Selasa, 21 Mei 2013

Randu dan Bintang


RANDU DAN RIMBA
*
          Dua remaja sedang berdiri di tangga pertama Tembok China, sebelum melangkahkan kaki menuju tangga berikutnya mereka berhenti karena rasa kagum yang luar biasa, ratusan orang yang mungkin sedang melakukan pendakian tak begitu menarik perhatian kedua gadis itu.
          “Coba kamu perhatikan.” Ujar gadis yang berambut panjang dan lurus. “Tempat yang kita injak ini, konon katanya dibangun pada masa dinasti Ming, melewati sembilan provinsi dan panjangnya sekitar 7.300 kilometer.” Ujarnya dengan masih rasa kekaguman tinggi.
           “Wow, berarti butuh waktu setahun jalan kaki untuk mencapai ujungnya? Yang benar saja, habis ini kan kita mau jalan-jalan ke tempat lain.” Sahut gadis yang berambut sebahu. Mereka bertatapan sejenak seolah tidak akan mungkin menghabiskan masa liburan mereka di tempat itu. Akhirnya gadis yang berambut panjang menggeleng dengan pasti.
          “Tentu saja tidak.”
           “Ya.” Jawab sahabatnya. ‘karena habis ini kita akan mengunjungi kota Florence’ sambung gadis berambut sebahu itu di dalam hati karena bagaimanapun juga ia ingin mewujudkan impian kedua orang tuanya yang sudah tiada.
          “Oke, kita jalan lagi.” Kata gadis feminin itu dengan badan dibalut jaket tebal sedang gadis yang disebelahnya hanya mengenakan jaket seadanya, sepatu kulit teplek, syal hitam tebal melingkar menutupi lehernya yang jenjang. Kedua gadis itu kembali menaiki tangga Tembok China yang menjadi salah satu keajaiban dunia. “Kamu tahu berapa tinggi Tembok ini? katanya sih tidak kurang dari sepuluh meter dan luas jalan yang kita lewati ini lebarnya diperkirankan sekitar lima meter.” Tutur gadis feminin itu saat mereka menaiki tangga satu demi satu dan tak lupa menyaksikan pemandangan Tembok China yang berliku-liku memanjang dan menyusuri puncak pegunungan, kedua gadis itu tak henti-hentinya menganggumi kehebatan orang-orang dulu. Di zaman ini kita boleh bangga dengan temuan teknologi yang semakin maju tapi orang dulu membuat bangunan sangat kuat dan tidak akan runtuh dalam ribuan tahun, luar biasa!
           “Kamu itu kayak pemandu wisata saja, semua ukuran bangunan dan sejarahnya kamu hafal, memangnya waktu di Paris apa yang kamu pelajari?” goda sahabatnya meski begitu ia bangga punya sahabat yang serba tahu.
           “Belajar semua hal, termasuk memahami kekerasan kepala kamu.” Ia melirik sahabatnya sejenak. Yang dilirik langsung protes.
           “Kayak sendirinya tidak keras kepala saja. Kalau saja waktu di Malaysia kamu sedikit mengalah aku rasa tidak akan separah itu.”
          “Sudahlah, mungkin sudah jalannya seperti itu dan kurasa kalau waktu di Malaysia aku tidak menghilang kita tidak akan sampai di tempat ini, kan?”

           “Yah, kapan sih kamu itu mau kalah omongan? Dari kelas satu SMU saja bawaannya ngejawab terus.” Gadis yang berambut sebahu itu seperti ngedumel membuat sahabatnya tertawa kecil dan ia masih ingat dengan sangat jelas saat pertama kali bertemu dengan sahabat kesayangannya itu.

**
BAB 1
Wujudkan impian
           Jelang malam, seperti biasa Randu Bintang mengenakan pakaian kebangsaannya, simple, keren dan sederhana. Dia suka warna hitam dan topi dipakai terbalik, selalu. Rambut panjangnya kadang diikat, tapi kali ini cuma digerai dengan ditutup topi. Veldo n Rahman sudah menunggunya diluar. Sabtu malam, mereka selalu mengunjungi arena balap ciptaan mereka sendiri.
           Bersenang-senang  bahkan adu maut dengan geng-geng lain. Randu mengeluarkan mobil kijang, ia minta Veldo yang menyetir. malam ini dia kelihatan sedikit lesu, karena Papanya akan pergi ke luar negeri selama sebulan untuk urusan bisnis. Veldo merasa bete, kalau melihat Randu diam begitu. Dari belakang stir Veldo pun mulai komplin.
           “Udah deh Ran…, bukannya lo senang bakal punya temen baru? Ntar kita ajak ikut balapan aja, kan asyik tuh. Bener gak Man…?” Veldo melirik Rahman sekilas. Rahman mengacungkan jempolnya tanda setuju.
           “Bukan itu persoalannya. Goblok amat sih..!?” Upsss! Randu mulai kumat bicara kasarnya dan itu tidak boleh ditiru. “Itu intinya, sama aja Bokap gue anggep gue gak berani di rumah sendiri, yang cuma ditemani para pembokat. Moga-moga aja cewek yang bakal satu kamar sama gue nanti kayak Xena, kan asyik tuh.” Ujar Randu sembari menatap ke depan. Rahman bersandar di jok belakang. (Xena Warrior Princess : adalah tokoh wanita jagoan di serial TV, yang ditayangkan pada tahun 1995-2001). Randu kecil pernah melihat serial itu di televisi saat Bi Ijah, pengasuhnya menonton.
      Bukan sekali dua kali Randu ditinggal papanya tugas ke luar, tapi entah kenapa untuk kali itu ia meminta Randu ditemani seorang teman.
           “Kenapa juga dia mesti satu kamar sama lo, kayak gak ada kamar lain aja.”
           “Itu sudah keputusan Bokap. Tau tuh…, aneh-aneh aja, alasan yang gak masuk akal, masa gara-gara kamar gue muat 6 orang, kata Bokap sangat cocok buat gue sama Rimba.”
           Veldo nyaris ngerem mendadak.
           “Rimba!? Cewek yang bakal nemenin lo itu namanya, Rimba?” soalnya selentingan dia pernah mendengar nama itu.
           “Huuhh !!” Randu melempar Veldo dengan kaleng minuman bekas. ”Minggir-minggir…, bawa mobil kaya siput.” Randu menarik Veldo ke samping. Ia lalu menggantikan posisi Veldo tanpa menghentikan mobil terlebih dahulu membuat jalannya tidak keruan. Rahman cekikikan kegirangan. Sebab bila Randu sudah pegang stir pasti seru. Karena dia gila dan sedikit membuat Veldo sport jantung. Stir mobil sudah di tangan Randu. Mobil itu sudah membelah malam. Randu tidak pernah kapok ditangkap Polisi, dia terlalu pandai memanfaatkan posisi papanya di pemerintahan. Beberapa menit kemudian Randu menepikan mobil. Ia keluar, diikuti Veldo n Rahman. Rahman menatap Randu.
           “Ada apa? Malam ini kan, geng-nya Dodo menunggu kita. Semoga lo gak lupa dengan janjinya.”
           “Kayaknya malam ini gue lagi males, mood gue lagi jelek banget.” Kata Randu tanpa gairah.
           “Ntar dulu..” Veldo ikut bicara. ”Lo gimana Ran…? malam ini, Dodo tuh cuma nantang Lo.”
           “Lo kok gak ngerti banget sih. Kalo gue bilang gak mood ya udah.” Randu mulai naik darah.
           “Mulai deh.” Rahman menengahi. ”Gini aja, gimana kalo kita makan dulu? Abis itu baru
kita pikirkan lagi.” ‘Sebenarnya sih, gimana pun juga yang namanya janji ya harus ditepati.’ Kata Rahman dalam hati.
           “Lo benar Man, gue kayaknya emang harus makan dulu nih. Soalnya dari tadi otak gue gak bisa mikir.” Kata Randu. Ia balik ke dalam mobil. ”Gue di belakang aja deh.” Kali ini giliran Rahman yang nyetir. Randu rebahan di jok belakang dan memejamkan matanya. Belum juga jauh mobil bergerak, sudah dihadang oleh geng Dodo. Rahman terpaksa berhenti.
           “Ada apa Man? Kok brenti, mang dah nyampe kafe?” Kata Randu masih tiduran di jok belakang.
           “Bentar lagi, tapi kayaknya ada gangguan teknis di depan tuh..” Veldo n Rahman keluar dari mobil untuk memastikan gangguan seperti apa persisnya.
          Dodo sudah berdiri dihadapan mereka, bersama dengan kedua temannya yang menatap sinis pada Veldo n Rahman.
           “Hey…! Nyali kalian ternyata cuma segini ya? Gue tunggu dari tadi tapi kalian malah ngumpet di sini, seperti kelinci yang ketakutan. Mana Ratu kalian, si Randu itu?? O, bukan, maksud gue, cewek kalian. Gue gak salah dengarkan kalo dia di juluki sebagai Ratu jalanan?!”
           Rahman marah saat Dodo mengatakan Randu adalah pacarnya bersama Veldo.
           “Heyy.., hati-hati dengan mulut lo ya…! Tarik lagi kata-kata lo itu!”
           Dodo malah tertawa keras, ia melirik kedua temannya sejenak. mendengar suara tawa Dodo mamaksa Randu keluar dari dalam mobil. Ia membetulkan posisi topinya dan berdiri di antara Veldo n Rahman. “Do…, gue pikir juga sebaiknya lo tarik lagi ucapan lo yang tadi.” Kata Veldo. Dodo tertawa lagi.
           “Liat, Men…., seorang cewek cantik berteman dengan dua cowok tampan yang tak bernyali. Eh, apa kalian percaya kalo ada cowok bisa berteman dengan cewek? Mereka pasti pacaran bergantian, bener nggak?” Dodo memtertawai mereka.
          Veldo n Rahman nyaris saja menghajar mulut Dodo kalau saja Randu tidak buru-buru melebarkan tangannya. Ia tahu Dodo sedang memancing emosinya.
           “Do.., malam ini gue emang lagi gak mud, mendingan lo pulang aja, dan sebelum pergi lo tarik dulu kata-kata lo.”
           “Kalo gue gak mau, lo mo apa?” Tantang Dodo. Membuat Randu tersenyum.
           “Oke, begini aja. Gimana kalo gue makan dulu, setelah itu lo mau apa, gue ikutin, terserah.” Usul Randu akhinrya.
           “Sombong sekali lo.” Dodo merasa diremehkan.
           “Gue cuma bilang mau makan dulu, apa kurang jelas?”
           Dodo sepertinya sudah hilang kesabarannya. Ia menyerang Randu dengan tangan kosong. Sebelum Randu menghindar Veldo sudah menepis tangan Dodo. Randu geleng-geleng kepala.
           “Lo sepertinya gak bisa diajak ngomong baik-baik ya? Pertama lo asal bicara, kedua mau main fisik. Dua kesalahan yang sukar dimaafkan. Untuk terakhir kalinya gue ingetin lo, kalau lo gak mau cabut omongan itu, lo pasti gak akan bisa bayangin apa akibatnya buat lo.” Ujar Randu dengan nada pasti. Rahman sudah menghilang dari hadapan mereka dan beberapa saat beriktunya Rahman melemparkan sebungkus burger ke arah Randu.
           “Randu…! Tangkap!”
           Randu menoleh, detik selanjutnya, makanan kesukaannya sudah berada di tangan. Terdengar Dodo menghela napas kesal.
           “Ran…., gue cabut ucapan gue asal lo mau turun malam ini.”
           Randu duduk di kap mobilnya untuk menikmati makanannya sama seperti yang Veldo n Rahman lakukan.
           “Itu bukan gaya gue.” Katanya sambil menggigit burger terakhirnya.
           Sepertinya Dodo tidak berhasil memancing emosi Randu. Sejenak ia memandang kedua temannya yang hanya menunggu dari tadi. Ia menoleh kembali ke Randu. “Julukan Ratu jalanan itu ternyata hanya isepan jempol belaka.” Ejek Dodo.
           Randu menatap Dodo. Baru tahu dia kalau dirinya dijuluki seperti itu. Sepertinya bagus juga. Ia tersenyum, lalu mendorong Veldo lembut.
           “Gue tunggu di sini. Lo berdua Rahman ladenin dia. Bosen gue dengar ocehan dia, Do, kalo lo menang dari temen gue, baru lo berhadapan sama gue.” Randu mempercayakan Veldo untuk adu kecepatan dengan Dodo. Tapi itu merupakan sebuah hinaan bagi Dodo, sebab ia cuma ingin menantang Randu.
           “Ran…, kenapa harus gue?” Veldo keberatan dan tentu saja tidak siap.
           “Ayolah Vel…., buat dia menarik ucapannya tadi, sepertinya dia mulai keras kepala sekarang.” Kata Randu cuek.
           Rahman menarik tangan Veldo. ”Ayolah…!” karena ia sendiri sudah tidak sabar ingin melumat Dodo di Arena. Dodo masih menatap Randu. Ada cinta dan kebencian di matanya untuk Randu. Randu tersenyum di ujung bibirnya, seakan mengejek Dodo yang lagi gemes dan kesal.
           “Do, kalah atau pun menang nanti, lo akan tetap adu balap sama gue, tapi tidak sebelum lo tarik ucapan lo. Bersiaplah. Temen gue udah gak sabar tuh!” ujar Randu dengan nada yang membuat Dodo semakin kesal.
           Dodo merasa tersinggung dengan ucapan Randu.
           “Gue akan tantang teman lo dengan satu syarat, kalo gue menang lo harus jadi pacar gue.”
           “Lo dah mulai banyak aturan deh, oke…, tapi jika temen gue yang menang maka lo harus mundur dari balapan sampai tiga bulan ke depan, serta tarik ucapan lo, gimana?”
           “Deal!” Kata Dodo dengan nada pasti.
           Randu tersenyum. ”Come on guys.” Ia memberi aba-aba sama temannya. Lalu menghampiri Veldo yang sudah duduk di belakang stir. ”Vel, kata Dodo, kalo lo kalah, gue harus jadi pacarnya.”
           “Gila lo Ran…, seharusnya gak usah terpacing omongannya.” Komentar Rahman yang sudah duduk di sebelah Veldo.
           “Tenang Man.., gue yakin lo berdua gak akan mau gue sampai jadian sama tu monyet, kan? Libas dia!” Randu menutup pintu mobil. Randu sendiri harus yakin kalau Veldo bisa menang, harus!             
             Salah satu teman Dodo tinggal bersama Randu. Mereka memberi aba-aba di jalanana yang sepi itu.     Beberapa detik kemudian mobil melesat kencang. Dalam jarak satu kilo meter mereka harus mengambil bendera yang sudah di letakkan di tepi jalan.
           Randu melirik teman Dodo. pria itu salah tingkah dan menggaruk-garuk kepalanya.
           “Kenapa lo, kutuan? Heeh…, gimana kalo gue benar-benar pacaran sama Bos lo? Rela nggak?” Randu menggoda teman Dodo.
           Cowok itu senyum. ”Gue sih seneng-seneng aja, Bos gue kan naksir berat sama lo.”
           “O, ya…?, sayangnya gue gak tuh.. karena dia bukan tipe gue, dia pengecut.” Ledek Randu.
           “Tapi bos gue, kalo uda ngomong serius.” Tegas anak itu.
           “Seriuus, serius apanya? Mungkin dia pikir gue takut dengan tantangannya.”
           “Berarti, kalo Veldo kalah lo mau jadi pacarnya Dodo? Kata lo, Dodo bukan tipe lo?”
           “Hey…, gue kan harus konsekuen!”
           Cowok itu manggut-manggut kayak orang bodoh.
Kalau mau jujur, Randu sebenarnya agak ragu dengan Veldo. Namun dia harus pegang 51 persen kemenangan untuk Veldo. Veldo memang jarang menang di Arena balap karena dia kurang yakin dengan kemampuannya sendiri.
           Dodo mendahului kijang itu, membuat Veldo gugup. Rahman meliriknya.
           “Vel…, Randu taruhannya. Sebagai teman lo gak mau kan Randu jatuh ke tangan si brengsek itu dan membuatnya tertawa menang?” Kata Rahman tajam namun dengan nada pelan.
           ‘Aduh…. Randu, kenapa juga lo pake terima taruan yang beginian?’ Guman Veldo. Ia menginjak gasnya berusaha menyalip mobil Dodo. Tentu saja ia tidak rela temannya pacaran dengan cowok sialan itu.Veldo berhasil mendahuluinya. Rahman melihat bendera lalu mengisyaratkan pada Veldo untuk berhenti sejenak agar ia bisa mengambil bendera itu. Detik berikutnya di ikuti sama Dodo. Saat Rahman masuk, Veldo gugup membuat Dodo berputar lebih cepat.
           “Kita akan menang.” Dodo tertawa. ”Mana bisa anak Mami itu ngalahin gue. Sepertinya Randu terlalu nyepelein gue. Masa gue di suruh turun dengan anak kunyuk itu?”
           “Lo bener Do.” Tambah temannya berusaha memanas-manasi Dodo.
           Rahman menghela napas. ”Kenapa lo biarin Dodo lewat? Jangan kecewain gue sama Randu sobat. Lo pasti bisa, gue yakin.” Rahman memberi semangat untuk Veldo.
           Veldo menarik napas panjang. Dan.. detik berikutnya mobil melaju seperti angin.
           ‘Ayo Vel…., buktiin kalo lo mampu. Rahman sama Randu aja percaya. Gue gak boleh ngecewain mereka.’ Bisik Veldo dalam hati. Detik selanjutnya Veldo berhasil melewati Dodo. Dodo geram lalu berbalik menyalip. Rahman kecewa. Dodo sudah bisa melihat bendera merah yang melambai di tangan temannya yang berdiri bersama Randu. Tapi sayang, saat Dodo merasa menang, ia lengah dan saat itulah Veldo berhasil mendahuluinya. Di detik terakhir, Veldo menang.
+++++
bersambung.... sob,


Selasa, 14 Mei 2013

Tanaya Bergejolak



BAB 1
                                        JAKARTA, API BARU SAJA MENYALA

       Angin Jakarta yang bercampur polusi tidak menghalangi indahnya pemandangan malam, cahaya lampu yang warna-warni menciptakan nuansa keindahan tersendiri. Jika kita melihat ke atas, gedung-gedung bertingkat, apartemen dan mall akan membuat mata takjub menatapnya, tetapi itu hanyalah karya tangan anak manusia. Di bawah jembatan layang ada ratusan anak manusia yang hidup dengan cara mereka sendiri, mereka hanya butuh makan untuk hidup bukan hidup untuk makan. Jika usaha dan kerja keras serta doa bisa mengubah kehidupan mereka, mungkin hidup mereka sudah lama berubah lebih baik. Indonesia adalah alam yang kaya tapi mengapa penduduknya miskin?
      Kesenjangan sosial terlihat begitu nyata, dunia hanya milik orang-orang pintar yang berduit bukan milik orang pintar yang jujur. Uang bisa membeli cinta, kegadisan bisa diperjualbelikan…. Namun Tanaya hidup hanya untuk menaklukkan hati laki-laki.
                                                                            *

      Seorang wanita baru saja keluar dari mobil sedan ia mengenakan sepatu hak tinggi dengan warna hitam warna senada pula dengan mobilnya, seakan memperlihatkan bentuk sepasang kakinya yang putih dan indah serta jenjang dan berhiaskan rambut-rambut halus yang lembut. Rambutnya lurus agak berombak, wajahnya oval. Ia melangkah memasuki ballroom hotel, dengan gaun malam yang indah dan mahal membuat tubuh itu semakin terlihat ideal. Wajahnya yang memesona seakan menjadi mutiara yang menyilaukan ruangan mewah yang dipenuhi oleh para eksekutif muda metropolitan.
      Semua mata pria nyaris mengalihkan pandangan ke arah sosok yang bagaikan magnet malam itu, yang seakan mampu menyedot kelemahan pria dan membobolkan kesetiaan mahluk yang berjenis laki-laki. Separuh wanita yang sedang duduk bersama pasangan mereka menjadi terpaku, takjub, iri dan berharap  agar tubuh mereka bisa se-ideal itu,  serta tidak lupa berharap agar wanita itu tidak jadi masuk ke dalam ruangan. Satu dua wartawan mengambil gambar wanita itu.
      Seorang pria maskulin beranjak dari kursinya untuk menjemput wanita yang menjadi bidadari malam itu dan membuat pria yang ada di sana sontak kaget dan patah hati saat melihat si maskulin mengecup pipi si wanita dengan lembut.
      “Selamat malam, Sayang… kamu hampir saja terlambat.” Dia menggandeng tangan wanita itu namun si wanita hanya menciptakan senyuman dan mengikuti langkah si maskulin tanpa melirik ke kiri atau pun kanan, sepertinya si wanita semampai itu sudah banyak belajar tentang kepribadian. Pria itu mempersilahkannya untuk duduk.
      Ada sepasang mata yang dari tadi tidak pernah lepas dari sosok itu, ia mengamati setiap gerak-geriknya, menyimak cara wanita itu memegang gelas, menyimak senyumnya dan menikmati mata coklat itu. Ia duduk tepat dua meja di depan si wanita. Saat wanita itu mengangkat wajahnya dan matanya langsung bertemu pada sepasang mata yang dari tadi merekam wajahnya dengan memori yang mulai rusak. Sedetik wajah si wanita berubah namun detik berikutnya ia mengalihkan wajahnya pada pria yang di sampingnya yang sedang memegang gelas wine. Si wanita menyentuh gelas si pria untuk toast, keduanya tersenyum lalu meneguk minuman mahal itu.
      Di sisi panggung, seorang pianis muda sedang menekan tuts-tuts pianonya hingga menghasilkan alunan nada yang indah. Malam itu adalah acara grand opening cabang baru perusahaan sebuah minuman dengan merk ternama, acara itu juga semacam syukuran bersama kerabat dekat sang pengusaha.
      Si wanita itu sedang pamit dengan teman dekatnya untuk ke kamar kecil, menit berikutnya pria yang tadi mengamatinya ikut menyusul ke belakang. Di persimpangan pintu toilet mereka bertemu dan pria itu menyapanya.
      “Maaf, sepertinya saya kenal dengan Anda. Kalau tidak salah nama Anda Tanaya, kan??” wajahnya penuh keyakinan dan terlihat sok akrab.
      “Maaf bung, Anda sepertinya salah orang, cara yang Anda pakai untuk berkenalan sangat
payah.” Ujar wanita itu dengan sangat tenang meski ada debaran aneh yang mengujam jangtungnya.
      “Oh, maaf kalau saya salah. Tapi saya tidak sedang coba berkenalan, Anda cantik sekali.” Pria itu terlihat serba salah, apalagi mendapati sikap si wanita sangat tidak mengenalinya. “Sekali lagi maafkan saya.” Tambahnya berusaha untuk tidak gugup.
      “Selamat malam.” Si wanita berlalu namun detik berikutnya ia berputar lagi dan si pria ternyata masih mengamatinya. “Tanaya? Tadi Anda menyebut nama Tanaya, siapa dia??” katanya ingin tahu.
      Si pria terlihat agak keberatan untuk menjawab. “Dia…, dia itu teman lama saya.” Ia coba tersenyum seindah mungkin namun berharap dalam hati kalau wanita yang dihadapannya itu bukanlah wanita yang ia kenal.
      “Oh, kalau begitu Anda sudah bertemu dengannya…mhmm.., maksud saya, semoga Anda cepat bertemu dengannya.” Si wanita meralat kata-katanya dengan cepat sebelum pria itu terperangah heran mendengar kata-katanya.
      “Terima kasih.” Pria itu mengulurkan tangannya. “Berteman?”
      Si wanita menyambut tangan si pria. “Tunlais.” Katanya dengan suara agak bergetar, bukan karena menyebut namanya tapi karena bersentuhan tangan dengan pria itu.
      “Tunlais?” pria itu mengulang lagi untuk memastikan pendengarannya. Wanita itu mengangguk. “Saya Toni. Toni Pratama.” Ia menyebut namanya dengan bangga. “Senang berkenalan dengan kamu Lais, tidak keberatan  kalau aku memanggil kamu hanya dengan, Lais?”
      Wanita yang ternyata bernama Tunlais itu hanya tersenyum misterius.
      API BARU SAJA MENYALA..!!!!    
                                                                        *

      Tunlais melepaskan sepatunya, meletakkan di rak sepatu lalu masuk ke kamarnya. Ia memandangi wajahnya di cermin yang super besar di kamar apartemennya. Lima tahun sudah ia menempati apartemen bagus itu. Ia mengamati seisi ruangan kamarnya, semua barang berada di tempat semestinya. Tempat tidur yang berukuran besar dan sangat rapih. Sekilas ingatannya melayang pada peristiwa sepuluh tahun silam…, suara tangisan bayi melengking dan menjerit-jerit seakan-akan ingin merobek-robek gendang telinganya. Tunlais menutup kedua telinganya dengan kedua tangannya. Jeritan itu tertahan. Lalu ia berjalan ke kamar mandi dan menyalakan shower.
      Sepuluh tahun lebih telah berlalu, namun peristiwa itu seakan baru saja terjadi beberapa detik yang lalu, lukanya berdarah dan tidak akan pernah kering. Sehabis mandi Tunlais mencuci pakaiannya dan mengeringkan rambutnya serta mengelap seluruh tubuhnya. Ia mengenakan pakaian tidur, membersihkan tempat tidurnya dan setelah yakin semuanya bersih baru ia merebahkan tubuhnya. Tunlais tidak bisa tidur, ia gelisah dan hanya membolak-balikkan badannya, pikirannya melayang entah ke mana, mengembara dan…  API ITU MAKIN MENYALA!!!
---
htx
bersambung...>>>

Firan Firana



“Seorang teman sejati akan menghangatkan kita dengan kehadirannya, akan mempercayakan setiap rahasianya dan akan selalu mengingatkan kita di dalam setiap doanya.”
     
      Ketulusan mampu melewati rintangan.
      Kasih sahabat tidak punya bentuk atau wujud,
      Ibarat angin yang bisa dirasa.
      Ibarat matahari yang selalu muncul di setiap pagi tanpa diminta.
      Ibarat ombak yang selalu menghanpiri pantai,
      Yang memberi keindahan di pasir.
**

FIRAN $ ROSSI.     
      Firan baru saja memarkir jeepnya di parkiran kampus. Di sebelahnya terlihat seorang wanita yang baru saja keluar dari sedan merah. Sesaat ia mengamati wanita itu, sosok itu masih sangat asing di matanya juga di kampus itu. Sosok yang sangat menarik perhatian. Namun yang menonjol di mata Firan adalah daya pikat yang di pancarkan gadis itu, alami namun dahsyat. Tapi Firan tidak mau ambil pusing. Firan keluar dari jeepnya, ia berjalan dengan tas selempangnya. Firan melihat sebuah famplet yang tergeletak di halaman kampusnya. Ia meraihnya. Ternyata gambar anak Band yang akan meluncurkan album barunya. Lima wajah anak muda terpampang di sana. Mata Firan tertuju pada seseorang yang memegang gitar. Pria itu terlihat beda dari yang lain. ‘The Lai Band’. Itu nama grupnya.
      “Hai…?” telinga Firan mendengar suara menyapa agak setengah memanggil, namun tak begitu mempengaruhinya. Ia terus melangkah sebab banyak mahluk lain di sekitarnya yang suka iseng memanggil. Detik berikutnya terdengar langkah-langkah kaki di belakangnya lalu. ”Hai, tunggu….!” Bersamaan dengan itu sebuah tangan menyentuh bahu Firan. Firan membalikkan badannya. O o o mahluk asing itu ternyata sedang tersenyum pada Firan dan sejenak menatap Firan. Firan mengenakan celana jins, sepatu kets dan kaus berlengan panjang seakan  memperlihatkan seluruh bentuk tubuhnya yang sintal, rambutnya sebahu. ”Ng… maaf, saya anak baru. Kamu orang pertama yang saya lihat di kampus ini.. jadi..” gadis itu mengulurkan tangannya… ”Saya Rossi R.O.S.S.I.”
      Firan menyambut tangan Rossi. ”Kalau begitu  selamat datang, gue F.I.R.A.N.”
      Rossi tersenyum. Firan melepas tangannya kemudian berlalu.
      “Firan, gue fakultas hukum. Lo?” Rossi coba berjalan di sebelah Firan.
      “Hukum.” Jawab Firan pendek. Mereka melewati Taman kampus yang otomatis melewati anak-anak nongkrong yang terkenal dengan keahliannya menggoda para cewek.
      Suittt!! Suit!!!
Itu suara mulut usil yang bersiul nakal. Rossi menoleh sejenak dari arah datangnya suara. Seorang pria mengedipkan matanya kepada Rossi. Rossi langsung fokus lagi dengan Firan. Tak lama kemudian seorang pria sudah berdiri di depan Firan dan Rossi, sehingga membuat kedua gadis itu berhenti melangkah.
      “Hei… Firan, tumben lo punya temen? Anak baru ya, kenalin kita dong..!” pria itu mengulurkan tangannya kepada Rossi. Firan meneruskan langkahnya, sementara Rossi meladeni cowok itu untuk berkenalan.
      “Danu.”
      “Rossi.” Ia menyimak cowok itu sesaat, tampang playboy tulen.
      “Rossi, kamu cantik sekali.”
      Bah!! Basi banget. Ucapan biasa bagi cowok seperti Danu.
      “Terima kasih.”
      Terdengar suara tawa anak-anak dari taman dan suara suitan berkali-kali. Rossi berani taruhan, bahwa mereka itu semua adalah teman-temannya Danu. Rossi memutuskan untuk melangkah menyusul Firan tapi gadis itu sudah tidak terlihat lagi di mana batang hidungnya. Sementara Danu mengikuti langkah Rossi.
      “Lo pindahan dari mana?”
      “Kok tahu kalo gue anak baru?” katanya sepintas tanpa melihat ke arah Danu karena matanya masih mencari-cari keberadaan sosok Firan.
      “Jelas tahu dong! Karena gue punya daftar nama cewek-cewek di kampus ini.” Suara Danu terdengar bak playboy tangguh yang seakan sudah mengencani separuh dari cewek kampus itu.
      “O, begitu ya? Kalo begitu gue termasuk di nomor berapa nih?” Rossi coba menyesuaikan diri.
      Danu tertawa. ”Di nomor terakhir dan tertulis di hati.”
      Bahh!! Kumat lagi!
      Rossi tersenyum. Sekilas ia melirik Danu. ”Sorry, gue mo cari Firan dulu.” Ia coba menghentikan langkah Danu yang terus mengikutinya.
      “Hei! Lo itu tidak cocok berteman dengan mahluk langka satu itu.. yang ada ntar lo jadi ikut-ikutan aneh.” Kata Danu dengan nada setengah berteriak.
      Rossi tidak menghiraukan kata-kata Danu. Cowok bermulut ember. Pikirnya.

      Sampai jam istirahat pun Rossi belum juga menemukan Firan. Anak-anak coba berkenalan untuk lebih dekat dengan Rossi. Apalagi para cowoknya,  padahal saat memperkenalkan diri di depan kelas tadi Rossi sudah menyebutkan semua tentang dia, kecuali nomor ponselnya.
      “Ada film baru, gue belum sempat nonton. Mau nggak ntar malam temenin gue nonton?” Rossi melirik cowok yang sudah duduk di sebelahnya.
      “Maaf, mungkin lain kali.” Jawab Rossi seadanya dan tidak bermaksud menyinggung cowok itu.
      Huuuu!!!
Suara anak-anak menyoraki playboy di kelas mereka. Cowok mungil itu senyum-senyum sembari memainkan rambutnya yang agak gondrong. Rossi hanya menebarkan senyum persahabatan untuk semuanya tanpa harus pandang siapa mereka dan latar belakangnya. Rossi bukanlah tipe cewek tebar pesona. Sebab tanpa dia lakukan itu pun pesonanya sudah merebak dengan begitu cepat. Kini ia berusaha keluar dari kerumunan cowok-cowok yang dari tadi berlomba menampilkan pesona masing-masing. Berlomba terlihat spesial dan tak ayal satu dua cewek menatap sinis pada Rossi. Dampak itu tidak Rossi sadari.
      Rossi menyapu pandangannya ke sisi kelas. Di pojok kelas terlihat  seseorang yang sedang asyik membaca sesuatu di tempat duduknya. Wajahnya tertutup oleh buku yang lagi dibacanya. Namun Rossi mengenali kaus lengan panjang itu, lalu ia pun berjalan ke pojok. Duduk di sebelahnya dan melirik buku apa yang sedang orang itu baca. MELANNIE.
      “Suka misteri ya? Soalnya serius banget sampai seperti berada di dunia lain. Novel MELANNIE itu kan karya penulis luar. Gue sih belum pernah baca, tapi kata temen gue yang sudah baca. Katanya tentang cewek vokalis Band gitu. Dia meninggal karena over dosis, benar begitu?”  celoteh Rossi membuat orang itu menutup novelnya. Sepertinya ia tidak suka ada yang bercerita tentang isi novel yang lagi ia baca. Ia menatap Rossi sekilas dan Rossi tersenyum. Rossi pun meneruskan kata-katanya. ”Tadi waktu gue sedang ngenalin diri di depan kelas gue gak liat lo di sini. Baru masuk apa tadi sedang tiduran?”
      “Kenapa?” kata orang itu tanpa melihat ke arah Rossi. ”Lo nyariin gue?”
      Rossi mengangguk. ”Ya. ke kantin yok, gue belum tahu kantin kampus ini.”
      “Keluar, belok kanan, lurus lalu belok kanan lagi.” Setelah berkata begitu gadis itu membuka novelnya kembali.
      “Fir.. temenin dong… anak-anak cowok di sini kan suka iseng banget, gue serba salah, di ladenin ngelunjak. Kalo gue diem ntar di kira sombong. Oya, gue minta nomor ponsel lo dong, boleh ya?”
      “Ga punya.” Pelan dan singkat.
      “Halloo Rossi..!?” suara Danu muncul dari pintu kelas. Dia beda kelas dengan Rossi dan Firan. ”Di kelas aja,  ke kantin yok.. masa gak laper?” ia sudah di depan Rossi. Rossi melirik Firan. Firan masih asyik dengan dunia novelnya.
      “Ya sih… tapi ntar aja deh…” kata Rossi agak tidak enak dengan Firan juga Danu. Danu malah duduk di depan Rossi dan dengan santainya ia meraih tangan Rossi dan coba menggenggamnya. Rossi menarik tangannya dengan cepat namun halus agar Danu tidak tersinggung.
      “Sudah punya cowok?” ujar Danu seperti bicara pada anak gadis usia tiga belas tahun. Firan melirik Rossi sepertinya ia merasa terganggu dengan pembicaraaan mereka. Rossi merasa bersalah karena ia sadar Firan terganggu konsentrasi membacanya.
      “Maaf Dan… gue mau bicara berdua dengan Firan dulu ya…”
      “Oke, silahkan.” Danu beranjak. ”Gue tunggu di kantin ya..?” ia masih berharap untuk bertemu Rossi di kantin. Rossi menghela napas lega setelah Danu meninggalkan kelas. Kembali ia melirik Firan yang masih serius membaca. Lalu Firan berkomentar  lagi-lagi tanpa menoleh ke wajah Rossi sedikit pun.
      “Jangan terlalu ramah sama orang, keramahan terkadang suka disalah artikan. Hari ini gue gak ke kantin karena gue puasa.” Tutur Firan pelan tanpa bermaksud apa-apa. Mendengar itu membuat Rossi tersenyum amat manis. Kata-kata yang baru keluar dari mulut Firan ia rasakan sangat berarti di telinganya. Hari pertama yang INDAH.
 ----
htx
bersambung....>>>


Deburan Ombak di Tepi Pantai



NOVEL
           Gelombang ada di tengah samudra,
           Sang angin menggiringnya ke tepian.
           Hingga terhempas di pasir.
           Sebelumnya menciptakan gulungan indah… yang menakjubkan.
           Setelah ombak pecah pun….

                    ia masih menciptakan garis-garis cinta di atas pasir.
                    Setiap deburan ombak mengumpamakan cinta….

            Adakah yang mampu menghentikan deburan itu….???
           Wahai kau cinta ……, kau tak terlihat  tetapi bisa di rasa….,
           Kau tidak di perjual belikan tetapi harga mu tak ternilai..
           Kau tidak pernah mati meski Bumi luluh lantak
 
                                Kau tak di cari tetapi kau akan datang….
                                Kau bisa mewarnai hati tapi kau juga akan menghancur leburkan hati.
                                Ada dendam karna ada kau…..
                               Ada luka juga  karna ada kau…….

            Ada tawa dan air mata juga karna kau….dimana dan siapa kau…!!!
           Ternyata keberadaan mu tak lebih dari sekedar rasa….!!!!!
            Rasa takut karna memiliki mu. Rasa bersalah, rasa bangga dan semua rasa di..
           benak serta pikiran….juga hatisemua karna kamu….!!!!
@@@@



CINTA UNTUK LUKA, MANIS UNTUK PAHIT, SESAAT UNTUK SELAMANYA    DAN….,   MEMBERI UNTUK KEHILANGAN……@@@

                                 DEBURAN
                                   OMBAK
                                               DI
                                                    TEPI
                                                             PANTAI
                         

                                                             
           Riana adalah seorang guru bidang study Bahasa Indonesia di SMU swasta Jakarta, memiliki
perawakan yang menarik dengan fostur 172 cm, ideal dengan rambut  hitam sebahu, wajah oval, gigi putih dan berginsul menambah pemanis senyumnya. Usianya 27 tahun kini.
Dengan status single, ramah juga di kenal dekat dengan murid-muridnya. Tinggal sendirian di tempat kost dengan jarak lebih kurang 1 km dari gedung Sekolah tempatnya mengajar.
           Pagi itu pukul 05.15 seperti biasanya Riana bangun, ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu, setelah selesai sholat, bikin kopi instans kemudian nasi goreng dengan bumbu instans pula, lalu mandi. Setelah itu menikmati sarapan paginya di depan televisi. Seorang penyiar cantik dan smart membaca berita ulang tayangan keganasan gelombang Tsunami di Aceh yang nyaris meratakan Banda Aceh tepat tanggal 26 desember 2004, kejadian itu nyaris 7 tahun yang lalu, namun dahsyatnya tidak akan terlupakan oleh seluruh rakyat Indonesia, khususnya warga Aceh sendiri.. Dengan perkiraan menewaskan delapan puluh ribuaan warga Aceh dan Sumatera Utara.  ‘Apakah Alam sudah enggan bersahabat dengan Manusia ?’ Bathin Riana.
           Riana beranjak dari depan televisi, ia menuju kamar mandi untuk mengosok gigi lagi kemudian dandan ala kadarnya. Riana mengenakan lengan pendek dan rok warna krem. Riana meraih tas, sepatunya dan terakhir mengunci pintu kontrakannya. Ia keluar melewati gang kecil dan menunggu angkot.
         Riana masuk pelajaran jam pertama di kelas 3B, ada 35 siswa 15 pria dan 20 wanita. Kemaren di ruang guru  ia sempat mendengar bahwa di kelas itu akan kedatangan murid baru dari luar negeri.
           “Pagi, Bu…… “ Suara anak-anak menyambut kedatangan Bu Riana.
           “Pagi………..” Seperti biasa pula ia menjawab sembari berjalan ke arah mejanya.
Seorang murid yang duduk paling pojok belakang menatap Riana dengan penuh simpati, kagum bahkan merasa jatuh cinta dengan sosok wanita yang berdiri di depan kelas itu, Gila !!!
Riana mengambil buku absen.
           “Apa ada yang tidak masuk hari ini?“
           “Ada Bu …ehh maksud saya ada murid baru, Bu…“ jawab ketua kelas, seorang wanita.
           Riana merasa bersyukur setiap mata pelajarannya jarang ada murid yang absen. Sekilas ia menyapu pandang ke wajah murid-muridnya, detik berikutnya seorang murid yang paling pojok berdiri lalu memberi anggukan kecil.
           “Selamat pagi Bu…  “
           Bisa Riana tebak fostur anak itu di atas 180 dengan rambut cepak, menawan juga atletis.“Pagi…“
           “Apa saya perlu ke depan untuk memperkenalkan nama saya ?“ Tanya anak itu dengan sopan sekali.
           “Tidak perlu, cukup dari sana saja.“ Riana menyandar di tepi mejanya.
           “Nama saya Jagat, pindahan dari….. “
           “Katanya sih pindahan dari negeri paman Sam.“ suara anak perempuan nyeletuk. Riana melirik ke arah anak itu sekilas lalu kembali ke Jagat. Anak-anak riuh.
           “Duduklah. Selamat datang di sekolah ini.“ Riana merasa tidak perlu membuang-buang waktu di jam pelajarannya. Uruasan Jagat berasal dari Negara mana pun tidak begitu penting. Riana mengajar dengan santai, tegas terkadang di selingi dengan candaan ringan. Hampir semua murid menyukai Riana karena cara mengajar Riana tidak membosankan.
           Harin pertama Jagat bertemu Riana membuatnya tidak mampu konsentrasi untuk menyerap ilmu yang di berikan karena sibuk mengamati setiap gerakan Riana. Jantungnya berdebar aneh setiap kali melihat mata indah milik Riana. Jam istirahat Jagat bertanya tentang Bu Riana kepada teman sebangkunya. Yang bernama Boby.
           “Lo naksir bu Riana, ya? “
           “Huussstt… “ Jagat memegang mulut Boby teman sebangkunya itu lalu menatap sekeliling, untung seisi kelas sudah keluar “ Bicaranya pelan-pelan kenapa.”
           “Sorry bro…habis dari tadi gue ngeliat lo ngga ngikutin pelajaran. Bu Riana itu tidak pernah kompromi lho dalam urusan nilai. Hati-hati aja Lo.“ Boby tertawa. Jagat tersenyum dan Boby tidak tahu apa arti senyum itu.
           “Oke, gue ke belakang dulu ya.“ Jagat meninggalkan Boby yang bengong kayak sapi ompong. Jagat menyusuri teras sekolah mencari ruang guru untuk bertemu Riana. Dia ingin mengatan sesuatu yang baik karna yang baik tidak boleh di tunda. Itu Motto Jagat. Ia mengetuk pintu ruang guru yang sedikit terbuka.
           “Permisi Pak.“ Sapa Jagat setelah seorang guru menoleh ke arahnya.
           “Mencari siapa? “
           “Bu Riana.“
           “O, ya terus aja..ada di meja nomor 7.”
           “Terima kasih pak.“ Jagat melewati guru yang berusia sekitar empat puluhan itu. Ia melewati meja yang di batasi rak buku. Setelah tiba di meja nomor 7 dia terpaku sesaat untuk menatap Riana.yang sedang membaca sesuatu. Menyadari ada yang muncul Riana mengangkat wajahnya dan mendapatkan Jagat sudah berdiri di seberang mejanya, menatapnya seraya tersenyum.
           “Siang Bu….“
           “Siang, ada apa? silahkan duduk.“
Jagat menarik kursi di sampingnya lalu duduk di sertai tarikan napas panjang.
           “Ada perlu apa?“
           “Mmm….saya, saya menyukai Bu Riana.“ ujar Jagat bak Pangeran mengucapkan cinta kepada sang Putri. Kedua alis Riana bertaut, ia menyimak wajah Jagat setengah bingung. “Saya jatuh cinta sama kamu, saya mencintai kamu Riana.“ Tambah Jagat dengan menyebut nama Riana tanpa awalan ‘Bu’ Riana tak kuasa menahan tawanya. Ia geleng-geleng kepala sambil tersenyum kecil.
           “Terima kasih Nak, ibu menghargai kata-katamu. Sekarang kembalilah ke kelas.“
           Jagat berdiri, ia menatap Riana begitu dekat lalu berkata pelan. “Saya sangat sungguh-sungguh dengan ucapan saya.“ Setelah berkata seperti itu ia pun meninggalkan ruang guru, meninggalkan Riana yang kebingungan.
           ‘Ya Tuhan mimpi apa aku semalam? Siang-siang begini ada murid yang mengatakan perasaannya, di ruang guru lagi. Benar-benar aneh.‘ Riana menghela napas kemudian tersenyum.
Setelah kembali ke kelas Jagat menarik napas lega. Beberapa siswi menghampirinya untuk ngobrol lebih dekat tetapi sayangnya yang ada di pikiran Jagat cuma Riana. Riana di matanya adalah sosok wanita sempurna.
---
htx
bersambung...........>>>