncul di rumahku. Dia datang sendirian..
   Hari itu dia terlihat sangat percaya diri dari sebelumnya, terlihat lebih akrab, lebih familiar dan aku tidak tahu apa maksud dari kunjungannya itu. ia tidak pernah memberitahu waktu di rumah makan kalau dia akan bertamu ke tempatku.
   Hmmm…aku ngobrol dengannya di ruang tamu ditemani adik bungsuku, usianya 13 tahun. Sekali-kali ia bercanda dengan adikku dan bertanya di mana kedua orang tuaku, aku mengatakan kalau mereka sedang pergi ke kebun.
   Dia menatapku dengan seksama seolah tidak menghadirkan adikku di antara kami. Ia duduk pas di depanku, kami hanya dibatasi meja ruang tamu.
   “Aku ingin mengatakan sesuatu sama kamu.”
   “Apa?’ kataku dengan santai. Aku percaya kalau adikku sedang mengamati kami, ia tidak pergi dari tempat itu dan aku memang tidak memintanya pergi.
   “Aku menyukai kamu dan aku mencintai kamu.” Katanya dengan sangat fasih. Sejujurnya di usiaku yang menginjak 20 tahun belum ada pria yang mengatakan kata-kata ajaib itu secara langsung dan disaksikan oleh adik kesayanganku. Yang aku alami selama ini pria yang coba mendekatiku biasanya menyampaikan salam lewat temanku atau lewat temannya yang kebetulan aku juga kenal bahkan ada yang melalui surat cinta. Hmmm.. klasik sekali. Tapi dia, yang membuat aku agak terperangah, dia itu adik kelasku, yang usianya pasti di bawahku, jikalau pun kami lahir di tahun yang sama sudah pasti bulannya lebih banyak aku.
   Aku sempat tersenyum, apakah bahagia? Merasa aneh? Merasa tidak percaya? Atau…ah, aku tidak mungkin mentertawai karena ke-Gantleman-annya itu. itu adalah rasa respect sendiri untuk dirinya.
   “Kenapa kamu bisa berkata seperti itu? kita kan baru kenal? Masa bisa jatuh cinta secepat itu?” sahutku berusaha tenang. Sejujurnya aku salut dengan keberaniannya.
   Adikku sudah menghilang dari hadapan kami, dia sudah pergi main keluar rumah, pastinya. Adik kelasku itu berusaha bersikap serius aku melihat dia terlihat lebih dewasa dari kemarin-kemarin, kini dia seolah menjelma untuk menjadi kekasih yang diimpikan setiap perempuan.
   “Aku berkata jujur, sebenarnya aku ingin mengatakannya di Pantai tapi….saat itu aku takut akan merusak suasana cerita kita yang sudah mengalir. Sejak melihat kamu di jembatan itu hatiku mengatakan kalau aku menginginkanmu. Sungguh.” Jelasnya dengan pasti.
   Aku memang sudah pernah menjalin hubungan dengan pria lain dan dia tentulah bukan pria pertama yang dekat denganku. Saat dia mengatakan cinta tidak ada getar aneh di hatiku tidak juga adanya rasa bahagia yang melonjak, satu hal yang aku rasa, anehkah…. Jika seorang adik kelas tepatnya mantan adik kelas mengatakan cintanya pada perempuan yang lebih tua darinya? Itu memang pengalaman pertama untukku. Aku tidak ingin menganggapnya serius meski dalam hati menerima ungkapan perasaannya. Bukankah cinta itu urusan hati dan tidak ada sangkut pautnya dengan usia?!?
   Lumayan lama ia main di rumahku dan ia mulai terlihat santai meski tidak mendapat jawaban langsung dariku…dan sepertinya anak itu tahu kalau aku juga menyukainya. Tapi kami lebih bersikap kekeluargaan. Dan aku yakin, dia punya jam terbang yang tidak bisa di bilang sedikit untuk urusan yang satu itu.
*
   Keesokannya, ia datang lagi. Kali ini ia membawa mobil, hmmm entah mobil siapa yang ia bawa. Dan lagi-lagi yang ada di rumah saat itu adalah aku dan adikku.
   Penampilannya tidak berbeda dari kemarin, santai, tenang dan percaya diri.. juga terlihat lebih gampang tersenyum. Ups….. dari kemarin-kemarin juga ia memang suka tersenyum yaitu senyum tipis.
   “Mau mengantar aku ke tempat cukur rambut? Sepertinya rambutku sudah harus dirapikan.” Katanya tanpa beban.
   Aku melirik ke rambut lebatnya sejenak memang sudah agak panjang sih. Dan salon tempat cukur rambut yang dimaksudkannya itu adanya di daerah yang tidak jauh dari sekolahku dulu, hanya di sana yang bagus.. jaraknya dari rumahku sekitar empat kilometer.
   Aku mengantarnya dan tetap bersama adikku, dia tidak keberatan dan sepertinya juga menyayangi adikku. Di tempat cukur rambut, ia menyerahkan padaku model apa yang aku sukai dan cocok untuknya.
   Semakin hari aku merasa kalau kami semakin dekat saja. Tidak peduli apa jenis hubungan yang kami jalani. Yang pasti aku merasa semakin sayang sama dia…
*
   Malam minggu pun tiba, sebelumnya aku sudah mengabarkan pada teman-temanku kalau ada pertemuan di sekretariat Desa. Pukul tujuh aku dan teman yang bisa di anggap dekat telah hadir duluan. Dia perempuan yang lebih muda dariku ada juga pria yang mungkin 5 tahun di atasku. Aku menganggapnya sebagai Pembina, dia baik dan berpendidikan…, dialah yang membantu aku menyampaikan pesan pada yang lain kalau malam itu kami akan mengadakan rapat.
   Setengah jam pun berlalu dan remaja yang datang ke sekretariat sekitar 35 % dari yang aku harapkan. Ke mana perginya remaja-remaja di desaku itu? apakah aku telah salah memilih waktu? Dan malam minggu adalah acara khusus untuk mereka mengunjungi pacarnya?? Mungkin juga. Tapi aku tidak sependapat karena masih ada malam minggu berikutnya.
   Meski yang datang tidak lebih dari separuh dari yang aku harapkan rapat tetap berjalan. Kakak yang aku anggap Pembina itu menyampaikan maksud dari undangan itu dan sekilas menjelaskan kalau aku yang mengundang mereka dan ingin menjelaskan Sesuatu. Karena posisiku saat itu bukanlah sebagai ketua Karang Taruna.
   Setelah kakak itu menjelaskan pembukanya baru aku yang bicara dan menyampaikan semua yang ingin aku sampaikan khsususnya menyangkut hal yang aku dapat dari penataran di Hotel selama sepuluh hari. Pertemuan itu berjalan lancar dan aku merasa tidak banyak respon positif yang aku terima. Aku mulai mempelajari apa yang teman-temanku inginkan sebenarnya…??? Tidak gampang mengajak mereka khususnya remaja untuk melakukan hal yang bersifat sosial…semua itu butuh tenaga dan harus kebal dengan suara-suara kiri kanan.
*
   Minggu berikutnya aku menerima balasan surat dari gadis kwaci. Hohoho…aku merasa amat senang bahkan sangat senang karena aku sudah rindu sekali dengannya.
   Aku akan membalas suratnya dan menceritakan kalau aku sudah berpacaran dengan pria yang ia bilang tampan itu. aku tidak sabar ingin mendengar tanggapannya.
   Tiga bulan berikutnya aku pamit dengan pak kades karena ingin ke Jakarta dan sekaligus menyesal karena tidak bisa melakukan apa yang diharapkannya padaku, aku juga tidak bisa menepati janjiku sendiri karena aku benar-benar tidak betah tinggal di kampung tapi aku percaya aku bukanlah orang yang tepat untuk melakukan semua itu. jiwa petualangku telah memanggilku, aku bukan tipe orang yang betah berlama-lama terkungkung di desaku. Aku merasa harus pergi selagi masih muda apalagi kedua orang tuaku sangat mendukung.
   Dan adik kelasku yang sudah resmi menjadi kekasihku ternyata selama ini kerja di Jakarta dan ingin melanjutkan kerjanya, selama ini dia hanya istirahat beberapa bulan. Apakah itu semacam kebetulan? Entahlah.
   Ibuku tahu kalau aku dan Anno pacaran kecuali bapakku. Sehari sebelum berangkat kita bertemu dan ngobrol bertiga di pondok yang ada di kebun kami.
   Kami memang sengaja ke kebun sekaligus untuk menikmati pemandangan alam. Setelah Anno menceritakan silsilah keluarganya dengan rasa tidak percaya aku mendengar bapakku mengatakan kalau aku dengan Anno masih ada hubungan keluarga bahkan bisa dibilang dekat..sangat dekat.
   Oh Tuhan, apakah itu artinya aku harus….? Saat itu aku merasa bahwa kami menjalin hubungan terlarang. Oh…Tidak!
   Jelas sekali kalau Anno pun menampik keras pengakuan bapakku.
   Aku pun terdiam!!!
   Senja itu mendadak kelam.
   Dan aku harus menceritkan samua itu kepada Apbriel.
**
Lima belas tahun tanpamu, Apbriel.
Terima kasih Facebook
   Sekitar awal Tahun 1994 aku bertemu dengannya disalah satu hotel ternama di Provinsiku. Saat itu ada kegiatan pelatihan manajemen Karang Taruna se-provinsi . Aku, dia dan ke 91 anggota lainnya harus tinggal di hotel itu selama kurang lebih sepuluh hari. 
   Dia adalah gadis yang berasal dari bagian Tengah Provinsiku , aku menyebutnya DARV karena ia mengatakan namanya Apbriel dan terkadang dipanggil dengan DODO, ABRIEL, RATU atau V. Aku tersenyum tipis saat ia mengatakan itu, dan nama-nama itu bukan tanpa alasan…., DODO itu panggilan KAKAK untuk orang bagian tengah, ABRIEL itu nama aslinya, dipanggil RATU lantaran ia suka berada ditengah-tengah kaum pria, teman-temannya suka menyebutnya RATU. V? Ooo…mungkin sebutan singkat dari APBRIEL itu sendiri. 
   Setelah melewati waktu sepuluh hari kami pun harus berpisah…aku merasa dia adalah satu-satunya teman yang aku anggap paling berkesan dan sempat akrab denganku. Aku kembali ke Desaku, dia pulang ke Desa-nya. Seminggu kemudian aku mengirim surat kepada Apbriel… 
  (Belum ada HP makanya masih pake surat-suratan) tapi aku suka surat-menyurat karena memiliki kesan tersendiri.
  Setelah itu aku berangkat ke Jakarta…dengan masih menyimpan alamat rumahnya. Saat bulan-bulan pertama aku di Jakarta kami masih saling berkirim kabar masih dengan surat dan terakhir aku ingat ia mengirimi aku 12 lembar sekali kirim. Aku senang sekali karena ia menceritakan banyak hal. Ia berpetualang ke satu gunung ke gunung lain yang ada di tanah air, (Pecinta Alam) hebat.. sembari menggeluti tugasnya sebagai ketua Karang Taruna. 
  Di Jakarta, aku mengalami beberapa kali pindah tugas dan pindah tempat kos juga… aku tidak tahu dan tidak menyadari kalau alamat gadis itu ikut hilang.. (Aku memang ceroboh) dan itu menyebabkan kami kehilangan kontak. Apakah ia mengirim surat ke tempat lamaku? (Rumah Tanteku) tapi aku tidak mendapatkan kabar, andaipun  ada aku pasti dikabari. Untuk mengirimkan surat ke rumahnya, aku tak lagi punya alamatnya. (Ah…!!! mengapa aku tidak menghafal alamatnya ya?)
