*
Sore itu Randu sedang menerima
telepon dari Divo. Hampir setengah jam mereka ngobrol di telepon. Randu duduk
di balkon Hotel, di lantai sepuluh. Berbincang sembari menikmati indahnya
pemandangan Malaysia yang bersih, nyaman dan sedikit lebih maju dari Indonesia.
Veldo menghampiri Randu menunggunya selesai bicara. Randu menoleh lalu
menjauhkan ponsel dari telinganya.
“Ada apa Vel?”
“Someone
at here, dia ingin ketemu sama lo, now.”
Randu memutuskan untuk mengakhiri pembicaraan
dengan Divo. Ia mematikan ponselnya.
“Ada apa sih? Bahasa kok di campur
aduk begitu, bikin rusak bahasa Indonesia saja.”
“Siapa yang mencampur adukkan
bahasa…?” protes Veldo.
“Oke deh, mendingan lo bilang saja.
Ada apa? Dan siapa? Gak mungkin Divo, kan? Yang menelepon gue dari balik pintu
Hotel ini?”
“Ya mungkin saja.” Kata Veldo
santai. ”Oke deh, gue suruh tamunya ke sini. Setelah itu gue pergi. Kalo ada
apa-apa gue sama Rahman ada di Coffee
shop. Tapi jangan lupa janji lo untuk
jalan-jalan ke Petronas ntar malam.” Veldo melangkah.
Randu tersenyum lalu melompat dari
tempat duduknya.
“Hey…! Kita akan ke Coffee Shop sama-sama.”
“Sebaikmya bicaralah dulu sama tamu
lo..” Veldo membuka pintu dan menghilang.
“Sial.” Randu mendekati pintu. Ia
penasaran dengan tamu yang dimaksud Veldo. Saat pintu terbuka seorang Room service
tersenyum kepadanya. Seorang wanita cantik itu memberikan sebuah kantong kecil
sama Randu.
“Untuk Anda.” Kata petugas hotel.
“Dari…?” Mata Randu mengamati
sekeliling. Tidak ada siapa-siapa.
“Someone.”
“Terima kasih.” Randu memberikan tip
sama pegawai hotel itu.”
“Sama-sama.” Gadis itu meninggalkan
Randu.
“Ini sih bukan tamu. Dasar Veldo,
mereka pasti ngerjain gue.” Randu agak keki dengan ulah teman-temannya. ’Yaa
lagi-lagi apel, burger dan minuman kaleng’ tiba-tiba Randu agak tersentak
seperti ingat sesuatu. ’Rimba’
“Haloo…” Si malaikat manis itu sudah
berdiri di hadapan Randu. Menciptakan senyum indahnya. Randu tidak percaya
dengan penglihatannya sendiri. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengamati Rimba
yang terlihat lebih kurus dari sebelumnya. ”Congratulation..”
“Hey…, apakah di dunia ini benar-benar ada
seorang Peri yang selalu siap mengirim kamu ke mana pun kamu ingin pergi?”
celoteh Randu diantara senang dan kaget.
“Mhm…” Rimba mengangguk lalu berlari
memeluk Randu.
“Aku ingin sekali mempercayainya
bahwa ini bukan mimpi. ”Kata Randu saat mereka sudah duduk di atas sofa.
Randu menikmati burger hangatnya
Rimba hanya mengamatinya. Tidak henti-hentinya ia tersenyum melihat Randu makan
dengan begitu lahapnya.
“Kenapa tidak sedikit pun kamu mau
mengangkat telepon dari aku?”
“Untuk apa? Toh semua itu tidak akan
mengobati rasa kangen. Karena satu-satunya cara untuk melepas rindu adalah
bertemu seperti ini.”
Rimba tertawa. ”Apa kamu tidak
pernah merindukan seseorang?”
Randu melirik Rimba. “Setiap manusia
yang memiliki hati pasti merasakan hal itu. Tapi aku adalah pribadi yang
membuat semua itu menjadikannya sebagai acuan untuk menggapai sesuatu.”
“Pantas saja kamu sudah menjadi
orang yang sangat hebat sekarang.” Puji Rimba.
“Jangan merendahkan aku. Eh, apelnya
buat kamu aja. Tapi minumannya bagi dua
ya?” Randu
memang selalu ingin berbagi makanan dengan Rimba.
“Itu semua buat kamu kok…” jelas
Rimba.
“Jangan berusaha membuat aku
gendut.” Randu makan juga apelnya. ”Kenapa kamu begitu kurus?” ia mengamati
Rimba.
“Oh ya,? Tapi menurut Designer-ku, aku harus menurunkan berat badan dua kilo lagi.” Rimba
mengamati dirinya sendiri. Randu kembali mengejeknya.
“Mungkin di dalam lingkungan Barbie
kamu masih terlihat gemuk tapi menurut aku, kamu itu terlalu kurus. Seperti
orang yang tidak berdaging.” Goda Randu habis-habisan.
“Ihh… jahat banget kamu, Ran…”
“Kalo itu sih sudah dari dulu, tapi
kamu yang lebih jahat. Dapat job di Amrik diam-diam saja, untung aku bertemu
dengan Ayibanmu.”
“Siapa? Ayiban??” Rimba masih duduk
terpaku dan agak tersentak.
