Jumat, 10 Mei 2013

Bintang Impian



*
           Sore itu Randu sedang menerima telepon dari Divo. Hampir setengah jam mereka ngobrol di telepon. Randu duduk di balkon Hotel, di lantai sepuluh. Berbincang sembari menikmati indahnya pemandangan Malaysia yang bersih, nyaman dan sedikit lebih maju dari Indonesia. Veldo menghampiri Randu menunggunya selesai bicara. Randu menoleh lalu menjauhkan ponsel dari telinganya.
           “Ada apa Vel?”
           “Someone at here, dia ingin ketemu sama lo, now.”
          Randu memutuskan untuk mengakhiri pembicaraan dengan Divo. Ia mematikan ponselnya.
           “Ada apa sih? Bahasa kok di campur aduk begitu, bikin rusak bahasa Indonesia saja.”
           “Siapa yang mencampur adukkan bahasa…?” protes Veldo.
           “Oke deh, mendingan lo bilang saja. Ada apa? Dan siapa? Gak mungkin Divo, kan? Yang menelepon gue dari balik pintu Hotel ini?”
           “Ya mungkin saja.” Kata Veldo santai. ”Oke deh, gue suruh tamunya ke sini. Setelah itu gue pergi. Kalo ada apa-apa gue sama Rahman ada di Coffee shop. Tapi jangan lupa janji lo untuk jalan-jalan ke Petronas ntar malam.” Veldo melangkah.
           Randu tersenyum lalu melompat dari tempat duduknya.
           “Hey…! Kita akan ke Coffee Shop sama-sama.”
           “Sebaikmya bicaralah dulu sama tamu lo..” Veldo membuka pintu dan menghilang.
           “Sial.” Randu mendekati pintu. Ia penasaran dengan tamu yang dimaksud Veldo. Saat pintu terbuka seorang Room service tersenyum kepadanya. Seorang wanita cantik itu memberikan sebuah kantong kecil sama Randu.
           “Untuk Anda.” Kata petugas hotel.
           “Dari…?” Mata Randu mengamati sekeliling. Tidak ada siapa-siapa.
           “Someone.”
           “Terima kasih.” Randu memberikan tip sama pegawai hotel itu.”
           “Sama-sama.” Gadis itu meninggalkan Randu.
           “Ini sih bukan tamu. Dasar Veldo, mereka pasti ngerjain gue.” Randu agak keki dengan ulah teman-temannya. ’Yaa lagi-lagi apel, burger dan minuman kaleng’ tiba-tiba Randu agak tersentak seperti ingat sesuatu. ’Rimba’
           “Haloo…” Si malaikat manis itu sudah berdiri di hadapan Randu. Menciptakan senyum indahnya. Randu tidak percaya dengan penglihatannya sendiri. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengamati Rimba yang terlihat lebih kurus dari sebelumnya. ”Congratulation..”
           “Hey…, apakah di dunia ini benar-benar ada seorang Peri yang selalu siap mengirim kamu ke mana pun kamu ingin pergi?” celoteh Randu diantara senang dan kaget.
           “Mhm…” Rimba mengangguk lalu berlari memeluk Randu.
           “Aku ingin sekali mempercayainya bahwa ini bukan mimpi. ”Kata Randu saat mereka sudah duduk di atas sofa.
           Randu menikmati burger hangatnya Rimba hanya mengamatinya. Tidak henti-hentinya ia tersenyum melihat Randu makan dengan begitu lahapnya.
           “Kenapa tidak sedikit pun kamu mau mengangkat telepon dari aku?”
           “Untuk apa? Toh semua itu tidak akan mengobati rasa kangen. Karena satu-satunya cara untuk melepas rindu adalah bertemu seperti ini.”
           Rimba tertawa. ”Apa kamu tidak pernah merindukan seseorang?”
           Randu melirik Rimba. “Setiap manusia yang memiliki hati pasti merasakan hal itu. Tapi aku adalah pribadi yang membuat semua itu menjadikannya sebagai acuan untuk menggapai sesuatu.”
           “Pantas saja kamu sudah menjadi orang yang sangat hebat sekarang.” Puji Rimba.
           “Jangan merendahkan aku. Eh, apelnya buat kamu aja. Tapi minumannya bagi dua
ya?” Randu memang selalu ingin berbagi makanan dengan Rimba.
           “Itu semua buat kamu kok…” jelas Rimba.
           “Jangan berusaha membuat aku gendut.” Randu makan juga apelnya. ”Kenapa kamu begitu kurus?” ia mengamati Rimba.
           “Oh ya,? Tapi menurut Designer-ku, aku harus menurunkan berat badan dua kilo lagi.” Rimba mengamati dirinya sendiri. Randu kembali mengejeknya.
           “Mungkin di dalam lingkungan Barbie kamu masih terlihat gemuk tapi menurut aku, kamu itu terlalu kurus. Seperti orang yang tidak berdaging.” Goda Randu habis-habisan.
           “Ihh… jahat banget kamu, Ran…”
           “Kalo itu sih sudah dari dulu, tapi kamu yang lebih jahat. Dapat job di Amrik diam-diam saja, untung aku bertemu dengan Ayibanmu.”
           “Siapa? Ayiban??” Rimba masih duduk terpaku dan agak tersentak.
           Randu tertawa. “Upsss!” ia keceplosan. “Iya Non, seorang pria yang kamu cintai di bumi ini. Siapa lagi kalau bukan si Bandel yang kau jumpai di pasir putih Lampung, apa kau tidak pernah ingat sama sekali? Tidak pernah merindukannya atau jangan-jangan kamu berharap dia muncul di hadapan kamu dan mengeser posisi Arif?” Kata Randu serius. Rimba coba berpikir keras. Tidak mungkin Divo yang mengejar-ngejar Randu adalah orang yang memiliki nama Ayiban itu, yang menulis nama di biola kesayangannya. Tapi jika benar dan Randu-Divo saling mencintai dan si Divo mengira bahwa Randu adalah Rimba maka dia harus rela. ”Kok diam? Apa kamu masih suka memainkan biolamu? Aku kangen sekali dengan suaranya, serius.”
           “Randu, seharusnya aku cerita dari awal tentang kejadian itu. Tapi mana pernah kamu punya waktu untuk mendengarnya. Aku dengan Divo tidak ada…”
           Randu mengernyitkan keningnya, heran. “Divo?!”
           Rimba bangikt dari sofa, ia berjalan ke balkon. Randu yang masih bingung mengikutinya. Di luar terlihat pemandangan yang sangat menakjubkan. Tapi detik ini pemandangan itu seperti menghitam.
           “Aku dan Arif saling mencintai, sosok Ayiban di masa kanak-kanak itu hanya…”
           “Kamu ini bodoh sekali sih?!” Randu marah. Rimba menatapnya sejenak. ”Aku gak ngerti kenapa wanita cepat sekali menyerah? Apa di dunia ini hanya wanita yang punya perasaan sementara cowok nggak? Dan kenapa Rimba yang dikenal berani tiba-tiba takut menghadapi kenyataan?”
           “Randu… aku gak ngerti maksud kamu.”
           “Aku hanya pengen tahu, apakah kamu masih sangat berharap kalau sosok Ayiban hadir lagi dalam hidup kamu?” Ia menatap Rimba dan menunggu jawaban ‘Iya’ dari mulut sahabatnya itu. Namun Rimba tidak bisa menjawab meski dengan pasti ia sudah tahu jawabannya.
           “Kamu tahu Randu? Terkadang sebuah kebahagiaan yang kita peroleh berasal dari rasa bahagia dari orang yang teramat kita sayangi.”
           Randu tertawa lagi dan kali ini agak keras. “Pantas saja kamu dan Arif membiarkan hubungan kalian dibatasi oleh sosok Ayiban dan gadis kecil yang tidak bisa menyebut R itu begitu lama. Maaf Rim…, tadinya Arif berharap ingin melihat ekspresi langsung dari wajah kamu saat dia menceritakan semua ini, tapi aku sudah tidak sabar jadi aku mendahuluinya. Arif adalah Ayibanmu. Maaf, tidak sepantasnya aku mendahului dia.” Rimba memutar tubuhnya untuk menatap Randu. Randu bicara lagi. ”Apa tadi kamu berpikir Divo itu si Ayiban? Satu lagi, Arif juga baru mengetahui kebenaran itu saat dia mengantar biola ke Bandara. Saat itu dia mau ngomong tapi merasa waktunya tidak tepat.”
           “Jadi….? Ya Tuhan…” Tiba-tiba Rimba memeluk Randu begitu erat.
           “Sudah-sudah, aku tahu kamu bahagia, kau akan kembali ke Indonesia, kan? Merengkuh cintamu yang selama ini seperti layang-layang. Kau ingin bertemu dengan Arif, kan?” tambah Randu karena ia pun sangat berharap Rimba kembali ke Jakarta.
           “Tidak.” Bisik Rimba.
           Randu telah menceritakan semua yang Arif ceritakan namun sepertinya tidak akan
mengubah prinsip Rimba. “Apa syarat untuk mendapatkan sesuatu itu harus memiliki prinsif yang konyol?”
           “Mungkin, tapi setidaknya ada pesan-pesan orang terdekat yang membuat kita menanamkan prinsif itu dan satu hal lagi, kita baru saja mencapai 50 persen perjalanan, bahkan mungkin belum.”
           “Oh, begitu?”
           Rimba menatap Randu tidak mengerti kata-katanya yang singkat itu, tapi ia berusaha tersenyum. “Bagaimana kabar Bi Ijah, serta yang lainnya?”
           “Baik.” Ia memegang pinggiran balkon. ”Rimba, terkadang aku berpikir kalau kamu itu masih saja memikirkan diri sendiri. Memikirkan masa depan sendiri tanpa mau peduli dengan orang-orang yang ada di sekeliling kamu yang begitu tulus menyayangi kamu. Kau…” Randu terdiam sejenak. ia menggigit bibirnya menahan rasa sakit yang tak terperi, tapi ia tetap tak kuasa, karena rasa sakit itu lebih kuat. ”Aduh…” Ia meringis sambil memegang perutnya dan tangan kanannya mencengkram erat pagar balkon.
           “Randu, kau kenapa?” Rimba memegang bahunya. Randu memejamkan matanya untuk menahan rasa sakit itu sekuat tenaganya karena lebih sakit dari bulan-bulan kemarin.
           Ia melirik Rimba dan coba tersenyum. “Aku gak apa-apa.”
           “Ya ampun, wajah kamu pucat sekali,” Rimba meraba kening Randu, suhunya biasa.
           “Sudahku bilang, aku gak apa-apa.” Randu berusaha kembali ke kamar dan duduk lagi di sofa. Ia tidak mungkin bisa menyembunyikan rasa sakit yang dideritanya itu. Wajah dan gerak-geriknya memperlihatkan kalau dia sedang amat tersiksa.
           “Kita harus ke dokter.” Kata Rimba pelan dengan mimik yang sangat cemas.
           “Ini sudah biasa, ntar lagi juga sembuh kok.” Kata Randu disela rasa sakitnya.
           “Memangnya kamu sakit apa?”
..........>>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar