Jumat, 12 Desember 2014

1R7L

**
BAB
LILIANA

   Perempuan itu persis putri Solo, ia berada diantara para ibu muda yang sedang mengantar anak-anak mereka yang sekolah di TK yang ada di perumahan sebelah. Terlihat ramah dengan yang lain, suaranya terdengar nyaring meski terkesan manja. Hanya sekilas aku meliriknya lalu pulang setelah mengantar anakku tidak seperti yang lain menunggu mereka di halaman sekolah tapi aku selain anakku tidak mau ditunggui aku juga memang harus pulang karena harus masak dan mengerjakan pekerjaan rumah yang lainnya.
   Liliana sepertinya akrab dengan salah satu guru TK di sana karena tidak jarang aku melihat mereka berdua berbincang saat aku menjemput putraku. Namun setelah aku ketahui ternyata perempuan itu hanya mengantar dan menemani anak majikannya dan terlihat sekali ia begitu menyayangi anak itu. pernah aku melihat ia memandangku sekilas seolah penasaran dengan sosokku yang pada umumnya menilai cuek, tapi apa pedulinya. Tidak tahu apa yang menyebabkan aku menyukai priabadinya, mungkin karena keikhlasannya mengajar, membantu anak itu membuat PR setiap malam lantaran ibunda anak itu bekerja dan selalu pulang diatas pukul tujuh malam juga kepandaiannya dalam memasak. Namun dibalik itu ternyata ia punya sifat yang rada cerewet dan bawel ke arah yang benar. Perempuan yang masih single, gigih dalam bekerja membantu keluarga, berwawasan luas dan tidak menyangka kalau ia sekedar lulusan SMP. Meski ia memimpikan sekali mengenakan seragam putih abu-abu namun tak kesampaian lantaran ketidakmampuan kedua orang tua dan setelah dewasa ia membantu orang tua agar adik-adiknya tidak bernasib sama dengannya.
   Satu hal yang tidak begitu berkenang dengan sifatnya yang tidak segan meminta pertolongan kepada siapa saja bahkan meminta tolong ke arah yang memerintah, tapi ia punya sisi baik yaitu suka memberi masukan kepada teman-temannya dan tidak segan menasehati orang yang lebih muda darinya. Sempat diliputi rasa cemburu teman lantaran aku punya teman yang lebih darinya. Aku sering mengunjungi rumahnya yang masih satu komplek denganku, setiap kali datang ia selalu memperlakukanku dengan baik, membuat kopi bahkan selalu memintaku makan kalau ia sudah selesai masak. Masakannya memang selalu enak. Satu hal yang tidak pernah aku mengerti darinya mengapa ia punya tenaga yang sangat luar biasa dalam mengurus semua pekerjaan rumah belum lagi harus mengantar, menjemput, dan mengajar anak majikannya di malam hari sampai anak itu menjadi rengking di kelasnya. Ia mengakui sangat senang berteman denganku karena aku tidak memilih teman dalam hal status sosial, akupun bisa melihat ia bisa berteman dengan kalangan siapa saja. Pun anak mahasiswa, guru bahkan orang yang sudah menikah seperti aku. Orang yang dekat dengannya bisa juga dekat denganku.
   Ia punya kakak perempuan yang bekerja di Hong Kong sudah cukup lama dan sejujurnya dia juga punya keinginan besar untuk bekerja di sana. Ia pernah masuk dalam karantina sebagai calon tenaga kerja untuk ditempatkan di Hong Kong namun setelah selesai pelatihan ia tidak bisa diberangkatkan karena kondisinya kurang fit sehingga membuatnya sangat kecewa namun aku yakin semua itu sudah diatur sama Tuhan. Liliana kembali bekerja di tempat lamanya untuk membantu keluarga yang berasal dari kampung halamannya Surabaya. Tadinya aku pikir dia adalah keponakan dari orang yang punya rumah namun setelah aku mendengar ia memanggil ‘Bu’ semacam panggilan asisten rumah tangga kepada nyonya rumah mengertilah aku kalau ia hanya sebagai asisten rumah tangga. Kecurigaanku bukan tanpa alasan karena aku melihat apapun yang ia lakukan kesannya dia adalah salah satu dari keluarga itu yang aku lihat semua yang ia lakukan adalah tulus, tak memperlihatkan jarak antara orang lain dan ia memperlakukan anak majikannya layaknya anaknya sendiri. Ia marah kalau anak itu salah dan memuji kalau anak itu pintar. Yang punya rumahpun tidak bisa mengatur anaknya kalau bukan Liliana. Keluarga itu tentunya sangat  beruntung memiliki asisten rumah tangga yang seperti Liliana meski sebenarnya mereka adalah berasala dari Provinsi yang sama.
   Ia punya pacar seorang pemuda yang rumahnya tidak terlalu jauh dari tempat majikannya, pemuda yang tidak biasa. Punya dua adik perempuan seusia Liliana dan bisa juga dekat dengan Liliana. Lama juga mereka menjalin kasih sehingga pria itu akhirnya berpaling ke perempuan lain mungkin ia dipengaruhi teman-temannya untuk menjauhi Liliana karena statusnya tapi bisa juga ada hal lain. Namun aku bisa melihat kalau pria itu sebenarnya sangat resfect dengan Liliana, semua itu terjadi karena Liliana bisa menjaga kehormatannya.
   Sebelum Liliana pulang kampung ia memberikan sebuah buku kecil yang sudah ia isi.

To : Helen,
   Buat aku pribadi kamu itu adalah sumber keceriaan, karena siapapun orangnya kalau dekat dengan kamu pasti akan selalu ceria. Kamu kreatif, selalu punya ide-ide yang membuat dirimu tidak pernah membosankan baik buat diri sendiri maupun orang lain.. salah satu contohnya dengan hobi menulis itu.
   Kamu itu tipe orang yang bisa menarik perhatian siapa saja yang melihat terutama kamu pria. Romatis dan mungkin  itu barangkali sebab orang banyak menyukaimu. Ramah, mungkin pada awalnya aku bisa mengatakan kalau kamu adalah orang yang sombong, tapi setelah aku kenal ternyata kamu adalah orang yang cukup ramah dan dari sekian orang yang aku kenal juga mengatakan kalau kamu adalah orang yang ramah aslinya.
   Tipe orang yang idealis, di mataku kamu adalah sosok orang yang selalu bisa mandiri, tidak mau bergantung pada orang lain tak terkecuali pada suami sendiri. Banyak memulai sesuatu namun enggan menyelesaikannya sehingga membuat orang tambah penasaran.
   Sosok yang suka menolong orang lain, dan bersedia melakukan banyak hal untuk mewujudkannya. Sosok yang bisa mengerti dan memahami sahabat dan menghargai arti persahabatan. Nah! Kamu itu termasuk orang yang egois juga dan keras kepala tetapi bukan berarti aku membencimu, justru aku sayang sama kamu Helen....
   Kalau soal ada yang bilang kamu itu adalah sosok yang nafsuin mungkin itu tergantung orang yang melihat dari sisi mananya.... negatif atau positif.. kalau buat aku melihat dari segi positifnya... karena yang terpancar dari dirimu adalah kasih sayangmu dan keromantisanmu. Dan satu hal yang pasti bisa aku rasakan adalah kamu itu bisa menjadi seorang Ibu, kakak, teman, dan sahabat...terutama untuku.
   Maat yaa.... Helen.... kalau ada kata-kataku yang kurang berkenan di hatimu aku sekali lagi minta maaf tetapi yaitulah sosokmu di mataku.
Aku sayang kamu,
Liliana.


    Buku itulah yang Liliana tinggalkan dan ia memutuskan untuk tidak lagi bekerja di tempat itu, keinginannya untuk kembali bekerja di luar selalu mengganggu ketenangannya sehingga ia terus berobat sampai penyakitnya tidak lagi terdeteksi membuatnya ingin masuk pelatihan lagi, setelah menguasai bahasa negara itu namun pas tes kesehatan ia kembali gugur karena penyakitnya kembali kambuh. Liliana menelepon aku menjelaskan semuanya dan ia mengatakan menyesali semua usahanya, ia pun menangis dan aku hanya mengatakan mungkin itu bukan jalan yang terbaik untukmu... dan jangan pernah menyesali semua ilmu yang telah didapat karena pasti ada manfaatnya suatu saat nanti. Tuhan memang selalu punya rencana diluar dugaan umat-Nya namun itu pasti yang terbaik meski kita tidak menyadarinya. Kesedihan Liliana semakin jadi karena adik perempuannya malah bisa pergi meski sebenarnya dia yang sangat menginginkan agar bisa pergi.
   Taklama setelah itu Liliana menemukan jodohnya meski mereka tidak lama saling kenal.. tadinya ia mengatakan tidak punya perasaan lebih kepada pria itu sehingga aku sempat melarang ia menikahi pria itu dengan alasan jangan mengulangi kesalahan yang telah aku lakukan. Liliana memberi alasan kalau pria itu sangat baik kepadanya meski perasaannya biasa-biasa saja ia pun menerima pria baik itu. aku memang tidak kenal dengan pria itu namun Liliana sempat memberi waktu padaku untuk kenal melalui telepon, aku mengatakan pada pria itu untuk menjaga Liliana dan jangan pernah menyakiti hatinya. Pria itu anak tunggal seperti keinginan Liliana yang sempat mengatakan ingin mencari pasangan hidup dari anak pasangan yang hanya punya satu anak. Mereka tinggal di Provinsi yang sama. Setelah menikah, Liliana datang ke Jakarta mengunjungi rumah mantan majikannya dan tentunya menemui aku, itu pertama kalinya aku bertemu dengan suaminya. Kesan yang aku lihat pertama pria itu polos dan baik.
