Sabtu, 04 Mei 2013

Dilema Cinta



*
        Di kamarnya, Cathy sedang menyimpan foto-fotonya bersama Vhaiza yang diambil saat ia menemani Vhaiza dan ada juga yang dari majalah yang memuat dia dan Vhaiza. Dia seorang teman, itu pengakuan Vhaiza. Baru beberapa minggu, Vhaiza sudah mendaulatnya sebagai teman. Bukankah untuk menjadi seorang teman itu tidaklah gampang? Karena teman sejati tidak bisa ditemukan di sembarang tempat. Sebab ada yang bilang, mendapatkan teman sejati tidaklah segampang mencari uang. Ada rasa bangga di hati Cathy namun belum bisa menutupi rasa malunya. Dia akan kembali ke Amerika dan membawa foto kenangannya dengan Vhaiza. Ia memasukan fot-foto itu ke dalam kopernya saat Vhaiza muncul di kamarnya. Cathy menoleh ke pintu.
        “Hai…” sapa Cathy sebelum Vhaiza berbicara atau menyapanya duluan.
        “Boleh masuk?” Vhaiza memandang koper yang sudah siap di sebelah Cathy. Cathy memperbaiki posisi duduknya dan mengangguk. Vhaiza mendekat dan duduk di sebelah Cathy.
        “Cathy…” ia menarik napas sejenak. ”Terus terang, aku menyukai kamu. Malam ini, aku ingin kamu ngobrol dengan Agoy.”
        “Untuk apa?” Tanya Cathy heran.
        “Bukan untuk apa-apa, hanya ingin kamu ngobrol bersama saja.”
        “Jangan mulai lagi Vhaiza…” pinta Cathy.
        “Tolonglah, Agoy sudah menunggu kamu di ruang studio.”
        “Tidak!”
        “Tolonglah, apa harus aku panggil dia ke sini?”
        “Vhaiza…!” Cathy mulai memarahi wanita itu.
        “Aku tahu, apa yang aku lakukan.”
        “Apa kamu sedang memaksa aku?”
        “Jangan bilang seperti itu, aku hanya meminta. Aku mohon…” ucapnya dari hati yang paling dalam. Cathy menghela napas panjang.
        Vhaiza itu seperti bayi, sulit sekali untuk menolak permintaannya. Ketulusannya membuat orang tidak berdaya, seperti yang dialami Cathy saat ini.
        Beberapa menit kemudian, Cathy sudah ada bersama Agoy.
        Vhaiza meninggalkan pesan di kamarnya. Malam itu ia memutuskan untuk menginap di rumah orang tuanya. Kedatangan Vhaiza malam-malam tanpa ditemani Agoy membuat Mamanya menduga yang bukan-bukan.
        Bukan pers tidak mencium adanya ketidakberesan hubungan Vhaiza dengan Agoy selama ini. Tapi belum ada yang menemukan fakta yang benar-benar akurat. Kalau menduga Agoy punya hubungan dengan wanita lain hanya karena tidak memiliki keturunan dengan Vhaiza, sepertinya itu terlalu mengada-ngada. Karena tidak sedikit orang di dunia ini tidak memiliki keturunan di dalam pernikahan mereka.
        Kehadiran Cathy, sebagai keluarga dari Agoy dan sekarang telah menjadi teman Vhaiza sangatlah masuk akal karena Agoy memang besar di luar.
*
        Di rumah orang tua Vhaiza. “Sayang… segala sesuatunya bisa dibicarakan, tindakan kamu ini salah. Walau pun kamu meninggalkan pesan dan tetap saja tidak akan bisa menyelesaikan masalah.” Mama Vhaiza mengingatkan anaknya apalagi ada Cathy di rumah itu.
        “Mama.. Ais dan Agoy tidak sedang mengahadapi masalah apa-apa, Ais lagi pengen nginap di sini saja, percayalah. Besok sebelum terang, Ais akan kembali.” Ia coba meyakinkan Mamanya.  
        Wanita itu menatap anaknya, ia yakin kalau Vhaiza sedang menghadapi cobaan berat, ia hanya bisa berdoa agar anaknya diberi kekuatan dan jalan keluar yang terbaik. Ia membiarkan Vhaiza menikmati apa yang ia inginkan saat ini.
        “Kamu tahu kan, kalau kata hati itu yang paling benar? Naiklah ke kamarmu. Mama di bawah, jika kamu butuh sesuatu.” Ia memeluk anaknya sesaat.
        “Terima kasih ya Ma…” ia menatap wanita bijak itu dan memang ia lagi butuh untuk sendiri. Dengan langkah pelan ia meninggalkan Mamanya menuju kamarnya di atas. Ia duduk di teras kamarnya. Perasaannya tak menentu, ia sendiri tidak yakin apakah yang ia lakukan saat ini benar atau tidak? Ia menatap langit, bintang bertaburan indah namun tidak seperti suasana hatinya. Hatinya sedang ada bersama Agoy dan Cathy.
        ‘Tuhan… bantulah aku memecahkan persoalan ini, aku tidak tahu lagi usaha apa yang harus aku tempuh? Aku tahu ini sangat sulit dan berat serta mengorbankan diriku sendiri namun aku ikhlas, jika ini keinginan Engkau.. Engkau tahu yang terbaik untuk umatMu.’ Vhaiza memejamkan matanya beberapa detik. Sesaat berikutnya ia masuk ke kamarnya. Tiduran, duduk dan berkali-kali seperti itu.
        Sementara Agoy dan Cathy sedang ngobrol di teras atas, ia tidak setuju ngobrol di studio mini Vhaiza. Karena ruangan itu tempat Vhaiza mengembangkan inspirasinya. Sebelumnya ia tadi sempat ke kamar dan menemukan secarik kertas tulisan Vhaiza di atas tempat tidur mereka.
       
        ‘Sayang… malam ini aku menginap di rumah Mama. Tidak usah telepon ya, besok pagi sebelum terang aku pasti  sudah kembali. Maafkan aku karena pergi tanpa seizin kamu.’
                                                                                                                     Vhaiza.

        Vhaiza jarang meninggalkan pesan seperti itu, jika pun ya, maka ia akan menuliskan kata-kata ‘with love’ sebelum nama Vhaiza di bagian bawah pesan.
        Agoy menghela napas berat seperti halnya Cathy, ia tadi juga tidak bisa menolak keinginan Vhaiza dan ia tidak menyangka kalau Vhaiza punya rencana akan meninggalkannya bersama Cathy di rumah.
        Agoy mengajak Cathy ke dapur untuk membuat kopi, setelah itu mereka ngobrol di tepi kolam renang. Di sana Agoy memperlihatkan pesan Vhaiza untuknya. Cathy membacanya sejenak. Ia menatap Agoy sekilas lalu mendesah berat.
        “Sudah tujuh belas tahun aku meninggalkan Jakarta dan baru sempat lagi datang ke sini. Di sini aku menemukan seorang wanita yang begitu kuat, setia, sabar, berbakat dan mulia. Siapa pun yang dekat dengannya, adik, kakak, suami dan temannya pasti bangga pernah menjadi bagian dari hidupnya. Setiap wanita di dunia ini berharap akan melahirkan anak seperti dia…” tutur Cathy panjang lebar.
        “Kamu sudah menemukan jawabannya kenapa aku tidak mau meninggalkan dia, kan? Aku bisa hidup tanpa anak namun aku tidak bisa hidup tanpa Vhaiza.”
        “Tapi Vhaiza tidak menyadari hal itu, aku sama sekali tidak menyangka kalau ia masih saja bersikap seperti itu. Aku tidak tahu kalau dia merencanakan kita untuk ngobrol malam ini. Dengan konyolnya ia membiarkan kita bersama dan dia pergi dengan seenaknya tanpa memikirkan perasaanku.” Kata Cathy agak marah dengan sikap Vhaiza lalu melirik Agoy.
        “Aku juga…” kilah Agoy datar.
        “Kamu tahu Arron…? Vhaiza ternyata menginginkan aku menjadi sahabatnya.” Nada suara itu mengandung kebanggaan dan bahagia seolah merasa diakui sebagai teman.
        “Tapi sebelumnya dia menginginkan kita bersama lagi, kan? Bahkan mungkin hingga detik ini.” Sahut Agoy kemudian.
        “Aku mengerti perasaannya. Dengan usia kami yang terpaut satu tahun, rasanya ingin sekali menjadi kakak untuknya. Dia begitu manis…” Cathy meneguk kopinya. ”Aku harus menelepon dia, aku tidak ingin ia mengira kita berbuat sesuatu di sini.” Ujarnya kemudian.
        “Percuma., dia tidak akan menjawab telepon kamu, percayalah”
        “Aku harus mencobanya! Apalagi dia itu temanku.” ia memaksa.
        “021 547 8173 pesawat kamarnya 7.” Agoy menyebut nomor yang harus Cathy hubungi. Ia mengangguk. ”Coba saja.” katanya kemudian.
        Cathy mengambil gelas kopinya dan membawanya ke kamarnya, ia pamit sama Agoy. Lalu tiba-tiba ia berbalik lagi pada Agoy. Dia berubah pikiran.
        “Aku pinjam mobil kamu.” Ia meminta kunci mobil Agoy setengah memohon.
        “Kamu bisa nyasar Cath… ini bukan Paris atau Amerika. Di Jakarta jalannya tidak beraturan, macet dan banyak sekali persimpangan.” Agoy memperingatinya.
        “Aku pernah ke rumah orang tua Vhaiza dan kalau ragu aku akan menghubungi kamu, jangan pernah matikan ponsel kamu, oke.” Printahnya.
        “Sepertinya bukan laki-laki saja yang nekad.” Agoy menyerah.
        Cathy merasa tidak akan bisa tidur jika tidak melakukan sesuatu. Kalau Vhaiza tidak mau menerima telepon darinya maka dia harus menemui Vhaiza. Sepertinya tidak mungkin Vhaiza tidak mau membuka pintu untuknya.
        Tidak sampai setengah jam berikutnya Cathy menelepon Vhaiza dan anehnya wanita itu
mengangkatnya. Dia melihat jam di dindingnya sudah menunjukkan hampir pukul setengah sebelas.
        “Halloo…” kata Vhaiza setelah menghela napas sebelumnya.
        “Aku ada di depan rumah Ibu kamu saat ini, sendiri.” Kata Cathy pelan. Vhaiza mengangkat wajahnya, ia menoleh ke arah depan rumah dengan menyibak hordeng sedikit. Ada mobil Agoy di sana.
        “Masuklah…” suara itu tanpa kesan satu menit lebih kemudian Cathy sudah muncul di kamar Rhaissa. Vhaiza tersenyum namun Cathy menggeleng-gelengkan kepalanya.
        “Tidak bisa tidur ya? Makanya aku ke sini karena aku juga tidak bisa tidur.”
        “Masuklah.” Ajak Vhaiza. Mereka duduk di atas sofa yang ada di kamar itu. ”Mau aku ambilkan kopi?” kata Vhaiza merasa sedikit bersalah dan tidak enak dengan gadis itu.
        “Aku barusan sudah ngopi bersama Arron di rumah kamu, dia baik-baik saja.. kamu tidak usah khawatir.”  Ia menoleh pada wanita yang ia kagumi itu.
        “Kamu seharusnya tidak perlu ke sini.”
        “Sepertinya aku yang pantas berkata seperti itu untuk kamu.” Ia mengamati kamar sejenak.
”Kamar yang indah, ini pasti dunia masa remaja kamu..” tebaknya.
        Vhaiza masih tersenyum. ”Kenapa kamu ke sini?” ia masih ingin tahu.
        “Kenapa memangnya? Kamu keberatan kalau malam ini aku tidur di sini?” ia memegang tangan Vhaiza dan mendesah pelan. ”Vhaiza… kalau boleh aku sebenarnya ingin sekali menjadi kakak untuk kamu.”
        “Tidak, kamu sudah punya seorang adik, aku juga punya kakak dan adik. Lagi pula menurut aku, seorang teman yang baik, kasih sayangnya bisa saja melebihi saudara sendiri.”
        “Tapi sikap kamu tidak menunjukan seperti itu.. mana ada seorang teman pergi tanpa bilang apa-apa. Katakan kenapa kamu meninggalkan aku berdua sama Arron di rumah kamu? Apa itu menunjukan sikap seorang teman? Kamu bilang mempercayaiku, padahal sebenarnya kamu masih sangat meragukan aku… kenapa sikap dan omongan kamu tidak bisa menyatu? Apa ini berlaku khusus padaku? Jika seperti itu, maka aku membenci kamu. Sangat membenci kamu.” Kata Cathy tanpa menatap wajah Vahiza.
        “Aku harus bagaimana? Katakan…” suara dan nada itu seperti sedang berbicara kepada sahabat yang juga merangkap sebagai kakak.
        “Huuhh… aku menyesal datang ke Jakarta.” Cathy menghempaskan punggungnya ke sandaran sofa.
        “Aku yang salah… karena telah menikah dengan Agoy.”
        “Apa kamu bilang….?” Cathy tiba-tiba mengembalikan posisi duduknya seperti semula tapi menatap wajah wanita itu dengan seksama dan dengan cepat meraih wajah Vhaiza agar menatap matanya. ”Yang bicara itu bukan Vhaiza yang aku kenal. Itu pantas diucapkan oleh wanita yang sedang putus asa.. ada apa dengan kamu? Coba kamu lihat di sekeliling kamu, semua mencintai kamu, menyayangi kamu, ribuan orang cemburu dengan kehidupan kamu.. dengan kesuksesan kamu.. tidak ada satu pun yang ingin meninggalkanmu, tidak ada yang ingin menyakitimu.. tidak seorang pun. Baik Arron atau pun aku. Setelah aku pikir-pikir… kamu itu sebenarnya egois… dan berubah jadi wanita yang paranoid.” Aslinya Cathy sudah keluar, sebagai wanita mandiri, sebagai kakak dan wanita yang pekerja keras di Paris.
        “Kamu tidak mengerti, dan tidak pantas bicara seperti itu.” Keluh Vhaiza.
        “Aku sangat mengerti… dan pantas bicara begitu. Bukankah seorang teman melebihi saudara sendiri? Dalam arti tanda kutip?” suara Cathy masih tinggi.
        “Kamu menyakiti perasaanku Cath…” sahut Vhaiza berusaha bersikap tegar.
        “Kamu bahkan menginginkan lebih dari itu dari aku, kan?” nada suara Cathy bicara seperti seorang kakak yang sedang mengomeli adiknya.
        Vhaiza bangun dari sofa. Ia berdiri di belakang gorden yang tipis. Mungkin Cathy tersinggung dengan sikapnya, tapi ia tahu kalau Cathy juga mencintai Agoy dan menginginkan pria itu, jadi tidak ada salahnya kalau Vhaiza juga menginginkan yang terbaik unatuk mereka.
        Hening beberapa saat, Cathy bersandar di sofa lagi dan memejamkan matanya. Kalau dia sudah sayang dengan seseorang dan orang itu melakukan kesalahan maka ia tidak segan-segan untuk memarahinya. Itu mungkin yang belum dikenali Vhaiza dari sifat Cathy.
        “Vhaiza, aku lapar… di dapur ada makanan tidak?” katanya setelah agak lama diam.
        Vhaiza menoleh pada Cathy yang sudah menatapnya lalu mengangguk. Cathy  malah yang mengajak Vhaiza menuju dapur, 
=====
..........???

Tidak ada komentar:

Posting Komentar