*
Di kamarnya, Cathy sedang menyimpan
foto-fotonya bersama Vhaiza yang diambil saat ia menemani Vhaiza dan ada juga
yang dari majalah yang memuat dia dan Vhaiza. Dia seorang teman, itu pengakuan
Vhaiza. Baru beberapa minggu, Vhaiza sudah mendaulatnya sebagai teman. Bukankah
untuk menjadi seorang teman itu tidaklah gampang? Karena teman sejati tidak
bisa ditemukan di sembarang tempat. Sebab ada yang bilang, mendapatkan teman
sejati tidaklah segampang mencari uang. Ada rasa bangga di hati Cathy namun
belum bisa menutupi rasa malunya. Dia akan kembali ke Amerika dan membawa foto
kenangannya dengan Vhaiza. Ia memasukan fot-foto itu ke dalam kopernya saat
Vhaiza muncul di kamarnya. Cathy menoleh ke pintu.
“Hai…” sapa Cathy sebelum Vhaiza
berbicara atau menyapanya duluan.
“Boleh masuk?” Vhaiza memandang koper
yang sudah siap di sebelah Cathy. Cathy memperbaiki posisi duduknya dan
mengangguk. Vhaiza mendekat dan duduk di sebelah Cathy.
“Cathy…” ia menarik napas sejenak. ”Terus
terang, aku menyukai kamu. Malam ini, aku ingin kamu ngobrol dengan Agoy.”
“Untuk apa?” Tanya Cathy heran.
“Bukan untuk apa-apa, hanya ingin kamu
ngobrol bersama saja.”
“Jangan mulai lagi Vhaiza…” pinta Cathy.
“Tolonglah, Agoy sudah menunggu kamu di
ruang studio.”
“Tidak!”
“Tolonglah, apa harus aku panggil dia
ke sini?”
“Vhaiza…!” Cathy mulai memarahi wanita
itu.
“Aku tahu, apa yang aku lakukan.”
“Apa kamu sedang memaksa aku?”
“Jangan bilang seperti itu, aku hanya
meminta. Aku mohon…” ucapnya dari hati yang paling dalam. Cathy menghela napas
panjang.
Vhaiza itu seperti bayi, sulit sekali
untuk menolak permintaannya. Ketulusannya membuat orang tidak berdaya, seperti
yang dialami Cathy saat ini.
Beberapa menit kemudian, Cathy sudah
ada bersama Agoy.
Vhaiza meninggalkan pesan di kamarnya.
Malam itu ia memutuskan untuk menginap di rumah orang tuanya. Kedatangan Vhaiza
malam-malam tanpa ditemani Agoy membuat Mamanya menduga yang bukan-bukan.
Bukan pers tidak mencium adanya
ketidakberesan hubungan Vhaiza dengan Agoy selama ini. Tapi belum ada yang
menemukan fakta yang benar-benar akurat. Kalau menduga Agoy punya hubungan
dengan wanita lain hanya karena tidak memiliki keturunan dengan Vhaiza,
sepertinya itu terlalu mengada-ngada. Karena tidak sedikit orang di dunia ini
tidak memiliki keturunan di dalam pernikahan mereka.
Kehadiran Cathy, sebagai keluarga dari
Agoy dan sekarang telah menjadi teman Vhaiza sangatlah masuk akal karena Agoy
memang besar di luar.
*
Di rumah orang tua Vhaiza. “Sayang…
segala sesuatunya bisa dibicarakan, tindakan kamu ini salah. Walau pun kamu
meninggalkan pesan dan tetap saja tidak akan bisa menyelesaikan masalah.” Mama
Vhaiza mengingatkan anaknya apalagi ada Cathy di rumah itu.
“Mama.. Ais dan Agoy tidak sedang
mengahadapi masalah apa-apa, Ais lagi pengen nginap di sini saja, percayalah.
Besok sebelum terang, Ais akan kembali.” Ia coba meyakinkan Mamanya.
Wanita itu menatap anaknya, ia yakin
kalau Vhaiza sedang menghadapi cobaan berat, ia hanya bisa berdoa agar anaknya
diberi kekuatan dan jalan keluar yang terbaik. Ia membiarkan Vhaiza menikmati
apa yang ia inginkan saat ini.
“Kamu tahu kan, kalau kata hati itu
yang paling benar? Naiklah ke kamarmu. Mama di bawah, jika kamu butuh sesuatu.”
Ia memeluk anaknya sesaat.
“Terima kasih ya Ma…” ia menatap wanita
bijak itu dan memang ia lagi butuh untuk sendiri. Dengan langkah pelan ia
meninggalkan Mamanya menuju kamarnya di atas. Ia duduk di teras kamarnya.
Perasaannya tak menentu, ia sendiri tidak yakin apakah yang ia lakukan saat ini
benar atau tidak? Ia menatap langit, bintang bertaburan indah namun tidak
seperti suasana hatinya. Hatinya sedang ada bersama Agoy dan Cathy.
‘Tuhan… bantulah aku memecahkan persoalan
ini, aku tidak tahu lagi usaha apa yang harus aku tempuh? Aku tahu ini sangat
sulit dan berat serta mengorbankan diriku sendiri namun aku ikhlas, jika ini
keinginan Engkau.. Engkau tahu yang terbaik untuk umatMu.’ Vhaiza memejamkan
matanya beberapa detik. Sesaat berikutnya ia masuk ke kamarnya. Tiduran, duduk
dan berkali-kali seperti itu.
Sementara Agoy dan Cathy sedang ngobrol
di teras atas, ia tidak setuju ngobrol di studio mini Vhaiza. Karena ruangan
itu tempat Vhaiza mengembangkan inspirasinya. Sebelumnya ia tadi sempat ke
kamar dan menemukan secarik kertas tulisan Vhaiza di atas tempat tidur mereka.
‘Sayang…
malam ini aku menginap di rumah Mama. Tidak usah telepon ya, besok pagi sebelum
terang aku pasti sudah kembali. Maafkan
aku karena pergi tanpa seizin kamu.’
Vhaiza.
Vhaiza jarang meninggalkan pesan
seperti itu, jika pun ya, maka ia akan menuliskan kata-kata ‘with love’ sebelum nama Vhaiza di bagian
bawah pesan.
Agoy menghela napas berat seperti
halnya Cathy, ia tadi juga tidak bisa menolak keinginan Vhaiza dan ia tidak
menyangka kalau Vhaiza punya rencana akan meninggalkannya bersama Cathy di
rumah.
Agoy mengajak Cathy ke dapur untuk
membuat kopi, setelah itu mereka ngobrol di tepi kolam renang. Di sana Agoy memperlihatkan
pesan Vhaiza untuknya. Cathy membacanya sejenak. Ia menatap Agoy sekilas lalu
mendesah berat.
“Sudah tujuh belas tahun aku
meninggalkan Jakarta dan baru sempat lagi datang ke sini. Di sini aku menemukan
seorang wanita yang begitu kuat, setia, sabar, berbakat dan mulia. Siapa pun
yang dekat dengannya, adik, kakak, suami dan temannya pasti bangga pernah
menjadi bagian dari hidupnya. Setiap wanita di dunia ini berharap akan
melahirkan anak seperti dia…” tutur Cathy panjang lebar.
“Kamu sudah menemukan jawabannya kenapa
aku tidak mau meninggalkan dia, kan? Aku bisa hidup tanpa anak namun aku tidak
bisa hidup tanpa Vhaiza.”
“Tapi Vhaiza tidak menyadari hal itu,
aku sama sekali tidak menyangka kalau ia masih saja bersikap seperti itu. Aku
tidak tahu kalau dia merencanakan kita untuk ngobrol malam ini. Dengan
konyolnya ia membiarkan kita bersama dan dia pergi dengan seenaknya tanpa
memikirkan perasaanku.” Kata Cathy agak marah dengan sikap Vhaiza lalu melirik
Agoy.
“Aku juga…” kilah Agoy datar.
“Kamu tahu Arron…? Vhaiza ternyata
menginginkan aku menjadi sahabatnya.” Nada suara itu mengandung kebanggaan dan
bahagia seolah merasa diakui sebagai teman.
“Tapi sebelumnya dia menginginkan kita
bersama lagi, kan? Bahkan mungkin hingga detik ini.” Sahut Agoy kemudian.
“Aku mengerti perasaannya. Dengan usia
kami yang terpaut satu tahun, rasanya ingin sekali menjadi kakak untuknya. Dia
begitu manis…” Cathy meneguk kopinya. ”Aku harus menelepon dia, aku tidak ingin
ia mengira kita berbuat sesuatu di sini.” Ujarnya kemudian.
“Percuma., dia tidak akan menjawab telepon
kamu, percayalah”
“Aku harus mencobanya! Apalagi dia itu
temanku.” ia memaksa.
“021 547 8173 pesawat kamarnya 7.” Agoy
menyebut nomor yang harus Cathy hubungi. Ia mengangguk. ”Coba saja.” katanya
kemudian.
Cathy mengambil gelas kopinya dan
membawanya ke kamarnya, ia pamit sama Agoy. Lalu tiba-tiba ia berbalik lagi
pada Agoy. Dia berubah pikiran.
“Aku pinjam mobil kamu.” Ia meminta
kunci mobil Agoy setengah memohon.
“Kamu bisa nyasar Cath… ini bukan Paris
atau Amerika. Di Jakarta jalannya tidak beraturan, macet dan banyak sekali
persimpangan.” Agoy memperingatinya.
“Aku pernah ke rumah orang tua Vhaiza dan
kalau ragu aku akan menghubungi kamu, jangan pernah matikan ponsel kamu, oke.”
Printahnya.
“Sepertinya bukan laki-laki saja yang
nekad.” Agoy menyerah.
Cathy merasa tidak akan bisa tidur jika
tidak melakukan sesuatu. Kalau Vhaiza tidak mau menerima telepon darinya maka
dia harus menemui Vhaiza. Sepertinya tidak mungkin Vhaiza tidak mau membuka
pintu untuknya.
Tidak sampai setengah jam berikutnya Cathy
menelepon Vhaiza dan anehnya wanita itu
mengangkatnya. Dia melihat
jam di dindingnya sudah menunjukkan hampir pukul setengah sebelas.
“Halloo…” kata Vhaiza setelah menghela
napas sebelumnya.
“Aku ada di depan rumah Ibu kamu saat
ini, sendiri.” Kata Cathy pelan. Vhaiza mengangkat wajahnya, ia menoleh ke arah
depan rumah dengan menyibak hordeng sedikit. Ada mobil Agoy di sana.
“Masuklah…” suara itu tanpa kesan satu
menit lebih kemudian Cathy sudah muncul di kamar Rhaissa. Vhaiza tersenyum
namun Cathy menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Tidak bisa tidur ya? Makanya aku ke
sini karena aku juga tidak bisa tidur.”
“Masuklah.” Ajak Vhaiza. Mereka duduk
di atas sofa yang ada di kamar itu. ”Mau aku ambilkan kopi?” kata Vhaiza merasa
sedikit bersalah dan tidak enak dengan gadis itu.
“Aku barusan sudah ngopi bersama Arron
di rumah kamu, dia baik-baik saja.. kamu tidak usah khawatir.” Ia menoleh pada wanita yang ia kagumi itu.
“Kamu seharusnya tidak perlu ke sini.”
“Sepertinya aku yang pantas berkata
seperti itu untuk kamu.” Ia mengamati kamar sejenak.
”Kamar yang indah, ini pasti
dunia masa remaja kamu..” tebaknya.
Vhaiza masih tersenyum. ”Kenapa kamu ke
sini?” ia masih ingin tahu.
“Kenapa memangnya? Kamu keberatan kalau
malam ini aku tidur di sini?” ia memegang tangan Vhaiza dan mendesah pelan. ”Vhaiza…
kalau boleh aku sebenarnya ingin sekali menjadi kakak untuk kamu.”
“Tidak, kamu sudah punya seorang adik,
aku juga punya kakak dan adik. Lagi pula menurut aku, seorang teman yang baik,
kasih sayangnya bisa saja melebihi saudara sendiri.”
“Tapi sikap kamu tidak menunjukan
seperti itu.. mana ada seorang teman pergi tanpa bilang apa-apa. Katakan kenapa
kamu meninggalkan aku berdua sama Arron di rumah kamu? Apa itu menunjukan sikap
seorang teman? Kamu bilang mempercayaiku, padahal sebenarnya kamu masih sangat
meragukan aku… kenapa sikap dan omongan kamu tidak bisa menyatu? Apa ini berlaku
khusus padaku? Jika seperti itu, maka aku membenci kamu. Sangat membenci kamu.”
Kata Cathy tanpa menatap wajah Vahiza.
“Aku harus bagaimana? Katakan…” suara
dan nada itu seperti sedang berbicara kepada sahabat yang juga merangkap
sebagai kakak.
“Huuhh… aku menyesal datang ke
Jakarta.” Cathy menghempaskan punggungnya ke sandaran sofa.
“Aku yang salah… karena telah menikah
dengan Agoy.”
“Apa kamu bilang….?” Cathy tiba-tiba
mengembalikan posisi duduknya seperti semula tapi menatap wajah wanita itu
dengan seksama dan dengan cepat meraih wajah Vhaiza agar menatap matanya. ”Yang
bicara itu bukan Vhaiza yang aku kenal. Itu pantas diucapkan oleh wanita yang
sedang putus asa.. ada apa dengan kamu? Coba kamu lihat di sekeliling kamu,
semua mencintai kamu, menyayangi kamu, ribuan orang cemburu dengan kehidupan
kamu.. dengan kesuksesan kamu.. tidak ada satu pun yang ingin meninggalkanmu,
tidak ada yang ingin menyakitimu.. tidak seorang pun. Baik Arron atau pun aku.
Setelah aku pikir-pikir… kamu itu sebenarnya egois… dan berubah jadi wanita
yang paranoid.” Aslinya Cathy sudah keluar, sebagai wanita mandiri, sebagai
kakak dan wanita yang pekerja keras di Paris.
“Kamu tidak mengerti, dan tidak pantas
bicara seperti itu.” Keluh Vhaiza.
“Aku sangat mengerti… dan pantas bicara
begitu. Bukankah seorang teman melebihi saudara sendiri? Dalam arti tanda
kutip?” suara Cathy masih tinggi.
“Kamu menyakiti perasaanku Cath…” sahut
Vhaiza berusaha bersikap tegar.
“Kamu bahkan menginginkan lebih dari
itu dari aku, kan?” nada suara Cathy bicara seperti seorang kakak yang sedang
mengomeli adiknya.
Vhaiza bangun dari sofa. Ia berdiri di
belakang gorden yang tipis. Mungkin Cathy tersinggung dengan sikapnya, tapi ia
tahu kalau Cathy juga mencintai Agoy dan menginginkan pria itu, jadi tidak ada
salahnya kalau Vhaiza juga menginginkan yang terbaik unatuk mereka.
Hening beberapa saat, Cathy bersandar
di sofa lagi dan memejamkan matanya. Kalau dia sudah sayang dengan seseorang
dan orang itu melakukan kesalahan maka ia tidak segan-segan untuk memarahinya.
Itu mungkin yang belum dikenali Vhaiza dari sifat Cathy.
“Vhaiza, aku lapar… di dapur ada
makanan tidak?” katanya setelah agak lama diam.
Vhaiza menoleh pada Cathy yang sudah menatapnya lalu mengangguk. Cathy malah yang mengajak Vhaiza menuju dapur, =====
..........???
Tidak ada komentar:
Posting Komentar