   Liliana mengatakan dengan berjalannya waktu ia bisa mencintai pria itu membuat aku mengucap syukur karena bagaimanapun juga aku tidak ingin ia mengalami nasib yang sama seperti aku. Liliana melahirkan seorang putra dan kini putra hanya satu sama seperti aku. Sejak kenal dengan Liliana aku merasakan bagaimana ia kehilangan ibunya, dan adik perempuannya yang sudah memiliki suami namun belum punya anak. Sebelum meninggal aku sempat bertemu dengan adiknya sehingga aku membuatkan sebuah novel meminjam namanya atas izin Liliana juga.
   Liliana perempuan lembut dengan sikap keras menghadapi adik-adiknya meski ia bukanlah anak pertama melainkan anak ke dua namun di dalam keluarga ia punya peran penting apalagi sejak ibunya tiada. Kini salah satu adik laki-lakinya bekerja di Korea.

............>>>>>

Kamis, 11 Desember 2014

1R7L

Bab.
ELYANA

ELYANA
   Elyana mengunjungi rumah kakaknya yang tidak begitu jauh dari tempat ia mengajar dan sebelumnya ia menelepon anak tertuanya untuk memberitahukan ia pulang agak siang karena ada keperluan di tempat keluarga. Elyana tidak pernah menduga setelah sampai di tempat kakaknya seorang teman SMP-nya dulu datang menghampiri karena melihat dia sedang berada di rumah sebelah yang sedang hajatan.
    “Elyana?! Hai..... kebetulan kamu datang.” Katanya dengan penuh semangat. Elyana hanya tersenyum. Rumah perempuan itu tidak begitu jauh dari rumah kakak Elyana. “Sudah lama aku ingin bertemu dengan kamu tapi aku malas datang ke sekolah.” Lanjut perempuan itu. “Kamu ingat dengan Helen? Ia mencari kamu dan meminta nomor kamu.”
    “Apa? Helen? Di mana dia?” mimik wajah Elyana langsung berbinar takkala menyebut nama Helen. Tidak tahu mengapa ia begitu bersemangat mendengar nama salah satu teman SMP-nya itu padahal ia pernah bertemu sebelumnya namun sudah cukup lama yaitu sekitar 16 tahun yang lalu. Perempuan itu memberikan nomor ponsel Helen kepada Elyana dan detik itu juga ia menghubungi Helen.
    “Halo..........?”               
    “Ya, Halo...?”
    “Kurang ajar lo, ya?!” wanita itu memaki Helen dengan sengaja menyebut ‘Lo’ karena tahu ia tinggal di daerah Betawi.
   Si penerima telepon menjadi bingung karena nomor yang masuk tidak ia kenal dan berani memakinya dan itu tidak pernah terjadi sebelumnya. “Maaf, ini siapa? Anda mungkin salah sambung.” Kata penerima telepon mulai emosi dan tentu saja sangat marah karena zaman sekarang tidak sedikit telepon perempuan nyasar dan menghubungi nomor perempuan lain lantaran suami mereka punya hubungan diluar rumah.
   “Woi.... ini gw..... Elyana.”
    “Ya Tuhan...., E.....lo?! Sialan lo maki-maki orang ga jelas. Lo di mana?”
    “Gw di tempat kakak gw, barusan si Menul kasi nomor lo, tuh dia cenger-cengir melihat gw telepon.” Ujar si Elyana dengan penuh semangat. “Mana novel buat gw? Kata Menul lo mau kirim buat dia... gak nyangka ya lo jadi penulis novel.” Kali ini nada suara Elyana terdengar penuh kekaguman sekaligus bercanda. Aku hanya tersenyum karena masih ingat pertemuan terakhir dengan perempuan itu kala aku hamil 6 bulan dan bertemu dengannya di pasar saat ia hendak pulang. Tidak  ada yang istimewa kala itu, Elyana mengatakan kalau ia tinggal di tempat terpencil dan menjadi guru SD. Ia pun mengatakan kalau sudah pernah mencubit anak orang di kelas. Aku tentu saja bangga melihat teman ada yang menjadi pendidik sebab aku sendiri hanya ibu rumah tangga biasa dan anehnya saat itu Elyana tidak bertanya sama sekali kepadaku di mana aku tinggal dan menikah sama orang mana padahal kami sedang ngobrol seperti halnya aku tidak juga bertanya apakah dia sudah menikah atau belum. Semua itu menjadi tidak penting lagi setelah Elyana menghubungiku karena sudah membuktikan kalau dia  kembali bermaksud menjalin silaturrahim denganku.
     “Ini nomor lo kan? Biar gw simpan. Sekali lagi..... asal lo tahu ya, tidak ada orang yang berani memaki gw ditelepon.” Ujar setengah bercanda.
    “Hehee.. jangan marah shobat, itu gw lakukan karena gw merasa dekat dengan lo... hanya orang terdekat yang berani memaki, bukankah begitu?” sahut Elyana mulai bercanda dan itu adalah awal terjalinnya kembali hubungan persahabatan antara aku dengan Elyana.
    Nyaris setiap malam kami berkomunikasi baik lewat telepon langsung ataupun pesan singkat yang isinya tidak pernah singkat. Aku menanyakan apakah Elyana punya akun Facebook dan akun-akun yang lainnya? Dan ternyata tidak. Elyana sangat sulit ditelepon karena sinyal di tempatnya payah. Ia mengatakan hanya segaris. Ditelepon dan kalau ia mengangkat maka sinyal itu langsung menghilang dan sinyal segaris itu hanya bisa menerima pesan masuk dan tak  jarang pesan itu lama sekali tertunda.
    “Bagaimana mungkin gw membuat akun-akun yang lo maksud itu, setiap hari gw disibukan kegiatan sekolah, mengurus ketiga anak gw apalagi tempat gw mengajar agak jauh dari kota besar, sinyal susah. Mengaktifkan paket internet pun percuma karena tidak dapat sinyal pun di sekolah masih susah. Kalau lo punya akun tolong buatkan juga untuk gw ya.” Pintanya dengan nada serius.
    “Sip, ntar gw buatkan.” Janjiku dengan nada penuh kepastian.
   Aku membuat akun Facebook-nya dengan memakai nama dari tokoh di dalam novelku karena Eyana sudah membacanya dan ia suka sehingga meminta nama itu.
  Hubungan persahabatan kami semakin kuat dan sudah mulai saling terbuka satu sama lainnya. Jika dua perempuan sudah saling percaya satu sama yang lain maka tidak ada yang ditutup-tutupi dalam masalah apapun tak terkecuali itu masalah yang paling rumit sekalipun dalam kehidupan keduanya dan tentu saja menyangkut hubungan istimewa.
    Semakin hari komunikasi antara aku dengan Elyana semakin inten dan kami sama-sama ingin sekali segera bertemu, disamping rasa kangen yang tak tertahankan juga karena memiliki kesamaan yang tak pernah terduga selama ini.  Kalau pulang dari sekolah yang terkadang sudah menjelang sore tak jarang Elyana menggunakan untuk istirahat bahkan tidur dan iapun berpesan kepada anak bungsunya.
   “Nak, nanti kalau ada teman Ibu mencari bilang saja ibu sedang tidur ya.”
   “Oh, begitu ya.. Bu? Tapi kalau tante Helen yang menelepon apa aku harus bilang juga kalau Ibu sedang tidur?”
   “Jangan.” Sahut Elyana dengan sangat cepat. Pria kecil itu sudah tahu bagaimana senangnya sang ibu kalau menerima pesan atau telepon dariku meski kami jarang sekali bisa berbincang saat ia sudah sampai di rumah. Saat di sekolah aku hanya bisa meneleponnya di jam istirahat karena aku tidak ingin mengganggu dia sedang mengajar muridnya karena bukan saja dia yang terganggu muridnya juga dan aku tidak akan tega melakukan itu.
   Elyana mengajar tak begitu jauh dari rumah Menul tapi Menul adalah wanita yang sangat setia dengan suaminya bahkan ia rela dipukuli atau dibentak sang suami dan itu bertolak belakang sekali dengan prinsipku dan Elyana. Menul bicara selalu lurus-lurus saja dan datar, ia teman yang enak diajak bicara meski tak banyak memiliki bahan. Cepat menilai orang dari luarnya saja. Dan setelah punya nomor teleponku maka Elyana seolah menemukan sesuatu yang selama ini ia tunggu-tunggu. Seorang teman yang bisa diajak bicara dari hati ke hati yang memahami dirinya, profesinya serta semua tentangnya meski selama ini ia punya seorang teman yang setiap saat bisa mendengarkan seluruh keluh kesahnya tapi telah mengecewakannya karena tidak bisa menyimpan rahasia. Tanpa terasa dari hari ke hari bahkan bulan kami sudah bicara banyak mengenai diri sendiri juga keluarga, kesibukan masing-masing bahkan mengenai perasaan kepada suami masing-masing.
    Aku sudah sangat terbuka kepada Elyana namun aku merasa kalau Elyana masih ragu-ragu untuk bercerita. Semua memang butuh waktu dan rasa percaya yang tinggi apalagi Elyana berprofesi sebagai pendidik.
   Beberapa hari setelah komunikasi dengan Elyana membuatku seringkali bermimpi ketemu dengan perempuan itu dan hal itu aku kisahkan kepada dia dan anehnya ia mengatakan ingin sekali bertemu denganku meski hanya dalam mimpi namun tidak pernah. Ia tidak akan pernah tahu kalau mimpi itu menyakitkan. Aku pikir tidaklah mudah untuk bertemu dengannya lantaran tahun kemarin baru saja aku pulang kampung dan jadwalku pulang minimal dua tahun sekali. Berkali-kali Elyana mengatakan kapan bisa bertemu? Dan sungguh membuatku sedikit tersiksa karena itu.
   Entah ini takdir atau ada hal lain sehingga aku harus pulang kampung sendiri karena ibundaku sakit, anak juga tidak bisa ikut karena belum libur sekolah dan suami juga kerja. Aku memang harus pulang kampung lantaran waktu itu adik bungsuku mengirim pesan yang amat menyentuh seolah-olah aku merasa tidak akan berjumpa lagi dengan ibundaku. ‘kak.... aku nggak tahu ini bagaimana nasib ibu kita, aku sendiri tidak tahu lagi harus ngomong apa.’ Saat itu ibu baru masuk ke rumah sakit dan dengan seizin suami akupun pulang.
   Di jalan aku mengabarkan kepada Lexa kalau aku akan pulang untuk menemani ibu yang sedang sakit. Ia hanya membalaskan dengan satu baris kalimat. ‘salam sama beliau dan semoga lekas sembuh.’ Hanya itu dan aku tahu kalau Lexa tidak akan pernah mengirimkan kata-kata lebih dari itu. dan Elyana yang posisinya ada satu kabupaten di kampungku tentu saja aku mengabarinya meski itu bukan saat yang tepat karena posisi ibuku sedang sakit namun tidak ada salahnya memberitahu.
   Setelah aku sampai betapa terkejutnya aku melihat kondisi ibuku yang sakitnya ternyata diluar dugaanku, meski ia sudah dirawati di rumah dan dipasang infus di rumah dengan ditangani dokter sendiri namun tak membuat aku puas. Empat malam berturut-turut aku tidur menemani beliau, mengganti popok dan menyuapinya makan, bangun tengah malam karena beliau minta makan dan minta ganti popok menjadi hal yang tidak pernah aku pikirkan sebelumnya. Terkadang aku berpikir yang tidak-tidak seolah sedang menghadapi maut astaghfirullah. Namun dengan berjalannya waktu kondisi ibuku mulai membaik.
   Minggu berikutnya Elyana baru datang ke rumahku meski hari pertama aku pulang ia sudah bermaksud mau datang namun tugasnya tidak memungkinkannya untuk pergi apalagi posisinya sebagai kepada sekolah yang tidak bisa begitu saja pergi. Elyana adalah tipe atasan yang memberi contoh dengan sikap bukan cuma bisa bicara. Aku yang sudah kangen sekali dengan perempuan itu tentunya sangat gembira menyambut kedatangannya di rumah orang tuaku.
   Elyana datang dengan mengenakan jaket karena ia mengendarai motor dan menenteng sebuah bawaan untuk ibundaku yang sedang sakit. Di ruang tengah ia berdiri dan aku di ruang bawah yang dibatasi oleh tangga. Oh betapa bahagia rasanya melihat sosok yang beberapa minggu belakangan ini menjadi akrab denganku, kami saling dukung, saling berbagi cerita dan saling rindu satu sama lain.
   “Turunlah.” Kataku menyambut senyumnya dan ingin segera memeluknya. Kini Elyana sudah pindah mengajar dan lebih dekat dengan rumahnya. Ia sudah pernah menjadi kepala sekolah lalu mengundurkan diri dan kini kembali menjadi kepala sekolah di tempat barunya.
   “Kamu yang naik.” Katanya dengan tak lepas tersenyum seolah mimpi melihat aku di hadapannya. Selama ini ia kesal karena tidak pernah bisa bertemu aku di dalam mimpi seperti aku yang seringkali bertemu dengannya di dalam mimpi. Aku akhirnya mengalah, setelah naik ia langsung menarik tanganku dan menarik aku ke dalam pelukakannya. Kami berpelukan sangat erat.
   “Akhirnyaaaa.....” gumanku. Elyana mananyakan di mana ibuku dan akupun membawanya ke kamar ibu. Kami akhirnya berbincang di sana di tengah-tengah ibuku. Taklama kemudian si Menul juga datang diantar anak sulungnya. Mereka ternyata sudah berjanji untuk datang sama-sama namun Elyana sampai terlebih dahulu karena rumah mereka ada di posisi yang berlawanan. Adikku membuatkan minuman untuk kami bertiga, tapi sayangnya Menul sedang puasa maka hanya aku dan Elyana yang balapan menikmati kopi karena sama-sama penyuka kopi.
   Hari itu kami tak ubahnya sedang reuni kecil meski di tengah-tengah ibundaku, Elyana dan Menul adalah sama-sama teman SMP-ku namun Elyana melanjutkan sekolah kejuruan yaitu SPG sedang aku dan Menul menamatkan SMA di tempat yang sama.
   Setelelah hari itu Elyana datang lagi dan lagi, karena kami tmerasa tidak pernah ada habisnya bahan untuk bercerita. Aku sebenarnya kasian dengan Elyana yang selalu ke rumahku setiap kali ia pulang kerja namun aku tidak mungkin pergi karena ibuku masih sakit dan misi utamaku pulang adalah untuk menemani dan merawat ibuku meski ada adik bungsuku yang di rumah.
   Apbril juga tahu kalau ibundaku sedang sakit dan iapun menelepon tadinya ia ingin datang ke rumah bersama keluarganya namun karena ada sesuatu hal mereka tidak jadi datang, ditambah lagi jarak rumah Apbriel dari rumahku menempuh perjalanan sekitar empat jam.
   Suatu malam aku sedang berbincang dengan adikku pesan dari Apriel masuk. “Helen.... sudah tidur?” hanya itu pesannya yang mengandung pertanyaan dan entah mengapa perasaanku langsung tidak enak dan langsung membalas pesannya.
   “Belum.” Jawabku singkat. Kalaupun aku sudah tidur aku pasti akan menjawab belum karena aku tahu kapan temanku sedang butuh atau sekedar ingin cerita biasa-biasa saja.... apalagi temanku jarang mengirim pesan malam-malam kalau tidak sedang ingin sekali membahas suata masalah penting makanya aku selalu berusaha menjadi pendengar yang baik untuk teman-temanku siapapun mereka.
   “V mau ngobrol.... sesek rasanya dadaku.” Balas Apbriel dan aku langsung meneleponnya. Dan kamipun berbincang dari hati ke hati lebih kurang satu setengah jam sampai kami merasa tidak ada ganjanlan dihati lagi, akupun bisa mendengar tawa Apbriel lagi. Lega J
   Gendys juga mengirim salam untuk ibundaku yang sedang sakit semoga lekas sembuh, Liliana juga demikian apalagi si Esty yang juga tahu dari sebelum aku pulang kampung. Senang sekali rasanya mendapat doa dari orang-orang yang aku sayangi.
   Razty masih tinggal di luar kota juga tak ketinggalan mengirimkan doa, nanti dia akan pindah ke kampung karena ada sesuatu hal dan sepertinya akan menetap di kampung bersama keluarga besarnya.
   Dalam waktu dua minggu belakangan nyaris lima kali Elyana datang ke rumahku lantaran aku tidak bisa pergi dikarenakan ibu sakit. Elyana adalah wanita yang suka sekali berbincang seakan tidak ada habisnya ia mengisahkan tentang kisah hidupnya sehingga aku sendiri merasa tidak punya celah untuk mengutarakan kisah hidupku sendiri kepadanya sehingga aku pun memutuskan untuk selalu mendengar dan mendengar saja apalagi melihat semangat Elyana yang menggebu saat berkisah meski tak jarang matanya memperlihatkan kesenduan yang begitu dalam, kesedihan yang seakan selama ini hanya ia sendiri nikmati. Ya Tuhan, entah mengapa aku merasa ingin menggali lebih dalam apa yang disimpan Elyana selama ini. Karena selama ini kami hanya berbincang di telepon dan SMS saja meski secara garis besar Elyana sudah menjelaskan tentang dirinya kepadaku.
   Hari itu Elyana membawa suami dan anak bungsunya disanalah aku pertama kali bertemu dengan suaminya dan entah mengapa kala mendengar suaranya aku teringat dengan suara seseorang sehingga memaksaku membenci suara itu. karena akhir-akhir ini suara itu sudah menjadi suara sombong dan benar-benar berubah 180 derajat. Mengingatnya saja aku tidak suka.
   Tak berapa lama berselang suaminya minta pamit untuk mengunjungi seseorang dan ia membawa anaknya seolah memberi celah untuk aku dengan Elyana agar lebih lama berbincang dan dalam kesempatan itu sungguh kami tak menyia-nyiakan kesempatan  untuk terus becerita hal-hal yang kami alami selama ini baik dari hal besar hingga ke hal terkecilpun. Aku menemukan kisah yang diluar dugaanku mengenai perjalanan karir Elyana selama mengajar dan juga sejak menjadi isterinya Boby. Aku jadi terbawa suasana dengan kisahnya sehingga tak sedikitpun aku memalingkan pandangan dari wajah Elyana dan menatap matanya saat bercerita.
   Dan kesan suaminya bertemu aku mengatakan kalau aku orangnya ramah, enak diajak ngobrol..rendah diri dan tidak memandang remeh orang lain... dan cepat akrab. Itu pengakuannya kepada Elyana. Namun kesan pertamaku bertemu dengan pria itu terlihat ingin dominan dan seolah tahu banyak hal meski aku tahu apa yang ia pikirkan.
   Walaupun sudah sering bertemu tak meninggalkan kebiasaan kami menulis pesan singkat di waktu siang ataupun malam.
    “Helen, kapan lo main ke rumah gw?”
    “Ya, nantilah tunggu nyokap rada mendingan, gak enak juga gw pergi meninggalkan nyokap yang sakit meski kita bukan untuk bersenang-senang. Gw juga ingin ke rumah lo kok.”
    “Ya, lo cerita dong apa yang lo rasain sekarang? Gw sudah memberi lo waktu yang bergitu banyak untuk bercerita namun lo masih saja tutup mulut sama gw.” Elyana minta kau cerita banyak hal.
    “Bukan seperti itu El.., gw ga tahu darimana mesti gw mulai.. semuanya menjadi tidak menentu buat gw. Apalagi kondisi nyokap lagi sakit membuat semua pikiran gw tercurah untuk nyokap.”
    “Ya, gw ngerti masalah itu tapi gw selalu tunggu dan siap mendengar kisah lo.” Pintanya.
    “Helen...?” perempuan itu mengirim pesan lagi.
    “Ya..?”
    “Hati gw rasanya sakit banget.”
    “Memangnya kenapa?”
    “Si Bobi, seharian ini kerjaannya ngomel-ngomel terus  dan kata-katanya kasar sekali.”
    “Masalahnya apa?”
    “Tidak jelas.”
    “Oh...” sahutku cukup panjang dan aku yakin tidak ada yang tidak jelas di dunia ini apalagi aku sudah tahu apa yang dialami Elyana selama ini. Kehidupan seorang kepala sekolah dengan seorang pria yang bukan PNS seolah menjadi alasan bagi pria untuk mencari celah ribut karena ketidakpercayaan dirinya pada diri sendiri. Itu sudah bukan rahasia umum lagi di zaman sekarang ini karena sudah banyak orang mengalami hal yang sama... zaman di mana sudah banyak perempuan lebih cerdas dari pria yang sulit diterima kalangan pria. Saling cinta saja tidak cukup karena harus disertai dengan saling pengertian.
   Elyana datang ke rumahku lagi dan kali ini ia membawa teman seprofesinya dengan masih berseragam karena mereka pasti dari sekolah langsung ke rumah orang tuaku. Itu bukan tanpa alasan karena kalau harus pulang ke rumah dulu maka mereka akan kesorean di jalan. Aku menyambut mereka dan membuatkan minuman.
    Hari itu topik pembicaraan kami adalah tentang politik. Elyana punya jagoan sendiri dalam urusan calon presiden di negeri ini dan itu bertentangan sekali dengan pandangan politik dari teman perempuan di sempingnya karena perempuan itu berseberangan pandangan dengan Elyana sedangkan aku menjadi pengamat saja mendengar kedua guru yang sedang mengeluarkan pendapatnya masing-masing. Sejujurnya aku mengidolakan Bung Karno dan merasa belum ada ganti sang bapak proklamator itu di negeri ini. Elyana menyukai pemimpin yang tegas dan berwibawa dan apapun alasannya sejatinya ia tidak menyukai cara kepemimpinan suaminya di rumah. Tidak tegas, tergantung dengan istri dan sangat mengandalkan tenaga istri di dalam urusan finansial, itu yang bisa ditangkap olehku melihat cara pandang Elyana yang mendasar dan aku bisa memaklumi itu. Karena saat aku menanyakan apa alasannya menyukai calon presiden yang satu itu tanpa mau tahu latar belakang sang calon sama sekali.
*
    Lima belas hari keberadaanku di kampung halaman dan kondisi ibu juga sudah mulai membaik aku memutuskan untuk datang ke rumah Elyana karena perempuan itu ingin sekali aku main ke rumahnya supaya aku bisa melihat gubuknya, itu alasan Elyana namun tidak demikian bagiku karena apapun bentuk tempat tinggal seseorang baik itu istana atau gubuk yang penting nyaman bagi yang menempatinya. Aku berkomunikasi dengan adikku yang ada di rumah orang tua kami dan ia sangat memahami kalau kakaknya mau ke rumah Elyana sebab ia sudah menyaksikan sendiri kesetiaan Elyana selama ini yang seakan tidak ada bosannya datang ke rumah kami. Melihat ibu kami yang sudah membaik tidak ada alasan bagi adikku keberatan dengan kepergianku untuk hari itu karena lima belas hari penuh aku tidak sedikitpun keluar dari rumah.
    Elyana datang ke rumah untuk menjemput pukul sembilan pagi ia sudah muncul untuk mengajak aku menuju ke rumahnya di tanah Tanai. Aku senang meski tetap saja ada rasa tidak enak meninggalkan ibuku namun dukungan sang adik yang berjanji akan menjaga ibu kami membuat aku sedikit tenang.
    Elyana meminta aku yang membawakan motor karena tidak pernah membonceng orang lain, jangankan orang lain anaknya saja tidak pernah dibonceng sama dia. Pernah anaknya sakit dan ia minta orang lain yang membawa motor, alasannya ia tidak bisa. Apakah memang demikian? Aku memang masih penuh tanda tanya pada wanita yang satu itu, dulu ia pernah bercerita bohong tentang seseorang yang ada di luar kota tapi setelah dikonfirmasi ia beralasan untuk memberikan kejutan dan itu bisa aku maklumi.
   Aku memang yang membawa motor dan tidak perlu cepat-cepat seperti di Jakarta meski di kampung jalannya mulus tapi masih banyak sekali para pengendara yang tidak mau menggunakan jalur sesuai peraturan apalagi anak-anak yang seharusnya tidak boleh membawa kendaraan berkeliaran di jalan bahkan anak SD. Mengerikan dan tidak jarang aku mendengar kecelakaan berujung maut dan malam-malam banyak sekali sepeda motor yang menggunakan knalpot racing lewat di depan rumah kami sampai tengah malam, beberapa hari pertama sempat membuatku tidak bisa tidur karena bising yang luar biasa.
   Aku tahu pasar di kampung kami dan untuk menuju rumah Elyana melewati pasar itu dan aku juga tahu arah menuju ke rumahnya namun hanya sebatas itu karena tidak seperti yang kuduga. Jarak dari rumahku ke pasar sekitar 4 kilometer namun Elyana dulu pernah mengatakan padaku kalau tempatnya mengajar dari rumahnya sekitar 14 kilometer namun aku yang selalu melihat spidometer setiap kali pergi tentunya tidak bisa menyangkal kalau jarak rumah itu tidak kurang dari 19 kilometer. Tadinya ia selalu komplin kalau tempat mengajarnya sangat jauh dan aku mengatakan kalau 14 kilometer itu belum ada apa-apanya jika melihat perjalanan orang Jakarta untuk menuju kantornya yang bahkan 25 kilometer sekali jalan. Elyana berdalih ‘bedalah di sana suasananya ramai tidak seperti di kampung sehingga perjalanan sejauh itu tidak akan terasa’ dan aku membalas ‘sama saja kalau dihitung dengan macetnya bikin kesal juga’
   Dan kini baru aku mengerti mengapa Elyana mengatakan kalau rumahnya memang jauh dari pasar, perjalanan yang kami tempuh dari pasar tidak kurang dari 11 kilometer menuju rumah Elyana yang jalanannya masih seperti melewati jalan lintas Sumatra. Berliku dan di sisi kiri kanan masih di kelilingi perkembunan kopi dan pohon karet. Agak mengerikan memang apalagi kalau pulang sore sepertinya lebih mengerikan lagi dan malam..... bisa aku bayangkan, aku sampai tidak tega membayangkan Elyana tinggal di daerah itu. melewati jalanan itu disambut udara dingin seakan menusuk tulang layaknya daerah Puncak Bogor.
   “Lumayan jauh tempat lo, shobat.” Gumanku dari depan dan disambut Elyana dengan tawa.
   “Yah, kita lihat saja nanti... biar  lo tahu kalau gw ngga pernah bohong sama lo.” Ujar Elyana memastikan dan aku merasakan kehebatannya selama ini sudah puluhan tahun melewati tempat menyeramkan itu. aku jadi angkat topi untuknya. Pas di simpang jalan Elyana mengatakan harus belok kanan dan rumah kedua adalah rumahnya. Seteleh menepi aku melihat spidometer, 15 kilometer dari rumahku berarti dari tempatnya bekerja selama ini tidak kurang dari 19 kilometer karena sekolahnya jauh dari rumahku.
   Aku bertemu dengan ibunya Elyana di rumah itu, perempuan itu tidak lebih muda dari ibuku namun ia masih terlihat sehat aku senang melihatnya dan ia juga ternyata kenal dengan kakak ibuku sebab ia seusia wakku. Tidak ada anak Elyana di rumah mungkin mereka sedang bermain di hari minggu itu. Elyana membuatkan kopi dan ibunya memberikan goreng pisang yang ia goreng sendiri. Dulu saat sebelum bertemu Elyana  sering menggodaku mengatakan aku tidak bisa menikmati kopi asli dari kampung kami dan ia berjanji akan mengajak aku menikmati kopi bersama pisang goreng meski ibunya yang membuat karena seorang ibu tidak pernah bisa diam.
   Tak lama kami berbincang si Boby pulang karena Elyana memberitahukan kalau aku sedang bertamu ke rumah mereka. Tak berpengaruh juga sih kalau ia tidak pulang namun pria itu berpendapat lain dan sangat masuk akal.
   “El bilang kamu mau ke sini makanya  aku pulang, masa ada orang main ke rumah saya malah di kebun...” candanya setelah aku menyalaminya. Tidak tahu bagaimana menyebut pria itu apakah menyebutnya sebagai ‘kakak’ atau memanggil namanya? Akhirnya aku memanggil kakak karena Elyana dua tahun di atasku. Pria itu tidak begitu bergabung dengan kami ia duduk di depan televisi dan aku dengan Elyana di ruang tamu meski sekali-kali pria itu menimpali obrolan kami dan tak jarang akupun bertanya padanya.
   Aku meletakkan ponsel di atas meja ruang tamu dan benar, tidak ada sinyal di rumah itu kalau aku meletakkannya baru ada satu baris sinyal.
   “Letakkan saja di dekat vas bunga itu, di sana biasanya ada satu sinyal tapi kalau kamu angkat maka akan kembali hilang. Aku tidak bohon Helen.....selama ini bukannya tidak mau mengangkat teleponmu tapi beginilah kenyataannya.” Jelas Elyana kadang bilang ‘aku’ kadang ‘gw’ dan aku hanya bisa tersenyum melihat kenyataan itu. tidak percaya saja karena daerah itu letaknya tidak jauh dari kantor Bupati yang mungkin hanya 4 kilometer saja dari kantor pemerintahan tapi itulah kenyataannya meski sebelum masuk perkampungan Elyana sinyal full.
   Tempat Elyana  tak perlu membuatnya merasa minder seperti yang selama ini ia kisahkan padaku karena rumahnya lebih layak dari rumahku sendiri. Elyana merasa minder lantaran aku pernah mengatakan minder bila bertemu dengannya karena foto-fotonya yang aku lihat di akun semuanya serba mengagumkan.
   Saat berada di rumah Elyana aku tak begitu menghiraukan panggilan-panggilan tidak penting masuk ke ponselku. ketiga putra perempuan itu akhirnya aku bisa mengenaliny, cukup repot bagi Elyana mengurus ketiga anaknya belum lagi tugasnya sebagai kepala sekolah di sebuah SD yang kadang menuntutnya pulang sore tapi itulah pilihan hidup dengan segala konsekuensinya harus diterima dan di jalani sesuai jalurnya. Terkadang hubungan suami isteri itu tidak sesimple yang dibayangkan. Sejatinyan seorang isteri mengurus rumah anak dan suaminya namun kadang tidaklah bisa berjalan dengan apa yang ada di otak kita. Jika perempuan sudah menempuh sekolah yang tinggi dan harus mengabadikan ilmunya untuk orang banyak namun di sisi lain karena ingin membahagiakan kedua orang tua yang sudah membesarkan dengan uang yang diterima dari hasil gaji lantaran penghasilan suami jangankan untuk berbagi kepada kedua orang tua untuk kebutuhan sehari-hari saja tidaklah cukup.  Tak jarang memaksa kita harus hidup idealis, namun dunia lagi-lagi akan menyalahkan perempuan bahkan kita sebagai perempuan diminta balik lagi harus menjalani kodrat yang sudah ditentukan oleh yang maha kuasa.
   Banyaknya perceraian terjadi di negeri ini bukan lantaran perempuan tidak memahami pria namun pria jarang mau mengerti perempuan. Bukan perempuan tidak menyadari posisinya terkadang pria seringkali memakai keegoisannya. Kalau saja semua perempuan di muka bumi ini menjalani perannya sebagai ibu rumah tangga sejati apa jadinya dunia ini? Tidak ada penyiar berita perempuan, penyanyi, para menteri, pramugari bahkan model bisa kita bayangkan kalau yang kita lihat di televisi sehari-hari adalah pria dan pria, apakah dunia ini akan berwarna? Apakah seorang perempuan ingin mengikuti model terbaru harus melihat pria yang memperagakan gaunnya meskipun itu pakaian muslim sekalipun? Jadi untuk apa perjuangan R.A  Kartini selama ini yang menuntut emansipasi? Perempuan tidak menuntut lebih hanya ingin membalas budi kedua orang tuanya meski itu bukan hal yang melulu dalam arti berlebihan, klise memang kedengarannya kalau kita cukup mendoakan kesehatan, kebahagiaan dan yang lainnya sejenis itu namun kembali lagi kita ini manusia biasa yang tak lepas dari sisi kemanusiaan kita. Tidak semua pria yang bisa menyisihkan gajinya untuk orang tua mereka maka disinilah peran seorang isteri membantu mencari nafkah bahkan untuk mencukupi keluarga sendiri. Cukup dalam arti yang sesungguhnya itu relatif, namun kembali lagi kita manusia yang hidup harus bersosialisai yang bila datang ke undangan tidak melulu meminjam uang kepada tetangga untuk sekedar mengisi amplop dibawa ke undangan.
   Terlepas dari semua itu kembali kepada orangnya masing-masing, perempuan bekerja bukan untuk merendahkan kemampuan pria bukan juga untuk sok menjadi pahlawan dalam keluarga dan perempuan yang benar-benar menyadari kalau ia perempuan adalah yang bisa menempatkan posisinya di manapun ia berada baik di kantor maupun di rumah. Tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini baik dia pria ataupun perempuan maka dari itu yang terpenting dalam menjalani hidup berumah tangga adalah saling mengerti, memahami, saling menghargai satu sama lain dan satu hal yang terpenting adalah tunaikan dulu kewajiban lalu mintalah hak.
   Sudah banyak hal yang mengajarkan aku dalam menjalani hidup ini dan intinya manusia tidak lepas dari kekurangan masing-masing kalau kita mau menyadari itu maka tidak ada manusia sombong di dunia ini karena yang pantas sombong adalah Dia sang penguasa alam. Menyedihkan sekali pada perempuan yang menceritakan semua kelemahan kehidupan rumah tangganya kepada siapa saja yang ia jumpai, maksud hati ingin melepas unek-unek namun ia tidak menyadari kalau dia sedang mengeluarkan aibnya sendiri. Aku pernah mengatakan pada salah satu temanku ‘jangan pernah kamu ceritakan semua kehidupanmu kepada semua orang karena tidak semua orang akan memandangmu luar biasa tapi mereka akan mengejekmu bahkan akan kembali menceritakan itu kepada semua orang yang ia temui juga namun bila kamu menjumpai orang yang berhati mulia maka ia akan resfect padamu dan memberimu nasihat yang baik.’
   Aku akan coba menghargai setiap teman yang dekat denganku dan memahami apa yang ia alami dan menjadi pendengar untuknya setelah itu aku mengunci rahasianya di hatiku yang paling dalam. Elyana adalah temanku yang akhir-akhir ini dekat denganku meski baru bertemu kembali setelah puluhan tahun menikah. Banyak hal yang tidak kita saling memahami namun  dibalik semua itu aku sangat menyayangi semua temanku tak terkecuali ia yang pernah menyakiti hatiku namun kuanggap itu sebagai kehilafan belaka. Sudah terlalu banyak aku kehilangan selama ini dan yang sudah melekat di hati aku usahakan tidak akan pernah kulepas.
   Aku pamit dari rumah Elyana karena sudah mendekati pukul lima sore, kami sudah makan siang bersama menikmati masakan Elyana yang pedasnya minta ampun meski aku juga suka pedas namun tidak pernah membuat aku keselek saat menikmati ikan goreng cabe rawit hijaunya. Mengesankan  memang, meski Elyana mengakui jarang masak namun demi Tuhan masakannya luar biasa sedap dan Elyana mengatakan.
   “Lo beruntung karena gw jarang masak untuk orang lain dan gw sengaja masak ini khusus karena lo mau datang.” Dan ucapan Elyana diiyakan oleh suaminya.  
   Ibunda Elyana yang tahu ibuku sakit menitipkan doa semoga lekas sembuh dan nanti kalau aku datang lagi maka bisa menginap di rumah anaknya. Aku mengamininya.atang ke sini.”
   kembali Elyana ingin mengantar aku pulang dan kali ini dia yang harus membawa motor dan aku akan duduk manis di belakangnya. Sebelum pamit aku menjabat tangan ibundanya dan memberikan sedikit rezeki. Saat aku minta Elyana yang membawa motor ia ngotot mengatakan tidak bisa namun aku merasa yakin ia bisa meski tahu kalau ia berkata jujur.
   “Gw nggak bohong Helen.... coba lo tanya sama nyokap kalau tidak percaya.” Ujarnya sembari melirik ke arah ibundanya yang masih berdiri di teras untuk melepas kepergian kami.
   “Dia berkata benar Helen.... waktu anak bungsunya sakit saja yang membawa ke dokter dia minta orang lain lantaran tidak pernah memboncengi orang.” Sahut ibundanya saat aku menoleh ke teras namu aku tidak mau putus asa dan kembali meyakinkan Elyana.
   “Selalu ada yang pertama, ayokkkk.”  Pintaku setengah memaksa dan aku melihat kepercayaan diri Elyana sehingga ia mengiyakan.
   “Oke... baiklah.”  Katanya dan langsung duduk di depan membuatku tersenyum bahagia. Kamipun berlalu dan sudah kuduga kalau Elyana tidaklah setakut yang aku bayangkan karena tidak ada keraguan sama sekali saat ia membawaku dan bisa aku pastikan kalau ia telah membohongi aku.
   “Hmm... sudah  gw duga kalau lo sedang membohongi gw.”
   “Nggak, kapan sih gw pernah bohong sama lo? Lo sudah dengar sendirikan dari nyokap kalau gw belum pernah bawa orang dan saat anak gw sakit dan bapaknya tidak ada di rumah gw minta tolong orang lain membawanya ke dokter dan gw nyusul dibelakang.” Kata Elyana dengan mengendarai motornya seolah tidak ada orang di belakang punggungnya.
   “Tapi kenapa lo mau bonceng gw?” protes gw masih tidak percaya.
   “Karena lo lebih tinggi dari gw dan kalau gw oleng maka kaki lo pasti lebih dulu menopang.” Alasannya membuat aku tersenyum meski masuk akal sih tapi lucu. “Gw trauma kalau melewati tikungan kanan sebab dulu pernah hampir mati di senggol sama truk dan gw terpaksa balik lagi ke rumah untuk mengganti seragam yang sudah kena tanah becek.” Urai Elyana dan aku bisa melihat kalau jalan yang kami lalui banyak tikungan tajam dan pelebaran jalan membuat jalan licin dan agak mengerikan apalagi kalau musim hujan.
   Saat aku mengatakan ingin membelikan sesuatu untuk keluarga Elyana malah membelokkan motor ke arah toko sejenis butik, saat ia masuk bisa aku pastikan kalau tempat itu adalah langganannya selama ini. Ia melihat-lihat dan bertanya nama barang kepada penjaga.
   “Yang punya sedang belanja ya?” ia bertanya pada perempuan tiga puluhan itu.
   “Ya, dia ke Jakarta kemarin.” Sahutnya dan tak lama kemudian Elyana menghubungi seseorang untuk menanyakan nama-nama barang apa saja yang orang itu beli sementara aku melihat beberapa koleksi yang ada di toko itu dan terakhir mataku melirik ke sepatu,  sejujurnya tidak ada yang lebih bagus dari toko-toko yang ada di Jakarta.
   “Lo pilih yang mana?” tiba-tiba Elyana bertanya saat tanganku sedang  memegang salah satu sepatu dan coba mengenakannya.
   “Yah..., buat lo gw suka yang ini, coba deh.” Kataku memperlihatkan benda itu pada Elyana.
   “Bukan, maksud gw buat lo... bagus itu di kaki lo. Ambil buat lo ya. Pleeeeease.”
   “Maksud lo?” kata gw bingung dan mata Elyana memperlihatkan keseriusan yang tidak bisa aku mengerti. “Mm.. kalau gw  tolak?” sungguh aku tidak bisa menerima kebaikan Elyana itu.
   “Berarti lo memaksa gw tersinggung.” Sahutnya masih dengan nada memohon.
   “Lo kenapa sih, El? Seolah lo itu tidak mau berhutang budi sama siapapun.” Kata gw karena sudah memberi dia novel dan hal-hal lainnya dan aku pikir Elyana ingin membalas semua itu agar tidak ada lagi sangkut pautnya dengan benda apapun.
   “Tidak ada hubungannya sama sekali dengan hal semacam itu, gw orangnya memang seperti ini... tolong jangan berpikiran macam-macam. Gw hanya ingin membeli buat lo dan tidak ada niat yang lain.”
   Aku tidak bisa berkata apa-apalagi.
   Elyana bermaksud mengantar aku sampai ke rumah karena ia tidak ingin aku pulang naik ojek karena jam-jam segitu tidak ada angkutan umum lagi yang beroperasi meski menunggu di pasar. Aku mengkhawatirkannya membayangkan ia kembali ke rumahnya di waktu senja tapi ia menyakinkan aku tidak akan ada apa-apa.
   Kini ia meminta giliran aku yang mengendarai motor.
   Tiba di rumahku menjelang setengah enam sore dan Elyana langsung pulang lagi dan aku berpesan untuk hati-hati dan jangan lupa memberi kabar kalau sudah sampai rumah. Aku jadi tersenyum sendiri karena tidak sampai dua puluh menit Elyana sudah mengirim pesan mengatakan kalau ia sudah ada di rumah kembali. Ia pasti ngebut pikirku padahal dulu ia mengatakan kalau membawa motor kecepatannya tidak pernah melampaui 40 km/jam dasar Elyana selalu saja memberikan kejutan.
   Kesehatan ibundaku semakin hari makin membaik, teman-teman sekolah yang datang karena diberitahukan oleh Lexa  dan mereka sempat marah karena tidak memberitahukan kalau aku ada di kampung dan aku pikir tidak perlu memberitakan itu sebab aku pulang bukan untuk liburan namun tetap saja mereka marah dengan alasan mereka juga ingin membesuk sang bunda, aku merasa bersalah dan meminta maaf dan menyadari kalau mereka tidak hanya teman bersenang-senang. Ada juga mantan guru MTK dan guru Bahasa Indonesia-ku yang datang ke rumah. Mereka tidak berubah dan tetap baik, sang guru Matematika yang kini sudah menjadi pengawas di bidangnya berjanji akan mengantar aku ke perpustakaan daerah tapi tidak jadi lantaran Elyana tidak bisa datang dan ia pastinya merasa risih kalau hanya berdua denganku...aku memakluminya. Sedangkan guru Bahasa Indonesiaku pernah membaca novel-novelku pernah mengatakan ingin memberi koreksi dan saat aku tanyakan ia malah bilang lupa mau kasih masukan apa dan akhirnya hanya mengatakan tetaplah berkarya dan ia tetap mendukung. Tadinya aku pikir mereka sudah pensiun ternyata belum.
   Aku yang ingin sekali mengetahui tentang budaya di daerahku akhirnya menemui ketua  Penilik Kebudayaan Kandep Diknas Kecamatan dan sayangnya kehadiranku di sana tidak disambut ramah oleh isteri beliau dengan alasan tidak ada yang gratis di dunia ini. Aku sangat memahami alasannya tapi mengapa ia bersikap berlebihan seperti itu? sedangkan suaminya sangat baik dan tanpa pamrih dengan tugasnya yang ingin melestarikan budaya daerah.
   Selain itu aku juga mengunjungi perpustakaan meski tidak ditemani oleh mantan guruku dan diantar oleh adik iparku. Perpustakaan yang sudah bisa dibilang layak dan memenuhi standar, bersih dan rapih serta rak-rak buku juga terlihat sangat kokoh meski kurang pengunjung. Aku ingin meminjam buku tentang budaya daerahku ternyata tidak ada, yang ada tentang budaya Jawa dan daerah lain membuat aku sedih. Dari koleksi buku yang lebih kurang delapan ribu di tempat itu Aku  tidak menemukan buku yang kucari dan akhirnya meminjam buku lain meski tak kalah bagus dan bermutu. Pegawai perpustakaan merekomendasikan aku untuk datang ke kantor Dinas Parawisata kebudayaan  dan Perhubungan dan di sana aku hanya menemukan buku setebal 51 halaman dan judul ‘Kumpulan Cerita Rakyat’ daerah kami dan itupun tinggal satu-satunya karena sudah diedarkan ke berbagai sekolah, mereka memberikan padaku dengan alasan akan diterbitkan kembali nanti, semoga. Sebab bagaimana orang luar bisa mengetahui aset daerah kalau tidak ada buku penuntun dan promosinya.
   Tidak sampai di situ saja karena aku selalu bertanya kepada kedua orang tuaku mengenai sejarah dan legenda daerah kami terutama pada bapak yang lebih banyak tahu karena ia suka bercerita padaku dan ia selalu tahu apa yang aku tanyakan. Luar biasa.
   Keberadaanku di kampung nyaris empat puluh hari dan itu adalah waktu terlama aku di kampung setelah menikah.  Keberadaanku di kampung tak  aku sia-siakan  begitu saja, aku merasa semakin dekat dengan adik-adik dan kakakku yang menetap di kampung serta makin memahami pribadi mereka masing-masing apalagi dengan kedua orang tua semakin aku mengerti arti mereka bagiku dan untuk keluarga besar kami.
   Aku dan Elyana kembali bertemu dan kali itu ia membawa aku ke sebuah tempat wisata yang dari dulu ingin aku kunjungi karena menyangkut tulisan yang sedang aku kerjakan. Aku pernah mengunjungi tempat itu waktu kelas dua SMA sekarang kata beberapa teman tempat itu sudah bagus aku jadi lebih penasaran. Meski cuaca gerimis tak menyurutkan niat kami berkunjung ke sana karena selama ini aku hanya melihat tempat itu dari internet dan itupun gambar yang lama tidak ada gambar terbaru, setiap aku minta teman yang berkunjung ke sana mengambil gambar dan mengirim padaku mereka selalu bilang lupa. Sampai di tempat itu membuat aku agak terperangah meski sudah pernah mendapat gambaran kondisinya tetap saja membuatku takjub. Lokasi tambang tradisional itu tempatnya tidak jauh dari pasar dan berada di kaki bukit, untuk  masuk ke dalam sudah dibuat tangga  dari semen untuk para pengunjung lantaran lokasinya menanjak sekali dan curam. Tadinya aku pikir tempat itu sudah steril dari penambang ternyata masih ada satu dua pekerja di sana dan mesin pekerja terdengar menyala sedangkan tak jauh dari tempat itu sudah dibangun gedung sekolah baru dan jalan juga sudah bagus. Aku dan Elyana mengambil gambar dari berbagai sudut dan kuceritakan padanya sama siapa dulu aku pertama kali ke tempat itu. perempuan itu tersenyum dan memaklumi dan tak lupa kamipun selfie-an di sana.
   Karena hari masih siang kami memutuskan untuk mencari tempat istirahat untuk sekedar menikmati kopi asli di warung.
   “Dulu waktu belum bertemu kita sering memimpikan untuk menikmati kopi dan bercerita banyak hal di dunia ini dan gw rasa inilah saatnya. Bagaimana?” ujarku karena saat menikmati kopi di rumah akan sangat berbeda rasanya jika duduk di luar sembari menikmati pemandangan alam sekitar.
   “Oke... gw rasa juga inilah waktunya.” Dia mengiyakan dan lagi-lagi ia mengandalkan aku yang membawa motor kalaupun dia yang membawa ditengah jalan juga pasti minta ganti. “Kita masuk ke arah kiri melewati tempat sekolah SMA lo dulu, gw sudah lama sekali tidak melewati tempat itu terakhir lewat sana waktu acara pernikahan dari keluarga rekan kerja.”
   “Baiklah, siapa tahu kita akan sampai ke suatu tempat wisata air yang mengagumkan itu dan apakah sekarang masih mengagumkan?” kataku penuh semangat dan tidak mungkin juga kami akan ke sana karena tempat itu berselimutkan hutan nan berkabut kalau musim hujan. Tanpa menunggu lagi kami meluncur dengan sepeda motor matic Elyana, untungnya sudah pernah membawa motor jenis itu di Jakarta karena terbiasa dengan motor jenis lain. Melewati jalan yang dulu bertahun-tahun aku lewati rasanya punya kesan tersendiri karena masa-masa sekolah memang masa yang tidak akan pernah bisa dilupakan dan saking asiknya menikmati jalan indah sore itu membuat aku lupa melihat di mana tempat menikmati kopi yang enak. Melihat jembatan bagus di depan memaksa aku berhenti dan aku ingat ada salah satu teman sekolah tinggal di dekat jembatan itu namun aku tidak tahu di mana persisnya. Namun bukan itu yang membuat aku ingin berhenti, air sungai yang besar membawaku untuk menikmatinya dan aku menepikan motor membuat Elyana bertanya.
   “Kenapa berhenti di sini?”
   “Sebentar saja.” Kataku dengan pasti. Ia menurut dan ikut turun dari atas motor, sudah kuduga kalau pemandangan di sekitar memang menakjubkan.... meski air sungainya tidak bersih namun cukup besar dan aku tidak tahu apakah dalam? Sepertinya betul. Jembatan kokoh itu membuat aku ingin mengambil gambarnya dan kamipun ber-selfie di sana.  Aku tahu beberapa meter lagi adalah tempat wisata air  bersih dan cukup terkenal di daerah tersebut membuat aku ingin melewatinya meski tidak  mampir karena tempatnya berada agak menjorok ke dalam. Akupun mengajak Elyana jalan lagi dan ia menyetujuinya namunkali ini ia agak cerewet agar aku membawa motor agak cepat.
   “Ngapain sih cepat-cepat gw ingin sekali melihat-lihat jalanan ini dan lo tahu sudah berapa tahun gw nggak melewati daerah ini?” sejujurnya empat tahun silam aku melewati jalanan itu bersama keluarga besarku saat ibundaku masih sehat namun bersama teman sehati rasanya sudah puluhan tahun atau mungkin seabad rasanya. Aku bisa melihat jalan menuju air bersih yang sekaligus mengeluarkan asap kawah dan sepertinya tidak ada yang menarik hati lewat di sana menjelang sore seperti saat itu apalagi hanya aku dengan Elyana. Tempat itu untuk wisata keluarga sekaligus tempat orang pacaran dan aku dengan Elyana punya tujuan lain yaitu ingin menikmati kopi. Aku tidak menghentikan motor meski tempat itu terlihat aman karena ada beberapa kendaraan polisi yang terparkir di jalan masuknya.
   Kami terus jalan ke depan sekitar satu kilometer dan menemukan tempat makan yang lumayan dan sepertinya itu perbatasan kampung. Kami memutuskan untuk mampir menikmati kopi dan Elyana sepertinya sudah lapar ia memesan soto meski tak ketinggalan kopi sedang aku memesan kopi dan kue saja. Sore yang indah dan kami benar-benar menikmatinya seakan tak ingin melewatinya sedetikpun. Tempat itu pernah menjadi salah satu lokasi novel-ku sebelumnya. Bercerita dengan orang yang cocok dan kita sayangi memang tidak akan pernah ada habisnya tapi kami harus pulang. Itu adalah pertemuan terakhirku  dengan Elyana.
*
      Dan seperti halnya juga aku harus benar-benar pulang ke Jakarta karena ada tanggung jawab di sana yang tidak bisa lama-lama aku tinggalkan. Dua hari lagi temanku yang dari luar kota akan pindah rumah ke daerah asalnya dia adalah Razthi. Aku akan pulang kalau sudah menemuinya dan itu janjiku. Dua tahun lalu aku bertemu dengannya, setiap kali pulang kampung kami selalu janjian, ia memiliki tiga orang anak putra dan putri. Aku mengatakan kepada Elyana akan pulang dalam waktu tiga hari ke depan. Ia langsung menimpali.
   “Kembali gw sendirian di kampung ini.” Kata Elyana seolah lebay kata anak jaman sekarang.
   “Jangan bicara seperti itu, di sini lo banyak teman dan ratusan rekan kerja lo yang bisa lo ajak bercanda dan berbincang banyak hal.”
   “Helen, biar lo kata ratusan manusia di sini gw jumpai setiap harinya kalau yang namanya kecocokan itu tidak bisa dibuat-buat.”
   Benar apa yang dikatakan Elyana itu sebab bergaul dengan orang itu harus cocok dalam segala hal, cocok dalam urusan makanan belum tentu cocok dalam urusan obrolan, dalam cara memandang hidup dan cara memperlakukan orang.
   Saat terakhir ke rumah Elyana aku tidak membawa jaket dan ia memaksa aku mengenakan jaketnya karena udara dingin dan sekarang aku ingin mengembalikan jaket mahal itu tapi susah sekali bertemu dengan perempuan itu karena ia sudah mulai seminar lagi khusus untuk para kepala sekolah. Setelah menerima raport aku pikir ia terbebas dari urusan kesibukan sekolah ternyata tidak demikian adanya sampai aku mengirim pesan.
   “Gw merasa aneh hehehe.”
   “Aneh kenapa dan mengapa lo tertawa?”
   “Gw di sini namun serasa di Jakarta sono, tidak bisa jumpa lagi dengan lo... makanya gw bilang aneh, dekat namun tidak bisa menghilangkan rasa rindu. Gw sebentar lagi akan kembali ke Jakarta dan kita belum bertemu lagi, gw ingin mengembalikan jaket lo.”
   “Jangan sok gitu deh, kalau sekedar untuk mengembalikan jaket mending kita tidak usah bertemu lagi.” Kali ini aku merasa isi pesan itu mengandung amarah meski bukan itu inti dari kata-kataku namun aku memang harus mengembalikan jaket itu ditambah lagi memang ingin sekali bertemu dengan Elyana sebelum aku pulang.
   “Apa lo pikir gw juga tidak merasa seperti itu? gw benci situasi seperti ini... di mana semua guru yang sudah memberikan raport kepada muridnya sudah bersenang-senang menikmati liburan dan seharusnya juga gw bisa ikut liburan ke Jakarta bersama lo namun kenyataannya gw harus di sini mengikuti penataran dari pukul tujuh pagi sampai pukul enam sore. Helen.... besok gw usahain datang ke rumah lo saat jam makan siang ya, lo jangan marah sama gw... dulu gw berjanji setidaknya akan mengantar lo ke bandara dan melihat lo terbang sampai pesawat terlihat sebesar lalat tapi gw masih harus menyelesaikan seminar itu dan hari itu adalah hari terakhir kami mengikutinya.”
   Sejujurnya aku tidak percaya dengan apa yang diutarakan Elyana itu, sungguh apakah itu semacam alasan untuk tidak bertemu lagi atau apalah aku tidak tahu sama sekali. Ada rasa sedih yang berlebihan aku rasa menyeruak di dadaku mendengar kata-kata Elyana yang harus ikut penataran selama tiga hari. Tapi itu tidak penting lagi sekarang karena apapun alasannya aku memang harus pergi ke arah rumahnya karena temanku sudah ada di sana ia sudah datang kemarin, saat itu kakaknya minta aku menginap di rumahnya dan menunggu ia di rumah yang baru mereka beli namun aku tidak bisa melakukan itu karena ibuku masih kondisi sakit meski sudah membaik  dan aneh saja rasanya kalau aku harus menginap di rumah orang sementara lusa aku sudah harus pulang dan pagi ini aku akan menuju rumah mereka.
   Dari rumah aku naik angkutan umum setelah tiba di pasar aku naik motor sepupu yang tinggal di pasar. Kepergianku hari itu sekalian ingin membeli oleh-oleh meski kemarin-kemarin sudah membeli sebagian dan selain ingin mengembalikan jaket akupun sudah menyediakan sesuatu untuk Elyana meski nilainya tidak seberapa karena hanya sehelai kertas puisi dan kata-kata untuk seorang sahabat yang sudah aku bingkai.
   Aku menuju ke rumah Razthi dengan mengendarai motor  menempuh perjalanan sekitar lima kilometer aku sudah sampai di tempat meski sempat bertanya kepada orang yang lewat dan menemukan sebuah rumah yang di depannya ada beberapa kendaraan dan terlihat dengan jelas kalau ada orang baru pindah. Aku harus putar balik karena posisi rumah adanya di sebelah kanan jalan yang tak begitu jauh dari kantor Bupati daerah. Tempat yang cukup strategis untuk usaha katering yang akandigeluti Razti.
   Aku disambut dengan seperti biasanya  kebiaasaan Razti, setiap bertemu kami selalu berpelukan cukup lama lalu dengan anak-anaknya serta suaminya yang aku panggil Om.
   “Apa kabar, Bi?” sapaku dengan nada yang sukar aku artikan sendiri karena tidak menyangka kalau perempuan itu akan memutuskan untuk tinggal di kampung kembali ke kota asal sedangkan aku sendiri belum tahu apa yang nanti terjadi dengan keluargaku.
   “Yah, seperti inilah.. kami sekeluarga akan menetap di sini... perjalanan hidup tak bisa kita tebak.” Kata Razthi dengan nada pasrah dan ia minta anak sulungnya membuatkan minuman untukku. Banyak keluarga Razthi di tempat itu sepertinya semalam memang sengaja menginap. Setelah bersilaturrahmi Razthi mengajak aku melihat kondisi rumah serta halaman belakangnya yang masih luas. Setiap keluarga yang pindah pasti setumpuk pekerjaan rumah yang menunggu dibereskan baik pas mau pindah juga sudah sampai tempat baru, seperti rumah Razthi saat ini barang-barang masih menumpuk di dalam kardus. Aku bisa membayangkan betapa sibuknya perempuan itu untung ada beberapa kakak perempuannya yang ikut bantu membereskan apalagi anak sulungnya juga seorang perempuan.
   Setelah beberapa saat aku di tempat itu aku mengirim pesan kepada Elyana menanyakan apakah dia masih di sekolah atau akan pulang sebelum pukul empat sore,  jika ia pulang maka kemungkinan aku akan ke rumahnya.
   “Helen.... aku masih ada di sekolah dan ini belum ada tanda-tanda selesai. Sebentar lagi gw akan memberi presentasi.”
   “Oh, begitu? Di SD mana sih penatarannya?”
   “Di SD center.” Balas Elyana dan ia tidak akan menyangka kalau aku berpikir untuk menemuinya di sana karena bagaimana mungkin aku tidak ke sana sedangkan besok pagi-pagi aku sudah harus berangkat.
   Aku kembali berbaur dengan teman-teman dan keluarga Razti, aku suka berteman dengan siapa saja terkadang aku tidak ingin diganggu dengan suara-suara yang bising dan terlalu ramai karen tidak akan membuat aku betah. Seperti saat di rumah Razthi... terlalu banyak orang di sana dan aku hanya mengamati orang-orang itu dan sekali-kali menimpali obrolan ringan dan tentu saja aku berusaha membuat diriku senyaman mungkin namun itu tetap tidak berhasil dan memaksa aku melirik arloji yang sudah mendekati pukul empat sore dan aku harus segera meninggalkan tempat itu, kebersamaanku dengan Razthi bukan milikku lagi, ia milik keluarganya dan banyak orang tapi kami sudah bicara sejenak berdua tentang hal-hal kecil dan aku pastikan akan kembali menghubunginya jika sudah kembali ke Jakarta.
   “Menginaplah.” Pinta Razthi saat aku ingin pamit.
   “Tidak bisa, Bik. Besok pagi sudah harus berangkat dan aku belum membereskan sesuatu. Semoga kita selalu sehat dan diberi umur panjang agar aku bisa kembali bertemu Bibi dan menginap di sini.” Ujarku dan saat itu aku kembali menemukan hal yang sama setiap kali berpisah dengan Razthi, perempuan itu tetap memperlihatkan reaksi yang tidak ingin aku pergi.
   “Ya, sudah. Hati-hati di jalan ya.” Katanya dengan nada kali ini semangat meskipun terlihat sekali ia sedih. Aku menyelipkan uang untuknya dan entah mengapa setiap kali bertemu dengannya aku tidak bisa tidak memberinya uang meski aku tahu uangnya lebih banyak dari uangku. Aku memeluknya lalu berlalu. Cukup puas juga melihat tempat tinggal baru Razthi dan aku berjanji pada diri sendiri pasti akan mengunjunginya setiap kali aku pulang kampung nanti.
   Aku membawa motor menuruni jalan panjang dari rumah Razthi dan akan menemui sahabatku yang satunya. Meski perempuan itu baru dekat lagi denganku namun aku merasa sudah menjadi bagian dari hidupnya sekarang ini. Beberapa menit kemudian aku sudah mengirim pesan lagi kepada Elyana. Terus terang aku masih sulit mempercayai kalau perempuan itu mengikuti penataran dari pagi sampai jelang pukul enam petang karena otomatis ia akan pulang kemalaman di jalan yang cukup seram itu. apa mungkin? Atau perempuan itu telah membohongi aku?
   “Elyana... gw sudah ada di depan sekolah yang  lo maksud.” Pesan terkirim dan aku menunggu beberapa detik dengan posisi masih duduk di atas motor. Di halaman sekolah terlihat banyak kendaraan roda dua dan satu dua mobil meski demikian belum bisa memastikan pikiranku yang masih penasaran. Namun detik berikutnya sosok itu muncul dari teras gedung sekolah sebelah kiri, ia tersenyum kala melihat aku benar-benar sudah ada di seberang jalan depan gedung sekolah.  Aku langsung turun dari atas motor dan menyeberang jalan untuk mendekatinya.
   “Belum selesai...” Elyana langsung berkomentar dan saat aku melirik jarum jam di tangan sudah menunjukkan pukul 16.45 WIB.  
   Melihat reaksiku Elyana seakan tidak bisa berbuat apa-apa lalu ia melirik ke arah gedung sekolah sejenak dan sesaat berikutnya ia mengatakan.
   “Tunggu sebentar..” ia langsung meninggalkan aku entah tidak tahu apa yang akan ia lakukan. Kini aku benar-benar menyadari kalau Elyana selalu jujur padaku mengenai apa yang ia kerjakan dan apa yang sedang ia lakukan. Tak lama kemudian ia keluar lagi dan menghampiri aku. “Gw barusan minta izin untuk pulang lebih awal, soalnya kemarin saja selesai pukul enam padahal di dalam tidak ada lampunya.” Elyana menjelaskan lalu terlihat seorang lagi keluar dan perempuan itu langsung membawa motornya ke luar dari pagar sekolah. Ia rekan Elyana dan saaat Elyana menyapanya perempuan itu ternyata harus pulang juga. Elyana mengambil motornya, perempuan berjilbab dan  cantik itu mengajak aku meninggalkan tempat itu. “Kita harus pergi dari sini.” Ajaknya. Sebenarnya aku sangat tidak menginginkan itu terjadi kalau dia harus meninggalkan ruang seminar sebelum waktunya apalagi seminar itu untuk meningkatkan kinerja guru dan aku merasa cukup bertemu dengannya untuk terakhir kalinya, mengembalikan jaketnya, memberinya kenang-kenangan lalu memeluknya namun Elyana punya pikiran lain.
   “Mau ke mana?” aku bingung.
   “Ayolah, gw harus beli oleh-oleh buat lo... dari kemarin kepikiran tapi belum sempat juga membelinya. Lo harus bawa kopi hitam khas daerah kita.”
   “Tapi gw sudah beli El....” ujarku karena memang sudah membelinya beberapa hari lalu di warung dekat rumah.
   “Rumah orang yang memproduksi kopi itu ada di dekat sini, kalau lo sudah beli tidak masalah kita beli lagi itung-itung buat teman lo yang nanti datang ke rumah kalau lo sudah pulang..” ia memberi alasan.
   Kami mengendarai motor masing-masing dan aku mengikuti Elyana dari belakang tapi pas melewati rumah sepupu aku minta mampir untuk mengembalikan motor yang aku pakai. Mengingat waktu yang sudah mendesak Elyana tidak turun sedangkan aku hanya bertemu dengan sepupu perempuanku.
   “Sudah mau pulang?” ujar sepupuku. “Nanti naik apa? Sudah tidak ada angkutan umum lho.” Ia mengkhawatirkan aku.
   “Gampanglah,’kan banyak kendaraan lain. Aku harus pergi dan ada temanku di sana kami mau ke rumah orang yang memproduksi kopi.” Jelasku.
   Elyang yang menunggu tidak kurang dari dua puluh meter dari rumah sepupuku sedang menoleh ke arah kami dan tersenyum.
   “Oh, Bu guru itu....., aku kenal dia. Rumah yang kamu maksud tidak jauh kok dari sini.” Ucap sepupuku setelah melihat wajah Elyana kini sudah menoleh ke arah lain.
   “Ya, oke.... aku pergi dulu ya. Terima kasih atas motornya dan salam untuk keluarga yang lain.” Aku pamit setelah menyerahkan kunci motornya.
   “Itu sepupu lo?” kata Elyana setelah aku duduk di belakangnya dan ia sepertinya kenal juga dengan sepupuku.
   “Ya, ia menikah dengan orang sini.... namanya Toby.” Aku tidak melanjutkan lagi karena Elyana sudah tahu siapa itu Toby. Tidak sampai dua ratus meter kami sudah belok ke arah rumah yang di cari. Ada beberapa pekerja perempuan di rumah itu, mereka masih menggunakan alat tradisional. Tidak sampai lima menit mereka pulang sepertinya jam kerja sampai pukul lima sore. Membeli sesuatu di tempatnya langsung memang lebih murah 20% dari harga di luar, lumayan.
   Aku dan Elyana duduk di kursi teras yang punya rumah untuk beberapa saat dan dalam kesempatan itu Elyana masih bersemangat cerita seolah ia tidak punya waktu lagi untuk bersama dalam arti komunikasi lewat telepon. Aku setia mendengarkannya sehingga tanpa sadar kami menghabiskan waktu beberapa menit di tempat itu dan aku melirik jam mengingat Elyana akan pulang ke arah pegunungan.
   “Kita harus pergi....” kataku dan diiyakan Elyana.
   “Iya.” Eyana menghampiri yang punya usaha kecil di rukonya untuk membayar kopi. “Aku bahkan hampir lupa membayar kopi.” Sepertinya ia membeli beberapa kilo bubuk kopi yang sudah di bungkus plastik ukuran seperempat kilo satu bungkusnya. “Ayo.” Kami meninggalkan tempat itu. “Temani aku makan... ya... kita harus makan.” Ujar Elyana tanpa aku duga.
   “Sudah sore El....” kataku tidak ingin dia kemalaman.
   “Tidak, kita tidak akan kesorean... tempat makannya deket kok.” Nada Elyana setengah memaksa membuat aku tidak tega menolaknya.
   “Makan apa?” Aku masih ragu dan tak pernah berpikir untuk makan bersama sore itu.
   “Ikut saja.” Ia menyalakan motor dan sepertinya ia berhenti di depan warung bakso terbesar di tempat itu karena sebelumnya aku sudah sering masuk ke sana baik bersama teman dan terakhir bersama keluarga besarku. Kami masuk dan mengambil tempat yang paling belakang, aku mengeluarkan yang ingin kukasih ke Elyana tak ketinggalan jaketnya meski ia sempat menolak dengan mengatakan aku genit pakai mengembalikan benda itu segala namun aku tidak bisa menerimanya.
   “Apa ini?” kata Elyana setelah aku menyodorkan bingkai yang telah aku bungkus.
   “Bukanya di rumah saja nanti ya.” Kataku. Ia setuju dan kami memesan makanan, itu adalah kedua kalinya kami makan bersama di luar.  Setelah melewati beberapa menit kami harus berpisah karena waktu terus berjalan yang tidak mungkin bisa dihentikan oleh siapapun.
   Di parkiran aku meminta Elyana pulang karena aku juga harus pulang, senja sudah menjelang petang.
   “Pulanglah....” kataku.
   “Tidak. Kamu.....?” ia tahu pasti sudah tidak ada angkutan meski ia sempat melihat kiri kanan siapa tahu ada mobil yang lewat.
   “Aku....” mataku sejenak melirik ke arah ujung jalan pas di persimpangan di mana tempat tukang ojek mangkal. “Aku akan naik ojek..”
   “Helen......” ujar Elyana tidak tega namun tidak bisa berbuat banyak.
   “Tidak apa-apa....” aku meyakinkannya agar ia merasa nyaman dan tidak merasa tidak enak seperti itu apalagi sebentar lagi maghrib menjelang.
   “Ya... sudah.” Ia menyerah. Aku memeluknya.
   “Maaf ya, tidak bisa mengantar lo ke bandara karena besok adalah penutupan penataran. Pergilah.... gw nggak mau lo yang melihat punggung gw.” Kata Elyana. Aku melepaskan pelukannya dan melirik ke arah tukang ojek yang sepertinya sudah mengerti kalau aku akan memanggil salah satu dari mereka. Aku menatap wajah Elyana lagi.
   “Pake jaketnya.... jalan ke rumah lo dingin.” Kataku dan mata Elyana sudah memerah menahan tangis sehingga memaksaku memeluknya kembali.
   “Nanti lebaran pulang yaaa...” gumannya.
   “Gw nggak bisa berjanji.” Sahutku.