  Pertengahan tahun 2008 aku membuat akun Facebook, tapi aku tutup karena merasa tidak ada gunanya, jelasnya belum tahu manfaatnya. Awal tahun 2009 kembali aku membuat akun jejaring sosial itu, aku mulai menelusuri dan mempelajari untuk apa akun facebook itu dibuat. Tadinya hanya melihat-lihat status yang tidak  jelas, lalu mulai pencarian…
  Hahaiiii…….. otakku langsung ingat nama Desa itu, ada gadis itu disana. Apa kabar dia?? Dengan keyakinan penuh aku coba mengetik namanya ternyata tidak aku temukan. Mesin pencari mungkin sudah memaki-maki aku ‘bodoh’ karena berulang-ulang mengetik nama itu dan mesin menjawab, nama yang Anda cari tidak ditemukan… aku mengetik nama-nama lain yang mungkin ia pakai tetap tidak ada. Huuhhh…….! aku mulai mangkel. Mesinnya yang bodoh atau aku yang kelewat bernafsu??!!
   Akhirnya, setelah beberapa bulan aku punya beberapa teman yang berasal dari Desa itu… aku tidtak menyia-nyiakan kesempatan. Maka aku tanyakan pada mereka satu persatu ternyata mereka tidak tahu alias tidak kenal. Aku mulai kesal, katanya Desa itu  cukup dikenali tapi masa gadis seperti itu / kembang desa mereka tidak kenal? Hehehe….
   Eh…usut punya usut ternyata mereka itu sudah lama sekali merantau ke Pulau Jawa dan akhirnya salah satu dari mereka memberikan akun temannya yang menetap di Desa tersebut.. namanya HGG, nama samaran, dengan pria baik hati itulah aku mulai berkomunikasi di Facebook lalu meneleponnya. Trus langsung ke inti permasalahanku…
   Aku meminta tolong sama dia untuk menemui gadis itu dan minta nomor ponselnya.. dia menyanggupinya karena ia merasa kenal dengan gadis itu sebab sudah menjadi teman istrinya. Huh! Sehari dua hari aku menunggu kabar darinya dengan perasaan tak menentu, 15 tahun bo’ nggak ketemu apalagi mendengar suaranya, ingatanku terus melayang pada sosoknya dan candaannya… dua hari kemudian aku menerima pesan singkat dari HGG.
  ‘Kak, 0857xxxx……. Ini nomor Kak Apbriel. Selamat bernostalgia’
   Aku langsung membeli kartu perdana sesuai provider yang dimiliki perempuan itu. 
   Hah….!!!! Perasaanku langsung melayang tinggi dan buru-buru isi pulsa dan menelepon ke nomor itu, huh!! Aku kecewa karena operator menjawab ‘Nomor yang Anda tuju salah, nomor yang Anda tekan salah, coba cek kembali!’ Anjriiiitttt……….!!! Yang salah HGG? Operator atau yang memberi nomor?
   Aku kembali menghubungi HGG untuk mengatakan kalau nomor yang ia kirim itu tidak aktif dan dia langsung protes dengan mengatakan... 
    “Yuk, orang itu sendiri yang memberikannya padaku, aku juga memperlihatkan foto profil yang ada di fb Kakak ke dia…  saat itu ia hanya ketawa. Coba saja telepon lagi. Nomor itu benar, kok.” 
   Terima kasih Dik, aku akan meneleponnya lagi… terima kasih juga karena sudah menempuh jarak 9 kilometer untuk menemuinya… kamu memang seorang guru yang benar-benar baik hati tak akan aku lupa jasamu. 
   Aku kembali meneleponnya dan kali ini tersambung dan dia sendiri  yang mengangkat……….wow………..!!!!
   Ah, ternyata ia sudah menikah telah menjadi Bunda dan memiliki anak-anak yang manis dan telah menjadi seorang pengusaha meski kecil-kecilan namun itu usaha sendiri. Terima kasih ya Allah, karena aku sudah bisa mendengar suara dan cerita-ceritanya kembali…. tak lupa terima kasih pada Facebook juga teman-temanku yang sudah membantu… love you all.
   Aku bisa menghubungi DARV...
***

Bersambunggg....>>> Helen bertemu kembali dengan Apbriel :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar