Selasa, 14 Mei 2013

Tanaya Bergejolak



BAB 1
                                        JAKARTA, API BARU SAJA MENYALA

       Angin Jakarta yang bercampur polusi tidak menghalangi indahnya pemandangan malam, cahaya lampu yang warna-warni menciptakan nuansa keindahan tersendiri. Jika kita melihat ke atas, gedung-gedung bertingkat, apartemen dan mall akan membuat mata takjub menatapnya, tetapi itu hanyalah karya tangan anak manusia. Di bawah jembatan layang ada ratusan anak manusia yang hidup dengan cara mereka sendiri, mereka hanya butuh makan untuk hidup bukan hidup untuk makan. Jika usaha dan kerja keras serta doa bisa mengubah kehidupan mereka, mungkin hidup mereka sudah lama berubah lebih baik. Indonesia adalah alam yang kaya tapi mengapa penduduknya miskin?
      Kesenjangan sosial terlihat begitu nyata, dunia hanya milik orang-orang pintar yang berduit bukan milik orang pintar yang jujur. Uang bisa membeli cinta, kegadisan bisa diperjualbelikan…. Namun Tanaya hidup hanya untuk menaklukkan hati laki-laki.
                                                                            *

      Seorang wanita baru saja keluar dari mobil sedan ia mengenakan sepatu hak tinggi dengan warna hitam warna senada pula dengan mobilnya, seakan memperlihatkan bentuk sepasang kakinya yang putih dan indah serta jenjang dan berhiaskan rambut-rambut halus yang lembut. Rambutnya lurus agak berombak, wajahnya oval. Ia melangkah memasuki ballroom hotel, dengan gaun malam yang indah dan mahal membuat tubuh itu semakin terlihat ideal. Wajahnya yang memesona seakan menjadi mutiara yang menyilaukan ruangan mewah yang dipenuhi oleh para eksekutif muda metropolitan.
      Semua mata pria nyaris mengalihkan pandangan ke arah sosok yang bagaikan magnet malam itu, yang seakan mampu menyedot kelemahan pria dan membobolkan kesetiaan mahluk yang berjenis laki-laki. Separuh wanita yang sedang duduk bersama pasangan mereka menjadi terpaku, takjub, iri dan berharap  agar tubuh mereka bisa se-ideal itu,  serta tidak lupa berharap agar wanita itu tidak jadi masuk ke dalam ruangan. Satu dua wartawan mengambil gambar wanita itu.
      Seorang pria maskulin beranjak dari kursinya untuk menjemput wanita yang menjadi bidadari malam itu dan membuat pria yang ada di sana sontak kaget dan patah hati saat melihat si maskulin mengecup pipi si wanita dengan lembut.
      “Selamat malam, Sayang… kamu hampir saja terlambat.” Dia menggandeng tangan wanita itu namun si wanita hanya menciptakan senyuman dan mengikuti langkah si maskulin tanpa melirik ke kiri atau pun kanan, sepertinya si wanita semampai itu sudah banyak belajar tentang kepribadian. Pria itu mempersilahkannya untuk duduk.
      Ada sepasang mata yang dari tadi tidak pernah lepas dari sosok itu, ia mengamati setiap gerak-geriknya, menyimak cara wanita itu memegang gelas, menyimak senyumnya dan menikmati mata coklat itu. Ia duduk tepat dua meja di depan si wanita. Saat wanita itu mengangkat wajahnya dan matanya langsung bertemu pada sepasang mata yang dari tadi merekam wajahnya dengan memori yang mulai rusak. Sedetik wajah si wanita berubah namun detik berikutnya ia mengalihkan wajahnya pada pria yang di sampingnya yang sedang memegang gelas wine. Si wanita menyentuh gelas si pria untuk toast, keduanya tersenyum lalu meneguk minuman mahal itu.
      Di sisi panggung, seorang pianis muda sedang menekan tuts-tuts pianonya hingga menghasilkan alunan nada yang indah. Malam itu adalah acara grand opening cabang baru perusahaan sebuah minuman dengan merk ternama, acara itu juga semacam syukuran bersama kerabat dekat sang pengusaha.
      Si wanita itu sedang pamit dengan teman dekatnya untuk ke kamar kecil, menit berikutnya pria yang tadi mengamatinya ikut menyusul ke belakang. Di persimpangan pintu toilet mereka bertemu dan pria itu menyapanya.
      “Maaf, sepertinya saya kenal dengan Anda. Kalau tidak salah nama Anda Tanaya, kan??” wajahnya penuh keyakinan dan terlihat sok akrab.
      “Maaf bung, Anda sepertinya salah orang, cara yang Anda pakai untuk berkenalan sangat
payah.” Ujar wanita itu dengan sangat tenang meski ada debaran aneh yang mengujam jangtungnya.
      “Oh, maaf kalau saya salah. Tapi saya tidak sedang coba berkenalan, Anda cantik sekali.” Pria itu terlihat serba salah, apalagi mendapati sikap si wanita sangat tidak mengenalinya. “Sekali lagi maafkan saya.” Tambahnya berusaha untuk tidak gugup.
      “Selamat malam.” Si wanita berlalu namun detik berikutnya ia berputar lagi dan si pria ternyata masih mengamatinya. “Tanaya? Tadi Anda menyebut nama Tanaya, siapa dia??” katanya ingin tahu.
      Si pria terlihat agak keberatan untuk menjawab. “Dia…, dia itu teman lama saya.” Ia coba tersenyum seindah mungkin namun berharap dalam hati kalau wanita yang dihadapannya itu bukanlah wanita yang ia kenal.
      “Oh, kalau begitu Anda sudah bertemu dengannya…mhmm.., maksud saya, semoga Anda cepat bertemu dengannya.” Si wanita meralat kata-katanya dengan cepat sebelum pria itu terperangah heran mendengar kata-katanya.
      “Terima kasih.” Pria itu mengulurkan tangannya. “Berteman?”
      Si wanita menyambut tangan si pria. “Tunlais.” Katanya dengan suara agak bergetar, bukan karena menyebut namanya tapi karena bersentuhan tangan dengan pria itu.
      “Tunlais?” pria itu mengulang lagi untuk memastikan pendengarannya. Wanita itu mengangguk. “Saya Toni. Toni Pratama.” Ia menyebut namanya dengan bangga. “Senang berkenalan dengan kamu Lais, tidak keberatan  kalau aku memanggil kamu hanya dengan, Lais?”
      Wanita yang ternyata bernama Tunlais itu hanya tersenyum misterius.
      API BARU SAJA MENYALA..!!!!    
                                                                        *

      Tunlais melepaskan sepatunya, meletakkan di rak sepatu lalu masuk ke kamarnya. Ia memandangi wajahnya di cermin yang super besar di kamar apartemennya. Lima tahun sudah ia menempati apartemen bagus itu. Ia mengamati seisi ruangan kamarnya, semua barang berada di tempat semestinya. Tempat tidur yang berukuran besar dan sangat rapih. Sekilas ingatannya melayang pada peristiwa sepuluh tahun silam…, suara tangisan bayi melengking dan menjerit-jerit seakan-akan ingin merobek-robek gendang telinganya. Tunlais menutup kedua telinganya dengan kedua tangannya. Jeritan itu tertahan. Lalu ia berjalan ke kamar mandi dan menyalakan shower.
      Sepuluh tahun lebih telah berlalu, namun peristiwa itu seakan baru saja terjadi beberapa detik yang lalu, lukanya berdarah dan tidak akan pernah kering. Sehabis mandi Tunlais mencuci pakaiannya dan mengeringkan rambutnya serta mengelap seluruh tubuhnya. Ia mengenakan pakaian tidur, membersihkan tempat tidurnya dan setelah yakin semuanya bersih baru ia merebahkan tubuhnya. Tunlais tidak bisa tidur, ia gelisah dan hanya membolak-balikkan badannya, pikirannya melayang entah ke mana, mengembara dan…  API ITU MAKIN MENYALA!!!
---
htx
bersambung...>>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar