Selasa, 23 April 2013

APABILA CINTA ITU TULUS

Yang tak tersentuh

      Jutaan wanita tersenyum bangga melihat penampilanmu.
      Karena engkau memegang teguh citra kaummu.
      Jutaan pria ingin menjamahmu, mereka menatap penuh kekaguman.
      Dirimu terus terbalut busana indah bak dewi kayangan.
             
              Anak kecil hingga orang tua menyukai suaramu.
              Mengenali suaramu dan wajahmu.. hingga ke mancanegara.
              Kau selalu tersenyum disetiap langkahmu,
              Dan, senyum itu sangat menawan,
     
      Meresahkan jiwaku, membangunkan setiap tidur malamku.
      Kau begitu tinggi untuk di gapai, begitu dalam untuk di selam.
      Dan begitu jauh untuk di raih…
             
              Apabila kamu bukan milik jutaan orang…
              Mungkin sekarang kamu sudah menjadi milikku satu-satunya.
              Apabila kamu bukan orang terkenal maka kamu akan kurengkuh ke dalam hatiku.
     
      Apabila kamu hanya perempuan biasa, maka aku tak akan pernah merasa semiskin ini.
      Apabila kamu telah menyanyi, maka telinga ini tak kan bisa mendengar yang lainnya.
      Apabila kamu menebarkan senyum, maka seisi alam ini akan merasa cemburu.
**

BAB 1
pengirim puisi tanpa nama

        Vhaiza meletakkan lembaran puisi itu di atas mejanya. Itu lembaran yang ke 77 ia terima yang dikirim oleh seseorang dengan tulisan tangan, tanpa nama dan isinya tetap sama. Bukan di-copy bukan pula di-print. Vhaiza tidak pernah bosan untuk membacanya. Lembaran pertama ia terima adalah tepat setahun yang lalu.
        Puisi-puisi itu terkadang menghiburnya, tak jarang juga membuatnya menangis. Jika ia telah selesai membacanya ia merasa seakan berada di antara mimpi dan kenyataan, sehingga tanpa sadar suara hatinya menjawab…..

        Apbila, aku tidak seperti sekarang ini,
        maka tentunya saat ini kita sedang duduk berdua di pan-
        tai, memandang laut luas yang tak terbatas dan tak berujung…
        apabila......

        Vhaiza coba merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur mahal di kamarnya, kenyataan saat ini sepertinya sangat berbeda apabila ia telah berada di atas panggung, dielu-elukan oleh ribuan penggemarnya. Saat ini ia merasakan sepi yang amat sangat, seolah tidak seorang pun yang bisa memahaminya. Dan puisi-puisi itu seringkali mengganggu pikirannya. Ia menatap langit-langit kamarnya dan perasannya tambah berkecamuk. Ia menghela napas dengan berat.
*

        Vhaiza adalah anak ke lima dari sembilan bersaudara. Ayahnya seorang guru SD dan Ibunya adalah seorang Ibu rumah tangga biasa yang siap melayani keluarganya dalam 24 jam.   
        Vhaiza kecil, saat menginjak usia 2 tahun sudah berani menyanyi di depan umum, baik di acara kawinan ataupun acara 17-san. Ia senang sekali kalau diminta untuk menyanyi. Keempat saudaranya sangat menyayanginya. Ia memiliki dua kakak laki-laki dan dua perempuan. Ibunya perlahan mulai menyadari kalau anak bungsunya memiliki bakat menyanyi, seperti halnya ia pun senang menyanyi, juga neneknya.
        Vhaiza kecil sebenarnya ingin menjadi seorang guru, seperti Ayahnya. Meski ia sadar profesi seorang guru itu memiliki gaji yang sangat kecil. Itu dulu. Sebagai seorang guru, Ayahnya mengalami banyak sekali kesulitan dalam membiayai anak-anaknya. Seperti lagunya bang Iwan Fals ‘Umar Bakri’
        Vhaiza ingat betul saat SMP ia terpaksa bergantian ke sekolah dengan abangnya, sehari masuk sehari tidak lantaran kekurangan uang transport. Saat ia usia 3 tahun, ia memiliki seorang adik perempuan. Namun Vhaiza tetap senang menyanyi. Dan suatu hari seorang guru SD-nya melihat ada kilauan mutiara pada diri Vhaiza, maka guru keseniannya itu pun rela mengajar jam tambahan untuk Vhaiza di luar jam sekolah. Ia pun menjelaskan pada Ibu Vhaiza kalau anaknya yang satu itu memiliki suara emas.
        Dan dari tahun ke tahun Vhaiza tetap sekolah dan terus menyanyi, hingga suatu hari seorang pencari bakat menemukannya. Saat itu Vhaiza duduk di kelas 2 SMP.
        Seorang pria 35-an menemui orang tua Vhaiza bersama guru keseniaannya. Karena ia tahu Vhaiza memiliki suara emas dan itu saja tidak cukup karena Vhaiza harus diajarkan tekhnik bernyanyi yang bagus. Ia memiliki sebuah lagu dan ia merasakan kalau Vhaiza cocok untuk menyanyikannya sebab Vhaiza memiliki suara khas yang berkarakter kuat. Maka atas kesepakatan mereka, selepas pulang dari sekolah Vhaiza diminta untuk datang ke studionya. Bukan untuk rekamam tapi untuk belajar, itu berlangsung hampir setiap hari dan nyaris dua jam sehari. Lama-lama Vhaisa merasa bosan dan jenuh. Karena setiap hari belajar, ya menari, belajar vocal dan esoknya lagi ia belajar tentang kepribadian. Ditambah lagi dengan ilmu psikologi, Vhaisa merasa belum memerlukan semua itu. Kalau saja ia tidak merasa senang menyanyi, maka sudah pasti ia tinggalkan semua itu, karena sangat melelahkan. Tetapi Vhaiza dididik oleh Ibunya untuk menjadi orang yang sabar. Dengan mengatakan bahwa Vhaiza sangat beruntung karena bisa sekolah musik tanpa harus mengeluarkan uang. Vhaiza yang nyaris putus asa bangkit kembali karena seringnya mendengarkan petuah sang Bunda tersayang.
        Bulan ketiga, pria itu membawa Vhaiza ke dapur rekamam. Itulah saat-saat yang ditunggu oleh Vhaiza, ia akan menjadi seorang penyanyi. Dan akan dikenal oleh banyak orang. Pastinya akan menyenangkan, masuk dapur rekaman saat usia 14 tahun.
        Itu peristiwa 9 tahun yang lalu….,
*
        Saat ini, Vhaiza sudah mempunyai 4 orang adik. Satu perempuan dan tiga laki-laki. Dan 3 keponakan yang lucu-lucu. Ayahnya sudah pensiun, dan Ibunya sudah memiliki perpustakaan sendiri di dalam rumah, karena keluarga mereka senang membaca. Vhaiza juga sudah memiliki beberapa rumah dan deposito yang banyak. Vhaiza bukan dilahirkan di kota Metropolitan tapi di Bengkulu. Sebuah kota kecil yang indah. Namun kini mereka sudah menetap di Ibukota dan tetap sering pulang ke Bengkulu, kota kelahiran mereka.
        Vhaiza tidak pernah kekurangan kasih sayang. Karena mereka sering berkumpul di rumah yang mereka tempati sekarang yang dihuni oleh lebih kurang sepuluh orang. Rumah yang selalu ramai dan setiap bepergian Vhaiza ditemani oleh seorang pengawal, dan kakak perempuannya yang merangkap sebagai manager, dan ditambah seorang asisten pribadi Vhaiza. Vhaiza sebenarnya tidak membutuhkan pengawal, karena menurutnya secara tidak langsung itu akan menjadi jarak antara dia dengan para penggemarnya. Namun sang kakak yang sebagai manager berkehendak lain, menurutnya pengawal adalah simbol ketenangan. Seorang penggemar bila sudah histeris maka akal sehat pun terlupakan. Vhaiza telah menjadi seorang penyanyi nomor satu di negri ini, dengan ciri khasnya sendiri. Dia seorang bintang yang tidak gila dengan dunia glamour, yang penuh dengan serba kepalsuan. Namun dia adalah seorang bintang yang sesungguhnya, yang berkarakter dan berwibawa. Sejak masuk dapur rekaman hingga detik ini tidak ada yang berubah pada dirinya, tidak ada bulu mata palsu karena bulu matanya sudah indah dan lentik dari sananya, alisnya tidak dicukur apalagi disulam, kuku jarinya tak ada satu pun yang panjang, semua terlihat normal. Hanya sekali-kali mamakai wig, tidak suka memakai kutek dan Make-Up seperlunya. Setiap busana yang ia kenakan asli berkarakter Asia Timur, Melayu. Negara yang ia cintai.
        Dia wanita Asia yang dikagumi jutaan orang, dengan modal suara yang dahsyat, kepribadian yang anggun, sopan, sangat bertata krama dan feminin. Selalu tersenyum kepada semua orang dan cantik.  Wanita cantik yang alami bisa dihitung dengan jari, hanya ada berapa artis di negeri ini yang cantik natural saperti Vhaiza, meski ia merasa ada beberapa yang kurang pada dirinya ia tidak berusaha menambahkannya atau menutupinya dengan hal palsu. Apabila ia menyanyi di panggung ia tak ubahnya seperti sang putri. Sapaan pertamanya adalah senyuman. Pembawaannya sangat lembut. Bisa dipastikan seorang pangeran dari negeri seberang pun akan rela meninggalkan tahtanya hanya demi seorang Vhaiza.
        Vhaiza memang sangat terkenal, milik publik dan milik para penggemarnya. Dia seorang kakak, seorang adik dan seorang anak. Namun dia tetaplah seorang gadis remaja, dengan usiannya yang kini menginjak 23 tahun. Di setiap event, lagu-lagu Vhaiza bisa dipastikan mendapat Award, baik di negeri sendiri maupun di negeri tetangga. Keluarga dan orang-orang yang berada di belakangnya sangat bangga dengannya. Tak terkecuali Vhaiza-nya sendiri. Namun dibalik semua itu ada yang tidak bisa ia gapai, yaitu cinta seorang kekasih seusianya. Atau maksimal lima tahun di atas usianya. Bukan pria yang kebapak-bapaan, karena ia sudah punya seorang Ayah. Tapi seorang laki-laki yang mencintainya sebagai seorang kekasih. Tetapi apakah ada seorang laki-laki yang seusia Vhaiza yang mempunyai penghasilan melebihi Vhaiza?
        Tentu saja ada!
        Tapi di mana pria itu???
        Setiap pria yang coba mendekatinya selalu berpendapat tidak bisa hidup dengan harta yang dimiliki Vhaiza. Mereka selalu mundur. Dan apabila Vhaiza coba untuk serius dengan berkomitmen untuk berhenti menyanyi dan ia pun menemukan ketidakseriusan dari pihak sang pria. Ternyata ada juga pria matre di dunia ini. Ia belum menemukan cinta yang benar-benar tulus.
*
        Vhaiza coba menuliskan lirik-lirik lagu, itu terdorong dari puisi-puisi itu, semacam sebuah jawaban dari puisi fansnya yang sering membuatnya penasaran. Vhaiza tidak berani membayangkan seperti apa pria itu. Yang pasti dia adalah pengagum sejati. Yang selalu mengikuti perjalanan karirnya.
*
        Suatu malam, Vhaiza menerima telepon dari seseorang masuk ke ponsel pribadinya tanpa nama dan itu tidak biasa.
        “Hallo… selamat malam Angel.” Itu suara seorang pria.
        “Yaa… selamat malam, ini siapa?” tanya Vhaiza diantara ragu dan penasaran.
        “Sebelumnya saya mau minta maaf karena sayalah yang mengirim puisi-puisi itu.” Suaranya sangat sopan dan berwibawa. Vhaiza yang tadinya hendak tidur kini terpaksa duduk dan bersandar di ranjangnya.
        “Mmm.. apa maksud dari semua ini?” nada suara Vhaiza tenang namun agak bergetar.
        “Tolong jangan menganggap saya meneror Anda, saya tidak bermaksud seperti itu. Saya hanya ingin menyampaikan perasaan saya yang tulus kepada Anda, sangat tulus Angel…. Malam ini saya menelepon karena saya tidak tahan melihat kamu menangis di video klip terakhir kamu. Kamu tahu? saya sangat terpukul melihat air mata kamu itu. Itu sangat menyakitkan saya, apalagi di video itu model prianya terlihat sangat cuek sekali. Angel, kalau kamu membuat klip lagi, jangan sampai menangis ya, karena saya benar-benar tidak tahan melihatnya. Tapi saya tidak mungkin akan berhenti untuk menonton klip-klip kamu, karena hanya itu yang  membuat saya bisa  tenang. Mm.. mimpi indah buat kamu..” katanya. akhirnya si pria menutup telepon tanpa memberi kesempatan Vhaiza bicara. Vhaiza menghela napas panjang.
        Ya Tuhan, dari mana dia mendapatkan nomor ponselku? Pasti dia bukan pria sembarangan. Vhaiza turun dari tempat tidurnya, untuk menyetel kembali DVD terbarunya dengan model terbaik saat ini. Isi cerita dalam lirik lagu itu menceritakan seorang wanita yang kehilangan kekasihnya. Vhaiza memang selalu menghayati setiap lagu-lagunya. Dan bukan saja tuntutan isi lagu, karena kenyataannya lirik dilagu itu benar-benar sedih. Vhaiza terus menatap klip itu hingga tanpa ia sadari air matanya ikut menetes lagi. Entah kenapa tiba-tiba ia merasa pria yang meneleponnya tadi ikut menonton bersamanya. Selanjutnya ia tidak bisa memejamkan mata nyaris semalaman. Setiap kata yang diucapkan pria itu terus terngiang di telinganya. Tanpa bisa ia kontrol, pikirannya terus ke pria itu. Suaranya benar-benar enak didengar, dan ia mengambil lagi salah satu puisi yang menumpuk di atas meja kecilnya dan membacanya berulang-ulang.
*
       Paginya ia memceritakan kejadian itu kepada kakaknya, Dina yang menjadi managernya.
Sang kakak yang sudah bertunangan itu sangat memahami dan mengerti adiknya.
        “Itu hanya cinta buta seorang penggemar sayang, kak Dina harap kamu jangan sampai terbawa arus ya.” Ujarnya bijak.
        “Kak Dina, tapi ini lain.” Protes Vhaiza manja namun serius. ”Mana ada sih seorang penggemar yang mengamati aku menangis di dalam video klip? Dan puisi-puisi itu tidak pernah berubah, kak.” Wajah manja itu terlihat cemberut seakan menuntut kakaknya membahas masalah itu karena ia merasa tidak bisa menanganinya sendiri.
        “Sayang, asal kamu tahu ya, dia itu bukan laki-laki gentleman. Sebaiknya kamu mempersiapkan diri kamu untuk acara live di televisi nanti malam.”
        Vhaiza menghela napas pendek. ”Baiklah, hh… bagaimana kalau kita ke mol dulu?”
        Kak Dina tersenyum, ia menatap adiknya dan berkata sebagai manager. “Hari ini tidak ada jadwal belanja karena kamu harus istirahat yang cukup.” Ia coba menenangkan adiknya.
        “Tapi aku masih bisa istirahat setelah pulang dari mol kan, kak?” pinta Vhaiza seakan sangat mamahami kondisinya. Wajah itu sangat memohon membuat kak Dina tidak tega. Akhirnya ia mengangguk setelah menarik napas panjang.
        “Oke, dengan catatan harus ingat tanggung jawab dan tidak ada twitt tentang ke mol, ya.” Saran kakaknya karena Vhaiza memang sering menulis apa pun tentang dirinya di twitter.
        Vhaiza langsung memeluk kak Dina. ”Terima kasih kak.” Ujarnya lalu langsung bergegas menggantikan bajunya dengan sangat bergairah.
        Wanita berambut bob itu kini sedang mengamati adiknya yang sudah mengenakan celana jins, kaus lengan panjang berwarna krem dan memakai topi dengan tetap membiarkan rambutnya tergerai indah.
        “Jangan lupa kaca mata kamu.” Ingat kak Dina.
        Vhaiza memang hobi mengoleksi kaca mata tapi bukan berwarna hitam. Paling gelap berwarna coklat tua. Ia tidak pernah terpengaruh dengan dunia barat yang terus melaju pesat, yang nota bene disukai oleh banyak kalangan remaja timur. Setiap tahun dunia mode memang terus berkembang, namun bukan berarti ia harus mengikutinya karena belum tentu cocok untuk karakter dirinya sendiri. Sebab ia yakin, yang ada di timur juga akan terus berkembang. Jika kita berlomba-lomba untuk mengikuti trend barat, maka siapa yang akan menciptakan trend di tempat kita sendiri. Dan budaya timur adalah menempatkan seorang wanita sebagai sosok yang agung bak hiasan dunia.
        Mungkin banyak orang berpendapat, bahwa Vhaiza bukanlah seorang artis modern. Namun ia adalah seorang penyanyi bukan super model. Bagaimana pun ia punya prinsip yang kuat berkat didikan orang tuanya. Dengan selalu tampil anggun ia pun bisa memikat jutaan orang. Orang menyukainya dan memujinya. Itu terbukti dengan hasil penjualan CD dan DVD-nya yang selalu menempati hasil teratas. Ia mendapat double platinum dan hasil dari RBT-nya mencapai milyaran rupiah. Undangan untuk tampil di luar negeri pun tak pernah sepi. Vhaiza adalah Vhaiza yang hidup di dunia artisnya sendiri. Tidak perlu mengikuti bintang top sebelumnya atau mengekor karakter orang.
*
        Hari ini Vhaiza pergi hanya ditemani kakaknya dan seorang pengawal. Tadinya ia ingin pergi bersama kakaknya dan menyetir sendiri, pasti menyenangkan. Karena ia sudah lama tidak menyetir sendiri. Namun kak Dina tidak mengizinkannya. Vhaiza memasuki lift mall. Setiap orang yang kenal dan berani, pasti mendekatinya dan minta foto bareng serta tanda tangan. Dan yang tidak berani hanya kagum memandang dari kejauhan. Tapi tidak sedikit hanya sekedar menegurnya dan menyapa manis. Namun ada pula yang tidak yakin kalau itu adalah Vhaiza seorang artis berkelas yang jalan-jalan di tempat keramaian. Rhaissa mempunyai tahi lalat kecil di atas bibir sebelah kanannya. Itu melengkapi kesempurnaan senyum tulusnya untuk semua orang ditambah lagi dengan gigi yang tersusun indah dan rapih. Tegur sapanya yang lembut membuat orang ingin terus mendengar suaranya. Ia simbol wanita sejati. Mungkin seumur hidupnya ia tidak pernah marah.
        Saat Vhaiza, kak Dina dan pengawalnya ingin keluar dari lift dan masuk ke sebuah kafe untuk makan siang seorang pemuda nyaris bertabrakan dengan Vhaiza. Sosok pria berdasi yang terlihat seperti orang sibuk. Lengan pria itu mengenai bahu Vhaiza. Dan pria itu menoleh.
        “Oo… maaf.” Katanya pendek. Detik berikutnya, keduanya bertatapan begitu dekat. Pria itu terus menatap mata Vhaiza yang ada dibalik kaca mata coklatnya. Ia pasti tidak kenal dengan Vhaiza. Pria maskulin itu tersenyum tipis dan senyum itu sempat membuat jantung Vhaiza lumer. Waktu seakan terhenti untuk melihat senyum itu. Vhaiza membuka kaca matanya dan laki-laki tolol itu masih tidak mengenalinya. Ia tersenyum lagi dan mengucapkan kata-kata maaf untuk kedua kalinya. ”Maafkan saya.” Pintanya dengan sangat tenang.
        “Sama-sama.” Balas Vhaiza. Mendengar suara Vhaiza memaksa pria itu menarik napas dalam-dalam seakan mengatur napasnya dan debar jantungnya agar tidak terlihat gugup.
        “Ais.. kamu nggak apa-apa?” Dina sudah memegang tangan adiknya. Itu panggilan sayang.
        “Nggak, nggak papa kok, Kak.” Vhaiza kembali memasang kaca matanya. Pria itu telah berlalu dan duduk bersama seorang temannya yang berdasi juga, saat Vhaiza menoleh ia sudah terlihat asyik dengan rekannya itu. Dina mengambil tempat duduk tiga meja dari pria itu, agak jauh namun Vhaiza masih bisa melirik ke sana. Tanpa diketahui oleh Vhaiza, pria itu sekali-kali mencuri pandang ke Vhaiza dan menatapnya. Meski terlihat cuek namun penuh rasa keingintahuan. Ada kilauan dan rasa penasaran di mata itu.
        “Ais.., apa kamu mengenali pria tadi?” Tanya kak Dina tiba-tiba saat mereka menikmati makan siang.
        “Entahlah…” kata Vhaiza datar. Dina menatap adiknya yang menjawab pertanyaan tidak seperti biasanya. Dan terdengar aneh di telinganya. Dina tertawa kecil.
        “Yang pasti dia bukan seorang pengagum, dia sama sekali tidak mengenali kamu.”
        “Mungkin. Ia pasti mengagumi seorang Madonna.” Kata Vhaiza sembari tertawa halus. ”Tapi… aku merasa pernah mendengar suaranya. Mungkin aku pernah mendengar suara itu sebelumnya, namun entah di mana dan kapan?” kening Vhaiza bertaut seakan coba mengingatnya.
        “Sudahlah, habiskan sisa makananmu dan kita akan segera kembali. Setidaknya kamu harus istirahat dua jam penuh, oke.” Kata kak Dina semacam printah. Vhaiza tersenyum dan saat ia menoleh ke arah pria tadi, kursi itu telah diisi oleh orang lain. Wow… cepat sekali mereka menghilang. Membuat Vhaiza tambah penasaran.
        Vhaiza hanya membawa pulang sepasang sepatu buatan Indonesia. Ia tidak pernah gengsi untuk memakai produk dalam negeri.
**

        Vhaiza mengisi acara siaran langsung di televisi swasta, selain menyanyi ia juga akan menerima tanya jawab langsung dari penonton yang ada di rumah. Itu acara interaktif yang sering diadakan televisi tersebut, dan malam itu akan terasa istimewa karena bintang tamunya adalah Vhaiza.
        Vhaiza membawakan lagu-lagu anyarnya dan diiringi oleh tiga penari latar. Lagu kedua tanpa penari dan itu membuat para penonton bisa fokus melihat penampilannya di atas panggung. Di saat anak muda tergila-gila dengan Justin Biber, Ayu Ting Ting dan anak band SMASH, Noah juga boy dan girls band Korea maka Vhaiza punya penggemar dari berbagai kalangan… Dan setelah jeda iklan.
        Baru diberi kesempatan telepon masuk dengan dipandu oleh seorang host. Vhaiza duduk ditemani host pria yang sudah sangat dikenali di dunia pertelevisian. Telepon pertama pun masuk.
        “Halo…?” host itu yang memjawab.
        “Halo, selamat malam.” Peneleponnya seorang wanita.
        “Dengan siapa dan di mana?” masih host.
        “Dengan Cut Lara dari Aceh.”
        “O, jauh sekali. Apa yang mau ditanyakan silahkan langsung kepada Vhaiza-nya.” Dan detik itu wajah Vhaiza langsung di-zoom.
        “Ya, terima kasih. Selamat malam Vhaiza.”
        “Ya, selamat malam juga Lara.” Senyum Vhaiza sudah mengembang. Ia menunggu.
        “Saya hanya ingin menanyakan, apakah sebelum menjadi seorang Vhaiza seperti sekarang ini, pernahkah merasakan perjuangan hidup yang begitu pahit? Itu saja, terima kasih.”
        “Bagaimana?” presenter muda itu menoleh pada Vhaiza. Vhaiza tersenyum dan menghela napas. Seandainya Cut Lara mengikuti perjalanan karirnya tentu ia tidak perlu bertanya seperti itu. Seharusnya ia bertanya, ’Siapa pacar Vhaiza dan kapan akan menikah?’ namun bagaimana pun juga Vhaiza harus menjawab pertanyaan itu.
        “Terima kasih Lara, ini mungkin bukan sebuah jawaban tapi sebuah kisah yang sangat luar biasa, mungkin kamu belum tahu kalau saya mempunyai sembilan orang saudara. Saya anak kelima dari anak seorang guru Sekolah Dasar, dan seorang Ibu yang sabar, penyayang dan pintar, seorang Ibu rumah tangga biasa, tapi saat itu saya merasa bukan kehidupan yang pahit, namun kehidupan yang penuh cinta dan kasih sayang. Kami bisa melewatinya dan kami tidak akan pernah melupakan saat-saat seperti itu.” Ujar Vhaiza dengan penuh kewibawaan dan seolah ia baru saja mengalami masa kecilnya.
        “Oke… mudah-mudahan Cut Lara puas dengan penuturan Vhaiza barusan, sseperti yang kita tahu bahwa Vhaiza sangat mengagumi keluarganya. Kita menerima penelepon kedua, sebelum break,  silahkan….”
        “Halo….” Penelepon langsung masuk. Kali ini seorang pria.
        “Ya, silahkan.” Kata hostnya.
        “Saya Agoy di Jakarta, sebenarnya saya tidak punya satu pertanyaan pun untuk Vhaiza. Saya hanya ingin memberi sedikit kekaguman atas… mm… Tuhan maha besar dan perancang busananya yang brillian, dan malam ini Vhaiza terlihat sangat cantik sekali….” Kata-kata itu semacam pujian seorang juri diajang lomba. Vhaiza hanya tersenyum dewasa.
        “Terima kasih.” Balasnya singkat. Ia tidak biasa menerima pujian dengan besar kepala. Itu ajaran di dalam keluarganya.
        “Wow….” Host itu melirik Vhaiza. ”Anda memang benar Agoy.” Ujarnya seakan setuju.
        Semua orang juga sudah tahu kalau malam itu penampilan Vhaiza seperti putri dari negeri dongeng. Ia mengenakan busana dari perancang ternama dengan gaun berwarna hijau muda. Seorang perancang akan senang jika karyanya dikenakan oleh Vhaiza. Karena itu merupakan kepuasan tersendiri bagi mereka begitu pun Vhaiza. Ada juga yang beranggapan kalau Vhaiza tak ubahnya seperti maneken di sebuah mega mall. Apabila ia mengenakan sesuatu maka konsumen langsung tertarik untuk membelinya. Bukankah itu secara tidak langsung menunjukkan kalau Vhaiza juga bisa dibilang sebagai super model? Sepertinya tidak ada yang bisa membantah itu.
        Dari semua telepon yang masuk malam itu, hanya pernyataan Agoy yang berkesan untuk Vhaiza. Bukan lantaran pujiannya, namun ketulusan di dalam kata-kata itu. Menjelang tidur, hampir pukul dua dini hari. Vhaiza yang lelah ingin istirahat dan seharusnya ia tidak mengaktifkan ponselnya. Karena segala sesuatu bisa melalui kak Dina dan asistennya. Sehingga ia tidak harus mengangkat telepon seperti saat ini. Dengan tenaga tersisa ia menempelkan ponsel ke telinganya.
        “Hallooo…” suaranya lemah.
        “Hai, maaf ya, saya mengganggu sebentar, sebentaaaar saja.” Dan suara itu sudah sangat dikenali oleh Vhaiza. Namun kali ini ia tidak mengangat kepalanya yang sudah terasa berat. ”Saya Agoy yang tadi siang bertemu kamu di kafe, dan setelah kejadian itu saya melihat kamu di televisi. Semoga saya tidak salah, bahwa yang saya jumpai siang itu adalah kamu yang semalam. Oke, itu saja, terima kasih, mimpi indah.” Belum sempat dijawab, suara di seberang sudah menghilang. Vhaiza melihat nomor Agoy di layar ponselnya, terbersit di benaknya untuk menelepon balik namun urung. Kini ia hanya bisa mengingat pertemuan siang itu. Lagi-lagi ada orang asing yang tahu nomor pribadinya. Ia pun memutuskan untuk mematikan ponselnya.
         Dan sejak saat itu kak Dina tidak mengizinkannya memegang HP. Semua telepon yang masuk harus melalui dia dan twitter pun kak Dina yang membalasnya tapi tidak selalu khusus untuk twitter. Dan itu membuat Agoy kesulitan untuk menghubunginya Vhaiza dan setiap ia coba menghubungi manager Vhaiza selalu menanyakan ada perlu apa dan siapa, apa sudah punya janji, dan kalau belum harus bikin janji dulu. Dan saat Agoy menyebut nama panjangnya barulah si manager mengetahui siapa Agoy itu sesungguhnya.  Kak Dina tahu betul siapa Agoy, dia seorang pemuda kelahiran Jakarta, besar dan sekolah di negeri paman Sam. Orang tuanya punya bisnis perhotelan di negeri itu. Agoy kembali ke tanah air untuk membuka bisnis yang sama. Dia anak muda yang mewarisi jiwa bisnis dari Ayahnya. Maka selesai kuliah empat tahun, ditambah dengan dua tahun pengalaman kerja, dia pun memberanikan diri untuk membuka usaha sendiri. Dan di saat usianya mendekati 25 tahun ia sudah bisa menempati apartemen mewah, dan memiliki segala yang diinginkan anak muda zaman sekarang. Tinggal sendiri di apartemennya sebab kedua orang tuanya masih menetap di Amerika.
**
       
        Setelah menyelesaikan syuting klip kedua untuk lagu yang sama di kawasan Puncak. Dan di perjalanan pulang ke Jakarta, Ririn si manager baru, bertanya pada Vhaiza.
        “Vhaiza, mau dan bisa gak ketemu seseorang?”
        Vhaiza menoleh ke arah managernya yang duduk tepat di sebelahnya. Wanita muda itu tersenyum. “Kamu ini aneh, kan kamu yang mengatur semua jadwalku. Jadi kenapa bertanya seperti itu?” jawab Vhaiza pelan.
        “Tapi bertemu dengan orang yang satu ini tidak ada sangkut pautnya dengan urusan pekerjaan. Bukan juga untuk acara jumpa fans, tapi dia mengajak kamu nge-date.”
        “Whats..??” Vhaiza tertawa. Kak Dina pun yang duduk di sebelahnya ikut tertawa. Ia kini bukan sebagai manager Vhaiza tapi sebagai orang yang siap menemi kemanapun Vhaiza pergi.
        “Aku serius Vhaiza, nama pria itu Agoy.” Ririn menatap Vhaiza. Vhaiza pun menatap Ririn tak percaya.
        “Agoy…?” ulangnya pelan. ”Agoy?” nama itu terucap lagi.
        “Hei hei…. Ada apa dengan kamu, Vhaiza?” Dina melirik adiknya yang terlihat seperti orang linglung. ”Agoy itu yang ikut berpartisipasi dalam acara di televisi malam itu kan, Ais?”
        “Mungkin, tapi tidak ada yang bisa menebak kan, berapa pria yang bernama Agoy di negeri ini?” kata Vhaiza tak pasti.
        “Tapi dia bilang kamu kenal dia. Katanya ia pernah bertemu dengan kamu di mega mall waktu makan siang bersama kak Dina.” Tambah Ririn.
        “Ya Tuhan, pria itu?” ucap Vhaiza cepat.
        “Dia bukan tipe pria pecundang, kan?” kak Dina seperti bertanya pada Vhaiza, ia pun masih ingat dengan pria itu.
        “Semoga.” Jawab Vhaiza seakan berharap.
        Dina menatap adiknya. ”Apa kamu sedang jatuh cinta?”
        Vhaiza seakan tersadar dengan jawabannya barusan, ia pun tersenyum.
        “Jatuh cinta? O o… bagaimana mungkin? Kalian kan lebih mengenali aku melebihi aku sendiri.”       
       “Oke, sekarang gimana? Apa mau terima gak telepon dari dia?” tegas Ririn.
        “Menurut kalian, apa harus?” ia minta pertimbangan.
        “Keputusannya ada di tangan kamu, Ais.” Kata Dina yang sudah tahu siapa si Agoy itu.
        “Baiklah, suruh dia telepon aku nanti malam.” Kata Vhaiza dengan pasti. Kak Dina mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya kemudian menyerahkan pada Vhaiza. Vhaiza menatap kakaknya sembari tersenyum. ”Nanti malam kok, kak.”
        “Tidak ada salahnya kan, kakak memberikan ponsel ini sekarang?” kak Dina melirik nakal ke
Vhaiza. Ririn tertawa dan akhirnya ketiganya ikut tertawa. Beberapa menit setelah menerima ponsel, Vhaiza pun tertidur di mobil. Sembari mendengarkan lagu  Celine Dion. Ia mennyukai diva asal Canada itu.
        “Dia kecapean sekali.” Ujar Ririn sembari menatap Vhaiza sejenak. Dina pun mengiyakannya. Mereka pun akhirnya ikut menyandar di jok mobil yang empuk itu. Setengah jam lagi mereka akan tiba di rumah. Minggu depan mereka akan ke Singapura. Vhaiza diundang untuk menghadiri acara Award di negeri tetangga itu. Kebetulan lagu Vhaiza masuk nominasi sebagai favorit famele Artist. Dan perancang busana handal negeri ini telah menyiapkan gaun untuk Vhaiza, yang menyukai warna hijau muda.
*
        Malamnya Vhaiza meneruskan menulis lirik-lirik lagu, dia jarang menulis, ide menulis itu pun ia dapat berkat sering membaca puisi-puisi yang dikirim secara misterius itu. Dan pengirimnya menyebut dia dengan panggilan ‘Angel’. Pria itu tidak pernah meneleponnya lagi.   Tapi minggu depan, apakah puisinya akan muncul lagi? Ataukah Vhaiza tidak pernah berharap lagi. Pria aneh, yang tidak pernah mencantumkan alamatnya. Itu bisa disebut semacam surat kaleng. Di stempel kantor pos tercantum nama kantor pos penerima dan Vhaiza pun meminta asistennya menanyakan. Dari kantor pos mana surat itu berasal. Vhaiza yakin, pegawai pos sana pasti mengenali pengirim yang nyaris 80 kali menemui kantor pos itu untuk mengirim puisi-puisi itu kepadanya. Dan kabar pun didapat. Pegawai pos mengatakan kalau yang mengirim surat tanpa nama itu hanya seorang wanita biasa. Yang usianya sekitar 30-an. Vhaiza menjadi tambah penasaran dan saat menelepon dia menggunakan private number. Siapa dia sebenarnya? Dan kenapa dia tidak mengirim puisi-puisi itu lewat ponsel saja….? Pikirnya. Kalau pun ia mengirim dari ponsel bisa seribu kali tanpa harus capek-capek menulisnya di kertas dengan pulpen.
        Vhaiza sudah menggatikan baju tidur, siap untuk tidur dan ia senang tidur sendiri tanpa ditemani siapapun. Itu membuatnya sangat nyaman. Karena nyaris 24 jam ia selalu berkumpul bersama keluarga dan bertemu dengan orang-orang. Maka di saat-saat seperti ini ia merasa bernapas untuk dirinya sendiri, hidup bersama khayalannya dan terkadang menikmati asa itu mengasyikkan bagi Vhaiza. Asa itu mengikuti irama hati, namun jika asa menguasai hati sebaiknya berhati-hati. Vhaiza menyetel lagu lembut menjelang tidurnya, kebiasaan itu tidak pernah hilang. Selain senang menonton akting Richard Gere dan Rano Karno ia juga menyukai aksi Lara Croff serta aksi kocak Olga Saputra. Ponselnya berdering di saat ia sudah lupa. Agoy benar-benar menghubunginya.
        “Halo… belum tidur, kan?” suara lembut itu menyusup ke dalam telinga Vhaiza. Dan Vhaiza langsung bisa mengingat bagaimana pria itu menatapnya di depan lift kafe mega Mall itu.
        Pria plamboyan yang cool, tapi siapa Agoy sebenarnya? Pria itu tidak mengenalinya sama sekali.
        “Mana ada orang tidur sambil memegang ponsel dan dengan begitu jelas bisa mendengar suara Anda.” Nadanya berkata pelan teratur dan tidak bermaksud menyinggung. Terdengar tawa kecil dari seberang. Lalu diam, sepertinya Agoy bingung mau ngomong apa. Vhaiza menunggunya kemudian terdengar helaan napas.
        “Mm.. apa aku besok boleh datang ke rumah kamu?”
       Vhaiza diam sejenak. Agoy menunggunya dengan cemas jangan sampai gadis itu menjawab tidak bisa. Habis sudah harapannya.
        “Boleh tahu, buat apa?” Tanya Vhaiza.
        “Ya bertemu dengan kamu, memangnya untuk apalagi.”
        “O, terus kalau sudah ketemu?”
        “Ya, apa ya…? Maunya sih ngajak kamu pergi. Tapi kayaknya gak sopan ya?”
        “Memang iya.” Kata Vhaiza singkat dengan nada setengah bercanda.
        “Tu, benar kan? O iya, terima kasih banyak ya karena sudah mengizinkan aku menelepon kamu. Kamu tahu gak? betapa susahnya aku mencari nomor kamu ini? Aku mencari di internet dan menelepon beberapa kantor tabloid dan majalah serta stasiun televisi hanya ingin menemukan nomor kamu. Mereka bersikeras tidak ingin memberi tahu dengan alasan melanggar etika.”
        “Dan akhirnya mereka melanggar etika itu, kan?” tanya Vhaiza datar.
        “Karena mereka tidak mau ada seorang pria mengakhiri hidupnya di kantor mereka.”
        “Jangan berlebihan, jadi kamu mendatangi kantor mereka?”
        “Tentu saja, di sini akulah yang melanggar etika itu, aku minta maaf sama kamu. Setelah menghubungi kamu sekali seterusnya aku tidak bisa menghubungi kamu lagi, karena ponsel kamu selalu berada di tangan manager kamu. Dan dia selalu mengintrogasi aku.” Kata Agoy dengan jujur. Vhaiza tertawa pelan. ”Bagaimana, boleh ya aku ke rumah kamu?”
        “Hei, rumah saya itu terbuka untuk siapa saja.”
        “Ya, itu pasti tapi aku tidak ingin sekedar datang ke rumah kamu, aku ingin bertemu dengan kamu.” Jelas Agoy.
        “O, kalau itu aku tidak bisa janji, apa aku ada di rumah atau tidak.”
        “Iyeess!!!” Agoy berteriak kegirangan. Membuat Vhaiza menjauhi ponselnya dari telinga. Aneh. Pikirnya.
*
        Agoy memang pria beruntung karena Vhaiza memberi kesempatan padanya untuk kenal lebih dekat. Itu kesempatan emas apalagi sampai bisa jalan berdua. Vhaiza bisa pergi juga karena
kak Dina yang memang tahu siapa aslinya Agoy.
        Sejak saat itu, pria puitis itu tidak pernah lagi mengirimkan puisinya untuk Vhaiza. Biasanya dia bisa mengirim dua sampai tiga lembar dalam dua minggu. Vhaiza merasa kehilangan, merasa ada sesuatu yang aneh. Seperti ada kurang pada dirinya. Karena dalam setahun ini ia selalu mendapatkan lembaran puisi itu dalam setiap minggunya. Dan yang lebih terasa karena ada perhatian dalam puisi itu dan kini perhatian itu tidak muncul lagi. Angel itu kini merasa kesepiaan.
**
        Angin laut berhembus lembut, membelai wajah Vhaiza dan mengibaskan rambutnya. Ombak laut berlomba menghempaskan diri ke pantai, hingga pecah dan memancarkan keindahan di atas karang yang menjulang tinggi. Vhaiza menghela napas pelan dan sekali-kali menghirup minumannya. Agoy yang duduk bersandar di sebelahnya merasa gugup, tak biasanya ia seperti itu jika berdekatan dengan seorang wanita. Seorang pria akan merasa sangat bodoh jika tiba-tiba gugup berhadapan dengan seorang wanita apalagi itu wanita idamannya.
        Vhaiza mengenakan baju santai dengan lengan sebatas siku dengan kerah pendek. Ia pun mengenakan kaca mata coklat terang dan celana jins lembut. Di sampingnya Agoy sedang berjuang keras untuk berani mengatakan sesuatu yang teramat penting. Ia tidak peduli apakah Vhaiza mencintainya atau tidak dan ia merasa kalau Vhaiza telah memberinya lampu hijau. Itu baginya sudah merupakan jalan terang bahkan teramat terang.
        “Vhaiza…” menyebut nama itu saja rasanya susah sekali. Vhaiza menoleh dan membuka kaca matanya. Ia tersenyum tipis dan masih bersandar. Cahaya matahari yang mulai keemasan membias di wajahnya. Dan sebelum wajah itu kembali menghadap ke laut, Agoy meneruskan ucapannya. ”Aku ingin mengatakan sesuatu sama kamu, aku menyukai kamu. Aku jatuh cinta sama kamu dan aku merasa telah mencintai kamu.” Kata Agoy. Ia tak lagi bersandar. Kini ia menatap serius ke wajah Vhaiza. Vhaiza terdiam. Ia meletakkan kaca matanya di atas meja marmer itu. Sementara Agoy menanti reaksi Rhaissa selanjutnya. Namun reaksi yang muncul hanya sekilas senyum yang tidak bisa dimengerti maknanya, bahkan tatapannya untuk Agoy sulit ditebak. ”Aku.. terlalu to the point ya? Maaf, jika kamu tidak menyukai keterus-teranganku. Kamu mungkin beranggapan, siapa Agoy? Seorang pria yang baru ketemu dua kali, pertama tanpa sengaja dan ini kedua dan berani mengatakan kata-kata yang tidak bisa dianggap enteng itu. Mungkin tidak pantas untuk kamu, tapi aku tidak mau menebak perasaan kamu.” Kata-kata itu mulai terdengar lancar dan sangat teratur meski agak memohon. Tapi pria itu sudah mulai terlihat aslinya yang dewasa dan tidak kenak-kanakan lagi seperti tadi yang takut ditolak oleh gadis impiannya. Entah kenapa tidak ada wartawan saat itu di pantai.
        “Agoy.. apakah kamu termasuk salah satu orang yang memahami apa itu arti dari cinta?”
tutur Vhaisa seolah minta dipahami. Ia menatap Agoy. ”Karena terus terang aku sendiri tidak memahami makna cinta itu yang sebenarnya. Yang aku tahu, seseorang diberi sebuah hati untuk merasakan berbagai rasa. Diberi satu pikiran untuk menampung berbagai masalah yang masuk ke otak kita, terkadang kita merasa tidak begitu mampu untuk memikirkan semuanya. Tapi sebagai manusia kita pasti memiliki perasaan pada seseorang. Tidak peduli dia siapa, berasal dari mana, dan apakah cinta itu tulus atau tidak, semuanya tergantung dari pribadi orangnya. Kamu tahu? orang bilang cinta itu sangat aneh. Tapi bagaimana menurut kamu sendiri?” penuturan panjang dari Vhaiza memaksa Agoy berpikir lalu tersenyum lembut dan coba mencerna maksud dari uraian itu.
        “Terus terang aku tidak begitu mengerti maksud dari kata-kata kamu. Dan satu hal yang aku sangat yakin, bahwa aku sangat menyukai kamu.” Katanya dengan nada begitu pasti. Ia merasa ingin sekali menggenggam jemari Vhaiza dan itu tidak gampang! Vhaiza bukan gadis biasa, kecerobohannya akan menimbulkan petaka dan ia tidak ingin itu terjadi. Vhaiza masih berpegang teguh pada caranya sendiri dan norma-norma serta adat-istiadatnya, ia bukan gadis yang terlalu gampang disentuh, meski itu untuk orang yang ia sukai sekali pun. Remaja sekarang mungkin akan menganggapnya kuno tapi tidak apalah itu hak mereka.
        “Mmm.. bagaimana kalau kita pulang?”
        “Baiklah, tapi sebelum kita pulang. Boleh aku tahu bagaimana perasaan kamu sama aku?” kata Agoy tidak ingin penasaran.
        “Semoga seperti apa yang kamu inginkan tapi jangan pernah berharap dengan sesuatu yang mungkin tidak aku bisa beri.” Ujar Vhaiza dengan nada pasti.
        “Lagi-lagi aku tidak bisa memahami kata-kata kamu….” Namun ia tetap tersenyum.
        Vhaiza tidak mau memancing pikiran yang coba meresahkan kalbunya. Ia ingin semua berjalan seperti biasanya. Karena ia yakin jika cinta sudah datang maka ia akan merasakannya sendiri.          
        Setelah duduk berdua bersama Agoy, keluarlah foto-foto mereka di berbagai jejaring sosial dan dunia maya, dan semuanya mempertanyaan hubungan mereka, juga siapa Agoy itu? Hmm… Vhaiza dan Agoy mengira tidak ada wartawan yang melihat mereka. Hadoh!
*
        Sehari sebelum berangkat ke Singapura untuk menghadiri acara MTV Award, ia menerima lagi surat ke 78 setelah satu bulan ini menghilang. Dan Vhaiza merasa deg-degan seperti orang yang menerima surat cinta untuk pertama kalinya. Padahal itu isinya pastilah sama, yaitu puisi-puisi yang sebenarnya sudah bisa ia hafal di luar kepala. Mungkin karena sudah sebulan menghilang membuat Vhaiza merasa canggung dan jujur saja selama sebulan ini ia merasa takut kalau pria itu sudah melupakannya. Atau mungkin pria itu merasa bahwa puisi itu tidak penting. Ia hanya iseng mengirimkannya lalu melupakannya. Sementara Vhaiza sendiri sudah berulang-ulang membacanya, memahaminya dan menikmati kata demi kata dalam setiap baitnya bahkan sering melamunkan sang pengirimnya. Dan kali ini Vhaiza tidak mengenali huruf dalam tulisan itu. Karena sepertinya bukan sebuah puisi. Penasaran, ia pun membacanya….

        ‘Angel....
        Ada puluhan kata di hati ini tersirat untuk kamu, namun tidak satu pun bisa terungkap. Kadang hayalan terbang ke puncak gunung dan dirimu ibarat awan yang menerpa wajahku. Ingin sekali aku merengkuhmu, memiliki cintamu, walau hanya setetes embun pagi. Semakin hari hati ini semakin gelisah. Karena wajahmu seperti terus menari di mataku. Engkau tidak bisa di
umpamakan dengan apapun di dunia ini.
         Ada sejuta rasa sayang tersimpan di matamu, ada kerinduaan tersimpan di sana. Andai kau  mengerti, maka aku tidak akan pernah segelisah ini. Bila aku memiliki cinta, nyawa dan hati,
        Maka semua itu adalah kepunyaanmu. Apabila kamu mengerti betapa aku tidak mengingingkan rasa gundah ini, namun rasa itu terus saja menguasai diri ini. Seakan mengajak cinta menyapa, mengetuk pintu hatimu dan ingin membawamu ke alam nyata..
                                                                                                                Angel mimpi indah ya.’
Bersambung...........>>> 

Senin, 22 April 2013

'SELEMBAR TIRAI'


BAB 1
Siapa mencintai siapa
       Gema suara guntur menggelegar membahana seakan mau membelah bumi ini diiringi derasnya hujan yang berjatuhan dari langit, inilah alam yang penuh dengan misterinya namun Tuhan maha mengetahui. Air mulai menggenangi halaman rumah-rumah penduduk, banjir kecilpun sudah mulai kelihatan. Jakarta memang rawan banjir, apalagi kalau kota Bogor sudah hujan maka Jakarta rela tidak rela akan menerima air kiriman dari sana.
       Kareena menyandar di tiang halte bis, gadis itu terlihat kedinginan. Ia tak peduli dengan satu dua orang yang ada di bawah halte itu, matanya menatap kosong pada titik-titik hujan yang jatuh di depannya. Ia melipat kedua tangannya di dada, ia melamun atau sedang mengingat masa lalunya waktu di Palembang. Perjalananya masih sangat panjang.
      “Karin…….?” Suara itu disertai dengan sentuhan lembut di pundak Kareena memaksanya menoleh dari datangnya suara dan terlihatlah sebuah senyuman manis dan gigi-gigi putih yang cemerlang, Kareena pun membalas senyum tulus itu. “Pulang bareng, yuk?” ajak Arman. Teman sekelas Kareena. Mereka masih mengenakan seragam putih abu-abu, hanya saja Arman menutupinya dengan jaket kulit. Arman datang ke sekolah mengendarai motor tapi tadi Kareena tidak mendengar suara motornya berhenti. Entah itu untuk yang keberapa kalinya Arman mengajak Kareena pulang bersamanya dan belum pernah dikabulkan oleh Kareena.
      “Duluan aja, Ar….. lagian masih gerimis ini.” Kata Kareena beralasan dan belum beranjak dari tempat duduknya.
       “Oke, kalau begitu gimana kalau kita sama-sama tunggu gerimisnya reda.” Sepertinya Arman bersikeras dan bersabar, kesabaran Arman selama ini membuat Kareena seringkali goyah. Sudah hampir dua bulan ini pria
itu coba mendekatinya, itu yang diketahui Kareena, tapi menurut Lucy sahabat Kareena, pria itu menyukai
Kareena sejak ia masuk sekolah itu. Mungkin.
      Arman bukan anak sembarangan, ia termasuk murid yang jenius, sopan dan tampan pastinya. Tapi dia playboy dari anak orang kaya. Tapi sejak menyukai Kareena ia jarang membawa mobil karena ia tahu Kareena tidak suka ia mengumbar kekayaan orang tuanya. Sepertinya demi mendapatkan cinta Kareena saja.
      Kali ini pria itu sudah berdiri di samping Kareena dan bicara dengan agak berbisik. “Karin… kamu tidak menyukai aku, ya?”
      Kareena melirik ke wajah Arman sekilas. “Kamu ngomong apa sih?” katanya pelan dan malu, lalu menoleh lagi ke jalanan.
      Arman belum menjauhkan wajahnya dari dekat Kareena. “Bukannya tanpa alasan aku bertanya seperti itu, jawablah.” Ujarnya. Kareena tidak ingin terlalu menghiraukan kata-kata Arman. Ia menarik napas sejenak lalu menatap pria itu. Pria itu masih menantinya dengan sabar.
      “Sepertinya untuk menjawab pertanyaanmu, kali ini aku harus mengikuti ajakanmu.” Kali ini Kareena mengalah.
       Arman menatap gadis itu dengan rasa masih tidak percaya. Beberapa detik berikutnya mereka sudah meninggalkan area halte karena hujan pun sudah mulai berhenti. Arman masih tidak percaya kalau akhirnya Kareena benar-benar mau pulang bersamanya. Setelah perjalanan
satu menit Arman menepikan motornya. Berhenti.
      “Bagaimana kalau kita mampir dan makan dulu di sana?” usulnya setelah menunjuk ke arah kafe kecil.
       “Sebaiknya kita langsung pulang saja.” Kareena tidak mengabulkan permintaan Arman.Arman menoleh ke belakang sedikit untuk bicara dengan Kareena. “Kenapa? Apa anak SMA tidak pantas makan di kafe?”
katanya sembari tertawa kecil.
      “Mungkin ya, tapi yang pasti aku merasa nggak enak aja dengan seragam yang masih kita kenakan ini.” Sahut Kareena. Ia tidak ingin dilihat orang makan-makan di kafe dengan masih mengenakan seragam sekolah. Kurang etis saja, itu pikir Kareena.
      “Oke….” Arman memaklumi apa yang Kareena katakan. Mereka akhirnya melanjutkan perjalanan dan gerimis pun turun lagi. Ketika sampai di tempat tinggal Kareena, Arman tidak mau masuk meskipun tantenya Kareena sudah menawarkannya untuk mampir. Arman cukup merasa bahagia bisa mengantar Kareena pulang. Arman Arman…..!
      Tante yang melihat baju Kareena basah menjadi khawatir. “Mengapa memaksa pulang kalau masih hujan?” katanya. Ia tidak mempermasalahkan Kareena pulang naik motor temannya tapi kalau kehujanan gadis itu bisa saja sakit.
       “Tadi sebenarnya dari sekolahan hujannya sudah berhenti Tante, tapi pas mau nyampe hujan lagi, rasanya tanggung juga berhenti lagi.” Kareena sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil.
       “Tapi lain kali tidak boleh seperti itu lagi nanti kamu bisa sakit, kamu ganti baju sana terus makan, tidak usah menunggu Yoga.” Saran tantenya dengan nada seperti biasa, lembut dan penuh perhatian. Wanita karir itu berjalan ke kamarnya, hari sabtu ia libur dan memang senang menghabiskan waktunya di rumah. Kalaupun pergi biasanya hari minggu itupun biasanya ke pantai bersama suaminya.
       Kareena masuk ke kamarnya, ia belum ada nafsu untuk makan. Beberapa detik saja alunan suaranya Tantri Kotak terdengar indah ‘Masih Cinta’ Hmm….. bayangan Dody pun muncul bersama lagu itu. Kareena tidak tahu apa ia menyukai lagu itu atau berusaha memunculkan bayangan Dody. Hampir tiga tahun sudah ia coba melupakan pria itu.
      Di Palembang, waktu kenaikan kelas 3 SMP Kareena dipindahkan dari 3C ke 3A karena ia juara 1 di kelasnya. Kareena ingat saat itu Zonzona teman sekelasnya memanggilnya.
       “Karin……..!” pria hitam manis itu berlari ke arah Kareena. Kareena menoleh sedetik saja
pria itu sudah ada dihadapannya dengan napas ngos-ngosan. “Aku, aku…….dapat bocoran dari guru matematika kita, katanya nilai kamu tertinggi di kelas, selamat ya.”
      Saat itu Kareena hanya tersenyum, apa mungkin belajar sembari mendengarkan lagu bisa menjadi bintang kelas? Pikirnya. Karena setiap belajar di rumah Kareena selalu menyetelkan lagu-lagu kesukaannya. Tapi Kareena memang menyukai pelajaran matematika, didukung oleh gurunya yang selalu menyenangkan. Fokus saat menerima penjelasan di kelas dan latihan mengerjakan soal, hanya itu yang Kareena lakukan.
       Di kelas 3A berkumpul anak-anak yang dianggap rajin belajar dengan tekun dan memang sudah jenius. Kareena termasuk bukan yang jenius, ia hanya rajin mengulangi pelajaran di rumah dan tekun menyimak guru di sekolah dan ia paling anti menyontek. Kareena sendiri tidak tahu mengapa gurunya membuat sistim seperti itu.
      Dody adalah ketua kelas 3A, ia tampan sekali, kulitnya putih dan bibirnya seksi. Ia jago bicara Inggris, terkadang suka membuat tulisan-tulisan dengan bahasa Inggris di papan tulis kalau lagi jam istirahat. Hampir setiap ada kesempatan Kareena mencuri pandang kepada pria itu, tapi demi Tuhan, sebelah mata pun Dody tidak pernah meliriknya. Mungkin di matanya Kareena hanyalah gadis lugu yang pemalu. Pernah mereka mengerjakan tugas kelompok soal matematika, hanya sebatas itu. Dody bicara pada Kareena hanya soal matematika saja, tidak lebih. Ia boleh bicara cas cis cus dengan Inggrisnya tapi ia lemah di matematika. Dan yang sangat menyakitkan hati Kareena ketika ia mengetahui kalau Dody ternyata dekat dengan Lina, gadis itu sudah sekelas dengan Dody sejak dari kelas 1. Kareena terluka, akhirnya selepas SMP ia mengabulkan permintaan tantenya untuk pindah dari Palembang ke Jakarta. Sebenarnya sejak dari SMP tantenya sudah
memintanya pindah, alasannya di rumah kurang orang. Karena beliau hanya memiliki Yoga sementara Kareena lima bersaudara dan Kareena anak tertua.
       Suara deringan ponsel membuyarkan lamunan Kareena, ia langsung mengangkatnya. “Halo…?’
       “Rin….” Ternyata Arman. “Aku mengajak kamu nonton nanti malam, mau ya?” pinta Arman. Kareena diam, bingung. “Ayolah Rin…. Tidak mungkin aku berani mengajakmu kalau bukan malam minggu.” Suara Arman pelan namun penuh harap sementara Kareena masih membisu. Ia tidak percaya kalau Arman begitu cepat bersikap berani. “Karin…..kamu masih di situ, kan?”
       “Ya, tentu saja. Aku masih mendengarkanmu.” Sahut Kareena pelan setelah lama diam.
       “Tapi mengapa? Kurasa film yang diputar di bioskop tidak hanya untuk dua puluh tahun ke atas, kan? Pasti ada untuk usia tujuh belas tahunnya.” Kata Arman setengah menjelaskan. Kareena hanya tersenyum dan tentu saja Arman tidak melihat senyumnya.
       “Oh, ya? Tapi asal kamu tahu Man, aku ini belum tujuh belas tahun.” Sahut Kareena setengah tertawa.
       “Oh, ya?” Diam sesaat. Lalu…. “Tapi Rin….. apa yang harus aku lakukan? Aku sebenarnya ingin sekali nonton bersama kamu malam ini.” Rengek Arman.
       “Kita lihat saja nanti….”
       Putus!
 @@
Bersambung.........>>>

Minggu, 21 April 2013

'Bintang Impian'



BAB 1
BINTANG PURNAMA
           Jelang malam, seperti biasa Randu Bintang mengenakan pakaian kebangsaannya, simple, keren dan sederhana. Dia suka warna hitam dan topi dipakai terbalik, selalu. Rambut panjangnya kadang diikat, tapi kali ini cuma digerai dengan ditutup topi. Veldo n Rahman sudah menunggunya di luar. Sabtu malam, mereka selalu mengunjungi arena balap ciptaan mereka sendiri.
           Bersenang-senang  bahkan adu maut dengan geng-geng lain. Randu mengeluarkan mobil kijang, ia minta Veldo yang menyetir. malam ini dia kelihatan sedikit lesu, karena Papanya akan pergi ke luar negeri selama sebulan untuk urusan bisnis. Veldo merasa bete, kalau melihat Randu diam begitu. Dari belakang stir Veldo pun mulai komplin.
           “Udah deh Ran…, bukannya lo senang bakal punya temen baru? Ntar kita ajak ikut balapan aja, kan asyik tuh. Bener gak Man…?” Veldo melirik Rahman sekilas. Rahman mengacungkan jempolnya tanda setuju.
           “Bukan itu persoalannya. Goblok amat sih..!?” Upsss! Randu mulai kumat bicara kasarnya dan itu tidak boleh ditiru. “Itu intinya, sama aja Bokap gue anggep gue gak berani di rumah sendiri, yang cuma ditemani para pembokat. Moga-moga aja cewek yang bakal satu kamar sama gue nanti kayak Xena, kan asyik tuh.” Ujar Randu sembari menatap ke depan. Rahman bersandar di jok belakang. (Xena Warrior Princess : adalah tokoh wanita jagoan di serial TV, yang ditayangkan pada tahun 1995-2001). Randu kecil pernah melihat serial itu di televisi saat Bi Ijah, pengasuhnya menonton.
      Bukan sekali dua kali Randu ditinggal papanya tugas ke luar, tapi entah kenapa untuk kali itu ia meminta Randu ditemani seorang teman.
           “Kenapa juga dia mesti satu kamar sama lo, kayak gak ada kamar lain aja.”
           “Itu sudah keputusan Bokap. Tau tuh…, aneh-aneh aja, alasan yang gak masuk akal, masa gara-gara kamar gue muat 6 orang, kata Bokap sangat cocok buat gue sama Rimba.”
           Veldo nyaris ngerem mendadak.
           “Rimba!? Cewek yang bakal nemenin lo itu namanya, Rimba?” soalnya selentingan dia pernah mendengar nama itu.
           “Huuhh !!” Randu melempar Veldo dengan kaleng minuman bekas. ”Minggir-minggir…, bawa mobil kaya siput.” Randu menarik Veldo ke samping. Ia lalu menggantikan posisi Veldo tanpa menghentikan mobil terlebih dahulu membuat jalannya tidak keruan. Rahman cekikikan kegirangan. Sebab bila Randu sudah pegang stir pasti seru. Karena dia gila dan sedikit membuat Veldo sport jantung. Stir mobil sudah di tangan Randu. Mobil itu sudah membelah malam. Randu tidak pernah kapok ditangkap Polisi, dia terlalu pandai memanfaatkan posisi papanya di pemerintahan. Beberapa menit kemudian Randu menepikan mobil. Ia keluar, diikuti Veldo n Rahman. Rahman menatap Randu.
           “Ada apa? Malam ini kan, geng-nya Dodo menunggu kita. Semoga lo gak lupa dengan janjinya.”
           “Kayaknya malam ini gue lagi males, mood gue lagi jelek banget.” Kata Randu tanpa gairah.
           “Ntar dulu..” Veldo ikut bicara. ”Lo gimana Ran…, malam ini, Dodo tuh cuma nantang Lo.”
           “Lo kok gak ngerti banget sih. Kalo gue bilang gak mood ya udah.” Randu mulai naik darah.
           “Mulai dehh.” Rahman menengahi. ”Gini aja, gimana kalo kita makan dulu? Abis itu baru kita pikirkan lagi.” ‘Sebenarnya sih, gimana pun juga yang namanya janji ya harus di tepati.’ Kata Rahman dalam hati.
           “Lo benar Man, gue kayaknya emang harus makan dulu nih. Soalnya dari tadi otak gue gak bisa
mikir.” Kata Randu. Ia balik ke dalam mobil. ”Gue di belakang aja deh.” Kali ini giliran Rahman yang nyetir. Randu rebahan di jok belakang dan memejamkan matanya. Belum juga jauh mobil bergerak, sudah dihadang oleh geng Dodo. Rahman terpaksa berhenti.
           “Ada apa Man? Kok brenti, mang dah nyampe kafe?” Kata Randu masih tiduran di jok belakang.
           “Bentar lagi, tapi kayaknya ada gangguan teknis di depan tuh..” Veldo n Rahman keluar dari mobil untuk memastikan gangguan seperti apa persisnya.
          Dodo sudah berdiri dihadapan mereka, bersama dengan kedua temannya yang menatap sinis pada Veldo n Rahman.
           “Hey…! Nyali kalian ternyata cuma segini ya? Gue tunggu dari tadi tapi kalian malah ngumpet di sini, seperti kelinci yang ketakutan. Mana Ratu kalian, si Randu itu?? O, bukan, maksud gue, cewek kalian. Gue gak salah dengarkan kalo dia di juluki sebagai Ratu jalanan?!”
           Rahman marah saat Dodo mengatakan Randu adalah pacarnya bersama Veldo.
           “Heyy.., hati-hati dengan mulut lo ya…! Tarik lagi kata-kata lo itu!”
Dodo malah tertawa keras, ia melirik kedua temannya sejenak. mendengar suara tawa Dodo mamaksa Randu keluar dari dalam mobil. Ia membetulkan posisi topinya dan berdiri di antara Veldo n Rahman.
           “Do…, gue pikir juga sebaiknya lo tarik lagi ucapan lo yang tadi.” Kata Veldo. Dodo tertawa lagi.
           “Liat, Men…., seorang cewek cantik berteman dengan dua cowok tampan yang tak bernyali. Eh, apa kalian percaya kalo ada cowok bisa berteman dengan cewek? Mereka pasti pacaran bergantian, bener nggak?” Dodo memtertawai mereka.
          Veldo n Rahman nyaris saja menghajar mulut Dodo kalau saja Randu tidak buru-buru melebarkan tangannya. Ia tahu Dodo sedang memancing emosinya.
           “Do.., malam ini gue emang lagi gak mud, mendingan lo pulang aja, dan sebelum pergi lo tarik dulu kata-kata lo.”
           “Kalo gue gak mau, lo mo apa?” Tantang Dodo. Membuat Randu tersenyum.
           “Oke, begini aja. Gimana kalo gue makan dulu, setelah itu lo mau apa, gue ikutin, terserah.” Usul Randu akhinrya.
           “Sombong sekali lo.” Dodo merasa diremehkan.
           “Gue cuma bilang mau makan dulu, apa kurang jelas?”
           Dodo sepertinya sudah hilang kesabarannya. Ia menyerang Randu dengan tangan kosong. Sebelum Randu menghindar Veldo sudah menepis tangan Dodo. Randu geleng-geleng kepala.
           “Lo sepertinya gak bisa diajak ngomong baik-baik ya? Pertama lo asal bicara, kedua mau main fisik. Dua kesalahan yang sukar dimaafkan. Untuk terakhir kalinya gue ingetin lo, kalau lo gak mau cabut omongan itu, lo pasti gak akan bisa bayangin apa akibatnya buat lo.”
           Detik berikutnya, Rahman melemparkan sebungkus burger ke arah Randu.
           “Randu…! Tangkap!”
           Randu menoleh, detik selanjutnya, makanan kesukaannya sudah berada di tangan. Terdengar Dodo menghela napas kesal.
           “Ran…., gue cabut ucapan gue asal lo mau turun malam ini.”
           Randu duduk di kap mobilnya untuk menikmati makanannya sama seperti yang Veldo n Rahman lakukan.
           “Itu bukan gaya gue.” Katanya sambil menggigit burger terakhirnya.
           Sepertinya Dodo tidak berhasil memancing emosi Randu. Sejenak ia memandang kedua temannya yang hanya menunggu dari tadi. Ia menoleh kembali ke Randu. “Julukan Ratu jalanan itu ternyata hanya isepan jempol belaka.” Ejek Dodo.
           Randu menatap Dodo. Baru tahu dia kalau dirinya dijuluki seperti itu. Sepertinya bagus juga. Ia tersenyum, lalu mendorong Veldo lembut.
           “Gue tunggu di sini. Lo berdua Rahman ladenin dia. Bosen gue dengar ocehan dia, Do, kalo lo menang dari temen gue, baru lo berhadapan sama gue.” Randu mempercayakan Veldo untuk adu kecepatan dengan Dodo. Tapi itu merupakan sebuah hinaan bagi Dodo, sebab ia cuma ingin menantang Randu.
           “Ran…, kenapa harus gue?” Veldo keberatan dan tentu saja tidak siap.
           “Ayolah Vel…., buat dia menarik ucapannya tadi, sepertinya dia mulai keras kepala sekarang.” Kata Randu cuek.
           Rahman menarik tangan Veldo. ”Ayolah…!” karena ia sendiri sudah tidak sabar ingin melumat Dodo di Arena. Dodo masih menatap Randu. Ada cinta dan kebencian di matanya untuk Randu. Randu tersenyum di ujung bibirnya, seakan mengejek Dodo yang lagi gemes dan kesal.
           “Do, kalah atau pun menang nanti, lo akan tetap adu balap sama gue, tapi tidak sebelum lo tarik ucapan lo. Bersiaplah. Temen gue udah gak sabar tuh!” ujar Randu dengan nada yang membuat Dodo semakin kesal.
           Dodo merasa tersinggung dengan ucapan Randu.
           “Gue akan tantang teman lo dengan satu syarat, kalo gue menang lo harus jadi pacar gue.”
           “Lo dah mulai banyak aturan deh, oke…, tapi jika temen gue yang menang maka lo harus mundur dari balapan sampai tiga bulan ke depan, serta tarik ucapan lo, gimana?”
           “Deal!” Kata Dodo dengan nada pasti.
           Randu tersenyum. ”Come on guys.” Ia memberi aba-aba sama temannya. Lalu menghampiri Veldo yang sudah duduk di belakang stir. ”Vel, kata Dodo, kalo lo kalah, gue harus jadi pacarnya.”
           “Gila lo Ran…, seharusnya gak usah terpacing omongannya.” Komentar Rahman yang sudah duduk di sebelah Veldo.
           “Tenang Man.., gue yakin lo berdua gak akan mau gue sampai jadian sama tu monyet, kan? Libas dia!” Randu menutup pintu mobil. Randu sendiri harus yakin kalau Veldo bisa menang, harus!             
             Salah satu teman Dodo tinggal bersama Randu. Mereka memberi aba-aba di jalanana yang sepi itu.     Beberapa detik kemudian mobil melesat kencang. Dalam jarak satu kilo meter mereka harus mengambil bendera yang sudah di letakkan di tepi jalan.
           Randu melirik teman Dodo. pria itu salah tingkah dan menggaruk-garuk kepalanya.
           “Kenapa lo, kutuan? Heeh…, gimana kalo gue benar-benar pacaran sama Bos lo? Rela nggak?” Randu menggoda teman Dodo.
           Cowok itu senyum. ”Gue sih seneng-seneng aja, Bos gue kan naksir berat sama lo.”
           “O, ya…?, sayangnya gue gak tuh.. karena dia bukan tipe gue, dia pengecut.” Ledek Randu.
           “Tapi bos gue, kalo uda ngomong serius.” Tegas anak itu.
           “Seriuus, serius apanya? Mungkin dia pikir gue takut dengan tantangannya.”
           “Berarti, kalo Veldo kalah lo mau jadi pacarnya Dodo? Kata lo, Dodo bukan tipe lo?”
           “Hey…, gue kan harus konsekuen!”
           Cowok itu manggut-manggut kayak orang bodoh.
Kalau mau jujur, Randu sebenarnya agak ragu dengan Veldo. Namun dia harus pegang 51 persen kemenangan untuk Veldo. Veldo memang jarang menang di Arena balap karena dia kurang yakin dengan kemampuannya sendiri.
           Dodo mendahului kijang itu, membuat Veldo gugup. Rahman meliriknya.
           “Vel…, Randu taruhannya. Sebagai teman lo gak mau kan Randu jatuh ke tangan si brengsek itu dan membuatnya tertawa menang?” Kata Rahman tajam namun dengan nada pelan.
           ‘Aduh…. Randu, kenapa juga lo pake terima taruan yang beginian?’ Guman Veldo. Ia menginjak gasnya berusaha menyalip mobil Dodo. Tentu saja ia tidak rela temannya pacaran dengan cowok sialan itu.Veldo berhasil mendahuluinya. Rahman melihat bendera lalu mengisyaratkan pada Veldo untuk berhenti sejenak agar ia bisa mengambil bendera itu. Detik berikutnya di ikuti sama Dodo. Saat Rahman masuk, Veldo gugup membuat Dodo berputar lebih cepat.
           “Kita akan menang.” Dodo tertawa. ”Mana bisa anak Mami itu ngalahin gue. Sepertinya Randu terlalu nyepelein gue. Masa gue di suruh turun dengan anak kunyuk itu?”
           “Lo bener Do.” Tambah temannya berusaha memanas-manasi Dodo..
           Rahman menghela napas. ”Kenapa lo biarin Dodo lewat? Jangan kecewain gue sama Randu sobat. Lo pasti bisa, gue yakin.” Rahman memberi semangat untuk Veldo.
           Veldo menarik napas panjang. Dan.. detik berikutnya mobil melaju seperti angin.
           ‘Ayo Vel…., buktiin kalo lo mampu. Rahman sama Randu aja percaya. Gue gak boleh ngecewain mereka.’ Bisik Veldo dalam hati. Detik selanjutnya Veldo berhasil melewati Dodo. Dodo geram lalu berbalik menyalip. Rahman kecewa. Dodo sudah bisa melihat bendera merah yang melambai di tangan temannya yang berdiri bersama Randu. Tapi sayang, saat Dodo merasa menang, ia lengah dan saat itulah Veldo berhasil mendahuluinya. Di detik terakhir, Veldo menang.
           Randu menghela napas lega, tanpa harus melompat kegirangan, ia memeluk kedua sahabat tersayangnya yang hebat.
           “Lo hebat Vel, kalian hebat.” Mereka tersenyum. Veldo sendiri menghela napas panjang seakan tidak percaya. Randu melirik Dodo yang sudah keluar dari mobil. ”Hmm.. sepertinya lo anggap enteng temen gue kan? Itu sama artinya lo menghina gue. Sorry ya, kayaknya kita belum jodoh. Lo gak lupa perjanjiannya, ’kan?”
           “Oke. Gue cabut kata-kata gue, kalian memang cuma temenan dan bukan pacaran. Tapi tiga bulan lagi gue tantang lo dan gue yang bikin perjanjiannya. Lo pasti gak akan bisa bayangin.”
           “Lo atur aja deh, apa pun taruhannya lo pikir aja dari sekarang. Kita akan ketemu lagi disini tiga bulan lagi, di  tanggal yang sama, Oke… bye.. bye…!” Randu mengajak temannya pergi. Dodo membanting pintu mobilya.
           “Cewek sialan! suatu saat dia harus berada dalam genggaman gue.” Tadinya Dodo percaya seratus persen kalau bisa menang dari Veldo.

@@@

Bersambung………>>>