Randu tertawa. “Upsss!” ia
keceplosan. “Iya Non, seorang pria yang kamu cintai di bumi ini. Siapa lagi
kalau bukan si Bandel yang kau jumpai di pasir putih Lampung, apa kau tidak
pernah ingat sama sekali? Tidak pernah merindukannya atau jangan-jangan kamu
berharap dia muncul di hadapan kamu dan mengeser posisi Arif?” Kata Randu
serius. Rimba coba berpikir keras. Tidak mungkin Divo yang mengejar-ngejar
Randu adalah orang yang memiliki nama Ayiban itu, yang menulis nama di biola
kesayangannya. Tapi jika benar dan Randu-Divo saling mencintai dan si Divo mengira
bahwa Randu adalah Rimba maka dia harus rela. ”Kok diam? Apa kamu masih suka
memainkan biolamu? Aku kangen sekali dengan suaranya, serius.”
“Randu, seharusnya aku cerita dari
awal tentang kejadian itu. Tapi mana pernah kamu punya waktu untuk
mendengarnya. Aku dengan Divo tidak ada…”
Randu mengernyitkan keningnya,
heran. “Divo?!”
Rimba bangikt dari sofa, ia berjalan
ke balkon. Randu yang masih bingung mengikutinya. Di luar terlihat pemandangan
yang sangat menakjubkan. Tapi detik ini pemandangan itu seperti menghitam.
“Aku dan Arif saling mencintai,
sosok Ayiban di masa kanak-kanak itu hanya…”
“Kamu ini bodoh sekali sih?!” Randu
marah. Rimba menatapnya sejenak. ”Aku gak ngerti kenapa wanita cepat sekali
menyerah? Apa di dunia ini hanya wanita yang punya perasaan sementara cowok nggak?
Dan kenapa Rimba yang dikenal berani tiba-tiba takut menghadapi kenyataan?”
“Randu… aku gak ngerti maksud kamu.”
“Aku hanya pengen tahu, apakah kamu
masih sangat berharap kalau sosok Ayiban hadir lagi dalam hidup kamu?” Ia
menatap Rimba dan menunggu jawaban ‘Iya’ dari mulut sahabatnya itu. Namun Rimba
tidak bisa menjawab meski dengan pasti ia sudah tahu jawabannya.
“Kamu tahu Randu? Terkadang sebuah
kebahagiaan yang kita peroleh berasal dari rasa bahagia dari orang yang teramat
kita sayangi.”
Randu tertawa lagi dan kali ini agak
keras. “Pantas saja kamu dan Arif membiarkan hubungan kalian dibatasi oleh
sosok Ayiban dan gadis kecil yang tidak bisa menyebut R itu begitu lama. Maaf
Rim…, tadinya Arif berharap ingin melihat ekspresi langsung dari wajah kamu
saat dia menceritakan semua ini, tapi aku sudah tidak sabar jadi aku mendahuluinya.
Arif adalah Ayibanmu. Maaf, tidak sepantasnya aku mendahului dia.” Rimba
memutar tubuhnya untuk menatap Randu. Randu bicara lagi. ”Apa tadi kamu
berpikir Divo itu si Ayiban? Satu lagi, Arif juga baru mengetahui kebenaran itu
saat dia mengantar biola ke Bandara. Saat itu dia mau ngomong tapi merasa
waktunya tidak tepat.”
“Jadi….? Ya Tuhan…” Tiba-tiba Rimba
memeluk Randu begitu erat.
“Sudah-sudah, aku tahu kamu bahagia,
kau akan kembali ke Indonesia, kan? Merengkuh cintamu yang selama ini seperti
layang-layang. Kau ingin bertemu dengan Arif, kan?” tambah Randu karena ia pun
sangat berharap Rimba kembali ke Jakarta.
“Tidak.” Bisik Rimba.
Randu telah menceritakan semua yang
Arif ceritakan namun sepertinya tidak akan
mengubah
prinsip Rimba. “Apa syarat untuk mendapatkan sesuatu itu harus memiliki prinsif
yang konyol?”
“Mungkin, tapi setidaknya ada
pesan-pesan orang terdekat yang membuat kita menanamkan prinsif itu dan satu
hal lagi, kita baru saja mencapai 50 persen perjalanan, bahkan mungkin belum.”
“Oh, begitu?”
Rimba menatap Randu tidak mengerti
kata-katanya yang singkat itu, tapi ia berusaha tersenyum. “Bagaimana kabar Bi
Ijah, serta yang lainnya?”
“Baik.” Ia memegang pinggiran
balkon. ”Rimba, terkadang aku berpikir kalau kamu itu masih saja memikirkan
diri sendiri. Memikirkan masa depan sendiri tanpa mau peduli dengan orang-orang
yang ada di sekeliling kamu yang begitu tulus menyayangi kamu. Kau…” Randu
terdiam sejenak. ia menggigit bibirnya menahan rasa sakit yang tak terperi,
tapi ia tetap tak kuasa, karena rasa sakit itu lebih kuat. ”Aduh…” Ia meringis
sambil memegang perutnya dan tangan kanannya mencengkram erat pagar balkon.
“Randu, kau kenapa?” Rimba memegang
bahunya. Randu memejamkan matanya untuk menahan rasa sakit itu sekuat tenaganya
karena lebih sakit dari bulan-bulan kemarin.
Ia melirik Rimba dan coba tersenyum.
“Aku gak apa-apa.”
“Ya ampun, wajah kamu pucat sekali,”
Rimba meraba kening Randu, suhunya biasa.
“Sudahku bilang, aku gak apa-apa.”
Randu berusaha kembali ke kamar dan duduk lagi di sofa. Ia tidak mungkin bisa
menyembunyikan rasa sakit yang dideritanya itu. Wajah dan gerak-geriknya
memperlihatkan kalau dia sedang amat tersiksa.
“Kita harus ke dokter.” Kata Rimba
pelan dengan mimik yang sangat cemas.
“Ini sudah biasa, ntar lagi juga
sembuh kok.” Kata Randu disela rasa sakitnya.
“Memangnya kamu sakit apa?”
..........>>>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar